Ketidakjelasan Status: Antara Mahasiswa, UI, dan Pemerintah Fadel Muhammad Bakal Calon Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa 2015 Membicarakan pendidikan tinggi tentu tak bisa melepaskan diri dari sebuah sistem kolektif yang dinamakan pendidikan. Harapan besar tentang pendidikan tidak hanya dimuat dalam peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang maupun peraturan dibawahnya, melainkan diatur pula dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Harapan dalam UUD 1945 dibentuk dalam sebuah amanat kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.1 Dengan elaborasi demikian, pada dasarnya Indonesia telah menyadari arti penting dari sistem pendidikan yang baik dan dikelola secara bertanggung jawab. Pendidikan terdiri dari beberapa jenjang. Di Indonesia, pendidikan terbagi menjadi tiga, yakni pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Dari sekian banyak perspektif mengenai tujuan pendidikan, tujuan pendidikan tinggi menjadi yang paling banyak menimbulkan perdebatan. Penulis berpendapat, hal ini terjadi karena kutub masyarakat terbagi dua perspektif akan tujuan dilaksanakannya pendidikan tinggi. Pertama, sebagian masyarakat berpendapat bahwa tujuan pendidikan tinggi ialah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kedua, pendidikan tinggi hadir semata-mata untuk pemenuhan hak manusia akan kebutuhan intelektual. Namun penulis pun menyepakati Delors, seorang politikus senior Perancis, yang menyatakan bahwa universitas sebagai pelaksana proses pendidikan tinggi memiliki peran begitu besar dalam mengembangkan program, 1 Poin menimbang huruf a dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 1 pembentukan kebijakan, dan pembangunan kualitas sumber daya manusia.2 Oleh karena itu, pendidikan tinggi merupakan pemegang kunci strategis kemajuan suatu bangsa. Henry Giroux, seorang ilmuan dan pengkritik kebudayaan dari Amerika Serikat, berpendapat bahwa pendidikan tinggi seharusnya lebih dari persiapan menuju dunia kerja dan peningkatan kesadaran, tetapi juga tentang membangun visi masa depan publik yang lebih baik.3 Pendapat Giroux tersebut pun seakan mengamini berbagai prinsip dasar mengenai pendidikan tinggi yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia (Statuta UI). Dikatakan dalam penjelasan umum Statuta UI bahwa “misi utama pendidikan tinggi ialah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran.” Hal demikian semakin menegaskan bahwa sejatinya pendidikan tinggi hadir untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat lewat nilai-nilai yang luhur. Beberapa perubahan regulasi dengan intensi perbaikan sistem pendidikan tinggi telah dilakukan oleh Pemerintah. Salah satu sistem yang dianggap paling potensial memperbaiki pendidikan tinggi Indonesia ialah sistem otonomi. Sistem otonomi atas institusi pendidikan tinggi pun mulai dicanangkan pada medio 1990an. Puncaknya, ketika Indonesia tergabung dalam World Trade Organization (WTO) dengan meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Diundangkannya UU No. 7 Tahun 1994 tersebut secara resmi mengikat Indonesia untuk tunduk pada segala ketentuan yang diatur dalam Agreement Establishing The World Trade Organization4. Pasca 1 Januari 1995 setelah perjanjian tersebut berlaku, Indonesia, melalui sudut pandang hukum internasional, wajib menjalankan segala 2 Jacques Delors et. al. LEARNIG : The Treasure Within, Report to UNESCO of The International Commission on Education for Twenty First Century, (1998), Paris, UNESCO, hal. 131 Henry Giroux, Democracy’s Nemesis: The Rise of the Corporate University, Cultural Studies Journal, Vol. 9, No. 5, 2009, hal. 684. 3 4 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum, dan Lembaga, UI Press, 1997, hal. 239. 