determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan

advertisement
 UNIVERSITAS INDONESIA
DETERMINAN PERILAKU PERAWAT
DALAM MELAKSANAKAN KESELAMATAN PASIEN
DI RAWAT INAP RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
JAKARTA
TESIS
Oleh:
SRI MULYATININGSIH
1006834031
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
DETERMINAN PERILAKU PERAWAT DALAM
MELAKSANAKAN KESELAMATAN PASIEN
DI RAWAT INAP RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
JAKARTA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Manajemen dan
Kepemimpinan Keperawatan
Oleh:
SRI MULYATININGSIH
1006834031
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN KEPERAWATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Sri Mulyatiningsih
NPM
: 1006834031
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 17 Januari 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepadaMu ya Allah SWT, atas berkat
rahmat dan ridho-Mu tesis dengan judul “Determinan Perilaku Perawat dalam
Melaksanakan Keselamatan Pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta” telah
selesai. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Berbagai hambatan dapat saya atasi atas dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak selama penyusunan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Hanny Handiyani, S.Kp, M.Kep
selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Rr. Tutik Sri Hariyati, S.Kp., MARS selaku
pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan
dengan penuh kesabaran. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D
2.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI, Ibu Astuti Yuni
Nursasi, MN.
3.
Seluruh civitas akademika FIK Universitas Indonesia
4.
Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa beserta staf dan perawat RSAU
dr.Esnawan Antariksa tempat penelitian ini dilaksanakan.
5.
Kepala RSAL Mintohardjo beserta staf dan perawat RSAL Mintohardjo
tempat uji validitas dan reliabilitas dilaksanakan.
6.
Nisa Akmadina, Abi Akmal, mama, apa, kakak, dan adikku serta temanteman yang telah mendoakan, menyemangati dan mendukung dalam
penyelesaian tesis ini.
7.
Rekan-rekan Mahasiswa Magister Keperawatan FIK UI angkatan 2010
terutama program kekhususan Manajemen dan Kepemimpinan Keperawatan.
Semoga bantuan serta budi baik yang telah diberikan mendapatkan balasan
kebaikan dari Allah SWT. Saya berharap penelitian ini bermanfaat.
Depok, 17 Januari 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama
NPM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya
: Sri Mulyatiningsih
: 1006834031
: Pasca Sarjana
: Ilmu Keperawatan
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-ExclusiveRoyalty-Fee Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di Rawat
Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Non
Ekslusive
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalih-
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta ijin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tanggal: 17 Januari 2013
Yang menyatakan
(Sri Mulyatiningsih)
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Nama
Program Studi
:
:
Judul
:
Sri Mulyatiningsih
Magister Ilmu Keperawatan, Kekhususan Kepemimpinan
dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan
Keselamatan Pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta
Abstrak
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya kepemimpinan, budaya organisasi dan karakteristik
perawat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Design
Penelitian deskriptif korelatif dengan metode cross sectional. Penelitian ini
menggunakan 117 perawat pelaksana sebagai sampel. Penelitian ini membuktikan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien
adalah kepemimpinan (p=0,008), budaya organisasi
(p=0,036), dan umur (p=0,032). Sementara itu masa kerja (p=0,434), status
kepegawaian (p=0,292), dan pelatihan (p=0,063) merupakan faktor yang tidak
mempengaruhi perilku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Faktor
yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien adalah kepemimpinan (p=0,027). Terbukti bahwa
kepemimpinan yang baik akan meningkatkan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Penelitian ini merekomendasikan perlu gaya
kepemimpinan yang tepat untuk meningkatkan keselamatan pasien dengan budaya
organisasi berkarakteristik militer.
Kata Kunci: budaya organisasi, kepemimpinan, keselamatan pasien, perilaku
perawat
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Name
Study program
:
:
Title
:
Sri Mulyatiningsih
Post Graduate Program of Nursing, Majoring in Nursing
Leadership and Management, Indonesia University
Determinants of Nurse’s Behavior for Patient Safety at
inpatient the Indonesian Air Force hospital dr. Esnawan
Antariksa Jakarta
Abstract
Nurse’s Behavior for patient safety was influenced by various factors such as
leadership, organizational culture and nurse characters. The objective of this
research was to get the idea of the influencing factors on nurse’s behavior for
patient safety. This reserach design used a descriptive correlative with cross
sectional method. There were 117 practitioner nurses used as samples. The
influencing factors of nurse’s behavior for patient safety were leadership
(p=0,008), organizational culture (p=0,036), and age (p=0,032). Meanwhile, other
factors such as tenure (p=0.434), employment status (p=0.292), and training
(p=0,063) were not influential. The most dominant factor influencing nurse’s
behavior was leadership (p=0.027). It proved that good leadership improving the
nurse’s behavior for patient safety. This research recommends that it requires an
appropriate leadership to improve patient safety within a military organization
culture
Keywords: Leadership, nurse’s behavior, organizational culture, patient safety
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ………………………………………………………………..
Halaman Pernyataan Orisinalitas..............…………………………………...
Lembar Pengesahan.....................…………………………………………….
Kata Pengantar.……………………………………………………………….
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi……........……………………….
Abstrak...........................................................................................................
Daftar Isi ……………………………………………………………………..
Daftar Bagan ………………………………………………………………....
Daftar Tabel …………………………………………………………………..
Daftar Lampiran ……………………………………………………………...
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
x
xi
xiii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang ………………………………………………..….........
1.2.
Rumusan Masalah …………………………………………………......
1.3.
Tujuan Penelitian………………………………………………….........
1.4.
Manfaat Penelitian ………………………………………………..........
1
8
9
9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fungsi Manajemen.................……………………………………..........
2.2.
Keselamatan Pasien......................................................……………........
2.3.
Kepemimpinan……….…………………………. ………………….......
2.4.
Budaya Organisasi ...............……….………………………………........
2.5.
Karakteristik perawat.................................................................................
2.6.
Kerangka Teori Penelitian..........................................................................
11
13
24
29
35
38
BAB 3. KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS dan DEFINISI
OPERASIONAL
7.1. Kerangka Konsep Penelitian ………………………………………….....
7.2. Hipotesis Penelitian ………………………………………………….......
7.3. Definisi Operasional Variabel ……………………………………….......
39
40
42
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Desain Penelitian ………………………………………………….......
4.2.
Populasi dan Sampel ………………………………………………......
4.3.
Tempat Penelitian.......................................................................................
4.4.
Waktu Penelitian …………………………………………………........
4.5.
Etika Penelitian ……………………………………………………......
4.6.
Alat Pengumpulan Data ………………………………………….........
4.7.
Pengujian Instrumen...................................................................................
47
47
50
50
51
52
54
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
4.8.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……………………………...……........
4.9.
Pengolahan Data ………………………………………….........................
2.10. Analisis Data....…………………………………………………………
BAB 5. HASIL PENELITIAN
5.1. Karakteristik Perawat ....…………………………………………….......
5.2. Gambaran Persepsi Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan
Pasien...............................................……………………....................
5.3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persepsi Perilaku Perawat dalam
Melaksanakan Keselamatan Pasien…………………………….....
5.4. Faktor Paling Dominan yang Mempengaruhi Perilaku perawat dalam
Melksanakan Keselamatan Pasien.........................................................
56
58
59
64
65
66
72
BAB 6. PEMBAHASAN
6.1.
Interpretasi dan Diskusi ……………………………………………......
6.2.
Keterbatasan Penelitian ……………………………………………......
6.3.
Implikasi Hasil Penelitian …………………………………………......
74
103
103
BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan ………………………………………………………….........
7.2.
Saran ……………………………………………………………….......
106
107
DAFTAR PUSTAKA
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2..1 Hubungan Kepemimpinan dengan Keselamatan...................
28
Bagan 2.2. Kerangka Teori Penelitian ...........………….......….............
38
Bagan 2.3. Kerangka Konsep Penelitian……........……….....................
40
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1.
Definisi operasinal variabel ……………………………….
42
Tabel 4.1.
Distribusi jumlah perawat pelaksana di ruang rawat inap.......
48
Tabel 4.2.
Waktu penelitian.....................................................................
50
Tabel 4.3.
Kisi-kisi instrumen (B) perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien...................……………..
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Kisi-kisi instrumen (C) faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku perawat dalam melaksanakan pasien...........
Hasil uji valditas dan reliabilitas..........................................
Analisis univariat...............................……………………….
Tabel 4.7.
Analisis bivariat.....................……………………………….
Tabel 4.8.
Analisis multivariat.................................................................
Tabel 5.1.
Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja........
Tabel 5.2.
Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dan
pelatihan...................................................................................
Tabel 5.3.
Tabel 5.4.
Persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien.................................................................
Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.................
Tabel 5.5.
Subvariabel budaya organisasi ..............................................
Tabel 5.6.
Hubungan umur dengan persepsi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien.........................................
53
54
55
60
61
63
64
65
66
67
67
68
Tabel 5.7.
Hubungan masa kerja dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien...............................
69
Tabel 5.8,
Hubungan status kepegawaian dengan persepsi perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.................
69
Hubungan pelatihan dengan persepsi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien..........................................
Tabel 5.10.
Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien...............................
Tabel 5.9.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
70
Tabel 5.11.
Tabel 5.12.
Tabel 5.13.
Hubungan budaya organisasi dengan persepsi perilaku 71
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.................
Seleksi analisis bivariat..........................................................
72
Seleksi pemodelan multivariat faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien.................................................................
73
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Keterangan Lolos Uji Kaji Etik
Lampiran 2
Surat Permohonan Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 3
Surat Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas dari RSAL dr.
Mintohardjo
Lampiran 4
Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 5
Surat Ijin Penelitian dari RSAU dr. Esnawan Antariksa
Lampiran 6
Penjelasan Penelitian
Lampiran 7
Persetujuan Responden
Lampiran 8
Kuisioner Penelitian
Lampiran 9
Daftar riwayat hidup
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Pendahuluan ini memberikan informasi sebagai evidence based yang melandasi
penelitian. Pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian.
1.1 Latar belakang
Keselamatan pasien merupakan hak pasien. Pasien berhak memperoleh keamanan
dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit (Kemkes, 2009).
Sesuai dengan UU tentang kesehatan pasal 53 (3) UU No 36/2009 menyatakan
bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa
pasien. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas untuk layanan kesehatan di
seluruh dunia (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012). Salah satu layanan kesehatan
adalah di rumah sakit.
Rumah Sakit sebagai pemberi layanan kesehatan harus memperhatikan dan
menjamin keselamatan pasien. Rumah sakit merupakan organisasi yang berisiko
tinggi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien yang diakibatkan oleh
kesalahan manusia. Organisasi yang berisiko tinggi terjadinya kesalahan dalam
pengaturan salah satunya adalah pelayanan kesehatan selain dari organisasi
penerbangan, industri nuklir, dan kimia (Reason, 2008). Kesalahan terhadap
keselamatan paling sering disebabkan oleh kesalahan manusia terkait dengan
keterampilan dalam hal keselamatan, dan hal disebabkan oleh kegagalan sistem di
mana individu tersebut bekerja (Reason, 2008). Keselamatan pasien harus
menjadi bagian integral dari misi setiap rumah sakit di Amerika Serikat (Longo et
al, 2007).
Misi keselamatan pasien di rumah sakit untuk mencegah terjadinya insiden
keselamatan pasien. Angka insiden keselamatan pasien dikatakan sebagai
fenomena gunung es, angka insiden yang ada hanya sebagian kecil dari
kemungkinan angka kejadian yang sebenarnya. USA memberikan kontribusi
tingginya angka kejadian
kematian pada pasien rawat inap setiap tahunnya
44.000–98.000 (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012; Reason, 2008). Penelitian
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
lain menunjukkan bahwa 1 dari 10 pasien akut yang dirawat di rumah sakit
dirugikan sebagai akibat dari perawatan langsung yang di terima dan 7% dari
pasien akut yang dirugikan tersebut
berakhir dengan kematian (De Vries,
Ramrattan, Smorenburg, Gouma, dan Boermesster, 2008). Sekitar 850.000
kejadian buruk diperkirakan terjadi di rumah sakit di Inggris setiap tahunnya dan
banyak disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi pasien, dengan biaya
kerugian sebesar satu milyar pound sterling pertahun, selain itu penelitian di
Australia memperkirakan bahwa peristiwa merugikan terjadi 8% dari pasien yang
dirawat di rumah sakit dan memberikan kerugian sebesar 4,7 milyar dolar
Australia (Murphy, & Kay 2004; White, 2012).
Insiden keselamatan pasien menimbulkan dampak buruk dan kerugian berupa
kematian, gangguan fungsi tubuh, kerugian finansial, dan menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Pencegahan dan
pengendalian insiden perlu dilakukan untuk mengurangi insiden keselamatan
pasien. Perilaku untuk mengurangi dampak buruk dan menghilangkan kerugian
akibat perawatan kesehatan dengan menciptakan budaya kerja terkait sistem
keselamatan
dengan
melaporkan,
mempelajari,
meneliti
penyebab,
mengidentifikasi prioritas, dan merancang ulang perawatan untuk mencegah
dampak buruk (Lazar, 2012).
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien telah
banyak dikemukakan oleh para peneliti. Strategi membangun sistem pelaporan
non-hukuman (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011).
Perawat berada pada posisi yang unik untuk mengembangkan alat, proses, dan
praktik yang berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan semua jenis
kesalahan keselamatan pasien yaitu dengan mengembangkan keterampilan
berbasis kesalahan, keterampilan berbasis kesalahan peraturan, mengembangkan
kemampuan untuk mengenali adanya risiko tinggi, dan perilaku berbasis
pengetahuan (Mattox, 2012).
Strategi meningkatkan keselamatan pasien ditetapkan oleh Permenkes (2011)
melalui enam sasaran keselamatan pasien rumah sakit meliputi mengidentifikasi
pasien dengan tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
keamanan obat yang perlu diwaspadai, memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi, mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan
mengurangi risiko pasien jatuh. Joint Commission International (JCI) menetapkan
sasaran internasional keselamatan pasien dengan meningkatkan keamanan obatobatan yang harus diwaspadai, memastikan lokasi pembedahan yang benar,
prosedur yang benar dan pembedahan pada pasien yang benar (JCI, 2011).
Pemberi layanan kesehatan berkontribusi terhadap terjadinya kesalahan yang
mengancam keselamatan pasien, khususnya perawat. Perawat merupakan tenaga
kesehatan dengan jumlah terbanyak di rumah sakit, pelayanan terlama (24 jam
secara terus-menerus) dan tersering berinteraksi pada pasien dengan berbagai
prosedur dan tindakan keperawatan. Hal ini dapat memberikan peluang yang besar
untuk terjadinya kesalahan dan mengancam keselamatan pasien. Selain itu
kelelahan pada perawat merupakan faktor yang berkontribusi terjadinya kesalahan
(Mattox, 2012). Karakteristik perawat mempengaruhi pekerjaannya sehari-hari
dan berpotensi terhadap kesalahan dalam keselamatan pasien (White, 2012).
Perilaku perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien harus
menerapkan keselamatan pasien. Perawat harus melibatkan kognitif, afektif, dan
tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien. Perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan harus dengan penuh kepedulian sebagaimana
telah
dikemukakan oleh Watson 1985 bahwa merawat merupakan cita-cita moral
keperawatan. Perilaku perawat yang menjaga keselamatan pasien sangat berperan
dalam pencegahan, pengendalian dan peningkatan keselamatan pasien (Choo,
Hutchinson, & Bucknall, 2010; Elley et al, 2008; Stoor, Topley, & Privetl, 2005).
Perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan pasien berkontribusi terhadap
insiden keselamatan pasien. Perawat yang tidak memiliki kesadaran terhadap
situasi yang cepat memburuk, gagal mengenali apa yang terjadi dan mengabaikan
informasi klinis penting yang terjadi pada pasien dapat mengancam keselamatan
pasien (Reid, & Bromile, 2012). Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya
perhatian/ motivasi, kecerobohan dan kelalaian berisiko untuk terjadinya
kesalahan selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai dengan memodifikasi
perilaku (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Perawat yang kompeten terkait keselamatan pasien dapat dinilai dari perilakunya
ketika memberikan asuhan keperawatan yang mengutamakan keselamatan pasien.
Perilaku perawat dipengaruhi oleh kualitas keterampilan klinis dalam keperawatan
dan non klinis atau non teknis (White, 2012). Ketrampilan klinis berhubungan
dengan kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan. Keterampilan non
klinis berhubungan dengan bagaimana individu berinteraksi dalam tim
(interpersonal) meliputi komunikasi, kerja tim (kepemimpinan dan followership),
kerjasama, kesadaran terhadap situasi yang terjadi dan pengambilan keputusan
(Flin, O’Connor & Crichton, 2008; Yule, Flin, Peterson, brown & Maran, 2006).
Diperkirakan bahwa 70 - 80% dari kesalahan medis berhubungan dengan
gangguan pada keterampilan non klinis/teknis (Westli, Johnsen, Eid, Rasten &
Brattebo, 2010).
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal merupakan karakteristik perawat yang
bersifat bawaan, yang teridentifikasi berupa tingkat kecerdasan, tingkat emosional
dan pengalaman pribadi. Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku perawat
adalah lingkungan seperti pengaruh orang lain yang dianggap penting atau
kepemimpinan, budaya dan sistem organisasi. Faktor eksternal ini sering menjadi
faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Faktor lain yang berhubungan dengan keselamatan pasien adalah faktor
lingkungan. Rumah sakit dalam menerapkan keselamatan pasien harus didukung
oleh lingkungan yang menunjang keselamatan pasien. Kebisingan merupakan
faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap kesalahan (Mattox, 2012). Perawat
merasakan bahwa lingkungan kerja dalam memberikan perawatan berisiko untuk
keselamatan pasien (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011).
Lingkungan kerja perawat harus dirancang dengan cara yang memungkinkan
perawat dapat memberikan perawatan pasien yang aman, menciptakan lingkungan
kerja yang mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien (Flynn,
Liang, Dickson, Xie, & Suh, 2012). Karakteristik lingkungan praktik merupakan
penentu kualitas pelayanan keperawatan dan keselamatan pasien (Flynn, Liang,
Dickson, Xie & Suh, 2012).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien akan dipengaruhi oleh
kekhasan dari masing-masing rumah sakit dimana perawat bekerja. Hal ini karena
ada perbedaan visi, misi, tujuan, gaya kepemimpinan, dan budaya organisasinya.
Rumah sakit militer akan dipengaruhi oleh kharakteristik kemiliteran. Sembilan
karakteristik militer menurut Frank (2008) adalah sebagai berikut: Standar
operasional jelas (SOP), rantai komando dari atas ke bawah (top down struktur),
tanggung jawab milik posisi bukan perorangan, posisi otoritas hal ini penting
ketika bawahan lebih senior, rantai komando jelas, briefing, kerjasama tim, setiap
kegiatan militer mempunyai misi, dan kebersamaan yang kuat.
Kepemimpinan yang diterapkan di rumah sakit militer berbeda dengan di rumah
sakit umum lainnya. Gaya kepemimpinan yang tepat penerapannya disesuaikan
dengan jenis organisasi, budaya organisasi, anggota organisasi dan tujuan
organisasi.
Scott & Bruce dalam Thunholm (2009) menjelaskan gaya yang
ditunjukkan oleh perwira militer ketika membuat keputusan adalah rasional,
intuitif, tergantung, menghindari konflik, dan spontan. Lima kategori gaya
kepemimpinan manajer perawat di Finlandia yaitu visioner, demokratis, afiliasi,
demokratis, dan memerintah (Vesterinen, Isola, & Paasivaara, 2009).
Pemimpin mempengaruhi bawahan untuk bekerja sama guna mencapai tujuan
dengan gaya kepemimpinan yang digunakannya. Gaya kepemimpinan yang
disukai oleh manager di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata di Turki adalah
kepemimpinan tim dan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (Kostik,
Sahin, Demir, & Kavuncubasi, 2005). Pemimpin tim lebih cenderung spontan,
lebih rasional, tergantung, dan menghindar (Thunholm, 2009). Bawahan lebih
memilih manajer dengan kepemimpinan yang lebih jelas, di mana gaya
kepemimpinan manajer ditunjukan melalui perilaku manajer (Sellgren, Ekual, &
Tomson, 2006).
Budaya organisasi sebagaimana kepemimpinan juga mempunyai karakteristik
tertentu di organisasi militer. Karateristik yang sekaligus menjadi jati diri TNI
yaitu profesionalisme militer, membela kebenaran, kejujuran dan keadilan,
memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan
(loyalitas), tidak
membantah perintah atau putusan (Sapta Marga, Sumpah Prajurit, & Chrisnandi,
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2005). Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik individu sebagai objek dan
subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau program tertentu gagal, yang
dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003). Budaya organisasi
mempengaruhi bagaimana perawat memahami konteks pekerjaan dan sikap kerja
(Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011).
RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta merupakan rumah sakit militer tipe II, milik
TNI AU, di bawah pembinaan Dinas Kesehatan Angkatan Udara (Diskesau)
Mabesau. Kapasitas 138 tempat tidur dengan rata-rata BOR 64%. Terakreditasi 12
pelayanan pada tahun 2011. Telah memiliki komite infeksi nosokomial dan
keselamatan pasien dengan program pencegahan infeksi nosokomial dan insiden
keselamatan pasien. Fasilitas yang mendukung keselamatan pasien yaitu adanya
gelang identifikasi pasien, SOP tindakan keperawatan, kran cuci tangan lengkap
dengan sabun/ cairan pembersih dan pedoman pelaksanaannya, penghalang
tempat tidur, dan lingkungan yang aman seperti pencahayaan terang, lantai tidak
licin. Tenaga keperawatan sebanyak 262 orang yaitu 47% dari jumlah ketenagaan
yang ada di rumah sakit, dengan kategori tingkat pendidikan sebagai berikut
sebagian besar merupakan tenaga vokasional lulusan diploma keperawatan yaitu
205 orang (78%), lulusan SPK 47 orang (18%) dan sarjana keperawatan 10 orang
(3,8 %). Jumlah perawat merupakan jumlah yang terbanyak bila dibandingkan
dengan tenaga kesehatan lainnya. Gillis (1996) mengemukakan studi yang
dilakukan di beberapa rumah sakit didapatkan bahwa 60-70% sumber daya
manusia yang ada di rumah sakit adalah perawat.
Angka kejadian insiden keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta pada satu tahun terakhir meliputi angka kejadian plebitis 2,34%,
ulkus pressure 0,33%, infeksi saluran kemih 0,17% dan infeksi luka operasi
0,18%. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kepala perawatan umum
dikatakan bahwa dalam satu tahun terakhir terjadi satu insiden jatuh, satu insiden
ketidaktepatan dalam pemberian transfusi, dan ketidaktepatan pemberian cairan
infus sesuai indikasi namun angkanya tidak diketahui secara pasti karena
pelaporan yang kurang lengkap. Sedangkan insiden keselamatan pasien yang
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
menyebabkan kematian atau cidera yang serius tidak terjadi di rawat inap RSAU
dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
Angka kejadian insiden keselamatan pasien didasarkan pada standar pelayanan
minimal rumah sakit. Standar pelayanan minimal rumah sakit menetapkan bahwa
kejadian infeksi pascaoperasi ≤ 1,5 %, kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5 %, tidak
ada kejadian pasien jatuh yang berakibat kecacatan/kematian 100%, tidak adanya
kejadian kesalahan pemberian obat 100%, tidak adanya kejadian salah tindakan
pada operasi 100% (Kepmenkes, 2008). Angka kejadian di RSAU dr. Esnawan
Antariksa yang belum sesuai dengan standar adalah kejadian infeksi nosokomial,
dan adanya kejadian jatuh.
Insiden keselamatan pasien yang terjadi di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta khususnya
bidang keperawatan terutama terkait dengan
perilaku perawat. Perawat belum optimal dalam melakukan identifikasi pasien
dengan tepat. Perawat belum melakukan asuhan keperawatan dengan tepat sesuai
Standar Operasional prosedur (SOP) baik yang mandiri maupun yang sifatnya
kolaboratif ada namun dalam pelaksanaannya perawat
berdasarkan SOP.
tidak melakukan
Selain itu perawat kurang memiliki kesadaran dalam
mengenali situasi bahwa situasi tersebut akan mengancam keselamatan pasien
serta mengabaikan informasi klinis penting terkait keselamatan pasien.
Komunikasi perawat belum efektif hal ini terlihat dari pesan yang diterima oleh
shift berikutnya tidak sesuai dengan maksud perawat shift yang menyampaikan
pada saat operan/hand-off, sehingga memberikan peluang terhadap terjadinya
kesalahan dalam tindakan keperawatan.
RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta berupaya untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal ini diwujudkan
dalam misi rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan secara profesional dan
bermutu tinggi. Manajemen rumah sakit menyadari bahwa organisasi pelayanan
kesehatan mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya insiden keselamatan
pasien, maka
keselamatan pasien menjadi prioritas dalam layanan kesehatan
termasuk layanan keperawatan. Upaya yang dilakukan dengan mengaplikasikan
keselamatan pasien dan mengantisipasi risiko yang menyebabkan terjadinya
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
insiden keselamatan pasien khususnya perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien.
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien perlu dipelajari lebih
lanjut untuk mengetahui penyebab dan hal-hal yang mempengaruhi perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Dampak buruk akibat adanya
insiden keselamatan pasien dapat dicegah dengan mengatasi penyebab dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Diharapkan keselamatan pasien meningkat dan
tidak terjadi insiden keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Perawat rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta belum melaksanakan
keselamatan pasien secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya
insiden keselamatan yang terjadi pada pasien dan perilaku perawat masih kurang
optimal dalam mengidentifikasi pasien, melakukan komunikasi yang efektif,
keamanan obat, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, mengurangi risiko infeksi
dan mengurangi risiko jatuh. Perawat juga kurang menyadari dan mengenali
situasi dan kondisi
yang berisiko tinggi mengancam
keselamatan pasien
sehingga tindakan pencegahan kurang dilaksanakan secara optimal oleh perawat.
RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta merupakan rumah sakit militer dan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh karakteristik
khas militer. Perilaku perawat diduga dipengaruhi oleh budaya organisasi yang
menjadi karakteristik khas militer berupa profesionalisme militer, kedisiplinan,
sikap membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, loyalitas serta kepemimpinan.
Kondisi tersebut diduga
dapat mempengaruhi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Karakteristik perawat pelaksana meliputi
status umur, masa kerja, status kepegawaian, dan pelatihan diduga juga
mempengaruhi perilaku perawat dengan melaksanakan keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran determinan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr.
Esnawan Antariksa Jakarta.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah teridentifikasinya:
a.
Gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
di
rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
b.
Gambaran faktor
kepemimpinan terhadap perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
c.
Gambaran faktor
budaya organisasi
terhadap perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
d.
Gambaran karakteristik perawat (umur, masa kerja, status kepegawaian, dan
pelatihan) terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
e.
Faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta, lembaga
pendidikan program studi magister ilmu keperawatan dan peneliti. Manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1
a.
Bagi RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi bagi pimpinan baik Kepala
RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta maupun Kadiskesau Mabesau untuk
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
10 lebih
memperhatikan
hal-hal
yang
mempengaruhi
perawat
dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien.
b.
Penelitian menjadi bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
c.
Penelitian meningkatkan kesadaran diri (self awareness) bagi perawat
khususnya responden terhadap perilaku yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan keselamatan pasien.
1.4.2
Bagi
Lembaga
Pendidikan
Program
Studi
Magister
Ilmu
Keperawatan
Penelitian
dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga
pendidikan program studi magister ilmu keperawatan di bidang penelitian yang
berkaitan dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien.
1.4.3
a.
Bagi Peneliti
Penelitian ini telah memberi kesempatan pada peneliti untuk mengaplikasikan
ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
b.
Penelitian ini menjadi tantangan bagi peneliti dalam mempelajari lebih
mendalam mengenai determinan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien dan metodologi penelitian sehingga penelitian mendekati
penyempurnaan.
c.
Penelitian ini telah meningkatkan wawasan dan pengalaman bagi peneliti
terkait dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien dengan menggunakan cara berpikir yang ilmiah. Penelitian ini
selanjutnya dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang
terkait dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien.
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini berisi teori yang berkaitan dengan variabel terikat dan variabel bebas
penelitian yaitu tentang fungsi manajemen keperawatan, keselamatan pasien,
kepemimpinan, budaya organisasi, dan karakteristik perawat.
2.1 Keselamatan Pasien dalam Manajemen Keperawatan
Keselamatan pasien menjadi bagian dari tujuan organisasi yang ingin dicapai
melalui manajemen fungsi-fungsi manajemen. Huber (2010), Marquis & Huston
(2012), Swanburg (2002) mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu
proses koordinasi dan integrasi sumber daya melalui fungsi-fungsi manajemen
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian
untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.1
Perencanaan
Perencanaan merupakan fungsi dasar manajemen yang meliputi pernyataan misi
atau tujuan filsafat, filosofi atau keyakinan, objektif, dan rencana manajemen atau
operasional (Swanburg, 2002). Marquis & Huston (2012) menggambarkan
perencanaan dalam piramida hierarki perencanaan yang terdiri dari misi, filosofi,
tujuan umum, tujuan khusus, kebijakan, prosedur, dan aturan. Perencanaan suatu
organisasi harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap anggota organisasi untuk
mewujudkan pencapaian tujuan organisasi.
