Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat1 Parsudi Suparlan (Universitas Indonesia) Abstract Pendahuluan Gubernur Sutiyoso yang menggagas dan merencanakan Jakarta untuk menjadi sebuah megapolitan telah memperoleh dukungan pemda Jawa Barat, pemda Banten, dan Pemerintah (Pos Kota 2006). Gagasan Gubernur Sutiyoso ini mencakup provinsi DKI Jakarta sebagai sebuah ibukota negara dan provinsi DKI Jakarta sebagai koordinator wilayah 1 Naskah aslinya disampaikan sebagai makalah dalam Seminar Sehari “Why Megalopolis” P r o g r a m Pascasarjana, Kajian Pengembangan Perkotaan, U.I. dan Pusat Kajian Pengembangan Wilayah dan Perkotaan (PISWIKA), UI, Jakarta, 5 April 2006. 254 penyangga (hinterlands), yaitu kabupatenkabupaten Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Bodetabejur). Ada beberapa masalah kritikal dengan rencana Gubernur Sutiyoso tersebut di atas. Pertama adalah konsep megapolitan, dan kedua adalah pemerintahan provinsi DKI Jakarta sebagai koordinator megapolitan yang mencakup daerah-daerah penyangga (hinterlands). Dari kepustakaan sosiologi perkotaan, geografi, ilmu sejarah perkotaan, dan antropologi perkotaan, saya tidak menemukan adanya konsep megapolitan. Yang ada adalah konsep megalopolis. Mungkin yang dimaksudkan oleh Gubernur Sutiyoso dengan ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 megapolitan adalah kota metropolitan yang besar atau maha besar. Bila memang ini yang dimaksudkannya maka berbagai sarana dan prasarana kota metropolitan Jakarta juga akan menjadi jauh lebih besar, lebih megah, lebih modern, sehingga berbagai sistem pelayanan yang ada di megapolitan Jakarta nantinya akan dapat melayani warga megapolitan secara lebih efisien, lebih murah, dan kehidupan di kota megapolitan ini akan lebih sejahtera dan lebih nyaman daripada sekarang ini. Konsep megapolian, atau metropolitan maha besar, menuntut adanya daerah-daerah penyangga yang secara administratif diatur dan didominasi oleh pemerintahan provinsi DKI Jakarta. Permasalahan yang muncul dari prinsip daerah penyangga bagi kota Jakarta adalah berbagai permasalahan yang muncul dari hakekat hubungan daerah penyangga (Bodetabejur) dengan kota yang disangga (kota Jakarta) sebagai pusatnya. Karena kota adalah pusat pendominasian bagi hinterlkands atau daerah penyangganya. Daerah penyangga yang dimaksud adalah kota-kota yang lebih kecil, pedesaan, dan lingkungan fisik dan alam yang tercakup dalam wilayah administrasinya. Model megapolitan dari Gubernur Sutiyoso ini mirip dengan model megalopolis klasik atau kuno yang berbeda dari model megalopolis modern seperti yang sekarang ada di Amerika Serikat. Tulisan ini, akan menunjukkan apa itu megalopolis klasik dan modern, hakekat hubungan kota dan daerah penyangga, dan diakhiri dengan pembahasan mengenai peluang dan ancaman yang muncul dari adanya megapolitan model Gubernur Sutiyoso. Megalopolis Dalam zaman Yunani kuno, sebuah kota besar atau megalopolis dihasilkan dari perencanaan penyatuan desa-desa dan kotakota kecil, seperti misalnya kota Athena yang Suparlan, Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman besar, yang dihasilkan dari penyatuan desadesa yang terpencar-pencar dan kota-kota kecil dari Attica (Mumford 1961:156). Seperti diketahui, Yunani kuno pada waktu itu telah mengenal sistem demokrasi, dan kota Athena pada waktu itu merupakan sebuah republik yang dipimpin oleh Dewan Kota. Megalopolis dalam zaman kuno ini bukanlah sebuah kota yang mudah untuk dikendalikan. Dalam tulisannya Lewis Mumford (1961:156–157) lebih lanjut menyatakan bahwa kota megalopolis Athena dibangun dengan perencanaan yang dipaksakan sehingga tidak ada bentuk konkrit dari dukungan wilayah penyangganya. Pada waktu demokrasi menjadi lemah, dimana faksi-faksi politik saling konflik, serta adanya ketidakmampuan dewan kota dan birokrasi dalam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan, maka muncul seorang tirani atau emperor yang secara sewenang-wenang menghancurkan tatanan kehidupan megalopolis. Megalopolis hanya