BADAN HUKUM DAN KELEMBAGAAN PERUGURUAN TINGGI DALAM KERANGKA HUKUM PENDIDIKAN INDONESIA1 LEGAL ENTITY AND HIGHER EDUCATION INSTUTIONS INSIDE INDONESIA EDUCATION LEGAL FRAMEWORK Bambang Pratama Business Law Universitas Bina Nusantara Jakarta e-mail: [email protected] ABSTRAK Permohonan uji materi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dari masyarkat menghasilkan putusan dari Mahkamah Konstitusi bahwa Undang-Undang BHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pada amar putusannya perdebatan yang mengemuka diantaranya masyarakat khawatir pendidikan menjadi mahal dan sulit diakses akibat gagasan kebebasan yang digagas dalam undang-undang BHP. Pemerintah berpendapat sebaliknya, dengan kebebasan perguruan tinggi maka aktivitas institusi pendidikan dapat mandiri dan leluasa. Perguruan tinggi memiliki kewajiban mengembangkan ilmu tetapi kebebasannya terikat pada nilai-nilai yang dianut oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Tulisan ini mencoba untuk melihat kedua perbedaan pemikiran tersebut dan mendudukan ke dalam teori hukum dan instrumen hukum yang ada. Serta mengkaitkannya pada misi yang diemban oleh sistem pendidikan nasional. Sehingga dapat memberikan sumbang pikiran dalam membuat kebijakan perguruan tinggi. Key words: Badan Hukum Pendidikan, Perguruan Tinggi, Kebebasan, Pembangunan Nasional ABSTRACT The applicant's of judicial review of legal entities in public education was decided by Constitutional Court has no binding legal effect. In debate toward reach finding the community concerned with the public education legal form makes education cost expensive and difficult to access. On the contrary, Government's contend independency will made educational institution can free to regulate their activities. In higher education development and scientific freedom is necessity. This paper tries to see both conceptual background and put it into legal theory and legal instruments in Indonesia and to refer with national education system (Sisdiknas) to support national development. Hopefully this paper may give contribution to make policy in higher education. Key words: Legal entity, higher education, freedom, and national development. 1 Makalah ini diambil dari topik Ujian Kualifikasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan dengan Tim Penguji: Prof. Dr. Johanes Gunawan, SH, LL.M, Prof. Dr. Bernadette Waluyo, SH, MH, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH, Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, dan Prof. Dr. Ateng Syafrudin, SH. 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Era reformasi sebagai awal perubahan dan penguatan sistem kenegaraan Indonesia pada umumnya, prioritas langkah kongkritnya bermuara pada penegakan hukum untuk dapat mentransformasikan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik (Asep Warlan, 2008). Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2001 merumuskan Visi Indonesia 2020 untuk menjawab tantangan tahun 2020. Sistem pendidikan nasional termasuk dalam Visi Indonesia poin keenam, yaitu: sumber daya manusia yang bermutu, terwujudnya sistem pendidikan yang berkualitas, berahlak mulia dan bersaing di era globalisasi. Cita-cita pendiri bangsa pada alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” serta “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam Bab XA tentang hak asasi manusia Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua (tahun 2000) pasal 28A bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Lebih spesifik lagi dalam pasal 28C ayat (1) setiap orang berhak mendapat pendidikan dan mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya (MPR, 2003). Bidang pendidikan merupakan salah satu visi kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Secara filosofis telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kemudian dipertegas dalam pasal 28C tentang jaminan pendidikan oleh negara. Pada amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 jaminan pendidikan diperkuat dengan alokasi pembiayaan pendidikan minimal dua puluh persen dari APBN. Alokasi dua puluh persen dana pendidikan dari APBN jika dibandingkan dengan Kamboja maka di Indonesia masih lebih besar. Kamboja mengalokasikan anggaran pendidikannya 8 hingga 15 persen (Phann Sambo, 2011). Sebagai penganut welfare state (Edi Suharto, 2006) pemerintah benar-benar membuktikannya pada bidang pendidikan yaitu menjamin akses pendidikan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. Secara generik rumusan tentang welfare state adanya intervensi Pemerintah terhadap: 1) regulation, 2) price subsidy, 3) public production, 4) income transfer (Nicholas A. Barr, 1992). Bidang pendidikan sebagai barang publik dalam banyak literatur diilustrasikan seperti pertahanan nasional yaitu dibiayai negara tetapi keberlangsungannya menjadi tanggung jawab bersama (David D. Dill, 2005). Hal yang sama 2 terdapat dalam Deklarasi Milenium PBB bahwa kebebasan dan kesamaan dibatasi dengan tanggungjawab bersama dalam bidang ekonomi dan perkembangan sosial (United Nation, 2000). Hal ini menjadi relevan karena pada akhirnya hasil pendidikan berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat. Dalam kaitannya pendidikan di Indonesia berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 (selanjutnya disebut dengan putusan MK), keberatan masyarakat sebagai pemohon sebagian besar dari kalangan pendidikan. Pada prinsipnya keberatan yang diajukan terletak pada beban biaya pendidikan yang tinggi dan bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan. Kenyataannya dalam penyelenggaraan perguruan tinggi kerap terjadi tegangan antara pengembangan ilmu dan komersialisasi. Sebuah perguruan tinggi harus menjaga idealisme pengembangan ilmu agar tidak terperosok dalam komersialisasi (Frans Magnis Suseno, 2012). Komersialisasi dilakukan dengan menjual kemampuan dan potensi perguruan tinggi diantaranya; biaya kuliah, penjualan penelitian, pelatihan-pelatihan dan kontrak kerjasama lainnya (D. Bruce Johnstone, 1998). Lars Engwall mempersamakan pengelolaan perguruan tinggi mirip dengan pengelolaan korporasi hanya tujuan akhirnya yang berbeda (Lars Engwall, 2008). Penyelenggaraan perguruan tinggi seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip nirlaba (das sollen), kenyataannya perguruan tinggi kerap mengambil laba (das sein). Perguruan tinggi di banyak negara lahir tanpa dasar hukum yang jelas (Kevin Kienser, 2005), ketidakjelasan dasar hukum pada umumnnya terjadi pada perguruan tinggi swasta di Amerika Serikat karena banyak dikendalikan oleh korporasi yang menyamar menjadi yayasan. Mengingat pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan lulusan perguruan tinggi dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan berdaya saing global (Engkoswara, 2000) kepastian hukum menyelenggarakan pendidikan menjadi sangat penting. Penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana implikasi putusan MK terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia, karena badan hukum pendidikan hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum. Permasalahan Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) Seperti apa pengaturan badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia? 2) Bagaimana bentuk badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia saat ini? Dan 3) Kebijakan yang seperti apa yang diperlukan untuk mengatur badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia? 3 Tujuan Tujuan penelitian ini memberikan saran dan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan di bidang pendidikan. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai yaitu: 1) Mengetahui bagaimana pengaturan badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia, 2) Memahami bagaimana bentuk badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia saat ini, dan 3) Sebagai salah satu sumbang saran dalam mengambil kebijakan mengatur badan hukum dan kelembagaan perguruan tinggi di Indonesia. Metode Penelitian Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum doktrinal dan non doktrinal, penelitian hukum doktrinal berusaha menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari dari fakta sosial yang bermakna hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2011). Soetandyo mengatakan bahwa metode hukum doktrinal merupakan istilah yang digunakan secara internasional sedangkan di Indonesia metode doktrinal ini dikenal dengan metode normatif. Untuk memperoleh karakteristik penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto diperlukan beberapa kriteria, yaitu; 1) mengkhususkan diri pada suatu aspek; 2) menelaah semua peraturan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan topik yang diteliti; 3) mengemukakan dependent dan independent variabel yang diteliti, 4) menggunakan teknik yang lazim digunakan (Soerjono Soekamto, 1984). Penelusuran kepustakaan yang dilakukan adalah meneliti sumber hukum dimulai dari Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 1961 hingga Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 beserta Peraturan Pemerintah terkait Sisdiknas. Independent variable penelitian ini adalah badan hukum pendidikan dan dependent variabel-nya kelembagaan perguruan tinggi. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Waktu penelitian yang dilakukan pada bulan Januari hingga bulan Mei 2012. Sebagai catatan, pada saat penelitian ini dilakukan pemerintah sedang membuat Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU-PT) sebagai respon pengaturan perguruan tinggi pasca Putusan MK. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dalam hal penelitian normatif, menurut B. Arief Sidharta merupakan dunia das Sollen-Sein, karena itu untuk mencapai tujuannya maka metode normatif harus mengakomodasi cara kerja metode empirik (B. Arief Sidharta, 2011). 4 Beberapa peneliti hukum menggunakan metode ini menurut Adilah Abd Razak untuk memahami teori dibalik undang-undang ‘some researchers use this approach to study legal doctrine and the underlying theory behind the doctrine’ (Adillah Abd. Razak, 2009). Untuk mempertajam analisis penelitian ini akan menyertai contoh penyelenggaraan pendidikan di Eropa. Alasan pemilihan pendekatan ini agar permasalahan dapat dipahami dengan lebih baik, berdasarkan hal di atas maka jenis penelitian yang dipilih deskriptif kualitatif, jenis penelitian ini banyak digunakan oleh ilmu-ilmu sosial diantaranya Ilmu Hukum. Penelitian kualitatif pada umumnya menggambarkan; fenomena budaya, perilaku manusia, dan proses pengambilan keputusan. Bagian terpenting dari penelitian kualitatif adalah menjawab ‘how’ dan ‘why’ dalam kenyataan (reality world) karena pada umumnya masalah-masalah sosial yang terjadi tidak pernah berdiri sendiri tetapi saling berkaitan satu sama lain (Linda Kalof, et al., 2008) Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto pengumpulan datanya dilakukan dengan menginventarisir bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum terdiri atas; 1) perundang-undangan yang berlaku, 2) praktek administrasi, 3) yurisprudensi, 4) hukum adat yang berlaku, 5) ajaran hukum dari sarjana-sarjana hukum, 6) asas-asas hukum positif. Bahan-bahan hukum secara lebih spesifik dijelaskan oleh Soetandyo Wignjosoebroto meliputi; 1) Bahan hukum primer yang terdiri dari seluruh hukum perundang-undangan yang berlaku dan/atau yang pernah berlaku, dan bahan hukum yang berasal dari proses yudisial, 2) Bahan hukum skunder yang terdiri dari karya-karya akademik untuk memperkaya pengetahuan tentang hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2011). Peraturan terkait penyelenggaraan perguruan tinggi sebagai Badan Layanan Umum juga ikut digunakan, yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum dan bahan hukum hasil proses yudisial, putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Bahan hukum skunder yang digunakan; teori badan hukum dalam hirarki norma berjenjang Hans Kelsen yang digunakan di dalam sistem hukum Indonesia. Karena begitu luas cakupan undang-undang sisdiknas maka penelitian ini membatasi pada peraturan hukum tentang perguruan tinggi dengan batasan badan hukum dan kelembagaannya. 5 Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan data termasuk mengatur, mengelompokan dan mengkategorikannya (Basrowi & Suwandi, 2009). Pada penelitian hukum (B. Arief Sidharta, 2011) menamakannya sebagai proses sistematisasi dan penstrukturan sejumlah aturan. Proses analisis data yang dilakukan pada penelitian ini pertama; mengelompokkan bahan hukum primer berdasarkan hirarki perundang-undangan berdasarkan tahun dikeluarkannya undang-undang perguruan tinggi sampai dengan undangundang yang masih berlaku. Kedua; peraturan pemerintah terkait tentang badan hukum penyelenggara perguruan tinggi berdasarkan tahun dikeluarkannya sejak awal dikeluarkannya hingga yang masih berlaku (paling baru). Ketiga; berusaha memahami pengaturan undangundang tersebut dari hirarki perundang-undangan tersebut apakah konsisten atau tidak. Keempat; membandingkan kelembagaan perguruan tinggi yang ada dengan kelembagaan perguruan tinggi di luar negeri untuk memperkuat analisis. Kelima; pengambilan kesimpulan dan memberikan rekomendasi dari hasil penelitian. KAJIAN PUSTAKA Hukum Pendidikan Dalam The Law of Higher Education karangan William A Kaplin dan Barbara A. Lee merumuskan lapisan hukum perguruan tinggi di Amerika Serikat. Berdasarkan urutan lingkaran/lapisan terluarnya terdiri atas; 1) Konstitusi Negara Federal, 2) Undang-Undang Negara Federal, 3) Peraturan Administrasi Federal, 4) Konstitusi Negara Bagian, 5) Peraturan Negara Bagian, 6) Keputusan yang dibuat oleh hakim (Jugde made law), 7) statuta perguruan tinggi yang juga termasuk peraturan internal perguruan tinggi (William A. Kaplin & Barbara A. Lee, 2007). Menurutnya perguruan tinggi harus memiliki statuta yang kokoh sebagai dasar penyelenggaraan perguruan tinggi. Penyelenggaraan perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai aktivitas yang dilakukan kelembagaan/organ-organ/pengurus perguruan tinggi. (Kelsen, 1971) berpendapat bahwa tindakan badan hukum (di sini adalah