2 kewajiban yang disepakati dalam Agreement Establishing The World Trade Organization tersebut. Salah satu perjanjian yang wajib dipatuhi pula ialah General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS mengamanatkan untuk melakukan deregulasi dan privatisasi pengelolaan universitas publik, karena sektor jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa yang diliberalisasi menurut GATS.5 Pada awal pencanangan konsep otonomi, aktivis pendidikan seperti Darmaningtyas selalu menentangnya dengan alasan bahwa otonomi berpotensi mengancam akses pendidikan bagi rakyat tidak mampu.6 Pemerintah pun mengelak dengan menjawab bahwa otonomi akan dititikberatkan pada otonomi akademik, sehingga tidak memengaruhi akses terhadap pendidikan. Hal tersebut penulis rasa kurang sesuai karena prinsip otonomi akademik memang telah digunakan sejak era Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi.7 Bahkan hingga pengujian konstitusionalitas UU Dikti kepada Mahkamah Konstitusi di tahun 2012-2013, Pemerintah menjamin bahwa otonomi tidak akan mempersempit akses pendidikan bagi rakyat tidak mampu.8 Universitas Indonesia (UI) merupakan salah satu institusi penyelenggara fungsi negara dalam bidang pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah pada tanggal 2 Februari 1950.9 UI dianggap sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia mengacu kepada polling yang dilakukan oleh Quacquarelli Symonds (QS), perusahaan asal Inggris yang bergerak di bidang pendidikan.10 Tidak hanya menurut QS, Pemerintah pun memercayai UI sebagai salah satu universitas terbaik dilihat dari sistem dan tata kelola universitas. Oleh karenanya, UI menjadi 5 Alldo Fellix Januardy, Pengaruh Neoliberalisme terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia, Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014, hal. 62. 6 Berdasarkan riset langsung penulis dengan Taufik Basari S.H., S.Hum., L.LM. 7 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan 8 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 33/PUU-XI/2013, hal. 129. 9 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI. Tinggi. 10 http://www.ui.ac.id/berita/ui-kembali-menjadi-universitas-terbaik-di-indonesia-versiqs-world-university-rankings.html. Diakses pada 17 Oktober 2015, pukul 02.36. 3 satu bagian dari beberapa universitas yang dipercaya beralih status hukumnya menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000. Pada tahun 2009 ketika Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) diundangkan, UI pun menjadi salah satu dari tujuh universitas yang dialih statusnya dari BHMN menjadi BHP. Dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU BHP dinyatakan tidak berlaku secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Mengatasi kekosongan hukum, Pemerintah akhirnya mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Berlakunya PP 66 Tahun 2010 ini pun menyebabkan status hukum UI berubah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PTP-BLU). Selang dua tahun pasca dibatalkannya UU BHP dan diundangkannya PP 66 2010, UU Dikti lahir sebagai jawaban Pemerintah akan kegalauan status Perguruan Tinggi. Berkali-kali diuji konstitusionalitasnya oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi, namun UU ini tetap berdiri setegak karang, jauh lebih kuat dari pendahulunya, UU BHP. Hingga kini, UI berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum sebagaimana amanat UU Dikti. Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang implikasi dan implementasi konsep PT BHMN, BHP, PTPBLU, dan PTN BH yang telah diterapkan di Universitas Indonesia. UI dalam Era BHMN Diawali dengan semangat otonomi pendidikan tinggi, konsep BHMN secara resmi diperkenalkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Frasa “BHMN” sendiri disebutkan dalam Pasal 2 PP 61 yang menyebutkan bahwa “Perguruan Tinggi merupakan badan hukum milik Negara yang bersifat nirlaba”. 4 Pada tahun 2000, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. UI dipercaya menjadi BHMN karena dianggap telah memiliki kemampuan pengelolaan yang cukup untuk dapat memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar.11 Dalam sistem hukum Indonesia, konsep BHMN ialah hal yang baru mengingat tidak ada regulasi yang mengatur sebelumnya. Oleh karenanya, lahirnya konsep ini menimbulkan pertentangan yang cukup panjang. Pendapat yang paling mengemuka ialah bahwa BHMN wajib diatur terlebih dahulu dengan sebuah undang-undang khusus, tidak dengan Peraturan Pemerintah seperti PP 152 ini. Namun, penulis tidak sepakat dengan pendapat demikian. Penulis menyepakati pendapat yang diajukan oleh Mizamil dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan. Mizamil berpendapat bahwa sebenarnya konsep BHMN telah diatur melalui Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sehingga