Chapter 5. Reformer`s Achievment-What Did They Gain? Anggota

advertisement
Chapter 5. Reformer’s Achievment-What Did They Gain?
Anggota Kelompok 3:
1. Felia Karlinda
F1B009009
2. Adri Oktaviana V
F1B009049
3. Odi Iriawan
F1B009034
4. Fajar Indra R.
F1B008020
5. Heri Cristian
F1B008041
6. Naylu Alhana
F1B008062
7. Eva Riana Puspa R.
F1B009071
8. Sofian Adi Gunawan
F1B008096
9. Duna Fadil
F1B008079
10. Keisha Rizki C
F1B007084
11. Gita Barana
F1B007023
5.1 Hasil sulit dalam menentukan
Reformasi merupakan kegiatan yang sangat beragam. Tantangan reformasi
terletak pada dampak akhir dari reformasi tersebut, seperti pelayanan yang lebih baik,
perbaikan akuntabilitas, dan jumlah pengeluaran. Reformasi di sektor publik berbeda
dengan reformasi di sektor privat atau swasta. Reformasi di sektor swasta relatif lebih
mudah, hal ini disebabkan permasalah yang dihadapi lebih sederhana dibanding
dengan permasalahan yang dihadapi sektor publik (pemerintah) yang sangat kompleks.
Faktanya, banyak dari program reformasi yang telah dilakukan hanya
membawa dampak atau hasil yang relatif kecil daripada yang diharapkan. Hal ini
disebabkan oleh evaluasi yang masih terbatas baik secara internal maupun eksternal.
Terdapat beberapa kontroversi dalam pelaksanaan reformasi, seperti penggunaan
teknologi informasi (TI). Selama ini terjadi salah penafsiran dalam penggunaan
teknologi, sektor pemerintah beranggapan bahwa menggunakan teknologi adalah
kunci utama, tanpa memperhatikan perubahan di bidang manajerial yang merupakan
kunci dari reformasi.
5.2 Penurunan Pengeluaran Publik
Dalam sebuah peninjauan tentang dampak dari program reformasi OECD
menunjukkan beberapa tanda-tanda penurunan pengeluaran pemerintah, namun
justru sebaliknya utang publik kotor sebagai persentase dari PDB sebenarnya telah
meningkat.
Namun, tidak semua dampak dari reformasi seperti itu, contohnya di negara
Kanada dan Selandia Baru. Di selandia baru dampak fiskal dari reformasi telah berjalan
dengan baik. Karena di sana setelah reformasi pemerintah mampu mencapai kekayaan
bersih yang positif hanya dalam waktu kurang dari empat tahun, padahal sebelumnya
pemerintaha mereka mengalami krisis fiskal yang parah. Dan dari hal tersebut dapat
diambil suatu hal bahwa hubungan antara kedalaman program reformasi dengan
penghematan.
5.3 Perbaikan Efisiensi
Pengurangan pengeluaran agregat tidak berpengaruh terhadap peningkatan
efisiensi, sehingga dapat disimpulan ketika terjadi penekanan pengeluaran, hal
tersebut belum dapat dikatakan sebagai peningkatan efisien. Peningkatan efisien
dapat terjadi apabila ada reformasi (perubahan).
Reformasi telah menghasilkan perbaikan dalam efisiensi inti sektor publik,
paling tidak karena modal yang digunakan lebih efisien berkaitan dengan pengenaan
biaya modal. Namun, belum ada studi peningkatan efisiensi di setiap departemen
sehingga tidak ada standar yang mengukur keefisienitasan tersebut.
Sebagai contoh di Australia, dengan adanya reformasi pada pertengahan 1980an yang dapat mengubah pendapatan agregat dari defisit menjadi substansial plus
melalui beberapa tahapan. Selain itu, terjadi pengurangan sumber daya yang
diperlukan, agar biaya dapat ditekan demi menunjang menuju ke arah efisien.
Yang menjadi kendala adalah hal tersebut lebih mengarah pada peran masingmasing Departemen dalam mengembangkan pengelolaan pelayanan kontrak investor
dalam menjaga biaya perekonomian di daerah tersebut.
5.4 Keuntungan Lainnya
Pengeluaran, pengurangan, efisiensi dan penghematan tidak hanya menjadi
ambisi para pembuat kebijakan reformasi. Di Selandia Baru Menteri telah menyatakan
kepuasan terhadap kebijakan fleksibilitasnya dengan menyediakan peraturan
Manajemen Publik Baru bahkan buruh/Aliansi Pemerintah yang berkampanye untuk
membuat perubahan ke sektor publik telah menyatakan bahwa tidak akan mengubah
kebijakan fundamental pemerintah, UU BUMN, tanggung jawab UU Fiskal dan UU
Keuangan Publik.
