GAMBARAN SELF-CARE MANAGEMENT PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS DENGAN HEMODIALISIS DI WILAYAH TANGERANG SELATAN TAHUN 2013 SKRIPSI Ditujukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Oleh: FAULYA NURMALA AROVA 109104000046 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Faulya Nurmala Arova Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 12 Agustus 1990 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Jln Mangunsarkoro RT 002 RW 007 Dsn Sumberan Karanganyar Ambulu Jember 68172 Telepon : 0857-145-25-108 / 0823-119-77-315 Email : [email protected]/[email protected] Riwayat Pendidikan 1. TK Mujahiddin Tutul Tegalsari [1995-1997] 2. SD Negeri Karangayar V [1997-2003] 3. SMP Negeri 1 Ambulu [2003-2006] 4. MAU Amanatul Ummah [2006-2009] 5. S-1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [2009-2013] Riwayat Organisasi 1. Pinru Pramuka [2001-2002] 2. Anggota Pramuka MAU Amanatul Ummah [2006-2007] 3. Anggota Divisi Humas MAU Amanatul Ummah [2006-2007] v 4. Ketua Divisi Olahraga dan Seni MAU Amanatul Ummah [2007-2008] 5. BEM Jurusan Ilmu Keperawatan [2010-2012] Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop: 1. Pelatihan Kesehatan “Health Training 4 Medical Skill” Tahun 2009 2. Seminar “Cultural Approach In Holistic Nursing Care In Globalization Era” Tahun 2009 3. Diskusi Publik “Kosmetik yang Aman untuk Kecantikan yang Alami” Tahun 2009 4. Seminar Umum “Hilangnya Ayat dalam Undang-Undang Anti Rokok” pada Tahun 2009 5. Seminar Nasional “Kehalalan Obat dan Makanan serta Permaslahannya di Indonesia” Tahun 2009 6. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010 sebagai panitia. 7. Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam membangun Karakter Bangsa Pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010 sebagai peserta. 8. Seminar Profesi “Keperawatan Islami, Penerapam dalam Praktek dan Kurikulum Pendidikan Perawat di Indonesia” Tahun 2010 sebagai peserta. 9. Seminar Dokter Muslim “Smoking Cessation for Better Generation without Tobacco” Tahun 2010 sebagai peserta. 10. Pelatihan Kesekretariatan oleh CSS Mora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010 sebagai peserta. 11. Seminar Nasional “Homeopathy, A Brighter Alternative Treatment Method Bulids an Indonesian Awareness of Natural Medication In The Future” Tahun 2011 sebagai peserta 12. Seminar Kesehatan “Peran Kebijakan Standardisasi Internasional Rumah Sakit dalam Meningkatkan Profesionalisme Pelayanan Kesehatan” Tahun 2011 sebagai peserta vi 13. Workshop “Workshop Disaster Management” Tahun 2011 sebagai peserta 14. Seminar dan Workshop Emergency Nursing “Peran Perawat dalam Tatalaksana Trauma Thoraks Berbasis Pasien Safety” Tahun 2012 sebagai peserta. 15. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012 sebagai peserta. 16. Seminar Nasional “Music Therapy: Melody for Heart and Brain Health” Tahun 2012 sebagai peserta. 17. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2012 18. Seminar Nasional “NANDA, NIC,NOC : Concept, Implementation and Inovation for Better Quality of Nursing Service in Indonesia” Tahun 2013 vii Teruntuk Tuhan ku Allah SWT Alhamdulillah, sujud syukur hamba haturkan padamu Ya Allah atas segala KaruniaMu hingga hamba mu ini dapat menyelesaikan apa yang telah hamba mulai. Thanks a lot Allah and teruslah menjagaku, melindungiku, membantuku dan mengabulkan doaku Teruntuk Ibuku Siti Kunainah dan Bapakku Nurhadi serta Adikku Faisal Fian Azizi Tiada kata yang bisa mengungkapkan betapa berterima kasihnya anakmu ini atas segala apa yang telah kalian berikan. Perjuangan untuk selalu membahagiakan dan membanggakan bapak dan ibu tidak akan pernah selesai hanya disini. Mala hanya mohon doa restu selalu untuk setiap jalan yang Mala pilih. Dhek Faisal ku tersayang, Thanks for your word...”Semangat mbak’e...masak segitu ajah nyerah” Kalimat mu ituh membuatku kembali untuk berjuang. Teruntuk Sahabat-Sahabat Ku “Fighters” (Fita, Fitri, Hanik. Etika, Ulvi, Humayra, Dian, Nyonya Dewi, Iqbal, Astuti) The best Friend I ever had. Kalian selalu memberi semangat ditengah keputus-asaan yang aq rasakan. Suka duka, perjalanan, cerita dan kenangan kita lalui bersama. Thanks a lot Guys...We are always Fighters...dimanapun kita tetep Fighters Teruntuk Teman, dan Adik Kelasku Untuk Taufik Effendi di UI Depok...Thanks a lot untuk pinjeman kartu perpusnya..akhirnya bahan-bahan yang diperlukan bisa ku dapatkan. Riyan Bahtera untuk bantuannya selama ini. Adik kelas ku Eny Syarifah Hanif yang telah membantu mengetik...kemampuan mengetikmu dua jempol dhek...Thanks yah. “Sahabat sejati akan tetap bersama kita ketika kita merasa seisi dunia meninggalkan kita. Maka rangkullah sahabatmu dengan kedua lenganmu karena mereka adalah penjagamu.”Keep Fight...Fighters ^_^ viii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Oktober 2013 Faulya Nurmala Arova, NIM :109104000046 Gambaran Self-Care Management Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Wilayah Tangerang Selatan Tahun 2013 xii + 104 halaman + 6 tabel + 8 bagan + 7 lampiran ABSTRAK Non comunicable disease atau penyakit tidak menular telah menjadi persoalan dunia karena perkembangannya yang terus meningkat seperti kasus penyakit kronis. Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan salah satu penyakit kronis yang perkembangannya lambat namun progresif, irreversibel, dan samar dengan prevalensi yang terus meningkat. Pasien GGK memiliki kompleksifitas masalah pada kondisi fisik, psikologis, sosial, spiritual dan ekonomi sehingga membutuhkan self-care management. Orem dalam Teori Self-Care percaya bahwa setiap individu memiliki kemampuan natural dalam merawat dirinya sendiri (selfcare). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi gambaran self-care management pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis, hambatan, dan sumber dukungan yang diterima oleh pasien. Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Total partisipan dalam penelitian ini adalah 8 orang pasien GGK dewasa yang berumur antara 35-63 tahun dan telah menjalani hemodialisis selama kurun waktu 6 bulan hingga 7 tahun. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan 3 tema yang teridentifikasi yakni 1) gambaran self care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan fisik yakni terkait management nutrisi, pengaturan intake cairan, regiment pengobatan, perawatan akses vaskuler, dan aktivitas istirahat/tidur dan olahraga, kondisi psikologis meliputi self efficacy dalam pelaksanaan self-care management, kepatuhan maupun ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif (putus asa), dan banyak aktifitas, dan spiritual meliputi kepasrahan terhadap Tuhan, keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan, dan aktifitas ibadah sholat; 2) hambatan dalam pelaksanaannya meliputi hambatan internal meliputi motivasi diri dalam pengaturan nutrisi, pembatasan cairan, dan aktifitas dan ekternal yakni ekonomi; dan 3) sumber social support yang dimiliki pasien berasal dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selfcare management penting untuk diperhatikan pasien GGK yang menjalani hemodialisis sehingga hasil ini dapat digunakan untuk mengembangkan promosi kesehatan dan edukasi yang komprehensif tentang self-care management sebagai upaya dalam meningkatkan keterlibatan dan kesadaran pasien dan keluarga tentang kepatuhan terhadap regiment pengobatan terapeutik mereka. Kata Kunci : Self-Care Management, Hemodialisis, Pasien Gagal Ginjal Kronis Daftar Bacaan: 78 (1982 – 2013) ix FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Undergraduates Thesis, October 2013 Faulya Nurmala Arova, NIM : 109104000046 The Description of Self-Care Management for End Stage Renal Disease (ESRD) Patient on Hemodialysis in South Tangerang District Year 2013. xii + 104 halaman + 6 tabel + 8 bagan + 7 lampiran ABSTRACT Non Comunicable Diseases has become global issue because of increasing case day by day especially for chronic disease’s case. End Stage Renal Disease (ESRD) is one of chronic disease that slow in expansion but progressive, irreversible, vague and the prevalent also increase. ESRD patients have complex problems in many aspects such as in physical, psychology, social, spiritual, and economic condition so they need self-care management. Orem in her Self-Care Theory believe that individual have natural ability for his/her self-care. This study aims to explore the decription of self care management ESRD patients on hemodialysis, barriers for do it, and support system resources that patient have. The study design uses qualitative-phenomenology. Total partisipant in this study is 8 ESRD patients in the age 35-63 years and have done hemodialysis therapy for 6 month until 7 years. Data was collected by in-depth interviews. Results showed that 3 themes has identified by researcher as 1) the description of self-care management for ESRD’s patients on hemodialysis in three aspects as physical needs such as nutrition management, fluid intake management, medication treatment, maintenance of vascular access, and sleep and exercise activity, psychological condition such as self efficacy in the implementation of self-care management, adherence and nonadherence to implement medication treatment, maladaptive coping (desperate) and many activities, and spiritual such as resignation to God, belief in cure from God, and sholat activity; 2) barriers for implementation as from internal such as self motivation for nutrition management, fluid retriction, and activity and also external factors such as economic; 3) Social support resources that ESRD’s patients have as from their partner (husband/wife), family, and patients on same hemodialysis unit. This research shows that self-care management is important for ESRD patients on hemodialysis and also could be used to develop health promotion services and comprehensive education about self-care management as a effort to increase patient and family involvement and awareness to adherence with their complex terapeutic medication treatment. Keywords: Self-Care Management, Hemodialysis, ESRD patient Reading List: 78 (1982 – 2013) x KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Gambaran Self-Care Management Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Wilayah Tanggerang Selatan. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang peneliti jumpai namun syukur Alhamdulillah dengan doa, kesungguhan, kerja keras, dan kesabaran disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM selaku Ketua rogram Studi Ilmu Keperawatan dan Ibu Eni Nuraini Agustini, S.Kep, MSN selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. xi 3. Ibu Maftuhah, M.Kep, Ph.D dan Ibu Ns. Uswatun Khasanah, S.Kep, MNS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran selama membimbing peneliti dan memberikan banyak masukan, pengetahuan, dan bimbingan pada peneliti. 4. Ibu Tien Gartinah, M.N selaku Dosen Penasehat Akademik peneliti yang telah membimbing dan memberikan nasehat selalu kepada peneliti terkait banyak hal selama menjalani masa perkuliahan di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah serta staff akademik Bapak Azib Rosyidi, S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah membantu urusan di kampus. 6. Departemen Agama dengan program Beasiswa Santri Berprestasi yang telah memberikan kesempatan untuk berkuliah di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik dan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penelitian. 8. Segenap Jajaran Staf Dinas Kesehatan Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan dan izin dalam melakukan studi pendahuluan maupun izin pelaksanaan penelitian di wilayah Tangerang Selatan. xii 9. Segenap Jajaran Staf Puskesmas Ciputat Timur, Pisangan, dan Benda Baru yang telah memberikan informasi data pasien GGK di wilayah kerjanya dan memberikan izin untuk penelitian. 10. Pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis yang menjadi partisipan dalam penelitian ini atas kerjasama dan segala informasi yang telah diberikan untuk kepentingan penelitian ini. 11. Kedua orang tua saya yaitu Nurhadi S.Pd dan Siti Kunainah S.Pd yang senantiasa memberikan cinta kasih, dukungan penuh secara material maupun spiritual dalam do’a yang selalu mengiringi setiap langkah peneliti sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 12. Adikku Faisal Fian Azizi dengan kata-kata penyemangat, motivasi, dan sarannya untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 13. Sahabat-sahabatku tercinta “Fighters” (Fita, fitri, Etika, mala, dian, Ulfi, Dewi, mayra, Astuti dan Iqbal) dan teman-teman angkatan 2009 yang berjuang bersama untuk menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi di PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan memohon do’a kepada Allah SWT , penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya, semua kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT dan semua kesalahan diampuni oleh Allah. Amin Wassalamualaikum Wr. Wb. Ciputat, Januari 2014 Faulya Nurmala Arova xiii DAFTAR ISI JUDUL HAL HALAMAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. v LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................................................. viii ABSTRAK ............................................................................................................... ix ABSTRACT ............................................................................................................. x KATA PENGANTAR ............................................................................................. xi DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiv DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xvii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6 1. Identifikasi Masalah .................................................................. 6 2. Pertanyaan Penelitian ................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum............................................................................. 7 2. Tujuan Khusus ............................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pelayanan Kesehatan ......................................................... 8 2. Bagi Masyarakat ......................................................................... 8 3. Bagi Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan .......................... 9 4. Bagi Peneliti .............................................................................. 9 E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 9 xiv BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronis ........................................................................ 11 1. Definisi ....................................................................................... 11 2. Klasifikasi .................................................................................. 12 3. Etiologi ....................................................................................... 12 4. Patofisiologi................................................................................ 13 5. Komplikasi ................................................................................ 16 6. Penatalaksanaan.......................................................................... 16 7. Perubahan Yang Terjadi Pada Pasien GGK ............................... 19 B. Teori Self-Care Orem dan Self Efficacy Bandura ........................... 23 1. Teori Self-Care Orem ................................................................ 23 2. Teori Self-Efficacy Bandura ....................................................... 29 C. Nursing Care Plan ......................................................................... 32 D. Penelitian Terkait ............................................................................ 35 E. Kerangka Teori................................................................................ 39 BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI ISTILAH A. Kerangka Konsep ............................................................................ 40 B. Definisi Istilah ................................................................................. 40 BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ............................................................................. 42 B. Partisipan Penelitian ........................................................................ 42 C. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 44 D. Instrumen Penelitian........................................................................ 44 E. Sarana Penelitian ............................................................................. 44 F. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 45 G. Teknik Analisis Data ...................................................................... 47 H. Validasi Data .................................................................................. 48 I. BAB V : Etika Penelitian ............................................................................... 49 HASIL PENELITIAN xv A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ............................................ 52 B. Hasil Penelitian .............................................................................. 53 1. Karakteristik Partisipan ............................................................. 53 2. Hasil Analisa Data ..................................................................... 55 BAB VI : PEMBAHASAN PENELITIAN A. Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................... 83 1. Gambaran Self-Care Management ............................................ 83 2. Hambatan dalam Self-Care Management................................... 98 3. Sumber Social Support .............................................................. 100 4. Kaitan dengan Nursing Care Plan ............................................ 101 B. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 105 C. Implikasi untuk Ilmu Keperawatan dan Pelayanan Kesehatan ....... 106 BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... 108 B. Saran ............................................................................................... 109 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvi DAFTAR BAGAN Nomor Bagan Judul Bagan Hal 2.1 Patofisiologi .................................................................................. 14 2.2 Kerangka Teori ............................................................................. 39 3.1 Kerangka Konsep Penelitian......................................................... 40 4.1 Tekhnik Analisis Data .................................................................. 47 5.1 Self-Care Management (Pemenuhan Kebutuhan Fisik) ............... 56 5.2 Pengaturan Nutrisi ........................................................................ 58 5.3 Pengaturan Intake Cairan ............................................................. 61 5.4 Perawatan Akses Vaskuler ........................................................... 64 5.5 Self-Care Management (Kondisi Psikologis) ............................... 68 5.6 Self-Care Management (Sikap Spiritual)...................................... 75 5.7 Hambatan dalam Self-Care Management .................................... 78 5.8 Sumber Social Support ................................................................ 80 xvii DAFTAR TABEL Nomor Tabel Judul Tabel Hal 2.1 Klasifikasi Penyakit GGK ................................................................. 12 2.2 Perubahan pada Pasien GGK ............................................................ 19 2.3 Nursing Care Plan ............................................................................ 32 2.4 Penelitian Terkait .............................................................................. 35 5.1 Karakteristik Partisipan Utama ......................................................... 54 5.2 Karakteristik Partisipan Pendukung .................................................. 55 xviii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Inform Consent dan Persetujuan Partisipan Utama Lampiran 2 Pedoman Wawancara Mendalam Partisipan Utama Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan Lampiran 4 Surat Pemberian Izin Studi Pendahuluan Dinkes Tangerang Selatan Lampiran 5 Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 6 Surat Izin Pelaksanaan Penelitian Dinkes Tangerang Selatan Lampiran 7` Tabel Tema, Subtema, Kategori, Sub Kategori, dan Statement xix BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Non Comunicable Disease (NCD) atau penyakit tidak menular telah menjadi perhatian khusus dunia terutama World Health Organization (WHO) karena menjadi penyebab kematian utama dan kecacatan di dunia. Tahun 2008, penyakit dengan waktu yang panjang dan progresifitas yang lambat ini dilaporkan telah membunuh lebih dari 36 juta orang setiap tahunnya dan 80% atau 29 juta kematian terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah maupun sedang. Kondisi tersebut mendorong WHO membuat suatu strategi The 2008 -2013 Action Plan for The Global Strategy for The Prevention and Control of Non Comunicable Disease dengan komponen kunci yakni surveilan, pencegahan dan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah tersebut (WHO, 2013). Pada Mei 2012, World Health Assembly juga menyepakati sebuah target global untuk mengurangi kematian akibat NCD sebesar 25 % hingga 2025 (Horton, 2013). Indonesia sebagai negara yang berkembang telah melaporkan bahwa jumlah kematian akibat NCD lebih besar dibandingkan dengan jumlah kematian akibat Comunicable Disease (WHO, 2011). Aditama mengatakan bahwa ancaman terhadap penyakit tidak menular atau NCD seperti jantung, penyakit berkaitan dengan darah, diabetes melitus, penyakit degeneratif, dan penyakit kronis telah meningkat (Faizal, 2012). Pemerintah juga telah memberikan prioritas utama terkait masalah tersebut dan berupaya mengadopsi strategi global WHO dalam upaya pengendalian dan pencegahan NCD (WHO Indonesia, 2013). 