kajian sosiologi sastra dan nilai pendidikan dalam novel totto-chan

advertisement
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN
DALAM NOVEL TOTTO-CHAN: GADIS CILIK DI JENDELA
KARYA TETSUKO KUROYANAGI
Cintya Nurika Irma
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Peradaban
[email protected]
ABSTRAK
Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela memaparkan tentang kurikulum pembelajaran
yang diterapkan oleh Mr. Kobayashi di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen yang diulas
menggunakan kajian sosiologi sastra. Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan
(1) pandangan pengarang terhadap Sekolah Dasar Tomoe Gakoen (2) sosiologi sastra yang
terungkap dalam novel, dan (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik
purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan content analysis. Uji
validasi data menggunakan triangulasi data, teori, dan metode. Teknik analisis dilakukan dengan
reduksi data, penyajian data, dan simpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Mr.
Kobayashi membuat kurikulum pembelajaran yang dikombinasi dengan musik di Sekolah Dasar
Tomoe Gakuen yang terinspirasi dari Sekolah Dasar Seikei tempat ia menjadi instruktur musik
dan hasil kunjungannya di Eropa, (2) latar belakang sosial dan budaya meliputi adat dan
kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan (3) nilai-nilai pendidikan yang
terkandung adalah nilai pendidikan sosial, moral, budaya, ekonomi, dan politik.
Kata Kunci: Novel, Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan
ABSTRACT
Novel Totto-chan : The Little Girl in the window explained about the learning curriculum that
applied by Mr Kobayashi in Elementary School Tomoe Gakuen that reviewed using the study of
sociology literature. This research explains and describes the (1) the views of the author of
Elementary School Tomoe Gakoen (2) sociology literature that was revealed in the novel, and
(3) the value of education in the novel Totto-chan : The Little Girl in the window. This research
using descriptive qualitative method with the technique of purposive sampling. Data collection
technique that is done with the content analysis. The validation test data using triangulation
data, the theory and the method. The technique of analysis is done with the data reduction,
presentation of data and the conclusions. The results of the study showed that (1) Neville
Kobayashi make learning curriculum that combined with music in Elementary School Tomoe
Gakuen inspired from Elementary School Seikei where he became the instructor music and the
results of his visit in Europe, (2) social and cultural background include indigenous peoples and
beliefs, work, education, shelter, and (3) values of education contained is the value of social,
moral education, culture, economic and political.
Key Words: Novel, Sociology Literature, the value of Education
1. PENDAHULUAN
Dunia pendidikan akhir-akhir kini sedang dilanda berbagai peristiwa-peristiwa yang sangat
memprihatinkan. Bila kembali mengingat peristiwa yang dialami oleh Muhammad Dahrul, guru
di SMK N 2 Makassar yang dipukul oleh salah satu wali murid siswanya (lihat Tribun
Makasar.com, 10 Agustus 2016). Hal tersebut menjadi evaluasi dan tanggung jawab bagi seluruh
lapisan, bukan hanya sekedar tugas serta kewajiban guru ataupun pihak sekolah saja. Peran orang
tua, pemerintah, dan masyarakat memiliki porsi yang sama dalam menyukseskan realisasi
pendidikan nyata. Bila seluruh elemen saling bersinergi, permasalahan-permasalahan dilingkup
pendidikan dapat teratasi. Oleh karena itu, pondasi awal yang dapat diperkuat adalah komunikasi
serta tindakan perbaikan secara berlanjut baik guru dengan kepala sekolah dan para guru, guru
dengan murid, dan guru dengan orang tua murid.
Refleksi yang dapat dilakukan adalah melalui karya sastra seperti novel. Nurgiyantoro
(2010: 10) mengemukakan karena pengertian novel tersebut berkaitan dengan unsur intrinsik
karya fiksi. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi salah satu unsur
intrinsik, yakni perilaku tokoh. Melalui identifikasi perilaku tokoh dari novel yang dibaca dapat
diambil hikmah dalam berperilaku dan bertindak positif dalam kehidupannya. Latar belakang
yang ditampilkan dalam karya sastra meliputi: tata cara kehidupan, sikap, upacara adat dan
agama dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan lain sebagainya (Waluyo, 2002: 51).
Novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyonagi merupakan salah satu novel kisah nyata yang
dialami pengarangnya mengenai gambaran konsep pendidikan yang tidak “lazim” diterapkan
saat Totto-cha sebagai tokoh utama bersekolah di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen. Mr. Kobayashi
sebagai kepala sekolah adalah pemeran utama penciptaan konsep tersebut. Tentu sebelum hal
tersebut dilakukan, perlu adanya kemantapan dengan melakukan riset-riset yang telah
dilakukannya dengan berkunjung, menelaah, dan mengajukan berbagai pertanyaan dengan para
pendidik dibeberapa sekolah-sekolah di Eropa dan metode dari Haruji Nakamura di Sekolah
Dasar Seikei tempat Mr.Kobayashi menjadi instruktur musik.
Pertentangan yang pernah dialami oleh Mr. Kobayashi saat berjuang membangun Sekolah
Dasar Tomoe Gakuen membuahkan hasil khususnya bagi murid-murid yang pernah bersekolah
di sana, salah satunya Totto-chan, sang penulis novel. Selain itu, novel tersebut juga memberikan
keterbukaan pemikiran dan evaluasi bagi pembaca khususnya dalam bidang pendidikan. Salah
satu keputusan yang dibuat oleh Mr. Kobayashi yang mendapat pertentangan beberapa wali
murid adalah saat pelajaran berenang dan semua murid berenang tanpa menggunakan pakaian.
Tentu hal ini dilakukan dengan alasan bahwa sekolah tersebut terdapat murid yang menderita
polio sehingga Mr. Kobayashi ingin menumbuhkan motivasi murid bahwa tidak ada perbedaan
fisik diantara mereka.
Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah
sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini, menurut Teeuw
(1982: 18-26) terdapat empat cara yang mungkin dilakukan, yaitu a) afirmasi (dengan cara
menetapkan norma-norma yang sudah ada), b) restorasi (sebagai ungkapan kerinduan pada
norma yang sudah usang), c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang
sedang berlaku), dan d) inovasi (dengan mengadakan pembaruan terhadap norma yang ada).
Hal menarik lainnya adalah latar waktu yang terjadi dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik
di Jendela adalah saat terjadinya peristiwa peperangan antara Jepang dan Amerika, hingga
akhirnya Sekolah Dasar Tomoe Gakuen terbakar akibat terkena bom dari pesawat pembom B29.
Mr. Kobayashi termasuk orang yang dihormati di Departemen Pendidikan. Terbukti di zaman
tersebut sangat sulit sekolah dasar yang tidak konvensional dapat izin operasi dari penguasa
Jepang di masa perang, tetapi Tomoe Gakuen dapat bertahan dengan jumlah murid lima puluh
disebabkan Mr. Kobayashi tidak pernah mengizinkan sekolah tersebut difoto dan sistemnya yang
tidak konvensional dipublikasikan sehingga luput dari perhatian.
Selanjutnya, Ratna (2013: 11) mengemukakan bahwa analisis sosiologis memberikan
perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat
tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan,
manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah
bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi
tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses regulasi
dalam sistemnya masing-masing.
Sama halnya dengan novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, pengarang menyajikan
beragam kisah dalam memfungsikan sastra terhadap struktur sosial. Seperti harapan yang
disampaikan oleh pengarang “Aku yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti Tomoe,
kejahatan dan kekerasan yang begitu sering kita dengar sekarang dan banyaknya anak putus
sekolah akan jauh bekurang. Di Tomoe tak ada anak yang ingin pulang ke rumah setelah jam
pelajaran selesai. Dan di pagi hari, kami tak sabar ingin sampai ke sana”. Selain itu, novel Totto-
chan: Gadis Cilik di Jendela juga menjadi buku wajib untuk pendidikan, hal ini menggambarkan
bahwa sebagian pembaca sependapat dengan apa yang dirasakan maupun diperjuangkan oleh
Mr. Kobayashi.
Terdapat empat pengertian dasar yang perlu dipahami dalam pendidikan, yaitu
(1) pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik mencapai pribadi yang dewasa,
(2) pendidikan merupakan perbuatan yang manusiawi, (3) pendidikan merupakan hubungan
antarpribadi pendidik dan anak didik yang akan melakukan tanggung jawab pendidikan,
(4) tindakan atau perbuatan mendidik menuntun anak didik mencapai bagian-bagian tertentu.
