bio.unsoed.ac.id

advertisement
II. TELAAH PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Ciri Morfologis
1. Klasifikasi
Klasifikasi Mystus gulio menurut Kottelat et al. (1993) adalah sebagai berikut:
Regnum
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Classis
: Pisces
Subclassis
: Teleostei
Ordo
: Siluriformes
Familia
: Bagridae
Genus
: Mystus
Species
: Mystus gulio
Nama Indonesia: Lundu, Manyong, Getting, Sengkiran (Saanin, 1984).
2. Ciri Morfologis
Menurut Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993), M. gulio dibedakan dari
Mystus lainnya oleh sirip lemak (adipose fin) yang pangkalnya lebih pendek
daripada pangkal sirip dubur. M. gulio mempunyai deskripsi morfologi tidak
bersisik, memiliki empat pasang sungut, sirip punggung berjari-jari keras yang tajam.
Sirip ekor becagak, sirip dubur pendek. Memiliki 14-15 jari-jari sirip dubur dan
panjang total dapat mencapai 45cm.
Menurut Weber and Beaufort (1965), satu pasang sungut pada maksila
memanjang sampai belakang kepala, satu pasang sungut pada intermaksila agak
pendek dan dua pasang sungut pada rahang bawah adalah yang terpendek. M. gulio
mempunyai gigi kecil-kecil dan meruncing di kedua rahangnya. Warna tubuh bagian
bio.unsoed.ac.id
dorsal hijau kebiru-biruan, sedangkan bagian ventral berwarna keperak-perakan.
B. Habitat dan Distribusi
Spesies ini hidup di muara sungai dan sungai pasang surut dan danau, air
tawar, sering memasuki laut (Talwar dan Jhingran 1991). Spesies M. gulio
ditemukan di DAS Serayu dengan penyebaran di Sundaland mencakup Malaya
(Semenanjung Malaysia dan juga bagian selatan Thailand yaitu Tanah Genting Kra),
Sumatera, Borneo, dan Jawa. India, Indochina meliputi Thailand, Vietnam, Kamboja,
dan Laos (termasuk daerah aliran sungai Mekong dan Chao Phraya) (Kottelat et al.,
1993).
Ikan lundu termasuk euryhalin, hidup dikisaran salinitas 3-30%. Ikan ini
tergolong ikan air tawar, tetapi memijah di mangrove (Genisa dan Burhanuddin,
1998). Jumlahnya dalam tambak cukup banyak, sering pula ditemukan dalam kondisi
matang gonad tetapi belum diketahui apakah dapat memijah di tambak (Nuraeni,
1995).
C. Keragaman Genetik
Keanekaragaman genetik suatu populasi sangat penting karena mempengaruhi
respon populasi baik terhadap seleksi alam maupun seleksi buatan yang dilakukan
oleh manusia. Keanekaragaman bentuk baik bentuk morfologi maupun molekuler,
dikenal sebagai polimorfisme. Tinggi rendahnya keanekaragaman genetik dapat
menentukan kualitas genetik dalam suatu populasi. Keanekaragaman yang tinggi
akan
meningkatkan
ketahanan
populasi.
Keanekaragaman
yang
rendah
mengakibatkan munculnya sifat-sifat negatif antara lain menurunnya pertumbuhan,
keanekaragaman ukuran, kestabilan perkembangan organ, tingkat kelangsungan
hidup, dan daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Learly et al., 1985).
Heterozigositas merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keragaman genetik dalam suatu populasi (Tanabe et al.,1999).
Maeda et al. (1999) menjelaskan bahwa rataan heterozigositas diukur berdasarkan
proporsi heterozigositas per lokus.
Laju
peningkatan
heterozigositas
adalah
akibat
adanya
silang
luar
(outbreeding) yang tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Outbreeding
berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot (individu yang
genotipnya memiliki dua gen atau alel yang berbeda) dan menurunkan proporsi gen
yang homozigot (individu yang genotipnya memiliki dua gen atau alel yang sama)
(Noor, 2000). Baker dan Manwell (1986), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
bio.unsoed.ac.id
mempengaruhi tingginya heterozigot antara lain overdominan (heterosis positif),
perbedaan frekuensi gen antara jantan dan betina, perkawinan yang tidak terpilih
(assortative mating) sedangkan yang mempengaruhi rendahnya heterozigositas
adalah heterosis yang negatif (gen resesif), “silent” alel, perkawinan dengan kerabat
dekat.
5
D. Analisis RAPD
Analisis RAPD tidak dibutuhkan penempelan primer ke DNA secara spesifik
tetapi secara acak. Pemberian primer dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan
penempelan pada sekuens DNA yang salah, tetapi primer berkonsentrasi rendah
dapat mengakibatkan kegagalan dalam proses PCR karena hasil ampifikasi yang
akan diperoleh sangat sedikit (Muladno, 2002).
Analisis RAPD terdiri dari tiga bagian yaitu ekstraksi DNA, PCR, dan
elektroforesis. Ekstraksi DNA yaitu memisahkan DNA dari molekul-molekul lain
yang ada dalam jaringan dengan bantuan senyawa kimia, sehingga diperoleh DNA
template yang murni. Kualitas DNA template yang tinggi akan menjamin
keberhasilan dari teknik RAPD secara keseluruhan (Wirawan, 2007).
PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul
DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA yang baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan
bantuan enzim
oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler (Muladno, 2002). PCR
terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap-tahap denaturasi, annealing (penempelan),
dan extension (pemanjangan).
bio.unsoed.ac.id
6
Download