KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL TOTTO-CHAN: GADIS CILIK DI JENDELA KARYA TETSUKO KUROYANAGI Cintya Nurika Irma Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Peradaban [email protected] ABSTRAK Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela memaparkan tentang kurikulum pembelajaran yang diterapkan oleh Mr. Kobayashi di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen yang diulas menggunakan kajian sosiologi sastra. Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan (1) pandangan pengarang terhadap Sekolah Dasar Tomoe Gakoen (2) sosiologi sastra yang terungkap dalam novel, dan (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan content analysis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data, teori, dan metode. Teknik analisis dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan simpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Mr. Kobayashi membuat kurikulum pembelajaran yang dikombinasi dengan musik di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen yang terinspirasi dari Sekolah Dasar Seikei tempat ia menjadi instruktur musik dan hasil kunjungannya di Eropa, (2) latar belakang sosial dan budaya meliputi adat dan kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung adalah nilai pendidikan sosial, moral, budaya, ekonomi, dan politik. Kata Kunci: Novel, Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan ABSTRACT Novel Totto-chan : The Little Girl in the window explained about the learning curriculum that applied by Mr Kobayashi in Elementary School Tomoe Gakuen that reviewed using the study of sociology literature. This research explains and describes the (1) the views of the author of Elementary School Tomoe Gakoen (2) sociology literature that was revealed in the novel, and (3) the value of education in the novel Totto-chan : The Little Girl in the window. This research using descriptive qualitative method with the technique of purposive sampling. Data collection technique that is done with the content analysis. The validation test data using triangulation data, the theory and the method. The technique of analysis is done with the data reduction, presentation of data and the conclusions. The results of the study showed that (1) Neville Kobayashi make learning curriculum that combined with music in Elementary School Tomoe Gakuen inspired from Elementary School Seikei where he became the instructor music and the results of his visit in Europe, (2) social and cultural background include indigenous peoples and beliefs, work, education, shelter, and (3) values of education contained is the value of social, moral education, culture, economic and political. Key Words: Novel, Sociology Literature, the value of Education 1. PENDAHULUAN Dunia pendidikan akhir-akhir kini sedang dilanda berbagai peristiwa-peristiwa yang sangat memprihatinkan. Bila kembali mengingat peristiwa yang dialami oleh Muhammad Dahrul, guru di SMK N 2 Makassar yang dipukul oleh salah satu wali murid siswanya (lihat Tribun Makasar.com, 10 Agustus 2016). Hal tersebut menjadi evaluasi dan tanggung jawab bagi seluruh lapisan, bukan hanya sekedar tugas serta kewajiban guru ataupun pihak sekolah saja. Peran orang tua, pemerintah, dan masyarakat memiliki porsi yang sama dalam menyukseskan realisasi pendidikan nyata. Bila seluruh elemen saling bersinergi, permasalahan-permasalahan dilingkup pendidikan dapat teratasi. Oleh karena itu, pondasi awal yang dapat diperkuat adalah komunikasi serta tindakan perbaikan secara berlanjut baik guru dengan kepala sekolah dan para guru, guru dengan murid, dan guru dengan orang tua murid. Refleksi yang dapat dilakukan adalah melalui karya sastra seperti novel. Nurgiyantoro (2010: 10) mengemukakan karena pengertian novel tersebut berkaitan dengan unsur intrinsik karya fiksi. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi salah satu unsur intrinsik, yakni perilaku tokoh. Melalui identifikasi perilaku tokoh dari novel yang dibaca dapat diambil hikmah dalam berperilaku dan bertindak positif dalam kehidupannya. Latar belakang yang ditampilkan dalam karya sastra meliputi: tata cara kehidupan, sikap, upacara adat dan agama dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan lain sebagainya (Waluyo, 2002: 51). Novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyonagi merupakan salah satu novel kisah nyata yang dialami pengarangnya mengenai gambaran konsep pendidikan yang tidak “lazim” diterapkan saat Totto-cha sebagai tokoh utama bersekolah di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen. Mr. Kobayashi sebagai kepala sekolah adalah pemeran utama penciptaan konsep tersebut. Tentu sebelum hal tersebut dilakukan, perlu adanya kemantapan dengan melakukan riset-riset yang telah dilakukannya dengan berkunjung, menelaah, dan mengajukan berbagai pertanyaan dengan para pendidik dibeberapa sekolah-sekolah di Eropa dan metode dari Haruji Nakamura di Sekolah Dasar Seikei tempat Mr.Kobayashi menjadi instruktur musik. Pertentangan yang pernah dialami oleh Mr. Kobayashi saat berjuang membangun Sekolah Dasar Tomoe Gakuen membuahkan hasil khususnya bagi murid-murid yang pernah bersekolah di sana, salah satunya Totto-chan, sang penulis novel. Selain itu, novel tersebut juga memberikan keterbukaan pemikiran dan evaluasi bagi pembaca khususnya dalam bidang pendidikan. Salah satu keputusan yang dibuat oleh Mr. Kobayashi yang mendapat pertentangan beberapa wali murid adalah saat pelajaran berenang dan semua murid berenang tanpa menggunakan pakaian. Tentu hal ini dilakukan dengan alasan bahwa sekolah tersebut terdapat murid yang menderita polio sehingga Mr. Kobayashi ingin menumbuhkan motivasi murid bahwa tidak ada perbedaan fisik diantara mereka. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini, menurut Teeuw (1982: 18-26) terdapat empat cara yang mungkin dilakukan, yaitu a) afirmasi (dengan cara menetapkan norma-norma yang sudah ada), b) restorasi (sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang berlaku), dan d) inovasi (dengan mengadakan pembaruan terhadap norma yang ada). Hal menarik lainnya adalah latar waktu yang terjadi dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah saat terjadinya peristiwa peperangan antara Jepang dan Amerika, hingga akhirnya Sekolah Dasar Tomoe Gakuen terbakar akibat terkena bom dari pesawat pembom B29. Mr. Kobayashi termasuk orang yang dihormati di Departemen Pendidikan. Terbukti di zaman tersebut sangat sulit sekolah dasar yang tidak konvensional dapat izin operasi dari penguasa Jepang di masa perang, tetapi Tomoe Gakuen dapat bertahan dengan jumlah murid lima puluh disebabkan Mr. Kobayashi tidak pernah mengizinkan sekolah tersebut difoto dan sistemnya yang tidak konvensional dipublikasikan sehingga luput dari perhatian. Selanjutnya, Ratna (2013: 11) mengemukakan bahwa analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing. Sama halnya dengan novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, pengarang menyajikan beragam kisah dalam memfungsikan sastra terhadap struktur sosial. Seperti harapan yang disampaikan oleh pengarang “Aku yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti Tomoe, kejahatan dan kekerasan yang begitu sering kita dengar sekarang dan banyaknya anak putus sekolah akan jauh bekurang. Di Tomoe tak ada anak yang ingin pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai. Dan di pagi hari, kami tak sabar ingin sampai ke sana”. Selain itu, novel Totto- chan: Gadis Cilik di Jendela juga menjadi buku wajib untuk pendidikan, hal ini menggambarkan bahwa sebagian pembaca sependapat dengan apa yang dirasakan maupun diperjuangkan oleh Mr. Kobayashi. Terdapat empat pengertian dasar yang perlu dipahami dalam pendidikan, yaitu (1) pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik mencapai pribadi yang dewasa, (2) pendidikan merupakan perbuatan yang manusiawi, (3) pendidikan merupakan hubungan antarpribadi pendidik dan anak didik yang akan melakukan tanggung jawab pendidikan, (4) tindakan atau perbuatan mendidik menuntun anak didik mencapai bagian-bagian tertentu. Keempat pengertian dasar pendidikan ini sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2009: 5). Dalam penelitian ini, diulas tentang (1) pandangan dunia pengarang mengenai eksisteni sekolah Tomoe Gakuen karya Tetsuko Kuroyanagi, (2) latar sosial dan budaya yang dilukiskan pengarang dalam novel, dan (3) nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. 2. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis maupun lisan. Adapun hal-hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah mengenai pandangan dunia pengarang, sosial dan budaya yang digambarkan pengarang, dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, cetakan kelima belas Januari 2014 dengan tebal 272 halaman. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik studi pustaka yakni membaca keseluruhan teks novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Selanjutnya, dilakukan teknik catat yakni mencatat data-data yang ditemukan berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan pendidikan lalu dianalisis. 3. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1) Pandangan Dunia Pengarang Terhadap Eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakuen dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela Pandangan Tetsuko Kuroyanagi mengenai eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakoen dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela mengungkapkan gambaran kurikulum pendidikan yang dibuat oleh Mr. Kobayashi. Inspirasi pertama yang ingin diterapkannya saat menjadi intruktur musik di Sekolah Dasar Seikei yang didirikan oleh Haruji Nakumura yang berprinsip bahwa pendidikan dasar anak adalah yang paling penting. Ia selalu membatasi jumlah muridnya dan mempraktikan kurikulum yang cukup bebas untuk mengembangkan kepribadian setiap anak dan membangkitkan harga diri mereka. Selanjutnya, Baron Iwasaki menawarkan Mr. Kobayashi untuk belajar metode-metode pendidikan di Eropa setelah terkesima menyaksikan operet muridmurid Seikei yang naskahnya ditulis Mr. Kobayashi. Setelah melakukan kunjungan dan pengamatan mengenai metode pembelajaran dibeberapa sekolah di Eropa. Mr. Kobayasahi mendirikan taman kanak-kanak lalu sekolah dasar Tomoe Gakuen, dan Asosiasi Euritmik Jepang. Arti kata tomoe adalah simbol kuno yang berbentuk koma. Kepala sekolah memilih lambang tradisional yang terdiri dari dua, yaitu tomoehitam dan putih yang bergabung membentuk lingkaran sempurna. Lambang menggambarkan cita-cita kepala sekolah bagi para muridnya yakni tubuh dan pikiran sama-sama berkembang secara seimbang dan dalam keselarasan yang sempurna. “Anak-anak itu tak menyadari bahwa sambil berjalan-jalan-yang bagi mereka seperti acara bebas dan main-main-sebenarnya mereka mendapat pelajaran beharga tentang sains, sejarah,dan biologi (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 51)”. Hal menarik yang dituturkannya kepada guru-guru yang mengajar disekolahnya agar membiarkan anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan kepribadian dan keinginan, guru berperan untuk mengarahkan dan memperkuat perkembangan tiap anak didik seperti kutipan di atas. Di Sekolah Tomoe Gakuen terdapat pelajaran berjalan-jalan dengan menyelipkan pertanyaan yang diajukan oleh guru mengenai sesuatu yang mereka lewati atau lihat seperti saat guru meminta para murid melihat bunga sesawi dan menjelaskan tentang putik dan benang sari serta proses kupu-kupu membantu bunga menyerbukkan benang sari ke putik. Belajar secara langsung inilah yang menjadi perhatian agar para murid tidak sekedar imajinasi dengan yang disampaikan oleh guru. Paparan awal yang dilukiskan oleh pengarang adalah mengenai proses pembelajaran di kelas satu sekolah dasar. Hal pertama yang disajikan adalah mengenai suasana ruang belajar di Tomoe Gakoen yang dibuat dibekas gerbong kereta yang diharapkan dapat menimbulkan imajinasi pada peserta didik, hal ini terbukti pada Totto-chan yang berasa belajar yang dilakukan ibarat sedang melakukan perjalanan yang menyenangkan. Usia sekolah dasar merupakan proses transisi perkembangan anak. Oleh sebab itu, diharapkan dengan suasana belajar yang