perguruan tinggi) hanyalah diakui selama diatur dalam anggaran dasar (statuta) badan hukum tersebut. Ia juga menegaskan bahwa sebuah badan hukum hanya ada melalui anggaran dasar (statuta) untuk menentukan tindakan organ-organ di dalamnya. Sehingga pada akhirnya statuta perguruan tinggi membentuk sebuah tatanan 6 dalam tatanan hukum negara. Karena berada dalam tatanan hukum negara maka perguruan tinggi harus tunduk pada aturan negara yang mengatur tentang dirinya. Gambar 1. Sumber Hukum Internal dan Eksternal Perguruan Tinggi Sumber: William A. Kaplin and Barbara A. Lee, The Law of Higher Education, 2007 Menurut William A. Kaplin dan Barbara A. Lee perguruan tinggi dapat terlihat sebagai suatu kegiatan usaha yang unik, karena tradisi yang dijaganya dan kesepakatan yang konsensual. Hubungan hukum perguruan tinggi terbagi menjadi dua bagian, yaitu; internal dan eksternal. Hubungan internal terdiri atas primary; hubungan antara penyelenggara dengan administrator dan staf, penyelenggara dengan faculty member, penyelenggara dengan mahasiswa. Secondary; hubungan antara administrator dan staf dengan faculty member, faculty member dengan mahasiswa, dan hubungan antara mahasiswa dengan administrator dan staff. Hubungan ini terjadi dalam tubuh perguruan tinggi. Hubunga eksternal penyelenggara perguruan tinggi berhubungan dengan dengan negara atau dengan badanbadan lainnya. Mengkaitkan lapisan hukum tersebut dengan hukum Indonesia sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, Maria Farida juga menamakan tingkatan norma juga sebagai lapisan-lapisan membentuk suatu hirarki (Maria Farida, 2011). 7 Teori Badan Hukum Badan hukum merupakan subjek hukum, karena di dalam hukum subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum (rechtpersoon) atau pribadi hukum. Sebab terbentuknya pribadi hukum ini biasanya karena kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu (Dedi Soemardi, 1996). Satjipto Rahardjo mengatakan; badan hukum merupakan ciptaan hukum (konstruksi fiktif) yaitu badan yang diciptakan itu sendiri dari corpus atau stuktur fisik dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian (Satjipto Rahardjo, 2006). Pendapat badan hukum ciptaan hukum juga sejalan dengan pendapat Subekti bahwa dalam badan hukum haruslah memuat anggaran dasar dan harus dimintakan persetujuan dari Menteri Kehakiman untuk selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara.Terhitung mulai pada hari dan tanggal pengumuman itulah baru dapat dinyatakan sebagai badan hukum (Subekti, 1984). Cara pengumuman ini hanya digunakan oleh penganut sistem hukum civil law, karena dalam sistem common law tidak dikenal adanya Pengumuman melalui Berita Negara (Rudhi Prasetya, 2011). Macam-macam teori badan hukum secara lengkap menurut (Chainur Arrasjid, 2004): 1) Teori fictie (khayalan buatan) yang dikemukakan oleh Von Savigny; mengatakan bahwa pada dasarnya memang manusia yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban, 2) Teori Schwarz; menyatakan bahwa persamaan antara badan hukum dengan manusia karena tujuan yang sama baik keuntungan bersama maupun tujuan yang sama, 3) Teori organ yang dikemukakan oleh Otto van Gierke; bahwa badan hukum merupakan realitas. Badan hukum mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yang mempunyai alat-alat perlengkapannya, dan dengan alat-alat kelengkapannya ini badan hukum melakukan kehendak dan kemauannya, 4) Teori proprete collective dari Planiol; bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Orang yang berhimpun itu merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum, 5) Teori kenyataan yuridis (yuridische realiteit) yang dikemukakan oleh Meijers, bahwa badan hukum dipersamakan dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja, 6) Teori harta kekayaan bertujuan (doel vermogens teori), bahwa hanya manusia yang menjadi subjek hukum, tetapi ada kalanya bukan manusia saja yang dapat mempunyai suatu kekayaan. Titik beratnya ada pada harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dituju. Dari teori-teori tentang badan hukum disertasi doktor Yetty Komalasari menegaskan teori badan hukum secara spesifik yaitu; 1) Teori Fiksi (De fictietheorie) yang memandang badan hukum adalah fiksi atau ciptaan menurut teori ini hanya pemerintah yang dapat 8 menciptakan badan hukum, 2) Teori kekayaan sebagai tujuan (De leer van het doelvermoden) yang dikemukakan oleh Brinz (Jerman) bahwa badan hukum sebagai suatu ikatan kerjasama untuk tujuan yang sama, 3) Teori Realitas Yuridis, (De theorieen van de realiteit van den rechtpersoon) yang dikemukakan oleh Meijers bahwa berbagai sistem hukum yang berbeda merupakan suatu kenyataan atau realitas hukum (Yetty Komalasari Dewi, 2011). Kesimpulan yang dapat diambil tentang badan hukum di Indonesia sebagai penganut sistem civil law; 1) dalam pembuatan badan hukum harus dilakukan oleh dua orang atau lebih, 2) pembuatan ini dilakukan atas dasar perjanjian dengan tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama, 3) membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), 4) adanya pengesahan oleh negara. Status badan hukum mulai terhitung sejak negara mengeluarkan Lembaran Negara (Pengumuman) badan hukum tersebut. Sebelum dikeluarkan pengesahan oleh negara maka yang berlaku adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam hal perjanjian ini Johanes Gunawan menjelaskan secara cermat dan lengkap fundasi perjanjian yaitu kebebasan berkontrak. Menurutnya, dalam asas kebebasan berkontrak para pihak pembuat perjanjian tidak sepenuhnya bebas, tetapi terikat batasanundang-undang. Batasan ini diatur dalam Burgelijke Wetboek (BW) pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian (Johanes Gunawan, 2008). Dengan demikian maka kesepakatan pembuatan badan hukum berdasarkan kesamaan tujuan dan tujuan bersama tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. ANALISIS Pengaturan Perguruan Tinggi Di Indonesia Dari uraian-uraian sebelumnya, dibuat ilustrasi undang-undang dan peraturan pemerintah berdasarkan waktu dikeluarkannya terkait pengaturan perguruan tinggi. Ilustrasi gambar di bawah menunjukan adanya 3 bentuk badan hukum penyelenggaraan perguruan tinggi, yaitu; 1) badan hukum perguruan tinggi pada umumnya, 2) badan hukum milik negara, dan 3) badan layanan umum. 9 Gambar 2: Lintasan Waktu Peraturan Hukum Pendidikan Badan hukum pendidikan mulai digagas dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 kemudian diikuti dengan PP No. 60 tahun 1999 yang sudah mengakui statuta perguruan tinggi. Perubahan signifikan dari PP sebelumnya adalah dimuatnya organ penasihat akademik (academic advisory). Posisi ini biasanya dipegang oleh senat perguruan tinggi. Kejanggalan gagasan badan hukum pendidikan yang diinginkan PP ini adalah ‘pemerintah dapat menetapkan badan hukum perguruan tinggi apabila dianggap layak dan mandiri’. Mengenai kemandirian di sini tidak dijelaskan secara jelas dan rinci. tetapi hanya mencantukan kemampuan dan kelayakan untuk mengelola secara mandiri (Pasal 123). Berarti kemandirian di sini bermakna banyak, kemandirian secara umum dapat diartikan melakukan seluruh aktivitasnya secara mandiri baik pengelolaan kurikulum, sumber daya manusia, maupun pembiayaan. Apabila dimaknai kemandirian secara ekonomi, seharusnya apabila perguruan tinggi telah dianggap mandiri dan ditetapkan menjadi badan hukum (BHMN) seperti yang diinginkan PP ini maka perguruan tinggi tersebut tidak lagi menjadi tanggung jawab pembiayaan pemerintah baik dalam pembiayaan sumber daya manusia maupun fasilitas pendidikan lainnya. Dari bentuk kemandirian yang diinginkan maka ini hanya terlihat pada PTN, tidak terjadi pada PTS karena PTS memang sejak didirikan pertama kali memang sudah mandiri dan dibiayai oleh masyarakat. Apabila bukan pemaknaan yang demikian, maka PTN tidak boleh sepenuhnya otonom. Harus ada intervensi pemerintah khususnya keterbukaan akses misalnya melalui penetapan biaya kuliah seperti di Perancis, Belgia, Bulgaria, Spanyol, Perancis, Belanda, Austria, Slovakia dan Scotlandia yang biaya pendidikannya ditentukan oleh pemerintah. 