Filosofi menggambarkan nilai dan keyakinan yang mengarahkan semua tindakan
organisasi (Marquis & Huston, 2012). Menurut Tuck dalam Marquis & Huston
(2012) menyatakan bahwa nilai dan prinsip yang berasal dari filosofi menjadi
parameter pengambilan keputusan untuk menentukan hal yang sangat penting
bagi organisasi. Sapta marga, sumpah prajurit, dan delapan wajib TNI merupakan
filosofi di dalam organisasi militer, sebagai kode etik dan jati diri TNI. Nilai dan
keyakinan yang terkandung dalam sapta marga, sumpah prajurit dan delapan
wajib TNI diantaranya adalah loyalitas, memegang teguh disiplin, membela
kejujuran kebenaran dan keadilan, profesionalisme militer.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2.1.2
Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan pengelompokan kegiatan untuk mencapai tujuan,
penugasan kepada suatu kelompok dengan pengawasan, dan menentukan cara dari
pengkoordinasian kegiatan baik secara vertikal maupun horizontal (Swanburg,
2002). Marquis & Huston (2012), Swanburg (2002) menjelaskan bahwan prinsip
pada pengorganisasian ini meliputi rantai komando, kesatuan komando, rentang
kendali, dan spesialisasi di mana setiap anggota organisasi mempunyai
kemampuan tertentu untuk mencapai tujuan.
2.1.3 Pengarahan
Pengarahan merupakan pelaksanaan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan.
Pengarahan merupakan proses penerapan rencana manajemen untuk mencapai
tujuan keperawatan (Swanburg, 2002). Menurut Suarli & Bahtiar (2012)
menjelaskan bahwa pengarahan adalah melakukan suatu kegiatan melalui
mempengaruhi orang lain dengan memberikan bentuk kepemimpinan yang efektif
untuk meningkatkan kinerja, memotivasi bawahan, koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, simplifikasi, dan komunikasi. Tiga elemen utama dalam pengarahan
adalah mewujudkan pengawasan dalam personel keperawatan melalui motivasi,
kepemimpinan, dan komunikasi (Swanburg, 2002).
Pengarahan dilakukan oleh manajer keperawatan kepada bawahan berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan. Menurut Donova dalam Swanburg (2002) dasar
untuk pengarahan dan pengendalian adalah standar, prosedur, deskripsi kerja/
uraian tugas dan manual. Pengarahan yang efektif menghasilkan hubungan kerja
yang harmonis antara manajer keperawatan dengan bawahan dalam pencapaian
tujuan organisasi.
2.1.4 Pengendalian
Pengendalian membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan perencanaan
yang ditetapkan. Pengertian pengendalian menurut Huber (2010) adalah
membandingkan antara hasil kerja dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya dan melakukan tindakan koreksi ketika diperlukan. Koontz &
Weihrich dalam Swanburg (2002) mengemukakan
pengendalian sebagai
pengukuran dan koreksi kinerja terhadap tujuan organisasi dan perencanaan.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Pengendalian merupakan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja. Sepuluh
karakteristik suatu sistem kontrol yang baik menurut Swanburg (2002) adalah: 1)
kontrol harus menunjukan sifat dari aktifitas, 2) harus melaporkan kesalahankesalahan dengan segera, 3) harus memandang ke depan, 4) harus menunjukan
penerimaan pada titik-titik kritis, 5) harus objektif, 6) harus fleksibel, 7) harus
menunjukkan pola organisasi, 8) harus ekonomis, 9) harus dapat dimengerti dan
10) harus menunjukkan tindakan perbaikan. Melalui proses ini standar dibuat dan
kemudian digunakan, diikuti dengan umpan balik untuk meningkatkan kualitas
dengan adanya perbaikan secara terus-menerus (Swanburg, 2002).
2.2 Keselamatan Pasien
Konsep keselamatan pasien menjelaskan tentang pengertian keselamatan pasien,
tujuan keselamatan pasien, insiden keselamatan pasien, dan sasaran keselamatan
pasien.
2.2.1 Pengertian Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien didefinisikan oleh Aboshaiqah (2010) adalah bebas dari
kecelakaan,
cidera,
menjamin
keselamatan
pasien
dengan
melibatkan
pembentukan sistem operasional dan proses yang meminimalkan kemungkinan
kesalahan dan memaksimalkan kemungkinan pencegahan. Kemkes (2008)
mendefinisikan bahwa keselamatan pasien adalah bebas dari bahaya atau risiko
(hazard). Menurut WHO (2009) keselamatan pasien adalah pengurangan risiko
bahaya yang tidak perlu berkaitan dengan pelayanan kesehatan minimum yang
dapat diterima.
Keselamatan pasien yang diterapkan di rumah sakit dalam Permenkes (2011)
disebut sebagai keselamatan pasien rumah sakit. Keselamatan pasien rumah sakit
merupakan suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman
yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
2.2.2 Tujuan Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien bertujuan untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di
rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat, menurunkan kejadian tidak yang diharapkan, terlaksananya programprogram pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak
diharapkan (Kemkes, 2008). Tujuan keselamatan menurut Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit adalah terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit,
meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat,
menurunkan kejadian tidak diinginkan di rumah sakit, dan terlaksananya program
pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD (KKPRS, 2008).
Tujuan keselamatan pasien menurut The Joint Commission (2010) yaitu: 1)
Meningkatkan keakuratan identifikasi pasien dengan menggunakan dua identitas
pasien untuk mengidentifikasi serta mengeliminasi kesalahan transfusi. 2)
Meningkatkan komunikasi di antara pemberi pelayanan kesehatan dengan
menggunakan prosedur komunikasi, secara teratur melaporkan informasi yang
bersifat kritis, memperbaiki pola serah terima pasien. 3) Meningkatkan
keselamatan penggunaan pengobatan dengan cara pemberian label pada obat,
mengurangi bahaya dari penggunaan antikoagulan. 4) Mengurangi risiko yang
berhubungan dengan infeksi dengan mencuci tangan yang benar, mencegah
resistensi penggunaan obat infeksi, menjaga central line penyebaran infeksi
melalui darah. 5) Menggunakan pengobatan selama perawatan secara akurat dan
lengkap, mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas selanjutnya, membuat
daftar pengobatan pasien, mengupayakan pasien mendapatkan pengobatan
seminimal mungkin. 6) Mengurangi risiko bahaya akibat jatuh. 7) Mencegah
terjadinya luka tekan. 8) Organisasi mengidentifiksi risiko keselamatan di seluruh
populasi pasien. 9) Protokol umum untuk mencegah kesalahan tempat, salah
prosedur dan orang pada saat tindakan operasi.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2.2.3 Insiden Keselamatan Pasien
Kondisi keselamatan pasien yang tidak dijaga dan tidak diterapkan kepada pasien
akan menimbulkan insiden keselamatan pasien. Dalam Permenkes nomor 1691
tahun 2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit dijelaskan bahwa insiden
keselamatan pasien disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak disengaja dan
kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah insiden yang mengakibatkan cedera
pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum
sampai terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang
sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera
(KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi
belum terjadi insiden. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan
kematian atau cedera yang serius (Permenkes, 2011).
2.2.4 Sasaran Keselamatan Pasien
Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien
(Permenkes, 2011). Sasaran keselamatan pasien meliputi tercapainya hal-hal
sebagai berikut ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang
efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi,
tepat-prosedur, tepat-pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan dan pengurangan risiko pasien jatuh. Elemen penilaian sasaran
keselamatan pasien menurut Permenkes (2011) adalah sebagai berikut:
2.2.4.1 Elemen Ketepatan Identifikasi Pasien.
Elemen ketepatan identifikasi pasien menurut Permenkes (2011) sebagai berikut;
a.
Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien (nama pasien, nomor
rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code), tidak
boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
b.
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
c.
Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
d.
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/ prosedur.
e.
Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten
pada semua situasi dan lokasi.
Identifikasi pasien yang benar merupakan landasan keselamatan pasien dalam
pengaturan kesehatan. Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi dalam setiap
lokasi di mana layanan kesehatan diberikan seperti ruang rawat inap, rawat jalan,
laboratorium (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011). International
Patient Safety Goals dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James (2011)
mensyaratkan bahwa keakuratan identifikasi pasien ditingkatkan dan penggunaan
setidaknya dua pengidentifikasi pasien ketika memberikan perawatan, pengobatan
dan pelayanan kesehatan. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak dapat digunakan
untuk identifikasi. Identifikasi yang diakui untuk pengidentifikasi pasien adalah
nama, nomor rekam medis, dan tanggal lahir.
Mengidentifikasi pasien penting saat pemberian obat dan transfusi darah,
pemeriksaan laboratorium, prosedur/tindakan diagnostik dan operasi karena hal
tersebut banyak mengakibatkan terjadinya kesalahan (Dhatt, Damirl, Matarelli,
Krishned & James, 2010; Murphy & Kay, 2004). Identifikasi gelang nama
(tangan/ kaki) warna dan barcode/ label nama. Perawat harus verifikasi gelang
nama dan warna setiap serah terima pasien (shift). Pada saat pemberian
pengobatan harus menggunakan prinsip 6 benar: benar obat, benar dosis, benar
pasien, benar rute, benar waktu dan benar pendokumentasian (Potter, & Perry,
2010). Perawat mengambil sampel spesimen dan wadah spesimen diberi label di
hadapan pasien (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011). Identifikasi
pasien yang perlu dilakukan perawat saat akan melakukan prosedur transfusi yaitu
mencocokan gelang nama ke label kompatibilitas darah, mencocokan identifikasi
pasien dengan permintaan darah dan peninjauan kompatibilitas serta pengecekan
informasi kadaluwarsa komponen darah (Murphy & Kay, 2004).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan meliputi penciptaan
dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas secara rutin, pemantauan
indikator yang dapat diandalkan secara terus-menerus, analisis akar penyebab,
penggunaan kode-bar, kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional
dan bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis,
laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada perawat
baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl,
Matarelli, Krishned, & James, 2011).
2.2.4.2 Elemen Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Elemen peningkatan komunikasi yang efektif menurut Permenkes (2011) sebagai
beikut:
a.
Perintah lengkap secara lisan dan melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
b.
Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
secara lengkap oleh penerima perintah.
c.
Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
d.
Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan
efek samping di semua aspek pelayanan kesehatan, sehingga menimbulkan
permasalahan dalam pengidentifikasian pasien, kesalahan pengobatan dan
transfusi serta alergi diabaikan, salah prosedur operasi, salah sisi bagian yang
dioperasi, semua hal tersebut berpotensi terhadap terjadinya insiden keselamatan
pasien dan dapat dicegah dengan meningkatkan komunikasi (Beaumont, &
Russell, 2012; Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010; Schimpff, 2007;
Storr, Topley & Privett, 2005; White, 2012)
Komunikasi yang efektif diimplemantasikan melalui pendekatan standar/baku
hand off/ serah terima. Serah terima dapat dilakukan kapanpun disaat terjadi
pengalihan tanggung jawab pasien dari satu orang caregiver kepada orang lain.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tujuan serah terima menyediakan informasi secara akurat, tepat waktu, tentang
rencana keperawatan, pengobatan, kondisi terkini dan perubahan kondisi pasien
yang baru saja terjadi ataupun yang dapat diantisipasi. Serah terima informasi
pasien dilakukan antar perawat antar shift, pengalihan tanggung jawab dari dokter
ke perawat, pengalihan tanggung jawab sementara (saat istirahat makan), antar
perawat per ruangan.
Hand off bedside (serah terima di samping tempat tidur pasien) mempromosikan
keselamatan pasien. Hand off bedside memungkinkan parawat untuk bertukar
informasi pasien yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan perawatan dan
keselamatan pasien, memberikan kesempatan untuk memvisualisasikan pasien
dan mengajukan pertanyaan terhadap sesuatu yang kurang dipahami selain itu
dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap dampak komunikasi pada
keselamatan pasien dan kepuasan serta meningkatkan komunikasi antara perawat,
dokter dan pasien/keluarga serta tim kesehatan lain. Hand off bedside juga
memungkinkan pasien terlibat aktif dalam perawatan dengan memungkinkan bagi
pasien untuk mengoreksi kesalahpahaman konsep, memberikan masukan terhadap
rencana perawatan, mengklarifikasi dan memperbaiki ketidakakuratan (Maxson,
Derby, Wrobleski, & Foss, 2009).
2.2.4.3 Elemen Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (HighAlert
Elemen peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai menurut Permenkes
(2011) sebagai berikut;
a.
Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
b.
Implementasi kebijakan dan prosedur.
c.
Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
d.
Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Kesalahan pengobatan adalah peristiwa dapat dicegah yang dapat menyebabkan
atau mengakibatkan penggunaan obat yang tidak pantas atau membahayakan
pasien sedangkan pengobatan dalam kontrol/perawatan kesehatan profesional
(Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010). Menurut Dewan Koordinator Nasional
Pelaporan dan Pencegahan Kesalahan Pengobatan (NCCMERP) (2005) dalam
Flynn, Liang, Dickson, Xie, & Suh
(2012) dikatakan bahwa kesalahan
pengobatan adalah peristiwa yang dapat dicegah dan dapat menyebabkan
penggunaan obat tidak tepat atau membahayakan pasien.
Perilaku perawat dalam melakukan peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai/high alert yaitu melakukan pemberian pengobatan dengan prinsip
lima benar yaitu benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu dan benar
pasien. Perawat masih banyak membuat kesalahan meskipun telah diverifikasi
dengan prinsip lima benar, untuk itu perlu diverifikasi lagi dengan resep harus
terbaca, lingkungan yang kondusif tanpa gangguan selama putaran pengobatan,
pola staf yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi adalah stres tempat kerja,
gangguan interupsi, pelatihan memadai dan informasi terfragmentasi (Choo,
Hutchinson, & Bucknell, 2010).
Perawat mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan kemungkinan efek obat,
mencatat/ dokumentasi, bekerja sesuai SAK/ SOP, mengecek reaksi obat,
mengecek integritas kulit untuk injeksi, memonitor pasien, dua orang staf
mengecek pemberian obat parenteral, memperbaharui catatan obat. Pisahkan obat
yang mirip, kemasan obat yang mirip. Memberikan pendidikan kepada pasien/
keluarga mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan waktu penggunaan
obat (KKPRS, 2008).
Perawat harus berkonsentrasi ketika mempersiapkan dan pemberian obat serta
tidak diminta untuk melakukan banyak tugas selama putaran pengobatan.
Gangguan dan interupsi harus diminimalkan untuk menyediakan lingkungan yang
kondusif untuk pemberian pengobatan yang aman (Westbrook et al, 2010). Selain
itu tidak mengalihkan perhatian perawat yang mengelola pengobatan (Choo,
Hutchinson & Bucknell, 2010).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2.2.4.4 Elemen
Kepastian
Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien
Operasi
Elemen kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedue, dan tepat-pasien operasi menurut
Permenkes (2011) sebagai berikut:
a.
Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
b.
Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien
dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan
fungsional.
c.
Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/ time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/ tindakan
pembedahan.
d.
Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
Ruang operasi merupakan area pekerjaan yang komplek dengan lingkungan yang
berpotensi tinggi terjadinya kesalahan, untuk itu proses verifikasi perioperatif
semakin direkomendasikan dalam beberapa tahun terakhir. Lima tahapan proses
untuk meningkatkan keselamatan bedah menurut NPSA (2010) yaitu briefing,
sign in (sebelum induksi anestesi), time out (sebelum insisi), sign out (sebelum
meninggalkan kamar operasi), dan debriefing. Time out memberikan kontribusi
untuk meningkatkan keselamatan pasien (86%) dengan memberikan kesempatan
untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah, konfirmasi identitas pasien,
benar prosedur, benar sisi dan pemeriksaan alergi atau penyakit menular (Nilsson,
Lindberget, Gupta, & Vegpors, 2010).
2.2.4.5 Elemen Pengurangan Risiko InfeksiI Terkait Pelayanan Kesehatan
Elemen pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan menurut
Permenkes (2011) sebagai berikut:
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
a.
Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient
Safety).
b.
Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
c.
Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Perilaku perawat dalam pencegahan dan mengurangi risiko infeksi termasuk pada
profilaksis antibiotika, pemeliharaan kateter vena perifer, pemeliharaan kateter
vena sentral, pemeliharaan kateter urin, perawatan luka operasi dan kebersihan
tangan (Mc Hugh, Carrigen & Dimitrov, 2010: Storr, Topley & Privett, 2005).
Carpenter (2005) menjelaskan bahwa cara yang paling umum diperolehnya
infeksi adalah melalui peralatan seperti kateter saluran kemih, infus, pembedahan
dan ventilator. Infeksi yang mungkin terjadi adalah infeksi saluran kemih, plebitis,
pneumonia berhubungan dengan pemakaian ventilasi mekanik dan infeksi luka
operasi berhubungan dengan tindakan pembedahan.
Infeksi dan penyebaran infeksi dapat dikurangi melalui upaya pencegahan.
Menurut Storr, Topley & Privett (2005) tidak semua infeksi dapat dicegah namun
proporsi yang signifikan yang mempengaruhi infeksi dapat dihindari adalah
perilaku dan praktik staf dalam berinteraksi dengan pasien. Mengatasi infeksi di
perawatan dengan membuat sesuatu yang sesederhana mungkin sehingga mudah
dilaksanakan dan tujuan terhadap pengendalian dan pencegahan infeksi dapat
tercapai. Storr, Topley & Privett (2005) menjelaskan bahwa kunci perbaikan
pengendalian infeksi jangka panjang terletak pada penerapan kebijakan dan
protokol untuk praktik klinik sehari-hari, seperti:
a.
Perawat perlu mengetahui apa yang sebenarnya penting dalam pencegahan
infeksi silang, apa yang bisa membuat perbedaan dan bagaimana praktik
dapat dicapai yaitu dengan menguasai kompetensi pelaksanaan prosedur.
Langkah-langkah praktis, nyata dan mudah untuk meminimalkan risiko
infeksi ketika melakukan perawatan pasien berupa pemasangan dan
perawatan kateter saluran kemih, pemasangan dan perawatan perangkat akses
vaskuler, terapi dan dukungan fungsi paru, pengalaman dengan prosedur
bedah, kebersihan tangan, standar tindakan pencegahan dan infeksi aliran
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
darah, Haley et al dalam Storr, Topley & Privett (2005) menambahkan
kebersihan lingkungan.
b.
Perawat harus menyadari praktik-praktik yang berkontribusi terhadap infeksi
dan dapat mengkomunikasikannya kepada pasien.
c.
Perawat harus mampu mengidentifikasi aspek-aspek dalam praktik yang
berkontribusi terhadap infeksi untuk mengurangi dan meminimalkan
kemungkinan perkembangan infeksi.
d.
Perawat harus menyadari semua aspek pedoman perawatan yang paling up to
date dan memastikan bahwa perawat menerapkannya untuk semua pasien.
e.
Perawat harus memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan
bagaimana hal ini dapat berkontribusi untuk mengurangi reservoir mikroba
dari pasien serta bagaimana hal ini membantu dalam mengamankan
kepercayaan pasien dan masyarakat.
f.
Melakukan penilaian risiko pada pasien terhadap kemungkinan peningkatan
risiko tertular infeksi di rumah sakit. Penilaian risiko untuk menentukan
kerentanan pasien terhadap infeksi. Penilaina risiko dilakukan dengan
membuat daftar faktor risiko, tindakan untuk meminimalkan infeksi dan
langkah-langkah tersebut didokumentasikan dalam catatan keperawatan.
Faktor risiko yang harus dipertimbangkan adalah usia, riwayat kesehatan
(dalam pengaruh imunosupresan), keberadaan perangkat invasif, kondisi
kulit/integritas kulit, penggunaan antibiotik, operasi sebelumnya, mobilitas
dan lama perawatan. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi infeksi
difasilitasi dengan penggunaan sumber daya yang optimal seperti kamar
terpisah dari pasien lain / ruang isolasi atau penempatan pasien pada bangsal
yang tepat.
g.
Meningkatkan kepatuhan terhadap kebersihan tangan dan mengurangi
kesempatan mikroba berpindah ke pasien lain. Kebersihan tangan berperan
penting dalam pencegahan infeksi silang dan penyebaran infeksi. Mencuci
tangan menggunakan air dan sabun atau alkohol pada saat yang tepat dan
dengan cara yang benar menjamin perlindungan diri dan pencegahan infeksi
silang.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2.2.4.6 Elemen Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Elemen pengurangan risiko pasien jatuh menurut Permenkes (2011) menurut
Permenkes (2011) sebagai berikut:
a.
Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.
b.
Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
c.
Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
d.
Kebijakan
dan/
atau
prosedur
dikembangkan
untuk
mengarahkan
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
Perawat harus melakukan pengkajian ulang secara berkala mengenai risiko pasien
jatuh, termasuk risiko potensial yang berhubungan dengan jadwal pemberian obat
serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang telah
diidentifikasikan. Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya jatuh
adalah usia, jenis kelamin, efek obat-obat tertentu, status mental, penyakit kronis,
dan faktor lingkungan, keseimbangan, kekuatan dan mobilitas, ketinggian tempat
tidur (Geoene, Moro, Thomson, & Saez, 2007; Kerzman, Cherit, Brin, & Torin,
2004; Tzeng & Yin, 2007).
Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh untuk mengurangi
insiden jatuh yaitu dengan: memastikan bel mudah dijangkau, roda tempat tidur
pada posisi terkunci, memposisikan tempat tidur pada posisi terendah, pagar
pengaman tempat tidur dinaikkan. Monitoring ketat pasien risiko tinggi (kunjungi
dan monitor pasien/ 1 jam, tempatkan pasien di kamar yang paling dekat dengan
nurse
station
jika
memungkinkan).
meliibatkan
pasien/keluarga
dalam
pencegahan jatuh (KKPRS, 2008).
Upaya menurunkan risiko jatuh: mengidentifikasi obat yang berhubungan dengan
peningkatan risisko jatuh (sedatif, analgetik, antihipertensi, diuretik, lazatif dan
psychotropika). Mengunakan protokol pemindahan pasien secara aman (brankar,
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
kursi roda, tempat tidur), lamanya respon staf terhadap panggilan pasien, gunakan
instrumen untuk memprediksi risiko pasien jatuh. Menurut Potter & Perry (2009)
beberapa intervensi yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya
jatuh pada pasien yaitu: Mengorientasikan pasien pada saat masuk rumah sakit
dan menjelaskan sistem komunikasi yang ada, bersikap hati-hati saat mengkaji
pasien dengan keterbatasan gerak, melakukan supervisi ketat pada awal pasien
dirawat terutama malam hari, menganjurkan menggunakan bel bila membutuhkan
bantuan, memberikan alas kaki yang tidak licin, memberikan pencahayaan yang
adekuat, memasang pengaman tempat tidur terutama pada pasien dengan
penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, dan menjaga lantai kamar mandi
agar tidak licin.
Perawat perlu memperhatikan lingkungan yang mendukung keselamatan pasien.
Faktor lingkungan mempengaruhi risiko jatuh menurut Badan Nasional
Keselamatan Pasien (NPSA) dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James
(2011) adalah permukaan lantai termasuk kerapatan, kemilau dan pola yang dapat
menimbulkan ilusi atau gangguan penglihatan; pencahayaan; kebisingan; lonceng
penghubung termasuk visibilitas dan jangkauan; desain pintu; jarak antara tangan
dengan pegangan rel tangan, tempat tidur, kursi dan toilet; stabilitas furnitur.
2.3 Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam hal ini
teori
kepemimpinan,
gaya
menjelaskan tentang pengertian kepemimpinan,
kepemimpinan,
peran
kepemimpinan
dalam
keselamatan pasien, dan kepemimpinan TNI AU.
2.3.1
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan menurut Robbins (2006) adalah kemampuan untuk mempengaruhi
kelompok menuju pencapaian sasaran dan menurut Swanburg (2000) adalah proses
mempengaruhi kelompok untuk menentukan dan mencapai tujuan. Kepemimpinan
adalah seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kemauan, kemampuan
dan usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Agarwal dalam Tika 2010).
Pengaruh seseorang yang dianggap penting dalam suatu organisasi adalah
pemimpin.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
2.3.2
Teori Kepemimpinan
Teori kepribadian perilaku menjelaskan bahwa perilaku seseorang dapat
menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang. Diidentifikasikan dua gaya
kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan berorientasi
pada bawahan (Rivai, & Mulyadi, 2010).
a.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas
Pemimpin menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan
tugasnya dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin
mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, & hukuman untuk mempengaruhi
sifat-sifat dan prestasi pengikutnya.
b.
Pemimpin yang berorientasi pada bawahan
Pemimpin mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan
membantu
bawahan
dalam
memuaskan
kebutuhannya
dengan
cara
menciptakan lingkungan kerja yang supportif. Pemimpin memiliki perhatian
terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi bawahannya.
2.3.3
a.
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan
transformasional:
menunjukan
visi,
kharisma,
berani
mengambil risiko, berpikir out of the box, berbakat memotivasi orang lain,
role model dan mentor bagi pengikut (Casida, & Parker, 2011). Dalam
organisasi militer kepemimpinan transformatif sangat penting karena
organisasi militer merupakan organisasi yang memiliki satu komando,
kemampuan menyampaikan pesan, serta komunikasi harus menjadi pedoman
dalam memimpin. Kepemimpinan transformatif akan berdamfak terhadap
profesionalisme dan kemajuan TNI dalam menhadapi tantangan dimasa
sekarang dan masa depan (Mabesau, 2012).
b.
Kepemimpinan militeristik: kepemimpinan yang lazim digunakan dalam
kemiliteran. Pemimpin menggerakan bawahannya dengan menggunakan
sistem perintah, gerak-geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan
jabatannya, senang dengan formalistik yang berlebihan, menuntut disiplin
keras dan kaku terhadap bawahannya, senang akan upacara-upacara untuk
berbagai keadaan, tidak menerima kritik dari bawahan (Sutikno dalam
Mabesau, 2012).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
c.
Kepemimpinan otokratik: Pemimpin membuat keputusan sendiri karena
kekuasaan terpusat dalam diri satu orang. Pemimpin memikul tanggung
jawab dan wewenang penuh. Pengawasan bersifat ketat, langsung dan tepat.
Keputusan dipaksakan dengan menggunakan imbalan dan kekhawatiran akan
dihukum. Komunikasi bersifat turun ke bawah. Bila wewenang dari
pemimpin otokratik menekan maka bawahan merasa takut dan tidak pasti.
Bawahan ditangani dengan efektif dan dapat memperoleh jaminan dan
kepuasan.
Pemimpin
otokratik
dapat
hanya
memberikan
perintah,
memberikan pujian dan menuntut loyalitas (Mabesau, 2012).
2.3.5
Peran Kepemimpinan
Peran
kepemimpinan
perencanaan,
terintegrasi
pengorganisasian,
pada
setiap
pengarahan,
fungsi
dan
manajemen
pengendalian.
yaitu
Peran
kepemimpinan menurut Marquis & Huston (2012) adalah sebagai berikut: 1)
Peran pemimpin dalam perencanaan harus memiliki ketrampilan dalam
menentukan semua jenis perencanaan dalam hierarkinya. 2) Peran pemimpin
dalam pengorganisasian melakukan pengaturan kerja. 3) Peran pemimpin dalam
pengarahan
menggunakan
strategi
penyelesaian
konflik
secara
optimal,
mempunyai kemampuan dalam bernegosiasi, mendelegasikan dan berkomunikasi
interpersonal. 4) Peran pemimpin dalam pengendalian mempunyai kemampuan
melakukan penilaian kinerja.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien (Permenkes, 2011)
1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit “. 2) Pimpinan menjamin berlangsungnya
program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program
menekan atau mengurangi insiden. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan
komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya
yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit
serta meningkatkan keselamatan pasien. 5) Pimpinan mengukur dan mengkaji
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.
Pemimpin mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
melalui tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit meliputi: 1)
Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. 2) Memimpin dan
mendukung staf 3)
Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. 4)
Mengembangkan sistem pelaporan. 5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan
pasien. 6)
Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. 7)
Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien (Permenkes,
2011).
Kinerja yang unggul dan organisasi yang efektif adalah tampilan yang konsisten
antara gaya kepemimpinan manajer perawat dengan perilaku transformasional
(Casida & Parker, 2011). Sikap atasan terhadap suatu masalah, diterima dan
dianut oleh bawahan tanpa landasan afektif maupun cognitif yang relevan dengan
objek sikapnya. Seringkali keserupaan sikap demikian semata-mata didasari oleh
kepercayaan yang mendalam kepada atasan atau oleh pengalaman bahwa atasan
selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi di masa
lalu (Azwar, 2011).