1 2 Penyakit kronis yang perkembangan penyakitnya juga perlu mendapatkan perhatian adalah penyakit gagal ginjal kronis (GGK) yang merupakan komplikasi dari beberapa NCD seperti hipertensi, diabetes melitus, dan juga penyakit renal lainnya. Etiologi dari GGK menurut US Renal System tahun 2000 menunjukkan bahwa diabetes melitus dan hipertensi menjadi etiologi dengan prosentase tinggi yakni 34% dan 21% (US Renal System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Angka kejadian GGK yang dilaporkan dari seluruh dunia rata-rata menunjukkan trend yang penting dimana kadang melambat, kadang naik dan dapat stabil (USRDS Annual Report, 2012). National Institut of Diabetes Melitus and Digestif and Kidney Disease (NIDDK) menyebutkan bahwa antara 1980 dan 2009, rata-rata prevalensi GGK di US meningkat mendekati 600%, dari 290 kasus menjadi 1.738 kasus per juta penduduk. Jumlah kematian pasien GGK juga menunjukkan kenaikan dari 10.478 pada tahun 1980 menjadi 90.118 pada tahun 2009 (National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse, 2012). Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat penderita GGK yang cukup tinggi. PERNEFRI (Persatuan Nefrologi Indonesia) tahun 2011 melaporkan bahwa diperkirakan ada 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita GGK tahap akhir dan menjalani hemodialisis hanya sekitar 4-5 ribu saja. Banyak yang telah menjalani terapi dialisis meninggal dunia karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk berobat dan proses dialisis (Fransisca, 2011). Penyakit ginjal kronik menurut Soelaeman merupakan penyakit yang diderita oleh satu dari 10 orang dewasa. Indonesian Renal Registry tahun 2008 melaporkan jumlah pasien hemodialisis (cuci darah) mencapai 2260 orang dari 2148 orang pada tahun 2007 (ANTARA, 2009). Dinas Kesehatan (Dinkes) 3 Tangerang Selatan tahun 2012 melaporkan bahwa terdapat 170 pasien GGK di wilayahnya (Dinkes, 2012). Kondisi komorbiditas yang terus berkembang pada insufisiensi renal kronik berkontribusi terhadap tingginya angka morbiditas dan mortalitas diantara pasien dengan GGK (Burrows-Hudson, 2005 dalam Smeltzer, 2009). Terapi yang dilaksanakan pasien GGK untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak salah satunya adalah terapi hemodialisis. Terapi ini merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang mahal, tidak asing karena paling sering dijalani oleh pasien GGK, dan suatu tekhnologi tinggi untuk mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh dan zat-zat toksin di dalam tubuh melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada alat dialiser melalui proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat (Smeltzer, 2001). Lebih dari 70% negaranegara melaporkan sedikitnya 80% dari pasien menggunakan terapi hemodialisis (USRDS Annual Report , 2012). Pasien GGK yang menjalani hemodialisis memiliki permasalahan yang kompleks terhadap kondisi fisik, psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual pasien (Farida, 2010). Masalah yang dirasakan pasien pasca hemodialisis seperti kelemahan, fatigue, bibir kering dan gatal-gatal pada kulit dapat berpengaruh terhadap fungsi fisik , mental dan mengganggu aktifitas pasien (Curtin, 2002). Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap penderita GGK yang menjalani terapi ini yakni sekitar Rp 550.000 – Rp 1.000.000 setiap terapi juga menjadi hal yang patut diperhatikan (PELITA, 2013). Umumnya pasien menjalani terapi secara rutin 2-3 kali dalam seminggu selama 4-5 jam sepanjang hidupnya (Smeltzer, 2009). Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Dharmeziar 4 menyatakan bahwa biaya untuk cuci darah saja, rata-rata Rp 50-80 juta per tahun, tergantung rumah sakitnya (Dianing, 2013). GGK merupakan suatu masalah yang terus berkembang menjadi masalah kesehatan dengan tingkat morbiditas, mortalitas dan biaya yang tinggi. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti menemukan adanya perubahan pada aspek sosialisasi dan fisik pasien dimana pasien mengatakan jarang keluar rumah karena kondisinya yang lemah. Biaya menjadi masalah yang berarti buat pasien dan keluarga walaupun terdapat pembiayaan dari pihak lain yakni Jamkesmas, namun untuk beberapa obat tidak termasuk dalam bantuan pembiayaan tersebut. Tenaga pelayanan kesehatan juga menyebutkan bahwa pasien mengatakan sudah mengikuti petunjuk dan saran yang diberikan dokter kepadanya, namun terdapat komplikasi-komplikasi yang dialami pasien. Sebuah penelitian melaporkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis akan mengalami perubahan terhadap gaya hidup, keterbatasan dalam aktifitas/ mobilitas, ketidakmampuan dalam melakukan perjalanan, pembatasan makanan dan cairan, bergantung kepada orang lain, penurunan kemampuan menolong orang lain, kehilangan penghasilan, kelemahan, ketidaknyamanan, pasrah terhadap takdir, dan kematian (Gibson, 1995). Pasien GGK juga membutuhkan kemampuan dalam perawatan dirinya sendiri (self-care). Saat ini kemampuan self-care pasien di komunitas telah menjadi perhatian dunia seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis di dunia. Kondisi dari peningkatan biaya pengobatan serta jumlah tenaga edukator yang tidak cukup juga turut andil menjadi alasan self-care penting ditingkatkan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis, keluarga dan 5 komunitas (Taylor & Renpenning, 2011). Orem percaya bahwa setiap individu memiliki kemampuan natural dalam merawat dirinya sendiri dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut bagi pasien (Orem,1995 dalam Simmons, 2009). Penelitian oleh Heirdarzadeh (2010) pada pasien GGK menunjukkan bahwa 78,3% pasien menginginkan kemampuan self-care dan yang paling banyak diinginkan adalah kemampuan dalam perawatan akses vaskuler sedangkan yang paling sedikit terkait dengan nutrisi. Penelitian lainnya juga telah melaporkan bahwa ada hubungan yang langsung dan signifikan antara kemampuan self-care dengan kualitas hidup, dimensi fisik, psikologis, dan sosial (Heidarzadeh dkk, 2010), terhadap keaktifan dan keefektifan proses perawatan pasien (Curtin & Mapes, 2001) dan terhadap self efficacy pasien (Bag & Mollaoglu, 2009). Penelitian lain tentang self efficacy training pada penderita GGK menunjukkan keefektifan terhadap ketaatan dalam pengaturan intake cairan yang dapat mempengaruhi fluid weight gain (Joanna Briggs Institute, 2011) dan responden yang menerima self efficacy training merasa lebih percaya diri terhadap kemampuannya dan keikutsertaan dalam promosi perilaku kesehatan dan lebih taat dalam pembatasan intake cairan (Tsay, 2003). Teori kognitif sosial Bandura menyebutkan bahwa keyakinan self-efficacy mempengaruhi pilihan seseorang dalam membuat atau menjalankan tindakan yang ingin mereka capai. Keyakinan ini juga dapat membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan dikerahkan seseorang (Shunk, 1981 dalam Mukhid, 2009). Uraian tersebut menunjukkan bahwa self-care management pada pasien gagal ginjal perlu mendapatkan perhatian dari perawat. Orem dalam teorinya 6 menyebutkan bahwa tujuan dari perawat adalah membantu pasien untuk menemukan perawatan dirinya (self-care) (Basavanthappa, 2007). Mengetahui kemampuan serta kemauan pasien GGK dalam kaitannya dengan self-care management membantu serta mendorong mereka secara aktif dalam proses pengobatan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup mereka. Penjelasan di atas membuat peneliti tertarik untuk melihat gambaran self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan. B. Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Penatalaksanaan pasien GGK tahap akhir adalah terapi penggantian ginjal yakni dengan transplantasi atau dialisis. Dialisis kemudian menjadi pilihan yang banyak dijalani oleh pasien. Hal tersebut disebabkan oleh mahal dan sulitnya menemukan donor ginjal. Terapi tanpa usaha dari diri pasien untuk merawat dirinya sendiri juga dapat mempercepat keparahan atau penurunan kondisi pasien. Self-care management pada pasien GGK penting untuk diketahui serta diperhatikan oleh tenaga kesehatan karena dapat memberikan konstribusi, dukungan, informasi sesuai dengan kebutuhan pasien, dan berperan serta dalam melibatkan pasien dan keluarga untuk memelihara kondisi pasien GGK. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan “Bagaimana gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan?” 7 2. Pertanyaan Penelitian a) Bagaimana gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan? b) Adakah hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan? c) Bagaimana bentuk dukungan yang diterima oleh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan dan sumber dukungan dalam pelaksanakan self-care management ? d) Bagaimana gambaran self efficacy pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan terhadap self-care management ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran dan mengeksplorasi self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Tangerang Selatan. 2. Tujuan Khusus a) Mengidentifikasi dan mengeksplorasi gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan. 8 b) Mengidentifikasi hambatan - hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan c) Mengidentifikasi bentuk dan sumber dukungan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan dalam upaya pelaksanakan self-care management. d) Mengidentifikasi gambaran self efficacy pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan terhadap self-care management. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Bagi Pelayanan Kesehatan Sebagai bahan masukan, acuan, dan pertimbangan terhadap keluhan dan masalah yang dilaporkan pasien dan keluarga terkait penyakitnya sehingga tenaga kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan menyiapkan strategi untuk meningkatkan self-care management pasien menjadi lebih baik serta meningkatkan keterlibatan keluarga dalam mendorong dan mendukung perilaku self-care pasien. 2. Bagi Masyarakat Self-care bukan hanya berfokus pada pasien, namun didalamnya terdapat peran keluarga dan masyarakat sehingga diharapkan dengan penelitian ini keluarga dan masyarakat memahami pentingnya self-care management 9 bagi pasien dan dapat memberikan dukungan penuh dalam upaya meningkatkan atau mendorong pelaksanaannya. 3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai bahan informasi dan rujukan bagi seluruh mahasiswa di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam meningkatkan pengetahuannya mengenai self-care management pada pasien gagal ginjal kronis. 4. Bagi Peneliti Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian, menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya secara lebih spesifik pada self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dan menambah wawasan tentang gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal kronis. E. Ruang Lingkup penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan serta mengeksplorasi selfcare management pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan, dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang self-care management pada pasien. Data diperoleh dengan cara wawancara mendalam yang berpedoman pada pedoman wawancara dan lembar observasi (field note) yang dilakukan pada pasien dan keluarga. 10 Fokus penelitian ini adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan berdomisili di wilayah Tangerang Selatan. Partisipan dalam penelitian adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan partisipan pendukungnya adalah seseorang yang merawat pasien. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013 di rumah pasien. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronis 1. Definisi Ginjal merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia. Ginjal melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk mempertahankan homeostasis. Ginjal merupakan jalan penting untuk mengeluarkan berbagai macam zat-zat sisa metabolisme tubuh selain juga berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Sherwood, 2001). Gagal ginjal kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009). Batas penurunan fungsi ginjal sehingga menimbulkan gejala adalah sebesar 75-85% dan ketika fungsi ginjal sudah di bawah 25% maka gejala akan muncul dan terlihat jelas (Fransiska, 2011). End Stage Renal Disease (ESRD) atau gagal ginjal tahap akhir terjadi ketika nilai GFR (Glomerulus Filtration Rate) kurang dari 15 mL/min. Pada poin tersebut terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi) sangat dianjurkan (Smeltzer, 2009). Gagal ginjal terminal terjadi apabila 90% fungsi ginjal telah hilang (Sherwood, 2001). 11 12 2. Klasifikasi Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut : Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis dengan rumus Kockroft – Gault Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90 atau ↑ 2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 60-89 ringan 3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 30-59 sedang 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 15-29 berat 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI 3. Etiologi Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap proporsi GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi yang ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering terjadi 13 yakni uropati obstruktif , lupus eritematosis dan lainnya sebesar 21 %. (US Renal System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006). 4. Patofisiologi Proses perjalanan penyakit, manifestasi klinis dan terapi penatalaksanaan untuk pasien dengan gagal ginjal kronis dapat dilihat pada bagan 2.1 dibawah ini : 14 Bagan 2.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis menurut Black & Hawks (2005) Penurunan aliran darah renal, penyakit renal primer, kerusakan dari penyakit lain, Sumbatan aliran urin Penatalaksanaan masalah yang mendasari ↑ BUN Transplantasi Ginjal ↓ filtrasi glomerulus ↑ serum kreatinin Hipertrofi nefron tersisa Hyponatremia Dilute polyuri Ketidakmampuan untuk mengkonsentrasikan urine Kehilangan Na dalam urin Dialisis Dehidrasi Kehilangan fungsi ekresi renal Kehilangan nefron lebih lanjut ↓ Libido Kehilangan fungsi non ekresi renal Gangguan sistem Reproduksi Infertilitas Penyembuhan luka tertunda Gangguan sistem imun Infection ↑ Produksi lemak Ateroskeloris yang lebih parah Kadar glukosa darah tidak teratur Aktifitas insulin melemah Gagal memproduksi eritropentin Gagal mengubah Kalsium menjadi bentuk aktif ↓ absorpsi kalsium Anemia Pallor Osteodistrofi Hypokalsemia 15 Sodium Bicarbonat ↓ eksresi hidrogen Asidosis metabolik Pengganti kalsium Vitamin D Agen pengikat fosfor ↓ eksresi fosfat ↓ absorpsi kalsium Hiperfosfatemia Hipokalsemia Hiperparatiroidisme Agen Pengikat kalium ↓ eksresi Kalium ↑ Kalium Pembatasan kalium Hiperkalemia Pembatasan cairan ↓ eksresi kalium Diuretik Gagal Jantung Hipertensi ↓ reabsorpsi natrium dalam tubulus Retensi Air Lotions Bathing antikonvulsan ↑ BUN ↑ Kreatinin Perubahan syaraf perifer ↓ eksresi sampah nitrogen = Penatalaksanaan Sistem saraf pusat Cenderung terjadi pendarahan Pruritus Perubahan rasa Uremia perikarditis ↑ asam urat Edema Protenuria = Patologi = Manifestasi Klinis 16 5. Komplikasi Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa komplikasi potensial GGK memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatannya yang mencakup : a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan masukan diet yang berlebih. b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron. d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang sel darah merah, pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis. e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar almunium. 6. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi 1) Untuk memelihara 17 fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan) dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari-hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme (menyediakan kalori nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi katabolisme); 2) Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan hematologi, penyakit kardiovaskuler; 3) meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet; 4) Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga (Black & Hawks, 2005) Terapi hemodialisis merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang mahal dan tidak asing bagi pasien GGK karena paling sering dijalani. Terapi ini merupakan suatu teknologi tinggi dalam terapi penggantian ginjal untuk mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh dan zat-zat toksin di dalam tubuh melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada alat dialiser melalui proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat (Smeltzer, 2001). Terapi untuk gagal ginjal kronis secara lebih lanjut dapat dilihat pada patofisiologi gagal ginjal kronis. Indikasi dilakukan dialisis ada dua yakni indikasi klinis dan indikasi biokimiawi. Yang termasuk di dalam indikasi klinis adalah 1) sindrom uremik berat, misalnya muntah-muntah hebat, kesadaran menurun, kejangkejang dan lain sebagainya; 2) overhidrasi yang yang tidak bisa diatasi dengan pemberian diuretik; 3) edema paru akut yang tidak bisa diatasi dengan cara lain. Sedangkan indikasi biokimiawi meliputi 1) ureum plasma lebih atau 18 sama dengan 150 mg%; 2) kreatinin plasma sama atau lebih dari 10 mg%; 3) bikarbonat plasma kurang atau sama dengan 12 meq/L (Bakta & Suastika, 1999). Masalah yang sering muncul saat pasien hemodialis adalah instabilitas kardiovaskuler selama dialisis dan sulitnya mendapatkan akses vaskuler (Rubenstein dkk, 2007). Terdapat lima cara akses ke sirkulasi darah pasien untuk hemodialisis yakni ; 1) fistula arteriovena ; 2) graft arteriovena ; 3) shunt (pirai arterovena) eksternal ; 4) kateterisasi vena femoralis ; 5) kateterisasi vena subklavia (Baradero dkk, 2009). Komplikasi dari hemodialisis yang dapat terjadi pada pasien meliputi ; 1) hipotensi merupakan hasil dari pengeluaran secara cepat dari volume darah (hipovolemia), penurunan cardiac output dan penurunan sistemik intravaskuler ; 2) Kram otot yang sedikit diketahui penyebabnya namun dapat dikaitkan dengan hipotensi, hipovolemia, ultrafiltrasi yang tinggi dan penggunaan larutan sodium rendah dialisis ; 3) kehilangan darah merupakan hasil dari darah yang tidak keluar secara lengkap dari dializer, tidak sengaja terpisah dari tubing darah, ruptur membran dialisis, atau pendarahan setelah melepaskan jarum setelah hemodialisis selesai ; 4) hepatitis, dimana saat ini angka kejadiannya telah menurun dan The Centers for Disease Control (CDC) mengupayakan untuk dilakukan vaksinasi untuk semua pasien dan petugas dalam layanan dialisis (Lewis, 2011). Depresi dan gangguan tidur terjadi dengan frekuensi yang lebih pada pasien dengan hemodialisis. Penelitian menunjukkan prevalensi depresi tinggi yakni 47,8%, insomnia sebesar 60,9%, dan peningkatan resiko sleep apnea 19 (24,6%) pada pasien GGK dan depresi pada caregiver sebesar 31,9% (Rai, et. al 2001). 7. Perubahan Yang Terjadi pada Pasien GGK Pasien yang terdiagnosa menderita GGK dan menjalani terapi hemodialisis mengalami perubahan-perubahan fungsi dari dirinya yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Perubahan pada pasien GGK Fungsi fisiologis (Black & Hawk, 2005) Ketidakseimbangan Pasien dapat mengalami hyponatremia sehingga eletrolit berefek pada retensi cairan yang berkontribusi terhadap kondisi hipertensi dan gagal jantung, hiperkalemia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia dimana kondisi tersebut berkontribusi terhadap osteomalasia, osteitis fibrosa, dan osteosclerosis. Perubahan metabolik Peningkatan produk sampah metabolisme protein yakni BUN dan kreatinin di dalam darah. Kreatinin serum adalah indikator fungsi ginjal yang paling akurat. Hipoproteinemia dapat terjadi ketika intake diet protein tidak adekuat. Peningkatan trigliserida hampir secara umum dapat ditemukan. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mengeksresikan ion hidrogen. 20 Perubahan Efek primer pada gagal ginjal adalah anemia karena hematologi ginjal tidak mampu memproduksi eritropoentin sehingga pasien dapat mengalami kelemahan, fatiq dan intoleransi terhadap dingin. Perubahan Pasien seringkali mengalami anoreksia, mual, gastrointestinal muntah, rasa pahit, metallic, dan rasa asin serta napas seringkali berbau amonia, amis dan berbau busuk. Stomatitis, parotitis dan gingivitis merupakan masalah yang sering pada pasien. Konstipasi juga merupakan masalah umum untuk pasien Perubahan Kerusakan pada sistem imun membuat pasien mudah imunologi untuk terinfeksi. Perubahan Gagal ginjal memiliki efek yang serius pada metabolisme obat- metabolisme obat. Pasien uremia memiliki resiko obatan tinggi untuk keracunan obat-obatan karena perubahan renal dalam farmakokinetik obat-obatan. Perubahan Komplikasi kardiovaskuler yang paling umum kardiovaskuler adalah hipertensi. Apabila volume dalam jantung overload dapat terjadi hepertrofi ventrikuler dan gagal jantung. Disritmia juga dapat terjadi karena hiperkalemia, asidosis, hipermagnesium, dan penurunan perfusi koroner. Perubahan respirasi Efek dalam sistem respirasi yakni edema pulmonal akibat cairan yang berlebihan, peningkatan frekuensi 21 napas, dan sesak. Perubahan Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang muskuloskeletal terkena dampak lebih awal dan 90% pasien gagal ginjal mengalami renal osteodistrofi yang dapat berlanjut pada osteomalasia, osteitis fibrosa, osteoporosif, dam osteosklerosis. Beberapa pasien juga mengeluhkan kram otot. Perubahan Masalah pada kulit merupakan masalah yang integumen mengganggu kenyamanan pasien. Kulit pasien menjadi kering karena atropi kelenjar keringatdan perubahan warna kulit juga terjadi akibat pigmen urokrom. Pasien juga mengalami pruritus akibat hiperparatiroidisme sekunder dan deposit kalsium pada kulit. Rambut dan kuku menjadi tipis dan rapuh. Perubahan Neuropati perifer menyebabkan banyak manifestasi neurologik seperti kaki terasa terbakar, ketidakmampuan menemukan posisi kaki yang nyaman, perubahan gaya berjalan, footdrop, dan paraplegi. Perubahan Pasien wanita dapat mengalami ketidakteraturan reproduktif menstruasi, terutama amenore dan infertilitas. Pasien laki-laki melaporkan kondisi impoten akibat faktor fisik dan psikologis, atropi testicular, oligospermia, and penurunan motilitas sperma. Keduanya juga 22 melaporkan adanya penurunan libido. Perubahan endokrin Gagal ginjal juga berefek pada sistem endokrin seperti insulin dan fungsi paratiroid. Fungsi psikologis Ekspresi psikologis yang terjadi dapat berupa sedih, depresi, perasaan menyesal, gangguan gambaran diri, dan rendah diri. Gambaran ekspresi psikologis yang dialami tersebut terutama di awal pasien didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis (Farida , 2010). Fungsi spiritual Perubahan ekspresi spiritual yang terjadi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis berupa rasa syukur, pasrah, dan upaya meningkatkan ibadah (Farida , 2010). Psikososial Perubahan pola interaksi sosial yang terjadi yakni pasien cenderung lebih banyak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar rumah dan untuk interaksi dengan jarak yang jauh menjadi terbatas. Interaksi baru juga terjadi dengan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Selain itu terjadi gangguan fungsi seksual pada pasien dan gangguan mobilitas atau bepergian sehingga pasien tidak dapat bepergian lebih dari 3-4 hari (Farida , 2010). 