BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Menurut data WHO pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Kanker paru, hati, perut, kolorektal, dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian akibat kanker setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2015). Di Indonesia kanker menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular (Kemenkes RI, 2014). Jenis kanker yang banyak diderita dan ditakuti oleh perempuan adalah kanker payudara. Pada umumnya kanker payudara menyerang kaum perempuan, kemungkinan menyerang kaum laki-laki sangat kecil yaitu 1 : 1000 (Mulyani, 2013). Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC)tahun 2012, kanker payudara adalah kanker dengan presentase kasus baru tertinggi (43,3%) dan presentase kematian tertinggi (12,9%) pada perempuan didunia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasartahun 2013, prevalensi kanker payudara di Indonesia mencapai 0,5 per 1000 perempuan, sedangkan di provinsi Jawa Tengah telah mencapai 0,7 per 1000 perempuan (Kemenkes RI, 2015). Kanker payudara selain merupakan keganasan yang paling banyak dialami oleh perempuan, namun kanker ini juga merupakan penyakit yang berhubungan dengan penuaan. Resiko seumur hidup untuk tumbuhnya kanker payudara sebagian besar terpusat pada periode pra menopause dan pasca menopause. Menopause setelah usia 55 tahun mempunyai risiko tinggi mengalami kanker payudara (Heffner, 2006). Beberapa faktor yang berisiko meningkatkan kanker payudara seperti faktor usia, genetik, konsumsi alkohol, rokok, kurang aktivitas, hormon estrogen, dan obesitas (Kresnawan, 2012). Peningkatan berat badan atau Indeks Masa Tubuh (IMT) dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara, kolon, prostat dan endometrium, ginjal, dan kandung empedu. Sehingga angka mortalitas juga meningkat seiring dengan peningkatan berat badan (Hamdy et al, 2013). Menurut 1 2 Kresnawan (2012), faktor obesitas meningkatkan risiko sebesar 30% terjadinya kanker. Asupan energi yang berlebihan pada obesitas menstimulasi produksi hormon estrogen, terutama setelah menopause. Terdapat hubungan yang bermakna antara terjadinya kanker payudara dengan berat badan yang berlebih, diet yang tidak seimbang serta kurangnya aktifitas. Faktor hormonal, terutama hormon estrogen diduga dapat meningkatkan faktor risiko kanker payudara. Terdapat tiga bentuk estrogen yang diketahui,estron (E1), estradiol (E2), dan estriol (E3). Estradiol dianggap sebagai estrogen utama karena memiliki tingkat aktivitas yang lebih tinggi dibanding estron dan estriol (E2:E1:E3=10:5:1). Pada jaringan payudara, estrogen akan menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi epitelium, menginduksi aktivitas mitotik sel, menstimulasi pertumbuhan jaringan ikat dan deposit lemak pada payudara. Densitas reseptor estrogen pada payudara akan sangat tinggi pada fase folikuler dan menurun setelah ovulasi. Level estrogen yang tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kanker pada payudara seseorang (Guyton dan Hall, 2008). Immunohistokimia (IHK) saat ini merupakan metode standar untuk menentukan status reseptor hormonal. Beberapa sel kanker payudara memiliki reseptor yang memungkinkan hormon atau protein masuk ke dalam sel kanker. Kanker payudara memiliki reseptor untuk hormon estrogen, progesteron, dan protein HER–2 (Macmillan Cancer Support, 2011). Reseptor hormon positif pada penderita kanker payudara mewakili sebagian besar kanker payudara didunia. Sekitar 60% sampai 75% dari wanita dengan kanker payudara dengan reseptor estrogen positif (ER+) dan 65% dari kanker ini juga memiliki reseptor progesteron positif (PR+). RSUD dr. Moewardi merupakan salah satu rumah sakit tipe A di Jawa Tengah yang melayani beberapa kasus kanker termasuk kanker payudara. Di RSUD Dr Moewardi menurut dokter Elysa bagian Humas dalam Timlo net (2016), pasien kanker sebanyak 500 orang lebih setiap bulannya. Tertinggi adalah kanker serviks dan kanker payudara. Angka tersebut tergolong tinggi dan peningkatannya mencapai 50% (Elysa, 2016). Berdasarkan data dari RSUD dr. Moewardi kasus kanker payudara pada tahun 2014 total rawat inap 3583 pasien dan rawat jalan 9909 3 pasien, sedangkan tahun 2015 mengalami peningkatan dengan jumlah pasien rawat inap menjadi 4596 pasien dan 13.221 pasien rawat jalan. Berdasarkan latar belakang tersebut, sangat perlu dilakukan penelitian tentang hubungan obesitas dengan reseptor hormonal dan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah. B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara: 1. Obesitas dengan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah? 2. Obesitas dengan reseptor hormon estrogen (ER) pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah? 3. Obesitas dengan reseptor hormon progesteron (PR) pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan obesitas dengan reseptor hormonal dan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan obesitas dengan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah b. Mengetahui hubungan obesitas dengan reseptor hormon estrogen (ER) pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah c. Mengetahui hubungan obesitas dengan reseptor hormon progesteron (PR) pada pasien kanker payudara di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menambah referensi terkait obesitas dengan reseptor hormonal dan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kanker Payudara Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Jenis kanker itu sendiri ada 2 macam yaitu Carcinoma dan Sarcoma. Carsinoma adalah kanker sel epitel, sel yang melindungi permukaan tubuh, memproduksi hormon dan membuat kelenjar. Sedangkan Sarcoma adalah kanker Mesodermal, sel yang membentuk otot- otot dan jaringan penghubung (Ranggiasanka, 2010). Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal/terus-menerus dan tidak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari asalnya yang disebut dengan metastasis (Depkes RI, 2009). Kanker payudara adalah tumor ganas yang berasal dari sel kelenjar payudara, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (Darwito, 2009; Depkes RI, 2009; Romauli, 2009). Sebagian besar kanker payudara awalnya membentuk di unit lobular saluran terminal payudara. Jaringan kelenjar yang lebih banyak di bagian luar atas dari payudara sehingga, setengah dari semua kanker payudara terjadi di daerah ini (AJCC, 2006). a. Epidemiologi Kanker tidak hanya satu penyakit, tapi terdiri atas beberapa kelompok penyakit hasil dari pertumbuhan sel yang tidak teratur (Ricci, 2009). Pada tahun 1994 American Cancer Society memperkirakan rata-rata wanita Amerika yang berisiko menderita kanker payudara adalah satu 5 banding delapan. Angka kejadian kanker payudara terbesar di dunia adalah Amerika serikat dan secara spesifik dalam populasi penduduk Hawai, wanita kulit putih di Hawai dan Alameda Country, California Utara. Wanita kulit hitam pada umumnya memiliki insidensi kanker payudara yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita kulit putih yang cenderung insidensinya meningkat (Otto, 2005). b. Faktor Risiko Banyak penelitian yang menunjukkan adanya beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko atau kemungkinan untuk terjadinya kanker payudara. Faktor-faktor itu disebut faktor risiko. Perlu diingat, apabila seseorang perempuan mempunyai faktor risiko, bukan berarti perempuan tersebut pasti akan menderita kanker payudara, tetapi faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinannya untuk terkena kanker payudara. Banyak perempuan yang mempunyai satu atau beberapa faktor risiko, tidak menderita kanker payudara sampai akhir hidupnya. Faktor risiko yang utama berhubungan dengan keadaan hormonal (estrogen dominan) dan genetik. Penyebab terjadinya keadaan estrogen dominan dapat terjadi karena beberapa faktor risiko tersebut di bawah ini dan dapat digolongkan berdasarkan: 1) Umur Seperti pada banyak jenis kanker, insidensi menurut usia naik sejalan dengan bertambahnya usia. Wijaya (2005) mengemukakan kebanyakan kanker payudara terjadi pada wanita yang berusia di atas 60 tahun. Payudara seseorang mengalami perkembangan dan juga kemunduran sesuai umurnya. Wanita memiliki usia efektif untuk hamil dan menghasilkan ASI pada usia 20-35 tahun. Kehamilan pertama yang dialami pada usiayang sudah tidak efektif (di atas 35 tahun) sangat berpotensi memunculkan kelainan sel di dalam payudara. Hal ini juga berlaku pada kehamilan yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) (Nurcahyo, 2010). 