UNIVERSITAS INDONESIA DETERMINAN PERILAKU PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN KESELAMATAN PASIEN DI RAWAT INAP RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA TESIS Oleh: SRI MULYATININGSIH 1006834031 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN DEPOK JANUARI 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA DETERMINAN PERILAKU PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN KESELAMATAN PASIEN DI RAWAT INAP RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Manajemen dan Kepemimpinan Keperawatan Oleh: SRI MULYATININGSIH 1006834031 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN KEPERAWATAN DEPOK JANUARI 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Sri Mulyatiningsih NPM : 1006834031 Tanda Tangan : Tanggal : 17 Januari 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepadaMu ya Allah SWT, atas berkat rahmat dan ridho-Mu tesis dengan judul “Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta” telah selesai. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Berbagai hambatan dapat saya atasi atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama penyusunan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Hanny Handiyani, S.Kp, M.Kep selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Rr. Tutik Sri Hariyati, S.Kp., MARS selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan dengan penuh kesabaran. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D 2. Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI, Ibu Astuti Yuni Nursasi, MN. 3. Seluruh civitas akademika FIK Universitas Indonesia 4. Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa beserta staf dan perawat RSAU dr.Esnawan Antariksa tempat penelitian ini dilaksanakan. 5. Kepala RSAL Mintohardjo beserta staf dan perawat RSAL Mintohardjo tempat uji validitas dan reliabilitas dilaksanakan. 6. Nisa Akmadina, Abi Akmal, mama, apa, kakak, dan adikku serta temanteman yang telah mendoakan, menyemangati dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini. 7. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Keperawatan FIK UI angkatan 2010 terutama program kekhususan Manajemen dan Kepemimpinan Keperawatan. Semoga bantuan serta budi baik yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah SWT. Saya berharap penelitian ini bermanfaat. Depok, 17 Januari 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya : Sri Mulyatiningsih : 1006834031 : Pasca Sarjana : Ilmu Keperawatan : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-ExclusiveRoyalty-Fee Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di Rawat Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Non Ekslusive ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih- media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal: 17 Januari 2013 Yang menyatakan (Sri Mulyatiningsih) Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Nama Program Studi : : Judul : Sri Mulyatiningsih Magister Ilmu Keperawatan, Kekhususan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta Abstrak Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kepemimpinan, budaya organisasi dan karakteristik perawat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Design Penelitian deskriptif korelatif dengan metode cross sectional. Penelitian ini menggunakan 117 perawat pelaksana sebagai sampel. Penelitian ini membuktikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kepemimpinan (p=0,008), budaya organisasi (p=0,036), dan umur (p=0,032). Sementara itu masa kerja (p=0,434), status kepegawaian (p=0,292), dan pelatihan (p=0,063) merupakan faktor yang tidak mempengaruhi perilku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kepemimpinan (p=0,027). Terbukti bahwa kepemimpinan yang baik akan meningkatkan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Penelitian ini merekomendasikan perlu gaya kepemimpinan yang tepat untuk meningkatkan keselamatan pasien dengan budaya organisasi berkarakteristik militer. Kata Kunci: budaya organisasi, kepemimpinan, keselamatan pasien, perilaku perawat Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Name Study program : : Title : Sri Mulyatiningsih Post Graduate Program of Nursing, Majoring in Nursing Leadership and Management, Indonesia University Determinants of Nurse’s Behavior for Patient Safety at inpatient the Indonesian Air Force hospital dr. Esnawan Antariksa Jakarta Abstract Nurse’s Behavior for patient safety was influenced by various factors such as leadership, organizational culture and nurse characters. The objective of this research was to get the idea of the influencing factors on nurse’s behavior for patient safety. This reserach design used a descriptive correlative with cross sectional method. There were 117 practitioner nurses used as samples. The influencing factors of nurse’s behavior for patient safety were leadership (p=0,008), organizational culture (p=0,036), and age (p=0,032). Meanwhile, other factors such as tenure (p=0.434), employment status (p=0.292), and training (p=0,063) were not influential. The most dominant factor influencing nurse’s behavior was leadership (p=0.027). It proved that good leadership improving the nurse’s behavior for patient safety. This research recommends that it requires an appropriate leadership to improve patient safety within a military organization culture Keywords: Leadership, nurse’s behavior, organizational culture, patient safety Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ……………………………………………………………….. Halaman Pernyataan Orisinalitas..............…………………………………... Lembar Pengesahan.....................……………………………………………. Kata Pengantar.………………………………………………………………. Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi……........………………………. Abstrak........................................................................................................... Daftar Isi …………………………………………………………………….. Daftar Bagan ……………………………………………………………….... Daftar Tabel ………………………………………………………………….. Daftar Lampiran ……………………………………………………………... i ii iii iv v vi viii x xi xiii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………………………..…......... 1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………...... 1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………......... 1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………….......... 1 8 9 9 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Manajemen.................…………………………………….......... 2.2. Keselamatan Pasien......................................................……………........ 2.3. Kepemimpinan……….…………………………. …………………....... 2.4. Budaya Organisasi ...............……….………………………………........ 2.5. Karakteristik perawat................................................................................. 2.6. Kerangka Teori Penelitian.......................................................................... 11 13 24 29 35 38 BAB 3. KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS dan DEFINISI OPERASIONAL 7.1. Kerangka Konsep Penelitian …………………………………………..... 7.2. Hipotesis Penelitian …………………………………………………....... 7.3. Definisi Operasional Variabel ………………………………………....... 39 40 42 BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian …………………………………………………....... 4.2. Populasi dan Sampel ………………………………………………...... 4.3. Tempat Penelitian....................................................................................... 4.4. Waktu Penelitian …………………………………………………........ 4.5. Etika Penelitian ……………………………………………………...... 4.6. Alat Pengumpulan Data …………………………………………......... 4.7. Pengujian Instrumen................................................................................... 47 47 50 50 51 52 54 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 4.8. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……………………………...……........ 4.9. Pengolahan Data …………………………………………......................... 2.10. Analisis Data....………………………………………………………… BAB 5. HASIL PENELITIAN 5.1. Karakteristik Perawat ....……………………………………………....... 5.2. Gambaran Persepsi Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien...............................................…………………….................... 5.3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persepsi Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien……………………………..... 5.4. Faktor Paling Dominan yang Mempengaruhi Perilaku perawat dalam Melksanakan Keselamatan Pasien......................................................... 56 58 59 64 65 66 72 BAB 6. PEMBAHASAN 6.1. Interpretasi dan Diskusi ……………………………………………...... 6.2. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………...... 6.3. Implikasi Hasil Penelitian …………………………………………...... 74 103 103 BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan …………………………………………………………......... 7.2. Saran ………………………………………………………………....... 106 107 DAFTAR PUSTAKA Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2..1 Hubungan Kepemimpinan dengan Keselamatan................... 28 Bagan 2.2. Kerangka Teori Penelitian ...........………….......…............. 38 Bagan 2.3. Kerangka Konsep Penelitian……........………..................... 40 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1. Definisi operasinal variabel ………………………………. 42 Tabel 4.1. Distribusi jumlah perawat pelaksana di ruang rawat inap....... 48 Tabel 4.2. Waktu penelitian..................................................................... 50 Tabel 4.3. Kisi-kisi instrumen (B) perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien...................…………….. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Kisi-kisi instrumen (C) faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan pasien........... Hasil uji valditas dan reliabilitas.......................................... Analisis univariat...............................………………………. Tabel 4.7. Analisis bivariat.....................………………………………. Tabel 4.8. Analisis multivariat................................................................. Tabel 5.1. Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja........ Tabel 5.2. Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dan pelatihan................................................................................... Tabel 5.3. Tabel 5.4. Persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien................................................................. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien................. Tabel 5.5. Subvariabel budaya organisasi .............................................. Tabel 5.6. Hubungan umur dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien......................................... 53 54 55 60 61 63 64 65 66 67 67 68 Tabel 5.7. Hubungan masa kerja dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien............................... 69 Tabel 5.8, Hubungan status kepegawaian dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien................. 69 Hubungan pelatihan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.......................................... Tabel 5.10. Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien............................... Tabel 5.9. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 70 Tabel 5.11. Tabel 5.12. Tabel 5.13. Hubungan budaya organisasi dengan persepsi perilaku 71 perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien................. Seleksi analisis bivariat.......................................................... 72 Seleksi pemodelan multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien................................................................. 73 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Keterangan Lolos Uji Kaji Etik Lampiran 2 Surat Permohonan Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 3 Surat Ijin Uji Validitas dan Reliabilitas dari RSAL dr. Mintohardjo Lampiran 4 Surat Permohonan Ijin Penelitian Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian dari RSAU dr. Esnawan Antariksa Lampiran 6 Penjelasan Penelitian Lampiran 7 Persetujuan Responden Lampiran 8 Kuisioner Penelitian Lampiran 9 Daftar riwayat hidup Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN Pendahuluan ini memberikan informasi sebagai evidence based yang melandasi penelitian. Pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. 1.1 Latar belakang Keselamatan pasien merupakan hak pasien. Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit (Kemkes, 2009). Sesuai dengan UU tentang kesehatan pasal 53 (3) UU No 36/2009 menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas untuk layanan kesehatan di seluruh dunia (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012). Salah satu layanan kesehatan adalah di rumah sakit. Rumah Sakit sebagai pemberi layanan kesehatan harus memperhatikan dan menjamin keselamatan pasien. Rumah sakit merupakan organisasi yang berisiko tinggi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien yang diakibatkan oleh kesalahan manusia. Organisasi yang berisiko tinggi terjadinya kesalahan dalam pengaturan salah satunya adalah pelayanan kesehatan selain dari organisasi penerbangan, industri nuklir, dan kimia (Reason, 2008). Kesalahan terhadap keselamatan paling sering disebabkan oleh kesalahan manusia terkait dengan keterampilan dalam hal keselamatan, dan hal disebabkan oleh kegagalan sistem di mana individu tersebut bekerja (Reason, 2008). Keselamatan pasien harus menjadi bagian integral dari misi setiap rumah sakit di Amerika Serikat (Longo et al, 2007). Misi keselamatan pasien di rumah sakit untuk mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Angka insiden keselamatan pasien dikatakan sebagai fenomena gunung es, angka insiden yang ada hanya sebagian kecil dari kemungkinan angka kejadian yang sebenarnya. USA memberikan kontribusi tingginya angka kejadian kematian pada pasien rawat inap setiap tahunnya 44.000–98.000 (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012; Reason, 2008). Penelitian Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 lain menunjukkan bahwa 1 dari 10 pasien akut yang dirawat di rumah sakit dirugikan sebagai akibat dari perawatan langsung yang di terima dan 7% dari pasien akut yang dirugikan tersebut berakhir dengan kematian (De Vries, Ramrattan, Smorenburg, Gouma, dan Boermesster, 2008). Sekitar 850.000 kejadian buruk diperkirakan terjadi di rumah sakit di Inggris setiap tahunnya dan banyak disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi pasien, dengan biaya kerugian sebesar satu milyar pound sterling pertahun, selain itu penelitian di Australia memperkirakan bahwa peristiwa merugikan terjadi 8% dari pasien yang dirawat di rumah sakit dan memberikan kerugian sebesar 4,7 milyar dolar Australia (Murphy, & Kay 2004; White, 2012). Insiden keselamatan pasien menimbulkan dampak buruk dan kerugian berupa kematian, gangguan fungsi tubuh, kerugian finansial, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Pencegahan dan pengendalian insiden perlu dilakukan untuk mengurangi insiden keselamatan pasien. Perilaku untuk mengurangi dampak buruk dan menghilangkan kerugian akibat perawatan kesehatan dengan menciptakan budaya kerja terkait sistem keselamatan dengan melaporkan, mempelajari, meneliti penyebab, mengidentifikasi prioritas, dan merancang ulang perawatan untuk mencegah dampak buruk (Lazar, 2012). Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien telah banyak dikemukakan oleh para peneliti. Strategi membangun sistem pelaporan non-hukuman (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011). Perawat berada pada posisi yang unik untuk mengembangkan alat, proses, dan praktik yang berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan semua jenis kesalahan keselamatan pasien yaitu dengan mengembangkan keterampilan berbasis kesalahan, keterampilan berbasis kesalahan peraturan, mengembangkan kemampuan untuk mengenali adanya risiko tinggi, dan perilaku berbasis pengetahuan (Mattox, 2012). Strategi meningkatkan keselamatan pasien ditetapkan oleh Permenkes (2011) melalui enam sasaran keselamatan pasien rumah sakit meliputi mengidentifikasi pasien dengan tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 keamanan obat yang perlu diwaspadai, memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi, mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan mengurangi risiko pasien jatuh. Joint Commission International (JCI) menetapkan sasaran internasional keselamatan pasien dengan meningkatkan keamanan obatobatan yang harus diwaspadai, memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar dan pembedahan pada pasien yang benar (JCI, 2011). Pemberi layanan kesehatan berkontribusi terhadap terjadinya kesalahan yang mengancam keselamatan pasien, khususnya perawat. Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak di rumah sakit, pelayanan terlama (24 jam secara terus-menerus) dan tersering berinteraksi pada pasien dengan berbagai prosedur dan tindakan keperawatan. Hal ini dapat memberikan peluang yang besar untuk terjadinya kesalahan dan mengancam keselamatan pasien. Selain itu kelelahan pada perawat merupakan faktor yang berkontribusi terjadinya kesalahan (Mattox, 2012). Karakteristik perawat mempengaruhi pekerjaannya sehari-hari dan berpotensi terhadap kesalahan dalam keselamatan pasien (White, 2012). Perilaku perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien harus menerapkan keselamatan pasien. Perawat harus melibatkan kognitif, afektif, dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus dengan penuh kepedulian sebagaimana telah dikemukakan oleh Watson 1985 bahwa merawat merupakan cita-cita moral keperawatan. Perilaku perawat yang menjaga keselamatan pasien sangat berperan dalam pencegahan, pengendalian dan peningkatan keselamatan pasien (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010; Elley et al, 2008; Stoor, Topley, & Privetl, 2005). Perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan pasien berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien. Perawat yang tidak memiliki kesadaran terhadap situasi yang cepat memburuk, gagal mengenali apa yang terjadi dan mengabaikan informasi klinis penting yang terjadi pada pasien dapat mengancam keselamatan pasien (Reid, & Bromile, 2012). Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya perhatian/ motivasi, kecerobohan dan kelalaian berisiko untuk terjadinya kesalahan selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai dengan memodifikasi perilaku (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Perawat yang kompeten terkait keselamatan pasien dapat dinilai dari perilakunya ketika memberikan asuhan keperawatan yang mengutamakan keselamatan pasien. Perilaku perawat dipengaruhi oleh kualitas keterampilan klinis dalam keperawatan dan non klinis atau non teknis (White, 2012). Ketrampilan klinis berhubungan dengan kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan. Keterampilan non klinis berhubungan dengan bagaimana individu berinteraksi dalam tim (interpersonal) meliputi komunikasi, kerja tim (kepemimpinan dan followership), kerjasama, kesadaran terhadap situasi yang terjadi dan pengambilan keputusan (Flin, O’Connor & Crichton, 2008; Yule, Flin, Peterson, brown & Maran, 2006). Diperkirakan bahwa 70 - 80% dari kesalahan medis berhubungan dengan gangguan pada keterampilan non klinis/teknis (Westli, Johnsen, Eid, Rasten & Brattebo, 2010). Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan karakteristik perawat yang bersifat bawaan, yang teridentifikasi berupa tingkat kecerdasan, tingkat emosional dan pengalaman pribadi. Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku perawat adalah lingkungan seperti pengaruh orang lain yang dianggap penting atau kepemimpinan, budaya dan sistem organisasi. Faktor eksternal ini sering menjadi faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007). Faktor lain yang berhubungan dengan keselamatan pasien adalah faktor lingkungan. Rumah sakit dalam menerapkan keselamatan pasien harus didukung oleh lingkungan yang menunjang keselamatan pasien. Kebisingan merupakan faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap kesalahan (Mattox, 2012). Perawat merasakan bahwa lingkungan kerja dalam memberikan perawatan berisiko untuk keselamatan pasien (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011). Lingkungan kerja perawat harus dirancang dengan cara yang memungkinkan perawat dapat memberikan perawatan pasien yang aman, menciptakan lingkungan kerja yang mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien (Flynn, Liang, Dickson, Xie, & Suh, 2012). Karakteristik lingkungan praktik merupakan penentu kualitas pelayanan keperawatan dan keselamatan pasien (Flynn, Liang, Dickson, Xie & Suh, 2012). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien akan dipengaruhi oleh kekhasan dari masing-masing rumah sakit dimana perawat bekerja. Hal ini karena ada perbedaan visi, misi, tujuan, gaya kepemimpinan, dan budaya organisasinya. Rumah sakit militer akan dipengaruhi oleh kharakteristik kemiliteran. Sembilan karakteristik militer menurut Frank (2008) adalah sebagai berikut: Standar operasional jelas (SOP), rantai komando dari atas ke bawah (top down struktur), tanggung jawab milik posisi bukan perorangan, posisi otoritas hal ini penting ketika bawahan lebih senior, rantai komando jelas, briefing, kerjasama tim, setiap kegiatan militer mempunyai misi, dan kebersamaan yang kuat. Kepemimpinan yang diterapkan di rumah sakit militer berbeda dengan di rumah sakit umum lainnya. Gaya kepemimpinan yang tepat penerapannya disesuaikan dengan jenis organisasi, budaya organisasi, anggota organisasi dan tujuan organisasi. Scott & Bruce dalam Thunholm (2009) menjelaskan gaya yang ditunjukkan oleh perwira militer ketika membuat keputusan adalah rasional, intuitif, tergantung, menghindari konflik, dan spontan. Lima kategori gaya kepemimpinan manajer perawat di Finlandia yaitu visioner, demokratis, afiliasi, demokratis, dan memerintah (Vesterinen, Isola, & Paasivaara, 2009). Pemimpin mempengaruhi bawahan untuk bekerja sama guna mencapai tujuan dengan gaya kepemimpinan yang digunakannya. Gaya kepemimpinan yang disukai oleh manager di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata di Turki adalah kepemimpinan tim dan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (Kostik, Sahin, Demir, & Kavuncubasi, 2005). Pemimpin tim lebih cenderung spontan, lebih rasional, tergantung, dan menghindar (Thunholm, 2009). Bawahan lebih memilih manajer dengan kepemimpinan yang lebih jelas, di mana gaya kepemimpinan manajer ditunjukan melalui perilaku manajer (Sellgren, Ekual, & Tomson, 2006). Budaya organisasi sebagaimana kepemimpinan juga mempunyai karakteristik tertentu di organisasi militer. Karateristik yang sekaligus menjadi jati diri TNI yaitu profesionalisme militer, membela kebenaran, kejujuran dan keadilan, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan (loyalitas), tidak membantah perintah atau putusan (Sapta Marga, Sumpah Prajurit, & Chrisnandi, Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2005). Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik individu sebagai objek dan subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau program tertentu gagal, yang dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003). Budaya organisasi mempengaruhi bagaimana perawat memahami konteks pekerjaan dan sikap kerja (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011). RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta merupakan rumah sakit militer tipe II, milik TNI AU, di bawah pembinaan Dinas Kesehatan Angkatan Udara (Diskesau) Mabesau. Kapasitas 138 tempat tidur dengan rata-rata BOR 64%. Terakreditasi 12 pelayanan pada tahun 2011. Telah memiliki komite infeksi nosokomial dan keselamatan pasien dengan program pencegahan infeksi nosokomial dan insiden keselamatan pasien. Fasilitas yang mendukung keselamatan pasien yaitu adanya gelang identifikasi pasien, SOP tindakan keperawatan, kran cuci tangan lengkap dengan sabun/ cairan pembersih dan pedoman pelaksanaannya, penghalang tempat tidur, dan lingkungan yang aman seperti pencahayaan terang, lantai tidak licin. Tenaga keperawatan sebanyak 262 orang yaitu 47% dari jumlah ketenagaan yang ada di rumah sakit, dengan kategori tingkat pendidikan sebagai berikut sebagian besar merupakan tenaga vokasional lulusan diploma keperawatan yaitu 205 orang (78%), lulusan SPK 47 orang (18%) dan sarjana keperawatan 10 orang (3,8 %). Jumlah perawat merupakan jumlah yang terbanyak bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Gillis (1996) mengemukakan studi yang dilakukan di beberapa rumah sakit didapatkan bahwa 60-70% sumber daya manusia yang ada di rumah sakit adalah perawat. Angka kejadian insiden keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada satu tahun terakhir meliputi angka kejadian plebitis 2,34%, ulkus pressure 0,33%, infeksi saluran kemih 0,17% dan infeksi luka operasi 0,18%. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kepala perawatan umum dikatakan bahwa dalam satu tahun terakhir terjadi satu insiden jatuh, satu insiden ketidaktepatan dalam pemberian transfusi, dan ketidaktepatan pemberian cairan infus sesuai indikasi namun angkanya tidak diketahui secara pasti karena pelaporan yang kurang lengkap. Sedangkan insiden keselamatan pasien yang Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 menyebabkan kematian atau cidera yang serius tidak terjadi di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Angka kejadian insiden keselamatan pasien didasarkan pada standar pelayanan minimal rumah sakit. Standar pelayanan minimal rumah sakit menetapkan bahwa kejadian infeksi pascaoperasi ≤ 1,5 %, kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5 %, tidak ada kejadian pasien jatuh yang berakibat kecacatan/kematian 100%, tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat 100%, tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi 100% (Kepmenkes, 2008). Angka kejadian di RSAU dr. Esnawan Antariksa yang belum sesuai dengan standar adalah kejadian infeksi nosokomial, dan adanya kejadian jatuh. Insiden keselamatan pasien yang terjadi di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta khususnya bidang keperawatan terutama terkait dengan perilaku perawat. Perawat belum optimal dalam melakukan identifikasi pasien dengan tepat. Perawat belum melakukan asuhan keperawatan dengan tepat sesuai Standar Operasional prosedur (SOP) baik yang mandiri maupun yang sifatnya kolaboratif ada namun dalam pelaksanaannya perawat berdasarkan SOP. tidak melakukan Selain itu perawat kurang memiliki kesadaran dalam mengenali situasi bahwa situasi tersebut akan mengancam keselamatan pasien serta mengabaikan informasi klinis penting terkait keselamatan pasien. Komunikasi perawat belum efektif hal ini terlihat dari pesan yang diterima oleh shift berikutnya tidak sesuai dengan maksud perawat shift yang menyampaikan pada saat operan/hand-off, sehingga memberikan peluang terhadap terjadinya kesalahan dalam tindakan keperawatan. RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta berupaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal ini diwujudkan dalam misi rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan secara profesional dan bermutu tinggi. Manajemen rumah sakit menyadari bahwa organisasi pelayanan kesehatan mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien, maka keselamatan pasien menjadi prioritas dalam layanan kesehatan termasuk layanan keperawatan. Upaya yang dilakukan dengan mengaplikasikan keselamatan pasien dan mengantisipasi risiko yang menyebabkan terjadinya Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 insiden keselamatan pasien khususnya perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien perlu dipelajari lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dan hal-hal yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Dampak buruk akibat adanya insiden keselamatan pasien dapat dicegah dengan mengatasi penyebab dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Diharapkan keselamatan pasien meningkat dan tidak terjadi insiden keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 1.2 Rumusan Masalah Perawat rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta belum melaksanakan keselamatan pasien secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya insiden keselamatan yang terjadi pada pasien dan perilaku perawat masih kurang optimal dalam mengidentifikasi pasien, melakukan komunikasi yang efektif, keamanan obat, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, mengurangi risiko infeksi dan mengurangi risiko jatuh. Perawat juga kurang menyadari dan mengenali situasi dan kondisi yang berisiko tinggi mengancam keselamatan pasien sehingga tindakan pencegahan kurang dilaksanakan secara optimal oleh perawat. RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta merupakan rumah sakit militer dan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh karakteristik khas militer. Perilaku perawat diduga dipengaruhi oleh budaya organisasi yang menjadi karakteristik khas militer berupa profesionalisme militer, kedisiplinan, sikap membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, loyalitas serta kepemimpinan. Kondisi tersebut diduga dapat mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Karakteristik perawat pelaksana meliputi status umur, masa kerja, status kepegawaian, dan pelatihan diduga juga mempengaruhi perilaku perawat dengan melaksanakan keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah teridentifikasinya: a. Gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. b. Gambaran faktor kepemimpinan terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. c. Gambaran faktor budaya organisasi terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. d. Gambaran karakteristik perawat (umur, masa kerja, status kepegawaian, dan pelatihan) terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. e. Faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta, lembaga pendidikan program studi magister ilmu keperawatan dan peneliti. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 a. Bagi RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi bagi pimpinan baik Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta maupun Kadiskesau Mabesau untuk Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 10 lebih memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien. b. Penelitian menjadi bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. c. Penelitian meningkatkan kesadaran diri (self awareness) bagi perawat khususnya responden terhadap perilaku yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan keselamatan pasien. 1.4.2 Bagi Lembaga Pendidikan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Penelitian dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan program studi magister ilmu keperawatan di bidang penelitian yang berkaitan dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 1.4.3 a. Bagi Peneliti Penelitian ini telah memberi kesempatan pada peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. b. Penelitian ini menjadi tantangan bagi peneliti dalam mempelajari lebih mendalam mengenai determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dan metodologi penelitian sehingga penelitian mendekati penyempurnaan. c. Penelitian ini telah meningkatkan wawasan dan pengalaman bagi peneliti terkait dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dengan menggunakan cara berpikir yang ilmiah. Penelitian ini selanjutnya dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang terkait dengan determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Bab ini berisi teori yang berkaitan dengan variabel terikat dan variabel bebas penelitian yaitu tentang fungsi manajemen keperawatan, keselamatan pasien, kepemimpinan, budaya organisasi, dan karakteristik perawat. 2.1 Keselamatan Pasien dalam Manajemen Keperawatan Keselamatan pasien menjadi bagian dari tujuan organisasi yang ingin dicapai melalui manajemen fungsi-fungsi manajemen. Huber (2010), Marquis & Huston (2012), Swanburg (2002) mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu proses koordinasi dan integrasi sumber daya melalui fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian untuk mencapai tujuan organisasi. 2.1.1 Perencanaan Perencanaan merupakan fungsi dasar manajemen yang meliputi pernyataan misi atau tujuan filsafat, filosofi atau keyakinan, objektif, dan rencana manajemen atau operasional (Swanburg, 2002). Marquis & Huston (2012) menggambarkan perencanaan dalam piramida hierarki perencanaan yang terdiri dari misi, filosofi, tujuan umum, tujuan khusus, kebijakan, prosedur, dan aturan. Perencanaan suatu organisasi harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap anggota organisasi untuk mewujudkan pencapaian tujuan organisasi. Filosofi menggambarkan nilai dan keyakinan yang mengarahkan semua tindakan organisasi (Marquis & Huston, 2012). Menurut Tuck dalam Marquis & Huston (2012) menyatakan bahwa nilai dan prinsip yang berasal dari filosofi menjadi parameter pengambilan keputusan untuk menentukan hal yang sangat penting bagi organisasi. Sapta marga, sumpah prajurit, dan delapan wajib TNI merupakan filosofi di dalam organisasi militer, sebagai kode etik dan jati diri TNI. Nilai dan keyakinan yang terkandung dalam sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI diantaranya adalah loyalitas, memegang teguh disiplin, membela kejujuran kebenaran dan keadilan, profesionalisme militer. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2.1.2 Pengorganisasian Pengorganisasian merupakan pengelompokan kegiatan untuk mencapai tujuan, penugasan kepada suatu kelompok dengan pengawasan, dan menentukan cara dari pengkoordinasian kegiatan baik secara vertikal maupun horizontal (Swanburg, 2002). Marquis & Huston (2012), Swanburg (2002) menjelaskan bahwan prinsip pada pengorganisasian ini meliputi rantai komando, kesatuan komando, rentang kendali, dan spesialisasi di mana setiap anggota organisasi mempunyai kemampuan tertentu untuk mencapai tujuan. 2.1.3 Pengarahan Pengarahan merupakan pelaksanaan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Pengarahan merupakan proses penerapan rencana manajemen untuk mencapai tujuan keperawatan (Swanburg, 2002). Menurut Suarli & Bahtiar (2012) menjelaskan bahwa pengarahan adalah melakukan suatu kegiatan melalui mempengaruhi orang lain dengan memberikan bentuk kepemimpinan yang efektif untuk meningkatkan kinerja, memotivasi bawahan, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, dan komunikasi. Tiga elemen utama dalam pengarahan adalah mewujudkan pengawasan dalam personel keperawatan melalui motivasi, kepemimpinan, dan komunikasi (Swanburg, 2002). Pengarahan dilakukan oleh manajer keperawatan kepada bawahan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. Menurut Donova dalam Swanburg (2002) dasar untuk pengarahan dan pengendalian adalah standar, prosedur, deskripsi kerja/ uraian tugas dan manual. Pengarahan yang efektif menghasilkan hubungan kerja yang harmonis antara manajer keperawatan dengan bawahan dalam pencapaian tujuan organisasi. 2.1.4 Pengendalian Pengendalian membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan perencanaan yang ditetapkan. Pengertian pengendalian menurut Huber (2010) adalah membandingkan antara hasil kerja dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya dan melakukan tindakan koreksi ketika diperlukan. Koontz & Weihrich dalam Swanburg (2002) mengemukakan pengendalian sebagai pengukuran dan koreksi kinerja terhadap tujuan organisasi dan perencanaan. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Pengendalian merupakan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja. Sepuluh karakteristik suatu sistem kontrol yang baik menurut Swanburg (2002) adalah: 1) kontrol harus menunjukan sifat dari aktifitas, 2) harus melaporkan kesalahankesalahan dengan segera, 3) harus memandang ke depan, 4) harus menunjukan penerimaan pada titik-titik kritis, 5) harus objektif, 6) harus fleksibel, 7) harus menunjukkan pola organisasi, 8) harus ekonomis, 9) harus dapat dimengerti dan 10) harus menunjukkan tindakan perbaikan. Melalui proses ini standar dibuat dan kemudian digunakan, diikuti dengan umpan balik untuk meningkatkan kualitas dengan adanya perbaikan secara terus-menerus (Swanburg, 2002). 2.2 Keselamatan Pasien Konsep keselamatan pasien menjelaskan tentang pengertian keselamatan pasien, tujuan keselamatan pasien, insiden keselamatan pasien, dan sasaran keselamatan pasien. 2.2.1 Pengertian Keselamatan Pasien Keselamatan pasien didefinisikan oleh Aboshaiqah (2010) adalah bebas dari kecelakaan, cidera, menjamin keselamatan pasien dengan melibatkan pembentukan sistem operasional dan proses yang meminimalkan kemungkinan kesalahan dan memaksimalkan kemungkinan pencegahan. Kemkes (2008) mendefinisikan bahwa keselamatan pasien adalah bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Menurut WHO (2009) keselamatan pasien adalah pengurangan risiko bahaya yang tidak perlu berkaitan dengan pelayanan kesehatan minimum yang dapat diterima. Keselamatan pasien yang diterapkan di rumah sakit dalam Permenkes (2011) disebut sebagai keselamatan pasien rumah sakit. Keselamatan pasien rumah sakit merupakan suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. 2.2.2 Tujuan Keselamatan Pasien Keselamatan pasien bertujuan untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunkan kejadian tidak yang diharapkan, terlaksananya programprogram pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan (Kemkes, 2008). Tujuan keselamatan menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunkan kejadian tidak diinginkan di rumah sakit, dan terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD (KKPRS, 2008). Tujuan keselamatan pasien menurut The Joint Commission (2010) yaitu: 1) Meningkatkan keakuratan identifikasi pasien dengan menggunakan dua identitas pasien untuk mengidentifikasi serta mengeliminasi kesalahan transfusi. 2) Meningkatkan komunikasi di antara pemberi pelayanan kesehatan dengan menggunakan prosedur komunikasi, secara teratur melaporkan informasi yang bersifat kritis, memperbaiki pola serah terima pasien. 3) Meningkatkan keselamatan penggunaan pengobatan dengan cara pemberian label pada obat, mengurangi bahaya dari penggunaan antikoagulan. 4) Mengurangi risiko yang berhubungan dengan infeksi dengan mencuci tangan yang benar, mencegah resistensi penggunaan obat infeksi, menjaga central line penyebaran infeksi melalui darah. 5) Menggunakan pengobatan selama perawatan secara akurat dan lengkap, mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas selanjutnya, membuat daftar pengobatan pasien, mengupayakan pasien mendapatkan pengobatan seminimal mungkin. 6) Mengurangi risiko bahaya akibat jatuh. 7) Mencegah terjadinya luka tekan. 8) Organisasi mengidentifiksi risiko keselamatan di seluruh populasi pasien. 9) Protokol umum untuk mencegah kesalahan tempat, salah prosedur dan orang pada saat tindakan operasi. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2.2.3 Insiden Keselamatan Pasien Kondisi keselamatan pasien yang tidak dijaga dan tidak diterapkan kepada pasien akan menimbulkan insiden keselamatan pasien. Dalam Permenkes nomor 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit dijelaskan bahwa insiden keselamatan pasien disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius (Permenkes, 2011). 2.2.4 Sasaran Keselamatan Pasien Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien (Permenkes, 2011). Sasaran keselamatan pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan pengurangan risiko pasien jatuh. Elemen penilaian sasaran keselamatan pasien menurut Permenkes (2011) adalah sebagai berikut: 2.2.4.1 Elemen Ketepatan Identifikasi Pasien. Elemen ketepatan identifikasi pasien menurut Permenkes (2011) sebagai berikut; a. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien (nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code), tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. b. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 c. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. d. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/ prosedur. e. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. Identifikasi pasien yang benar merupakan landasan keselamatan pasien dalam pengaturan kesehatan. Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi dalam setiap lokasi di mana layanan kesehatan diberikan seperti ruang rawat inap, rawat jalan, laboratorium (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011). International Patient Safety Goals dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James (2011) mensyaratkan bahwa keakuratan identifikasi pasien ditingkatkan dan penggunaan setidaknya dua pengidentifikasi pasien ketika memberikan perawatan, pengobatan dan pelayanan kesehatan. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak dapat digunakan untuk identifikasi. Identifikasi yang diakui untuk pengidentifikasi pasien adalah nama, nomor rekam medis, dan tanggal lahir. Mengidentifikasi pasien penting saat pemberian obat dan transfusi darah, pemeriksaan laboratorium, prosedur/tindakan diagnostik dan operasi karena hal tersebut banyak mengakibatkan terjadinya kesalahan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2010; Murphy & Kay, 2004). Identifikasi gelang nama (tangan/ kaki) warna dan barcode/ label nama. Perawat harus verifikasi gelang nama dan warna setiap serah terima pasien (shift). Pada saat pemberian pengobatan harus menggunakan prinsip 6 benar: benar obat, benar dosis, benar pasien, benar rute, benar waktu dan benar pendokumentasian (Potter, & Perry, 2010). Perawat mengambil sampel spesimen dan wadah spesimen diberi label di hadapan pasien (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011). Identifikasi pasien yang perlu dilakukan perawat saat akan melakukan prosedur transfusi yaitu mencocokan gelang nama ke label kompatibilitas darah, mencocokan identifikasi pasien dengan permintaan darah dan peninjauan kompatibilitas serta pengecekan informasi kadaluwarsa komponen darah (Murphy & Kay, 2004). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan meliputi penciptaan dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas secara rutin, pemantauan indikator yang dapat diandalkan secara terus-menerus, analisis akar penyebab, penggunaan kode-bar, kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis, laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011). 2.2.4.2 Elemen Peningkatan Komunikasi yang Efektif Elemen peningkatan komunikasi yang efektif menurut Permenkes (2011) sebagai beikut: a. Perintah lengkap secara lisan dan melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. b. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah. c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan d. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan efek samping di semua aspek pelayanan kesehatan, sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengidentifikasian pasien, kesalahan pengobatan dan transfusi serta alergi diabaikan, salah prosedur operasi, salah sisi bagian yang dioperasi, semua hal tersebut berpotensi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien dan dapat dicegah dengan meningkatkan komunikasi (Beaumont, & Russell, 2012; Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010; Schimpff, 2007; Storr, Topley & Privett, 2005; White, 2012) Komunikasi yang efektif diimplemantasikan melalui pendekatan standar/baku hand off/ serah terima. Serah terima dapat dilakukan kapanpun disaat terjadi pengalihan tanggung jawab pasien dari satu orang caregiver kepada orang lain. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tujuan serah terima menyediakan informasi secara akurat, tepat waktu, tentang rencana keperawatan, pengobatan, kondisi terkini dan perubahan kondisi pasien yang baru saja terjadi ataupun yang dapat diantisipasi. Serah terima informasi pasien dilakukan antar perawat antar shift, pengalihan tanggung jawab dari dokter ke perawat, pengalihan tanggung jawab sementara (saat istirahat makan), antar perawat per ruangan. Hand off bedside (serah terima di samping tempat tidur pasien) mempromosikan keselamatan pasien. Hand off bedside memungkinkan parawat untuk bertukar informasi pasien yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan perawatan dan keselamatan pasien, memberikan kesempatan untuk memvisualisasikan pasien dan mengajukan pertanyaan terhadap sesuatu yang kurang dipahami selain itu dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap dampak komunikasi pada keselamatan pasien dan kepuasan serta meningkatkan komunikasi antara perawat, dokter dan pasien/keluarga serta tim kesehatan lain. Hand off bedside juga memungkinkan pasien terlibat aktif dalam perawatan dengan memungkinkan bagi pasien untuk mengoreksi kesalahpahaman konsep, memberikan masukan terhadap rencana perawatan, mengklarifikasi dan memperbaiki ketidakakuratan (Maxson, Derby, Wrobleski, & Foss, 2009). 2.2.4.3 Elemen Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (HighAlert Elemen peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai menurut Permenkes (2011) sebagai berikut; a. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. b. Implementasi kebijakan dan prosedur. c. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. d. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Kesalahan pengobatan adalah peristiwa dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau mengakibatkan penggunaan obat yang tidak pantas atau membahayakan pasien sedangkan pengobatan dalam kontrol/perawatan kesehatan profesional (Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010). Menurut Dewan Koordinator Nasional Pelaporan dan Pencegahan Kesalahan Pengobatan (NCCMERP) (2005) dalam Flynn, Liang, Dickson, Xie, & Suh (2012) dikatakan bahwa kesalahan pengobatan adalah peristiwa yang dapat dicegah dan dapat menyebabkan penggunaan obat tidak tepat atau membahayakan pasien. Perilaku perawat dalam melakukan peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai/high alert yaitu melakukan pemberian pengobatan dengan prinsip lima benar yaitu benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu dan benar pasien. Perawat masih banyak membuat kesalahan meskipun telah diverifikasi dengan prinsip lima benar, untuk itu perlu diverifikasi lagi dengan resep harus terbaca, lingkungan yang kondusif tanpa gangguan selama putaran pengobatan, pola staf yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi adalah stres tempat kerja, gangguan interupsi, pelatihan memadai dan informasi terfragmentasi (Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010). Perawat mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan kemungkinan efek obat, mencatat/ dokumentasi, bekerja sesuai SAK/ SOP, mengecek reaksi obat, mengecek integritas kulit untuk injeksi, memonitor pasien, dua orang staf mengecek pemberian obat parenteral, memperbaharui catatan obat. Pisahkan obat yang mirip, kemasan obat yang mirip. Memberikan pendidikan kepada pasien/ keluarga mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan waktu penggunaan obat (KKPRS, 2008). Perawat harus berkonsentrasi ketika mempersiapkan dan pemberian obat serta tidak diminta untuk melakukan banyak tugas selama putaran pengobatan. Gangguan dan interupsi harus diminimalkan untuk menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pemberian pengobatan yang aman (Westbrook et al, 2010). Selain itu tidak mengalihkan perhatian perawat yang mengelola pengobatan (Choo, Hutchinson & Bucknell, 2010). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2.2.4.4 Elemen Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi Elemen kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedue, dan tepat-pasien operasi menurut Permenkes (2011) sebagai berikut: a. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan. b. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional. c. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/ time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/ tindakan pembedahan. d. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. Ruang operasi merupakan area pekerjaan yang komplek dengan lingkungan yang berpotensi tinggi terjadinya kesalahan, untuk itu proses verifikasi perioperatif semakin direkomendasikan dalam beberapa tahun terakhir. Lima tahapan proses untuk meningkatkan keselamatan bedah menurut NPSA (2010) yaitu briefing, sign in (sebelum induksi anestesi), time out (sebelum insisi), sign out (sebelum meninggalkan kamar operasi), dan debriefing. Time out memberikan kontribusi untuk meningkatkan keselamatan pasien (86%) dengan memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah, konfirmasi identitas pasien, benar prosedur, benar sisi dan pemeriksaan alergi atau penyakit menular (Nilsson, Lindberget, Gupta, & Vegpors, 2010). 2.2.4.5 Elemen Pengurangan Risiko InfeksiI Terkait Pelayanan Kesehatan Elemen pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan menurut Permenkes (2011) sebagai berikut: Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety). b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. c. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Perilaku perawat dalam pencegahan dan mengurangi risiko infeksi termasuk pada profilaksis antibiotika, pemeliharaan kateter vena perifer, pemeliharaan kateter vena sentral, pemeliharaan kateter urin, perawatan luka operasi dan kebersihan tangan (Mc Hugh, Carrigen & Dimitrov, 2010: Storr, Topley & Privett, 2005). Carpenter (2005) menjelaskan bahwa cara yang paling umum diperolehnya infeksi adalah melalui peralatan seperti kateter saluran kemih, infus, pembedahan dan ventilator. Infeksi yang mungkin terjadi adalah infeksi saluran kemih, plebitis, pneumonia berhubungan dengan pemakaian ventilasi mekanik dan infeksi luka operasi berhubungan dengan tindakan pembedahan. Infeksi dan penyebaran infeksi dapat dikurangi melalui upaya pencegahan. Menurut Storr, Topley & Privett (2005) tidak semua infeksi dapat dicegah namun proporsi yang signifikan yang mempengaruhi infeksi dapat dihindari adalah perilaku dan praktik staf dalam berinteraksi dengan pasien. Mengatasi infeksi di perawatan dengan membuat sesuatu yang sesederhana mungkin sehingga mudah dilaksanakan dan tujuan terhadap pengendalian dan pencegahan infeksi dapat tercapai. Storr, Topley & Privett (2005) menjelaskan bahwa kunci perbaikan pengendalian infeksi jangka panjang terletak pada penerapan kebijakan dan protokol untuk praktik klinik sehari-hari, seperti: a. Perawat perlu mengetahui apa yang sebenarnya penting dalam pencegahan infeksi silang, apa yang bisa membuat perbedaan dan bagaimana praktik dapat dicapai yaitu dengan menguasai kompetensi pelaksanaan prosedur. Langkah-langkah praktis, nyata dan mudah untuk meminimalkan risiko infeksi ketika melakukan perawatan pasien berupa pemasangan dan perawatan kateter saluran kemih, pemasangan dan perawatan perangkat akses vaskuler, terapi dan dukungan fungsi paru, pengalaman dengan prosedur bedah, kebersihan tangan, standar tindakan pencegahan dan infeksi aliran Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 darah, Haley et al dalam Storr, Topley & Privett (2005) menambahkan kebersihan lingkungan. b. Perawat harus menyadari praktik-praktik yang berkontribusi terhadap infeksi dan dapat mengkomunikasikannya kepada pasien. c. Perawat harus mampu mengidentifikasi aspek-aspek dalam praktik yang berkontribusi terhadap infeksi untuk mengurangi dan meminimalkan kemungkinan perkembangan infeksi. d. Perawat harus menyadari semua aspek pedoman perawatan yang paling up to date dan memastikan bahwa perawat menerapkannya untuk semua pasien. e. Perawat harus memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan bagaimana hal ini dapat berkontribusi untuk mengurangi reservoir mikroba dari pasien serta bagaimana hal ini membantu dalam mengamankan kepercayaan pasien dan masyarakat. f. Melakukan penilaian risiko pada pasien terhadap kemungkinan peningkatan risiko tertular infeksi di rumah sakit. Penilaian risiko untuk menentukan kerentanan pasien terhadap infeksi. Penilaina risiko dilakukan dengan membuat daftar faktor risiko, tindakan untuk meminimalkan infeksi dan langkah-langkah tersebut didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Faktor risiko yang harus dipertimbangkan adalah usia, riwayat kesehatan (dalam pengaruh imunosupresan), keberadaan perangkat invasif, kondisi kulit/integritas kulit, penggunaan antibiotik, operasi sebelumnya, mobilitas dan lama perawatan. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi infeksi difasilitasi dengan penggunaan sumber daya yang optimal seperti kamar terpisah dari pasien lain / ruang isolasi atau penempatan pasien pada bangsal yang tepat. g. Meningkatkan kepatuhan terhadap kebersihan tangan dan mengurangi kesempatan mikroba berpindah ke pasien lain. Kebersihan tangan berperan penting dalam pencegahan infeksi silang dan penyebaran infeksi. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun atau alkohol pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar menjamin perlindungan diri dan pencegahan infeksi silang. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2.2.4.6 Elemen Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Elemen pengurangan risiko pasien jatuh menurut Permenkes (2011) menurut Permenkes (2011) sebagai berikut: a. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain. b. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. c. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan. d. Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit. Perawat harus melakukan pengkajian ulang secara berkala mengenai risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang berhubungan dengan jadwal pemberian obat serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang telah diidentifikasikan. Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya jatuh adalah usia, jenis kelamin, efek obat-obat tertentu, status mental, penyakit kronis, dan faktor lingkungan, keseimbangan, kekuatan dan mobilitas, ketinggian tempat tidur (Geoene, Moro, Thomson, & Saez, 2007; Kerzman, Cherit, Brin, & Torin, 2004; Tzeng & Yin, 2007). Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh untuk mengurangi insiden jatuh yaitu dengan: memastikan bel mudah dijangkau, roda tempat tidur pada posisi terkunci, memposisikan tempat tidur pada posisi terendah, pagar pengaman tempat tidur dinaikkan. Monitoring ketat pasien risiko tinggi (kunjungi dan monitor pasien/ 1 jam, tempatkan pasien di kamar yang paling dekat dengan nurse station jika memungkinkan). meliibatkan pasien/keluarga dalam pencegahan jatuh (KKPRS, 2008). Upaya menurunkan risiko jatuh: mengidentifikasi obat yang berhubungan dengan peningkatan risisko jatuh (sedatif, analgetik, antihipertensi, diuretik, lazatif dan psychotropika). Mengunakan protokol pemindahan pasien secara aman (brankar, Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 kursi roda, tempat tidur), lamanya respon staf terhadap panggilan pasien, gunakan instrumen untuk memprediksi risiko pasien jatuh. Menurut Potter & Perry (2009) beberapa intervensi yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya jatuh pada pasien yaitu: Mengorientasikan pasien pada saat masuk rumah sakit dan menjelaskan sistem komunikasi yang ada, bersikap hati-hati saat mengkaji pasien dengan keterbatasan gerak, melakukan supervisi ketat pada awal pasien dirawat terutama malam hari, menganjurkan menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, memberikan alas kaki yang tidak licin, memberikan pencahayaan yang adekuat, memasang pengaman tempat tidur terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, dan menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin. Perawat perlu memperhatikan lingkungan yang mendukung keselamatan pasien. Faktor lingkungan mempengaruhi risiko jatuh menurut Badan Nasional Keselamatan Pasien (NPSA) dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James (2011) adalah permukaan lantai termasuk kerapatan, kemilau dan pola yang dapat menimbulkan ilusi atau gangguan penglihatan; pencahayaan; kebisingan; lonceng penghubung termasuk visibilitas dan jangkauan; desain pintu; jarak antara tangan dengan pegangan rel tangan, tempat tidur, kursi dan toilet; stabilitas furnitur. 2.3 Kepemimpinan Kepemimpinan dalam hal ini teori kepemimpinan, gaya menjelaskan tentang pengertian kepemimpinan, kepemimpinan, peran kepemimpinan dalam keselamatan pasien, dan kepemimpinan TNI AU. 2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan menurut Robbins (2006) adalah kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran dan menurut Swanburg (2000) adalah proses mempengaruhi kelompok untuk menentukan dan mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kemauan, kemampuan dan usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Agarwal dalam Tika 2010). Pengaruh seseorang yang dianggap penting dalam suatu organisasi adalah pemimpin. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 2.3.2 Teori Kepemimpinan Teori kepribadian perilaku menjelaskan bahwa perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang. Diidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan berorientasi pada bawahan (Rivai, & Mulyadi, 2010). a. Pemimpin yang berorientasi pada tugas Pemimpin menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan tugasnya dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, & hukuman untuk mempengaruhi sifat-sifat dan prestasi pengikutnya. b. Pemimpin yang berorientasi pada bawahan Pemimpin mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu bawahan dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang supportif. Pemimpin memiliki perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi bawahannya. 2.3.3 a. Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan transformasional: menunjukan visi, kharisma, berani mengambil risiko, berpikir out of the box, berbakat memotivasi orang lain, role model dan mentor bagi pengikut (Casida, & Parker, 2011). Dalam organisasi militer kepemimpinan transformatif sangat penting karena organisasi militer merupakan organisasi yang memiliki satu komando, kemampuan menyampaikan pesan, serta komunikasi harus menjadi pedoman dalam memimpin. Kepemimpinan transformatif akan berdamfak terhadap profesionalisme dan kemajuan TNI dalam menhadapi tantangan dimasa sekarang dan masa depan (Mabesau, 2012). b. Kepemimpinan militeristik: kepemimpinan yang lazim digunakan dalam kemiliteran. Pemimpin menggerakan bawahannya dengan menggunakan sistem perintah, gerak-geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya, senang dengan formalistik yang berlebihan, menuntut disiplin keras dan kaku terhadap bawahannya, senang akan upacara-upacara untuk berbagai keadaan, tidak menerima kritik dari bawahan (Sutikno dalam Mabesau, 2012). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 c. Kepemimpinan otokratik: Pemimpin membuat keputusan sendiri karena kekuasaan terpusat dalam diri satu orang. Pemimpin memikul tanggung jawab dan wewenang penuh. Pengawasan bersifat ketat, langsung dan tepat. Keputusan dipaksakan dengan menggunakan imbalan dan kekhawatiran akan dihukum. Komunikasi bersifat turun ke bawah. Bila wewenang dari pemimpin otokratik menekan maka bawahan merasa takut dan tidak pasti. Bawahan ditangani dengan efektif dan dapat memperoleh jaminan dan kepuasan. Pemimpin otokratik dapat hanya memberikan perintah, memberikan pujian dan menuntut loyalitas (Mabesau, 2012). 