menghasilkan kesengsaraan bagi wakyat banyak. Hal yang sama juga dikemukakannya dalam melihat kota kuno Roma, yang juga merupakan sebuah megalopolis (1961:205). Tulisan mengenai megalopolis modern yang ada di Amerika Serikat di bawah ini mengacu pada USIS (nd:32–42) dan Yeates (1990:46–51). Dalam zaman modern sekarang ini, megalopolis terdapat di Amerika Serikat, tepatnya di wilayah Timur Laut yang mencakup wilayah selatan dari New Hamshire, terus ke bagian utara Massachusetts sampai ke Washington, DC. Megalopolis terbentuk oleh perpaduan bertahap dari daerah-daerah metropolitan yang besar dan yang masing-masing berdiri sendiri. Di antara 46 kota metropolitan di Amerika Serikat, 10 kota metropolitan terletak dalam wilayah megalopolis ini. Jadi, sebuah megalopolis atau megapolitan terbentuk dari perpaduan dari sejumlah metropolis atau kota 255 metropolitan. Di antara 10 kota metropolitan tersebut, lima kota besar atau metropolitan yang terbesar dari megalopolis ini adalah New York City, Philadelphia, Boston, Baltimore, dan Washington, DC. Ciri megalopolis dibedakan dari ciri metropolitan lainnya, karena ciri perkotaan dari kota-kota megalopolis adalah menyebar sedemikian rupa sampai ke wilayahwilayah perbatasan kota-kota metropolitan lainnya, sehingga wilayah-wilayah perkotaan dari kota-kota megalopolis secara bertahap tergabung dalam sebuah proses perpaduan metropolitan. Menurut sensus penduduk tahun 1987, kepadatan penduduk megalopolis adalah 305 orang per kilometer persegi. Angka ini merupakan perhitungan pukul rata dari jumlah penduduk di kota-kota metropolitan, kota-kota kecil, dan daerah pedesaan yang tercakup dalam megalopolis. Semakin mendekati kota, jumlah penduduk menjadi semakin lebih besar. Di New York City misalnya, kepadatan penduduk pada tahun 1987 adalah lebih dari 22.600 orang per kilometer persegi. Sebagaimana dengan berkembang dan tumbuhnya kota modern, megalopolis juga telah tumbuh dan berkembang menjadi sedemikian besarnya, karena kota modern adalah produk dari lokasi kegiatan ekonomi. Kota secara ekonomi menguntungkan bagi penduduknya, sehingga mereka bersedia untuk hidup dan tinggal berdampingan dalam jarak dekat, bahkan saling berdesakan di kota. Sebagian dari mereka memutuskan untuk pindah ke luar kota di daerah suburbia atau kota satelit yang dibangun oleh perusahaanperusahaan real estate atau tinggal di tempattempat peristirahatan dengan berbagai fasilitas untuk kehidupan perkotaan. Sehingga wilayah megalopolis di samping dikelilingi oleh daerah pedesaan dan pertanian, juga dikelilingi oleh kota-kota kecil dan kota-kota besar yang 256 berkembang dari kota-kota kecil tersebut; yang kesemuanya berorientasi pada ekonomi perkotaan dari kota megalopolis. Megalopolis ini tetap bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para pendatang baru karena prinsip utamanya adalah interaksi dan aksesibilitas. Interaksi melalui transportasi dan berbagai media komunikasi elektronik, terutama melalui telepon. Interaksi melalui transportasi adalah urat nadi kehidupan perkotaaan, dan antar-kota, dan antar-wilayah. Jalur-jalur dan jaringan-jaringan jalan yang baik, yang volumenya sesuai dengan beranekaragam kebutuhan transportasi, akan menghemat biaya ekonomi, dan karena itu menguntungkan perkembangan kehidupan perkotaan. Prinsip yang berlaku adalah memindahkan sesuatu berbanding langsung biayanya dengan jarak perpindahannya dan dengan kondisi jalan untuk transportasi sesuatu tersebut. Prinsip ini dipegang teguh dalam pembangunan kota-kota di Amerika Serikat, termasuk kota-kota megalopolis. Pada dasarnya kawasan perkotaan di Amerika Serikat, termasuk kota-kota megalopolis, telah dibangun dengan membangun jaringan-jaringan jalan yang berbentuk persegi empat panjang atau bujur sangkar yang menjangkau ke seluruhan wilayah kota. Kebutuhan untuk sistem transportasi yang lebih baik dan dapat menampung kebutuhan dalam kota membuat dibangunnya jaringan jalan lingkar luar. Untuk itu pemerintahan kota membangun jalan-jalan sesuai penggolongan yang dibuat