Keempat pengertian dasar pendidikan ini sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2009: 5). Dalam penelitian ini, diulas tentang (1)
pandangan dunia pengarang mengenai eksisteni sekolah Tomoe Gakuen karya Tetsuko
Kuroyanagi, (2) latar sosial dan budaya yang dilukiskan pengarang dalam novel, dan (3) nilai
pendidikan yang terkandung dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko
Kuroyanagi.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis maupun lisan. Adapun hal-hal yang
dideskripsikan dalam penelitian ini adalah mengenai pandangan dunia pengarang, sosial dan
budaya yang digambarkan pengarang, dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel
Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama, cetakan kelima belas Januari 2014 dengan tebal 272 halaman. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik studi pustaka yakni membaca keseluruhan teks
novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Selanjutnya, dilakukan
teknik catat yakni mencatat data-data yang ditemukan berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan
pendidikan lalu dianalisis.
3. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1) Pandangan Dunia Pengarang Terhadap Eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakuen dalam
Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
Pandangan Tetsuko Kuroyanagi mengenai eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakoen dalam
novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela mengungkapkan gambaran kurikulum pendidikan yang
dibuat oleh Mr. Kobayashi. Inspirasi pertama yang ingin diterapkannya saat menjadi intruktur
musik di Sekolah Dasar Seikei yang didirikan oleh Haruji Nakumura yang berprinsip bahwa
pendidikan dasar anak adalah yang paling penting. Ia selalu membatasi jumlah muridnya dan
mempraktikan kurikulum yang cukup bebas untuk mengembangkan kepribadian setiap anak dan
membangkitkan harga diri mereka. Selanjutnya, Baron Iwasaki menawarkan Mr. Kobayashi
untuk belajar metode-metode pendidikan di Eropa setelah terkesima menyaksikan operet muridmurid Seikei yang naskahnya ditulis Mr. Kobayashi.
Setelah melakukan kunjungan dan pengamatan mengenai metode pembelajaran
dibeberapa sekolah di Eropa. Mr. Kobayasahi mendirikan taman kanak-kanak lalu sekolah dasar
Tomoe Gakuen, dan Asosiasi Euritmik Jepang. Arti kata tomoe adalah simbol kuno yang
berbentuk koma. Kepala sekolah memilih lambang tradisional yang terdiri dari dua, yaitu tomoehitam dan putih yang bergabung membentuk lingkaran sempurna. Lambang menggambarkan
cita-cita kepala sekolah bagi para muridnya yakni tubuh dan pikiran sama-sama berkembang
secara seimbang dan dalam keselarasan yang sempurna.
“Anak-anak itu tak menyadari bahwa sambil berjalan-jalan-yang bagi mereka seperti
acara bebas dan main-main-sebenarnya mereka mendapat pelajaran beharga tentang
sains, sejarah,dan biologi (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 51)”.
Hal menarik yang dituturkannya kepada guru-guru yang mengajar disekolahnya agar
membiarkan anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan kepribadian dan keinginan, guru
berperan untuk mengarahkan dan memperkuat perkembangan tiap anak didik seperti kutipan di
atas. Di Sekolah Tomoe Gakuen terdapat pelajaran berjalan-jalan dengan menyelipkan
pertanyaan yang diajukan oleh guru mengenai sesuatu yang mereka lewati atau lihat seperti saat
guru meminta para murid melihat bunga sesawi dan menjelaskan tentang putik dan benang sari
serta proses kupu-kupu membantu bunga menyerbukkan benang sari ke putik. Belajar secara
langsung inilah yang menjadi perhatian agar para murid tidak sekedar imajinasi dengan yang
disampaikan oleh guru.
Paparan awal yang dilukiskan oleh pengarang adalah mengenai proses pembelajaran di
kelas satu sekolah dasar. Hal pertama yang disajikan adalah mengenai suasana ruang belajar di
Tomoe Gakoen yang dibuat dibekas gerbong kereta yang diharapkan dapat menimbulkan
imajinasi pada peserta didik, hal ini terbukti pada Totto-chan yang berasa belajar yang dilakukan
ibarat sedang melakukan perjalanan yang menyenangkan. Usia sekolah dasar merupakan proses
transisi perkembangan anak. Oleh sebab itu, diharapkan dengan suasana belajar yang jarang
ditemui tersebut dapat meningkatkan daya imajinasi, kreativitas, motivasi, dan prestasi belajar.
Pembelajaran yang secara terus menerus di kelas akan menimbulkan kejenuhan bila tidak
diantisipasi dengan berbagai aspek pendukung seperti metode pembelajaran, tata ruangan,
pengaturan tempat duduk peserta didik, dan lain sebagainya.
