2 air laut. Klasifikasi lengkap tanaman kakao termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo Malvales, famili Sterculiaceae, genus Theobroma, dan spesies Theobroma cacao L (Tjitrosoepomo 1988). Tanaman kakao bukan tanaman asli Indonesia, melainkan tanaman yang berasal dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan yang dibawa masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh bangsa Spanyol sekitar tahun 1560. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Irian Jaya (Deptan 2007). Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan komoditas kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization 2003). Kakao bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara (Depperin 2007). Kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 1.1 juta kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Perkebunan kakao juga memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US$ 546 juta. Atas dasar pentingnya peran kakao di Indonesia, maka pemerintah menetapkan kakao sebagai salah satu komoditas dalam revitalisasi perkebunan (Deptan 2007). Tanaman kakao di Indonesia memiliki prospek yang cerah karena diperkirakan kebutuhan kakao dunia akan terus meningkat. Peningkatan permintaan kakao tersebut disertai permasalahan besar dalam pembudidayaannya. Masalah besar yang dapat menurunkan produksi kakao adalah serangan penggerek buah kakao (PBK) dan pembungaan yang tidak konsisten dengan layu pentil (Deptan 2007). Salah satu aspek fisiologis yang penting dalam peningkatan produksi buah kakao adalah tingginya tingkat layu pentil, terutama yang terjadi saat awal pembentukan buah. Layu pentil merupakan penyakit fisiologis yang disebabkan oleh persaingan nutrisi antara pentil dengan organ lain yang sedang tumbuh aktif yang mengakibatkan kegagalan proses embriogenesis dan perkembangan buah. Hasil penelitian Tjasadihardja (1987), menunjukkan bahwa pertunasan sangat erat hubungannya dengan tingkat layu pentil. Tunas baru yang terbentuk merupakan pesaing yang sangat kuat bagi buah muda dalam menggunakan asimilat. Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m. Walaupun dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5 m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif (Putri 2004). Pohon kakao menghasilkan buah berbentuk bulat memanjang yang tumbuh dari bunga yang diserbuki. Buah terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang yang di dalamnya terdapat biji (Gambar 1). Gambar 1 Pohon kakao. Bunga pada tanaman kakao terbentuk sepanjang tahun tetapi intensitas pembentukannya beragam dari waktu ke waktu. Pembentukkan bunga ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu genetis, umur, dan lingkungan tumbuh. Faktor genetis berpengaruh hingga pada tingkat klon (progeni) yang menyebabkan terbentuknya keragaman jumlah bunga pada masingmasing klon. Pembentukan bunga karena faktor umur, biasanya pada tanaman yang semakin tua, akan semakin banyak bunga 3 yang terbentuk dan keragaman bunganya lebih tinggi dari pada tanaman yang lebih muda. Kontrol lingkungan (lamanya hari dan suhu) mendorong transisi dari sel yang sedang aktif membelah menjadi sel bunga. Pembentukan bunga dimulai dengan mekanisme yang kompleks dari pembentukan kelopak bunga, daun bunga, benang sari, dan putik. Gen penanda meristem mengubah sel yang sedang aktif membelah dengan cepat menjadi sel bunga (Brian 2003). Gambar 3 Promotor gen eukariot. Promotor Gen Gen prokariot secara umum tersusun atas promotor, bagian struktural, dan terminator. Promotor gen adalah urutan DNA spesifik yang berperan mengendalikan transkripsi gen struktural dan terletak di sebelah hulu (upsteam) dari bagian struktural suatu gen. Bagian promotor menjadi tempat awal pelekatan enzim RNA polimerase yang melakukan transkripsi bagian struktural (Yuwono 2005). Bagian penting promotor pada prokariot disebut sebagai Pribnow Box pada urutan nukleotida -10 pb dan -35 pb, biasanya berupa TATA-Box. TATA-Box merupakan bagian DNA yang banyak mengandung basa timin dan adenin (Gambar 2) (Murray et al. 2003). Promotor gen eukariot tertentu, ada yang memiliki beberapa exon, yaitu bagian yang akan mengkode protein atau biasa disebut open reading frame (ORF) dan ada yang tidak ditranslasi menjadi protein tetapi berperan dalam proses transkripsi (untranslated