23 Ekonomi Perubahan status ekonomi juga dirasakan oleh pasien dimana kebutuhan akan keuangan bertambah dengan menjalani hemodialisis walaupun biaya hemodialisis tidak membayar (dengan dibebankan kepada pihak lain seperti asuransi atau pemerintah), namun informan mengatakan ada biaya lain yang harus dikeluarkan setiap bulan yakni untuk obat-obatan yang tidak dijamin, pemeriksaan laboratorium, atau biaya transportasi dari rumah ke rumah sakit yang cukup besar (Farida , 2010). B. Teori Self-Care (Orem) dan Self-Efficacy (Bandura) 1. Teori Self-Care Orem Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri dalam menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Taylor & Renpenning, 2011). Hal tersebut merupakan bagian yang natural dari manusia. Orem percaya bahwa manusia memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self-care) dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Orem, 1995 dalam Simmons, 2009). Filosofi dari ilmu keperawatan adalah memandirikan dan membantu individu memenuhi kebutuhan dirinya (self-care). Salah satu teori selfcare dalam ilmu keperawatan yang terkenal adalah teori self-care Orem. Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan untuk merawat dirinya yang berbeda-beda sehingga tindakan perawat 24 berupaya untuk memacu kemampuan tersebut. Individu juga memiliki kemampuan untuk terus berkembang dan belajar (Asmadi, 2008 ; Kusnanto, 2003). Orem mendefinisikan keperawatan sebagai seni dimana perawat memberikan bantuan khusus kepada individu dengan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk perawatan mandiri serta berpartisipasi secara intelegensi dalam perawatan medis yang diberikan oleh dokter (Swanburg, 2000). Teori Orem mendeskripsikan peran dari perawat adalah menolong seseorang dalam ketidakmampuannya dalam melaksanakan self-care. Tujuan utama sistem Orem ini adalah menemukan kebutuhan self-care (self-care demand) pasien hingga pasien mampu untuk melaksanakannya (Orem, 2007 dalam Mosby Dictionary, 2009). Menurut Orem, asuhan keperawatan diberikan apabila pasien tidak mampu melakukannya, namun perawat tetap harus mengkaji mengapa klien tidak dapat memenuhinya, apa yang dapat perawat lakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan menilai sejauh mana klien mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Hartweg,1995 dalam Potter & Perry, 2005). Teori Orem mengidentifikasi dua set dari ilmu keperawatan yakni nursing practice science dan foundational sciences. Termasuk di dalam nursing practice science yakni 1) wholly compensatory dimana perawat membantu penuh ketidakmampuan total pasien dalam melakukan aktivitas self care ; 2) partially compensatory dimana perawat membantu ketidakmampuan sebagain pasien dalam melakukan aktifitas self care ; 3) 25 supporting-educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat keputusan dan memiliki kemampuan dan pengetahuan. Dan termasuk di dalam foundational sciences adalah self-care, self care agency, dan human assistance (Basavanthappa, 2007 ; Tomey & Alligood, 2006). Teori orem ini dikenal dengan sebagai Self-Care Deficit Theory yang terdiri atas tiga teori terkait , yaitu : a. Theory of self-care dimana mendeskripsikan tentang mengapa dan bagaimana seseorang merawat diri mereka sendiri. b. Theory of self-care deficit dimana mendeskripsikan dan menjelaskan mengapa seseorang dapat dibantu dalam perawatan dirinya di keperawatan. c. Theory of nursing system dimana mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan yang diciptakan perawat untuk dimiliki dan dipelihara oleh pasien. (Tomey & Alligood, 2006 ). Self-care didefinisikan sebagai aktifitas praktek seseorang untuk berinisiatif dan menunjukkan dengan kesadaran dirinya sendiri untuk memelihara kehidupan, fungsi kesehatan, melanjutkan perkembangan dirinya, dan kesejahteraan dengan menemukan kebutuhan untuk pengaturan fungsi dan perkembangan (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Self-care agency merupakan kompleks yang akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak dalam mengatur fungsi dan perkembangan dirinya (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Nursing agency terdiri atas perkembangan kemampuan seseorang yang terdidik sebagai perawat yang berwenang untuk merepresentasikan diri 26 mereka sebagai perawat dalam kerangka hubungan interpersonal yang sah untuk bertindak, mengetahui dan menolong seseorang untuk menemukan kebutuhan perawatan diri yang terapeutik (therapeutik self-care demand) dan mengatur perkembangan dan latihan dari self-care agency mereka (Alligood & Tomey, 2010). Basic conditioning factors adalah faktor yang mempengaruhi nilai dari self care demand , self-care agency dan nursing agency. Sepuluh faktor yang telah teridentifikasi meliputi umur, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, pola kehidupan (pattern of living), faktor sistem pelayanan kesehatan, faktor sistem keluarga, faktor sosial budaya, ketersediaan sumber, dan faktor eksternal lingkungan (Alligood & Tomey, 2010, Muhlisin & Indarwati, 2010). Jika dilakukan secara efektif, upaya perawatan diri dalam memberikan kontribusi bagi integritas struktural fungsi dan perkembangan manusia (Asmadi,2008). Area hemodialisis merupakan salah satu area praktik keperawatan untuk mengaplikasikan teori self-care Orem ini dimana aplikasi ini akan sesuai karena penting sekali untuk pasien untuk aktif terlibat dalam perawatan dirinya. Tujuan utama praktek keperawatan adalah untuk membantu pasien menyiapkan diri untuk berperan serta secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan cara meningkatkan outcome pasien dan kualitas hidup. Sebagai perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan membentuk hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, menyediakan dukungan dan pendidikan kesehatan, memperbolehkan pasien mengontrol beberapa situasi dengan berpartisipasi dalam 27 pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif berpartisipasi dalam tretmen hemodialisis (Simmons, 2009). Self-care management pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis merupakan usaha positif pasien untuk menemukan dan berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan mereka untuk mengoptimalkan kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol gejala, menyusun sumbersumber pengobatan, meminimalisir gangguan dalam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan yang mereka sukai (Curtin & Mapes, 2001). Yang termasuk didalamnya menurut Richard (2009) meliputi : a) Pembatasan cairan Ukuran pembatasan cairan dapat diukur dengan Interdialytic Weight Gain (IDWG) atau berat yang diperoleh selama dialisis. IDWG dipengaruhi oleh ukuran tubuh, volume urin output, apa yang pasien minum, intake natrium, adanya riwayat diabetes melitus (DM mempengaruhi intake cairan karena hiperglikemia menstimulasi haus), kontrol gula darah, cuaca, dan self efficacy (kepercayaan diri pasien dalam mengatur pembatasan cairan). Perspektif pasien dalam kaitannya dengan pembatasan cairan menunjukkan bahwa mereka memiliki perasaan negatif tentang diri mereka sendiri dan kemampuan mereka dalam mengatur pembatasan cairan seperti rasa malu, hilang kepercayaan diri, dan memiliki kemampuan yang kecil di dalam dalam mengaturnya. 28 b) Pengaturan diet Self-care management pada diet pasien GGK penting untuk mempertahankan status nutrisi dan keseimbangan elekrolit. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah kepatuhan terhadap program diet yang telah ditentukan karena program tersebut telah disusun dengan tepat sesuai dengan kondisi ginjal serta kecukupan kalori dan nutrisi yang diperlukan tubuh pasien yang menderita GGK. Penelitian melaporkan walaupun pasien memiliki pengetahuan tentang diet dan komplikasi jika tidak mematuhi program tersebut , mereka tetap tidak mengikuti program diet yang telah ditetapkan itu. Faktor-faktor yang positif berhubungan dengan self-care management pada diet yaitu usia lanjut, wanita, dan self efficacy yang baik. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berkaitan adalah lamanya waktu hemodialisis, edukasi, social support, dan kadar serum pottasium. c) Pengobatan Pasien GGK yang menjalani hemodialisis selain menjalani treatmen tersebut mereka biasanya mengkonsumsi banyak macam obat. Banyak hal terkait dengan obat yang perlu diketahui oleh pasien mengingat banyaknya jumlah obat seperti tentang waktu minum masing-masing obat, jumlah obat yang diminum, dosisnya, jenisnya, untuk apa saja obat-obatan tersebut, dan efek dalam tubuh pasien. d) Akses vaskuler Akses vaskuler merupakan jalan keluar masuknya darah pasien saat pelaksanaan treatmen hemodialisis. Penting juga untuk melakukan 29 perawatan akses tersebut secara mandiri mengingat bahwa akses ini akan selalu digunakan pasien untuk hemodialisis. Selain itu beberapa hal yang tidak boleh dilakukan pada daerah akses vaskuler (lengan cimino) juga penting dijelaskan pada pasien seperti tidak boleh dilakukan pengukuran darah atau mengakat benda berat, dan lakukan latihan meremas-remas bola untuk mempertahan akses vaskuler tetap baik. e) Perspektif pasien tentang self-care management Penelitian melaporkan bahwa untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik pasien akan fokus dalam mengatur hubungan mereka dengan dokter dan layanan kesehatan (Cutin & Mapes, 2001). Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien merasa diet dan pembatasan cairan tidak perlu untuk mereka dan termasuk peraturan yang kaku dimana ketika mereka mematuhinya maka mereka dikategorikan patuh dan apabila tidak mengikutinya dikategorikan tidak patuh (Krespi dkk, 2004). Mengetahui perspektif pasien tersebut penting dalam upaya memahami apa yang dihendaki oleh pasien serta strategi yang dapat dilakukan untuk pasien agar pasien dapat mengikuti treatmen yang telah ditetapkan. 2. Teori Self Efficacy Bandura Penelitian terhadap pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara self-care agency dengan self efficacy dimana peningkatan dari self-care 30 agency dibarengi dengan peningkatan self efficacy begitu pula sebaliknya (Bağ & Mollaoğlu, 2010). Bandura mendefinisikan self efficacy sebagai penilaian diri seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Bandura menggunakan istilah self efficacy ini sebagai keyakinan (beliefs) seseorang tentang kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil (Bandura, 1997 dalam Mukhid, 2009). Efek keyakinan terhadap self efficacy pada proses kognitif bentunya bervariasi. Kebanyakan perilaku diatur oleh pemikiran sebelumnya terhadap tujuan personal yang ingin diwujudkan. Pengaturan tujuan personal ini dipengaruhi oleh penilaian diri akan kemampuannya. Keyakinan self-efficacy yang kuat membuat seseorang mengatur tujuan yang terbaik dalam diri mereka. Keteguhan mereka terhadap hal tersebut merupakan komitmen untuk mereka. Keyakinan diri terhadap efficacy juga memegang peranan kunci dalam pengaturan motivasi diri seseorang (Bandura, 1991 dalam Bandura 1993). Persepsi seseorang yang tinggi terhadap efficacy dapat berdampak pada kesiapan dan pelaksanaan usaha yang berbeda (Bandura, 1982). Perasaan efficacy yang kuat meningkatkan kecakapan seseorang dan kesejahteraannya karena seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi membuat perasaannya tenang dan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tantangan untuk ditangani dan bukan ancaman untuk dihindari (Mukhid, 2009). Dalam beberapa survey dari self efficacy dalam bidang 31 kesehatan menunjukkan hubungan yang kuat antara self efficacy dan progres dari perubahan perilaku dan upaya pemeliharaan kesehatan. Pendekatan untuk mengukur self efficacy menurut Bandura yakni dengan menanyakan tentang persepsi atau keyakinan terhadap perilaku tertentu dapat dilaksanakan dan menanyakan seberapa kuat keyakinannya tersebut (Strecher dkk, 1986) 32 C. Nursing Care Plan Tabel 2.3 Nursing Care Plan Nursing diagnosis Readines for Enhanced Self Health Management As evidence by choices of daily living are appropriate for meeting goals (e.g treatment, prevention), describes reduction of risk factors, expresses desire to manage the illness (e.g treatment, prevention of sequelae), expresses little difficulty with prescribed regimens, no enexpected acceleration of illnes symptoms Intervention (NIC) Health Education Identify internal or external factors that may enhance or reduce motivation for healthy behavior Determine personal context and social-cultural history of individual, family, or target group Assist individuals, families, and communities in clarifying health beliefs and values Identify characteristics of target population that affect selection of learning strategies Prioritize identified learner needs based on client preference, skills of nurse, resources available, and likelihood of successful foal attainment Formulate objectives for health education program Identify resources (e.g., personnel, space, equipment, money, etc.) needed to conduct program Consider accessibility, consumer preference, and cost in program planning Strategically place attractive advertising to capture attention of target audience Develop educational materials written at a readability level appropriate to target audience Teach strategies that can be used to resist unhealthy behavior or risk taking rather than Outcome (NOC) Adherence Behavior Ask health related questions........ Seeks health information from variety of sources........ Uses reputable health information to develop strategies........ Weight risks/benefits of health behavior........ Provide rationale for adopting a health behavior........ Uses strategies to eliminate unhealthy behavior........ Uses strategies to optimaze health........ Uses health care services congruent with need........ Performs activities of daily living consistent with energy and tolerance........ Performs self-screening........ 33 Intervention (NIC) give advice to avoid or change behavior Keep presentation focused and short and beginning and ending on main point Use group presentation to provide support and lessen threat to learners experiencing similar problems or concern as appropriate Use peer leaders, teachers, and support group in implementing programs to groups less likely to listen to health professionals or adults (i.e. adolescent) as appropriate Use lectures to convey the maximum amount of information when appropriate Use group discussions and role-playing to influence health beliefs, attitudes and values Use demonstration/return demonstrations, learner participation and manipulation of materials when teaching psychomotor skills Use computer-assisted instruction, television , interactive video, and other technologies to convey information Use teleconferencing, telecommunications, and computer technologies to distance learning Involve individuals, families, and groups in planning and implementing plans for lifestyle or health behavior modification Determine family , peer and community support for behavior conducive to health Utilize social and family support and family support system to enhance effectiveness of lifestyle or health behavior modification Outcome (NOC) Describes rationale for deviating from a health regiment........ Measurement Scale 1= Never demonstrated 2= Rarely demonstrated 3= Sometimes demonstrated 4= Often demonstrated 5= Consistently demonstrated 34 Nursing diagnosis Ineffective Self Health Management Related factor complexity of health care system, complexity of therapeutic regiment , decisional conflict, deficient knowledge, economic difficulties, excessive demands made (e.g individual, family), family conflict, family patterns of health care, inadequate number of cues to action, perceived barriers, seriousness, benefits, and susceptibility, powelessness, regimen, social support deficit as evidence by failure to include treatment regimen in daily living and to take action to reduce risk factors, ineffective choice in daily living for meeting health goals, report desire to manage the illness, report difficulty with prescribed regimens. Intervention (NIC) Self Efficacy Enhancement Explore individual`s perception of his/her capability to perform the desired behavior Explore individual`s perception of benefits of executing the desired behavior Identify individual`s perception of risks of not executing the desired behavior Identify barriers to changing behavior Provide information about the desired behavior Assist individual to commit to a plan of action for changing behavior Reinforce confidence in making behavior changes and taking action Provide an environment supportive to learning knowledge and skills needed to carry out the behavior Use teaching strategies that are culturally and age-appropriate (e.g., games, computer assisted instruction, or conversation maps) Model/demonstrate desired behavior Engage in role play to rehearse behavior Provide positive reinforcement and emotional support during the learning Outcome (NOC) Compliance Behavior Accepts diagnosis........ Seeks reputable information about diagnosis ........ Discusses prescribed treatment regiment with health professional ........ Performs treatment regimen as prescribed ........ Keep appointments with health professional ........ Report changes in symptomps to health professional ........ Modifies treatment regiment as directed by health professional........ Monitor medication therapeutic effects ........ Perform self-screening whe directed ........ Perform activities of daily living as prescribed........ Seeks external reinforcement for performance of health behavior........ 35 Intervention (NIC) process and while implementing the behavior Provide positive reinforcement and emotional support during the learning process and while implementing the behavior Provide opportunities for mastery experiences (e.g., successful implementation of the behavior) Use positive persuasive statements regarding the individual`s ability to carry out the behavior Encourage interaction with other individuals who are successfully changing their behavior (e.g., support group or group education participation) Prepare individual for the physiologic and emotional states that may be experienced during initial attempts to carry out a new behavior Outcome (NOC) Measurement Scale 1= Never demonstrated 2= Rarely demonstrated 3= Sometimes demonstrated 4= Often demonstrated 5= Consistently demonstrated D. Penelitian Terkait Tabel 2.4 Penelitian Terkait Judul Penulis Metode Penelitian Hasil Penelitian Pengalaman Self-Care Wahyu Hidayati Kualitatif dengan Hasil penelitian menunjukkan baiknya pemahaman informan Berdasarkan Teori Orem & Kiki Wahyuni pendekatan tentang penyakit ginjal kronik dan hemodialisis melalui pemahaman pada Pasien Penyakit Ginjal (2012) fenomenologis informan akan pengalaman riwayat dahulu, masalah psikologis yang Kronik yang Menjalani Jurnal Nursing dialami informan seperti stress dan masalah ketidakberdayaan Hemodialisis Studies setelah vonis, namun bagaimana 36 Judul Penulis Metode Penelitin Hasil Penelitian mekanisme koping terhadap hal tersebut tidak dijelaskan, dan faktor penghambat dalam mempertahankan kondisi tubuh yakni faktor ekonomi, faktor mental, dan pengelolaan asupan cairan dan nutrisi pada pasien GGK, namun untuk faktor pendukung tidak dijelaskan. Upaya dan strategi yang dilakukan informan terkait self-care tidak dijelaskan. The Evaluation of Self-Care E. Bağ , & Kuantitatif melalui Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif antara and Self-Efficacy in Patients Mollaoğlu M. deskriptif survey self care agency dengan self efficacy pasien gagal ginjal Undergoing Hemodialysis (2010) kronis yang menjalani HD dimana kenaikan pada self care agency Journal of maka self efficacy pasien juga akan mengalami peningkatan. Evaluation in Didapatkan pula adanya hubungan antara self-care agency dengan Clinical Practice pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan, dan frekuensi HD. Sementara itu terdapat hubungan pula antara self efficacy dengan umur, status pekerjaan, tingkat pendapatan dan frekuensi HD. 37 Judul Penulis Metode Penelitian Hasil Penelitian Relationship Between M. Heidarzadeh , Kuantitatif cross- Hasil penelitian melaporkan bahwa 78,3% pasien menginginkan Quality of Life and Self-Care Atashpeikar S., & sectional kemampuan self care. Kemampuan self care yang paling banyak Ability in Patients Receiving Jalilazar T. diinginkan adalah perawatan akses vaskuler (arteriovenous) dan Hemodialysis (2012) yang paling sedikit diinginkan yakni terkait nutrisi. Penelitian juga Iranian Journal of menunjukkan adanya hubungan yang langsung dan signifikan antara Nursing and kualitas hidup pasien gagal ginjal terminal yang menjalani Midwifery hemodialisa dengan kemampuan self-care. Selain itu ditemukan Research pula hubungan yang langsung dan signifikan antara kemampuan self-care dengan dimensi fisik, psikologi dan sosial. Pengalaman Klien Anna Farida Kualitatif dengan Hasil penelitian menunjukkan pengalaman hidup pasien gagal ginjal Hemodialisa Terhadap (2010) pendekatan kronis yang menjalani hemodialisa terhadap kualitas hidup mereka Kualitas Hidup Dalam UI Journal fenomenologis didapatkan lima tema yaitu perubahan pemenuhan kebutuhan dasar, Konteks Asuhan kualitas spiritual yang meningkat, kualitas fisik dan psikologis Keperawatan di RSUP menurun, puas akan pelayanan keperawatan, kebutuhan akan 38 Judul Penulis Metode Penelitian Fatmawati Jakarta Hasil Penelitian dukungan sosial. Dari hal tersebut menunjukkan adanya perubahan secara fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan spiritual. Self-Management of Joanna Briggs Randomized Intervensi psikososial seperti intervensi terhadap self-efficacy Hemodialysis for End Stage Institute Controlled Trials (program training individu terstruktur) efektif dalam mengontrol Renal Disease (2011) peningkatan berat badan. Partisipasi pada pasien dalam program pemberdayaan efektif untuk meningkatkan level empowerment, self care self efficacy, dan untuk menurunkan level depresi. Terapi kelompok psikososial merupakan metode yang efektif meningkatkan kepercayaan diri dalam self-care. Program edukasi dan support telah menunjukkan keefektifan dalam dalam meningkatkan kemampuan psikososial dan performance dalam aktivitas sehari-hari. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa intervensi tersebut dapat efektif baik dalam bentuk individu atau grup. 39 Self-Care Management Pasien GGK E. Kerangka Teori Gambaran Self-Care dan Self Efficacy Hambatannya Sumber Dukungan Teori self efficacy Bandura (Bandura (1982) Basic Conditioning Factors : Umur , Jenis kelamin, Status perkembangan, Status kesehatan, Orientasi sosial budaya, Sistem perawatan kesehatan (diagnostik, penatalaksanaan modalias), Sistem keluarga, Pola hidup , Lingkungan, Ketersediaan sumber (Orem, 2001) Self-care Perubahan pada : (Orem, 2001) Basic Conditioning Factors (Black & Hawks, 2011) Self-care agency (Orem, 2001) Self-care demands (Orem, 2001) Fisiologis Farida (2010) Deficit Basic Conditioning Factors Nursing Agency (Orem,2001) Bagan 2.2 Kerangka Teori Modifikasi dari Orem (2001) dalam Alligood & Tomey (2010), Black & Hawks (2011), Farida (2010), Bandura (1982) Psikologis Spiritual Sosial ekonomi Gagal Ginjal Kronis BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka Konsep Tinjauan pustaka yang telah diuraikan diatas menunjukkan gambaran selfcare management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa perlu di ketahui dan diteliti sehingga dapat diketahui langkahlangkah, tindakan ataupun edukasi yang perlu diberikan perawat kepada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis agar memiliki kualitas dan kuantitas hidup yang lebih baik. Di bawah ini dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan dilakukan peneliti di wilayah Tangerang. Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Self-Care Management pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis Gambaran Self-Care dan Self Efficacy, Hambatannya Sumber Dukungan B. Definisi Istilah 1. Self-care management pasien GGK didefinisikan sebagai usaha positif yang pasien lakukan untuk mengatur dan berpartisipasi dalam perawatan kesehatan komplikasi, dirinya dalam mengontrol mengoptimalkan gejala, menyusun kesehatan, sumber mencegah medis, dan meminimalkan gangguan dari penyakit dalam kehidupan mereka (Curtin 40 41 & Mapes, 2001) serta usaha untuk mengimplementasikan regimen terapeutik pengobatan dalam aktifitas sehari-hari pasien sebagai upaya dalam merawat dirinya sendiri beserta self efficacy dalam pelaksanannya (penilaian diri pasien terhadap kemampuannya dalam merawat dirinya sendiri), hambatannya serta sumber dan bentuk dukungan yang dimiliki pasien. 2. Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD) didefinisikan sebagai pasien yang memiliki kondisi dimana ginjalnya mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuhnya gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009). 3. Terapi hemodialisis merupakan suatu teknologi tinggi untuk terapi penggantian fungsi ginjal dalam mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh dan zat-zat toksin di dalam tubuh melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dengan alat dialiser, melalui proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat (Smeltzer, 2001) BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk menafsirkan fenomena tentang respon keberadaan manusia dengan latar yang alamiah dengan metode wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Denzin & Lincoln, 1987 dalam Moleong, 2013). Desain penelitian kualitatif menurut Moleong (2013) merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dal lain-lain, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu kompleks alamiah. Pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari pengalaman dari perspektif partisipan/informan dimana mereka memperkenalkan bahwa banyak cara yang berbeda untuk menginterpretasikan pengalaman yang sama dan tidak pernah berasumsi bahwa peneliti mengetahui apa makna hal tersebut bagi mereka. Peneliti menghargai adanya pengalaman yang bervariasi dan kompleks tersebut (Emzir, 2012). Melalui pendekatan ini diharapkan peneliti dapat menggali informasi secara mendalam tentang gambaran self-care management dan self efficacy pasien gagal GGK yang menjalani hemodialisis. B. Partisipan Penelitian Pemilihan partisipan penelitian ini melalui teknik purpossive sampling dengan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy). 42 43 Kesesuaian (appropriateness) dimana sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan peneliti yakni : 1. Partisipan Utama Partisipan utama merupakan pasien GGK yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Pasien GGK yang berdomisili di wilayah Tangerang Selatan dan sedang menjalani terapi hemodialisis b. Dapat berkomunikasi dengan baik c. Bersedia menjadi partisipan dengan menandatangani lembar inform consent d. Kooperatif menjadi partisipan dalam penelitian 2. Partisipan Pendukung a. Keluarga partisipan (anggota keluarga yang selalu terlibat dalam proses perawatan pasien) Partisipan yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif menurut Lincoln dan Guba (1985) tidak dapat ditentukan spesifik sebelumnya. Penentuan jumlahnya dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung. Penambahan partisipan dapat terjadi dan dihentikan manakala datanya sudah jenuh atau telah terjadi saturasi data dimana data dari partisipan sudah tidak memberikan informasi baru untuk peneliti (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan pada 8 orang partisipan utama yakni 7 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Wawancara juga dilakukan kepada partisipan pendukung dari masing-masing partisipan utama yakni suami/istri mereka. 44 C. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Tangerang Selatan. Wawancara mendalam dilakukan di rumah masing-masing partisipan yang telah disarankan oleh Puskesmas Ciputat Timur, Pisangan, dan Puskesmas Benda Baru. Waktu penelitian terkait pengumpulan data dilaksanakan mulai Mei 2013 hingga Juni 2013. D. Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, cara mendapatkan hasil yang baik tergantung pada peneliti dalam mengelola atau memperdalam suatu data. Instrumen tambahannya meliputi : 1. Pedoman wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan alat pencatat dan alat perekam. Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti dengan partisipan utama dan pendukung. 2. Catatan Lapangan Catatan lapangan untuk mencatat hal-hal penting terkait ekspresi yang ditunjukkan pasien saat wawancara dan perilaku yang ditunjukkan pasien saat wawancara seperti saat gugup, cemas dan lainnya. E. Sarana Penelitian Sarana penelitian yang digunakan adalah alat-alat tulis, buku untuk mencatat, alat perekam, surat izin penelitian dan lembar inform consent dan persetujuan menjadi partisipan. 45 F. Teknik Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Juni 2013. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan metode wawancara mendalam yang berpedoman pada pedoman wawancara dan direkam dalam alat perekam. 2. Tahap pengumpulan Data a. Tahap Persiapan Pengumpulan Data Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus izin penelitian kepada Dinkes Tangerang Selatan, selanjutnya surat izin diteruskan kepada pihak Puskesmas baik Ciputat Timur, Pisangan dan Benda Baru, kemudian mencari rumah masing-masing partisipan sekaligus bertemu dengan partisipan utama dan pendukung untuk melakukan inform consent dan menjelaskan tujuan serta manfaat dari penelitian ini. b. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menemui partisipan yang telah disarankan oleh pihak Puskesmas. Peneliti melakukan inform consent dan pengenalan diri kepada partisipan utama dan pendukung, selanjutnya membuat kontrak waktu untuk wawancara dengan partisipan dan meminta nomor yang bisa dihubungi untuk membuat janji terlebih dahulu. Wawancara mendalam dilakukan terhadap partisipan maupun pendukung sesuai dengan kontrak waktu yang telah 46 disepakati. Pengambilan data atau proses wawancara mendalam dilaksanakan mulai Mei hingga Juni 2013. Wawancara menurut Moleong (2013) adalah percakapan dengan maksud dan untuk maksud tertentu dimana peneliti dan partisipan berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi secara jelas yang dapat menjelaskan masalah penelitian. Peneliti menggunakan jenis wawancara semi struktur yaitu wawancara mengajukan beberapa pertanyaan dengan leluasa namun berdasarkan pada pedoman wawancara yang telah disiapkan agar wawancara tidak menyimpang jauh. Pertanyaan dapat muncul secara spontan dengan perkembangan situasi dan kondisi ketika melakukan wawancara. Melalui teknik ini diharapkan terjadi komunikasi langsung, luwes, fleksibel serta terbuka, sehingga informasi yang didapatkan lebih banyak dan luas. Field & Morse (1985) dalam Holloway & Wheeler (2010) menyatakan bahwa wawancara mendalam dapat dilakukan dalam kurun waktu satu jam. Rata-rata peneliti membutuhkan waktu untuk wawancara mendalam yakni setengah jam hingga satu jam. Saat wawancara peneliti harus tetap memperhatikan kondisi dan ekspresi yang ditunjukkan partisipan sehingga peneliti dapat mengetahui dimana saat peneliti harus mengakhiri wawancara. Frekuensi pertemuan dengan partisipan bergantung pada situasi dan kondisi partisipan, serta kebutuhan peneliti dalam proses wawancara. Pengamatan pada sikap dan ekspresi selama proses wawancara juga dilakukan yang dicatat 47 pada buku catatan sebagai penguat data, serta untuk cross check data dan memperkaya informasi. G. Teknik Analisis Data Menurut Banonis (1989) dalam Streubert (2003) analisa data bertujuan untuk melindungi keunikan dari pengalaman hidup partisipan saat mengizinkan suatu fenomena yang dipahami untuk diteliti. Data yang diperoleh pada penelitian kualitatif diolah secara kualitatif naratif. Menurut Burns & Grove (2004) tahapan analisa data yang dilakukan meliputi : Bagan 4.1 Teknik Analisis Data Hasil wawancara dibuat ke dalam transkrip wawancara Membaca kembali transkrip wawancara hingga memahami isi wawancara Reduksi data / proses memilih data kasar atau data fokus Analisis Data Coding : mencari data spesifik dan diberikan nama kategori Reflective remarks Marginal remarks Memoing Display Data Cognitive Mapping Mengembangkan hipotesa tentang hubungan yang dapat diformulasikan dalam proporsi sementara Drawing and Verifying Conclusions Counting: Memaparkan data yang seringkali diucapkan dan merupakan pokok dari data Deskripsi lengkap laporan hasil data Deskripsi yang detail dari informan, setting, dan pengamatan dan pengalaman lingkungan dimana data dikumpulkan. 48 H. Validasi Data Limcoln dan Guba (1985) dalam Polit, Beck and Hungler (2001) mengusulkan empat kriteria untuk menyusun kepercayaan dan kualitas penelitian kualitatif karena lebih baik dalam mencerminkan asumsi-asumsi penting yang dilibatkan dalam banyak penelitian kualitatif. 1. Kredibilitas Kredibilitas menguraikan fokus penelitian dan menunjukkan kepercayaan diri terhadap kebenaran data dan bagaimana data diproses dan dianalisis dengan baik sesuai dengan fokus yang dimaksudkan (Polit & Hunger, 1999 dalam Granehim & Lundman, 2003). Cara yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melibatkan teman sejawat untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik dari awal proses hingga hasil penelitian (Bungin, 2008) 2. Transferabilitas Hasil penelitian kualitatif memiliki standar transferabilitas tinggi bilamana para pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian (Bungin, 2008). Untuk memfasilitasi hal tersebut maka sangat berarti apabila hasil penelitian dapat memberikan deskripsi yang jelas dan nyata dari budaya dan konteks, penyeleksian dan karakteristik partisipan, kumpulan data, dan proses analisis (Granehim & Lundman, 2003). 3. Dependabilitas Polit & Hunger (1999) dalam Granehim & Lundman (2003) menyatakan bahwa salah satu teknis untuk mencapai reliabilitas adalah dengan 49 melibatkan seorang auditor eksternal untuk melakukan audit dan menelaah hasil penelitian secara keseluruhan. Dalam hal ini auditor eksternal yang dapat dilibatkan adalah pembimbing dari peneliti baik pembimbing I dan II untuk mereview seluruh hasil penelitian. 4. Konfirmabilitas Konfirmabilitas sama halnya dengan objektifitas dan kenetralan dari data dimana hal tersebut merujuk pada objektifitas pada tingkat kemampuan hasil penelitian dapat di konfirmasi orang lain dan disetujui relevansi atau maknanya. Setelah melakukan penelitian, seseorang dapat melakukan audit yang menguji pengumpulan data dan prosedur analisis dan membuat penilaian tentang kemungkinan distorsi dan bias (Emzir, 2012; Polit, Beck & Hungler, 2001). Dalam penelitian ini peneliti melakukan validasi data dengan kembali kepada partisipan utama untuk mengkonfirmasi tranksrip wawancara mendalam yang telah peneliti susun dan berdiskusi dengan teman sesama mahasiswa maupun dosen pembimbing tentang hasil wawancara mendalam. I. Etika Penelitian Penelitian yang dilakukan sudah medapatkan persetujuan dari Dinas kesehatan Tangerang selatan serta Puskesmas tempat partisipan berdomisili. Menurut Wasis (2008) etika yang perlu diperhatikan oleh peneliti adalah sebagai berikut : 50 a. Otonomi Pasien memiliki kebebasan untuk memilih bersedia atau tidak menjadi pertisipan dalam suatu penelitian. Pasien bebas untuk menandatangani atau tidak lembar inform consent dari peneliti. Inform consent adalah suatu bentuk persetujuan dimana partisipan telah menerima dan mendapatkan keterangan yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, tujuan, dampak dan manfaat yang diperoleh serta jaminan kerahasiaan dalam penelitian tersebut. Peneliti tidak boleh memaksakan partisipan untuk terlibat dalam penelitian jika dirinya menolak untuk terlibat. b. Beneficence Perawat selalu mengupayakan agar segala tindakan yang diberikan kepada pasien mengandung prinsip kebaikan (Promote Good) dalam batas-batas hubungan terapeutik antara perawat dan pasien. Penelitian yang dilakukan dimana melibatkan pasien sebagai partisipan diharapkan juga mengadung prinsip untuk kebaikan partisipan, guna mendapatkan suatu metode atau konsep yang baru untuk kebaikan partisipan dan pasien lainnya . c. Nonmaleficence Karena mayoritas penelitian keperawatan menggunakan subyek manusia (pasien) maka penting halnya untuk memastikan keselamatan dan keamanan pasien. Penelitian yang dilakukan sebaiknya tidak mengadung unsur yang berbahaya dan merugikan pasien sebagai partisipan, lebihlebih mengancam nyawa pasien. d. Confidentiality 51 Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan. Sangat dianjurkan untuk tidak menyebutkan identitas partisipan dan mengekspos jawaban dari partisipan. Hal ini dimaksudkan agar partisipan tidak dirugikan karena dirinya merasa terekspos untuk khalayak ramai. Apabila diperlukan untuk mengekspos identitas pasien maka peneliti harus mendapatkan persetujuan dari partisipan dan peneliti harus menghargai hak-hak dari partisipan. e. Veracity Proyek penelitian yang dilakuakan hendaknya dijelaskan secara jujur tentang manfaat, efeknya, dan apa yang akan didapat partisipan yang terlibat di dalamnya karena partisipan berhak mengetahui maksud dari penelitian. f. Justice Dalam penelitian keperawatan baik model pemberian intervensi atau tidak, sebaiknya peneliti tetap mengedepankan upaya untuk memperlakukan partisipan penelitian secara adil (justice). BAB V HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada delapan partisipan melalui proses analisis data dari hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan dan ditemukan tema-tema yang selanjutnya dideskripsikan oleh peneliti pada hasil penelitian berikut ini. Penyajian hasil penelitian meliputi pemaparan gambaran umum wilayah penelitian yakni wilayah Tangerang Selatan, gambaran karakteristik partisipan utama meliputi inisial, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lama hemodialisis, dan gambaran karakteristik partisipan pendukung meliputi inisial, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, dan pekerjaan, serta pemaparan hasil penelitian yakni deskripsi gambaran selfcare management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di wilayah Tanggerang Selatan. Penyajian hasil penelitian akan diuraikan dalam bentuk naratif berikut ini : A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang pembentukan Kota Tanggerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanggerang bertujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Kota Tanggerang Selatan terletak di bagian timur provinsi Banten yaitu pada koordinat 106’38’ – 52 53 106’47’ BT dan 06’13’30 – 06’22’30 LS dan secara administratif terdiri dari 7 kecamatan, 49 kelurahan, dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14,719 Ha. Hasil Sensus penduduk BPS Kota Tanggerang Selatan jumlah penduduk Kota Tanggerang selatan adalah 1.290.322 jiwa. Penduduk berjenis kelamin laki-laki sebesar 652.281 jiwa dan perempuan 638.041 jiwa. Data menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) Tangerang Selatan menunjukkan pasien gagal ginjal kronis di wilayah tersebut berjumlah 170 orang. B. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Partisipan Dalam penelitian ini partisipan dibagi menjadi dua yaitu partisipan utama dan partisipan pendukung. Partisipan utama adalah pasien GGK yang sedang menjalani terapi hemodialisis dan berdomisili di wilayah Tangerang Selatan. Partisipan pendukung adalah seseorang yang terlibat secara penuh dalam proses perawatan pasien GGK dan mengetahui keseharian pasien. a. Partisipan Utama Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada delapan partisipan utama yang berumur antara 35-63 tahun dengan rata-rata umur pasien 44 tahun dan telah menjalani hemodialisis selama kurun waktu 6 bulan hingga 7 tahun. Delapan partisipan utama dalam penelitian ini terdiri atas 7 partisipan laki-laki dan satu partisipan perempuan yang berdomisili di beberapa wilayah di Tangerang Selatan dan beragama Islam. Wawancara mendalam dilakukan di rumah masing-masing partisipan dengan sebelumnya menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta memberikan 54 lembar inform consent sebagai lembar persetujuan menjadi partisipan.. Karakteristik dari masing-masing partisipan utama dalam penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut : Tabel 5.1 Karakteristik Partisipan Utama Inisial Umur (Th) Tn. Pi (P1) Tn.Ah (P2) Tn. As (P3) Tn. Am (P4) Tn. Si (P5) Tn. Za (P6) Tn. Ma (P7) Ny. Sm (P8) Keterangan : Pekerjaan Pendidikan Terakhir Lama Hemodialisis Frekuensi HD (seminggu) SLTA 1 Tahun 2 kali SLTA 2 Tahun 2 kali PGA 6 Bulan 3 kali Pensiunan 63 Karyawan Tekstil Pensiunan 53 Karyawan Pariwisata Kepala 63 Kelurahan Pensiunan 44 Sopir Pribadi 1 Tahun 3 SMEA Bulan 2 kali SD 2 Tahun 2 kali STM 7 Tahun 2 kali STM 3 Tahun 2 kali SMA 5 Tahun 2 kali Sopir 47 Angkutan Umum Karyawan 47 Lepas Pensiunan dari 59 perkapalan (PPD) Ibu Rumah 35 Tangga *P = Partisipan 55 b. Partisipan Pendukung Partisipan pendukung dalam penelitian ini adalah seseorang yang terlibat penuh dalam perawatan dan mengetahui keseharian partisipan. Partisipan pendukung dalam penelitian ini adalah pasangan (suami/istri) dari masingmasing partisipan utama dan seluruhnya beragama Islam. Wawancara yang dilakukan adalah untuk memverifikasi gambaran self-care management yang telah diuraikan oleh masing-masing partisipan dengan tujuan untuk memperkaya informasi dalam penelitian ini. Tabel 5.2 Karakteristik Partisipan Pendukung Keterangan IRT Pendidikan Terakhir SMA 40 IRT SMK Istri P2 Ny. H 56 Ketua PKK SMA Istri P3 Ny. A 42 IRT SMP Istri P4 Ny. ED 39 IRT SD Istri P5 Ny. S 42 IRT SMA Istri P6 Ny. Mu 57 IRT SLTA Istri P7 Tn. R 38 Wiraswasta SMEA Suami P8 Inisial Pekerjaan Ny. SY Umur (Th) 58 Ny. SA Keterangan : Istri P1 *P = Partisipan 2. Hasil Analisa Data Berdasarkan analisa data dari transkrip wawancara partisipan didapatkan gambaran self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan meliputi self-care dalam aspek pemenuhan 56 kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan spiritual mereka yang akan diuraikan sebagai berikut : a. Pemenuhan Kebutuhan Fisik Aspek pemenuhan kebutuhan fisik pada self-care management partisipan merupakan bentuk self-care management terkait upaya pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan fisik mereka sesuai dengan regiment terapeutik pengobatan yang dianjurkan oleh tenaga medis. Aspek pemenuhan kebutuhan fisik ini meliputi : 1) Pengaturan nutrisi; 2) Pengaturan intake cairan; 3) Regiment pengobatan; 4) Perawatan akses vaskuler; 5) Aktifitas istirahat/tidur dan olahraga yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Kategori Sub Tema Tema Pengaturan Nutrisi Pengaturan Intake Cairan Regiment Pengobatan Pemenuhan Kebutuhan Fisik Self-care Management Perawatan Akses Vaskuler Aktifitas Istirahat/Tidur dan Olahraga Bagan 5.1 Self-care management terkait aspek pemenuhan kebutuhan fisik 57 1) Pengaturan Nutrisi Enam dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management berupa upaya mereka dalam mengatur asupan nutrisi (makanan) yang mereka konsumsi. Pengaturan nutrisi ini terkait dengan makan teratur, makan sesuai empat sehat, mencuri-curi makan makanan yang dilarang, menghindari makanan tinggi kalium, menghindari makanan yang membuat sesak, menghindari buah kecuali pepaya, makan buah dengan jumlah terbatas, menghindari buah belimbing dan pisang, menghindari buah yang asam dan berserat, menghindari sayuran seperti timun, kangkung dan bayam, makan tidak berpantang atau bebas, porsi makan berkurang, menghindari makanan berlemak dan protein, dan makan makanan padang (bersantan). Pengaturan nutrisi klien meliputi apa saja yang dimakan dan dihindari serta dibatasi oleh klien baik dari sayuran dan buah-buahan. Pengaturan makan pada pasien GGK dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini : 58 Sub Kategori Kategori Sub Tema Tema Makan dengan teratur Makan sesuai 4 sehat mencuri-curi makanan yang dilarang Menghindari makanan tinggi kalium menghindari makanan yang membuat sesak menghindari makan buah kecuali pepaya Makan buah dengan jumlah terbatas Pengaturan Nutrisi menghindari buah belimbing dan pisang Menghindari buah yang asam dan berserat menghindari sayuran seperti timun, kangkung dan bayam makan tanpa pantangan atau bebas menghindari makanan berlemak dan protein Makan makanan padang (bersantan) Bagan 5.2 Pengaturan Nutrisi Pemenuhan Kebutuhan Fisik Self-care Management 59 Berikut ungkapan-ungkapan partisipan mengenai self-care management terkait dengan pengaturan nutrisi : “......Ya kalau misalnya ibu memaksakan untuk makan ya Bapak makan. Ya bagaimana ya..??? merawat ya makanan aja, jadi makanannya itu empat sehat aja. Kalau bapak yang dilarang, bapak gak makan. ya tapi kadang-kadang bapak suka beli. Beli, kadangkadang nanas, makan bapak, nyuri-nyuri lah. kalau disiplin banget kan bapak nanti bukan malah gemuk, kurus malahan. Bapak malah gak kuat HD Yang kalium tinggi bapak gak pernah makan.”