Proses pembelajaran yang dibuat adalah bebas dan mandiri. Peserta didik kelas satu belum
dibuat belajar mandiri secara penuh. Di awal jam pembelajaran guru membuat daftar soal dan
pertanyaan yang akan diajarkan pada hari tersebut dan peserta didik diberikan kebebasan
memilih yang disukai sedangakan pendidik akan mendatangi peserta didik yang ingin
berkonsultasi lalu menyampaikan penjelasan dan memberikan latihan-latihan lain untuk
dikerjakan sendiri. Tahap ini membantu pendidik mengetahui bidang yang diminati, cara
berpikir, dan karakter yang dimiliki oleh peserta didik seperti kutipan berikut ini.
“Aku mencoba menjelaskan metode pendidikan Mr. Kobayashi di buku ini. Dia yakin,
setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bias rusak karena
lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr.
Kobayashi berusaha menemukan “watak baik” setiap anak dan mengembangkannya,
agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas (Tottochan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 251)”.
Kepala sekolah memasukan euritmik dalam kurikulum sekolahnya, diyakini sistem
tersebut akan berhasil membantu anak-anak dalam mengembangkan kepribadian secara ilmiah.
Euritme merupakan pendidikan tentang ritme khusus yang diciptakan oleh seorang guru musik
dan pencipta lagu kebangsaan Swiss, Emile Jaques-Dalcroze. Sistem yang menekankan kata-kata
tertulis dan cenderung menyempitkan persepsi duniawi anak-anak terhadap alam juga tidak
diterapkan oleh kepala sekolah.
Selanjutnya, salah satu yang terlihat adalah sekolah yang dibangunnya menerima peserta
didik yang memiliki kekurangan secara fisik yakni penderita polio. Mr. Kobayashi memberikan
rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa saling menghargai terhadap sesama. Tindakannya
terlihat saat pembelajaran berenang, agar peserta didik tidak merasa ada yang berbeda secara
fisik, Mr. Kobayashi meminta semua siswa berenang tanpa busana. Hal ini mendapat
pertentangan dari para wali peserta didik, tetapi hal yang dilakukannya berdampak tumbuhnya
rasa percaya diri bagi peserta didik penderita polio.
“Ia ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara
murid-murid Tomoe, ada anak yang menderita polio, seperti Yasuaki-chan, yang
badannya sangat kecil, atau yang cacat. Kepala sekolah berpendapat jika mereka
telanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan
membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri. Pendapatnya terbukti. Mula-mula
anak-anak yang cacat merasa malu, tapi perasaan itu segera hilang, dan akhirnya
mereka benar-benar berhasilmenghilangkan rasa malu mereka (Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela, 2014: 72-73)”.
Seorang pendidik juga menunjukkan kesantutan dalam berperilaku maupun tutur kata
kepada siapapun. Permasalahan ini kirannya masih belum mendapat perhatian yang serius.
Peserta didik tanpa disadari akan mengamati, menyimak, dan meniru apapun yang ada dalam diri
seorang pendidik. Oleh sebab itu, diharapkan hal tersebut dapat menjadi kebutuhan sekaligus
kewajiban
khususnya bagi para pendidik sebagai panutan. Seperti yang dicontohkan Mr.
Kobayashi yang selalu memberikan kepercayaan dan kebanggaan pada peserta didik diantaranya
saat Totto-chan dianggap anak yang tidak baik, tetapi Mr. Kobayashi menyampaikan sudut
pandangnya dan memberikan pemahaman dengan tuturan yang santun meskipun ia sedang
berbicara dengan muridnyakelas dua sekolah dasar seperti kutipan di bawah ini.
“Apa yang Kepala Sekolah ingin agar dimengerti oleh Totto-chan adalah sesuatu yang
seperti ini: “Ada orang yang mungkin berpendapat kau bukan anak baik dalam hal-hal
tertentu, tapi watakmu yang sesungguhnya tidak buruk. Banyak watak baik dalam
dirimu dan aku tahu itu (,Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 189)”.
