gambaran self-care management pasien gagal ginjal kronis dengan

advertisement
GAMBARAN SELF-CARE MANAGEMENT PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS DENGAN HEMODIALISIS
DI WILAYAH TANGERANG SELATAN
TAHUN 2013
SKRIPSI
Ditujukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh:
FAULYA NURMALA AROVA
109104000046
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Faulya Nurmala Arova
Tempat, Tanggal Lahir
: Jember, 12 Agustus 1990
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jln Mangunsarkoro RT 002 RW 007 Dsn Sumberan
Karanganyar Ambulu Jember 68172
Telepon
: 0857-145-25-108 / 0823-119-77-315
Email
: [email protected]/[email protected]
Riwayat Pendidikan
1. TK Mujahiddin Tutul Tegalsari
[1995-1997]
2. SD Negeri Karangayar V
[1997-2003]
3. SMP Negeri 1 Ambulu
[2003-2006]
4. MAU Amanatul Ummah
[2006-2009]
5. S-1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[2009-2013]
Riwayat Organisasi
1. Pinru Pramuka
[2001-2002]
2. Anggota Pramuka MAU Amanatul Ummah
[2006-2007]
3. Anggota Divisi Humas MAU Amanatul Ummah
[2006-2007]
v
4. Ketua Divisi Olahraga dan Seni MAU Amanatul Ummah
[2007-2008]
5. BEM Jurusan Ilmu Keperawatan
[2010-2012]
Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:
1.
Pelatihan Kesehatan “Health Training 4 Medical Skill” Tahun 2009
2.
Seminar “Cultural Approach In Holistic Nursing Care In Globalization Era”
Tahun 2009
3.
Diskusi Publik “Kosmetik yang Aman untuk Kecantikan yang Alami” Tahun
2009
4.
Seminar Umum “Hilangnya Ayat dalam Undang-Undang Anti Rokok” pada
Tahun 2009
5.
Seminar Nasional “Kehalalan Obat dan Makanan serta Permaslahannya di
Indonesia” Tahun 2009
6.
Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah”
Tahun 2010 sebagai panitia.
7.
Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam membangun Karakter Bangsa
Pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010 sebagai peserta.
8.
Seminar Profesi “Keperawatan Islami, Penerapam dalam Praktek dan
Kurikulum Pendidikan Perawat di Indonesia” Tahun 2010 sebagai peserta.
9.
Seminar Dokter Muslim “Smoking Cessation for Better Generation without
Tobacco” Tahun 2010 sebagai peserta.
10. Pelatihan Kesekretariatan oleh CSS Mora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2010 sebagai peserta.
11. Seminar Nasional “Homeopathy, A Brighter Alternative Treatment Method
Bulids an Indonesian Awareness of Natural Medication In The Future” Tahun
2011 sebagai peserta
12. Seminar Kesehatan “Peran Kebijakan Standardisasi Internasional Rumah Sakit
dalam Meningkatkan Profesionalisme Pelayanan Kesehatan” Tahun 2011
sebagai peserta
vi
13. Workshop “Workshop Disaster Management” Tahun 2011 sebagai peserta
14. Seminar dan Workshop Emergency Nursing “Peran Perawat dalam Tatalaksana
Trauma Thoraks Berbasis Pasien Safety” Tahun 2012 sebagai peserta.
15. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012 sebagai peserta.
16. Seminar Nasional “Music Therapy: Melody for Heart and Brain Health” Tahun
2012 sebagai peserta.
17. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu
Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2012
18. Seminar Nasional “NANDA, NIC,NOC : Concept, Implementation and Inovation
for Better Quality of Nursing Service in Indonesia” Tahun 2013
vii
Teruntuk Tuhan ku Allah SWT
Alhamdulillah, sujud syukur hamba haturkan padamu Ya Allah atas segala KaruniaMu hingga
hamba mu ini dapat menyelesaikan apa yang telah hamba mulai. Thanks a lot Allah and teruslah
menjagaku, melindungiku, membantuku dan mengabulkan doaku
Teruntuk Ibuku Siti Kunainah dan Bapakku Nurhadi serta Adikku Faisal Fian Azizi
Tiada kata yang bisa mengungkapkan betapa berterima kasihnya anakmu ini atas segala apa
yang telah kalian berikan. Perjuangan untuk selalu membahagiakan dan membanggakan bapak
dan ibu tidak akan pernah selesai hanya disini. Mala hanya mohon doa restu selalu untuk setiap
jalan yang Mala pilih.
Dhek Faisal ku tersayang, Thanks for your word...”Semangat mbak’e...masak segitu ajah
nyerah” Kalimat mu ituh membuatku kembali untuk berjuang.
Teruntuk Sahabat-Sahabat Ku
“Fighters” (Fita, Fitri, Hanik. Etika, Ulvi, Humayra, Dian, Nyonya Dewi, Iqbal, Astuti)
The best Friend I ever had. Kalian selalu memberi semangat ditengah keputus-asaan yang aq
rasakan. Suka duka, perjalanan, cerita dan kenangan kita lalui bersama. Thanks a lot
Guys...We are always Fighters...dimanapun kita tetep Fighters
Teruntuk Teman, dan Adik Kelasku
Untuk Taufik Effendi di UI Depok...Thanks a lot untuk pinjeman kartu perpusnya..akhirnya
bahan-bahan yang diperlukan bisa ku dapatkan. Riyan Bahtera untuk bantuannya selama ini.
Adik kelas ku Eny Syarifah Hanif yang telah membantu mengetik...kemampuan mengetikmu dua
jempol dhek...Thanks yah.
“Sahabat sejati akan tetap bersama kita ketika kita merasa seisi dunia meninggalkan
kita. Maka rangkullah sahabatmu dengan kedua lenganmu karena mereka adalah
penjagamu.”Keep Fight...Fighters ^_^
viii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Oktober 2013
Faulya Nurmala Arova, NIM :109104000046
Gambaran Self-Care Management Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis di Wilayah Tangerang Selatan Tahun 2013
xii + 104 halaman + 6 tabel + 8 bagan + 7 lampiran
ABSTRAK
Non comunicable disease atau penyakit tidak menular telah menjadi
persoalan dunia karena perkembangannya yang terus meningkat seperti kasus
penyakit kronis. Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan salah satu penyakit kronis
yang perkembangannya lambat namun progresif, irreversibel, dan samar dengan
prevalensi yang terus meningkat. Pasien GGK memiliki kompleksifitas masalah
pada kondisi fisik, psikologis, sosial, spiritual dan ekonomi sehingga
membutuhkan self-care management. Orem dalam Teori Self-Care percaya bahwa
setiap individu memiliki kemampuan natural dalam merawat dirinya sendiri (selfcare). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi gambaran self-care
management pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis, hambatan, dan
sumber dukungan yang diterima oleh pasien. Desain penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Total partisipan dalam penelitian ini
adalah 8 orang pasien GGK dewasa yang berumur antara 35-63 tahun dan telah
menjalani hemodialisis selama kurun waktu 6 bulan hingga 7 tahun. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan 3 tema yang teridentifikasi yakni 1) gambaran self care
management pasien GGK yang menjalani hemodialisis yang meliputi aspek
pemenuhan kebutuhan fisik yakni terkait management nutrisi, pengaturan intake
cairan, regiment pengobatan, perawatan akses vaskuler, dan aktivitas
istirahat/tidur dan olahraga, kondisi psikologis meliputi self efficacy dalam
pelaksanaan self-care management, kepatuhan maupun ketidakpatuhan terhadap
regiment pengobatan, koping maladaptif (putus asa), dan banyak aktifitas, dan
spiritual meliputi kepasrahan terhadap Tuhan, keyakinan akan kesembuhan dari
Tuhan, dan aktifitas ibadah sholat; 2) hambatan dalam pelaksanaannya meliputi
hambatan internal meliputi motivasi diri dalam pengaturan nutrisi, pembatasan
cairan, dan aktifitas dan ekternal yakni ekonomi; dan 3) sumber social support
yang dimiliki pasien berasal dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama
pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selfcare management penting untuk diperhatikan pasien GGK yang menjalani
hemodialisis sehingga hasil ini dapat digunakan untuk mengembangkan promosi
kesehatan dan edukasi yang komprehensif tentang self-care management sebagai
upaya dalam meningkatkan keterlibatan dan kesadaran pasien dan keluarga
tentang kepatuhan terhadap regiment pengobatan terapeutik mereka.
Kata Kunci : Self-Care Management, Hemodialisis, Pasien Gagal Ginjal Kronis
Daftar Bacaan: 78 (1982 – 2013)
ix
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Undergraduates Thesis, October 2013
Faulya Nurmala Arova, NIM : 109104000046
The Description of Self-Care Management for End Stage Renal Disease
(ESRD) Patient on Hemodialysis in South Tangerang District Year 2013.
xii + 104 halaman + 6 tabel + 8 bagan + 7 lampiran
ABSTRACT
Non Comunicable Diseases has become global issue because of
increasing case day by day especially for chronic disease’s case. End Stage Renal
Disease (ESRD) is one of chronic disease that slow in expansion but progressive,
irreversible, vague and the prevalent also increase. ESRD patients have complex
problems in many aspects such as in physical, psychology, social, spiritual, and
economic condition so they need self-care management. Orem in her Self-Care
Theory believe that individual have natural ability for his/her self-care. This study
aims to explore the decription of self care management ESRD patients on
hemodialysis, barriers for do it, and support system resources that patient have.
The study design uses qualitative-phenomenology. Total partisipant in this study
is 8 ESRD patients in the age 35-63 years and have done hemodialysis therapy for
6 month until 7 years. Data was collected by in-depth interviews. Results showed
that 3 themes has identified by researcher as 1) the description of self-care
management for ESRD’s patients on hemodialysis in three aspects as physical
needs such as nutrition management, fluid intake management, medication
treatment, maintenance of vascular access, and sleep and exercise activity,
psychological condition such as self efficacy in the implementation of self-care
management, adherence and nonadherence to implement medication treatment,
maladaptive coping (desperate) and many activities, and spiritual such as
resignation to God, belief in cure from God, and sholat activity; 2) barriers for
implementation as from internal such as self motivation for nutrition management,
fluid retriction, and activity and also external factors such as economic; 3) Social
support resources that ESRD’s patients have as from their partner (husband/wife),
family, and patients on same hemodialysis unit. This research shows that self-care
management is important for ESRD patients on hemodialysis and also could be
used to develop health promotion services and comprehensive education about
self-care management as a effort to increase patient and family involvement and
awareness to adherence with their complex terapeutic medication treatment.
Keywords: Self-Care Management, Hemodialysis, ESRD patient
Reading List: 78 (1982 – 2013)
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penelitian ini yang berjudul Gambaran Self-Care Management Pasien Gagal
Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Wilayah Tanggerang Selatan.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
peneliti jumpai namun syukur Alhamdulillah dengan doa, kesungguhan, kerja keras,
dan kesabaran disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung
maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1.
Prof. Dr (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2.
Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM selaku Ketua rogram Studi Ilmu
Keperawatan dan Ibu Eni Nuraini Agustini, S.Kep, MSN selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
xi
3.
Ibu Maftuhah, M.Kep, Ph.D dan Ibu Ns. Uswatun Khasanah, S.Kep, MNS
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
serta kesabaran selama membimbing peneliti dan memberikan banyak
masukan, pengetahuan, dan bimbingan pada peneliti.
4.
Ibu Tien Gartinah, M.N selaku Dosen Penasehat Akademik peneliti yang
telah membimbing dan memberikan nasehat selalu kepada peneliti terkait
banyak hal selama menjalani masa perkuliahan di Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Staf Pengajar Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta
yang telah
memberikan
ilmu
pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah serta staff
akademik Bapak Azib Rosyidi, S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah
membantu urusan di kampus.
6.
Departemen Agama dengan program Beasiswa Santri Berprestasi yang telah
memberikan kesempatan untuk berkuliah di
Program Studi
Ilmu
Keperawatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik dan Perpustakaan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penelitian.
8.
Segenap Jajaran Staf Dinas Kesehatan Tangerang Selatan yang telah
memberikan kesempatan dan izin dalam melakukan studi pendahuluan
maupun izin pelaksanaan penelitian di wilayah Tangerang Selatan.
xii
9.
Segenap Jajaran Staf Puskesmas Ciputat Timur, Pisangan, dan Benda Baru
yang telah memberikan informasi data pasien GGK di wilayah kerjanya dan
memberikan izin untuk penelitian.
10. Pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis yang menjadi partisipan
dalam penelitian ini atas kerjasama dan segala informasi yang telah
diberikan untuk kepentingan penelitian ini.
11. Kedua orang tua saya yaitu Nurhadi S.Pd dan Siti Kunainah S.Pd yang
senantiasa memberikan cinta kasih, dukungan penuh secara material maupun
spiritual dalam do’a yang selalu mengiringi setiap langkah peneliti sehingga
dapat menyelesaikan penelitian ini.
12. Adikku Faisal Fian Azizi dengan kata-kata penyemangat, motivasi, dan
sarannya untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabatku tercinta “Fighters” (Fita, fitri, Etika, mala, dian, Ulfi,
Dewi, mayra, Astuti dan Iqbal) dan teman-teman angkatan 2009 yang
berjuang bersama untuk menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi
di PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan memohon do’a kepada Allah SWT , penulis berharap semoga skripsi
ini bermanfaat bagi pembacanya, semua kebaikan yang telah diberikan mendapat
balasan dari Allah SWT dan semua kesalahan diampuni oleh Allah. Amin
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ciputat, Januari 2014
Faulya Nurmala Arova
xiii
DAFTAR ISI
JUDUL
HAL
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................
v
LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................................................. viii
ABSTRAK ............................................................................................................... ix
ABSTRACT .............................................................................................................
x
KATA PENGANTAR ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiv
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xix
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
6
1. Identifikasi Masalah ..................................................................
6
2. Pertanyaan Penelitian .................................................................
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.............................................................................
7
2. Tujuan Khusus ............................................................................
7
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Kesehatan .........................................................
8
2. Bagi Masyarakat .........................................................................
8
3. Bagi Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan ..........................
9
4. Bagi Peneliti ..............................................................................
9
E. Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................
9
xiv
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronis ........................................................................ 11
1. Definisi ....................................................................................... 11
2. Klasifikasi .................................................................................. 12
3. Etiologi ....................................................................................... 12
4. Patofisiologi................................................................................ 13
5. Komplikasi ................................................................................ 16
6. Penatalaksanaan.......................................................................... 16
7. Perubahan Yang Terjadi Pada Pasien GGK ............................... 19
B. Teori Self-Care Orem dan Self Efficacy Bandura ........................... 23
1. Teori Self-Care Orem ................................................................ 23
2. Teori Self-Efficacy Bandura ....................................................... 29
C. Nursing Care Plan ......................................................................... 32
D. Penelitian Terkait ............................................................................ 35
E. Kerangka Teori................................................................................ 39
BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI ISTILAH
A. Kerangka Konsep ............................................................................ 40
B. Definisi Istilah ................................................................................. 40
BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian ............................................................................. 42
B. Partisipan Penelitian ........................................................................ 42
C. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 44
D. Instrumen Penelitian........................................................................ 44
E. Sarana Penelitian ............................................................................. 44
F. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 45
G. Teknik Analisis Data ...................................................................... 47
H. Validasi Data .................................................................................. 48
I.
BAB V :
Etika Penelitian ............................................................................... 49
HASIL PENELITIAN
xv
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ............................................ 52
B. Hasil Penelitian .............................................................................. 53
1. Karakteristik Partisipan ............................................................. 53
2. Hasil Analisa Data ..................................................................... 55
BAB VI : PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................... 83
1. Gambaran Self-Care Management ............................................ 83
2. Hambatan dalam Self-Care Management................................... 98
3. Sumber Social Support .............................................................. 100
4. Kaitan dengan Nursing Care Plan ............................................ 101
B. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 105
C. Implikasi untuk Ilmu Keperawatan dan Pelayanan Kesehatan ....... 106
BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 108
B. Saran ............................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan
Judul Bagan
Hal
2.1
Patofisiologi .................................................................................. 14
2.2
Kerangka Teori ............................................................................. 39
3.1
Kerangka Konsep Penelitian......................................................... 40
4.1
Tekhnik Analisis Data .................................................................. 47
5.1
Self-Care Management (Pemenuhan Kebutuhan Fisik) ............... 56
5.2
Pengaturan Nutrisi ........................................................................ 58
5.3
Pengaturan Intake Cairan ............................................................. 61
5.4
Perawatan Akses Vaskuler ........................................................... 64
5.5
Self-Care Management (Kondisi Psikologis) ............................... 68
5.6
Self-Care Management (Sikap Spiritual)...................................... 75
5.7
Hambatan dalam Self-Care Management .................................... 78
5.8
Sumber Social Support ................................................................ 80
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel
Hal
2.1
Klasifikasi Penyakit GGK ................................................................. 12
2.2
Perubahan pada Pasien GGK ............................................................ 19
2.3
Nursing Care Plan ............................................................................ 32
2.4
Penelitian Terkait .............................................................................. 35
5.1
Karakteristik Partisipan Utama ......................................................... 54
5.2
Karakteristik Partisipan Pendukung .................................................. 55
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Inform Consent dan Persetujuan Partisipan Utama
Lampiran 2
Pedoman Wawancara Mendalam Partisipan Utama
Lampiran 3
Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 4
Surat Pemberian Izin Studi Pendahuluan Dinkes Tangerang Selatan
Lampiran 5
Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 6
Surat Izin Pelaksanaan Penelitian Dinkes Tangerang Selatan
Lampiran 7`
Tabel Tema, Subtema, Kategori, Sub Kategori, dan Statement
xix
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Non Comunicable Disease (NCD) atau penyakit tidak menular telah menjadi
perhatian khusus dunia terutama World Health Organization (WHO) karena
menjadi penyebab kematian utama dan kecacatan di dunia. Tahun 2008, penyakit
dengan waktu yang panjang dan progresifitas yang lambat ini dilaporkan telah
membunuh lebih dari 36 juta orang setiap tahunnya dan 80% atau 29 juta
kematian terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah maupun sedang.
Kondisi tersebut mendorong WHO membuat suatu strategi The 2008 -2013 Action
Plan for The Global Strategy for The Prevention and Control of Non
Comunicable Disease dengan komponen kunci yakni surveilan, pencegahan dan
pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah tersebut (WHO, 2013). Pada Mei
2012, World Health Assembly juga menyepakati sebuah target global untuk
mengurangi kematian akibat NCD sebesar 25 % hingga 2025 (Horton, 2013).
Indonesia sebagai negara yang berkembang telah melaporkan bahwa jumlah
kematian akibat NCD lebih besar dibandingkan dengan jumlah kematian akibat
Comunicable Disease (WHO, 2011). Aditama mengatakan bahwa ancaman
terhadap penyakit tidak menular atau NCD seperti jantung, penyakit berkaitan
dengan darah, diabetes melitus, penyakit degeneratif, dan penyakit kronis telah
meningkat (Faizal, 2012). Pemerintah juga telah memberikan prioritas utama
terkait masalah tersebut dan berupaya mengadopsi strategi global WHO dalam
upaya pengendalian dan pencegahan NCD (WHO Indonesia, 2013).
1
2
Penyakit kronis yang perkembangan penyakitnya juga perlu mendapatkan
perhatian adalah penyakit gagal ginjal kronis (GGK) yang merupakan komplikasi
dari beberapa NCD seperti hipertensi, diabetes melitus, dan juga penyakit renal
lainnya. Etiologi dari GGK menurut US Renal System tahun 2000 menunjukkan
bahwa diabetes melitus dan hipertensi menjadi etiologi dengan prosentase tinggi
yakni 34% dan 21% (US Renal System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006).
Angka kejadian GGK yang dilaporkan dari seluruh dunia rata-rata
menunjukkan trend yang penting dimana kadang melambat, kadang naik dan
dapat stabil (USRDS Annual Report, 2012). National Institut of Diabetes Melitus
and Digestif and Kidney Disease (NIDDK) menyebutkan bahwa antara 1980 dan
2009, rata-rata prevalensi GGK di US meningkat mendekati 600%, dari 290 kasus
menjadi 1.738 kasus per juta penduduk. Jumlah kematian pasien GGK juga
menunjukkan kenaikan dari 10.478 pada tahun 1980 menjadi 90.118 pada tahun
2009 (National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse, 2012).
Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat penderita GGK yang cukup
tinggi. PERNEFRI (Persatuan Nefrologi Indonesia) tahun 2011 melaporkan
bahwa diperkirakan ada 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia, namun yang
terdeteksi menderita GGK tahap akhir dan menjalani hemodialisis hanya sekitar
4-5 ribu saja. Banyak yang telah menjalani terapi dialisis meninggal dunia karena
mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk berobat dan proses dialisis (Fransisca,
2011). Penyakit ginjal kronik menurut Soelaeman merupakan penyakit yang
diderita oleh satu dari 10 orang dewasa. Indonesian Renal Registry tahun 2008
melaporkan jumlah pasien hemodialisis (cuci darah) mencapai 2260 orang dari
2148 orang pada tahun 2007 (ANTARA, 2009). Dinas Kesehatan (Dinkes)
3
Tangerang Selatan tahun 2012 melaporkan bahwa terdapat 170 pasien GGK di
wilayahnya (Dinkes, 2012). Kondisi komorbiditas yang terus berkembang pada
insufisiensi renal kronik berkontribusi terhadap tingginya angka morbiditas dan
mortalitas diantara pasien dengan GGK (Burrows-Hudson, 2005 dalam Smeltzer,
2009).
Terapi yang dilaksanakan pasien GGK untuk menggantikan fungsi ginjal
yang rusak salah satunya adalah terapi hemodialisis. Terapi ini merupakan
prosedur penyelamatan jiwa yang mahal, tidak asing karena paling sering dijalani
oleh pasien GGK, dan suatu tekhnologi tinggi untuk mengeluarkan zat-zat sisa
metabolisme tubuh dan zat-zat toksin di dalam tubuh melalui membran semi
permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada alat dialiser melalui
proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat (Smeltzer, 2001). Lebih dari 70% negaranegara melaporkan sedikitnya 80% dari pasien menggunakan terapi hemodialisis
(USRDS Annual Report , 2012).
Pasien GGK yang menjalani hemodialisis memiliki permasalahan yang
kompleks terhadap kondisi fisik, psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual pasien
(Farida, 2010). Masalah yang dirasakan pasien pasca hemodialisis seperti
kelemahan, fatigue, bibir kering dan gatal-gatal pada kulit dapat berpengaruh
terhadap fungsi fisik , mental dan mengganggu aktifitas pasien (Curtin, 2002).