Pemimpin menyelesaikan permasalahan yang ada dalam organisasi. Menurut
Notoatmodjo (2007) jika organisasi ingin menciptakan atau dihadapkan pada
tugas-tugas organisasi, masalah-masalah atau isu-isu penting organisasi maka
solusi yang pertama muncul, datangnya dari orang yang berpengaruh dalam
organisasi. Pemimpin menginterpretasikan, mengasumsikan dan memberikan
penilaian terhadap persoalan dan akan memberikan solusi baik menyangkut
pengetahuan, sikap maupun tindakan yang harus dijalankan (Tika, 2010). Suatu
kerja tim akan mengalami kerusakan tanpa adanya kepemimpinan yang jelas
dalam mengambil kendali situasi sehingga akan membuat tim tidak terkoordinasi,
perawat melalukan tugas berdasarkan kemauan dan inisiatif sendiri dan tidak
dikomunikasikan secara efisian ke seluruh tim dan terjadi ketidaksesuaian tugas
(White, 2012).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Peran baru kepemimpinan di TNI AU adalah desainer, sebagai yang melayani
(steward) dan sebagai pendidik (teacher). Keterampilan baru yang perlu dimiliki
adalah membangun shared vision, menguji mental model (misalnya dengan
merubah yang kurang produktif menjadi lebih profesional produktif), dan berpikir
secara sistemik. Sedangkan perangkat (tools) baru yang perlu diketahui adalah
mengenal jenis dan bentuk archetype permasalahan untuk penyelesaian suatu
masalah. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menerapkan berbagai konsep,
model dan falsafah kepemimpinan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
Semakin banyak proses belajar
dan pengalaman, akan membuat seorang
pemimpin menjadi lebih arif menjadi pemimpin teladan bagi kemajuan
organisasinya (Mabesau, 2012),
2.3.6
Kepemimpinan TNI AU
Kepemimpinan TNI AU adalah kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan
yang berkualitas. Kepemimpinan yang berkualitas dituntut untuk memiliki
karakter yang sesuai dengan tantangan lingkungan tugas yang spesifik, di mana
kepemimpinan angkatan udara harus memenuhi tuntutan kondisi yang presisi,
profesional, sempurna, prosedural dan proper, sehingga mampu menghasilkan
kondisi yang kondusif seiring pencapaian pelaksanaan tugas yang paripurna
(mission accomplish) dan mencapai zero accident (safety) (Mabesau, 2012).
Bagan 2.1 Hubungan Kepemimpinan dengan Keselamatan
Karakteristik Pemimpin
Masa Depan
Proper Prosedur
Hasil Keputusan yang
Diambil
Safe
Action
Zero
Perfek
Profesional Wujud dari Hasil
Keputusan
Accident
Safe
Condition
Presisi Sumber: Kepemimpinan TNI Angkatan Udara, Mabesau 2012.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Gambar tersebut menunjukan keterkaitan antara kepemimpinan yang berkualitas
dan memiliki karakter yang sesuai dengan tuntutan dan lingkungan tugas angkatan
udara dengan pencapaian visi the First Class Air Force.
Karakter kepemimpinan TNI AU adalah mempunyai keahlian dan pengalaman
yang tinggi untuk dapat membawa TNI AU menjadi lebih baik; mempunyai
kegigihan yang tinggi untuk membawa TNI Angkatan Udara menjadi lebih maju;
mempunyai kepribadian yang baik untuk membawa TNI AU semakin
berkembang; mempunyai integritas yang tinggi karena dengan integritas mampu
membina kepercayaan, memiliki nilai pengaruh yang tinggi dan menghasilkan
reputasi dan citra yang kuat; mempunyai loyalitas yang baik untuk dapat
membawa TNI AU menjadi lebih berhasil; mempunyai tanggung jawab untuk
memperhatikan dan meningkatkan kesejahtraan bawahannya; pengaruh pribadi
pemimpin yang baik harus dapat memastikan bahwa anak buahnya juga dapat
melakukan yang terbaik; mempunyai keberanian dalam pengambilan keputusan
dengan perhitungan yang cermat sehingga akan menghasilkan keputusan yang
tepat; dan mempunyai inisiatif yang baik sebagai kemampuan untuk
mengkombinasikan integritas pribadi, pengetahuan, profesionalisme, keberanian
dan rasa percaya diri (Mabesau, 2012).
2.4 Budaya Organisasi
Budaya organisasi dalam hal ini menjelaskan tentang Pengertian budaya
organisasi, tipe budaya organissi, ciri-ciri budaya organisasi yang kuat, dan nilainilai budaya organisasi militer.
2.4.1
Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan bagian dalam fungsi pengorganisasian. Budaya
organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi
(Robbins, 2006). Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus
dikatakan atau dilakukan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi meliputi segala
sesuatu yang ada dalam organisasi baik itu kepercayaan, norma, nilai-nilai, filosofi,
tradisi maupun pengorbanan (Swanburg, 2000). Sleutel dalam Marquis & Huston
(2012) menjelaskan bahwa budaya organisasi berhubungan dengan perilaku
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
manusia dalam organisasi dan bagaimana organisasi mempengaruhi anggota
kelompok. Budaya membantu membentuk persepsi, sikap, dan keyakinan serta
mempengaruhi bagaimana anggota organisasi melakukan pendekatan dan
melaksanakan peran serta tanggung jawabnya.
Budaya organisasi adalah simbol dan interaksi unik pada setiap organisasi
meliputi cara berpikir, berperilaku, berkeyakinan yang sama-sama dimiliki oleh
anggota organisasi (Marquis & Huston, 2012). Menurut Owens dalam Tika (2010)
budaya organisasi merupakan suatu sistem kontrol yang menghasilkan norma
perilaku.
Budaya sebagai pola perilaku berisi norma tingkah laku dan
menggariskan batas-batas toleransi sosial (Ndraha, 2003). Tan dalam Wibowo
(2012) menguraikan budaya organisasi sebagai satuan norma yang terdiri dari
keyakinan, sikap, core value, dan pola perilaku yang dilkukan orang dalam
organisasi.
2.4.2
Tipe Budaya Organisasi
Cooke & Lafferty dalam Marquis & Huston (2012) dan Kreitner & Kinicki
(2010) membagi menjadi tiga tipe budaya organisasi yaitu budaya positif/
konstruktif, pasif dan agresif.
a.
Budaya positif yaitu budaya konstruktif yang mendorong semua anggota
berinteraksi dengan yang lain dan melakukan pendekatan tugas dengan cara
proaktif yang membantu memenuhi kebutuhan kepuasan.
b.
Budaya pasif-defensif yaitu mempunyai karakteristik menolak keyakinan
bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak
menantang keamanan kerja pekerja sendiri.
c.
Budaya agresif-defensif yaitu anggota organisasi berinteraksi dengan cara
yang reaktif dan melakukan pendekatan tugas dengan cara yang kuat untuk
melindungi status dan keamanan mereka.
2.4.3 Fungsi Budaya Organisasi
Fungsi utama budaya organisasi menurut Robbins (2003) & Tika (2010) adalah 1)
Sebagai batas pembeda yang membedakan organisasi satu dengan yang lain 2)
Memberikan rasa identitas bagi anggota organisasi 3) Sebagai perekat bagi
karyawan dalam suatu organisasi. 4) Mempromosikan stabilitas sistem sosial. 5)
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku
karyawan. 6) Membentuk perilaku bagi karyawan. 7) Sebagai sarana untuk
menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi. 8) mempermudah timbulnya
komitmen yang lebih luas daripada kepentingan pribadi. 9) Sebagai alat
komunikasi.
2.4.4
Ciri-Ciri Budaya Organisasi Kuat
Organisasi yang mempunyai ciri budaya yang kuat menurut Robbins (2003) bila
dimana nilai-nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama
secara meluas oleh anggota organisasi. Budaya kuat merupakan pembangkit
semangat yang paling berpengaruh dalam menuntun perilaku, karena membantu
anggota organisasi melakukan pekerjaannya dengan lebih baik (Deal & Kennedy
dalam Tika, 2010). Budaya kuat merupakan sistem peraturan informal yang
menjelaskan bagaimana anggota organisasi harus berperilaku setiap saat. Budaya
kuat membuat anggota organisasi merasa lebih baik dengan apa yang mereka
lakukan sehingga cenderung untuk bekerja lebih keras.
Budaya organisasi yang kuat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Luthans
dalam Tika (2010) faktor-faktor utama yang menentukan kekuatan budaya
organisasi adalah kebersamaan dan intensitas.
a.
Kebersamaan. Kebersamaan adalah sejauh mana anggota organisasi
mempunyai nilai inti yang dianut secara bersama.
b.
Intensitas. Intensitas adalah derajat komitmen dari anggota organisasi kepada
nilai-nilai inti budaya organisasi.
Ciri-ciri budaya organisasi kuat menurut Deal dan Kennedy dalam Tika (2010):
a.
Anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan
organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik.
b.
Pedoman bertingkah laku bagi anggota organisasi yang digariskan dengan
jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh anggota organisasi sehingga
bekerja menjadi sangat kohesif.
c.
Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya slogan tetapi dihayati dan
dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten, dari yang
berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan tertinggi.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
d.
Organisasi memberikan tempat khusus bagi anggota yang berprestasi dan
secara sistematis menciptakan bermacam-macam prestasi.
e.
Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual
mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk
menghadiri acara-acara ritual itu.
f.
Memiliki jaringan kultural yang menampung cerita kehebatan para peraih
prestasi.
Ciri-ciri budaya organisasi yang kuat ditambahkan oleh Tika (2010) selain ciri-ciri
yang disebutkan diatas yaitu intensitas, kejelasan, ekstensitas juga kohesi, dan
komitment (Tika, 2010). Kohesi dari suatu kelompok yang kuat menyebabkan
nilai-nilai budaya organisasi dapat dipahami, dimengerti, dan dilaksanakan
dengan penuh kesadaran oleh anggota organisasi. Komitmen yang kuat
menyebabkan seseorang bisa mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari
organisasi dan merasakan adanya ikatan batin dengan organisasi tersebut.
2.4.5
Nilai-Nilai Budaya Organisasi Militer
Nilai-nilai adalah keyakinan dasar yang dianut oleh sebuah organisasi. Nilai-nilai
dasar budaya organisasi diterjemahkan sebagai filosofi, asumsi dasar, motto
organisasi, misi, tujuan umum organisasi dan prinsip-prinsip yang menjelaskan
organisasi. Nilai-nilai budaya menjelaskan apa yang merupakan perintah atau
anjuran dan apa yang merupakan larangan, kegiatan apa saja yang bisa
mendapatkan penghargaan dan kegiatan apa yang memperoleh hukuman (Tika,
2010). Nilai-nilai budaya organisasi dipakai sebagai pedoman berperilaku bagi
anggota organisasi.
Nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh anggota organisasi berfungsi sebagai jati
diri. Jati diri bagi anggota organisasi memberikan rasa istimewa yang berbeda
dengan organisasi lainnya. Jati diri prajurit TNI adalah sapta marga, sumpah
prajurit dan delapan wajib TNI. Sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib
TNI juga merupakan kode etik TNI.
Sapta Marga menjelaskan bahwa anggota organisasi TNI adalah warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila; patriot Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
pendukung serta pembela ideologi negara, bertanggung jawab dan tidak mengenal
menyerah; ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan; bhayangkari negara dan bangsa
Indonesia; memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta
menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit; mengutamakan keperwiraan di
dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan
bangsa. setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.
Prajurit sebagai anggota organisasi militer mempunyai sumpah dalam pelaksanaan
tugasnya yaitu setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; tunduk kepada hukum
dan memegang teguh disiplin keprajuritan; taat kepada atasan dengan tidak
membantah perintah atau putusan; menjalankan segala kewajiban dengan penuh
rasa tanggung jawab kepada tentara dan Negara Republik Indonesia; memegang
segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.
Nilai-nilai budaya organisai militer meliputi profesionalisme militer, disiplin
tinggi, membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, loyalitas tinggi dicerminkan
dengan patuh dan taat kepada pimpinan serta tidak membantah perintah atau
putusan, bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah (Chrisnandi, 2005;
Sapta Marga, & Sumpah prajurit).
a.
Profesionalisme militer
Profesionalisme militer merupakan suatu keseimbangan di antara keahlian,
tanggung jawab dan sikap kebersamaan. Profesionalisme militer sebagai
bagian yang seharusnya melekat dalam keseharian seorang prajurit
melaksanakan tugasnya yaitu melaksanakan tugas sesuai kewajiban dan
tanggung jawab yang diembannya. (Chrisnandi, 2005).
Parameter dasar yang menjadi standar profesionalisme prajurit TNI di
antaranya kemahiran menggunakan senjata yang melekat padanya, komitmen
terhadap keberhasilan tugas, disiplin yang tinggi, kepatuhan kepada hukum
dan perintah atasan, dorongan untuk terus mengembangkan diri dan tidak
berpolitik (Chrisnandi, 2005).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
b.
Disiplin tinggi
Disiplin menjadi sikap mental pada militer. Disiplin merupakan bentuk
ketaatan dan kepatuhan. Disiplin bagi seorang anggota militer atau anggota
organisasi militer merupakan suatu keharusan dan menjadi pola hidup yang
harus dijalani. Penegakkan disiplin yang tinggi diiringi dengan hukuman
terhadap anggota organisasi yang melanggar disiplin.
Pembentukan disiplin bagi anggota organisasi militer dimulai dari masa
pendidikan dasar keprajuritan. Pembinaan dan pengasuhan merupakan salah
satu cara pembentukan disiplin. Pola pembinaan diberikan melalui intensitas
kegiatan disertai doktrin bagi anggota TNI. Disiplin dalam organisasi militer
diberlakukan dengan suatu peraturan dan ketentuan demi lancarnya
penegakan disiplin. Penegakan hukum disiplin militer bersumber kepada
peraturan-peraturan hukum disiplin prajurit, sapta marga, sumpah prajurit dan
delapan wajib TNI (La Ode, 2006).
c. Membela kejujuran, kebenaran dan keadilan
Membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan merupakan sikap mental yang
ditanamkan kepada setiap anggota baik militer maupun sipil.
d. Loyalitas
Loyalitas adalah kepatuhan dan kesetiaan. Loyalitas merupakan salah satu
bentuk sikap seseorang yang terbentuk melalui proses interaksi dua belah
pihak yang diwujudkan dalam suatu perilaku. Seseorang dikatakan memiliki
loyalitas jika memiliki kepatuhan dan kesetiaan terhadap organisasi
/pimpinan. Anggota organisasi yang loyal akan menjaga citra baik organisasi
(Wibowo, 2011). Salah satu perilaku organisasi yang paling menonjol dalam
dalam tubuh TNI dan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pelaksanaan
tugas adalah sikap loyal terhadap pimpinan yang tertuang didalam kode etik
prajurit.
Loyalitas dalam lembaga militer sangat tinggi. Loyalitas ini terbentuk bukan
hanya dalam waktu yang singkat tetapi melalui proses yang sangat panjang.
Dimulai dari proses pendidikan secara formal dalam lembaga militer hingga
kepada pendidikan non formal. Loyalitas ini semakin diperkuat dengan adanya
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
kode etik prajurit dan kode etik organisasi. Garis komando yang tegas juga
turut memperkuat loyalitas dalam militer (Mabesau, 2012). Menurut
Suryohadiprojo dalam Mabesau (2012) menyatakan bahwa organisasi militer
harus percaya dan taat kepada atasannya.
Loyalitas yang tinggi pada negara maka semua misi dan tugas negara yang
diemban akan tercapai dengan baik. Loyalitas seorang angkatan udara
terhadap negara terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan loyalitas kepada atasan
dan bawahan (Mabesau, 2012). Organisasi yang mempunyai kepercayaan
tinggi membantu meningkatkan loyalitas (Wibowo, 2011).
Bentuk kepatuhan prajurit tercantum dalam kode etik prajurit yaitu sapta
marga yang dicerminkan dengan memegang teguh disiplin, patuh dan taat
kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit.
Kesetiaan prajurit tercantum dalam sumpah prajurit yang dicerminkan dengan
taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan.
2.5 Karakteristik Perawat
Karakteristik perawat yang diteliti meliputi status kepegawaian, umur, masa kerja
dan pelatihan.
2.5.1 Umur
Produktifitas merosot sejalan dengan makin tuanya usia seseorang. Usia muda
lebih produktif dibandingkan ketika usia tua (Tika, 2010). Usia produktif
mencapai puncaknya saat berumur 30-40 tahun (Purwanto, 1999).
Sutrisno
(2009) bahwa produktifitas dan kinerja akan menurun dengan bertambahnya
umur. Siagian (2009)
menjelaskan bahwa umur
berkaitan dengan tingkat
kedewasaan psikologis, dengan bertambahnya umur akan semakin bijaksana
dalam
mengambil keputusan, serta memilki kemampuan analisis yang baik
terhadap fenomena atau permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan teori
perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Jean Peaget bahwa usia dewasa
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
terbagi menjadi dua yaitu dewasa muda kurang dari 35 tahun dan dewasa tua 35
tahun atau lebih,
2.3.3 Masa Kerja
Masa kerja yang lebih lama menunjukan pengalaman yang lebih dibandingkan
dengan rekan kerjanya yang lain, sehingga sering masa kerja/pengalaman kerja
menjadi pertimbangan sebuah perusahaan dalam mencari pekerja (Tika, 2010).
Menurut Swanburg (2002) menyatakan bahwa semakin lama seseorang di
pelayanan klinis maka akan semakin baik penampilan klinisnya. Pengalaman
belajar selama bekerja dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan
yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik
yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Dessler, (1997) pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam
bekerja. Masa kerja yang lebih lama seharusnya mempunyai efek terhadap perilaku dan
kinerjanya dalam melaksanakan keselamatan pasien
dengan tepat, namun dapat juga
terjadi sebaliknya hal ini seperti yang dinyatakan oleh Robbins, (2003) bahwa orang
yang telah lama bekerja belum tentu lebih produktif dibandingkan dengan karyawan
yang senioritasnya lebih rendah.
2.3.1 Status Kepegawaian
Status kepegawaian yang ada dalam organisasi militer adalah anggota militer dan
sipil (Mabesau, 2012). Ciri khas dalam militer adalah adanya hirarki kepangkatan.
Wewenang dan tanggung jawab yang diemban oleh anggota militer berhubungan
dengan hirarki pekangkatan, semakin tinggi kepangkatan maka wewenang dan
tanggung jawabnya juga semakin besar.
2.3.4 Pelatihan
Kompetensi karyawan dapat dipertahankan dan agar tidak menjadi usang
diperlukan pelatihan formal. Kegiatan pelatihan dapat memperbaiki keterampilan
dan mengembangkan karier sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan
mempersiapkan karyawan untuk masa depan yang penuh dengan persaingan,
perubahan tehnologi yang semakin cepat (Tika, 2010).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Salah satu upaya mendukung perwujudan profesionalismen militer dengan
meningkatkan kemampuan militer, pendidikan dan pelatihan kemiliteran,
tersedian sarana dan peralatan militer yang memadai (Chrisnandi, 2005). Faktor
yang mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah atasan sebelumnya, nilai (value),
informasi, kerjasama, karyawan dan pendidikan (Vesterinen, Isola, & Paasivaara,
2009)
Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan dengan kegiatan
pendidikan keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab,
kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis, laboratorium dan farmasi),
menangani masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa orientasi
dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James,
2011).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
38 2.6 Kerangka Teori
Bagan 2.2 Kerangka teori penelitian determinan perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
Fungsi-Fungsi Manajemen
Perencanaan
Pengorganisasian
Pengaraha
Pengendalian
(Marquis & Huston, 2012;
Swanburg, 2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi
1. Kepemimpinan
(Flin, Connor & Crichton, 2008;
Marquis & Huston, 2010;
Notoatmodjo, 2007; Swanburg,
2002; Tika, 2010; Yule, Flin,
Peterson, Brown & Maran, 2006;
White, 2012)
2. Budaya Organisasi
a. Kekuatan budaya organisasi
b. Nilai-nilai budaya organisai
militer: profesionalisme
militer, memegang teguh
disiplin, membela kebenaran,
kejujuran, dan keadilan,
loyalitas
(Chrisnandi, 2005; Marquis &
Huston, 2012; Mabesau, 2012;
Notoatmodjo, 2007; Swanburg,
2002; White 2012)
3. Karakteristik perawat: umur,
masa kerja, status kepegawaian
dan pelatihan
(La Ode, 2006; Tika, 2010;
Swanburg, 2002; Chrisnandi, 2005;
Vesterin, Isola, & Paasivaara, 2009;
Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned,
& James, 2011)
Perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan
pasien
1. Mengidentifikasi pasien
2. Komunikasi efektif
3. Peningkatan keamanan
obat
4. Kepastian Tepat
lokasi,Prosedur dan
Pasien operasi
5. Pengurangan risiko
infeksi
6. Pengurangan risiko jatu
(Permenkes, 2011)
Keselamatan Pasien
Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Bab ini menjelaskan tentang kerangka konsep, hipotesis, dan definisi operasional.
Kerangka konsep merupakan suatu ide atau gagasan yang dinyatakan dalam
bentuk simbol atau kata, yang terdiri dari variabel bebas (independen) dan
variabel terikat (dependent) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
pertanyaan penelitian. Definisi operasional merupakan penjelasan secara tepat
mengenai suatu istilah yang digunakan dalam penelitian secara konseptualis.
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan suatu hubungan antara satu konsep
dengan konsep lainnya yang terkait dan mendukung dari masalah yang ingin
diteliti. Kerangka konsep digunakan untuk menghubungkan atau menjelaskan
tentang topik yang akan dibahas. Kerangka konsep didapatkan dari konsep teori
yang dipakai sebagai landasan penelitian pada tinjauan kepustakaan.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku
perawat
kepemimpinan
dalam
melaksanakan
keperawatan
meliputi
faktor
(Flin, Connor & Crichton, 2008; Marquis & Huston, 2012;
Notoatmodjo, 2007; Mabesau, 2012; Swanburg, 2002;
Yule, Flin, Peterson,
Brown & Maran, 2006; White, 2012), budaya organisasi (Marquis & Huston,
2012; Swanburg, 2002; White, 2012 ), karakteristik perawat ((La Ode, 2006; Tika,
2010; Swanburg, 2002; Chrisnandi, 2005; Vesterin, Isola, & Paasivaara, 2009; Dhatt,
Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah perilaku perawat dalam keselamatan
pasien. Pada penelitian ini, perilaku dikelompokkan menjadi enam indikator yang
meliputi mengidentifikasi pasien, melakukan komunikasi efektif, peningkatan
keamanan obat, pengurangan risiko infeksi dan pengurangan risiko jatuh
(Permenkes, 2011).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Bagan 3.1 Kerangka penelitian determinan perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Perilaku
perawat
melaksanakan
pasien
Kepemimpinan
Budaya organisasi
Masa kerja
keselamatan
1. Identifikasi pasien
2. Komunikasi efektif
3. Peningkatan
Umur
dalam
Status kepegawaian
keamanan obat
4. Kepastian
tepat
lokasi, prosedur dan
Pelatihan
pasien operasi
5. Mengurangi
risiko
infeksi
6. Mengurangi
risiko
jatuh
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara yang dibuat oleh peneliti
terhadap penelitian yang akan dilakukan. Dharma (2011) menjelaskan bahwa
hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar variabel yang
merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil penelitian. Hipotesis
dalam penelitian ini meliputi:
3.2.1
Ada hubungan faktor kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
3.2.2
Ada hubungan faktor budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
3.2.3
Ada hubunga karakteristik perawat (umur, masa kerja, status kepegawaian
dan pelatihan) dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
3.2.4
Ada faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta.
3.3
Definisi operasional
Definisi operasional merupakan suatu cara untuk memberikan pemahaman yang
sama terhadap variabel penelitian yang akan di teliti. Definisi operasional ini
untuk
menentukan metode penelitian yang akan digunakan dalam meneliti.
Definisi operasional diperlukan agar pengukuran variabel dan pengumpulan data
konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan responden yang lain
(Notoatmodjo, 2010).
Variabel di ukur dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari pernyataan
positif dan pernyataan negatif. Kuisioner B terdiri dari pernyataan positif dengan
rentang 1 - 4 yaitu skor 1 untuk tidak pernah, 2 untuk jarang, 3 untuk sering dan 4
untuk selalu. Pernyataan negatif kebalikan dari pernyataan positif yaitu skor 1
untuk selalu, 2 untuk sering, 3 untuk jarang dan 3 untuk tidak pernah.
Kuisioner C terdiri dari pernyataan positip dengan rentang 1-4 yaitu skor 1 untuk
sangat tidak setuju, skor 2 untuk tidak setuju, skor 3 untuk setuju dan skor 4 untuk
sangat setuju. Pernyataan negatif kebalikan dari pernyataan positif yaitu skor 4
untuk sangat tidak setuju, skor 3 untuk tidak setuju, skor 2 untuk setuju dan skor 1
untuk sangat setuju.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur dan alat
ukur
Hasil ukur
Skala
Terikat
1.
a.
b.
c.
Perilaku
Perawat
Ketepatan
identifika
si pasien
Peningkatan
komunikasi
yang efektif
Peningkatan
keamanan
obat yang
perlu
diwaspadai
Persepsi perawat
pelaksana dalam
melaksanakan enam
sasaran keselamatan
pasien meliputi
identifikasi pasien,
komunikasi efektif,
peningkatan keamanan
obat, kepastian tepat
lokasi, prosedur, dan
pasien yang akan
dilakukan tindakan
prosedur, pengurangan
risiko infeksi dan jatuh.
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 39
item pernyataan
perilaku keselamatan
pasien (32 pernyataan
positif & 7 negatif),
dengan mengguna kan
skala Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(135)
Persepsi perawat
pelaksana dalam
memastikan identitas
pasien sebelum
memberikan obat,
darah, mengambil
darah atau spesimen
lain
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 6
item pernyataan
ketepatan identifikasi
pasien (5 pernyataan
positif & 1 pernyataan
negatif), dengan
mengguna kan skala
Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(22)
Persepsi perawat
pelaksana dalam
melakukan komunikasi
efektif saat menerima
instruksi, hasil
pemeriksaan, operan
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 7
item pernyataan
komunikasi efektif (6
pernyataan positif & 1
negatif), dengan
mengguna kan skala
Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(26 )
Persepsi perawat
pelaksana dalam
menjaga agar tidak
terjadi kesalahan obat
yang diberikan kepada
pasien
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 7
item pernyataan
peningkatan keamanan
obat (3 pernyataan
positif & 4 negatif) ,
dengan mengguna kan
skala Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(18)
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(135)
Ordinal
Kurang
baik jika <
median
(22)
Ordinal
Kurang
baik jika <
median
(26)
Kurang
baik jika
nilai <
median
(18)
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Ordinal
Variabel
d.
Kepastian
tepat
prosedur,
tepat lokasi,
dan tepat
pasien
Persepsi perawat
pelaksana dalam
memastikan tepat
prosedur, tepat lokasi,
tepat pasien sebelum
melakukan
tindakan/prosedur
Mengurangi
risiko infeksi
terkait
pelayanan
kesehatan
Persepsi perawat
pelaksana dalam
mengurangi risiko
infeksi dengan mencuci
tangan, menggunakan
APD
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 8
item pernyataan
pengurangan infeksi (8
pernyataan positif),
dengan mengguna kan
skala Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(30 )
Persepsi perawat
pelaksana dalam
mencegah pasien jatuh
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 6
item pernyataan
pengurangan risiko
jatuh (5 pernyataan
positif & 1 negatif),
dengan mengguna kan
skala Likert.
Baik jika
nilai ≥
mean (20)
Persepsi perawat
pelaksana terhadap
pimpinan keperawatan
mulai dari ketua tim,
kepala ruangan, kepala
rawat inap sampai
kepala keperawatan
umum terkait
pelaksanaan
keselamatan pasien
Diukur dengan
kuisioner C, terdiri
dari 16 item
pernyataan
kepemimpin (10
pernyataan positif & 6
negatif)
menggunakan skala
Likert
Baik jika
nilai ≥
median
(46)
Persepsi perawat
pelaksana terhadap
pengaruh nilai-nilai
dan keyakinan terkait
karakteristik
kemiliteran yaitu
profesionalisme
militer, kedisiplinan
dan loyalitas dalam
melaksanakan
keselamatan pasien
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
23 item pernyataan
budaya organisasi (16
pernyataan positif & 7
negatif), dengan
mengguna
kan skala Likert.
Baik jika
nilai ≥
median
(64)
e.
f.
Mengurangi
risiko pasien
jatuh.
Definisi Operasional
Cara Ukur dan alat
ukur
Diukur dengan
kuisioner B terdiri 5
item pernyataan
Kepastian tepat
prosedur, tepat lokasi,
tepat pasien (5
pernyataan positif)
dengan menggunakan
skala Likert.
No
Hasil ukur
Baik jika
nilai ≥
median
(19)
Skala
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(19)
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(30)
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
mean (20)
Bebas
1.
2.
Kepemimpin
an
Budaya
organisasi
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(46)
Kurang
baik jika
nilai <
median
(64)
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Ordinal
No
a.
b.
1).
2).
3).
