TORCH dalam kehamilan

advertisement
Dr.Yusrawati, SpOG (K)
TOKSOPLASMA GONDII
 Toksoplasmosis pada kehamilan dapat
menyebabkan infeksi janin kongenital.
 Janin yang terinfeksi kongenital tersebut mengalami
kerusakan organ/struktur  hidrosefalus,
korioretinitis dan kalsifikasi serebralis.
Hidrosefalus
 Pelebaran ventrikel lateral, dimana lebar
atrial lebih dari 15 mm pada trimester II
dan III
Sekuele pada bayi
 Sekuele ringan : sikatriks/ scar korioretinal tanpa
gangguan visus atau adanya kalsifikasi serebral
tanpa diikuti kelainan neurologik.
 Sekuele berat : kematian janin intra uterin atau
neonatal. Atau adanya scar korioretinal dengan
gangguan visus berat ataupun kelainan neurologik
berat.
 Bila toksoplasmosis terjadi pada kehamilan
sebelum 20 minggu,  20% janin mengalami
infeksi kongenital  25% dari janin yang
terinfeksi ini memperoleh kerusakan organ berat,
15% kerusakan organ ringan serta sisanya 60%
bersifat subklinis (Foulon et al, 1994).
DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS PADA
KEHAMILAN
 Kehamilan dengan seropositif  ditemukan
adanya antibodi IgG anti toksoplasma dengan titer
1/20-1/1000.
 Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik
titer tinggi  ibu hamil seropositif memperoleh
ulangan infeksi (reinfeksi).
 Kehamilan dengan seronegatif  darah ibu tidak
mengandung antibodi spesifik  mengulangi uji
serologik tiap trimester (3 bulan) sekali.
 Kehamilan dengan serokonversi  adanya
perubahan dari seronegatif menjadi seropositif
selama kehamilan.
 Penderita memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
transmisi vertikal dari maternal ke janin serta
mengakibatkan infeksi janin (toksoplasmosis
kongenital).
DIAGNOSTIK PRENATAL
 Konsep lama hanya bersifat empiris dan
berpedoman pada hasil uji serologis ibu hamil.
 Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan
amniosentesis dengan panduan ultrasonografi
guna memperoleh darah janin ataupun cairan
ketuban sebagai pendekatan diagnostik
 Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia
kehamilan 14-27 minggu (trimester II).
 Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin
melalui tali pusat) ataupun amniosentesis
(aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.
PRINSIP ULTRASONOGRAFI
CHORDOCYNTHESIS
AMNIOSENTESIS
 Pemeriksaan dengan teknik P.C.R guna
mengidentifikasi DNA T.oxoplasma gondii pada
darah janin atau cairan ketuban.
 Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah
janin guna mendeteksi antibodi IgM janin spesifik
(anti toksoplasma).
 Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan
berdasar
 Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM
janin spesifik (anti toksoplasma) dari darah janin,
dan D.N.A dari T. gondii dengan P.C.R darah janin
ataupun cairan ketuban.
 Diagnostik prenatal yang berdasarkan amniosentesis
(aspirasi cairan ketuban), saat ini paling sering
dilakukan guna mendeteksi adanya infeksi janin
kongenital.
 Dengan tindakan diagnostik prenatal ini akan
diperoleh deteksi DNA (Deoxyribonucleic acid)
T.gondii dalam cairan ketuban melalui metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) secara akurat dan cepat.
TERAPI
 Spiramycin 1-3 g/hari diberikan selama 3 minggu
diselingi 25 mg pyrimethamine, 3 g sulfadiazine/hari
selama 3 minggu juga sampai kelahiran
RUBELA
 Selama kehamilan, virus ini menjadi penyebab
langsung kematian janin dan bahkan yang paling
penting malformasi kongenital berat.
 Dianjurkan untuk melakukan vaksinasi, terutama
pada wanita berusia subur.
Diagnosis
 Konfirmasi infeksi rubela  sulit dilakukan.
 Gambaran klinisnya mirip dengan penyakit lain,
dan sekitar seperempat dari infeksi rubela bersifat
subklinis walaupun terjadi viremia yang telah
menginfeksi mudigah atau janin.
 Viremia mendahului gejala klinis sekitar 1 minggu
 Orang nonimun yang mengalami viremia rubela
akan memperlihatkan titer puncak antibodi 1
sampai 2 minggu setelah awitan ruam.
 Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan,
infeksi pada janin semakin kecil menyebabkan
malformasi kongenital.
 Cacat rubela dijumpai pada semua bayi yang
memperlihatkan tanda infeksi intrauterus
sebelum minggu ke-11, tetapi hanya 35% dari
mereka yang terinfeksi pada usia 13 sampai 16
minggu
Sindrom Rubela Kongenital
 Lesi mata, termasuk katarak, glaukoma
 Penyakit jantung, termasuk duktus arteriosus
paten, defek septum.
 Tuli sensorineural
 Defek susunan saraf pusat  microcephaly
 Hambatan pertumbuhan janin
 Hepatosplenomegali dan ikterus
 Perubahan tulang
Bayi yang lahir dengan rubela kongenital
menyebarkan virus sehingga merupakan
ancaman bagi bayi lain, serta orang dewasa
rentan yang berkontak dengan bayi
tersebut.
 Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang
karakteristik sehingga terlihat sel membesar
(sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata
burung hantu.
Penularan
 Transmisi horisontal
terjadi melalui “droplet
infection” dan kontak
dengan air ludah.
 Transmisi vertikal
penularan proses
infeksi maternal ke janin.
 transplasenta.
 Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan
pertama kali atas individu  infeksi primer.
 Infeksi primer berlangsung simtomatis ataupun
asimtomatis serta virus akan menetap dalam
jaringan hospes dalam waktu yang tak terbatas 
infeksi laten.
 Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama
kehamilan, dan infeksi pada umur kehamilan kurang
sampai 16 minggu menyebabkan kerusakan serius.
 Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi
pada ibu hamil dengan pola imunologis seronegatif
dan non primer bila ibu hamil dengan seropositif.
 Infeksi endogenus  suatu reaktivasi virus yang
sebelumnya dalam keadaan laten.
DIAGNOSIS
 Metode serologis  diagnosa infeksi maternal primer
dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM
dan IgG anti CMV)
 Metode virologis, viremia maternal dapat ditegakkan
dengan menggunakan uji immuno fluoresen.
DIAGNOSIS PRENATAL
 Diagnosis prenatal harus dikerjakan terhadap ibu
dengan kehamilan yang menunjukkan infeksi primer
pada umur kehamilan sampai 20 minggu.
 Diagnosis prenatal metode PCR dan isolasi virus
pada cairan ketuban yang diperoleh setelah
amniosentesis.
 Kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan :
Oligohidramnion,
Polihidramnion
Hidrops non imun
Asites janin
Gangguan pertumbuhan janin
Mikrosefali,
Ventrikulomegali serebral (hidrosefalus)
TERAPI DAN KONSELING
 Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi intervensi karena pengobatan dengan anti virus
(ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif serta
memuaskan.
 Dengan demikian konseling, infeksi primer yang
terjadi pada umur kehamilan  20 minggu setelah
memperhatikan hasil diagnosis prenatal  dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan
Virologi
 Berdasarkan perbedaan imunologi dapat dikenali 2
jenis herpes simpleks virus (HSV)
 HSV tipe 1 (Non genital)
 HSV tipe 2 (Genital) dan ditularkan melalui hubungan
seksual.
Diagnosis
 Penemuan virus dengan biakan jaringan
merupakan konfirmasi paling optimal
untuk membuktikan infeksi klinis.
Perjalanan penyakit selama kehamilan
 80 persen wanita yang terjangkit infeksi herpes
genitalis mengalami kekambuhan simtomatik
sebanyak 2-4 kali selama hamil
 Kekambuhan klinis tampaknya sedikit lebih sering
pada kehamilan tahap lanjut.
Pada Janin dan Neonatus
 Janin hampir selalui terinfeksi oleh virus yang di
keluarkan dari serviks atau saluran genital bawah.
 Virus menginvasi uterus setelah selaput ketuban
pecah atau berkontak dengan janin saat persalinan.
Infeksi pada Neonatus
 Diseminata  keterlibatan organ-organ dalam mayor
 Lokalisata  Keterlibatan terbatas pada mata, kulit
atau mukosa
 Asimtomatik.
Penatalaksanaan Antepartum
 Seksio sesarea diindikasikan pada wanita dengan lesi
genital aktif.
 Dengan demikian seksio sesarea dilakukan hanya
apabila tampak lesi primer atau rekuren saat mejelang
persalinan atau saat selaput ketuban pecah.
TERIMA KASIH
Download