10 Berdasarkan informasi website Dikti dari 132 PTN di Indonesia hanya tujuh PTN yang memilih menjadi BHMN, lainnya adalah badan hukum biasa. Kejanggalan lainnya tidak ada satupun PTN yang memilih menjadi BLU kecuali pengelolaan keuangan atas berdasarkan perintah PP No. 66 Tahun 2010 pasca putusan MK. Sejak Undang-undang No. 22 Tahun 1961 pengaturan organisasi perguruan tinggi secara detail baru dimulai sejak dikeluarkannya PP No. 5 Tahun 1980. Fungsi kelembagaannya terbagi atas eksekutif yang dipegang oleh Rektor, pengambilan keputusan akademik oleh Senat yang terdiri dari para Guru Besar, unsur perwakilan lembaga internal dan mahasiswa. Advisory secara umum dipegang oleh Dewan Penyantun yang terdiri dari para tokoh masyarakat untuk menjembatani hubungan perguruan tinggi dengan masyarakat dan Pemerintah. Kekurangan pada PP ini yaitu pengurus PTN harus Pegawai Negeri Sipil sedangkan bagi PTS dibebaskan. PP ini juga belum mengakui statuta perguruan tinggi bagi PTN bagi PTS sudah termasuk dalam persyaratan pendiriannya. Pada PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai badan hukum kembali menegaskan bahwa perguruan tinggi bersifat nirlaba (pasal 2). Untuk ditetapkan menjadi BHMN harus memenuhi syarat anggaran dasar (statuta) yang mencakup nama, tempat, dan tata cara penyelenggaraan perguruan tinggi. Dalam penjelasan pasal 2; Status perguruan tinggi yang dirujuk dalam pasal ini adalah badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum pada umumnya. Pada dasarnya penyelenggaraan perguruan tinggi bersifat nirlaba. Walaupun demikian perguruan tinggi dapat menyelenggarakan kegiatan lain dan mendirikan unit usaha yang hasilnya digunakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi-fungsi utama perguruan tinggi. Dengan demikian, jelas bahwa PTN ingin ditetapkan menjadi BHMN dan ingin memiliki kebebasan sebagai mana layaknya badan hukum pada umumnya. Memahami penjelasan pasal ini agak sulit karena di satu pihak PTN milik pemerintah yang bersifat nirlaba, di lain pihak ingin bebas melakukan perbuatan hukum seperti badan hukum lain pada umumnya. Salah satu bentuk kebebasan perguruan tinggi adalah ‘dapat mendirikan unit usaha lainnya’. Selain itu PTN yang paling penting memerlukan kebebasan untuk mengatur sarana prasarana dan SDM didalamnya. Tetapi keleluasan menjadi badan hukum pada umumnya bukan satu-satunya pilihan. Karena dari segi tahun dan waktu dikeluarkannya undang-undang pada tahun 2004-2005 telah mengenal Badan Layanan Umum (BLU) sebelum dikeluarkannya Undang-Undang BHP pada tahun 2009 dan anehnya BLU tidak sejak awal dipilih oleh pemerintah atau pembuat undang-undang. 11 Pemerintah seharusnya langsung menunjuk perguruan tinggi menjadi Badan Layanan Umum (BLU) sejak awal. Karena BLU merupakan cara mewirausahakan birokrasi pemerintah yang berangkat dari konsep entreprenuership yang dibangun Joseph Schumpeter tahun 1934 lalu dikembangkan oleh Peter Drucker 1968 hingga menjadi reinventing government (dalam David Osborne & Ted Gaebler, 1992) yang menurutnya memiliki kelebihan tersendiri untuk dapat beradaptasi di tengah-tengah persaingan pasar dan rantai birokrasi yang rigid. Secara filosofis sebuah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta misi yang diembannya sama yaitu: “to provide instruction to students, but also to produce research, provide public service, and generally contribute to society’s understanding of the world” (Daniel L. Bennett, 2010). Di Indonesia mewirausahakan birokrasi pemerintahan memiliki dasar hukum Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Apabila dikelompokkan menurut jenisnya layanan ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; 2) BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu; dan 3) BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai (Joko Supriyanto & Suparjo, 2008). BLU adalah badan layanan yang dipimpin oleh seorang pimpinan bertanggung jawab kepada menteri dengan menandatangani sebuah kontrak kinerja (a contractual performance agreement). BLU diwajibkan untuk memiliki standar pelayanan minimum dan memiliki rencana kerja dan anggaran serta rencana bisnis dan anggaran (RBA). BLU sebagai bagian dari Institusi/Kementrian untuk melayani masyarakat. BLU bukan badan pelayanan gratis, karena dapat memungut biaya dari masyarakat tetapi atas dasar perhitungan yang tidak memberatkan masyarakat. Berorientasi pada keberlanjutan dan pengembangan layanan, daya beli, asas keadilan dan kepatutan, serta asas kompetisi yang sehat. Selain mendapat APBN BLU dapat menerima hibah dari masyarakat dan dapat melakukan investasi jangka panjang atau mendirikan perusahaan atas persetujuan menteri. Dengan keuntungannya merupakan milik menteri (Pemerintah). Keunikan BLU dalam organ perguruan tinggi bahwa pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU tidak harus Pegawai Negeri Sipil. Tetapi dapat dijalankan oleh tenaga profesional. Ini merupakan keleluasaan BLU beroperasi dengan optimal dan profesional. 