(P1) “.......Makan sih apah ajah saya makan, nggak ada pantangan apalagi kalo makan, apah ajah saya makan, kecuali yang pernah saya makan itu nyesek saya berenti.....”(P2) “....Makan tu dari dr. A makan buah nggak boleh, kecuali pepaya. Makan saya hanya pagi sarapan, siang, malem nggak makan nasi, udah makan yang lain, makan ubi, makan tales, roti-roti. (P5) “.........makan juga mantang emang. Seperti sayuran itu timun, kangkung saya nggak makan udah. buah..buah-buahan itu paling pepaya lah...paling ini sepotong lah sekali untuk pencernaan saya. Kalau buah saya sudah sama sekali enggak. Paling pepaya lah. Nggak berani..Karna bukannya ini .badan timbulnya nggak enak gitu makan buah.” (P4) 'Buah nggak boleh terlalu banyak, boleh sedikit-sedikit ajah. ya kalo itu yah makan....Belimbing apalagi nggak sama sekali Kalo belimbing nggak boleh. Sayuran bayem itu sama sekali nggak boleh. Kalo makan sayur itu kuahnya jangan terlalu banyak. Air juga itu. Melinjo juga nggak boleh Dari makannya kalo masak sendiri maunya yang anehaneh, maunya makannya padang gitu..” (P5) “.....makannya harus teratur.... apa yang disarankan dokter........Apa yang disarankan dokter harus kita taati. Misalkan dokter nggak boleh makan ini..boleh makan tapi jangan terlalu berlebihan. Kaliumnya kita harus jaga juga. Buah-buahan juga ada yang harus kita jaga juga..” (P6) “Yah ngerawat biasa-biasa ajah, dikurangi.....makan gitu aja. Yah banyak yah yang nggak bisa dimakan......Susu, yang lemak-lemak, daging..pokoknya yang enak-enak lah. Protein-protein, pisang ajah nggak boleh. Yang boleh cuman makan pepaya ama melon sedikit juga boleh. Takutnya begah, kembung”(P7) 60 2) Pengaturan Intake Cairan Semua partisipan utama mengungkapkan bahwa self-care management mereka termasuk dalam pengaturan intake cairan mereka sehari-hari. Partisipan mengungkapkan bahwa pengaturan intake cairan atau minum mereka terbatas. Strategi yang mereka lakukan dalam mengatur minum yang terbatas dilakukan dengan beberapa cara seperti membatasi minum dengan satu gelas kecil yang sama dan menggunakan sedotan kecil saat minum, membatasi minum dengan menggunakan botol berukuran 300 cc, membatasi minum dengan menggunakan botol 600 cc, mengurangi intake cairan dari sayur berkuah, IDWG yang terukur dan memiliki kebiasaan minum teh hangat di pagi hari. Namun ada juga partisipan yang mengungkapkan bahwa dirinya sudah tidak membatasi minumnya lagi karena merasa tidak sanggup jika minumnya dibatasi. Beberapa partisipan juga mengungkapkan strategi dalam mengatasi haus atau rasa panas akibat pembatasan cairan yakni dengan menurunkan suhu tubuh melalui mandi atau berkumur. Pengaturan pengaturan intake cairan pada pasien GGK dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini : 61 Sub Kategori Kategori Sub Tema Tema Pemenuhan Kebutuhan Fisik Self-care Management membatasi minum dengan cara satu gelas yang sama dan menggunakan sedotan membatasi minum namun tidak terukur mebatasi minum dengan menggunakan botol berukuran 300 cc membatasi minum dengan menggunakan botol ukuran 600 cc Mengurangi intake cairan dari sayur berkuah Pengaturan Intake Cairan Tidak sanggup membatasi minum kebiasaan minum teh hangat saat pagi hari IDWG yang terukur Menurunkan suhu tubuh dengan mandi dan berkumur Bagan 5.3 Pengaturan Intake Cairan Berikut ini ungkapan-ungkapan partisipan mengenai self-care management terkait dengan pengaturan intake cairan : “....tempatnya satu. Jadi gak banyak tempat. Jadi misalnya kalau gelas ini ya gelas ini. Bapak gelas ini terus sih (menunjukkan gelas). cara minumnya juga....caranya bapak minumnya dalam satu gelas saja. Satu tempat ajah. ya kira-kira 600 cc lah. Yaitu bapak caranya disedot pake sedotan aqua gelas ya tiga sedot cukup lah. Tiga kali sedotan berapa 62 sih isinya...? jadi bapak pakai sedotan ajah , isinya juga berapa banyak sih. Kalau misalnya minumnya langsung ditenggak itu ya banyak. Tapi bapak kan naiknya rata-rata 2 kilo berarti kan gak kelebihan air. Dilihat dari berat awal dan akhir saja pada waktu HD Senin Kamis Senin Kamis..kenaikan rata-ratanya 2 kg. Nggak pernah banyak. 2 kg...2,5 lah paling banyak.......”(P1) “....Cuman pas kena yah apa boleh buat, 2 gelas tapi itu pun saya nggak yakin dengan dua gelas itu, karena saya masih minum obat 3 kali sehari. Kadang pas makan saya nggak minum, minum obatnya...eeee minumnya itu pas mau minum obat, saya minum habis segelas, bisa segelas setengah. Maka saya nggak yakin dengan 2 gelas air tu saya nggak yakin.Saya lebih dari itu pasti....bisa 3 gelas mah ada. 3-4 gelas. Kalo udah ada sayurnya umpamanya yang berkuah jangan kalo bisa air ininya jangan terlalu banyak......”(P2) “.......minum yah teratur gitu. Cuman emang tidak terlalu banyak minumnya. Sehari jadi satu botol. Kalo perlu yah dikurangi lah kalo nggak yah perut bisa (mempergakan perut membuncit) sesak napas. kalau saya itu kalau pagi tuh minum teh manis, trus selanjutnya yah satu botol aqua (600 cc) itu lah. Itu sampe sore lah...sampe malem lah. Kalau sekarang ini saya ingin menjaga kondisi saya. Cuman kalau minumnya terlalu banyak yah cepet anu sesak napas.”(P4) “........minumnya juga harus di jaga terutama minumnya harus air putih aja.. Sewaktu-waktu kita harus minum air manis..teh manis untuk menjaga kondisi tubuh supaya bisa fokus. Takaran minum paling banyak itu 1,5 liter, dalam tempo 3 hari harusnya.” (P6) “....dikurangi minum ... gitu aja. Kalau boleh minum tuh paling banyak sehari itu sedikit, sebotol ..segelas itu lah (menunjuk ke gelas taperware) sehari...kalau boleh, kalau sanggup. Tapi saya nggak sanggup.”” (P7) Partisipan pendukung juga mengungkapkan bahwa self-care management dalam pembatasan intake cairan merupakan prioritas utama yang harus diperhatikan seperti diungkapkan sebagai berikut : ”Yah paling cuman dia jaga minum. Yang nomer satu itu jaga minum. Minumnya jangan banyak. Kalau minumnya banyak yah dia sesak napas.” (Suami P8) 63 Satu partisipan mengungkapkan strategi yang dilakukan untuk mengatasi haus akibat pembatasan cairan yakni dengan berkumur dan mandi untuk menurunkan suhu tubuhnya seperti diungkapkan seperti berikut ini : “Bapak kalau misalnya ngilangin haus bapak kumur dulu. Kalau gak mandi. Awalnya mandi terus kumur pakai air secukupnya. Jadi kalau udah gak haus lagi kan gak mau minum banyak. Kan kalo mau minum banyak itu kan pas kalau haus....kan minumnya pasti ditenggak.........”(P1) “....Kadang jam 3 malam mandi kalau lagi panas. Kalo lagi gerah jam 3 sebelum adzan udah mandi. Mandinya lihat situasi ajah. Karena kurang minum bisa 6 kali sehari, mandi guyur..guyur udah, kalo lagi panas. Kan minumnya sedikit. Tengah malam kan karena panas karena minumnya sedkit, keringat nggak ada kan panas yah mandi.”(P8) 3) Regiment Pengobatan Dua dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk mengikuti regiment pengobatan dari tenaga medis terkait terapi hemodialisis, program diet, dan pembatasan cairan. Berikut merupakan ungkapan partisipan mengenai self-care management terkait dengan regiment pengobatan : “yah itu..sesuai dengan dokter aja, menjalankan sesuai dengan petunjuk dokter, udah gitu ajah. Kalau saya uraikan nggak cukup satu buku. Yah saat ini kan sedang menjalani cuci darah, yah itu dilaksanakan. Sesuai dengan anjuran dokter cuci darah seminggu 3 kali, selasa, kamis, jum’at. Makan itu dari dr. A makan buah nggak boleh, kecuali pepaya, minum satu botol itu sehari, nggak boleh lebih dari itu. ”(P3) 64 4) Perawatan Akses Vaskuler Semua partisipan utama mengungkapkan bahwa self-care management mereka juga berfokus pada usaha untuk merawat akses vaskuler mereka. Tujuh dari delapan partisipan menggunakan akses vaskuler cimino dan satu partisipan menggunakan akses vena femoral dikarenakan akses ciminonya sudah tidak berfungsi sejak 7 tahun yang lalu. Partisipan utama mengungkapkan beberapa cara yang mereka lakukan untuk merawat dan mempertahankan akses vaskuler cimino mereka baik dengan latihan meremas-remas bola, memeriksa desiran, tidak mengangkat benda berat dan terjepit ataupun tertindih. Perawatan akses vaskuler yang dilakukan pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini : Sub Kategori Kategori Latihan meremas-remas bola/ mengepal-ngepalkan tangan Memeriksa desiran Tema Perawatan Akses Vaskuler Cimino Tidak mengangkat benda berat Pemenuhan Kebutuhan Fisik Cimino tidak terjepit atau tertindih Merawat bekas tusukan, minum obat dan herbal Sub Tema Perawatan akses vaskuler femoral Bagan 5.4 Perawatan Akses Vaskuler Self-care Management 65 Empat dari tujuh partisipan utama dengan akses vaskuler cimino mengungkapkan cara merawat akses vaskuler dengan latihan meremasremas bola dan mengepal-ngepalkan tangan seperti diungkapkan sebagai berikut : “Bapak agak latihan ajah,.........nah itu bapak sering latihan pakai bola terus. Jadi ciminonya agak gerak. Jadi gerak, agak membesar. Getarannya jadi agak besar karena latihan..pakai bola ajah gini (gerakan meremas-remas bola), pake bola tensi gitu. Jadi disini getarannya ada terus, jangan sampe ilang.”(P1) “Saya latihan ini...meremas-remas bola. Hari ini nggak saya bawa bolanya..biasanya pas lagi nggak ada gini saya latihan remes-remes bola aja.”(P3) “Ohh, itu si kata susternya harus sering latihan begini (mempraktekkan dengan mengepal-ngepalkan tangan), supaya denyut nadinya itu kenceng, kalau disininya pelan (menunjukkan nadi brakhialis) ya disininya (tempat cimino) ya lemes.”(P4) Empat partisipan utama juga mengungkapkan hal-hal yang perlu dihindari untuk mempertahankan akses vaskuler cimino mereka yakni tidak mengangkat sesuatu yang berat dan mengangkat barang dengan berat lebih dari 3 kg seperti diungkapkan sebagai berikut : “Nggak boleh ngangkat yang berat-berat Yah..pokoknya nggak boleh ngangkat yang berat-berat itu aja.......Kalo nggak ngangkat yang beratberat bisa bertahan lama. Bisa sampai beberapa tahun gitu lah kalo kata dokter. Mungkin dijaga di rawat nggak boleh ngangkat yang berat-berat.” (P2) “Nggak boleh bawa berat-berat,.......”(P5) ”Eee...nggak boleh ngangkat lebih dari 3 kg, kalo ngangkat lebih dari 3 kg dia mati, desirannya nggak ada, hilang. Kalau masih ada desirannya masih berfungsi dia.” (P7) “................Nggak boleh ngangkat berat.” (P8) 66 Hal lain yang juga perlu dilakukan sebagai upaya untuk merawat akses vaskuler cimino yakni menjaga agar cimino tidak ketidihan atau terjepit seperti yang diungkapkan oleh dua partisipan sebagai berikut : “Perlu dihindari jangan sampe ketindihan. Kalo tidur kan bisa ituh ketindihan, makanya harus hati-hati jangan sampe ketindihan.”(P1) ”Nggak ada...hanya jangan mengangkat yang berat, kejepit, ketindih..kalo ketindih itu kan ketahan. Itu nggak boleh ketindih lah ama ngangkat nggak boleh”(P7) Partisipan utama dengan akses vaskuler vena femoral mengungkapkan cara perawatan akses vaskuler yang dilakukan yakni dengan menjaga kesehatan dan kebersihan bekas tusukan serta dengan minum obat yang bagus seperti diungkapkan berikut ini : “Bekas tusukannya yah kalau kita rajin merawatnya daripada kesehatan dan kebersihannya saya rasa baik kondisinya, minum obat yang bagus.............”(P6). 5) Aktifitas Istirahat/Tidur dan Olahraga Satu dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk dalam aktivitas istirahat/tidur yakni dengan tidur malam dengan cukup dan teratur seperti diungkapkan dengan kalimat berikut : “....................tidur malem juga harus teratur................cukup bapak tidurnya. 5 jam.”(P6) Selain istirahat/tidur hal lain yang juga menjadi bagian dari selfcare management yakni olahraga yang diungkapkan oleh empat partisipan utama. Olahraga yang dilakukan oleh partisipan utama meliputi olahraga tangan yakni mengerak-gerakkan tangan, olahraga 67 jalan kaki, olahraga yang tidak melelahkan, berjalan di halamaan seperti diungkapkan sebagai berikut : “........Jadi olahraganya olahraga tangan ajah. Tapi kadang kan bapak gini (menggerak-gerakkan tangan) tegang, jadi bapak jalan ajah untuk melatih persendian..........”(P1) “.........kita bisa berolahraga taroh lah seminggu sekali...Jalan kecil aja........ 5 bulan kesinilah saya baru olahraga seminggu sekali.”(P2) “Olahraga paling jalan bolak balik di depan rumah.”(P3) “Olahraganya jangan terlalu capek, olahraganya saya hanya berkebun dan jalan..bekerja. tapi dengan aktifitas yang ringan. Jangan terlalu capek,..............”(P6) b. Kondisi Psikologis Aspek kondisi psikologis pada self-care management pasien GGK merupakan bentuk self-care management dari segi psikologis mereka. Aspek kondisi psikologis pada self care management pasien GGK meliputi self efficacy dalam pelaksanaan self-care management, kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif (putus asa), dan banyak aktifitas yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini : 68 Sub Kategori Kategori Sub Tema Tema Mampu Belum mampu Ada yang mampu dan ada yang tidak Self Efficacy dalam pelaksanaan selfcare management Pengaturan Nutrisi Pembatasan Cairan Keteraturan minum obat Kepatuhan terhadap regiment pengobatan Ketidakdisiplinan dalam pengaturan nutrisi dan makanan pantangan Ketidakmampuan dalam membatasi minum Ketidakteraturan dalam minum obat Keputusaan terhadap keadaan Memperbanyak aktifitas Kondisi Psikologis Self-Care Management Ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan Koping Maladaptif (Putus Asa) Banyak aktifitas Bagan 5.5 Self-care management terkait aspek kondisi psikologis 69 1) Self Efficacy dalam Pelaksanaan Self-Care Management Enam dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa mereka memiliki kemampuan terkait self-efficacy dalam melaksanakan self-care management. Mereka mengungkapkan bahwa mereka mampu dalam merawat diri mereka sendiri seperti diungkapkan sebagai berikut : “Mampu...Buktinya saya bisa HD sendiri, gitu........”(P2) “Mampu lah..pelan-pelan mah”(P5) “Mampu (dengan tegas dan lugas)......mampu (tersenyum).........Kalau kita masih mampu merawat diri kita sendiri, bersyukurlah kepada Tuhan..kepada Allah............”(P6) ”Yah mampu lah..gimana nggak mampu...nggak mampu yah udah, mau bilang apa lagi. Di mampu-mampu in. Yah cuci darah begini.”(P7) ”Yah mau..nggak mau..abis gimana..hehe(tertawa).Yah harus mampu lah.”(P8) Satu partisipan dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa dirinya belum mampu dalam pelaksanaan self-care management karena masih membutuhkan orang lain seperti diungkapkan sebagai berikut : “Belum mampu lah kalo sekarang. Saya masih membutuhkan ibu juga.”(P3) Satu partisipan utama juga mengungkapkan bahwa dirinya dalam pelaksanaan self-care management merasa ada yang mampu dan ada yang tidak mampu dilakukan seperti yang diungkapkan berikut ini: “Yah mungkin ada yang mampu ...ada yang tidak mampu. Yang ringan-ringan tuh mampu, kalau berat yah nggak mampu misalnya sekarang saya berangkat ke rumah sakit jalan sendiri yah nggak 70 mampu selain itu kan juga takut juga. Ibu juga nggak tega ngelepasin saya. Kalau bapak maunya yah mandiri. Maunya ke rumah sakit sendiri maunya.” (P1) 2) Kepatuhan terhadap Regiment Pengobatan Partisipan utama juga mengungkapkan tentang kepatuhan mereka terhadap regiment nutrisi/diet, pembatasan cairan, dan pengobatan. Empat partisipan utama mengungkapkan bahwa mereka mematuhi regimen nutrisi/diet dan pembatasan cairan sesuai dengan anjuran tenaga medis. Mereka mengungkapkan tentang makanan-makanan yang mereka harus hindari, buah-buahan yang diperbolehkan, menjaga asupan makanan yang mengandung kalium dan protein. Berikut ungkapan kepatuhan partisipan utama terhadap regimen nutrisi/diet : “...................makan juga mantang emang. Seperti sayuran itu timun, kangkung saya nggak makan udah. Buah-buahan itu paling pepaya lah...paling ini sepotong lah sekali untuk pencernaan saya. Kalau buah saya suah sama sekali enggak......Karna bukannya ini...badan timbulnya nggak enak gitu makan buah.”(P3) “..........Misalkan dokter nggak boleh makan ini, boleh makan tapi jangan terlalu berlebihan......... Kaliumnya kita harus jaga juga. Buahbuahan juga ada yang harus kita jaga juga, yah terutama buah-buahan yang asem trus yang berserat itu nggak boleh. Kita harus makan makanan yang misalnya buah terutama pepaya aja yang kita makan, itu juga porsinya nggak boleh banyak-banyak hanya spasi’.’ Spasi’ itu sepotong. Nanti kalo dia kebanyakan kan nanti airnya mengendap di jantung.” (P6) “Susu, yang lemak-lemak, daging..pokoknya yang enak-enak lah. Protein-protein, pisang ajah nggak boleh. Yang boleh cuman makan pepaya ama melon sedikit juga boleh. Takutnya begah, kembung.” (P7) Terkait dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan partisipan utama mengungkapkan bahwa intake cairan atau minum mereka kurang 71 lebih 6 cc setiap hari dengan strategi dan cara mereka masing-masing. Satu partisipan utama membagi minumnya menjadi 3cc untuk pagi hingga sore dan 3 cc untuk sore hingga pagi keesokan hari. Satu partisipan utama mengatur minumnya menjadi 1,5 liter untuk 3 hari. Berikut ungkapan-ungkapan partisipan utama terkait pembatasan cairan : “Ini cuman 3 cc dari magrib sampe pagi yah segini , dari pagi sampe sore., dari subuh sampai sore yah segini . Menurut kita kurang tapi itu kan anjuran dokter juga. Nggak boleh banyak air. Ntar kalo banyak air ginjalnya nggak kuat...nggak kuat bekerjanya.” (P3) “Kalau saya itu kalau pagi tuh minum teh manis, trus selanjutnya yah satu botol aqua itu lah. Itu sampe sore lah...sampe malem lah. Kalau sekarang ini saya ingin menjaga kondisi saya. Cuman kalau minumnya terlalu banyak yah cepet anu sesak napas .”(P4) “Takarannya paling banyak itu 1,5 liter, dalam tempo 3 hari harusnya. minumnya segitu (1,5 L untuk 3 hari) karena kita udah nggak mengeluarkan air seni..ya kan. Jadi kita harus minumnya segitu. Nanti kalo kita lebih dari segitu misalnya bisa 4 atau 3 nanti perut kita akan buncit (memperagakan bentuk perut buncit) dan bengkak kayak kaki gini (menunjuk pada kaki). Karena tidak mengeluarkan cairan.”(P6) Empat partisipan mengungkapkan bahwa mereka teratur dalam minum obat seperti yang sudah diresepkan oleh dokter. Mereka mengungkapkan bahwa diri mereka rutin dan teratur minum obat serta tidak berhenti minum obat seperti diungkapkan berikut ini : “Yah minumnya teratur....... saya nggak pernah mutus obat ..........”(P4) “Teratur...teratur itu ketika kita diresepkan sama dokter itu obat darah tinggi harus minum 1 hari 3 kali , minum 1 hari 3 kali..iya kan......”(P6) 72 “Obat rutin itu ada 3 asam folat. B12, CaCo3..itulah yang rutin......... Itu diminum 3 kali sehari...... kita ajah yang ngatur.”(P7) “Masih rutin. Obatnya ada CaCo3, ISDN obat jantung, vitaminvitamin...B12, obat darah tinggi klonidin....paling obat mual, dia kan seringnya mual. Kalo mual diminum kalo nggak mual yang nggak diminum.” (P8) 3) Ketidakpatuhan terhadap Regiment Pengobatan Partisipan utama juga mengungkapkan tentang ketidakpatuhan mereka terhadap regiment nutrisi/diet, pembatasan cairan, dan pengobatan. Empat partisipan utama mengungkapkan bahwa mereka tidak mematuhi regimen nutrisi/diet dan pembatasan cairan sesuai dengan anjuran tenaga medis. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya ada yang mencuri-curi untuk makan makanan yang dilarang, bebas dalam makan, dan tidak ada pantangan dalam makan. Berikut ungkapan ketidakpatuhan partisipan utama terhadap regimen nutrisi/diet : “Kalau bapak yang dilarang, bapak gak makan, ya tapi kadang-kadang bapak suka beli, kadang-kadang nanas, makan bapak, nyuri-nyuri lah, kalau disiplin banget kan bapak nanti bukan malah gemuk, kurus malahan. Bapak malah gak kuat HD.” (P1) “Ngikutin pantangan. 