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap penderita GGK yang
menjalani terapi ini yakni sekitar Rp 550.000 – Rp 1.000.000 setiap terapi juga
menjadi hal yang patut diperhatikan (PELITA, 2013). Umumnya pasien menjalani
terapi secara rutin 2-3 kali dalam seminggu selama 4-5 jam sepanjang hidupnya
(Smeltzer, 2009). Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Dharmeziar
4
menyatakan bahwa biaya untuk cuci darah saja, rata-rata Rp 50-80 juta per tahun,
tergantung rumah sakitnya (Dianing, 2013). GGK merupakan suatu masalah yang
terus berkembang menjadi masalah kesehatan dengan tingkat morbiditas,
mortalitas dan biaya yang tinggi.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti menemukan adanya
perubahan pada aspek sosialisasi dan fisik pasien dimana pasien mengatakan
jarang keluar rumah karena kondisinya yang lemah. Biaya menjadi masalah yang
berarti buat pasien dan keluarga walaupun terdapat pembiayaan dari pihak lain
yakni Jamkesmas, namun untuk beberapa obat tidak termasuk dalam bantuan
pembiayaan tersebut. Tenaga pelayanan kesehatan juga menyebutkan bahwa
pasien mengatakan sudah mengikuti petunjuk dan saran yang diberikan dokter
kepadanya, namun terdapat komplikasi-komplikasi yang dialami pasien. Sebuah
penelitian melaporkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis akan
mengalami perubahan terhadap gaya hidup, keterbatasan dalam aktifitas/
mobilitas, ketidakmampuan dalam melakukan perjalanan, pembatasan makanan
dan cairan, bergantung kepada orang lain, penurunan kemampuan menolong
orang lain, kehilangan penghasilan, kelemahan, ketidaknyamanan, pasrah
terhadap takdir, dan kematian (Gibson, 1995).
Pasien GGK juga membutuhkan kemampuan dalam perawatan dirinya sendiri
(self-care). Saat ini kemampuan self-care pasien di komunitas telah menjadi
perhatian dunia seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis di dunia.
Kondisi dari peningkatan biaya pengobatan serta jumlah tenaga edukator yang
tidak cukup juga turut andil menjadi alasan self-care penting ditingkatkan sebagai
upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis, keluarga dan
5
komunitas (Taylor & Renpenning, 2011). Orem percaya bahwa setiap individu
memiliki kemampuan natural dalam merawat dirinya sendiri dan perawat harus
fokus terhadap dampak kemampuan tersebut bagi pasien (Orem,1995 dalam
Simmons, 2009).
Penelitian oleh Heirdarzadeh (2010) pada pasien GGK menunjukkan bahwa
78,3% pasien menginginkan kemampuan self-care dan yang paling banyak
diinginkan adalah kemampuan dalam perawatan akses vaskuler sedangkan yang
paling sedikit terkait dengan nutrisi. Penelitian lainnya juga telah melaporkan
bahwa ada hubungan yang langsung dan signifikan antara kemampuan self-care
dengan kualitas hidup, dimensi fisik, psikologis, dan sosial (Heidarzadeh dkk,
2010), terhadap keaktifan dan keefektifan proses perawatan pasien (Curtin &
Mapes, 2001) dan terhadap self efficacy pasien (Bag & Mollaoglu, 2009).
Penelitian lain tentang self efficacy training pada penderita GGK
menunjukkan keefektifan terhadap ketaatan dalam pengaturan intake cairan yang
dapat mempengaruhi fluid weight gain (Joanna Briggs Institute, 2011) dan
responden yang menerima self efficacy training merasa lebih percaya diri terhadap
kemampuannya dan keikutsertaan dalam promosi perilaku kesehatan dan lebih
taat dalam pembatasan intake cairan (Tsay, 2003). Teori kognitif sosial Bandura
menyebutkan bahwa keyakinan self-efficacy mempengaruhi pilihan seseorang
dalam membuat atau menjalankan tindakan yang ingin mereka capai. Keyakinan
ini juga dapat membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan dikerahkan
seseorang (Shunk, 1981 dalam Mukhid, 2009).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa self-care management pada pasien gagal
ginjal perlu mendapatkan perhatian dari perawat. Orem dalam teorinya
6
menyebutkan bahwa tujuan dari perawat adalah membantu pasien untuk
menemukan perawatan dirinya (self-care) (Basavanthappa, 2007). Mengetahui
kemampuan serta kemauan pasien GGK dalam kaitannya dengan self-care
management membantu serta mendorong mereka secara aktif dalam proses
pengobatan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup mereka. Penjelasan di
atas membuat peneliti tertarik untuk melihat gambaran self-care management
pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah
Tangerang Selatan.
B. Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Penatalaksanaan pasien GGK tahap akhir adalah terapi penggantian ginjal
yakni dengan transplantasi atau dialisis. Dialisis kemudian menjadi pilihan yang
banyak dijalani oleh pasien. Hal tersebut disebabkan oleh mahal dan sulitnya
menemukan donor ginjal. Terapi tanpa usaha dari diri pasien untuk merawat
dirinya sendiri juga dapat mempercepat keparahan atau penurunan kondisi pasien.
Self-care management pada pasien GGK penting untuk diketahui serta
diperhatikan oleh tenaga kesehatan karena dapat memberikan konstribusi,
dukungan, informasi sesuai dengan kebutuhan pasien, dan berperan serta dalam
melibatkan pasien dan keluarga untuk memelihara kondisi pasien GGK.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam
bentuk pertanyaan “Bagaimana gambaran self-care management pada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang
Selatan?”
7
2. Pertanyaan Penelitian
a) Bagaimana gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang
Selatan?
b) Adakah hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan self-care
management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi
hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan?
c) Bagaimana bentuk dukungan yang diterima oleh pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan
dan sumber dukungan dalam pelaksanakan self-care management ?
d) Bagaimana gambaran self efficacy pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan terhadap
self-care management ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran dan
mengeksplorasi self-care management pada pasien gagal ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis di Tangerang Selatan.
2. Tujuan Khusus
a) Mengidentifikasi dan mengeksplorasi gambaran self-care management
pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di
wilayah Tangerang Selatan.
8
b) Mengidentifikasi hambatan - hambatan yang ditemukan dalam
pelaksanaan self-care management pada pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan
c) Mengidentifikasi bentuk dan sumber dukungan pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani terapi hemodialisa di wilayah Tangerang Selatan
dalam upaya pelaksanakan self-care management.
d) Mengidentifikasi gambaran self efficacy pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani terapi hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan terhadap
self-care management.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan, acuan, dan pertimbangan terhadap keluhan dan
masalah yang dilaporkan pasien dan keluarga terkait penyakitnya sehingga
tenaga kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan menyiapkan
strategi untuk meningkatkan self-care management pasien menjadi lebih
baik serta meningkatkan keterlibatan keluarga dalam mendorong dan
mendukung perilaku self-care pasien.
2. Bagi Masyarakat
Self-care bukan hanya berfokus pada pasien, namun didalamnya terdapat
peran keluarga dan masyarakat sehingga diharapkan dengan penelitian ini
keluarga dan masyarakat memahami pentingnya self-care management
9
bagi pasien dan dapat memberikan dukungan penuh dalam upaya
meningkatkan atau mendorong pelaksanaannya.
3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Sebagai bahan informasi dan rujukan bagi seluruh mahasiswa di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
meningkatkan pengetahuannya mengenai self-care management pada
pasien gagal ginjal kronis.
4. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian, menjadi acuan untuk
penelitian selanjutnya secara lebih spesifik pada self-care management
pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dan menambah
wawasan tentang gambaran self-care management pada pasien gagal ginjal
kronis.
E. Ruang Lingkup penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan serta mengeksplorasi selfcare management pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis di wilayah
Tangerang Selatan, dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang
self-care management pada pasien. Data diperoleh dengan cara wawancara
mendalam yang berpedoman pada pedoman wawancara dan lembar observasi
(field note) yang dilakukan pada pasien dan keluarga.
10
Fokus penelitian ini adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan
berdomisili di wilayah Tangerang Selatan. Partisipan dalam penelitian adalah
pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan partisipan pendukungnya adalah
seseorang yang merawat pasien. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni
2013 di rumah pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi
Ginjal merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia.
Ginjal melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk mempertahankan
homeostasis. Ginjal merupakan jalan penting untuk mengeluarkan berbagai
macam zat-zat sisa metabolisme tubuh selain juga berperan penting dalam
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Sherwood, 2001).
Gagal ginjal kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi
secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,
2009). Batas penurunan fungsi ginjal sehingga menimbulkan gejala adalah
sebesar 75-85% dan ketika fungsi ginjal sudah di bawah 25% maka gejala
akan muncul dan terlihat jelas (Fransiska, 2011).
End Stage Renal Disease (ESRD) atau gagal ginjal tahap akhir terjadi
ketika nilai GFR (Glomerulus Filtration Rate) kurang dari 15 mL/min. Pada
poin tersebut terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi) sangat
dianjurkan (Smeltzer, 2009). Gagal ginjal terminal terjadi apabila 90% fungsi
ginjal telah hilang (Sherwood, 2001).
11
12
2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju
Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut :
Tabel 2.1
Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis dengan rumus Kockroft – Gault
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mn/1.73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
≥ 90
atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau
60-89
ringan
3
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau
30-59
sedang
4
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau
15-29
berat
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
3. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering
terhadap proporsi GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan
glomerulonefritis menjadi yang ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis
tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit
ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering terjadi
13
yakni uropati obstruktif , lupus eritematosis dan lainnya sebesar 21 %. (US
Renal System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan
glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi dengan
46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan
infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan
13,65% (Sudoyo, 2006).
4. Patofisiologi
Proses
perjalanan
penyakit,
manifestasi
klinis
dan
terapi
penatalaksanaan untuk pasien dengan gagal ginjal kronis dapat dilihat pada
bagan 2.1 dibawah ini :
14
Bagan 2.1
Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis menurut Black & Hawks (2005)
Penurunan aliran darah renal, penyakit renal
primer, kerusakan dari penyakit lain, Sumbatan
aliran urin
Penatalaksanaan
masalah yang
mendasari
↑ BUN
Transplantasi
Ginjal
↓ filtrasi glomerulus
↑ serum kreatinin
Hipertrofi nefron tersisa
Hyponatremia
Dilute polyuri
Ketidakmampuan untuk
mengkonsentrasikan urine
Kehilangan
Na dalam urin
Dialisis
Dehidrasi
Kehilangan fungsi
ekresi renal
Kehilangan nefron lebih lanjut
↓ Libido
Kehilangan
fungsi non
ekresi renal
Gangguan sistem
Reproduksi
Infertilitas
Penyembuhan
luka tertunda
Gangguan sistem imun
Infection
↑ Produksi lemak
Ateroskeloris yang lebih parah
Kadar glukosa darah
tidak teratur
Aktifitas insulin melemah
Gagal memproduksi eritropentin
Gagal mengubah
Kalsium menjadi
bentuk aktif
↓ absorpsi
kalsium
Anemia Pallor
Osteodistrofi
Hypokalsemia
15
Sodium
Bicarbonat
↓ eksresi
hidrogen
Asidosis metabolik
Pengganti
kalsium
Vitamin D
Agen pengikat
fosfor
↓ eksresi
fosfat
↓ absorpsi
kalsium
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Hiperparatiroidisme
Agen Pengikat
kalium
↓ eksresi
Kalium
↑ Kalium
Pembatasan
kalium
Hiperkalemia
Pembatasan
cairan
↓ eksresi kalium
Diuretik
Gagal
Jantung
Hipertensi
↓ reabsorpsi
natrium dalam
tubulus
Retensi
Air
Lotions
Bathing
antikonvulsan
↑ BUN
↑ Kreatinin
Perubahan
syaraf perifer
↓ eksresi
sampah
nitrogen
= Penatalaksanaan
Sistem saraf
pusat
Cenderung
terjadi
pendarahan
Pruritus
Perubahan rasa
Uremia
perikarditis
↑ asam urat
Edema
Protenuria
= Patologi
= Manifestasi Klinis
16
5. Komplikasi
Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa komplikasi potensial GGK
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatannya yang mencakup :
a.
Hiperkalemia
akibat
penurunan
ekskresi,
asidosis
metabolik,
katabolisme, dan masukan diet yang berlebih.
b.
Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron.
d.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang sel darah
merah, pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin iritasi oleh
toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis.
e.
Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar almunium.
6. Penatalaksanaan
Tujuan
utama
penatalaksanaan
pasien
GGK
adalah
untuk
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama
mungkin serta mencegah atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001;
Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK
namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena yang dibutuhkan
adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi 1) Untuk memelihara
17
fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses penyakit
melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan) dan
mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein
sehari-hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme
(menyediakan kalori nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau
mengurangi katabolisme); 2) Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti
pruritus , neurologik, perubahan hematologi, penyakit kardiovaskuler; 3)
meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet; 4)
Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga (Black &
Hawks, 2005)
Terapi hemodialisis merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang mahal
dan tidak asing bagi pasien GGK karena paling sering dijalani. Terapi ini
merupakan suatu teknologi tinggi dalam terapi penggantian ginjal untuk
mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh dan zat-zat toksin di dalam
tubuh melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan
dialisat pada alat dialiser melalui proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat
(Smeltzer, 2001). Terapi untuk gagal ginjal kronis secara lebih lanjut dapat
dilihat pada patofisiologi gagal ginjal kronis.
Indikasi dilakukan dialisis ada dua yakni indikasi klinis dan indikasi
biokimiawi. Yang termasuk di dalam indikasi klinis adalah 1) sindrom
uremik berat, misalnya muntah-muntah hebat, kesadaran menurun, kejangkejang dan lain sebagainya; 2) overhidrasi yang yang tidak bisa diatasi
dengan pemberian diuretik; 3) edema paru akut yang tidak bisa diatasi dengan
cara lain. Sedangkan indikasi biokimiawi meliputi 1) ureum plasma lebih atau
18
sama dengan 150 mg%; 2) kreatinin plasma sama atau lebih dari 10 mg%; 3)
bikarbonat plasma kurang atau sama dengan 12 meq/L (Bakta & Suastika,
1999).
Masalah yang sering muncul saat pasien hemodialis adalah instabilitas
kardiovaskuler selama dialisis dan sulitnya mendapatkan akses vaskuler
(Rubenstein dkk, 2007). Terdapat lima cara akses ke sirkulasi darah pasien
untuk hemodialisis yakni ; 1) fistula arteriovena ; 2) graft arteriovena ; 3)
shunt (pirai arterovena) eksternal ; 4) kateterisasi vena femoralis ; 5)
kateterisasi vena subklavia (Baradero dkk, 2009).
Komplikasi dari hemodialisis yang dapat terjadi pada pasien meliputi ; 1)
hipotensi merupakan hasil dari pengeluaran secara cepat dari volume darah
(hipovolemia),
penurunan
cardiac
output
dan
penurunan
sistemik
intravaskuler ; 2) Kram otot yang sedikit diketahui penyebabnya namun dapat
dikaitkan dengan hipotensi, hipovolemia, ultrafiltrasi yang tinggi dan
penggunaan larutan sodium rendah dialisis ; 3) kehilangan darah merupakan
hasil dari darah yang tidak keluar secara lengkap dari dializer, tidak sengaja
terpisah dari tubing darah, ruptur membran dialisis, atau pendarahan setelah
melepaskan jarum setelah hemodialisis selesai ; 4) hepatitis, dimana saat ini
angka kejadiannya telah menurun dan The Centers for Disease Control
(CDC) mengupayakan untuk dilakukan vaksinasi untuk semua pasien dan
petugas dalam layanan dialisis (Lewis, 2011).
Depresi dan gangguan tidur terjadi dengan frekuensi yang lebih pada
pasien dengan hemodialisis. Penelitian menunjukkan prevalensi depresi tinggi
yakni 47,8%, insomnia sebesar 60,9%, dan peningkatan resiko sleep apnea
19
(24,6%) pada pasien GGK dan depresi pada caregiver sebesar 31,9% (Rai, et.
al 2001).
7. Perubahan Yang Terjadi pada Pasien GGK
Pasien yang terdiagnosa menderita GGK dan menjalani terapi
hemodialisis mengalami perubahan-perubahan fungsi dari dirinya yang dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2.2 Perubahan pada pasien GGK
Fungsi fisiologis (Black & Hawk, 2005)
Ketidakseimbangan
Pasien dapat mengalami hyponatremia sehingga
eletrolit
berefek pada retensi cairan yang berkontribusi
terhadap kondisi hipertensi dan gagal jantung,
hiperkalemia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia
dimana kondisi tersebut berkontribusi terhadap
osteomalasia, osteitis fibrosa, dan osteosclerosis.
Perubahan metabolik Peningkatan produk sampah metabolisme protein
yakni BUN dan kreatinin di dalam darah. Kreatinin
serum adalah indikator fungsi ginjal yang paling
akurat. Hipoproteinemia dapat terjadi ketika intake
diet protein tidak adekuat. Peningkatan trigliserida
hampir secara umum dapat ditemukan. Asidosis
metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mengeksresikan ion hidrogen.
20
Perubahan
Efek primer pada gagal ginjal adalah anemia karena
hematologi
ginjal tidak mampu memproduksi eritropoentin
sehingga pasien dapat mengalami kelemahan, fatiq
dan intoleransi terhadap dingin.
Perubahan
Pasien seringkali mengalami anoreksia, mual,
gastrointestinal
muntah, rasa pahit, metallic, dan rasa asin serta
napas seringkali berbau amonia, amis dan berbau
busuk. Stomatitis, parotitis dan gingivitis merupakan
masalah yang sering pada pasien. Konstipasi juga
merupakan masalah umum untuk pasien
Perubahan
Kerusakan pada sistem imun membuat pasien mudah
imunologi
untuk terinfeksi.
Perubahan
Gagal ginjal memiliki efek yang serius pada
metabolisme obat-
metabolisme obat. Pasien uremia memiliki resiko
obatan
tinggi untuk keracunan obat-obatan karena
perubahan renal dalam farmakokinetik obat-obatan.
Perubahan
Komplikasi kardiovaskuler yang paling umum
kardiovaskuler
adalah hipertensi. Apabila volume dalam jantung
overload dapat terjadi hepertrofi ventrikuler dan
gagal jantung. Disritmia juga dapat terjadi karena
hiperkalemia, asidosis, hipermagnesium, dan
penurunan perfusi koroner.
Perubahan respirasi
Efek dalam sistem respirasi yakni edema pulmonal
akibat cairan yang berlebihan, peningkatan frekuensi
21
napas, dan sesak.
Perubahan
Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang
muskuloskeletal
terkena dampak lebih awal dan 90% pasien gagal
ginjal mengalami renal osteodistrofi yang dapat
berlanjut pada osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteoporosif, dam osteosklerosis. Beberapa pasien
juga mengeluhkan kram otot.
Perubahan
Masalah pada kulit merupakan masalah yang
integumen
mengganggu kenyamanan pasien. Kulit pasien
menjadi kering karena atropi kelenjar keringatdan
perubahan warna kulit juga terjadi akibat pigmen
urokrom. Pasien juga mengalami pruritus akibat
hiperparatiroidisme sekunder dan deposit kalsium
pada kulit. Rambut dan kuku menjadi tipis dan
rapuh.
Perubahan
Neuropati perifer menyebabkan banyak manifestasi
neurologik
seperti kaki terasa terbakar, ketidakmampuan
menemukan posisi kaki yang nyaman, perubahan
gaya berjalan, footdrop, dan paraplegi.
Perubahan
Pasien wanita dapat mengalami ketidakteraturan
reproduktif
menstruasi, terutama amenore dan infertilitas. Pasien
laki-laki melaporkan kondisi impoten akibat faktor
fisik dan psikologis, atropi testicular, oligospermia,
and penurunan motilitas sperma. Keduanya juga
22
melaporkan adanya penurunan libido.
Perubahan endokrin
Gagal ginjal juga berefek pada sistem endokrin
seperti insulin dan fungsi paratiroid.
Fungsi psikologis
Ekspresi psikologis yang terjadi dapat berupa sedih, depresi, perasaan
menyesal, gangguan gambaran diri, dan rendah diri. Gambaran ekspresi
psikologis yang dialami tersebut terutama di awal pasien didiagnosa gagal
ginjal dan harus menjalani hemodialisis (Farida , 2010).
Fungsi spiritual
Perubahan ekspresi spiritual yang terjadi pada pasien GGK yang menjalani
hemodialisis berupa rasa syukur, pasrah, dan upaya meningkatkan ibadah
(Farida , 2010).
Psikososial
Perubahan pola interaksi sosial yang terjadi yakni pasien cenderung lebih
banyak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar rumah dan untuk interaksi
dengan jarak yang jauh menjadi terbatas. Interaksi baru juga terjadi dengan
sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Selain itu terjadi gangguan
fungsi seksual pada pasien dan gangguan mobilitas atau bepergian sehingga
pasien tidak dapat bepergian lebih dari 3-4 hari (Farida , 2010).
23
Ekonomi
Perubahan status ekonomi juga dirasakan oleh pasien dimana kebutuhan
akan keuangan bertambah dengan menjalani hemodialisis walaupun biaya
hemodialisis tidak membayar (dengan dibebankan kepada pihak lain seperti
asuransi atau pemerintah), namun informan mengatakan ada biaya lain yang
harus dikeluarkan setiap bulan yakni untuk obat-obatan yang tidak dijamin,
pemeriksaan laboratorium, atau biaya transportasi dari rumah ke rumah sakit
yang cukup besar (Farida , 2010).
B. Teori Self-Care (Orem) dan Self-Efficacy (Bandura)
1. Teori Self-Care Orem
Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri dalam
menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk memelihara
kesehatan dan kesejahteraan (Taylor & Renpenning, 2011). Hal tersebut
merupakan bagian yang natural dari manusia. Orem percaya bahwa
manusia memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self-care)
dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Orem,
1995 dalam Simmons, 2009).
Filosofi dari ilmu keperawatan adalah memandirikan dan membantu
individu memenuhi kebutuhan dirinya (self-care). Salah satu teori selfcare dalam ilmu keperawatan yang terkenal adalah teori self-care Orem.
Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang
terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan
untuk merawat dirinya yang berbeda-beda sehingga tindakan perawat
24
berupaya untuk memacu kemampuan tersebut. Individu juga memiliki
kemampuan untuk terus berkembang dan belajar (Asmadi, 2008 ;
Kusnanto, 2003). Orem mendefinisikan keperawatan sebagai seni dimana
perawat
memberikan
bantuan
khusus
kepada
individu
dengan
ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk
perawatan mandiri serta berpartisipasi secara intelegensi dalam perawatan
medis yang diberikan oleh dokter (Swanburg, 2000).
Teori Orem mendeskripsikan peran dari perawat adalah menolong
seseorang dalam ketidakmampuannya dalam melaksanakan self-care.
Tujuan utama sistem Orem ini adalah menemukan kebutuhan self-care
(self-care demand) pasien hingga pasien mampu untuk melaksanakannya
(Orem, 2007 dalam Mosby Dictionary, 2009). Menurut Orem, asuhan
keperawatan diberikan apabila pasien tidak mampu melakukannya, namun
perawat tetap harus mengkaji mengapa klien tidak dapat memenuhinya,
apa yang dapat perawat lakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan menilai sejauh mana klien
mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Hartweg,1995 dalam
Potter & Perry, 2005).
Teori Orem mengidentifikasi dua set dari ilmu keperawatan yakni
nursing practice science dan foundational sciences. Termasuk di dalam
nursing practice science yakni 1) wholly compensatory dimana perawat
membantu penuh ketidakmampuan total pasien dalam melakukan aktivitas
self care ; 2) partially compensatory dimana perawat membantu
ketidakmampuan sebagain pasien dalam melakukan aktifitas self care ; 3)
25
supporting-educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat
keputusan dan memiliki kemampuan dan pengetahuan. Dan termasuk di
dalam foundational sciences adalah self-care, self care agency, dan human
assistance (Basavanthappa, 2007 ; Tomey & Alligood, 2006).