6 Ketika wanita dengan usia muda terkena kanker payudara, maka ada kecenderungan perkembangan kanker tersebut lebih agresif dibandingkan wanita dengan usia yang lebih tua. 2) Keturunan Gen BRCA 1 dan BRCA 2 diyakini para ahli medis sebagai jenis gen yang membawa potensi kanker payudara. Gen ini ditemukan pada penderita kanker payudara dan keturunannya. Oleh karenanya, jika seseorang memiliki jejak keluarga pengidap kanker payudara, maka ia perlu segera mengatur pola hidup sehat, sebab ia berpotensi dua kali atau tiga kali lipat lebih besar untuk terjangkit kanker payudara daripada orang yang keluarganya tidak memiliki jejak sebagai pengidap kanker (Nurcahyo, 2010; Grace P.A.,2006). Pada sel yang normal, gen BRCA 1 dan BRCA 2 membantu untuk mencegah terjadinya kanker dengan jalan menghasilkan protein yang dapat mencegah pertumbuhan abnormal. Wanita dengan mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2, mempunyai peluang 80% untuk berkembang manjadi kanker payudara selama hidupnya (Rasjidi I., 2009). 3) Obesitas Obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara masih diperdebatkan. Beberapa penelitian menyebutkan obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara kemungkinan karena tingginya kadar estrogen pada wanita yang obesitas(Ranggiasanka, 2010). Peningkatan berat badan yang bermakna pada saat pasca menopause (Kemenkes RI, 2015). Kemungkinan untuk mendapatkan kanker payudara setelah menopause meningkat pada wanita yang overweight atau obese, karena sumber estrogen utama pada wanita pascamenopause berasal dari konversi androstenedione menjadi estrone yang berasal dari jaringan lemak, dengan kata lain obesitas berhubungan dengan peningkatan paparan estrogen jangka panjang (Indrati, 2005). 7 Kelebihan berat badan, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik, yang menyebabkan 274.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2015) 4) Minuman beralkohol Konsumsi alkohol berlebihan, yang menyebabkan sekitar 351.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2015). 5) Menarche Dini Menarche atau menstruasi pertama pada usia relatif muda (kurang dari 12 tahun) meningkatkan risiko kanker payudara (Kemenkes RI, 2015). 6) Usia Menopause Menopause atau mati haid pada usia relatif lebih tua (lebih dari 50 tahun) (Kemenkes RI, 2015). Periode dari menarche sampai menopause menandakan pemajanan wanita seumur hidupnya terhadap kadar hormon reproduksi yang signifikan. Setiap satu tahun peningkatan usia pada masa menopause, resiko kanker payudara meningkat sekitar 3 persen. 7) Paritas Efek dari jumlah paritas terhadap risiko kanker payudara memang telah lama diteliti. Dalam suatu studi metaanalisis, dilaporkan bahwa wanita nulipara mempunyai risiko 30% untuk berkembang menjadi kanker dibandingkan dengan wanita yang multipara. Sementara itu, studi lain juga menunjukkan adanya penurunan risiko kanker payudara dengan peningkatan jumlah paritas. Level hormon dalam sirkulasi yang tinggi selama kehamilan menyebalkan diferensiasi dari the terminal duct-lobular unit (TDLU), yang merupakan tempat utama dalam proses transformasi kanker payudara. Proses diferensiasi dari TDLU ini bersifat protektif melawan pertumbuhan kanker payudara secara permanen. 8 Belum pernah melahirkan dan melahirkan anak pertama pada usia relatif lebih tua (lebih dari 35 tahun), meningkatkan risiko mengalami kanker payudara (Kemenkes RI, 2015). 8) Menyusui Menurut Kemenkes RI (2015), perempuan yang tidak menyususi risiko mengalami kanker payudara lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menyusui. Menurut penelitian yang lainnya, dikatakan juga bahwa wanita yang menyusui menurunkan risiko kanker dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui. Semakin lama waktu menyusui, semakin besar efek proteksi terhadap kanker yang ada, dan ternyata risiko kanker menurun 4,3% tiap tahunnya pada wanita yang menyusui. (Lancet, 2002) 9) Radiasi Pengion pada Saat Pertumbuhan Payudara Pada masa pertumbuhan, perubahan organ payudara sangat cepat dan rentan terhadap radiasi pengion. 10) Riwayat adanya penyakit tumor jinak Beberapa tumor jinak pada payudara dapat bermutasi menjadi ganas seperti termasuk atipikal ductal hiperplasia(Depkes RI, 2009). 11) Kontrasepsi oral Masih terdapat kontroversi sampai saat ini terkait peran kontrasepsi oral dalam perkembangan kanker payudara. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kontrasepsi oral berperan dalam meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita premenopause, tetapi tidak pada wanita dalam masa pasca menopause. 12) Terapi sulih hormon (TSH) Dari studi metaanalisis ditunjukkan bahwa terapi sulih hormon (TSH) dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Ada peningkatan risiko sebesar 2,3% tiap tahunnya pada wanita pascamenopause yang memakai TSH. Studi lain yang melibatkan 725.550 wanita didapatkan ternyata risiko kanker meningkat pada pengguna TSH estrogen tunggal atau dengan kombinasi estrogen-progesteron (RR=1.32 dan 9 1,41). Namun, dari penelitian yang dilakukan di U.K, didapatkan bahwa penggunaan TSH kombinasi antara estrogen-progesteron lebih besar meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara jika dibandingkan dengan hanya menggunakan TSH estrogen tunggal. Selain itu, juga risiko meningkat pada pemakaian TSH kombinasi dalam jangka waktu >10 tahun, daripada penggunaan TSH selama 1-4 tahun. Risiko kanker menurun saat pemakaian dihentikan, dan risiko wanita yang pernah memakai TSH hampir sama dengan yang belum pernah menggunakannya. (Beral,V, 2003). Para peneliti di dunia telah menyatakan bahwa hormon buatan yang ditambahkan ke dalam tubuh, berpotensi menghasilkan tumpukan radikal bebas atau berhentinya kelenjar hormon asli yang jika terus terjadi dapat memicu kelainan pertumbuhan sel (Nurcahyo, 2010). Banyak wanita yang menjalani terapi hormon untuk meredakan gejala menopause dan pasca menopause. Xerostomia pada wanita menopause terjadi karena adanya perubahan hormonal yang terjadi pada masa menopause. 13) Jenis Kelamin Kanker payudara merupakan keganasan yang paling banyak dialami oleh perempuan sebesar 99 % (Heffner, 2006). 14) Perokok Merokok, yang menyebabkan terjadinya sekitar 1,5 juta kematian akibat kanker setiap tahunnya (60% kematian terjadi di negara berpenghasilan rendah-menengah) (Kemenkes RI, 2015). Seorang perokok mempunyai risiko untuk mengalami kanker payudara, meskipun risiko itu relatif rendah (Chu dan Kim, 2015). c. Patogenesis Patogenesis terjadinya kanker payudara juga disebut karsinogenesis. Pada tahun 1950 diketahui bahwa hormon steroid memegang peranan penting untuk terjadinya kanker payudara. Tahun 1980 mulai terbuka pengetahuan tentang adanya beberapa onkogen dan gen 10 suprespor, keduanya memegang peranan penting untuk progresi tumor, adhesi antar sel dan faktor pertumbuhan. Abad 20, mulailah diketahui tentang siklus sel serta perbaikan DNA dan kematian sel (apoptosis) serta regulasinya. Kemudian abad 21 ini mulai berkembang pengetahuan yang menguak tentang kegagalan terapi kanker. Mekanisme resistensi terhadap kemoterapi, antiestrogen, radiasi dan pengetahuan tentang proses invasi, angiogenesis dan metastasi. Pada tahun 1971 Folkman menyampaikan bahwa pertumbuhan tumor tergantung pada angiogenesis dimana tumor akan mengaktifkan endothelial sel untuk berproliferasi dengan mengeluarkan respon kimia. Hipotesis Folkman ini memperlihatkan bahwa tumor sangat memerlukan angiogenesis untuk dapat tumbuh di atas ukuran 1-2 milimeter. Angiogenesis ini diatur