12 BLU baru menjadi pilihan pasca putusan MK dan dimuat PP No. 66 tahun 2010 yaitu pengelolaan keuangan penyelenggara pendidikan menggunakan pola keuangan BLU. Seharusnya langkah sudah diambil dari awal karena filosofi BLU adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN salah satu cabang yang ingin diamankannya adalah pendapatan negara dan dalam penyelenggaraannya tetap mengutamakan profesionalitas dengan tidak melupakan unsur pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini adalah menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang bermutu dengan kepada seluruh warga negara Indonesia melalui sistem pendidikan nasional. Dengan misi yang diemban untuk berkontribusi positif kepada bangsa dan negara. Syarat lain yang ditetapkan oleh PP No. 61 Tahun 1999 adalah adanya Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ perguruan tinggi representasi pemerintah dan masyarakat (pasal 8). Apabila membandingkan kelembagaan PTN yang tidak ditetapkan menjadi BHMN, kedudukan MWA seharusnya dapat diakomodir dengan Dewan Penyantun. Karena kedudukan organ ini sama-sama mewakili unsur masyarakat dan pemerintah untuk menjembatani perguruan tinggi dengan masyarakat dan pemerintah. Perbedaan yang paling mencolok hanya terletak pada kewenangan MWA memberhentikan dan mengangkat Rektor dengan hak suara 65 persen, sedangkan 35 persen hak suara dipegang oleh Menteri. Perbedaan lainnya Ketua MWA tidak otomatis dipegang oleh Rektor, tetapi harus memilih dari anggota MWA selain Rektor. Sebenarnya pengaturan ini dapat ditetapkan dalam statuta perguruan tinggi, apabila melihat kelembagaan di Eropa posisi seperti MWA tidak diwajibkan seperti di Islandia, Finlandia, Romania, Malta, Perancis, Yunani, Republik Ceko, dan Belgia posisi ini boleh ada dan boleh tidak ada (tidak dimandatkan undang-undang) oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan juga untuk dirangkap oleh senat atau Dewan Penyantun. Badan Hukum dan Kelembagaan Perguruan Tinggi Konsepsi tentang badan hukum secara umum dari uraian sebelumnya maka dapat diambil ringkasan, sebagai berikut; 1) dalam pembuatan badan hukum umumnya dilakukan oleh dua orang atau lebih, 2) pembuatan ini dilakukan atas dasar perjanjian dengan tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama, 3) membuat AD/ART anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (statuta perguruan tinggi), 4) adanya pengesahan oleh negara. Status badan hukum mulai terhitung sejak negara mengeluarkan Lembaran Negara (Pengumuman) badan hukum tersebut. Sebelum dikeluarkan pengesahan oleh negara maka yang berlaku adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Menurut (Rudhi Prasetya, 2011) pelanggaran 13 terhadap anggaran dasar maka apabila organ dalam badan hukum melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga maka apabila terjadi wanprestasi maka pihak ketiga tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada badan hukum tersebut tetapi pertanggungjawaban ada pada organ yang melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga tersebut. Sedangkan landasan filosofis ijin dari pemerintah untuk melakukan usaha baik sosial maupun bisnis pada badan hukum memerlukan izin dari pemerintah ini bermula sejak dikeluarkannya ordonantie tahun 1933-1934. Pada waktu itu dunia ditimpa suatu depresi (malaise) sehingga aktivitas usaha badan memerlukan izin dari pemerintah agar dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Dalam konteks perguruan tinggi, maka berdasarkan peraturan yang berlaku maka dibuat skema di bawah ini: Skema 1: Pendirian Perguruan Tinggi dan Perbuatan Hukum Perguruan Tinggi Diolah: Maret 2012 Tahapan awal dalam pendirian perguruan tinggi landasan berdasarkan skema di atas, maka persyaratannya setidaknya memiliki 6 kriteria diantaranya memiliki statuta perguruan tinggi, sedangkan tata cara pendiriannya harus mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan. Berangkat dari konsep pemerintah memberikan izin dalam pendirian perguruan tinggi maka pemerintah sudah pasti mempertimbangkan keberlangsungan perguruan tinggi tersebut. Selain itu konsep pendirian badan hukum sudah dilalui semua hanya yang membedakan tidak dikeluarkannya lembaran negara oleh Menteri Hukum dan HAM. Tetapi secara konsep pendirian perguruan tinggi dan pendirian badan hukum sama-sama telah diijinkan pendiriannya oleh pemerintah. Pada kenyataannya perbuatan hukum yang dapat 14 dilakukan oleh PT BHMN maupun PT biasa terbatas dalam hal kerjasama luar negeri. Oleh sebab itu konsepsi BHP menjadi tidak terlalu signifikan kegunaannya. Membandingkan penyelenggaraan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat terdapat perbedaan, di Amerika Serikat perguruan tinggi besar di dominasi oleh perguruan tinggi swasta, sedangkan di Eropa perguruan tinggi besar di dominasi oleh perguruan tinggi negeri. Jumlah PTN di Indonesia berdasarkan website Dikti sebanyak 132 (Dikti, 2012) secara kuantitas lebih sedikit dari PTS yang mencapai 3100 lebih. Merujuk amanat UndangUndang Dasar 1945 bahwa pendidikan dijamin dengan alokasi APBN maka sebaiknya kebijakan perguruan tinggi Indonesia melihat Eropa bukan Amerika Serikat. Secara umum reformasi pendidikan di Eropa berawal dari Sorbonne Declaration tahun 1998 digagas oleh empat Menteri Pendidikan dari Perancis, Jerman, Italia dan Inggris. Agenda pada waktu itu adalah konvergensi pengaturan dan kualifikasi pendidikan, mobilitas mahasiswa dan dosen, dan keseragaman level dan gelar perguruan tinggi. Menindaklanjuti Deklarasi Sorbone, tahun 1999 diselenggarakan Deklarasi Bologna sebagai tonggak sejarah pengaturan perguruan tinggi Eropa yang diikuti 29 negara anggota Uni Eropa (UE). Agenda deklarasi ini adalah penyamaan gelar antar perguruan tinggi di Eropa, penetapan sistem kredit yang sama, mendukung mobilitas mahasiswa, dosen, peneliti dan staf akademik, peningkatan mutu pendidikan (quality assurance), dan pengembangan kerjasama perguruan tinggi antar negara-negara anggota UE (laporan Eurdice, 2010) Kelembagaan perguruan tinggi di kawasan Eropa berdasarkan riset Eurydice secara umum terbagi atas; executive head, yang mengurusi kegiatan harian perguruan tinggi (Rektor). Academic body umumnya terdiri dari para anggota atau staff perguruan tinggi tersebut (Senat). Decision-making body sebagai badan yang bertanggung jawab atas perencanaan strategi pendidikan dan penelitian serta penentuan kebijakan dan pengembangan institusi (Board/Dual Senat). Badan ini juga memiliki wewenang memodifikasi kelembagaan dan statuta perguruan tinggi. Terakhir adalah advisory/supervisy body, dapat dipersamakan seperti Dewan Pembina atau MWA yang memberikan bimbingan terhadap perspektif eksternal perguruan tinggi. Penasehat atau supervisi pada intinya menghubungkan perguruan tinggi dengan dunia kerja, masyarakat dan pemerintah. Ini dimaksudkan untuk menjaga keluaran perguruan tinggi agar selalu terserap di masyarakat (Laporan Eurdice, 2008). Empat fungsi kelembagaan ini wajib ada pada setiap perguruan tinggi walaupun terkadang Senat melakukan fungsi rangkap selain sebagai penasehat akademik juga sebagai 15 pengambil keputusan (dual senate). Tetapi ada juga yang menganut model dua senat yang terdiri dari senat perguruan tinggi dan industri/dunia kerja. Tabel di bawah ini mencoba mendudukan kelembagaan PTN BHMN berdasarkan empat pembagian kelembagaan di atas: Tabel 1. Kelembagaan PTN Yang Sudah Menjadi BHMN Sumber: Diadopsi dari Peraturan-Peraturan Pemerintah Tentang Penetapan PTN Menjadi BHMN Membandingkan dengan kelembagaan UI dan UGM dengan negara di Eropa maka model ini mengadopsi kelembagaan seperti di Jerman dengan eksekutif dipegang oleh Rektor, academic body dipegang oleh pimpinan universitas (Senat), pengambil keputusan dipegang oleh MWA. Model kelembagaan seperti ini juga dilakukan di Spanyol. Sedangkan UPI, UNAIR dan IPB mengadopsi kelembagaan Austria dengan eksekutif dipegang oleh Rektor, academic body oleh senat, pengambilan keputusan dan penasehat dipegang oleh (MWA). ITB dan USU mengadopsi kelembagaan Swedia, dengan eksekutif dipegang oleh Rektor, academic body oleh Senat