untuk berbagai kepentingan, yaitu jalan untuk dalam kota dan untuk luar kota, jalan untuk menghubungkan kota megalopolis dengan kota-kota yang lebih kecil dan dengan daerah pedesaan, jalan yang menghubungkan antar-kota megalopolis, dan dengan kota-kota lainnya di Amerika Serikat. Besar atau volume ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 daya tampung jalan disesuaikan dengan penggolongan jalan-jalan tersebut, sehingga tingkat kemacetan lalu lintas dapat dibatasi dan karenanya biaya transportasi dapat ditekan. Di samping itu kereta api yang merupakan alat transportasi sudah ada juga tetap menghubungkan antar-wilayah megalopolis dan berbagai wilayah dan kota-kota di seluruh Amerika Serikat. Bandingkan dengan sistem transportasi atau kondisi jaringan jalan di kota Jakarta dan sekitarnya, yang serba macet, bahkan di jalan tol juga macet walaupun pengguna jalan tol tersebut harus membayar biaya tol yang terusmenerus naik untuk menarik investor mau berbisnis jalan tol. Kemacetan di kota-kota megalopolis di Amerika Serikat juga terjadi, tetapi terbatas pada jam-jam sibuk, yaitu pada jam orang masuk kerja dan pulang kerja dari kantor. Di Massacussets Avenue yang menghubungkan kota-kota di Negara bagian Virginia dengan kota Washington, DC., kemacetan misalnya, terjadi pada jam-jam orang masuk kerja dan pulang kerja ke Washington, DC., dimana kecepatan mobil hanya antara 25–40 mil jam. Kalau dibandingkan dengan kemacetan di kota Jakarta dan sekitarnya, kemacetan berlangsung hampir sepanjang hari dari pukul 06.30 pagi sampai pukul 23.00 malam. Dalam keadaan macet laju kendaraan hanya antara 5–10 kilometer per jam atau antara 4–7 mil per jam. Inilah biaya transportasi tinggi, dan biaya interaksi yang tinggi karena aksesibilitas yang tidak diperbaiki oleh pemerintahan kota. Di samping pelayanan transportasi dan komunikasi yang memadai dan mengikuti perkembangan kota-kota megalopolis, kotakota megalopolis juga menyajikan berbagai pelayanan perkotaan yang membuat kota-kota megalopolis itu dapat bertahan hidup dan berkembang. Permukiman tua yang sudah tidak layak huni dibongkar dan permukiman baru Suparlan, Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman dibangun. Ada upaya untuk membangun gedung-gedung bertingkat yang modern fasilitasnya dan dapat menampung tingkat kepadatan yang tinggi dan multi guna dalam pelayanan perkotaan. Di samping itu, pelayanan perkotaan di kota-kota megalopolis mencakup berbagai tingkat dan macam pelayanan umum dan komersial, relaksasi dan hiburan, kecukupan air dan listrik, sistem saluran pembuangan limbah dan sampah, dan keamanan oleh polisi, serta pemadam kebakaran oleh pemerintahan kota. Kota-kota megalopolis juga meyajikan pelayanan untuk kawasan-kawasan industri dan pabrik-pabrik, pergudangan, pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan, perparkiran, pusat-pusat pendidikan, perpustakaan, teater, restoran dan café dan nightclub. Hotel dan penginapan, tempat-tempat rekreasi dan taman, dan tidak kurang pentingnya adalah trotoar atau sidewalk. Kesemua pelayanan perkotaan tersebut dapat diakses atau digunakan oleh warga kota dan oleh mereka yang melakukan perjalanan atau kunjungan ke kota tersebut. Aksesibilitas ini merupakan salah satu kunci keberhasilan kehidupan dan perkembangan dari kota-kota megalopolis. Tidak dapat disangkal bahwa kota-kota megalopolis mengalami perubahan. Perubahan secara fisiologi, yaitu dibongkarnya bagunanbangunan tua yang diganti dengan bangunanbangunan bertingkat yang akomodatif terhadap kepadatan dan teknologi modern dan penggantian jaringan-jaringan jalan yang tidak lagi memadai akan kebutuhan transportasi dengan jaringan-jaringan jalan yang akomodatif terhadap tingkat dan volume lalu lintas orang dan barang, sesuai dengan kemajuan teknologi modern. Perubahan juga terjadi dalam kehidupan perkotaan baik secara kuantitas maupun secara kualitas dalam berbagai bentuk pelayanan perkotaan bagi yang memerlukan- 257 nya. Pelayanan perkotaan informasinya dapat diakses oleh setiap orang