01 cover-24 orkes.indd

advertisement
ILMU&TEKNOLOGI
SELASA, 28 SEPTEMBER 2010
Z OM OUT
DIMAS ARYO (TEMPO)
Uji DNA menunjukkan bahwa nenek
moyang di kota tua
menurunkan kekebalannya terhadap
TB dan lepra.
Lebih Kuat
Daripada Kevlar
ota-kota yang memiliki
peradaban panjang ternyata memiliki warga yang
kebal terhadap tuberkulosis, lepra, dan penyakit
lainnya. Kesimpulan ini diperoleh
dari penelitian yang diterbitkan
jurnal Evolution pekan lalu. “Varian genetik pelindung ditemukan
pada orang dari Timur Tengah
hingga India dan sebagian Eropa, di
mana kota-kota telah ada selama
ribuan tahun,” kata Profesor Mark
Thomas dari jurusan Genetika,
Evolusi, dan Lingkungan di University College London.
Selain University College London, tim peneliti berasal dari Royal
Holloway, University of London dan
Oxford University. Untuk sampai
pada kesimpulan itu, mereka menguji sampel DNA dari 17 populasi
manusia yang hidup di Eropa, Asia,
dan Afrika. Selain itu, mereka mencari literatur arkeologis dan historis
untuk menemukan kota-kota tertua
K
aba-laba kulit pohon Darwin (Caerostris darwini)
adalah penenun benang
terkuat di dunia, 10 kali lebih
kuat daripada kevlar, material
untuk membuat rompi antipeluru. Laba-laba besar itu biasa
membuat jaring raksasa yang
terentang di antara sungai,
bahkan danau.
Selama ini, benang sutra laba-laba telah dikenal sebagai
biomaterial terkuat, yang dapat
menyerap energi dalam jumlah
besar sebelum putus. Kini para
ilmuwan menemukan bahwa
spesies laba-laba yang memiliki
sutra terkuat adalah laba-laba
kulit pohon Darwin. Benang sutranya dua kali lebih kuat daripada spesies lain, dan lebih dari
10 kali lipat dibanding kevlar.
Ahli biologi evolusioner, Ingi
Agnarsson, direktur museum
zoologi di University of Puerto
Rico, dan timnya menemukan
laba-laba itu di Taman Nasional
Ranomafana, Madagaskar, pada 2001. “Reaksi kami ketika
itu hanya, ‘Wow!’” ujarnya.
Jaring laba-laba berbentuk
seperti roda itu dapat terentang mencapai diameter 2,8
meter, dan tergantung di atas
sungai dan danau kecil hingga
25 meter. “Sulit untuk menggapai jaring itu ketika jala tersebut berada di atas badan sungai,” kata Agnarsson. “Terkadang kami tak memiliki perahu
di lapangan karena perahu bukanlah benda yang normal ada
dalam daftar perlengkapan untuk penelitian laba-laba.”
Dengan jala raksasa itu, laba-laba yang memiliki tubuh
bak kulit kayu itu menangkap
serangga, lebah, dan capung
yang terbang melintas di atas
air. Tak ada bukti bahwa jaring
itu dapat menangkap mangsa
yang lebih besar, burung atau
seekor kelelawar. “Laba-laba
mungkin hanya menangkap
mangsa sebesar itu sekali
atau dua kali seumur hidupnya, sebuah peristiwa langka
yang hanya bisa diamati jika kita benar-benar beruntung,” kata Todd Blackledge, ahli biologi
evolusioner di University of Akron di Ohio.
Penemuan ini membuka potensi aplikasi teknologi baru untuk sutra laba-laba terutama
sutra C. darwini yang sangat istimewa, kombinasi material ringan dan performa tinggi,” kata Blackledge. ● LIVESCIENCE | TJANDRA
A12
ZULKARNAIN (TEMPO)
L
yang ada di daerah-daerah ini.
Memang, di kota kuno, sanitasi
yang buruk dan kepadatan penduduk yang tinggi menjadi tempat
ideal untuk berkembang biaknya
penyakit. Dua penyakit tersebut
pernah menjadi epidemi yang menewaskan jutaan penduduk. Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi seleksi alam, yakni manusia
harus mengembangkan pertahanan
terhadap penyakit dalam populasi
yang berusia panjang.
Namun relasi itu sulit dipelajari,
terutama pada kota-kota di era
prasejarah. Uji DNA mampu menguak keterkaitan antara lingkungan
kota dan ketahanan tubuh warganya terhadap penyakit. Dr Ian Barnes, dari Sekolah Biologi di Royal
Holloway, menjelaskan, metode
yang dipakai tim peneliti adalah
menggunakan data arkeologis dan
historis sebagai alat untuk menjelaskan persebaran dan frekuensi
varian genetik, serta menemukan
sumber seleksi alam.
Dengan membandingkan laju resistensi penyakit genetik dengan sejarah perkotaan, mereka menunjukkan bahwa paparan masa lalu
pada patogen membawa pada resistensi penyakit menular yang menyebar dalam populasi, di mana para leluhur menurunkan kekebalannya kepada keturunannya.
Menurut Mark Thomas, varian
pelindung ini ditemukan di hampir
Masyarakat yang tinggal di bantaran kali hingga saat ini kurang menyadari masalah sanitasi yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan.
semua orang dari Timur Tengah
hingga India dan sebagian Eropa—
di kota-kota telah ada selama ribuan tahun lalu. “Hal ini tampaknya
contoh elegan evolusi yang sedang
bekerja. Ia menandai pentingnya
aspek terbaru evolusi kita sebagai
spesies, perkembangan kota sebagai sebuah gaya seleksi. Ia juga dapat menjelaskan beberapa perbedaan yang kita amati pada pola kekebalan penyakit di dunia,” kata
Barnes.
Kepadatan populasi, kata Thomas, berperan penting dalam mem-
bentuk begitu banyak aspek spesies
manusia.Variabel ini jadi faktor vital dalam evolusi kemampuan kompleks dan budaya dari spesies manusia dan membedakannya dengan
primata lainnya.
Faktor ini juga mengendalikan
banyak perbedaan genetik yang terlihat sekarang di antara berbagai
populasi di dunia. Kondisi saat ini
memperlihatkan bagaimana penyakit menular tersebar di masa lalu
dan bagaimana manusia ber-evolusi
untuk menghambat penyakit tersebut. ● UNTUNG WIDYANTO | THE GUARDIAN | SCIENCEDAILY
Download