pengaturan dalam PP 152 dapat dibenarkan.12 Mekanisme baru yang ditawarkan oleh BHMN ialah mengenai otonomi pengelolaan keuangan suatu Perguruan Tinggi. BHMN mengatur bahwa kekayaan BHMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Berbeda dengan mekanisme sebelumnya dimana kekayaan negara tidak dipisahkan, konsep ini memiliki penjelasan bahwa PT BHMN berhak mengelola sendiri uang negara yang diberikan kepadanya. Pengelolaan secara otonom ini diharapkan dapat mewujudkan PT BHMN yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang efisien dan berkualitas.13 Konsep otonomi ini memerlukan pengawasan yang ekstra karena uang negara yang diberikan kepada PT BHMN dikelola secara mandiri. Oleh karena itu, lahirlah organ baru yang berperan sebagai pengawas dalam PT BHMN, yaitu 11 Poin menimbang huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. 12 Mizamil, Status UI ditinjau dari Hukum Keuangan Publik, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-36, hal. 370. 13 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, Pasal 4 ayat (3) huruf a. 5 Majelis Wali Amanat. Konsep Majelis Wali Amanat meniru Board of Trustee yang terdapat pada badan hukum privat yang berfungsi sebagai pengawas pengelolaan badan hukum. Konsep ini pun telah lazim dipakai di PT luar negeri dengan nama Governing Council.14 Untuk melaksanakan pengawasan yang lebih komprehensif dan kredibel, anggota Majelis Wali Amanat pun terdiri dari unsurunsur yang mempengaruhi keberadaan PT BHMN. Pasal 14 ayat (2) PP 152 menyebutkan bahwa unsur-unsur dalam Majelis Wali Amanat adalah Menteri, Senat Akademik Universitas, Masyarakat, Karyawan Universitas, Mahasiswa, dan Rektor. PT BHMN adalah konsep yang baik untuk tujuan jangka panjang. Namun penulis tidak menegasikan kekurangan yang terdapat pada konsep ini. Konsep PT BHMN benar-benar membebankan kemampuan pengelolaan pendidikan tinggi secara akademik maupun non akademik kepada PT. Dalam hal ini Negara hanya menjadi salah satu dari penyedia dana penyelenggaraan PT BHMN. Oleh karenanya, sasaran paling empuk dari ketidaksiapan pengelolaan PT BHMN ialah peserta didik. Naiknya biaya pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Taufik Basari, advokat, saat penulis wawancarai pun mengatakan bahwa pada tahun 2000 awal terjadi kenaikan biaya kuliah di UI yang cukup signifikan. Pada prinsipnya, penulis berpendapat bahwa konsep PT BHMN hanya efektif diterapkan pada PT yang memang sudah siap untuk mengelola kekayaannya dengan maksimal. Tidak hanya dalam konteks biaya pendidikan, permasalahan status ketenagakerjaan pun menjangkiti UI. Amanat PP 152 yang menghendaki agar hanya ada satu sistem kepegawaian pun tidak dijalankan dengan serius. Dari ribuan PNS di UI, hanya satu orang yang berpindah menjadi pegawai UI.15 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tata kelola universitas yang ada di UI belum berjalan dengan baik. 14 Meredith Edwards, University Governance: A Mapping and Some Issues, University of Canberra, hal. 17. 15 Berdasarkan wawancara dengan Andri Gunawan Wibisana, Ketua PPUI. 6 UI dalam Era BHP Untuk melaksanakan amanat Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Konsep BHP dianggap menjadi konsep final dari tingkatan status PT. Konsep ini pun mengamini otonomi secara penuh, sebagaimana cita-cita awalnya telah ada sejak PT BHMN. Lahirnya UU BHP menimbulkan keresahan pada masyarakat luas. Masyarakat menilai bahwa negara secara perlahan melepaskan tanggung jawab atas pendidikan tinggi dengan membentuk konsep BHP. Ketika akses pendidikan sulit, biaya pendidikan mahal, paradigma pendidikan berubah, maka hak warga negara untuk memperoleh pendidikan menjadi terhalang, yang berarti negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara.16 Melalui UU BHP ini, pendidikan ditempatkan sebagai private goods yang mempunyai dua ciri utama, yaitu konsep persaingan untuk memperoleh pendidikan (rivalry) serta konsep pendidikan yang terbatas dan tidak tersedia untuk semua orang (excludability).17 Hal tersebut tentu saja tidak koheren dengan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang termaktub di dalam UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan salah satu hak konstitusional setiap warga negara. UI sebagai pengemban status BHP pun dikhawatirkan akan diprivatisasi dan dikapitalisasi. Bahkan UI dapat dikatakan bukan lagi Perguruan Tinggi Negeri dikarenakan dalam frasa “BHP” tidak ada sama sekali peran negara secara eksplisit. UU BHP begitu telanjang menyatakan bahwa pemerintah dalam hal pendidikan hanya sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai regulator.18 Dengan 16 Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009, hal. 399. 