melalui telepon, faks, atau internet dan pelayanan secara tatap muka. Kota-kota megalopolis merupakan pusatpusat pendominasian wilayah penyangga yang merupakan wilayah administrasi masingmasing, dan sebaliknya daerah penyangga berorientasi pada kota megalopolis yang mendominasinya, atau pada kota megalopolis lainnya yang secara ekonomi lebih menguntungkan. Masing-masing kota megalopolis tersebut berdiri sendiri tetapi berada dalam satu jaringan interaksi dan aksesibiltas, melalui berbagai jaringan transportasi dan komunikasi. Kota dan daerah penyangga Model megapolitan untuk kota Jakarta dengan daerah penyangga Bodetabejur yang digagas dan direncanakan oleh Gubernur Sutiyoso menuntut adanya penjelasan mengenai hakekat kota dan hubungan kota dengan daerah penyangganya, agar kita semua memahami hakekatnya dan menginterpretasi apa sebenarnya isi gagasan Gubernur Sutiyoso tersebut. Kota, seperti apapun corak dan besarannya, dibangun untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi para pelaku ekonomi dan bagi warga kota yang bersangkutan. Oleh karena itu kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat hunian atau permukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk suatu kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokkannya daripada sebuah keluarga luas, marga, atau klen. Kota menyajikan berbagai kesempatan ekonomi yang menguntungkan karena letak geogafinya. Ekonomi perkotaan menghasilkan keuntungan yang berkembang secara akmulatif karena corak kegiatan ekonominya pada industri atau manufaktur dan pada berbagai jasa pelayanan, dan pada pasar dan uang.. Karena itu kota 258 adalah juga pusat kegiatan ekonomi dan profesi, dimana semakin besar dan berkembangnya sebuah kota semakin besar pula penduduknya yang berprofesi sebagai pekerja ‘kerah putih’. Kota juga merupakan sebuah satuan administrasi pemerintahan yang dibangun dan dimantapkan untuk melakukan berbagai kegiatan pelayanan umum bagi kepentingan kesejahteraan hidup warga kota dan para pendatang yang berkunjung atau berbisnis di kota tersebut, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan mengenai kehidupan perkotaan kota-kota megalopolis dalam tulisan ini. Kota juga membangun dan mengatur dan mendominasi wilayah-wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasinya. Dengan kata lain, kota adalah pusat pendominasian wilayah sekitarnya yang merupakan wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasi pemerintahannya (Suparlan 2004). Seringkali pendominasian atas wilayah sekelilingnya melampaui batas-batas wilayah administrasinya, karena perkembangan ekonomi dan bisnis atau komersial yang ada di kota tersebut. Perkembangan ekonomi ini, yang menjanjikan dan menyajikan keuntungankeuntungan ekonomi, termasuk kesejahteraan hidup warga kota, merupakan daya tarik dan pusat orientasi kehidupan dari warga di kotakota yang lebih kecil yang kurang berkembang secara ekonomi dan di daerah pedesaan yang terbelakang pembangunannya yang ada dalam wilayah penyangga atau di sekeliling kota tersebut. Sebagai pusat pendominasian, sebuah kota menyedot migrasi atau urbanisasi dari wilayah sekelilingnya, menyedot berbagai bahan mentah dan uang yang ada dalam kehidupan ekonomi di wilayah sekelingnya, dan merupakan orientasi budaya dari warga yang ada dalam wilayah sekeliling kota tersebut. Hubungan antara daerah penyangga dengan kota yang menjadi pusat pen- ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 dominasian adalah seperti hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang keuntungannya. Daerah penyangga menyediakan tenaga kasar atau pekerja, sumber-sumber daya berupa bahan-bahan mentah yang dihasilkan dari lingkungan alam dan fisik oleh daerah penyangga. Sebaliknya kota meyajikan hasil-hasil industri dan manufaktur ke daerah penyangga, sistem perlindungan keamanan dan keteraturan sosial, dan berbagai pelayanan perkotaan seperti pendidikan, hiburan, dan kesehatan. Kota yang menjanjikan dan menyajikan berbagai fasilitas pelayanan perkotaan yang tidak didapat