Teori orem ini dikenal dengan sebagai Self-Care Deficit Theory yang
terdiri atas tiga teori terkait , yaitu :
a. Theory of self-care dimana mendeskripsikan tentang mengapa dan
bagaimana seseorang merawat diri mereka sendiri.
b. Theory of self-care deficit dimana mendeskripsikan dan menjelaskan
mengapa seseorang dapat dibantu dalam perawatan dirinya di
keperawatan.
c. Theory of nursing system dimana mendeskripsikan dan menjelaskan
hubungan yang diciptakan perawat untuk dimiliki dan dipelihara
oleh pasien. (Tomey & Alligood, 2006 ).
Self-care didefinisikan sebagai aktifitas praktek seseorang untuk
berinisiatif dan menunjukkan dengan kesadaran dirinya sendiri untuk
memelihara kehidupan, fungsi kesehatan, melanjutkan perkembangan
dirinya, dan kesejahteraan dengan menemukan kebutuhan untuk
pengaturan fungsi dan perkembangan (Orem, 2001 dalam Alligood &
Tomey, 2010). Self-care agency merupakan kompleks yang akan
mempengaruhi seseorang untuk bertindak dalam mengatur fungsi dan
perkembangan dirinya (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010).
Nursing agency terdiri atas perkembangan kemampuan seseorang yang
terdidik sebagai perawat yang berwenang untuk merepresentasikan diri
26
mereka sebagai perawat dalam kerangka hubungan interpersonal yang sah
untuk bertindak, mengetahui dan menolong seseorang untuk menemukan
kebutuhan perawatan diri yang terapeutik (therapeutik self-care demand)
dan mengatur perkembangan dan latihan dari self-care agency mereka
(Alligood & Tomey, 2010).
Basic conditioning factors adalah faktor yang mempengaruhi nilai
dari self care demand , self-care agency dan nursing agency. Sepuluh
faktor yang telah teridentifikasi meliputi umur, jenis kelamin, status
perkembangan, status kesehatan, pola kehidupan (pattern of living), faktor
sistem pelayanan kesehatan, faktor sistem keluarga, faktor sosial budaya,
ketersediaan sumber, dan faktor eksternal lingkungan (Alligood & Tomey,
2010, Muhlisin & Indarwati, 2010). Jika dilakukan secara efektif, upaya
perawatan diri dalam memberikan kontribusi bagi integritas struktural
fungsi dan perkembangan manusia (Asmadi,2008).
Area hemodialisis merupakan salah satu area praktik keperawatan
untuk mengaplikasikan teori self-care Orem ini dimana aplikasi ini akan
sesuai karena penting sekali untuk pasien untuk aktif terlibat dalam
perawatan dirinya. Tujuan utama praktek keperawatan adalah untuk
membantu pasien menyiapkan diri untuk berperan serta secara adekuat
dalam perawatan dirinya dengan cara meningkatkan outcome pasien dan
kualitas hidup. Sebagai perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan
membentuk hubungan saling percaya antara perawat dan pasien,
menyediakan dukungan dan pendidikan kesehatan, memperbolehkan
pasien mengontrol
beberapa
situasi
dengan
berpartisipasi
dalam
27
pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif berpartisipasi
dalam tretmen hemodialisis (Simmons, 2009).
Self-care
management
pada
pasien
GGK
yang
menjalani
hemodialisis merupakan usaha positif pasien untuk menemukan dan
berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan mereka untuk mengoptimalkan
kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol gejala, menyusun sumbersumber pengobatan, meminimalisir gangguan dalam penyakit yang dapat
mengganggu kehidupan yang mereka sukai (Curtin & Mapes, 2001). Yang
termasuk didalamnya menurut Richard (2009) meliputi :
a) Pembatasan cairan
Ukuran pembatasan cairan dapat diukur dengan Interdialytic Weight
Gain (IDWG) atau berat yang diperoleh selama dialisis. IDWG
dipengaruhi oleh ukuran tubuh, volume urin output, apa yang pasien
minum, intake natrium, adanya riwayat diabetes melitus (DM
mempengaruhi intake cairan karena hiperglikemia menstimulasi haus),
kontrol gula darah, cuaca, dan self efficacy (kepercayaan diri pasien
dalam mengatur pembatasan cairan). Perspektif pasien dalam
kaitannya dengan pembatasan cairan menunjukkan bahwa mereka
memiliki perasaan negatif tentang diri mereka sendiri dan kemampuan
mereka dalam mengatur pembatasan cairan seperti rasa malu, hilang
kepercayaan diri, dan memiliki kemampuan yang kecil di dalam dalam
mengaturnya.
28
b) Pengaturan diet
Self-care management pada diet pasien GGK penting untuk
mempertahankan status nutrisi dan keseimbangan elekrolit. Yang
penting diperhatikan dalam hal ini adalah kepatuhan terhadap program
diet yang telah ditentukan karena program tersebut telah disusun
dengan tepat sesuai dengan kondisi ginjal serta kecukupan kalori dan
nutrisi yang diperlukan tubuh pasien yang menderita GGK. Penelitian
melaporkan walaupun pasien memiliki pengetahuan tentang diet dan
komplikasi jika tidak mematuhi program tersebut , mereka tetap tidak
mengikuti program diet yang telah ditetapkan itu. Faktor-faktor yang
positif berhubungan dengan self-care management pada diet yaitu usia
lanjut, wanita, dan self efficacy yang baik. Sedangkan faktor-faktor
yang tidak berkaitan adalah lamanya waktu hemodialisis, edukasi,
social support, dan kadar serum pottasium.
c) Pengobatan
Pasien GGK yang menjalani hemodialisis selain menjalani treatmen
tersebut mereka biasanya mengkonsumsi banyak macam obat. Banyak
hal terkait dengan obat yang perlu diketahui oleh pasien mengingat
banyaknya jumlah obat seperti tentang waktu minum masing-masing
obat, jumlah obat yang diminum, dosisnya, jenisnya, untuk apa saja
obat-obatan tersebut, dan efek dalam tubuh pasien.
d) Akses vaskuler
Akses vaskuler merupakan jalan keluar masuknya darah pasien saat
pelaksanaan treatmen hemodialisis. Penting juga untuk melakukan
29
perawatan akses tersebut secara mandiri mengingat bahwa akses ini
akan selalu digunakan pasien untuk hemodialisis. Selain itu beberapa
hal yang tidak boleh dilakukan pada daerah akses vaskuler (lengan
cimino) juga penting dijelaskan pada pasien seperti tidak boleh
dilakukan pengukuran darah atau mengakat benda berat, dan lakukan
latihan meremas-remas bola untuk mempertahan akses vaskuler tetap
baik.
e) Perspektif pasien tentang self-care management
Penelitian melaporkan bahwa untuk mendapatkan pelayanan yang
terbaik pasien akan fokus dalam mengatur hubungan mereka dengan
dokter dan layanan kesehatan (Cutin & Mapes, 2001). Penelitian lain
menunjukkan bahwa pasien merasa diet dan pembatasan cairan tidak
perlu untuk mereka dan termasuk peraturan yang kaku dimana ketika
mereka mematuhinya maka mereka dikategorikan patuh dan apabila
tidak mengikutinya dikategorikan tidak patuh (Krespi dkk, 2004).
Mengetahui perspektif pasien tersebut penting dalam upaya memahami
apa yang dihendaki oleh pasien serta strategi yang dapat dilakukan
untuk pasien agar pasien dapat mengikuti treatmen yang telah
ditetapkan.
2. Teori Self Efficacy Bandura
Penelitian terhadap pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
self-care agency dengan self efficacy dimana peningkatan dari self-care
30
agency dibarengi dengan peningkatan self efficacy begitu pula sebaliknya
(Bağ & Mollaoğlu, 2010). Bandura mendefinisikan self efficacy sebagai
penilaian diri seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan
melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu.
Bandura menggunakan istilah self efficacy ini sebagai keyakinan (beliefs)
seseorang
tentang
kemampuannya
untuk
mengorganisasikan
dan
melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil (Bandura, 1997 dalam
Mukhid, 2009).
Efek keyakinan terhadap self efficacy pada proses kognitif bentunya
bervariasi. Kebanyakan perilaku diatur oleh pemikiran sebelumnya
terhadap tujuan personal yang ingin diwujudkan. Pengaturan tujuan
personal ini dipengaruhi oleh penilaian diri akan kemampuannya.
Keyakinan self-efficacy yang kuat membuat seseorang mengatur tujuan
yang terbaik dalam diri mereka. Keteguhan mereka terhadap hal tersebut
merupakan komitmen untuk mereka. Keyakinan diri terhadap efficacy juga
memegang peranan kunci dalam pengaturan motivasi diri seseorang
(Bandura, 1991 dalam Bandura 1993).
Persepsi seseorang yang tinggi terhadap efficacy dapat berdampak
pada kesiapan dan pelaksanaan usaha yang berbeda (Bandura, 1982).
Perasaan efficacy yang kuat meningkatkan kecakapan seseorang dan
kesejahteraannya karena seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi
membuat perasaannya tenang dan memandang tugas-tugas yang sulit
sebagai tantangan untuk ditangani dan bukan ancaman untuk dihindari
(Mukhid, 2009). Dalam beberapa survey dari self efficacy dalam bidang
31
kesehatan menunjukkan hubungan yang kuat antara self efficacy dan
progres dari perubahan perilaku dan upaya pemeliharaan kesehatan.
Pendekatan untuk mengukur self efficacy menurut Bandura yakni dengan
menanyakan tentang persepsi atau keyakinan terhadap perilaku tertentu
dapat dilaksanakan dan menanyakan seberapa kuat keyakinannya tersebut
(Strecher dkk, 1986)
32
C.
Nursing Care Plan
Tabel 2.3 Nursing Care Plan
Nursing diagnosis
Readines for Enhanced Self Health Management
As evidence by choices of daily living are appropriate for meeting goals (e.g treatment, prevention), describes reduction
of risk factors, expresses desire to manage the illness (e.g treatment, prevention of sequelae), expresses little difficulty
with prescribed regimens, no enexpected acceleration of illnes symptoms
Intervention (NIC)
Health Education
 Identify internal or external factors that may enhance or reduce motivation for healthy
behavior
 Determine personal context and social-cultural history of individual, family, or target
group
 Assist individuals, families, and communities in clarifying health beliefs and values
 Identify characteristics of target population that affect selection of learning strategies
 Prioritize identified learner needs based on client preference, skills of nurse, resources
available, and likelihood of successful foal attainment
 Formulate objectives for health education program
 Identify resources (e.g., personnel, space, equipment, money, etc.) needed to conduct
program
 Consider accessibility, consumer preference, and cost in program planning
Strategically place attractive advertising to capture attention of target audience
 Develop educational materials written at a readability level appropriate to target
audience
 Teach strategies that can be used to resist unhealthy behavior or risk taking rather than
Outcome (NOC)
Adherence Behavior
 Ask health related questions........
 Seeks health information from variety of
sources........
 Uses reputable health information to develop
strategies........
 Weight risks/benefits of health behavior........
 Provide rationale for adopting a health
behavior........
 Uses strategies to eliminate unhealthy
behavior........
 Uses strategies to optimaze health........
 Uses health care services congruent with
need........
 Performs activities of daily living consistent
with energy and tolerance........
 Performs self-screening........
33











Intervention (NIC)
give advice to avoid or change behavior
Keep presentation focused and short and beginning and ending on main point
Use group presentation to provide support and lessen threat to learners experiencing
similar problems or concern as appropriate
Use peer leaders, teachers, and support group in implementing programs to groups less
likely to listen to health professionals or adults (i.e. adolescent) as appropriate
Use lectures to convey the maximum amount of information when appropriate
Use group discussions and role-playing to influence health beliefs, attitudes and values
Use demonstration/return demonstrations, learner participation and manipulation of
materials when teaching psychomotor skills
Use computer-assisted instruction, television , interactive video, and other technologies
to convey information
Use teleconferencing, telecommunications, and computer technologies to distance
learning
Involve individuals, families, and groups in planning and implementing plans for
lifestyle or health behavior modification
Determine family , peer and community support for behavior conducive to health
Utilize social and family support and family support system to enhance effectiveness
of lifestyle or health behavior modification
Outcome (NOC)
 Describes rationale for deviating from a health
regiment........
Measurement Scale
1= Never demonstrated
2= Rarely demonstrated
3= Sometimes demonstrated
4= Often demonstrated
5= Consistently demonstrated
34
Nursing diagnosis
Ineffective Self Health Management
Related factor complexity of health care system, complexity of therapeutic regiment , decisional conflict, deficient
knowledge, economic difficulties, excessive demands made (e.g individual, family), family conflict, family patterns of
health care, inadequate number of cues to action, perceived barriers, seriousness, benefits, and susceptibility,
powelessness, regimen, social support deficit as evidence by failure to include treatment regimen in daily living and to
take action to reduce risk factors, ineffective choice in daily living for meeting health goals, report desire to manage the
illness, report difficulty with prescribed regimens.
Intervention (NIC)
Self Efficacy Enhancement
 Explore individual`s perception of his/her capability to perform the desired
behavior
 Explore individual`s perception of benefits of executing the desired behavior
 Identify individual`s perception of risks of not executing the desired behavior
 Identify barriers to changing behavior
 Provide information about the desired behavior
 Assist individual to commit to a plan of action for changing behavior
 Reinforce confidence in making behavior changes and taking action
 Provide an environment supportive to learning knowledge and skills needed to
carry out the behavior
 Use teaching strategies that are culturally and age-appropriate (e.g., games,
computer assisted instruction, or conversation maps)
 Model/demonstrate desired behavior
 Engage in role play to rehearse behavior
 Provide positive reinforcement and emotional support during the learning
Outcome (NOC)
Compliance Behavior
 Accepts diagnosis........
 Seeks reputable information about diagnosis ........
 Discusses prescribed treatment regiment with health
professional ........
 Performs treatment regimen as prescribed ........
 Keep appointments with health professional ........
 Report changes in symptomps to health professional
........
 Modifies treatment regiment as directed by health
professional........
 Monitor medication therapeutic effects ........
 Perform self-screening whe directed ........
Perform activities of daily living as prescribed........
 Seeks external reinforcement for performance of
health behavior........
35





Intervention (NIC)
process and while implementing the behavior
Provide positive reinforcement and emotional support during the learning
process and while implementing the behavior
Provide opportunities for mastery experiences (e.g., successful implementation
of the behavior)
Use positive persuasive statements regarding the individual`s ability to carry out
the behavior
Encourage interaction with other individuals who are successfully changing their
behavior (e.g., support group or group education participation)
Prepare individual for the physiologic and emotional states that may be
experienced during initial attempts to carry out a new behavior
Outcome (NOC)
Measurement Scale
1= Never demonstrated
2= Rarely demonstrated
3= Sometimes demonstrated
4= Often demonstrated
5= Consistently demonstrated
D. Penelitian Terkait
Tabel 2.4 Penelitian Terkait
Judul
Penulis
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Pengalaman Self-Care
Wahyu Hidayati
Kualitatif dengan
Hasil penelitian menunjukkan baiknya pemahaman informan
Berdasarkan Teori Orem
& Kiki Wahyuni
pendekatan
tentang penyakit ginjal kronik dan hemodialisis melalui pemahaman
pada Pasien Penyakit Ginjal
(2012)
fenomenologis
informan akan pengalaman riwayat dahulu, masalah psikologis yang
Kronik yang Menjalani
Jurnal Nursing
dialami informan seperti stress dan masalah ketidakberdayaan
Hemodialisis
Studies
setelah vonis, namun bagaimana
36
Judul
Penulis
Metode Penelitin
Hasil Penelitian
mekanisme koping terhadap hal tersebut tidak dijelaskan, dan faktor
penghambat dalam mempertahankan kondisi tubuh yakni faktor
ekonomi, faktor mental, dan pengelolaan asupan cairan dan nutrisi
pada pasien GGK, namun untuk faktor pendukung tidak dijelaskan.
Upaya dan strategi yang dilakukan informan terkait self-care tidak
dijelaskan.
The Evaluation of Self-Care
E. Bağ , &
Kuantitatif melalui
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif antara
and Self-Efficacy in Patients
Mollaoğlu M.
deskriptif survey
self care agency dengan self efficacy pasien gagal ginjal
Undergoing Hemodialysis
(2010)
kronis yang menjalani HD dimana kenaikan pada self care agency
Journal of
maka self efficacy pasien juga akan mengalami peningkatan.
Evaluation in
Didapatkan pula adanya hubungan antara self-care agency dengan
Clinical Practice
pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan, dan frekuensi HD.
Sementara itu terdapat hubungan pula antara self efficacy dengan
umur, status pekerjaan, tingkat pendapatan dan frekuensi HD.
37
Judul
Penulis
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Relationship Between
M. Heidarzadeh ,
Kuantitatif cross-
Hasil penelitian melaporkan bahwa 78,3% pasien menginginkan
Quality of Life and Self-Care
Atashpeikar S., &
sectional
kemampuan self care. Kemampuan self care yang paling banyak
Ability in Patients Receiving
Jalilazar T.
diinginkan adalah perawatan akses vaskuler (arteriovenous) dan
Hemodialysis
(2012)
yang paling sedikit diinginkan yakni terkait nutrisi. Penelitian juga
Iranian Journal of
menunjukkan adanya hubungan yang langsung dan signifikan antara
Nursing and
kualitas hidup pasien gagal ginjal terminal yang menjalani
Midwifery
hemodialisa dengan kemampuan self-care. Selain itu ditemukan
Research
pula hubungan yang langsung dan signifikan antara kemampuan
self-care dengan dimensi fisik, psikologi dan sosial.
Pengalaman Klien
Anna Farida
Kualitatif dengan
Hasil penelitian menunjukkan pengalaman hidup pasien gagal ginjal
Hemodialisa Terhadap
(2010)
pendekatan
kronis yang menjalani hemodialisa terhadap kualitas hidup mereka
Kualitas Hidup Dalam
UI Journal
fenomenologis
didapatkan lima tema yaitu perubahan pemenuhan kebutuhan dasar,
Konteks Asuhan
kualitas spiritual yang meningkat, kualitas fisik dan psikologis
Keperawatan di RSUP
menurun, puas akan pelayanan keperawatan, kebutuhan akan
38
Judul
Penulis
Metode Penelitian
Fatmawati Jakarta
Hasil Penelitian
dukungan sosial. Dari hal tersebut menunjukkan adanya perubahan
secara fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan spiritual.
Self-Management of
Joanna Briggs
Randomized
Intervensi psikososial seperti intervensi terhadap self-efficacy
Hemodialysis for End Stage
Institute
Controlled Trials
(program training individu terstruktur) efektif dalam mengontrol
Renal Disease
(2011)
peningkatan berat badan. Partisipasi pada pasien dalam program
pemberdayaan efektif untuk meningkatkan level empowerment, self
care self efficacy, dan untuk menurunkan level depresi. Terapi
kelompok psikososial merupakan metode yang efektif
meningkatkan kepercayaan diri dalam self-care. Program edukasi
dan support telah menunjukkan keefektifan dalam dalam
meningkatkan kemampuan psikososial dan performance dalam
aktivitas sehari-hari. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
intervensi tersebut dapat efektif baik dalam bentuk individu atau
grup.
39
Self-Care Management Pasien GGK
E. Kerangka Teori
 Gambaran Self-Care dan Self Efficacy
 Hambatannya
 Sumber Dukungan
Teori self efficacy
Bandura (Bandura (1982)
Basic Conditioning Factors :
Umur , Jenis kelamin, Status
perkembangan, Status kesehatan, Orientasi
sosial budaya, Sistem perawatan kesehatan
(diagnostik, penatalaksanaan modalias),
Sistem keluarga, Pola hidup , Lingkungan,
Ketersediaan sumber (Orem, 2001)
Self-care
Perubahan pada :
(Orem, 2001)
Basic
Conditioning
Factors
(Black & Hawks,
2011)
Self-care agency
(Orem, 2001)
Self-care demands
(Orem, 2001)
 Fisiologis
Farida (2010)
Deficit
Basic
Conditioning
Factors
Nursing Agency
(Orem,2001)
Bagan 2.2 Kerangka Teori
Modifikasi dari Orem (2001) dalam Alligood & Tomey (2010), Black & Hawks (2011), Farida (2010), Bandura (1982)




Psikologis
Spiritual
Sosial
ekonomi
Gagal Ginjal
Kronis
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Tinjauan pustaka yang telah diuraikan diatas menunjukkan gambaran selfcare management pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi
hemodialisa perlu di ketahui dan diteliti sehingga dapat diketahui langkahlangkah, tindakan ataupun edukasi yang perlu diberikan perawat kepada pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis agar memiliki kualitas dan
kuantitas hidup yang lebih baik. Di bawah ini dijelaskan mengenai kerangka
konsep yang akan dilakukan peneliti di wilayah Tangerang.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Self-Care Management pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis

Gambaran Self-Care dan Self Efficacy,

Hambatannya

Sumber Dukungan
B. Definisi Istilah
1. Self-care management pasien GGK didefinisikan sebagai usaha positif
yang pasien lakukan untuk mengatur dan berpartisipasi dalam perawatan
kesehatan
komplikasi,
dirinya
dalam
mengontrol
mengoptimalkan
gejala,
menyusun
kesehatan,
sumber
mencegah
medis,
dan
meminimalkan gangguan dari penyakit dalam kehidupan mereka (Curtin
40
41
& Mapes, 2001) serta usaha untuk mengimplementasikan regimen
terapeutik pengobatan dalam aktifitas sehari-hari pasien sebagai upaya
dalam merawat dirinya sendiri beserta self efficacy dalam pelaksanannya
(penilaian diri pasien terhadap kemampuannya dalam merawat dirinya
sendiri), hambatannya serta sumber dan bentuk dukungan yang dimiliki
pasien.
2. Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD)
didefinisikan sebagai pasien yang memiliki kondisi dimana ginjalnya
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel dan
samar
(insidius)
dimana
kemampuan
tubuhnya
gagal
dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
3. Terapi hemodialisis merupakan suatu teknologi tinggi untuk terapi
penggantian fungsi ginjal dalam mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme
tubuh dan zat-zat toksin di dalam tubuh melalui membran semi permiabel
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dengan alat dialiser, melalui
proses difusi, osmosis atau ultrafiltrat (Smeltzer, 2001)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk menafsirkan fenomena tentang
respon keberadaan manusia dengan latar yang alamiah dengan metode
wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Denzin & Lincoln, 1987
dalam Moleong, 2013). Desain penelitian kualitatif menurut Moleong (2013)
merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dal lain-lain,
secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada
suatu kompleks alamiah. Pendekatan fenomenologis berusaha memahami
makna dari pengalaman dari perspektif partisipan/informan dimana mereka
memperkenalkan bahwa banyak cara yang berbeda untuk menginterpretasikan
pengalaman yang sama dan tidak pernah berasumsi bahwa peneliti mengetahui
apa makna hal tersebut bagi mereka. Peneliti menghargai adanya pengalaman
yang bervariasi dan kompleks tersebut (Emzir, 2012).
Melalui pendekatan ini diharapkan peneliti dapat menggali informasi
secara mendalam tentang gambaran self-care management dan self efficacy
pasien gagal GGK yang menjalani hemodialisis.
B. Partisipan Penelitian
Pemilihan partisipan penelitian ini melalui teknik purpossive sampling
dengan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy).