Variabel
Kekuatan
budaya
organisasi
Definisi Operasional
Persepsi perawat
terhadap kuatnya
budaya organisasi yang
mendukung terhadap
terlaksananya
keselamatan pasien
Nilai-nilai
budaya
organisasi
militer
Profesionalis
me militer
Disiplin
Hasil ukur
Baik jika
nilai ≥
median
(21)
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
23 item pernyataan
nilai-nilai budaya
organisasi militer (16
pernyataan positif & 7
negatif), dengan
mengguna
kan skala Likert
Baik jika
nilai ≥
median
(42)
Persepsi perawat
terhadap kemampuan
yang harus dimiliki
sesuai dengan bidang
kerjanya
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
7 item pernyataan
profesionalisme militer
(5 pernyataan positif
& 2 negatif), dengan
mengguna
kan skala Likert
Baik jika
nilai ≥
median
(18)
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
2 item pernyataan
disiplin (2 pernyataan
positif ), dengan
menggunakan skala
Likert
Baik jika
nilai ≥
mean (7)
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
1 item pernyataan
kejujuran, kebenaran
dan keadilan (1
pernyataan positif),
dengan mengguna
kan skala Likert
Baik jika
nilai ≥
median
( 3)
Persepsi perawat
terhadap pembelaan
terhadap kebenaran dan
kejujuran kepada
pasien dalam
melaksanakan
keselamatan pasien
Skala
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(21)
Persepsi perawat
terhadap karakteristik
kemiliteran yang
berlaku di tempat
dimana perawat
bekerja
Persepsi perawat
terhadap tepat waktu
dan mematuhi aturan
yang berlaku
Membela
kejujuran,
kebenaran,
dan keadilan
Cara Ukur dan alat
ukur
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
8 item pernyataan
kekuatan budaya
organisasi (4
pernyataan positif & 4
negatif), dengan
mengguna
kan skala Likert
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(42)
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
median
(18)
Ordinal
Kurang
baik jika
nilai <
mean (7)
Kurang
baik jika
nilai <
median (3)
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Ordinal
No
4)..
1.
Variabel
Loyalitas
Definisi Operasional
Persepsi perawat
terhadap kepatuhan
kepada atasan, aturan
dalam melaksanakan
keselamatan pasien
Karakteristik
perawat
Umur
Cara Ukur dan alat
ukur
Diukur dengan
kuisioner C terdiri dari
5 item pernyataan
loyalitas (4 pernyataan
positif & 1 negatif),
dengan mengguna
kan skala Likert
Lama hidup perawat
pelaksana dihitung
sejak tanggal kelahiran
hingga ulang tahun
terakhir pada saat
mengisi kuisioner
Diukur dengan
Kuisioner A No. 1
Hasil ukur
Skala
Loyal jika
nilai ≥
median
(14)
Ordinal
Kurang
loyal jika
nilai <
mediasn
(14)
Penggolon
gan
1=<35
tahun
Rasio
2= ≥ 35
tahun
2.
Status
kepegawaian
Jenis pegawai sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku berdasarkan
surat keputusan
pengangkatan pegawai
Diukur dengan
Kuisioner A No. 2
Penggolon
gan
1= militer
2= sipil
Nominal
3.
Masa Kerja
Jumlah tahun yang
menunjukan lamanya
perawat pelaksana
telah bekerja dirawat
inap yang dihitung
sejak pertama kali
bekerja sampai dengan
penelitian dilakukan
Diukur dengan
kuisioner A No 3
Penggolon
gan
1=< 5
tahun
Rasio
Kegiatan untuk
meningkatkan
pengetahuan, sikap,
dan ketrampilan
tentang keselamatan
pasien
Diukur dengan
kuisioner A No 4
4.
Pelatihan
2=≥ 5
tahun
Penggolon
gan
1= pernah
2= tidak
pernah
Nominal
Semua variabel dan subvariabel penelitian mayoritas memiliki data yang tidak
terdistribusi normal. Uji kenormalan data dengan uji Skewness dan kurtosis. Data
terdistribusi normal apabila berada pada rentang -2 sampai dengan 2. Variabel
yang memiliki data rentang data -2 sampai dengan 2 sehingga dapat dikatakan
bahwa datanya terdistribusi normal adalah risiko mengurangi jatuh dan disiplin.
Hasil uji Skewness pada variabel mengurangi risiko jatuh adalah -0,104 dan uji
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
46 Kurtosis -0,851. Hasil uji Skewness pada variabel disiplin adalah 0,915 dan
Kurtosis -1,419. Data terdistribusi normal menggunakan mean sedangkan yang
tidak terdistribusi normal menggunakan median untuk menganalisis datanya.
Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 4
METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, populasi dan sampel yang
digunakan, serta prosedur penelitian. Prosedur penelitian meliputi; tempat
penelitian, waktu penelitian, etik penelitian, alat pengumpul data, pengujian
instrumen, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat, dan
multivariat.
4,1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan korelasi
deskriptif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Cross
sectional bertujuan untuk meneliti hubungan antara variabel yang dilakukan
observasi dan diukur sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien sehingga didapatkan gambaran hubungan
antara faktor determinan dengan
perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik
yang ditentukan. Menurut Hastono & Sabri (2010) menjelaskan populasi adalah
keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga.
Populasi pada penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang rawat inap
berjumlah 128 orang perawat. Distribusi tiap ruangan dijelaskan pada tabel
berikut:
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Perawat Pelaksana di Rawat Inap
RSAU dr. Esnawan Antariksa Tahun 2012
No
1.
2.
3.
4.
5.
6,
7.
8.
Nama Ruangan
Dirgantara
Cencrawasih
Merak
Merpati
Garuda
Nuri
Parkit
ICU
Total
Jumlah Perawat
Pelaksana
12 perawat
19 perawat
16 perawat
12 perawat
17 perawat
22 perawat
12 perawat
18 perawat
128 perawat
Proporsi (%)
9,4
14,8
12,5
9,4
13,3
17,2
9,4
14
100
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi dan dapat mewakili populasi atau
representatif. Menurut Hastono & Sabri (2010) sampel adalah sebagian populasi
yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur.
Perawat pelaksana yang diambil menjadi sampel adalah yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu 1) perawat pelaksana, 2) bertugas di
ruang rawat inap, 3) latar belakang pendidikan keperawatan SPK, DIII dan S1, 4)
masa kerja minimal 6 bulan, 5) bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Menurut
Robbins (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa seseorang akan
termotivasi menjadi lebih baik setelah enam bulan. Kriteria ekslusi 1) meliputi
perawat yang sedang cuti, 2) sedang mengikuti pendidikan, 3) sedang dinas luar,
4) sedang sakit (dirawat di rumah sakit atau ada surat dokter jika di rawat di
rumah).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Peneliti menentukan besar sampel minimal dalam penelitian ini menggunakan
rumus proporsi yang dikemukakan oleh Isaac & Michel (dalam Sugiyono, 2010).
h2.N.P.Q
s =
d 2 (N-1) + h2.P.Q
Keterangan:
h2 = Nilai tabel. Tingkat kepercayaan (Confidence Interval), menggunakan 95%
(α 1,96)
N = Besarnya populasi
Q = 1–P
P = Taksiran populasi, dengan nilai 0,5
S = Besarnya proporsi
D = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya (true
prevalence) yang besarnya disesuaikan dengan prevalensi. Secara umum
nilai d yang sering dianggap bermakna adalah 5%.
Sampel berdasarkan rumus tersebut dengan CI 95% (α 1,96) adalah sebagai
berikut:
S=
3,841 x 128 x 0,5 x 0,5
( (0,05 x 0,05) x 127) + ( 3,841 x 0,5 x 0,5 )
S = 96,23 dibulatkan menjadi 96 perawat pelaksana
Sampel yang diperlukan berdasarkan penghitungan tersebut adalah 96 perawat
pelaksana. Sampel ditambahkan 10% dari hasil penghitungan sampel yang
diperlukan untuk mengantisipasi terhadap pengisian kuisioner yang tidak lengkap
dan tidak sesuai (tidak jelas, tidak konsisten). Menurut Dharma (2010)
pertimbangan untuk memperhitungkan loss of follow up dengan f = 10 %. Sampel
yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 106 perawat pelaksana.
Minimal sampel presentatif dalam penelitian adalah 106 perawat pelaksana.
Jumlah populasi 128 perawat pelaksana sehingga selisih antara populasi dengan
sampel adalah 22. Selain jumlah selisih yang kecil dan untuk memberikan
kesempatan kepada seluruh perawat pelaksana untuk menjadi responden, maka
teknik pengambilan sampel yang peneliti lakukan pada penelitian ini adalah total
sampling yaitu seluruh perawat pelaksana yang ada dalam populasi dijadikan
sebagai sampel yaitu 128 perawat pelaksana.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Perawat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 123 perawat dari
128 perawat karena 2 perawat sedang cuti dan 3 perawat sedang mengikuti
pendidikan. Kuisioner yang kembali sebanyak 123 (kembali semua) dan dari
kuisioner yang kembali terdapat pengisian yang tidak lengkap sebanyak 6
kuisioner. Dengan demikian sampel penelitian sebanyak 117 perawat.
4.3 Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Peneliti memilih
RSAU dr. Esnawan Antariksa dengan alasan efektif dan efisien. Efektif karena
masalah penelitian sesuai dengan fenomena di lapangan dan tujuan penelitian
mendukung upaya rumah sakit dalam meningkatkan keselamatan pasien serta
adanya dukungan yang positif dari kepala rumah sakit beserta staf terkait
penelitian yang peneliti lakukan. Upaya rumah sakit untuk meningkatkan
keselamatan pasien diwujudkan dalam misi rumah sakit. Misi rumah sakit yaitu
menyelenggarakan pelayanan secara profesional dan bermutu tinggi. Efisien
karena pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga. Peneliti menggunakan unit rawat
inap selain rawat inap merupakan tempat peneliti bekerja juga dengan tujuan
untuk mendapatkan karakteristik yang homogen dari sampel penelitian.
4.4 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pembimbing dan
izin penelitian. Penelitian dimulai dari penyusunan proposal sampai dengan
penyusunan laporan tesis. Penelitian dilaksanakan pada September – Desember
2012.
Tabel 4.2 Jadwal Penelitian
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nama Ruangan
Sept
Okt
Bulan/Tahun 2012-2013
Nop
Des
Jan
Penyusunan proposal penelitian
Ujian proposal penelitian
Uji Etik
Uji validitas dan relibialitas
Penelitian
Penyusunan laporan hasil
Ujian hasil penelitian
Penyusunan laporan penelitian
Ujian sidang
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
4.5 Etika Penelitian
Peneliti telah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan lolos kaji etik (ethical clearance) dari Komite Etik
penelitian Keperawatan FIK. Aspek etik yang digunakan dalam penelitian ini
memperhatikan aspek autonomy, confidentiality, nonmalefficence, beneficence
dan justice (Polit & Beck, 2006).
Prinsip Autonomy. Peneliti memberikan penjelasan kepada perawat pelaksana
mengenai penelitian meliputi maksud dan tujuan penelitian, serta menyampaikan
permohonan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Perawat pelaksana bersedia
menjadi responden (123 perawat) kemudian dilanjutkan dengan mengisi inform
consent. Peneliti menjelaskan cara pengisian instrumen, memberikan kebebasan
pemilihan waktu kepada responden dalam pengisian instrumen. Tidak ada
responden yang mengundurkan diri selama proses penelitian.
Prinsip
dampak
yang
membahayakan bagi responden selama proses penelitian berlangsung
baik
non
malefiecence.
Penelitian
tidak
memberikan
bahaya langsung maupun tidak langsung karena instrumennya berupa kuisioner
dan tidak ada perlakuan/ intervensi terhadap responden. Pengisian kuisioner tidak
mempengaruhi penilaian kinerja dan karir responden karena peneliti menjamin
kerahasiaan responden.
Prinsip justice. Peneliti memperlakukan perawat pelaksana sama, tanpa
diskriminasi selama proses penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan
total populasi sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi perawat
pelaksana untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti memberikan hakhak responden yang sama berupa hak untuk mendapatkan penjelasan dan
informasi, hak untuk bertanya.
Prinsip confidentiality. Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan hak asasi
untuk informasi yang didapatkan. Peneliti merahasiakan berbagai informasi yang
menyangkut privasi responden, identitas responden dengan menggunakan kode
dan hanya peneliti yang tahu tentang kode tersebut.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Prinsip benefiecience. Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur
penelitian untuk mendapatkan hasil yang yang semaksimal mungkin baik bagi
responden dan rumah sakit dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien.
Selama proses penelitian dengan pengisian kuisioner telah memberikan manfaat
berupa kesadaran (awareness) pada responden terhadap keselamatan pasien. ini
bermanfaat bagi responden yaitu memberikan kesadaran
(awareness) dalam
pelaksanaan keselamatan pasien.
4.6 Alat Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner
diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu kuisioner A untuk karakteristik perawat,
kuisioner B untuk memberikan gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien dan kuisioner C untuk memberikan gambaran faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien.
4.6.1
Kuisioner A
Kuisioner A merupakan kuisioner tentang karakteristik perawat yang meliputi
umur, masa kerja, status kepegawaian dan pelatihan. Hasil pengumpulan data
variabel status kepegawaian dikategorikan menjadi militer dan sipil. Masa kerja
dikategorikan menjadi < 5 tahun dan ≥ 5 tahun. Pelatihan dikategorikan menjadi
pernah dan tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien.
4.6.2
Kuisioner B
Kuisioner B merupakan kuisioner tentang perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien mengacu pada enam sasaran keselamatan pasien berdasarkan
Permenkes (2011) meliputi identifikasi pasien, komunikasi efektif, keamanan
obat, ketepatan
lokasi, prosedur dan
pasien, mengurangi risiko infeksi dan
mengurangi risiko jatuh. Kuisioner ini dikembangkan oleh peneliti berdasarkan
Permenkes (2011) yang didukung oleh kepustakaan. Peneliti mengadopsi perilaku
perawat berdasarkan Permenkes (2011) ini karena aplikatif dan sesuai dengan
kondisi rumah sakit tempat penelitian dilakukan dan hal ini merupakan standar
yang harus diterapkan pelaksanaannya di setiap rumah sakit.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Perilaku Perawat
dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel
Positif
Mengidentifikasi pasien
a. Penggunaan identitas pasien untuk
mengidentifikasi
b. Identifikasi sebelum pemberian obat,
transfusi, pemeriksaan laboratorium,
prosedur/ tindakan diagnostik dan
operasi.
c. Verifikasi identifikasi setiap serah
terima pasien
Melakukan komunikasi efektif
a. Komunikasi verbal
b. Operan
c. Melibatkan pasien/keluarga
Peningkatan keamanan obat
a. Prinsip pemberian obat
b. Mengecek alergi dan reaksi obat
c. Check and recheck pemberian obat
d. Penempatan obat
e. Melibatkan pasien dan keluarga
Memastikan tepat lokasi dan prosedur
a. Tepat lokasi tindakan
b. Tepat prosedur
c. Tepat pasien
Mengurangi infeksi
a. Hand hygiene/kebersihan tangan
b. Pemeliharaan luka dan alat invasif
c. Penggunaan universal precaution
d. Penilaian resiko infeksi
e. Penempatan pasien risiko infeksi
Mengurangi risiko jatuh
a. Penilaian risiko jatuh
b. Pencegahan pasien risiko jatuh
c. Pengawasan
d. Keterlibatan keluarga
Negatif
Jumlah
1
6
8,11,12
9,10
13
7
7
14
15
16,18
7
6
2,3,4
5
17
19
20
22
21,23,24
25
5
26,27,28
30
31
29
32
33
8
34
35,36
38
39
6
37
Skala yang digunakan adalah skala Likert 1 – 4. Kriteria penilaian untuk
pernyataan positif adalah sebagai berikut: Selalu jika pernyataan tersebut selalu
dilakukan oleh perawat pelaksana
(nilai 4). Sering, jika pernyataan tersebut
sering dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 3). Jarang, jika pernyataan tersebut
jarang dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 2). Tidak pernah, jika pertanyaan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
tersebut
tidak pernah dilakukan oleh perawat pelaksana
(nilai 1). Kriteria
penilaian untuk pertanyaan negatif adalah kebalikan dari pertanyaan positif.
4.6.3 Kuisioner C
Kuisioner C merupakan faktor-faktor yang berhubungan terhadap perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Kuisioner ini disusun oleh
peneliti berdasarkan karakteristik militer.
Tabel 4.4 Kisi-kisi Instrumen Faktor-Faktor yang berhubungan dengan
Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien
No
Variabel
1.
Kepemimpinan
a.
Kepemimpinan
b.
Nilai-nilai dan karakter
kepemimpinan TNI AU
Budaya Organisasi
a. Kekuatan budaya organisasi
b. Nilai-nilai budaya
organisasi militer
- Profesional militer
- Disiplin
- Membela kejujuran,
kebenaran dan keadilan
- Loyalitas
2.
Positif
Negatif
Jumlah
1,3,4,5,6,7,10
12,13,16
2,8,9
11,14,15
16
18,19,20,24
17,21,22,
23
23
26,30,32,34,39
27,28
31
29,35
25,33,36,38
37
Skala yang digunakan adalah skala Likert 1 – 4. Kriteria penilaian untuk
pernyataan positif adalah sebagai berikut: Sangat setuju jika pernyataan tersebut
sangat sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 4). Setuju, jika pernyataan
tersebut sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 3). Tidak setuju, jika
pernyataan tersebut tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 2).
Sangat tidak setuju, jika pertanyaan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi
perawat pelaksana (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif adalah
kebalikan dari pertanyaan positif.
4.7 Pengujian Instrumen
Karakteristik instrumen dan pengukurannya sebelum digunakan untuk penelitian
perlu dilakukan pengujian yaitu berupa uji reliabilitas dan validitas. Instrumen
yang valid adalah instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
seharusnya diukur. Instrumen yang reliabel adalah instrumen bila digunakan
beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama maka akan menghasilkan data
yang sama. Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil penelitian valid dan reliabel (Sugiyono, 2009).
Jumlah sampel yang digunakan untuk uji coba instrumen menurut Sugiyono
(2009) sekitar 30 orang. Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap
instrumen penelitian pada 30 perawat pelaksana di RSAL Mintohardjo sebelum
digunakan dalam penelitian. RSAL Mintohardjo dipilih oleh peneliti sebagai
rumah sakit tempat dilakukannya uji validitas dan reliabilitas dikarenakan
mempunyai persamaan dalam karakteristik militer, karakteristik perawat serta
budaya dengan RSPAU dr. Esnawan Antariksa.
4.7.1 Uji Validitas
Uji validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan suatu alat ukur dalam
mengukur suatu data (Hastono, 2010). Uji validitas yang digunakan oleh peneliti
adalah uji korelasi person product moment. Peneliti melalukan korelasi antar skor
masing-masing dengan skor totalnya. Pernyataan valid jika r hitung ≥ r tabel dan
pernyataan dinyatakan tidak valid jika r hitung < r tabel.
Rumus person product moment.
r=
∑
∑ ²
∑
∑
² .
.∑
∑ ²
∑
²
Keterangan:
r =
n=
df =
Koefisien korelasi
Jumlah sampel
r tabel dengan jumlah sampel 30, α = 0,05 dan CI 95% adalah :
n – 2 = 30-2=28 df=0,361
Tabel 4.5 Hasil uji validitas dan relibialitas
Variabel
Perilaku perawat
(kuisioner B)
Kepemimpinan dan
budaya organisasi
(kuisioner C)
Jumlah pertanyaan
Sebelum
Sesudah
50
39
50
39
No item tidak
valid
1,5,8,9,13,22,
25,,31,36,44,49
2,16,17,18,21,
25,26,28,32,34,
37
Validitas
Reliabilitas
0,490-0,903
0,979
0,445-0,978
0,985
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen valid dan
reliabel, dan hal ini berarti bahwa kuisioner dapat digunakan untuk penelitian ini.
4.7.2 Uji Reliabilitas
Reliabelitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauhmana hasil pengukuran
tetap konsisiten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2010). Instrumen dikatakan
reliabel jika instrumen konstan, stabil dan tepat. Menurut Hastono (2010)
pernyataan dikatakan reliabel jika jawaban konsisiten atau stabil dari waktu ke
waktu. Uji reliabilitas dilakukan dengan cara melakukan uji Crombach Alpha.
Bila Crombach Alpha ≥ 0,6 maka variabel reliabel sedangkan bila Crombach
Alpha < 0,6 maka variabel tidak reliabel (Hastono, 2010).
Hasil uji Crombach Alpha untuk kuisioner B tentang persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah 0,979 dan kuisioner C tentang
kepemimpinan dan budaya organisasi adalah 0,985. Uji Crombach Alpha lebih
besar dari 0,6 dengan demikian maka kuisioner dikatakan reliabel.
4.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
4.8.1 Prosedur Administratif
a.
Peneliti memperoleh izin dari komite etik penelitian FIK Universitas
Indonesia 12 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran 1).
b.
Peneliti mengajukan izin validitas dan reliabilitas instrumen yang
ditandatangani oleh Dekan FIK UI melalui koordinasi dengan pembimbing
dan KPS Pascasarjana kepada Kepala RSAL Mintohardjo tertanggal 19
Oktober 2012 dan mendapat izin uji validitas dan relibialitas dari Kepala
RSAL Mintohardjo tertanggal 13 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran
2 dan 3)
c.
Peneliti menyiapkan kelengkapan data dan instrumen penelitian
d.
Peneliti mengajukan izin penelitian yang ditandatangani oleh Dekan FIK
UI melalui koordinasi dengan pembimbing dan KPS Pascasarjana kepada
Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa tertanggal 19 Oktober 2012 dan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
mendapat
izin penelitian dari Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa
tertanggal 9 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran 4 dan 5)
4.8.2 Prosedur teknik
a.
Peneliti melakukan koordinasi dengan kepala departemen keperawatan,
kepala unit rawat inap, kepala ruangan dan perawat pelaksana RSAL
Mintohardjo terkait dengan persiapan pelaksanaan uji validitas dan
reliabilitas.
b.
Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas di RSAL Mintohardjo pada
13-20 Nopember 2012 hanya pada perawat shif pagi saja.
c.
Peneliti melakukan koordinasi dengan kepala keperawatan umum, kepala
unit rawat inap, kepala ruangan dan perawat pelaksana
RSAU dr.
Esnawan Antariksa terkait dengan persiapan pelaksanaan penelitian.
d.
Peneliti melakukan penelitian di RSAU dr. Esnawan Antariksa pada 22-29
Nopember 2012.
b.
Peneliti menjelaskan latar belakang, tujuan, dan manfaat serta aspek etik
penelitian kepala keperawatan umum, kepala unit rawat inap, kepala
ruangan dan khususnya kepada perawat pelaksana sebagai calon
responden.
c.
Perawat pelaksana yang bersedia berpartisipasi untuk menjadi responden
dalam penelitian menandatangani inform consent.
e.
Memberikan kuisioner, menjelaskan cara pengisian, memberi kesempatan
responden untuk menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti terkait cara
pengisian kuisioner.
f.
Memberi kesempatan kepada responden untuk mengisi sesuai dengan
waktu yang nyaman bagi responden, disesuaikan dengan kesibukan
ruangan dan menginformasikan bahwa kuisioner akan peneliti ambil
diakhir dinas shif. Lama pengisian kuisioner oleh responden adalah 30-45
menit. Pengisian kuisioner dilaksanakan dalam satu.
g.
Peneliti mengambil kuisioner dan mengecek kelengkapan pengisian
kuisioner, kejelasan, dan kesesuaian jawaban responden. Responden
diminta oleh peneliti untuk melengkapi dan memperbaiki kuisioner yang
tidak lengkap dan tidak jelas atau tidak sesuai.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
h.
Peneliti menjelaskan proses penelitian telah berakhir dan memberikan
reinforcement positif atas kerjasama responden dalam penelitian.
4.9 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dilakukan pengolahan data dan
penganalisaan data, pengolahan data dilakukan berdasarkan empat tahap yaitu
editing, coding, entry, dan cleaning.
4.9.1 Editing
Proses editing untuk mengecek kelengkapan pengisian kuisioner, kejelasan, dan
kesesuaian jawaban responden, sehingga data hasil penelitian dapat diolah dengan
baik. Peneliti mengecek jawaban kuisioner yang telah diisi oleh responden
meliputi kuisioner A, B dan C. Terdapat 11 kuisioner yang tidak lengkap, tidak
jelas, dan tidak sesuai antara pertanyaan dengan jawaban responden, peneliti
melakukan klarifikasi kembali kepada responden untuk memperbaiki dan
melengkapi datanya. Namun dari 11 kuisioner terdapat 6 kuisioner yang tidak
lengkap dan tidak memungkinkan untuk diklarifikasi karena responden sudah
pulang dan lanjut libur, maka kuisioner yang jawabannya tidak lengkap tidak
diolah. Hasil editing dari 123 kuisioner yang kembali, terdapat data yang tidak
lengkap sebanyak 6 kuisioner maka yang diolah sebanyak 117 kuisioner.
4.9.2 Coding
Peneliti memberikan kode pada setiap jawaban dengan mengkonversi pernyataan
kedalam angka. Pemberian kode ini untuk memudahkan analisis data dan
mempercepat dalam memasukan data. Variabel terikat yaitu pada kuisioner B,
peneliti menggunakan skala Likert dengan
nilai 1 – 4 untuk mengkonversi
jawaban responden. pertanyaan positif (fovarable) Selalu jika pernyatan tersebut
selalu dilakukan oleh perawat pelaksana saat ini (nilai 4). Sering, jika pernyataan
tersebut sering dilakukan oleh perawat pelaksana saat ini (nilai 3). Jarang, jika
pernyataan tersebut tidak dilakukan oleh tidak perawat pelaksana saat ini (nilai 2).
Tidak pernah, jika pernyataan tersebut tidak pernah dilakukan oleh perawat
pelaksana saat ini (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif
(unfavorable) adalah kebalikan dari pertanyaan positif.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Variabel bebas yaitu pada kuisioner C, skala yang digunakan adalah skala Likert
1–4. Kriteria penilaian untuk pernyataan positif (fovarable) adalah sebagai
berikut: Sangat setuju jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi
perawat pelaksana
(nilai 4). Setuju, jika pernyataan tersebut sesuai dengan
persepsi perawat pelaksana (nilai 3). Tidak setuju, jika pernyataan tersebut tidak
sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 2). Sangat tidak setuju, jika
pertanyaan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai
1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif (unfavorable) adalah kebalikan
dari pertanyaan positif.
Variabel karakteristik perawat untuk variabel usia dikategorikan menjadi 1 = <35
tahun dan 2 = ≥ 35 tahun. Status kepegawaian dikategorikan menjadi 1 = militer 2
= sipil. Masa kerja dikategorikan menjadi 1 = < 5 tahun dan 2 = ≥ 5 tahun.
Pelatihan dikategorikan menjadi 1 = pernah menikuti pelatihan keselamatan
pasien dan 2 = tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien.
4.9.3 Entry
Peneliti melakukan entry data ke program statistik komputer terhadap semua
kuisioner (A, B dan C) yang terisi lengkap dan benar serta telah melalui proses
koding. Proses entry ini peneliti melakukannya dengan teliti untuk menghindari
terjadi kesalahan dan bias.
4.9.4 Cleaning
Peneliti melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang telah dimasukkan ke
dalam program komputer untuk memastikan bahwa data telah benar dan tidak ada
kesalahan baik pada saat pemberian kode maupun pemberian nilai data. Setelah
dilakukan pemeriksaan kembali (check and recheck) peneliti yakin bahwa data
benar, dan tidak adanya missing data
4.10 Analisis Data
Peneliti selanjutnya melakukan analisis terhadap data yang telah terkumpul.
Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
4.10.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
yang diteliti di dalam penelitian. Analisis univariat pada penelitian ini berupa data
kategorik meliputi variabel karakteristik perawat, perilaku perawat pelaksana
dalam melakukan keselamatan pasien dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku perawat dalam melakukan
keselamatan pasien.
Analisis univariat
menggunakan frekuensi, proporsi, median, dan Min-Mak.
Tabel 4.6 Analisis Univariat
No
Variabel
1.
Karakteristik
perawat
2.
3.
Bebas
Terikat
Sub Variabel
Cara Analisis
Umur (rasio)
Median dan Min-Mak
Masa kerja (rasio)
Status Kepegawaian (nominal)
Pelatihan (nominal)
Kepemimpinan (ordinal)
Budaya organisasi (ordinal)
Kekuatan budaya organisasi (ordinal)
Nilai-nilai budaya organisasi militer
(ordinal)
Profesionalisme militer (ordinal)
Disiplin (ordinal)
Membela kejujuran, kebenaran dan
keadilan (ordinal)
Loyalitas(nominal)
Perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
(ordinal)
Identifikasi pasien (ordinal)
Komunikasi efektif (ordinal)
Peningkatan keamanan obat (ordinal)
Ketepatan lokasi, prosedur , dan
pasien (ordinal)
Mengurangi risiko infeksi (ordinal)
Mengurangi risiko jatuh (ordinal)
Median dan Min-Mak
Frekuensi dan proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
Frekuensi dan Proporsi
4.10.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel.
Analisis bivariat pada penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat. Variabel bebas adalah faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
yaitu kepemimpinan, budaya organisasi
dan
karakteristik perawat
dengan
variabel bebas yaitu perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Penelitian ini menggunakan Uji Chi Square karena variabel bebas dan variabel
terikatnya berbentuk data kategorik. Uji Chi Square digunakan untuk mengetahui
hubungan antara variabel kategorik dengan variabel kategorik.