jarang ditemui tersebut dapat meningkatkan daya imajinasi, kreativitas, motivasi, dan prestasi belajar. Pembelajaran yang secara terus menerus di kelas akan menimbulkan kejenuhan bila tidak diantisipasi dengan berbagai aspek pendukung seperti metode pembelajaran, tata ruangan, pengaturan tempat duduk peserta didik, dan lain sebagainya. Proses pembelajaran yang dibuat adalah bebas dan mandiri. Peserta didik kelas satu belum dibuat belajar mandiri secara penuh. Di awal jam pembelajaran guru membuat daftar soal dan pertanyaan yang akan diajarkan pada hari tersebut dan peserta didik diberikan kebebasan memilih yang disukai sedangakan pendidik akan mendatangi peserta didik yang ingin berkonsultasi lalu menyampaikan penjelasan dan memberikan latihan-latihan lain untuk dikerjakan sendiri. Tahap ini membantu pendidik mengetahui bidang yang diminati, cara berpikir, dan karakter yang dimiliki oleh peserta didik seperti kutipan berikut ini. “Aku mencoba menjelaskan metode pendidikan Mr. Kobayashi di buku ini. Dia yakin, setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bias rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan “watak baik” setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas (Tottochan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 251)”. Kepala sekolah memasukan euritmik dalam kurikulum sekolahnya, diyakini sistem tersebut akan berhasil membantu anak-anak dalam mengembangkan kepribadian secara ilmiah. Euritme merupakan pendidikan tentang ritme khusus yang diciptakan oleh seorang guru musik dan pencipta lagu kebangsaan Swiss, Emile Jaques-Dalcroze. Sistem yang menekankan kata-kata tertulis dan cenderung menyempitkan persepsi duniawi anak-anak terhadap alam juga tidak diterapkan oleh kepala sekolah. Selanjutnya, salah satu yang terlihat adalah sekolah yang dibangunnya menerima peserta didik yang memiliki kekurangan secara fisik yakni penderita polio. Mr. Kobayashi memberikan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa saling menghargai terhadap sesama. Tindakannya terlihat saat pembelajaran berenang, agar peserta didik tidak merasa ada yang berbeda secara fisik, Mr. Kobayashi meminta semua siswa berenang tanpa busana. Hal ini mendapat pertentangan dari para wali peserta didik, tetapi hal yang dilakukannya berdampak tumbuhnya rasa percaya diri bagi peserta didik penderita polio. “Ia ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara murid-murid Tomoe, ada anak yang menderita polio, seperti Yasuaki-chan, yang badannya sangat kecil, atau yang cacat. Kepala sekolah berpendapat jika mereka telanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri. Pendapatnya terbukti. Mula-mula anak-anak yang cacat merasa malu, tapi perasaan itu segera hilang, dan akhirnya mereka benar-benar berhasilmenghilangkan rasa malu mereka (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 72-73)”. Seorang pendidik juga menunjukkan kesantutan dalam berperilaku maupun tutur kata kepada siapapun. Permasalahan ini kirannya masih belum mendapat perhatian yang serius. Peserta didik tanpa disadari akan mengamati, menyimak, dan meniru apapun yang ada dalam diri seorang pendidik. Oleh sebab itu, diharapkan hal tersebut dapat menjadi kebutuhan sekaligus kewajiban khususnya bagi para pendidik sebagai panutan. Seperti yang dicontohkan Mr. Kobayashi yang selalu memberikan kepercayaan dan kebanggaan pada peserta didik diantaranya saat Totto-chan dianggap anak yang tidak baik, tetapi Mr. Kobayashi menyampaikan sudut pandangnya dan memberikan pemahaman dengan tuturan yang santun meskipun ia sedang berbicara dengan muridnyakelas dua sekolah dasar seperti kutipan di bawah ini. “Apa yang Kepala Sekolah ingin agar dimengerti oleh Totto-chan adalah sesuatu yang seperti ini: “Ada orang yang mungkin berpendapat kau bukan anak baik dalam hal-hal tertentu, tapi watakmu yang sesungguhnya tidak buruk. Banyak watak baik dalam dirimu dan aku tahu itu (,Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 189)”. Hubungan antara pihak sekolah, pendidik, peserta didik, dan wali peserta didik ditumbukan dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah aturan di Tomoe Gakuen mewajibkan peserta didik membawa bekal makan siang dari laut dan pegunungan sehingga membuat orang tua akan ikut berperan mempersiapkannya. Tanpa disadari peserta didik saling berunjuk bekal hasil buatan orang tuanya. Tujuan dari hal tersebut adalah agar orang tua ikut berperan dalam memberikan makan sehat dan bergizi bagi anaknya. Bila ada bekal peserta didik yang belum memenuhi dari laut atau pegunungan, Mr. Kobayashi akan meminta istrinya untuk memberikan makanan yang belum lengkap. Disisi lain yang akan mengesankan adalah bahwa anak akan senang dibawakan bekal yang dipersiapkan oleh orang tuanya seperti yang dirasakan oleh Tottochan pada kutipan berikut ini. “Hal berikutnya yang membuat Totto-chan senang adalah ketika dia mulai menyantap bekal buatan Mama, rasanya sungguh berat (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 45)”. Sebagian dari orang tua yang bekerja tentu menyiapkan bekal anak salah satu urusan yang menyita waktu sehingga beberapa diantaranya akan memilih memberikan uang saku kepada anak agar dapat membeli makanan maupun minuman. Kebiasaan mengkonsumsi jajan yang hanya enak dan menggiurkan mata, tidak diimbangi dengan perhatian kebersihan dan kesehatan. Bahkan peristiwa yang pernah terjadi Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso mengungkapkan temuan lima kasus makanan dan minuman yang dikonsumsi anak-anak TK telah terkontaminasi narkoba (lihat Merdeka.com, 16 Januari 2017). Melalui tindakan Mr. Kobayashi mengingatkan kembali bagi para pembaca khususnya orang tua dan guru untuk memberikan pemahaman mengenai makanan dan minuman yang sehat serta terdapat upaya dari pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut. b) Latar Belakang Sosial dan Budaya dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (1) Adat dan Kepercayaan Salah satu kepercayaan yang dipaparkan oleh penulis adalah dalam acara jamuan minum teh untuk mengantar keberangkatan atau kepergian seseorang bila menyebut nama kue pemakaman dipercaya akan membawa nasib buruk yang akan terjadi seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini. “Ketika Kepala Sekolah mendengar Migita menyebut kue upacara pemakaman, dia agak kaget. Biasanya, menyebut kue pemakaman dalam acara seperti itu dianggap membawa nasib buruk. Tapi Migita mengatakannya dengan polos, dia hanya ingin berbagi sesuatu yang lezat dengan kawan-kawannya. Mau tak mau Kepala Sekolah tertawa bersama yang lain. Ryo-chan ikut tertawa riang. Bagaimanapun Migita sudah sering sekali berjanji padanya untuk membawakan kue-kue itu (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 244)”. (2) Pekerjaan Pekerjaan yang dikisahkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela meliputi guru, kepala sekolah, komposer, penjual karcis, kepala stasiun, tukang kebun, olahragawan, penyair, petani, serdadu, pegawai pemerintahan, fotografer, pemusik jalanan, pendongeng, pemilik kebun tanaman hias. Salah satu pekerjaan yang diceritakan dalam novel Totto-chan adalah pekerjaan Paman Shuji sebagai fotografer perang seperti kutipan berikut ini. “Film-film yang pernah dikerjakan Paman Shauji, seperti Perang Rabaul, pernah diputar di bioskop-bioskop. Sejak pergi ke medan perang, Paman Shuji hanya mengirimkan film-filmnya, jadi bibi Totto-chan dan sepupu-sepupunya sangat cemas memikirkan Paman Shauji. Fotografer perang selalu memotret pasukan dalam posisiposisi berbahaya. Dengan kata lain, dia harus mendahului pasukan untuk menunjukkan kemajuannya.Itu yang dikatakan kerabat-kerabat Totto-chan yang sudah dewasa (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 238)”. (3) Pendidikan Pendidikan yang dikisahkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela melalui tokoh Mr. Kobayashi adalah jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Berlatar keluarga kurang mampu, membuatnya bekerja keras, berprestasi, tidak patah semangat hingga menjadi guru tetap di Sekolah Dasar di Tokyo. Perjuangannya juga membuahkan hasil, dapat melanjutkan