dan pengambil keputusan dan penasehat dipegang oleh MWA. Bagi perguruan tinggi yang bukan BHMN, MWA tidak dimandatkan maka menjadi sama seperti kelembagaan di Belgia, Yunani, Perancis, Malta, Romania, Finlandia dan Islandia. Kedudukan eksekutif umumnya dipegang oleh Rektor, acedemic body dan pengambil keputusan dipegang oleh senat, penasehat dipegang oleh Dewan Penasihat. Langkah yang diambil pemerintah dalam membuat klasifikasi kemandirian perguruan tinggi dapat di lihat dari naskah akademik rancangan undang-undang perguruan tinggi tahun 2010 yang membagi fungsi perguruan tinggi berdasarkan kemandirian pada tabel di bawah ini. 16 Tabel 2. Fungsi Perguruan Tinggi Berdasarkan Kemandirian Yang Diberikan Oleh Pemerintah No. Unsur 1 Domein Pemerintah untuk memberikan kemandirian 2 Kemampuan PT memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara Kemampuan PT menyelenggarakan program. Kemampuan PT menyelenggarakan program pendidikan 3 4 5 Kemampuan PT menyelenggarakan bentuk perguruan tinggi PT Mandiri Penuh PTP 1. Tata kelola 2. Pengelolaan keuangan, kepegawaian, aset dan sarana, kegiatan akademik PTM Pengelolaan kegiatan akademik PT Mandiri Sebagian PTP Pengelolaan keuangan melalui PPKBLU Wajib 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. Program Akademik Program Profesi Program vokasi Program Diploma Program Sarjana Program Magister Program Spesialis Program Doktor Universitas Institut Sekolah Tinggi Politeknik Akademi PTM Pengelolaan kegiatan akademik Dapat 1. 2. Program Akademik Program vokasi 1. 2. 3. Program Diploma Program Sarjana Program Magister PT-UPT Pemerintah PTP Tidak ada kemandirian Tidak wajib Sumber: Naskah Akademik, Rancangan Undang-Undang Tentang Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Dewan Pendidikan Tinggi Desember 2010, Versi 8 Desember 2010. Perbedaan pembagian kewenangan seharusnya diberi keleluasaan penuh pada masingmasing perguruan tinggi sesuai kebutuhan. Kelembagaan ini sekurang-kurangnya harus terdiri dari Rektor, Senat, dan Dewan Penasehat dengan tugas dan kewenangan masingmasing sesuai kebutuhan perguruan tinggi yang bersangkutan. Walaupun kadang ada kewenangan rangkap semuanya bergantung pada kebutuhan perguruan tinggi. Di sini salah satu letak otonomi perguruan tinggi untuk menentukannya. Pada umumnya kelembagaan ini tertulis dalam statuta perguruan tinggi sehingga menjadi jelas untuk dijadikan pedoman. Pembagian kemandirian seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah. Apabila Pemerintah memilih untuk membedakan kemandirian untuk berkontribusi pada bangsa dan negara maka pemerintah secara tidak langsung tidak mempercayai suatu PT yang dianggap tidak mandiri. Apabila pemerintah tidak mempercayainya maka untuk apa pemerintah mengijinkan pendirian PT tersebut? Lalu untuk apa pemerintah membuat standarisasi mutu melalui sistem penjaminan mutu dan bentuk standarisasi lainnya? Selain itu yang paling penting adalah pembagian kemandirian ini otomatis menghambat sistem 17 pendidikan nasional yang menjadi ruh dari undang-undang pendidikan. Sistem pendidikan nasional seharusnya menjadi sebuah tatanan sistem pendidikan yang tidak membeda-bedakan perguruan tinggi satu sama lainnya. Oleh sebab itu seharusnya pembagian kemandirian ini tidak perlu dilakukan karena memberikan kesan membeda-bedakan perguruan tinggi satu sama lainnya. Apabila merujuk pengaturan perguruan tinggi di Eropa yang diukur bukan kemandirian tetapi yang diukur adalah keluarannya atau kontribusinya kepada bangsa. Dengan kontribusi yang tinggi maka pembiayaan riset dan pembangunan fasilitas dapat menjadi perhatian pemerintah. Apabila kontribusi rendah maka perguruan tinggi tersebut dapat terancam tidak dibiayai atau bahkan ditutup karena menjadi beban pemerintah. Mengambil contoh perguruan tinggi di Eropa seperti di Austria, undang-undang melarang pemerintah membiayai PTS, di Malta apabila perguruan tinggi melakukan pinjaman melebihi Rp 800 juta harus mendapat ijin terlebih dahulu dari menteri. Negara lainnya seperti; Belgia, Jerman, Irlandia, Perancis, Belanda, Inggris perguruan tinggi harus terlebih dahulu mendapat ijin dari menteri untuk dapat melakukan pinjaman uang. Pertimbangan besaran pemberian dana umumnya didasarkan pada kriteria; 1) jumlah publikasi yang masuk jurnal internasional, 2) jumlah dosen bergelar Magister maupun Doktor Universitas, 3) jumlah dana riset kompetitif yang diterima Universitas, 4) jumlah proyek yang dihasilkan menjadi hak atas kekayaan intelektual, 5) jumlah penghargaan, dan 6) jumlah proyek penelitian internasional. Dengan cara seperti ini Universitas semakin kompetitif dalam pengembangan ilmu karena semakin banyak prestasi akademik berpeluang untuk di danai lebih besar. Implikasi Gagasan Badan Hukum Pendidikan Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 berisi, kesatu; pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas frasa, "bertanggungjawab" harus dimaknai ikut bertanggung jawab. Kedua; pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 20 tahun 2003 bahwa "badan hukum pendidikan" harus dimaknai sebagai penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Ketiga; menyatakan pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 20 tahun 2003, ".... yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga menjadi "mendapat beasiswa bagi yang berprestasi". Keempat; menyatakan Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan keterangan empat orang saksi yang diajukan pemerintah, Johanes Gunawan sebagai salah satu saksi ahli mengatakan: 1) Latar belakang BHP didasarkan pada hakikat 18 perguruan tinggi, dan karena ada perintah undang-undang in casu Undang-Undang Sisdiknas; 2) Agar perguruan tinggi memiliki otonomi maka harus diberi status sebagai badan hukum yang terpisah dari penyelenggaranya; 3) Pembentuk undang-undang sungguh-sungguh memperhatikan putusan MK yang pada pokoknya yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis yang sudah ada yang menyelenggarakan pendidikan tidak perlu mengubah bentuknya dalam waktu yang tidak ditentukan tetapi harus menyesuaikan tata kelolanya sesuai tata kelola BHP; 4) Prinsip tata kelola yang dimaksud oleh Undang-undang BHP adalah tugas dan wewenang organ-organ BHP yakni; organ representasi pemangku kepentingan, organ pengelolaan pendidikan, organ audit non akademik, dan organ representasi pendidik, ditambahkan pada tugas dan wewenang organ-organ dari yayasan, yaitu pembina, pengurus dan pengawas; 5) Berkaitan dengan jabatan organik dalam pendidikan tinggi seperti Rektor, Dekan dan lain-lain diserahkan kepada pengurus yang disahkan oleh Pembina; 6) Pendanaan dalam BHP terdiri atas lima komponen, yakni; biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan; 7) Biaya operasional untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh BHP, pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung minimal 50% sedangkan biaya operasional yang diizinkan untuk dibebankan kepada mahasiswa perguruan tinggi setelah perguruan tinggi berstatus BHPP maka mahasisiwa tersebut hanya boleh dibebani