42
43
Kesesuaian (appropriateness) dimana sesuai dengan kriteria yang sudah
ditetapkan peneliti yakni :
1. Partisipan Utama
Partisipan utama merupakan pasien GGK yang memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Pasien GGK yang berdomisili di wilayah Tangerang Selatan dan sedang
menjalani terapi hemodialisis
b. Dapat berkomunikasi dengan baik
c. Bersedia menjadi partisipan dengan menandatangani lembar inform
consent
d. Kooperatif menjadi partisipan dalam penelitian
2. Partisipan Pendukung
a. Keluarga partisipan (anggota keluarga yang selalu terlibat dalam proses
perawatan pasien)
Partisipan yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif menurut Lincoln
dan Guba (1985) tidak dapat ditentukan spesifik sebelumnya. Penentuan
jumlahnya dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama
penelitian berlangsung. Penambahan partisipan dapat terjadi dan dihentikan
manakala datanya sudah jenuh atau telah terjadi saturasi data dimana data dari
partisipan sudah tidak memberikan informasi baru untuk peneliti (Sugiyono,
2010). Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan pada 8 orang
partisipan utama yakni 7 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Wawancara
juga dilakukan kepada partisipan pendukung dari masing-masing partisipan
utama yakni suami/istri mereka.
44
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Tangerang Selatan. Wawancara
mendalam dilakukan di rumah masing-masing partisipan yang telah disarankan
oleh Puskesmas Ciputat Timur, Pisangan, dan Puskesmas Benda Baru. Waktu
penelitian terkait pengumpulan data dilaksanakan mulai Mei 2013 hingga Juni
2013.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, cara
mendapatkan hasil yang baik tergantung pada peneliti dalam mengelola atau
memperdalam suatu data. Instrumen tambahannya meliputi :
1. Pedoman wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan
alat pencatat dan alat perekam. Wawancara mendalam dilakukan oleh
peneliti dengan partisipan utama dan pendukung.
2. Catatan Lapangan
Catatan lapangan untuk mencatat hal-hal penting terkait ekspresi yang
ditunjukkan pasien saat wawancara dan perilaku yang ditunjukkan pasien
saat wawancara seperti saat gugup, cemas dan lainnya.
E. Sarana Penelitian
Sarana penelitian yang digunakan adalah alat-alat tulis, buku untuk
mencatat, alat perekam, surat izin penelitian dan lembar inform consent dan
persetujuan menjadi partisipan.
45
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Juni
2013. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan metode
wawancara mendalam yang berpedoman pada pedoman wawancara dan
direkam dalam alat perekam.
2. Tahap pengumpulan Data
a. Tahap Persiapan Pengumpulan Data
Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus izin
penelitian kepada Dinkes Tangerang Selatan, selanjutnya surat izin
diteruskan kepada pihak Puskesmas baik Ciputat Timur, Pisangan dan
Benda Baru, kemudian mencari rumah masing-masing partisipan
sekaligus bertemu dengan partisipan utama dan pendukung untuk
melakukan inform consent dan menjelaskan tujuan serta manfaat dari
penelitian ini.
b. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menemui partisipan yang
telah disarankan oleh pihak Puskesmas. Peneliti melakukan inform
consent dan pengenalan diri kepada partisipan utama dan pendukung,
selanjutnya membuat kontrak waktu untuk wawancara dengan
partisipan dan meminta nomor yang bisa dihubungi untuk membuat
janji terlebih dahulu. Wawancara mendalam dilakukan terhadap
partisipan maupun pendukung sesuai dengan kontrak waktu yang telah
46
disepakati. Pengambilan data atau proses wawancara mendalam
dilaksanakan mulai Mei hingga Juni 2013.
Wawancara menurut Moleong (2013) adalah percakapan dengan
maksud dan untuk maksud tertentu dimana peneliti dan partisipan
berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi
secara jelas yang dapat menjelaskan masalah penelitian. Peneliti
menggunakan jenis wawancara semi struktur yaitu wawancara
mengajukan beberapa pertanyaan dengan leluasa namun berdasarkan
pada pedoman wawancara yang telah disiapkan agar wawancara tidak
menyimpang jauh. Pertanyaan dapat muncul secara spontan dengan
perkembangan situasi dan kondisi ketika melakukan wawancara.
Melalui teknik ini diharapkan terjadi komunikasi langsung, luwes,
fleksibel serta terbuka, sehingga informasi yang didapatkan lebih
banyak dan luas.
Field & Morse (1985) dalam Holloway & Wheeler (2010)
menyatakan bahwa wawancara mendalam dapat dilakukan dalam kurun
waktu satu jam. Rata-rata peneliti membutuhkan waktu untuk
wawancara mendalam yakni setengah jam hingga satu jam. Saat
wawancara peneliti harus tetap memperhatikan kondisi dan ekspresi
yang ditunjukkan partisipan sehingga peneliti dapat mengetahui dimana
saat peneliti harus mengakhiri wawancara. Frekuensi pertemuan dengan
partisipan bergantung pada situasi dan kondisi partisipan, serta
kebutuhan peneliti dalam proses wawancara. Pengamatan pada sikap
dan ekspresi selama proses wawancara juga dilakukan yang dicatat
47
pada buku catatan sebagai penguat data, serta untuk cross check data
dan memperkaya informasi.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Banonis (1989) dalam Streubert (2003) analisa data bertujuan
untuk melindungi keunikan dari pengalaman hidup partisipan saat mengizinkan
suatu fenomena yang dipahami untuk diteliti. Data yang diperoleh pada
penelitian kualitatif diolah secara kualitatif naratif. Menurut Burns & Grove
(2004) tahapan analisa data yang dilakukan meliputi :
Bagan 4.1
Teknik Analisis Data
Hasil wawancara dibuat ke dalam
transkrip wawancara
Membaca kembali transkrip wawancara
hingga memahami isi wawancara
Reduksi data / proses memilih data
kasar atau data fokus
Analisis Data
Coding : mencari data spesifik dan
diberikan nama kategori
Reflective remarks
Marginal remarks
Memoing
Display Data
Cognitive Mapping
Mengembangkan hipotesa tentang
hubungan yang dapat diformulasikan
dalam proporsi sementara
Drawing and Verifying Conclusions
Counting: Memaparkan data yang
seringkali diucapkan dan merupakan
pokok dari data
Deskripsi lengkap laporan hasil data
Deskripsi yang detail dari informan,
setting, dan pengamatan dan pengalaman
lingkungan dimana data dikumpulkan.
48
H. Validasi Data
Limcoln dan Guba (1985) dalam Polit, Beck and Hungler (2001)
mengusulkan empat kriteria untuk menyusun kepercayaan dan kualitas
penelitian kualitatif karena lebih baik dalam mencerminkan asumsi-asumsi
penting yang dilibatkan dalam banyak penelitian kualitatif.
1. Kredibilitas
Kredibilitas menguraikan fokus penelitian dan menunjukkan kepercayaan
diri terhadap kebenaran data dan bagaimana data diproses dan dianalisis
dengan baik sesuai dengan fokus yang dimaksudkan (Polit & Hunger, 1999
dalam Granehim & Lundman, 2003). Cara yang dapat dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan melibatkan teman sejawat untuk berdiskusi,
memberikan masukan dan kritik dari awal proses hingga hasil penelitian
(Bungin, 2008)
2. Transferabilitas
Hasil penelitian kualitatif memiliki standar transferabilitas tinggi bilamana
para pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran dan pemahaman
yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian (Bungin, 2008). Untuk
memfasilitasi hal tersebut maka sangat berarti apabila hasil penelitian dapat
memberikan deskripsi yang jelas dan nyata dari budaya dan konteks,
penyeleksian dan karakteristik partisipan, kumpulan data, dan proses
analisis (Granehim & Lundman, 2003).
3. Dependabilitas
Polit & Hunger (1999) dalam Granehim & Lundman (2003) menyatakan
bahwa salah satu teknis untuk mencapai reliabilitas adalah dengan
49
melibatkan seorang auditor eksternal untuk melakukan audit dan menelaah
hasil penelitian secara keseluruhan. Dalam hal ini auditor eksternal yang
dapat dilibatkan adalah pembimbing dari peneliti baik pembimbing I dan II
untuk mereview seluruh hasil penelitian.
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas sama halnya dengan objektifitas dan kenetralan dari data
dimana hal tersebut merujuk pada objektifitas pada tingkat kemampuan
hasil penelitian dapat di konfirmasi orang lain dan disetujui relevansi atau
maknanya. Setelah melakukan penelitian, seseorang dapat melakukan audit
yang menguji pengumpulan data dan prosedur analisis dan membuat
penilaian tentang kemungkinan distorsi dan bias (Emzir, 2012; Polit, Beck
& Hungler, 2001).
Dalam penelitian ini peneliti melakukan validasi data dengan kembali
kepada partisipan utama untuk mengkonfirmasi tranksrip wawancara
mendalam yang telah peneliti susun dan berdiskusi dengan teman sesama
mahasiswa maupun dosen pembimbing tentang hasil wawancara mendalam.
I. Etika Penelitian
Penelitian yang dilakukan sudah medapatkan persetujuan dari Dinas
kesehatan Tangerang selatan serta Puskesmas tempat partisipan berdomisili.
Menurut Wasis (2008) etika yang perlu diperhatikan oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
50
a. Otonomi
Pasien memiliki kebebasan untuk memilih bersedia atau tidak menjadi
pertisipan dalam suatu penelitian. Pasien bebas untuk menandatangani
atau tidak lembar inform consent dari peneliti. Inform consent adalah suatu
bentuk persetujuan dimana partisipan telah menerima dan mendapatkan
keterangan yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, tujuan, dampak
dan manfaat yang diperoleh serta jaminan kerahasiaan dalam penelitian
tersebut. Peneliti tidak boleh memaksakan partisipan untuk terlibat dalam
penelitian jika dirinya menolak untuk terlibat.
b. Beneficence
Perawat selalu mengupayakan agar segala tindakan yang diberikan kepada
pasien mengandung prinsip kebaikan (Promote Good) dalam batas-batas
hubungan terapeutik antara perawat dan pasien. Penelitian yang dilakukan
dimana melibatkan pasien sebagai partisipan diharapkan juga mengadung
prinsip untuk kebaikan partisipan, guna mendapatkan suatu metode atau
konsep yang baru untuk kebaikan partisipan dan pasien lainnya .
c. Nonmaleficence
Karena mayoritas penelitian keperawatan menggunakan subyek manusia
(pasien) maka penting halnya untuk memastikan keselamatan dan
keamanan pasien. Penelitian yang dilakukan sebaiknya tidak mengadung
unsur yang berbahaya dan merugikan pasien sebagai partisipan, lebihlebih mengancam nyawa pasien.
d. Confidentiality
51
Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan. Sangat
dianjurkan untuk tidak menyebutkan identitas partisipan dan mengekspos
jawaban dari partisipan. Hal ini dimaksudkan agar partisipan tidak
dirugikan karena dirinya merasa terekspos untuk khalayak ramai. Apabila
diperlukan untuk mengekspos identitas pasien maka peneliti harus
mendapatkan persetujuan dari partisipan dan peneliti harus menghargai
hak-hak dari partisipan.
e. Veracity
Proyek penelitian yang dilakuakan hendaknya dijelaskan secara jujur
tentang manfaat, efeknya, dan apa yang akan didapat partisipan yang
terlibat di dalamnya karena partisipan berhak mengetahui maksud dari
penelitian.
f. Justice
Dalam penelitian keperawatan baik model pemberian intervensi atau tidak,
sebaiknya peneliti tetap mengedepankan upaya untuk memperlakukan
partisipan penelitian secara adil (justice).
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada
delapan partisipan melalui proses analisis data dari hasil wawancara mendalam
yang telah dilakukan dan ditemukan tema-tema yang selanjutnya dideskripsikan
oleh peneliti pada hasil penelitian berikut ini. Penyajian hasil penelitian meliputi
pemaparan gambaran umum wilayah penelitian yakni wilayah Tangerang Selatan,
gambaran karakteristik partisipan utama meliputi inisial, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, dan lama hemodialisis, dan gambaran karakteristik
partisipan pendukung meliputi inisial, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
dan pekerjaan, serta pemaparan hasil penelitian yakni deskripsi gambaran selfcare management pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di
wilayah Tanggerang Selatan. Penyajian hasil penelitian akan diuraikan dalam
bentuk naratif berikut ini :
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada
akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang
pembentukan Kota Tanggerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26
November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut merupakan
pemekaran dari Kabupaten Tanggerang bertujuan meningkatkan pelayanan
dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat
memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Kota Tanggerang
Selatan terletak di bagian timur provinsi Banten yaitu pada koordinat 106’38’ –
52
53
106’47’ BT dan 06’13’30 – 06’22’30 LS dan secara administratif terdiri dari 7
kecamatan, 49 kelurahan, dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau
14,719 Ha. Hasil Sensus penduduk BPS Kota Tanggerang Selatan jumlah
penduduk Kota Tanggerang selatan adalah 1.290.322 jiwa. Penduduk berjenis
kelamin laki-laki sebesar 652.281 jiwa dan perempuan 638.041 jiwa. Data
menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) Tangerang Selatan menunjukkan pasien
gagal ginjal kronis di wilayah tersebut berjumlah 170 orang.
B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Partisipan
Dalam penelitian ini partisipan dibagi menjadi dua yaitu partisipan utama
dan partisipan pendukung. Partisipan utama adalah pasien GGK yang
sedang menjalani terapi hemodialisis dan berdomisili di wilayah Tangerang
Selatan. Partisipan pendukung adalah seseorang yang terlibat secara penuh
dalam proses perawatan pasien GGK dan mengetahui keseharian pasien.
a. Partisipan Utama
Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada delapan partisipan
utama yang berumur antara 35-63 tahun dengan rata-rata umur pasien 44
tahun dan telah menjalani hemodialisis selama kurun waktu 6 bulan hingga
7 tahun. Delapan partisipan utama dalam penelitian ini terdiri atas 7
partisipan laki-laki dan satu partisipan perempuan yang berdomisili di
beberapa wilayah di Tangerang Selatan dan beragama Islam. Wawancara
mendalam
dilakukan
di
rumah
masing-masing
partisipan
dengan
sebelumnya menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta memberikan
54
lembar inform consent sebagai lembar persetujuan menjadi partisipan..
Karakteristik dari masing-masing partisipan utama dalam penelitian ini akan
diuraikan sebagai berikut :
Tabel 5.1 Karakteristik Partisipan Utama
Inisial
Umur
(Th)
Tn. Pi
(P1)
Tn.Ah
(P2)
Tn. As
(P3)
Tn. Am
(P4)
Tn. Si
(P5)
Tn. Za
(P6)
Tn. Ma
(P7)
Ny. Sm
(P8)
Keterangan :
Pekerjaan
Pendidikan
Terakhir
Lama
Hemodialisis
Frekuensi
HD
(seminggu)
SLTA
1 Tahun
2 kali
SLTA
2 Tahun
2 kali
PGA
6 Bulan
3 kali
Pensiunan
63
Karyawan
Tekstil
Pensiunan
53
Karyawan
Pariwisata
Kepala
63
Kelurahan
Pensiunan
44
Sopir Pribadi
1 Tahun 3
SMEA
Bulan
2 kali
SD
2 Tahun
2 kali
STM
7 Tahun
2 kali
STM
3 Tahun
2 kali
SMA
5 Tahun
2 kali
Sopir
47
Angkutan
Umum
Karyawan
47
Lepas
Pensiunan dari
59
perkapalan
(PPD)
Ibu Rumah
35
Tangga
*P = Partisipan
55
b. Partisipan Pendukung
Partisipan pendukung dalam penelitian ini adalah seseorang yang terlibat
penuh dalam perawatan dan mengetahui keseharian partisipan. Partisipan
pendukung dalam penelitian ini adalah pasangan (suami/istri) dari masingmasing partisipan utama dan seluruhnya beragama Islam. Wawancara yang
dilakukan adalah untuk memverifikasi gambaran self-care management
yang telah diuraikan oleh masing-masing partisipan dengan tujuan untuk
memperkaya informasi dalam penelitian ini.
Tabel 5.2 Karakteristik Partisipan Pendukung
Keterangan
IRT
Pendidikan
Terakhir
SMA
40
IRT
SMK
Istri P2
Ny. H
56
Ketua PKK
SMA
Istri P3
Ny. A
42
IRT
SMP
Istri P4
Ny. ED
39
IRT
SD
Istri P5
Ny. S
42
IRT
SMA
Istri P6
Ny. Mu
57
IRT
SLTA
Istri P7
Tn. R
38
Wiraswasta
SMEA
Suami P8
Inisial
Pekerjaan
Ny. SY
Umur
(Th)
58
Ny. SA
Keterangan :
Istri P1
*P = Partisipan
2. Hasil Analisa Data
Berdasarkan analisa data dari transkrip wawancara partisipan didapatkan
gambaran self-care management pasien GGK yang menjalani hemodialisis
di wilayah Tangerang Selatan meliputi self-care dalam aspek pemenuhan
56
kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan spiritual mereka yang akan
diuraikan sebagai berikut :
a.
Pemenuhan Kebutuhan Fisik
Aspek pemenuhan kebutuhan fisik pada self-care management
partisipan
merupakan
bentuk
self-care
management
terkait
upaya
pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan fisik mereka sesuai dengan
regiment terapeutik pengobatan yang dianjurkan oleh tenaga medis. Aspek
pemenuhan kebutuhan fisik ini meliputi : 1) Pengaturan nutrisi; 2)
Pengaturan intake cairan; 3) Regiment pengobatan; 4) Perawatan akses
vaskuler; 5) Aktifitas istirahat/tidur dan olahraga yang dapat dilihat pada
bagan di bawah ini :
Kategori
Sub Tema
Tema
Pengaturan
Nutrisi
Pengaturan Intake
Cairan
Regiment
Pengobatan
Pemenuhan
Kebutuhan
Fisik
Self-care
Management
Perawatan Akses
Vaskuler
Aktifitas
Istirahat/Tidur dan
Olahraga
Bagan 5.1 Self-care management terkait aspek pemenuhan kebutuhan fisik
57
1) Pengaturan Nutrisi
Enam dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management berupa upaya mereka dalam mengatur asupan nutrisi
(makanan) yang mereka konsumsi. Pengaturan nutrisi ini terkait dengan
makan teratur, makan sesuai empat sehat, mencuri-curi makan makanan
yang dilarang, menghindari makanan tinggi kalium, menghindari
makanan yang membuat sesak, menghindari buah kecuali pepaya,
makan buah dengan jumlah terbatas, menghindari buah belimbing dan
pisang, menghindari buah yang asam dan berserat, menghindari sayuran
seperti timun, kangkung dan bayam, makan tidak berpantang atau
bebas, porsi makan berkurang, menghindari makanan berlemak dan
protein, dan makan makanan padang (bersantan). Pengaturan nutrisi
klien meliputi apa saja yang dimakan dan dihindari serta dibatasi oleh
klien baik dari sayuran dan buah-buahan. Pengaturan makan pada
pasien GGK dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini :
58
Sub Kategori
Kategori
Sub Tema
Tema
Makan dengan teratur
Makan sesuai 4 sehat
mencuri-curi
makanan yang
dilarang
Menghindari makanan
tinggi kalium
menghindari makanan
yang membuat sesak
menghindari makan buah
kecuali pepaya
Makan buah dengan
jumlah terbatas
Pengaturan
Nutrisi
menghindari buah
belimbing dan pisang
Menghindari buah yang
asam dan berserat
menghindari sayuran
seperti timun,
kangkung dan bayam
makan tanpa
pantangan atau bebas
menghindari makanan
berlemak dan protein
Makan makanan
padang (bersantan)
Bagan 5.2 Pengaturan Nutrisi
Pemenuhan
Kebutuhan
Fisik
Self-care
Management
59
Berikut
ungkapan-ungkapan
partisipan
mengenai
self-care
management terkait dengan pengaturan nutrisi :
“......Ya kalau misalnya ibu memaksakan untuk makan ya Bapak
makan. Ya bagaimana ya..??? merawat ya makanan aja, jadi
makanannya itu empat sehat aja. Kalau bapak yang dilarang, bapak
gak makan. ya tapi kadang-kadang bapak suka beli. Beli, kadangkadang nanas, makan bapak, nyuri-nyuri lah. kalau disiplin banget kan
bapak nanti bukan malah gemuk, kurus malahan. Bapak malah gak
kuat HD Yang kalium tinggi bapak gak pernah makan.”(P1)
“.......Makan sih apah ajah saya makan, nggak ada pantangan apalagi
kalo makan, apah ajah saya makan, kecuali yang pernah saya makan
itu nyesek saya berenti.....”(P2)
“....Makan tu dari dr. A makan buah nggak boleh, kecuali pepaya.
Makan saya hanya pagi sarapan, siang, malem nggak makan nasi,
udah makan yang lain, makan ubi, makan tales, roti-roti. (P5)
“.........makan juga mantang emang. Seperti sayuran itu timun,
kangkung saya nggak makan udah. buah..buah-buahan itu paling
pepaya lah...paling ini sepotong lah sekali untuk pencernaan saya.
Kalau buah saya sudah sama sekali enggak. Paling pepaya lah. Nggak
berani..Karna bukannya ini .badan timbulnya nggak enak gitu makan
buah.” (P4)
'Buah nggak boleh terlalu banyak, boleh sedikit-sedikit ajah. ya kalo itu
yah makan....Belimbing apalagi nggak sama sekali Kalo belimbing
nggak boleh. Sayuran bayem itu sama sekali nggak boleh. Kalo makan
sayur itu kuahnya jangan terlalu banyak. Air juga itu. Melinjo juga
nggak boleh Dari makannya kalo masak sendiri maunya yang anehaneh, maunya makannya padang gitu..” (P5)
“.....makannya harus teratur.... apa yang disarankan dokter........Apa
yang disarankan dokter harus kita taati. Misalkan dokter nggak boleh
makan ini..boleh makan tapi jangan terlalu berlebihan. Kaliumnya kita
harus jaga juga. Buah-buahan juga ada yang harus kita jaga juga..”
(P6)
“Yah ngerawat biasa-biasa ajah, dikurangi.....makan gitu aja. Yah
banyak yah yang nggak bisa dimakan......Susu, yang lemak-lemak,
daging..pokoknya yang enak-enak lah. Protein-protein, pisang ajah
nggak boleh. Yang boleh cuman makan pepaya ama melon sedikit juga
boleh. Takutnya begah, kembung”(P7)
60
2) Pengaturan Intake Cairan
Semua
partisipan
utama
mengungkapkan
bahwa
self-care
management mereka termasuk dalam pengaturan intake cairan mereka
sehari-hari. Partisipan mengungkapkan bahwa pengaturan intake cairan
atau minum mereka terbatas. Strategi yang mereka lakukan dalam
mengatur minum yang terbatas dilakukan dengan beberapa cara seperti
membatasi minum dengan satu gelas kecil yang sama dan
menggunakan sedotan kecil saat minum, membatasi minum dengan
menggunakan botol berukuran 300 cc, membatasi minum dengan
menggunakan botol 600 cc, mengurangi intake cairan dari sayur
berkuah, IDWG yang terukur dan memiliki kebiasaan minum teh
hangat di pagi hari. Namun ada juga partisipan yang mengungkapkan
bahwa dirinya sudah tidak membatasi minumnya lagi karena merasa
tidak sanggup jika minumnya dibatasi. Beberapa partisipan juga
mengungkapkan strategi dalam mengatasi haus atau rasa panas akibat
pembatasan cairan yakni dengan menurunkan suhu tubuh melalui
mandi atau berkumur. Pengaturan pengaturan intake cairan pada pasien
GGK dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini :
61
Sub Kategori
Kategori
Sub Tema
Tema
Pemenuhan
Kebutuhan
Fisik
Self-care
Management
membatasi minum dengan
cara satu gelas yang sama
dan menggunakan sedotan
membatasi minum
namun tidak terukur
mebatasi minum
dengan menggunakan
botol berukuran 300 cc
membatasi minum
dengan menggunakan
botol ukuran 600 cc
Mengurangi intake
cairan dari sayur
berkuah
Pengaturan
Intake
Cairan
Tidak sanggup
membatasi minum
kebiasaan minum teh
hangat saat pagi hari
IDWG yang terukur
Menurunkan suhu
tubuh dengan mandi
dan berkumur
Bagan 5.3 Pengaturan Intake Cairan
Berikut ini ungkapan-ungkapan partisipan mengenai self-care
management terkait dengan pengaturan intake cairan :
“....tempatnya satu. Jadi gak banyak tempat. Jadi misalnya kalau gelas
ini ya gelas ini. Bapak gelas ini terus sih (menunjukkan gelas). cara
minumnya juga....caranya bapak minumnya dalam satu gelas saja. Satu
tempat ajah. ya kira-kira 600 cc lah. Yaitu bapak caranya disedot pake
sedotan aqua gelas ya tiga sedot cukup lah. Tiga kali sedotan berapa
62
sih isinya...? jadi bapak pakai sedotan ajah , isinya juga berapa banyak
sih. Kalau misalnya minumnya langsung ditenggak itu ya banyak. Tapi
bapak kan naiknya rata-rata 2 kilo berarti kan gak kelebihan air.