Hubungan antara pihak sekolah, pendidik, peserta didik, dan wali peserta didik ditumbukan
dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah aturan di Tomoe Gakuen mewajibkan peserta
didik membawa bekal makan siang dari laut dan pegunungan sehingga membuat orang tua akan
ikut berperan mempersiapkannya. Tanpa disadari peserta didik saling berunjuk bekal hasil
buatan orang tuanya. Tujuan dari hal tersebut adalah agar orang tua ikut berperan dalam
memberikan makan sehat dan bergizi bagi anaknya. Bila ada bekal peserta didik yang belum
memenuhi dari laut atau pegunungan, Mr. Kobayashi akan meminta istrinya untuk memberikan
makanan yang belum lengkap. Disisi lain yang akan mengesankan adalah bahwa anak akan
senang dibawakan bekal yang dipersiapkan oleh orang tuanya seperti yang dirasakan oleh Tottochan pada kutipan berikut ini.
“Hal berikutnya yang membuat Totto-chan senang adalah ketika dia mulai menyantap
bekal buatan Mama, rasanya sungguh berat (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014:
45)”.
Sebagian dari orang tua yang bekerja tentu menyiapkan bekal anak salah satu urusan yang
menyita waktu sehingga beberapa diantaranya akan memilih memberikan uang saku kepada anak
agar dapat membeli makanan maupun minuman. Kebiasaan mengkonsumsi jajan yang hanya
enak dan menggiurkan mata, tidak diimbangi dengan perhatian kebersihan dan kesehatan.
Bahkan peristiwa yang pernah terjadi Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso mengungkapkan
temuan lima kasus makanan dan minuman yang dikonsumsi anak-anak TK telah terkontaminasi
narkoba (lihat Merdeka.com, 16 Januari 2017). Melalui tindakan Mr. Kobayashi mengingatkan
kembali bagi para pembaca khususnya orang tua dan guru untuk memberikan pemahaman
mengenai makanan dan minuman yang sehat serta terdapat upaya dari pemerintah dalam
menangani permasalahan tersebut.
b) Latar Belakang Sosial dan Budaya dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
(1) Adat dan Kepercayaan
Salah satu kepercayaan yang dipaparkan oleh penulis adalah dalam acara jamuan minum
teh untuk mengantar keberangkatan atau kepergian seseorang bila menyebut nama kue
pemakaman dipercaya akan membawa nasib buruk yang akan terjadi seperti yang terlihat pada
kutipan di bawah ini.
“Ketika Kepala Sekolah mendengar Migita menyebut kue upacara pemakaman, dia
agak kaget. Biasanya, menyebut kue pemakaman dalam acara seperti itu dianggap
membawa nasib buruk. Tapi Migita mengatakannya dengan polos, dia hanya ingin
berbagi sesuatu yang lezat dengan kawan-kawannya. Mau tak mau Kepala Sekolah
tertawa bersama yang lain. Ryo-chan ikut tertawa riang. Bagaimanapun Migita sudah
sering sekali berjanji padanya untuk membawakan kue-kue itu (Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela, 2014: 244)”.
(2) Pekerjaan
Pekerjaan yang dikisahkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela meliputi guru,
kepala sekolah, komposer, penjual karcis, kepala stasiun, tukang kebun, olahragawan, penyair,
petani, serdadu, pegawai pemerintahan, fotografer, pemusik jalanan, pendongeng, pemilik kebun
tanaman hias. Salah satu pekerjaan yang diceritakan dalam novel Totto-chan adalah pekerjaan
Paman Shuji sebagai fotografer perang seperti kutipan berikut ini.
“Film-film yang pernah dikerjakan Paman Shauji, seperti Perang Rabaul, pernah
diputar di bioskop-bioskop. Sejak pergi ke medan perang, Paman Shuji hanya
mengirimkan film-filmnya, jadi bibi Totto-chan dan sepupu-sepupunya sangat cemas
memikirkan Paman Shauji. Fotografer perang selalu memotret pasukan dalam posisiposisi berbahaya. Dengan kata lain, dia harus mendahului pasukan untuk menunjukkan
kemajuannya.Itu yang dikatakan kerabat-kerabat Totto-chan yang sudah dewasa
(Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 238)”.
(3) Pendidikan
Pendidikan yang dikisahkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela melalui tokoh
Mr. Kobayashi adalah jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Berlatar keluarga kurang
mampu, membuatnya bekerja keras, berprestasi, tidak patah semangat hingga menjadi guru tetap
di Sekolah Dasar di Tokyo. Perjuangannya juga membuahkan hasil, dapat melanjutkan
pendidikan di Departemen Pendidikan Musik di Konservatori. Saat bekerja menjadi instruktur
musik di Sekolah Dasar Seikei, Mr. Kobayashi mendapat tawaran berkunjung ke Eropa. Tahun
1922 s.d. 1924 Mr. Kobayashi melakukan kunjungan kebeberapa sekolah dan belajar euritmik di
Eropa. Sekembalinya, Mr. Kobayashi mendirikan Taman Kanak-kanak lalu tahun 1930 kembali
lagi ke Eropa untuk melakukan pengamatan. Tahun 1937 pulang ke Jepang lalu mendirikan
Tomoe Gakuen dan Asosiasi Euritmik Jepang seperti kutipan berikut.