maksimal sepertiga dari biaya operasional; 8) Perguruan tinggi yang berstatus BHPP wajib menjaring mahasiswa yang kurang mampu sebanyak 20% dari seluruh mahasiswa baru; 9) Undang-Undang Dasar 1945 hanya mewajibkan pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar, sedangkan untuk pendidikan tinggi Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, namun, Undang-undang BHP justru melebihi dari kewajiban pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yakni biaya investasi 100% dan sepertiga biaya operasional; 10) Bahwa dengan Undang-undang BHP tidak ada pemindahan status PNS menjadi pegawai BHP yang ada adalah PNS yang ada di satuan pendidikan dimaksud akan menjadi PNS DPK di BHP yang bersangkutan; 11) Bahwa benar pendidikan adalah public goods tetapi tidak benar kalau dikatakan dengan berstatus sebagai badan hukum perdata sifat dari public goods menjadi berubah seperti jalan tol adalah public goods tetapi badan pengelolanya adalah badan hukum perdata; 12) Bahwa tidak benar dengan BHP maka terjadi komersialisasi pendidikan karena dalam komersialisasi dikandung pengertian ketika mendapat sisa hasil usaha maka sisa hasil usaha dibagikan kepada pemegang saham, sedangkan BHP tidak di desain atas dasar saham (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2009). 19 Argumentasi pemohon uji materil secara praktek BHP mengikis keberadaan yayasan yang selama ini telah ada dan menyelenggarakan pendidikan, padahal telah berjalan sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Ketentuan mengenai pailit yang menyatakan apabila BHP bubar karena pailit maka berlaku undang-undang kepailitan juga menuai protes. Pemohon menganggap bahwa badan hukum pendidikan dipersamakan seperti badan usaha, sedangkan konstitusi mengamanatkan negara menjamin keberlangsungan pendidikan. Permasalahan lainnya dalam Undang-undang BHP terdapat inkonsistensi antara prinsip nirlaba pendidikan dengan pengaturan BHP yang menggambarkan paradigma model korporasi. Prinsip nirlaba yang melegitimasi investasi sesungguhnya sudah diakomodir dalam PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Selain itu dalam konsideran ‘mengingat’ Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak mencantumkan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 23 tentang Badan Layanan Umum. Apabila demikian maka undang-undang BHP tidak menganut sistem BLU, tetapi menghendaki untuk memiliki sistem tersendiri. Pasca putusan MK tahun 2009 pemerintah merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 170/D/T/2010 tanggal 17 Februari 2010 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Menjadi Badan Hukum Pendidikan. Surat Edaran ini diperuntukan kepada 84 PTN dengan klasifikasi 7 PT BHMN, 18 PT yang menerapkan BLU, 16 PT kategori besar, 10 PT kategori sedang, dan 33 PT kategori kecil (Mendiknas, 2010). Terlihat sangat jelas bahwa gagasan terobosan hukum untuk membuat Badan Hukum Pendidikan Pemerintah tidak berjalan secara efektif karena terlihat sangat jelas PTN tidak menjalankan sepenuhnya. Dampak gagasan BHP malah ditunjukan dari 84 PTN adanya kasta pada perguruan tinggi. Oleh sebab itu seharusnya pemerintah harus lebih matang mempertimbangkan hal ini sebelum langsung menerapkannya pada perguruan tinggi. Dampak lainnya karena namanya adalah undang-undang BHP maka kebijakan ini menyapu PTS yang dalam hal ini tidak perlu diatur, mungkin apabila pemerintah menginginkan BHP untuk menertibkan PTN tidak ada salahnya untuk menamakan undang-undang BHP ini adalah Undang-Undang Perguruan Tinggi Negeri sehingga tidak berdampak pada PTS. Sehubungan dengan hal ini, menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas ‘Pasal 53 Undangundang Sisdiknas tidak ada rujukannya dalam Undang-undang Dasar 1945, karena yang diatur hanya menyangkut tata kelola sehingga yang diurus hanya soal teknis yang sebenarnya tidak perlu diatur dalam undang-undang melainkan cukup dalam AD/ART’. 20 Perguruan tinggi negeri dan swasta tidak perlu diseragamkan karena secara filosofis latar belakang pendiriannya berbeda. Sejak Undang-undang No. 22 Tahun 1961 hingga kini Undang-undang No. 23 Tahun 2003, pemerintah memang membedakan penyelenggaraan pendidikan PTN dan PTS. Kesulitan penyeragaman PTS dan PTN menjadi satu bentuk karena terletak pada pengelolaannya. PTS pengelolaannya sangat unik, merujuk pendapat Osborne dan Gaebler, Kevin Kiesner memberi contoh salah satu masalah dalam pengelolaan PTS disebabkan banyak PTS dimiliki dan dikuasai oleh keluarga tertentu (family business), bahkan menurutnya di Cina perguruan tinggi diperbolehkan untuk menjual sahamnya. PTS terbentuk dan beroperasi berdasarkan perjanjian suka sama suka meski prinsip pengelolaannya nirlaba pada prakteknya bisa sebaliknya di sinilah keterbatasan hukum menjangkaunya (Kaplin & Lee, 2007). Hal penting yang terlupakan dalam pengaturan perguruan tinggi bahwa ruh undangundang sisdiknas adalah membuat sebuah tatanan sistem pendidikan nasional ala Indonesia sejak tingkat PAUD sampai dengan perguruan tinggi yang mengemban misi membangun bangsa. Klasifikasi perguruan tinggi mandiri dan tidak mandiri menjadi tidak masuk akal dengan sistem pendidikan yang saat ini ada. Seharusnya pada perguruan tinggi wajib mengemban misi pembangunan nasional tanpa melihat PTN ataupun PTS dengan ukurannya adalah outcome dalam pengembangan ilmu dasar dan ilmu terapan. Klasifikasi perguruan tinggi yang ditujukan dengan status badan hukum dan kelembagaannya membuat penyelundupan pertanggungjawaban perguruan tinggi kepada pemerintah dan masyarakat. Bagi pada perguruan tinggi yang dalam kaca mata pemerintah besar dan diwajibkan untuk berkontribusi apakah kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan pada tingkat ASEAN atau dunia? Mengingat masih banyak jumlah pengangguran terdidik saat ini di Indonesia dan berbagai problematika bangsa yang menuntut perguruan tinggi untuk dapat menyelesaikannya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil yaitu: 1) Undang-undang BHP mencoba menggagas unifikasi bentuk badan hukum perguruan tinggi. Tetapi akibat dari putusan MK bentuk badan hukum perguruan tinggi kembali menjadi 3 bentuk. Adapun makna unifikasi ini adalah untuk kemandirian dan keleluasaan perguruan tinggi dalam melakukan perbuatan hukum 21 sebagaimana layaknya badan hukum pada umumnya. Ini ditunjukan dari bentuk kelembagaannya yang berbeda dari kelembagaan sebelumnya; 2) Karena telah terjadi ketidakpastian hukum maka pemerintah mengambil langkah melalui putusan Dirjen Dikti yang mengarahkan perguruan tinggi menjadi BLU dengan waktu yang diberikan sampai dengan desember 2012; 3) Kebijakan pendidikan seharusnya mengarah pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yaitu biaya pendidikan murah. Dari instrumen hukum yang ada maka pemerintah dapat memilih BLU sebagai bentuk badan hukumnya dengan kelembagaannya yang tetap diberi kebebasan pada masing-masing perguruan tinggi. Saran Atas dasar simpulan, disarankan; 1) Pemerintah memang sudah mengambil langkah positif dengan mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Dikti