Rumus Chi Square yang digunakan untuk analisis bivariat:
X² = ∑
²
Dengan df = (k-1) (b-1)
Keterangan:
X= Chi Square
O= nilai observasi
E= nilai ekspektasi
k= jumlah kolom
b= jumlah baris
df= derajat kebebasan
Batas kemaknaan (α) yang digunakan adalah 0,05, dengan Confiden Interval (CI)
95% , maka:
a.
Apabila p ≤ 0,05, menunjukan adanya hubungan antara variabel terikat
dengan variabel bebas.
b.
Apabila p > 0,05, menunjukan tidak ada hubungan antara variabel terikat
dengan variabel bebas (Hastono & Sabri, 2010).
Tabel 4.7 Analisis Bivariat
No
1.
Variabel Bebas
Kepemimpinan (kategorik)
2.
Budaya organisasi (kategorik)
3.
Umur (kategorik)
4.
Masa kerja (kategorik)
5.
Status kepegawaian (katogerik)
6.
Pelatihan (kategorik)
Variabel Terikat
Perilaku perawat
(kategorik)
Perilaku perawat
(kategorik)
Perilaku perawat
(kategorik)
Perilaku perawat
(kategorik)
Perilaku perawat
(kategorik)
Perilaku perawat
(kategorik)
Cara Analisis
Uji Chi Square
Uji Chi Square
Uji Chi Square
Uji Chi Square
Uji Chi Square
Uji Chi Square
Uji Chi Square digunakan karena syarat uji Chi Square terpenuhi. Syarat uji Chi
Square adalah jumlah sel yang mempunyai nilai expexted kurang dari 5, maksimal
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
sebanyak 20% dari jumlah sel yang ada. Bila syarat uji Chi Square tidak
terpenuhi, maka digunakan uji alternatifnya yaitu uji Fisher dan uji KolmogorovSmirnov. Uji Fisher digunakan bila jenis tabel yang diperoleh adalah tabel 2x2.
Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan bila jenis yang diperoleh adalah tabel 2x3.
(Dahlan, 2008).
Pada penelitian ini syarat uji Chi Square terpenuhi yaitu tidak ada sel yang
mempunyai nilai harapan (expected) yang kurang dari 5 sehingga menggunakan
uji Chi Square, sehingga uji alternatif baik uji Fisher maupun KolmogorovSmirnov
tidak digunakan. Penelitian pada uji Chi Square ini menggunakan
Continuity Correction (a) karena tabel 2x2 dan tidak ada sel yang mempunyai
nilai harapan (expected) yang kurang dari 5.
4.10.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat menghubungkan beberapa variabel bebas dan karakteristik
perawat dengan satu variabel terikat pada waktu bersamaan. Analisis multivariat
untuk mengetahui variabel bebas dan karakteristik perawat yang paling
berhubungan dengan variabel terikat. Uji statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji regresi logistik ganda. Uji regresi logistik ganda adalah
salah satu pendekatan model matematis yang digunakan untuk menganalisis
hubungan satu atau beberapa variabel bebas dengan sebuah variabel terikat
kategorik yang bersifat dikotom/binary (Hastono, 2010).
Pemodelan analisis multivariat regresi logistik ganda terdiri dari dua yaitu model
prediksi dan model faktor risiko. Model prediksi bertujuan untuk memperoleh
model yang terdiri dari beberapa variabel bebas yang dianggap terbaik untuk
memprediksi kejadian variabel terikat (Hastono, 2010). Sedangkan model faktor
risiko bertujuan untuk untuk mengestimasi secara valid hubungan satu variabel
utama dengan variabel terikat dengan mengontrol beberapa variabel konfonding
(Hastono,2010). Pada penelitian ini menggunakan model prediksi karena tidak
ada variabel konfonding.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
63 Langkah-langkah analisis multivariat menurut Hastono (2010) sebagai berikut:
a.
Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel bebas dengan
variabel terikatnya. Bila hasil uji bivariat mempunyai p<0,25, maka variabel
tersebut dapat masuk model multivariat. Namun bisa saja p > 0,25 tetap
diikutkan ke multivarist bila variabel tersebut secara substansi penting.
b.
Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan
cara mempertahankan variabel yang mempunyai p <0,05 dan mengeluarkan
variabel yang p > 0,05. Pengeluaran variabel tidak serentak semua yang
p>0,05, namun dilakukan secara bertahap dimulai dari variabel yang
mempunyai p terbesar.
c.
Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka
langkah terakhir adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam
model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika
substantif.
Pengujian interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik. Bila
variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting
dimasukkan dalam model.
Tabel 4.8 Analisis Multivariat
No
1.
2.
Variabel
Variabel bebas
(Kepemimpinan, budaya organisasi)
Karakteristik perawat
(umur, masa kerja, status kepegawaian
pelatihan)
Variabel Terikat
Perilaku perawat
Perilaku perawat
Cara Analisis
Uji regresi logistik
ganda
Uji regresi logistik
ganda
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Bab ini menggambarkan hasil penelitian tentang determinan perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta. Pengambilan data dilakukan di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta, dengan jumlah responden 117 perawat. Pengambilan data pada
22-26 Nopember 2012.
Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah sesuai dengan rencana analisis data
yang telah ditetapkan. Data terdiri dari karakteristik perawat, perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien yaitu enam sasaran keselamatan pasien
dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien. Hasil penelitian dijabarkan dalam tiga bagian yaitu analisis
univariat, bivariat, dan multivariat.
5.1 Karakteristik Perawat
Karakteristik perawat meliputi umur, masa kerja, masa kerja dan pelatihan
keselamatan pasien.
5.1.1
Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja
Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja memiliki distribusi data
tidak normal sehingga dalam analisisnya menggunakan median, ditunjukkan pada
tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012
( CI 95%, n=117)
No
1.
2.
Variabel
Umur
Masa kerja
Median
32
8
Min-mak
21-55.
1-30
CI
31,88-34,21
8,39-10,86
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa umur perawat di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta berada pada usia produktif yaitu berumur 32 tahun. Umur
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
termuda 21 tahun dan umur tertua 55 tahun. Perawat memiliki masa kerja 8
tahun. Perawat memiliki masa kerja paling sedikit 1 tahun dan terlama 30 tahun.
5.1.2
Karakteristik
Perawat
Berdasarkan
Status
Kepegawaian
dan
Pelatihan
Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dikategorikan menjadi
militer dan sipil sesuai pembagian yang berlaku di organisasi militer terkait status
kepegawaian. Pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pelatihan
tentang keselamatan pasien, yang dikategorikan menjadi tidak pernah dan pernah
mengikuti pelatihan keselamatan pasien. Karakteristik status kepegawaian dan
pelatihan ditunjukkan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dan pelatihan
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No
1.
Variabel
Status kepegawaian
Militer
Sipil
Total
2.
Pelatihan
Tidak pernah
Pernah
Total
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa
n
%
9
108
7,8
92,2
117
100
74
43
63,2
36,8
117
100
.
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa
Jakarta perawat mayoritas mempunyai status kepegawaiannya adalah sipil yaitu
sebanyak 108 perawat (92,2%). Perawat mayoritas tidak pernah mengikuti
pelatihan keselamatan pasien yaitu sebanyak 74 perawat (63,2%).
5.2 Gambaran Persepsi Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan
Pasien
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien merupakan variabel
terikat dengan subvariabel yang terdiri dari identifikasi pasien, komunikasi
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
efektif, keamanan obat, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, pengurangan risiko
infeksi, dan pengurangan risiko jatuh, ditunjukkan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Persepsi Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No.
1.
2.
3.
4.
5..
6.
7.
Variabel/Subvariabel
Perlaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien
Identifikasi pasien
Komunikasi efektif
Keamanan obat
Ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien
Mengurangi risiko infeksi
Mengurangi risiko jatuh
n
Baik
%
Kurang Baik
n
%
55
47
62
53
58
49,6
59
50,4
54
46,2
63
53,8
71
60,7
46
39,3
67
57,3
50
42,7
50
42,7
67
57,3
79
67,5
38
32,5
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta mayoritas kurang baik
(53%). Perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien
adalah mengurangi risiko jatuh (67,5%), keamanan obat (60,7%), dan ketepatan
lokasi, prosedur, dan pasien (57,3%).
5.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien dalam penelitian ini merupakan variabel bebas yaitu
kepemimpinan dan budaya organisasi ditunjukkan pada tabel 5.4.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tabel 5.4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No.
1.
2.
Baik
Variabel
Kepemimpinan
Budaya Organisasi
n
57
62
Kurang Baik
n
%
60
51,3
55
47
%
48,7
53
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kepemimpinan keperawatan kurang baik (51,3%)
dan budaya organisasi di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta adalah baik
(53%).
Variabel budaya organisasi terdiri dari
subvariabel
yaitu kekuatan budaya
organisasi dan nilai-nilai budaya militer yang terdiri dari profesional militer,
disiplin, membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan serta loyalitas. Gambaran
subvariabel budaya organisasi di RSAU dr. Esnawan Antariksa ditunjukkan pada
tabel 5.5.
Tabel 5.5 Gambaran subvariabel budaya organisasi
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No.
1.
2.
Variabel
Kekuatan budaya organisasi
Nilai-nilai budaya organisasi
militer
a.
b.
c.
d.
Profesionalisme militer
Disiplin
Membela kejujuran,
kebenaran dan keadilan
Loyalitas
Baik
Kurang Baik
n
41
50
%
35
42,7
n
76
67
%
65
57,3
36
116
32
30,8
99,1
27,4
81
1
85
69,2
0,9
72,6
59
48
41
69
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa
memiliki kekuatan budaya organisasi yang kurang baik (65%), dapat dikatakan
bahwa budaya organisasinya kurang kuat. Nilai-nilai budaya organisasi yang baik
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
adalah disiplin (99,1%) dan loyalitas (59%), sedangkan profesionalisme militer
(30,8%) dan membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan (27,4%) kurang baik.
5.3.1
Hubungan umur dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien
Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan umur dengan perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Hubungan umur dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Umur
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
≥35 Tahun
22
53,7
19
46,3
<35 Tahun
57
75
19
25
Jumlah
79
67,5
38
32,5
*bermakna pada α=0,05
Total
n
%
41
76
117
100
100
100
OR
p
0,386
0,032*
Tabel 5.6 menunjukkan umur perawat yang kurang dari 35 tahun mempunyai
perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (75%).
Ada
hubungan umur yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien, (p=0,032). Perawat yang
berumur kurang dari 35 tahun
mempunyai peluang 0,386 kali lebih besar dibandingkan perawat yang berumur
35 tahun atau lebih untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien.
5.3.2
Hubungan masa kerja dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien
Masa kerja dikategorikan menjadi 5 tahun atau lebih dan kurang dari 5 tahun.
Pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam bekerja (Dessler,
1997). Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan masa kerja dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.7.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tabel 5.7 Hubungan masa kerja dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
20
60,6
13
39,4
59
70,2
25
29,8
79
67,5
38
32,5
Masa kerja
< 5 Tahun
≥ 5 Tahun
Jumlah
Total
n
%
33
84
117
100
100
100
OR
p
0,652
0,434
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa perawat dengan masa kerja 5 tahun atau lebih
mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakanan keselamatan
pasien (70,2%). Tidak ada hubungan masa kerja yang bermakna terhadap perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (p=0,434).
5.3.3
Hubungan status kepegawaian dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Status kepegawaian dikategorikan menjadi militer dan sipil. Hasil uji statistik
dengan Chi Square hubungan status kepegawaian dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Hubungan status kepegawaian dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Status kepegawaian
Militer
Sipil
Jumlah
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
8
88,9
1
11,1
65
60,2
43
39,8
73
62,4
44
37,6
Total
n
%
9
108
117
100
100
100
OR
p
0,189
0,177
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa perawat dengan status kepegawaian militer
mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan
pasien (88,9%). Tidak ada hubungan status kepegawaian yang bermakna terhadap
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (p=0,292).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
5.3.4
Hubungan antara pelatihan dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan pelatihan dengan perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Hubungan pelatihan dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Pelatihan
Pernah
Tidak pernah
Jumlah
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
24
55,8
19
44,2
55
74,3
19
25,7
79
67,5
38
32,5
Total
n
%
43
74
117
36,8
63,2
100
OR
p
0,436
0,063
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa Perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan
keselamatan pasien mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien (74,3%). Tidak ada hubungan pelatihan yang bermakna
terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan (p=0,063).
5.3.5
Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan kepemimpinan dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.10.
Tabel 5.10 Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Kepemimpinan
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
Baik
43
75,4
14
24,6
Kurang baik
30
50
30
50
Jumlah
73
62,4
44
37,6
*bermakna pada α=0,05
Total
n
%
57
60
117
100
100
100
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
OR
p
3,071
0,008*
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik memberikan dampak
perilaku yang baik bagi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Ada
hubungan kepemimpinan yang bermakna terhadap
perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien (p=0,008). Kepemimpinan yang
baik
mempunyai peluang 3,071 kali lebih besar dibandingkan kepemimpinan yang
kurang baik terhadap perawat untuk mempunyai perilaku yang baik dalam
melaksanakan keselamatan pasien.
5.3.6
Hubungan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan budaya organisasi dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.11.
Tabel 5.11 Hubungan budaya organisasi dengan persepsi perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
Perilaku perawat melaksanakan
keselamatan pasien
Budaya organisasi
Baik
Kurang baik
n
%
n
%
Baik
62
73,8
22
26,2
Kurang baik
17
51,5
16
48,5
Jumlah
79
67,5
38
32,5
*bermakna pada α=0,05
Total
n
%
84
33
117
100
100
100
OR
p
2,652
0,036*
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa budaya organisasi yang baik mendukung perawat
untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien
(78,5%). Ada hubungan budaya organisasi yang bermakna terhadap perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, (p=0,036). Budaya organisasi
yang baik mempunyai peluang 2,652 kali lebih besar dibandingkan dengan
budaya organisasi yang kurang baik bagi perawat untuk mempunyai perilaku yang
baik dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
5.4 Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perillaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien
Faktor paling dominan yang mempengaruhi perilaku peawat dalam melaksanakan
pasien diperoleh melalui tahap seleksi analisis bivariat dan seleksi pemodelan
multivariat. Variabel yang masuk tahap seleksi analisis bivariat adalah yang
mempunyai α lebih kecil dari 0,25.
Tabel 5.12 Seleksi analisis bivariat faktor-faktor yang berhubungan
dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No.
1.
2.
3.
4.
5..
6.
Variabel
Umur
Masa kerja
Status kepegawaian
Pelatihan
Kepemimpinan
Budaya organisasi
p
Keterangan
0,020*
0,321
0,481
0,041*
0,004*
0,009*
Lolos seleksi
Tidak lolos seleksi
Tidak lolos seleksi
Lolos seleksi
Lolos seleksi
Lolos seleksi
*bermakna pada α=0,25
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa
variabel yang dapat dimasukkan untuk
pemodelan multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya
organisasi.
Seleksi pemodelan multivariat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama semua
variabel yang lolos seleksi analisis bivariat dimasukkan dalam pemodelan
multivariat, variabel dengan p yang terbesar untuk sementara dikeluarkan dari
pemodelan. Variabel budaya organisai mempunyai p yang terbesar sehingga
budaya organisasi dikeluarkan untuk sementara dalam pemodelan. Setelah budaya
organisasi dikeluarkan terdapat nilai perubahan OR lebih besar dari 10% yaitu
kepemimpinan maka budaya organisasi yang semula dikeluarkan dalam
pemodelan dimasukkan kembali ke dalam pemodelan multivariat. Tahap
berikutnya dikeluarkan secara berturut-turut berdasarkan p yang terbesar yaitu
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
73
pelatihan, umur, dan kepemimpinan. Semua variabel dimasukan kembali ke dalam
pemodelan karena didapatkan nilai perubahan OR yang lebih dari 10% pada
setiap variabel yang dikeluarkan.
Hasil seleksi pemodelan multivariat menunjukkan bahwa yang lolos seleksi
pemodelan multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya
organisasi. Variabel umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi
merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Variabel yang paling dominan mempengaruhi
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kepemimpinan
(p=0,027), ditunjukkan pada tabel 5.13.
Tabel 5.13 Seleksi Pemodelan multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan
persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
pada 22-26 Nopember 2012 (n=117)
No
1
2.
3
4.
Variabel
Umur
Pelatihan
Kepemimpinan
Budaya organisasi
Konstanta
*bermakna pada α=0,05
p
OR
CI
0,178
0,254
0,027*
0,668
0,553
0,523
0,620
2,723
1,208
0,203-1,345
0,272-1,411
1,121-6,614
0,509-2,868
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa variabel yang masuk dalam seleksi pemodelan
multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi. Secara
statistik umur, pelatihan, dan budaya organisasi tidak signifikan karena
mempunyai p lebih dari 0,05 namun secara substansi berpengaruh terhadap
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Faktor yang paling
dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien adalah kepemimpinan (p=0,027). Kepemimpinan yang baik mempunyai
peluang 2,723 kali lebih besar dibandingkan kepemimpinan yang kurang baik
terhadap perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 6
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang interpretasi dan pembahasan hasil penelitian.
Pembahasan hasil penelitian dipaparkan dengan membandingkan hasil penelitian
dengan hipotesis yang diajukan meliputi hubungan karakteristik perawat,
kepemimpinan dan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien,. Keterbatasan penelitian dibahas dengan
membandingkan proses penelitian yang dilalui dengan kondisi ideal yang
seharusnya dicapai, selanjutnya dibahas juga implikasi hasil penelitian terhadap
pelayanan keperawatan.
6.1 Intepretasi Hasil Penelitian
Interpretasi akan menjelaskan hubungan karakteristik perawat dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, gambaran perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien, hubungan kepemimpinan dan budaya
organisasi terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
6.1.1 Hubungan Karakteristik Perawat dengan Perilaku Perawat dalam
Melaksanakan Keselamatan pasien
Karaktersitik perawat terdiri dari umur, masa kerja, status kepegawaian dan
pelatihan yang akan diuraikan satu persatu, dilanjutkan dengan pembahasan
tentang hubungan karakteristik perawat dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien.
6.1.1.1 Umur
Umur responden di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta rata-rata 32
tahun, berada pada usia produktif. Menurut Purwanto (1999) usia produktif
mencapai puncaknya saat berumur 30-40 tahun. Umur perawat rawat inap RSAU
dr. Esnawan Antariksa yang berada pada puncak usia produktif merupakan aset
bagi rumah sakit karena mempunyai produktifitas dan kinerja yang baik untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2009) & Tika (2010) bahwa
produktifitas dan kinerja akan menurun dengan bertambahnya umur.
Namun
Siagian (2009) menjelaskan bahwa umur berkaitan dengan tingkat kedewasaan
psikologis, dengan bertambahnya umur akan semakin bijaksana dalam
mengambil keputusan, serta memilki kemampuan analisis yang baik terhadap
fenomena atau permasalahan yang dihadapi.
Hasil penelitian terkait umur di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta,
umur
memiliki hubungan
yang bermakna
dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis
penelitian yang menyatakan ada hubungan umur dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Umur perawat yang berumur kurang dari 35
tahun mempunyai perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
(75%).
Hal
ini
menjadi
alasan
manajemen
keperawatan
untuk
lebih
memprioritaskan menempatkan perawat yang berusia muda di rawat inap daripada
di rawat jalan karena beban kerja di rawat inap lebih tinggi yang membutuhkan
kinerja dan produktifitas yang tinggi. Selain itu umumnya perawat yang berusia
lebih tua (senior) berkeberatan untuk ditugaskan shif malam.
Perawat yang berumur kurang dari 35 tahun lebih baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien dibandingkan dengan perawat yang berusia lebih dari 35
tahun. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Anugrahini (2010) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepatuhan
menerapkan pedoman keselamatan pasien. Pendapat berlawanan disampaikan
oleh Iswati (2012) yang menyatakan bahwa
variabel umur tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan tindakan keselamatan pasien di RS Bhakti
Yudha Depok. Hal ini akan menjadi tolak ukur untuk manajemen RS untuk
perencanaan mengadakan pendidikan dan latihan. penyegaran serta pembinaan
bagi perawat yang berusia lebih dari 35 tahun agar mempunyai perilaku yang baik
juga dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
6.1.1.2 Masa Kerja
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata masa kerja perawat di rawat inap RSAU
dr. Esnawan Antariksa adalah 8 tahun dan didapatkan masa kerja lebih dari 5
tahun lebih baik perilakunya dalam melaksanakan keselamatan pasien. Menurut
Dessler, (1997) pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam
bekerja. Perawat yang memiliki masa kerja yang semakin lama di pelayanan
klinis akan semakin baik penampilan klinisnya (Swanburg, 2002). Masa kerja
yang lebih lama seharusnya mempunyai efek terhadap perilaku dan kinerjanya
dalam melaksanakan keselamatan pasien dengan tepat, namun dapat juga terjadi
sebaliknya hal ini seperti yang dinyatakan oleh Robbins, (2006) bahwa orang
yang telah lama bekerja belum tentu lebih produktif dibandingkan
dengan
karyawan yang senioritasnya lebih rendah.
Hasil penelitian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
menunjukkan
bahwa
masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna
dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamata pasien. Hasil penelitian
ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan masa
kerja dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini
disebabkan karena karakteristik masa kerja datanya homogen yaitu mayoritas data
berada pada masa kerja 5 tahun atau lebih (71,8%) sehingga mempengaruhi
signifikansi/ tingkat kemaknaan. Perilaku perawat harus baik
dalam
melaksanakan keselamatan pasien baik oleh perawat dengan masa kerja yang
lama maupun sebentar. Sriyulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
signifikan antara masa kerja dengan pemahaman perawat pelaksana mengenai
penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok. Hasil penelitian yang
berlawanan disampaikan oleh Anugrahini (2010) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan antara masa kerja dengan kepatuhan perawat menerapkan pedoman
keselamatan pasien.
6.1.1.3 Status Kepegawaian
Status kepegawaian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta
mayoritas adalah sipil. Militer mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
melaksanakan keselamatan pasien (88,9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
status kepegawaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamata pasien. Hasil penelitian ini bertentangan
dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan status kepegawaian
dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Hal ini
disebabkan karakteristik status kepegawaian mayoritas adalah sipil (92,2%),
faktor homogenitas data mempengaruhi kemaknaan. Hasil penelitian lain yang
sesuai dengan hasil penelitian Sriyulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara status kepegawaian dengan pemahaman perawat
pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok.
6.1.1.4 Pelatihan
Mayoritas perawat di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta tidak pernah
mengikuti pelatihan tentang keselamatan pasien (63,2%). Hasibuan, (2009)
menyatakan pelatihan merupakan salah satu jenis pengembangan bagi karyawan
yang dilakukan oleh perusahaan karena tuntutan pekerjaan saat ini atau masa
depan. Pelatihan khususnya tentang keselamatan pasien perlu diselenggarakan
oleh rumah sakit bagi seluruh perawat untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Masih rendahnya persentase perawat yang telah mendapatkan pelatihan
keselamatan pasien dikarenakan keselamatan pasien baru menjadi perhatian di
lima tahun terakhir sehingga belum semua perawat mendapatkan sosialisasi dan
pelatihan tentang keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan hak pasien yang sedang mendapatkan pelayanan
kesehatan dan harus adanya jaminan dari rumah sakit bahwa semua pasien
mendapatkan pelayanan kesehatan dari perawat yang melaksanakan keselamatan
pasien
sehingga
terjamin
keselamatannya.
Pelatihan
diperlukan
untuk
meningkatkan kemampuan perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Perawat yang mengaplikasikan keselamatan pasien untuk memenuhi hak pasien
dan menjamin keselamatan pasien. Pelatihan keselamatan pasien ini selain harus
diikuti oleh seluruh perawat tetapi juga perlu penyegaran secara berkala bagi
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
perawat yang telah mengikuti pelatihan sehingga pelaksanaan keselamatan pasien
dapat dilaksanakan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil penelitian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta menunjukkan
bahwa pelatihan tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan pelatihan dengan
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini disebabkan
karena masih sedikitnya perawat yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan
pasien sehingga tidak memberikan signifikansi
secara statistik hubungan
pelatihan terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Pelatihan yang dilakukan hanya sekali dan aplikasi diruangan setelah mengikuti
pelatihan belum dilaksanakan secara optimal, hal ini terkait juga dengan belum
optimalnya pelaksanaan supervisi.
Perawat yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien masih kurang yaitu
hanya 43% hal ini dikarenakan keselamatan pasien baru trend pada lima tahun
terakhir, berbeda halnya dengan rumah sakit di Amerika Serikat dimana sejak
tahun 2007 keselamatan pasien sudah ditetapkan harus menjadi bagian integral
dari setiap misi rumah sakit (Longo et al, 2007). RSAU dr. Esnawan Antariksa
perlu meningkatkan pelatihan terkait keselamatan pasien khususnya bagi perawat
yang belum pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien dan melakukan
penyegaran kepada perawat yang telah mengikuti pelatihan keselamatan pasien
secara berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno, (2009) pelatihan diperlukan
untuk melengkapi karyawan dengan keterampilan dan cara-cara yang tepat untuk
menggunakan peralatan kerja, latihan diperlukan bukan hanya sebagai pelengkap
namun sekaligus memberikan dasar-dasar pengetahuan karena dengan pelatihan
karyawan belajar mengerjakan sesuatu dengan benar dan tepat serta dapat
memperkecil atau meninggalkan kesalahan yang pernah dilakukan. Perawat harus
mendapatkan pelatihan setidaknya sekali setahun, atau setiap kali ada modifikasi
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
dari tugas dan prosedur. Pelatihan dapat digunakan dalam rentang waktu selama
tiga tahun (Fowley & Leiden, 2003).
Penelitian ini sesuai dengan Iswati (2012) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan pelatihan dengan tindakan keselamatan pasien. Pernyataan berlawanan
Sriyulia (2010) menunjukkan pelatihan keselamatan pasien berpengaruh terhadap
pemahaman perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS
Tugu Ibu Depok. Pelatihan berpengaruh terhadap proses kognitif yaitu proses
berpikir sebelum mengambil keputusan sehingga dapat mencegah kesalahan.
6.1.2 Gambaran Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien mengacu pada sasaran keselamatan
pasien menurut Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang keselamatan
pasien rumah sakit melalui enam sasaran keselamatan pasien yaitu ketepatan
identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan
obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien
operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan pengurangan
risiko pasien jatuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa
kurang baik (53%). Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
yang baik adalah mengurani risiko jatuh, keamanan obat, dan ketepatan lokasi,
prosedur, dan pasien. Perilaku perawat yang kurang baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien ini berisiko untuk kemungkinan terjadinya insiden
keselamatan pasien.
Hal ini dibuktikan dengan masih adanya insiden keselamatan pasien berupa
kejadian plebitis (2,34%), adanya satu kejadian jatuh pada satu tahun terakhir.
Berdasarkan standar pelayanan minimal rumah sakit (Kepmenkes, 2008)
ditetapkan bahwa kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5%, tidak ada kejadian jatuh
yang berakibat cacat/ kematian (100%), tidak adanya kejadian kesalahan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
pemberian obat (100%). Hal ini perlu dilakukan upaya untuk memenuhi standar
pelayanan minimal tersebut dengan meningkatkan upaya keselamatan pasien.
Perilaku yang masih kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah
mengurangi risiko infeksi, komunikasi efektif dan identifikasi pasien. Hal ini
terjadi karena kurangnya pemahaman perawat terhadap keselamatan pasien baik
secara knowledge maupun keterampilan dalam mengaplikasikan keselamatan
pasien di ruang rawat inap. Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan
keselamatan pasien. Upaya Antisipasi yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan atau insiden dalam keselamatan pasien dilakukan pembinaan
terkait keselamatan pasien. Pembinaan dapat berupa sosialisasi, pelatihan,
mentoring atau bed side teaching dan supervisi. Pembinaan akan optimal dengan
meningkatkan peran kepemimpinan keperawatan dan memanfaatkan budaya
organisasi yang baik seperti adanya disiplin tinggi dan sikap loyalitas terhadap
organisasi, pimpinan dan aturan yang berlaku terkait keselamatan pasien, karena
kepemimpinan dan budaya organisasi mempengaruhi keselamatan pasien di rawat
inap RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Perilaku perawat yang menjaga keselamatan pasien sangat berperan dalam
pencegahan,
pengendalian
dan
peningkatan
keselamatan
pasien
(Choo,
Hutchinson, & Bucknall, 2010; Elley et al, 2008; Stoor, Topley, & Privetl, 2005).
Peran tersebut semakin besar mengingat jumlah perawat di rumah sakit paling
besar jika dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Perawat berada pada posisi
yang unik untuk mengembangkan alat, proses dan praktik yang berusaha untuk
mengurangi dan menghilangkan semua jenis kesalahan keselamatan pasien yaitu
dengan mengembangkan keterampilan berbasis kesalahan, keterampilan berbasis
kesalahan peraturan, mengembangkan kemampuan untuk mengenali adanya risiko
tinggi, dan perilaku berbasis pengetahuan (Mattox, 2012).
Perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan pasien berkontribusi terhadap
insiden keselamatan pasien. Perawat yang tidak memiliki kesadaran terhadap
situasi yang cepat memburuk, gagal mengenali apa yang terjadi dan mengabaikan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
informasi klinis penting yang terjadi pada pasien dapat mengancam keselamatan
pasien (Reid, & Bromile, 2012). Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya
perhatian/ motivasi, kecerobohan dan kelalaian berisiko untuk terjadinya
kesalahan selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai dengan memodifikasi
perilaku (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010). Selain terjadinya insiden
keselamatan pasien dampak perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan
pasien juga mengakibatkan kerugian material baik bagi pasien maupun pihak
rumah sakit serta akan memberikan pencitraan masyarakat yang kurang baik
terhadap layanan kesehatan
rumah sakit yang akhirnya menurunkan tingkat
kepercayaan dan merugikan rumah sakit dari segala aspek.
Upaya peningkatan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa akan optimal dengan dilaksanakannya model keselamatan penerbangan.
Model penerbangan untuk meningkatkan kemanan dan kualitas (Reid & Bromile,
2012). Hal ini mempunyai tujuan yang sama yaitu mencegah terjadinya insiden,
dengan menekankan pada upaya pencegahan. Upaya pencegahan berupa
melakukan pengecekan dan pengecekan kembali untuk menghindari terjadinya
kesalahan.
6.1.2.1 Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Ketepatan Identifikasi Pasien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam mengidentifikasikan
baik (50,4%) dan kurang baik (49,6%). Hal ini memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam mengidentifikasikan pasien karena masih ada perawat yang
memiliki perilaku yang kurang baik dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan
mengidentifikasi pasien sangat mungkin terjadi di rawat inap terkait dengan
asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Kesalahan identifikasi pasien
dapat terjadi dalam setiap lokasi dimana layanan kesehatan diberikan seperti
bangsal rawat inap, rawat jalan, laboratorium (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned
& James, 2011).
Kesalahan di rawat inap dapat terjadi ketika perawat pemberian obat dan darah,
pengambilan
darah
dan
spesimen
lain
untuk
pemeriksaan
klinis
dan
melaksanakan prosedur/tindakan. Mengidentifikasi pasien penting saat pemberian
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
obat dan transfusi darah, pemeriksaan laboratorium, prosedur/tindakan diagnostik
dan operasi karena hal tersebut banyak mengakibatkan
terjadinya kesalahan
(Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011; Murphy, 2004). Keadaan
tertentu akan semakin memberikan kemungkinan untuk terjadinya kesalahan,
sebagaiman dijelaskan dalam Permenkes (2011) bahwa kesalahan identifikasi
pasien dapat terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/ tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/ kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain.
Hasil penelitian sesuai dengan fenomena yang terjadi di rawat inap RSAU dr.
Esnawan Antariksa masih ditemukannya ketidaktepatan dalam mengidentifikasi
pasien. Antisipasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
dalam mengidentifikasi pasien khususnya perawat yang mempunyai perilaku
kurang baik dalam mengidentifikasi pasien dilakukan pembinaan terkait
keselamatan pasien. Pembinaan dapat berupa sosialisasi, pelatihan, mentoring
atau bed side teaching dan supervisi identifikasi pasien dengan melibatkan peran
kepemimpinan keperawatan dan memanfaatkan budaya organisasi.
Pembinaan menekankan pada: keakuratan identifikasi pasien ditingkatkan dan
penggunaan setidaknya dua pengidentifikasi pasien ketika memberikan obat,
darah atau produk darah, tidakan/ prosedur dan mengambil spesimen untuk
pemeriksaan klinis. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak dapat digunakan untuk
identifikasi. Identifikasi yang diakui untuk mengidentifikasi pasien adalah nama,
nomor rekam medis dan tanggal lahir. ( International Patient Safety Goals dalam
Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011; Permenkes, 2011); Identifikasi
pasien yang perlu dilakukan perawat saat akan melakukan prosedur transfusi yaitu
mencocokan gelang nama ke label kompatibilitas darah, mencocokan identifikasi
pasien dengan permintaan darah dan peninjauan kompatibilitas serta pengecekan
informasi kadaluwarsa komponen darah (Murphy, 2004). Pasien yang tidak
mampu menyebut nama, tidak memakai gelang dan tidak ada keluarga atau
penunggu maka identitas dipastikan dengan melihat rekam medik oleh dua orang
petugas (Permenkes, 2011).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan meliputi penciptaan
dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas secara rutin, pemantauan
indikator yang dapat diandalkan secara terus-menerus, analisis akar penyebab,
penggunaan kode-bar, kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional
dan bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis,
laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada perawat
baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl,
Matarelli, Krishned, & James, 2011).
6.1.3.2 Perilaku Perawat dalam melaksanakan Komunikasi Efektif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kurang baik (53,8%).
Komunikasi yang kurang baik ini akan memberikan peluang kesalahan perilaku
keselamatan pasien lainnya. Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang
paling sering menimbulkan efek samping di semua aspek pelayanan kesehatan,
sehingga menimbulkan permasalahan dalam mengidentifikasian pasien, kesalahan
pengobatan dan transfusi serta alergi diabaikan, salah prosedur operasi, salah sisi
bagian yang dioperasi, semua hal tersebut berpotensi terhadap terjadinya insiden
keselamatan pasien dan dapat dicegah dengan meningkatkan komunikasi
(Beaumont, & Russell, 2012; Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010;
Schimpff, 2007; Storr, Topley & Privett, 2005; White, 2012).
Kurang baiknya komunikasi yang terjadi pada perawat disebabkan masih belum
optimalnya pelaksanaan operan karena sering terjadi kesalahpahaman antar shif,
tidak ada pengulangan pesan/ perintah oleh penerima pesan dan pemberi pesan
tidak mengklarifikasi ulang terhadap pesan/ perintah yang disampaikannya,
komunikasi tertulis berupa pendokumentasian keperawatan yang kurang akurat
sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda. Komunikasi yang kurang baik ini
dapat memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan dan insiden keselamatan
pasien maka perlu dilakukan upaya peningkatan komunikasi.
Komunikasi mempunyai arti penting bagi keselamatan pasien dan kesinambungan
asuhan keperawatan. Komunikasi yang dilakukan secara efektif, tepat waktu,
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
akurat, lengkap, dan jelas akan mencegah terjadinya kesalahan yang mungkin
terjadi, dan dapat meningkatan keselamatan pasien (Beaumont, & Russell, 2012;
Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010; Schimpff, 2007; Storr, Topley &
Privett, 2005; White, 2012).
Peningkatan komunikasi dapat diimplemantasikan melalui pendekatan standar/
baku hand off / serah terima dengan penekanan pada Hand off bedside (serah
terima di samping tempat tidur pasien) karena Hand off bedside mempromosikan
keselamatan pasien. Hand off bedside memungkinkan parawat untuk bertukar
informasi pasien yang diperlukan secara akurat, memberikan kesempatan untuk
memvisualisasikan pasien dan mengajukan pertanyaan terhadap sesuatu yang
kurang dipahami selain itu dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap
dampak komunikasi pada keselamatan pasien dan kepuasan serta meningkatkan
komunikasi antara perawat, dokter dan pasien/keluarga serta tim kesehatan lain.
Hand off bedside juga memungkinkan pasien terlibat aktif dalam perawatan
dengan memungkinkan bagi pasien untuk mengoreksi kesalahpahaman,
memberikan masukan terhadap rencana perawatan, mengklarifikasi dan
memperbaiki ketidakakuratan (Maxson, Derby, Wrobleski, & Foss, 2009).
Komunikasi juga dapat ditingkatkan dengan budaya militer yang mempunyai
kebiasaan mengulangi perintah. Mengulangi perintah untuk memastikan bahwa
pesan/ atau perintah benar sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pemberi
perintah dan bila terjadi kesalahan komunikasi dapat dilakukan klarifikasi
langsung. Hal ini dapat mencegah terjadinya kesalahan komunikasi yang pada
akhirnya akan mencegah terjadinya kesalahan dan insiden keselamatan pasien.
Komunikasi tertulis dalam hal ini pendokumentasian keperawatan harus dilakukan
secara benar.
6.1.3.3 Perilaku Perawat dalam Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu
Diwaspadai
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran perilaku perawat dalam
peningkatan keamanan obat adalah baik namun keamanan obat mempunyai
peringkat yang paling rendah dari enam sasaran keselamatan pasien di rawat inap
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
RSAU dr. Esnawan Antariksa (60,7%).
Terdapat 39,9 % perawat yang
mempunyai perilaku keamanan obat yang kurang baik sehingga memungkinkan
untuk terjadinya kesalahan dalam keamanan obat. Kesalahan pengobatan adalah
peristiwa dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau mengakibatkan
penggunaan obat yang tidak pantas atau membahayakan pasien sedangkan
pengobatan dalam kontrol/perawatan kesehatan profesional (Choo, Hutchinson, &
Bucknell, 2010; Dewan Koordinator Nasional Pelaporan dan Pencegahan
Kesalahan Pengobatan (NCCMERP) (2005) dalam Flynn, Liang, Dickson, Xie, &
Suh, 2012).
Pencegahan kesalahan keamanan obat yaitu dengan melakukan peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai/high alerg, pemberian pengobatan dengan
prinsip lima benar yaitu benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu dan
benar pasien. Perawat masih banyak membuat kesalahan meskipun telah
diverifikasi dengan prinsip lima benar, untuk itu perlu diverifikasi lagi dengan
resep harus terbaca, lingkungan yang kondusif tanpa gangguan selama putaran
pengobatan, pola staf yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi adalah stres
tempat kerja, gangguan interupsi, pelatihan memadai dan informasi terfragmentasi
(Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010).
Pencegahan lainnya perawat harus mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan
kemungkinan efek obat, mencatat/dokumentasi, bekerja sesuai SAK/SOP,
mengecek reaksi obat, mengecek skin integrity untuk injeksi, memonitor pasien,
dua orang staf mengecek pemberian obat parenteral, memperbaharui catatan obat.
Pisahkan obat yang mirip, kemasan obat yang mirip. Memberikan pendidikan
kepada pasien/keluarga mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan waktu
penggunaan obat (KKPRS, 2008). Perawat harus berkonsentrasi ketika
mempersiapkan dan pemberian obat serta tidak diminta untuk melakukan banyak
tugas selama putaran pengobatan. Gangguan dan interupsi harus diminimalkan
untuk menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pemberian pengobatan yang
aman (Westbrook et al, 2010). Selain itu tidak mengalihkan perhatian perawat
yang mengelola pengobatan (Choo, Hutchinson & Bucknell, 2010).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Rumah sakit memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
dengan menerapkan peningkatan keamanan obat sesuai dengan Permenkes 2011
yaittu:
Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan obat yang
rupa dan ucapan mirip. Implementasi kebijakan dan prosedur obat yang rupa dan
ucapan mirip tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara
klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di
area tersebut sesuai kebijakan.
Prosedur keselamatan penerbangan yang menerapkan ceck dan receck perlu
diterapkan untuk meningkatkan keselamatan pasien khususnya dalam keamanan
obat. Pesawat sebelum diterbangkan dilakukan pengecekan dan pengecekan
kembali dengan seksama dan lebih menekankan pada pencegahan. Tidak ada
artinya bila terjadi sesuatu kesalahan saat penerbangan berlangsung karena tidak
banyak yang dapat diperbuat untuk keselamatan dan akan menimbulkan
kecelakaan yang fatal. Keamanan obat sebaiknya juga menerapkan hal ini karena
kesalahan dalam pemberian obat akan menimbulkan kecelakaan yang fatal berupa
kecacatan dan kematian. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Reason (2008)
bahwa organisasi yang berisiko tinggi terjadinya kesalahan dalam pengaturan
salah satunya adalah pelayanan kesehatan selain dari organisasi penerbangan,
industri nuklir, dan kimia (Reason, 2008).
6.1.3.4 Perilaku Perawat dalam Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur,
Tepat Pasien Operasi
Hasil penelitian kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien di rawat
inap RSAU dr. Esnawan Antariksa menunjukkan bahwa 57,3% perawat
melakukan dengan baik dalam memastikanan tepat lokasi, prosedur dan pasien.
Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien operasi dalam penelitian ini
diasumsikan dengan memastikan ketepatan dalam melaksanakan prosedur atau
tindakan keperawatan
baik
lokasi, pasien, alat dan bahan yang digunakan,
langkah-langkah prosedur maupun prinsip yang digunakan dalam melaksanakan
prosedur tersebut. Masih tingginya perilaku yang kurang baik dalam ketepatan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
lokasi, prosedur dan pasien memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan dan
terjadinya insiden keselamatan pasien, hal ini disebabkan karena kurangnya
pelatihan, tidak adanya penyegaran terkait prosedur tindakan keperawatan, dan
supervisi. Upaya pencegahan dapat dilakukan pelatihan dan supervisi dengan
mengoptimalkan peran kepemimpinan.
Pada kepustakaan mengenai kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien
operasi lebih ditujukan kepada memastikan ketepatan tepat lokasi, tepat prosedur
dan tepat pasien operasi di ruang operasi dengan kasus pasien yang akan
mendapatkan pembedahan. Namun penulis dalam penelitian ini menerapkan
ketepatan lokasi, prosedur dan pasien di unit rawat inap dengan memfokuskan
kepada memastikan ketepatan dalam melaksanakan prosedur atau tindakan
keperawatan yang dilakukan di unit rawat inap. Prosedur/ tindakan keperawatan
yang dilakukan perawat dilakukan tepat lokasi prosedur yang akan dilakukan di
bagian tubuh pasien, tepat pasien yang akan dilakukan prosedur tersebut, tepat
alat dan bahan yang digunakan dalam prosedur tersebut, tepat urutan langkahlangkah dalam mengerjakan prosedur tersebut dan tepat dalam mempertahankan
prinsip dari prosedur tersebut.
Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien tidak hanya diterapkan di ruang
operasi saja tetapi juga di rawat inap sebagaimana peneliti melakukan di ruang
rawat inap. Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien saat akan melakukan
tindakan keperawatan di ruang rawat inap harus diaplikasikan untuk mencegah
terjadinya kesalahan yang dapat membahayakan pasien.
6.1.3.5 Perilaku Perawat dalam Pengurangan Risiko Infeksi Terkait
Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian pengurangan risiko infeksi terkait asuhan keperawatan di rawat
inap RSAU dr. Esnawan Antariksa menunjukkan bahwa 42,7% perawat
melakukan tindakan pengurangan risiko infeksi dalam keselamatan pasien kurang
baik. Dengan demikian perlu adanya peningkatan perilaku keselamatan pasien
terkait pengurangan infeksi dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
pasien. Perilaku perawat dalam pencegahan dan mengurangi risiko infeksi
termasuk pada profilaksis antibiotika, pemeliharaan kateter vena perifer,
pemeliharaan kateter vena sentral, pemeliharaan kateter urin, perawatan luka
operasi dan kebersihan tangan (Mc Hugh, Carrigen & Dimitrov, 2010;
Storr,Topley & Privett, 2005). Perawat perlu mengetahui juga penyebab infeksi
dapat terjadi sehingga dapat dihindari untuk mencegah infeksi. Menurut Carpenter
(2005) dijelaskan bahwa cara yang paling umum diperolehnya infeksi adalah
melalui peralatan seperti kateter saluran kemih, infus, pembedahan dan ventilator.
Infeksi yang mungkin terjadi adalah infeksi saluran kemih, plebitis, pneumonia
berhubungan dengan pemakaian ventilasi mekanik dan infeksi luka operasi
berhubungan dengan tindakan pembedahan.
Infeksi dapat dicegah namun ada juga yang tidak dapat dihindari. . Infeksi dan
penyebaran infeksi dapat dicegah sehingga kejadian infeksi tidak terjadi namun
untuk infeksi yang tidak dapat dicegah dapat dikurangi melalui upaya
pencegahan. Menurut Storr, Topley & Privett (2005) tidak semua infeksi dapat
dicegah namun proporsi yang signifikan akan mempengaruhi infeksi dapat
dihindari yaitu perilaku dan praktik staf dalam berinteraksi dengan pasien.
Mengatasi infeksi di perawatan dengan membuat sesuatu yang sesederhana
mungkin sehingga mudah dilaksanakan dan tujuan terhadap pengendalian dan
pencegahan infeksi dapat tercapai.
Kunci perbaikan pengendalian infeksi jangka panjang terletak pada penerapan
kebijakan dan protokol untuk praktik klinik sehari-hari menurut Storr, Topley &
Privett (2005) adalah sebagai berikut: 1) Perawat perlu mengetahui apa yang
sebenarnya penting dalam pencegahan infeksi silang dan bagaimana praktik dapat
dicapai yaitu dengan menguasai kompetensi pelaksanaan prosedur. Langkahlangkah praktis, nyata dan mudah untuk meminimalkan risiko infeksi ketika
melakukan perawatan pasien berupa pemasangan dan perawatan kateter saluran
kemih, pemasangan dan perawatan perangkat akses vaskuler, terapi dan dukungan
fungsi paru, pengalaman dengan prosedur bedah, kebersihan tangan, standar
tindakan pencegahan dan infeksi aliran darah, Haley et al dalam Storr, Topley &
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Privett (2005) menambahkan kebersihan lingkungan. 2) Perawat harus menyadari
praktik-praktik yang berkontribusi terhadap infeksi. 3) Perawat harus mampu
mengidentifikasi aspek-aspek dalam praktik yang berkontribusi terhadap infeksi
untuk mengurangi dan meminimalkan kemungkinan perkembangan infeksi. 4)
Perawat harus menyadari semua aspek pedoman perawatan yang paling up to date
dan memastikan bahwa perawat menerapkannya untuk semua pasien. 5) Perawat
harus memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan 6) Melakukan
penilaian risiko pada pasien terhadap kemungkinan peningkatan risiko tertular
infeksi di rumah sakit. Penilaian risiko untuk menentukan kerentanan pasien
terhadap infeksi. . 7) Meningkatkan kepatuhan terhadap kebersihan tangan.
Perawat perlu melakukan penilaian risiko infeksi pada pasien. Menurut Haley et al
dalam Storr, Topley & Privett (2005) penilaian risiko dilakukan dengan membuat
daftar faktor risiko, tindakan untuk meminimalkan infeksi dan langkah-langkah
tersebut didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Faktor risiko yang harus
dipertimbangkan
adalah
usia,
riwayat
kesehatan
(dalam
pengaruh
imunosupresan), keberadaan perangkat invasif, kondisi kulit/integritas kulit,
penggunaan antibiotik, operasi sebelumnya, mobilitas dan lama perawatan.
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi infeksi difasilitasi dengan penggunaan
sumber daya yang optimal seperti kamar terpisah dari pasien lain / ruang isolasi
atau penempatan pasien pada bangsal yang tepat. 7) Meningkatkan kepatuhan
terhadap kebersihan tangan.
Cara yang paling mudah dan berdampak dalam pencegahan infeksi adalah dengan
cuci tangan. Mengingat pentingnya mencuci tangan maka
mencuci tangan
memakai sabun sedunia atau global handwashing day, diplokamirkan pada 15
Oktober 2008 serentak di tujuhpuluh negara dan lima benua. Pedoman hand
hygiene enam langkah yang ditetapkan oleh WHO (2007) menjadi standar yang
digunakan di RSAU dr. Esnawan Antariksa yaitu: Pada saat sebelum dan sesudah
menyentuh pasien, sebelum dan sesudah tindakan/ aseptik, setelah terpapar cairan
tubuh pasien, sebelum dan setelah melakukan tindakan invasif, setelah menyentuh
area sekitar pasien/ lingkungan, memakai alat pelindung diri (APD) yaitu alat
yang digunakan untuk melindungi petugas dari resiko pajanan darah, cairan tubuh
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
ekskreta, dan selaput lendir pasien seperti sarung tangan, masker, tutup kepala,
kacamata pelindung, apron/ jas dan sepatu pelindung. Kebersihan tangan berperan
penting dalam pencegahan infeksi silang dan penyebaran infeksi. Mencuci tangan
menggunakan air dan sabun atau alkohol pada saat yang tepat dan dengan cara
yang benar menjamin perlindungan diri dan pencegahan infeksi silang.
Kondisi di RSAU dr. Esnawan Antariksa yang mendukung program cuci tangan
untuk mencegah infeksi yaitu tersedianya sumber air pada semua kran, tersedianya
sabun/cairan pembersih, adanya pedoman cuci tangan yang benar yang ditempel di
setiap kran cuci tangan, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang
benar, mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja; dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/ observasi dan teknikteknik yang lain. Hal ini sesuai dengan elemen penilaian sasaran pengurangan
risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan menurut Permenkes, (2011) rumah sakit
mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan
dan sudah diterima secara umum misalnya WHO Patient Safety. Rumah sakit
menerapkan program hand hygiene yang efektif. Kebijakan dan prosedur
dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Program pencegahan infeksi di RSAU dr. Esnawan Antariksa akan optimal
dengan meningkatkan peran kepemimpinan dalam aplikasi pencegahan infeksi
dan memberdayakan budaya organisasi seperti disiplin dan loyalitas untuk
mengikuti aturan pelaksanaan program pencegahan infeksi. Dilakukannya
pelatihan bagi seluruh perawat dan dilakukan secara berkesinambungan, serta ada
supervisi yang terprogram untuk penerapannya di ruang rawat inap.
6.1.3.6 Perilaku Perawat dalam Mengurangi Risiko Pasien Jatuh
Hasil penelitian pengurangan risiko jatuh di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa
menunjukkan bahwa perawat yang melakukan pengurangan risiko
pasien jatuh dengan baik sebanyak 67,5% dan perawat yang melakukan
pengurangan risiko jatuh dengan kurang baik sebanyak 30,8%. Walaupun secara
umum perilaku pengurangan risiko pasien mayoritas baik tapi tidak menutup
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
kemungkinan terjadi risiko jatuh karena 30,8% perilaku perawat yang kurang baik
dalam mengurangi risiko jatuh. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian pasien
jatuh pada satu tahun terakhir di rawt inap RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Kejadian jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cidera bagi pasien rawat inap.
Dalam standar pelayanan minimun rumah sakit menetapkan 100% pasien tidak
mengalami kejadian jatuh dan tidak ada kejadian pasien jatuh yang berakibat
kematian atau kecacatan (Kepmenkes, 2008). Jatuh merupakan kejadian yang
dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian ulang
secara berkala terhadap risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang
mungkin mengakibatkan jatuh serta mengambil tindakan untuk mengurangi
semua risiko yang telah diidentifikasikan dan melakukan pedoman pencegahan
pasien risiko jatuh, mengidentifikasi obat yang berhubungan dengan peningkatan
risiko jatuh (sedatif, analgetik, antihipertensi, diuretik, lazatif, dan psychotropika)
serta memperhatikan lingkungan yang berisiko menyebabkan pasien jatuh.
Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya jatuh adalah usia, jenis
kelamin, efek obat-obat tertentu, status mental, penyakit kronis dan faktor
lingkungan, keseimbangan, kekuatan dan mobilitas, ketinggian tempat tidur
(Geoene, Moro, Thomson, & Saez, 2007; Kerzman, Cherit, Brin, & Torin, 2004;
Tzeng & Yin, 2007).
Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh untuk mengurangi
insiden jatuh yaitu dengan: memastikan bel mudah dijangkau, roda tempat tidur
pada posisi terkunci, memposisikan tempat tidur pada posisi terendah, pagar
pengaman tempat tidur dinaikkan. Monitoring ketat pasien risiko tinggi (kunjungi
dan monitor pasien/ 1 jam, tempatkan pasien di kamar yang paling dekat dengan
nurse
station
jika
memungkinkan).
meliibatkan
pasien/keluarga
dalam
pencegahan jatuh (KKPRS, 2008). Menggunakan protokol pemindahan pasien
secara aman (brankar, kursi roda, tempat tidur), lamanya respon staf terhadap
panggilan pasien, gunakan instrumen untuk memprediksi risiko pasien jatuh,
Perawat perlu memperhatikan lingkungan yang mendukung keselamatan pasien.
Faktor lingkungan mempengaruhi risiko jatuh menurut Badan Nasional
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Keselamatan Pasien (NPSA) dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James
(2011) adalah permukaan lantai termasuk kerapatan, kemilau dan pola yang dapat
menimbulkan ilusi atau gangguan penglihatan; pencahayaan; kebisingan; lonceng
penghubung termasuk visibilitas dan jangkauan; desain pintu; jarak antara tangan
dengan pegangan rel tangan, tempat tidur, kursi dan toilet; stabilitas furnitur.
Hal ini sesuai dengan elemen penilaian sasaran menurut Permenkes, (2011)
dinyatakan rumah sakit perlu menerapkan proses pengkajian awal atas pasien
terhadap risiko jatuh dan melakukan pengkajian ulang pasien bila diindikasikan
terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain. Langkah-langkah
diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil pengkajian
dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cidera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cidera akibat jatuh di rumah sakit.
Menurut Potter & Perry (2009) beberapa intervensi yang dapat dilakukan perawat
untuk mencegah terjadinya jatuh pada pasien yaitu: Mengorientasikan pasien pada
saat masuk rumah sakit dan menjelaskan sistem komunikasi yang ada, bersikap
hati-hati saat mengkaji pasien dengan keterbatasan gerak, melakukan supervisi
ketat pada awal pasien dirawat terutama malam hari, menganjurkan menggunakan
bel bila membutuhkan bantuan, memberikan alas kaki yang tidak licin,
memberikan pencahayaan yang adekuat, memasang pengaman tempat tidur
terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, dan
menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin.
6.1.3
Hubungan
kepemimpinan
dengan
perilaku
perawat
dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Kepemimpinan menurut Robbins (2006) merupakan kemampuan untuk
mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran dan menurut Swanburg
(2000)
merupakan proses mempengaruhi kelompok untuk menentukan dan
mencapai tujuan. Batasan yang dikemukakan para ahli mempunyai kandungan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
pengertian yang sama meskipun rumusannya berbeda, intinya menekankan pada
mempengaruhi orang lain dalam
bekerjasama untuk mencapai tujuan. Pada
penelitian ini kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang
dilakukan oleh manajer keperawatan mulai dari ketua tim sampai dengan kepala
keperawatan umum yang dipersepsikan oleh perawat.
Hasil penelitian menyampaikan bahwa kepemimpinan di RSAU dr. Esnawan
Antariksa kurang baik (51,3%) . Hal ini karena pemimpin keperawatan belum
menerapkan secara optimal peran dan fungsinya dalam melaksanakan
keselamatan pasien, belum mengintegrasikan kepemimpinannya ke dalam fungsifungsi manajemen dengan baik, dan belum memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi keselamatan pasien. Pemimpin keperawatan perlu memahami
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
persepsi
keselamatan
pasien
ketika
menciptakan budaya keselamatan pasien (Mwachofi & Walston, 2009).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan kepemimpinan dengan
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan kepemimpinan
dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap
RSAU dr. Esnawan Antariksa. Kepemimpinan juga menjadi faktor yang paling
dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien. Hal ini mempunyai makna bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien akan optimal dengan meningkatkan peran kepemimpinan.
Kepemimpinan penting dalam opersional organisasi dan kesuksesan tergantung
pada efektifitas pemimpin tanpa kepemimpinan organisasi tidak dapat eksis
karena tidak ada perintah, kebijakan, standar, dan proses untuk mencapai tujuan
organisasi (Pollard, Avella, Hockin, & Samson, 2008).
Kepemimpinan berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien karena kepemimpinan dalam hal ini pemimpin keperawatan
dapat mempengaruhi perawat untuk bekerja sama dalam melaksanakan
keselamatan pasien sehingga dapat mencapai tujuan rumah sakit berupa
keselamatan pasien dan tidak terjadi insiden keselamatan pasien. Kepemimpinan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
memberikan arahan dengan jelas kepada perawat terkait pelaksanaan keselamatan
pasien dengan ditetapkannya standar dan kebijakan terkait budaya keselamatan
pasien. Bawahan akan lebih memilih manajer keperawatan dengan kepemimpinan
yang lebih jelas (Sellgren, Ranekualis, & Tonasoo, 2003).
Kepemimpinan yang baik harus mempunyai keterampilan baik yang bersifat
klinis maupun non klinis. Keterampilan klinis berhubungan dengan kemampuan
memberikan asuhan. Pemimpin yang mempunyai kompetensi dalam memberikan
asuhan akan memahami cara kerja perawat pelaksana dengan segala kemudahan
dan kesulitannya. Pemimpin menjadi konsultan bagi perawat yang mengalami
kesulitan dalam melaksanakan keselamatan pasien. Keterampilan non klinis
berhubungan dengan bagaimana individu berinteraksi dalam tim (interpersonal)
meliputi komunikasi, kepemimpinan dan followership, kerjasama, kesadaran
terhadap situasi yang terjadi dan pengambilan keputusan (Flin, O’Connor &
Crichton, 2008; Yule, Flin, Peterson, brown & Maran, 2006; Reason, 2008).
Dijelaskan pula oleh Summer, Bock, Giamartino (2006) bahwa kepemimpinan
yang efektif harus mempunyai soft skill seperti kemampuan untuk mengelola
orang dan mempunyai komunikasi yang efektif. Keterampilan kepemimpinan
yang baik telah terbukti meningkatkan produktifitas , memperbaiki lingkungan
kerja dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kepuasan karyawan
(Timothy, Laurent, & Breadney, 2007).