Keuntungan Reformasi yang signifikan telah di buat dalam perbaikan
akuntabilitas pada tingkat pemerintah dan badan-badan pemerintah. spesifikasi
organisasi kinerja dan pelaporan lebih baik dengan memberikan dasar yang kuat untuk
menilai kinerja sektor lembaga publik. Transparansi telah ditingkatkan melalui
ketersediaan data kinerja yang lebih luas. Meskipun hal tersebut secara luas telah
diterapkan oleh para komite parlemen,pihak oposisi,media dan kelompok kepentingan
dalam mereformasi negara,data kinerja masih jauh dalam bentuk yang sangat relevan
atau sulit dipahami oleh publik.
Dalam pelayanan sipil hasilnya sudah signifikan meskipun dampak pada output
kurang jelas. Pelayanan yang berbasis kinerja lebih membahas tentang upah daripada
manfaat yang telah di dapat, dan di dalam departemen masih didominasi oleh sektor
publik. Dalam mereformasi kebanyakan negara melakukan peningkatan kemampuan
untuk menunjuk orang baru di luar sektor publik namun dalam peraturannya masih
ada masalah dengan menarik persyaratan yang tinggi bagi calon kepala dinas karena
posisi mereka tidak semenarik posisi sektor swasta.
5.5 konsekuensi yang tidak diinginkan
Reformasi terkadang banyak menghasilkan masalah. Lembaga otonom telah
terbukti bermasalah di banyak negara, termasuk Belanda dan Selandia Baru. Kesulitan
besar dalam menegakkan kinerja kontrak dengan perusahaan BUMN telah direplikasi
dalam waktu panjang untuk generasi baru lembaga pelayanan. Otonomi manajemen
yang meningkat menyebabkan beberapa kejadian pengeluaran oleh lembaga
pemerintah yang telah merugikan publik, seperti pengeluaran untuk perjalanan udara,
pembayaran pemberangkatan untuk kepala eksekutif dan gagalnya implementasi
system TI. Reformasi menimbulkan banyak masalah, dimana dalam menjalankan
tugasnya para pejabat seringkali menyalahgunakan kewenanannya sehingga
merugikan bagi sektor publik itu sendiri.
“Manajemen Publik Baru” argument untuk lembaga adalah penyedia layanan
yang harus berkonsentrasi pada produksi yang efisien dan layanan yang berkualitas.
Demikian pula dalam pembuatan kebijakan terlihat lebih fokus. Argument
sederhananya adalah bahwa pembuatan kebijakan dan pelayanan adalah tugas yang
berbeda dan bahwa setiap manfaat dari perhatian kepada penerima layanan.
Beberapa komentator dan beberapa politisi telah menyatakan kekhawatiran
bahwa hal diatas mengarah ke erosi dari etos pelayanan public dan hilangnya
kontinuitas dan institusional memori (Schick,1996).
Salah satu dampak reformasi Inggris adalah munculnya kinerja kontrak dalam
lemabaga pemerintah. Para modernisasi inisiatif dari pemerintah buruh saat ini telah
berupaya untuk membangun penerimaan kontrak dengan penekanan yang lebih besar
pada kolabirasi dan kemitraan. Reformasi adminstrasi tahun 1980-an dan awal tahun
90-an memperkuat kinerja orientasi sektor public dan efisiensi teknis meningkat.
Singkatnya, tahun 1980-an melihat perkembangan model publik administrasi yang
difokuskan pada efisiensi proses bisnis. Model ini memberikan kemajuan yang
signifikan dan perbaikan lebih lanjut. Namun dalam banyak hal, model ini memiliki
keterbatasan.
Pengguna barang publik dapat dianggap sebagai konsumen yang bebas
memilih. Salah satu konsepnya adalah “New Public Management” menganggap bahwa
konsumen dapat mengadu atas ketidakpuasan terhadap pelayanan public, baik
ditingkat lokal (seperti layanan kesehatan atau pendidikan) atau ditingkat nasional
(seperti penyediaan paspor atau kebiasaan kontrol). Sehingga para skeptis
menyarankan bahwa layanan kepada konsumen hanya bersifat simbolis dari pada
tindakan senyatanya (Flynn dan Pichard 1996; Miller, 1996) Contohnya seperti
konsekuensi yang tidak disengaja di Belanda. Undang-undang Administrasi Hukum
Umum telah membuat semua keputusan pemerintah dikenakan banding di pengadilan
independen, dari pada harus terpisah dengan banding administrasi di pengadilan
khusus. Dalam prakteknya, hukum telah memungkinkan kelompok-kelompok warga
untuk melawan kebijakan dan keputusan pengadilan, sehingga lembaga pemerintah
menciptakan “komite awal banding” untuk menangani warga yang melakukan banding
dalam berbagai kebijakan, termasuk pada masalah personil (re-organisasi, transfer,
dan pemberhentian). Undang-undang tersebut telah memperlambat laju reformasi
internal dan re-organisasi dalam pelayanan publik. Pada saat yang sama, sejumlah
besar pertanyaan dari parlementer adalah “kegagalan kebijakan” telah menyebabkan
“budaya investigasi”, yang telah membuat para pelayan publik semakin hati-hati dan
enggan untuk mengambil inisiatif dan tanggung jawab.