“Dia anak bungsu dari enam anak pasangan petani miskin. Dia harus bekerja keras
sebagai asisten guru setelah menamatkan sekolah dasar. Bisa memperoleh sertifikat
yang dibutuhkan untuk menjadi asisten guru itu sungguh suatu prestasi hebat untuk
anak seusianya. Kenyataan itu menunjukkan bakatnya yang luar biasa.Tak lama
kemudian dia menjadi guru tetap di sebuah sekolah dasar di Tokyo. (Totto-chan:
Gadis Cilik di Jendela, 2014: 256)”.
(4) Tempat Tinggal
Latar yang digunakan dalam novel ini terdiri dari latar geografis dan latar antropologis.
Latar Geografis dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela melalui letak sekolah Tomoe
Gakuen adalah Tokyo seperti kutipan berikut ini.
“Tomoe Gakuen terletak di Tokyo tenggara, tiga menit jalan kaki dari Stasiun
Jiyugaoka di jalur Tokyo. Di tempat itu sekarang berdiri supermarket Peacock dan
tempat parkir. Sekedar untuk bernostalgia, aku pergi ke sana, meskipun aku tak tahu
tak ada lagi yang tersisa dari sekolah itu atau halamannya (Totto-chan: Gadis Cilik di
Jendela, 2014: 250)”.
(5) Bahasa
Penggunaan bahasa yang digunakan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
selain telah dialih bahasakan kebahasa Indonesia adalah menyelipkan bahasa Jepang dan Inggris
seperti yang terlihat saat ada murid baru di Tomoe Gakuen yang bernama Miyazaki. Ia lahir dan
dibesarkan di Amerika sehingga belum lancar berbahasa Jepang, tetapi para murid tertarik dan
antusias dengannya saat berbicara bahasa Inggris dengan lancar seperti terlihat pada kutipan
berikut ini
“UtsuKushi artinya beautiful,” kata Miyazaki dengan tekanan pada suku kata “ku”.
Miyazaki lalu menyadari ucapan bahasa Jepang-nya keliru. “Yang benar utsukuSHII,
ya? Ya?” (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 214)”.
c) Nilai Pendidikan dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
(1) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial yang disajikan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
terlihat saat terjadi sikap membeda-bedakan tidak saling menghormati dan menyanyangi
disebabkan asal tempat tinggal, kelahiran atau lain sebagainnya yang tidak memiliki persamaan.
Hal ini yang ingin disampaikan oleh pengarang bahwa sikap menghormati dan perwujudan sikap
maupun tutur kata terhadap sesama harus diterapkan dimanapun dan kapanpun. Tokoh Mama
saat Toto-chan bersikap tidak baik terhadap temannya disebabkan ia berasal dari asal yang
berbeda seperti kutipan berikut ini.
“Sambil mengusap air matanya, Mama berkata pelan kepada Totto-Chan. ‘Kau orang
Jepang. Masao-chan juga seorang anak, seperti kau. Jadi Totto-chan sayang, jangan
pernah membeda-bedakan orang lain. Jangan berpikir ‘Dia orang Jepang, atau dia
orang Korea’. Bersikaplah manis kepada Masao-chan. Menyedihkan sekali bila ada
yang menganggap orang lain jahat hanya karena dia orang Korea (Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela, 2014: 215)”.
Penanaman nilai pendidikan sosial perlu ditanamkan mulai usia dini dan berkelanjutan dan
bersinergi dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bila terdapat seseorang yang
melakukan penyimpangan sosial, orang-orang diliingkungan sekitarnya akan mengingatkan.
Tindakan saling mengingatkan inilah yang kini mulai sirna, munculnya perselisihan karena salah
paham, saling menghujat, dan memudarkan nilai-nilai leluhur lainnya seakan dibiarkan dan
dianggap wajar. Krisis sosial ini tentu perlu kembali menjadi perenungan sehingga perdamaian
dan kesejahteraan antara sesama dapat terwujud.