di daerah pedesaan atau kota-kota kecil yang terletak di daerah penyangga, menyebabkan terjadinya urbanisasi atau perpindahan ke kota yang menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di kota. Di kota-kota dari negara berkembang seperti di Indonesia, penduduk kota meningkat dan padat melebihi kemampun sistem palayanan perkotaan, sehingga mencirikan kepadatan penduduk perkotaan, kemiskinan, dan kekumuhan. Sebaliknya sebagian dari warga kota yang padat uangnya, yang mempunyai visi bisnis, membeli bidang-biang tanah yang ada di daerah pedesaan atau kota kecil untuk dijadikan tabungan atau untuk membangun perumahan real estate bagi penduduk kota yang cukup uangnya. Sehingga gejala yang nampak adalah warga kota semakin kaya dan warga desa semakin miskin. Kalau kita perhatikan Siugapura dan Hongkong, keduanya dalah negara-kota yang tidak mempunyai wilayah penyangga yang berada dalam kewenangan administrasinya. Kedua Negara-kota tersebut telah secara bertahap dari tahun ke tahun menumbuhkan wilayah-wilayah penyangga di daerah sekeliling masing-masing kota tersebut. Wilayah penyangga Singapura adalah Sumatra Suparlan, Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Johor di Semenanjung Malaya (sekarang Johor dibangun sebagai daerah industri dan manufaktur dengan sistem-sistem pelayanan perkotaan yang membuatnya tidak lagi berfungsi sebagai daerah penyangga Singapura). Indonesia juga membangun pulau Batam, tetapi tujuan pembangunan Batam telah bergeser dari tujuan semula, yaitu yang semula untuk menyaingi Singapura bergeser menjadi penyangga (hinterlands) Singapura. Sedangkan Hongkong mempunyai wilayah penyangga di wilayah RRC bagian selatan. Peluang vs Ancaman Melihat kasus hancur dan berantakannya megalopolis kuno di Yunani dan di Roma yang disebabkan oleh (1) Corak megalopolis yang direncanakan dan dibangun dengan mempersatukan kota-kota yang lebih kecil dan daerah pedesaan sebagai daerah penyangga yang terpusat di kota megalopolis; dan (2) Ketidak mampuan kepemimpinan dan birokrasi megalopolis dalam mengelolanya, yang menyebabkan kemunculan tirani atau kaisar yang absolut dan sewenang-wenang yang memporak porandakan tatanan kehidupan dan menyesengsarakan rakyat banyak. Karena corak pendominasian kota megalopolis atas wilayah penyangganya adalah menyeluruh, yang disebabkan oleh hubungan kekuatan yang tidak seimbang antara kota megalopolis dengan wilayah penyangganya, sehingga terjadi penyerapan dan penghisapan atas semua sumber-sumber daya yang ada dalam wilayah penyangganya. Nampaknya megapolitan yang digagas oleh gubernur Sutiyoso modelnya sama dengan model megalopolis Yunani dan Romawi kuno. Mengingat bahwa dalam model megapolitan yang direncanakan tersebut ada pusatnya yaitu kota Jakarta yang menjadi kota megapolitan, 259 yang disangga oleh kota-kota yang lebih kecil dan daerah pedesaan yang tercakup dalam kabupaten-kebupaten Bodetabejur. Hubungan antara kota megapolitan Jakarta dengan wilayah Bodetabejur adalah hubungan yang tidak seimbang dimana kota megapolitan Jakarta menjadi pusat pendominasian dari Bodetabejur yang menjadi wilayah hinterlandsnya, dan karena itu maka penduduk Bodetabejur berorientasi ke kota megapolitan Jakarta yang akan jauh lebih maju, lebih modern, dan lebih mewah daripada kehidupan di Bodetbejur.. Mungkin tujuan dari dibangunnya megapolitan Jakarta adalah untuk membangun kota Jakarta sebagai ibukota NKRI dengan segala fasilitas perkotaan modern, termasuk pembangunan jaringan lalu lintas dan komunikasi, serta berbagai pelayann perkotaan modern yang aksesibel. Bila demikian kira-kira tujuan dibangunnya kota megapolitan Jakarta, maka di masa yang akan datang akan ada pembangunan fisik secara besar-besaran di kota Jakarta. Akan banyak pekerja diperlukan, begitu juga akan banyak kegiatan-kegiatan pembangunan dan berbagai kegiatan pendukung yang akan sibuk di Jakarta. Kegiatankegiatan ini akan mengurangi jumlah pengangguran di Jakarta dan juga akan menyerap banyak pekerja dari Bodetabejur dan berbagai daerah lainnya di Indonesia, yang juga banyak jumlah tenaga-tenaga penganggurnya. Bila sudah terbangun sebagai sebuah megapolitan maka kota Jakarta akan dapat memberikan berbagai pelayanan perkotaan kepada warganya sehingga kesejahteraan hidup mereka akan meningkat atau akan menjadi lebih baik. Kemakmuran warga kota Jakarta dan berbagai keuntungan ekonomi perkotaan kota megapolitan Jakarta dengan prinsip trickle down effects akan menyebar ke berbagai sudut daerah Bodetabejur. 