Pembahasan:
Indonesia telah melaksanakan reformasi sejak runtuhnya rezim orde baru
atau tepatnya tahun 1998. Namun pada kenyataannya, setelah 13 tahun melakukan
reformasi, tidak banyak yang berubah dari birokrasi Indonesia. Pemerintah yang
lamban, berbelit-belit (tidak efisien dan efektif), kurang responsif, akuntabilitas yang
rendah, dan korupsi yang terus merajalela adalah sejumlah permasalah yang belum
bisa diatasi hingga saat ini.
Desentralisasi sebagai langkah reformasi yang memungkinkan daerah
mengurus “rumah tangganya” sendiri merupakan sebuah terobosan yang dapat
mengembangkan suatu daerah dengan mengetahui potensi yang ada di daerah
tersebut. Akan tetapi, kurangnya kesiapan daerah untuk menerima wewenang yang
besar dari pemerintah pusat dalam mengelola daerahnya sendiri, mengakibatkan
desentralisasi tidak bisa berjalan dengan maksimal. Bahkan tidak jarang, dengan
adanya desentralisasi justru melahirkan raja-raja kecil di daerah.
Penerapan teknologi informasi (komputer) dianggap sebagai sebuah
terobosan dalam reformasi. Celakanya, hal ini tidak dibarengi dengan persiapan yang
matang, sehingga fasilitas yang disediakan tidak bisa dimanfaatkan dan bisa dibilang
menjadi mubazir. Sebagai contoh, pengadaan fasilitas komputer dan internet di Desa
yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan pekerjaan administrasi di Desa.
tetapi banyak perangkat desa yang tidak dapat mengoperasikan fasilitas yang ada.
Akibatnya program tersebut menjadikan sebuah pemborosan anggaran daerah.
Pengurangan pengeluaran agregat atau efisiensi sebagai anggaran yang
dilakukan pemerintah dapat dikatakan kurang tepat. Karena dampak dari pengurangan
anggaran pada dasarnya akan berimbas pada pelayan yang diterima oleh masyarakat.
Logikanya, dengan pangurangan anggaran berarti anggaran yang digunakan untuk
sektor publik juga akan berkurang seperti bidang pendidikan, jaminan kesehatan bagi
masyarakat, dan perbaikan fasilitas umum lainnya. Seharusnya yang dikurang bukanlah
anggaran yang diperuntukkan bagi masyarakat tetapi anggaran belanja pegawai yang
terus membengkaklah yang perlu disusutkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah
reformasi.
Contoh kasus yang terjadi di Kota Banjar (Jabar). Pada tahun anggaran 2010,
Kota Banjar mengalami surplus anggaran yang besar, padahal efisiensi anggaran yang
sebenarnya terjadi adalah ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mengelola dana
yang ada untuk menjalankan suatu program bagi kesejahteraan masyarakat. Sehingga
pada tahun berikutnya Kota Banjar hanya mendapatkan alokasi dana dari pemerintah
pusat berkurang. Artinya efisiensi yang terjadi justru merugikan masyarakat.
Reformasi yang terjadi di Negara lain menyebabkan akuntabilitas dan
transparasi meningkat seiring membaiknya kinerja pemerintah. Hal tersebut
dikarenakan kinerja pemerintah dapat dipantau oleh masyarakat. Sehingga
kepercayaan masyarakat meningkat. Akan tetapi, kontrol yang tinggi dari masyarakat
terhadap pemerintah menyebabkan pemerintah kurang inovatif, karena pemerintah
takut menganbil suatu keputusan baru yang dianggap masyarakat sebagai sesuatu hal
yang menyimpang.
Tetapi, kasus yang terjadi di Indonesia justru berbanding terbalik. Meskipun
sudah melaksanakan reformasi yang cukup lama, namun tetap saja kinerja pemerintah
kita rendah dan tidak transparan. Keleluasaan yang dimiliki pemerintah akibat
rendahnya control masyarakat tidak serta merta membuat pemerintah kita menjadi
inovatif justru semakin korup.
Download