(2) Nilai Pendidikan Moral
Salah satu nilai pendidikan moral yang dipaparkan oleh pengaran dalam novel Totto-chan:
Gadis Cilik di Jendela adalah sikap yang ditunjukkan oleh Mr. Kobayashi sebagai kepala
sekolah di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen saat menegur salah satu guru. Hal yang dilakukan
adalah bukan menegur secara langsung dihadapan para murid atau guru, tetapi di tempat lain
yang memungkinkan tidak ada orang lain yang menyaksikan. Tentu bagi yang ditegur tidak akan
menimbulkan dampak negatif seperti rendahnya rasa percaya diri dan lain sebagainya karena
kesalahannya dibahas di depan umum seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
“Totto-Chan tak pernah lupa bagaimana Kepala Sekolah memarahi wali kelasnya di
dapur, bukan di ruang guru atau di depan guru-guru lain. Itu menunjukkan bahwa dia
pendidik dalam arti sebenar-benarnya. Meski demikian, ketika itu Totto-chan belum
mengerti sepenuhnya. Suara dan kata-kata Mr. Kobayashi selamanya akan terpatri di
hatinya (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 170)”.
Selanjutnya, nilai moral yang ditunjukkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
adalah adanya kegiatan yang dirancang dan diorganisir secara nasional untuk sekolah dasar
untuk berkunjung ke rumah sakit yang merawat serdadu-serdadu terluka akibat peperangan.
Tindakan tersebut sebagai bentuk rasa peduli dan ungkapan terima kasih karena telah berjuang
merelakan jiwa dan meninggalkan keluarga yang dicintai demi mempertahankan tanah kelahiran
dan melindungi puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang mungkin saja ia tak kenal. Melihat
yang dilakukan anak-anak sekolah dasar yang menjenguk, bernyanyi, dan membacakan karangan
membuat para serdadu senang, terharu, bahkan ada yang sampai menangis seperti kutipan
berikut ini.
“Apa yang membuat serdadu itu menangis, hanya serdadu itu yang tahu. Mungkin dia
punya anak kecil sebaya Totto-chan. Mungkin dia terharu melihat gaya Totto-chan
menyanyi dengan manis dan dengan sebaik-baiknya. Atau mungkin dia ingat
pengalamannya, ketika dia hampir mati kelaparan di medan perang (Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela, 2014: 204)”.
(3) Nilai Pendidikan Budaya
Masyarakat tidak terlepas dari budaya, begitupun dalam sebuah karya sastra. Budaya
dalam suatu masyarakat sangat dijunjung dan dipertahankan sehingga menjadi karakteristik atau
jati diri masyarakat tersebut. Ragam nilai pendidikan budaya yang diceritakan oleh pengarang
dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela yakni mengenai kebudayaan Jepang yang sangat
dijunjung tinggi seperti jamuan minum teh, mencopot sepatu saat masuk ke dalam rumah dan
kuil, dan menyapa serta berpisah dengan membungkuk hormat. Pada novel tersebut terlihat saat
budaya Jepang dan Amerika dipertemukan melalui tokoh Totto-chan dan Miyazaki seperti
kutipan di bawah ini.
“Miyazaki membungkuk hormat di depan kawan-kawan sekelasnya, yang semuanya
berperawakan lebih kecil darinya. Dan semua anak lain, bukan hanya yang sekelas
dengan Ta-chan, membalas membungkuk hormat (Totto-chan: Gadis Cilik di
Jendela 2014: 213)”.
Kutipan di atas menyuratkan bahwa setiap orang yang memiliki budaya tertentu saat
berada disuatu lingkungan yang memiliki budaya tertentu alangkah bijaknya menghormati dan
menghargai budaya tersebut. Miyazaki yang berasal dari Amerika saat bertemu atau berpisah
dengan seseorang dapat hanya dengan saling berhadapan, berjabat tangan, memeluk, dan lain
sebagainya. Saat dia bersekolah di Tomoe, ia mengikuti budaya yang ada yakni dengan
membungkuk hormat. Salah satu sikap yang ditunjukkan oleh tokoh tersebut merefleksi kepada
pembaca bahwa pentingnya meningkatkan sikap-sikap positif dalam budaya-budaya suatu
masyarakat maupun negara.