260 Walaupun demikian, saya tidak sepenuhnya percaya pada kata-kata saya yang visioner tersebut diatas mengenai megapolitan yang memberi peluang untuk kesejahteraan masyarakatnya dan bagi masyarakat di daerah Bodetabejur melalui prinsip trickle down effects. Karena: (1) Penyakit KKN masih diderita oleh para pejabat dan birokrat, yang dapat menghambat pross-proses pembiayaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk megapolitan dan administrasi pengelolaannya. (2) Perbedaan ekonomi dan kesempatan-kesempatan memperoleh keuntungan ekonomi antara kota megapolitan Jakarta dengan daerah penyangga akan sangat besar, sehingga arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan menjadi semakin meningkat. Kepadatan penduduk, kemiskinan, kekumuhan permukiman mereka yang tergolong miskin di kota megapolitan Jakarta juga akan semakin meningkat. Dan berbagai masalah sosial yang dikarenakannya juga akan semakin meningkat dan kompleks, yang tidak mudah untuk diatasi. Kota megapolitan Jakarta mungkin akan menjadi kota yang tidak manusiawi karenanya. Kota megapolitan Jakarta yang direncanakan bukanlah sebuah negara-kota seperti Singapura. Sebagai negara-kota, Singapura mempunyai kewenangan hukum yang sah untuk menentukan siapa-siapa yang dapat datang dan menetap di negara itu, siapasiapa yang hanya dapat berkumjing tetapt tidak boleh menetap, dan siapa-siapa yang sama sekali tidak boleh datang ke Singapura. Sedangkan kota Jakarta, walaupun nantinya adalah sebuah kota megapolitan, tidak mempunyai kewenangan hukum yang sah seperti yang dipunyai oleh Singapura sebagai sebuah negara-kota. Karena yang mempunyai kewenangan hukum tersebut adalah negara dan bukan kota. Sehingga arus urbanisasi yang berlebihan ke kota Jakarta yang megapolitan ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006 tidak akan dapat dibendung. Sekarang saja, kota Jakarta yang masih belum menjadi kota megapolitan tidak mampu membendung arus urbanisasi yang berkelebihan. Apalagi nanti kalau sudah menjadi kota megapolitan. Dalam pikiran saya, apakah tidak sebaiknya justru biaya yang disediakan untuk membangun megapolitan Jakarta itu digunakan untuk membangun pusat-pusat perkotaan di wilayah Bodetabejur? Landasan berpikirnya adalah pusat-pusat perkotaan ini, yang merupakan pusat kegiatan-kegiatan industri dan berbagai jasa pelayanan, yang secara ekonomi akan menguntungkan penduduknya akan menarik para pendatang baru untuk ikut dalam berbagai kegiatan ekonomi dan komersial. Penduduk yang bermigarsi ke pusat-pusat perkotaan tersebut akan mencakup juga penduduk Jakarta yang dengan demikian akan membuat Jakarta menjadi tidak terlalu padat penduduk. Pusatpusat perkotaan bila secara ekonomi dan komersial menguntungkan bagi penduduknya maka pusat-pusat perkotaan tersebut akan berkembang menjadi kota-kota, dan lebih lanjut dapat berkembang menjadi kota-kota besar atau metropolitan. Pada saat itulah wilayah Jabodetabejur dapat menjadi sebuah megalopolis. Secara bertahap dan pasti akan menjadi sebuah megalopolis modern sebagaimana yang menjadi ciri megalopolis modern di wilayah Amerika Timur Laut. Jadi bukan direncanakan atau dipaksakan karena mengemban amanat undang-undang. Referensi Mumford, L. 1961 The City in History. New York: Harcourt, Brace, and World. Suparlan, P. 2004 Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaaan. Jakarta: YPKIK. USIS tt Garis Besar Geografi Amerika. Jakarta; USIS. Yeates, M. 1990 The North American City. Edisi ke-4. New York: Harper & Row. Suparlan, Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman 261