Dilihat dari berat awal dan akhir saja pada waktu HD Senin Kamis
Senin Kamis..kenaikan rata-ratanya 2 kg. Nggak pernah banyak. 2
kg...2,5 lah paling banyak.......”(P1)
“....Cuman pas kena yah apa boleh buat, 2 gelas tapi itu pun saya
nggak yakin dengan dua gelas itu, karena saya masih minum obat 3
kali sehari. Kadang pas makan saya nggak minum, minum
obatnya...eeee minumnya itu pas mau minum obat, saya minum habis
segelas, bisa segelas setengah. Maka saya nggak yakin dengan 2 gelas
air tu saya nggak yakin.Saya lebih dari itu pasti....bisa 3 gelas mah
ada. 3-4 gelas. Kalo udah ada sayurnya umpamanya yang berkuah
jangan kalo bisa air ininya jangan terlalu banyak......”(P2)
“.......minum yah teratur gitu. Cuman emang tidak terlalu banyak
minumnya. Sehari jadi satu botol. Kalo perlu yah dikurangi lah kalo
nggak yah perut bisa (mempergakan perut membuncit) sesak napas.
kalau saya itu kalau pagi tuh minum teh manis, trus selanjutnya yah
satu botol aqua (600 cc) itu lah. Itu sampe sore lah...sampe malem lah.
Kalau sekarang ini saya ingin menjaga kondisi saya. Cuman kalau
minumnya terlalu banyak yah cepet anu sesak napas.”(P4)
“........minumnya juga harus di jaga terutama minumnya harus air putih
aja.. Sewaktu-waktu kita harus minum air manis..teh manis untuk
menjaga kondisi tubuh supaya bisa fokus. Takaran minum paling
banyak itu 1,5 liter, dalam tempo 3 hari harusnya.” (P6)
“....dikurangi minum ... gitu aja. Kalau boleh minum tuh paling banyak
sehari itu sedikit, sebotol ..segelas itu lah (menunjuk ke gelas
taperware) sehari...kalau boleh, kalau sanggup. Tapi saya nggak
sanggup.”” (P7)
Partisipan pendukung juga mengungkapkan bahwa self-care
management dalam pembatasan intake cairan merupakan prioritas
utama yang harus diperhatikan seperti diungkapkan sebagai berikut :
”Yah paling cuman dia jaga minum. Yang nomer satu itu jaga minum.
Minumnya jangan banyak. Kalau minumnya banyak yah dia sesak
napas.” (Suami P8)
63
Satu partisipan mengungkapkan strategi yang dilakukan untuk
mengatasi haus akibat pembatasan cairan yakni dengan berkumur dan
mandi untuk menurunkan suhu tubuhnya seperti diungkapkan seperti
berikut ini :
“Bapak kalau misalnya ngilangin haus bapak kumur dulu. Kalau gak
mandi. Awalnya mandi terus kumur pakai air secukupnya. Jadi kalau
udah gak haus lagi kan gak mau minum banyak. Kan kalo mau minum
banyak itu kan pas kalau haus....kan minumnya pasti
ditenggak.........”(P1)
“....Kadang jam 3 malam mandi kalau lagi panas. Kalo lagi gerah jam
3 sebelum adzan udah mandi. Mandinya lihat situasi ajah. Karena
kurang minum bisa 6 kali sehari, mandi guyur..guyur udah, kalo lagi
panas. Kan minumnya sedikit. Tengah malam kan karena panas karena
minumnya sedkit, keringat nggak ada kan panas yah mandi.”(P8)
3) Regiment Pengobatan
Dua dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk mengikuti regiment pengobatan
dari tenaga medis terkait terapi hemodialisis, program diet, dan
pembatasan cairan. Berikut merupakan ungkapan partisipan mengenai
self-care management terkait dengan regiment pengobatan :
“yah itu..sesuai dengan dokter aja, menjalankan sesuai dengan
petunjuk dokter, udah gitu ajah. Kalau saya uraikan nggak cukup satu
buku. Yah saat ini kan sedang menjalani cuci darah, yah itu
dilaksanakan. Sesuai dengan anjuran dokter cuci darah seminggu 3
kali, selasa, kamis, jum’at. Makan itu dari dr. A makan buah nggak
boleh, kecuali pepaya, minum satu botol itu sehari, nggak boleh lebih
dari itu. ”(P3)
64
4) Perawatan Akses Vaskuler
Semua
partisipan
utama
mengungkapkan
bahwa
self-care
management mereka juga berfokus pada usaha untuk merawat akses
vaskuler mereka. Tujuh dari delapan partisipan menggunakan akses
vaskuler cimino dan satu partisipan menggunakan akses vena femoral
dikarenakan akses ciminonya sudah tidak berfungsi sejak 7 tahun yang
lalu. Partisipan utama mengungkapkan beberapa cara yang mereka
lakukan untuk merawat dan mempertahankan akses vaskuler cimino
mereka baik dengan latihan meremas-remas bola, memeriksa desiran,
tidak mengangkat benda berat dan terjepit ataupun tertindih.
Perawatan akses vaskuler yang dilakukan pasien gagal ginjal kronis
dengan hemodialisis dapat dilihat pada bagan berikut ini :
Sub Kategori
Kategori
Latihan meremas-remas
bola/ mengepal-ngepalkan
tangan
Memeriksa desiran
Tema
Perawatan
Akses
Vaskuler
Cimino
Tidak mengangkat
benda berat
Pemenuhan
Kebutuhan
Fisik
Cimino tidak terjepit atau
tertindih
Merawat bekas
tusukan, minum
obat dan herbal
Sub Tema
Perawatan akses
vaskuler femoral
Bagan 5.4 Perawatan Akses Vaskuler
Self-care
Management
65
Empat dari tujuh partisipan utama dengan akses vaskuler cimino
mengungkapkan cara merawat akses vaskuler dengan latihan meremasremas bola dan mengepal-ngepalkan tangan seperti diungkapkan
sebagai berikut :
“Bapak agak latihan ajah,.........nah itu bapak sering latihan pakai bola
terus. Jadi ciminonya agak gerak. Jadi gerak, agak membesar.
Getarannya jadi agak besar karena latihan..pakai bola ajah gini
(gerakan meremas-remas bola), pake bola tensi gitu. Jadi disini
getarannya ada terus, jangan sampe ilang.”(P1)
“Saya latihan ini...meremas-remas bola. Hari ini nggak saya bawa
bolanya..biasanya pas lagi nggak ada gini saya latihan remes-remes
bola aja.”(P3)
“Ohh, itu si kata susternya harus sering latihan begini (mempraktekkan
dengan mengepal-ngepalkan tangan), supaya denyut nadinya itu
kenceng, kalau disininya pelan (menunjukkan nadi brakhialis) ya
disininya (tempat cimino) ya lemes.”(P4)
Empat partisipan utama juga mengungkapkan hal-hal yang perlu
dihindari untuk mempertahankan akses vaskuler cimino mereka yakni
tidak mengangkat sesuatu yang berat dan mengangkat barang dengan
berat lebih dari 3 kg seperti diungkapkan sebagai berikut :
“Nggak boleh ngangkat yang berat-berat Yah..pokoknya nggak boleh
ngangkat yang berat-berat itu aja.......Kalo nggak ngangkat yang beratberat bisa bertahan lama. Bisa sampai beberapa tahun gitu lah kalo
kata dokter. Mungkin dijaga di rawat nggak boleh ngangkat yang
berat-berat.” (P2)
“Nggak boleh bawa berat-berat,.......”(P5)
”Eee...nggak boleh ngangkat lebih dari 3 kg, kalo ngangkat lebih dari
3 kg dia mati, desirannya nggak ada, hilang. Kalau masih ada
desirannya masih berfungsi dia.” (P7)
“................Nggak boleh ngangkat berat.” (P8)
66
Hal lain yang juga perlu dilakukan sebagai upaya untuk merawat
akses vaskuler cimino yakni menjaga agar cimino tidak ketidihan atau
terjepit seperti yang diungkapkan oleh dua partisipan sebagai berikut :
“Perlu dihindari jangan sampe ketindihan. Kalo tidur kan bisa ituh
ketindihan, makanya harus hati-hati jangan sampe ketindihan.”(P1)
”Nggak ada...hanya jangan mengangkat yang berat, kejepit,
ketindih..kalo ketindih itu kan ketahan. Itu nggak boleh ketindih lah
ama ngangkat nggak boleh”(P7)
Partisipan
utama
dengan
akses
vaskuler
vena
femoral
mengungkapkan cara perawatan akses vaskuler yang dilakukan yakni
dengan menjaga kesehatan dan kebersihan bekas tusukan serta dengan
minum obat yang bagus seperti diungkapkan berikut ini :
“Bekas tusukannya yah kalau kita rajin merawatnya daripada
kesehatan dan kebersihannya saya rasa baik kondisinya, minum obat
yang bagus.............”(P6).
5) Aktifitas Istirahat/Tidur dan Olahraga
Satu dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk dalam aktivitas istirahat/tidur yakni
dengan tidur malam dengan cukup dan teratur seperti diungkapkan
dengan kalimat berikut :
“....................tidur malem juga harus teratur................cukup bapak
tidurnya. 5 jam.”(P6)
Selain istirahat/tidur hal lain yang juga menjadi bagian dari selfcare management yakni olahraga yang diungkapkan oleh empat
partisipan utama. Olahraga yang dilakukan oleh partisipan utama
meliputi olahraga tangan yakni mengerak-gerakkan tangan, olahraga
67
jalan kaki, olahraga yang tidak melelahkan, berjalan di halamaan
seperti diungkapkan sebagai berikut :
“........Jadi olahraganya olahraga tangan ajah. Tapi kadang kan bapak
gini (menggerak-gerakkan tangan) tegang, jadi bapak jalan ajah untuk
melatih persendian..........”(P1)
“.........kita bisa berolahraga taroh lah seminggu sekali...Jalan kecil
aja........ 5 bulan kesinilah saya baru olahraga seminggu sekali.”(P2)
“Olahraga paling jalan bolak balik di depan rumah.”(P3)
“Olahraganya jangan terlalu capek, olahraganya saya hanya berkebun
dan jalan..bekerja. tapi dengan aktifitas yang ringan. Jangan terlalu
capek,..............”(P6)
b.
Kondisi Psikologis
Aspek kondisi psikologis pada self-care management pasien GGK
merupakan bentuk self-care management dari segi psikologis mereka.
Aspek kondisi psikologis pada self care management pasien GGK meliputi
self efficacy dalam pelaksanaan self-care management, kepatuhan dan
ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif (putus
asa), dan banyak aktifitas yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
68
Sub Kategori
Kategori
Sub Tema
Tema
Mampu
Belum mampu
Ada yang
mampu dan ada
yang tidak
Self Efficacy
dalam
pelaksanaan selfcare management
Pengaturan
Nutrisi
Pembatasan Cairan
Keteraturan minum
obat
Kepatuhan
terhadap
regiment
pengobatan
Ketidakdisiplinan
dalam pengaturan
nutrisi dan
makanan pantangan
Ketidakmampuan
dalam membatasi
minum
Ketidakteraturan
dalam minum obat
Keputusaan
terhadap
keadaan
Memperbanyak
aktifitas
Kondisi
Psikologis
Self-Care
Management
Ketidakpatuhan
terhadap
regiment
pengobatan
Koping
Maladaptif (Putus
Asa)
Banyak
aktifitas
Bagan 5.5 Self-care management terkait aspek kondisi psikologis
69
1) Self Efficacy dalam Pelaksanaan Self-Care Management
Enam dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa
mereka memiliki kemampuan terkait self-efficacy dalam melaksanakan
self-care management. Mereka mengungkapkan bahwa mereka mampu
dalam merawat diri mereka sendiri seperti diungkapkan sebagai berikut
:
“Mampu...Buktinya saya bisa HD sendiri, gitu........”(P2)
“Mampu lah..pelan-pelan mah”(P5)
“Mampu (dengan tegas dan lugas)......mampu (tersenyum).........Kalau
kita masih mampu merawat diri kita sendiri, bersyukurlah kepada
Tuhan..kepada Allah............”(P6)
”Yah mampu lah..gimana nggak mampu...nggak mampu yah udah, mau
bilang apa lagi. Di mampu-mampu in. Yah cuci darah begini.”(P7)
”Yah mau..nggak mau..abis gimana..hehe(tertawa).Yah harus mampu
lah.”(P8)
Satu partisipan dari delapan partisipan utama mengungkapkan
bahwa dirinya belum mampu dalam pelaksanaan self-care management
karena masih membutuhkan orang lain seperti diungkapkan sebagai
berikut :
“Belum mampu lah kalo sekarang. Saya masih membutuhkan ibu
juga.”(P3)
Satu partisipan utama juga mengungkapkan bahwa dirinya dalam
pelaksanaan self-care management merasa ada yang mampu dan ada
yang tidak mampu dilakukan seperti yang diungkapkan berikut ini:
“Yah mungkin ada yang mampu ...ada yang tidak mampu. Yang
ringan-ringan tuh mampu, kalau berat yah nggak mampu misalnya
sekarang saya berangkat ke rumah sakit jalan sendiri yah nggak
70
mampu selain itu kan juga takut juga. Ibu juga nggak tega ngelepasin
saya. Kalau bapak maunya yah mandiri. Maunya ke rumah sakit
sendiri maunya.” (P1)
2) Kepatuhan terhadap Regiment Pengobatan
Partisipan utama juga mengungkapkan tentang kepatuhan mereka
terhadap regiment nutrisi/diet, pembatasan cairan, dan pengobatan.
Empat partisipan utama mengungkapkan bahwa mereka mematuhi
regimen nutrisi/diet dan pembatasan cairan sesuai dengan anjuran
tenaga medis. Mereka mengungkapkan tentang makanan-makanan yang
mereka harus hindari, buah-buahan yang diperbolehkan, menjaga
asupan makanan yang mengandung kalium dan protein. Berikut
ungkapan kepatuhan partisipan utama terhadap regimen nutrisi/diet :
“...................makan juga mantang emang. Seperti sayuran itu timun,
kangkung saya nggak makan udah. Buah-buahan itu paling pepaya
lah...paling ini sepotong lah sekali untuk pencernaan saya. Kalau buah
saya suah sama sekali enggak......Karna bukannya ini...badan
timbulnya nggak enak gitu makan buah.”(P3)
“..........Misalkan dokter nggak boleh makan ini, boleh makan tapi
jangan terlalu berlebihan......... Kaliumnya kita harus jaga juga. Buahbuahan juga ada yang harus kita jaga juga, yah terutama buah-buahan
yang asem trus yang berserat itu nggak boleh. Kita harus makan
makanan yang misalnya buah terutama pepaya aja yang kita makan,
itu juga porsinya nggak boleh banyak-banyak hanya spasi’.’ Spasi’ itu
sepotong. Nanti kalo dia kebanyakan kan nanti airnya mengendap di
jantung.” (P6)
“Susu, yang lemak-lemak, daging..pokoknya yang enak-enak lah.
Protein-protein, pisang ajah nggak boleh. Yang boleh cuman makan
pepaya ama melon sedikit juga boleh. Takutnya begah, kembung.” (P7)
Terkait dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan partisipan
utama mengungkapkan bahwa intake cairan atau minum mereka kurang
71
lebih 6 cc setiap hari dengan strategi dan cara mereka masing-masing.
Satu partisipan utama membagi minumnya menjadi 3cc untuk pagi
hingga sore dan 3 cc untuk sore hingga pagi keesokan hari. Satu
partisipan utama mengatur minumnya menjadi 1,5 liter untuk 3 hari.
Berikut ungkapan-ungkapan partisipan utama terkait pembatasan cairan
:
“Ini cuman 3 cc dari magrib sampe pagi yah segini , dari pagi sampe
sore., dari subuh sampai sore yah segini . Menurut kita kurang tapi itu
kan anjuran dokter juga. Nggak boleh banyak air. Ntar kalo banyak air
ginjalnya nggak kuat...nggak kuat bekerjanya.” (P3)
“Kalau saya itu kalau pagi tuh minum teh manis, trus selanjutnya yah
satu botol aqua itu lah. Itu sampe sore lah...sampe malem lah. Kalau
sekarang ini saya ingin menjaga kondisi saya. Cuman kalau minumnya
terlalu banyak yah cepet anu sesak napas .”(P4)
“Takarannya paling banyak itu 1,5 liter, dalam tempo 3 hari harusnya.
minumnya segitu (1,5 L untuk 3 hari) karena kita udah nggak
mengeluarkan air seni..ya kan. Jadi kita harus minumnya segitu. Nanti
kalo kita lebih dari segitu misalnya bisa 4 atau 3 nanti perut kita akan
buncit (memperagakan bentuk perut buncit) dan bengkak kayak kaki
gini (menunjuk pada kaki). Karena tidak mengeluarkan cairan.”(P6)
Empat partisipan mengungkapkan bahwa mereka teratur dalam
minum obat seperti yang sudah diresepkan oleh dokter. Mereka
mengungkapkan bahwa diri mereka rutin dan teratur minum obat serta
tidak berhenti minum obat seperti diungkapkan berikut ini :
“Yah minumnya teratur....... saya nggak pernah mutus obat
..........”(P4)
“Teratur...teratur itu ketika kita diresepkan sama dokter itu obat darah
tinggi harus minum 1 hari 3 kali , minum 1 hari 3 kali..iya
kan......”(P6)
72
“Obat rutin itu ada 3 asam folat. B12, CaCo3..itulah yang rutin.........
Itu diminum 3 kali sehari...... kita ajah yang ngatur.”(P7)
“Masih rutin. Obatnya ada CaCo3, ISDN obat jantung, vitaminvitamin...B12, obat darah tinggi klonidin....paling obat mual, dia kan
seringnya mual. Kalo mual diminum kalo nggak mual yang nggak
diminum.” (P8)
3) Ketidakpatuhan terhadap Regiment Pengobatan
Partisipan utama juga mengungkapkan tentang ketidakpatuhan
mereka terhadap regiment nutrisi/diet, pembatasan cairan, dan
pengobatan. Empat partisipan utama mengungkapkan bahwa mereka
tidak mematuhi regimen nutrisi/diet dan pembatasan cairan sesuai
dengan anjuran tenaga medis. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya
ada yang mencuri-curi untuk makan makanan yang dilarang, bebas
dalam makan, dan tidak ada pantangan dalam makan. Berikut ungkapan
ketidakpatuhan partisipan utama terhadap regimen nutrisi/diet :
“Kalau bapak yang dilarang, bapak gak makan, ya tapi kadang-kadang
bapak suka beli, kadang-kadang nanas, makan bapak, nyuri-nyuri lah,
kalau disiplin banget kan bapak nanti bukan malah gemuk, kurus
malahan. Bapak malah gak kuat HD.” (P1)
“Ngikutin pantangan. 1-2 bulan ngikut pantangan . Tapi kesininya apa
ajah saya makan, kalau ikut pantangan yah ituh. Jadi susah makan.
Kalau sekarang ini makan apa ajah kita makan. Apalagi saya kan jaga,
Hb saya kan harus..harus..harus stabil. .............Makan aja ...sekiranya
tuh nyesek yah cukup lah sekali ajah. Juga kita makan nggak terlalu
membabi buta juga sich, kira-kira. Jangan sampe kebanyakan juga
takutnya ada masalah, kurang juga jangan sampe karena saya harus
jaga Hb, jangan sampe ngedrop gitu.” (P2)
”Makannya mah nggak ada....nggak ada pantangan. Semua dimakan.
Sebab kalo malah dipantang Hb nya malah turun. Kalo dulu kan
istilahnya nggak boleh makan ini..nggak boleh makan ini. Ya udahlah
makan ajah semua. Yang penting dibatesin ajah kayak buah. Buah
makan semua. Kan aturannya nggak boleh, kata dokter kan dibatesin
73
bukannya nggak boleh semua. Jadi seharusnya satu yah ¾ lah
gitu.”(P8)
Ketidakpatuhan
terhadap
pembatasan
cairan
diungkapkan
partisipan utama dengan ungkapan bahwa mereka minum lebih dari
yang dianjurkan oleh dokter, susahnya dalam menjaga minum, dan
kebebasan dalam minum tanpa pembatasan. Berikut ungkapan
ketidakpatuhan partisipan utama terhadap pembatasan cairan :
“Cuman pas kena yah apa boleh buat, 2 gelas tapi itu pun saya nggak
yakin dengan dua gelas itu, karena saya masih minum obat 3 kali
sehari.nah itu ajah dah pasti kena air, nggak boleh nggak ya kan. Lom
saya makan cemilan, lom saya harus sarapan, makan siang, makan
malem...gitu...........Maka saya nggak yakin dengan 2 gelas air tu saya
nggak yakin. Saya lebih dari itu pasti.” (P2)
“Yah pokoknya sehari harus bisa satu botol aqua yang sedeng itu. kalo
bisa mah...ya kan susah namanya minum haus, nggak bisa lah.
Harusnya sebenarnya minumnya dijaga, tapi nggak bisa segelas lebih
lah. Ada kali sebotol aqua yang sedeng itu..lebih kali. Belum minum
obatnya. Yah sesuai dia..orang minumnya nggak bisa dianuin sih
dia.Gimana yah. Memang harusnya dijaga minumnya.” (P5)
“Kalau boleh minum tuh paling banyak sehari itu sedikit, sebotol
..segelas itu lah (menunjuk ke gelas taperware) sehari...kalau boleh,
kalau sanggup. Tapi saya nggak sanggup. nggak bisa ditentukan ajah.
Minum-minum ajah.”(P7)
“.......Sebenernya dulu kan ditaker yah satu apa itu...600 ml.Tapi
kelama-lamaan yah capek juga kan, nggak tahan juga, panas. Jadi yah
sebisanya ajah, pake perasaan ajah udah. Jangan ampe kebanyak,
ampe kelewatan itu ajah......”(P8)
Empat partisipan mengungkapkan bahwa mereka tidak teratur
dalam minum obat mereka. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya
malas, bosen, lupa, dan seingatnya saja dalam minum obat. Hal tersebut
diungkapkan oleh partisipan utama maupun partisipan pendukung
seperti diungkapkan berikut ini :
74
“..........kalo lagi males yah juga males saya nggak bakal minum....itu
lupa yah sering, kalo lagi males yah sering. Yah bosen...ada rasa ...
ada rasa bosen. Kalo nggak bosen mungkin pasti saya minum. Ada
rasan bosen. Yah kadang-kadang lupa, ada rasa bosen lah gitu lah .”