(4) Nilai Pendidikan Ekonomi
Nilai pendidikan ekonomi diakibatkan peperangan yang terjadi membuat Papa Totto-chan
dan kawan-kawannya sepinya konser musik yang berakibat pengaruh pendapatan yang diperoleh
sehingga berdampak kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tanggannya. Tawaran memainkan
musik peperangan di pabrik amunisi dengan imbalan beras, gula, dan kebutuhan lainnya ditolak
Papa Totto-chan karena memainkan lagu tersebut tidak disukai oleh Papa Totto-chan yang baru
dianugrahi hadiah musik yang bergengsi sebagai pemain biola. Selain itu, bahan-bahan pangan
sulit diperoleh dipasar ataupun toko. Hal ini diduga untuk memenuhi kebutuhan pangan para pria
dan pemuda di medan perang seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
“Konser-konser musik semakin jarang. Semakin banyak musisi yang yang dipanggil
ke medan perang. Orkestra kekurangan pemain. Siaran radio hampir seluruhnya
digunakan untuk menyiarkan program-program yang berkaitan dengan perang. Tak
ada lagi cukup pekerjaan bagi Papa dan kawan-kawannya. Seharusnya dia menerima
kesempatan untuk memainkan sesuatu (Totto-Chan, 2014: 232)”.
Permasalahan ekonomi juga dipaparkan pengarang melalui tokoh Papa Totto-chan.
Peperangan yang terjadi menimbulkan berbagai dampak negatif seperti permasalahan ekonomi.
Krisis bahan makanan serta isi mesin penjual otomatis pun sulit ditemukan. Diduga bahan makan
tersebut untuk memenuhi kebutuhan para serdadu di medan perang. Pendapatan masyarakat juga
terancam disebabkan tidak stabilnya keadaan karena tiap saat dihampiri rasa kecemasan. Inilah
salah satu gambaran dampak ekonomi yang ditimbulkan dari situasi perang.
(5) Nilai Pendidikan Politik
Pada masa itu hubungan pemerintahan negara Jepang dan Amerika tidak baik hingga
terjadi peperangan dan bom terjadi dimana-mana hingga berakibat membuat Sekolah Dasar
Tomoe Gakuen dan kecemasan bagi penduduk Jepang hingga harus mengungsi ke lokasi yang
lebih aman. Tidak sinergi hubungan kedua belah pihak negara, tidak terjadi di Sekolah Dasar
Tomoe Gakuen. Mr. Kobayashi tidak mengajarkan permusuhan yang terjadi saat ada murid baru
yang berasal dari Amerika bersekolah di sekolah tersebut. Nilai pendidikan politik tercermin
seperti kutipan berikut.
“Amerika itu setan,” pemerintah mengumumkan. Tapi di Tomoe, anak-anak sering
berseru serentak, “Utsukushii artinya beautiful (Totto-Chan, 2014: 215)”.
Kutipan di atas menggambarkan terdapat dua persepsi mengenai Amerika bagi
pemerintahan dan Sekolah Dasar Tomoe. Permasalahan politik antara kedua negara, tidak
diberlakukan dalam lingkungan pendidikan. Mr. Kobayashi tetap menunjukkan rasa hormat dan
tidak membedakan terhadap muridnya yang berasal dari Amerika. Bahkan ia mengajarkan
kepada murid dan guru yang lainnya melakukan hal yang sama. Hal inilah yang menjadi nilai
lebih dari sosok Mr. Kobayashi. Apabila ia begitu saja sependapat dengan apa yang disampaikan
oleh pemerintah bisa jadi ia melakukan hal yang berbeda kepada muridnya, misalnya tidak
mengizinkan untuk bersekolah di Tomoe.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, kajian sosiologi sastra dan nilai pendidikan dalam novel Tottochan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pandangan dunia pengarang terhadap eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakuen dalam novel
Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah terinsipirasi dari metode
pendidikan di Sekolah Dasar Seikin yang didirikan oleh Haruji Nakamura dan negara Eropa
yakni mengkombinasikan pelajaran, musik, dan kegiatan-kegiatan tambahan seperti bertani,
berjalan-jalan, mengunjungi serdadu, mendengarkan cerita, berenang, dan lain sebagainya.
2. Latar belakang sosial dan budaya masyarakat yang terdapat dalam novel Totto-chan: Gadis
Cilik di Jendela adalah berkaitan dengan adat dan kepercayaan, bahasa, pekerjaan,
pendidikan, dan tempat tinggal.
3. Nilai-nilai pendidikan yang ditemukan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah
nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan
ekonomi, dan nilai pendidikan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Paradigma Sosiolgi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tetsuko, Kuroyanagi. 2014. Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: Gramedia.
Waluyo, Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.
Download