pendidikan di Departemen Pendidikan Musik di Konservatori. Saat bekerja menjadi instruktur musik di Sekolah Dasar Seikei, Mr. Kobayashi mendapat tawaran berkunjung ke Eropa. Tahun 1922 s.d. 1924 Mr. Kobayashi melakukan kunjungan kebeberapa sekolah dan belajar euritmik di Eropa. Sekembalinya, Mr. Kobayashi mendirikan Taman Kanak-kanak lalu tahun 1930 kembali lagi ke Eropa untuk melakukan pengamatan. Tahun 1937 pulang ke Jepang lalu mendirikan Tomoe Gakuen dan Asosiasi Euritmik Jepang seperti kutipan berikut. “Dia anak bungsu dari enam anak pasangan petani miskin. Dia harus bekerja keras sebagai asisten guru setelah menamatkan sekolah dasar. Bisa memperoleh sertifikat yang dibutuhkan untuk menjadi asisten guru itu sungguh suatu prestasi hebat untuk anak seusianya. Kenyataan itu menunjukkan bakatnya yang luar biasa.Tak lama kemudian dia menjadi guru tetap di sebuah sekolah dasar di Tokyo. (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 256)”. (4) Tempat Tinggal Latar yang digunakan dalam novel ini terdiri dari latar geografis dan latar antropologis. Latar Geografis dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela melalui letak sekolah Tomoe Gakuen adalah Tokyo seperti kutipan berikut ini. “Tomoe Gakuen terletak di Tokyo tenggara, tiga menit jalan kaki dari Stasiun Jiyugaoka di jalur Tokyo. Di tempat itu sekarang berdiri supermarket Peacock dan tempat parkir. Sekedar untuk bernostalgia, aku pergi ke sana, meskipun aku tak tahu tak ada lagi yang tersisa dari sekolah itu atau halamannya (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 250)”. (5) Bahasa Penggunaan bahasa yang digunakan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela selain telah dialih bahasakan kebahasa Indonesia adalah menyelipkan bahasa Jepang dan Inggris seperti yang terlihat saat ada murid baru di Tomoe Gakuen yang bernama Miyazaki. Ia lahir dan dibesarkan di Amerika sehingga belum lancar berbahasa Jepang, tetapi para murid tertarik dan antusias dengannya saat berbicara bahasa Inggris dengan lancar seperti terlihat pada kutipan berikut ini “UtsuKushi artinya beautiful,” kata Miyazaki dengan tekanan pada suku kata “ku”. Miyazaki lalu menyadari ucapan bahasa Jepang-nya keliru. “Yang benar utsukuSHII, ya? Ya?” (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 214)”. c) Nilai Pendidikan dalam Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (1) Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial yang disajikan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela terlihat saat terjadi sikap membeda-bedakan tidak saling menghormati dan menyanyangi disebabkan asal tempat tinggal, kelahiran atau lain sebagainnya yang tidak memiliki persamaan. Hal ini yang ingin disampaikan oleh pengarang bahwa sikap menghormati dan perwujudan sikap maupun tutur kata terhadap sesama harus diterapkan dimanapun dan kapanpun. Tokoh Mama saat Toto-chan bersikap tidak baik terhadap temannya disebabkan ia berasal dari asal yang berbeda seperti kutipan berikut ini. “Sambil mengusap air matanya, Mama berkata pelan kepada Totto-Chan. ‘Kau orang Jepang. Masao-chan juga seorang anak, seperti kau. Jadi Totto-chan sayang, jangan pernah membeda-bedakan orang lain. Jangan berpikir ‘Dia orang Jepang, atau dia orang Korea’. Bersikaplah manis kepada Masao-chan. Menyedihkan sekali bila ada yang menganggap orang lain jahat hanya karena dia orang Korea (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 215)”. Penanaman nilai pendidikan sosial perlu ditanamkan mulai usia dini dan berkelanjutan dan bersinergi dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bila terdapat seseorang yang melakukan penyimpangan sosial, orang-orang diliingkungan sekitarnya akan mengingatkan. Tindakan saling mengingatkan inilah yang kini mulai sirna, munculnya perselisihan karena salah paham, saling menghujat, dan memudarkan nilai-nilai leluhur lainnya seakan dibiarkan dan dianggap wajar. Krisis sosial ini tentu perlu kembali menjadi perenungan sehingga perdamaian dan kesejahteraan antara sesama dapat terwujud. (2) Nilai Pendidikan Moral