17 Abdul Rachmat Ariwijaya, Peranan Mahasiswa Terkait dengan Statuta UI, disampaikan saat Pemilu FHUI 2013. 18 Daya Cipta Sudrajat, Status Hukum Universitas Indonesia: Dari PTN hingga PTN-BH, 2013. http://mwaum.ui.ac.id/bk/status-hukum-universitas-indonesia-dari-ptn-hingga-ptn-bh/ diakses pada 15 Oktober 2015 pukul 12.02. 7 alasan tersebut, masyarakat—bahkan mahasiswa UI—berbondong mengajukan pengujian konstitusionalitas UU BHP kepada Mahkamah Konstitusi. Melalui lima permohonan pengujian, Mahkamah Konstitusi pun sependapat dengan masyarakat bahwa UU BHP ternyata melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamahpun mencabut keberlakuan UU BHP. Selain pelanggaran hak konstitusional, Prof. J. E. Sahetapy berpendapat bahwa UU BHP menghilangkan secara terselubung pluralisme di dunia pendidikan tinggi dan seakan menghidupkan kembali nafas orde baru.19 UI dalam Era PTP-BLU Dicabutnya keberlakuan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan kekosongan hukum bagi tujuh perguruan tinggi yang telah memangku status BHP. Beberapa ahli berpendapat bahwa langkah terbaik ialah kembali ke PP No. 61 Tahun 1999 yang mengatur tentang PT BHMN. Namun banyak yang tidak cermat dalam melihat regulasi karena telah diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 221 PP 17 tersebut mengatur bahwa PP ini mencabut keberlakuan dari PP No. 61 Tahun 1999. Oleh karena itu, kembali kepada konsep PT BHMN berdasarkan PP 61 bukanlah hal yang memungkinkan. Menjawab keresahan PT, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 Tahun 2010. Secara akademik, UI tidak merasakan dampak yang signifikan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 220A ayat (1) PP 66, pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh UI masih tetap berlangsung. Namun status UI berubah menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 220A ayat (4). Perbedaan mendasar lainnya ialah ketika UI menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai aturan Pasal 220B ayat (1). UI yang sepuluh tahun terakhir mengelola keuangan dengan otonom, harus menyesuaikan kembali dengan konsep BLU yang sedikit banyak mirip dengan konsep PTN pra-PT BHMN. PT tidak dapat melakukan perbuatan hukum 19 Mahkamah Konstitusi, Op. Cit. hal. 359. 8 sebagaimana konsep yang diakomodasi oleh PT BHMN. Pengelolaan keuangan pada BLU terikat pada ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pada konsep ini, peran Pemerintah melalui Menteri Pendidikan terasa sangat besar. Hal ini ditunjukan dalam ketentuan pada Pasal 58E yang menyatakan bahwa Rektor ditunjuk langsung oleh Menteri. Sepintas, memang hal ini cukup efisien dan praktis karena mekanismenya tidak perlu panjang lebar. Namun satu hal yang harus mendapat perhatian serius adalah dengan kerangka yang demikian, Mendiknas memiliki posisi tawar yang sangat kuat terhadap rektor universitas. Hal ini akan sangat berbahaya karena bukan sebuah hal yang tidak mungkin jika universitas akan menjadi alat legitimasi intelektual bagi segala kebijakan pemerintah.20 Konsep ini pun tidak mengakomodasi pengawasan kolektif, utamanya dari masyarakat. Selain perbedaan dalam hal pengelolaan, terdapat struktur Tata Pamong baru yang ada di UI. Struktur ini menggantikan struktur yang merujuk pada PP 152. Struktur baru tersebut terdiri dari Rektor, Senat Universitas, Satuan Pengawas, dan Dewan Pertimbangan. Struktur ini menggantikan fungsi Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, Senat Akademik Universitas, dan Dewan Guru Besar.21 Pada era ini sempat timbul permasalahan mengenai keabsahan tim transisi PTP-BLU yang dibentuk oleh Menteri. Kasus ini pun dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan menggugat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Transisi UI, serta Rektor UI. Penggugat dalam kasus ini, Senat Akademik dan Paguyuban Pekerja