1-2 bulan ngikut pantangan . Tapi kesininya apa ajah saya makan, kalau ikut pantangan yah ituh. Jadi susah makan. Kalau sekarang ini makan apa ajah kita makan. Apalagi saya kan jaga, Hb saya kan harus..harus..harus stabil. .............Makan aja ...sekiranya tuh nyesek yah cukup lah sekali ajah. Juga kita makan nggak terlalu membabi buta juga sich, kira-kira. Jangan sampe kebanyakan juga takutnya ada masalah, kurang juga jangan sampe karena saya harus jaga Hb, jangan sampe ngedrop gitu.” (P2) ”Makannya mah nggak ada....nggak ada pantangan. Semua dimakan. Sebab kalo malah dipantang Hb nya malah turun. Kalo dulu kan istilahnya nggak boleh makan ini..nggak boleh makan ini. Ya udahlah makan ajah semua. Yang penting dibatesin ajah kayak buah. Buah makan semua. Kan aturannya nggak boleh, kata dokter kan dibatesin 73 bukannya nggak boleh semua. Jadi seharusnya satu yah ¾ lah gitu.”(P8) Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan diungkapkan partisipan utama dengan ungkapan bahwa mereka minum lebih dari yang dianjurkan oleh dokter, susahnya dalam menjaga minum, dan kebebasan dalam minum tanpa pembatasan. Berikut ungkapan ketidakpatuhan partisipan utama terhadap pembatasan cairan : “Cuman pas kena yah apa boleh buat, 2 gelas tapi itu pun saya nggak yakin dengan dua gelas itu, karena saya masih minum obat 3 kali sehari.nah itu ajah dah pasti kena air, nggak boleh nggak ya kan. Lom saya makan cemilan, lom saya harus sarapan, makan siang, makan malem...gitu...........Maka saya nggak yakin dengan 2 gelas air tu saya nggak yakin. Saya lebih dari itu pasti.” (P2) “Yah pokoknya sehari harus bisa satu botol aqua yang sedeng itu. kalo bisa mah...ya kan susah namanya minum haus, nggak bisa lah. Harusnya sebenarnya minumnya dijaga, tapi nggak bisa segelas lebih lah. Ada kali sebotol aqua yang sedeng itu..lebih kali. Belum minum obatnya. Yah sesuai dia..orang minumnya nggak bisa dianuin sih dia.Gimana yah. Memang harusnya dijaga minumnya.” (P5) “Kalau boleh minum tuh paling banyak sehari itu sedikit, sebotol ..segelas itu lah (menunjuk ke gelas taperware) sehari...kalau boleh, kalau sanggup. Tapi saya nggak sanggup. nggak bisa ditentukan ajah. Minum-minum ajah.”(P7) “.......Sebenernya dulu kan ditaker yah satu apa itu...600 ml.Tapi kelama-lamaan yah capek juga kan, nggak tahan juga, panas. Jadi yah sebisanya ajah, pake perasaan ajah udah. Jangan ampe kebanyak, ampe kelewatan itu ajah......”(P8) Empat partisipan mengungkapkan bahwa mereka tidak teratur dalam minum obat mereka. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya malas, bosen, lupa, dan seingatnya saja dalam minum obat. Hal tersebut diungkapkan oleh partisipan utama maupun partisipan pendukung seperti diungkapkan berikut ini : 74 “..........kalo lagi males yah juga males saya nggak bakal minum....itu lupa yah sering, kalo lagi males yah sering. Yah bosen...ada rasa ... ada rasa bosen. Kalo nggak bosen mungkin pasti saya minum. Ada rasan bosen. Yah kadang-kadang lupa, ada rasa bosen lah gitu lah .” (P2) “Minumnya udah nggak teratur..... Minumnya kalo dia inget minum dah, kalo nggak yah nggak gitu kan obat. Abiznya mungkin udah berbau kali, udah kelamaan.Udah males kali minum obat..hehehe(tertawa). Susah minum obat kata dokter juga. Minumnya pas inget doang. Kalo nggak enak badannya baru itu minum....” (Istri P5) 4) Koping Maladaptif (Putus Asa) Satu partisipan juga mengungkapkan koping yang maladaptif dimana partisipan merasa putus asa terhadap penyakitnya seperti diungkapkan berikut ini : ”Ya..kalau nggak butuh (self-care management) buat apa saya harus cuci darah. Memang saya maunya mati daripada hidup. Kalau boleh itu Allah bertanya kamu mau hidup atau mati, terus terang saya pilih mati, soalnya nggak ada arti hidup kita sebagai laki-laki..udah nggak ada (mata berkaca-kaca dan terlihat air mata disudut mata pasien.......... Putus asanya saya di hidup. Lama ini prosesnya. Saya tanya ada nggak obatnya..nggak ada”(P7) 5) Banyak aktifitas Satu partisipan utama mengungkapkan bahwa self-care management dirinya juga dengan banyak beraktifitas seperti diungkapkan sebagi berikut : “.......Dengan gejalanya kita punya penyakit ginjal supaya kita tidak mengalami gangguan-gangguan mengenai penyakit kita harus banyak aktifitas .................”(P6) 75 c. Spiritual Aspek spiritual pada self-care management pasien GGK merupakan bentuk self-care management dari segi spiritual partisipan. Aspek ini meliputi : 1) Kepasrahan terhadap Tuhan ; 2) Keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan ; 3) Aktifitas ibadah sholat yang dapat dilihat pada bagan di bawah iniSub : Kategori Kategori Subtema Tema Spiritual Self-care Management Berserah diri, menjalani dengan ikhlas Pasrah pada yang Maha Kuasa Kepasrahan terhadap Tuhan Lepas kepada Allah Berdoa untuk kesehatan Yakin dengan izin Allah Keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan Tawakal kepada Allah Sholat dengan duduk Sholat seperti biasa Aktifitas ibadah sholat Bagan 5.6 Self-care management terkait aspek spiritual 1) Kepasrahan terhadap Tuhan Tiga dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk upaya mereka untuk pasrah 76 terhadap penyakit mereka kepada Tuhan. Partisipan utama mengungkapkan bahwa dirinya menjalani penyakit dengan berserah diri, menjalani dengan ikhlas, pasrah terhadap Tuhan, dan tidak terlalu memikirkan penyakit seperti diungkapkan sebagai berikut : “Yaahhhh.....nggak ada perawatan khusus yang pasti lah. Cuman saya berserah diri, menjalani dengan ikhlas yah, trus tentunya sambil minta sama yang kuasa untuk kesembuhan.”(P2) “............yaa mungkin yaa saya juga sudah pasrah ya pada yang kuasa ya, kalau cuci darah ini kan ya nggak bisa sembuh ya kan?”(P4) “Kalau masalah penyakit, itu penyakit jangan sampe dipikirin terlebih dahulu sampai ke mendetail sekali, lebih baik kita lepas ajah penyakit itu. Hanya lepas kepada Allah karena Allah yang menentukan hidup mati manusia. Penyakit yang diberikan oleh Allah, harus kita kembalikan lagi kepada Yang Maha Kuasa gitu.”(P6) 2) Keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan Tiga partisipan utama mengungkapkan keyakinan mereka terhadap kesembuhan dengan self-care management yang mereka lakukan. Mereka mengungkapkan saat ini diri mereka lebih berdoa untuk kesehatan, meminta kesembuhan, dan tawakal kepada Allah seperti diungkapkan sebagai berikut : “Kalau sekarang lebih berdoa untuk kesehatan ajah , jadi minta diberikan kesehatan ajah. Sekarang juga doanya untuk minta kesembuhan, kebanyakan minta kesembuhan.”(P1) “.................Tapi saya yakin dengan kesembuhan saya yakin. Dengan izin Allah saya yakin. Tetep minta.”(P2) “Jadi kalau kita tidak bertawakal kepada Tuhan nanti ya Wallahua’lam yah nggak akan sembuh. Yah walaupun sudah ngobatin pake herbal tapi kalo nggak ngadu sama Yang Maha Kuasa nggak kan dapat kesembuhan. Masalah kesembuhan wallahua’lam, tapi kita kan 77 sudah berusaha, manusia harus berusaha, mengahadap Ilahi agar disembuhkan dari segala penyakit dan diangkat penyakitnya.”(P6) 3) Aktifitas ibadah sholat Satu partisipan utama mengungkapkan aktifitas ibadah sholat juga merupakan bentuk self-care management dirinya. Sholat lima waktu yang dijalankan oleh partisipan merupakan upaya untuk berserah diri dan meminta kesembuhan seperti diungkapkan sebagai berikut : “5 waktu kita jalanin. Kan dengan ibadah itu menyerahkan diri kepada Tuhan dan minta kesembuhan..................Itulah obat yang paling mujarab meminta kepada Allah 5 waktu, kalau obat-obatan kan hanya penghubung, syarat, penunjang…….”(P6) Ibadah sholat partisipan utama dilakukan dalam keadaan duduk dan berdiri. Tujuh dari delapan partisipan utama menjalankan sholat dengan duduk atau tiduran karena beberapa kondisi yang tidak memungkinkan partisipan untuk sholat dengan berdiri seperti biasa. Kondisi yang tidak memungkinkan tersebut seperti kondisi lutut yang tidak kuat, pusing, atau sakit kepala seperti diungkapkan sebagai berikut : “Bapak tetep berusaha tidak meninggalkan. Tapi sholatnya duduk..yah tiduran..”(P1) “................udah saya di rumah,sholatnya duduk itu juga............. Duduk. Kalaupun berdiri paling Subuh yang 2 rokaat. itupun saya coba. Karena saya harus..harus...harus mencoba segala sesuatu yang sekiranya saya tu mampu gitu”(P2) “Saya yaa alhamdulillah sich, duduk sholatnya, karena kalau ...ini terasa disini (menunjukan kaki) pegel, nggak kuat, itu tengkuk nggak kuat, berdiri bangun, berdiri-bangun...paling saya gini..duduk (meperagakan posisi duduk dengan kaki diluruskan).”(P4) 78 “Sholatnya gitu..asal itu..katanya pusing, sakit kepalanya. Kalo ini... kadang sakit ininya (menunjukkan lutut). Seingetnya dia dah..hehe(tertawa). Sholatnya kalo berdiri, kakinya kadang suka ngilu” ”Duduk...kalo berdiri nggak kuat..pas naek itu nggak kuat.”(P7) ”Yah duduk..Kalo berdiri kan nggak kuat”(P8) Satu partisipan utama mengungkapkan bahwa aktifitas ibadah sholat dirinya seperti biasa yakni dengan berdiri karena tidak ada keluhan yang membuat dirinya tidak dapat menjalankan aktifitas ibadah sholat seperti biasanya. Berikut ungkapan partisipan utama terkaitan aktifitas ibadah sholatnya yang dilakukan dengan berdiri : “................sholat biasa. Nggak ada berbaring..nggak ada keluhan apa-apa. Kalo sholat seperti lazimnya orang-orang sholat aja.”(P6) Analisis data yang dilakukan mendapatkan tema kedua yakni hambatan dalam pelaksanaan self-care management yang dialami partisipan. Lima partisipan utama mengungkapkan adanya hambatan yang dirasakan dalam pelaksanaan self-care management. Hambatan ini terbagi menjadi hambatan internal dan ekternal yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini : Kategori Subtema Tema Motivasi Diri dalam Pengaturan Nutrisi Motivasi Diri dalam Pembatasan Cairan Internal Hambatan dalam Self-Care Management Motivasi Diri dalam Beraktifitas Ekonomi Eksternal Bagan 5.7 Hambatan dalam pelaksanaan self-care management 79 a. Hambatan Internal Hambatan internal meliputi hambatan dalam motivasi diri dalam pengaturan nutrisi, pembatasan cairan dan beraktifitas. Partisipan pendukung mengungkapkan bahwa partisipan utama menginginkan makanan yang aneh-aneh dan mengeluhkan beratnya menjaga minum sesuai dengan anjuran dokter, serta keterbatasan aktifitas yang diungkapkan partisipan utama akibat kelemahan. Berikut ungkapanungkapan partisipan utama yang didukung juga oleh pernyataan partisipan pendukung seperti dibawah ini : “Susah....hehehe(tertawa). Dari makannya kalo masak sendiri maunya yang aneh-aneh, maunya makannya padang gitu”(Istri P5) ”Ya ada...yah kadang nggak tahan minum itu karena yah tau sendiri...panas. manusia kan nggak lepas dari air. Sedangkan dia harus dijaga airnya. Kan berlawanan. Berat lah itu. Masih mendingan makan bisa dijaga ”(Suami P8) “karena tenaga nggak ada ajah cuman. Dari duduk ke berdiri itu yang payah. Ini rasanya nggak ada tenaga.”(P7) b. Hambatan Ekternal Hambatan eksternal meliputi hambatan ekonomi seperti diungkapkan oleh partisipan pendukung berikut ini : “Jamkesda saya hanya dapat 4 kali. Ini sebulan lebih dari sejuta, belum lagi obatnya.....sejuta, 5 juta sebulah..yah dari anak-anak ajah. Telat sehari ajah sudah kambuh.”(Istri P7) Analisis data yang dilakukan juga mendapatkan tema ketiga yakni sumber social support yang dimiliki partisipan utama dalam pelaksanaan selfcare management. Semua partisipan utama mengungkapkan sumber social 80 support yang mereka miliki dalam pelaksanaan self-care management berasal dari dukungan dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Sumber social support dalam pelaksanaan self-care management dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Kategori Subtema Tema Pasangan mengontrol dan mengingatkan Pasangan yang menasehati Pasangan (Suami/Istri) Pasangan membeli obat dan mengantar Biaya dan transportasi Bergantiaan menjaga Keluarga Sumber Social support Biaya Sharing dan saling memberikan semangat Mengobrol dan seperti keluarga Sesama pasien yang menjalani hemodialisis Bagan 5.8 Sumber social support dalam pelaksanaan self-care management a. Pasangan (Suami/Istri) Semua partisipan utama mengungkapkan bahwa pasangan memiliki peran penting dalam mendukung mereka melaksanakan self-care management mereka. Pasangan merupakan seseorang yang selalu mengingatkan, mengontrol, memberi nasehat, menebus obat, dan 81 mengantar ke rumah sakit partisipan utama seperti diungkapkan berikut ini : “Yah yang berperan penting ibu lah ..istri lah..banyak kontrolnya misalnya bapak lagi jalan udah capek istirahat. Banyak mengingatkan lah......dari keluarga lah.....”(P1) “Yah istrilah, nomer satu Istri karena dia yang tahu persis kondisi saya. yah selalu nasehatin, itu suatu dukungan juga. Jangan makan ini, jangan makan itu yang sekiranya nggak boleh.”(P2) “.......sekarang kan saya kondisinya itu obat ...dia (istri) itu obat beli obat nebus obat. Kedua kalo saya lagi check lab, dia nganter. Kalau saya jalan sendiri , dia kan khawatir, jalan ajah sempoyongan.”(P4) Partisipan pendukung juga mengungkapkan bahwa dirinya juga memberikan semangat kepada partisipan utama dalam melaksanakan selfcare management mereka seperti diungkapkan sebagai berikut : “Yah harus semangat..semangat. Makanya kata saya harus ikut nurutin apa yang harusnya........”(Partisipan pendukung P5) “Semangat lah . Emang mau diapain wong udah sakit. Yah paling saya ngasih semangat.....semangat, Yah, orang sakit jangan dipikirin, maksudnya istilahnya jangan dipikirin, jangan dibikin stress lah, emang udah ada mau diapain terima aja..ya kan.......” (Partisipan pendukung P6) ”Tetep semangat lah karena penyakit kan salah satu bagian dari orang. Kita harus terima, ikhlas ajah lah.”(Partisipan pendukung P8) b. Keluarga Tiga partisipan utama mengungkapkan bahwa dirinya juga mendapatkan dukungan dari keluarganya dalam melaksanakan self-care management mereka. Dukungan tersebut terkait dengan biaya dan sarana transportasi serta dukungan emosional seperti diungkapkan seperti berikut : 82 “Dukungan yah banyak. Dukungan dari adek-adek saya, orang tua saya, yah mungkin biaya, untuk saya berobat atau untuk transportasi. Yah sangat mendukung.”(P2) “.....anak-anak saya. Semenjak sakit anak saya gantian nginep di rumah saya tiap malem.”(P3) ”Yah semua-semuanyalah, kalo nggak siapa lagi. Orang tua udah nggak ada. Kan saya bilang tadi..sodara terbang semua. Keluarga ajah lah...anak Biaya dibantu anak.”(P7) c. Sesama pasien yang menjalani hemodialisis Dua partisipan utama mengungkapkan bahwa sesama pasien yang menjalani hemodialisis telah terbentuk jalinan kekeluargaan. Dengan sesama pasien hemodialisis mereka saling memberikan semangat, saling bertukar informasi, dan mengobrol seperti diungkapkan berikut ini : “Deket yah deket. Kalo saya tergantung individu orangnya yah. Kalo individu orangnya diem ajah yah diajak ngobrol diem ajah yah diem bapak. Tapi alhamdulillah samping bapak sering sharing gitu kan. Dia kebetulan udah 3-5 tahun an lah. Kadang bapak juga suka teriak gitu ke yang orang Irian..”makan pak”....yah saling ngasih spirit. Ada tuh orang Parung nggak mau makan , Istrinya sampe nangis. Saya juga suka teriak ke Bapak itu. malah kadang bapak kalau makan makan wahhh...kayak nikmat ajah tuh. Dia kan jadi sering ngeliatin bapak. Sengaja bapak perlihatkan biar ketularan makan........”(P1) “Kalo ketemu aja ngobrol-ngobrol. Kayak keluarga dah kita disana”(P2) BAB VI PEMBAHASAN Bab ini menguraikan interpretasi hasil penelitian yang telah diperoleh, keterbatasan dalam penelitian, dan implikasi penelitian. Interpretasi hasil penelitian yang dilakukan yakni menguraikan hasil penelitian dan membandingkannya dengan konsep dan teori serta berbagai penelitian sebelumnya yang terkait sehingga dapat memperkuat interpretasi penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini akan membahas tentang keterbatasan peneliti dalam proses penelitian yang telah dilalui dengan proses yang seharusnya dilakukan sesuai aturan. Implikasi penelitian akan membahas implikasi dari penelitian sesuai dengan hasil penelitian yang telah diperoleh bagi pelayanan kesehatan dan ilmu keperawatan. A. Pembahasan Hasil Penelitian Peneliti telah mengidentifikasi tiga tema dalam self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis sesuai dengan analisa data yang peneliti lakukan. Tiga tema tersebut teridentifikasi sesuai dengan tujuan penelitian yakni mengeksplorasi gambaran self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis, hambatan dalam pelaksanaan self-care management, dan sumber social support pasien dalam pelaksanaan self-care management. Berikut uraian penjelasan masing-masing tema yang diperoleh dalam penelitian ini : 1. Gambaran Self-Care Management Pasien GGK yang menjalani terapi baik dialisis atau transplantasi merupakan pasien dengan penyakit kronis dimana self-management menjadi 83 84 penting untuk diperhatikan (Curtin dkk, 2005). Orem percaya bahwa manusia memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self-care) dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Orem, 1995 dalam Simmons, 2009). Self-care management merupakan strategi yang baru untuk pasien GGK (Curtin, Svarstad & Keller, 1999 dalam Richard, 2006) namun penting mengingat dampak positif yang dapat diperoleh pasien. Self-care management menurut Richard (2006) mencakup kesediaan dan kepatuhan dalam terapi, memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk merawat diri mereka sendiri, membuat keputusan terhadap perawatan mereka, mengidentifikasi masalah, membuat tujuan, serta memonitor dan menangani gejala. Pada kenyataannya self-care management merupakan bentuk yang lebih akurat dari “compliance” atau ketaatan karena pasien lah yang mengimplementasikan dan mengatur regimen terapeutik pengobatan sehariharinya dan bukanlah petugas layanan kesehatan (Richard, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heidarzadeh dkk (2010) menunjukkan adanya hubungan yang langsung dan signifikan antara kualitas hidup pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisa dengan kemampuan self-care. Selain itu ditemukan pula hubungan yang langsung dan signifikan antara kemampuan self-care dengan dimensi fisik, psikologi dan sosial. Oleh karena itu prinsip dari self-care untuk pasien GGK penting untuk dipelajari dan dikembangkan (Curtin, 2005) Gambaran self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dideskripsikan ke 85 dalam aspek pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan sikap spiritual. a. Aspek Pemenuhan Kebutuhan Fisik Aspek ini pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis meliputi pengaturan nutrisi (makanan), pengaturan intake cairan, regiment pengobatan, perawatan akses vaskuler, serta aktifitas istirahat/ tidur dan olahraga. Hal tersebut sesuai dengan O’Brien (1980), Richard (1986) dan Snyder (1983) dalam Richard (2006) yang menyebutkan bahwa disamping terapi hemodialisis pasien GGK diharapkan dapat mengikuti regimen perawatan yang kompleks dan taat terhadap pengobatan, diet khusus, pembatasan cairan, dan perawatan akses vakuler. Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut : 1) Pengaturan Nutrisi (Makanan) Makanan menyediakan baik energi dan nutrisi yang diperlukan tubuh untuk membangun dan mempertahankan sel dalam tubuh. Nutrisi merupakan salah satu kunci untuk mengembangkan dan mempertahankan kondisi kesehatan yang optimal bagi kita (Wardlaw, 2004). Jika seseorang sedang menjalani terapi hemodialisis, diet menjadi bagian yang penting dalam semua perawatannya (NIDDK, 2010). Penatalaksanaan nutrisi memiliki peranan yang besar dalam mempertahankan dan memperbaiki status gizi pasien GGK. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi sehingga kualitas hidup pasien meningkat (Ariyanto dkk, 2013). Pasien GGK harus selalu menjaga pola makan. Mereka tidak bisa mengonsumsi buah dan sayur sesuka hatinya layaknya orang sehat karena 86 beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan berpotensi memperburuk kondisi mereka (Muhammad, 2012). Hal ini sesuai dengan penjelasan semua pasrtisipan yang menyebutkan bahwa ada beberapa sayuran dan buah-buahan yang tidak boleh dimakan oleh partisipan. Mereka menghindari semua jenis buah atau buah-buahan tertentu seperti pisang dan belimbing. Mereka juga menyebutkan bahwa buah yang boleh dimakan hanya pepaya dan jumlahnya terbatas hanya sepotong saja. Sayuran seperti timun, kangkung dan bayam juga mereka hindari. Secara umum pasien GGK dianjurkan untuk diet rendah garam (sodium), diet rendah fosfat, diet protein yang berbeda jumlahnya antara stadium 1-4 dengan stadium 5 (dalam gram protein per kilogram berat badan) maupun juga antara hemodialisis dan dialisis peritoneal (Fransiska, 2011). Partisipan ke-tujuh menjelaskan tentang pola diet yang dijalaninya dimana banyak makanan yang tidak boleh dimakan seperti susu, lemak, daging, protein, dan pisang. Semua partisipan dalam penelitian ini memiliki pengetahuan yang baik tentang makanan yang boleh dimakan dan tidak boleh serta alasan tidak boleh seperti kandungan dalam makanan tersebut yang dapat mempengaruhi kondisinya dan bahkan sudah dibuktikan oleh mereka sendiri. Partisipan satu mengungkapkan dirinya menghindari makanan yang mengandung kalium tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Indraratna (2012) pada pasien GGK di Ponorogo menyatakan bahwa 25,8% respondennya mempunyai pengetahuan baik tentang diet GGK, 37,1% responden memiliki pengetahuan cukup, dan 37,1% responden memiliki pengetahuan kurang. Nutrisi pada akhirnya 87 merupakan bagian yang tak terpisahkan dari self-care management pada pasien GGK. 2) Pengaturan Intake Cairan Pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaturan intake cairan karena intake cairan mereka dibatasi. Pembatasan cairan ini merupakan isu utama untuk pasien GGK (Richard, 2006). Sebenarnya pasien GGK memerlukan monitor ketat baik terhadap diet, intake cairan maupun pengaturan minum obat (Curtin, 2005). Pengaturan intake cairan ditentukan dengan jumlah urin output pasien GGK. Intake cairan bagi pasien GGK yang menjalani hemodialisis yaitu total urine output dalam sehari (24 jam) ditambah dengan cairan yang keluar melalui keringat dan pernafasan (IWL) kurang lebih 500 ml (Fransisca, 2011). Semua partisisipan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa intake minum mereka memang terbatas kurang lebih 500-600 ml dalam sehari. Semua partisipan juga menjelaskan bahwa diri mereka mengalami gangguan dalam eliminasi urin yang mana sudah tidak dapat mengeluarkan urine atau anuri. Dengan demikian benar adanya jika mereka minum kurang lebih 500-600 ml dalam sehari. Salah satu strategi pembatasan cairan yang dilakukan partisipan dalam penelitian ini adalah dengan minum melalui gelas kecil yang sama dan menggunakan sedotan kecil. Partisipan yang lain menggunakan botol yang berukuran 600 ml sehari atau 300 ml sehingga 2 botol dalam sehari. 