Salah satu nilai pendidikan moral yang dipaparkan oleh pengaran dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah sikap yang ditunjukkan oleh Mr. Kobayashi sebagai kepala sekolah di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen saat menegur salah satu guru. Hal yang dilakukan adalah bukan menegur secara langsung dihadapan para murid atau guru, tetapi di tempat lain yang memungkinkan tidak ada orang lain yang menyaksikan. Tentu bagi yang ditegur tidak akan menimbulkan dampak negatif seperti rendahnya rasa percaya diri dan lain sebagainya karena kesalahannya dibahas di depan umum seperti terlihat pada kutipan berikut ini. “Totto-Chan tak pernah lupa bagaimana Kepala Sekolah memarahi wali kelasnya di dapur, bukan di ruang guru atau di depan guru-guru lain. Itu menunjukkan bahwa dia pendidik dalam arti sebenar-benarnya. Meski demikian, ketika itu Totto-chan belum mengerti sepenuhnya. Suara dan kata-kata Mr. Kobayashi selamanya akan terpatri di hatinya (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 170)”. Selanjutnya, nilai moral yang ditunjukkan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah adanya kegiatan yang dirancang dan diorganisir secara nasional untuk sekolah dasar untuk berkunjung ke rumah sakit yang merawat serdadu-serdadu terluka akibat peperangan. Tindakan tersebut sebagai bentuk rasa peduli dan ungkapan terima kasih karena telah berjuang merelakan jiwa dan meninggalkan keluarga yang dicintai demi mempertahankan tanah kelahiran dan melindungi puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang mungkin saja ia tak kenal. Melihat yang dilakukan anak-anak sekolah dasar yang menjenguk, bernyanyi, dan membacakan karangan membuat para serdadu senang, terharu, bahkan ada yang sampai menangis seperti kutipan berikut ini. “Apa yang membuat serdadu itu menangis, hanya serdadu itu yang tahu. Mungkin dia punya anak kecil sebaya Totto-chan. Mungkin dia terharu melihat gaya Totto-chan menyanyi dengan manis dan dengan sebaik-baiknya. Atau mungkin dia ingat pengalamannya, ketika dia hampir mati kelaparan di medan perang (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2014: 204)”. (3) Nilai Pendidikan Budaya Masyarakat tidak terlepas dari budaya, begitupun dalam sebuah karya sastra. Budaya dalam suatu masyarakat sangat dijunjung dan dipertahankan sehingga menjadi karakteristik atau jati diri masyarakat tersebut. Ragam nilai pendidikan budaya yang diceritakan oleh pengarang dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela yakni mengenai kebudayaan Jepang yang sangat dijunjung tinggi seperti jamuan minum teh, mencopot sepatu saat masuk ke dalam rumah dan kuil, dan menyapa serta berpisah dengan membungkuk hormat. Pada novel tersebut terlihat saat budaya Jepang dan Amerika dipertemukan melalui tokoh Totto-chan dan Miyazaki seperti kutipan di bawah ini. “Miyazaki membungkuk hormat di depan kawan-kawan sekelasnya, yang semuanya berperawakan lebih kecil darinya. Dan semua anak lain, bukan hanya yang sekelas dengan Ta-chan, membalas membungkuk hormat (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela 2014: 213)”. Kutipan di atas menyuratkan bahwa setiap orang yang memiliki budaya tertentu saat berada disuatu lingkungan yang memiliki budaya tertentu alangkah bijaknya menghormati dan menghargai budaya tersebut. Miyazaki yang berasal dari Amerika saat bertemu atau berpisah dengan seseorang dapat hanya dengan saling berhadapan, berjabat tangan, memeluk, dan lain sebagainya. Saat dia bersekolah di Tomoe, ia mengikuti budaya yang ada yakni dengan membungkuk hormat. Salah satu sikap yang ditunjukkan oleh tokoh tersebut merefleksi kepada pembaca bahwa pentingnya meningkatkan sikap-sikap positif dalam budaya-budaya suatu masyarakat maupun negara. (4) Nilai Pendidikan Ekonomi Nilai pendidikan ekonomi diakibatkan peperangan yang terjadi membuat Papa Totto-chan dan kawan-kawannya sepinya konser musik yang berakibat pengaruh pendapatan yang diperoleh sehingga berdampak kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tanggannya. Tawaran memainkan musik