(P2)
“Minumnya udah nggak teratur..... Minumnya kalo dia inget minum
dah, kalo nggak yah nggak gitu kan obat. Abiznya mungkin udah
berbau
kali,
udah
kelamaan.Udah
males
kali
minum
obat..hehehe(tertawa). Susah minum obat kata dokter juga. Minumnya
pas inget doang. Kalo nggak enak badannya baru itu minum....” (Istri
P5)
4) Koping Maladaptif (Putus Asa)
Satu partisipan juga mengungkapkan koping yang maladaptif
dimana partisipan merasa putus asa terhadap penyakitnya seperti
diungkapkan berikut ini :
”Ya..kalau nggak butuh (self-care management) buat apa saya harus
cuci darah. Memang saya maunya mati daripada hidup. Kalau boleh
itu Allah bertanya kamu mau hidup atau mati, terus terang saya pilih
mati, soalnya nggak ada arti hidup kita sebagai laki-laki..udah nggak
ada (mata berkaca-kaca dan terlihat air mata disudut mata
pasien.......... Putus asanya saya di hidup. Lama ini prosesnya. Saya
tanya ada nggak obatnya..nggak ada”(P7)
5) Banyak aktifitas
Satu partisipan utama mengungkapkan bahwa self-care management
dirinya juga dengan banyak beraktifitas seperti diungkapkan sebagi
berikut :
“.......Dengan gejalanya kita punya penyakit ginjal supaya kita
tidak mengalami gangguan-gangguan mengenai penyakit kita harus
banyak aktifitas .................”(P6)
75
c. Spiritual
Aspek spiritual pada self-care management pasien GGK merupakan
bentuk self-care management dari segi spiritual partisipan. Aspek ini
meliputi : 1) Kepasrahan terhadap Tuhan ; 2) Keyakinan akan kesembuhan
dari Tuhan ; 3) Aktifitas ibadah sholat yang dapat dilihat pada bagan di
bawah iniSub
: Kategori
Kategori
Subtema
Tema
Spiritual
Self-care
Management
Berserah diri,
menjalani
dengan ikhlas
Pasrah pada yang
Maha Kuasa
Kepasrahan
terhadap Tuhan
Lepas kepada
Allah
Berdoa untuk
kesehatan
Yakin dengan
izin Allah
Keyakinan akan
kesembuhan dari
Tuhan
Tawakal kepada
Allah
Sholat dengan
duduk
Sholat seperti
biasa
Aktifitas ibadah
sholat
Bagan 5.6 Self-care management terkait aspek spiritual
1) Kepasrahan terhadap Tuhan
Tiga dari delapan partisipan utama mengungkapkan bahwa selfcare management mereka termasuk upaya mereka untuk pasrah
76
terhadap
penyakit
mereka
kepada
Tuhan.
Partisipan
utama
mengungkapkan bahwa dirinya menjalani penyakit dengan berserah
diri, menjalani dengan ikhlas, pasrah terhadap Tuhan, dan tidak terlalu
memikirkan penyakit seperti diungkapkan sebagai berikut :
“Yaahhhh.....nggak ada perawatan khusus yang pasti lah. Cuman saya
berserah diri, menjalani dengan ikhlas yah, trus tentunya sambil minta
sama yang kuasa untuk kesembuhan.”(P2)
“............yaa mungkin yaa saya juga sudah pasrah ya pada yang kuasa
ya, kalau cuci darah ini kan ya nggak bisa sembuh ya kan?”(P4)
“Kalau masalah penyakit, itu penyakit jangan sampe dipikirin terlebih
dahulu sampai ke mendetail sekali, lebih baik kita lepas ajah penyakit
itu. Hanya lepas kepada Allah karena Allah yang menentukan hidup
mati manusia. Penyakit yang diberikan oleh Allah, harus kita
kembalikan lagi kepada Yang Maha Kuasa gitu.”(P6)
2) Keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan
Tiga partisipan utama mengungkapkan keyakinan mereka terhadap
kesembuhan dengan self-care management yang mereka lakukan.
Mereka mengungkapkan saat ini diri mereka lebih berdoa untuk
kesehatan, meminta kesembuhan, dan tawakal kepada Allah seperti
diungkapkan sebagai berikut :
“Kalau sekarang lebih berdoa untuk kesehatan ajah , jadi minta
diberikan kesehatan ajah. Sekarang juga doanya untuk minta
kesembuhan, kebanyakan minta kesembuhan.”(P1)
“.................Tapi saya yakin dengan kesembuhan saya yakin. Dengan
izin Allah saya yakin. Tetep minta.”(P2)
“Jadi kalau kita tidak bertawakal kepada Tuhan nanti ya
Wallahua’lam yah nggak akan sembuh. Yah walaupun sudah ngobatin
pake herbal tapi kalo nggak ngadu sama Yang Maha Kuasa nggak kan
dapat kesembuhan. Masalah kesembuhan wallahua’lam, tapi kita kan
77
sudah berusaha, manusia harus berusaha, mengahadap Ilahi agar
disembuhkan dari segala penyakit dan diangkat penyakitnya.”(P6)
3) Aktifitas ibadah sholat
Satu partisipan utama mengungkapkan aktifitas ibadah sholat juga
merupakan bentuk self-care management dirinya. Sholat lima waktu
yang dijalankan oleh partisipan merupakan upaya untuk berserah diri
dan meminta kesembuhan seperti diungkapkan sebagai berikut :
“5 waktu kita jalanin. Kan dengan ibadah itu menyerahkan diri kepada
Tuhan dan minta kesembuhan..................Itulah obat yang paling
mujarab meminta kepada Allah 5 waktu, kalau obat-obatan kan hanya
penghubung, syarat, penunjang…….”(P6)
Ibadah sholat partisipan utama dilakukan dalam keadaan duduk dan
berdiri. Tujuh dari delapan partisipan utama menjalankan sholat dengan
duduk atau tiduran karena beberapa kondisi yang tidak memungkinkan
partisipan untuk sholat dengan berdiri seperti biasa. Kondisi yang tidak
memungkinkan tersebut seperti kondisi lutut yang tidak kuat, pusing,
atau sakit kepala seperti diungkapkan sebagai berikut :
“Bapak tetep berusaha tidak meninggalkan. Tapi sholatnya duduk..yah
tiduran..”(P1)
“................udah saya di rumah,sholatnya duduk itu juga.............
Duduk. Kalaupun berdiri paling Subuh yang 2 rokaat. itupun saya
coba. Karena saya harus..harus...harus mencoba segala sesuatu yang
sekiranya saya tu mampu gitu”(P2)
“Saya yaa alhamdulillah sich, duduk sholatnya, karena kalau ...ini
terasa disini (menunjukan kaki) pegel, nggak kuat, itu tengkuk nggak
kuat, berdiri bangun, berdiri-bangun...paling saya gini..duduk
(meperagakan posisi duduk dengan kaki diluruskan).”(P4)
78
“Sholatnya gitu..asal itu..katanya pusing, sakit kepalanya. Kalo ini...
kadang sakit ininya (menunjukkan lutut). Seingetnya dia
dah..hehe(tertawa). Sholatnya kalo berdiri, kakinya kadang suka ngilu”
”Duduk...kalo berdiri nggak kuat..pas naek itu nggak kuat.”(P7)
”Yah duduk..Kalo berdiri kan nggak kuat”(P8)
Satu partisipan utama mengungkapkan bahwa aktifitas ibadah
sholat dirinya seperti biasa yakni dengan berdiri karena tidak ada
keluhan yang membuat dirinya tidak dapat menjalankan aktifitas ibadah
sholat seperti biasanya. Berikut ungkapan partisipan utama terkaitan
aktifitas ibadah sholatnya yang dilakukan dengan berdiri :
“................sholat biasa. Nggak ada berbaring..nggak ada keluhan
apa-apa. Kalo sholat seperti lazimnya orang-orang sholat aja.”(P6)
Analisis data yang dilakukan mendapatkan tema kedua yakni hambatan
dalam pelaksanaan self-care management yang dialami partisipan. Lima
partisipan utama mengungkapkan adanya hambatan yang dirasakan dalam
pelaksanaan self-care management. Hambatan ini terbagi menjadi hambatan
internal dan ekternal yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini :
Kategori
Subtema
Tema
Motivasi Diri dalam
Pengaturan Nutrisi
Motivasi Diri dalam
Pembatasan Cairan
Internal
Hambatan dalam
Self-Care
Management
Motivasi Diri dalam
Beraktifitas
Ekonomi
Eksternal
Bagan 5.7 Hambatan dalam pelaksanaan self-care management
79
a.
Hambatan Internal
Hambatan internal meliputi hambatan dalam motivasi diri dalam
pengaturan nutrisi, pembatasan cairan dan beraktifitas. Partisipan
pendukung mengungkapkan bahwa partisipan utama menginginkan
makanan yang aneh-aneh dan mengeluhkan beratnya menjaga minum
sesuai dengan anjuran dokter, serta keterbatasan aktifitas
yang
diungkapkan partisipan utama akibat kelemahan. Berikut ungkapanungkapan partisipan utama yang didukung juga oleh pernyataan partisipan
pendukung seperti dibawah ini :
“Susah....hehehe(tertawa). Dari makannya kalo masak sendiri maunya
yang aneh-aneh, maunya makannya padang gitu”(Istri P5)
”Ya ada...yah kadang nggak tahan minum itu karena yah tau
sendiri...panas. manusia kan nggak lepas dari air. Sedangkan dia harus
dijaga airnya. Kan berlawanan. Berat lah itu. Masih mendingan makan
bisa dijaga ”(Suami P8)
“karena tenaga nggak ada ajah cuman. Dari duduk ke berdiri itu yang
payah. Ini rasanya nggak ada tenaga.”(P7)
b.
Hambatan Ekternal
Hambatan eksternal meliputi hambatan ekonomi seperti diungkapkan
oleh partisipan pendukung berikut ini :
“Jamkesda saya hanya dapat 4 kali. Ini sebulan lebih dari sejuta, belum
lagi obatnya.....sejuta, 5 juta sebulah..yah dari anak-anak ajah. Telat
sehari ajah sudah kambuh.”(Istri P7)
Analisis data yang dilakukan juga mendapatkan tema ketiga yakni
sumber social support yang dimiliki partisipan utama dalam pelaksanaan selfcare management. Semua partisipan utama mengungkapkan sumber social
80
support yang mereka miliki dalam pelaksanaan self-care management berasal
dari dukungan dari pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang
menjalani hemodialisis. Sumber social support dalam pelaksanaan self-care
management dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Kategori
Subtema
Tema
Pasangan mengontrol dan
mengingatkan
Pasangan yang menasehati
Pasangan
(Suami/Istri)
Pasangan membeli obat dan
mengantar
Biaya dan transportasi
Bergantiaan menjaga
Keluarga
Sumber Social
support
Biaya
Sharing dan saling
memberikan semangat
Mengobrol dan seperti
keluarga
Sesama pasien
yang menjalani
hemodialisis
Bagan 5.8 Sumber social support dalam pelaksanaan self-care management
a. Pasangan (Suami/Istri)
Semua partisipan utama mengungkapkan bahwa pasangan memiliki
peran penting dalam mendukung mereka melaksanakan self-care
management mereka. Pasangan merupakan seseorang yang selalu
mengingatkan, mengontrol, memberi nasehat, menebus obat, dan
81
mengantar ke rumah sakit partisipan utama seperti diungkapkan berikut ini
:
“Yah yang berperan penting ibu lah ..istri lah..banyak kontrolnya
misalnya bapak lagi jalan udah capek istirahat. Banyak mengingatkan
lah......dari keluarga lah.....”(P1)
“Yah istrilah, nomer satu Istri karena dia yang tahu persis kondisi saya.
yah selalu nasehatin, itu suatu dukungan juga. Jangan makan ini, jangan
makan itu yang sekiranya nggak boleh.”(P2)
“.......sekarang kan saya kondisinya itu obat ...dia (istri) itu obat beli obat
nebus obat. Kedua kalo saya lagi check lab, dia nganter. Kalau saya jalan
sendiri , dia kan khawatir, jalan ajah sempoyongan.”(P4)
Partisipan pendukung juga mengungkapkan bahwa dirinya juga
memberikan semangat kepada partisipan utama dalam melaksanakan selfcare management mereka seperti diungkapkan sebagai berikut :
“Yah harus semangat..semangat. Makanya kata saya harus ikut nurutin
apa yang harusnya........”(Partisipan pendukung P5)
“Semangat lah . Emang mau diapain wong udah sakit. Yah paling saya
ngasih semangat.....semangat, Yah, orang sakit jangan dipikirin,
maksudnya istilahnya jangan dipikirin, jangan dibikin stress lah, emang
udah ada mau diapain terima aja..ya kan.......” (Partisipan pendukung P6)
”Tetep semangat lah karena penyakit kan salah satu bagian dari orang.
Kita harus terima, ikhlas ajah lah.”(Partisipan pendukung P8)
b. Keluarga
Tiga
partisipan
utama
mengungkapkan
bahwa
dirinya
juga
mendapatkan dukungan dari keluarganya dalam melaksanakan self-care
management mereka. Dukungan tersebut terkait dengan biaya dan sarana
transportasi serta dukungan emosional seperti diungkapkan seperti berikut
:
82
“Dukungan yah banyak. Dukungan dari adek-adek saya, orang tua saya,
yah mungkin biaya, untuk saya berobat atau untuk transportasi. Yah
sangat mendukung.”(P2)
“.....anak-anak saya. Semenjak sakit anak saya gantian nginep di rumah
saya tiap malem.”(P3)
”Yah semua-semuanyalah, kalo nggak siapa lagi. Orang tua udah nggak
ada. Kan saya bilang tadi..sodara terbang semua. Keluarga ajah
lah...anak Biaya dibantu anak.”(P7)
c. Sesama pasien yang menjalani hemodialisis
Dua partisipan utama mengungkapkan bahwa sesama pasien yang
menjalani hemodialisis telah terbentuk jalinan kekeluargaan. Dengan
sesama pasien hemodialisis mereka saling memberikan semangat, saling
bertukar informasi, dan mengobrol seperti diungkapkan berikut ini :
“Deket yah deket. Kalo saya tergantung individu orangnya yah. Kalo
individu orangnya diem ajah yah diajak ngobrol diem ajah yah diem
bapak. Tapi alhamdulillah samping bapak sering sharing gitu kan. Dia
kebetulan udah 3-5 tahun an lah. Kadang bapak juga suka teriak gitu ke
yang orang Irian..”makan pak”....yah saling ngasih spirit. Ada tuh orang
Parung nggak mau makan , Istrinya sampe nangis. Saya juga suka teriak
ke Bapak itu. malah kadang bapak kalau makan makan wahhh...kayak
nikmat ajah tuh. Dia kan jadi sering ngeliatin bapak. Sengaja bapak
perlihatkan biar ketularan makan........”(P1)
“Kalo ketemu aja ngobrol-ngobrol. Kayak keluarga dah kita disana”(P2)
BAB VI
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan interpretasi hasil penelitian yang telah diperoleh,
keterbatasan dalam penelitian, dan implikasi penelitian. Interpretasi hasil
penelitian
yang
dilakukan
yakni
menguraikan
hasil
penelitian
dan
membandingkannya dengan konsep dan teori serta berbagai penelitian
sebelumnya yang terkait sehingga dapat memperkuat interpretasi penelitian.
Keterbatasan dalam penelitian ini akan membahas tentang keterbatasan peneliti
dalam proses penelitian yang telah dilalui dengan proses yang seharusnya
dilakukan sesuai aturan. Implikasi penelitian akan membahas implikasi dari
penelitian sesuai dengan hasil penelitian yang telah diperoleh bagi pelayanan
kesehatan dan ilmu keperawatan.
A. Pembahasan Hasil Penelitian
Peneliti telah mengidentifikasi tiga tema dalam self-care management
pasien GGK yang menjalani hemodialisis sesuai dengan analisa data yang peneliti
lakukan. Tiga tema tersebut teridentifikasi sesuai dengan tujuan penelitian yakni
mengeksplorasi gambaran self-care management pasien GGK yang menjalani
hemodialisis, hambatan dalam pelaksanaan self-care management, dan sumber
social support pasien dalam pelaksanaan self-care management. Berikut uraian
penjelasan masing-masing tema yang diperoleh dalam penelitian ini :
1. Gambaran Self-Care Management
Pasien GGK yang menjalani terapi baik dialisis atau transplantasi
merupakan pasien dengan penyakit kronis dimana self-management menjadi
83
84
penting untuk diperhatikan (Curtin dkk, 2005). Orem percaya bahwa manusia
memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self-care) dan perawat
harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Orem, 1995 dalam
Simmons, 2009). Self-care management merupakan strategi yang baru untuk
pasien GGK (Curtin, Svarstad & Keller, 1999 dalam Richard, 2006) namun
penting mengingat dampak positif yang dapat diperoleh pasien.
Self-care management menurut Richard (2006) mencakup kesediaan dan
kepatuhan dalam terapi, memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk merawat
diri mereka sendiri, membuat keputusan terhadap perawatan mereka,
mengidentifikasi masalah, membuat tujuan, serta memonitor dan menangani
gejala. Pada kenyataannya self-care management merupakan bentuk yang lebih
akurat
dari
“compliance”
atau
ketaatan
karena
pasien
lah
yang
mengimplementasikan dan mengatur regimen terapeutik pengobatan sehariharinya dan bukanlah petugas layanan kesehatan (Richard, 2006). Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Heidarzadeh dkk (2010) menunjukkan adanya
hubungan yang langsung dan signifikan antara kualitas hidup pasien gagal
ginjal terminal yang menjalani hemodialisa dengan kemampuan self-care.
Selain itu ditemukan pula hubungan yang langsung dan signifikan antara
kemampuan self-care dengan dimensi fisik, psikologi dan sosial. Oleh karena
itu prinsip dari self-care untuk pasien GGK penting untuk dipelajari dan
dikembangkan (Curtin, 2005)
Gambaran
self-care
management
pasien
GGK
yang
menjalani
hemodialisis yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dideskripsikan ke
85
dalam aspek pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan sikap
spiritual.
a.
Aspek Pemenuhan Kebutuhan Fisik
Aspek ini pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis meliputi
pengaturan nutrisi (makanan), pengaturan intake cairan, regiment
pengobatan, perawatan akses vaskuler, serta aktifitas istirahat/ tidur dan
olahraga. Hal tersebut sesuai dengan O’Brien (1980), Richard (1986) dan
Snyder (1983) dalam Richard (2006) yang menyebutkan bahwa disamping
terapi hemodialisis pasien GGK diharapkan dapat mengikuti regimen
perawatan yang kompleks dan taat terhadap pengobatan, diet khusus,
pembatasan cairan, dan perawatan akses vakuler. Masing-masing akan
diuraikan sebagai berikut :
1) Pengaturan Nutrisi (Makanan)
Makanan menyediakan baik energi dan nutrisi yang diperlukan tubuh
untuk membangun dan mempertahankan sel dalam tubuh. Nutrisi
merupakan salah satu kunci untuk mengembangkan dan mempertahankan
kondisi kesehatan yang optimal bagi kita (Wardlaw, 2004). Jika seseorang
sedang menjalani terapi hemodialisis, diet menjadi bagian yang penting
dalam semua perawatannya (NIDDK, 2010). Penatalaksanaan nutrisi
memiliki peranan yang besar dalam mempertahankan dan memperbaiki
status gizi pasien GGK. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi sehingga kualitas hidup pasien meningkat (Ariyanto dkk,
2013). Pasien GGK harus selalu menjaga pola makan. Mereka tidak bisa
mengonsumsi buah dan sayur sesuka hatinya layaknya orang sehat karena
86
beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan berpotensi memperburuk
kondisi mereka (Muhammad, 2012). Hal ini sesuai dengan penjelasan
semua pasrtisipan yang menyebutkan bahwa ada beberapa sayuran dan
buah-buahan yang tidak boleh dimakan oleh partisipan. Mereka
menghindari semua jenis buah atau buah-buahan tertentu seperti pisang
dan belimbing. Mereka juga menyebutkan bahwa buah yang boleh
dimakan hanya pepaya dan jumlahnya terbatas hanya sepotong saja.
Sayuran seperti timun, kangkung dan bayam juga mereka hindari.
Secara umum pasien GGK dianjurkan untuk diet rendah garam
(sodium), diet rendah fosfat, diet protein yang berbeda jumlahnya antara
stadium 1-4 dengan stadium 5 (dalam gram protein per kilogram berat
badan) maupun juga antara hemodialisis dan dialisis peritoneal (Fransiska,
2011). Partisipan ke-tujuh menjelaskan tentang pola diet yang dijalaninya
dimana banyak makanan yang tidak boleh dimakan seperti susu, lemak,
daging, protein, dan pisang. Semua partisipan dalam penelitian ini
memiliki pengetahuan yang baik tentang makanan yang boleh dimakan
dan tidak boleh serta alasan tidak boleh seperti kandungan dalam makanan
tersebut yang dapat mempengaruhi kondisinya dan bahkan sudah
dibuktikan oleh mereka sendiri. Partisipan satu mengungkapkan dirinya
menghindari makanan yang mengandung kalium tinggi. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Indraratna (2012) pada pasien GGK di Ponorogo
menyatakan bahwa 25,8% respondennya mempunyai pengetahuan baik
tentang diet GGK, 37,1% responden memiliki pengetahuan cukup, dan
37,1% responden memiliki pengetahuan kurang. Nutrisi pada akhirnya
87
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari self-care management pada
pasien GGK.
2) Pengaturan Intake Cairan
Pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pengaturan intake cairan karena intake cairan mereka
dibatasi. Pembatasan cairan ini merupakan isu utama untuk pasien GGK
(Richard, 2006). Sebenarnya pasien GGK memerlukan monitor ketat baik
terhadap diet, intake cairan maupun pengaturan minum obat (Curtin,
2005). Pengaturan intake cairan ditentukan dengan jumlah urin output
pasien GGK. Intake cairan bagi pasien GGK yang menjalani hemodialisis
yaitu total urine output dalam sehari (24 jam) ditambah dengan cairan
yang keluar melalui keringat dan pernafasan (IWL) kurang lebih 500 ml
(Fransisca, 2011). Semua partisisipan dalam penelitian ini menjelaskan
bahwa intake minum mereka memang terbatas kurang lebih 500-600 ml
dalam sehari. Semua partisipan juga menjelaskan bahwa diri mereka
mengalami gangguan dalam eliminasi urin yang mana sudah tidak dapat
mengeluarkan urine atau anuri. Dengan demikian benar adanya jika
mereka minum kurang lebih 500-600 ml dalam sehari. Salah satu strategi
pembatasan cairan yang dilakukan partisipan dalam penelitian ini adalah
dengan minum melalui gelas kecil yang sama dan menggunakan sedotan
kecil. Partisipan yang lain menggunakan botol yang berukuran 600 ml
sehari atau 300 ml sehingga 2 botol dalam sehari.
88
Outcome yang paling biasa digunakan untuk mengukur intake terkait
pembatasan cairan pasien GGK adalah dengan interdialytic weight gain
(IDWG). IDWG dihitung dari perbedaan berat badan pada akhir setelah
melaksanakan hemodialisis dengan awal dari terapi hemodialisis
selanjutnya. Pada dasarnya tidak ada standar unit khusus untuk mengukur
secara spesifik nilai IDWG sebagai indikasi kepatuhan terhadap
pembatasan cairan (Kaveh dan Kimmel, 2001 dalam Richard, 2006).
