Draft 12 Desember 2004 BAB 32 PERBAIKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP A. PERMASALAHAN Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya sehingga sumber daya alam senantiasa memiliki peran ganda, yang acapkali dilematik, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain pihak, peran penyerapan tenaga kerja ini telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut dapat digambarkan dalam beberapa permasalahan pokok di bawah ini: Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juta dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Philipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS berkondisi kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan lebih dari 100 DAS dalam kondisi kritis. Hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. Ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Pencemaran lingkungan maupun kerusakan ekosistem di pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun) telah mengakibatkan erosi dan degradasi pantai dan berkurangnya nilai keanekaragaman hayati (biodiversity). Penyebabnya adalah praktik penangkapan ikan yang merusak, penambangan karang dan Bagian IV.32 – 1 Draft 12 Desember 2004 pasir laut, sedimentasi, pencemaran limbah dari daratan, konversi lahan, tumpahan minyak, dan kegiatan lainnya yang bersifat menutup pantai dan perairannya. Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan, khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity). Sampai saat ini 90 jenis flora dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orangutan di Kalimantan menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900 menjadi 20.000 ekor di tahun 2002. Hutan bakau di Jawa dan Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai Jawa Barat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)-nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa terjadi pula di DAS Brantas, ditambah dengan tingginya kandungan amoniak. Limbah industri maupun rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau maupun situ juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Umumnya disebabkan karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan (blooming) karena adanya timbunan senyawa phospat. Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan tingginya sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di perkotaan, juga mengkhawatirkan karena banyak ditemukan bakteri Escherichia coli dan logam berat yang melebihi ambang batas. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun. Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara bersih selama 22 sampai 62 hari saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx). Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons (CFCs), halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan sebagai refrigerant mesin penyejuk udara, lemari es, spray, dan foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon atau ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal Protocol untuk ikut serta mengurangi penggunaan ODS tersebut, namun demikian sulit dilaksanakan karena bahan penggantinya masih langka dan harganya relatif mahal. Bagian IV.32 – 2 Draft 12 Desember 2004 Namun demikian, potensi sumber daya alam yang tersisa masih dapat dikembangkan dan harus dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan daya dukung dan keberlanjutan fungsi lingkungan hidupnya. Kuncinya, antara lain dengan mengatasi kelemahan dan menjawab tantangan di bawah ini: Sistem pengelolaan hutan diperbaiki. Sejak tahun 1970-an hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi melalui ekspor log maupun industri berbasis kehutanan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Saat ini sekitar 28 juta hektar hutan produksi pengelolaannya dikuasai oleh 267 perusahaan HPH atau rata-rata 105.000 hektar per HPH. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara bersamaan. Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat–daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat–Propinsi– Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam peraturan perundangundangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, UNDANG-UNDANG Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan hutan secara ideal, sementara aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak terakomodasi secara jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah menegaskan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, bagi hasil, penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Penegakan hukum terhadap illegal logging dan penyelundupan kayu dilaksanakan. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Kapasitas pengelola kehutanan ditingkatkan. Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Sebagai contoh, jumlah polisi hutan secara nasional adalah 8.108 orang. Hal ini berarti satu orang polisi hutan harus menjaga sekitar 14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak Bagian IV.32 – 3 Draft 12 Desember 2004 memadai karena kondisi yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar (untuk kawasan konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan konservasi di luar Jawa sekitar 5.000 hektar. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah. Hasil hutan non-kayu dan jasa-lingkungan dihargai. Hasil hutan non-kayu dan jasa-lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk kayunya. Diperkirakan nilai hasil hutan kayu hanya sekitar 5 persen dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang secara maksimal. Batas wilayah laut dengan negara tetangga segera diselesaikan. Wilayah laut ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur), Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang batas wilayah negara termasuk lembaga yang memiliki otorita mengatur batas wilayah. Potensi dan wawasan kelautan digarap secara optimal. Sektor kelautan menyumbang sekitar 20 persen dari PDB nasional (2002). Kontribusi terbesar berasal dari migas, diikuti industri maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata bahari, bangunan laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun demikian, bila dibandingkan dengan potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap secara optimal. Kebijakan pembangunan nasional selama ini cenderung terlalu berorientasi ke wilayah daratan. Pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak diberantas. Pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh kapal-kapal domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menyebabkan hilangnya sumber daya ikan sekitar 1-1,5 juta ton per tahun dengan nilai kerugian negara sekitar US$ 2 milyar. Hal ini diperburuk oleh pengendalian dan pengawasan yang belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut. Selain itu, jumlah dan kapasitas petugas pengawas, sistem pengawasan, partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi terkait juga masih lemah. Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bahan peledak dan racun (pothasium) masih banyak terjadi, yang dipicu oleh meningkatnya permintaan ikan karang dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat penting. Pulau-pulau kecil dikembangkan secara optimal. Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau kecil, tetapi umumnya belum dikembangkan secara menyeluruh dan terencana. Pulau kecil, yang didefinisikan sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 Bagian IV.32 – 4 Draft 12 Desember 2004 km² dan jumlah penduduknya kurang dari 200.000 jiwa, sangat rentan terhadap perubahan alam karena daya dukung lingkungannya sangat terbatas dan cenderung mempunyai spesies endemik yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembangunan yang berbeda dengan pulau-pulau besar lainnya. Pada saat ini telah tersusun rancangan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) yang integratif untuk dasar pengembangannya. Kontribusi migas dan hasil tambang ditingkatkan. Penerimaan migas pada tahun 1996 pernah mencapai 43 persen dari APBN, dan pada tahun 2003 menurun menjadi 22,9 persen. Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Cadangan minyak bumi dewasa ini sekitar 9,2 miliar barel dengan tingkat produksi 450 juta barel per tahun. Apabila cadangan baru tidak ditemukan dan tingkat pengurasan (recovery rate) tidak bertambah, maka sembilan tahun lagi cadangan minyak kita akan habis. Cadangan gas-bumi-terbukti tahun 2002 sebesar 90,3 TCF (trillion cubic feet) baru dimanfaatkan setiap tahun 3,0 TCF saja. Rendahnya tingkat pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang selalu siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi supply readiness Indonesia kurang bersaing. Pertambangan mineral seperti timah, nikel, bauksit, tembaga, perak, emas, dan batubara tetap memberikan kontribusi walaupun penerimaannya cenderung menurun. Penerimaan negara dari pertambangan pada tahun 2001 sebesar Rp2,3 triliun, tahun 2002 menjadi Rp1,4 triliun, dan tahun 2003 Rp1,5 triliun. Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan diatasi. Hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus dilalui. Limbah padat dikelola secara sistematis. Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan limbah padat dan sampah domestik secara signifikan, yang akhirnya membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di Jabodetabek umur operasi TPA rata-rata tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel Convention saat ini hanya ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi paparan limbah padat dan B3 terhadap lingkungan. Perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) dicermati. Fenomena kekeringan (El Niño) dan banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6°C akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4, dan NOx dari negara-negara industri maju. Sampai Bagian IV.32 – 5 Draft 12 Desember 2004 tahun 2100 mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan, pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto Protocol, di mana negara-negara industri maju dapat ‘menurunkan emisinya’ melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara berkembang seperti Indonesia. Alternatif pendanaan lingkungan dikembangkan. Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Isu lingkungan global dipahami dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan daerah. Tumbuhnya kesadaran global tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin buruk, telah mendesak seluruh negara untuk merubah paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan 154 perjanjian internasional dan multilateral agreement yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan isu lingkungan global. Indonesia telah meratifikasi 12 konvensi, tetapi sosialisasi dan pemanfaatannya untuk kepentingan nasional belum maksimal. Selain itu, masukan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai konvensi internasional juga masih terbatas mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya manusia, serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut. Kesadaran masyarakat ditingkatkan. Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cumacuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan. B. SASARAN Dengan permasalahan, kelemahan, dan tantangan seperti di atas, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor Bagian IV.32 – 6 Draft 12 Desember 2004 perikanan, kehutanan, pertambangan dan mineral terhadap PDB) dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah, menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud dengan sustainable development adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally sound). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan maupun investasi pembangunan jangka menengah (2005-2009) di seluruh sektor dan bidang yang terkait dengan sasaran pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti di bawah ini: Sasaran pembangunan kehutanan adalah: (1) Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal loging dan penyelundupan kayu; (2) Pengukuhan kawasan hutan dalam tata-ruang seluruh propinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang telah ditata-batas; (3) Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu; (4) Meningkatnya hasil hutan non-kayu sebesar 30 persen dari produksi tahun 2004; (5) Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), seluas 3 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi-hutan; (6) Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 141 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dan sistem penopang kehidupan lainnya; (7) Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tanggung jawab yang disepakati oleh Pusat dan Daerah; (8) Berkembangnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; dan (9) Penerapan iptek yang inovatif pada sektor kehutanan. Sasaran pembangunan kelautan adalah: (1) Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya kelautan; (2) Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulaupulau kecil secara terpadu; (3) Selesainya batas laut dengan negara tetangga; dan (4) Serasinya peraturan perundangan di bidang kelautan. Sasaran pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral adalah: (1) Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi; (2) Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas; (3) Terjaminnya pasokan migas dan produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; (4) Terselesaikannya Undang-Undang Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan; (5) Meningkatnya investasi pertambangan dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (6) Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk pertambangan; (7) Terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; (8) Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber daya mineral; (9) Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; dan (10) Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI). Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: (1) Meningkatnya kualitas air sungai khususnya di seluruh DAS kritis disertai pengendalian dan pemantauan secara kontinyu; (2) Terjaganya danau dan situ, khususnya di Jabodetabek, dengan kualitas air yang memenuhi syarat; (3) Berkurangnya pencemaran air dan tanah di kota-kota besar disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; (4) Terkendalinya kualitas air laut Bagian IV.32 – 7 Draft 12 Desember 2004 melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi wilayah darat dan laut; (5) Membaiknya kualitas udara perkotaan khususnya di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; (6) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (ODS/Ozone Depleting Substances) secara bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; (7) Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; (8) Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan); (9) Meningkatnya upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam manajemen persampahan untuk mengurangi beban TPA; (10) Regionalisasi pengelolaan TPA secara profesional untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Jabodetabek dan kotakota besar lainnya; (11) Mengupayakan berdirinya satu fasilitas pengelolaan limbah B3 yang baru di sekitar pusat kegiatan industri; (12) Tersusunnya aturan pendanaanlingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; (13) Sosialisasi berbagai perjanjian-internasional kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah; (14) Membaiknya sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional; dan (15) Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup. C. ARAH KEBIJAKAN Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Sasaran pembangunan di atas dibuat agar sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Pembangunan kehutanan diarahkan untuk: 1. Memperbaiki sistem pengelolaan hutan termasuk pengawasan dan penegakan hukumnya; 2. Mencapai kesepakatan antar tingkat pemerintahan dalam hal pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan; 3. Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan; 4. Memanfaatkan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya secara optimal. Pembangunan kelautan diarahkan untuk: 1. Mengelola sumber daya kelautan, termasuk pulau-pulau kecil, secara lestari; 2. Membangun sistem pengendalian dan pengawasan; 3. Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak; 4. Membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat; 5. Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar, dan pulau-pulau kecil; 6. Menjalin kerja sama regional dan internasional untuk menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga; Bagian IV.32 – 8 Draft 12 Desember 2004 7. Memperkuat instrumen pendukung pembangunan yang meliputi kapasitas kelembagaan dan peraturan perundangan; dan 8. Meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral diarahkan untuk: 1. Meningkatkan eksplorasi dalam upaya menambah cadangan migas dan sumber daya mineral lainnya; 2. Meningkatkan eksploitasi dengan selalu memperhatikan aspek lingkungan hidup; 3. Meningkatkan peluang usaha pertambangan skala kecil di wilayah terpencil dengan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan hidup; 4. Meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk pertambangan; 5. Menerapkan good mining practice di lokasi tambang yang sudah ada; 6. Merehabilitasi kawasan bekas pertambangan terbuka; dan 7. Menjamin kepastian hukum melalui penyerasian aturan dan penegakan hukum secara konsekuen. Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk: 1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan; 2. Koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah; 3. Meningkatkan upaya penegakan hukum secara konsisten kepada pencemar lingkungan; 4. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah; dan 5. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah kebijakan di atas, maka pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup jangka menengah 2004–2009 akan mencakup program-program sebagai berikut. 1. PROGRAM PEMANTAPAN DAN PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA HUTAN Program ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi hutan secara lebih efisien, optimal, adil, dan berkelanjutan dengan mewujudkan unit-unit pengelolaan hutan produksi lestari dan memenuhi kaidah sustainable forest management (SFM) serta didukung oleh industri kehutanan yang kompetitif. Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi: 1. Pengukuhan kawasan hutan; 2. Penyusunan data potensi sumberdaya hutan dan pembangunan basis-data kehutanan; 3. Penatagunaan hutan dan pengendalian alih fungsi dan status kawasan hutan; 4. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat; 5. Pembinaan kelembagaan hutan produksi; 6. Pengembangan hutan tanaman industri; Bagian IV.32 – 9 Draft 12 Desember 2004 7. 8. 9. 10. 11. Pemasaran dan pengendalian peredaran hasil hutan; Pembinaan industri kehutanan primer; Pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya; Peningkatan nilai tambah dan kualitas hasil hutan; dan Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan peningkatan nilai ekonomi sumberdaya hutan dan hasil hutan. 2. PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN Program ini bertujuan untuk mengelola potensi sumber daya kelautan secara optimal agar dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Kegiatan pokoknya antara lain: 1. Pengembangan sistem MCS (monitoring, controlling, and surveilance); 2. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan; 3. Penegakan hukum; 4. Perumusan kebijakan dan penyusunan aturan tentang pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; 5. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; 6. Peningkatan kapasitas kelembagaan; dan 7. Pengembangan riset dan teknologi kelautan serta riset sumber daya non hayati lainnya. 3. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MIGAS Program ini bertujuan untuk mengelola kegiatan usaha migas agar tetap berperan sebagai sumber penerimaan negara yang penting, meningkatkan investasi di bidang usaha hulu dan hilir, mengembangkan potensi migas secara optimal, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia bidang migas. Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Pembinaan usaha di bidang migas; 2. Perumusan kebijakan harga BBG dan BBM; 3. Pembinaan usaha penunjang migas; 4. Peningkatan kandungan lokal; 5. Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja bidang migas; 6. Pembinaan masyarakat (community development) di wilayah sekitar pertambangan migas; 7. Pengelolaan sumur-sumur minyak; 8. Pembinaan teknis instalasi dan peralatan kegiatan usaha migas; 9. Penyusunan dan evaluasi kegiatan eksplorasi; 10. Pengawasan/monitoring POD (Plan of Development) lapangan; 11. Pengawasan jenis, standar, dan mutu BBM, BBG, gas bumi, bahan bakar lain, serta hasil olahan lainnya termasuk pelumas; 12. Pendidikan dan pelatihan bidang migas; 13. Penyiapan wilayah kerja; 14. Promosi dan penawaran wilayah kerja; 15. Eksplorasi pencarian cadangan migas baru; Bagian IV.32 – 10 Draft 12 Desember 2004 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Peningkatan manfaat gas bumi; Optimalisasi lapangan migas; Pengelolaan sumber daya alam migas pusat dan daerah; Pengelolaan data dan informasi migas; Pemasaran LNG (liquified natural gas) dan CNG (compressed natural gas); Penghapusan subsidi BBM; Pengembangan iklim usaha dan niaga migas; dan Penelitian dan pengembangan migas. 4. PROGRAM PEMBINAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Program ini bertujuan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara melalui usaha pertambangan dengan prinsip good mining practice. Kegiatan pokoknya antara lain: 1. Penyusunan regulasi, pedoman teknis, dan standar pertambangan mineral dan batubara; 2. Pembinaan dan pengawasan kegiatan penambangan; 3. Pengawasan produksi, pemasaran, dan pengelolaan mineral dan batubara; 4. Evaluasi perencanaan produksi dan pemasaran mineral dan batubara; 5. Evaluasi pelaksanaan kebijakan program pengembangan masyarakat di wilayah pertambangan; 6. Evaluasi, pengawasan, dan penertiban pertambangan tanpa ijin (PETI); 7. Bimbingan teknis pertambangan; 8. Pengelolaan data dan informasi mineral dan batubara; 9. Sosialisasi kebijakan dan regulasi bidang pertambangan; 10. Peningkatan penggunaan produksi dalam negeri; 11. Peningkatan nilai tambah hasil pertambangan; 12. Penelitian dan pengembangan geologi, mineral dan batubara; serta 13. Pendidikan dan Pelatihan bidang geologi, teknologi mineral dan batubara. 5. PROGRAM PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM Program ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan dan mengelola kawasan konservasi yang sudah ada untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokoknya antara lain: 1. Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumber daya alam; 2. Perlindungan sumber daya alam dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali terutama di kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; 3. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan; 4. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi sumber daya alam; 5. Perumusan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan dan konservasi sumber daya alam; 6. Pengembangan kemitraan dengan masyarakat setempat, LSM, dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian sumber daya alam; Bagian IV.32 – 11 Draft 12 Desember 2004 7. Pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan melalui pengendalian hama, penyakit, dan gulma secara terpadu yang ramah lingkungan; 8. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumber daya alam; 9. Penyusunan tata-ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam; dan 10. Pengembangan hak-paten jenis-jenis keanekaragaman hayati asli Indonesia dan sertifikasi jenis impor. 6. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMULIHAN CADANGAN SUMBER DAYA ALAM Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumber daya alam, sehingga selain berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan meliputi: 1. Penetapan wilayah prioritas rehabilitasi hutan dan lahan; 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, dan prasarana rehabilitasi hutan dan lahan; 3. Perencanaan dan evaluasi pengelolaan DAS prioritas untuk direhabilitasi; 4. Pengembangan pembibitan bersama masyarakat; 5. Peningkatan efektivitas reboisasi dan penghijauan secara terpadu; 6. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di kawasan hutan, pesisir, perairan, bekas kawasan pertambangan, disertai pengembangan sistem manajemen pengelolaannya; 7. Pengkayaan atau restocking sumber daya pertanian, kelautan, dan perikanan; 8. Rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin pasokan air irigasi untuk pertanian; dan 9. Perbaikan dan revitalisasi situ-situ, khususnya di Jabodetabek. 7. PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup melalui tata kelola yang baik (good environmental government) berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Kegiatan pokoknya meliputi: 1. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan; 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan serta aparatur pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah; 3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pola kemitraan; 4. Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumber daya alam; 5. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup; 6. Peningkatan koordinasi antar lembaga baik di pusat maupun di daerah; 7. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas kasus perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 8. Penerapan perjanjian internasional yang telah disepakati; 9. Upaya pembentukan Komisi Nasional Pembangunan Berkelanjutan; Bagian IV.32 – 12 Draft 12 Desember 2004 10. Pendirian Komisi Keanekaragaman Hayati yang didahului dengan pendirian sekretariat bersama tim terpadu keanekaragaman hayati nasional; dan 11. Penyempurnaan prosedur dan sistem perwakilan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional bidang lingkungan hidup. 8. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS DAN AKSES INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka mendukung perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi: 1. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulau-pulau kecil; 2. Pengembangan valuasi sumber daya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan cadangan mineral; 3. Penyusunan neraca sumber daya alam nasional dan neraca lingkungan hidup; 4. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB Hijau); 5. Penyusunan neraca sumber daya hutan (NSDH), 6. Pendataan dan penyelesaian tata-batas hutan dan kawasan perbatasan dengan negara tetangga; 7. Penyusunan indikator keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 8. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada masyarakat; 9. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan dinamika global dan perubahan kondisi alam, seperti banjir dan kekeringan; 10. Pengembangan sistem informasi terpadu antara sistem jaringan pemantauan kualitas lingkungan hidup nasional dan daerah; dan 11. Sosialisasi hasil konvensi internasional bidang lingkungan kepada para pengambil keputusan di tingkat nasional dan daerah. 9. PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi: 1. Pemantauan kualitas udara dan badan air secara kontinyu dan terkoordinasi antar daerah dan antar sektor; 2. Peningkatan fasilitas laboratorium lingkungan di tingkat propinsi; 3. Penyelesaian kasus pencemaran lingkungan secara hukum; 4. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor transportasi dan energi dalam upaya mengurangi polusi udara perkotaan; 5. Sosialisasi penggunaan teknologi bersih dan eko-efisiensi di berbagai kegiatan manufaktur dan transportasi; Bagian IV.32 – 13 Draft 12 Desember 2004 6. Perbaikan sistem perdagangan dan impor bahan perusak ozon (ODS) hingga akhir tahun 2007 dan menghapuskan ODS pada tahun 2010; 7. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim global pada sektor-sektor tertentu; 8. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan daerah; 9. Peningkatan produksi dan penggunaan pupuk kompos yang berasal dari sampah perkotaan; 10. Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah dan 3R; 11. Pengkajian pendirian perusahaan TPA regional di beberapa kota besar, khususnya Jabodetabek dan Bandung; 12. Upaya pendirian satu fasilitas pengelola B3 baru; 13. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan seperti industri dan pertambangan; 14. Penetapan dana alokasi khusus (DAK) sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan lindung; 15. Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya produksi termasuk pengembangan pajak-progesif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 16. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan limbah, dan teknologi industri yang ramah lingkungan; serta 17. Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang alternatif pendanaan lingkungan seperti DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya. Bagian IV.32 – 14