secara ketat, melalui proses tahapan yang rumit dan hanya pada keadaan tertentu seperti proses penyembuhan luka serta proliferasi sel kanker. Penghambatan angiogenesis menjadi target terapi yang mempunyai harapan dimasa depan. Pembelahan sel tumor yang dipacu oleh angiogenic stimulatory peptides akan menyebabkan tumor menjadi cepat tumbuh serta akan mudah invasi ke jaringan sekitar, dan metastase. Sebaliknya, pembelahan sel tumor yang diberikan inhibitors angiogenesis akan menghambat pertumbuhan tumor, invasi dan mencegah metastase. Beberapa penelitian melaporkan bahawa terdapat hubungan terbalik antara ekspresi gen VEGF dan overall survival. Sel tumor dengan overekspresi VEGF akan mempunyai prognosa yang buruk, serta semakin pendek overall survivalnya. Ekspresi VEGF juga berhubungan dengan respon yang kurang baik terhadap terapi hormonal maupun kemoterapi (Darwito, 2009). d. Pemeriksaan kanker payudara Penapisan pada kanker payudara yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Pemeriksaan klinis payudara oleh tenaga medis terlatih (clinical breast examination/CBE) 11 a) Perempuan yang pertama kali mengalami haid dianjurkan melakukan sadari b) Perempuan usia 20-39 tahun dianjurkan melakukan CBE setiap 3 tahun sekali c) Perempuan yang mendapatkan kelainan pada saat sadari dianjurkan melakukan CBE d) Perempuan berusia di atas 40 tahun dilakukan CBE setiap tahun. 2) Pemeriksaan ultrasonography (USG) a) Apabila pada CBE ditemukan ada benjolan, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa USG maupun mammografi b) USG dilakukan untuk membuktikan adanya massa kistik dan solid/ padat yang mengarah pada keganasan. 3) Pemeriksaan penapisan Mammografi a) Perempuan di atas 40 tahun dianjurkan melakukan pemeriksaan mamografi setiap tahun b) Dilakukan pada perempuan yang bergejala maupun yang tidak bergejala e. Klasifikasi Kanker payudara dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek yang berbeda. Setiap aspek memengaruhi respon prognosis dan pengobatan. Klasifikasi kanker payudara mencakup beberapa aspek meliputi: 1) Stadium kanker payudara Stadium menggunakan klasifikasi TNM, seperti ukuran tumor (T), ada atau tidak penyebaran ke kelenjar getah bening (N) di ketiak, dan ada atau tidak metastasis (M) jauh. Ukuran tumor, pennyebaran ke kelenjar getah bening regional, dan metastasis memiliki nomor stadium dan makin besar nomor stadium prognosis makin buruk. Stadium pada kanker payudara adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Stadium Kanker Payudara Stadium Keterangan 0 Kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh/saluran payudara dan kelenjar-kelenjar susu pada payudara 1 Tumor masih sangat kecil dan tidak menyebar serta tidak ada titik pada pembuluh getah bening. 12 IIa IIb IIIa IIIb IIIc IV a. Diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan telah ditemukan titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak, atau b. Diameter tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm. Belum menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak, atau c. Tidak ada tanda-tanda tumor payudara, tapi ditemukan pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak a) Diameter tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm, atau b) Telah menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak, atau c) Diameter tumor lebih lebar dari 5 cm tapi belum menyebar a) Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan telah menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak, atau b) Diameter tumor lebih besar dari 5 cm dan telah menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan pembengkakan, bisa juga luka bernanah di payudara. Bisa sudah atau bisa juga belum menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di ketiak dan lengan atas, tapi tidak menyebar ke organ lain dari organ tubuh. Sama dengan stadium IIIb, tetapi lebih menyebar ke titiktitik pembuluh getah bening dalam group N3. Ukuran tumor bisa berapa saja tetapi telah menyebar ke lokasi yang jauh (tulang, paru-paru, liver, atau tulang rusuk). 2) Histopatologi Merupakan klasifikasi penting dari kanker payudara berdasar gambaran histologik. Sebagian besar kanker payudara berasal dari lapisan epitel duktus, diklasifikasikan sebagai karsinoma duktal dan dari lapisan epitel lobulus disebut karsinoma lobulus. Karsinoma insitu merupakan sel kanker yang proliferasi dalam jaringan epitel belum invasi ke jaringan sekitar. Sebaliknya, karsinoma invasive apabila telah menyerang jaringan di sekitarnya. 3) Grade Grading adalah penilaian terhadap morfologi sel yang dicurigai sebagai bagian dari jaringan tumor. Penilaian kanker didasarkan pada 13 ukuran dari sel–sel tumor dimana semakin pleomorfik sel–sel tersebut berarti derajatnya makin jelek, jumlah sel yang mengalami mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal, dan susunan homogenitas dari sel. Nomenklatur yang digunakan untuk kanker payudara yakni dengan penomoran sesuai kriteria American Joint Comission on Cancer dikelompokkan menjadi: a) Grade I Kanker dengan diferensiasi baik (well differentiated) dimana sel kanker masih mirip dengan sel asalnya. b) Grade II Kanker dengan differensiasi moderat (moderately/intermediate differentiated.) c) Grade III dan Grade IV Kanker dengan differensiasi jelek (poorly differentiated) dan Grade IV untuk kanker anaplastik atau undifferentiated. Umumnya Grade III dan Grade IV digabung menjadi satu dan dikategorikan sebagai high grade. 4) Status Reseptor Sel memiliki reseptor pada permukaan, dalam sitoplasma dan inti. Chemical messengers seperti hormon apabila ditangkap reseptor hormon menyebabkan perubahan dalam sel. Pada kanker payudara dikenal tiga reseptor penting yaitu reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR), dan HER2/neu. Sel yang tidak memiliki reseptor ini disebut basal-like atau triple negatif. Jenis kanker ER + bergantung pada estrogen untuk pertumbuhan kanker, sehingga kanker tersebut dapat diobati dengan obat untuk memblokir efek estrogen misalnya tamoxifen. Kanker dengan ER+ memiliki prognosis yang lebih baik. Kanker dengan HER2+ memiliki prognosis lebih buruk. 5) DNA microarray Banyak penelitian telah membandingkan sel normal dengan sel kanker payudara dan menemukan perbedaan dalam ratusan gen, tetapi arti dari sebagian besar perbedaan tidak diketahui dengan pasti. Adanya 14 mutasi pada salah satu dari dua gen BRCA1 dan BRCA2, memberi risiko kanker payudara seumur hidup antara 60% dan 85%. Mutasi gen ini didapatkan hanya 2 hingga 3% dari keseluruhan kanker payudara. 2. Obesitas Obesitas adalah suatu kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh yang terakumulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan, yang kemudian menurunkan harapan hidup dan/atau meningkatkan masalah kesehatan (Haslam, 2005). Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009). Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik, maupun keduanya (Misnadierly, 2007). a. Penentuan Obesitas Cara menentukan seseorang apakah mengalami obesitas atau tidak, dengan menghitung Body Mass Indeks (BMI) atau disebut juga dengan Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kwadrat tinggi badan dalam ukuran meter (Arisman,2007). Rumus menghitung IMT: πΌππ = π΅π΅ (ππ) ππ΅ (π)2 b. Obesitas dengan kanker payudara Dalam siklus normal atau sebelum gejala menopause bagi wanita, tempat primer hormon estrogen disintesis di ovarium, namun estrogen juga diproduksi dalam jaringan lemak. Setelah menopause, ketika ovarium berhenti memproduksi hormon, jaringan lemak (payudara, perut, paha, dan bokong) menjadi sumber estrogen yang paling penting, dimana tingkat estrogen pada wanita pasca menopause adalah lebih tinggi sebanyak 50 15 hingga 100 persen berbanding wanita berat badan normal/ideal. Biosintesis estrogen dikatalisis oleh enzim aromatase (P450 aromatase), merupakan produk dari gen CYP19. Aromatase mengkatalisis aromatisasi cincin A dari C19 androgen ke Cincin A estrogen fenol C18. Enzim aromatase juga meningkat seiring dekat peningkatan usia dan IMT. Faktor lain, seperti faktor tumor nekrosis (TNF-alpha) dan interleukin-6 (IL-6) juga disekresikan oleh sel adiposit dan bertindak secara autokrin atau parakrin untuk merangsang produksi aromatase. Estrogen penting untuk pengembangan susu normal dan pertumbuhan duktal dan memainkan peran sentral dalam perkembangan kanker payudara manusia. Paparan estrogen atau peningkatan reseptor estrogen (ER) dalam sel epitel mammary (human mammary epithelial cells;HMECs) meningkatkan resiko kanker payudara. Obesitas juga menyumbang kepada hiperinsulinemia. Dalam sindrom metabolik, jaringan tidak mampu menyerap, menyimpan dan memetabolisme glukosa secara efisien. Oleh itu, untuk mencegah peningkatan jumlah glukosa, pankreas mensekresi sejumlah insulin. Insulin boleh merangsang sintesis DNA dan sangat penting bagi pertumbuhan sel secara in vitro. Hiperinsulinemia mempengaruhi tumorigenesis dengan berkontribusi terhadap sintesis dan aktivitas IGF-1, faktor pertumbuhan yang semakin diakui sebagai penting untuk kanker payudara. IGF-1 bertindak secara endokrin, parakrin atau autokrin untuk mengatur pertumbuhan sel, transformasi dan diferensiasi dan dapat bersinergi dengan faktor-faktor pertumbuhan lainnya (estrogen) untuk menghasilkan peningkatan efek mitogenik. Jadi ekspresi IGF-1 adalah sangat efektif dalam mempromosikan pertumbuhan tumor (Lorincz dan Sukumar, 2006). Mekanisme estrogen merangsang proliferasi sel adalah melalui aktivasi ER yang melalui siklus MAPK (mitogen-activated protein kinase).Tanpa kehadiran estrogen, insulin dan IGF juga bisa merangsang aktivasi ER. Bersama-sama, IGF-1 dan estradiol dapat meningkatkan 16 pengaktifan transkripsional ER ke tingkat yang lebih besar dan mengarah ke tumorgenesis (Lorincz dan Sukumar, 2006). Peningkatan sel adiposit akan menyebabkan peningkatan kosentrasi insulin dan IGF. Peningkatan insulin dan IGF akan menyebabkan penurunan SHBG (sex-hormone binding globulin). Dalam satu kajian terhadap wanita obese (IMT>30kg/m2), kosentrasi SHBGnya lebih rendah berbanding wanita normal dengan IMT < 22kg/m2. SHBG mengikat testosteron dan estradiol dengan afinitas yang tinggi. Penurunan SHBG dalam obesitas akan meningkatkan bioavaibilitas estradiol yang bersirkulasi. Resiko kanker payudara telah terbukti secara langsung berhubungan dengan konsentrasi hormon seks seperti estrone dan estradiol. Maka SHBG merupakan faktor regulator kepada estradiol dalam sel kanker payudara. SHBG bertindak sebagai faktor anti-proliferasi, jadi wanita obese mempunyai resiko relatif lebih tinggi menghidapi kanker payudara. Leptin juga merupakan faktor pertumbuhan untuk kanker payudara. Dalam perbandingan, reseptor leptin tidak terdeteksi dalam selsel epitel normal, sedangkan sel kanker menunjukkan pewarnaan positif bagi Ob-R (reseptor isoform bagi leptin) dalam 83% kasus ( Lorincz dan Sukumar, 2006). Leptin yang merupakan salah satu produk dari adiposit dan penanda khusus yang berkaitan dengan obesitas, melalui leptin signaling dan kemampuan crosstalk-nya ke beberapa signaling pathway, salah satunya adalah mampu mengaktivasi reseptor HER-2/NEU baik melalui aktifasi EGFR ataupun aktifasi JAK-2 (Guo et al., 2012) Konversi dari steroid pada jaringan perifer tidak selalu dalam bentuk yang aktif. Androgen yang bebas akan diubah menjadi estrogen bebas, contohnya pada jaringan kulit dan sel lemak. Lokasi dari sel lemak akan mempengaruhi kerja androgen. Wanita yang gemuk, akan menghasilkan lebih banyak androgen. 17 `` Gambar 2.1 Jalur penghubung obesitas dengan kanker payudara (Sinicrope, 2010) 3. Biologi Molekuler Kanker Payudara Klasifikasi terkini dari molekular kanker payudara secara umum didasarkan pada profil ekspresi gen yang meliputi; a. Marker yang berhubungan dengan luminal, seperti cytokeratin (CKs) b. Hormon reseptor, seperti ER, PR dan Androgen reseptor c. Growth factor receptors, seperti Human epidermal growth factor receptor (HER) d. Anti apoptosis, seperti Bcl-2 dan p53 e. Cell proliferation indicators, seperti Ki-67, dan survivin f. Cell invasion related factor, seperti matrix metaloproteinase (MMP) dan integrin g. Signal trasduction pathway member, seperti PI3K/AKT pathway h. Cell cycle control, seperti cyclin dan cyclin dependent kinase (CDKs) (Zhang, M.H. et al 2013) 18 Ekspresi dari biomarker pada kanker payudara telah luas digunakan untuk indikator prognostik dan prediktif terhadap terapi hormonal dan kemoterapi. Saat ini biomarker yang paling sering dipakai sebagai indikator prognostik dan prediktif terhadap terapi hormonal dan kemoterapi adalah Estrogen reseptor (ER), Progesteron reseptor (PR), human epidermal growth factor (HER 2) dan proliferasi dari ki-67 (Haron S,et al 2013) 4. Reseptor Hormonal a. Reseptor Hormon Estrogen Estrogen dikenal sebagai hormon wanita yang utama bersama dengan progesteron, karena mempunyai peranan penting dalam pembentukkan tubuh wanita dan mempersiapkan fungsi wanita secara khusus seperti terjadinya kehamilan, pertumbuhan payudara, dan panggul. Disisi lain, vagina, uterus, dan organ wanita lainnya sangat tergantung keberadaan estrogen pada tubuh sampai usia dewasa. Pengaturan estrogen membuat terjadinya perubahan setiap bulannya dan mempersiapkan uterus untuk terjadinya kehamilan. Reseptor estrogen adalah suatu faktor yang dapat diperiksa untuk memprediksi kanker payudara. Paparan terhadap estrogen adalah faktor resiko untuk terjadinya kanker payudara. Ada dua reseptor estrogen yang dikenal yaitu reseptor estrogen alpha (ER-α) dan estrogen reseptor beta (ER-β), yang merupakan protein inti. Kedua reseptor mengandung DNAbinding dan hormone-binding. Estrogen akan masuk ke dalam sel, tapi hanya sel yang mengandung reseptor estrogen yang akan merespon. Keduanya merupakan faktor transkripsi yang memperantarai kerja estrogen. Keduanya mengikat estradiol pada lokasi yang sama, namun berbeda afinitas dan respon yang dihasilkannya. ERα ditemukan lebih dulu, dan kemudian diubah namanya dari ER menjadi ERα saat ditemukan subtipe yang kedua (Payne, 2008). ERα berperan dalam proliferasi sel, sebaliknya ERβ dapat menghambat proliferasi sel melalui penghambatan transkripsi gen dan berperan sebagai supresor tumor (Fox et al., 2008). Kedua bentuk reseptor estrogen ini dikode oleh gen yang berbeda, yaitu ESR1 dan ESR2 pada kromosom 6 dan 14 (6q25 dan 14q). Kedua 19 reseptor ini diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan, yang berbeda, dengan pola ekspresi yang berbeda pula. Erα ditemukan pada endometrium, sel-sel kanker payudara, sel stroma ovarium, dan di hipothalamus. Erβ ditemukan pada ginjal, otak, tulang, jantung, mukosa usus, prostat, dan sel-sel endotel. ER dalam fase unligand merupakan reseptor sitoplasma, namun penelitian menunjukkan adanya fraksi ER yang bergeser ke dalam inti (Weigel MT, Dowsett M, 2010). Reseptor ini biasanya berlokasi pada inti, tetapi dapat berpindah ke sitoplasma melalui proses yang disebut nucleocytoplasmic shuttling. Setelah estrogen mengikat reseptor, kemudian terjadi aktivasi transkripsi. Hal ini juga diketahui bahwa estradiol memiliki efek negatif memberikan umpan balik pada sekresi follicle stimulating hormone (FSH). Efek negatif-umpan balik ini adalah efek langsung dari estradiol digabungkan ke reseptor, menyebabkan represi FSH-β pada subunit transkripsi (Beshay,2013). Gambar 2.2. Fungsi estrogen dengan multipel Pathway (Mohibi et al., 2011) Kadar estrogen diproduksi sedikit oleh wanita pascamenopause terutama berasal dari aromatisasi adrenal dan androgen ovarium pada 20 jaringan ekstragonad seperti pada hati, otot dan jaringan lemak. Mekanisme yang mengontrol produksi estrogen pada wanita pasca menopause tidak jelas. Kedua sitokrom CYP 17 (mengkode P-450 aromatase) terlibat dalam biosintesis estrogen, dan polimorfisme dari kedua gen telah diidentifikasi pada populasi umum. Wanita yang heterozigot dan homozigot untuk polimorfisme sitokrom CYP 17 memiliki kadar serum estradiol yang tinggi. Namun pada tiga penelitian, polimorfisme tidak dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker payudara. Pada empat penelitian dari karier polimorfisme, juga tidak terdapat peningkatan insiden kanker payudara, tapi resiko kejadian kanker payudara lebih tinggi pada karier dibandingkan pada non karier (resiko relative 2,5). Penelitian yang menilai polimorfisme dari gen P-450 aromatase mengindikasikan bahwa terdapat variasi genetik yang berhubungan dengan peningkatan resiko kanker payudara. Terdapat variasi tissue-spesific promoter dari ekspresi gen aromatase yang menghasilkan estrogen. Sebagai contoh, sintesis aromatase mRNA pada payudara normal distimulasi oleh promoter ini. Namun pada kanker payudara perubahan promoter dari PI ke PII dan PI.3 yang lebih aktif dapat menyebabkan peningkatan sintesis aromatase mRNA. Mekanisme perubahan promoter tidak jelas, tapi dapat melibatkan transkripsi faktor spesifik ke sel kanker payudara. Aromatisasi kanker payudara menghasilkan peningkatan kadar estrogen pada jaringan payudara, yang dapat mengkontribusi pertumbuhan sel kanker pada keadaan parakrin atau autokrin. Penekanan tissue-spesific inhibitors dari promoter dapat menyebabkan peningkatan sintesis aromatase mRNA. Namun aromatase gen dapat berperan sebagai onkogen yang menginisiasi bentuk tumor pada jaringan payudara (Clemons, 2009). Sekitar dua per tiga wanita penderita karsinoma payudara berumur <50 tahun mempunyai ekspresi ER(+), sementara sekitar 80% tumor pada wanita berusia >50 tahun adalah ER(+). Hal ini mempunyai implikasi terapeutik yang signifikan (Payne, 2008). Secara umum konsentrasi ER lebih rendah pada wanita premenopause daripada post menopause. ER yang mengalami overekspresi pada sekitar 70% kanker payudara disebut 21 ER(+). Adanya ER(+) berhubungan secara signifikan dengan derajat inti yang tinggi dan derajat histopatologi yang rendah, tidak adanya nekrosis, dan usia pasien yang lebih tua (Rosai, 2004). ER mengalami over-ekspresi pada sekitar 70% kanker payudara yang kemudian disebut ER positif. Mekanisme proses karsinogenesis pada kanker payudara dapat terjadi melalui ikatan estrogen pada ER, menstimulasi proliferasi sel-sel payudara yang menimbulkan peningkatan pembelahan sel dan replikasi DNA yang menimbulkan mutasi, dan metabolisme estrogen memproduksi limbah yang toksik terhadap gen dan metabolit yang menyebabkan mutasi. Kedua proses akan menyebabkan inisiasi, promosi, dan proses karsinogenesis (Yager JD, 2006). Hal ini menyebabkan ER mempunyai peran penting dalam proses karsinogenesis, dan penghambatannya melalui targeting endokrin, baik secara langsung dengan menggunakan agonis lemah estrogen (selective estrogen receptor modulators) maupun secara tidak langsung dengan mengeblok perubahan androgen menjadi estrogen (misalnya : aromatase inhibitor), merupakan terapi terhadap kanker payudara. Tumor payudara yang ER+ dan/ atau PR+ mempunyai resiko mortalitas lebih rendah daripada ER- dan / atau PR- (Payne et al, 2008). b. Reseptor Hormon Progesteron Reseptor progesteron (PR) adalah gen yang diregulasi oleh estrogen, karena itu ekspresinya mengindikasikan adanya jalur ER yang sedang aktif. Penilaian ekspresi PR dapat membantu memprediksi respons terhadap terapi hormonal secara lebih akurat. Sejalan dengan hal ini ada beberapa fakta yang menyatakan bahwa tumor–tumor dengan ekspresi PR yang positif mempunyai respons lebih bagus terhadap tamoxifen, baik pada penderita dengan metastase dan sebagai terapi adjuvant. Sekitar 55– 65% kanker payudara adalah PR(+). Tumor–tumor PR(+) menunjukkan prognosis lebih baik daripada PR(–). Dari penelitian–penelitian yang sudah ada telah dinyatakan bahwa PR(+) sangat sedikit didapatkan pada tumor dengan ER(–), sehingga PR(+) kuat pada kasus dengan ER yang 22 tampaknya negatif bisa merupakan indikator adanya ER(–) palsu (Ellis, 2003). Berdasarkan ekspresi hormonalnya kanker payudara dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu kelompok positif ganda ER(+)/PR(+), positif tunggal ER(+)/PR(–) dan ER(–)/PR(+), serta negatif ganda ER(– )/PR(–). Tumor positif ganda (55–65% kanker payudara) mempunyai prognosis yang lebih baik dan respons yang bagus terhadap hormonal terapi. Kelompok ini juga dikaitkan dengan umur yang lebih tua, derajat yang lebih rendah, ukuran tumor lebih kecil, dan mortalitas yang rendah. Tumor yang negatif ganda yang merupakan kelompok terbesar kedua (18– 25%) sekitar 85%–nya merupakan tumor derajat 3, dan dihubungkan dengan tingkat rekurensi yang tinggi, ketahanan yang rendah, dan tidak responsif terhadap terapi hormonal. Sementara untuk kelompok yang positif tunggal, ER(+)/PR(–) (12–17%) dan ER(–)/PR(+) (1–2%) masih belum banyak dimengerti konsekuensinya. Kelompok ini dapat dihubungkan dengan derajat histopatologi yang tinggi, prognosis yang buruk, dan ukuran tumor yang besar (Ellis, 2003). Progesteron reseptor (PR) sama pentingnya dengan estrogen reseptor (ER) pada kanker payudara invasif. Pada kanker payudara invasif, ekspresi dari PR memiliki prognostik yang lemah terhadap disease free survival dan juga sebagai prediktor terhadap terapi hormonal. Dari 28 studi tentang PR didapat ekspresi dari PR rata rata 59,6% ( 40-83,3%). Seperti ER, ada hubungan terbalik antara ekspresi PR dan grading inti. Pasien dengan high grade DCIS memiliki ekspresi PR positif yang lebih rendah dibanding dengan pasien non-high grade DCIS ( Lari SA and Kuerer HM, 2011). Ekspresi dari PR sangat kuat ketergantungannya dengan keberadaan ER. Tumor dengan ekpresi PR positif tetapi ER negatif sangat jarang dan hanya berkisar < 1% dari semua kasus kanker payudara( Viale et al.2008). Berdasarkan alasan ini, tumor dengan ekspresi positif PR dengan ER negatif harus dilakukan pemeriksaan ulang untuk menghindari false negatif pada ER. Ada bukti nyata bahwa pada kanker payudara yang 23 metastase dengan ekspresi positif pada kedua reseptor ER dan PR memiliki respon terapi anti estrogen yang lebih baik dibandingkan hanya ekspresi ER yang positif (Elledge et al.2000). 5. Human Epidermal Growth Factor Receptor–2 (HER–2) HER–2 merupakan anggota dari family Erb dari reseptor transmembran tirosin kinase yang dikode oleh gen HER–2. Family ini termasuk reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR), HER–2, HER–3, dan HER–4. HER–2 ini berfungsi untuk mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan kelangsungan hidup. Amplifikasi gen HER–2 terjadi pada 20% sampai 25% dari kanker payudara, dan berhubungan dengan differensiasi buruk, keganasan tumor yang lebih tinggi, resistensi terhadap terapi, kekambuhan yang tinggi, insiden yang lebih tinggi dari metastasis otak, prognosis buruk, presentase sel yang berproliferasi lebih tinggi, aneuploid DNA, dan reseptor hormonal yang lebih sedikit (reseptor estrogen dan reseptor progesteron) (Chabner & Longo, 2011). Gen HER–2 merupakan proto–onkogen yang ditemukan pada kromosom 17 dan berfungsi sebagai reseptor membran sel. Gen HER–2 mengkode glikoprotein transmembran 185–kDa yang memiliki aktifitas intrinsik protein kinase. Gen HER–2 berperan dalam regulasi pertumbuhan, proliferasi, dan pembelahan sel normal, namun reseptor mengekspresikan di permukaan sel dalam jumlah sedikit. HER–2 terdiri atas domain ekstraseluler, domain transmembran, dan domain intraseluler. Peningkatan ekspresi gen HER–2 menyebabkan peningkatan proliferasi, metastasis, dan menginduksi angiogenesis dan anti–apoptosis (Gray & Gallick, 2010; Grushko & Olopade, 2008). Belakangan ini HER–2 telah dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin, karena fungsinya sebagai petanda prognosis kanker. HER–2 positif (+) sering dihubungkan dengan diferensiasi buruk, metastase ke kelenjar getah bening, rekurensi, dan tingkat kematian yang tinggi sehingga prognosisnya buruk (Payne, 2008). Tiga mekanisme sel penyebab prognosis buruk pada overekpresi HER–2 adalah overekspresi HER–2 dapat meningkatkan 24 metastasis sel - sel kanker, seperti angioinvasi dan angiogenesis, selain itu juga dapat menyebabkan resistensi terhadap terapetik sehingga menyebabkan respon buruk terhadap terapi, hal ini