Partisipan satu menceritakan bahwa kenaikan beratnya berkisar 2-2,5 kg
dan menurutnya itu sudah menunjukkan bahwa dirinya terukur dalam
membatasi minum. Penelitian oleh Kim dan Evangelista (2010)
melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara menjadi patuh terhadap
pembatasan cairan dengan IDWG, namun justru dengan patuh terhadap
pembatasan cairan berdampak pada rendahnya IDWG. Pembahasan
tentang kepatuhan terhadap pembatasan cairan akan dijelaskan dalam
aspek psikologis self –care management.
3) Regiment Pengobatan
Dalam
penelitian
ini
regimen
pengobatan
sebagai
self-care
management yang disebutkan oleh partisipan kedua meliputi mengikuti
anjuran dokter yakni untuk rutin dalam melaksanakan terapi hemodialisis,
mengikuti regiment diet yang dianjurkan tenaga medis dan pembatasan
cairan. Penelitian oleh Kim dan Evangelista (2010) melaporkan bahwa
kebanyakan respondennya (98,7%) menyadari pentinya hemodialisis
karena memiliki pengetahuan yang baik tentang penyakit mereka (95,4%).
89
Beberapa
respondennya
(2,6%)
melaporkan
mereka
mempelajari
pentingnya hemodialisis dari pengalaman pribadi akan ketidakpatuhan
terhadap terapi tersebut dan 79,5% respondennya tidak mendeskripsikan
kesulitannya dalam mengikuti terapi hemodialisis yang dibuktikan dengan
daftar kehadirannya dalam terapi tersebut. Untuk penjelasan tentang diet
dan pembatasan cairan telah diuraikan sebelumnya karena penjelasan yang
diberikan telah mencakup seperti uraian sebelumnya sedangkan dalam segi
kepatuhan akan regiment tersebut akan diuraikan dalam aspek psikologis
self-care management.
4) Perawatan Akses Vaskuler
Jika seseorang pasien GGK menjalani hemodialisis, akses vaskuler
yang dibuat untuk keperluan terapi dialisis harus dirawat untuk melindungi
terhadap kerusakan. Pemeriksaan akses vaskuler harus dilakukan untuk
mengkaji patensi. Tindakan penjagaan diperlukan untuk memastikan agar
esktremitas dengan akses vaskuler tidak digunakan untuk pengambilan
darah maupun pengukuran darah. Suara bising (bruit) atau getaran (thrill)
di daerah akses vena harus dievaluasi paling sedikit setiap 8 jam sekali
(Smeltzer, 2002). Semua partisipan utama dalam penelitian ini memiliki
pengetahuan yang baik dalam menjaga akses vaskuler yakni dengan
memeriksa getaran atau desiran pada akses vaskuler. Salah seorang
partisipan (P1) juga menyebutkan bahwa sebelumnya akses vaskuler
cimino berada di tangan kanan, namun karena tidak adanya desiran maka
partisipan harus melakukan operasi ulang pada tangan kirinya.
90
Hal lain yang dilakukan partisipan dalam penelitian dalam merawat
akses vaskuler mereka dengan melakukan latihan meremas-remas bola
atau mengepal-ngepalkan tangan dengan tujuan untuk melatih kontraksi
pada pembuluh darah area vaskuler atau ciminonya. Selain itu mereka juga
menjaga agar area vaskuler cimino tidak digunakan untuk mengangkat
benda berat dan juga agar tidak terjepit atau tertindih saat tidur. Berman
dan Gentile (2010) dalam Richard (2008) melaporkan bahwa pasien harus
mempertahankan kebersihan area fistula dan menilai adanya infeksi.
Sebagai tambahan ekstremitas harus dilindungi dari tekanan dan luka
karena dapat membahayakan fungsinya, tidak menggunakan pakaian yang
terlalu ketat, pengukuran tekanan darah, mengangkat benda berat, dan
menekuknya terlalu lama. Richard (2008) juga melaporkan bahwa
informannya menyadari pentingnya merawat dan mempertahankan AV
fistula mereka. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cara perawatan
akses vaskuler partisipan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian yang ada seperti dalam Richard (2008) yang melaporkan bahwa
penelitian-penelitian tentang perawatan akses vaskuler lebih berfokus pada
kebersihan area dan penilaian serta pencegahan infeksi, namun dalam
penelitian ini partisipan berfokus pada cara menjaga kepatenan dan
keaktifan dari akses vaskuler cimino mereka.
Untuk partisipan dengan akses vaskuler femoral menyebutkan bahwa
cara merawat akses vaskuler mereka dengan menjaga agar tidak terinfeksi
dengan minum obat dan menjaga kebersihannya. Lokasi akses sendiri
memang harus dijaga dari infeksi karena pasien GGK mudah sekali
91
terinfeksi. Pengendalian infeksi harus dilakukan dengan berbagai cara
misalnya menutup bekas tusukan dengan kasa steril (Smeltzer, 2002).
Akses vaskuler melalui akses vena femoralis berbeda dengan akses cimino
seperti yang dijelaskan partisipan keenam terutama terkait dengan
kebebasan selama proses hemodialisis. Namun hal tersebut bukanlah
hambatan untuknya.
5) Aktifitas istirahat/tidur dan olahraga
Gangguan tidur pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis
frekuensinya sering pada pasien GGK secara umum. Gangguan tidur ini
erat kaitannya dengan menurunnya kualitas hidup dan meningkatkan
resiko kematian. Insomnia pada pasien GGK menunjukkan prevalensi
sebesar 60,9% dari respondennya yang menjalani hemodialisis lebih dari
satu tahun (Rai dkk, 2011). Hal tersebut dialami juga oleh partisipan dalam
penelitian ini yang menyebutkan dirinya kadang-kadang mengalami
imsomnia terutama sehari sebelum hemodialisis. Partisipan ketujuh
menjelaskan gangguan tidur ia rasakan terutama malam sebelum terapi
hemodialisis. Hal tersebut diprediksi terjadi akibat penumpukan cairan
yang mengganggu kenyamanannya. Selain itu masalah haus dan rasa panas
yang menderanya juga mengganggu tidur partisipan.
Selain tidur olahraga juga merupakan bentuk self-care management.
Sebuah penelitian oleh Painter, Ward, & Nelson (2011) melaporkan 95,9%
dari respondennya menyebutkan bahwa olahraga penting untuk pasien
dengan penyakit ginjal dan 57,5 % responden menyatakan memiliki
92
aktifitas fisik secara reguler. Dalam penelitian ini sendiri ada partisipan
yang melaksanakan olahraga dan ada juga yang tidak berolahraga karena
merasa mudah lelah dan merasa tidak mampu. Hal ini sesuai dengan
penelitian Painter, Ward, & Nelson (2011) juga yang menyebutkan alasan
tertinggi responden tidak berolahraga adalah tidak termotivasi (51,7%) dan
terlalu lelah (49,5%).
Olahraga tidak hanya berpengaruh terhadap fisik namun juga
berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan emosional. Penelitian
Painter, Ward, & Nelson (2011) melaporkan bahwa manfaat berolagraga
secara rutin menurut respondennya adalah meningkatkan level energi,
meningkatnya kekuatan otot, meningkatkan kemampuan melakukan halhal yang diperlukan dalam hidupnya, meningkatkan tidur, meningkatkan
mood, mengurangi kram, dan lebih stabilnya tekanan darah selama dialisis.
Olahraga juga sepertinya memiliki efek yang positif terhadap gambaran
diri dan harga diri pasien GGK (Storer, 1999). Pasien GGK dianjurkan
untuk melakukan olahraga secara rutin semisal jalan kaki selama kurang
dari 30 menit setiap hari (Fransiska, 2011). Partisipan kedua dalam
penelitian ini menjelaskan bahwa dirinya berusaha untuk berolahraga
seminggu sekali. Khusus untuk pasien GGK dalam berolahraga mereka
harus memperhatikan intensitas, durasi dan frekuensinya (Storer, 1999).
Partisipan yang masih melakukan olahraga menyebutkan bentuk olah
raga yang dilakukan adalah dengan berjalan kaki. Dalam pelaksanaannya
istri partisipan tetap mengingatkan partisipan untuk tidak memaksakan diri
dan segera berhenti ketika tubuhnya sudah merasa lelah. Penelitian
93
Kolewaski dkk (2005) menyebutkan bahwa olahraga berpengaruh positif
terhadap kualitas hidup yakni meningkatkan pelaksanaan dalam aktifitas
sehari-hari, perubahan positif dalam pengalaman hemodialisis, dan
peningkatan kontrol.
b.
Aspek Kondisi Psikologis dari Self-Care Management
Aspek ini pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis meliputi
care self efficacy dalam pelaksanaan self-care management, kepatuhan dan
ketidakpatuhan terhadap regiment pengobatan, koping maladaptif (putus
asa), dan banyak aktifitas. Self efficacy terhadap self-care merupakan
dimensi lain yang penting dalam self-management secara keseluruhan
(Curtin, 2005). Penelitian oleh John (2012) melaporkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara self efficacy dengan kepatuhan terhadap
pembatasan cairan sehari-hari dan pembatasan diet. Semakin tinggi self
efficacy yang dilaporkan respondennya, semakin tinggi kepatuhan terhadap
pembatasan cairan dan diet yang dilaporkan respondennya. Hal ini sejalan
dengan pernyataan partisipan dengan self efficacy yang positif dimana
menunjukkan kepatuhan terhadap diet dan pembatasan cairan bahkan juga
dalam minum obat.
Untuk pasien GGK kepatuhan terhadap regiment pengobatan
merupakan hal yang penting sekaligus sulit (Curtin 2005). Kepatuhan
dalam hal ini terkait regimen diet, pembatasan cairan, dan minum obat.
Kepatuhan merupakan isu yang sangat penting karena berhubungan
94
dengan perubahan life-style pasien GGK yang penting untuk menjaga
kondisi mereka.
Penelitian
respondennya
Kim
dan
menyadari
Evangelista
pentingnya
(2010)
melaporkan
pembatasan
cairan
95%
karena
pengetahuan baik mereka terhadap penyakit, namun 62% menyebutkan
kesulitannya dalam mengikuti panduan dalam pembatasan cairan. Alasan
yang paling sering dikemukakan terhadap ketidakpatuhan terhadap
pembatasan cairan adalah ketidakmampuan untuk mengontrol keinginan
untuk cairan atau rasa haus (43,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
John (2012) yang melaporkan bahwa bagi pasien GGK yang derajad
hausnya tinggi maka tingkat kepatuhan terhadap pembatasan cairan akan
rendah dibandingkan dengan yang tidak merasa haus. Oleh karena itu
partisipan pertama mengungkapkan cara mengatasi haus yakni dengan
mandi dan kumur. Dengan tidak merasa haus maka dirinya tidak akan
banyak minum. Sejalan dengan penelitian Sari (2009) melaporkan bahwa
respondennya yang patuh terhadap pembatasan cairan sebesar 33,3% dan
yang tidak patuh sebanyak 66,7%. Kepatuhan terhadap pembatasan cairan
memang sebuah hal yang sulit mengingat kebutuhan akan air merupakan
kebutuhan yang mendasar untuk manusia.
Penelitian Kim dan Evangelista (2010) juga melaporkan dua pertiga
(68,2%) respondennya melaporkan ketaatan terhadap pembatasan diet,
namun lebih dari setengah (57,6%) respondennya memiliki kesulitan
mengikuti pembatasan diet yang telah dianjurkan. Alasan utama yang
mereka kemukakan terhadap ketidakpatuhan mereka terhadap diet adalah
95
ketidakmampuannya untuk melawan makanan favorit mereka (56,3%).
Partisipan dalam penelitian ini menyebutkan alasan lain mereka atas
ketidakpatuhan mereka terhadap diet karena harus menjaga Hb mereka
agar stabil. Penelitian oleh John (2012) melaporkan bahwa bagi pasien
GGK yang merasa memiliki energi yang lebih baik maka tingkat
kepatuhan terhadap pembatasan diet juga baik.
Penelitian Kim dan Evangelista (2010) juga melaporkan kebanyakan
respondennya (98%) berpersepsi tentang pentingnya minum obat sesuai
dengan jadwalnya walaupun 19,9% mengalami kesulitan dalam minum
obat sesuai dengan resepnya. Sedangkan penelitian Moreira dkk (2008)
tentang ketidakpatuhan melaporkan bahwa prevalensi ketidakpatuhan
minum obat pada pasien GGK yang dilaporkan secara pribadi maupun
petugas layanan kesehatan menunjukkan prosentase 18,5% dan 29,2%.
Mereka beralasan ketidakpatuhan terhadap obat karena beberapa hal yang
menyebabkan mereka sulit minum obat seperti tidak mampu memperoleh
obat yang mereka butuhkan karena tidak tersedia pada layanan kesehatan
dan karena mereka tidak mampu membelinya (62,5%), kesulitan
mengingat untuk minum (16,7%), dan reaksi obat yang merugikan (12,5).
Partisipan ketiga dan kelima dalam penelitian ini juga menyebutkan
ketidakteraturannya dalam minum obat dengan alasan malas, bosan, dan
lupa minum obat. Hal ini sesuai dengan alasan utama pasien dalam
penelitian Kim dan Evangelista dimana 75% respondennya tidak minum
obat dengan alasan lupa.
96
Self efficacy juga berpengaruh terhadap aktifitas fisik pasien GGK.
Hal tersebut sejalan dengan partisipan ketujuh dengan self efficacy yang
positif yang menjelaskan bahwa dirinya memiliki banyak aktifitas dan
aktif bekerja. Penelitian Kack (2010) juga melaporkan bahwa aktifitas fisik
pada populasi pasien GGK dipengaruhi oleh umur, keyakinan akan
kemampuannya untuk aktif secara fisik (self efficacy), dan status nutrisi.
Dengan membangun kepercayaan diri pasien terhadap kemampuannya
(self efficacy) dalam mempengaruhi hasil yang mereka targetkan
sepertinya merupakan jalan positif lain yang dapat mendorong selfmanagement yang sukses pada pasien dengan penyakit kronis (Curtin,
2005).
c.
Aspek Spiritual Self-Care Management
Aspek ini tidak dapat dipisahkan dari self-care management pasien
GGK yang menjalani hemodialisis karena merupakan aspek penting dalam
elemen kehidupan. Religiusitas atau spiritual memiliki efek positif secara
subjektif terhadap kualitas hidup pasien GGK. Hal tersebut sudah banyak
dibuktikan dalam penelitian antara spiritual dengan kualitas hidup. Sebagai
tambahan pengalaman ibadah responden menunjukkan efek yang
signifikan pada kepuasan hidup dan kebahagiaan (Palomo dan Pendleton,
1991 dalam Thomas, 2003). Aspek spiritual atau religiusitas yang yang
berhubungan dengan kualitas hidup sama pentingnya dengan aspek fisik,
psikologis dan elemen sosial sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja
(Thomas, 2003). Penelitian tentang spiritual dan keyakinan agama
97
melaporkan bahwa spritual dan keyakinan berhubungan dengan penurunan
persepsi terhadap beban akan penyakit, penurunan level depresi,
peningkatan persepsi atau penerimaan dukungan sosial, dan persepsi yang
tinggi terhadap kualitas hidup (Bragazzi dan Puente, 2013). Ada pula hasil
penelitian dari White (2005) yang bertentangan dimana spiritual tidak
memiliki hubungan dengan kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan. Hal
tersebut dimungkinkan karena kealamian dari sample penelitian dan
psikometrik dari alat ukur spiritual dalam penelitian tersebut.
Aspek spiritual dan agama juga dapat menjadi salah satu strategi
koping untuk mengatasi masalah beban secara psikologis pada pasien
GGK yakni melalui prinsip penggunaan agama sebagai upaya untuk
meningkatkan penyesuaian diri secara psikologis dan melalui agama
sebagai bentuk dukungan. Koping strategi lain dalam segi spiritual adalah
keyakinan kepada Tuhan dan berdoa yang dilakukan paling sering ketiga
oleh responden hemodialisis pada penelitian Baldree, Murphy dan Powers
(1982) dan rangking pertama paling sering digunakan pada penelitian
Gurklis dan Menke (1988).
Penelitian oleh Ko dkk (2007) melaporkan bahwa responden yang
atheis menunjukkan BUN dan kreatinin yang rendah dibandingan dengan
reponden yang memiliki keyakinan akan spiritual atau agama dengan
alasan kemungkinan perasaan sangat sakit, keputusasaan, atau terbebani.
Hal tersebut menunjukkan ketika pasien tidak memiliki keyakinan dalam
spiritual beban terhadap penyakit dan keputusasaan dapat terjadi dan hal
tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisinya.
98
Aspek spiritual yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi
kepasrahan terhadap Tuhan, keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan, dan
aktifitas ibadah. Walaupun partisipan menyadari bahwa penyakit GGK
tidak dapat sembuh namun harapan untuk diberikan kesembuhan
memberikan kekuatan bagi partisipan. Hal tersebut berlaku juga untuk
aktifitas ibadah walaupun tidak bisa menjalankan ibadah sholat dengan
berdiri partisipan tetap menjalankan dengan duduk.
2. Hambatan dalam Self-Care Management
Hambatan dalam pelaksanaan self-care management pasien GGK yang
menjalani hemodialisis digambarkan dengan hambatan dari internal dan
eksternal. Hambatan internal meliputi hambatan motivasi diri dalam
pengaturan nutrisi, pembatasan cairan, dan beraktifitas. Hal ini sesuai dengan
penelitian oleh Hidayati dan Wahyuni (2012) melaporkan bahwa hambatan
dalam memenuhi self-care pasien GGK meliputi faktor internal dan eksternal
meliputi faktor ekonomi, mental, dan pengelolaan asupan cairan dan nutrisi
yang dapat menimbulkan kendala
yang menghambat pasien untuk
memaksimalkan kondisi tubuhnya.
Penjelasan sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pengaturan diet dan
pembatasan cairan merupakan masalah yang sulit pada pasien GGK. Hal ini
lagi-lagi terkait dengan kepatuhan sesuai dengan anjuran dokter dan motivasi
diri untuk melaksanakannya. Bahkan partisipan sendiri (P7) sudah tidak
mengontrol lagi jumlah intake cairan sehari-hari karena tidak mampu untuk
mengendalikan dorongan untuk minum. Partisipan (P7) sudah menyadari akan
99
banyaknya makanan yang tidak boleh ia makan sehinga dirinya mengeluhkan
rasa tidak bertenaga dalam dirinya sehingga tidak mampu membantu dalam
peran keluarga. Namun keluhan tidak bertenaga sendiri juga menjadi
hambatan partisipan dalam beraktifitas karena mudahnya merasa sesak dan
cepat lelah yang disebutkan partisipan kelima. Dengan adanya hambatan
tersebut peran keluarga sebagai pemberi dukungan dan pengertian dibutuhkan
dalam membangun kembali semangat partisipan terhadap ketaatan terhadap
regimen tersebut.
Hambatan eksternal adalah ekonomi atau biaya untuk pasien dimana hal
tersebut merupakan sesuatu tidak asing mengingat biaya untuk cuci darah
yang tidak sedikit. Pemerintah telah memberikan bantuan biaya terkait dengan
terapi hemodialisis misalnya melalui Jamkesda atau Jamkesmas. Dengan
jaminan tersebut mungkin pasien merasa terbantu dan juga tidak karena
terbatasnya jaminan tersebut. Untuk Jamkesda partisipan menjelaskan bahwa
dirinya hanya gratis biaya terapi hemodialisis sebanyak dua kali sedangkan
sisanya dengan biaya sendiri. Ini yang sangat memberatkan dan membuat
beban penyakit dirasakan partisipan (P7). Kemudian untuk biaya obat untuk
meningkatkan Hb yang harganya tidak murah ataupun anjuran untuk tranfusi
karena Hb nya rendah juga memerlukan biaya. Istri partisipan (P7) juga
menjelaskan bagaimana biaya untuk hemodialisis ini tidak sedikit jumlahnya
yang sangat memberatkan keluarganya dengan tidak adanya biaya bantuan.
Masalah biaya ini mempengaruhi psikologis partisipan terkait dengan beban
akan penyakit dan ketidakmampuan dalam menjalankan peran dalam keluarga
semisal pencari nafkah seperti yang diungkapkan partisipan (P7).
100
3. Sumber Social Support
Support system sangat penting terutama social support atau dukungan
sosial dari orang terdekat. Dukungan sosial menurut Pender (1996) dalam
Wells dan Anderson (2011) adalah kebutuhan dasar manusia. Dukungan sosial
merupakan faktor penting dan faktor yang menentukan tingkat kesehatan
(Wells dan Anderson, 2011). Tobvin dkk (2003) dalam penelitiannya pada 48
pasien hemodialisis melaporkan bahwa ada hubungan positif yang terjadi
antara dukungan sosial dengan kualitas hidup. Pada penelitian Wells dan
Anderson (2011) melaporkan bahwa tingkat atau level self efficacy dan
dukungan sosial pada respondennya yakni orang Afrika Amerika cenderung
tinggi. Peningkatan level self efficacy dan dukungan sosial dalam penelitian
tersebut mungkin dapat membantu responden untuk koping terhadap penyakit
mereka.
Sumber social support dalam pelaksanaan self-care management pasien
GGK yang menjalani hemodialisis dalam penelitian ini diperoleh dari pasangan
(suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani hemodialisis. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Al-Arabi (2003) yang melaporkan bahwa
semua responden dalam penelitiannya menunjukkan paling sedikit memiliki
satu bentuk dukungan sosial yakni dapat berasal dari keluarga, pihak sosial
yang berwenang, dan suami/istri, anak-anak serta saudara. Mayoritas
responden (96,3%) merasa puas dengan bantuan yang diterima dari sumber
dukungan sosialnya. Persepsi respondennya tentang dukungan sosial juga
tinggi dan persepsi terhadap dukungan sosial dalam penelitian tersebut
101
menunjukkan adanya hubungan dengan kualitas hidup pada pasien yang
menjalani hemodialisis dalam penelitiannya.
Keluarga merupakan sumber social support yang penting pada pasien
GGK. Seperti dilaporkan oleh Kara dkk (2007) dimana responden dengan
tingkat dukungan keluarga yang rendah berhubungan secara signifikan dengan
ketidakpatuhan terhadap diet. Begitu pula dengan dukungan keluarga dan
teman yang rendah secara signifikan berhubungan dengan ketidakpatuhan
terhadap pembatasan cairan. Berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Sari
(2009) dimana dukungan keluarga tidak memiliki hubungan yang sifnifikan
dengan kepatuhan terhadap pembatasan cairan. Hasil tersebut mengindikasikan
faktor lain seperti motivasi dari diri pasien sebagai faktor dalam kepatuhan
terhadap pembatasan cairan. Penelitian oleh Saraha dkk (2013) juga
melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan
keluarga dengan depresi pada pasien GGK. Prosentase dukungan keluarga
yang baik sebesar 83,1% dengan tidak depresi sebesar 71,2%. Adapun
dukungan keluarga kurang sebesar (16,9%) dengan depresi sebesar 28,8%. Di
samping pasangan dan keluarga, sesama pasien yang menjalani hemodialisis
juga dapat saling memberikan dukungan sosial seperti diungkapkan partisipan
maupun istrinya dimana mereka sudah seperti keluarga dengan sesama yang
menjalani hemodialisis. Mereka saling mendukung melalui obrolan yang
tercipta saat terapi dan saling memberikan semangat.