2.3.5 Peran Kepemimpinan Peran kepemimpinan perencanaan, terintegrasi pengorganisasian, pada setiap pengarahan, fungsi dan manajemen pengendalian. yaitu Peran kepemimpinan menurut Marquis & Huston (2012) adalah sebagai berikut: 1) Peran pemimpin dalam perencanaan harus memiliki ketrampilan dalam menentukan semua jenis perencanaan dalam hierarkinya. 2) Peran pemimpin dalam pengorganisasian melakukan pengaturan kerja. 3) Peran pemimpin dalam pengarahan menggunakan strategi penyelesaian konflik secara optimal, mempunyai kemampuan dalam bernegosiasi, mendelegasikan dan berkomunikasi interpersonal. 4) Peran pemimpin dalam pengendalian mempunyai kemampuan melakukan penilaian kinerja. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien (Permenkes, 2011) 1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit “. 2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5) Pimpinan mengukur dan mengkaji Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien. Pemimpin mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien melalui tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit meliputi: 1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. 2) Memimpin dan mendukung staf 3) Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. 4) Mengembangkan sistem pelaporan. 5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. 6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. 7) Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien (Permenkes, 2011). Kinerja yang unggul dan organisasi yang efektif adalah tampilan yang konsisten antara gaya kepemimpinan manajer perawat dengan perilaku transformasional (Casida & Parker, 2011). Sikap atasan terhadap suatu masalah, diterima dan dianut oleh bawahan tanpa landasan afektif maupun cognitif yang relevan dengan objek sikapnya. Seringkali keserupaan sikap demikian semata-mata didasari oleh kepercayaan yang mendalam kepada atasan atau oleh pengalaman bahwa atasan selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi di masa lalu (Azwar, 2011). Pemimpin menyelesaikan permasalahan yang ada dalam organisasi. Menurut Notoatmodjo (2007) jika organisasi ingin menciptakan atau dihadapkan pada tugas-tugas organisasi, masalah-masalah atau isu-isu penting organisasi maka solusi yang pertama muncul, datangnya dari orang yang berpengaruh dalam organisasi. Pemimpin menginterpretasikan, mengasumsikan dan memberikan penilaian terhadap persoalan dan akan memberikan solusi baik menyangkut pengetahuan, sikap maupun tindakan yang harus dijalankan (Tika, 2010). Suatu kerja tim akan mengalami kerusakan tanpa adanya kepemimpinan yang jelas dalam mengambil kendali situasi sehingga akan membuat tim tidak terkoordinasi, perawat melalukan tugas berdasarkan kemauan dan inisiatif sendiri dan tidak dikomunikasikan secara efisian ke seluruh tim dan terjadi ketidaksesuaian tugas (White, 2012). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Peran baru kepemimpinan di TNI AU adalah desainer, sebagai yang melayani (steward) dan sebagai pendidik (teacher). Keterampilan baru yang perlu dimiliki adalah membangun shared vision, menguji mental model (misalnya dengan merubah yang kurang produktif menjadi lebih profesional produktif), dan berpikir secara sistemik. Sedangkan perangkat (tools) baru yang perlu diketahui adalah mengenal jenis dan bentuk archetype permasalahan untuk penyelesaian suatu masalah. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menerapkan berbagai konsep, model dan falsafah kepemimpinan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Semakin banyak proses belajar dan pengalaman, akan membuat seorang pemimpin menjadi lebih arif menjadi pemimpin teladan bagi kemajuan organisasinya (Mabesau, 2012), 2.3.6 Kepemimpinan TNI AU Kepemimpinan TNI AU adalah kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan yang berkualitas. Kepemimpinan yang berkualitas dituntut untuk memiliki karakter yang sesuai dengan tantangan lingkungan tugas yang spesifik, di mana kepemimpinan angkatan udara harus memenuhi tuntutan kondisi yang presisi, profesional, sempurna, prosedural dan proper, sehingga mampu menghasilkan kondisi yang kondusif seiring pencapaian pelaksanaan tugas yang paripurna (mission accomplish) dan mencapai zero accident (safety) (Mabesau, 2012). Bagan 2.1 Hubungan Kepemimpinan dengan Keselamatan Karakteristik Pemimpin Masa Depan Proper Prosedur Hasil Keputusan yang Diambil Safe Action Zero Perfek Profesional Wujud dari Hasil Keputusan Accident Safe Condition Presisi Sumber: Kepemimpinan TNI Angkatan Udara, Mabesau 2012. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Gambar tersebut menunjukan keterkaitan antara kepemimpinan yang berkualitas dan memiliki karakter yang sesuai dengan tuntutan dan lingkungan tugas angkatan udara dengan pencapaian visi the First Class Air Force. Karakter kepemimpinan TNI AU adalah mempunyai keahlian dan pengalaman yang tinggi untuk dapat membawa TNI AU menjadi lebih baik; mempunyai kegigihan yang tinggi untuk membawa TNI Angkatan Udara menjadi lebih maju; mempunyai kepribadian yang baik untuk membawa TNI AU semakin berkembang; mempunyai integritas yang tinggi karena dengan integritas mampu membina kepercayaan, memiliki nilai pengaruh yang tinggi dan menghasilkan reputasi dan citra yang kuat; mempunyai loyalitas yang baik untuk dapat membawa TNI AU menjadi lebih berhasil; mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan dan meningkatkan kesejahtraan bawahannya; pengaruh pribadi pemimpin yang baik harus dapat memastikan bahwa anak buahnya juga dapat melakukan yang terbaik; mempunyai keberanian dalam pengambilan keputusan dengan perhitungan yang cermat sehingga akan menghasilkan keputusan yang tepat; dan mempunyai inisiatif yang baik sebagai kemampuan untuk mengkombinasikan integritas pribadi, pengetahuan, profesionalisme, keberanian dan rasa percaya diri (Mabesau, 2012). 2.4 Budaya Organisasi Budaya organisasi dalam hal ini menjelaskan tentang Pengertian budaya organisasi, tipe budaya organissi, ciri-ciri budaya organisasi yang kuat, dan nilainilai budaya organisasi militer. 2.4.1 Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan bagian dalam fungsi pengorganisasian. Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi (Robbins, 2006). Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan atau dilakukan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi meliputi segala sesuatu yang ada dalam organisasi baik itu kepercayaan, norma, nilai-nilai, filosofi, tradisi maupun pengorbanan (Swanburg, 2000). Sleutel dalam Marquis & Huston (2012) menjelaskan bahwa budaya organisasi berhubungan dengan perilaku Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 manusia dalam organisasi dan bagaimana organisasi mempengaruhi anggota kelompok. Budaya membantu membentuk persepsi, sikap, dan keyakinan serta mempengaruhi bagaimana anggota organisasi melakukan pendekatan dan melaksanakan peran serta tanggung jawabnya. Budaya organisasi adalah simbol dan interaksi unik pada setiap organisasi meliputi cara berpikir, berperilaku, berkeyakinan yang sama-sama dimiliki oleh anggota organisasi (Marquis & Huston, 2012). Menurut Owens dalam Tika (2010) budaya organisasi merupakan suatu sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku. Budaya sebagai pola perilaku berisi norma tingkah laku dan menggariskan batas-batas toleransi sosial (Ndraha, 2003). Tan dalam Wibowo (2012) menguraikan budaya organisasi sebagai satuan norma yang terdiri dari keyakinan, sikap, core value, dan pola perilaku yang dilkukan orang dalam organisasi. 2.4.2 Tipe Budaya Organisasi Cooke & Lafferty dalam Marquis & Huston (2012) dan Kreitner & Kinicki (2010) membagi menjadi tiga tipe budaya organisasi yaitu budaya positif/ konstruktif, pasif dan agresif. a. Budaya positif yaitu budaya konstruktif yang mendorong semua anggota berinteraksi dengan yang lain dan melakukan pendekatan tugas dengan cara proaktif yang membantu memenuhi kebutuhan kepuasan. b. Budaya pasif-defensif yaitu mempunyai karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak menantang keamanan kerja pekerja sendiri. c. Budaya agresif-defensif yaitu anggota organisasi berinteraksi dengan cara yang reaktif dan melakukan pendekatan tugas dengan cara yang kuat untuk melindungi status dan keamanan mereka. 2.4.3 Fungsi Budaya Organisasi Fungsi utama budaya organisasi menurut Robbins (2003) & Tika (2010) adalah 1) Sebagai batas pembeda yang membedakan organisasi satu dengan yang lain 2) Memberikan rasa identitas bagi anggota organisasi 3) Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi. 4) Mempromosikan stabilitas sistem sosial. 5) Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. 6) Membentuk perilaku bagi karyawan. 7) Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi. 8) mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingan pribadi. 9) Sebagai alat komunikasi. 2.4.4 Ciri-Ciri Budaya Organisasi Kuat Organisasi yang mempunyai ciri budaya yang kuat menurut Robbins (2003) bila dimana nilai-nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh anggota organisasi. Budaya kuat merupakan pembangkit semangat yang paling berpengaruh dalam menuntun perilaku, karena membantu anggota organisasi melakukan pekerjaannya dengan lebih baik (Deal & Kennedy dalam Tika, 2010). Budaya kuat merupakan sistem peraturan informal yang menjelaskan bagaimana anggota organisasi harus berperilaku setiap saat. Budaya kuat membuat anggota organisasi merasa lebih baik dengan apa yang mereka lakukan sehingga cenderung untuk bekerja lebih keras. Budaya organisasi yang kuat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Luthans dalam Tika (2010) faktor-faktor utama yang menentukan kekuatan budaya organisasi adalah kebersamaan dan intensitas. a. Kebersamaan. Kebersamaan adalah sejauh mana anggota organisasi mempunyai nilai inti yang dianut secara bersama. b. Intensitas. Intensitas adalah derajat komitmen dari anggota organisasi kepada nilai-nilai inti budaya organisasi. Ciri-ciri budaya organisasi kuat menurut Deal dan Kennedy dalam Tika (2010): a. Anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik. b. Pedoman bertingkah laku bagi anggota organisasi yang digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh anggota organisasi sehingga bekerja menjadi sangat kohesif. c. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya slogan tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten, dari yang berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan tertinggi. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 d. Organisasi memberikan tempat khusus bagi anggota yang berprestasi dan secara sistematis menciptakan bermacam-macam prestasi. e. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk menghadiri acara-acara ritual itu. f. Memiliki jaringan kultural yang menampung cerita kehebatan para peraih prestasi. Ciri-ciri budaya organisasi yang kuat ditambahkan oleh Tika (2010) selain ciri-ciri yang disebutkan diatas yaitu intensitas, kejelasan, ekstensitas juga kohesi, dan komitment (Tika, 2010). Kohesi dari suatu kelompok yang kuat menyebabkan nilai-nilai budaya organisasi dapat dipahami, dimengerti, dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh anggota organisasi. Komitmen yang kuat menyebabkan seseorang bisa mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi dan merasakan adanya ikatan batin dengan organisasi tersebut. 2.4.5 Nilai-Nilai Budaya Organisasi Militer Nilai-nilai adalah keyakinan dasar yang dianut oleh sebuah organisasi. Nilai-nilai dasar budaya organisasi diterjemahkan sebagai filosofi, asumsi dasar, motto organisasi, misi, tujuan umum organisasi dan prinsip-prinsip yang menjelaskan organisasi. Nilai-nilai budaya menjelaskan apa yang merupakan perintah atau anjuran dan apa yang merupakan larangan, kegiatan apa saja yang bisa mendapatkan penghargaan dan kegiatan apa yang memperoleh hukuman (Tika, 2010). Nilai-nilai budaya organisasi dipakai sebagai pedoman berperilaku bagi anggota organisasi. Nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh anggota organisasi berfungsi sebagai jati diri. Jati diri bagi anggota organisasi memberikan rasa istimewa yang berbeda dengan organisasi lainnya. Jati diri prajurit TNI adalah sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI. Sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI juga merupakan kode etik TNI. Sapta Marga menjelaskan bahwa anggota organisasi TNI adalah warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila; patriot Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 pendukung serta pembela ideologi negara, bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah; ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan; bhayangkari negara dan bangsa Indonesia; memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit; mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa. setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. Prajurit sebagai anggota organisasi militer mempunyai sumpah dalam pelaksanaan tugasnya yaitu setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan; taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan; menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada tentara dan Negara Republik Indonesia; memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya. Nilai-nilai budaya organisai militer meliputi profesionalisme militer, disiplin tinggi, membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, loyalitas tinggi dicerminkan dengan patuh dan taat kepada pimpinan serta tidak membantah perintah atau putusan, bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah (Chrisnandi, 2005; Sapta Marga, & Sumpah prajurit). a. Profesionalisme militer Profesionalisme militer merupakan suatu keseimbangan di antara keahlian, tanggung jawab dan sikap kebersamaan. Profesionalisme militer sebagai bagian yang seharusnya melekat dalam keseharian seorang prajurit melaksanakan tugasnya yaitu melaksanakan tugas sesuai kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya. (Chrisnandi, 2005). Parameter dasar yang menjadi standar profesionalisme prajurit TNI di antaranya kemahiran menggunakan senjata yang melekat padanya, komitmen terhadap keberhasilan tugas, disiplin yang tinggi, kepatuhan kepada hukum dan perintah atasan, dorongan untuk terus mengembangkan diri dan tidak berpolitik (Chrisnandi, 2005). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 b. Disiplin tinggi Disiplin menjadi sikap mental pada militer. Disiplin merupakan bentuk ketaatan dan kepatuhan. Disiplin bagi seorang anggota militer atau anggota organisasi militer merupakan suatu keharusan dan menjadi pola hidup yang harus dijalani. Penegakkan disiplin yang tinggi diiringi dengan hukuman terhadap anggota organisasi yang melanggar disiplin. Pembentukan disiplin bagi anggota organisasi militer dimulai dari masa pendidikan dasar keprajuritan. Pembinaan dan pengasuhan merupakan salah satu cara pembentukan disiplin. Pola pembinaan diberikan melalui intensitas kegiatan disertai doktrin bagi anggota TNI. Disiplin dalam organisasi militer diberlakukan dengan suatu peraturan dan ketentuan demi lancarnya penegakan disiplin. Penegakan hukum disiplin militer bersumber kepada peraturan-peraturan hukum disiplin prajurit, sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI (La Ode, 2006). c. Membela kejujuran, kebenaran dan keadilan Membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan merupakan sikap mental yang ditanamkan kepada setiap anggota baik militer maupun sipil. d. Loyalitas Loyalitas adalah kepatuhan dan kesetiaan. Loyalitas merupakan salah satu bentuk sikap seseorang yang terbentuk melalui proses interaksi dua belah pihak yang diwujudkan dalam suatu perilaku. Seseorang dikatakan memiliki loyalitas jika memiliki kepatuhan dan kesetiaan terhadap organisasi /pimpinan. Anggota organisasi yang loyal akan menjaga citra baik organisasi (Wibowo, 2011). Salah satu perilaku organisasi yang paling menonjol dalam dalam tubuh TNI dan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pelaksanaan tugas adalah sikap loyal terhadap pimpinan yang tertuang didalam kode etik prajurit. Loyalitas dalam lembaga militer sangat tinggi. Loyalitas ini terbentuk bukan hanya dalam waktu yang singkat tetapi melalui proses yang sangat panjang. Dimulai dari proses pendidikan secara formal dalam lembaga militer hingga kepada pendidikan non formal. Loyalitas ini semakin diperkuat dengan adanya Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 kode etik prajurit dan kode etik organisasi. Garis komando yang tegas juga turut memperkuat loyalitas dalam militer (Mabesau, 2012). Menurut Suryohadiprojo dalam Mabesau (2012) menyatakan bahwa organisasi militer harus percaya dan taat kepada atasannya. Loyalitas yang tinggi pada negara maka semua misi dan tugas negara yang diemban akan tercapai dengan baik. Loyalitas seorang angkatan udara terhadap negara terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan loyalitas kepada atasan dan bawahan (Mabesau, 2012). Organisasi yang mempunyai kepercayaan tinggi membantu meningkatkan loyalitas (Wibowo, 2011). Bentuk kepatuhan prajurit tercantum dalam kode etik prajurit yaitu sapta marga yang dicerminkan dengan memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit. Kesetiaan prajurit tercantum dalam sumpah prajurit yang dicerminkan dengan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan. 2.5 Karakteristik Perawat Karakteristik perawat yang diteliti meliputi status kepegawaian, umur, masa kerja dan pelatihan. 2.5.1 Umur Produktifitas merosot sejalan dengan makin tuanya usia seseorang. Usia muda lebih produktif dibandingkan ketika usia tua (Tika, 2010). Usia produktif mencapai puncaknya saat berumur 30-40 tahun (Purwanto, 1999). Sutrisno (2009) bahwa produktifitas dan kinerja akan menurun dengan bertambahnya umur. Siagian (2009) menjelaskan bahwa umur berkaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis, dengan bertambahnya umur akan semakin bijaksana dalam mengambil keputusan, serta memilki kemampuan analisis yang baik terhadap fenomena atau permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Jean Peaget bahwa usia dewasa Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 terbagi menjadi dua yaitu dewasa muda kurang dari 35 tahun dan dewasa tua 35 tahun atau lebih, 2.3.3 Masa Kerja Masa kerja yang lebih lama menunjukan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan rekan kerjanya yang lain, sehingga sering masa kerja/pengalaman kerja menjadi pertimbangan sebuah perusahaan dalam mencari pekerja (Tika, 2010). Menurut Swanburg (2002) menyatakan bahwa semakin lama seseorang di pelayanan klinis maka akan semakin baik penampilan klinisnya. Pengalaman belajar selama bekerja dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2007). Menurut Dessler, (1997) pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam bekerja. Masa kerja yang lebih lama seharusnya mempunyai efek terhadap perilaku dan kinerjanya dalam melaksanakan keselamatan pasien dengan tepat, namun dapat juga terjadi sebaliknya hal ini seperti yang dinyatakan oleh Robbins, (2003) bahwa orang yang telah lama bekerja belum tentu lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang senioritasnya lebih rendah. 2.3.1 Status Kepegawaian Status kepegawaian yang ada dalam organisasi militer adalah anggota militer dan sipil (Mabesau, 2012). Ciri khas dalam militer adalah adanya hirarki kepangkatan. Wewenang dan tanggung jawab yang diemban oleh anggota militer berhubungan dengan hirarki pekangkatan, semakin tinggi kepangkatan maka wewenang dan tanggung jawabnya juga semakin besar. 2.3.4 Pelatihan Kompetensi karyawan dapat dipertahankan dan agar tidak menjadi usang diperlukan pelatihan formal. Kegiatan pelatihan dapat memperbaiki keterampilan dan mengembangkan karier sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan mempersiapkan karyawan untuk masa depan yang penuh dengan persaingan, perubahan tehnologi yang semakin cepat (Tika, 2010). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Salah satu upaya mendukung perwujudan profesionalismen militer dengan meningkatkan kemampuan militer, pendidikan dan pelatihan kemiliteran, tersedian sarana dan peralatan militer yang memadai (Chrisnandi, 2005). Faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah atasan sebelumnya, nilai (value), informasi, kerjasama, karyawan dan pendidikan (Vesterinen, Isola, & Paasivaara, 2009) Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan dengan kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis, laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 38 2.6 Kerangka Teori Bagan 2.2 Kerangka teori penelitian determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Fungsi-Fungsi Manajemen Perencanaan Pengorganisasian Pengaraha Pengendalian (Marquis & Huston, 2012; Swanburg, 2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi 1. Kepemimpinan (Flin, Connor & Crichton, 2008; Marquis & Huston, 2010; Notoatmodjo, 2007; Swanburg, 2002; Tika, 2010; Yule, Flin, Peterson, Brown & Maran, 2006; White, 2012) 2. Budaya Organisasi a. Kekuatan budaya organisasi b. Nilai-nilai budaya organisai militer: profesionalisme militer, memegang teguh disiplin, membela kebenaran, kejujuran, dan keadilan, loyalitas (Chrisnandi, 2005; Marquis & Huston, 2012; Mabesau, 2012; Notoatmodjo, 2007; Swanburg, 2002; White 2012) 3. Karakteristik perawat: umur, masa kerja, status kepegawaian dan pelatihan (La Ode, 2006; Tika, 2010; Swanburg, 2002; Chrisnandi, 2005; Vesterin, Isola, & Paasivaara, 2009; Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011) Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien 1. Mengidentifikasi pasien 2. Komunikasi efektif 3. Peningkatan keamanan obat 4. Kepastian Tepat lokasi,Prosedur dan Pasien operasi 5. Pengurangan risiko infeksi 6. Pengurangan risiko jatu (Permenkes, 2011) Keselamatan Pasien Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL Bab ini menjelaskan tentang kerangka konsep, hipotesis, dan definisi operasional. Kerangka konsep merupakan suatu ide atau gagasan yang dinyatakan dalam bentuk simbol atau kata, yang terdiri dari variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependent) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian. Definisi operasional merupakan penjelasan secara tepat mengenai suatu istilah yang digunakan dalam penelitian secara konseptualis. 3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan suatu hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya yang terkait dan mendukung dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep digunakan untuk menghubungkan atau menjelaskan tentang topik yang akan dibahas. Kerangka konsep didapatkan dari konsep teori yang dipakai sebagai landasan penelitian pada tinjauan kepustakaan. Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat kepemimpinan dalam melaksanakan keperawatan meliputi faktor (Flin, Connor & Crichton, 2008; Marquis & Huston, 2012; Notoatmodjo, 2007; Mabesau, 2012; Swanburg, 2002; Yule, Flin, Peterson, Brown & Maran, 2006; White, 2012), budaya organisasi (Marquis & Huston, 2012; Swanburg, 2002; White, 2012 ), karakteristik perawat ((La Ode, 2006; Tika, 2010; Swanburg, 2002; Chrisnandi, 2005; Vesterin, Isola, & Paasivaara, 2009; Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011) Variabel terikat pada penelitian ini adalah perilaku perawat dalam keselamatan pasien. Pada penelitian ini, perilaku dikelompokkan menjadi enam indikator yang meliputi mengidentifikasi pasien, melakukan komunikasi efektif, peningkatan keamanan obat, pengurangan risiko infeksi dan pengurangan risiko jatuh (Permenkes, 2011). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Bagan 3.1 Kerangka penelitian determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Variabel Bebas Variabel Terikat Perilaku perawat melaksanakan pasien Kepemimpinan Budaya organisasi Masa kerja keselamatan 1. Identifikasi pasien 2. Komunikasi efektif 3. Peningkatan Umur dalam Status kepegawaian keamanan obat 4. Kepastian tepat lokasi, prosedur dan Pelatihan pasien operasi 5. Mengurangi risiko infeksi 6. Mengurangi risiko jatuh 3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara yang dibuat oleh peneliti terhadap penelitian yang akan dilakukan. Dharma (2011) menjelaskan bahwa hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini meliputi: 3.2.1 Ada hubungan faktor kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 3.2.2 Ada hubungan faktor budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 3.2.3 Ada hubunga karakteristik perawat (umur, masa kerja, status kepegawaian dan pelatihan) dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 3.2.4 Ada faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 3.3 Definisi operasional Definisi operasional merupakan suatu cara untuk memberikan pemahaman yang sama terhadap variabel penelitian yang akan di teliti. Definisi operasional ini untuk menentukan metode penelitian yang akan digunakan dalam meneliti. Definisi operasional diperlukan agar pengukuran variabel dan pengumpulan data konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan responden yang lain (Notoatmodjo, 2010). Variabel di ukur dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Kuisioner B terdiri dari pernyataan positif dengan rentang 1 - 4 yaitu skor 1 untuk tidak pernah, 2 untuk jarang, 3 untuk sering dan 4 untuk selalu. Pernyataan negatif kebalikan dari pernyataan positif yaitu skor 1 untuk selalu, 2 untuk sering, 3 untuk jarang dan 3 untuk tidak pernah. Kuisioner C terdiri dari pernyataan positip dengan rentang 1-4 yaitu skor 1 untuk sangat tidak setuju, skor 2 untuk tidak setuju, skor 3 untuk setuju dan skor 4 untuk sangat setuju. Pernyataan negatif kebalikan dari pernyataan positif yaitu skor 4 untuk sangat tidak setuju, skor 3 untuk tidak setuju, skor 2 untuk setuju dan skor 1 untuk sangat setuju. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur dan alat ukur Hasil ukur Skala Terikat 1. a. b. c. Perilaku Perawat Ketepatan identifika si pasien Peningkatan komunikasi yang efektif Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai Persepsi perawat pelaksana dalam melaksanakan enam sasaran keselamatan pasien meliputi identifikasi pasien, komunikasi efektif, peningkatan keamanan obat, kepastian tepat lokasi, prosedur, dan pasien yang akan dilakukan tindakan prosedur, pengurangan risiko infeksi dan jatuh. Diukur dengan kuisioner B terdiri 39 item pernyataan perilaku keselamatan pasien (32 pernyataan positif & 7 negatif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (135) Persepsi perawat pelaksana dalam memastikan identitas pasien sebelum memberikan obat, darah, mengambil darah atau spesimen lain Diukur dengan kuisioner B terdiri 6 item pernyataan ketepatan identifikasi pasien (5 pernyataan positif & 1 pernyataan negatif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (22) Persepsi perawat pelaksana dalam melakukan komunikasi efektif saat menerima instruksi, hasil pemeriksaan, operan Diukur dengan kuisioner B terdiri 7 item pernyataan komunikasi efektif (6 pernyataan positif & 1 negatif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (26 ) Persepsi perawat pelaksana dalam menjaga agar tidak terjadi kesalahan obat yang diberikan kepada pasien Diukur dengan kuisioner B terdiri 7 item pernyataan peningkatan keamanan obat (3 pernyataan positif & 4 negatif) , dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (18) Ordinal Kurang baik jika nilai < median (135) Ordinal Kurang baik jika < median (22) Ordinal Kurang baik jika < median (26) Kurang baik jika nilai < median (18) Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Ordinal Variabel d. Kepastian tepat prosedur, tepat lokasi, dan tepat pasien Persepsi perawat pelaksana dalam memastikan tepat prosedur, tepat lokasi, tepat pasien sebelum melakukan tindakan/prosedur Mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan Persepsi perawat pelaksana dalam mengurangi risiko infeksi dengan mencuci tangan, menggunakan APD Diukur dengan kuisioner B terdiri 8 item pernyataan pengurangan infeksi (8 pernyataan positif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (30 ) Persepsi perawat pelaksana dalam mencegah pasien jatuh Diukur dengan kuisioner B terdiri 6 item pernyataan pengurangan risiko jatuh (5 pernyataan positif & 1 negatif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ mean (20) Persepsi perawat pelaksana terhadap pimpinan keperawatan mulai dari ketua tim, kepala ruangan, kepala rawat inap sampai kepala keperawatan umum terkait pelaksanaan keselamatan pasien Diukur dengan kuisioner C, terdiri dari 16 item pernyataan kepemimpin (10 pernyataan positif & 6 negatif) menggunakan skala Likert Baik jika nilai ≥ median (46) Persepsi perawat pelaksana terhadap pengaruh nilai-nilai dan keyakinan terkait karakteristik kemiliteran yaitu profesionalisme militer, kedisiplinan dan loyalitas dalam melaksanakan keselamatan pasien Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 23 item pernyataan budaya organisasi (16 pernyataan positif & 7 negatif), dengan mengguna kan skala Likert. Baik jika nilai ≥ median (64) e. f. Mengurangi risiko pasien jatuh. Definisi Operasional Cara Ukur dan alat ukur Diukur dengan kuisioner B terdiri 5 item pernyataan Kepastian tepat prosedur, tepat lokasi, tepat pasien (5 pernyataan positif) dengan menggunakan skala Likert. No Hasil ukur Baik jika nilai ≥ median (19) Skala Ordinal Kurang baik jika nilai < median (19) Ordinal Kurang baik jika nilai < median (30) Ordinal Kurang baik jika nilai < mean (20) Bebas 1. 2. Kepemimpin an Budaya organisasi Ordinal Kurang baik jika nilai < median (46) Kurang baik jika nilai < median (64) Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Ordinal No a. b. 1). 