Kesalahan tindakan kesehatan yang terjadi diperkirakan 70-80% berhubungan
dengan gangguan pada keterampilan non klinis/teknis (Westli, Johnsen, Eid,
Rasten & Brattebo, 2010). Dengan demikian untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan mencegah terjadinya insiden maka pemimpin keperawatan mulai dari
pimpinan terendah yaitu ketua tim, kepala ruangan, kepala unit rawat inap sampai
kepala keperawatan umum harus mempunyai keterampilan kepemimpinan dan
merupakan sesuatu yang dipersyaratkan atau kompetensi yang harus dipenuhi
untuk menduduki jabatan tersebut. Perawat sebagai manajer asuhan ataupun
sebagai manajer pelayanan harus memenuhi komtetensi tersebut, sebagaimana
disampaikan oleh Krugman & Smith (2003) bahwa kepemimpinan sangat penting
dalam pengelolaan pasien sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Manajer
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
perawat yang menggunakan kekuasaan dan menggabungkannya dengan
kepemimpinan, fungsi manajemen dan kompetensi akan meningkatkan efektifitas
(Garsia & Barbara, 2009).
Pengaruh kepemimpinan sangat penting sebagaimana disampaikan oleh Casida &
Parker (2011) bahwa kinerja yang unggul dan efektifitas organisasi adalah
tampilan yang konsisiten dari perilaku kepemimpinan transformasional. Diperkuat
dengan hasil penelitian Lawton, Carruthers, Gardner, Wright, & McEachan
(2012) diidentifikasi sepuluh kegagalan laten yang mendukung kesalahan
pengobatan salah satunya adalah pengawasan dan kepemimpinan. White (2012)
juga menyoroti dalam studi kasusnya bahwa kerja tim akan mengalami kerusakan
dan tidak terkoordinasi bila tidak ada kepemimpinan yang jelas dalam
mengendalikan situasi sehingga perawat melakukan tugas sesuai kemauan dan
inisiatifnya sendiri dan komunikasikan tidak efisien ke seluruh tim dan terdapat
ketidaksesuaian tugas.
Pemimpin
mempunyai
pengaruh
dalam meningkatkan
keselamatan
dan
menyelesaikan permasalahan keselamatan pasien yang ada dalam organisasi.
Menurut Notoatmodjo (2007) jika organisasi ingin menciptakan atau dihadapkan
pada tugas-tugas organisasi, masalah-masalah atau isu-isu penting organisasi
maka solusi yang pertama muncul, datangnya dari orang yang berpengaruh dalam
organisasi. Pemimpin menginterpretasikan, mengasumsikan dan memberikan
penilaian terhadap persoalan dan akan memberikan solusi baik menyangkut
pengetahuan, sikap maupun tindakan yang harus dijalankan (Tika, 2010).
Kepemimpinan adalah faktor yang paling penting untuk mencapai prestasi besar
(Kostik, Sahin, Demir, & Kavumcubasi, 2005). Berdasarkan hal tersebut
kepemimpinan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam suatu organisasi
dan menentukan pencapaian tujuan organisasi dalam hal ini untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien.
Kepemimpinan
berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien, hasil penelitian ini ada kesesuaian dengan teori, Hal ini
sesuai dengan Permenkes (2011) yang menyatakan
bahwa kepemimpinan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
mempunyai peran yang penting dalam meningkatkan keselamatan pasien yaitu
1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit “. 2) Pimpinan menjamin berlangsungnya
program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program
menekan atau mengurangi insiden. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan
komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya
yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit
serta meningkatkan keselamatan pasien. 5) Pimpinan mengukur dan mengkaji
efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.
Permenkes, (2011) menjelaskan bahwa pemimpin berperan
mendorong dan
menjamin implementasi program keselamatan pasien melalui tujuh langkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit meliputi: 1) Membangun kesadaran akan
nilai keselamatan pasien. 2) Memimpin dan mendukung staf 3) Mengintegrasikan
aktivitas pengelolaan risiko. 4) Mengembangkan sistem pelaporan. 5) Melibatkan
dan berkomunikasi dengan pasien. 6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang
keselamatan pasien. 7) Mencegah cedera melalui implementasi sistem
keselamatan pasien. Pemimpin juga berperan sebagai role model bagi bawahan
dalam melaksanakan keselamatan pasien dan
memastikan bahwa pasien
mendapatkan keselamatan. Pemimpin kompeten dalam keselamatan pasien dan
memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Pemimpin
bersikap profesional dan bertanggungjawab sesuai dengan kewenangannnya.
Pemimpin memberi contoh dan membangun komitmen secara sederhana dengan
tindakan sehari-hari dalam menciptakan kemajuan dan membangun momentum
(Kauzes & Posner, 2006).
Marquis & Houston, (2012) mengemukakan bahwa peran kepemimpinan
terintegrasi pada setiap fungsi manajemen terkait dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien yaitu mempunyai keterampilan menentukan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
perencanaan pada fungsi perencanaan, melakukan pengaturan kerja pada fungsi
pengorganisasian,
menggunakan
strategi
penyelesaian
konflik,
mampu
bernegosiasi, mendelegasikan dan komunikasi pada fungsi pengarahan dan
mampu melakukan penilaian kinerja pada fungsi pengendalian. Kepemimpinan
yang baik ditunjukkan oleh komunikasi yang baik, mentoring, dan kemampuan
untuk maju (Jones, & Yun, 2009). Pemimpin keperawatan RSAU dr. Esnawan
Antariksa diharapkan mampu mengaplikasikan kepemimpinannya pada setiap
fungsi manajemen untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah insiden
keselamatan pasien. Peran kepemimpinan menciptakan sebuah lingkungan
komunikasi terbuka yang dapat membantu perawat untuk mengidentifikasi
peluang peningkatan keselamatan pasien (Jill & Amy, 2006).
Tantangan yang menarik dari pemimpin adalah untuk memilih gaya
kepemimpinan yang tepat. Gaya kepemimpinan yang tepat penerapannya
disesuaikan dengan jenis organisasi, budaya organisasi, anggota organisasi dan
tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan manajer keperawatan akan mempengaruhi
semua kegiatan di unit keperawatan, pemimpin memilih dan menerapkan gaya
kepemimpinan yang paling tepat untuk unit tim, individu dan setiap situasi, gaya
kepemimpinan yang sama tidak akan efektif dalam segala situasi dan semua
pengikutnya ( Marita & Rebecca, 2005). Menurut Scott & Bruce dalam Thunholm
(2009) gaya yang ditunjukan oleh perwira militer ketika membuat keputusan
adalah rasional, intuitif, tergantung, menghindari konflik, dan spontan. Lima
kategori gaya kepemimpinan manajer perawat di Finlandia visioner, demokratis,
afiliasi, demokratis, dan memerintah (Vesterinen, Isola, & Paasivaara, 2009).
Gaya kepemimpinan yang disukai di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata di Turki
adalah kepemimpinan tim, dan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
(Kostik, Sahin, Demir, & Kavuncubasi, 2005). Pemimpin tim lebih cenderung
spontan, lebih rasional, tergantung dan menghindar (Thunholm, 2009). Bawahan
lebih memilih manajer dengan kepemimpinan yang lebih jelas, di mana gaya
kepemimpinan manajer ditunjukan melalui perilaku manajer sebagai role model
bagi bawahan (Sellgren, Ekual, & Tomson, 2006).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Kepemimpinan TNI AU memperlihatkan karakter khusus yang berbeda dengan
kepemimpinan lainnya. Kepemimpinan dikembangkan sebagai kepemimpinan
kolaboratif yang disesuaikan dengan tuntutan kemampuan personel yang
komprehensif dan handal serta keahlian, tuntutan untuk selalu mempunyai
karakter terutama keteladanan, kedisiplinan, kejujuran, kepresisian, kecepatan dan
ketepatan
dalam
setiap
pengambilan
keputusan
sehingga
membentuk
kepemimpinan TNI AU yang berkarakter kuat (Mabesau, 2012). Karakter
kepemimpinan ini berlaku di setiap bagian atau kesatuan dibawah jajaran TNI AU
termasuk kesehatan dalam hal meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah
terjadinya insiden keselamatan pasien. Peran kepemimpinan TNI AU tercapainya
zero accident (safety) terhadap keselamatan penerbangan, hal ini ada kesesuaian
dengan peran kepemimpinan di bagian kesehatan yaitu meningkatkan keselamatan
pasien dan tidak terjadinya insiden keselamatan pasien.
6.1.4 Hubungan budaya organisasi dengan perilaku perwat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota organisasi (Robbins, 2006). Budaya merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang
tepat mengenai apa yang harus dikatakan atau dilakukan oleh anggota organisasi.
Budaya organisasi meliputi segala sesuatu yang ada dalam organisasi baik itu
kepercayaan, norma, nilai-nilai, filosofi, tradisi maupun pengorbanan (Swanburg,
2000). Pada penelitian ini budaya organisasi meliputi profesionalisme militer,
disiplin, sikap membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, dan loyalitas serta
kekuatan budaya organisasi. Hal ini disesuaikan dengan norma, nilai, filosofi dan
tradisi yang ada dallam organisasi militer yaitu dikaitkan dengan karakteristik
kemiliteran dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Hasil penelitian menyampaikan bahwa budaya organisasi secara umum di RSAU
dr. Esnawan Antariksa baik (53%) . Namun mempunyai budaya organisasi yang
kurang kuat, mempunyai disiplin
(99,1%) dan loyalitas yang tinggi. Loyal
terhadap organisasi, pimpinan dan aturan atau kebijakan yang ditetapkan. Hal ini
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
sebagai bentuk pengamalan terhadap kode etik prajurit yaitu sapta marga, sumpah
prajurit dan delapan wajib TNI dan Sapta Prasetya Korpri yang sekaligus sebagai
filosofi dan nilai-nilai yang dianut oleh anggota organisasi di organisasi militer.
Budaya organisasi yang kuat memberikan pemahaman yang jelas kepada
karyawan tentang cara menyelesaikan urusan dalam organisasinya dan
memberikan stabilitas pada organisasi (Robbins, 2006). RSAU dr. Esnawan
Antariksa mempunyai budaya organisasi yang kurang kuat, hal ini disebabkan
karena kurangnya kebersamaan dan komitmen dari perawat terhadap nilai-nilai
budaya organisasi khususnya dalam melaksanakan keselamatan pasien. Inovasi,
dukungan budaya dan pertimbangan gaya kepemimpinan memberikan efek positif
terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Lok & Crawford, 2004;
Simmons & Elzbieta, 2006). Menurut Deal & Kennedy; Luthan dalam Tika
(2010) ciri-ciri budaya organisasi yang kuat adalah mempunyai kebersamaan,
komitmen, loyalitas, adanya pedoman bertingkah laku dan dilaksanakan oleh
anggota organisasi, adanya penghargaan, adanya ritual dan memiliki jaringan
kultural. Budaya organisasi yang kuat mendorong antisipasi dan keterlibatan
perawat untuk ikut membuat keputusan yang mempengaruhi kinerja organisasi
secara positif (Swanburg, 2002).
Nilai-nilai budaya organisasi militer yang menunjukan gambaran kurang baik
adalah Profesionalisme militer dan membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Profesionalisme militer diasumsikan mempunyai keahlian sesuai bidangnya.
Profesionalisme militer merupakan suatu keseimbangan diantara keahlian,
tanggung jawab dan sikap kebersamaan (Chrisnandi, 2005). Perawat yang
profesional akam memberikan asuhan keperawatan yang tepat dengan
menerapkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien.
Profesionalisme yang kurang tersebut ditunjukkan dengan perilaku perawat yang
kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (53%). Sebaliknya perawat
yang mempunyai profesionalisme militer yang baik akan meningkatkan
keselamatan pasien. Hal ini terkait hirarki karena hirarki sering merupakan
hambatan untuk komunikasi efektif dalam kelompok profesional (Beaumont &
Russell, 2012).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Karakteristik militer membela kejujuran, kebenaran dan keadilan kurang baik
(72,6%) disebabkan karena perawat sebagian besar belum melaksanakan
keselamatan pasien dengan baik. Keselamatan pasien merupakan hak pasien
(Kemkes, 2009). Perawat yang membela kejujuran, kebenaran dan keadilan
terhadap pasien akan melaksanakan keselamatan pasien dan mencegah insiden
keselamatan pasien. Hal ini disebabkan masih takutnya perawat melaporkan
kesalahan terkait dengan hukuman yang akan diterima. Budaya hukuman
mengganggu pelaporan kesalahan dan tindakan perbaikan (Clarke & Sean, 2006).
Semakin perawat takut melapor maka akan semakin kejadian kesalahan yang
dilakukan karena tidak ada tindakan perbaikan dari kesalahan yang diperbuat
sebelumnya. Peran kepemimpinan akan efektif untuk mengatasi permasalahan ini
dengan menciptakan budaya keselamatan non punishment .
Disiplin merupakan sikap mental yang dimiliki oleh anggota militer. Perawat
RSAU dr. Esnawan Antariksa mempunyai disiplin yang tinggi (99,1%). Disiplin
yang tinggi ini merupakan sikap mental yang telah dibentuk sejak pendidikan
awal kemiliteran dan dibina secara terus-menerus melalui penegakan disiplin
yang diaplikasikan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Disiplin yang tinggi
tersebut harus dijadikan sebagai sumber daya bagi pemimpin dan manajemen
rumah sakit dalam melaksanakan program keselamatan pasien dan pencegahan
terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien.
Loyalitas merupakan kepatuhan dan ketaatan bagi anggota militer
terhadap
organisasi , pimpinan dan aturan atau kebijakan yang berlaku. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
perawat RSAU dr. Esnawan Antariksa loyal
terhadap
organisasi, pimpinan dan aturan atau kebijakan yang berlaku (59%). Loyalitas
bagi anggota organisasi militer dibentuk sejak awal menjadi anggota organisasi
militer dan dilaksanakan dalam kebiasaaan sehari-hari yang diperkuat dengan
kode etik TNI. Pemimpin dapat memanfaatkan loyalitas perawat tersebut loyal
dalam melaksanakan enam sasaran keselamatan pasien yang ditetapkan oleh
Permenkes, (2011).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan budaya organisasi dengan
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan
budaya
organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di
RSAU dr. Esnawan Antariksa. Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik
individu sebagai objek dan subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau
program tertentu gagal, yang dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003),
sehingga dapat dikatakan bahwa jika keselamatan pasien sulit dilaksanakan dan
banyak terjadi insiden keselamatan pasien maka penyebabnya adalah budaya.
Budaya organisasi yang efektif perlu diciptakan karena sangat penting dalam
organisasi untuk menghadapi masalah keselamatan pasien. Budaya organisasi
mempengaruhi bagaimana perawat memahami konteks pekerjaan dan sikap kerja
(Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011).
Organisasi yang berhasil menumbuhkan budaya organisasi dapat meningkatkan
kualitas, efisiensi, keselamatan pasien, dan kepuasan staf (Simmons & Elzbieta,
2006). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Wooten & Patricia (2003) budaya
organisasi menjadi kata kunci di dalam perusahaan Amerika selama 20 tahun
terakhir bahwa budaya organisasi dan nilai-nilai dapat menentukan keberhasilan
dan menjadi keunggulan kompetitif, budaya organisasi juga menjelaskan
bagaimana anggota organisasi melakukan hal-hal untuk menuju keberhasilan.
Keselamatan pasien harus menjadi budaya yang diberlakukan dalam organisasi
rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan pasien. Budaya keselamatan
terbukti sangat membantu dalam penargetan upaya untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mengurangi kesalahan (Abooshaiqah, 2010). Keselamatan
pasien diharapkan menjadi budaya dalam memberikan asuhan keperawatan.
Budaya
keselamatan
meningkatkan
keselamatan
dengan
menumbuhkan
komunikasi dan kolaborasi, pendekatan non punishment karena budaya hukuman
mengganggu pelaporan kesalahan dan tindakan korektif,
melaporkan dan menganalisa kesalahan (Clarka & Sean, 2006).
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
terbuka untuk
Upaya peningkatan keselamatan pasien dapat diupayakan dengan memperkuat
budaya organisasi, meningkatkan nilai-nilai budaya organisasi militer yaitu
profesionalisme, disiplin, membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan, loyalitas
dalam melaksanakan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan
pasien. Promosi budaya keselamatan pasien pada suatu organisasi membutuhkan
pemahaman tentang budaya organisasi (Aboshaiqah, 2010), dan disampaikan Flin,
Mearns, O’connor, & Bryden dalam Aboshaiqah (2010) ukuran budaya
keselamatan berasal dari sikap dan perilaku anggota organisasi. Upaya tersebut
akan menjadi optimal dengan meningkatkan fungsi dan peran kepemimpinan
keperawatan karena faktor kepemimpinan merupakan faktor yang paling dominan
dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa. Budaya mencerminkan totalitas keputusan kepemimpinan dalam
organisasi (Clarka & Sean, 2006).
Kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan suatu keterkaitan. Pemimpin
harus berperan aktif dalam menciptakan budaya organisasi yang akan memastikan
terwujudnya keberhasilan keselamatan pasien (Marquis & Huston, 2012). Peran
kepemimpinan selain menciptakan budaya konstruktif adalah membantu perawat
memahami
budaya
organisasi
(Marquis
&
Huston,
2012).
Pemimpin
menyampaikan budaya organisasi melalui apa yang disampaikan dan dilakukan
pemimpin (Robbins, 2006). Menurut Robbins (2006) kepemimpinan berhubungan
dengan penanganan perubahan, hal ini berkaitan dengan perubahan untuk
mengedepankan keselamatan pasien sebagai bagian integral yang melekat dalam
setiap tindakan keperawatan kepada pasien. Rumah sakit membutuhkan
kepemimpinan dan manajemen yang kuat untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Hasil penelitian juga menggambarkan selain ada keterkaitan antara kepemimpinan
dengan budaya organisasi juga keterkaitan antara kepemimpinan dengan umur,
dan pelatihan. Hal ini memberikan arti bahwa perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, budaya
organisasi, umur perawat, dan pelatihan. Upaya yang dilakukan untuk
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
meningkatkan keselamatan dan mencegah insiden keselamatan pasien harus
melibatkan keempat variabel tersebut yaitu dengan meningkatkan fungsi dan
peran kepemimpinan, menciptakan budaya keselamatan, menyelenggarakan
pelatihan keselamatan pasien pada seluruh perawat yang dilakukan secara
berkesinambungan sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta
pada perawat yang masih kurang baik perilakunya dalam melaksanakan
keselamatan pasien seperti umur perawat yang lebih dari 35 tahun untuk
mendapatkan
pembinaan
khusus.
Kepemimpinan
berkontribusi
dalam
mempromosikan keselamatan untuk pengembangan kapasitas organisasi (Erikson
& Axelsson, 2010).
6.2 Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari terdapat beberapa keterbatasan yang terdapat dalam penelitian
ini, yaitu: perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien pada
penelitian ini berdasarkan persepsi perawat belum dilakukan penilaian atau
observasi langsung oleh peneliti, kepemimpinan masih secara umum belum
diketahuinya jenis kepemimpinan yang tepat untuk dipraktekan di rawat inap
RSAU dr. Esnawan Antariksa yang disesuaikan dengan budaya organisasi militer
dan tujuan organisasi. Kecendrungan instrumen untuk menjawab ya.
6.3
Implikasi Bagi Keperawatan
Hasil penelitian memberikan implikasi bagi praktik keperawatan, bagi
perkembangan ilmu manajemen keperawatan dan bagi penelitian selanjutnya.
6.3.1
Bagi Praktik Keperawatan
Hasil penelitian memberikan
gambaran terhadap perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di
RSAU dr. Esnawan Antariksa. Gambaran tersebut dapat dijadikan sebagai tolak
ukur untuk meningkatkan keselamatan pasien dengan
melakukan
tindakan
perbaikan terhadap kepemimpinan dan budaya organisasi. Keselamatan pasien
ditingkatkan dengan meningkatkan perilaku perawat yang kurang baik dalam
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
melaksanakan keselamatan pasien khususnya dalam melakukan identifikasi
pasien, mengurangi risiko infeksi dan meningkatkan komunikasi efektif.
Keselamatan pasien yang tidak dilaksanakan dengan baik menimbulkan insiden
keselamatan pasien yang memberikan dampak buruk dan kerugian berupa
kematian, gangguan fungsi tubuh/ kecacatan, dan kerugian finansial. Insiden
keselamatan pasien juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming,
menimbulkan konflik antara petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan
sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktik, blow-up ke
media massa yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah
sakit, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah
sakit sehingga citra rumah sakit menjadi buruk.
Implikasi penelitian ini bagi manajemen rumah sakit sebagai penentu kebijakan
(Kepala dinas kesehatan Angkatan Udara, kepala rumah sakit, kepala
keperawatan, kepala diklat) yang menyusun perencanaan program keselamatan
keselamatan pasien agar selalu mensosialisasikan dan menyelenggarakan
pelatihan keselamatan pasien dengan mengacu kepada panduan keselamatan
pasien yang terbaru berdasarkan Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011
tentang keselamatan pasien rumah sakit yang diantaranya berisi tentang enam
sasaran keselamatan pasien yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan
komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai,
(kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi), pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan risiko pasien jatuh.
Menggunakan temuan hasil penelitian sebagai tolak ukur keselamatan pasien: 1)
meningkatkan keselamatan pasien khususnya dalam hal mengidentifikasi pasian,
mengurangi infeksi, dan komunikasi efektif dengan memanfaatkan kedisiplinan
dan loyalitas tinggi yang dimiliki oleh perawat dengan menyelenggarakan
pelatihan dan kebijakan terkait keselamatan pasien seperti menerapkan model
keselamatan penerbangan pada keselamatan pasien di rumah sakit. 2)
mengefektifkan peran dan fungsi kepemimpinan sebagai faktor paling dominan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
105
yang mempengaruhi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 3)
meningkatkan
budaya
organisasi
yang
kondusif
terhadap
pelaksanaan
keselamatan pasien yaitu budaya keselamatan.
Perilaku keselamatan pasien yang kurang optimal juga berdampak pada
mahasiswa yang melakukan praktik klinik di rumah sakit. Perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien di rumah sakit merupakan role model bagi
mahasiswa. Jika perawat mempunyai perilaku yang kurang baik dalam
melaksanakan keselamatan pasien dikhawatirkan hal tersebut akan dicontoh oleh
mahasiswa. Hal ini akan mengakibatkan perawat dimasa yang akan datang tidak
profesional dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi bagian pendidikan dan latihan
(Diklat) untuk mensosialisasikan keselamatan pasien yang diberlakukan di rumah
sakit kepada mahasiswa pengguna rumah sakit sebagai lahan praktik. Institusi
pendidikan membekali mahasiswa yang akan melakukan praktik klinik
baik
pengetahuan dan keterampilan terkait perilaku keselamatan pasien agar tidak
terjadi insiden keselamatan pasien. Pembekalan ini perlu dilakukan karena
perawat atau pembimbing tidak selalu dapat mendampingi dan mengawasi
mahasiswa saat melakukan praktik klinik di rumah sakit.
6.3.2
Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini masih terbatas faktor- faktor yang mempengaruhi perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien berdasarkan persepsi perawat dan belum
melibatkan pemimpin keperawatan. Implikasi bagi penelitian selanjutnya yaitu
penelitian lebih lanjut terkait observasi secara langsung perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien dan pengaruh kepemimpinan terhadap
keselamatan pasien dengan melibatkan leadership dan followership sehingga
didapatkan gaya kepemimpinan yang tepat dan diharapkan oleh keduanya.
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Pada penelitian determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa diperoleh gambaran
determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, gambaran
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, faktor yang
berhubungan dan yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien sesuai dengan tujuan penelitian.. Penelitian ini
juga memberikan jawaban terhadap hipotesis yang peneliti tegakkan. Penelitian
menghasilkan simpulan sebagai berikut:
7.1.1
Gambaran karakteristik perawat berada di usia produktif dengan rata-rata
32 tahun, lama bekerja 8 tahun, status kepegawaian sebagian besar sipil
dan sebagian besar tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien.
7.1.2
Perawat mempunyai perilaku yang kurang baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien yaitu dalam mengidentifikasi pasien, komunikasi
efektif, mengurangan risiko infesi.
7.1.3
Pemimpin keperawatan mempunyai kepemimpinan kurang baik dan
budaya organisasi baik, dengan budaya organisasi yang kurang kuat,
profesionalisme militer yang kurang baik, dan disiplin yang baik,
mempunyai sikap yang baik dalam membela kejujuran, kebenaran dan
keadilan yang kurang baik, serta loyal terhadap organisasi, pimpinan dan
aturan atau kebijakan yang berlaku.
7.1.4
Umur, kepemimpinan, dan budaya organisasi merupakan variabel yang
mempunyai hubungan bermakna terhadap perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien.
7.1.5
Masa kerja, status kepegawaian, dan pelatihan merupakan variabel yang
tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
7.1.6
Kepemimpinan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi
perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, hal ini
memberiakn makna bahwa dengan kepemimpinan yang baik akan
menggambarkan perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan
keselamatan pasien.
7.2 Saran
Berdasarkan pada temuan penelitian yang telah disimpulkan maka peneliti
memberikan saran sebagai berikut:
7.2.1
Bagi Manajemen Rumah Sakit
7.2.1.1 Manajemen rumah sakit menggunakan hasil penelitian ini sebagai tolak
ukur dalam upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien (identifikasi
pasien, komunikasi efektif, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien,
keamanan obat, pencegahan risiko infeksi dan pencegahan infeksi jatuh)
sehingga tidak terjadi insiden keselamatan pasien. Upaya peningkatan
keselamatan pasien akan lebih optimal dengan memanfaatkan kelebihan
yang dimiliki oleh perawat yaitu disiplin yang tinggi dan loyalitas untuk
mematuhi kebijakan keselamatan pasien. Menerapkan model keselamatan
penerangan untuk meningkatkan dan kualitas keselamatan pasien.
7.2.1.2 Mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan tentang keselamatan pasien
berdasarkan pada Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
keselamatan pasien rumah sakit yaitu ketepatan identifikasi pasien,
peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang
perlu diwaspadai, (kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien
operasi), pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan,
pengurangan risiko pasien jatuh kepada seluruh perawat dan dilakukan
penyegaran secara berkala agar keselamatan pasien diterapkan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelatihan ini juga
dapat meningkatkan profesinalisme yang masih kurang pada perawat
rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
7.2.1.3 Meningkatkan peran kepemimpinan keperawatan untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien dengan
merujuk pada Permenkes (2011), mulai dari ketua tim, kepala ruangan,
kepala unit rawat inap dan kepala keperawatan umum
untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden
keselamatan pasien dengan melakukan pembinaan terhadap perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Pemimpin keperawatan sebagai role
model, kompeten, profesional dan bertanggung jawab sesuai dengan
kewenangannya.
7.2.1.4 Meningkatkan budaya organisasi yang positip yaitu budaya keselamatan,
budaya oganisasi yang kuat, asuhan keperawatan yang profesional,
didiplin dan loyal terhadap pelaksanaan keselamatan pasien serta membela
kebenaran kejujuran dan keadilan pasien untuk menjamin keselamatan
pasien.
7.2.2
Bagi Perawat
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perawat pelaksana untuk
selalu melaksanakan perilaku keselamatan pasien, dengan lebih menekankan
pada:
7.2.2.1 Menggunakan dua identitas pasien misalnya (nama pasien dan nomor
rekam medik pasien/ nama dan tanggal lahir) sebelum melakukan suatu
tindakan kepada pasien.
7.2.2.2 Membacakan kembali untuk klarifikasi saat menerima instruksi melalui
telepon.
7.2.2.3 Memberikan tindakan keperawatan dengan tepat prosedur/ langkahlangkah prosedur, tepat lokasi dan tepat pasien
7.2.2.4 Mengaplikasikan prinsip benar dalam pemberian obat dan melakukan
check and recheck sebelum memberikan obat
7.2.2.5 Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan ke pasien dan
yang berhubungan dengan cairan pasien.
7.2.2.6 Melakukan pengkajian awal pada pasien risiko jatuh dan melakukan
tindakan pencegahan jatuh.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
109
7.2.3
Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menindaklanjuti penelitian ini, yaitu:
7.2.3.1 Penelitian yang bersifat observasi langsung terhadap perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien, kepemimpinan keperawatan,
maupun budaya organisasi.
7.2.3.2 Khususnya untuk kepemimpinan perlu diperkuat dengan penelitian yang
bersifat kualitatif dengan langsung melibatkan pemimpin keperawatan
yang berdasarkan pada fungsi manajemen perencanaan, pengorganisasian,
ketenagaan, pengarahan, dan pengendalian terhadap keselamatan pasien.
dan pengaruh kepemimpinan terhadap keselamatan pasien dengan
melibatkan leadership dan followership sehingga didapatkan gaya
kepemimpinan yang tepat dan diharapkan oleh keduanya.
7.2.3.3 Penelitian dengan menggunakan uji statistik parametrik agar dapat
digeneralisir.
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Daftar Pustaka
Aboshaiqah, A.E. (2010). Safety culture: A basaline assessment of nurses’
perceptions in a Saudi Arabia hospital. Proquest Dissertation Publishing.
Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada Nopember 2012.