mungkin juga berhubungan dengan tidak adanya respon hormon steroid pada HER–2(+). Selain itu proliferasi yang tinggi dengan karakteristik fase–S yang tinggi yang diduga berhubungan dengan ukuran tumor. HER–2 memiliki korelasi yang sangat kuat dengan tumor grading tinggi, kurangnya reseptor estrogen, dan meningkatnya level S– phase, MIB–1 dan Ki–67 (Conzen et al., 2008). Peneliti lain menyatakan bahwa ekspresi HER–2 yang tinggi berhubungan dengan angka ketahanan yang menurun, respons terhadap methotrexate, modulator reseptor hormonal yang menurun, dan respon terhadap doxorubicine yang meningkat (Lee, 2007). Status HER–2 merupakan faktor prediktif untuk respons terhadap kemoterapi dengan menggunakan trastuzumab (HerceptinTM, Genetech, South San Fransisco, CA, USA). Trastuzumab adalah antibodi monoklonal yang pada beberapa studi terbukti memperbaiki survival baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi dengan kemoterapi pada penderita kanker payudara dengan metastasis (Payne, 2008). Tabel sistem grading disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2.1 Grade Her-2/Neu Grade 0 1 2 3 Deskripsi Tidak ada reaktivitas/ reaktivitas pada membran <10% dari sel tumor Samar/ reaktivitas membran hampir tidak terlihat pada >10% sel tumor. Sel tumor imunoreaktif hanya sebagian dari membran Reaktivitas membran lemah sampai sedang terlihat pada > 10% sel tumor. Reaktivitas membran kuat terlihat pada > 10% sel tumor. Interpretasi Negatif Negatif Reaktivitas Borderline Positif Sumber: Ellis, 2003 6. Obesitas, Reseptor Hormonal dan HER-2 dengan Kanker Payudara Obesitas pada wanita pasca menopause memiliki resiko tinggi terjadinya kanker payudara dibandingkan pada wanita pasca menopause tanpa obesitas. Sedangkan obesitas yang terjadi di masa remaja pada wanita pre menopause, beberapa studi menunjukkan adanya kejadian 25 berkembang menjadi kanker payudara dan studi yang lain tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Hal ini dihubungkan dengan adanya peningkatan kadar estrogen dalam darah, pada obesitas akan memicu peningkatan produksi estrogen aktifitas aromatase pada jaringan adiposa payudara. Kanker payudara adalah suatu bentuk keganasan pada payudara yang dapat terjadi pada sistem duktal, sistem lobular, dan jaringan stromal payudara itu sendiri, serta dapat menyebar secara infiltratif, melalui aliran limfe maupun aliran darah (Desen, 2008). Estrogen memberikan efek meningkatkan proliferasi sel dan pertumbuhan yang berperan penting dalam perkembangan payudara normal. Namun estrogen juga berperan penting dalam menginduksi kanker payudara. Oleh karena itu, sejak lama estrogen sudah dikaitkan dengan lemak tubuh dan proses induksi tumor payudara. Jaringan lemak merupakan sumber untuk memproduksi estrogen sebagai akibat adanya proses aktifitas aromatase yang akan mengkonversi androgen menjadi estron, dan dikonversi menjadi 17β-estradiol yang merupakan bentuk estrogen yang paling potensial. Dengan demikian, meningkatnya jaringan lemak (adiposa) payudara dapat meningkatkan terpaparnya kelenjar payudara oleh estrogen. Penelitian in vitro dengan menggunakan sel kanker payudara manusia, telah memberikan bukti bahwa estrogen memiliki efek mitogenic pada sel kanker payudara (Cleary, 2010). Disamping itu, adanya peningkatan kadar leptin dalam serum merupakan penanda khusus dari obesitas, ternyata berkaitan erat dengan resiko terjadinya kanker, termasuk kanker payudara. Dan leptin signaling dan kemampuan crosstalk-nya dengan beberapa signaling pathway memiliki peranan penting dalam pertumbuhan sel kanker payudara, migrasi, invasi, angiogenesis, dan metastasis (Guo et al., 2012). Ekspresi dan fungsi dari ER, PR, dan human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) memiliki implikasi untuk terapi antiestrogen pada kanker payudara. Ada sejumlah studi menunjukkan obesitas dan reseptor kanker payudara memiliki gambaran kompleks saling 26 ketergantungan pada status premenopause kontra menopause dan perkembangan tumor. Ada dua bentuk yang berbeda dari ER (ERα dan ERβ). ERα adalah reseptor yang umumnya dilaporkan menyebabkan peningkatan proliferasi sel. Sedangkan Erβ dikaitkan dengan prognosis yang menguntungkan. PR memiliki dua bentuk utama (PRA dan PRB) yang berasal dari gen tunggal melalui aktivasi dua promotor yang berbeda. Penelitian telah menunjukkan bahwa BMI berkorelasi positif dengan kedua ER + dan PR + tumor pada wanita pascamenopause. Jumlah berat bedan yang diperoleh dari usia 18 atau 20 tahun juga telah berkorelasi langsung dengan kedua ER + dan PR + kanker payudara. HER2 adalah faktor reseptor pertumbuhan yang berperan dalam mengatur proliferasi sel dan berhubungan dengan jenis agresif kanker payudara. Kombinasi peningkatan tingkat HER2 dan PR langsung berkorelasi dengan BMI pada wanita menopause, tetapi berbanding terbalik pada wanita premenopause. Sebaliknya ketika ekspresi HER2 sendiri dinilai berbanding terbalik dengan BMI pada wanita pasca menopause. Ekspresi ER dan PR mungkin yang paling penting selama tahap awal perkembangan tumor, tetapi tidak dalam perkembangan selanjutnya (Cleary, Grossman, 2009). Gambar 2.3 Mekanisme Obesitas, Reseptor hormonal dan HER-2 dengan kanker payudara. (Guo et al., 2012) 27 7. Klimakterium Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dengan masa senium yang bersifat fisiologis dan terjadi sekitar usia 40 tahun ke atas. Masa ini berlangsung beberapa tahun sebelum sampai sesudah menopause (Lestari, 2013). a. Fase Klimakterium terdiri atas: 1) Pra menopause Masa pra menopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause, sekitar usia 40 tahun dengan dimulainya siklus haid yang tidak teratur, memanjang, sedikit, atau banyak, yang kadang-kadang disertai dengan rasa nyeri. Pada wanita tertentu telah muncul keluhan vasomotorik atau keluhan sindroma prahaid. Dari hasil analisis hormonal dapat ditemukan kadar FSH dan estrogen yang tinggi atau normal. Kadar FSH yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya stimulasi ovarium yang berlebihan sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi. Keluhan yang muncul pada fase pra menopause ini ternyata dapat terjadi baik pada keadaan sistem hormon yang normal maupun tinggi. 2) Perimenopause Perimenopause ditandai dengan terjadinya perubahan kearah menopause, yang berkisar antara 2-8 tahun, ditambah dengan 1 tahun setelah menstruasi terakhir. Tidak diketahui secarapasti untuk mengukur berapa lama fase perimenopause berlangsung. Hal ini merupakan keadaan alamiah yang dialami seorang wanita dalam kehidupannya yang menandai akhir dari masa reproduksi. Penurunan fungsi indung telur selama masa perimenopause berkaitan dengan penurunan estrogen dan progesteron serta hormon androgen. Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovarium mulai berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum dan berhenti memproduksi estradiol, kelenjar hipofise berusaha merangsang ovarium untuk menghasilkan estrogen, sehingga terjadi peningkatan produksi FSH. 28 Terdapat peningkatan 10-20 kali lipat pada kadar FSH dan 3 kali lipat pada kadar LH, yang mencapai kadar maksimal 1-3 tahun setelah menopause. Peningkatan kadar FSH dan LH saat ini dalam kehidupan adalah bukti dari terjadinya kegagalan ovarium. Meskipun perubahan ini mulai terjadi 3 tahun sebelum menopause, penurunan produksi estrogen oleh ovarium baru tampak sekitar 6 bulan sebelum menopause. 