untuk mengarahkan perguruan tinggi kepada BLU pasca putusan MK hanya saja seharusnya bentuk perintah ini tidak dalam lingkup surat edaran karena secara hirarki peraturan perundang-undangan, Surat Edaran Menteri lebih rendah daripada undang-undang atau peraturan pemerintah tentang penetapan perguruan tinggi menjadi BHMN. Untuk menjawab hal ini pemerintah dapat menaikannya gagasan ini ke tingkat yang lebih tinggi atau memasukan ke dalam rancangan undang-undang perguruan tinggi (pada saat tulisan ini dibuat belum disahkan menjadi undang-undang); 2) Bentuk badan hukum dalam undang-undang mempengaruhi bentuk kelembagaan sebuah perguruan tinggi. Karena bentuk kelembagaan perguruan tinggi BHMN dan perguruan tinggi pada umumnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sebaiknya pemerintah membuat sebuah kebijakan yang meminta pertanggungjawaban outcome dan output kepada perguruan tinggi dengan pusnishment and reward yang sebanding; 3) Kaitannya dengan undang-undang lain dalam konseps badan hukum, maka gagasan pemerintah dalam membuat badan hukum pendidikan malah membuat bentuk badan hukum menjadi tiga bentuk. Agar ruh Sistem Pendidikan Nasional tidak terganggu penertiban bentuk perguruan tinggi harus diprioritaskan. Misi yang diemban oleh perguruan tinggi, khususnya PTN adalah pelayanan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. 22 PUSTAKA ACUAN Adilah Abd. Razak, (2009), Understanding Legal Research, Integration and Dissemination, Universiti Putra Malaysia. Phann Sambo, (2011), Sistem Pendidikan Nasional sebagai Upaya Membangun Sumber Daya Manusia di kamboja, dalam Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Gava Media, Yogyakarta. Asep Warlan, (2008), Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam Demokrasi yang Berkeadilan, dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Penyunting, Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung. B. Arief Sidharta, (2011), Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Editor, Sulistyowati Irianto & Shidharta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta. Basrowi & Suwandi, (2009), Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta. Chainur Arrasjid, (2004) Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta. D. Bruce Johnstone, (1998), The Financing and Management of Higer Education: A Status Report on Worldwide Reforms, State University of New York Buffalo With The Collaboration of The World Bank, UNESCO World Conference on Higher Education, Paris, Oktober. Daniel L. Bennett, Adam R. Lucchesi, and Richard K. Vedder, (2010), For-Profit Higher Education, Growth, Innovation and Regulation, A Policy Paper from the Center for College Affordability and Productivity, Washington DC. David D. Dill, (2005) The Public Good, the Public Interest, and Public Higher Education, Public Policy for Academic Quality (PPAQ), University of New York. David Osborne and Ted Gaebler, (1992) Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley Publishing Company, Fifth Printing, USA. Dedi Soemardi, (1996), Pengantar Hukum Indonesia Suatu Studi tentang Hukum Positif, Indo Hill Co. Jakarta. Dirjen Dikti, Perguruan Tinggi Negeri, http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_qcontacts&view=category&catid=53&I temid=197&limitstart=75, diakses Maret 2012 Disarikan oleh Joko Supriyanto dan Suparjo, (2008), Badan Layanan Umum: Sebuah Pola Pemikiran Baru atas Unit Pelayanan masyarakat, Workshop Penyusunan RPP tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Jakarta. Edi Suharto, (2006), Seminar yang bertajuk “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia” dilaksanakan di Wisma MMUGM, Yogyakarta. Engkoswasa, (2000), Menuju Indonesia Modern 2020, Yayasan Amal Keluarga, Bandung. Eurydice, (2010), Focus on Higher Education in Europe 2010, The Impact of the Bologna Process, European Commision, Brusel. 23 Eurydice, (2008), The information Network on Education in Europe, Higher Education Governance in Europe, policies, Structures, Funding and Academic Staff, Eurydice, European Unit, Belgium. Frans Magnis Suseno, (2012), Learning Without Borders: Empowering Gen Y Learners Seminar, Binus University. Johanes Gunawan, (2008), Kajian Ilmu Hukum tentang Kebebasan Berkontrak, dalam ButirButir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Penyunting; Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung. Kevin Kinser and Daniel C. Levy, (2005), The For-Profit Sector, U.S. Patterns and International Echoes in Higher Education, Program for Research on Private Higher Education (PROPHE), PROPHE Working Paper Series, New York. Lars Engwall, (2008), The University: A Multinational Corporation, Journal of Business Studies, Volume Compilation, Uppsala, Sweden. Linda Kalof, Amy Dan, Thomas Dietz, (2008), Essentials of Social Research, McGraw Hill, Open University Press, New York. Majelis Permusyawaratan Rakyat, (2003), Sekretariat Jenderal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah, Jakarta. Maria Farida I.S, (2011), dalam Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, Legislative Drafting, Seri Naskah Akademik Pembentukan PERDA, Total Media, Yogyakarta. Menteri Pendidikan Nasional, (2010), Surat Edaran No. 170/D/T/2010, Kementerian pendidikan nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. Nicholas A. Barr, (1992), Economic Theory and The Welfare State: a Survey and Interpretation, LSE Research Online, Journal of Economic Literature, American Economic Association. Putusan Mahkamah Konstitusi, (2009), Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Republik Indonesia, Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1980 tentang Pokok-Pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. 24 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Rudhi Prasetya, (2011), Perseroan Terbatas Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Cetakan pertama, Jakarta. Satjipto Rahardjo, (2006), Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung. Soerjono Soekanto, (1984), Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Cetakan Ketiga. Soetandyo Wignjosoebroto, (2011), Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Editor: Sulistyawati Irianto & Sidharta, Yayasan Pustaka Obor, Cetakan kedua, Jakarta. _____________________, (2011), Ragam-Ragam Penelitian Hukum, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Editor: Sulistyawati Irianto & Sidharta, Yayasan Pustaka Obor, Cetakan kedua, Jakarta. Subekti, (1984) Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cetakan IX, Jakarta. United Nations, (2000), General Assemblym Resolution by the General Assembly, 18 September. William A. Kaplin and Barbara A. Lee, (2007), The Law of Higher Education Fourth Edition, Student Version, John Wiley & Sons, Inc, San Francisco, United States of America. Yetty Komalasari Dewi, (2011), Disertasi Doktor Pemikiran Baru tentang Commanditaire Vennootschap (CV) (Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan Pengadilan Indonesia dan Belanda), Badan Penerbit FHUI, Jakarta. 25