2). 3). Variabel Kekuatan budaya organisasi Definisi Operasional Persepsi perawat terhadap kuatnya budaya organisasi yang mendukung terhadap terlaksananya keselamatan pasien Nilai-nilai budaya organisasi militer Profesionalis me militer Disiplin Hasil ukur Baik jika nilai ≥ median (21) Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 23 item pernyataan nilai-nilai budaya organisasi militer (16 pernyataan positif & 7 negatif), dengan mengguna kan skala Likert Baik jika nilai ≥ median (42) Persepsi perawat terhadap kemampuan yang harus dimiliki sesuai dengan bidang kerjanya Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 7 item pernyataan profesionalisme militer (5 pernyataan positif & 2 negatif), dengan mengguna kan skala Likert Baik jika nilai ≥ median (18) Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 2 item pernyataan disiplin (2 pernyataan positif ), dengan menggunakan skala Likert Baik jika nilai ≥ mean (7) Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 1 item pernyataan kejujuran, kebenaran dan keadilan (1 pernyataan positif), dengan mengguna kan skala Likert Baik jika nilai ≥ median ( 3) Persepsi perawat terhadap pembelaan terhadap kebenaran dan kejujuran kepada pasien dalam melaksanakan keselamatan pasien Skala Ordinal Kurang baik jika nilai < median (21) Persepsi perawat terhadap karakteristik kemiliteran yang berlaku di tempat dimana perawat bekerja Persepsi perawat terhadap tepat waktu dan mematuhi aturan yang berlaku Membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan Cara Ukur dan alat ukur Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 8 item pernyataan kekuatan budaya organisasi (4 pernyataan positif & 4 negatif), dengan mengguna kan skala Likert Ordinal Kurang baik jika nilai < median (42) Ordinal Kurang baik jika nilai < median (18) Ordinal Kurang baik jika nilai < mean (7) Kurang baik jika nilai < median (3) Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Ordinal No 4).. 1. Variabel Loyalitas Definisi Operasional Persepsi perawat terhadap kepatuhan kepada atasan, aturan dalam melaksanakan keselamatan pasien Karakteristik perawat Umur Cara Ukur dan alat ukur Diukur dengan kuisioner C terdiri dari 5 item pernyataan loyalitas (4 pernyataan positif & 1 negatif), dengan mengguna kan skala Likert Lama hidup perawat pelaksana dihitung sejak tanggal kelahiran hingga ulang tahun terakhir pada saat mengisi kuisioner Diukur dengan Kuisioner A No. 1 Hasil ukur Skala Loyal jika nilai ≥ median (14) Ordinal Kurang loyal jika nilai < mediasn (14) Penggolon gan 1=<35 tahun Rasio 2= ≥ 35 tahun 2. Status kepegawaian Jenis pegawai sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan surat keputusan pengangkatan pegawai Diukur dengan Kuisioner A No. 2 Penggolon gan 1= militer 2= sipil Nominal 3. Masa Kerja Jumlah tahun yang menunjukan lamanya perawat pelaksana telah bekerja dirawat inap yang dihitung sejak pertama kali bekerja sampai dengan penelitian dilakukan Diukur dengan kuisioner A No 3 Penggolon gan 1=< 5 tahun Rasio Kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan tentang keselamatan pasien Diukur dengan kuisioner A No 4 4. Pelatihan 2=≥ 5 tahun Penggolon gan 1= pernah 2= tidak pernah Nominal Semua variabel dan subvariabel penelitian mayoritas memiliki data yang tidak terdistribusi normal. Uji kenormalan data dengan uji Skewness dan kurtosis. Data terdistribusi normal apabila berada pada rentang -2 sampai dengan 2. Variabel yang memiliki data rentang data -2 sampai dengan 2 sehingga dapat dikatakan bahwa datanya terdistribusi normal adalah risiko mengurangi jatuh dan disiplin. Hasil uji Skewness pada variabel mengurangi risiko jatuh adalah -0,104 dan uji Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 46 Kurtosis -0,851. Hasil uji Skewness pada variabel disiplin adalah 0,915 dan Kurtosis -1,419. Data terdistribusi normal menggunakan mean sedangkan yang tidak terdistribusi normal menggunakan median untuk menganalisis datanya. Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 4 METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, populasi dan sampel yang digunakan, serta prosedur penelitian. Prosedur penelitian meliputi; tempat penelitian, waktu penelitian, etik penelitian, alat pengumpul data, pengujian instrumen, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. 4,1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan korelasi deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Cross sectional bertujuan untuk meneliti hubungan antara variabel yang dilakukan observasi dan diukur sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien sehingga didapatkan gambaran hubungan antara faktor determinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. 4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Populasi merupakan seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang ditentukan. Menurut Hastono & Sabri (2010) menjelaskan populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga. Populasi pada penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang rawat inap berjumlah 128 orang perawat. Distribusi tiap ruangan dijelaskan pada tabel berikut: Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Perawat Pelaksana di Rawat Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Tahun 2012 No 1. 2. 3. 4. 5. 6, 7. 8. Nama Ruangan Dirgantara Cencrawasih Merak Merpati Garuda Nuri Parkit ICU Total Jumlah Perawat Pelaksana 12 perawat 19 perawat 16 perawat 12 perawat 17 perawat 22 perawat 12 perawat 18 perawat 128 perawat Proporsi (%) 9,4 14,8 12,5 9,4 13,3 17,2 9,4 14 100 4.2.2 Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi dan dapat mewakili populasi atau representatif. Menurut Hastono & Sabri (2010) sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur. Perawat pelaksana yang diambil menjadi sampel adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu 1) perawat pelaksana, 2) bertugas di ruang rawat inap, 3) latar belakang pendidikan keperawatan SPK, DIII dan S1, 4) masa kerja minimal 6 bulan, 5) bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Menurut Robbins (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa seseorang akan termotivasi menjadi lebih baik setelah enam bulan. Kriteria ekslusi 1) meliputi perawat yang sedang cuti, 2) sedang mengikuti pendidikan, 3) sedang dinas luar, 4) sedang sakit (dirawat di rumah sakit atau ada surat dokter jika di rawat di rumah). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Peneliti menentukan besar sampel minimal dalam penelitian ini menggunakan rumus proporsi yang dikemukakan oleh Isaac & Michel (dalam Sugiyono, 2010). h2.N.P.Q s = d 2 (N-1) + h2.P.Q Keterangan: h2 = Nilai tabel. Tingkat kepercayaan (Confidence Interval), menggunakan 95% (α 1,96) N = Besarnya populasi Q = 1–P P = Taksiran populasi, dengan nilai 0,5 S = Besarnya proporsi D = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya (true prevalence) yang besarnya disesuaikan dengan prevalensi. Secara umum nilai d yang sering dianggap bermakna adalah 5%. Sampel berdasarkan rumus tersebut dengan CI 95% (α 1,96) adalah sebagai berikut: S= 3,841 x 128 x 0,5 x 0,5 ( (0,05 x 0,05) x 127) + ( 3,841 x 0,5 x 0,5 ) S = 96,23 dibulatkan menjadi 96 perawat pelaksana Sampel yang diperlukan berdasarkan penghitungan tersebut adalah 96 perawat pelaksana. Sampel ditambahkan 10% dari hasil penghitungan sampel yang diperlukan untuk mengantisipasi terhadap pengisian kuisioner yang tidak lengkap dan tidak sesuai (tidak jelas, tidak konsisten). Menurut Dharma (2010) pertimbangan untuk memperhitungkan loss of follow up dengan f = 10 %. Sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 106 perawat pelaksana. Minimal sampel presentatif dalam penelitian adalah 106 perawat pelaksana. Jumlah populasi 128 perawat pelaksana sehingga selisih antara populasi dengan sampel adalah 22. Selain jumlah selisih yang kecil dan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh perawat pelaksana untuk menjadi responden, maka teknik pengambilan sampel yang peneliti lakukan pada penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh perawat pelaksana yang ada dalam populasi dijadikan sebagai sampel yaitu 128 perawat pelaksana. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Perawat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 123 perawat dari 128 perawat karena 2 perawat sedang cuti dan 3 perawat sedang mengikuti pendidikan. Kuisioner yang kembali sebanyak 123 (kembali semua) dan dari kuisioner yang kembali terdapat pengisian yang tidak lengkap sebanyak 6 kuisioner. Dengan demikian sampel penelitian sebanyak 117 perawat. 4.3 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Peneliti memilih RSAU dr. Esnawan Antariksa dengan alasan efektif dan efisien. Efektif karena masalah penelitian sesuai dengan fenomena di lapangan dan tujuan penelitian mendukung upaya rumah sakit dalam meningkatkan keselamatan pasien serta adanya dukungan yang positif dari kepala rumah sakit beserta staf terkait penelitian yang peneliti lakukan. Upaya rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan pasien diwujudkan dalam misi rumah sakit. Misi rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan secara profesional dan bermutu tinggi. Efisien karena pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga. Peneliti menggunakan unit rawat inap selain rawat inap merupakan tempat peneliti bekerja juga dengan tujuan untuk mendapatkan karakteristik yang homogen dari sampel penelitian. 4.4 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pembimbing dan izin penelitian. Penelitian dimulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan laporan tesis. Penelitian dilaksanakan pada September – Desember 2012. Tabel 4.2 Jadwal Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Nama Ruangan Sept Okt Bulan/Tahun 2012-2013 Nop Des Jan Penyusunan proposal penelitian Ujian proposal penelitian Uji Etik Uji validitas dan relibialitas Penelitian Penyusunan laporan hasil Ujian hasil penelitian Penyusunan laporan penelitian Ujian sidang Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 4.5 Etika Penelitian Peneliti telah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan lolos kaji etik (ethical clearance) dari Komite Etik penelitian Keperawatan FIK. Aspek etik yang digunakan dalam penelitian ini memperhatikan aspek autonomy, confidentiality, nonmalefficence, beneficence dan justice (Polit & Beck, 2006). Prinsip Autonomy. Peneliti memberikan penjelasan kepada perawat pelaksana mengenai penelitian meliputi maksud dan tujuan penelitian, serta menyampaikan permohonan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Perawat pelaksana bersedia menjadi responden (123 perawat) kemudian dilanjutkan dengan mengisi inform consent. Peneliti menjelaskan cara pengisian instrumen, memberikan kebebasan pemilihan waktu kepada responden dalam pengisian instrumen. Tidak ada responden yang mengundurkan diri selama proses penelitian. Prinsip dampak yang membahayakan bagi responden selama proses penelitian berlangsung baik non malefiecence. Penelitian tidak memberikan bahaya langsung maupun tidak langsung karena instrumennya berupa kuisioner dan tidak ada perlakuan/ intervensi terhadap responden. Pengisian kuisioner tidak mempengaruhi penilaian kinerja dan karir responden karena peneliti menjamin kerahasiaan responden. Prinsip justice. Peneliti memperlakukan perawat pelaksana sama, tanpa diskriminasi selama proses penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan total populasi sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi perawat pelaksana untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti memberikan hakhak responden yang sama berupa hak untuk mendapatkan penjelasan dan informasi, hak untuk bertanya. Prinsip confidentiality. Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan hak asasi untuk informasi yang didapatkan. Peneliti merahasiakan berbagai informasi yang menyangkut privasi responden, identitas responden dengan menggunakan kode dan hanya peneliti yang tahu tentang kode tersebut. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Prinsip benefiecience. Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian untuk mendapatkan hasil yang yang semaksimal mungkin baik bagi responden dan rumah sakit dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien. Selama proses penelitian dengan pengisian kuisioner telah memberikan manfaat berupa kesadaran (awareness) pada responden terhadap keselamatan pasien. ini bermanfaat bagi responden yaitu memberikan kesadaran (awareness) dalam pelaksanaan keselamatan pasien. 4.6 Alat Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu kuisioner A untuk karakteristik perawat, kuisioner B untuk memberikan gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dan kuisioner C untuk memberikan gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 4.6.1 Kuisioner A Kuisioner A merupakan kuisioner tentang karakteristik perawat yang meliputi umur, masa kerja, status kepegawaian dan pelatihan. Hasil pengumpulan data variabel status kepegawaian dikategorikan menjadi militer dan sipil. Masa kerja dikategorikan menjadi < 5 tahun dan ≥ 5 tahun. Pelatihan dikategorikan menjadi pernah dan tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien. 4.6.2 Kuisioner B Kuisioner B merupakan kuisioner tentang perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien mengacu pada enam sasaran keselamatan pasien berdasarkan Permenkes (2011) meliputi identifikasi pasien, komunikasi efektif, keamanan obat, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, mengurangi risiko infeksi dan mengurangi risiko jatuh. Kuisioner ini dikembangkan oleh peneliti berdasarkan Permenkes (2011) yang didukung oleh kepustakaan. Peneliti mengadopsi perilaku perawat berdasarkan Permenkes (2011) ini karena aplikatif dan sesuai dengan kondisi rumah sakit tempat penelitian dilakukan dan hal ini merupakan standar yang harus diterapkan pelaksanaannya di setiap rumah sakit. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Variabel Positif Mengidentifikasi pasien a. Penggunaan identitas pasien untuk mengidentifikasi b. Identifikasi sebelum pemberian obat, transfusi, pemeriksaan laboratorium, prosedur/ tindakan diagnostik dan operasi. c. Verifikasi identifikasi setiap serah terima pasien Melakukan komunikasi efektif a. Komunikasi verbal b. Operan c. Melibatkan pasien/keluarga Peningkatan keamanan obat a. Prinsip pemberian obat b. Mengecek alergi dan reaksi obat c. Check and recheck pemberian obat d. Penempatan obat e. Melibatkan pasien dan keluarga Memastikan tepat lokasi dan prosedur a. Tepat lokasi tindakan b. Tepat prosedur c. Tepat pasien Mengurangi infeksi a. Hand hygiene/kebersihan tangan b. Pemeliharaan luka dan alat invasif c. Penggunaan universal precaution d. Penilaian resiko infeksi e. Penempatan pasien risiko infeksi Mengurangi risiko jatuh a. Penilaian risiko jatuh b. Pencegahan pasien risiko jatuh c. Pengawasan d. Keterlibatan keluarga Negatif Jumlah 1 6 8,11,12 9,10 13 7 7 14 15 16,18 7 6 2,3,4 5 17 19 20 22 21,23,24 25 5 26,27,28 30 31 29 32 33 8 34 35,36 38 39 6 37 Skala yang digunakan adalah skala Likert 1 – 4. Kriteria penilaian untuk pernyataan positif adalah sebagai berikut: Selalu jika pernyataan tersebut selalu dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 4). Sering, jika pernyataan tersebut sering dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 3). Jarang, jika pernyataan tersebut jarang dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 2). Tidak pernah, jika pertanyaan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 tersebut tidak pernah dilakukan oleh perawat pelaksana (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif adalah kebalikan dari pertanyaan positif. 4.6.3 Kuisioner C Kuisioner C merupakan faktor-faktor yang berhubungan terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Kuisioner ini disusun oleh peneliti berdasarkan karakteristik militer. Tabel 4.4 Kisi-kisi Instrumen Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien No Variabel 1. Kepemimpinan a. Kepemimpinan b. Nilai-nilai dan karakter kepemimpinan TNI AU Budaya Organisasi a. Kekuatan budaya organisasi b. Nilai-nilai budaya organisasi militer - Profesional militer - Disiplin - Membela kejujuran, kebenaran dan keadilan - Loyalitas 2. Positif Negatif Jumlah 1,3,4,5,6,7,10 12,13,16 2,8,9 11,14,15 16 18,19,20,24 17,21,22, 23 23 26,30,32,34,39 27,28 31 29,35 25,33,36,38 37 Skala yang digunakan adalah skala Likert 1 – 4. Kriteria penilaian untuk pernyataan positif adalah sebagai berikut: Sangat setuju jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 4). Setuju, jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 3). Tidak setuju, jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 2). Sangat tidak setuju, jika pertanyaan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif adalah kebalikan dari pertanyaan positif. 4.7 Pengujian Instrumen Karakteristik instrumen dan pengukurannya sebelum digunakan untuk penelitian perlu dilakukan pengujian yaitu berupa uji reliabilitas dan validitas. Instrumen yang valid adalah instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 seharusnya diukur. Instrumen yang reliabel adalah instrumen bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama maka akan menghasilkan data yang sama. Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian valid dan reliabel (Sugiyono, 2009). Jumlah sampel yang digunakan untuk uji coba instrumen menurut Sugiyono (2009) sekitar 30 orang. Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen penelitian pada 30 perawat pelaksana di RSAL Mintohardjo sebelum digunakan dalam penelitian. RSAL Mintohardjo dipilih oleh peneliti sebagai rumah sakit tempat dilakukannya uji validitas dan reliabilitas dikarenakan mempunyai persamaan dalam karakteristik militer, karakteristik perawat serta budaya dengan RSPAU dr. Esnawan Antariksa. 4.7.1 Uji Validitas Uji validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data (Hastono, 2010). Uji validitas yang digunakan oleh peneliti adalah uji korelasi person product moment. Peneliti melalukan korelasi antar skor masing-masing dengan skor totalnya. Pernyataan valid jika r hitung ≥ r tabel dan pernyataan dinyatakan tidak valid jika r hitung < r tabel. Rumus person product moment. r= ∑ ∑ ² ∑ ∑ ² . .∑ ∑ ² ∑ ² Keterangan: r = n= df = Koefisien korelasi Jumlah sampel r tabel dengan jumlah sampel 30, α = 0,05 dan CI 95% adalah : n – 2 = 30-2=28 df=0,361 Tabel 4.5 Hasil uji validitas dan relibialitas Variabel Perilaku perawat (kuisioner B) Kepemimpinan dan budaya organisasi (kuisioner C) Jumlah pertanyaan Sebelum Sesudah 50 39 50 39 No item tidak valid 1,5,8,9,13,22, 25,,31,36,44,49 2,16,17,18,21, 25,26,28,32,34, 37 Validitas Reliabilitas 0,490-0,903 0,979 0,445-0,978 0,985 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen valid dan reliabel, dan hal ini berarti bahwa kuisioner dapat digunakan untuk penelitian ini. 4.7.2 Uji Reliabilitas Reliabelitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauhmana hasil pengukuran tetap konsisiten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2010). Instrumen dikatakan reliabel jika instrumen konstan, stabil dan tepat. Menurut Hastono (2010) pernyataan dikatakan reliabel jika jawaban konsisiten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji reliabilitas dilakukan dengan cara melakukan uji Crombach Alpha. Bila Crombach Alpha ≥ 0,6 maka variabel reliabel sedangkan bila Crombach Alpha < 0,6 maka variabel tidak reliabel (Hastono, 2010). Hasil uji Crombach Alpha untuk kuisioner B tentang persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah 0,979 dan kuisioner C tentang kepemimpinan dan budaya organisasi adalah 0,985. Uji Crombach Alpha lebih besar dari 0,6 dengan demikian maka kuisioner dikatakan reliabel. 4.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 4.8.1 Prosedur Administratif a. Peneliti memperoleh izin dari komite etik penelitian FIK Universitas Indonesia 12 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran 1). b. Peneliti mengajukan izin validitas dan reliabilitas instrumen yang ditandatangani oleh Dekan FIK UI melalui koordinasi dengan pembimbing dan KPS Pascasarjana kepada Kepala RSAL Mintohardjo tertanggal 19 Oktober 2012 dan mendapat izin uji validitas dan relibialitas dari Kepala RSAL Mintohardjo tertanggal 13 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran 2 dan 3) c. Peneliti menyiapkan kelengkapan data dan instrumen penelitian d. Peneliti mengajukan izin penelitian yang ditandatangani oleh Dekan FIK UI melalui koordinasi dengan pembimbing dan KPS Pascasarjana kepada Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa tertanggal 19 Oktober 2012 dan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 mendapat izin penelitian dari Kepala RSAU dr. Esnawan Antariksa tertanggal 9 Nopember 2012 (surat ijin pada lampiran 4 dan 5) 4.8.2 Prosedur teknik a. Peneliti melakukan koordinasi dengan kepala departemen keperawatan, kepala unit rawat inap, kepala ruangan dan perawat pelaksana RSAL Mintohardjo terkait dengan persiapan pelaksanaan uji validitas dan reliabilitas. b. Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas di RSAL Mintohardjo pada 13-20 Nopember 2012 hanya pada perawat shif pagi saja. c. Peneliti melakukan koordinasi dengan kepala keperawatan umum, kepala unit rawat inap, kepala ruangan dan perawat pelaksana RSAU dr. Esnawan Antariksa terkait dengan persiapan pelaksanaan penelitian. d. Peneliti melakukan penelitian di RSAU dr. Esnawan Antariksa pada 22-29 Nopember 2012. b. Peneliti menjelaskan latar belakang, tujuan, dan manfaat serta aspek etik penelitian kepala keperawatan umum, kepala unit rawat inap, kepala ruangan dan khususnya kepada perawat pelaksana sebagai calon responden. c. Perawat pelaksana yang bersedia berpartisipasi untuk menjadi responden dalam penelitian menandatangani inform consent. e. Memberikan kuisioner, menjelaskan cara pengisian, memberi kesempatan responden untuk menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti terkait cara pengisian kuisioner. f. Memberi kesempatan kepada responden untuk mengisi sesuai dengan waktu yang nyaman bagi responden, disesuaikan dengan kesibukan ruangan dan menginformasikan bahwa kuisioner akan peneliti ambil diakhir dinas shif. Lama pengisian kuisioner oleh responden adalah 30-45 menit. Pengisian kuisioner dilaksanakan dalam satu. g. Peneliti mengambil kuisioner dan mengecek kelengkapan pengisian kuisioner, kejelasan, dan kesesuaian jawaban responden. Responden diminta oleh peneliti untuk melengkapi dan memperbaiki kuisioner yang tidak lengkap dan tidak jelas atau tidak sesuai. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 h. Peneliti menjelaskan proses penelitian telah berakhir dan memberikan reinforcement positif atas kerjasama responden dalam penelitian. 4.9 Pengolahan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dilakukan pengolahan data dan penganalisaan data, pengolahan data dilakukan berdasarkan empat tahap yaitu editing, coding, entry, dan cleaning. 4.9.1 Editing Proses editing untuk mengecek kelengkapan pengisian kuisioner, kejelasan, dan kesesuaian jawaban responden, sehingga data hasil penelitian dapat diolah dengan baik. Peneliti mengecek jawaban kuisioner yang telah diisi oleh responden meliputi kuisioner A, B dan C. Terdapat 11 kuisioner yang tidak lengkap, tidak jelas, dan tidak sesuai antara pertanyaan dengan jawaban responden, peneliti melakukan klarifikasi kembali kepada responden untuk memperbaiki dan melengkapi datanya. Namun dari 11 kuisioner terdapat 6 kuisioner yang tidak lengkap dan tidak memungkinkan untuk diklarifikasi karena responden sudah pulang dan lanjut libur, maka kuisioner yang jawabannya tidak lengkap tidak diolah. Hasil editing dari 123 kuisioner yang kembali, terdapat data yang tidak lengkap sebanyak 6 kuisioner maka yang diolah sebanyak 117 kuisioner. 4.9.2 Coding Peneliti memberikan kode pada setiap jawaban dengan mengkonversi pernyataan kedalam angka. Pemberian kode ini untuk memudahkan analisis data dan mempercepat dalam memasukan data. Variabel terikat yaitu pada kuisioner B, peneliti menggunakan skala Likert dengan nilai 1 – 4 untuk mengkonversi jawaban responden. pertanyaan positif (fovarable) Selalu jika pernyatan tersebut selalu dilakukan oleh perawat pelaksana saat ini (nilai 4). Sering, jika pernyataan tersebut sering dilakukan oleh perawat pelaksana saat ini (nilai 3). Jarang, jika pernyataan tersebut tidak dilakukan oleh tidak perawat pelaksana saat ini (nilai 2). Tidak pernah, jika pernyataan tersebut tidak pernah dilakukan oleh perawat pelaksana saat ini (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif (unfavorable) adalah kebalikan dari pertanyaan positif. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Variabel bebas yaitu pada kuisioner C, skala yang digunakan adalah skala Likert 1–4. Kriteria penilaian untuk pernyataan positif (fovarable) adalah sebagai berikut: Sangat setuju jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 4). Setuju, jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 3). Tidak setuju, jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 2). Sangat tidak setuju, jika pertanyaan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi perawat pelaksana (nilai 1). Kriteria penilaian untuk pertanyaan negatif (unfavorable) adalah kebalikan dari pertanyaan positif. Variabel karakteristik perawat untuk variabel usia dikategorikan menjadi 1 = <35 tahun dan 2 = ≥ 35 tahun. Status kepegawaian dikategorikan menjadi 1 = militer 2 = sipil. Masa kerja dikategorikan menjadi 1 = < 5 tahun dan 2 = ≥ 5 tahun. Pelatihan dikategorikan menjadi 1 = pernah menikuti pelatihan keselamatan pasien dan 2 = tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien. 4.9.3 Entry Peneliti melakukan entry data ke program statistik komputer terhadap semua kuisioner (A, B dan C) yang terisi lengkap dan benar serta telah melalui proses koding. Proses entry ini peneliti melakukannya dengan teliti untuk menghindari terjadi kesalahan dan bias. 4.9.4 Cleaning Peneliti melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer untuk memastikan bahwa data telah benar dan tidak ada kesalahan baik pada saat pemberian kode maupun pemberian nilai data. Setelah dilakukan pemeriksaan kembali (check and recheck) peneliti yakin bahwa data benar, dan tidak adanya missing data 4.10 Analisis Data Peneliti selanjutnya melakukan analisis terhadap data yang telah terkumpul. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 4.10.1 Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diteliti di dalam penelitian. Analisis univariat pada penelitian ini berupa data kategorik meliputi variabel karakteristik perawat, perilaku perawat pelaksana dalam melakukan keselamatan pasien dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melakukan keselamatan pasien. Analisis univariat menggunakan frekuensi, proporsi, median, dan Min-Mak. Tabel 4.6 Analisis Univariat No Variabel 1. Karakteristik perawat 2. 3. Bebas Terikat Sub Variabel Cara Analisis Umur (rasio) Median dan Min-Mak Masa kerja (rasio) Status Kepegawaian (nominal) Pelatihan (nominal) Kepemimpinan (ordinal) Budaya organisasi (ordinal) Kekuatan budaya organisasi (ordinal) Nilai-nilai budaya organisasi militer (ordinal) Profesionalisme militer (ordinal) Disiplin (ordinal) Membela kejujuran, kebenaran dan keadilan (ordinal) Loyalitas(nominal) Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (ordinal) Identifikasi pasien (ordinal) Komunikasi efektif (ordinal) Peningkatan keamanan obat (ordinal) Ketepatan lokasi, prosedur , dan pasien (ordinal) Mengurangi risiko infeksi (ordinal) Mengurangi risiko jatuh (ordinal) Median dan Min-Mak Frekuensi dan proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi Frekuensi dan Proporsi 4.10.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Analisis bivariat pada penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Variabel bebas adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yaitu kepemimpinan, budaya organisasi dan karakteristik perawat dengan variabel bebas yaitu perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Penelitian ini menggunakan Uji Chi Square karena variabel bebas dan variabel terikatnya berbentuk data kategorik. Uji Chi Square digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel kategorik dengan variabel kategorik. Rumus Chi Square yang digunakan untuk analisis bivariat: X² = ∑ ² Dengan df = (k-1) (b-1) Keterangan: X= Chi Square O= nilai observasi E= nilai ekspektasi k= jumlah kolom b= jumlah baris df= derajat kebebasan Batas kemaknaan (α) yang digunakan adalah 0,05, dengan Confiden Interval (CI) 95% , maka: a. Apabila p ≤ 0,05, menunjukan adanya hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas. b. Apabila p > 0,05, menunjukan tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas (Hastono & Sabri, 2010). Tabel 4.7 Analisis Bivariat No 1. Variabel Bebas Kepemimpinan (kategorik) 2. Budaya organisasi (kategorik) 3. Umur (kategorik) 4. Masa kerja (kategorik) 5. Status kepegawaian (katogerik) 6. Pelatihan (kategorik) Variabel Terikat Perilaku perawat (kategorik) Perilaku perawat (kategorik) Perilaku perawat (kategorik) Perilaku perawat (kategorik) Perilaku perawat (kategorik) Perilaku perawat (kategorik) Cara Analisis Uji Chi Square Uji Chi Square Uji Chi Square Uji Chi Square Uji Chi Square Uji Chi Square Uji Chi Square digunakan karena syarat uji Chi Square terpenuhi. Syarat uji Chi Square adalah jumlah sel yang mempunyai nilai expexted kurang dari 5, maksimal Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 sebanyak 20% dari jumlah sel yang ada. Bila syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternatifnya yaitu uji Fisher dan uji KolmogorovSmirnov. Uji Fisher digunakan bila jenis tabel yang diperoleh adalah tabel 2x2. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan bila jenis yang diperoleh adalah tabel 2x3. (Dahlan, 2008). Pada penelitian ini syarat uji Chi Square terpenuhi yaitu tidak ada sel yang mempunyai nilai harapan (expected) yang kurang dari 5 sehingga menggunakan uji Chi Square, sehingga uji alternatif baik uji Fisher maupun KolmogorovSmirnov tidak digunakan. Penelitian pada uji Chi Square ini menggunakan Continuity Correction (a) karena tabel 2x2 dan tidak ada sel yang mempunyai nilai harapan (expected) yang kurang dari 5. 4.10.3 Analisis Multivariat Analisis multivariat menghubungkan beberapa variabel bebas dan karakteristik perawat dengan satu variabel terikat pada waktu bersamaan. Analisis multivariat untuk mengetahui variabel bebas dan karakteristik perawat yang paling berhubungan dengan variabel terikat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistik ganda. Uji regresi logistik ganda adalah salah satu pendekatan model matematis yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel bebas dengan sebuah variabel terikat kategorik yang bersifat dikotom/binary (Hastono, 2010). Pemodelan analisis multivariat regresi logistik ganda terdiri dari dua yaitu model prediksi dan model faktor risiko. Model prediksi bertujuan untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel bebas yang dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel terikat (Hastono, 2010). Sedangkan model faktor risiko bertujuan untuk untuk mengestimasi secara valid hubungan satu variabel utama dengan variabel terikat dengan mengontrol beberapa variabel konfonding (Hastono,2010). Pada penelitian ini menggunakan model prediksi karena tidak ada variabel konfonding. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 63 Langkah-langkah analisis multivariat menurut Hastono (2010) sebagai berikut: a. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikatnya. Bila hasil uji bivariat mempunyai p<0,25, maka variabel tersebut dapat masuk model multivariat. Namun bisa saja p > 0,25 tetap diikutkan ke multivarist bila variabel tersebut secara substansi penting. b. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan cara mempertahankan variabel yang mempunyai p <0,05 dan mengeluarkan variabel yang p > 0,05. Pengeluaran variabel tidak serentak semua yang p>0,05, namun dilakukan secara bertahap dimulai dari variabel yang mempunyai p terbesar. c. Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika substantif. Pengujian interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik. Bila variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting dimasukkan dalam model. Tabel 4.8 Analisis Multivariat No 1. 2. Variabel Variabel bebas (Kepemimpinan, budaya organisasi) Karakteristik perawat (umur, masa kerja, status kepegawaian pelatihan) Variabel Terikat Perilaku perawat Perilaku perawat Cara Analisis Uji regresi logistik ganda Uji regresi logistik ganda Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 5 HASIL PENELITIAN Bab ini menggambarkan hasil penelitian tentang determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Pengambilan data dilakukan di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta, dengan jumlah responden 117 perawat. Pengambilan data pada 22-26 Nopember 2012. Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah sesuai dengan rencana analisis data yang telah ditetapkan. Data terdiri dari karakteristik perawat, perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yaitu enam sasaran keselamatan pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian dijabarkan dalam tiga bagian yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat. 5.1 Karakteristik Perawat Karakteristik perawat meliputi umur, masa kerja, masa kerja dan pelatihan keselamatan pasien. 5.1.1 Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja memiliki distribusi data tidak normal sehingga dalam analisisnya menggunakan median, ditunjukkan pada tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik perawat berdasarkan umur dan masa kerja di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 ( CI 95%, n=117) No 1. 2. Variabel Umur Masa kerja Median 32 8 Min-mak 21-55. 1-30 CI 31,88-34,21 8,39-10,86 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa umur perawat di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta berada pada usia produktif yaitu berumur 32 tahun. Umur Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 termuda 21 tahun dan umur tertua 55 tahun. Perawat memiliki masa kerja 8 tahun. Perawat memiliki masa kerja paling sedikit 1 tahun dan terlama 30 tahun. 5.1.2 Karakteristik Perawat Berdasarkan Status Kepegawaian dan Pelatihan Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dikategorikan menjadi militer dan sipil sesuai pembagian yang berlaku di organisasi militer terkait status kepegawaian. Pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pelatihan tentang keselamatan pasien, yang dikategorikan menjadi tidak pernah dan pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien. Karakteristik status kepegawaian dan pelatihan ditunjukkan pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Karakteristik perawat berdasarkan status kepegawaian dan pelatihan di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No 1. Variabel Status kepegawaian Militer Sipil Total 2. Pelatihan Tidak pernah Pernah Total Tabel 5.2 menunjukkan bahwa n % 9 108 7,8 92,2 117 100 74 43 63,2 36,8 117 100 . di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta perawat mayoritas mempunyai status kepegawaiannya adalah sipil yaitu sebanyak 108 perawat (92,2%). Perawat mayoritas tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien yaitu sebanyak 74 perawat (63,2%). 5.2 Gambaran Persepsi Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien merupakan variabel terikat dengan subvariabel yang terdiri dari identifikasi pasien, komunikasi Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 efektif, keamanan obat, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, pengurangan risiko infeksi, dan pengurangan risiko jatuh, ditunjukkan pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Persepsi Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No. 1. 2. 3. 4. 5.. 6. 7. Variabel/Subvariabel Perlaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Identifikasi pasien Komunikasi efektif Keamanan obat Ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien Mengurangi risiko infeksi Mengurangi risiko jatuh n Baik % Kurang Baik n % 55 47 62 53 58 49,6 59 50,4 54 46,2 63 53,8 71 60,7 46 39,3 67 57,3 50 42,7 50 42,7 67 57,3 79 67,5 38 32,5 Tabel 5.3 menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta mayoritas kurang baik (53%). Perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah mengurangi risiko jatuh (67,5%), keamanan obat (60,7%), dan ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien (57,3%). 5.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dalam penelitian ini merupakan variabel bebas yaitu kepemimpinan dan budaya organisasi ditunjukkan pada tabel 5.4. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tabel 5.4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No. 1. 2. Baik Variabel Kepemimpinan Budaya Organisasi n 57 62 Kurang Baik n % 60 51,3 55 47 % 48,7 53 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kepemimpinan keperawatan kurang baik (51,3%) dan budaya organisasi di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta adalah baik (53%). Variabel budaya organisasi terdiri dari subvariabel yaitu kekuatan budaya organisasi dan nilai-nilai budaya militer yang terdiri dari profesional militer, disiplin, membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan serta loyalitas. Gambaran subvariabel budaya organisasi di RSAU dr. Esnawan Antariksa ditunjukkan pada tabel 5.5. Tabel 5.5 Gambaran subvariabel budaya organisasi di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No. 1. 2. Variabel Kekuatan budaya organisasi Nilai-nilai budaya organisasi militer a. b. c. d. Profesionalisme militer Disiplin Membela kejujuran, kebenaran dan keadilan Loyalitas Baik Kurang Baik n 41 50 % 35 42,7 n 76 67 % 65 57,3 36 116 32 30,8 99,1 27,4 81 1 85 69,2 0,9 72,6 59 48 41 69 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa memiliki kekuatan budaya organisasi yang kurang baik (65%), dapat dikatakan bahwa budaya organisasinya kurang kuat. Nilai-nilai budaya organisasi yang baik Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 adalah disiplin (99,1%) dan loyalitas (59%), sedangkan profesionalisme militer (30,8%) dan membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan (27,4%) kurang baik. 5.3.1 Hubungan umur dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan umur dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.6. Tabel 5.6 Hubungan umur dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Umur Baik Kurang baik n % n % ≥35 Tahun 22 53,7 19 46,3 <35 Tahun 57 75 19 25 Jumlah 79 67,5 38 32,5 *bermakna pada α=0,05 Total n % 41 76 117 100 100 100 OR p 0,386 0,032* Tabel 5.6 menunjukkan umur perawat yang kurang dari 35 tahun mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (75%). Ada hubungan umur yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, (p=0,032). Perawat yang berumur kurang dari 35 tahun mempunyai peluang 0,386 kali lebih besar dibandingkan perawat yang berumur 35 tahun atau lebih untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien. 5.3.2 Hubungan masa kerja dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Masa kerja dikategorikan menjadi 5 tahun atau lebih dan kurang dari 5 tahun. Pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam bekerja (Dessler, 1997). Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan masa kerja dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.7. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tabel 5.7 Hubungan masa kerja dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Baik Kurang baik n % n % 20 60,6 13 39,4 59 70,2 25 29,8 79 67,5 38 32,5 Masa kerja < 5 Tahun ≥ 5 Tahun Jumlah Total n % 33 84 117 100 100 100 OR p 0,652 0,434 Tabel 5.7 menunjukkan bahwa perawat dengan masa kerja 5 tahun atau lebih mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakanan keselamatan pasien (70,2%). Tidak ada hubungan masa kerja yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (p=0,434). 5.3.3 Hubungan status kepegawaian dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Status kepegawaian dikategorikan menjadi militer dan sipil. Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan status kepegawaian dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Hubungan status kepegawaian dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Status kepegawaian Militer Sipil Jumlah Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Baik Kurang baik n % n % 8 88,9 1 11,1 65 60,2 43 39,8 73 62,4 44 37,6 Total n % 9 108 117 100 100 100 OR p 0,189 0,177 Tabel 5.8 menunjukkan bahwa perawat dengan status kepegawaian militer mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (88,9%). Tidak ada hubungan status kepegawaian yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (p=0,292). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 5.3.4 Hubungan antara pelatihan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan pelatihan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.9. Tabel 5.9 Hubungan pelatihan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Pelatihan Pernah Tidak pernah Jumlah Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Baik Kurang baik n % n % 24 55,8 19 44,2 55 74,3 19 25,7 79 67,5 38 32,5 Total n % 43 74 117 36,8 63,2 100 OR p 0,436 0,063 Tabel 5.9 menunjukkan bahwa Perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (74,3%). Tidak ada hubungan pelatihan yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan (p=0,063). 5.3.5 Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.10. Tabel 5.10 Hubungan kepemimpinan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Kepemimpinan Baik Kurang baik n % n % Baik 43 75,4 14 24,6 Kurang baik 30 50 30 50 Jumlah 73 62,4 44 37,6 *bermakna pada α=0,05 Total n % 57 60 117 100 100 100 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 OR p 3,071 0,008* Tabel 5.10 menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik memberikan dampak perilaku yang baik bagi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Ada hubungan kepemimpinan yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (p=0,008). Kepemimpinan yang baik mempunyai peluang 3,071 kali lebih besar dibandingkan kepemimpinan yang kurang baik terhadap perawat untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien. 5.3.6 Hubungan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Hasil uji statistik dengan Chi Square hubungan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien ditunjukkan pada tabel 5.11. Tabel 5.11 Hubungan budaya organisasi dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) Perilaku perawat melaksanakan keselamatan pasien Budaya organisasi Baik Kurang baik n % n % Baik 62 73,8 22 26,2 Kurang baik 17 51,5 16 48,5 Jumlah 79 67,5 38 32,5 *bermakna pada α=0,05 Total n % 84 33 117 100 100 100 OR p 2,652 0,036* Tabel 5.11 menunjukkan bahwa budaya organisasi yang baik mendukung perawat untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (78,5%). Ada hubungan budaya organisasi yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, (p=0,036). Budaya organisasi yang baik mempunyai peluang 2,652 kali lebih besar dibandingkan dengan budaya organisasi yang kurang baik bagi perawat untuk mempunyai perilaku yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 5.4 Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perillaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Faktor paling dominan yang mempengaruhi perilaku peawat dalam melaksanakan pasien diperoleh melalui tahap seleksi analisis bivariat dan seleksi pemodelan multivariat. Variabel yang masuk tahap seleksi analisis bivariat adalah yang mempunyai α lebih kecil dari 0,25. Tabel 5.12 Seleksi analisis bivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No. 1. 2. 3. 4. 5.. 6. Variabel Umur Masa kerja Status kepegawaian Pelatihan Kepemimpinan Budaya organisasi p Keterangan 0,020* 0,321 0,481 0,041* 0,004* 0,009* Lolos seleksi Tidak lolos seleksi Tidak lolos seleksi Lolos seleksi Lolos seleksi Lolos seleksi *bermakna pada α=0,25 Tabel 5.12 menunjukkan bahwa variabel yang dapat dimasukkan untuk pemodelan multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi. Seleksi pemodelan multivariat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama semua variabel yang lolos seleksi analisis bivariat dimasukkan dalam pemodelan multivariat, variabel dengan p yang terbesar untuk sementara dikeluarkan dari pemodelan. Variabel budaya organisai mempunyai p yang terbesar sehingga budaya organisasi dikeluarkan untuk sementara dalam pemodelan. Setelah budaya organisasi dikeluarkan terdapat nilai perubahan OR lebih besar dari 10% yaitu kepemimpinan maka budaya organisasi yang semula dikeluarkan dalam pemodelan dimasukkan kembali ke dalam pemodelan multivariat. Tahap berikutnya dikeluarkan secara berturut-turut berdasarkan p yang terbesar yaitu Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 73 pelatihan, umur, dan kepemimpinan. Semua variabel dimasukan kembali ke dalam pemodelan karena didapatkan nilai perubahan OR yang lebih dari 10% pada setiap variabel yang dikeluarkan. Hasil seleksi pemodelan multivariat menunjukkan bahwa yang lolos seleksi pemodelan multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi. Variabel umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Variabel yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kepemimpinan (p=0,027), ditunjukkan pada tabel 5.13. Tabel 5.13 Seleksi Pemodelan multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta pada 22-26 Nopember 2012 (n=117) No 1 2. 3 4. Variabel Umur Pelatihan Kepemimpinan Budaya organisasi Konstanta *bermakna pada α=0,05 p OR CI 0,178 0,254 0,027* 0,668 0,553 0,523 0,620 2,723 1,208 0,203-1,345 0,272-1,411 1,121-6,614 0,509-2,868 Tabel 5.13 menunjukkan bahwa variabel yang masuk dalam seleksi pemodelan multivariat adalah umur, pelatihan, kepemimpinan, dan budaya organisasi. Secara statistik umur, pelatihan, dan budaya organisasi tidak signifikan karena mempunyai p lebih dari 0,05 namun secara substansi berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kepemimpinan (p=0,027). Kepemimpinan yang baik mempunyai peluang 2,723 kali lebih besar dibandingkan kepemimpinan yang kurang baik terhadap perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien. Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 6 PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang interpretasi dan pembahasan hasil penelitian. Pembahasan hasil penelitian dipaparkan dengan membandingkan hasil penelitian dengan hipotesis yang diajukan meliputi hubungan karakteristik perawat, kepemimpinan dan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien,. Keterbatasan penelitian dibahas dengan membandingkan proses penelitian yang dilalui dengan kondisi ideal yang seharusnya dicapai, selanjutnya dibahas juga implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan keperawatan. 6.1 Intepretasi Hasil Penelitian Interpretasi akan menjelaskan hubungan karakteristik perawat dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, hubungan kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 6.1.1 Hubungan Karakteristik Perawat dengan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan pasien Karaktersitik perawat terdiri dari umur, masa kerja, status kepegawaian dan pelatihan yang akan diuraikan satu persatu, dilanjutkan dengan pembahasan tentang hubungan karakteristik perawat dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 6.1.1.1 Umur Umur responden di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta rata-rata 32 tahun, berada pada usia produktif. Menurut Purwanto (1999) usia produktif mencapai puncaknya saat berumur 30-40 tahun. Umur perawat rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa yang berada pada puncak usia produktif merupakan aset bagi rumah sakit karena mempunyai produktifitas dan kinerja yang baik untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2009) & Tika (2010) bahwa produktifitas dan kinerja akan menurun dengan bertambahnya umur. Namun Siagian (2009) menjelaskan bahwa umur berkaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis, dengan bertambahnya umur akan semakin bijaksana dalam mengambil keputusan, serta memilki kemampuan analisis yang baik terhadap fenomena atau permasalahan yang dihadapi. Hasil penelitian terkait umur di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta, umur memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan umur dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Umur perawat yang berumur kurang dari 35 tahun mempunyai perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien (75%). Hal ini menjadi alasan manajemen keperawatan untuk lebih memprioritaskan menempatkan perawat yang berusia muda di rawat inap daripada di rawat jalan karena beban kerja di rawat inap lebih tinggi yang membutuhkan kinerja dan produktifitas yang tinggi. Selain itu umumnya perawat yang berusia lebih tua (senior) berkeberatan untuk ditugaskan shif malam. Perawat yang berumur kurang dari 35 tahun lebih baik dalam melaksanakan keselamatan pasien dibandingkan dengan perawat yang berusia lebih dari 35 tahun. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Anugrahini (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepatuhan menerapkan pedoman keselamatan pasien. Pendapat berlawanan disampaikan oleh Iswati (2012) yang menyatakan bahwa variabel umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan tindakan keselamatan pasien di RS Bhakti Yudha Depok. Hal ini akan menjadi tolak ukur untuk manajemen RS untuk perencanaan mengadakan pendidikan dan latihan. penyegaran serta pembinaan bagi perawat yang berusia lebih dari 35 tahun agar mempunyai perilaku yang baik juga dalam melaksanakan keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 6.1.1.2 Masa Kerja Hasil penelitian menunjukkan rata-rata masa kerja perawat di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa adalah 8 tahun dan didapatkan masa kerja lebih dari 5 tahun lebih baik perilakunya dalam melaksanakan keselamatan pasien. Menurut Dessler, (1997) pada rentang 5 tahun dianggap sudah berpengalaman dalam bekerja. Perawat yang memiliki masa kerja yang semakin lama di pelayanan klinis akan semakin baik penampilan klinisnya (Swanburg, 2002). Masa kerja yang lebih lama seharusnya mempunyai efek terhadap perilaku dan kinerjanya dalam melaksanakan keselamatan pasien dengan tepat, namun dapat juga terjadi sebaliknya hal ini seperti yang dinyatakan oleh Robbins, (2006) bahwa orang yang telah lama bekerja belum tentu lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang senioritasnya lebih rendah. Hasil penelitian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta menunjukkan bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamata pasien. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan masa kerja dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini disebabkan karena karakteristik masa kerja datanya homogen yaitu mayoritas data berada pada masa kerja 5 tahun atau lebih (71,8%) sehingga mempengaruhi signifikansi/ tingkat kemaknaan. Perilaku perawat harus baik dalam melaksanakan keselamatan pasien baik oleh perawat dengan masa kerja yang lama maupun sebentar. Sriyulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara masa kerja dengan pemahaman perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok. Hasil penelitian yang berlawanan disampaikan oleh Anugrahini (2010) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kepatuhan perawat menerapkan pedoman keselamatan pasien. 6.1.1.3 Status Kepegawaian Status kepegawaian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta mayoritas adalah sipil. Militer mayoritas mempunyai perilaku yang baik dalam Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 melaksanakan keselamatan pasien (88,9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kepegawaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamata pasien. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan status kepegawaian dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini disebabkan karakteristik status kepegawaian mayoritas adalah sipil (92,2%), faktor homogenitas data mempengaruhi kemaknaan. Hasil penelitian lain yang sesuai dengan hasil penelitian Sriyulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara status kepegawaian dengan pemahaman perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok. 6.1.1.4 Pelatihan Mayoritas perawat di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta tidak pernah mengikuti pelatihan tentang keselamatan pasien (63,2%). Hasibuan, (2009) menyatakan pelatihan merupakan salah satu jenis pengembangan bagi karyawan yang dilakukan oleh perusahaan karena tuntutan pekerjaan saat ini atau masa depan. Pelatihan khususnya tentang keselamatan pasien perlu diselenggarakan oleh rumah sakit bagi seluruh perawat untuk meningkatkan keselamatan pasien. Masih rendahnya persentase perawat yang telah mendapatkan pelatihan keselamatan pasien dikarenakan keselamatan pasien baru menjadi perhatian di lima tahun terakhir sehingga belum semua perawat mendapatkan sosialisasi dan pelatihan tentang keselamatan pasien. Keselamatan pasien merupakan hak pasien yang sedang mendapatkan pelayanan kesehatan dan harus adanya jaminan dari rumah sakit bahwa semua pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dari perawat yang melaksanakan keselamatan pasien sehingga terjamin keselamatannya. Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Perawat yang mengaplikasikan keselamatan pasien untuk memenuhi hak pasien dan menjamin keselamatan pasien. Pelatihan keselamatan pasien ini selain harus diikuti oleh seluruh perawat tetapi juga perlu penyegaran secara berkala bagi Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 perawat yang telah mengikuti pelatihan sehingga pelaksanaan keselamatan pasien dapat dilaksanakan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil penelitian di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta menunjukkan bahwa pelatihan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan pelatihan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini disebabkan karena masih sedikitnya perawat yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien sehingga tidak memberikan signifikansi secara statistik hubungan pelatihan terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Pelatihan yang dilakukan hanya sekali dan aplikasi diruangan setelah mengikuti pelatihan belum dilaksanakan secara optimal, hal ini terkait juga dengan belum optimalnya pelaksanaan supervisi. Perawat yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien masih kurang yaitu hanya 43% hal ini dikarenakan keselamatan pasien baru trend pada lima tahun terakhir, berbeda halnya dengan rumah sakit di Amerika Serikat dimana sejak tahun 2007 keselamatan pasien sudah ditetapkan harus menjadi bagian integral dari setiap misi rumah sakit (Longo et al, 2007). RSAU dr. Esnawan Antariksa perlu meningkatkan pelatihan terkait keselamatan pasien khususnya bagi perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien dan melakukan penyegaran kepada perawat yang telah mengikuti pelatihan keselamatan pasien secara berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno, (2009) pelatihan diperlukan untuk melengkapi karyawan dengan keterampilan dan cara-cara yang tepat untuk menggunakan peralatan kerja, latihan diperlukan bukan hanya sebagai pelengkap namun sekaligus memberikan dasar-dasar pengetahuan karena dengan pelatihan karyawan belajar mengerjakan sesuatu dengan benar dan tepat serta dapat memperkecil atau meninggalkan kesalahan yang pernah dilakukan. Perawat harus mendapatkan pelatihan setidaknya sekali setahun, atau setiap kali ada modifikasi Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 dari tugas dan prosedur. Pelatihan dapat digunakan dalam rentang waktu selama tiga tahun (Fowley & Leiden, 2003). Penelitian ini sesuai dengan Iswati (2012) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan pelatihan dengan tindakan keselamatan pasien. Pernyataan berlawanan Sriyulia (2010) menunjukkan pelatihan keselamatan pasien berpengaruh terhadap pemahaman perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok. Pelatihan berpengaruh terhadap proses kognitif yaitu proses berpikir sebelum mengambil keputusan sehingga dapat mencegah kesalahan. 6.1.2 Gambaran Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien mengacu pada sasaran keselamatan pasien menurut Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit melalui enam sasaran keselamatan pasien yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan pengurangan risiko pasien jatuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa kurang baik (53%). Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yang baik adalah mengurani risiko jatuh, keamanan obat, dan ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien. Perilaku perawat yang kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien ini berisiko untuk kemungkinan terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya insiden keselamatan pasien berupa kejadian plebitis (2,34%), adanya satu kejadian jatuh pada satu tahun terakhir. Berdasarkan standar pelayanan minimal rumah sakit (Kepmenkes, 2008) ditetapkan bahwa kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5%, tidak ada kejadian jatuh yang berakibat cacat/ kematian (100%), tidak adanya kejadian kesalahan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 pemberian obat (100%). Hal ini perlu dilakukan upaya untuk memenuhi standar pelayanan minimal tersebut dengan meningkatkan upaya keselamatan pasien. Perilaku yang masih kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah mengurangi risiko infeksi, komunikasi efektif dan identifikasi pasien. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman perawat terhadap keselamatan pasien baik secara knowledge maupun keterampilan dalam mengaplikasikan keselamatan pasien di ruang rawat inap. Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien. Upaya Antisipasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan atau insiden dalam keselamatan pasien dilakukan pembinaan terkait keselamatan pasien. Pembinaan dapat berupa sosialisasi, pelatihan, mentoring atau bed side teaching dan supervisi. Pembinaan akan optimal dengan meningkatkan peran kepemimpinan keperawatan dan memanfaatkan budaya organisasi yang baik seperti adanya disiplin tinggi dan sikap loyalitas terhadap organisasi, pimpinan dan aturan yang berlaku terkait keselamatan pasien, karena kepemimpinan dan budaya organisasi mempengaruhi keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa. Perilaku perawat yang menjaga keselamatan pasien sangat berperan dalam pencegahan, pengendalian dan peningkatan keselamatan pasien (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010; Elley et al, 2008; Stoor, Topley, & Privetl, 2005). Peran tersebut semakin besar mengingat jumlah perawat di rumah sakit paling besar jika dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Perawat berada pada posisi yang unik untuk mengembangkan alat, proses dan praktik yang berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan semua jenis kesalahan keselamatan pasien yaitu dengan mengembangkan keterampilan berbasis kesalahan, keterampilan berbasis kesalahan peraturan, mengembangkan kemampuan untuk mengenali adanya risiko tinggi, dan perilaku berbasis pengetahuan (Mattox, 2012). Perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan pasien berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien. Perawat yang tidak memiliki kesadaran terhadap situasi yang cepat memburuk, gagal mengenali apa yang terjadi dan mengabaikan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 informasi klinis penting yang terjadi pada pasien dapat mengancam keselamatan pasien (Reid, & Bromile, 2012). Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya perhatian/ motivasi, kecerobohan dan kelalaian berisiko untuk terjadinya kesalahan selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai dengan memodifikasi perilaku (Choo, Hutchinson, & Bucknall, 2010). Selain terjadinya insiden keselamatan pasien dampak perilaku perawat yang tidak menjaga keselamatan pasien juga mengakibatkan kerugian material baik bagi pasien maupun pihak rumah sakit serta akan memberikan pencitraan masyarakat yang kurang baik terhadap layanan kesehatan rumah sakit yang akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan dan merugikan rumah sakit dari segala aspek. Upaya peningkatan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa akan optimal dengan dilaksanakannya model keselamatan penerbangan. Model penerbangan untuk meningkatkan kemanan dan kualitas (Reid & Bromile, 2012). Hal ini mempunyai tujuan yang sama yaitu mencegah terjadinya insiden, dengan menekankan pada upaya pencegahan. Upaya pencegahan berupa melakukan pengecekan dan pengecekan kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan. 6.1.2.1 Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Ketepatan Identifikasi Pasien Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam mengidentifikasikan baik (50,4%) dan kurang baik (49,6%). Hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasikan pasien karena masih ada perawat yang memiliki perilaku yang kurang baik dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan mengidentifikasi pasien sangat mungkin terjadi di rawat inap terkait dengan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi dalam setiap lokasi dimana layanan kesehatan diberikan seperti bangsal rawat inap, rawat jalan, laboratorium (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011). Kesalahan di rawat inap dapat terjadi ketika perawat pemberian obat dan darah, pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis dan melaksanakan prosedur/tindakan. Mengidentifikasi pasien penting saat pemberian Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 obat dan transfusi darah, pemeriksaan laboratorium, prosedur/tindakan diagnostik dan operasi karena hal tersebut banyak mengakibatkan terjadinya kesalahan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011; Murphy, 2004). Keadaan tertentu akan semakin memberikan kemungkinan untuk terjadinya kesalahan, sebagaiman dijelaskan dalam Permenkes (2011) bahwa kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/ tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/ kamar/ lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Hasil penelitian sesuai dengan fenomena yang terjadi di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa masih ditemukannya ketidaktepatan dalam mengidentifikasi pasien. Antisipasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasi pasien khususnya perawat yang mempunyai perilaku kurang baik dalam mengidentifikasi pasien dilakukan pembinaan terkait keselamatan pasien. Pembinaan dapat berupa sosialisasi, pelatihan, mentoring atau bed side teaching dan supervisi identifikasi pasien dengan melibatkan peran kepemimpinan keperawatan dan memanfaatkan budaya organisasi. Pembinaan menekankan pada: keakuratan identifikasi pasien ditingkatkan dan penggunaan setidaknya dua pengidentifikasi pasien ketika memberikan obat, darah atau produk darah, tidakan/ prosedur dan mengambil spesimen untuk pemeriksaan klinis. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak dapat digunakan untuk identifikasi. Identifikasi yang diakui untuk mengidentifikasi pasien adalah nama, nomor rekam medis dan tanggal lahir. ( International Patient Safety Goals dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James, 2011; Permenkes, 2011); Identifikasi pasien yang perlu dilakukan perawat saat akan melakukan prosedur transfusi yaitu mencocokan gelang nama ke label kompatibilitas darah, mencocokan identifikasi pasien dengan permintaan darah dan peninjauan kompatibilitas serta pengecekan informasi kadaluwarsa komponen darah (Murphy, 2004). Pasien yang tidak mampu menyebut nama, tidak memakai gelang dan tidak ada keluarga atau penunggu maka identitas dipastikan dengan melihat rekam medik oleh dua orang petugas (Permenkes, 2011). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan meliputi penciptaan dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas secara rutin, pemantauan indikator yang dapat diandalkan secara terus-menerus, analisis akar penyebab, penggunaan kode-bar, kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis, laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned, & James, 2011). 6.1.3.2 Perilaku Perawat dalam melaksanakan Komunikasi Efektif Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien adalah kurang baik (53,8%). Komunikasi yang kurang baik ini akan memberikan peluang kesalahan perilaku keselamatan pasien lainnya. Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan efek samping di semua aspek pelayanan kesehatan, sehingga menimbulkan permasalahan dalam mengidentifikasian pasien, kesalahan pengobatan dan transfusi serta alergi diabaikan, salah prosedur operasi, salah sisi bagian yang dioperasi, semua hal tersebut berpotensi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien dan dapat dicegah dengan meningkatkan komunikasi (Beaumont, & Russell, 2012; Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010; Schimpff, 2007; Storr, Topley & Privett, 2005; White, 2012). Kurang baiknya komunikasi yang terjadi pada perawat disebabkan masih belum optimalnya pelaksanaan operan karena sering terjadi kesalahpahaman antar shif, tidak ada pengulangan pesan/ perintah oleh penerima pesan dan pemberi pesan tidak mengklarifikasi ulang terhadap pesan/ perintah yang disampaikannya, komunikasi tertulis berupa pendokumentasian keperawatan yang kurang akurat sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda. Komunikasi yang kurang baik ini dapat memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan dan insiden keselamatan pasien maka perlu dilakukan upaya peningkatan komunikasi. Komunikasi mempunyai arti penting bagi keselamatan pasien dan kesinambungan asuhan keperawatan. Komunikasi yang dilakukan secara efektif, tepat waktu, Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 akurat, lengkap, dan jelas akan mencegah terjadinya kesalahan yang mungkin terjadi, dan dapat meningkatan keselamatan pasien (Beaumont, & Russell, 2012; Nilsson, Lindeeroett, Gupta & Vegpors, 2010; Schimpff, 2007; Storr, Topley & Privett, 2005; White, 2012). Peningkatan komunikasi dapat diimplemantasikan melalui pendekatan standar/ baku hand off / serah terima dengan penekanan pada Hand off bedside (serah terima di samping tempat tidur pasien) karena Hand off bedside mempromosikan keselamatan pasien. Hand off bedside memungkinkan parawat untuk bertukar informasi pasien yang diperlukan secara akurat, memberikan kesempatan untuk memvisualisasikan pasien dan mengajukan pertanyaan terhadap sesuatu yang kurang dipahami selain itu dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap dampak komunikasi pada keselamatan pasien dan kepuasan serta meningkatkan komunikasi antara perawat, dokter dan pasien/keluarga serta tim kesehatan lain. Hand off bedside juga memungkinkan pasien terlibat aktif dalam perawatan dengan memungkinkan bagi pasien untuk mengoreksi kesalahpahaman, memberikan masukan terhadap rencana perawatan, mengklarifikasi dan memperbaiki ketidakakuratan (Maxson, Derby, Wrobleski, & Foss, 2009). Komunikasi juga dapat ditingkatkan dengan budaya militer yang mempunyai kebiasaan mengulangi perintah. Mengulangi perintah untuk memastikan bahwa pesan/ atau perintah benar sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pemberi perintah dan bila terjadi kesalahan komunikasi dapat dilakukan klarifikasi langsung. Hal ini dapat mencegah terjadinya kesalahan komunikasi yang pada akhirnya akan mencegah terjadinya kesalahan dan insiden keselamatan pasien. Komunikasi tertulis dalam hal ini pendokumentasian keperawatan harus dilakukan secara benar. 6.1.3.3 Perilaku Perawat dalam Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran perilaku perawat dalam peningkatan keamanan obat adalah baik namun keamanan obat mempunyai peringkat yang paling rendah dari enam sasaran keselamatan pasien di rawat inap Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 RSAU dr. Esnawan Antariksa (60,7%). Terdapat 39,9 % perawat yang mempunyai perilaku keamanan obat yang kurang baik sehingga memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dalam keamanan obat. Kesalahan pengobatan adalah peristiwa dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau mengakibatkan penggunaan obat yang tidak pantas atau membahayakan pasien sedangkan pengobatan dalam kontrol/perawatan kesehatan profesional (Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010; Dewan Koordinator Nasional Pelaporan dan Pencegahan Kesalahan Pengobatan (NCCMERP) (2005) dalam Flynn, Liang, Dickson, Xie, & Suh, 2012). Pencegahan kesalahan keamanan obat yaitu dengan melakukan peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai/high alerg, pemberian pengobatan dengan prinsip lima benar yaitu benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu dan benar pasien. Perawat masih banyak membuat kesalahan meskipun telah diverifikasi dengan prinsip lima benar, untuk itu perlu diverifikasi lagi dengan resep harus terbaca, lingkungan yang kondusif tanpa gangguan selama putaran pengobatan, pola staf yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi adalah stres tempat kerja, gangguan interupsi, pelatihan memadai dan informasi terfragmentasi (Choo, Hutchinson, & Bucknell, 2010). Pencegahan lainnya perawat harus mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan kemungkinan efek obat, mencatat/dokumentasi, bekerja sesuai SAK/SOP, mengecek reaksi obat, mengecek skin integrity untuk injeksi, memonitor pasien, dua orang staf mengecek pemberian obat parenteral, memperbaharui catatan obat. Pisahkan obat yang mirip, kemasan obat yang mirip. Memberikan pendidikan kepada pasien/keluarga mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan waktu penggunaan obat (KKPRS, 2008). Perawat harus berkonsentrasi ketika mempersiapkan dan pemberian obat serta tidak diminta untuk melakukan banyak tugas selama putaran pengobatan. Gangguan dan interupsi harus diminimalkan untuk menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pemberian pengobatan yang aman (Westbrook et al, 2010). Selain itu tidak mengalihkan perhatian perawat yang mengelola pengobatan (Choo, Hutchinson & Bucknell, 2010). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Rumah sakit memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert) dengan menerapkan peningkatan keamanan obat sesuai dengan Permenkes 2011 yaittu: Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan obat yang rupa dan ucapan mirip. Implementasi kebijakan dan prosedur obat yang rupa dan ucapan mirip tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. Prosedur keselamatan penerbangan yang menerapkan ceck dan receck perlu diterapkan untuk meningkatkan keselamatan pasien khususnya dalam keamanan obat. Pesawat sebelum diterbangkan dilakukan pengecekan dan pengecekan kembali dengan seksama dan lebih menekankan pada pencegahan. Tidak ada artinya bila terjadi sesuatu kesalahan saat penerbangan berlangsung karena tidak banyak yang dapat diperbuat untuk keselamatan dan akan menimbulkan kecelakaan yang fatal. Keamanan obat sebaiknya juga menerapkan hal ini karena kesalahan dalam pemberian obat akan menimbulkan kecelakaan yang fatal berupa kecacatan dan kematian. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Reason (2008) bahwa organisasi yang berisiko tinggi terjadinya kesalahan dalam pengaturan salah satunya adalah pelayanan kesehatan selain dari organisasi penerbangan, industri nuklir, dan kimia (Reason, 2008). 6.1.3.4 Perilaku Perawat dalam Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi Hasil penelitian kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa menunjukkan bahwa 57,3% perawat melakukan dengan baik dalam memastikanan tepat lokasi, prosedur dan pasien. Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien operasi dalam penelitian ini diasumsikan dengan memastikan ketepatan dalam melaksanakan prosedur atau tindakan keperawatan baik lokasi, pasien, alat dan bahan yang digunakan, langkah-langkah prosedur maupun prinsip yang digunakan dalam melaksanakan prosedur tersebut. Masih tingginya perilaku yang kurang baik dalam ketepatan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 lokasi, prosedur dan pasien memberikan peluang untuk terjadinya kesalahan dan terjadinya insiden keselamatan pasien, hal ini disebabkan karena kurangnya pelatihan, tidak adanya penyegaran terkait prosedur tindakan keperawatan, dan supervisi. Upaya pencegahan dapat dilakukan pelatihan dan supervisi dengan mengoptimalkan peran kepemimpinan. Pada kepustakaan mengenai kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi lebih ditujukan kepada memastikan ketepatan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi di ruang operasi dengan kasus pasien yang akan mendapatkan pembedahan. Namun penulis dalam penelitian ini menerapkan ketepatan lokasi, prosedur dan pasien di unit rawat inap dengan memfokuskan kepada memastikan ketepatan dalam melaksanakan prosedur atau tindakan keperawatan yang dilakukan di unit rawat inap. Prosedur/ tindakan keperawatan yang dilakukan perawat dilakukan tepat lokasi prosedur yang akan dilakukan di bagian tubuh pasien, tepat pasien yang akan dilakukan prosedur tersebut, tepat alat dan bahan yang digunakan dalam prosedur tersebut, tepat urutan langkahlangkah dalam mengerjakan prosedur tersebut dan tepat dalam mempertahankan prinsip dari prosedur tersebut. Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien tidak hanya diterapkan di ruang operasi saja tetapi juga di rawat inap sebagaimana peneliti melakukan di ruang rawat inap. Kepastian tepat lokasi, prosedur dan pasien saat akan melakukan tindakan keperawatan di ruang rawat inap harus diaplikasikan untuk mencegah terjadinya kesalahan yang dapat membahayakan pasien. 6.1.3.5 Perilaku Perawat dalam Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian pengurangan risiko infeksi terkait asuhan keperawatan di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa menunjukkan bahwa 42,7% perawat melakukan tindakan pengurangan risiko infeksi dalam keselamatan pasien kurang baik. Dengan demikian perlu adanya peningkatan perilaku keselamatan pasien terkait pengurangan infeksi dalam memberikan asuhan keperawatan kepada Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 pasien. Perilaku perawat dalam pencegahan dan mengurangi risiko infeksi termasuk pada profilaksis antibiotika, pemeliharaan kateter vena perifer, pemeliharaan kateter vena sentral, pemeliharaan kateter urin, perawatan luka operasi dan kebersihan tangan (Mc Hugh, Carrigen & Dimitrov, 2010; Storr,Topley & Privett, 2005). Perawat perlu mengetahui juga penyebab infeksi dapat terjadi sehingga dapat dihindari untuk mencegah infeksi. Menurut Carpenter (2005) dijelaskan bahwa cara yang paling umum diperolehnya infeksi adalah melalui peralatan seperti kateter saluran kemih, infus, pembedahan dan ventilator. Infeksi yang mungkin terjadi adalah infeksi saluran kemih, plebitis, pneumonia berhubungan dengan pemakaian ventilasi mekanik dan infeksi luka operasi berhubungan dengan tindakan pembedahan. Infeksi dapat dicegah namun ada juga yang tidak dapat dihindari. . Infeksi dan penyebaran infeksi dapat dicegah sehingga kejadian infeksi tidak terjadi namun untuk infeksi yang tidak dapat dicegah dapat dikurangi melalui upaya pencegahan. Menurut Storr, Topley & Privett (2005) tidak semua infeksi dapat dicegah namun proporsi yang signifikan akan mempengaruhi infeksi dapat dihindari yaitu perilaku dan praktik staf dalam berinteraksi dengan pasien. Mengatasi infeksi di perawatan dengan membuat sesuatu yang sesederhana mungkin sehingga mudah dilaksanakan dan tujuan terhadap pengendalian dan pencegahan infeksi dapat tercapai. Kunci perbaikan pengendalian infeksi jangka panjang terletak pada penerapan kebijakan dan protokol untuk praktik klinik sehari-hari menurut Storr, Topley & Privett (2005) adalah sebagai berikut: 1) Perawat perlu mengetahui apa yang sebenarnya penting dalam pencegahan infeksi silang dan bagaimana praktik dapat dicapai yaitu dengan menguasai kompetensi pelaksanaan prosedur. Langkahlangkah praktis, nyata dan mudah untuk meminimalkan risiko infeksi ketika melakukan perawatan pasien berupa pemasangan dan perawatan kateter saluran kemih, pemasangan dan perawatan perangkat akses vaskuler, terapi dan dukungan fungsi paru, pengalaman dengan prosedur bedah, kebersihan tangan, standar tindakan pencegahan dan infeksi aliran darah, Haley et al dalam Storr, Topley & Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Privett (2005) menambahkan kebersihan lingkungan. 2) Perawat harus menyadari praktik-praktik yang berkontribusi terhadap infeksi. 3) Perawat harus mampu mengidentifikasi aspek-aspek dalam praktik yang berkontribusi terhadap infeksi untuk mengurangi dan meminimalkan kemungkinan perkembangan infeksi. 4) Perawat harus menyadari semua aspek pedoman perawatan yang paling up to date dan memastikan bahwa perawat menerapkannya untuk semua pasien. 5) Perawat harus memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan 6) Melakukan penilaian risiko pada pasien terhadap kemungkinan peningkatan risiko tertular infeksi di rumah sakit. Penilaian risiko untuk menentukan kerentanan pasien terhadap infeksi. . 7) Meningkatkan kepatuhan terhadap kebersihan tangan. Perawat perlu melakukan penilaian risiko infeksi pada pasien. Menurut Haley et al dalam Storr, Topley & Privett (2005) penilaian risiko dilakukan dengan membuat daftar faktor risiko, tindakan untuk meminimalkan infeksi dan langkah-langkah tersebut didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Faktor risiko yang harus dipertimbangkan adalah usia, riwayat kesehatan (dalam pengaruh imunosupresan), keberadaan perangkat invasif, kondisi kulit/integritas kulit, penggunaan antibiotik, operasi sebelumnya, mobilitas dan lama perawatan. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi infeksi difasilitasi dengan penggunaan sumber daya yang optimal seperti kamar terpisah dari pasien lain / ruang isolasi atau penempatan pasien pada bangsal yang tepat. 7) Meningkatkan kepatuhan terhadap kebersihan tangan. Cara yang paling mudah dan berdampak dalam pencegahan infeksi adalah dengan cuci tangan. Mengingat pentingnya mencuci tangan maka mencuci tangan memakai sabun sedunia atau global handwashing day, diplokamirkan pada 15 Oktober 2008 serentak di tujuhpuluh negara dan lima benua. Pedoman hand hygiene enam langkah yang ditetapkan oleh WHO (2007) menjadi standar yang digunakan di RSAU dr. Esnawan Antariksa yaitu: Pada saat sebelum dan sesudah menyentuh pasien, sebelum dan sesudah tindakan/ aseptik, setelah terpapar cairan tubuh pasien, sebelum dan setelah melakukan tindakan invasif, setelah menyentuh area sekitar pasien/ lingkungan, memakai alat pelindung diri (APD) yaitu alat yang digunakan untuk melindungi petugas dari resiko pajanan darah, cairan tubuh Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 ekskreta, dan selaput lendir pasien seperti sarung tangan, masker, tutup kepala, kacamata pelindung, apron/ jas dan sepatu pelindung. Kebersihan tangan berperan penting dalam pencegahan infeksi silang dan penyebaran infeksi. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun atau alkohol pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar menjamin perlindungan diri dan pencegahan infeksi silang. Kondisi di RSAU dr. Esnawan Antariksa yang mendukung program cuci tangan untuk mencegah infeksi yaitu tersedianya sumber air pada semua kran, tersedianya sabun/cairan pembersih, adanya pedoman cuci tangan yang benar yang ditempel di setiap kran cuci tangan, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang benar, mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/ observasi dan teknikteknik yang lain. Hal ini sesuai dengan elemen penilaian sasaran pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan menurut Permenkes, (2011) rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum misalnya WHO Patient Safety. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Program pencegahan infeksi di RSAU dr. Esnawan Antariksa akan optimal dengan meningkatkan peran kepemimpinan dalam aplikasi pencegahan infeksi dan memberdayakan budaya organisasi seperti disiplin dan loyalitas untuk mengikuti aturan pelaksanaan program pencegahan infeksi. Dilakukannya pelatihan bagi seluruh perawat dan dilakukan secara berkesinambungan, serta ada supervisi yang terprogram untuk penerapannya di ruang rawat inap. 6.1.3.6 Perilaku Perawat dalam Mengurangi Risiko Pasien Jatuh Hasil penelitian pengurangan risiko jatuh di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa menunjukkan bahwa perawat yang melakukan pengurangan risiko pasien jatuh dengan baik sebanyak 67,5% dan perawat yang melakukan pengurangan risiko jatuh dengan kurang baik sebanyak 30,8%. Walaupun secara umum perilaku pengurangan risiko pasien mayoritas baik tapi tidak menutup Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 kemungkinan terjadi risiko jatuh karena 30,8% perilaku perawat yang kurang baik dalam mengurangi risiko jatuh. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian pasien jatuh pada satu tahun terakhir di rawt inap RSAU dr. Esnawan Antariksa. Kejadian jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cidera bagi pasien rawat inap. Dalam standar pelayanan minimun rumah sakit menetapkan 100% pasien tidak mengalami kejadian jatuh dan tidak ada kejadian pasien jatuh yang berakibat kematian atau kecacatan (Kepmenkes, 2008). Jatuh merupakan kejadian yang dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian ulang secara berkala terhadap risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang mungkin mengakibatkan jatuh serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang telah diidentifikasikan dan melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh, mengidentifikasi obat yang berhubungan dengan peningkatan risiko jatuh (sedatif, analgetik, antihipertensi, diuretik, lazatif, dan psychotropika) serta memperhatikan lingkungan yang berisiko menyebabkan pasien jatuh. Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya jatuh adalah usia, jenis kelamin, efek obat-obat tertentu, status mental, penyakit kronis dan faktor lingkungan, keseimbangan, kekuatan dan mobilitas, ketinggian tempat tidur (Geoene, Moro, Thomson, & Saez, 2007; Kerzman, Cherit, Brin, & Torin, 2004; Tzeng & Yin, 2007). Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh untuk mengurangi insiden jatuh yaitu dengan: memastikan bel mudah dijangkau, roda tempat tidur pada posisi terkunci, memposisikan tempat tidur pada posisi terendah, pagar pengaman tempat tidur dinaikkan. Monitoring ketat pasien risiko tinggi (kunjungi dan monitor pasien/ 1 jam, tempatkan pasien di kamar yang paling dekat dengan nurse station jika memungkinkan). meliibatkan pasien/keluarga dalam pencegahan jatuh (KKPRS, 2008). Menggunakan protokol pemindahan pasien secara aman (brankar, kursi roda, tempat tidur), lamanya respon staf terhadap panggilan pasien, gunakan instrumen untuk memprediksi risiko pasien jatuh, Perawat perlu memperhatikan lingkungan yang mendukung keselamatan pasien. Faktor lingkungan mempengaruhi risiko jatuh menurut Badan Nasional Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Keselamatan Pasien (NPSA) dalam Dhatt, Damirl, Matarelli, Krishned & James (2011) adalah permukaan lantai termasuk kerapatan, kemilau dan pola yang dapat menimbulkan ilusi atau gangguan penglihatan; pencahayaan; kebisingan; lonceng penghubung termasuk visibilitas dan jangkauan; desain pintu; jarak antara tangan dengan pegangan rel tangan, tempat tidur, kursi dan toilet; stabilitas furnitur. Hal ini sesuai dengan elemen penilaian sasaran menurut Permenkes, (2011) dinyatakan rumah sakit perlu menerapkan proses pengkajian awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan pengkajian ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil pengkajian dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cidera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan. Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cidera akibat jatuh di rumah sakit. Menurut Potter & Perry (2009) beberapa intervensi yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya jatuh pada pasien yaitu: Mengorientasikan pasien pada saat masuk rumah sakit dan menjelaskan sistem komunikasi yang ada, bersikap hati-hati saat mengkaji pasien dengan keterbatasan gerak, melakukan supervisi ketat pada awal pasien dirawat terutama malam hari, menganjurkan menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, memberikan alas kaki yang tidak licin, memberikan pencahayaan yang adekuat, memasang pengaman tempat tidur terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, dan menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin. 6.1.3 Hubungan kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Kepemimpinan menurut Robbins (2006) merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran dan menurut Swanburg (2000) merupakan proses mempengaruhi kelompok untuk menentukan dan mencapai tujuan. Batasan yang dikemukakan para ahli mempunyai kandungan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 pengertian yang sama meskipun rumusannya berbeda, intinya menekankan pada mempengaruhi orang lain dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan. Pada penelitian ini kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang dilakukan oleh manajer keperawatan mulai dari ketua tim sampai dengan kepala keperawatan umum yang dipersepsikan oleh perawat. Hasil penelitian menyampaikan bahwa kepemimpinan di RSAU dr. Esnawan Antariksa kurang baik (51,3%) . Hal ini karena pemimpin keperawatan belum menerapkan secara optimal peran dan fungsinya dalam melaksanakan keselamatan pasien, belum mengintegrasikan kepemimpinannya ke dalam fungsifungsi manajemen dengan baik, dan belum memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien. Pemimpin keperawatan perlu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi keselamatan pasien ketika menciptakan budaya keselamatan pasien (Mwachofi & Walston, 2009). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan kepemimpinan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa. Kepemimpinan juga menjadi faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hal ini mempunyai makna bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien akan optimal dengan meningkatkan peran kepemimpinan. Kepemimpinan penting dalam opersional organisasi dan kesuksesan tergantung pada efektifitas pemimpin tanpa kepemimpinan organisasi tidak dapat eksis karena tidak ada perintah, kebijakan, standar, dan proses untuk mencapai tujuan organisasi (Pollard, Avella, Hockin, & Samson, 2008). Kepemimpinan berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien karena kepemimpinan dalam hal ini pemimpin keperawatan dapat mempengaruhi perawat untuk bekerja sama dalam melaksanakan keselamatan pasien sehingga dapat mencapai tujuan rumah sakit berupa keselamatan pasien dan tidak terjadi insiden keselamatan pasien. Kepemimpinan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 memberikan arahan dengan jelas kepada perawat terkait pelaksanaan keselamatan pasien dengan ditetapkannya standar dan kebijakan terkait budaya keselamatan pasien. Bawahan akan lebih memilih manajer keperawatan dengan kepemimpinan yang lebih jelas (Sellgren, Ranekualis, & Tonasoo, 2003). Kepemimpinan yang baik harus mempunyai keterampilan baik yang bersifat klinis maupun non klinis. Keterampilan klinis berhubungan dengan kemampuan memberikan asuhan. Pemimpin yang mempunyai kompetensi dalam memberikan asuhan akan memahami cara kerja perawat pelaksana dengan segala kemudahan dan kesulitannya. Pemimpin menjadi konsultan bagi perawat yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan keselamatan pasien. Keterampilan non klinis berhubungan dengan bagaimana individu berinteraksi dalam tim (interpersonal) meliputi komunikasi, kepemimpinan dan followership, kerjasama, kesadaran terhadap situasi yang terjadi dan pengambilan keputusan (Flin, O’Connor & Crichton, 2008; Yule, Flin, Peterson, brown & Maran, 2006; Reason, 2008). Dijelaskan pula oleh Summer, Bock, Giamartino (2006) bahwa kepemimpinan yang efektif harus mempunyai soft skill seperti kemampuan untuk mengelola orang dan mempunyai komunikasi yang efektif. Keterampilan kepemimpinan yang baik telah terbukti meningkatkan produktifitas , memperbaiki lingkungan kerja dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kepuasan karyawan (Timothy, Laurent, & Breadney, 2007). Kesalahan tindakan kesehatan yang terjadi diperkirakan 70-80% berhubungan dengan gangguan pada keterampilan non klinis/teknis (Westli, Johnsen, Eid, Rasten & Brattebo, 2010). Dengan demikian untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden maka pemimpin keperawatan mulai dari pimpinan terendah yaitu ketua tim, kepala ruangan, kepala unit rawat inap sampai kepala keperawatan umum harus mempunyai keterampilan kepemimpinan dan merupakan sesuatu yang dipersyaratkan atau kompetensi yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan tersebut. Perawat sebagai manajer asuhan ataupun sebagai manajer pelayanan harus memenuhi komtetensi tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Krugman & Smith (2003) bahwa kepemimpinan sangat penting dalam pengelolaan pasien sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Manajer Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 perawat yang menggunakan kekuasaan dan menggabungkannya dengan kepemimpinan, fungsi manajemen dan kompetensi akan meningkatkan efektifitas (Garsia & Barbara, 2009). Pengaruh kepemimpinan sangat penting sebagaimana disampaikan oleh Casida & Parker (2011) bahwa kinerja yang unggul dan efektifitas organisasi adalah tampilan yang konsisiten dari perilaku kepemimpinan transformasional. Diperkuat dengan hasil penelitian Lawton, Carruthers, Gardner, Wright, & McEachan (2012) diidentifikasi sepuluh kegagalan laten yang mendukung kesalahan pengobatan salah satunya adalah pengawasan dan kepemimpinan. White (2012) juga menyoroti dalam studi kasusnya bahwa kerja tim akan mengalami kerusakan dan tidak terkoordinasi bila tidak ada kepemimpinan yang jelas dalam mengendalikan situasi sehingga perawat melakukan tugas sesuai kemauan dan inisiatifnya sendiri dan komunikasikan tidak efisien ke seluruh tim dan terdapat ketidaksesuaian tugas. Pemimpin mempunyai pengaruh dalam meningkatkan keselamatan dan menyelesaikan permasalahan keselamatan pasien yang ada dalam organisasi. Menurut Notoatmodjo (2007) jika organisasi ingin menciptakan atau dihadapkan pada tugas-tugas organisasi, masalah-masalah atau isu-isu penting organisasi maka solusi yang pertama muncul, datangnya dari orang yang berpengaruh dalam organisasi. Pemimpin menginterpretasikan, mengasumsikan dan memberikan penilaian terhadap persoalan dan akan memberikan solusi baik menyangkut pengetahuan, sikap maupun tindakan yang harus dijalankan (Tika, 2010). Kepemimpinan adalah faktor yang paling penting untuk mencapai prestasi besar (Kostik, Sahin, Demir, & Kavumcubasi, 2005). Berdasarkan hal tersebut kepemimpinan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam suatu organisasi dan menentukan pencapaian tujuan organisasi dalam hal ini untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Kepemimpinan berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, hasil penelitian ini ada kesesuaian dengan teori, Hal ini sesuai dengan Permenkes (2011) yang menyatakan bahwa kepemimpinan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 mempunyai peran yang penting dalam meningkatkan keselamatan pasien yaitu 1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit “. 2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien. Permenkes, (2011) menjelaskan bahwa pemimpin berperan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien melalui tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit meliputi: 1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. 2) Memimpin dan mendukung staf 3) Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. 4) Mengembangkan sistem pelaporan. 5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. 6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. 7) Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Pemimpin juga berperan sebagai role model bagi bawahan dalam melaksanakan keselamatan pasien dan memastikan bahwa pasien mendapatkan keselamatan. Pemimpin kompeten dalam keselamatan pasien dan memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Pemimpin bersikap profesional dan bertanggungjawab sesuai dengan kewenangannnya. Pemimpin memberi contoh dan membangun komitmen secara sederhana dengan tindakan sehari-hari dalam menciptakan kemajuan dan membangun momentum (Kauzes & Posner, 2006). Marquis & Houston, (2012) mengemukakan bahwa peran kepemimpinan terintegrasi pada setiap fungsi manajemen terkait dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yaitu mempunyai keterampilan menentukan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 perencanaan pada fungsi perencanaan, melakukan pengaturan kerja pada fungsi pengorganisasian, menggunakan strategi penyelesaian konflik, mampu bernegosiasi, mendelegasikan dan komunikasi pada fungsi pengarahan dan mampu melakukan penilaian kinerja pada fungsi pengendalian. Kepemimpinan yang baik ditunjukkan oleh komunikasi yang baik, mentoring, dan kemampuan untuk maju (Jones, & Yun, 2009). Pemimpin keperawatan RSAU dr. Esnawan Antariksa diharapkan mampu mengaplikasikan kepemimpinannya pada setiap fungsi manajemen untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien. Peran kepemimpinan menciptakan sebuah lingkungan komunikasi terbuka yang dapat membantu perawat untuk mengidentifikasi peluang peningkatan keselamatan pasien (Jill & Amy, 2006). Tantangan yang menarik dari pemimpin adalah untuk memilih gaya kepemimpinan yang tepat. Gaya kepemimpinan yang tepat penerapannya disesuaikan dengan jenis organisasi, budaya organisasi, anggota organisasi dan tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan manajer keperawatan akan mempengaruhi semua kegiatan di unit keperawatan, pemimpin memilih dan menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk unit tim, individu dan setiap situasi, gaya kepemimpinan yang sama tidak akan efektif dalam segala situasi dan semua pengikutnya ( Marita & Rebecca, 2005). Menurut Scott & Bruce dalam Thunholm (2009) gaya yang ditunjukan oleh perwira militer ketika membuat keputusan adalah rasional, intuitif, tergantung, menghindari konflik, dan spontan. Lima kategori gaya kepemimpinan manajer perawat di Finlandia visioner, demokratis, afiliasi, demokratis, dan memerintah (Vesterinen, Isola, & Paasivaara, 2009). Gaya kepemimpinan yang disukai di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata di Turki adalah kepemimpinan tim, dan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (Kostik, Sahin, Demir, & Kavuncubasi, 2005). Pemimpin tim lebih cenderung spontan, lebih rasional, tergantung dan menghindar (Thunholm, 2009). Bawahan lebih memilih manajer dengan kepemimpinan yang lebih jelas, di mana gaya kepemimpinan manajer ditunjukan melalui perilaku manajer sebagai role model bagi bawahan (Sellgren, Ekual, & Tomson, 2006). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Kepemimpinan TNI AU memperlihatkan karakter khusus yang berbeda dengan kepemimpinan lainnya. Kepemimpinan dikembangkan sebagai kepemimpinan kolaboratif yang disesuaikan dengan tuntutan kemampuan personel yang komprehensif dan handal serta keahlian, tuntutan untuk selalu mempunyai karakter terutama keteladanan, kedisiplinan, kejujuran, kepresisian, kecepatan dan ketepatan dalam setiap pengambilan keputusan sehingga membentuk kepemimpinan TNI AU yang berkarakter kuat (Mabesau, 2012). Karakter kepemimpinan ini berlaku di setiap bagian atau kesatuan dibawah jajaran TNI AU termasuk kesehatan dalam hal meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Peran kepemimpinan TNI AU tercapainya zero accident (safety) terhadap keselamatan penerbangan, hal ini ada kesesuaian dengan peran kepemimpinan di bagian kesehatan yaitu meningkatkan keselamatan pasien dan tidak terjadinya insiden keselamatan pasien. 6.1.4 Hubungan budaya organisasi dengan perilaku perwat dalam melaksanakan keselamatan pasien Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota organisasi (Robbins, 2006). Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan atau dilakukan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi meliputi segala sesuatu yang ada dalam organisasi baik itu kepercayaan, norma, nilai-nilai, filosofi, tradisi maupun pengorbanan (Swanburg, 2000). Pada penelitian ini budaya organisasi meliputi profesionalisme militer, disiplin, sikap membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, dan loyalitas serta kekuatan budaya organisasi. Hal ini disesuaikan dengan norma, nilai, filosofi dan tradisi yang ada dallam organisasi militer yaitu dikaitkan dengan karakteristik kemiliteran dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian menyampaikan bahwa budaya organisasi secara umum di RSAU dr. Esnawan Antariksa baik (53%) . Namun mempunyai budaya organisasi yang kurang kuat, mempunyai disiplin (99,1%) dan loyalitas yang tinggi. Loyal terhadap organisasi, pimpinan dan aturan atau kebijakan yang ditetapkan. Hal ini Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 sebagai bentuk pengamalan terhadap kode etik prajurit yaitu sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI dan Sapta Prasetya Korpri yang sekaligus sebagai filosofi dan nilai-nilai yang dianut oleh anggota organisasi di organisasi militer. Budaya organisasi yang kuat memberikan pemahaman yang jelas kepada karyawan tentang cara menyelesaikan urusan dalam organisasinya dan memberikan stabilitas pada organisasi (Robbins, 2006). RSAU dr. Esnawan Antariksa mempunyai budaya organisasi yang kurang kuat, hal ini disebabkan karena kurangnya kebersamaan dan komitmen dari perawat terhadap nilai-nilai budaya organisasi khususnya dalam melaksanakan keselamatan pasien. Inovasi, dukungan budaya dan pertimbangan gaya kepemimpinan memberikan efek positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Lok & Crawford, 2004; Simmons & Elzbieta, 2006). Menurut Deal & Kennedy; Luthan dalam Tika (2010) ciri-ciri budaya organisasi yang kuat adalah mempunyai kebersamaan, komitmen, loyalitas, adanya pedoman bertingkah laku dan dilaksanakan oleh anggota organisasi, adanya penghargaan, adanya ritual dan memiliki jaringan kultural. Budaya organisasi yang kuat mendorong antisipasi dan keterlibatan perawat untuk ikut membuat keputusan yang mempengaruhi kinerja organisasi secara positif (Swanburg, 2002). Nilai-nilai budaya organisasi militer yang menunjukan gambaran kurang baik adalah Profesionalisme militer dan membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Profesionalisme militer diasumsikan mempunyai keahlian sesuai bidangnya. Profesionalisme militer merupakan suatu keseimbangan diantara keahlian, tanggung jawab dan sikap kebersamaan (Chrisnandi, 2005). Perawat yang profesional akam memberikan asuhan keperawatan yang tepat dengan menerapkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien. Profesionalisme yang kurang tersebut ditunjukkan dengan perilaku perawat yang kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien (53%). Sebaliknya perawat yang mempunyai profesionalisme militer yang baik akan meningkatkan keselamatan pasien. Hal ini terkait hirarki karena hirarki sering merupakan hambatan untuk komunikasi efektif dalam kelompok profesional (Beaumont & Russell, 2012). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Karakteristik militer membela kejujuran, kebenaran dan keadilan kurang baik (72,6%) disebabkan karena perawat sebagian besar belum melaksanakan keselamatan pasien dengan baik. Keselamatan pasien merupakan hak pasien (Kemkes, 2009). Perawat yang membela kejujuran, kebenaran dan keadilan terhadap pasien akan melaksanakan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien. Hal ini disebabkan masih takutnya perawat melaporkan kesalahan terkait dengan hukuman yang akan diterima. Budaya hukuman mengganggu pelaporan kesalahan dan tindakan perbaikan (Clarke & Sean, 2006). Semakin perawat takut melapor maka akan semakin kejadian kesalahan yang dilakukan karena tidak ada tindakan perbaikan dari kesalahan yang diperbuat sebelumnya. Peran kepemimpinan akan efektif untuk mengatasi permasalahan ini dengan menciptakan budaya keselamatan non punishment . Disiplin merupakan sikap mental yang dimiliki oleh anggota militer. Perawat RSAU dr. Esnawan Antariksa mempunyai disiplin yang tinggi (99,1%). Disiplin yang tinggi ini merupakan sikap mental yang telah dibentuk sejak pendidikan awal kemiliteran dan dibina secara terus-menerus melalui penegakan disiplin yang diaplikasikan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Disiplin yang tinggi tersebut harus dijadikan sebagai sumber daya bagi pemimpin dan manajemen rumah sakit dalam melaksanakan program keselamatan pasien dan pencegahan terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien. Loyalitas merupakan kepatuhan dan ketaatan bagi anggota militer terhadap organisasi , pimpinan dan aturan atau kebijakan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat RSAU dr. Esnawan Antariksa loyal terhadap organisasi, pimpinan dan aturan atau kebijakan yang berlaku (59%). Loyalitas bagi anggota organisasi militer dibentuk sejak awal menjadi anggota organisasi militer dan dilaksanakan dalam kebiasaaan sehari-hari yang diperkuat dengan kode etik TNI. Pemimpin dapat memanfaatkan loyalitas perawat tersebut loyal dalam melaksanakan enam sasaran keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Permenkes, (2011). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa. Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik individu sebagai objek dan subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau program tertentu gagal, yang dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003), sehingga dapat dikatakan bahwa jika keselamatan pasien sulit dilaksanakan dan banyak terjadi insiden keselamatan pasien maka penyebabnya adalah budaya. Budaya organisasi yang efektif perlu diciptakan karena sangat penting dalam organisasi untuk menghadapi masalah keselamatan pasien. Budaya organisasi mempengaruhi bagaimana perawat memahami konteks pekerjaan dan sikap kerja (Mwachofi, Walston, Stephen, Al-Omar, & Badran, 2011). Organisasi yang berhasil menumbuhkan budaya organisasi dapat meningkatkan kualitas, efisiensi, keselamatan pasien, dan kepuasan staf (Simmons & Elzbieta, 2006). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Wooten & Patricia (2003) budaya organisasi menjadi kata kunci di dalam perusahaan Amerika selama 20 tahun terakhir bahwa budaya organisasi dan nilai-nilai dapat menentukan keberhasilan dan menjadi keunggulan kompetitif, budaya organisasi juga menjelaskan bagaimana anggota organisasi melakukan hal-hal untuk menuju keberhasilan. Keselamatan pasien harus menjadi budaya yang diberlakukan dalam organisasi rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan pasien. Budaya keselamatan terbukti sangat membantu dalam penargetan upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mengurangi kesalahan (Abooshaiqah, 2010). Keselamatan pasien diharapkan menjadi budaya dalam memberikan asuhan keperawatan. Budaya keselamatan meningkatkan keselamatan dengan menumbuhkan komunikasi dan kolaborasi, pendekatan non punishment karena budaya hukuman mengganggu pelaporan kesalahan dan tindakan korektif, melaporkan dan menganalisa kesalahan (Clarka & Sean, 2006). Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 terbuka untuk Upaya peningkatan keselamatan pasien dapat diupayakan dengan memperkuat budaya organisasi, meningkatkan nilai-nilai budaya organisasi militer yaitu profesionalisme, disiplin, membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan, loyalitas dalam melaksanakan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien. Promosi budaya keselamatan pasien pada suatu organisasi membutuhkan pemahaman tentang budaya organisasi (Aboshaiqah, 2010), dan disampaikan Flin, Mearns, O’connor, & Bryden dalam Aboshaiqah (2010) ukuran budaya keselamatan berasal dari sikap dan perilaku anggota organisasi. Upaya tersebut akan menjadi optimal dengan meningkatkan fungsi dan peran kepemimpinan keperawatan karena faktor kepemimpinan merupakan faktor yang paling dominan dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa. Budaya mencerminkan totalitas keputusan kepemimpinan dalam organisasi (Clarka & Sean, 2006). Kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan suatu keterkaitan. Pemimpin harus berperan aktif dalam menciptakan budaya organisasi yang akan memastikan terwujudnya keberhasilan keselamatan pasien (Marquis & Huston, 2012). Peran kepemimpinan selain menciptakan budaya konstruktif adalah membantu perawat memahami budaya organisasi (Marquis & Huston, 2012). Pemimpin menyampaikan budaya organisasi melalui apa yang disampaikan dan dilakukan pemimpin (Robbins, 2006). Menurut Robbins (2006) kepemimpinan berhubungan dengan penanganan perubahan, hal ini berkaitan dengan perubahan untuk mengedepankan keselamatan pasien sebagai bagian integral yang melekat dalam setiap tindakan keperawatan kepada pasien. Rumah sakit membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang kuat untuk meningkatkan keselamatan pasien. Hasil penelitian juga menggambarkan selain ada keterkaitan antara kepemimpinan dengan budaya organisasi juga keterkaitan antara kepemimpinan dengan umur, dan pelatihan. Hal ini memberikan arti bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, budaya organisasi, umur perawat, dan pelatihan. Upaya yang dilakukan untuk Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 meningkatkan keselamatan dan mencegah insiden keselamatan pasien harus melibatkan keempat variabel tersebut yaitu dengan meningkatkan fungsi dan peran kepemimpinan, menciptakan budaya keselamatan, menyelenggarakan pelatihan keselamatan pasien pada seluruh perawat yang dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta pada perawat yang masih kurang baik perilakunya dalam melaksanakan keselamatan pasien seperti umur perawat yang lebih dari 35 tahun untuk mendapatkan pembinaan khusus. Kepemimpinan berkontribusi dalam mempromosikan keselamatan untuk pengembangan kapasitas organisasi (Erikson & Axelsson, 2010). 6.2 Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari terdapat beberapa keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien pada penelitian ini berdasarkan persepsi perawat belum dilakukan penilaian atau observasi langsung oleh peneliti, kepemimpinan masih secara umum belum diketahuinya jenis kepemimpinan yang tepat untuk dipraktekan di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa yang disesuaikan dengan budaya organisasi militer dan tujuan organisasi. Kecendrungan instrumen untuk menjawab ya. 6.3 Implikasi Bagi Keperawatan Hasil penelitian memberikan implikasi bagi praktik keperawatan, bagi perkembangan ilmu manajemen keperawatan dan bagi penelitian selanjutnya. 6.3.1 Bagi Praktik Keperawatan Hasil penelitian memberikan gambaran terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSAU dr. Esnawan Antariksa. Gambaran tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk meningkatkan keselamatan pasien dengan melakukan tindakan perbaikan terhadap kepemimpinan dan budaya organisasi. Keselamatan pasien ditingkatkan dengan meningkatkan perilaku perawat yang kurang baik dalam Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 melaksanakan keselamatan pasien khususnya dalam melakukan identifikasi pasien, mengurangi risiko infeksi dan meningkatkan komunikasi efektif. Keselamatan pasien yang tidak dilaksanakan dengan baik menimbulkan insiden keselamatan pasien yang memberikan dampak buruk dan kerugian berupa kematian, gangguan fungsi tubuh/ kecacatan, dan kerugian finansial. Insiden keselamatan pasien juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan konflik antara petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktik, blow-up ke media massa yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit sehingga citra rumah sakit menjadi buruk. Implikasi penelitian ini bagi manajemen rumah sakit sebagai penentu kebijakan (Kepala dinas kesehatan Angkatan Udara, kepala rumah sakit, kepala keperawatan, kepala diklat) yang menyusun perencanaan program keselamatan keselamatan pasien agar selalu mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan keselamatan pasien dengan mengacu kepada panduan keselamatan pasien yang terbaru berdasarkan Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit yang diantaranya berisi tentang enam sasaran keselamatan pasien yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi), pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan risiko pasien jatuh. Menggunakan temuan hasil penelitian sebagai tolak ukur keselamatan pasien: 1) meningkatkan keselamatan pasien khususnya dalam hal mengidentifikasi pasian, mengurangi infeksi, dan komunikasi efektif dengan memanfaatkan kedisiplinan dan loyalitas tinggi yang dimiliki oleh perawat dengan menyelenggarakan pelatihan dan kebijakan terkait keselamatan pasien seperti menerapkan model keselamatan penerbangan pada keselamatan pasien di rumah sakit. 2) mengefektifkan peran dan fungsi kepemimpinan sebagai faktor paling dominan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 105 yang mempengaruhi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 3) meningkatkan budaya organisasi yang kondusif terhadap pelaksanaan keselamatan pasien yaitu budaya keselamatan. Perilaku keselamatan pasien yang kurang optimal juga berdampak pada mahasiswa yang melakukan praktik klinik di rumah sakit. Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rumah sakit merupakan role model bagi mahasiswa. Jika perawat mempunyai perilaku yang kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien dikhawatirkan hal tersebut akan dicontoh oleh mahasiswa. Hal ini akan mengakibatkan perawat dimasa yang akan datang tidak profesional dalam melaksanakan keselamatan pasien. Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi bagian pendidikan dan latihan (Diklat) untuk mensosialisasikan keselamatan pasien yang diberlakukan di rumah sakit kepada mahasiswa pengguna rumah sakit sebagai lahan praktik. Institusi pendidikan membekali mahasiswa yang akan melakukan praktik klinik baik pengetahuan dan keterampilan terkait perilaku keselamatan pasien agar tidak terjadi insiden keselamatan pasien. Pembekalan ini perlu dilakukan karena perawat atau pembimbing tidak selalu dapat mendampingi dan mengawasi mahasiswa saat melakukan praktik klinik di rumah sakit. 6.3.2 Bagi Penelitian Selanjutnya Penelitian ini masih terbatas faktor- faktor yang mempengaruhi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien berdasarkan persepsi perawat dan belum melibatkan pemimpin keperawatan. Implikasi bagi penelitian selanjutnya yaitu penelitian lebih lanjut terkait observasi secara langsung perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dan pengaruh kepemimpinan terhadap keselamatan pasien dengan melibatkan leadership dan followership sehingga didapatkan gaya kepemimpinan yang tepat dan diharapkan oleh keduanya. Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Pada penelitian determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa diperoleh gambaran determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, faktor yang berhubungan dan yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien sesuai dengan tujuan penelitian.. Penelitian ini juga memberikan jawaban terhadap hipotesis yang peneliti tegakkan. Penelitian menghasilkan simpulan sebagai berikut: 7.1.1 Gambaran karakteristik perawat berada di usia produktif dengan rata-rata 32 tahun, lama bekerja 8 tahun, status kepegawaian sebagian besar sipil dan sebagian besar tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien. 7.1.2 Perawat mempunyai perilaku yang kurang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien yaitu dalam mengidentifikasi pasien, komunikasi efektif, mengurangan risiko infesi. 7.1.3 Pemimpin keperawatan mempunyai kepemimpinan kurang baik dan budaya organisasi baik, dengan budaya organisasi yang kurang kuat, profesionalisme militer yang kurang baik, dan disiplin yang baik, mempunyai sikap yang baik dalam membela kejujuran, kebenaran dan keadilan yang kurang baik, serta loyal terhadap organisasi, pimpinan dan aturan atau kebijakan yang berlaku. 7.1.4 Umur, kepemimpinan, dan budaya organisasi merupakan variabel yang mempunyai hubungan bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. 7.1.5 Masa kerja, status kepegawaian, dan pelatihan merupakan variabel yang tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 7.1.6 Kepemimpinan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, hal ini memberiakn makna bahwa dengan kepemimpinan yang baik akan menggambarkan perilaku perawat yang baik dalam melaksanakan keselamatan pasien. 7.2 Saran Berdasarkan pada temuan penelitian yang telah disimpulkan maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 7.2.1 Bagi Manajemen Rumah Sakit 7.2.1.1 Manajemen rumah sakit menggunakan hasil penelitian ini sebagai tolak ukur dalam upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien (identifikasi pasien, komunikasi efektif, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien, keamanan obat, pencegahan risiko infeksi dan pencegahan infeksi jatuh) sehingga tidak terjadi insiden keselamatan pasien. Upaya peningkatan keselamatan pasien akan lebih optimal dengan memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh perawat yaitu disiplin yang tinggi dan loyalitas untuk mematuhi kebijakan keselamatan pasien. Menerapkan model keselamatan penerangan untuk meningkatkan dan kualitas keselamatan pasien. 7.2.1.2 Mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan tentang keselamatan pasien berdasarkan pada Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi), pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan risiko pasien jatuh kepada seluruh perawat dan dilakukan penyegaran secara berkala agar keselamatan pasien diterapkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelatihan ini juga dapat meningkatkan profesinalisme yang masih kurang pada perawat rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 7.2.1.3 Meningkatkan peran kepemimpinan keperawatan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah insiden keselamatan pasien dengan merujuk pada Permenkes (2011), mulai dari ketua tim, kepala ruangan, kepala unit rawat inap dan kepala keperawatan umum untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien dengan melakukan pembinaan terhadap perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Pemimpin keperawatan sebagai role model, kompeten, profesional dan bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya. 7.2.1.4 Meningkatkan budaya organisasi yang positip yaitu budaya keselamatan, budaya oganisasi yang kuat, asuhan keperawatan yang profesional, didiplin dan loyal terhadap pelaksanaan keselamatan pasien serta membela kebenaran kejujuran dan keadilan pasien untuk menjamin keselamatan pasien. 7.2.2 Bagi Perawat Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perawat pelaksana untuk selalu melaksanakan perilaku keselamatan pasien, dengan lebih menekankan pada: 7.2.2.1 Menggunakan dua identitas pasien misalnya (nama pasien dan nomor rekam medik pasien/ nama dan tanggal lahir) sebelum melakukan suatu tindakan kepada pasien. 7.2.2.2 Membacakan kembali untuk klarifikasi saat menerima instruksi melalui telepon. 7.2.2.3 Memberikan tindakan keperawatan dengan tepat prosedur/ langkahlangkah prosedur, tepat lokasi dan tepat pasien 7.2.2.4 Mengaplikasikan prinsip benar dalam pemberian obat dan melakukan check and recheck sebelum memberikan obat 7.2.2.5 Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan ke pasien dan yang berhubungan dengan cairan pasien. 7.2.2.6 Melakukan pengkajian awal pada pasien risiko jatuh dan melakukan tindakan pencegahan jatuh. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 109 7.2.3 Bagi penelitian selanjutnya Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menindaklanjuti penelitian ini, yaitu: 7.2.3.1 Penelitian yang bersifat observasi langsung terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien, kepemimpinan keperawatan, maupun budaya organisasi. 7.2.3.2 Khususnya untuk kepemimpinan perlu diperkuat dengan penelitian yang bersifat kualitatif dengan langsung melibatkan pemimpin keperawatan yang berdasarkan pada fungsi manajemen perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan, pengarahan, dan pengendalian terhadap keselamatan pasien. dan pengaruh kepemimpinan terhadap keselamatan pasien dengan melibatkan leadership dan followership sehingga didapatkan gaya kepemimpinan yang tepat dan diharapkan oleh keduanya. 7.2.3.3 Penelitian dengan menggunakan uji statistik parametrik agar dapat digeneralisir. Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Daftar Pustaka Aboshaiqah, A.E. (2010). Safety culture: A basaline assessment of nurses’ perceptions in a Saudi Arabia hospital. Proquest Dissertation Publishing. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada Nopember 2012. Anugrahini, C. (2010). Hubungan faktor individu & organisasi dengan kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman patient safety di RSAB Harapan Kita Jakarta. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Azwar, S. (2011). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar. Beaumont, K. & Russell, J. (2012). Standardising for reliability: The contribution of tools and checklists. Nursing Standard. Vol.26/No.34. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detailhttp://web. ebscohost.com/ehost/detail?vid=4&hid=127&si pada 5 September 2012. Boothman, R.C., Imhoff, S.A., & Campbell, D.A.. (2012). Nurturing a culture of patient safety & achieving lower malpractice risk through disclosure: Lessons learned & future directions. Frontiers of Health Service Management Vol.28/No.3. Diunduh melalui http://web.ebscohost. com/ehost/detail pada 7 September 2012. Casida, J., & Parker, J. (2011). Staff nurse perceptions of nurse manager leadership styles and outcomes. Journal of Nursing Management. Vol.19/No.19. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com /ehost pada 7 September 2012. Choo, J. Hutchinson, A., & Bucknall, T. (2010). Nurses' role in medication safety. Journal of Nursing Management. Vol.18/No.5. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=8&h pada 5 September 2012. Chrisnandi, Y. (2005). Reformasi TNI perspektif baru hubungan sipil-militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Clarke, & Sean, P. (2006). Organizational climate and culture factors. Annual Review of Nursing Research. Vol.255/No.72. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=8&h pada 5 September 2012 Cosway, B., Stevens, A.C., & Panesar, S. (2012). Clinical leadership: A role for students? British Journal of Hospital Medicine. Vol.73/No.1. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?v pada 7 September 2012. Dahlan, M.S. (2008). Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Jakarta: CV. Sagung Seto. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Dessler, G. (1997). Resource management. 7ed. New Jersey: Prentice hall. De Vries E., Ramrattan M., Smorenburg S., Gouma D., & Boermeester M. (2008). The incidence and nature of in-hospital adverse events: A systematic review. Qual Saf Health Care. Vol.17/No.216. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 8 September 2012. Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: CV. Trans Info Media. Dhatt, G.S., Damir, H.A., Matarelli, S., Krishnan, S., & James, D.M. (2011). Patient safety: patient identification wristband errors. Clinical Chem Laboratory Medicine. Vol.49/No.5 Diunduh melalui http://web.ebscohost com/ehost/detail?vid=14&hid=127&sid=9f9cc pada 5 September 2012. Eriksson, A., Axelsson, R., & Axelsson, S.B. (2010). Development of health promoting leadership-experiences of a training programme. Health Education. Vol.110/No.2. Diunduh melalui melalui http://web.ebscohost com/ehost/detail?vid=14&hid=127 pada 5 September 2012 Flin, R., O’Connor, & Crichton, M. (2008). Safety at the sharp end: A guide to non-technical skills. Ashgate Publishing. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 8 September 2012. Flynn, L., Liang, Y., Dickson, G.L., Xie, M., & Suh, D.C. (2012). Nurses’ practice environments, error interception practices, and inpatient medication errors. Journal of Nursing Scholarship. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=12& pada 5 September 2012. Foley, M., & Leyden, A.M. (2003). Ameican nurses association independen study module, needlestick safety & prevention. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012. Frank, J.E. (2009). What the military taught me about these nine characteristics of military life have a place in medical practices. Family Practice Management. Diunduh melalui www.aefp.org/fpm. pada 8 September 2012 pada 5 September 2012. Garsia, S.B., & Barbara, L.P. (2009). Toward a framework for an inclusive model of social justice leadership preparation. Journal of Nursing Management. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc pada 5 Nopember 2012. Gillis, D.A. (1996). Nursing management: A system approach. 4th.Ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Ghufron, & Risnawita. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Groene, O., Mora, N., Thompson, A., Saez, M., Casas, M., and Rosa Suñol, R. (2011). Is the maturity of hospitals’ quality improvement systems associated with measures of quality and patient safety. BMC Health Services Research. Vol.11/No.344. Diunduh melalui http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/344 pada 8 September 2012. Hasibuan, M. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hastono, S.P., & Sabri, L. (2010). Statistik kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Purwanto, H. (1999). Perilaku Manusia. Jakarta: EGC. Huber, D.L. (2010). Leadership & nursing care management. Fourth edition. USA: Saunders, Elsevier Inc. Hugh, Mc., Corrigan, & Dimitrov. (2010). E-learning program for surgical trainees to enhance patient safety in preventing surgical infection. Journal of Continuing Education in Health Professions. Vol.30/No.4. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=18&hid =127&sid=9f9cc05f-bcfe-4ea6-96bd pada 7 September 2012. Isaac, T., & Jha, A.K. (2008). Are patient safety indicators related to widely used measures of hospital quality?. Society of General Internal Medicine. Vol.23/No.9. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=4&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9 pada 8 September 2012. Iswati (2012). Pengaruh penjaminan mutu keselamatan pasien oleh kepala ruang terhadap tindakan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Jill, S.C., & Amy, V. (2006). Nursing home safety: Areview of the literature. Annual Review of Nursing Research. Vol.24/No.2. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012. Joint Commission International. (2011). Accreditation standart for hospitals. Fourth edition. Oarkbrook Terrace-Illinois: Departement of Publications Joint Comission Resources. The Joint Commission. (2007). National patient safety goals - facts about the 2007 National Patient Safety Goals. Kauzes, J.M., & Posner, B.Z. (2006). The five practices of exemplary student leadership. Kementerian Kesehatan RI. (2008). Kepmenkes 129 tentang Standar pelayanan minimal rumah sakit. Diunduh melalui http://id.scribd.com/doc /38737711/kepmenkes-129-Thn-2008-Spm-Rs pada 8 September 2012. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Kementerian Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan. Kementerian Kesehatan Perumahsakitan. RI. (2009). Undang-Undang No.44 tentang Kementerian Kesehatan RI. (2011). Peraturan menteri kesehatan nomor 169/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Diunduh melalui http://hukor.depkesri.go.id. pada 24 September 2012 Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). (2008). Pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP). Jakarta : KKPRS. Kostik, Z., Sahin, B., Demir, C., Kavuncubasi, S. (2005). An evaluation of the leadership attitudes of managers in turkish armed forces' hospitals. Military Medicine. Vol.170/No..3. Diunduh melalui http://web. ebscohost.com/ehost/detail?vid=5&hid=118&s pada 9 September 2012. Kerzman, H., Cherit, A., Brin, L., & Toren, O. (2004). Characteristics of falls in hospitalized patients. Journal of Advanced Nursing. Vol.47/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=7&hid =118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010 pada 5 September 2012. Krugman, M., & Smith, V. (2003). Chargenurse leadership development and evaluation. JONA. Vol.33/No.5. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc pada 9 Nopember 2012. La Ode, M.D. (2006). Peran militer dalam ketahanan nasional: Studi kasus bidang hankam di Indonesia tahun 1967-2000. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Lawton, R., Carruthers, S., Gardner, P., Wright, J., & McEachan, R.C. (2012) Identifying the latent failures underpinning medication administration errors: An exploratory study. Health Research and Educational Trust. Vol.47/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=9&hid=118 &sid=b9117e5d-bab1-4cae-9 pada 7 September 2012. Lazar, E. (2012). How to get house staff involved in QI and safety. Hospital Peer Review. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=14&hid=118&sid =b9117e5d-bab1-4 pada 7 September 2012. Lok, p. & Crawford, J. (2004). The effect of organisational culture and leadership style on job satisfaction and organisational commitment. The Journal of Management Development. Vol.23/No.321. Diunduh melalui www.emeraldinsight.com/0262-1711.htm pada 9 Nopember 2012. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Longo et al. (2007). Hospital patient safety: Characteristics of best-performing hospital. Journal of Healthcare Management. Vol.52/No.3. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=17&hid=118&sid =b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f1406d321 pada 7 September 2012. Mabesau. (2012). Kepemimpinan TNI Angkatan Udara. Cilangkap. Jakarta: Mabesau Madigosky W.S., Headrick, L.A., Nelson, K., Cox, K.R., & Anderson, T. (2006). Changing and sustaining medical students’ knowledge, skills, and attitudes about patient safety and medical fallibility. Academic Medicine. Vol.81/No.1. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=19&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f1406d321 pada 8 September 2012. Marita, N., & Rebecca, M. (2005). Increasing retention of nursing staff a hospital: Aspects of management and leadership. Australian Bulletin of Labour. Vol.31/No.4. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012. Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2012). Leadership roles & management functions in nursing: Theory & application. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. Mattox, E.A. (2012). Strategies for improving patient safety: Linkingt ask type to error type. Critical Care Nurse. Vol.32/No.1. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=25&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr1 pada 7 September 2012. Maxson, P., Derby, K.M., Wrobleski,D.M., & Foss, D.M. Bedside nurse-to-nurse handoff promotes patient safety. Medical Surgical. Vol.21/No.3. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=27&hid =118&sid=b9117e5d-bab1-4cae-9010-559f140 pada 8 September 2012. Murphy, M.F. & Kay, J.D.S. (2004). Patient identification: problems and potential solutions. Blackwell Publishing Ltd. Vox Sanguinis. Vol.87/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost /detail?vid=30&hid=118&sid=b9117e5d-bab1-4pada 9 September 2012. Mwachofi, A., Walston, Stephen, L., Al-Omar, & Badran, A. (2011). Factors affecting nurses' perceptions of patient safety. International Journal of Health Care Quality Assurance. Vol 24/No.4. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=32&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr pada 8 September 2012. Ndraha, T. (2003). Budaya Organisasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Nilsson, L., Lindeeroet, O., Gupta, A., & Vegfors, M. (2009). Implementing a pre-operative checklist to increase patient safety: a 1-year follow-up of personnel attitudes. Journal Compilation. Vol.54. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=34&hid=118&sid=b9117e5dbab1-4cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr1pada 8 September 2012. Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Pollard, B.M., Avella, J., Hockin, R., & Samsom, L. (2008). The effects of leadership style on the job performance of nurses. UMI Microform. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc pada 9 Nopember 2012. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental of nursing. 7 Edision. Singapore: Elsevier Inc. Reason, J. (2008). The human contribution: Unsafe acts, accidents and heroic recoveries. Ashgate Publishing, Farnham. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/results?sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6 e0e6722704%40sessionmgr114&vid=31&hid pada 8 September 2012. Reid, J., & Bromiley, M. (2012). Clinical human factors: The need to speak up to improve patient safety. Nursing Standard. Vol.26/No.35. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=4&hid=105&sid =834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40s pada 8 September 2012. Rivai, V., & Mulyadi, D. (2009). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Robbins, S.P. (2006). Perilaku organisasi. Indonesia: PT Indeks Kelompok Gramedia. Schimpff, S.G. (2007). Improving operating room and perioperative safety: Background and specific recommendations. Surgical Innovation I. Vol.14/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=4&hid=105&sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e pada 8 September 2012. Seiden, S., Galvan, C., & Lamm, R. (2006). Role of medical students in preventing patient harm and enhancing patient safety. Qual Saf Health Care. Vol.15/No.272. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/ detail?vid=6&hid=105&sid=834bc725-6a08-4c pada 8 September 2012. Sellgren, S. , Ekval, G., & Tomson, G. (2006). Leadership styles in nursing management: preferred and perceived. Journal of Nursing Management. Vol.14/No.348. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail ?vid=4&hid=105&sid=834bc725-6a08 pada 8 September 2012 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Simmons, S., & Elzbieta (2006). Organizational culture and work-related attitud among staff in assisted living. Journal of Gerontological Nursing. Vol.32/No.2. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 9 Nopember 2012. Sriyulia (2010). Pengaruh pelatihan keselamatan pasien terhadap pemahaman perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit Tugu Ibu Depok. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Sugiyono. (2009). Metode penetilian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta. Summer, M., Bock, D., & Giamartina, G. (2006). Exploring the linkage between the characteristics of it project leaders and project success. IT Project Management. Storr, J., Topley, K., & Privett, S., (2005). The ward nurse's role in infection control. Nursing Standard. 19, 41, 56-64. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=15&hid=105&sid=834bc7256a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&bdata=JnNpdG pada 8 September 2012. Suzana, M., (2010). First- and third-year student nurses’ perceptions of caring behaviours. Nursing Ethics. Vol.17/No.4. Diunduh melalui http://web ebscohost.com/ehost/detail?vid=17&hid=105&sid=834bc725-6a08-4ccfb2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&bdata pada 8 September 2012. Sutrisno, E. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Kencana Swanburg, R.C., & Swanburg, J.R. (2002). Introductory management and leadership forl nurses (2 nd ed). Toronto: Jones and Barlett Publisher Tika, P. (2010). Budaya organisasi dan peningkatan kinerja perusahaan. PT. Bumi Aksara, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Tomey, A. (2006). Nursing theorists and their work. 6 th ed. St. Louis: Mosby. Tzeng H,M. & Yin C. Y. (2008) Heights of occupied patient beds: a possible risk factor for inpatient falls Aims. Journal of Clinical Nursing. Vol.17. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=20&hid=105 &sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e67227 pada 8 September 2012. Thunholm, P. (2009). Military leaders and followers – do they have different decision styles?. Scandinavian Journal of Psychology. Vol.50. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=21&hid=105&sid=83 4bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sess pada 8 September 2012. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Vesterinen, S., Isola, A., & Paavivaara, L. (2009). Leadership styles of finnish nurse managers and factors influencing it. Journal of Nursing Management. Vol.17. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/ detail?vid=21&hid=105&sid=834bc725-6a08- pada 8 September 2012. Vincent, & Davis. (2012). Patients and families as safety experts. Canadian Medical Association or its licensors. Vol.184/No.1. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/resultsadvanced?sid=834bc725-6a08-4cc f -b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr114&v pada 8 September 2012. Weissman, J.S., Schneider, E.C., & Weingart, S.N. (2008). Comparing patientreported hospital adverse events with medical record review: Do patients know something that hospitals do not?. Ann Intern Med. Vol.149/No.8. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=24&hid= 105&sid=834bc725-6a08-4ccf-b2b5-f6e0e67 pada 8 September 2012. Westli, H.K., Johnsen, B.H., Eid, J., Rasten, I., & Brattebø, G. (2010). Teamwork skills, shared mental models, and performance in simulated trauma teams: an independent group design. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. Vol.18/No.47. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=26&hid=105&sid=834bc7256a08-4ccf-b2b5-f6e0e6722704%40sessionmgr1 pada 8 September 2012. White, N. (2012). Understanding the role of non-technical skills in patient safety. Nursing Standard. Vol.26/No.26. Diunduh melalui http://web .ebscohost.com/ehost/detail?vid=28&hid=105 pada 8 September 2012. WHO, (2009). Human factors in patient safety review of topics and tools : Report for methods and measures working group of WHO patient safety. WHO/IER/PSP/2009.05. Diunduh melalui www.who.int.patientsafety pada 5 September 2012. Wooten, L.P., & Patricia C. (2003). Nurses as implemented of organizational culture. The Journal for Health Care Leaders. Vol.275/No.9. Diunduh melalui http://search.proquest.com/doc. pada 8 September 2012. Yule, S., Flin, R., Paterson, Brown, S., Maran, N. (2006) Non-technical skills for surgeons in the operating room: a review of the literature. Surgery. Vol.139/No.2. Diunduh melalui http://web.ebscohost.com/ehost /detail?vid=30&hid=105&sid=834bc725-6a08- pada 8 September 2012. Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 LAMPIRAN 6 PENJELASAN PENELITIAN Kepada Yth: Teman Sejawat Perawat RSAU dr. Esnawan Antariksa Di Jakarta Bersama ini disampaikan bahwa dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia maka saya: Nama : Sri Mulyatiningsih NPM : 1006834031 Alamat : Jl Alfida No.314 RT 03/09 Komplek Angkasa Halim Perdanakusuma Kec. Kampung Makasar Jakarta Timur No Telepon : 082123526121/ 085779126772 e-mail : [email protected] Bermaksud mengadakan penelitian tesis dengan judul Determinan Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Kuisioner ini bukan untuk menilai kinerja dan pengetahuan teman sejawat perawat terhadap ilmu keperawatan, tetapi bertujuan untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien. Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan keselamatan pasien. Segala informasi yang diberikan akan dijamin kerahasiannya dan akan digunakan hanya untuk penelitian serta peningkatan keselamatan pasien di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta. Demikian penjelasan ini saya sampaikan, apabila teman sejawat menyetujui, maka saya mohon kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar inform concent dan menjawab semua pertanyaan yang telah disiapkan. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih. Jakarta, Nopember 2012 Peneliti Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 LAMPIRAN 7 PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN Setelah saya mendapat informasi dan membaca penjelasan di atas, maka saya memahami manfaat dan tujuan penelitian ini. Saya yakin peneliti akan menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai respoonden. Saya juga menyadari bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi saya dan RSAU dr. Esnawan Antariksa tempat saya bekerja. Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi peningkatan keselamatan pasien di rawat inap RSAU dr. Esnawan Antariksa, dan saya berkontribusi di dalamnya. Dengann menandatangani lembar persetujuan ini, maka saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jakarta, Nopember 2012 Responden (.....................) Cukup tanda tangan, tidak perlu menuliskan nama Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 LAMPIRAN 8 RISET MAHASISWA PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERWATAN UNIVERSITAS INDONEIA DI RSPAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA PERIODE NOVEMBER 2012 KUESIONER UNTUK PERAWAT PELAKSANA PETUNJUK PENGISIAN 1. 2. 3. 4. Kuisioner terdiri dari 3 bagian yaitu karakteristik perawat, perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien dan faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang saudara pilih Tuliskan jawaban secara singkat, dan jelas pada tempat yang telah tersedia. Dimohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan KODE A. Karakteristik perawat 1. Umur : ……………….tahun 2. Status kepegawaian : Militer Sipil 3. Lama kerja di RS ini :………………………..tahun…………….bulan 4. Pelatihan/Keselamatan pasien (patient safety) Pernah Tidak pernah Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 B. Perilaku Perawat dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien Petunjuk pengisian: 1. 2. 3. Bacalah pernyataan dengan seksama sebelum menjawab. Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang saudara pilih. Di mohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan. Pilihan jawaban: Selalu Sering Jarang Tidak pernah : : : : Jika pernyataan tersebut selalu saudara dilakukan. Jika pernyataan tersebut sering saudara dilakukan. Jika pernyataan tersebut jarang saudara dilakukan. Tidak Pernah, pernyataan tersebut tidak pernah dilakukan. JAWABAN No PERNYATAAN Selalu Sering Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat pasien 1. Menggunakan nomor mengidentifikasi pasien 2. Sebelum melakukan transfusi darah memastikan nama yang ada di label sama dengan nama yang ada di kantong darah 3. Mengecek informasi kadaluarsa komponen darah yang akan ditransfusikan ke pasien 4. Melakukan identifikasi pasien melakukan prosedur/tindakan 5. Memeriksa identifikasi pasien sebelum serah terima/operan pasien 6. Jika pasien yang dirawat tidak mampu bicara sedangkan tidak ada penunggu, maka memastikan identitas dengan mengecek nomor rekam medik bersama perawat lain kamar untuk sebelum Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Jarang Tidak pernah JAWABAN No PERNYATAAN Selalu Sering Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat pasien 7, Hasil kolaborasi secara lisan melalui telepon dengan dokter ditulis pada status pasien 8. Membacakan kembali hasil kolaborasi secara lisan melalui telepon dengan dokter untuk mengklarifikasi kebenaran 9. Memberikan informasi yang akurat tentang perubahan kondisi pasien yang terbaru saat operan 10. Menberikan informasi yang akurat tentang rencana asuhan keperawatan pasien saat operan 11. Memeriksa pasien sebelum melaporkan kepada dokter 12. Memegang status pasien saat melaporkan pasien ke dokter 13. Memberikan kesempatan kepada pasien/keluarga untuk mengoreksi jika terjadi kesalahpahaman atau ketidakakuratan 14. Sebelum mengoplos obat mencocokkan nama pasien dengan jenis obat yang didapat, dosis, waktu dan rute pemberian 15. Menanyakan ada alergi atau tidak kepada pasien sebelum memberi obat 16. Memberikan obat yang disiapkan oleh perawat lain 17. Memberikan obat injeksi tanpa pengecekan ulang oleh perawat lain ada Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Jarang Tidak pernah JAWABAN No PERNYATAAN Selalu Sering Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat pasien 18. Menyuntikan obat yang mengencerkan terlebih dahulu 19. Meletakkan KCL dekat aquadest agar mudah dijangkau saat diperlukan 20. Memberikan pendidikan kepada pasien/keluarga tentang tujuan pemberian obat, kegunaan, cara pakai dan waktu serta kemungkinan efek obat 21. Melakukan prosedur dengan urutan langkah yang benar 22. Melakukan pemasangan infus di vena bagian distal sebelum mengunakan vena proksimal 23. Membersihkan bagian tubuh pasien dari area yang bersih ke area kotor 24. Mempertahankan prinsip steril pada prosedur perawatan luka/pemasangan kateter urin/injeksi 25. Memastikan kebenaran identitas pasien yang akan dilakukan tindakan/prosedur 26. Mencuci tangan sebelum prosedur/tindakan kepada pasien melakukan 27. Memcuci tangan sesudah prosedur/tindakan kepada pasien melakukan 28. Mencuci tangan setelah menyentuh area sekitar pasien 29. Memakai sarung tangan saat terpapar cairan tubuh pasien pekat tanpa Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Jarang Tidak pernah JAWABAN No PERNYATAAN Selalu Sering Hal di bawah ini saya lakukan dalam merawat pasien 30. Mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun 31. Melakukan perawatan luka operasi/infus/kateter urin secara aseptik dan antiseptik 32. Melakukan penilaian risiko mungkin terjadi pada pasien 33. Menempatkan pasien yang berisiko terkena infeksi/berisiko menularkan infeksi di ruang khusus/isolasi 34. Melakukan pengkajian awal pada pasien risiko jatuh 35. Memastikan bahwa roda tempat tidur dalam keadaan terkunci 36. Mengorientasikan pasien pada saat masuk ruang rawat 37. Menurunkan pengaman/penghalang tempat tidur pada pasien yang mengalami keterbatasan gerak 38. Melakukan pengawasan ketat pada dengan risiko jatuh pasien 39. Melibatkan pasien dan keluarga mencegah terjadinya pasien jatuh untuk infeksi yang Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Jarang Tidak pernah C. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien Petunjuk pengisian: 1. 2. 3. Bacalah pernyataan dengan seksama sebelum menjawab Berikan tanda check (√) pada jawaban yang tersedia sesuai jawaban yang saudara pilih. Di mohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pertanyaan. Pilihan jawaban: Sangat setuju : Jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi saudara Setuju : Jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi saudara Tidak setuju : Jika pernyataan tidak sesuai dengan persepsi saudara Sangat tidak setuju : Jika pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi saudara Pemimpin disini adalah pemimpin keperawatan (mulai ketua tim, kepala ruangan, kepala rawat inap sampai kepala keperawatan umum) JAWABAN No PERNYATAAN 1. Pemimpin mengetahui prosedur dan teknis pekerjaan yang saya dikerjakan 2. Komunikasi yang disampaikan pemimpin kurang dapat dipahami 3. Pemimpin mempunyai kepribadian yang baik 4. Pemimpin memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan keselamatan pasien 5. Pemimpin memberikan kepercayaan kepada saya untuk melaksanakan keselamatan pasien Sangat setuju Setuju Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tidak setuju Sangat tidak setuju JAWABAN No PERNYATAAN 6. Pemimpin memberikan contoh dalam pelaksanaan keselamatan kepada pasien 7. Pemimpin memiliki kedisiplinan yang tinggi 8. Pemimpin tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan kritik, ketidakpuasan dan keluhan 9. Pemimpin kurang memonitor saya dalam pelaksanaan keselamatan pasien 10. Pemimpin dapat menyelesaikan masalah/konflik dengan cara yang membangun 11. Pemimpin tidak paham dengan perannya sebagai pemimpin 12. Pemimpin bijaksana dalam mendisiplinkan bawahan 13. Pemimpin memberikan koreksi dan penilaian terhadap pelaksanaan keselamatan pasien yang saya lakukan 14. Pemimpin tidak peka terhadap perubahan yang terjadi pada kemajuan organisasi 15. Pemimpin kurang inisiatif 16. Pemimpin mengambil keputusan dengan perhitungan yang cermat 17. Saya tidak puas dengan sistem imbalan/penghargaan yang diberikan oleh instansi tempat saya bekerja Sangat setuju Setuju Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tidak setuju Sangat tidak setuju JAWABAN No PERNYATAAN Sangat setuju 18. Saya diberikan hukuman bila melanggar norma/ketentuan yang telah ditetapkan 19. Saya mengetahui dengan jelas tentang tujuan organisasi tempat saya bekerja 20. Saya memahami perilaku terpuji dan tercela yang diberlakukan di organisasi tempat saya bekerja 21. Saya melakukan keselamatan karena takut dihukum 22. Saya bukan bagian dari organisasi yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien 23. Saya mempunyai komitmen tinggi bila mendapatkan imbalan/ penghargaan. 24. Budaya organisasi tempat saya bekerja mempengaruhi kinerja saya 25. Saya bangga menjadi bagian organisasi tempat saya bekerja 26. Keselamatan pasien saya secara profesional 27. Saya memegang teguh disiplin 28. Saya datang ke kantor dan pulang tepat waktu 28. Saya tidak melaporkan kesalahan/insiden keselamatan pasien karena takut 30. Saya melaksanakan keselamatan pasien karena perintah pemimpin/atasan Setuju pasien dari laksanakan Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Tidak setuju Sangat tidak setuju JAWABAN No PERNYATAAN Sangat setuju 31. Saya membela pasien dari tindakan yang merugikan bagi keselamatan pasien.. 32. Saya tidak dapat menyampaikan permasalahan dalam merawat pasien karena hirarki kepangkatan/golongan 33. Saya patuh pada atasan/aturan karena takut dikenakan sanksi/hukuman 34. Saya mendahulukan organisasi daripada pribadi/keluarga 35. Bila atasan/pemimpin tidak ada ditempat, saya dapat berbuat bebas sesuai keinginan 36. Saya menyadari bahwa peminpin harus ditaati 37. Saya membantah atasan 38. Saya patuh untuk melaksanakan hal-hal yang terkait keselamatan pasien 39. Saya bertanggung jawab yang saya lakukan Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju kepentingan kepentingan perintah pemimpin/ terhadap apa Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 LAMPIRAN 9 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap : Sri Mulyatiningsih Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 1 Februari 1972 Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Kepala Unit Rawat Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta Alamat Institusi : Jl. Merpati No. 2 Halim Perdanakusuma Jakarta Timur Alamat Rumah : Jl. Alfida No.314 RT 03/09 Komplek Angkasa Halim Perdanakusuma Kec. Kampung Makasar Jakarta Timur Telp/e-mail : 082123536121, 085779126772 [email protected] Riwayat Pendidikan S2 Magister Ilmu Keperawatan FIK UI Tingkat Akhir S1 Keperawatan di FIK UI Lulus 2007 D III Akper DepKes Jakarta Lulus 1994 SMAN 13 Jakarta Lulus 1991 SMPN 152 Jakarta Lulus 1988 SDN Mekarjaya VIII Depok Lulus 1985 Riwayat Pekerjaan Ka Unit Rawat Inap RSAU dr. Esnawan Antariksa 2005 - Sekarang Ka Unit Rawat Jalan RSAU dr. Esnawan Antariksa 2002-2005 Ka ruang Anak 2001-2002 Ka ruang VIP 2000-2001 Kaur Ujibad Subdis Dukkes Diskesau Mabesau 1998-2000 Kabagmed RSAU Suryadharma Kalijati Subang 1995-1998 Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Determinan perilaku..., Sri Mulyatiningsih, FIK UI, 2013