UI, menyatakan bahwa Menteri tidak berwenang untuk membentuk tim, melainkan UI. Pada pengadilan tingkat pertama, pengadilan memenangkan penggugat dan Surat Keputusan Menteri tentang Tim Transisi UI pun dibatalkan oleh putusan PTUN. 20 Rifky W. Y., Sentralisasi vs. Distribusi Kekuasaan: Perbadningan PP 66/2010 dengan PP 152/ 2000, Pusgerak BEM UI, 2011, hal. 1 21 Universitas Indonesia, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, 2010 9 UI dalam Era PTN BH Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lahir sebagai pengisi kekosongan hukum secara permanen pasca dicabutnya keberlakuan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Menyadari bahwa ada nafas yang sama antara UU Dikti dan UU BHP, masyarakat pun mengajukan permohonan uji konstitusionalitas UU Dikti kepada Mahkamah Konstitusi. Secara garis besar, dalil yang dikemukakan sama. Dalil tersebut menyoal akses, pelepasan tanggung jawab negara, dan resistensi masyarakat akan privatisasi serta komersialisasi pendidikan tinggi. Namun kali ini Mahkamah berpendapat lain. Mahkamah berpendapat bahwa dengan sistem yang baik, negara tidak akan melepaskan tanggung jawabnya akan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dengan demikian, UU Dikti tetap berlaku dan dinyatakan konstitusional. Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal sebuah konsep dasar yang dinamakan subjek hukum. Subjek hukum diartikan sebagai pengemban hak dan kewajiban di muka hukum. Subjek hukum terbagi menjadi dua yakni pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Pribadi kodrati sebagai subjek hukum adalah orang-orang yang secara mutlak mengemban hak dan kewajiban secara hukum, dan badan hukum ialah sebuah bentuk yang diprakarsai oleh sejumlah pribadi kodrati dan ia pun mengemban hak dan kewajiban secara hukum dan lahir berdasarkan perjanjian (overeenkomst), misalnya adalah Perseroan Terbatas (PT, badan hukum privat) yang bertujuan memperoleh keuntungan.22 Badan hukum memiliki kewenangan pula untuk mengadakan hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya.23 UU Dikti mengeluarkan terminologi baru di bidang hukum yakni Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Berbeda dengan badan hukum pada pengertian secara lazim, badan hukum yang dimaksudkan dalam UU Dikti ialah badan hukum publik. Badan hukum publik dibentuk Negara dengan 22 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 29. 23 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 216. 10 undang-undang atau pemerintah dengan kuasa Undang-Undang. Pun badan hukum publik ialah badan yang menjalankan fungsi atau tugas pemerintahan, dalam hal ini pada bidang pendidikan, serta memiliki prinsip nirlaba dalam pengelolaannya. Perbedaan mendasar lainnya antara badan hukum publik dan badan hukum privat ialah bahwa PTN BH tidak dapat dialihkan kepada perseorangan atau swasta sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (4) UU Dikti. Mengenai pendanaan, telah terbit pula Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN BH. Konsekuensi lain sebagai PTN BH ialah akan ada Statuta yang mengatur lembaga secara operasional. Oleh karenanya, telah ada PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI.24 Penulis berpendapat, sekarang adalah era dimana penegakan hukum terhadap pelaksanaan UU Dikti wajib digalakan. Intensi awal dibentuknya UU Dikti ialah untuk untuk memajukan pendidikan tinggi melalui tata kelola otonomi. Namun bukan berarti otonomi yang diberikan menjadikan perguruan tinggi sewenang-wenang. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) UI 2014 menunjukkan bahwa salah satu hambatan dalam tata kelola keuangan UI ialah ketika pemasukan non biaya pendidikan masih lebih besar dibanding dari biaya pendidikan. Jangan sampai konsep otonomi diartikan sebatas pengelolaan uang secara mandiri, namun pembiayaan tetap bergantung pada peserta didik. Salah satu pihak yang wajib menjadi penanggung jawab ialah Pemerintah. Apabila Pemerintah tidak menyelamatkan akses bagi peserta didik masuk ke PTN BH, maka Pemerintah telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Negara tetap menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. 24 Fadel Muhammad, Dasar-Dasar Pengevaluasian Kebijakan Rektor Universitas Indonesia Tahun 2015, BK MWA UI UM 2015 11