Anugrahini, C. (2010). Hubungan faktor individu & organisasi dengan kepatuhan
perawat dalam menerapkan pedoman patient safety di RSAB Harapan
Kita Jakarta. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
Azwar, S. (2011). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Beaumont, K. & Russell, J. (2012). Standardising for reliability: The
contribution of tools and checklists. Nursing Standard. Vol.26/No.34.
Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detailhttp://web.
ebscohost.com/ehost/detail?vid=4&hid=127&si pada 5 September 2012.
Boothman, R.C., Imhoff, S.A., & Campbell, D.A.. (2012). Nurturing a culture of
patient safety & achieving lower malpractice risk through disclosure:
Lessons learned & future directions. Frontiers of Health Service
Management Vol.28/No.3. Diunduh melalui http://web.ebscohost.
com/ehost/detail pada 7 September 2012.
Casida, J., & Parker, J. (2011). Staff nurse perceptions of nurse manager
leadership styles and outcomes. Journal of Nursing Management.
Vol.19/No.19. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com /ehost pada 7
September 2012.
Choo, J. Hutchinson, A., & Bucknall, T. (2010). Nurses' role in medication
safety. Journal of Nursing Management. Vol.18/No.5. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=8&h pada 5 September 2012.
Chrisnandi, Y. (2005). Reformasi TNI perspektif baru hubungan sipil-militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Clarke, & Sean, P. (2006). Organizational climate and culture factors. Annual
Review of Nursing Research. Vol.255/No.72. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=8&h pada 5 September 2012
Cosway, B., Stevens, A.C., & Panesar, S. (2012). Clinical leadership: A role for
students? British Journal of Hospital Medicine. Vol.73/No.1. Diunduh
melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?v pada 7 September 2012.
Dahlan, M.S. (2008). Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang
kedokteran dan kesehatan. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Dessler, G. (1997). Resource management. 7ed. New Jersey: Prentice hall.
De Vries E., Ramrattan M., Smorenburg S., Gouma D., & Boermeester M. (2008).
The incidence and nature of in-hospital adverse events: A systematic
review. Qual Saf Health Care. Vol.17/No.216. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 8 September 2012.
Dharma,
K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Dhatt, G.S., Damir, H.A., Matarelli, S., Krishnan, S., & James, D.M. (2011).
Patient safety: patient identification wristband errors. Clinical Chem
Laboratory Medicine. Vol.49/No.5 Diunduh melalui http://web.ebscohost
com/ehost/detail?vid=14&hid=127&sid=9f9cc pada 5 September 2012.
Eriksson, A., Axelsson, R., & Axelsson, S.B. (2010). Development of health
promoting leadership-experiences of a training programme. Health
Education. Vol.110/No.2. Diunduh melalui melalui http://web.ebscohost
com/ehost/detail?vid=14&hid=127 pada 5 September 2012
Flin, R., O’Connor, & Crichton, M. (2008). Safety at the sharp end: A guide to
non-technical skills. Ashgate Publishing. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 8 September 2012.
Flynn, L., Liang, Y., Dickson, G.L., Xie, M., & Suh, D.C. (2012). Nurses’
practice environments, error interception practices, and inpatient
medication errors. Journal of Nursing Scholarship. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 5 September 2012.
Foley, M., & Leyden, A.M. (2003). Ameican nurses association independen study
module, needlestick safety & prevention. Diunduh melalui
http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012.
Frank, J.E. (2009). What the military taught me about these nine characteristics
of military life have a place in medical practices. Family Practice
Management. Diunduh melalui www.aefp.org/fpm. pada 8 September
2012 pada 5 September 2012.
Garsia, S.B., & Barbara, L.P. (2009). Toward a framework for an inclusive model
of social justice leadership preparation. Journal of Nursing Management.
Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc pada 5 Nopember 2012.
Gillis, D.A. (1996). Nursing management: A system approach. 4th.Ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Ghufron, & Risnawita. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Groene, O., Mora, N., Thompson, A., Saez, M., Casas, M., and Rosa Suñol, R.
(2011). Is the maturity of hospitals’ quality improvement systems
associated with measures of quality and patient safety. BMC Health
Services
Research.
Vol.11/No.344.
Diunduh
melalui
http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/344 pada 8 September 2012.
Hasibuan, M. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Hastono, S.P., & Sabri, L. (2010). Statistik kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Purwanto, H. (1999). Perilaku Manusia. Jakarta: EGC.
Huber, D.L. (2010). Leadership & nursing care management. Fourth edition.
USA: Saunders, Elsevier Inc.
Hugh, Mc., Corrigan, & Dimitrov. (2010). E-learning program for surgical
trainees to enhance patient safety in preventing surgical infection.
Journal of Continuing Education in Health Professions. Vol.30/No.4.
Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=18&hid
=127&sid=9f9cc05f-bcfe-4ea6-96bd pada 7 September 2012.
Isaac, T., & Jha, A.K. (2008). Are patient safety indicators related to widely used
measures of hospital quality?. Society of General Internal Medicine.
Vol.23/No.9. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=4&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9 pada 8 September 2012.
Iswati (2012). Pengaruh penjaminan mutu keselamatan pasien oleh kepala ruang
terhadap tindakan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di Rumah
Sakit Bhakti Yudha Depok. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
Jill, S.C., & Amy, V. (2006). Nursing home safety: Areview of the literature.
Annual Review of Nursing Research. Vol.24/No.2. Diunduh melalui
http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012.
Joint Commission International. (2011). Accreditation standart for hospitals.
Fourth edition. Oarkbrook Terrace-Illinois: Departement of Publications
Joint Comission Resources.
The Joint Commission. (2007). National patient safety goals - facts about the
2007 National Patient Safety Goals.
Kauzes, J.M., & Posner, B.Z. (2006). The five practices of exemplary student
leadership.
Kementerian Kesehatan RI. (2008). Kepmenkes 129 tentang Standar pelayanan
minimal rumah sakit. Diunduh melalui http://id.scribd.com/doc
/38737711/kepmenkes-129-Thn-2008-Spm-Rs pada 8 September 2012.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Kementerian Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan.
Kementerian Kesehatan
Perumahsakitan.
RI.
(2009).
Undang-Undang
No.44
tentang
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Peraturan menteri kesehatan nomor
169/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit.
Diunduh melalui http://hukor.depkesri.go.id. pada 24 September 2012
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). (2008). Pedoman pelaporan
insiden keselamatan pasien (IKP). Jakarta : KKPRS.
Kostik, Z., Sahin, B., Demir, C., Kavuncubasi, S. (2005). An evaluation of the
leadership attitudes of managers in turkish armed forces' hospitals.
Military Medicine. Vol.170/No..3. Diunduh melalui http://web.
ebscohost.com/ehost/detail?vid=5&hid=118&s pada 9 September 2012.
Kerzman, H., Cherit, A., Brin, L., & Toren, O. (2004). Characteristics of falls in
hospitalized patients. Journal of Advanced Nursing. Vol.47/No.2.
Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=7&hid
=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010 pada 5 September 2012.
Krugman, M., & Smith, V. (2003). Chargenurse leadership development and
evaluation.
JONA.
Vol.33/No.5.
Diunduh
melalui
http://search.proquest.com/doc pada 9 Nopember 2012.
La Ode, M.D. (2006). Peran militer dalam ketahanan nasional: Studi kasus
bidang hankam di Indonesia tahun 1967-2000. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Lawton, R., Carruthers, S., Gardner, P., Wright, J., & McEachan, R.C. (2012)
Identifying the latent failures underpinning medication administration
errors: An exploratory study. Health Research and Educational Trust.
Vol.47/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=9&hid=118 &sid=b9117e5d-bab1-4cae-9 pada 7 September 2012.
Lazar, E. (2012). How to get house staff involved in QI and safety. Hospital Peer
Review.
Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=14&hid=118&sid =b9117e5d-bab1-4 pada 7 September 2012.
Lok, p. & Crawford, J. (2004). The effect of organisational culture and leadership
style on job satisfaction and organisational commitment. The Journal of
Management
Development.
Vol.23/No.321.
Diunduh
melalui
www.emeraldinsight.com/0262-1711.htm pada 9 Nopember 2012.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Longo et al. (2007). Hospital patient safety: Characteristics of best-performing
hospital. Journal of Healthcare Management. Vol.52/No.3. Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=17&hid=118&sid
=b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f1406d321 pada 7 September 2012.
Mabesau. (2012). Kepemimpinan TNI Angkatan Udara.
Cilangkap.
Jakarta: Mabesau
Madigosky W.S., Headrick, L.A., Nelson, K., Cox, K.R., & Anderson, T. (2006).
Changing and sustaining medical students’ knowledge, skills, and
attitudes about patient safety and medical fallibility. Academic Medicine.
Vol.81/No.1. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=19&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f1406d321 pada
8 September 2012.
Marita, N., & Rebecca, M. (2005). Increasing retention of nursing staff a hospital:
Aspects of management and leadership. Australian Bulletin of Labour.
Vol.31/No.4. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9
Nopember 2012.
Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2012). Leadership roles & management functions
in nursing: Theory & application. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins.
Mattox, E.A. (2012). Strategies for improving patient safety: Linkingt ask type to
error type. Critical Care Nurse. Vol.32/No.1. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=25&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr1 pada 7 September 2012.
Maxson, P., Derby, K.M., Wrobleski,D.M., & Foss, D.M. Bedside nurse-to-nurse
handoff promotes patient safety. Medical Surgical. Vol.21/No.3.
Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=27&hid
=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f140 pada 8 September 2012.
Murphy, M.F. & Kay, J.D.S. (2004). Patient identification: problems and
potential solutions. Blackwell Publishing Ltd. Vox Sanguinis.
Vol.87/No.2.
Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost
/detail?vid=30&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4pada 9 September 2012.
Mwachofi, A., Walston, Stephen, L., Al-Omar, & Badran, A. (2011). Factors
affecting nurses' perceptions of patient safety. International Journal of
Health Care Quality Assurance. Vol 24/No.4. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=32&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr pada 8 September 2012.
Ndraha, T. (2003). Budaya Organisasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Nilsson, L., Lindeeroet, O., Gupta, A., & Vegfors, M. (2009). Implementing a
pre-operative checklist to increase patient safety: a 1-year follow-up of
personnel attitudes. Journal Compilation. Vol.54. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=34&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr1pada 8 September 2012.
Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Pollard, B.M., Avella, J., Hockin, R., & Samsom, L. (2008). The effects of
leadership style on the job performance of nurses. UMI Microform.
Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc pada 9 Nopember 2012.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental of nursing. 7 Edision. Singapore:
Elsevier Inc.
Reason, J. (2008). The human contribution: Unsafe acts, accidents and heroic
recoveries. Ashgate Publishing, Farnham. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/results?sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6
e0e6722704%40sessionmgr114&vid=31&hid pada 8 September 2012.
Reid, J., & Bromiley, M. (2012). Clinical human factors: The need to speak up to
improve patient safety. Nursing Standard. Vol.26/No.35. Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=4&hid=105&sid
=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40s pada 8 September 2012.
Rivai, V., & Mulyadi, D. (2009). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Robbins, S.P. (2006). Perilaku organisasi. Indonesia: PT Indeks Kelompok
Gramedia.
Schimpff, S.G. (2007). Improving operating room and perioperative safety:
Background and specific recommendations. Surgical Innovation I.
Vol.14/No.2.
Diunduh
melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=4&hid=105&sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e pada 8 September 2012.
Seiden, S., Galvan, C., & Lamm, R. (2006). Role of medical students in
preventing patient harm and enhancing patient safety. Qual Saf Health
Care. Vol.15/No.272. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/
detail?vid=6&hid=105&sid=834bc725-6a08-4c pada 8 September 2012.
Sellgren, S. , Ekval, G., & Tomson, G. (2006). Leadership styles in nursing
management: preferred and perceived. Journal of Nursing Management.
Vol.14/No.348. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail
?vid=4&hid=105&sid=834bc725-6a08 pada 8 September 2012
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Simmons, S., & Elzbieta (2006). Organizational culture and work-related attitud
among staff in assisted living. Journal of Gerontological Nursing.
Vol.32/No.2. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9
Nopember 2012.
Sriyulia (2010). Pengaruh pelatihan keselamatan pasien terhadap pemahaman
perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di Rumah
Sakit Tugu Ibu Depok. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
Sugiyono. (2009). Metode penetilian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung:
CV. Alfabeta.
Summer, M., Bock, D., & Giamartina, G. (2006). Exploring the linkage between
the characteristics of it project leaders and project success. IT Project
Management.
Storr, J., Topley, K., & Privett, S., (2005). The ward nurse's role in infection
control. Nursing Standard. 19, 41, 56-64. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=15&hid=105&sid=834bc7256a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&bdata=JnNpdG pada
8 September 2012.
Suzana, M., (2010). First- and third-year student nurses’ perceptions of caring
behaviours. Nursing Ethics. Vol.17/No.4. Diunduh melalui http://web
ebscohost.com/ehost/detail?vid=17&hid=105&sid=834bc725-6a08-4ccfb2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&bdata pada 8 September 2012.
Sutrisno, E. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Kencana
Swanburg, R.C., & Swanburg, J.R. (2002). Introductory management and
leadership forl nurses (2 nd ed). Toronto: Jones and Barlett Publisher
Tika, P. (2010). Budaya organisasi dan peningkatan kinerja perusahaan. PT.
Bumi Aksara, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Tomey, A. (2006). Nursing theorists and their work. 6 th ed. St. Louis: Mosby.
Tzeng H,M. & Yin C. Y. (2008) Heights of occupied patient beds: a possible risk
factor for inpatient falls Aims. Journal of Clinical Nursing. Vol.17.
Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=20&hid=105
&sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e67227 pada 8 September 2012.
Thunholm, P. (2009). Military leaders and followers – do they have different
decision styles?. Scandinavian Journal of Psychology. Vol.50. Diunduh
melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=21&hid=105&sid=83
4bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sess pada 8 September 2012.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Vesterinen, S., Isola, A., & Paavivaara, L. (2009). Leadership styles of finnish
nurse managers and factors influencing it. Journal of Nursing
Management. Vol.17. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/
detail?vid=21&hid=105&sid=834bc725-6a08- pada 8 September 2012.
Vincent, & Davis. (2012). Patients and families as safety experts. Canadian
Medical Association or its licensors. Vol.184/No.1. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced?sid=834bc725-6a08-4cc
f -b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&v pada 8 September 2012.
Weissman, J.S., Schneider, E.C., & Weingart, S.N. (2008). Comparing patientreported hospital adverse events with medical record review: Do patients
know something that hospitals do not?. Ann Intern Med. Vol.149/No.8.
Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=24&hid=
105&sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e67 pada 8 September 2012.
Westli, H.K., Johnsen, B.H., Eid, J., Rasten, I., & Brattebø, G. (2010). Teamwork
skills, shared mental models, and performance in simulated trauma
teams: an independent group design. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine. Vol.18/No.47. Diunduh melalui
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=26&hid=105&sid=834bc7256a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr1 pada 8 September 2012.
White, N. (2012). Understanding the role of non-technical skills in patient safety.
Nursing Standard. Vol.26/No.26. Diunduh melalui http://web
.ebscohost.com/ehost/detail?vid=28&hid=105 pada 8 September 2012.
WHO, (2009). Human factors in patient safety review of topics and tools : Report
for methods and measures working group of WHO patient safety.
WHO/IER/PSP/2009.05. Diunduh melalui www.who.int.patientsafety pada 5 September 2012. Wooten, L.P., & Patricia C. (2003). Nurses as implemented of organizational
culture. The Journal for Health Care Leaders. Vol.275/No.9. Diunduh
melalui http://search.proquest.com/doc. pada 8 September 2012.
Yule, S., Flin, R., Paterson, Brown, S., Maran, N. (2006) Non-technical skills for
surgeons in the operating room: a review of the literature. Surgery.
Vol.139/No.2.
Diunduh
melalui
http://web.ebscohost.com/ehost
/detail?vid=30&hid=105&sid=834bc725-6a08- pada 8 September 2012.
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
LAMPIRAN 6 PENJELASAN PENELITIAN
Kepada Yth: Teman Sejawat Perawat
RSAU dr. Esnawan Antariksa
Di Jakarta
Bersama ini disampaikan bahwa dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di
Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia maka saya:
Nama
: Sri Mulyatiningsih
NPM
: 1006834031
Alamat
: Jl Alfida No.314 RT 03/09 Komplek Angkasa Halim
Perdanakusuma Kec. Kampung Makasar Jakarta Timur
No Telepon : 082123526121/ 085779126772
e-mail
: [email protected]
Bermaksud mengadakan penelitian tesis dengan judul
Determinan Perilaku
Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di rawat inap RSAU dr.
Esnawan Antariksa Jakarta.
Kuisioner ini bukan untuk menilai kinerja dan pengetahuan teman sejawat
perawat terhadap ilmu keperawatan, tetapi bertujuan untuk memperoleh gambaran
yang
tepat
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perawat
dalam
melaksanakan keselamatan pasien. Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
keselamatan pasien. Segala informasi yang diberikan akan dijamin kerahasiannya
dan akan digunakan hanya untuk penelitian serta peningkatan keselamatan pasien
di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta.
Demikian penjelasan ini saya sampaikan, apabila teman sejawat menyetujui, maka
saya mohon kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan
menandatangani lembar inform concent dan menjawab semua pertanyaan yang
telah disiapkan. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.
Jakarta,
Nopember 2012
Peneliti
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
LAMPIRAN 7 PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN
Setelah saya mendapat informasi dan membaca penjelasan di atas, maka saya
memahami manfaat dan tujuan penelitian ini. Saya yakin peneliti akan
menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai respoonden. Saya juga
menyadari bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi
saya dan RSAU dr. Esnawan Antariksa tempat saya bekerja.
Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar
manfaatnya bagi peningkatan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr.
Esnawan
Antariksa,
dan
saya
berkontribusi
di
dalamnya.
Dengann
menandatangani lembar persetujuan ini, maka saya menyatakan bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
Jakarta, Nopember 2012
Responden
(.....................)
Cukup tanda tangan, tidak perlu menuliskan nama
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
LAMPIRAN 8 RISET MAHASISWA PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERWATAN UNIVERSITAS INDONEIA
DI RSPAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA PERIODE
NOVEMBER 2012
KUESIONER
UNTUK PERAWAT PELAKSANA
PETUNJUK PENGISIAN
1.
2.
3.
4.
Kuisioner terdiri dari 3 bagian yaitu karakteristik perawat, perilaku perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien dan faktor yang berhubungan
dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien
Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang
saudara pilih
Tuliskan jawaban secara singkat, dan jelas pada tempat yang telah tersedia.
Dimohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan
KODE
A. Karakteristik perawat
1. Umur
: ……………….tahun
2. Status kepegawaian :
Militer
Sipil
3. Lama kerja di RS ini :………………………..tahun…………….bulan
4. Pelatihan/Keselamatan pasien (patient safety)
Pernah
Tidak pernah
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
B.
Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien
Petunjuk pengisian:
1.
2.
3.
Bacalah pernyataan dengan seksama sebelum menjawab.
Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang
saudara pilih.
Di mohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan.
Pilihan jawaban:
Selalu
Sering
Jarang
Tidak pernah
:
:
:
:
Jika pernyataan tersebut selalu saudara dilakukan.
Jika pernyataan tersebut sering saudara dilakukan.
Jika pernyataan tersebut jarang saudara dilakukan.
Tidak Pernah, pernyataan tersebut tidak pernah dilakukan.
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Selalu
Sering
Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat
pasien
1.
Menggunakan
nomor
mengidentifikasi pasien
2.
Sebelum
melakukan
transfusi
darah
memastikan nama yang ada di label sama
dengan nama yang ada di kantong darah
3.
Mengecek informasi kadaluarsa komponen
darah yang akan ditransfusikan ke pasien
4.
Melakukan identifikasi pasien
melakukan prosedur/tindakan
5.
Memeriksa identifikasi pasien sebelum serah
terima/operan pasien
6.
Jika pasien yang dirawat tidak mampu bicara
sedangkan tidak ada penunggu, maka
memastikan identitas dengan mengecek nomor
rekam medik bersama perawat lain
kamar
untuk
sebelum
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Jarang
Tidak
pernah
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Selalu
Sering
Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat
pasien
7,
Hasil kolaborasi secara lisan melalui telepon
dengan dokter ditulis pada status pasien
8.
Membacakan kembali hasil kolaborasi secara
lisan melalui telepon dengan dokter
untuk mengklarifikasi kebenaran
9.
Memberikan informasi yang akurat tentang
perubahan kondisi pasien yang terbaru saat
operan
10.
Menberikan informasi yang akurat tentang
rencana asuhan keperawatan pasien saat operan
11.
Memeriksa pasien sebelum melaporkan kepada
dokter
12.
Memegang status pasien saat melaporkan
pasien ke dokter
13.
Memberikan
kesempatan
kepada
pasien/keluarga untuk mengoreksi jika terjadi
kesalahpahaman atau ketidakakuratan
14.
Sebelum mengoplos obat mencocokkan nama
pasien dengan jenis obat yang didapat, dosis,
waktu dan rute pemberian
15.
Menanyakan ada alergi atau tidak kepada
pasien sebelum memberi obat
16.
Memberikan obat yang disiapkan oleh perawat
lain
17.
Memberikan
obat
injeksi
tanpa
pengecekan ulang oleh perawat lain
ada
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Jarang
Tidak
pernah
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Selalu
Sering
Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat
pasien
18.
Menyuntikan obat yang
mengencerkan terlebih dahulu
19.
Meletakkan KCL dekat aquadest agar mudah
dijangkau saat diperlukan
20.
Memberikan
pendidikan
kepada
pasien/keluarga tentang tujuan pemberian obat,
kegunaan, cara pakai dan waktu serta
kemungkinan efek obat
21.
Melakukan prosedur dengan urutan langkah
yang benar
22.
Melakukan pemasangan infus di vena bagian
distal sebelum mengunakan vena proksimal
23.
Membersihkan bagian tubuh pasien dari area
yang bersih ke area kotor
24.
Mempertahankan prinsip steril pada prosedur
perawatan luka/pemasangan kateter urin/injeksi
25.
Memastikan kebenaran identitas pasien yang
akan dilakukan tindakan/prosedur
26.
Mencuci
tangan
sebelum
prosedur/tindakan kepada pasien
melakukan
27.
Memcuci tangan
sesudah
prosedur/tindakan kepada pasien
melakukan
28.
Mencuci tangan setelah menyentuh area sekitar
pasien
29.
Memakai sarung tangan saat terpapar cairan
tubuh pasien
pekat
tanpa
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Jarang
Tidak
pernah
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Selalu
Sering
Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat
pasien
30.
Mencuci tangan menggunakan air mengalir dan
sabun
31.
Melakukan
perawatan
luka
operasi/infus/kateter urin secara aseptik dan
antiseptik
32.
Melakukan penilaian risiko
mungkin terjadi pada pasien
33.
Menempatkan pasien yang berisiko terkena
infeksi/berisiko menularkan infeksi di ruang
khusus/isolasi
34.
Melakukan pengkajian awal pada pasien risiko
jatuh
35.
Memastikan bahwa roda tempat tidur dalam
keadaan terkunci
36.
Mengorientasikan pasien pada saat masuk
ruang rawat
37.
Menurunkan pengaman/penghalang tempat
tidur pada pasien yang mengalami keterbatasan
gerak
38.
Melakukan pengawasan ketat pada
dengan risiko jatuh
pasien
39.
Melibatkan pasien dan keluarga
mencegah terjadinya pasien jatuh
untuk
infeksi
yang
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Jarang
Tidak
pernah
C. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam
melaksanakan keselamatan pasien
Petunjuk pengisian:
1.
2.
3.
Bacalah pernyataan dengan seksama sebelum menjawab
Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang
saudara pilih.
Di mohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan.
Pilihan jawaban:
Sangat setuju
: Jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi
saudara
Setuju
: Jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi saudara
Tidak setuju
: Jika pernyataan tidak sesuai dengan persepsi saudara
Sangat tidak setuju : Jika pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi
saudara
Pemimpin disini adalah pemimpin keperawatan (mulai ketua tim, kepala
ruangan, kepala rawat inap sampai kepala keperawatan umum)
JAWABAN
No
PERNYATAAN
1.
Pemimpin mengetahui prosedur dan teknis
pekerjaan yang saya dikerjakan
2.
Komunikasi yang disampaikan pemimpin
kurang dapat dipahami
3.
Pemimpin mempunyai kepribadian yang
baik
4.
Pemimpin memberikan bimbingan, arahan
dan
petunjuk
dalam
pelaksanaan
keselamatan pasien
5.
Pemimpin
memberikan
kepercayaan
kepada
saya
untuk
melaksanakan
keselamatan pasien
Sangat
setuju
Setuju
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
JAWABAN
No
PERNYATAAN
6.
Pemimpin memberikan contoh dalam
pelaksanaan keselamatan kepada pasien
7.
Pemimpin memiliki kedisiplinan yang
tinggi
8.
Pemimpin tidak memberikan kesempatan
kepada saya untuk menyampaikan kritik,
ketidakpuasan dan keluhan
9.
Pemimpin kurang memonitor saya dalam
pelaksanaan keselamatan pasien
10.
Pemimpin
dapat
menyelesaikan
masalah/konflik dengan cara yang
membangun
11.
Pemimpin tidak paham dengan perannya
sebagai pemimpin
12.
Pemimpin bijaksana dalam mendisiplinkan
bawahan
13.
Pemimpin memberikan koreksi dan
penilaian
terhadap
pelaksanaan
keselamatan pasien yang saya lakukan
14.
Pemimpin tidak peka terhadap perubahan
yang terjadi pada kemajuan organisasi
15.
Pemimpin kurang inisiatif
16.
Pemimpin mengambil keputusan dengan
perhitungan yang cermat
17.
Saya tidak
puas dengan
sistem
imbalan/penghargaan yang diberikan oleh
instansi tempat saya bekerja
Sangat
setuju
Setuju
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Sangat
setuju
18.
Saya diberikan hukuman bila melanggar
norma/ketentuan yang telah ditetapkan
19.
Saya mengetahui dengan jelas tentang
tujuan organisasi tempat saya bekerja
20.
Saya memahami perilaku terpuji dan
tercela yang diberlakukan di organisasi
tempat saya bekerja
21.
Saya melakukan keselamatan
karena takut dihukum
22.
Saya bukan bagian dari organisasi yang
bertanggung jawab terhadap keselamatan
pasien
23.
Saya mempunyai komitmen tinggi bila
mendapatkan imbalan/ penghargaan.
24.
Budaya organisasi tempat saya bekerja
mempengaruhi kinerja saya
25.
Saya bangga menjadi bagian
organisasi tempat saya bekerja
26.
Keselamatan pasien saya
secara profesional
27.
Saya memegang teguh disiplin
28.
Saya datang ke kantor dan pulang tepat
waktu
28.
Saya tidak melaporkan kesalahan/insiden
keselamatan pasien karena takut
30.
Saya melaksanakan keselamatan pasien
karena perintah pemimpin/atasan
Setuju
pasien
dari
laksanakan
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
JAWABAN
No
PERNYATAAN
Sangat
setuju
31.
Saya membela pasien dari tindakan yang
merugikan bagi keselamatan pasien..
32.
Saya
tidak
dapat
menyampaikan
permasalahan dalam merawat pasien
karena hirarki kepangkatan/golongan
33.
Saya patuh pada atasan/aturan karena takut
dikenakan sanksi/hukuman
34.
Saya
mendahulukan
organisasi
daripada
pribadi/keluarga
35.
Bila atasan/pemimpin tidak ada ditempat,
saya dapat berbuat bebas sesuai keinginan
36.
Saya menyadari bahwa peminpin harus
ditaati
37.
Saya membantah
atasan
38.
Saya patuh untuk melaksanakan hal-hal
yang terkait keselamatan pasien
39.
Saya bertanggung jawab
yang saya lakukan
Setuju
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
kepentingan
kepentingan
perintah
pemimpin/
terhadap apa
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
LAMPIRAN 9 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
:
Sri Mulyatiningsih
Tempat Tanggal Lahir
:
Bandung, 1 Februari 1972
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Pekerjaan
:
Kepala Unit Rawat Inap RSAU dr. Esnawan
Antariksa Jakarta
Alamat Institusi
:
Jl. Merpati No. 2 Halim Perdanakusuma Jakarta
Timur
Alamat Rumah
:
Jl. Alfida No.314 RT 03/09 Komplek Angkasa
Halim Perdanakusuma Kec. Kampung Makasar
Jakarta Timur
Telp/e-mail
:
082123536121, 085779126772
[email protected]
Riwayat Pendidikan
S2 Magister Ilmu Keperawatan FIK UI
Tingkat Akhir
S1 Keperawatan di FIK UI
Lulus 2007
D III Akper DepKes Jakarta
Lulus 1994
SMAN 13 Jakarta
Lulus 1991
SMPN 152 Jakarta
Lulus 1988
SDN Mekarjaya VIII Depok
Lulus 1985
Riwayat Pekerjaan
Ka Unit Rawat Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa
2005 - Sekarang
Ka Unit Rawat Jalan RSAU dr. Esnawan Antariksa
2002-2005
Ka ruang Anak
2001-2002
Ka ruang VIP
2000-2001
Kaur Ujibad Subdis Dukkes Diskesau Mabesau
1998-2000
Kabagmed RSAU Suryadharma Kalijati Subang
1995-1998
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013
Download