region). Hasil transkripsi seringkali juga membawa sekuen yang disebut sebagai intron, yang terdapat pada bagian ORF atau pada bagian untranslated region. Secara bertahap intron akan dibuang dari hasil transkripsi yang terbentuk dan exon yang ada akan digabungkan membentuk mRNA yang siap untuk ditranslasi menjadi protein (Gambar 4). Gambar 4 Bagian struktur promotor eukariot. Gambar 2 Promotor gen prokariot. Promotor pada eukariot lebih kompleks dibandingkan dengan promotor pada prokariot. Pada eukariot, promotor digunakan untuk menguraikan semua urutan penting di dalam inisiasi transkripsi suatu gen. Berbagai gen yang ada dalam genom inti ditranskripsi oleh salah satu dari tiga jenis enzim RNA polimerase. RNA polimerase I dan III bertanggung jawab untuk mensintesis rRNA dan tRNA, sedangkan RNA polimerase II bertanggung jawab untuk mentranskripsi gen yang mengkode suatu protein tertentu (Gambar 3) (Brown 2002). Pengklonan dengan Sistem Gateway Sistem pengklonan dengan sistem Gateway pada dasarnya bergantung pada dua reaksi yaitu, rekombinasi BP dan LR. Sistem pengklonan Gateway Site-Specific Recombination (SSR) dikomersialisasikan oleh Invitrogen. Metode ini mengkonstruksi gen sisipan yang terlebih dahulu diklon ke dalam vektor donor (pDONR) dan kemudian ditransfer ke dalam vektor destinasi (pDEST) dengan rekombinasi situs spesifik. Teknologi ini merupakan penerapan reaksi rekombinasi situs spesifik yang dapat balik (reversible). Penamaan reaksi BP dan LR didasarkan pada singkatan B dari bakteri dan P (phage) sedangkan L (left) dan R (right). Reaksi BP terjadi pada saat penggabungan situs attP yang berukuran 242 4 pb dari faga lamda dan situs attB yang berukuran 25 pb dari rekombinasi Escherichia coli dan genom faga lamda yang disambungkan ke genom E. coli. Hasilnya genom faga diikat oleh attL yang berukuran 100 pb dan attR yang berukuran 168 pb (Lampiran 4). Kebalikannya faga lamda dipotong dari genom E. coli dengan rekombinasi di antara situs attL dan attR dalam reaksi LR. Reaksi ini merekombinasikan gen sisipan yang diikat oleh situs attL dengan vektor destinasi yang membawa situs attR. Hasilnya gen sisipan diikat oleh dua situs yakni situs attB1 dan attB2 yang selanjutnya disebut klon ekspresi (Lampiran 5) (Hartley et al. 2000). Reaksi BP dikatalisis oleh enzim BP klonase yang terdiri atas integrase faga (Int) dan IHF (Integration Host Factor). Campuran BP klonase memindahkan DNA sisipan ke dalam vektor donor yang menghasilkan suatu klon entri (pENTR) dan diikat oleh dua situs attL. Entri klon merupakan substrat kunci dalam reaksi LR yang dikatalisis oleh campuran LR klonase yang terdiri atas integrase faga (Int), IHF (Integration Host Factor), dan eksisionase (Xis). Campuran LR klonase mentransfer DNA sisipan yang diikat oleh situs attL ke dalam vektor destinasi (pDEST) yang membawa situs attR (Karimi et al. 2007). Setelah pencocokan rekombinasi situs attL dan attR, DNA sisipan dimasukkan ke dalam klon ekspresi (pEXPR) dan diikat kembali oleh situs attB1 dan attB2. Vektor donor (pDONR), klon entri (pENTR), vektor destinasi (pDEST), dan klon ekspresi (pEXPR) merupakan bagian yang diadopsi oleh pengguna gateway untuk memasukkan dan mengeluarkan plasmid di dalam reaksi klonase (Karimi et al. 2007). Hasil rekombinasi dengan sistem gateway dapat dengan mudah diseleksi dengan seleksi positif (resisten terhadap antibiotik) dan seleksi negatif (gen sitotoksik ccdB) yang akan menghambat pertumbuhan E. coli yang telah disisipi salah satu vektor (Magnani et al. 2006). Gen sitotoksik ccdB terdapat pada vektor donor dan vektor destinasi. Pada saat reaksi rekombinasi BP, ccdB akan tertukar dengan gen sisipan sehingga vektor yang tidak tersisipi gen akan mati karena adanya ccdB. Pada reaksi rekombinasi LR, gen sisipan yang telah diikat oleh situs attL akan tertukar dengan gen ccdB yang telah diikat oleh situs attR pada vektor destinasi (Bernard & Couturier 1992). Sistem gateway memiliki banyak keuntungan diantaranya kloning berlangsung cepat dengan efisiensi yang tinggi dalam mentransfer sekuen DNA ke dalam berbagai sistem vektor untuk ekspresi protein dan analisis protein. Multisite gateway memungkinkan penggunaan dan ekspresi berbagai tipe DNA sekuen (misalnya hasil PCR, klon cDNA, dan fragmen restriksi) (Lampiran 6). Keuntungan lain sistem gateway, yaitu memudahkan akomodasi transfer sejumlah besar sekuen DNA ke dalam berbagai vektor destinasi (Invitrogen 2008). Modifikasi pengklonan gateway juga sering dilakukan untuk tujuan memperkirakan Open Reading Frame (ORF) yang menyandi protein dalam vektor entri untuk mencegah keberadaan atau penambahan muatan sekuen. Penambahan muatan sekuen yang sering kali tinggi setelah rekombinasi dapat mempengaruhi fungsi protein (Dubin et al. 2008). Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis dan sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik (Yuwono 2006). Metode yang dikembangkan oleh Kary B. Mullis ini akhirnya mendapatkan hadiah nobel di bidang kimia pada tahun 1993. Metode PCR sangat sensitif, sensitivitas tersebut dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA (Jonas 2003). Instrumen PCR digunakan untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer forward dan primer yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polimerase (Muladno 2002). Komponen yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah (1) DNA target (template), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan 5 untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006). Bufer berfungsi menjaga kestabilan pH selama proses PCR berlangsung, menjaga kekuatan ionik, dan suhu penempelan primer (annealing) pada DNA target. Bufer yang umum digunakan terdiri dari KCL dengan konsentrasi 50 mM dan Tris-HCL 10 mM. Bufer memiliki pH 8.3 pada suhu 25oC (Kolmodin & Williams 1997). Reaksi PCR pada dasarnya adalah tiruan dari proses replikasi DNA, yaitu adanya pembukaan rantai DNA utas ganda, penempelan primer, dan pemanjangan rantai DNA baru oleh DNA polimerase dari arah 5’ ke 3’. Satu siklus pada teknik PCR terdiri atas tiga tahap (Gambar 5), yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi. Denaturasi dilakukan pada suhu 90o-95oC sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Selanjutnya tahap annealing, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida pada sekuens yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Suhu annealing tiap sekuens DNA bersifat spesifik dan merupakan faktor penentu keberhasilan suatu reaksi PCR, sedangkan tahap terakhir adalah ekstensi. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72oC. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase (Yuwono 2006). Pada tahap ini terjadi sintesis DNA komplemen dengan DNA cetakan. Ketiga tahapan tersebut dilakukan berulang kali dalam mesin PCR, pada umumnya antara 25-30 kali (siklus) bergantung dari jumlah DNA yang diinginkan sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerisasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono 2006). Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Sedikitnya diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam genom mamalia agar hasilnya dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarosa (Sambrook et al. 1989). Gambar 5 Proses Polymerase Chain Reaction (PCR). Agrobacterium tumefaciens Bakteri Agrobacterium tumefaciens merupakan bakteri tanah Gram negatif yang termasuk famili Rhizobiaceae dan anggota dari genus Agrobacterium. Agrobacterium memiliki tiga komponen genetik yang digunakan untuk menginfeksi tanaman. Komponen yang pertama adalah komponen T-DNA yaitu fragmen yang ditransfer ke sel tanaman. T-DNA terletak di plasmid Ti (tumour-inducing) dari Agrobacterium. Komponen kedua adalah virulance (vir) region yang mensintesis protein vir dan komponen ketiga adalah gen chomosomal virulance (chv) yang berfungsi dalam pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman (Tzafira & Citovsky 2002). Langkah awal dalam induksi tumor adalah ketika A. tumefaciens menempel pada permukaan sel tanaman yang disebut kolonisasi bakteri (Gambar 6) (Matthysse1986). Gen asing dapat disisipkan ke dalam plasmid Ti dengan menggunakan teknik DNA rekombinan. Plasmid rekombinan ditransformasikan ke A. tumefaciens yang dapat digunakan untuk menginfeksi sel tumbuhan. Plasmid rekombinan akan menyelipkan dirinya ke dalam kromosom tumbuhan. Hal ini memungkinkan menghasilkan tumbuhan yang mengandung dan mengekspresikan gen asing yang dapat diwariskan ke keturunannya. Plasmid Ti ditemukan pada semua galur A. tumefaciens virulen, berukuran sekitar 200-250 kb, dan stabil pada temparatur di bawah 30oC.