peperangan di pabrik amunisi dengan imbalan beras, gula, dan kebutuhan lainnya ditolak Papa Totto-chan karena memainkan lagu tersebut tidak disukai oleh Papa Totto-chan yang baru dianugrahi hadiah musik yang bergengsi sebagai pemain biola. Selain itu, bahan-bahan pangan sulit diperoleh dipasar ataupun toko. Hal ini diduga untuk memenuhi kebutuhan pangan para pria dan pemuda di medan perang seperti terlihat pada kutipan berikut ini. “Konser-konser musik semakin jarang. Semakin banyak musisi yang yang dipanggil ke medan perang. Orkestra kekurangan pemain. Siaran radio hampir seluruhnya digunakan untuk menyiarkan program-program yang berkaitan dengan perang. Tak ada lagi cukup pekerjaan bagi Papa dan kawan-kawannya. Seharusnya dia menerima kesempatan untuk memainkan sesuatu (Totto-Chan, 2014: 232)”. Permasalahan ekonomi juga dipaparkan pengarang melalui tokoh Papa Totto-chan. Peperangan yang terjadi menimbulkan berbagai dampak negatif seperti permasalahan ekonomi. Krisis bahan makanan serta isi mesin penjual otomatis pun sulit ditemukan. Diduga bahan makan tersebut untuk memenuhi kebutuhan para serdadu di medan perang. Pendapatan masyarakat juga terancam disebabkan tidak stabilnya keadaan karena tiap saat dihampiri rasa kecemasan. Inilah salah satu gambaran dampak ekonomi yang ditimbulkan dari situasi perang. (5) Nilai Pendidikan Politik Pada masa itu hubungan pemerintahan negara Jepang dan Amerika tidak baik hingga terjadi peperangan dan bom terjadi dimana-mana hingga berakibat membuat Sekolah Dasar Tomoe Gakuen dan kecemasan bagi penduduk Jepang hingga harus mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Tidak sinergi hubungan kedua belah pihak negara, tidak terjadi di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen. Mr. Kobayashi tidak mengajarkan permusuhan yang terjadi saat ada murid baru yang berasal dari Amerika bersekolah di sekolah tersebut. Nilai pendidikan politik tercermin seperti kutipan berikut. “Amerika itu setan,” pemerintah mengumumkan. Tapi di Tomoe, anak-anak sering berseru serentak, “Utsukushii artinya beautiful (Totto-Chan, 2014: 215)”. Kutipan di atas menggambarkan terdapat dua persepsi mengenai Amerika bagi pemerintahan dan Sekolah Dasar Tomoe. Permasalahan politik antara kedua negara, tidak diberlakukan dalam lingkungan pendidikan. Mr. Kobayashi tetap menunjukkan rasa hormat dan tidak membedakan terhadap muridnya yang berasal dari Amerika. Bahkan ia mengajarkan kepada murid dan guru yang lainnya melakukan hal yang sama. Hal inilah yang menjadi nilai lebih dari sosok Mr. Kobayashi. Apabila ia begitu saja sependapat dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah bisa jadi ia melakukan hal yang berbeda kepada muridnya, misalnya tidak mengizinkan untuk bersekolah di Tomoe. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, kajian sosiologi sastra dan nilai pendidikan dalam novel Tottochan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Pandangan dunia pengarang terhadap eksistensi Sekolah Dasar Tomoe Gakuen dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah terinsipirasi dari metode pendidikan di Sekolah Dasar Seikin yang didirikan oleh Haruji Nakamura dan negara Eropa yakni mengkombinasikan pelajaran, musik, dan kegiatan-kegiatan tambahan seperti bertani, berjalan-jalan, mengunjungi serdadu, mendengarkan cerita, berenang, dan lain sebagainya. 2. Latar belakang sosial dan budaya masyarakat yang terdapat dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah berkaitan dengan adat dan kepercayaan, bahasa, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. 3. Nilai-nilai pendidikan yang ditemukan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela adalah nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan ekonomi, dan nilai pendidikan politik. DAFTAR PUSTAKA Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Paradigma Sosiolgi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tetsuko, Kuroyanagi. 2014. Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: Gramedia. Waluyo, Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.