4. Kaitan dengan Nursing Care Plan
Nursing Care Plan (NCP) merupakan sebuah perencanaan yang
berdasarkan pada pengkajian dan diagnosa keperawatan yang digunakan oleh
102
perawat. NCP memiliki empat komponen penting meliputi identifikasi
masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan dan pendekatan untuk
mengatasi masalah tersebut, pernyataan harapan terhadap manfaat untuk
pasien, pernyataan dari tindakan yang spesifik oleh perawat yang
merefleksikan pendekatan perawat dan tercapainya tujuan yang spesifik, dan
evaluasi dari respon pasien terhadap asuhan keperawatan dan penyesuaian
dirinya terhadap perawatan tersebut sesuai kebutuhan. NCP dimulai ketika
pasien berada dalam pelayanan kesehatan. Setelah pengkajian keperawatan
sebuah diagnosa keperawatan muncul dan kebutuhan asuhan keperawatan
dikembangkan. Tujuan dari proses tersebut adalah untuk memastikan jika
asuhan
keperawatan
konsisten
dengan
kebutuhan
pasien
dan
perkembangannya kepada perawatan dirinya sendiri atau self-care (Medical
Dictionary, 2013). Mengingat bahwa pasien dengan gagal ginjal kronis harus
menjalani hemodialisis secara rutin 2-3 kali dalam seminggu hendaknya NCP
terus diupayakan sebagai bentuk follow up dan evaluasi kondisi pasien.
Kaitan NCP dalam penelitian ini menunjukkan bahwa diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis `di wilayah Tangerang Selatan yakni ineffective self-health
management dan enhanced self-health management. Dua diagnosa tersebut
merupakan dua masalah keperawatan yang muncul dalam penelitian ini.
Empat partisipan menunjukkan masalah keperawatan ineffective self health
management dengan ungkapan atas ketidakmampuan dalam memasukkan atau
mengimplementasikan regiment terapeutik pengobatan dalam aktifitas seharihari. Mereka memiliki tingkat compliance atau kepatuhan yang rendah
103
terhadap regiment pengobatan terkait konsumsi obat-obatan, pengelolaan diet,
dan pembatasan cairan. Partisipan tidak memahami bahwa ketidakpatuhan
tersebut dapat berdampak secara langsung pada kondisi tubuhnya sehingga
kesadaran akan komplikasi yang dapat dirasakan akibat ketidakpatuhan juga
belum ada.
Pemberian edukasi merupakan bentuk intervensi keperawatan yang dapat
diupayakan dan direncanakan untuk pasien dengan masalah keperawatan
ineffective self-health management. Edukasi yang adekuat tentang penyakit
ginjal kronis dapat memperlambat permulaan dialisis, peningkatan pilihan
pasien terhadap rendahnya biaya home-based therapies, dan peningkatan
outcomes dari pasien setelah memulai dialisis (Devins et al, 2003 dalam
Finkelstein et al, 2008). Pendidikan kesehatan terkait pengolalan diet, gizi
makanan secara detail termasuk juga proses metabolismenya dalam tubuh,
pembatasan cairan dan dampaknya, maupun fungsi obat-obatan diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran pasien. Hal tersebut dapat perawat laksanakan
pada fase awal pasien terdiagnosa GGK dan menjalani hemodialisis sehingga
dapat membantu pasien baru dalam beradaptasi terhadap regiment terapeutik
pengobatan. Finkelstein et al (2008) juga menyebutkan banyaknya rintangan
untuk menyediakan edukasi untuk pasien GGK ini seperti perawatan pasien
yang kompleks, waktu tenaga medis yang mendesak, dan juga kemampuan
yang terbatas untuk menyediakan edukasi pasien yang adekuat. Penelitian oleh
Finkelstein et al (2008) melaporkan bahwa terdapat peningkatan yang
signifikan terhadap persepsi pengetahuan mereka terhadap terapi modalitas
dengan peningkatan frekuensi kunjungan nefrologi. Hal tersebut menunjukkan
104
nefrologi dan tenaga medis dalam pelayanan kesehatan memiliki peran
sebagai edukator yang tepat untuk pasien GGK. Selain itu persepsi pasien
tentang pengetahuan dari terapi GGK yang bervariasi dan pemahaman mereka
tentang keuntungan dan kerugian pilihan treatmen yang ada memiliki
hubungan yang erat dimana tidak adanya pengetahuan tentang variasi terapi
pada pasien (70,5%) mengindikasikan bahwa mereka tidak mengetahui
keuntungan dan kerugian dari pilihan terapi yang ada. Fox & Kohn (2008)
menyebutkan bahwa pilihan pasien merupakan faktor utama dalam pemilihan
terapi baik dialisis ataupun terapi yang lain dan ketiadaan akan pengetahuan
terhadap hal tersebut dapat menjadi dampak nyata untuk pasien. Edukasi
terbukti menjadi penting untuk diperhatikan terkait dengan terapi modalitas
pada pasien GGK maupun regiment terapeutik pengobatan mereka.
Empat partisipan menunjukkan masalah keperawatan enhanced selfhealth management dimana partisipan tersebut memiliki menunjukkan
kemampuan dalam melaksanakan regiment terapeutik pengobatan dalam
aktifitas sehari-hari dan memiliki self-efficacy yang positif terhadap
pelaksanaannya. Peningkatan self efficacy dapat direncanakan dan diupayakan
sebagai intervensi keperawatan untuk masalah enhanced self health
management. Albert Bandura, seorang psikologis terkenal dari Universitas
Stanford memperkenalkan konsep persepsi self efficacy dalam konteks
cognitive behavior modification pada tahun 1977. Konsep tersebut
menunjukkan bahwa self efficacy yang kuat berhubungan dengan kesehatan
yang lebih baik, pencapaian yang lebih tinggi, dan integrasi sosial yang lebih
(Bandura, 1977 dalam Schwarzer
& Fuchs, 1995). Hal tersebut sejalan
105
dengan partisipan penelitian yang memiliki self efficacy yang positif. Self
efficacy ini dapat membedakan cara seseorang dalam berfikir dan bertindak
serta perasaan seseorang. Rendahnya tingkat self efficacy berhubungan dengan
depresi, kecemasan, dan ketidakberdayaan. Tingkat self efficacy dapat
meningkatkan atau menghambat motivasi seseorang untuk bertindak.
Seseorang dengan self efficacy tinggi memilih untuk melakukan tugas yang
menantang dan mentargetkan tujuan yang tinggi untuk diri mereka sendiri
(Locke & Latham, 1990 dalam Schwarzer & Fuchs, 1995). Penelitian oleh
John (2012) pada pasien gagal ginjal kronis telah melaporkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara self efficacy dengan kepatuhan terhadap
pembatasan cairan sehari-hari dan pembatasan diet. Semakin tinggi self
efficacy yang dilaporkan respondennya, semakin tinggi kepatuhan terhadap
pembatasan cairan dan diet yang dilaporkan respondennya.
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini peneliti memiliki keterbatasanketerbatasan seperti :
1. Penelitian ini dilakukan pada delapan partisipan sehingga dapat
dimungkinkan data yang didapat belum memberikan gambaran umum dari
variasi self-care management pasien gagal ginjal kronis dengan
hemodialisis.
2. Tempat wawancara yang dilakukan di rumah dimana hanya terdapat
peneliti dan partisipan utama serta pendukung mungkin membuat data
106
yang diperoleh kurang bervariasi. Sebaiknya dapat dicoba dengan melalui
fokus group discussion (FGD) sehingga variasi data dapat muncul.
3. Waktu wawancara mendalam yang disepakati oleh peneliti dan partisipan
terkadang memberikan respon informasi yang berbeda-beda baik itu
informasi secara lengkap maupun singkat.
C. Implikasi untuk Ilmu Keperawatan dan Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat berimplikasi pada ilmu keperawatan dan
pelayanan kesehatan baik di rumah sakit khususnya di unit hemodialisis dan
komunitas meliputi :

Hasil penelitian ini telah memberikan gambaran self-care management
pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dari aspek
pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan sikap spiritual.

Gambaran hasil penelitian membantu perawat untuk memahami kebutuhan
apa saja yang diperlukan terkait pengembangan kemampuan pasien GGK
yang menjalani hemodialisis dalam merawat dirinya sendiri dengan tetap
melibatkan keluarga sebagai pihak terdekat dari pasien sehingga pasien
pada akhirnya dapat beradaptasi dengan kondisi maupun regimen
terapeutik pengobatan mereka.

Self-care management merupakan bentuk perawatan mandiri oleh diri
pasien yang dapat memiliki dampak positif apabila digiatkan bila
dikaitkan dengan kualitas hidup pasien.

Self efficacy atau keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaannya
terbukti bersinergi dengan motivasi pasien GGK dalam mengikuti serta
107
mengimplementasikan regimen terapeutik pengobatan sesuai dengan yang
telah dianjurkan oleh tenaga medis.

Self efficacy terbukti menjadi salah satu aspek kondisi psikologis dalam
self care management dimana pasien GGK merasa mampu, tidak mampu
ataupun ada yang mampu dan tidak terkait upaya dalam self-care.
BAB VII
KESIMPULAN & SARAN
Bab ini menguraikan hasil kesimpulan dari penelitian ini dan saran dari
peneliti terkait hasil yang telah diperoleh yang akan diuraikan berikut ini.
A.
Kesimpulan
1. Hasil penelitian ini memberikan gambaran self-care management pasien
gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan
yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan fisik, kondisi psikologis, dan
sikap spiritual.
2. Aspek pemenuhan kebutuhan fisik self-care management pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisis meliputi pengaturan nutrisi
atau makanan, pengaturan intake cairan terkait pembatasan cairan,
perawatan akses vaskuler baik cimino dan akses vena femoral, serta
aktifitas istirahat/tidur dan olahraga.
3. Aspek kondisi psikologis self care managemet pasien gagal ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis meliputi self-efficacy terkait upaya
pelaksanaan self-care, kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap regiment
pengobatan, koping maladaptif yakni keputusasaan, dan banyak aktifitas
di luar seperti bekerja.
4. Aspek spiritual self-care management pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis meliputi bentuk kepasrahan kepada Tuhan,
keyakinan akan kesembuhan dari Tuhan, dan aktifitas ibadah yakni
sholat.
108
109
5. Hambatan dalam pelaksanaan self-care management meliputi hambatan
dari internal yang meliputi motivasi diri dalam pengaturan diet,
pembatasan cairan, dan dalam beraktifitas maupun hambatan eksternal
yakni terkait dengan ekonomi.
6. Sumber social support juga merupakan salah satu bagian yang tak
terpisahkan dari pelaksanaan self-care management pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis dimana dalam penelitian ini dapat
dilaporkan sumber social support yang diterima pasien berasal dari
pasangan (suami/istri), keluarga, dan sesama pasien yang menjalani
hemodialisis.
7. Kaitan dengan nursing care plan dengan penelitian ini menunjukkan
diagnosa keperawatan yang muncul terkait self-care management adalah
ineffective self health management
dan enhanced self health
management.
B.
Saran
1. Pelayanan kesehatan dapat memberikan edukasi yang komprehensif
tentang self-care management untuk pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis pada pasien sendiri, keluarga, maupun
masyarakat umum.
2. Pendidikan kesehatan tentang regimen pengobatan seperti pengaturan
diet, pembatasan cairan, konsumsi obat yang komprehensif dan
mendalam perlu dilakukan sebagai upaya meningkatkan pemahaman
109
110
dan kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan regimen
terapeutik pengobatan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pelayanan kesehatan baik tenaga medis di unit hemodialisis, rumah
sakit,
serta
komunitas
agar
dapat
mempromosikan
self-care
management pada pasien maupun keluarga dengan cara menyebarkan
angket, brosur atau pamflet tentang self-care management.
4. Pengawasan terhadap pelaksanaan self-care management perlu
dilakukan oleh tenaga medis di unit hemodialisis serta perawat di
komunitas maupun petugas puskesmas sebagai upaya pengoptimalan
perubahan perilaku sesuai dengan regimen terapeutik pengobatan yang
telah dianjurkan.
5. Kepatuhan merupakan masalah dalam regiment terapeutik pengobatan
sehingga self-care menagement diharapkan mampu membantu
meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis.
6. Penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan studi-studi lanjutan
mengenai self-care management yang telah dideskripsikan dan
persepsi pasien terhadap self-care management sebagai usaha dalam
meningkatkan kepatuhan terhadap regiment terapeutik pengobatan.
110
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, Martha Raille & Ann Mariner Tomey,. Nursing Theorists and Their
Work Seventh Edition. United Stated Of America : Mosby Elsevier . 2010
Al-Arab, Safa’a. Social Support, Coping Methods and Quality of Life in
Hemodialysis Patients. 2003
Anonim,. 87,5 Persen Penderita Gagal Ginjal Pasrah Karena Biaya Cuci Darah
Mahal
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=160. 2013. diakses pada
tanggal 07 Maret 2013
ANTARA.
36
Juta
Warga
Dunia
Meninggal
Gagal
Ginjal.
http://www.antarasumut.com/36-juta-warga-dunia-meninggal-gagal-ginjal .
2009. diakses pada tanggal 24 maret 2013
Ariyanto, Eko Fuji, Dewi Marhaeni Diah Herawati, dan GagaIrawan Nugraha.
Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/126766/ diakses pada
tanggal 6 September 2013
Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. 2008
Bakta, I Made & I Ketut Suastika,. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC. 1999
Bağ, E., & Mollaoğlu, M. The evaluation of self-care and self-efficacy in patients
undergoing hemodialysis. Journal of Evaluation in Clinical Practice, 16(3),
605-610. 2010
Bandura, Albert. Self Efficacy Mechanism in Human Agency. 1982
Baradero , Mary . Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta :
EGC . 2009
Basavanthappa,BT. Nursing Theories. New Delhi : Jaypee Brothers Medical.
2007.
Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc.
2005
Bragazzi, Nicola Luigi & Giovanni Del Puente. Chronic Kidney Disease,
Spirituality and Religiosity: A Systematic Overview With the List of Eligible
Studies. 2013
Bulechechek, Gloria M, Howard K. Butcher, Joannne MsCloskey Dotcherman.
Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA : Mosby
Elsevier. 2008
Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press.
2008
Burns, Nancy & Susan K. Grove. The Practice of Nursing Research : Conduct,
Critique, and Utilization 5th Edition. USA : Elsevier Saunders. 2004
Curtin, Roberta Braun & Donna L. Mapes. Health Care Management Strategies
of Long Term Dialisis Supervivors. Nefrologi Nursing Journal. 2001
Curtin, Roberta Braun dkk. Hemodialysis Patients’s Symptom Experiences :
Effects on Physical and Mental Functioning. Nefrologi Nursing Journal.
2002
Curtin, Roberta Braun, dkk . Self-Management, Knowledge, Funcioning and Well
Being of Patients on Hemodialysis. Nephrologi Nursing Journal . 2004
Curtin, Roberta Braun dkk. Self Management in Patient with End Stage Renal
Disease : Exploring Domains and Dimensions. Nephrology Nursing
Journal. 2005
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta : Rajawali Press.
2012
Faizal, Elly Burhaini. Noncommunicable Diseases Top Priority in Health Agenda.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/09/noncommunicablediseases-top-priority-health-agenda.html . 2012 diakses pada tanggal 06
Maret 2012
Farida, Anna. Pengalaman Klien Hemodialisa Terhadap Kualitas Hidup Dalam
Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta. 2010
Finkelstein, Fredric O. Dkk. Perceived Knowledge Among Patients Cared for By
Nephrologists About Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease
Therapies. International Society of Nephrology. 2008
Fox, Chester and Linda S. Kohn. The Importance of Patient Education in The
Treatment of Chronic Kidney Disease. Kidney International. 2008
Fransiska, Kristina. Waspadalah 24 Penyebab Ginjal Rusak. Jakarta : Penerbit
Cerdas Sehat. 2011
Gibson, M.H.. The Quality of Life of Adult Hemodialysis Patients. Austin : The
University Of Texas.1995
Granehim U.H. & B. Lundman. Qualitative Content Analisis in Nursing Research
: Concepth, Procedure and Measures to Achieve Trustworthiness. 2003
Heidarzadeh M, Atashpeikar S, & Jalilazar T.. Relationship Between Quality of
Life and Self-Care Ability in Patients Receiving Hemodialysis. 2010 pada
http://europepmc.org/articles/PMC3093176 diakses pada tanggal 24 Januari
2013
Hidayat, Aziz Alimul. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta :
Salemba Medika. 2007
Hidayati, Wahyu & Kiki Wahyuni. Pengalaman Self-Care Berdasarkan Teori
Orem Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis.
Jurnal Nursing Studies, Volume 1, Nomor 1 tahun 2012 halaman 244-251.
2012
Indraratna, Kartika. Tingkat Pengetahuan Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK)
Tentang Diet GGK di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Harjono. 2012 .
http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/7/jkptumpo-gdl-kartikaind-331-1abstrak-i.pdf . Diakses pada tanggal 8 September 2013
John, Ansy. The Relationship Between Self-Efficacy and Fluid and Dietary
Compliance in Hemodialysis Patients. 2012
Johnson, Marion, Gloria M. Bulecheck, Joanne M. McCloskey Dochterman,
Meridean L. Maas, Sue Moorhead, Elizabeth Swanson, and Howard K.
Butcher. NANDA, NOC, and NIC Linkages: Nursing Diagnoses, Outcomes,
and Interventions 2nd ed. St Louis : Mosby Elsevier. 2006
Kack, Shannon . The Influence of Self-Efficacy on Physical Activity in Individuals
with End-Stage Renal Disease. 2010
Kara, Belguzar Caglar, & Kayser Kilic, Selim Nonadherence With Diet and Fluid
Restrictions and Perceived Social Supporting Patients Receiving
Hemodialysis Journal of Nursing Scholarship; Third Quarter 2007; 39, 3;
ProQuest Research Library pg. 243. 2007
Kim, Y., & Evangelista, L.S.. Relationship Between Illness Perceptions,
Treatment Adherence, and Clinical Outcomes in Patients on Maintenance
Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 37(3), 271-281. 2010
Ko, Benjamin, Dkk. Religious Beliefs and Quality of Life in An American InnerCity Haemodialysis Population. 2007
Kolewaski, Carrie D. Dkk. Quality of Life and Exercise Rehabilitation in End
Stage Renal Disease. The CANNT Journal Volume 15. 2005
Krespi, R dkk. Haemodialysis Patient’s Belief About Renal Failure, Patient
Education & Counseling . 2004
Kusnanto,. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta :
EGC. 2003
Medicare Team.Medicare For People with End Stage Renal Disease or a
Disability.www.kidney.org/professionals/CNSW/pdf/Medicare4PeopleWith
ESRD.pdf diakses pada Minggu 6 Januari 2013
Medical Dictionary . Nursing Care Plan Definition. http://medicaldictionary.thefreedictionary.com/nursing+care+plan diakses pada tanggal 15
September 2013
Moleong, L. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offset. 2013
Moreira, Leonardo B dkk. Medication Noncompliance in Chronic Kidney
Disease. 2008
Moorhead, Sue dkk. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. USA
: Mosby Inc
Muhammad, As’adi. Serba Serbi Gagal Ginjal: Tangani Sedini Mungkin
Gangguan Ginjalmu Bersama Buku Ini. Jogjakarta: Diva Press. 2012
Muhlisin, Abi dan Indarwati. Teori Self Care dari Orem dan Pendekatan dalam
Keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan Vol 2. 2010
National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. Kidney
Disease Statistic for The United States. NIH Publication. 26 November
2012
NIDDK . Nutrition and Hemodialysis. New York : National Kidney Foundation.
2010
Potter, Patricia A & Anne Griffin Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktek Edisi 4 Volume 1. Jakarta : EGC. 2005
Polit, Denise F., Cheryl Tatano Beck and Bernadette P. Hungler. Essentials of
Nursing Research : Methodes, Appraisal, and Utilization Fifth Edition.
2001
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2002
Richard, Cleo J. Self Care Management in Adults Undergoing Hemodialysis.
Nefrologi Nursing Journal. 2006
Richard, Cleo J.. Living With An Arterio-Venous Fistula For Hemodialysis. 2008
Rubenstain, David, David Wayne & John Bradley. Lecture Notes Kedokteran
klinis Edisi Keenam. Jakarta : penerbit Erlangga. 2007
Saraha, Suryaningsih. M., Esrom Kanine, & Ferdinand Wowiling. Hubungan
Dukungan Keluarga dengan Depresi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
di Ruangan Hemodialisa BLU RSUP Prof. Dr. R D. Kandou Manado.
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013. 2013
Sari,
Dianing.
Mahalnya
Merawat
Ginjal
Rusak
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/07/060465539/MahalnyaMerawat-Ginjal-Rusak diakses pada tanggal 07 Maret 2013 . 2013
.
Sari, Lita Kartika. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam
Pembatasan Cairan Pada Klien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Terapi Hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUP Fatmawati. 2009
Sherwood, Lauralle. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.
2001
Simmons, Laurie. Dorothea Orem’s Self Care Theory as Related To Nursing
Practice in Hemodialisis. Nephrology Nursing Journal.2009
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001
Smeltzer, Suzanne C. Dkk. Brunner & Suddart Textbook of medical-suirgical
Nursing : Eleventh Edition. USA : Lipincott williams & Wilkins.2009
Storer, Thomas W. The Importance of Exercise in End Stage Renal Disease.
Proquest Research Library. 1999
Streubert, Helen J. & Carpenter, Dona R. Qualitative Research in Nursing
Advancing the Humanistic Imperative. 2003
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006
Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2001
Swanburg, Russel. Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan Untuk
Perawat Klinis. Jakarta : EGC.2000
Taylor, Susan Gebhardt & Katherine Renpenning. Self care Science, Nursing
Theory and Evidence-Based Practice. New York : Springer Publishing
Company,LLC. 2011.
Thomas, Claudie J.. The Impact of Religiosity, Social Support and Health Locus
of Control on the Health-Related Quality o f Life of African-American
Hemodialysis Patients. 2003
Tovbin, D., Gidron, Y, Jean, T., Granovsky, R. & Schnieder, A. Relative
Importance and Intercorrelations Between Psychosocial Factors and
Individualized Quality of Life of Hemodialysis Patients. 2003
USRDS Annual Data Report : Atlas of End Stage Renal Disease in United Stated
Volume 2 tahun 2012
Wardlaw, Gordon M., Jeffresy S. Hampl, dan Robert A. DiSilvestro. Perspektives
in Nutrition Sixth Edition. New York : The McGraw-Hill Companies. 2004
White, Rita Yim Fong. Spirituality and Health Related Quality of Life in
Hemodialysis Patients. 2005
Wells, Janie R and Staci J. Anderson. Self Efficacy and Social Support in African
Americans Diagnosed with End Stage Renal Disease. ABNF Journal Tucker
Publication. 2011
World Health Organization (WHO). Global Status Report on NonCommunicable
Diseases 2010 http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report2010/en/.
2011. diakses pada tanggal 06 Maret 2012.
WHO
Indonesia.
Health
Profile
Non
Comunicable
Disease.
http://www.ino.searo.who.int/en/Section3_30.html . 2013. diakses pada
tanggal 06 Maret 2013
WHO
Indonesia.
NCD
Country
Profile
2011.
http://www.who.int/nmh/countries/idnen.pdf. 2011. diakses pada tanggal 14
Maret 2013
Download