3) Menopause Menopause merupakan keadaan perempuan yang mengalami penurunan fungsi indung telur, yang berakibat menurunnya fungsi hormon estrogen, sehingga haid terhenti untuk selamanya (Pinem, 2009; Lestari, 2013). Usia perempuan menopause rata-rata kisaran 4555 tahun (Norwitz, 2007).Dikatakan menopause, jika dalam 12 bulan terakhir tidak mengalamimenstruasi dan tidak disebabkan oleh hal patologis. Pada wanita dengan siklus haid normal, estrogen terbesar adalah estradiol yang berasal dari ovarium. Disamping estradiol terdapat pula estron yang berasal dari konversi androstenedion di jaringan perifer. Selama siklus haid pada masa reproduksi, kadar estradiol berkisar antara 40-80 pg/ml, pada pertengahan fase folikuler berkisar antara 60-100 pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar antara 100-400 pg/ml dan pada fase luteal berkisar antara 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata estradiol selama siklus haid normal adalah 80 pg/ml sedangkankadar estron berkisar antara 40-400 pg/ml. Diagnosis menopause dapat ditegakkan bila kadar FSH lebih dari 30 mIU/ml. Selain di ovarium, estrogen juga di sintesis di adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak, dan susunan saraf pusat dalam jumlah kecil. Hal ini menyebabkan wanita mempunyai kadar estrogen yang rendah setelah menopause. Karena sel lemak juga dapat mensintesis estrogen dalam jumlah sedikit, wanita gemuk yang memasuki fase menopause, mungkin akan mengalami beberapa keluhan seperti hot 29 flashe dan osteoporosis, kedua keluhan ini berhubungan dengan penurunan estrogen (Baziad, 2003: Speroff et al., 2005). 4) Pasca menopause Merupakan masa 3-5 tahun setelah menopause. Pasca menopause adalah masa setelah menopause sampai senium yang dimulai setelah 12 bulan amenorea. Pada pasca menopause kadar LH dan FSH meningkat, FSH biasanya akan lebih tinggi dari LH sehingga rasio FSH/LH menjadi lebih besar dari satu. Hal ini disebabkan oleh hilangnya mekanisme umpan balik negatif dari steroid ovarium dan inhibin terhadap pelepasan gonadotropin. Kadar estradiol pada wanita pasca menopause lebih rendah dibandingkan dengan wanita usai reproduksi pada setiap fase dari siklus haidnya. Pada wanita pascsamenopause estradiol dan estron berasal dari konversi androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal, dan jaringan adiposa. Proses aromatisasi yang terjadi di perifer berhubungan dengan berat badan wanita. Wanita yang gemuk mempunyai kadar estrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita kurus karena meningkatnya aromatisasi perifer. Kadar estradiol sirkulasi setelah menopause adalah sekitar 10-20 pg / mL, yang sebagian besar berasal dari konversi perifer dari estrone, yang pada gilirannya terutama berasal dari konversi perifer dari androstenedione. Kadar estrone sirkulasi pada wanita menopause lebih tinggi dari estradiol, sekitar 30-70 pg / mL. Rata-rata tingkat produksi estrogen pascamenopause adalah sekitar 45μg/24 jam, hampir semua, namun tidak semua, karena estrogen berasal dari konversi perifer dari androgen. Rasio androgen/estrogen berubah drastis setelah menopause karena penurunan yang lebih tajam dalam estrogen, dan terjadinya hirsutisme ringan adalah umum, yang mencerminkan pergeseran yang bermakna dalam rasio hormon. 5) Senium 30 Masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis. Gambar 2.4 Fase Klimakterium(Sastrawinata , 2007) b. Perubahan hormon pada fase klimakterium Gambar 2.5 Perubahan hormon fase klimaterium (Sastrawinata, 2007) B. Kerangka Teori Reseptor Kanker Payudara Obesitas Resistensi Insulin Sintesis Estrogen ↑ Insulin ↑, IGF-1 ↑ Estradiol ↑ Merubah Adipokin ER Adiposa ↑ Estrogen α Plasma SHBG↓ PR Estrogen reseptor ↓ aktivasi EGFR Adinopektin ↓ Leptin↑ HER-2 Gen HER2 ↑ Reseptor di permukaan mRNA dan permukan sel ↑ Bioavabilitas estradiol ↑ Angiogenesis Proliferasi Sel Anti apoptosis Sel Kanker Payudara 31 Tumor agresif, Amplikasi gen, Metastasis Keterangan Skema : Terbentuknya kanker payudara di stimulasi oleh berbagai faktor dimana salah satunya adalah faktor obesitas. Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009). Pada obesitas terjadi proses resistensi insulin, peningkatan sintesis estrogen dan perubahan sel adipokin. Hiperinsulinemia mempengaruhi tumorigenesis dengan berkontribusi terhadap sintesis dan aktivitas IGF-1, faktor pertumbuhan yang semakin diakui sebagai penting untuk kanker payudara (Lorincz dan Sukumar, 2006). Peningkatan sel adiposit akan menyebabkan peningkatan kosentrasi insulin dan IGF. Peningkatan insulin dan IGF akan menyebabkan penurunan SHBG (sex-hormone binding globulin). Penurunan SHBG dalam obesitas akan meningkatkan bioavaibilitas estradiol yang bersirkulasi. Resiko kanker payudara telah terbukti secara langsung berhubungan dengan konsentrasi hormon seks seperti estrone dan estradiol. Maka SHBG merupakan faktor regulator kepada estradiol dalam sel kanker payudara. Dalam perbandingan, reseptor leptin tidak terdeteksi dalam sel-sel epitel normal, sedangkan sel kanker menunjukkan pewarnaan positif bagi Ob-R (reseptor isoform bagi leptin) dalam 83% kasus ( Lorincz dan Sukumar, 2006). Pada kanker payudara dikenal tiga reseptor penting yaitu reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR), dan HER2/neu. Reseptor estrogen adalah suatu faktor yang dapat diperiksa untuk memprediksi kanker payudara. Paparan terhadap estrogen adalah faktor resiko untuk terjadinya kanker payudara. Ada dua reseptor estrogen yang dikenal yaitu reseptor estrogen alpha (ER-α) dan estrogen reseptor beta (ER-β), yang merupakan protein inti (Payne, 2008). ERα berperan dalam proliferasi sel, sebaliknya ERβ dapat menghambat proliferasi sel melalui penghambatan transkripsi gen dan berperan sebagai supresor tumor (Fox et al., 2008). Reseptor progesteron (PR) adalah gen yang diregulasi oleh estrogen, karena itu ekspresinya mengindikasikan adanya jalur ER yang sedang aktif. Gen HER–2 merupakan proto–onkogen yang ditemukan pada kromosom 17 dan berfungsi sebagai reseptor membran sel. Gen HER–2 mengkode glikoprotein transmembran 185–kDa yang memiliki aktifitas intrinsik protein kinase. Gen HER–2 berperan dalam regulasi pertumbuhan, proliferasi, dan pembelahan sel normal, namun reseptor mengekspresikan di permukaan sel dalam jumlah sedikit. 32 33 C. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini yaitu 1. Ada hubungan obesitas dengan ekpresi HER-2/Neu pada pasien kanker payudara 2. Ada hubungan obesitas dengan reseptor hormon estrogen (ER) pada pasien kanker payudara 3. Ada hubungan obesitas dengan reseptor hormon progesteron (PR) pada pasien kanker payudara 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian analitik korelasi dengan desain penelitian cross sectional. Desain penelitian cross sectional adalah data yang dikumpulkan sesaat atau data diperoleh saat itu juga (Suyanto, 2009). B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Sub Bagian Bedah Onkologi RSUD dr. Moewardi Surakarta. Waktu penelitian ini selama 3 bulan, terhitung mulai bulan November 2016-Februari 2017. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi a. Populasi Target Semua pasien kanker payudara di Poli Bagian Bedah Onkologi RSUD dr. Moewardi Surakarta. b. Populasi Terjangkau Semua pasien kanker payudara di Poli Bagian Onkologi RSUD dr. Moewardi Surakarta antara November 2016-Februari 2017. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan pra dan pasca menopause yang periksa di klinik bedah onkologi RSUD dr. Moewardi Surakarta. Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel (Lemeshow, et al, 1997): Formula : Z2 1-α/2 p q N= d2 (1,962x0,05x0,95) N= = 73 orang 0,052 35 N = jumlah sample = 73 orang Keterangan : q = (1-0,05)= 0.95 Z1-α = dengan nilai z = 1,96 untuk α=0,05 3. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Accidental Sampling. 4. Kriteria Restriksi a. Kriteria Inklusi 1) Pasien kanker payudara yang pra menopause dan pasca menopause di poli bedah onkologi. 2) Pasien yang bersedia menjadi objek penelitian dan menandatangani informed consent. b. Kriteria Eksklusi Penderita dengan gangguan hepar dan atau ginjal D. Kerangka Prosedur Penelitian Kerangka penelitian terdiri atas desain penelitian, teknik memilih sampel, pengukuran variabel, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Pengukuran Variabel Bebas: ο· Pengukuran TB dan BB (Hitung IMT) Populasi Sasaran Populasi Sumber Skor Variabel (Data Kategorik) Sampel Aksidental sampling Analisis Bivariat Pengukuran variabel Tergantung: ο· Pengecekan ER, PR, HER2/Neu Gambar 3.1 Skema Penelitian 36 Skor Variabel (Data Kategorik) Kesimpulan 37 Keterangan : Pasien kanker payudara yang pra menopause dan pascamenopause datang ke poli bedah onkologi dilakukan pemeriksaan indeks massa tubuh dan pemeriksaan reseptor hormonal dan Her-2/Neu dengan Immunohistokimia (IHK) dari hasil biopsi jaringan payudara. Pada pemeriksaan Indeks Massa Tubuh : 1. Pasien ditimbang berat badan dengan timbangan onemed dan diukur tinggi badan dengan meteran. 