88 Outcome yang paling biasa digunakan untuk mengukur intake terkait pembatasan cairan pasien GGK adalah dengan interdialytic weight gain (IDWG). IDWG dihitung dari perbedaan berat badan pada akhir setelah melaksanakan hemodialisis dengan awal dari terapi hemodialisis selanjutnya. Pada dasarnya tidak ada standar unit khusus untuk mengukur secara spesifik nilai IDWG sebagai indikasi kepatuhan terhadap pembatasan cairan (Kaveh dan Kimmel, 2001 dalam Richard, 2006). Partisipan satu menceritakan bahwa kenaikan beratnya berkisar 2-2,5 kg dan menurutnya itu sudah menunjukkan bahwa dirinya terukur dalam membatasi minum. Penelitian oleh Kim dan Evangelista (2010) melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara menjadi patuh terhadap pembatasan cairan dengan IDWG, namun justru dengan patuh terhadap pembatasan cairan berdampak pada rendahnya IDWG. Pembahasan tentang kepatuhan terhadap pembatasan cairan akan dijelaskan dalam aspek psikologis self –care management. 3) Regiment Pengobatan Dalam penelitian ini regimen pengobatan sebagai self-care management yang disebutkan oleh partisipan kedua meliputi mengikuti anjuran dokter yakni untuk rutin dalam melaksanakan terapi hemodialisis, mengikuti regiment diet yang dianjurkan tenaga medis dan pembatasan cairan. Penelitian oleh Kim dan Evangelista (2010) melaporkan bahwa kebanyakan respondennya (98,7%) menyadari pentinya hemodialisis karena memiliki pengetahuan yang baik tentang penyakit mereka (95,4%). 89 Beberapa respondennya (2,6%) melaporkan mereka mempelajari pentingnya hemodialisis dari pengalaman pribadi akan ketidakpatuhan terhadap terapi tersebut dan 79,5% respondennya tidak mendeskripsikan kesulitannya dalam mengikuti terapi hemodialisis yang dibuktikan dengan daftar kehadirannya dalam terapi tersebut. Untuk penjelasan tentang diet dan pembatasan cairan telah diuraikan sebelumnya karena penjelasan yang diberikan telah mencakup seperti uraian sebelumnya sedangkan dalam segi kepatuhan akan regiment tersebut akan diuraikan dalam aspek psikologis self-care management. 4) Perawatan Akses Vaskuler Jika seseorang pasien GGK menjalani hemodialisis, akses vaskuler yang dibuat untuk keperluan terapi dialisis harus dirawat untuk melindungi terhadap kerusakan. Pemeriksaan akses vaskuler harus dilakukan untuk mengkaji patensi. Tindakan penjagaan diperlukan untuk memastikan agar esktremitas dengan akses vaskuler tidak digunakan untuk pengambilan darah maupun pengukuran darah. Suara bising (bruit) atau getaran (thrill) di daerah akses vena harus dievaluasi paling sedikit setiap 8 jam sekali (Smeltzer, 2002). Semua partisipan utama dalam penelitian ini memiliki pengetahuan yang baik dalam menjaga akses vaskuler yakni dengan memeriksa getaran atau desiran pada akses vaskuler. Salah seorang partisipan (P1) juga menyebutkan bahwa sebelumnya akses vaskuler cimino berada di tangan kanan, namun karena tidak adanya desiran maka partisipan harus melakukan operasi ulang pada tangan kirinya. 90 Hal lain yang dilakukan partisipan dalam penelitian dalam merawat akses vaskuler mereka dengan melakukan latihan meremas-remas bola atau mengepal-ngepalkan tangan dengan tujuan untuk melatih kontraksi pada pembuluh darah area vaskuler atau ciminonya. Selain itu mereka juga menjaga agar area vaskuler cimino tidak digunakan untuk mengangkat benda berat dan juga agar tidak terjepit atau tertindih saat tidur. Berman dan Gentile (2010) dalam Richard (2008) melaporkan bahwa pasien harus mempertahankan kebersihan area fistula dan menilai adanya infeksi. Sebagai tambahan ekstremitas harus dilindungi dari tekanan dan luka karena dapat membahayakan fungsinya, tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat, pengukuran tekanan darah, mengangkat benda berat, dan menekuknya terlalu lama. Richard (2008) juga melaporkan bahwa informannya menyadari pentingnya merawat dan mempertahankan AV fistula mereka. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cara perawatan akses vaskuler partisipan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian yang ada seperti dalam Richard (2008) yang melaporkan bahwa penelitian-penelitian tentang perawatan akses vaskuler lebih berfokus pada kebersihan area dan penilaian serta pencegahan infeksi, namun dalam penelitian ini partisipan berfokus pada cara menjaga kepatenan dan keaktifan dari akses vaskuler cimino mereka. Untuk partisipan dengan akses vaskuler femoral menyebutkan bahwa cara merawat akses vaskuler mereka dengan menjaga agar tidak terinfeksi dengan minum obat dan menjaga kebersihannya. Lokasi akses sendiri memang harus dijaga dari infeksi karena pasien GGK mudah sekali 91 terinfeksi. Pengendalian infeksi harus dilakukan dengan berbagai cara misalnya menutup bekas tusukan dengan kasa steril (Smeltzer, 2002). Akses vaskuler melalui akses vena femoralis berbeda dengan akses cimino seperti yang dijelaskan partisipan keenam terutama terkait dengan kebebasan selama proses hemodialisis. Namun hal tersebut bukanlah hambatan untuknya. 5) Aktifitas istirahat/tidur dan olahraga Gangguan tidur pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis frekuensinya sering pada pasien GGK secara umum. Gangguan tidur ini erat kaitannya dengan menurunnya kualitas hidup dan meningkatkan resiko kematian. Insomnia pada pasien GGK menunjukkan prevalensi sebesar 60,9% dari respondennya yang menjalani hemodialisis lebih dari satu tahun (Rai dkk, 2011). Hal tersebut dialami juga oleh partisipan dalam penelitian ini yang menyebutkan dirinya kadang-kadang mengalami imsomnia terutama sehari sebelum hemodialisis. Partisipan ketujuh menjelaskan gangguan tidur ia rasakan terutama malam sebelum terapi hemodialisis. Hal tersebut diprediksi terjadi akibat penumpukan cairan yang mengganggu kenyamanannya. Selain itu masalah haus dan rasa panas yang menderanya juga mengganggu tidur partisipan. Selain tidur olahraga juga merupakan bentuk self-care management. Sebuah penelitian oleh Painter, Ward, & Nelson (2011) melaporkan 95,9% dari respondennya menyebutkan bahwa olahraga penting untuk pasien dengan penyakit ginjal dan 57,5 % responden menyatakan memiliki 92 aktifitas fisik secara reguler. Dalam penelitian ini sendiri ada partisipan yang melaksanakan olahraga dan ada juga yang tidak berolahraga karena merasa mudah lelah dan merasa tidak mampu. Hal ini sesuai dengan penelitian Painter, Ward, & Nelson (2011) juga yang menyebutkan alasan tertinggi responden tidak berolahraga adalah tidak termotivasi (51,7%) dan terlalu lelah (49,5%). Olahraga tidak hanya berpengaruh terhadap fisik namun juga berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan emosional. Penelitian Painter, Ward, & Nelson (2011) melaporkan bahwa manfaat berolagraga secara rutin menurut respondennya adalah meningkatkan level energi, meningkatnya kekuatan otot, meningkatkan kemampuan melakukan halhal yang diperlukan dalam hidupnya, meningkatkan tidur, meningkatkan mood, mengurangi kram, dan lebih stabilnya tekanan darah selama dialisis. Olahraga juga sepertinya memiliki efek yang positif terhadap gambaran diri dan harga diri pasien GGK (Storer, 1999). Pasien GGK dianjurkan untuk melakukan olahraga secara rutin semisal jalan kaki selama kurang dari 30 menit setiap hari (Fransiska, 2011). Partisipan kedua dalam penelitian ini menjelaskan bahwa dirinya berusaha untuk berolahraga seminggu sekali. Khusus untuk pasien GGK dalam berolahraga mereka harus memperhatikan intensitas, durasi dan frekuensinya (Storer, 1999). Partisipan yang masih melakukan olahraga menyebutkan bentuk olah raga yang dilakukan adalah dengan berjalan kaki. Dalam pelaksanaannya istri partisipan tetap mengingatkan partisipan untuk tidak memaksakan diri dan segera berhenti ketika tubuhnya sudah merasa lelah. Penelitian 93 Kolewaski dkk (2005) menyebutkan bahwa olahraga berpengaruh positif terhadap kualitas hidup yakni meningkatkan pelaksanaan dalam aktifitas sehari-hari, perubahan positif dalam pengalaman hemodialisis, dan peningkatan kontrol. b. Aspek Kondisi Psikologis dari Self-Care Management Aspek ini pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis meliputi care self efficacy dalam pelaksanaan self-care management, kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif (putus asa), dan banyak aktifitas. Self efficacy terhadap self-care merupakan dimensi lain yang penting dalam self-management secara keseluruhan (Curtin, 2005). Penelitian oleh John (2012) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara self efficacy dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan sehari-hari dan pembatasan diet. Semakin tinggi self efficacy yang dilaporkan respondennya, semakin tinggi kepatuhan terhadap pembatasan cairan dan diet yang dilaporkan respondennya. Hal ini sejalan dengan pernyataan partisipan dengan self efficacy yang positif dimana menunjukkan kepatuhan terhadap diet dan pembatasan cairan bahkan juga dalam minum obat. Untuk pasien GGK kepatuhan terhadap regiment pengobatan merupakan hal yang penting sekaligus sulit (Curtin 2005). Kepatuhan dalam hal ini terkait regimen diet, pembatasan cairan, dan minum obat. Kepatuhan merupakan isu yang sangat penting karena berhubungan 94 dengan perubahan life-style pasien GGK yang penting untuk menjaga kondisi mereka. Penelitian respondennya Kim dan menyadari Evangelista pentingnya (2010) melaporkan pembatasan cairan 95% karena pengetahuan baik mereka terhadap penyakit, namun 62% menyebutkan kesulitannya dalam mengikuti panduan dalam pembatasan cairan. Alasan yang paling sering dikemukakan terhadap ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah ketidakmampuan untuk mengontrol keinginan untuk cairan atau rasa haus (43,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh John (2012) yang melaporkan bahwa bagi pasien GGK yang derajad hausnya tinggi maka tingkat kepatuhan terhadap pembatasan cairan akan rendah dibandingkan dengan yang tidak merasa haus. Oleh karena itu partisipan pertama mengungkapkan cara mengatasi haus yakni dengan mandi dan kumur. Dengan tidak merasa haus maka dirinya tidak akan banyak minum. Sejalan dengan penelitian Sari (2009) melaporkan bahwa respondennya yang patuh terhadap pembatasan cairan sebesar 33,3% dan yang tidak patuh sebanyak 66,7%. Kepatuhan terhadap pembatasan cairan memang sebuah hal yang sulit mengingat kebutuhan akan air merupakan kebutuhan yang mendasar untuk manusia. Penelitian Kim dan Evangelista (2010) juga melaporkan dua pertiga (68,2%) respondennya melaporkan ketaatan terhadap pembatasan diet, namun lebih dari setengah (57,6%) respondennya memiliki kesulitan mengikuti pembatasan diet yang telah dianjurkan. Alasan utama yang mereka kemukakan terhadap ketidakpatuhan mereka terhadap diet adalah 95 ketidakmampuannya untuk melawan makanan favorit mereka (56,3%). Partisipan dalam penelitian ini menyebutkan alasan lain mereka atas ketidakpatuhan mereka terhadap diet karena harus menjaga Hb mereka agar stabil. Penelitian oleh John (2012) melaporkan bahwa bagi pasien GGK yang merasa memiliki energi yang lebih baik maka tingkat kepatuhan terhadap pembatasan diet juga baik. Penelitian Kim dan Evangelista (2010) juga melaporkan kebanyakan respondennya (98%) berpersepsi tentang pentingnya minum obat sesuai dengan jadwalnya walaupun 19,9% mengalami kesulitan dalam minum obat sesuai dengan resepnya. Sedangkan penelitian Moreira dkk (2008) tentang ketidakpatuhan melaporkan bahwa prevalensi ketidakpatuhan minum obat pada pasien GGK yang dilaporkan secara pribadi maupun petugas layanan kesehatan menunjukkan prosentase 18,5% dan 29,2%. Mereka beralasan ketidakpatuhan terhadap obat karena beberapa hal yang menyebabkan mereka sulit minum obat seperti tidak mampu memperoleh obat yang mereka butuhkan karena tidak tersedia pada layanan kesehatan dan karena mereka tidak mampu membelinya (62,5%), kesulitan mengingat untuk minum (16,7%), dan reaksi obat yang merugikan (12,5). Partisipan ketiga dan kelima dalam penelitian ini juga menyebutkan ketidakteraturannya dalam minum obat dengan alasan malas, bosan, dan lupa minum obat. Hal ini sesuai dengan alasan utama pasien dalam penelitian Kim dan Evangelista dimana 75% respondennya tidak minum obat dengan alasan lupa. 96 Self efficacy juga berpengaruh terhadap aktifitas fisik pasien GGK. Hal tersebut sejalan dengan partisipan ketujuh dengan self efficacy yang positif yang menjelaskan bahwa dirinya memiliki banyak aktifitas dan aktif bekerja. Penelitian Kack (2010) juga melaporkan bahwa aktifitas fisik pada populasi pasien GGK dipengaruhi oleh umur, keyakinan akan kemampuannya untuk aktif secara fisik (self efficacy), dan status nutrisi. Dengan membangun kepercayaan diri pasien terhadap kemampuannya (self efficacy) dalam mempengaruhi hasil yang mereka targetkan sepertinya merupakan jalan positif lain yang dapat mendorong selfmanagement yang sukses pada pasien dengan penyakit kronis (Curtin, 2005). c. Aspek Spiritual Self-Care Management Aspek ini tidak dapat dipisahkan dari self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis karena merupakan aspek penting dalam elemen kehidupan. Religiusitas atau spiritual memiliki efek positif secara subjektif terhadap kualitas hidup pasien GGK. Hal tersebut sudah banyak dibuktikan dalam penelitian antara spiritual dengan kualitas hidup. Sebagai tambahan pengalaman ibadah responden menunjukkan efek yang signifikan pada kepuasan hidup dan kebahagiaan (Palomo dan Pendleton, 1991 dalam Thomas, 2003). Aspek spiritual atau religiusitas yang yang berhubungan dengan kualitas hidup sama pentingnya dengan aspek fisik, psikologis dan elemen sosial sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja (Thomas, 2003). Penelitian tentang spiritual dan keyakinan agama 97 melaporkan bahwa spritual dan keyakinan berhubungan dengan penurunan persepsi terhadap beban akan penyakit, penurunan level depresi, peningkatan persepsi atau penerimaan dukungan sosial, dan persepsi yang tinggi terhadap kualitas hidup (Bragazzi dan Puente, 2013). Ada pula hasil penelitian dari White (2005) yang bertentangan dimana spiritual tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan. Hal tersebut dimungkinkan karena kealamian dari sample penelitian dan psikometrik dari alat ukur spiritual dalam penelitian tersebut. Aspek spiritual dan agama juga dapat menjadi salah satu strategi koping untuk mengatasi masalah beban secara psikologis pada pasien GGK yakni melalui prinsip penggunaan agama sebagai upaya untuk meningkatkan penyesuaian diri secara psikologis dan melalui agama sebagai bentuk dukungan. Koping strategi lain dalam segi spiritual adalah keyakinan kepada Tuhan dan berdoa yang dilakukan paling sering ketiga oleh responden hemodialisis pada penelitian Baldree, Murphy dan Powers (1982) dan rangking pertama paling sering digunakan pada penelitian Gurklis dan Menke (1988). Penelitian oleh Ko dkk (2007) melaporkan bahwa responden yang atheis menunjukkan BUN dan kreatinin yang rendah dibandingan dengan reponden yang memiliki keyakinan akan spiritual atau agama dengan alasan kemungkinan perasaan sangat sakit, keputusasaan, atau terbebani. Hal tersebut menunjukkan ketika pasien tidak memiliki keyakinan dalam spiritual beban terhadap penyakit dan keputusasaan dapat terjadi dan hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisinya. 98 Aspek spiritual yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi kepasrahan terhadap Tuhan, keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan, dan aktifitas ibadah. Walaupun partisipan menyadari bahwa penyakit GGK tidak dapat sembuh namun harapan untuk diberikan kesembuhan memberikan kekuatan bagi partisipan. Hal tersebut berlaku juga untuk aktifitas ibadah walaupun tidak bisa menjalankan ibadah sholat dengan berdiri partisipan tetap menjalankan dengan duduk. 2. Hambatan dalam Self-Care Management Hambatan dalam pelaksanaan self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis digambarkan dengan hambatan dari internal dan eksternal. Hambatan internal meliputi hambatan motivasi diri dalam pengaturan nutrisi, pembatasan cairan, dan beraktifitas. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Hidayati dan Wahyuni (2012) melaporkan bahwa hambatan dalam memenuhi self-care pasien GGK meliputi faktor internal dan eksternal meliputi faktor ekonomi, mental, dan pengelolaan asupan cairan dan nutrisi yang dapat menimbulkan kendala yang menghambat pasien untuk memaksimalkan kondisi tubuhnya. Penjelasan sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pengaturan diet dan pembatasan cairan merupakan masalah yang sulit pada pasien GGK. Hal ini lagi-lagi terkait dengan kepatuhan sesuai dengan anjuran dokter dan motivasi diri untuk melaksanakannya. Bahkan partisipan sendiri (P7) sudah tidak mengontrol lagi jumlah intake cairan sehari-hari karena tidak mampu untuk mengendalikan dorongan untuk minum. Partisipan (P7) sudah menyadari akan 99 banyaknya makanan yang tidak boleh ia makan sehinga dirinya mengeluhkan rasa tidak bertenaga dalam dirinya sehingga tidak mampu membantu dalam peran keluarga. Namun keluhan tidak bertenaga sendiri juga menjadi hambatan partisipan dalam beraktifitas karena mudahnya merasa sesak dan cepat lelah yang disebutkan partisipan kelima. Dengan adanya hambatan tersebut peran keluarga sebagai pemberi dukungan dan pengertian dibutuhkan dalam membangun kembali semangat partisipan terhadap ketaatan terhadap regimen tersebut. Hambatan eksternal adalah ekonomi atau biaya untuk pasien dimana hal tersebut merupakan sesuatu tidak asing mengingat biaya untuk cuci darah yang tidak sedikit. Pemerintah telah memberikan bantuan biaya terkait dengan terapi hemodialisis misalnya melalui Jamkesda atau Jamkesmas. Dengan jaminan tersebut mungkin pasien merasa terbantu dan juga tidak karena terbatasnya jaminan tersebut. Untuk Jamkesda partisipan menjelaskan bahwa dirinya hanya gratis biaya terapi hemodialisis sebanyak dua kali sedangkan sisanya dengan biaya sendiri. Ini yang sangat memberatkan dan membuat beban penyakit dirasakan partisipan (P7). Kemudian untuk biaya obat untuk meningkatkan Hb yang harganya tidak murah ataupun anjuran untuk tranfusi karena Hb nya rendah juga memerlukan biaya. Istri partisipan (P7) juga menjelaskan bagaimana biaya untuk hemodialisis ini tidak sedikit jumlahnya yang sangat memberatkan keluarganya dengan tidak adanya biaya bantuan. Masalah biaya ini mempengaruhi psikologis partisipan terkait dengan beban akan penyakit dan ketidakmampuan dalam menjalankan peran dalam keluarga semisal pencari nafkah seperti yang diungkapkan partisipan (P7). 100 3. Sumber Social Support Support system sangat penting terutama social support atau dukungan sosial dari orang terdekat. Dukungan sosial menurut Pender (1996) dalam Wells dan Anderson (2011) adalah kebutuhan dasar manusia. Dukungan sosial merupakan faktor penting dan faktor yang menentukan tingkat kesehatan (Wells dan Anderson, 2011). Tobvin dkk (2003) dalam penelitiannya pada 48 pasien hemodialisis melaporkan bahwa ada hubungan positif yang terjadi antara dukungan sosial dengan kualitas hidup. Pada penelitian Wells dan Anderson (2011) melaporkan bahwa tingkat atau level self efficacy dan dukungan sosial pada respondennya yakni orang Afrika Amerika cenderung tinggi. Peningkatan level self efficacy dan dukungan sosial dalam penelitian tersebut mungkin dapat membantu responden untuk koping terhadap penyakit mereka. Sumber social support dalam pelaksanaan self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis dalam penelitian ini diperoleh dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Al-Arabi (2003) yang melaporkan bahwa semua responden dalam penelitiannya menunjukkan paling sedikit memiliki satu bentuk dukungan sosial yakni dapat berasal dari keluarga, pihak sosial yang berwenang, dan suami/istri, anak-anak serta saudara. Mayoritas responden (96,3%) merasa puas dengan bantuan yang diterima dari sumber dukungan sosialnya. Persepsi respondennya tentang dukungan sosial juga tinggi dan persepsi terhadap dukungan sosial dalam penelitian tersebut 101 menunjukkan adanya hubungan dengan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dalam penelitiannya. Keluarga merupakan sumber social support yang penting pada pasien GGK. Seperti dilaporkan oleh Kara dkk (2007) dimana responden dengan tingkat dukungan keluarga yang rendah berhubungan secara signifikan dengan ketidakpatuhan terhadap diet. Begitu pula dengan dukungan keluarga dan teman yang rendah secara signifikan berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan. Berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Sari (2009) dimana dukungan keluarga tidak memiliki hubungan yang sifnifikan dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan. Hasil tersebut mengindikasikan faktor lain seperti motivasi dari diri pasien sebagai faktor dalam kepatuhan terhadap pembatasan cairan. Penelitian oleh Saraha dkk (2013) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan depresi pada pasien GGK. Prosentase dukungan keluarga yang baik sebesar 83,1% dengan tidak depresi sebesar 71,2%. Adapun dukungan keluarga kurang sebesar (16,9%) dengan depresi sebesar 28,8%. Di samping pasangan dan keluarga, sesama pasien yang menjalani hemodialisis juga dapat saling memberikan dukungan sosial seperti diungkapkan partisipan maupun istrinya dimana mereka sudah seperti keluarga dengan sesama yang menjalani hemodialisis. Mereka saling mendukung melalui obrolan yang tercipta saat terapi dan saling memberikan semangat. 4. Kaitan dengan Nursing Care Plan Nursing Care Plan (NCP) merupakan sebuah perencanaan yang berdasarkan pada pengkajian dan diagnosa keperawatan yang digunakan oleh 102 perawat. NCP memiliki empat komponen penting meliputi identifikasi masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan dan pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut, pernyataan harapan terhadap manfaat untuk pasien, pernyataan dari tindakan yang spesifik oleh perawat yang merefleksikan pendekatan perawat dan tercapainya tujuan yang spesifik, dan evaluasi dari respon pasien terhadap asuhan keperawatan dan penyesuaian dirinya terhadap perawatan tersebut sesuai kebutuhan. NCP dimulai ketika pasien berada dalam pelayanan kesehatan. Setelah pengkajian keperawatan sebuah diagnosa keperawatan muncul dan kebutuhan asuhan keperawatan dikembangkan. Tujuan dari proses tersebut adalah untuk memastikan jika asuhan keperawatan konsisten dengan kebutuhan pasien dan perkembangannya kepada perawatan dirinya sendiri atau self-care (Medical Dictionary, 2013). Mengingat bahwa pasien dengan gagal ginjal kronis harus menjalani hemodialisis secara rutin 2-3 kali dalam seminggu hendaknya NCP terus diupayakan sebagai bentuk follow up dan evaluasi kondisi pasien. Kaitan NCP dalam penelitian ini menunjukkan bahwa diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis `di wilayah Tangerang Selatan yakni ineffective self-health management dan enhanced self-health management. Dua diagnosa tersebut merupakan dua masalah keperawatan yang muncul dalam penelitian ini. Empat partisipan menunjukkan masalah keperawatan ineffective self health management dengan ungkapan atas ketidakmampuan dalam memasukkan atau mengimplementasikan regiment terapeutik pengobatan dalam aktifitas seharihari. Mereka memiliki tingkat compliance atau kepatuhan yang rendah 103 terhadap regiment pengobatan terkait konsumsi obat-obatan, pengelolaan diet, dan pembatasan cairan. Partisipan tidak memahami bahwa ketidakpatuhan tersebut dapat berdampak secara langsung pada kondisi tubuhnya sehingga kesadaran akan komplikasi yang dapat dirasakan akibat ketidakpatuhan juga belum ada. Pemberian edukasi merupakan bentuk intervensi keperawatan yang dapat diupayakan dan direncanakan untuk pasien dengan masalah keperawatan ineffective self-health management. Edukasi yang adekuat tentang penyakit ginjal kronis dapat memperlambat permulaan dialisis, peningkatan pilihan pasien terhadap rendahnya biaya home-based therapies, dan peningkatan outcomes dari pasien setelah memulai dialisis (Devins et al, 2003 dalam Finkelstein et al, 2008). Pendidikan kesehatan terkait pengolalan diet, gizi makanan secara detail termasuk juga proses metabolismenya dalam tubuh, pembatasan cairan dan dampaknya, maupun fungsi obat-obatan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pasien. Hal tersebut dapat perawat laksanakan pada fase awal pasien terdiagnosa GGK dan menjalani hemodialisis sehingga dapat membantu pasien baru dalam beradaptasi terhadap regiment terapeutik pengobatan. Finkelstein et al (2008) juga menyebutkan banyaknya rintangan untuk menyediakan edukasi untuk pasien GGK ini seperti perawatan pasien yang kompleks, waktu tenaga medis yang mendesak, dan juga kemampuan yang terbatas untuk menyediakan edukasi pasien yang adekuat. Penelitian oleh Finkelstein et al (2008) melaporkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan terhadap persepsi pengetahuan mereka terhadap terapi modalitas dengan peningkatan frekuensi kunjungan nefrologi. Hal tersebut menunjukkan 104 nefrologi dan tenaga medis dalam pelayanan kesehatan memiliki peran sebagai edukator yang tepat untuk pasien GGK. Selain itu persepsi pasien tentang pengetahuan dari terapi GGK yang bervariasi dan pemahaman mereka tentang keuntungan dan kerugian pilihan treatmen yang ada memiliki hubungan yang erat dimana tidak adanya pengetahuan tentang variasi terapi pada pasien (70,5%) mengindikasikan bahwa mereka tidak mengetahui keuntungan dan kerugian dari pilihan terapi yang ada. Fox & Kohn (2008) menyebutkan bahwa pilihan pasien merupakan faktor utama dalam pemilihan terapi baik dialisis ataupun terapi yang lain dan ketiadaan akan pengetahuan terhadap hal tersebut dapat menjadi dampak nyata untuk pasien. Edukasi terbukti menjadi penting untuk diperhatikan terkait dengan terapi modalitas pada pasien GGK maupun regiment terapeutik pengobatan mereka. Empat partisipan menunjukkan masalah keperawatan enhanced selfhealth management dimana partisipan tersebut memiliki menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan regiment terapeutik pengobatan dalam aktifitas sehari-hari dan memiliki self-efficacy yang positif terhadap pelaksanaannya. Peningkatan self efficacy dapat direncanakan dan diupayakan sebagai intervensi keperawatan untuk masalah enhanced self health management. Albert Bandura, seorang psikologis terkenal dari Universitas Stanford memperkenalkan konsep persepsi self efficacy dalam konteks cognitive behavior modification pada tahun 1977. Konsep tersebut menunjukkan bahwa self efficacy yang kuat berhubungan dengan kesehatan yang lebih baik, pencapaian yang lebih tinggi, dan integrasi sosial yang lebih (Bandura, 1977 dalam Schwarzer & Fuchs, 1995). Hal tersebut sejalan 105 dengan partisipan penelitian yang memiliki self efficacy yang positif. Self efficacy ini dapat membedakan cara seseorang dalam berfikir dan bertindak serta perasaan seseorang. Rendahnya tingkat self efficacy berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan ketidakberdayaan. Tingkat self efficacy dapat meningkatkan atau menghambat motivasi seseorang untuk bertindak. Seseorang dengan self efficacy tinggi memilih untuk melakukan tugas yang menantang dan mentargetkan tujuan yang tinggi untuk diri mereka sendiri (Locke & Latham, 1990 dalam Schwarzer & Fuchs, 1995). Penelitian oleh John (2012) pada pasien gagal ginjal kronis telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara self efficacy dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan sehari-hari dan pembatasan diet. Semakin tinggi self efficacy yang dilaporkan respondennya, semakin tinggi kepatuhan terhadap pembatasan cairan dan diet yang dilaporkan respondennya. B. Keterbatasan Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini peneliti memiliki keterbatasanketerbatasan seperti : 1. Penelitian ini dilakukan pada delapan partisipan sehingga dapat dimungkinkan data yang didapat belum memberikan gambaran umum dari variasi self-care management pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis. 2. Tempat wawancara yang dilakukan di rumah dimana hanya terdapat peneliti dan partisipan utama serta pendukung mungkin membuat data 106 yang diperoleh kurang bervariasi. Sebaiknya dapat dicoba dengan melalui fokus group discussion (FGD) sehingga variasi data dapat muncul. 3. Waktu wawancara mendalam yang disepakati oleh peneliti dan partisipan terkadang memberikan respon informasi yang berbeda-beda baik itu informasi secara lengkap maupun singkat. C. Implikasi untuk Ilmu Keperawatan dan Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini dapat berimplikasi pada ilmu keperawatan dan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit khususnya di unit hemodialisis dan komunitas meliputi : Hasil penelitian ini telah memberikan gambaran self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dari aspek pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan sikap spiritual. Gambaran hasil penelitian membantu perawat untuk memahami kebutuhan apa saja yang diperlukan terkait pengembangan kemampuan pasien GGK yang menjalani hemodialisis dalam merawat dirinya sendiri dengan tetap melibatkan keluarga sebagai pihak terdekat dari pasien sehingga pasien pada akhirnya dapat beradaptasi dengan kondisi maupun regimen terapeutik pengobatan mereka. Self-care management merupakan bentuk perawatan mandiri oleh diri pasien yang dapat memiliki dampak positif apabila digiatkan bila dikaitkan dengan kualitas hidup pasien. Self efficacy atau keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaannya terbukti bersinergi dengan motivasi pasien GGK dalam mengikuti serta 107 mengimplementasikan regimen terapeutik pengobatan sesuai dengan yang telah dianjurkan oleh tenaga medis. Self efficacy terbukti menjadi salah satu aspek kondisi psikologis dalam self care management dimana pasien GGK merasa mampu, tidak mampu ataupun ada yang mampu dan tidak terkait upaya dalam self-care. BAB VII KESIMPULAN & SARAN Bab ini menguraikan hasil kesimpulan dari penelitian ini dan saran dari peneliti terkait hasil yang telah diperoleh yang akan diuraikan berikut ini. A. Kesimpulan 1. Hasil penelitian ini memberikan gambaran self-care management pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan sikap spiritual. 2. Aspek pemenuhan kebutuhan fisik self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis meliputi pengaturan nutrisi atau makanan, pengaturan intake cairan terkait pembatasan cairan, perawatan akses vaskuler baik cimino dan akses vena femoral, serta aktifitas istirahat/tidur dan olahraga. 3. Aspek kondisi psikologis self care managemet pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis meliputi self-efficacy terkait upaya pelaksanaan self-care, kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif yakni keputusasaan, dan banyak aktifitas di luar seperti bekerja. 4. Aspek spiritual self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis meliputi bentuk kepasrahan kepada Tuhan, keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan, dan aktifitas ibadah yakni sholat. 108 109 5. Hambatan dalam pelaksanaan self-care management meliputi hambatan dari internal yang meliputi motivasi diri dalam pengaturan diet, pembatasan cairan, dan dalam beraktifitas maupun hambatan eksternal yakni terkait dengan ekonomi. 6. Sumber social support juga merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan self-care management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dimana dalam penelitian ini dapat dilaporkan sumber social support yang diterima pasien berasal dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. 7. Kaitan dengan nursing care plan dengan penelitian ini menunjukkan diagnosa keperawatan yang muncul terkait self-care management adalah ineffective self health management dan enhanced self health management. B. Saran 1. Pelayanan kesehatan dapat memberikan edukasi yang komprehensif tentang self-care management untuk pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis pada pasien sendiri, keluarga, maupun masyarakat umum. 2. Pendidikan kesehatan tentang regimen pengobatan seperti pengaturan diet, pembatasan cairan, konsumsi obat yang komprehensif dan mendalam perlu dilakukan sebagai upaya meningkatkan pemahaman 109 110 dan kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan regimen terapeutik pengobatan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Pelayanan kesehatan baik tenaga medis di unit hemodialisis, rumah sakit, serta komunitas agar dapat mempromosikan self-care management pada pasien maupun keluarga dengan cara menyebarkan angket, brosur atau pamflet tentang self-care management. 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan self-care management perlu dilakukan oleh tenaga medis di unit hemodialisis serta perawat di komunitas maupun petugas puskesmas sebagai upaya pengoptimalan perubahan perilaku sesuai dengan regimen terapeutik pengobatan yang telah dianjurkan. 5. Kepatuhan merupakan masalah dalam regiment terapeutik pengobatan sehingga self-care menagement diharapkan mampu membantu meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. 6. Penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan studi-studi lanjutan mengenai self-care management yang telah dideskripsikan dan persepsi pasien terhadap self-care management sebagai usaha dalam meningkatkan kepatuhan terhadap regiment terapeutik pengobatan. 110 DAFTAR PUSTAKA Alligood, Martha Raille & Ann Mariner Tomey,. Nursing Theorists and Their Work Seventh Edition. United Stated Of America : Mosby Elsevier . 2010 Al-Arab, Safa’a. Social Support, Coping Methods and Quality of Life in Hemodialysis Patients. 2003 Anonim,. 87,5 Persen Penderita Gagal Ginjal Pasrah Karena Biaya Cuci Darah Mahal http://www.pelita.or.id/baca.php?id=160. 2013. diakses pada tanggal 07 Maret 2013 ANTARA. 36 Juta Warga Dunia Meninggal Gagal Ginjal. http://www.antarasumut.com/36-juta-warga-dunia-meninggal-gagal-ginjal . 2009. diakses pada tanggal 24 maret 2013 Ariyanto, Eko Fuji, Dewi Marhaeni Diah Herawati, dan GagaIrawan Nugraha. Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/126766/ diakses pada tanggal 6 September 2013 Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. 2008 Bakta, I Made & I Ketut Suastika,. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 Bağ, E., & Mollaoğlu, M. The evaluation of self-care and self-efficacy in patients undergoing hemodialysis. Journal of Evaluation in Clinical Practice, 16(3), 605-610. 2010 Bandura, Albert. Self Efficacy Mechanism in Human Agency. 1982 Baradero , Mary . Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC . 2009 Basavanthappa,BT. Nursing Theories. New Delhi : Jaypee Brothers Medical. 2007. Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc. 2005 Bragazzi, Nicola Luigi & Giovanni Del Puente. Chronic Kidney Disease, Spirituality and Religiosity: A Systematic Overview With the List of Eligible Studies. 2013 Bulechechek, Gloria M, Howard K. Butcher, Joannne MsCloskey Dotcherman. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA : Mosby Elsevier. 2008 Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press. 2008 Burns, Nancy & Susan K. Grove. The Practice of Nursing Research : Conduct, Critique, and Utilization 5th Edition. USA : Elsevier Saunders. 2004 Curtin, Roberta Braun & Donna L. Mapes. Health Care Management Strategies of Long Term Dialisis Supervivors. Nefrologi Nursing Journal. 2001 Curtin, Roberta Braun dkk. Hemodialysis Patients’s Symptom Experiences : Effects on Physical and Mental Functioning. Nefrologi Nursing Journal. 2002 Curtin, Roberta Braun, dkk . Self-Management, Knowledge, Funcioning and Well Being of Patients on Hemodialysis. Nephrologi Nursing Journal . 2004 Curtin, Roberta Braun dkk. Self Management in Patient with End Stage Renal Disease : Exploring Domains and Dimensions. Nephrology Nursing Journal. 2005 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta : Rajawali Press. 2012 Faizal, Elly Burhaini. Noncommunicable Diseases Top Priority in Health Agenda. http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/09/noncommunicablediseases-top-priority-health-agenda.html . 2012 diakses pada tanggal 06 Maret 2012 Farida, Anna. Pengalaman Klien Hemodialisa Terhadap Kualitas Hidup Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta. 2010 Finkelstein, Fredric O. Dkk. Perceived Knowledge Among Patients Cared for By Nephrologists About Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease Therapies. International Society of Nephrology. 2008 Fox, Chester and Linda S. Kohn. The Importance of Patient Education in The Treatment of Chronic Kidney Disease. Kidney International. 2008 Fransiska, Kristina. Waspadalah 24 Penyebab Ginjal Rusak. Jakarta : Penerbit Cerdas Sehat. 2011 Gibson, M.H.. The Quality of Life of Adult Hemodialysis Patients. Austin : The University Of Texas.1995 Granehim U.H. & B. Lundman. Qualitative Content Analisis in Nursing Research : Concepth, Procedure and Measures to Achieve Trustworthiness. 2003 Heidarzadeh M, Atashpeikar S, & Jalilazar T.. Relationship Between Quality of Life and Self-Care Ability in Patients Receiving Hemodialysis. 2010 pada http://europepmc.org/articles/PMC3093176 diakses pada tanggal 24 Januari 2013 Hidayat, Aziz Alimul. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. 2007 Hidayati, Wahyu & Kiki Wahyuni. Pengalaman Self-Care Berdasarkan Teori Orem Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Nursing Studies, Volume 1, Nomor 1 tahun 2012 halaman 244-251. 2012 Indraratna, Kartika. Tingkat Pengetahuan Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) Tentang Diet GGK di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Harjono. 2012 . http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/7/jkptumpo-gdl-kartikaind-331-1abstrak-i.pdf . Diakses pada tanggal 8 September 2013 John, Ansy. The Relationship Between Self-Efficacy and Fluid and Dietary Compliance in Hemodialysis Patients. 2012 Johnson, Marion, Gloria M. Bulecheck, Joanne M. McCloskey Dochterman, Meridean L. Maas, Sue Moorhead, Elizabeth Swanson, and Howard K. Butcher. NANDA, NOC, and NIC Linkages: Nursing Diagnoses, Outcomes, and Interventions 2nd ed. St Louis : Mosby Elsevier. 2006 Kack, Shannon . The Influence of Self-Efficacy on Physical Activity in Individuals with End-Stage Renal Disease. 2010 Kara, Belguzar Caglar, & Kayser Kilic, Selim Nonadherence With Diet and Fluid Restrictions and Perceived Social Supporting Patients Receiving Hemodialysis Journal of Nursing Scholarship; Third Quarter 2007; 39, 3; ProQuest Research Library pg. 243. 2007 Kim, Y., & Evangelista, L.S.. Relationship Between Illness Perceptions, Treatment Adherence, and Clinical Outcomes in Patients on Maintenance Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 37(3), 271-281. 2010 Ko, Benjamin, Dkk. Religious Beliefs and Quality of Life in An American InnerCity Haemodialysis Population. 2007 Kolewaski, Carrie D. Dkk. Quality of Life and Exercise Rehabilitation in End Stage Renal Disease. The CANNT Journal Volume 15. 2005 Krespi, R dkk. Haemodialysis Patient’s Belief About Renal Failure, Patient Education & Counseling . 2004 Kusnanto,. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC. 2003 Medicare Team.Medicare For People with End Stage Renal Disease or a Disability.www.kidney.org/professionals/CNSW/pdf/Medicare4PeopleWith ESRD.pdf diakses pada Minggu 6 Januari 2013 Medical Dictionary . Nursing Care Plan Definition. http://medicaldictionary.thefreedictionary.com/nursing+care+plan diakses pada tanggal 15 September 2013 Moleong, L. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset. 2013 Moreira, Leonardo B dkk. Medication Noncompliance in Chronic Kidney Disease. 2008 Moorhead, Sue dkk. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. USA : Mosby Inc Muhammad, As’adi. Serba Serbi Gagal Ginjal: Tangani Sedini Mungkin Gangguan Ginjalmu Bersama Buku Ini. Jogjakarta: Diva Press. 2012 Muhlisin, Abi dan Indarwati. Teori Self Care dari Orem dan Pendekatan dalam Keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan Vol 2. 2010 National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. Kidney Disease Statistic for The United States. NIH Publication. 26 November 2012 NIDDK . Nutrition and Hemodialysis. New York : National Kidney Foundation. 2010 Potter, Patricia A & Anne Griffin Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktek Edisi 4 Volume 1. Jakarta : EGC. 2005 Polit, Denise F., Cheryl Tatano Beck and Bernadette P. Hungler. Essentials of Nursing Research : Methodes, Appraisal, and Utilization Fifth Edition. 2001 Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2002 Richard, Cleo J. Self Care Management in Adults Undergoing Hemodialysis. Nefrologi Nursing Journal. 2006 Richard, Cleo J.. Living With An Arterio-Venous Fistula For Hemodialysis. 2008 Rubenstain, David, David Wayne & John Bradley. Lecture Notes Kedokteran klinis Edisi Keenam. Jakarta : penerbit Erlangga. 2007 Saraha, Suryaningsih. M., Esrom Kanine, & Ferdinand Wowiling. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Depresi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di Ruangan Hemodialisa BLU RSUP Prof. Dr. R D. Kandou Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013. 2013 Sari, Dianing. Mahalnya Merawat Ginjal Rusak http://www.tempo.co/read/news/2013/03/07/060465539/MahalnyaMerawat-Ginjal-Rusak diakses pada tanggal 07 Maret 2013 . 2013 . Sari, Lita Kartika. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam Pembatasan Cairan Pada Klien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUP Fatmawati. 2009 Sherwood, Lauralle. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC. 2001 Simmons, Laurie. Dorothea Orem’s Self Care Theory as Related To Nursing Practice in Hemodialisis. Nephrology Nursing Journal.2009 Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001 Smeltzer, Suzanne C. Dkk. Brunner & Suddart Textbook of medical-suirgical Nursing : Eleventh Edition. USA : Lipincott williams & Wilkins.2009 Storer, Thomas W. The Importance of Exercise in End Stage Renal Disease. Proquest Research Library. 1999 Streubert, Helen J. & Carpenter, Dona R. Qualitative Research in Nursing Advancing the Humanistic Imperative. 2003 Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006 Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2001 Swanburg, Russel. Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan Untuk Perawat Klinis. Jakarta : EGC.2000 Taylor, Susan Gebhardt & Katherine Renpenning. Self care Science, Nursing Theory and Evidence-Based Practice. New York : Springer Publishing Company,LLC. 2011. Thomas, Claudie J.. The Impact of Religiosity, Social Support and Health Locus of Control on the Health-Related Quality o f Life of African-American Hemodialysis Patients. 2003 Tovbin, D., Gidron, Y, Jean, T., Granovsky, R. & Schnieder, A. Relative Importance and Intercorrelations Between Psychosocial Factors and Individualized Quality of Life of Hemodialysis Patients. 2003 USRDS Annual Data Report : Atlas of End Stage Renal Disease in United Stated Volume 2 tahun 2012 Wardlaw, Gordon M., Jeffresy S. Hampl, dan Robert A. DiSilvestro. Perspektives in Nutrition Sixth Edition. New York : The McGraw-Hill Companies. 2004 White, Rita Yim Fong. Spirituality and Health Related Quality of Life in Hemodialysis Patients. 2005 Wells, Janie R and Staci J. Anderson. Self Efficacy and Social Support in African Americans Diagnosed with End Stage Renal Disease. ABNF Journal Tucker Publication. 2011 World Health Organization (WHO). Global Status Report on NonCommunicable Diseases 2010 http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report2010/en/. 2011. diakses pada tanggal 06 Maret 2012. WHO Indonesia. Health Profile Non Comunicable Disease. http://www.ino.searo.who.int/en/Section3_30.html . 2013. diakses pada tanggal 06 Maret 2013 WHO Indonesia. NCD Country Profile 2011. http://www.who.int/nmh/countries/idnen.pdf. 2011. diakses pada tanggal 14 Maret 2013