2. Dilakukan penghitungan dengan rumus IMT: π΅π΅ (ππ) πΌππ = ππ΅ (π)2 3. Dikelompokkan dengan kategori obesitas: > 30 kg/m2dan non obesitas: < 30 kg/m2. Pemeriksaan reseptor hormonal dan Her-2/Neu dari hasil biopsi jaringan payudara dengan metode Immunohistokimia (IHK ) dengan alat mikroskop cahaya. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patalogi Anatomi RSUD dr. Moewardi Surakarta 1. Melakukan pembuatan sediaan/preparat a. pemotongan block parafin: potong block parafin dengan ketebalan 3-5 mikron, rentangkan pada waterbath, tempelkan pada slide poly L Lysine coated slide b. pengeringan preparat: keringkan preparat dalam oven 60 menit pada suhu 60 derajat celcius. 2. Pengecatan a. Peparafinisasi: I. rendam preparat dengan Xylol 1 selama 10 menit II. rendam preparat dengan Xylol 2 selama 10 menit III. rendam preparat dengan Xylol 3 selama 10 menit b. Dehidrasi: I. rendam preparat selama 5 menit dengan alkohol absolute 38 II. rendam preparat selama 5 menit dengan alkohol 95 % III. rendam preparat selama 5 menit dengan alkohol 70 % IV. rendam preparat dengan aquadest selama 3 menit c. Blocking Peroxidase: siapkan larutan Hidrogen Peroksida 3 % kedalam chamber, rendam preparat dalam larutan tersebut selama 5 menit d. Pencucian: I. cuci dalam air mengalir selama 3 menit II. rendam dalam aquadest selama 3 menit e. Pre treatment dengan cairan retrieval: I. siapkan larutan citrat buffer PH 6 didalam chamber, rendam preparat dalam larutan tersebut II. masukkan dalam oven dalam suhu 95 derajat celcius selama 5 menit III. dinginkan selama 1 jam f. Pencucian dengan phospat buffer: I. siapkan larutan phospat buffer PH 7,2-7,6 II. teteskan larutan tersebut dalam preparat kemudian goyangkan selama 6 menit g. Penggunaan PAP PEN I. bersihkan sisa larutan phospat buffer dengan tisu II. lingkari jaringan dengan Pap Pen yang akan dilakukan pengecatan h. Background sniper: I. teteskan larutan Background sniper (berwarna biru) pada preparat, inkubasi dalam suhu ruang selama 15 menit II. bersihkan dengan tisu jangan dicuci i. Antibodi primer: teteskan antibodi primer sebanyak 100 μL kedalam preparat, inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam atau suhu 2-8 derajat celcius jika dilakukan penyimpanan j. Pencucian dengan phospat buffer: I. siapkan larutan phospat buffer PH 7,2-7,6 II. teteskan larutan tersebut dalam preparat kemudian goyangkan selama 6 menit k. Universal link: 39 I. bersihkan sisa larutan phospat buffer dengan tisu II. teteskan larutan trekk universal link (warna kuning) pada preparat. Inkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit l. Pencucian dengan phospat buffer: I. siapkan larutan phospat buffer PH 7,2-7,6 II. teteskan larutan tersebut dalam preparat kemudian goyangkan selama 6 menit m. Trekk avidin: I. bersihkan sisa larutan phospat buffer dengan tisu II. teteskan larutan Trekk avidin (warna orange) pada preparat, inkubasi pada suhu ruang selama 10 menit n. Pencucian dengan phospat buffer: I. siapkan larutan phospat buffer PH 7,2-7,6 II. teteskan larutan tersebut dalam preparat kemudian goyangkan selama 6 menit o. DAB: I. bersihkan sisa larutan phospat buffer dengan tisu II. siapkan campuran larutan DAB III. teteskan campuran larutan DAB sebanyak 100 μL kedalam preparat, inkubasi 3-5 menit p. Pencucian: I. rendam preparat dengan aquadest selama 20 menit II. pencucian dengan air mengalir selama 30 detik III. rendam preparat dengan aquadest q. Pengecatan Hematoxylin: I. masukkan dalam Hematoxylin selama 30 detik II. cuci dengan air mengalir III. masukkan dalam bluing reagent selama 30 detik IV. cuci dengan air mengalir V. keringkan dalam hot plate r. Mounting: tutup preparat dengan deck glass menggunakan lem ez mount Labelisasi: labeli preparat dengan kertas label yang sesuai 3. Sediaan siap dibaca dengan mikroskop cahaya 40 E. Identifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 4 variabel yaitu obesitas sebagai variabel bebas dan Reseptor Hormonal (ER dan PR) dan Ekspresi Her-2/Neu sebagai variabel terikat. F. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel terikat: Reseptor Hormon Estrogen Definisi: Reseptor inti yang memperantarai aksi hormon estrogen didalam tubuh melalui mekanisme karsinogenesis Alat ukur: Hercep Test Skala pengukuran: Nominal Kategori: 1. Positif 2. Negatif 2. Variabel terikat: Reseptor Hormon Progesteron Definisi: Gen yang diregulasi oleh estrogen, ekspresinya mengindikasikan adanya jalur ER yang sedang aktif. Alat ukur: Hercep Test Skala pengukuran: Nominal Kategori: 1. Positif 2. Negatif 3. Variabel terikat: Her-2/Neu Definisi: proto-onkogen yang ditemukan pada kromosom 17 dan berfungsi sebagai reseptor membran sel, yang dapat merangsang pertumbuhan kanker payudara berdasarkan nilai grading. Alat ukur: Hercep Test Skala pengukuran: Nominal Kategori: 1. Positif (Grade 3 & 4) 2. Negatif (Grade 1 & 2) 4. Variabel bebas: Obesitas Definisi: Keadaan kelebihan lemak dalam tubuh yang dihitung dari nilai indeks masa tubuh (IMT) yang diperolah dari hasil pembagian berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Alat ukur: Timbangan Berat Badan dan Tinggi badan 41 Skala pengukuran: Ordinal Kategori : 1. Obesitas: > 30 kg/m2 2. Non Obesitas: < 30 kg/m2 G. Teknik Pengambilan Data 1. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diambil dari subjek/objek penelitian oleh peneliti secara langsung (Riwidikdo, 2009). Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah datadata tentang berat badan, tinggi badan, dan hasil pemeriksaan reseptor hormon dan Her-2/Neu dengan Immunohistokimia (IHK) dari biopsi jaringan payudara yang periksa di RSUD dr. Moewardi Surakarta. 2. Cara Pengumpulan Sumber data primer dikumpulkan dengan cara mengukur langsung tinggi badan, berat badan, dan pemeriksaan reseptor hormon dan Her-2/Neu dengan Immunohistokimia (IHK) dari biopsi jaringan payudara secara langsung dengan responden. Sebelum dilakukan pengukuran kepada responden, peneliti menjelaskan kepada responden tentang maksud dan tujuan dari penelitian ini dan data responden akan dijaga kerahasiaannya, kemudian dimintai kesediaannya untuk menjadi sampel. Penelitian dan pengumpulan data pada saat peneliti melakukan penelitian saat itu juga. Alat pengumpulan data dengan menggunakan angket. H. Desain Analisis Data Dalam tahap ini data diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif. Teknik analisa kuantitatif disebut juga teknik statistik, yang digunakan untuk mengolah angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil konvensi. Analisisnya dengan analisis multivariat yang dilakukan pada dua variabel indevenden dan satu variabel dependen yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik non parametrik karena data-data berbentuk ordinal dan menggunakan analisa korelasi untuk menghitung antara dua jenis variabel, analisa data kuantitatif pada penelitian ini terdiri dari : 42 1) Analisis Univariat Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dan hasil penelitian. Analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. 2) Analisis bivariat Analisis dalam penelitian ini dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisa data dilakukan dengan uji non parametrik karena semua variabel skala datanya berupa kategori, maka uji statistik yang digunakan adalah chi square jika memenuhi syarat. I. Jadwal Penelitian Tabel 3.1 Jadwal Penelitian No. 1 2 3 4 6 7 8 9 10 Kegiatan Penyusunan proposal Konsultasi dan penyusunan Seminar proposal Revisi proposal Pengumpulan data Analisis data Penyusunan laporan dan konsultasi Ujian tesis Revisi tesis Juli Agst Bulan/Tahun 2016/2017 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar