KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB II KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Kebijaksanaan keuangan negara, moneter dan lembagalembaga keuangan yang dilaksanakan sejak PJP I, telah mendukung keberhasilan pembangunan di semua bidang. Di bidang keuangan negara, pengerahan sumber-sumber penerimaan negara dan pengalokasian belanja negara pada seluruh sektor pembangunan dijalankan dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Dengan berpegang pada Trilogi Pembangunan tersebut, tabungan pemerintah telah berhasil dihimpun sehingga sebagian pengeluaran pembangunan sudah bersumber dari kemampuan bangsa sendiri. Di bidang moneter dan lembaga-lembaga keuangan, pengerahan dana tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan makin digiatkan sehingga perannya sebagai sumber dana pembangunan semakin meningkat. Di pihak lain, penyaluran dana kepada usaha - II/3 usaha produktif semakin meningkat, dengan memperhatikan aspek pemerataan. Sementara itu, langkah-langkah pengendalian jumlah uang beredar secara berhati-hati terus dilanjutkan untuk menjaga tingkat inflasi yang rendah. Dalam kurun waktu 1990-an, khususnya memasuki PJP II, perkembangan perekonomian dunia ditandai dengan semakin terintegrasinya pasar keuangan global yang diikuti dengan meningkatnya arus masuk modal ke negara-negara berkembang terutama negara-negara emerging di Asia termasuk Indonesia. Masuknya modal luar negeri tersebut di satu pihak telah mempercepat pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain pihak juga meningkatkan risiko perekonomian nasional terhadap gejolak yang terjadi di pasar keuangan global. Dalam kaitannya dengan aliran modal luar negeri Garis -garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 memberikan arahan bahwa pinjaman luar negeri merupakan dana pelengkap bagi pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu dalam Repelita VI sumber pembiayaan dari dalam negeri yang terdiri dari tabungan Pemerintah dan tabungan masyarakat telah diupayakan untuk ditingkatkan. Pelaksanaan pembangunan nasional se lama Repelita VI tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kebijaksanaan keuangan negara dan moneter sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan nasional dilaksanakan sesuai dengan arahan tersebut. II/4 Selama Repelita VI, kebijaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dijalankan berlandaskan pada asas anggaran berimbang yang dinamis. Dengan landasan asas ini, apabila penerimaan melebihi pengeluaran negara diupayakan untuk membentuk dana cadangan yang dapat dimanfaatkan pada waktu hasil penerimaan Iebih kecil dari pengeluaran, atau untuk percepatan pembayaran (prepayment) hutang-hutang luar negeri yang berbunga tinggi. Sementara itu, penerimaan negara diupayakan untuk terus meningkat seiring dengan peningkatan kemampuan masyarakat, sedangkan pengeluaran negara diupayakan makin terkendali, terarah dan efisien. Pengeluaran rutin diarahkan untuk semakin meningkatkan kelancaran kegiatan pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, sekaligus mendukung upaya peningkatan tabungan pemerintah. Sedangkan pengeluaran pembangunan diprioritaskan untuk mendorong pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi guna pengamanan kelangsungan pembangunan dan pemeliharaan hasil-hasilnya. Di bidang keuangan negara, selama tiga tahun Repelita VI penerimaan dalam negeri meningkat rata-rata sebesar 14,8 persen, tabungan pemerintah pun meningkat cukup besar, yaitu 13,7 persen untuk periode yang sama. Apabila pada tahun 1993/94 tabungan pemerintah baru mencapai Rp 15.823,2 miliar, maka pada tahun 1996/97 telah mencapai Rp 23.224,1 miliar atau merupakan 67,8 persen dari jumlah dana pembangunan. Dalam Repelita VI, kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mengendalikan permintaan dalam negeri agar tumbuh dalam batasbatas yang terkendali dan aman , sesuai dengan kemampuan II/5 produksi nasional. Langkah tersebut dilaksanakan melalui pengendalian uang beredar seperti melalui operasi pasar terbuka (OPT), peningkatan cadangan wajib perbankan dan himbauan (moral suasion) kepada perbankan untuk mengendalikan ekspansi kredit agar tercapai sinergi perkembangan perekonomian nasional dan kinerja perbankan. Untuk menciptakan sistem lembaga keuangan nasional yang makin sehat dan andal, dalam Repelita VI lembaga keuangan didorong untuk melakukan konsolidasi guna memperkuat kondisi keuangan agar siap menghadapi globalisasi sektor keuangan. Lembaga keuangan yang meliputi perusahaan pembiayaan, asuran si, dana pensiun, pegadaian, dan pasar modal diupayakan berkembang lebih sehat serta searah dengan kebijakan ekonomi makro dan keuangan. Sebagai hasil dari kebijaksanaan moneter tersebut, pertumbuhan uang beredar (M1) melambat, dari 23,9 persen pada tahun 1993/94 menjadi di bawah 20 persen per tahun selama tiga tahun Repelita VI. Di lain pihak pertumbuhan uang kuasi, yaitu deposito berjangka dan tabungan masih cukup tinggi, sehubungan dengan meningkatnya tingkat suku bunga simpanan, sehingga dalam tiga tahun Repelita VI, likuiditas perekonomian (M2) mengalami kenaikan yang cukup tinggi pula, meskipun tetap dalam batas-batas terkendali. Upaya pengendalian moneter bersama -sama dengan berbagai kebijaksanaan di sektor-sektor lain, telah berhasil menahan laju kenaikan harga pada satu angka inflasi selama tiga tahun Repelita VI. Dalam tiga tahun Repelita VI, terlihat adanya perkembangan yang menggembirakan pada aspek kualitas lembaga keuangan. II/6 Jaringan operasional perbankan telah semakin luas dengan bertambahnya jumlah kantor cabang bank dari 4.753 kantor pada tahun 1993/94 menjadi 6.213 kantor pada tahun 1996/97. Kinerja asuransi juga semakin meningkat seperti tercermin pada bertambahnya premi bruto perusahaan asuransi hampir dua kali lipat. Demikian pufa kinerja perusahaan pembiayaan dengan nilai kegiatan usaha meningkat empat kali lipat. Nilai kapitalisasi pasar modal juga meningkat sekitar tiga kali lipat dalam periode tiga tahun pelaksanaan Repelita VI. Perubahan sentimen pasar merupakan permasalahan yang sewaktu-waktu dapat mendorong arus modal luar negeri yang keluar-masuk dalam jumlah besar pada kurun waktu 1990-an dan menimbulkan gejolak keuangan. Hal itulah yang terjadi yang dampaknya dirasakan sampai saat laporan ini disusun. Dalam tahun keempat Repelita yaitu mulai pertengahan tahun 1997, telah terjadi gejolak keuangan pada perekonomian Indonesia yang merupakan efek merembet dari gejolak yang sama di kawasan ini, dimulai dengan Thailand beberapa waktu sebelumnya. Gejolak keuangan yang telah berkembang menjadi krisis keuangan itu telah menyebar pula ke negara-negara lain, seperti Malaysia, Filipina dan Korea Selatan. Dalam menghadapi tekanan kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli 1997, beberapa kebijakan telah dilaksanakan antara lain pelebaran rentang kurs intervensi dan pengetatan likuiditas perbankan. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diputuskan penentuan kurs berdasar pada mekanisme pasar. Langkah selanjutnya yang diambil adalah melaksanakan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang ketat, antara lain berupa penjadwalan II/7 kembali proyek-proyek pembangunan dalam tahun 1997/98 dan operasi pasar terbuka dengan menaikkan tingkat diskonto SBI secara berarti serta berbagai kebijaksanaan lainnya di bidang devisa. Namun, nilai rupiah terus merosot sehingga menurunkan kepercayaan terhadap rupiah. Nilai rupiah yang merosot tajam terhadap dolar Amerika Serikat mengakibatkan kesulitan bagi sektor swasta termasuk lembaga keuangan dalam negeri untuk mengembalikan pinjaman luar negerinya. Masalah ini kemudian berkembang pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Gejolak nilai tukar rupiah telah mendorong pula meningkatnya laju inflasi dan tingkat pengangguran. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, bekerjasama dengan Dana Morleter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) disusun kebijaksanaan dan program penyehatan ekonomi dan keuangan. Program ini, yang didukung pula oleh negara-negara sahabat, antara lain meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilitas moneter termasuk kurs mata uang. Penyehatan sektor/lembaga keuangan meliputi perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan lembaga-lembaga di pasar modal. Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998, dengan disepakatinya sejumlah langkah untuk perbaikan ekonomi dan keuangan bersama IMF. Dalam rangka itu dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut, serta II/8 telah ditetapkan berbagai kebijaksanaannya untuk memulihkan kembali perekonomian negara. Secara lebih rinci perkembangan di bidang keuangan negara dan moneter sampai dengan tahun keempat Repelita VI dilaporkan dalam bab ini. B. KEUANGAN NEGARA Laporan hasil-hasil pembangunan keuangan negara selama Repelita VI ini diawali dengan uraian mengenai sasaran, kebijaksanaan dan program-program kegiatan dan dilanjutkan dengan uraian hasil-hasilnya. 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Sebagai salah satu instrumen kebijaksanaan makro ekonomi, kebijaksanaan keuangan negara (fiskal), bersama -sama dengan kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran, dilaksanakan sesuai dengan Trilogi Pembangunan guna menunjang pencapaian tujuan dan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Untuk itu dilaksanakan kebijaksanaan anggaran berimbang yang dinamis guna menjamin pemerataan pembangunan yang semakin meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas ekonomi yang dinamis. Di dalam prinsip tersebut, anggaran belanja negara disesuaikan dengan penerimaannya, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun sesuai dengan pesan GBHN 1993 untuk membangun perekonomian yang andal dan II/9 mandiri, tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan dalam negeri terus diupayakan meningkat peranannya. Sasaran Penerimaan dalam negeri diperkirakan meningkat dari Rp 59.7 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 97,3 triliu n pada tahun terakhir Repelita VI. Bagian terbesar dari penerimaan dalam negeri berasal dari penerimaan pajak yang diperkirakan meningkat dari Rp 40,1 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 75,2 triliun pada tahun terakhir Repelita VI. Disisi pengeluaran, pengeluaran rutin dalam periode yang sama diperkirakan meningkat dari Rp 42,4 triliun menjadi Rp 67,1 triliun. Berdasarkan perkiraaan penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, maka tabungan pemerintah diperkirakan meningkat dari Rp 17,4 tri liun pada tahun pertama menjadi Rp.30,1 triliun pada akhir Repelita VI. Adapun pengeluaran pembangunan diperkirakan meningkat dari Rp 27,4 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 44,5 triliun pada tahun terakhir Repelita VI. Gambaran secara rinci dapat dilihat pada Tabel II. Upaya meningkatkan tabungan pemerintah tersebut diwujudkan melalui berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan pendapatan negara, baik dari penerimaan migas maupun penerimaan di luar migas, dan mengendalikan pengeluaran rut in. Dalam rangka memantapkan sumber pendapatan negara, Pemerintah mengupayakan peningkatan penerimaan negara di luar migas sehingga mengurangi peranan penerimaan migas yang sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harganya di pasar internasional. Sementara itu, pengendalian pengeluaran rutin dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan mendukung kelancaran roda pemerintahan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada II/10 masyarakat, dan meningkatkan kemampuan pemeliharaan aset negara agar tetap dapat berfungsi secara optimal. Tabungan pemerintah yang diperoleh dari selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, dilengkapi dengan bantuan luar negeri, dibelanjakan dalam bentuk pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan diutamakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang memang menjadi tugas pemerintah untuk melaksanakannya, kegiatan pembangunan yang belum dapat dilaksanakan oleh masyarakat, kegiatan-kegiatan yang produktif sesuai dengan prioritas dan memberikan dampak sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, serta kegiatan yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sebagai upaya untuk menunjang berbagai kebijaksanaan guna mewujudkan sasaran-sasaran di bidang keuangan negara seperti diuraikan di atas, dilaksanakan program peningkatan penerimaan negara dan program pembinaan kekayaan negara. Program peningkatan penerimaan negara terutama diarahkan pada upaya pengembangan perangkat keuangan negara, dan peningkatan koordinasi dengan instansi-instansi terkait dalam rangka penggalian potensi penerimaan negara baik antarsektor, antarregional maupun kerjasama dengan negara lain seperti dalam hal perpajakan dan berbagai bentuk pendapatan negara lainnya. Sementara itu, pro gram pembinaan kekayaan negara diarahkan untuk meningkatkan tertib administrasi anggaran negara sesuai dengan prinsip -prinsip kerja yang efisien dan efektif dalam rangka mendayagunakan semua aset negara secara optimal bagi kepentingan pembangunan nasional. II/11 Dalam kaitan dengan pelaksanaan kegiatan program pembinaan kekayaan negara dilakukan kegiatan pemutakhiran data keuangan negara melalui perhitungan anggaran negara (PAN), untuk lebih mencerminkan keadaan keuangan negara pada tahun yang bersangkutan. Dalam laporan ini, data keuangan negara yang sudah melalui PAN adalah sampai dengan tahun anggaran 1995/96. Sementara itu, data tahun anggaran 1996/97 dan 1997/98 masih menggunakan perhitungan APBN perubahan (APBN-P). 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Sampai Dengan Tahun Keempat Repelita VI Kinerja keuangan negara dalam tahun terakhir Repelita V dan tiga tahun pertama Repelita VI menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penerimaan dalam negeri jauh meningkat melampaui sasarannya. Lebih dari itu, sasaran untuk memantapkan sumber-sumber penerimaan di luar migas juga dapat terlaksana. Realisasi penerimaan pajak untuk masing-masing tahun selama kurun waktu tersebut dapat melampaui sasaran, meskipun pada tahun 1995 pajak penghasilan, yang merupakan salah satu sumber utama penerimaan pajak, diturunkan tarifnya dari 35 persen, 25 persen dan 15 persen menjadi 30 persen, 15 persen dan 10 persen. Demikian pula upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak dapat melampaui sasarannya. Dengan terlampauinya sasaran penerimaan dalam negeri tersebut, meskipun pengeluaran rutin juga lebih tinggi dari sasarannya, yang antara lain didorong oleh percepatan pembayaran hutang luar negeri yang dilaksanakan sejak tahun pertama Repelita VI (1994/95), realisasi tabungan pemerintah juga telah melampaui II/12 sasarannya. Tabungan pemerintah selama kurun waktu tiga tahun Repelita VI (tahun 1994/95 - 1996/97) masing-masing tercatat Rp 22.349,0 miliar, Rp 22.578,9 miliar, dan Rp 23.224,1 miliar, melampaui sasaran masing-masing yang sebesar Rp 17.386,3 miliar, Rp 19.070,8 miliar dan Rp 22.195,5 miliar. Perkembangan tabungan pemerintah tersebut telah mengamankan pelaksanaan pengeluaran pembangunan seperti yang direncanakan. Namun dalam tahun terakhir Kabinet Pembangunan VI atau tahun keempat Repelita VI, dipicu oleh depresiasi Rupiah yang besar, realisasi tabungan pemerintah hanya mencapai Rp 23.577,6 miliar dan berada di bawah sasarannya yang sebesar Rp 25.659,0. Dalam tahun tersebut, penerimaan dalam negeri sesungguhnya masih jauh di atas sasarannya, yaitu Rp 108.183,8 miliar dibandingkan sasarannya yang sebesar Rp 84.239,9 miliar. Tingginya penerimaan tersebut didorong oleh penerimaan migas yang besar, yaitu Rp 35.357,0 miliar, lebih dari dua kali lipat dari sasarannya yang sebesar Rp 14.851,1 miliar. Penerimaan di luar migas, baik penerimaan pajak maupun bukan pajak, juga melampaui sasarannya. Masing-masing penerimaan tersebut tercatat Rp 64.066,3 miliar dan Rp 8.760,5 miliar, lebih tinggi dari sasaran masing-masing sebesar Rp 62.964,7 miliar dan Rp 6.424,1 miliar. Namur pengeluaran rutin juga meningkat tajam. Pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dan subsidi BBM membengkak menjadi Rp 28.057,4 miliar dan Rp 15.866,1 miliar dari sebesar Rp 22.120,8 miliar dan Rp l.416,1 miliar pada tahun sebelumnya. Hal ini yang terutama menyebabkan sasaran pengeluaran rutin dalam tahun keemp at Repelita VI yang sebesar II/13 Rp 58.580,9 miliar jauh terlampaui, yaitu mencapai Rp 84.606,2 miliar. Meskipun jumlah tabungan pemerintah tidak mencapai sasarannya, nilai pengeluaran pembangunan pada tahun tersebut yang sejumlah Rp 46.938,3 miliar masih berada di atas sasarannya yang sebesar Rp 39.076,6 miliar. Keadaan ini dimungkinkan oleh nilai Rupiah dari bantuan Iuar negeri yang jauh lebih tinggi dari sasarannya, yaitu Rp 23.817,0 miliar dibandingkan Rp 13.417,6 miliar, yang disebabkan oleh nilai depresiasi Rupiah selama pelaksanaan pembangunan dalam tahun tersebut yang jauh lebih besar dari perkiraan semula. Sementara itu, keterbatasan tabungan pemerintah telah menyebabkan dilakukannya penjadwalan ulang beberapa proyek pembangunan yang telah dianggarkan dalam APBN 1997/98 senilai Rp 3, 278,9 miliar. Perkembangan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara dari tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 - 1997/98 dapat dilihat pada Tabel II-1. Dalam tahun 1997/98, telah dipersiapkan RAPBN 1998/99. Sebagai akibat gejolak nilai tukar rupiah, penyusunan RAPBN dihadapkan pada sulitnya menentukan asumsi-asumsi dasar seperti nilai kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika, pertumbuhan ekonomi rill dan inflasi. Depresiasi rupiah yang besar mempunyai pengaruh menaikkan laju inflasi dan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Besaran-besaran tersebut mempengaruhi baik sumber-sumber penerimaan keuangan negara maupun unsur-unsur pengeluarannya. Di sisi penerimaan, nilai tukar rupiah terutama berpengaruh pada II/14 penerimaan migas dan bantuan luar negeri. Adapun pertumbuhan ekonomi riil dan inflasi menentukan nilai nominal perekonomian (Produksi Domestik Bruto Harga Berlaku). Unsur-unsur tersebut berpengaruh pada penerimaan pajak, yang pemungutannya didasarkan pada nilai nominal. Di sisi pengeluaran nilai tukar rupiah menentukan besarnya dana rupiah yang harus disediakan untuk membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri. Di samping itu, nilai tukar rupiah juga sangat berpengaruh terhadap jumlah subsidi BBM yang harus disediakan. Hal ini disebabkan sebagian dari minyak mentah untuk dikilang dan konsumsi BBM dalam negeri dipenuhi dari impor. Adapun laju inflasi mempengaruhi perkiraan pengeluaran negara secara keseluruhan. Sejak terjadinya krisis moneter, nilai tukar mata uang rupiah dari hari ke hari terus berubah. Dengan mempertimbangkan perkembangan terakhir dan arah perubahan di masa depan, maka dipergunakan kurs Rp 4.000,-/US$. Dengan asumsi nilai tukar rupiah tersebut, laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan masing-masing sebesar 9 persen dan 4 persen. Namun, setelah Nota Keuangan 1998/99 disampaikan Pemerintah kepada DPR pada tanggal 6 Januari 1998, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dollar Amerika, terus menunjukkan kecenderungan melemah. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip bahwa anggaran negara harus realistis, Pemerintah pada tanggal 23 Januari 1998 mengajukan revisi RAPBN 1998/99. Dalam revisi tersebut ditetapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp 5000,/US$, laju inflasi sebesar 20 persen, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen. II/15 a. Penerimaan Dalam Negeri 1) Penerimaan minyak bumi dan gas alam Penerimaan minyak bumi dan gas alam dalam Repelita VI terus meningkat setelah pada tahun 1993/94 mengalami penurunan sekitar 18,4 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 15.330,8 miliar. Peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas alam ini utamanya disebabkan membaiknya harga minyak bumi di pasar internasional yang selalu di atas harga patokan dalam APBN. Walaupun tingkat ketergantungan pendapatan negara dari penerimaan migas diarahkan untuk terus menurun, sumber penerimaan ini terus diupayakan meningkat melalui pencarian dan pengusahaan sumber daya migas dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif, penyederhanaan peraturan, serta penyediaan data dan informasi penunjang. Selain itu juga dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi eksplorasi migas, pengoptimalan pengusahaan dan produksi dengan teknologi maju melalui pemanfaatan lebih lanjut sumur migas yang ada, eksplorasi daerah frontier, serta peningkatan kapasitas kilang yang ada. Dengan berbagai upaya tersebut tingkat produksi minyak mentah, termasuk kondensat dalam Repelita VI sampai dengan tahun keempat dapat dipertahankan sekitar 1,5 juta barel per hari. Perkembangan penerimaan migas di samping dipengaruhi oleh tingkat produksinya juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi di pasar internasional dan perubahan nilai tukar dolar Amerika terhadap Rupiah. II/16 Perkembangan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP = Indonesian Crude Price) selama Repelita VI cenderung meningkat. Pada tahun 1993 harga minyak mentah Indonesia mencapai US$ 17,25 per barel, kemudian sedikit menurun di tahun 1994 menjadi sekitar US$ 16,0 per barel. Sepanjang tahun 1995 rata-rata harga minyak Indonesia mengalami kenaikan menjadi sekitar US$ 17,0 per barel dan membaik terus hingga pada tahun 1996 mencapai rata-rata sekitar US$ 20,0 per barel. Dalam tahun 1997, harga ekspor minyak bumi mengalami sedikit penurunan menjadi rata-rata sekitar US$ 19,1 per barel. Namun dengan nilai depresiasi Rupiah yang besar terutama pada semester II tahun 1997/98 penerimaan dari sektor minyak bumi dalam tahun tersebut mencapai Rp 25.522,4 miliar, jauh di atas penerimaan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 14.519,6 miliar. Peningkatan dalam penerimaan migas juga didukung oleh hasil kegiatan pengolahan sumber gas alam dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) dan LPG (Liquefied Petroleum Gas) yang mulai dimanfaatkan secara lebih optimal dengan dibangunnya kilang gas Bontang tahun 1977 dan kilang gas Arun pada tahun 1978. Perkembangan penerimaan minyak bumi dan gas alam tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 - 1997/98 dapat dilihat pada Tabel II-2. 2) Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam Penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan dari perpajakan diupayakan untuk terus meningkat secara mantap dan berkesinambungan seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, sementara penerimaan bukan II/17 pajakjuga diupayakan untuk menjadi salah satu penunjang penting bagi pemantapan struktur penerimaan dalam negeri. Secara garis besar kebijaksanaan di bidang perpajakan dal am Repelita VI adalah memperluas basis pajak dan mengintensifkan pemungutannya dengan tetap memperhatikan asas keadilan. Penerimaan pajak terdiri dari penerimaan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, bea masuk, cukai pajak ekspor dan pajak lainnya. Dalam tiga tahun pelaksanaan Repelita VI, jumlah penerimaan pajak untuk masing-masing tahun tersebut melampaui sasarannya. Untuk tahun 1997/98, meskipun realisasi penerimaan pajak yang sebesar Rp 64.066,3 miliar juga melampaui sasaran Repelitanya sebesar Rp 62.964,7 miliar, namun masih belum mencapai sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 64.714,6 miliar. Tidak tercapainya sasaran APBN tersebut terutama dikarenakan oleh tidak tercapainya sasaran penerimaan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk sebagai akibat krisis moneter. Penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) memegang peranan strategis dalam struktur penerimaan pajak. Upaya penggalian PPh di samping untuk mendapatkan penerimaan p ajak yang besar, juga dalam rangka menegakkan asas keadilan yang tercermin dalam progresivitas tarif pajak. Peningkatan penerimaan PPh dilakukan melalui intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Selain itu, juga dilakukan perluasan cara pemungutan PPh secara final terhadap jenis -jenis penghasilan tertentu, seperti hadiah undian, bunga simpanan anggota koperasi, penjualan saham, dan lain -lainnya. II/18 Sementara itu, dalam rangka mendorong kegiatan perekonomian nasional yang dalam jangka menengah akan memperbesar basis pajak, tarif PPh diturunkan. Melalui UU No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, ditentukan tarif yang baru yaitu 10 persen atas penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp 25 juta, 15 persen atas PKP di atas Rp 25 juta sampai Rp 50 juta dan 30 persen atas PKP di atas Rp 50 juta. Tarif sebelumnya adalah sebesar 35 persen untuk PKP di atas Rp 50 juta, 25 persen untuk PKP antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 15 persen untuk PKP di bawah Rp 10 juta. Selain itu, dalam rangka ekstensifikasi perpajakan telah diterbitkan SK Menteri Keuangan Nomor 248 Tahun 1995 yang mengatur pengenaan PPh atas penghasilan pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangunan guna serah atau build, operate and transfer (BOT). Sedangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1996, yang merupakan perubahan atas PP No. 48 Tahun 1994, pemerintah mengenakan PPh kepada penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Disamping itu, melalui PP No. 392 dan 393 Tahun 1996, pemerintah mengenakan tarif pajak penghasilan sebesar 5 persen dari jumlah bruto atas penghasilan persewaan tanah dan atau bangunan. Demikian pula bunga deposito/tabungan atau diskonto obligasi yang dijual di bursa efek, serta penghasilan dari usaha jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa pelayaran/penerbangan luar negeri dikenai pajak penghasilan sesuai SK Menteri Keuangan No. 416 dan 417 Tahun 1996. II/19 Dengan dilakukannya penyempurnaan perundangan maupun peraturan-peraturan pelaksanaannya, penerimaan PPh selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan PPh baru mencapai Rp 14.758,9 miliar, maka pada tahun 1997/98 diperkirakan mencapai Rp 28.458,2 miliar. Dengan demikian selama empat tahun Repelita VI, penerimaan PPh mengalami kenaikan rata-rata sebesar 17,8 persen per tahun. Meskipun peningkatan PPh tersebut cukup tinggi, realisasi tahun 1997/98 masih di bawah sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 29.II7,7 miliar. Hal ini disebabkan merosotnya keuntungan perusahaan-perusahaan sebagai akibat krisis ekonomi. Sementara itu, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Sejak diberlakukannya UU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada tahun 1985 dan disempurnakan lagi dengan UU No. II Tahun 1994 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995, penerimaan PPN terus mengalami peningkatan. Upaya meningkatkan penerimaan PPN ditempuh dengan ekstensifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum terdaftar, pemantauan yang lebih tertib terhadap PKP yang potensial, pen ingkatan pemeriksaan pajak, pengenaan sanksi terha dap PKP yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, serta melalui percepatan proses penyelesaian restitusi PPN. Sementara itu, dalam rangka memperluas pengenaan PPN terhadap barang/jasa yang belum terjangkau, maka melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1996 telah ditetapkan pengenaan PPN atas penyerahan air bersih yang disalurkan melalui pipa. Di samping itu, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 238 Tahun 1996 telah ditetapkan bahwa perusahaan II/20 operator telepon selular sebagai pemungut PPN atas impor dan atau penyerahan pesawat telepon selular. Dari rangkaian penyempurnaan perundang-undangan dan peraturan pajak pertambahan nilai, penerimaan PPN meningkat tajam. Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan PPN baru mencapai Rp 13.943,5, maka pada tahun 1997/98 diperkirakan mencapai Rp 24.501,0 miliar. Jumlah ini hampir sama dengan rencana dalam APBN-nya yang sebesar Rp 24.601,4 miliar. Dengan perkembangan tersebut penerimaan PPN dalam Repelita VI mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,2 persen per tahun. Selanjutnya adalah perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB). Pengenaan PBB di samping untuk menghimpun penerimaan negara, juga dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB, secara periodik telah dilakukan penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP), pengembangan sistem tempat pembayaran (SISTEP), pengembangan sistem informasi manajemen objek pajak (SISMIOP), serta peningkatan kegiatan penagihan terhadap PBB yang terutang. Penyesuaian NJOP secara periodik dimaksudkan agar dapat diperoleh informasi tentang nilai jual objek pajak yang wajar sesuai dengan perkembangan harga tanah dan bangunan di daerah setempat. Dalam rangka mendorong pendayagunaan tanah dan bangunan agar termanfaatkan secara optimal sekaligus mengurangi beban pajak masyarakat kecil, maka menurut Undang-undang PBB yang baru nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOP -TKP) dinaikkan dari sebelumnya Rp 7 juta menjadi Rp 8 juta tahun 1994. II/21 Walaupun ditetapkan kenaikan NJOP-TKP yang cukup tinggi, berkat adanya kegiatan reklasifikasi tanah pertanian di berbagai daerah dan peningkatan sistem administrasi melalui sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP), penerimaan PBB selama lima tahun periode Kabinet Pembangunan VI menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan PBB baru mencapai Rp l.484,5 miliar, maka pada tahun 1997/98 meningkat menjadi Rp 2.655,0 miliar, melampaui sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 2.505,0 miliar. Dengan perkembangan tersebut penerimaan PBB mengalami kenaikan rata-rata sebesar 15,6 persen per tahun selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang berlaku efektif bulan April 1996, dirancang untuk mempersiapkan dunia usaha nasional memasuki dan sekaligus memenangkan persaingan perdagangan internasional yang semakin kompetitif. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan internasional dapat berjalan sesuai dengan prinsip prinsip yang telah disepakati bersama dengan bangsa-bangsa lain serta sekaligus mendorong peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk-produk yang diperdagangkan. Dalam rangka menunjang kelancaran arus barang di pelabuhan, dewasa ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerapkan sistem kepabean yang modern melalui electronic data inter change (EDI) yaitu suatu sistem pertukaran data bisnis aplikasi antarinstansi secara elektronik dengan menggunakan standar yang disepakati bersama. Dengan sistem yang baru ini diharapkan pelayanan arus barang akan lebih cepat dan juga mengurangi biaya bongkar muat. II/22 Rangkaian deregulasi di bidang tarif bea masuk, termasuk paket Juni 1994 dan Mei 1995 yang pada intinya berupa penurunan tarif impor secara bertahap untuk baran g-barang tertentu diarahkan untuk meletakkan landasan yang kokoh dalam menyongsong era perdagangan internasional yang semakin bebas, terbuka dan kompetitif. Hal ini dilakukan karena bea masuk selain berperan sebagai salah satu sumber penerimaan negara, jug a berperan sebagai instrumen untuk mengatur arus dan pola impor barang dalam rangka mendorong ekspor, mengembangkan industri dalam negeri, dan menciptakan lapangan kerja. Sebagai akibat dari penurunan tarif, meskipun impor barang dan jasa terus meningkat, pendapatan dari bea masuk berfluktuasi, dengan kecenderungan menurun pada tiga tahun terakhir. Apabila pada tahun 1994/95 penerimaan bea masuk mencapai Rp 3.900,1 miliar, maka tahun -tahun berikutnya cenderung menurun hingga menjadi Rp 2.989,5 miliar pada tahun 1997/98. Penerimaan pada tahun 1997/98 tersebut lebih rendah dari APBN-nya yang sebesar Rp 3.321,7 miliar. Depresiasi yang lebih besar dari rencana di satu sisi menghasilkan nilai rupiah dari pendapatan bea masuk yang lebih besar, tetapi di si si lain menurunkan nilai impor. Dampak penurunan impor lebih besar dari pada pengaruh depresiasi, sehingga sasaran penerimaan dalam APBN tidak tercapai Penerimaan cukai selama empat tahun pelaksanaan pembangunan Kabinet VI terus menunjukkan peningkatan. Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan cukai baru mencapai Rp 2.625,8 miliar, maka pada tahun 1997/98 diperkirakan meningkat menjadi Rp 4.807,2 miliar. Penerimaan pada tahun 1997/98 ini melebihi sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 4.436,3 II/23 miliar. Dengan demikian selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI, penerimaan cukai meningkat rata-rata sebesar 16,3 persen per tahun. Sumber penerimaan cukai terbesar adalah dari cukai tembakau yang kontribusinya mencapai sekitar 97 persen. Besarnya penerimaan cukai tembakau tergantung pada besarnya produksi hasil-hasil tembakau, struktur tarif cukai, dan harga jual hasil produksi tembakau. Sementara itu, pengenaan pajak ekspor dengan tarif yang cukup tinggi terhadap ekspor produk kelapa sawit dalam bentuk CPO (crude palm oil), RBPO (refined bleached deodorized palm oil), Crude Olein dan RBD Olein (refined bleached doedorized olein) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 439 Tahun 1994 telah meningkatkan penerimaan pajak ekspor secara cukup berarti. Namun dengan adanya SK Menteri Keuangan Nomor 46 Tahun 1996 tentang penurunan tarif pajak ekspor sampai nol persen untuk komoditi ekspor seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium dan skrap alloy serta aneka dupa wangi dari kayu cendana menyebabkan penerimaan pajak ekspor tahun 1996/97 turun menjadi Rp 70,0 miliar: Melemahnya nilai Rupiah telah mendorong meningkatnya ekspor, terutama komoditi yang bahan baku impornya tidak ada atau kecil. Jumlah depresiasi Rupiah yang besar juga telah meningkatkan nilai ekspor dalam Rupiah. Kedua faktor tersebut menyebabkan penerimaan pajak ekspor meningkat lagi menjadi Rp 125,4 miliar. II/24 Kinerja pajak lainnya yang terdiri atas bea meterai dan bea lelang, sangat ditentukan oleh banyaknya transaksi ekonomi yang memerlukan meterai untuk keabsahan hukum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, yang disertai dengan upaya -upaya pencegahan pemalsuan meterai dan pengawasan terhadap penggunaan mesin teraan meterai, kinerja penerimaan pajak lainnya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Dalam tahun 1993/94, penerimaan pajak lainnya baru mencapai Rp 283,4 miliar, maka pada tahun 1997/98 meningkat menjadi Rp 530,0 miliar. Dengan perkembangan tersebut penerimaan pajak lainnya selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI mencapai kenaikan rata -rata per tahun sebesar 16,9 persen. Sejalan dengan arah kebijaksanaan peningkatan penerimaan dalam negeri, terutama penerimaan di luar migas, maka penerimaan negara bukan pajak diharapkan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar dalam pembiayaan pembangunan. Untuk itu, maka penerimaan yang berasal dari departemen/ lembaga pemerintah nondepartemen terus ditingkatkan antara lain melalui penyempurnaan pengelolaannya, baik yang menyangkut administrasi pemungutan, penyetoran, pembukuan dan pelaporan, maupun pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaannya. Upaya itu, juga disertai dengan upaya peningkatan kem ampuan para bendaharawan penerima, penyesuaian tarif yang sudah tidak lagi memadai, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari bagian pemerintah atas laba BUMN (termasuk bank-bank pemerintah), diarahkan pada peningkatan II/25 efisiensi dan produktivitas BUMN, melalui langkah-langkah seperti restrukturisasi BUMN yang antara lain meliputi perubahan status hukum, kerjasama operasi dan kontrak manaj emen, konsolidasi, merger, pemecahan badan usaha ke arah yang lebih mantap, penjualan saham baik melalui pasar modal maupun secara langsung, serta pembentukan perusahaan patungan. Dengan upaya restrukturisasi tersebut, diharapkan profesionalisme BUMN akan semakin meningkat, diikuti pula dengan peningkatan permodalan, pemasaran, teknologi serta perbaikan fungsi -fungsi yang lain, sehingga BUMN dapat terus meningkatkan kinerjanya. Dalam perkembangannya, realisasi PNBP mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Pada tahun 1993/94, PNBP mencapai Rp 6.944,6 miliar atau sekitar dua kali lipat penerimaan tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 3.440,3 miliar, yang antara lain dihasilkan dari laba bersih minyak (LBM) sejumlah Rp 2.320,6 miliar. Pada tahun 1997/98, PNBP mencapai Rp 8.760,5 miliar. Dengan demikian, rata-rata peningkatan penerimaan tersebut selama empat tahun Repelita IV (tanpa memperhitungkan LBM) adalah 17,3 persen per tahun. Perkembangan rincian penerimaan di luar migas tahun anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat dilihat pada Tabel II-3. b. Pengeluaran Rutin Kebijaksanaan anggaran belanja rutin selama Repelita VI diarahkan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan roda pemerintahan dan meningkatkan pelayanan aparatur pemerintah, serta diselaraskan dengan upaya menghimpun tabungan II/26 pemerintah. Sejalan dengan arah kebijaksanaan tersebut, alokasi anggaran belanja rutin dilaksanakan dengan mempertimbangkan penerimaan dalam negeri dan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas penggunaan dana tanpa mengurangi mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dalam tiga tahun Repelita VI anggaran belanja rutin meningkat tetapi dengan cukup terkendali, dari Rp 40.289,9 miliar pada tahun 1993/94 menjadi Rp 61.568,0 miliar pada tahun 1996/97. Namun pada tahun 1997/98, pengeluaran rutin meningkat tajam mencapai Rp 84.606,2 miliar. Ini berarti kenaikan dalam satu tahun tersebut melebihi kenaikan selama tiga tahun sebelumnya. Peningkatan yang tinggi pada tahun keempat Repelita VI tersebut terutama disebabkan oleh membengkaknya pengeluaran subsidi BBM dan pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri yang dipicu oleh depresiasi rupiah. Menghadapi kondisi ini, pengelu aran rutin di luar kedua pos tersebut diupayakan untuk lebih terkendali agar tabungan pemerintah tidak merosot lebih jauh. Perkembangan pengeluaran rutin secara rinci dari tahun anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat dilihat pada Tabel II-4. Dalam tahun 1997/98, pembiayaan aparatur pemerintah meningkat hingga mencapai Rp 28.521,6 miliar, yang terdiri dari belanja pegawai pusat dan daerah masing-masing sebesar Rp 19.175,0 miliar dan Rp 9.346,6 miliar. Jumlah pembiayaan aparatur pemerintah pada tahun tersebut meningkat 4,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, jauh di bawah rata -rata kenaikan selama tiga tahun sebelumnya yang sebesar 15,6 persen per tahun. II/27 Hal ini menunjukkan pemerintah. upaya untuk mengamankan t abungan Peningkatan belanja pegawai sebagian besar digunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun yang mengalami peningkatan sejalan dengan adanya kebijaksanaan kenaikan gaji, bertambahnya jumlah pegawai dan diperlukannya tambahan anggaran untuk menampung kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat/golongan dan tambahan tunjangan-tunjangan pegawai seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan struktural, serta dikembangkannya berbagai tunjangan jabatan fungsional. Selain untuk pembayaran gaji dan pensiun, besarnya belanja pegawai pusat juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan dan lauk -pauk, lain-lain belanja pegawai dalam negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Perkembangan belanja pegawai dari tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat diikuti dalam Tabel II-5. Sementara itu, dalam rangka mendukung kelancaran kegiatan pemerintahan yang semakin meluas, serta peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan berbagai prasarana dan sarana fisik yang telah selesai pembangunannya, diperlukan dukungan pembiayaan operasional dan pemeliharaan yang memadai. Pemeliharaan proyek-proyek yang telah selesai dibangun memiliki arti yang sangat penting, karena dapat menghindarkan terjadinya pemborosan investasi yang telah ditanamkan. Sebagian besar dari pembiayaan operasional dan pemeliharaan tersebut dialokasikan melalui belanja barang. Dalam tahun anggaran 1997/98, realisasi belanja barang mencap ai sebesar Rp 9.031,9 miliar, atau meningkat sebesar 24,7 persen II/28 dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini lebih rendah dibandingkan rata-rata kenaikan selama tiga tahun pertama Repelita VI sebesar 33,7 persen. Peningkatan belanja barang yang cukup besar tersebut selain untuk menampung kebutuhan kantor, inventarisasi kantor, biaya perjalanan dinas, serta langganan daya dan jasa, juga untuk membiayai pemeliharaan gedung kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor, dan aset lainnya. Selain itu, kenaikan tersebut juga disebabkan karena ditampungnya belanja barang swadana dari unit-unit swadana di berbagai departemen/LPND, perkem bangan harga dalam negeri, serta perubahan nilai tukar mata uang yang berpengaruh terhadap belanja barang luar negeri. Belanja operasional dan pemeliharaan juga dialokasikan ke seluruh daerah dalam bentuk belanja nonpegawai daerah terutama diperlukan untuk biaya operasional rumah sakit umum daerah, biaya penyelenggaraan sekolah dasar negeri, serta bia ya pengganti sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) sekolah dasar negeri. Selain itu, juga untuk membiayai pengembangan objek objek wisata daerah, dan pembinaan usaha pertambangan dalam rangka mengembangkan perekonomian daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, kemampuan pemerintah daerah dalam menghimpun pendapatan asli daerah diharapkan akan dapat ditingkatkan, agar secara bertahap mampu membiayai berbagai urusan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam tiga tahun pertama Repelita VI, rata-rata kenaikan belanja non-pegawai mencapai 15,8 persen per tahun. Namun untuk II/29 tahun 1997/98, kenaikannya dibanding tahun sebelumnya. lebih rendah yaitu 9,5 persen Selain dialokasikan melalui belanja barang dan belanja nonpegawai daerah otonom, pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga dialokasikan ke dalam pos lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Alokasi pembiayaan tersebut dipergunakan untuk mendukung berbagai kegiatan pemerintahan yang bersifat umum, antara lain menampung biaya jasa pos dan giro, biaya bebas porto, biaya penyelenggaraan Pemilu, dan berbagai jenis pembiayaan lainnya. Dalam tahun 1997/98, pengeluaran pos tersebut mencapai Rp 963,9 miliar, atau turun 40,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedang selama tiga tahun sebelumnya, pengeluaran tersebut meningkat rata-rata 28,5 persen per tahun. Sementara itu, realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1993/94 pembelanjaan untuk pos ini mencapai Rp 17.163,0 miliar, kemudian meningkat terus sehingga dalam tahun 1996/97 realisasinya mencapai Rp 23.431,8 miliar. Sebagian besar dari peningkatan pembayaran hutang tersebut di atas, antara lain digunakan untuk melakukan percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian pinjaman luar negeri yang memiliki tingkat bunga tinggi yang sampai dengan tahun anggaran 1996/97 dibiayai antara lain dari hasil penjualan saham pemerintah pada PT. Telkom dan PT. Timah di bursa modal internasional. Percepatan tersebut merupakan salah satu upaya agar kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa mendatang dapat dikurangi, sehingga pada gilirannya akan lebih memantapkan kondisi neraca pembayaran. II/30 Pada tahun 1997/98 pos pembayaran bunga dan pokok cicilan hutang mengalami peningkatan tajam hingga mencapai Rp 29.697,I miliar yang terutama disebabkan oleh melemahnya nilai tukar Rupiah. c. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan Dana pembangunan terdiri dari tabungan pemerintah dan bantuan luar negeri. Dalam menghimpun dana pembangunan tersebut diupayakan agar peran tabungan pemerintah terus meningkat. Pada tahun 1993/94 peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan tercatat sebesar 59,5 persen, sedang pada tahun ketiga Repelita VI meningkat menjadi 67,8 persen. Namun pada tahun 1997/98, dengan anjloknya nilai tukar Rupiah, nilai dana bantuan luar negeri meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, dari Rp 11.048,1 miliar menjadi Rp 23.817,0 miliar. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, tabungan pemerintah hanya sedikit meningkat dari Rp 23.224,1 milia r menjadi Rp 23.577,6 miliar. Sebagai akibatnya, peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan menurun tajam menjadi 49,7 persen. Upaya-upaya pemulihan yang tengah dan akan dilaksanakan dewasa ini diharapkan dapat memulihkan kembali kemampuan tabungan pemerintah dalam membiayai pengeluaran pembangunan. Perkembangan realisasi penghimpunan dana pembangunan tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat diikuti dalam Tabel II-6. II/31 Pengeluaran pembangunan selama Repelita VI, diarahkan terutama untuk menunjang upaya peningkatan pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), penyediaan prasarana dan sarana dasar ke segenap pelosok tanah air, pengembangan potensi dan peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan pembangunan, serta mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Arahan pengeluaran pembangunan tersebut bersifat lintas sektoral yang penanganannya dilaksanakan di semua bidang dan sektor, dan di seluruh daerah. 1) Pengeluaran Pembangunan Berdasarkan Sektor Untuk mendukung pencapaian sasaran yang digaris kan dalam pembangunan nasional, ditinjau dari alokasi sektoral, bagian terbesar dari anggaran belanja pembangunan dalam selama empat tahun Repelita VI digunakan untuk membiayai lima sektor prioritas, yaitu Sektor Transportasi, Meteorolo gi dan Geofisika, Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi, Sektor Pertambangan dan Energi, Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga, serta Sektor Pengairan. Kelima sektor tersebut selama empat tahun Repelita VI menyerap dana sebesar 66,6 persen dari total pengeluaran pembangunan. Di sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika, realisasi anggaran pembangunan dalam periode yang sama merupakan penyerap dana terbesar pertama yaitu sekitar 18, 9 persen dari total dana pembangunan. Untuk tahun 1997/98 II/32 pengeluaran pos ini sebesar Rp 9.362,1 miliar atau meningkat 54,5 persen dari tahun sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut berarti selama empat tahun Repelita VI, pos anggar an ini mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun. Anggaran pembangunan sektor tersebut antara lain dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan, program peningkatan jalan dan penggantian jembatan, program pembangunan jalan dan jembatan, program pengembangan fasilitas lalu lintas jalan, program pengembangan perkeretaapian, serta program peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Di samping itu, anggaran pembangunan sektor t ersebut juga digunakan untuk membiayai program pengembangan fasilitas pelabuhan laut, program keselamatan pelayaran, program pembinaan/pengembangan armada pelayaran, program pengembangan fasilitas bandar udara, program keselamatan penerbangan, program pembinaan/pengembangan armada udara, program pengembangan meteorologi dan geofisika, serta program pencarian dan penyelamatan. Sementara itu, realisasi anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah dan transmigrasi merupakan penyerap dana terbesar kedua, yaitu 18,1 persen dari keseluruhan pengeluaran pembangunan periode yang lama. Untuk tahun anggaran 1997/98, pos ini diperkirakan sebesar Rp 6.917,6 miliar atau meningkat sebesar 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 1993/94 yang sebesar Rp 4.369,9 miliar, maka realisasi anggaran pembangunan sektor tersebut meningkat rata-rata 12,2 persen per tahun selama empat tahun Repelita VI. II/33 Anggaran tersebut di atas dimanfaatkan antara lain untuk membiayai program pembangunan desa, program pembangunan daerah tingkat II, program pembangunan daerah tingkat I, program pembangunan desa tertinggal, program pengembangan kawasan khusus, program permukiman dan lingkungan transmigrasi, serta program pengerahan dan pembinaan transmigran. Realisasi anggaran pembangunan di sektor pertambangan dan energi untuk kurun waktu empat tahun Repelita VI merupakan penyerap dana terbesar ketiga, yaitu 12,8 persen dari total pengeluaran pembangunan. Khusus untuk tahun anggaran 1997/98 pos ini realisasinya diperkirakan mencapai sebesar Rp 6.513,6 miliar atau meningkat 66,9 persen dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita VI (1993/94), pengeluaran tahun selama empat tahun Repelita VI. mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,9 persen per tahun. Anggaran tersebut dimanfaatkan antara lain untuk menunjang pelaksanaan program pengembangan geologi dan sumber daya mineral, program pembangunan pertambangan, program pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu, program pengembangan tenaga listrik, program pengembangan listrik perdesaan, serta program pengembangan tenaga migas, batubara dan energi lainnya. Dalam periode yang sama, realisasi anggaran pembangunan sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga merupakan penyerap dana pembangunan terbesar keempat, yaitu 10,3 persen dari keselu ruhan alokasi pengeluaran II/34 pembangunan. Untuk tahun 1997/98 pos ini dianggarkan sebesar Rp 4.675,3 miliar atau naik sebesar 28,6 persen dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1993/43 yang sebesar Rp 2.761,6 miliar, maka pengeluaran pos ini tahun 1997/98 tersebut mengalami kenaikan sebesar 69,3 persen atau meningkat rata-rata sebesar 14,1 persen per tahun. Anggaran pembangunan sektor pendidikan ini antara lain dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan program pembinaan pendidikan dasar, program pembinaan pendidikan menengah, program pembinaan pendidikan tinggi, program pembinaan tenaga kependidikan dan kebudayaan, serta program operasi dan perawatan fasilitas pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, anggaran pembangunan sektor tersebut juga dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, program pendidikan kedinasan, program pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya, program pembinaan kebahasaa n, kesasteraan dan kepustakaan, program pembinaan kesenian, program pembinaan tradisi, peninggalan sejarah dan permuseuman, program pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, program pembinaan dan pengembangan pemuda, serta program keolahragaan. Selanjutnya, realisasi anggaran pembangunan di sektor pengairan dalam periode yang sama menyerap dana kelima terbesar, yakni 6,5 persen dari keseluruhan pengeluaran pembangunan. Untuk tahun anggaran 1997/98 sendiri mendapat alokasi dana sebesar Rp 3.107,9 miliar atau naik 46,7 persen dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 1993/94 yang sebesar Rp l.299,0 miliar, maka pengeluaran sektor ini selama empat tahun Repelita VI naik rata-rata 24,4 persen per tahun. II/35 Anggaran tersebut di atas, digunakan antara lain untuk membiayai program pengembangan dan konservasi sumber daya air, program penyediaan dan pengelolaan air baku, program pengelolaan sungai, danau dan sumber air lainnya, program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, serta program pengembangan dan pengelolaan daerah rawa. Di samping kelima sektor prioritas tersebut, selama pelaksanaan Repelita VI terdapat sektor-sektor lainnya yang memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar, di antaranya sektor pertahanan dan keamanan, sektor pertanian dan kehutanan, sektor perumahan dan permukiman, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja, serta sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi. Perkembangan realisasi anggaran masing-masing sektor tahun anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat diikuti dalam Tabel II-8. 2) Pengeluaran pembangunan pembiayaannya menurut jenis Selain dapat ditinjau secara sektoral, pengeluaran pembangunan juga dapat diuraikan menurut jenis pembiayaanya, yaitu pembiayaan pembangunan melalui berbagai departemen/lembaga negara, bantuan pembangunan daerah, dan pengeluaran pembangunan lainnya. Selama empat tahun Repelita VI, realisasi pengeluaran pembangunan rupiah (tidak termasuk bantuan proyek) mencapai 53,7 persen dari seluruh pengeluaran pembangunan. II/36 Perkembangan pengeluaran pembangunan rupiah menurut jenis pembiayaannya tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 1997/98 secara lebih rinci dapat diikuti dalam Tabel II -7. Selama periode pelaksanaan pembangunan empat tahun tersebut, realisasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara (tidak termasuk bantuan proyek) mencapai Rp 34.899,4 miliar, atau merupakan 46,4 persen dari dana pembangunan rupiah. Pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat, menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pengembangan sumber daya manusia, serta mengoptimalkan dan meningkatkan manfaat dari prasarana dan sarana dasar yang sedang dan telah dibangun selama ini. Sementara itu, bantuan pembangunan daerah yang tercakup dalam berbagai program Inpres, dan program pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana bagi hasil penerimaan PBB diarahkan terutama untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif mas yarakat dalam pembangunan, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Dalam rangka mempercepat upaya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, terutama mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa/kelurahan tertinggal, sejak tahun pertama Repelita VI, telah dilancarkan program bantuan pembangunan desa tertinggal (Inpres Desa Tertinggal, IDT) sebagai tambahan bagi program program penanggulangan kemiskinan yang ada dan telah dilaksanakan dalam tahun-tahun sebelumnya. Program tersebut II/37 diarahkan untuk mengkoordinasikan berbagai program yang sudah ada, baik yang bersifat sektoral maupun yang bersifat regional dalam mencapai sasaran penanggulangan kemiskinan secara lebih terpadu, khususnya di desa/kelurahan tertinggal. Dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, sejak tahun anggaran 1994/95 sistem alokasi program bantuan pembangunan daerah disempurnakan dan disederhanakan dengan mengalihkan sebagian dana program bantuan khusus ke dalam program bantuan umum. Program bantuan yang dialihkan tersebut di antaranya meliputi program pemugaran perumahan perdes aan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah lbtidaiyah, serta Inpres peningkatan jalan Dati II, dialihkan ke dalam bantuan pembangunan Dati II. Seperti diketahui bantuan pembangunan dan pemugaran pasar kecamatan semula merupakan jenis pembiayaan Inpres yang berdiri sendiri di mana pemanfaatan dananya ditentukan oleh pusat sesuai dengan sektor masing -masing. Sedangkan bantuan penghijauan semula bersama -sama bantuan reboisasi juga merupakan jenis pembiayaan Inpres yang berdiri sendiri, sejak tahun 1994/95 dipisah dengan digabungkannya jenis pembiayaan untuk reboisasi ke dalam program lnpres Dati I. Di samping menampung Inpres reboisasi, program Inpres Dati I juga menampung Inpres peningkatan jalan propinsi yang semula merupakan jenis pembiayaan Inpres tersendiri. Pengalihan beberapa program Inpres tersebut juga dimaksudkan untuk mengantisipasi semakin meningkatnya kegiatan pembangunan daerah. Selain itu beberapa kegiatan pembangunan sektoral t elah dialihkan ke dalam berbagai Inpres, sehingga makin memperluas cakupan Inpres-lnpres tersebut. Dalam periode empat tahun II/38 Repelita VI, realisasi anggaran berbagai program mencapai 44,0 persen dari realisasi dana rupiah. Inpres Selanjutnya realisasi pengeluaran pembangunan lainnya dalam periode yang sama mencapai sebesar Rp 7.195,5 miliar, merupakan 9,6 persen dari total dana Rupiah yang terserap. Alokasi anggaran pembangunan lainnya ini antara lain adalah untuk pembiayaan subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP) dan lain-lain pembangunan (LLP). Sejalan dengan semakin membaiknya penghasilan petani sebagai akibat dari kebijaksanaan kenaikan harga gabah, maka dalam rangka menurunkan beban anggaran negara serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani, secara bertahap anggaran untuk subsidi pupuk dikurangi. Sementara itu, anggaran yang disediakan bagi program penyertaan modal pemerintah (PMP) diberikan secara lebih selektif kepada berbagai institusi dan badan usaha milik negara (BUMN), dan digunakan antara lain untuk pembiayaan proyek penyediaan perumahan rakyat (KPR-BTN), pembinaan dan pengembangan industri strategis, serta untuk iuran keanggotaan pemerintah Indonesia pada berbagai organisasi inte rnasional. Pembiayaan lain-lainnya diarahkan secara lebih efisien dan efektif untuk menampung berbagai program pemerintah yang tidak tercakup dalam pembiayaan departemen dan pembiayaan daerah, di antaranya untuk membiayai proyek penyediaan subsidi benih, proyek pengadaan air bersih perkotaan, serta proyek penye hatan lingkungan permukiman. Perkembangan pengeluaran pembangunan Rupiah menurut sektor dan subsektor tahun II/39 1992/93, 1993/94, Tabel II-9. dan 1994/95-1997/98 dapat diikuti pada Di samping dibiayai dengan dana rupiah, pengeluaran pembangunan. juga dibiayai dengan dana yang berasal dari bantuan proyek. Sesuai dengan prioritas pembangunan, anggaran pembangunan bantuan proyek digunakan terutama untuk penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, pengembangan dan penerapan teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Secara keseluruhan penyerapan bantuan proyek selama empat tahun Repelita VI mencapai 46,3 persen dari total pengeluaran pembangunan. Khusus untuk tahun anggaran 1997/98 jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bantuan proyek mencapai sebesar Rp 23.817,0 miliar, naik 115,6 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp II.048,1 miliar. Perkembangan realisasi bantuan proyek menurut sektor dan subsektor tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 -1997/98 dapat dilihat pada Tabel II-10. C. MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan moneter dalam Repelita VI adalah meningkatnya tabungan masyarakat guna memenuhi kebutuhan pembiayaan investasi masyarakat. Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan moneter diarahkan untuk menunjang pemerataan hasil-hasil pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memelihara stabilitas ekonomi melalui upaya pengendalian II/40 moneter. Untuk tercapainya tujuan pembangunan tersebut diperlukan dana pembiayaan pembangunan yang diupayakan semakin banyak bersumber pada kemampuan sendiri. Sasaran tabungan masyarakat dalam Repelita VI se besar Rp 561,2 triliun. Dengan sasaran ini maka pangsa tabungan masyarakat terhadap tabungan dalam negeri mencapai 73,8 persen. Untuk mencapai sasaran tabungan masyarakat tersebut, ditempuh kebijaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi lembaga keuangan dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Salah satu langkah kebijaksanaan yang dilakukan selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI adalah melaksanakan Program Pembinaan Lembaga Keuangan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranan bank ataupun lembaga keuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan pasar modal, agar mampu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Lembaga keuangan diarahkan semakin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat. Program Pembinaan Lembaga Keuangan ini terdiri atas Sub Program Pembinaan Lembaga Pasar Uang dan Sub Program Pembinaan Lembaga Pasar Modal. Sub Program Pembinaan Lembaga Pasar Uang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranan bank ataupun lembaga keuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan pasar uang sehingga makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat dan sebagai penyalur dana yang cermat dan efektif. Sedangkan Sub Program Pembinaan Pasar Modal bertujuan untuk II/41 lebih meningkatkan fungsi pasar modal agar mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif melalui pemilikan saham perusahaan yang menjual saham dan obligasi di pasar modal (go public). 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Sampai Dengan Tahun Keempat Repelita VI a. Moneter Kebijaksanaan moneter yang diterapkan selama Repelita VI tetap diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Untuk menjaga kelangsungan pembangunan dan menunjang pencapaian tujuan tersebut, langkah-langkah pelaksanaan kebijaksanaan moneter beserta piranti-piranti yang digunakan senantiasa diarahkan untuk dapat memenuhi kecukupan likuiditas yang diperlukan dengan suku bunga yang wajar guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti memanasnya ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan pengendalian jumlah uang beredar memegang peranan penting, di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya di sektor moneter seperti kebijaksanaan suku bunga, nilai tukar, perkreditan, dan kebijaksanaan pinjaman luar negeri. Dalam kerangka tersebut, pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) dan kredit perbankan dijadikan sebagai sasaran indikatif guna mendukung sasaran di atas. Sentimen pasar sewaktu waktu dapat mendorong perubahan arus modal yang keluar-masuk dalam jumlah besar pada kurun waktu 1990 -an dan menimbulkan gejolak keuangan. Pengendalian ekspansi uang beredar yang II/42 berasal dari aliran dana luar negeri dilakukan dengan mengurangi minat investor untuk melakukan penanaman modal yang bersifat spekulatif melalui pelebaran dan pelebaran rentang kurs intervensi. Dalam kaitan dengan kebijaksanaan tersebut, nilai tukar rupiah terus diupayakan agar tetap realistis dan tidak menghambat pertumbuhan ekspor. Pada tahun pertama Repelita VI upaya untuk mengurangi dampak yang kurang menguntungkan akibat semakin meningkatnya aliran modal masuk jangka pendek dilakukan melalui pengendalian uang beredar dengan menaikkan tingkat diskonto SBI, pelebaran kurs jual-beli valuta asing dan penyempurnaan ketentuan posisi devisa neto perbankan. Dalam tahun kedua Pemerintah berupaya untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah dengan menerapkan batas kurs intervensi dan melakukan beberapa kali penyesuaian. Selain itu, untuk menghadapi spekulasi valuta asing, telah diadakan kerjasama dengan bank sentral negara -negara tetangga melalui transaksi repo (repurchase agreement) surat-surat berharga. Pada tahun ketiga Repelita VI langkah-langkah kebijaksanaan moneter tersebut diperkuat dengan pemberlakuan ketentuan giro wajib minimum (GWM) sebesar 3 persen pada bulan Februari 1996, yang kemudian dinaikkan menjadi 5 persen pada bulan April 1997. Selain itu, dilakukan pula penyempurnaan ketentuan penerimaan pinjaman komersial luar negeri oleh bank dan badan usaha bukan bank pada bulan Maret 1997. Di samping itu, juga dilakukan persuasi moral agar bank memberikan kredit sesuai rencana kerja tahunan mereka serta mentaati ketentuan mengenai permodalan dan batas maksimum pemberian kredit. II/43 Memasuki tahun keempat Repelita VI terjadi gejolak mata uang di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Korea Selatan sejak pertengahan tahun 1997 yang bermula dengan mata uang Bath Thailand, kemudian merembet ke mata uang lain termasuk rupiah. Rupiah bersama-sama mata uang lainnya melemah terhadap dolar Amerika dan mata uang kuat dunia lainnya. Bahkan dampaknya terhadap rupiah dewasa ini adalah yang paling besar, dalam arti depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika jauh lebih besar daripada terhadap mata uang lainnya di kawasan ini. Dalam menghadapi tekanan pada kurs rupiah, telah diupayakan langkah-langkah penyesuaian likuiditas yang beredar di masyarakat. Kondisi likuiditas diperketat dan tingkat suku bunga dinaikkan agar dapat menopang nilai dan daya tarik rupiah relatif terhadap mata uang kuat dunia. Pada pertengahan Agustus 1997, diputuskan untuk mengubah penentuan kurs kepada mekanisme pasar. Langkah ini diambil setelah mengambil pelajaran dari perkembangan moneter yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Nilai rupiah yang terus merosot tajam terhadap dolar Amerika Serikat menyulitkan sektor swasta untuk mengembalikan pinjaman luar negerinya. Masalah ini kemudian berkembang menjadi menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap r upiah dan sistem perbankan. Gejolak nilai tukar rupiah telah mendorong pula meningkatnya laju inflasi dan tingkat pengangguran. Kenaikan laju inflasi terkait pula dengan timbulnya kesulitan impor, sebagai akibat tidak dihormatinya LC dari Indonesia, sehingga beberapa kebutuhan pokok menjadi lebih langka dan harganya meningkat. II/44 Juga ekspor beberapa komoditi terhambatnya impor bahan baku. sempat terhambat, karena Untuk menghadapi tekanan pada kurs rupiah yang berlanjut, diambil langkah-langkah kebijaksanaan berupa penurunan giro wajib minimum valuta asing, pembatasan transaksi berjangka valuta asing (forward), dan pemberian fasilitas pembiayaan sebelum dan sesudah pengiriman barang ekspor serta fasilitas penjaminan devisa pada nilai tukar tertentu (swap). Pada akhir Oktober 1997 disusun kebijaksanaan dan program ekonomi dan keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi nasional, meningkatkan daya tahan ekonomi serta memperbaiki daya saing perekonomian. Dalam kerangka ini, Indonesia bekerjasama dengan badan-badan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dengan bantuan dari negara -negara sahabat. Program-program di hidang ekonomi dan keuangan tersebut antara lain meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilisasi moneter termasuk kurs mata uang. Penyehatan sektor keuangan mencakup perbankan baik swasta, pemerintah dan bank pembangunan daerah, lembaga pembiayaan, asuransi, dan dana pensiun, serta lembaga-lembaga di pasar modal seperti reksadana dan perusahaan efek. Program-program ini diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998 dengan serangkaian kebijaksanaan seperti yang tertuang dalam 50 butir kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Untuk mengehdalikan dan mengawasi pelaksanaan program II/45 reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan tersebut dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan. Guna memperbaiki dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dan perbankan nasional, pada bulan Januari 1998 telah dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dan telah diambil berbagai langkah lainnya untuk memulihkan kembali kepercayaan kepada ekonomi Indonesia. Antara lain penyelesaian hutang luar negeri swasta, jaminan pemerintah ata s deposito masyarakat dan pinjaman perbankan, merjer bank BUMN dan penyesuaian batas minimal modal bank swasta. Dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah, dewasa ini sedang dikaji pembentukan Sistem Dewan Mata Uang (Currency Board System). Dalam sistem seperti ini, nilai suatu mata uang (rupiah) terhadap mata uang acing (dolar AS) ditentukan pada nilai tukar yang tetap: Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian kepada dunia usaha. Sementara itu, selama empat tahun Repelita VI jumlah uang beredar (M1) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19,9 persen per tahun, dari Rp 37,9 triliun pada tahun 1993/94. menjadi Rp 78,3 triliun pada bulan Desember 1997. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1993/94 yaitu sebesar 23,9 persen (Tabel II -11). Kenaikan jumlah uang beredar tersebut terutama terjadi karena peningkatan uang giral yaitu sebesar 23,5 persen. Dilihat dari komposisinya, peranan uang giral terhadap Ml semakin meningkat dari 59,5 persen pada tahun 1993/94 menjadi 63,7 persen pada Desember 1997. Hal ini mengindikasikan semakin berkembangnya proses giralisasi dalam masyarakat. Uang kuasi yang terdiri dari deposito berjangka dan tabungan dalam periode yang sama mengalami pertambuhan rata -rata 25,7 II/46 persen per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, likuiditas perekonomian (M2) yang terdiri dari uang beredar (M1) dan uang kuasi meningkat rata-rata 24,3 persen per tahun. Pertumbuhan uang beredar yang cukup terkendali selama 4 tahun Repelita VI, merupakan cermin dari kebijaksanaan moneter yang berhati-hati agar permintaan barang dan jasa di dalam negeri dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi nasional. Sampai dengan tahun ketiga Repelita VI stabilitas ekonomi semakin mantap seperti tercermin dari penurunan tingkat infl asi dari 10,0 persen pada tahun 1992/93 menjadi satu angka inflasi per tahun dari tahun 1993/94 Sampai dengan 1996/97 (Tabel II -12). Namun selama 10 bulan pertama tahun 1997/98, angka inflasi telah mencapai 16,0 persen, dipicu oleh krisis moneter seba gai akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan musim kemarau panjang yang melanda berbagai daerah. Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar dalam arti luas (M2), sumber utama yang mempengaruhinya adalah peningkatan kredit kepada sektor swasta. Sumbangan peningkatan kredit pada tahun 1993/94 sebesar Rp 34,0 triliun meningkat menjadi Rp 94,9 triliun pada bulan Desember 1997. Sektor keuangan pemerintah dalam Repelita VI menunjukkan pengaruh mengurang yang cukup besar, dari Rp l,9 triliun pada tahun 1993/94, secara bertahap meningkat menjadi Rp 16,7 triliun pada tahun 1997/98. Rincian lebih lanjut faktor -faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar, dapat dilihat pada Tabel II-13. II/47 Berkaitan dengan pengendalian uang beredar, kebijaksanaan suku bunga dalam Repelita VI diarahkan untuk mendorong kegiatan masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa, di sisi lain merangsang minat masyarakat untuk menabung dan mencegah pelarian modal ke luar negeri. Suku bunga kredit modal kerja sebesar 21,7 persen pada tahun 1992/93 diupayakan untuk menurun menjadi di bawah 20 persen sampai dengan bulan Juli 1997. Dengan diupayakannya pengendalian moneter yang ke tat sejak bulan Agustus 1997, yang didahului oleh kenaikan tingkat diskonto SBI secara berarti, tingkat suku bunga deposito berjangka dan kredit juga meningkat (Tabel II-14). Perkembangan suku bunga mempengaruhi upaya penghimpunan dana masyarakat. Dana masyarakat yang dihimpun perbankan selama empat tahun Repelita VI bertambah sebesar Rp 213,0 triliun atau tumbuh rata -rata sebesar 25,4 persen per tahun. Pertumbuhan dana masyarakat mencapai puncaknya pada tahun 1995/96 yaitu sebesar 28,7 persen, dimana pangsa deposito berjangka mencapai 57,4 persen (Tabel II-15). Dari dana masyarakat yang dihimpun tersebut, simpanan dalam bentuk giro, baik dalam rupiah maupun valuta asing, selama empat tahun Repelita VI (1993/94 – 1997/98) bertambah sebesar Rp 51,4 triliun atau naik rata-rata 27,2 persen per tahun. Sementara itu, jumlah deposito berjangka dalam rupiah yang berhasil dihimpun perbankan dalam periode yang sama telah meningkat sebesar Rp 76,7 triliun atau naik rata-rata 26,6 persen per tahun (Tabel II-16). Meskipun demikian, pertumbuhannya dalam tahun 1997/98 hanya sebesar 5,4 persen. Hal ini dipengaruhi oleh merosotnya nilai tukar rupiah yang tajam, sehingga penempatan dana pada deposito berjangka rupiah menjadi kurang mena rik, II/48 walaupun tingkat suku bunganya telah dinaikkan. Gejala serupa juga terlihat pada perkembangan tabungan, dalam tabel II -17 dan sertifikat deposito bank, dalam Tabel II -18. Dana masyarakat dalam bentuk tabungan selama empat tahun Repelita VI meningkat sebesar Rp 30,4 triliun atau tumbuh rata -rata 16,0 persen per tahun. Sedangkan ditinjau dari sudut jumlah penabung, jumlah rekening tabungan meningkat sebesar 19,8 juta buah atau naik rata-rata 10,4 persen per tahun. Meskipun demikian, dalam tahun keempat Repelita VI, pertumbuhannya hanya mencapai 2,5 persen, yang menunjukkan kecenderungan yang sama seperti deposito berjangka rupiah. Di sisi penyaluran dana, arah kebijakan perkreditan pada Repelita VI dilandasi oleh paket Januari 1990, yaitu mendorong pengembangan usaha kecil dan pengembangan ekspor, antara lain melalui penyehatan sistem perkreditan yang dapat meningkatkan efisiensi alokasi dana masyarakat ke arah kegiatan produktif, pengurangan peranan kredit likuiditas, pembentukan suku bunga berorientasi pasar, dana penyempurnaan kredit usaha kecil (KUK) agar lebih terarah dengan didukung seluruh bank. Termasuk di dalamnya adalah perlunya perbankan mengarahkan penyaluran dananya kepada usaha kecil secara padat karya sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja. Sejalan dengan upaya penghimpunan dana, selama empat tahun Repelita VI kredit perbankan meningkat sebesar Rp 232,1 triliun atau naik rata-rata 25,4 persen per tahun, yang mencapai puncaknya pada tahun 1997/98 yaitu sebesar 27,2 persen. II/49 Menurut sektor perbankan, pemberian kredit oleh bank swasta nasional menunjukkan pertumbuhan tertinggi, yaitu dari Rp 68,4 triliun pada tahun 1993/94 menjadi Rp 187,5 triliun sampai dengan bulan Desember 1997 atau tumbuh rata-rata 28,7 persen per tahun. Selain itu, telah terjadi pergeseran pangsa penyaluran kredit sejak tahun 1994/95, pangsa kredit bank swasta nasional telah melampaui pangsa kredit bank-bank pemerintah (Tabel II-19). Keadaan tersebut dimungkinkan oleh bertambahnya jumlah bank, kantor cabang serta penghimpunan dana bank swasta nasional yang lebih cepat akibat deregulasi perbankan. Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada sektor jasa-jasa mencatat peningkatan tercepat, yait u rata-rata sebesar 34,0 persen per tahun selama empat tahun Repelita VI. Sementara itu, sejak tahun 1995/96, telah terjadi pergeseran penyaluran kredit dimana pangsa penyaluran kredit kepada sektor jasa -jasa melampaui pangsa penyaluran kepada sektor produ ksi, yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian (Tabel II 20). Sedangkan perkembangan realisasi kredit investasi menurut sektor ekonomi dalam periode yang sama dapat dilihat pada Tabel II-21. b. Lembaga-lembaga Keuangan 1. Perbankan Jangkauan pelayanan jasa perbankan telah semakin luas hingga ke pelosok daerah di seluruh wilayah Indonesia selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI. Jumlah bank sampai dengan akhir tahun 1997 mencapai 223 bank yang terdiri dari 7 Bank Persero, 146 Bank Swasta Nasional, 27 Bank Pembangunan II/50 Daerah, 33 Bank Campuran, dan 10 Bank Asing. Jumlah kantor bank juga meningkat dari 7095 kantor pada tahun 1993/94 menjadi 7143 kantor. Dari segi penyebarannya, sebagian besar kan tor bank masih terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya di Pulau Jawa. Namun pertumbuhan jumlah kantor pertahunnya di wilayah Indonesia bagian timur lebih tinggi daripada wilayah bagian barat, yaitu 11,9 persen dibandingkan dengan 9, 3 persen. Sementara itu, total aset perbankan meningkat dari Rp 283,3 triliun pada tahun 1993/94 menjadi Rp 614,5 triliun pada tahun 1997. Seluruh bank mum, tanpa terkecuali bank asing dan bank campuran sejak bulan April 1997, harus memenuhi ketentuan penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK). Agar penyaluran kredit ini dapat berperan dalam program pengentasan kemiskinan, maka mekanisme dan persyaratan penyalurannya senantiasa disempurna kan. Sebagai contoh upaya tersebut adalah pengembangan akses usaha kecil memperoleh KUK, antara lain melanjutkan pelaksanaan Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dan Proyek Kredit Mikro (PKM), serta Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK). Hingga tahun 1997 telah berhasil disalurkan kredit usaha kecil rat a-rata sebesar 16,8 persen dari seluruh portfolio kredit perbankan. Dari tahun 1993 hingga 1997 telah dikeluarkan sejumlah kebijaksanaan untuk memperkuat sistem perbankan nasional. Melalui paket kebijaksanaan Mei 1993 disempurnakan beberapa ketentuan antara lain mengenai modal minimum bank, batas maksimum pemberian kredit, plafon dan cakupan kredit usaha kecil, serta tatacara penilaian tingkat kesehatan bank. Penyempurnaan ini bertujuan menerapkan asas -asas perkreditan yang sehat, mendorong pe mbiayaan perbankan bagi usaha II/51 menengah dan kecil, mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar, dan memantau perkembangan kredit perbankan. Selain itu diupayakan pula peningkatan kualitas pengawas dan pemeriksa bank melalui berbagai pendidikan dan pelatihan. Untuk mendorong perbankan melakukan kegiatan yang berlandaskan kepada prinsip kehati-hatian telah dikeluarkan Pedoman Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank pada tahun 1995. Selain itu untuk meningkatkan penyediaan informasi kepada masyarakat telah ditingkatkan peranan akuntan publik dalam penyajian laporan keuangan bank-bank dan penyempurnaan format laporan tersebut di dalam media massa. Upaya penyempurnaan peraturan kredit perbankan tersebut telah mendorong semakin menurunnya proporsi kredit macet terhadap total kredit dari 4,0 persen atau Rp 8,7 triliun pada tahun 1994 menjadi 2,9 persen atau Rp 9,5 triliun pada tahun 1996. Meskipun demikian potensi bertambahnya kredit macet cukup besar karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Pada akhir tahun 1997 jumlah kredit bermasalah, yang terdiri dari kredit macet, kredit kurang lancar dan kredit ragu -ragu, mencapai Rp 31,9 triliun atau 7,2 persen dari total kredit. Sebagian dari kredit bermasalah tersebut merupakan kredit di sektor properti. Rata-rata pertumbuhan kredit di sektor tersebut dalam periode 1994 hingga 1996 mencapai 33,1 persen per tahun yang jauh lebih cepat dibandingkan rata-rata pertumbuhan total kredit sebesar 24,5 persen pertahun. Pertumbuhan kredit yang cepat tersebut telah meningkatkan penawaran gedung/ruang kantor dan perumahan. Sementara itu permintaannya turun dengan cepat pada II/52 semester II tahun 1997 sebagai akibat dari krisis moneter dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kelebihan penawaran tersebut telah mendorong peningkatan kredit bermasalah di sektor properti. Guna mengatasi meningkatnya kredit bermasalah telah diambil langkah-langkah yang lebih efektif, antara lain melalui pemeriksaan khusus terhadap perkreditan dan debitur sejumlah bank. Selain itu kepada beberapa bank yang memiliki kredit bermasalah dalam jumlah besar telah dibentuk Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Kredit Bermasalah yang kegiatannya diawasi oleh Tim Kerja Khusus Penyelesaian Kredit Bermasalah Bank Indonesia. Pemanfaatan sarana hukum yang ada juga ditingkatkan melalui kerjasama antar instansi yang terkait. Untuk mengatasi berbagai kendala yang timbul dalam pembenahan bank-bank bermasalah telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Adanya peraturan ini menambah efektifitas piranti hukum yang ada apabila likuidasi bank diperlukan. Pendirian bank baru juga semakin diperketat. Jumlah modal minimum pendirian bank umum devisa ditingkatkan menjadi Rp 150 miliar pada tahun 1995. Persyaratan bagi para calon pengurus, dewan komisaris, dan pemegang saham bank baru juga semakin diperketat. Meskipun berbagai langkah kebijaksanaan di atas telah dilakukan, namun masih terdapat beberapa bank yang bermasalah. Jumlah bank bermasalah ini semakin besar dengan adanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Sebagian bank memiliki II/53 pinjaman luar negeri yang jumlahnya meningkat akibat merosotnya nilai tukar rupiah. Sebagian bank yang lain juga mengalami kesulitan likuiditas akibat penarikan dana simpanan masyarakat. Akibat kesulitan likuiditas, sebagian bank telah memanfaatkan fasilitas diskonto Bank Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan swasta semakin menurun dalam tahun 1997. Untuk membenahi dan memperbaiki sistem perbankan nasional dilakukan restrukturisasi perbankan, antara lain melalui likuidasi terhadap 16 bank swasta nasional. Restrukturisasi perbankan juga diupayakan dengan mendorong pelaksanaan merjer dan akuisisi diantara bank-bank nasional. Upaya ini telah dilaksanakan pada bank-bank pemerintah, dari semula 7 buah bank digabung menjadi 3 buah bank. Beberapa bank swasta juga telah menyatakan merjer pada awal tahun 1998. Langkah-langkah restrukturisasi perbankan tersebut ditegaskan kembali dalam Nota Kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional pada pertengahan bulan Januari 1998. Nota tersebut juga memuat tentang peninjauan kembali kerangka hukum perbankan, peningkatan transparansi dan keterbukaan di sektor perbankan, serta rencana pencabutan berbagai larangan pembatasan atas kantor cabang bank asing. Langkah-langkah di atas dilengkapi dengan beberapa Keputusan Presiden pada akhir Januari 1998. Untuk mengembalikan secepatnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang dan perbankan nasional maka dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhada p Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Dalam keputusan ini ditetapkan bahwa Pemerintah memberi jaminan akan dipenuhinya kewajiban II/54 pembayaran Bank Umum kepada para pemilik simpanan dan kreditur, terkecuali pinjaman subordinasi. Selanj utnya untuk melaksanakan jaminan Pemerintah tersebut dan upaya penyehatan bank, maka diputuskan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. 2. Asuransi Untuk mempersiapkan industri asuransi menjadi lembaga yang handal menjawab perubahan yang terjadi dengan cepat maka dimulai deregulasi di bidang asuransi dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Selanjutnya undang-undang tersebut dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1993 tentang Usaha Perasuransian, yang antara lain menetapkan modal minimal perusahaan asuransi, dan tatacara investasi perusahaan asuransi. Selain itu juga dikeluarkan deregulasi berupa penyederhanaan prosedur perizinan dan kesempatan yang lebih luas kepada perusahaan asing untuk membentuk usaha patungan serta mencabut peraturan yang mengatur tarif premi asuransi. Dengan rangkaian deregulasi ini diharapkan perusahaan asuransi nasional dapat meningkat daya saingnya melalui langkah efisiensi dan profesionalisme. Melalui berbagai kebijaksanaan deregulasi di atas perusahaan asuransi nasional tumbuh secara berarti. Sampai dengan bulan Agustus 1997, jumlah perusahaan asuransi berkembang menjadi 171 perusahaan, yang terdiri dari 103 pe rusahaan asuransi kerugian, 58 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program asuransi social dan jamsostek, serta 3 penyelenggara program asuransi untuk pegawai negeri sipil dan II/55 ABRI. Dibandingkan dengan tahun 1993, jumlah meningkat sebanyak 26 perusahaan asuransi baru. tersebut Pertumbuhan industri asuransi yang pesat tercermin pula dari pertambahan premi bruto asuransi. Pada tahun 1996 tercatat premi bruto asuransi sebesar Rp 8,6 triliun yang berarti ha mpir dua kali lipat lebih besar terhadap posisi tahun 1993. Kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu sekitar 42,1 persen dari total premi bruto pada tahun 1996. Gejolak nilai tukar rupiah mengakibatkan sebagian besar perusahaan asuransi mengalami kesulitan akibat meningkatnya beban operasional. Dengan kondisi demikian sulit diharapkan usaha asuransi mampu meningkatkan modalnya pada akhir tahun 1997 sebagai batas akhir penyesuaian terhadap ketentuan dalam UU Asuransi tahun 1992. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan program restrukturisasi usaha asuransi sebagai bagian dari program reformasi sektor keuangan sejak Oktober 1997. Melalui program ini usaha asuransi antara lain didorong untuk memperkuat permodalannya melalui merjer. 3. Lembaga Pembiayaan Kehadiran lembaga pembiayaan semakin penting sebagai alternatif sumber dana bagi sektor swasta disamping perbankan. Dalam periode tahun 1993 hingga 1995 perusahaan pembiayaan berkembang pesat dari 164 perusahaan menjadi 252 perusahaan. Perusahaan pembiayaan ini mencakup sewa guna usaha, II/56 pembiayaan anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan pembiayaan usaha kartu kredit. Agar lembaga ini dapat berfungsi optimal, telah dikeluarkan ketentuan kehati-hatian dan pengawasannya, serta pemberian wewenang kepada Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan. Selanjutnya dengan mempertimbangkan jumlah perusahaan pembiayaan yang telah memenuhi kebutuhan perekonomian, maka tidak lagi diberikan ijin usaha baru perusahaan pembiayaan. Rangkaian kebijaksanaan dalam tahun 1995 di atas telah membatasi peningkatan jumlah perusahaan pembiayaan yaitu dari 254 perusahaan pada tahun 1995 menjadi 252 perusahaan pada tahun 1996. Namun demikian kegiatan usaha pembiayaan, tetap meningkat dari Rp 9,4 triliun pada tahun 1993 menjadi Rp 26,9 triliun pada tahun 1995, dan Rp 38 triliun pada tahun 1996. Usaha modal ventura juga menunjukkan kenaikan. Nilai penyertaan hingga pertengahan tahun 1997 telah mencapai Rp 51 miliar, yang berarti meningkat dari Rp 67,0 miliar pada tahun 1993. Jumlah perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha juga meningkat menjadi 56 perusahaan dan 312 perusahaan pada pertengahan tahun 1997. Perkembangan lembaga pembiayaan menjadi kurang menggembirakan setelah terjadi krisis moneter dalam semester II tahun 1997. Sebagian perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan likuiditas akibat meningkatnya kredit macet dan berlipatnya j umlah pembayaran hutang luar negeri. Suku bunga bank yang tinggi juga memperburuk kinerja keuangannya. Untuk mengatasi hal ini II/57 dilakukan upaya restrukturisasi lembaga pembiayaan, seperti mendorong penggabungan antar lembaga pemb iayaan dan memperbaiki struktur pendanaan lembaga pembiayaan. 4. Dana Pensiun Peranan dana pensiun telah meningkat sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Berbagai ketentuan pelaksanaannya juga telah dikeluarkan. Dana pensiun diarahkan agar dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan pekerja ketika memasuki masa pensiun. Selanjutnya dalam rangka pengelolaan dana yang aman dan basil yang besar dengan resiko yang kecil telah dikeluarkan kebijaksanaan pengaturan investasi dana pensiun pada tahun 1995. lnvestasi dana pensiun antara lain hanya dapat ditempatkan pada deposito berjangka, saham, obligasi, dan surat berharga pasar uang (SBPU). Dalam upaya penyebaran resiko, maka mulai tahun 1997 dana pensiun diperbolehkan menanamkan investasi pada reksa dana. Pada tahun 1997 juga dikeluarkan beberapa ketentuan untuk meningkatkan kinerja dana pensiun, antara lain menyangkut pelaporan, informasi kepada peserta, dan penggabungan dan pemisahan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Berbagai ketentuan tersebut telah meningkatkan jumlah dana pensiun mencapai 287 perusahaan, yang terdiri dari 265 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 22 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) hingga pertengahan tahun 1997. Jumlah tersebut meningkat pesat dibandingkan 157 perusahaan pada tahun 1994. Investasi yang disalurkan oleh Dana Pensiun juga meningkat dari II/58 Rp 8,2 triliun pada tahun 1994 menjadi Rp 12,27 triliun pada tahun 1996. Dana pensiun dan tabungan hari tua pegawai negeri si pil yang dikelola oleh PT Taspen juga terus bertambah. Hingga tahun 1997 terkumpul tabungan hari tua sebesar Rp 3,4 triliun dan dana pensiun sebesar Rp 6,7 triliun. Jumlah dana pensiun yang terkumpul tersebut meningkat dibandingkan pencapaian ta hun 1993 yang sebesar Rp 5,9 triliun. 5. Pegadaian Usaha Perum Pegadaian terus didorong mengingat peranannya sebagai penyedia alternatif pembiayaan bagi masyarakat luas. Jumlah masyarakat yang mendapatkan pinjaman terus meningkat. Jika pada tahun 1993 masyarakat yang terlayani baru sekitar 2,5 juta orang, maka pada tahun 1996 telah mencapai sekitar 5 juta nasabah yang telah mendapatkan pinjaman. Jumlah pinjaman yang disalurkan juga bertambah besar dari Rp 650 miliar pada tahun 1993 menjadi Rp 1,7 triliun pada tahun 1996. Kinerja yang meningkat tersebut didukung oleh pertambahan jumlah kantor cabang Perum Pegadaian dari 556 kantor pada tahun 1993 menjadi 614 kantor pada tahun 1996. Usaha yang dilakukan juga semakin luas, yaitu diadakannya jasa taksiran dan penitipan barang berharga, serta kerjasama untuk pembangunan gedung kantor dan pertokoan dengan sistem bangun, kelola dan alih (build, operate, and transfer) disamping pinjaman sebagai kegiatan utama. II/59 6. Pasar Modal Pengembangan pasar modal diarahkan pada berjalannya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar dan efisien, serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Langkah awal penataan organisasi dimulai pada tahun 1992 dengan ditetapkannya Bapepam sebagai pengawas pasar modal dan pembentukan PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai penyelenggara bursa efek di Jakarta. Dalam Repelita VI hingga tahun 1997 telah banyak dikeluarkan kebijaksanaan dalam rangka memperkuat sistem dan infrastruktur pasar modal. Pada segi peraturan misalnya diupayakan penyederhanaan persyaratan bagi perusahaan yang akan go public, kewajiban penyampaian laporan, dan peningkatan modal bagi perusahaan penjamin emisi efek nasional. Berbagai peraturan tersebut mendapatkan landasan hukum yang kukuh setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Penyempurnaan pada segi institusi juga terus dilaksanakan. Pada tahun 1994 Bursa Paralel Indonesia (BPI) diaktifkan. Selain itu melalui PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dilakukan pemeringkatan atas efek yang bersifat hutang yang diterbitkan oleh perusahaan publik. Otomasi perdagangan oleh BEJ telah dimulai sejak tahun 1995 agar dapat lebih menjamin keamanan, kecepatan, dan perlindungan bagi para pemodal. Sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan dalam dua tahun terakhir, antara lain mengenai kegiatan perdagangkan marjin, II/60 penyempurnaan ketentuan mengenai usaha reksadana, pe nentuan kriteria usaha menengah untuk dapat go public, dan penyempurnaan struktur organisasi Bapepam. Ketentuan mengenai reksa dana juga semakin disempurnakan agar lebih berkembang. Tarif pajak penghasilan bagi penjualan saham-saham pendiri perusahaan publik juga diturunkan sejak tahun 1997 untuk meningkatkan pemerataan kepemilikan saham. Pengembangan sistem dan infrastruktur pasar modal selama Repelita VI telah meningkatkan kinerjanya. Jumlah emiten saham mencapai 298 perusahaan pada akhir tahun 1997, yang berarti jauh meningkat dibandingkan 181 perusahaan pada tahun 1993. Demikian pula dengan emiten obligasi dari 35 perusahaan pada tahun 1993 meningkat menjadi 70 perusahaan pada tahun 1997. Sejalan dengan meningkatnya perusahaan publik maka nilai kapitalisasi pasar jugs bertambah besar menjadi sekitar Rp 155 triliun di Bursa Efek Jakarta dan sekitar Rp 140 triliun di Bursa Efek Surabaya. Nilai ini jauh meningkat dibanding pada tahun 1993, yaitu masing-masing sebesar Rp 69 triliun dan Rp 54 triliun. Perkembangan indeks harga saham gabungan berfluktuasi selama periode 1993 hingga 1997. Banyak faktor yang menentukan pergerakan harga saham, antara lain kondisi stabilitas nasional dan kebijaksanaan ekonomi makro. Namun demikian nilai harga saham cenderung meningkat selama Repelita VI sampai tahun ketiga. Pada akhir tahun 1993, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tercatat 589 dan mencapai 725 pada pertengahan tahun 1997. Dengan terjadinya gejolak moneter, maka memasuki bulan Juli 1997 hingga akhir tahun 1997, nilai IHSG terus menurun hingga mencapai 402 pada akhir Desember 1997, II/61 tetapi sedikit meningkat menjadi di atas 500 pada awal Februari 1998. Untuk menstabilkan kegiatan pasar modal yang sedang melesu, maka telah dilakukan beberapa langkah kebijaksanaan, antara lain menghapuskan pembatasan pembelian saham pemodal asing di pasar modal dari 49 persen menjadi 100 persen. Selain itu diwajibkan bagi BUMN menyisihkan satu persen dari laba usahanya untuk diinvestasikan di pasar modal. Juga telah diterbitkan 2 instrumen pasar modal yang baru yaitu efek beragun aset dan sertifikat penitipan efek Indonesia. Kelembagaan pasar modal juga semakin disempurnakan dengan didirikannya PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT KSEI) yang berfungsi sebagai lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Dengan langkah langkah ini diharapkan situasi pasar modal secara bertahap pulih kembali. D. PENUTUP Mobilisasi dana untuk investasi nasional, baik untuk investasi pemerintah maupun masyarakat, telah berkembang dengan pesat selama tiga tahun Repelita VI. Di sisi pemerintah, tabungan pemerintah yang terus meningkat dan melebihi sasaran tahunan Repelita VI telah mampu membiayai pengeluaran pembangunan yang kebutuhannya juga meningkat. Struktur dana pembangunan juga bertambah mantap, dengan peranan tabungan pemerintah yang meningkat dari 59,5 persen pada tahun 1993/94 menjadi 67,8 persen pada tahun 1996/97. II/62 Penghimpunan dana masyarakat melalui lembaga keuangan juga meningkat dengan pesat selama tiga tahun pelaksanaan Repelita VI. Jumlah tabungan dan deposito masyarakat di perbankan tumbuh sebesar 25,4 persen per tahun. Jasa pelayanan keuangan yang ditawarkan oleh berbagai lembaga keuangan juga telah semakin berkembang. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar modal telah meningkat sekitar tiga kali lipat, yang berarti semakin banyak perusahaan yang menghimpun dana di pasar ini. Namun demikian dana yang terhimpun belum mencukupi kebutuhan investasi. Hal ini dipenuhi oleh arus masuk modal asing yang besar, khususnya pinjaman oleh sektor swasta selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI. Pemanfaatan pinjaman ini telah memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama tiga tahun pelaksanaan Repelita VI di satu sisi, di sisi lain menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gejolak keuangan internasional. Gejolak ini terjadi dalam tahun anggaran 1997/98 terutama pada paruh kedua yang berakibat anjloknya nilai tukar Rupiah. Gejolak ini merupakan bagian dari gejolak mata uang negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Keadaan ini memperlemah kemampuan negara dalam menghimpun tabungan pemerintah dan menghambat pertumbuhan simpanan masyarakat dalam rupiah. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam terhadap doll ar Amerika Serikat mengakibatkan kesulitan bagi sektor swasta mengembalikan pinjaman luar negerinya. Selanjutnya masalah ini berkembang pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah dan sistem perbankan. Pihak kreditur asing juga kurang mempercayai kemampuan sektor swasta Indonesia memenuhi II/63 kewajiban pembayaran. Akibatnya krisis moneter menjadi makin luas, sehingga depresiasi rupiah lebih besar dibanding mata uang lain di kawasan ini yang juga terkena krisis tersebut. Gejolak nilai tukar rupiah juga telah mendorong meningkatnya laju inflasi. Untuk mencegah semakin melebarnya masalah dan memulihkan kembali kondisi perekonomian, telah dilakukan berbagai langkah kebijaksanaan sejak pertengahan tahun 1997/98. Upaya tersebut mendapat bantuan dari lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara sahabat. Bekerjasama dengan IMF telah dilancarkan serangkaian program reformasi yang meliputi bidang penyehatan sektor keuangan, konsolidasi keuangan negara, dan penyesuaian struktural sebagai perluasan dan pendalaman dari program deregulasi. Berbagai kebijaksanaan telah dikeluarkan dalam rangka penyehatan sektor keuangan, antara lain penggabungan antar bank pemerintah dan antar bank swasta, pembentukan Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan serta Badan Penyehatan Perbankan Nasional, penyelesaian huffing luar negeri swasta, pemberian jaminan atas deposito masyarakat dan pinjaman perbankan, dan penyesuaian batas minimal modal bank swasta. Selain itu, sedang dikaji pembentukan Sistem Dewan Mata Uang (Currency Board System). Peran serta masyarakat dalam ikut mengatasi krisis keuangan juga didorong melalui gerakan cinta rupiah dan penggunaan produksi dalam negeri. Dalam rangka konsolidasi keuangan negara seiring dengan menurunnya kemampuan menghimpun tabungan pemerintah, diambil langkah untuk menjadwalkan kembali pembiayaan rupiah II/64 dalam pengeluaran pembangunan tahun 1997/98 sebesar Rp 3.287,9 miliar, atau mencapai 12,7 persen dari yang dianggarkan dalam APBN-nya. Selain itu, langkah penghematan juga dilakukan dengan mengkaji lagi atau menangguhkan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai dengan kredit ekspor, proyek-proyek BUMN dan proyekproyek swasta yang berkaitan dengan pemeri ntah atau BUMN. Jumlah yang ditangguhkan mencakup 81 proyek senilai Rp 49.565,4 miliar sedang 75 proyek senilai Rp 61.624,2 miliar dikaji kembali. Keputusan tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1997. Pada tanggal 1 Nopember 1997, dari penilaian le bih lanjut, sejumlah 8 proyek yang semula dikaji kembali dan 7 proyek yang semula ditangguhkan, diputuskan untuk diteruskan. Namun pada tanggal 10 Januari 1998, mengingat besarnya dana yang dibutuhkan untuk proyek-proyek tersebut dipandang semakin mempersu lit upaya penanggulangan gejolak moneter, maka diputuskan untuk mengembalikan status proyek-proyek tersebut yang masih dalam tahap pelaksanaan menjadi dikaji kembali dan ditangguhkan. Sebagai langkah lanjutan, dalam penyusunan RAPBN 1998/99, telah direncanakan untuk memperkuat penerimaan negara dengan menertibkan administrasi penerimaan bukan pajak dan mengendalikan pengeluaran rutin. Langkah ini juga dimaksudkan untuk memantapkan pengeloaaan keuangan negara yang transparan. Selain itu, penyusunan RAPBN diupayakan pula secara realistis. Berdasarkan prinsip ini, RAPBN 1998/99 yang disampaikan kepada DPR pada tanggal 6 Januari 1998, direvisi pada tanggal 23 Januari 1998 agar mencerminkan perkembangan terakhir perekonomian. II/65 Anggaran pembangunan dalam RAPBN 1998/99 direncanakan meningkat cukup tinggi, yaitu naik 26,9 persen dibandingkan APBN tahun sebelumnya. Namun, kenaikan ini terutama disebabkan oleh melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dari Rp 2.481/US$ menjadi Rp 5.000/US$, yang mengakibatkan melonjaknya nilai bantuan luar negeri. Tabungan pemerintah jauh menurun, yaitu 33,8 persen, dibandingkan APBN tahun sebelumnya. Dengan perkiraan tersebut, peranan bantuan luar negeri dalam dana pembangunan tercatat cukup t inggi, yaitu 65,3 persen. Gambaran mengenai sumber dana pembangunan untuk RAPBN 1998/99 tersebut menunjukkan bahwa secara riil anggaran pembangunannya cukup ketat. Meskipun anggarannya ketat, alokasi dana Inpres yang diharapkan dapat memelihara momentum pembangunan di daerah dan sekaligus sebagai sarana pemerataan serta wujud dari komitmen untuk memberikan otonomi yang lebih tinggi kepada daerah, tetap mendapat prioritas utama. Di samping itu, untuk membantu mengatasi akibat dari krisis ekonomi, dialokasikan dana untuk membantu pengangguran terdidik dan tidak terdidik di perkotaan dan perdesaan dengan cara padat karya. Berbagai langkah kebijaksanaan dan program di atas serta program-program lain dalam tahun terakhir Repelita VI diharap kan dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap rupiah dan dapat memperbaiki sistem keuangan sehingga dapat benar-benar menjadi penunjang stabilitas dan upaya pembangunan. II/66 TABEL II RINGKASAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Akhir Repelita V No. 1. Uraian 1993/94 1994/95 Repelita VI 1996/97 1995/96 1997/98 1998/99 Penerimaan Dalam Negeri a. Penerimaan minyak dan gas alam b. Penerimaan di luar minyak dan gas alam b.1. Pajak b.2. Bukan pajak 52.769,0 15.127,6 37.641,4 59.737,1 12.851,2 46.885,9 66.747,9 13.986,1 52.761,8 74.032,5 14.288,4 59.744,1 84.239,9 14.851,1 69.388,8 97.291,2 15.210,3 82.080,9 33.848,7 3.792,7 40.074,4 6.811,5 46.632,4 6.129,4 53.800,8 5.943,3 62.964,7 6.424,1 75.185,1 6.895,8 2. Pengeluaran Rutin 37.094,9 42.350,8 47.677,1 51.837,0 58.580,9 67.149,9 3. Tabungan Pemerintah 15.674,1 17.386,3 19.070,8 22.195,5 25.659,0 30.141,3 4. Dana Bantuan Luar Negeri 9.553,1 10.012,0 11.356,0 12.327,9 13.417,6 a. Bantuan Program 426,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 b. Bantuan Proyek 9.126,3 10.012,0 11.356,0 12.327,9 13.417,6 14.366,5 14366,5 5. Dana Pembangunan 25.227,2 27.398,3 30.426,8 34.523,4 39.076,6 44.507,8 6. Pengeluaran Pembangunan 25.227,2 27.398,3 30.426,8 34.523,4 39.076,6 44.507,8 II/67 TABEL II – 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PBNDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) No. Uraian 1992/93 1) Akhir Repelita VI Repelita V 1993/94 1) 1994/95 1) 1995/96 1) 1996/97 2) 1997/98 2) 1. Penerimaan Dalam Negeri 48.862,6 56.113,1 66.418,0 73.013,9 84.792,1 108.183,8 2. Pengeluaran Rutin 33.605,4 40.289,9 44.069,0 50.435,0 61.568,0 84.606,2 3. Tabungan Pemerintah 15.257,2 15.823,2 22.349,0 22.578,9 21.224,1 23.577,6 4. Dana Bantuan Luar Negeri a. Bantuan Program 11.097,9 516,5 10.752,5 - 9.837,8 - 9.008,8 - 11.048,1 - 23.817,0 - b. Bantuan Proyek 10.581,4 10.752,5 9.837,8 9.008,8 11.048,1 23.817,0 5. Dana Pembangunan 26.355,1 26.575,7 32.186,8 31.587,7 34.272,2 47.394,6 6. Pengeluaran Pembangunan 26.906,3 28.428,1 30.691,7 28.780,7 33.454,3 46.918,3 7. Surplus + /Defisit ( ) -551,2 -1.852,4 1.495,1 2.807,0 817,9 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) 2) Angka APBN – P II/68 456,3 GRAFIK II - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 II/69 TABEL II — 1.A RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) No. Uraian Akhir Repelita I 1973/74 Akhir Repelita II 1978/79 Akhir Repelita III 1983/84 Akhir Repelita IV 1988/89 1. Penerimaan Dalam Negeri 149,7 975,2 4.247,0 16.366,7 23.413,8 2. Pengeluaran Rutin 149,7 699,7 2.672,7 10.215,2 20.934,9 0,0 275,5 1.574,3 6.151,5 2.478,9 57,9 (35,5) (22,4) 142,9 (93,6) (49,3) 437,9 (52,5) (385,4) 2.543,1 (14,9) (2.528,2) 10.124,3 (2.665,9) (7.458,4) 5. Dana Pembangunan 57,9 418,4 2.012,2 8.694,6 12.603,2 6. Pengeluaran Pembangunan 57,9 406,3 1.945,8 8.557,0 12.317,2 7. Surplus + /Defisit ( ) 0,0 12,1 66,4 137,6 286,0 3. Tabungan Pemerintah 4. Dana Bantuan Luar Negeri a. Bantuan Program b. Bantuan Proyek 1) II/70 1968 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) TABEL II - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) 2) Angka APBN -P II/71 GRAFIK II - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 II/72 TABEL II – 2.A PENERIMAAN DALAM NEGERI 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) 1) 2) II/73 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Termasuk LBM TABEL II – 3 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) II/74 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Angka APBN-P Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 2.320,6 miliar Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 2.005,8 miliar Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 487,6 miliar GRAFIK II - 3 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 II/75 TABEL II - 3.A PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) No. Jenis Penerimaan Akhir Repelita III 1983/84 Akhir Repelita IV 1988/89 1. Pajak Penghasilan 25,3 142,0 562,0 1.970,0 4.432,3 2. Pajak Pertambahan Nilai 15,2 102,8 328,1 813,8 4.367,4 3. Bea Masuk 37,3 128,9 320,9 591,8 1.376,1 4. Cukai 16,6 62,6 232,6 822,0 1.410,4 5. Pajak Ekapor 13,9 69,7 158,2 103,6 140,9 15,4 17,6 46,7 255,6 25,5 117,0 156,4 361,9 4,7 80,8 245,9 512,3 1.532,8 116,4 627,7 1.982,3 5.016,6 13.877,3 6. Pajak Lainnya 7. Pajak Bumi dan Bangunan & Penerimaan Bukan Pajak 2) Jumlah 1) 2) 1968 Akhir Akhir Repelita I Repelita II 1 973/74 1978/79 3,4 - Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Termasuk LBM II/76 TABEL II – 4 PENGELUARAN RUTIN 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Angka APBN-P II/77 II/7 GRAFIK II - 4 PENGELUARAN RUTIN 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 II/78 TABEL II – 4 PENGELUARAN RUTIN 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) II/79 TABEL II – 5 BELANJA PEGAWAI 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Akhir Repelita V No. Jenis Pengeluaran 1. Tunjangan beras 1992/93 1) 1993/94 Repelita VI 1) 1994/95 1) 1995/96 1) 1996/97 2) 1997/98 2) 916,0 890,9 833,9 973,2 733,5 1.139,3 2. Gaji pegawai/pensiun 7.595,4 9.145,2 10.181,2 11.047,9 14.507,1 15.236,4 3. Uang makan/lauk pauk 479,2 492,8 755,6 560,1 1.174,9 1.199,2 4. Lain – lain belanja pegawai dalam negeri 315,0 417,7 368,3 369,8 748,2 792,4 5. Belanja pegawai luar negeri 273,7 255,2 317,2 290,1 451,0 1.031,0 11.144,8 12.595,5 13.001,4 18.020,5 19.175,0 Jumlah 1) 2) II/80 9.554,2 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Angka APBN – P TABEL II – 5.A BELANJA PEGAWAI 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) Akhir Repelita I No. Jenis Pengeluaran 1968 Akhir Repelita II 1973/74 1978/79 Akhir Repelita III Akhir Repelita IV 1983/84 1988/89 1. Tunjangan beras 36,2 44,0 132,8 346,1 569,2 2. Gaji pegawai/pensiun 25,8 151,1 734,2 1.989,8 4.209,2 3. Uang makan/lauk pauk 9,4 14,6 51,2 261,3 359,0 4,4 17,5 33,6 87,6 203,3 2,5 6,4 23,7 66 148,5 78,3 233,6 975,5 2.750,8 5.489,2 4. Lain – lain belanja pegawai dalam negeri 5. Belanja pegawai luar negeri Jumlah 1) II/81 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) TABEL II – 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Akhir Repelita V No. Jenis Dana Pembangunan 1. Tabungan Pemerintah Persentase 3) 2. Dana Bantuan Luar Negeri Persentase 3) 3. Jumlah Dana Pembangunan Persentase 3) 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) 2) Angka APBN – P 3) Terhadap Jumlah Dana Pembangunan II/82 Repelita VI 1992/93 1) 1993/94 1) 1994/95 1) 1995/96 1) 1996/97 2) 1997/98 2) 15.257,2 15.823,2 22.349,0 22.578,9 23.224,1 23.577,6 69,4 71,5 67,8 9.837,8 9.008,8 11.048,1 30,6 28,5 32,2 32.186,8 31.587,7 34.272,2 57,9 II.097,9 42,1 26355,1 100,0 59,5 10.752,5 40,5 26.575,7 100,0 100,0 100,0 100,0 49,7 23.817,0 50,3 47.394,6 100,0 GRAFIK II - 5 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 1) 2) 3) II/82 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Angka APBN-P Terhadap Jumlah Dana Pembangunan GRAFIK II – 5 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 II/83 TABEL II – 6.A PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) Akhir Repelita I Akhir Repelita II 1968 1973/74 1978/79 Tabungan Pemerintah 0,0 275,5 1.574,3 Persentase 2) 0,0 65,8 78,2 70,8 19,7 57,9 142,9 437,9 2.543,1 10.124,3 100,0 34,2 21,8 29,2 80,3 57,9 418,4 2.012,2 8.694,6 12.603,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 No. Jenis Pengeluaran 1. 2. Dana Bantuan Luar Negeri Persentase 2) 3. Jumlah Dana Pembangunan Persentase 2) 1) 2) II/84 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Terhadap Jumlah Dana Pembangunan Akhir Repelita III Akhir Repelita IV 1983/84 1988/89 6.151,5 2.478,9 TABEL II - 7 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Angka APBN-P Sejak tahun 1994/95 termasuk bantuan/pemugaran perumahan Perdesaan dan pasar kecamatan Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dan Inpres peningkatan jalan Dati II Sejak tahun 1994/95, termasuk Inpres reboisasi dan Inpres peningkatan Jalan Dati I Sejak tahun 1994/95, tidak termasuk bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah II/85 TABEL II - 7.A REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 ¹) (miliar rupiah) 1) 2) II/86 Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) Data tidak tersedia kecuali jumlah keseluruhan TABEL II – 8 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) II/87 (Lanjutan Tabel II-8) II/88 TABEL II – 8.A REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) II/89 No. 10. Sektor/Subsektor SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN dan KELUARGA BERENCANA 10.1 Sub Sektor Kesehatan 10.2 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan Peranan Wanita 10.3 Sub Sektor Kependudukan den Keluarga Berencana II. 12. 13. 14. 15. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT dan PEMUKIMAN 17. 18. 1968 Akhir Repelila II 1978/79 Lanjutan Tabel II - 8.A Akhir Akhir Repelira III Repelita IV 1983/84 1988/89 - 8,5 79,4 278,7 339,1 (..) (..) (..) (..) (56,8) (5,7) (154,3) (42,7) (209,3) (18,3) (..) (..) (16,9) (81,7) (II1,5) .. 8,5 55,6 220,9 II.1 Sub Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman (..) (..) (55,6) (220,9) SEKTOR HUKUM .. .. 11,1 56,6 27,1 12.1 Sub Sektor Hukum (..) (..) (11,1) (56,6) (27,1) SEKTOR PERTAHANAN dan KEAMANAN (..) 7,2 159,4 526,0 555,0 13.1 Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional (..) (7,2) (159,4) (526,0) (555,0) SEKTOR PENERANGAN, PERS dan KOMUNIKASI SOSIAL .. .. 10,8 27,5 0,0 27,0 14.1 Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Soalal (..) (..) (10,8) (27,5) SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI .. 22,4 42,4 302,6 720,8 (..) (..) (14,2) (170,1) (113,3) (..) (..) (28,2) (132,5) (607,5) 54,2 316,6 151,2 (54,2) (316,6) (151,2) 15.1 Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 15.2 Sub Sektor Penelitian 16. Akhir Repelita I 1973/74 APARATUR PEMERINTAH .. .. 16.1 Sub Sektor Aparatur Pemerintah (..) (..) SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA .. 481,3 (481,3) (27,0) 40,8 161,6 233,9 237,9 (40,8) (161,6) (233,9) (237,9) 17.1 Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha (..) SEKTOR SUMBER ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP .. .. .. 193,2 225,1 (..) (..) (..) (193,2) (225,1) 57,9 450,9 2.555,6 9.899,2 12.250,7 18.1 Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Jumlah 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) .. = Rincian berdasarkan data PAN tidak tersedia II/90 TABEL II - 9 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 (miliar rupiah) No. Sektor/Subsektor SEKTOR INDUSTRI 1992/93 1) Akhir Repelita V 1993/94 1) 284,5 1995/96 1) 1996,97 2) 1997/98 2) 619,5 418,6 551,2 (209,0) 673,8 (673,8) (223,5 ) 1.351,3 (1.346,1) (619,5) 676,8 (670,4) (418,6) 969,4 (959,4) (551,2) 1.482,4 (1.473,5) (..) 630,3 (..) (5,2) 999,9 (457,3) (6,4) 1.115,4 (366,7) (10,0) 1.178,4 (344,5) (8,9) 993,3 (306,6) (566,2) (630,3) (542,6) (748,7) (833,9) (686,7) SEKTOR TENAGA KERJA 4.1 Sub Sektor Tenaga Kerja 99,2 (99,2) 111,7 (111,7) 121,6 (121,6) 150,7 (150,7) 140,7 (140,7) SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAI, 5.1 KEUANGAN DAN KOPERASI Sub Sektor Perdagangan Dalam Negeri 5) 5.2 Sub Sektor Perdagangun Luar Negeri 5) 5.3 Sub Sektor Pengembangan Usaha Nasional 6) 629,9 911,9 605,3 704,8 191,9 1.1 Sub Sektor Industri SEKTOR PERTANIAN 2.1 DAN KEHUTANAN Sub Sektor Pertanian 2.2 Sub Sektor Kehutanan SEKTOR PENGAIRAN 3.1 Sub Sektor Pengembangan Sumber Daya Air (284,5) 598,9 (598,9) 3.2 Sub Sektor Irigasi 4) (..) 566,2 (..) 20,09 Repelita VI 1994/95 1) 223,5 104,8 (104,8) 1.138,8 (483,5) (511,4) (17,0) (18,3) (27,2) (29,1) (..) (107,0) (..) (358,1) (573,7) (489,3) (33,9) (366,7) (43,6) (520,0) (71,8) (5,7) (2,1) (184,3) 3.678,4 (9,9) (104,1) 3.832,6 (5,3) (80,0) 3.975,7 5.4 Sub Sektor Koperasi 5.5 Sub Sektar Koperasi dan Pengusaha Kecil SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 6.1 Sub Sektor Prasarana Jalan 6.2 Sub Sektor Transportasi Darat (..) (..) (39,4) (42,4) 3.456,5 3.470,1 (2.728,5) (2.725,7) (320,0) (293,4) 6.3 Sub Sektor Transportasi Laut (161,8) (288,9) 6.4 Sub Sektor Transportasi Udara (246,2) (222,1) (3,7) (55,1) 3.921,6 (3.191,1) (288,9) (3.027,5) (262,9) (3.048,9) (322,2) (3.252,7) (307,2) (228,6) (198,7) (235,9) (204,6) (196,8) (176,2) (207,4) (195,4) (..) (16,2) (13,1) (18,2) (15,8) 1.618,4 1.432,3 825,0 889,5 778,6 (34,3) (34,0) (42,8) (30,8) 6.5 Sub Sektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERG1 7.1 Sub Sektor Pertambangan 7.2 Sub Sektor Energi 8. SEKTOR PARIWISATA, POS 8.1 DAN TELEKOMUNIKASI Sub Sektor Pariwisata 8.2 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 9. SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH 9.1 DAN TRANSMIGRASI Sub Sektor Pembangunan Daerah 7) 9.2 Sub Sektor Transmigrasi dan Pemukiman (..) 1.619,7 (29,5) (29,5) (1.590,2) (1.588,9) (1.398,0) (791,0) (846,7) (747,8) 277,5 (27,9) 267,5 (32,5) 299,9 (34,8) 68,9 (37,7) 90,0 (49,2) 75,8 (51,3) (249,6) (235,0) (265,1) (31,2) (40,8) (24,5) 3.738,8 (3.038,9) 4.231,4 (3.493,3) (699,9) (738,1) 5.222,9 (4.470,0) (752,9) 5.747,4 6.507,3 6.465,3 (4.895,6) (5.440,5) (5.477,6) (851,8) (1.066,8) (987,7) Perambah hutan II/91 (Lanjutan Tabel II – 9) II/92 (Lanjutan Tabel II – 9) I) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) 2) Angka APBN-P 3) Pada tahun 1993/94 adalah program produksi kehutanan, subsektor Pertanian 4) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program perbaikan dan pemeliharaan jaringan pengairan dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 5) Pada tahun 1993/94 merupakan program dalam Sub Sektor Perdagangan 6) Angka pada tahun 1993/94 termasuk Otorita Batam dan Perbankan dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Sub Sektor Pembangunan Daerah dan Sub Sektor Keuangan 7) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program penataan ruang daerah dan penataan pertanahan dan dalam lahun 1994/95 don 1995/96 masuk ke dalam subsektor Tata Ruang 8) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pengembangan meteorologi dan geofisika, dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukkan ke dalam Sub Sektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) den subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 9) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pembinaan pendidikan masyarakat dan program pembinaan generasi muda dan keolahragaan yang dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukkan ke dalam Sub Sektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan, dan Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga 10) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program peranan wanita dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk kedalam Sub Sektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 11) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Agama 12) Pada tahun 1993/94 adalah subsektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan subsektor Penelitian 13) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Hukum 14) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Aparatur Pemerintah 15) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional II/93 TABBL II — 9.A REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 ¹) (miliar rupiah) II/94 (Lanjutan Tabel II-9A) 1) 2) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) .. = Rincian berdasarkan data PAN tidak tersedia II/95 TABEL II – 10 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) II/96 (Lanjutan Tabel II – 10) II/97 (Lanjutan Tabel II – 10) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) Angka Pertitungan AnggaranNegara (PAN) Angka APBN-P Pada tahun 1993/94 adalah program produksi kehutanan, subsektor Pertanian Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Perbaikan dan pemeliharaan jaringan Pengairan Dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam subsektor Pengembangan Sumber Daya Air Pada tahun 1993/94 merupakan program dalam Sub Sektor Perdagangan Angka pada tahun 1993/94 termasuk Otorita Batam dan Perbankan dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 ma Suk ke dalam Sub Sektor Pembangunan Daerah dan Sub Sektor Keuangan Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Penataan ruang daerah dan penataan pertanahan Dan dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Subsektor Tata Ruang Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Pengembangan Meteorology dan geofisika Dan dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Subsektor Meteorology dan geofisika Pencarian dan Penyelamatan (SAR) dan Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pembinaan Pendidikan masyarakat dan program pembinaan geNerasi muda dan keolahragaan yang dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukan ke dalam Subsektor PenDidikan Luar Sekolah dan Kedinasan, dan Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Peranan wanita dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke Dalam Sub Sektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Agama Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pengembangan dan Teknologi dan subsektor Penelitian Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Hukum Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Aparatur Pemerintah Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional II/98 TABEL II – 10.A REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1) (miliar rupiah) II/99 (Lanjutan Tabel II – 10.A) 1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN) II/100 TABEL II – 11 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Akhir Repelita V No. 1. Uraian Repelita VI 1995/96 1996197 1997,982) 232.493 22,2 20,8 22,1 28,0 30.592 37.908 12,0 23,9 18,5 18,4 19,6 23,2 (Uang Kartal) Pangsa (%) (12.324) 40,3 (15.340) 40,5 (18.902) 42,1 (21.121) 39,7 (23.312) 36,7 (28.424) 36,3 (Uang Giral) Pangsa (%) (18.268) 59,7 (22.568) 59,5 (26.006) 57,9 (32.041) 60,3 (40.253) 63,3 110.921 136.793 179.331 231.016 31,1 28,8 Jumlah Uang Beredar (M1) Uang Kuasi Pertumbuhan (%) 1) 1) Rata-rata tahunan 2) Terhadap tahun sebelumnya II/101 1994/95 181.701 Pertumbuhan (%) 2) 3. 1993/94 148.829 Likuiditas Perekonomian (M2) Pertumbuhan (%) 1) 2. 1992/93 123.160 92.568 26,0 19,8 44.908 23,3 53.162 294.581 26,7 63.565 355.643 20,7 78.343 (49.919) 63,7 277.300 20,0 TABEL II – II.A PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR 1968, 1973/74, 1978/79,1983/84,1988/89 (miliar rupiah) No. Uraian 1. 2. 1968 Likuiditas Perekonomian (M2) Pertumbuhan (%) 1) Jumlah Uang Beredar (M1) Pertumbuhan (%) 2) (Uang Kartal) Pangsa (%) (Uang Giral) Pangsa (%) 3. Uang Kuasi Pertumbuhan (%) 1) 1) Rata–rata tahunan 2) Terhadap tahun sebelumnya II/102 Akhir Repelita I 1973/74 Akhir Repelita II 1978/79 Akhir Repelita III 1983/84 Akhir Repelita IV 1988/89 124 1.203 4.155 15.758 .. 57,5 28,1 30,6 44.167 22,9 114 121,2 (75) 65,8 784 47,9 (421) 53,7 2.800 32,6 (1.369) 48,9 8.055 9,2 (3.554) 44,1 15.009 18,9 (6.559) 43,7 (39) (363) (1.431) (4.501) (8.450) 34,2 46,3 51,1 55,9 56,3 10 .. 419 .. 1.355 26,5 7.703 41,6 29.158 30,5 TABEL II – 12 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 1) 2) II/103 Terhadap tahun sebelumnya Angka sementara sampai dengan Desember 1997 TABEL II – 12.A PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR ¹) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 Akhir Repelita I No. Uraian 1. Tingkat Kenaikan Harga (%) ²) 2. Tingkat Pertambahan Jumlah Uang Beredar (%) ³) 1968 1973/74 Akhir Repelita II Akhir Repelita III Akhir Repelita IV 1978/79 1983/84 1988/89 85,1 47,4 11,8 12,6 6,6 121,2 47,9 32,6 9,2 18,9 1) Angka tahunan 2) Sampai dengan Maret 1979 berdasarkan Indeks Biaya Hidup (IBH) di Jakarta. Untuk periode April 1979 s/d Oktober 1990 berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) gabungan 17 kota (April 1977 – Maret 1978 = 100). Mulai April 1990 menggunakan Indeks Harga Konsumen gabungan 27 kota (April 1988 – Maret 1989 = 100) 3) Terhadap tahun sebelumnya II/104 TABEL II – 13 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) No. Uraian 1992/93 Akhir Repelita V 1993/94 Repelita VI 1994/95 1997/98 ¹) 1995/96 1996/97 9.102 15.227 25.754 1. Sektor Activa Luar Negeri 2. Sektor Pemerintah (63) (1.937) (2.710) (5.200) (4.107) (16.717) 3. Sektor Kegiatan Perusahaan - Tagihan pada Lembaga / Perusahaan Pemerintah - Tagihan pada Perusahaan Swasta dan Perorangan 13.262 35.344 39.485 48.328 61.073 99.861 (53) (1.331) (-574) (3.252) (2.705) (4.941) (13.209) (34.013) (40.059) (45.076) (58.368) (94.920) 4. Aktiva Lainnya (Bersih) (679) (4.542) 73 (1.438) (10.105) (47.836) 5. Likuiditas Perekonomian (M2) 22.362 25.669 3.2872 50.792 62.088 61.062 3.272 (1.297) (1.975) 7.316 (3.016) (4.300) 7.000 (3.562) (3.438) 8.254 (2.219) (6.035) 10.403 (2.191) (8.212) 14.778 (5.112) (9.666) 19.090 18.353 25.872 42.538 51.685 46.284 Jumlah Uang Beredar (M1) - (Uang Kartal) - (Uang Giral) Uang Kuasi 1) 9.716 (3.196) (3.976) Angka sementara sampai dengan Desember 1997 II/105 TABEL II – 13.A SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR ¹) 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) Angka tahunan Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah Dari Rp 702,5 menjadi Rp 970 per dollar AS pada 30 Maret 1983, masing-masing sebesar Rp 1.962,5 miliar Pada sector luar negeri Rp 237,3 miliar pada sector Pemerintah, Rp 294,3 miliar pada sector kegiatan Perusahaan Rp 1.399,4 miliar dan Rp 620,1 miliar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi) Termasuk tagihan pada swasta Kredit Pengadaan Pangan II/106 TABEL II - 14 PBRKEMBANGAN SUKU BUNGA 1) 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 (%/tahun) No. 1. 2. 3. 4. 1) 2) 3) 4) 1992/93 Akhir Repelita V 1993/94 Suku Bunga Deposito Berjangka ²) 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan 15,7 16,3 17,7 19,3 11,5 11,9 13,4 15,2 Suku Bunga Kredit ³) Kredit Modal Kerja Kraut Imestasi Repelita VI 1995/96 1996/97 1997/98 4) 15,9 14,6 13,9 14,5 17,3 16,9 16,7 15,4 16,5 16,4 16,4 16,0 23,9 17,0 15,9 15,5 21,7 18,3 18,0 18,4 15,2 15,3 19,3 16,4 18,9 16,4 25,4 18,9 Tingkat Diskonto SBI 7 hari 1 bulan 3 bulan 11,5 12,5 12,8 7,6 13,0 8,5 14,2 10,5 14,3 12,9 14,0 14,8 7,5 11,0 11,9 16,0 20,0 11,3 Tingkat Diskonto SBPU 7 hari 1 bulan 3 bulan 12,5 13,5 14,0 11,0 15,3 12,0 16,0 12,0 16,0 15,8 16,5 16,5 14,8 15,5 15,5 18,0 22,0 21,0 Uraian 1994/95 Suku bunga tingkat diskonto akhir periode Rata-rata tertimbang Rata-rata tertimbang untuk Kredit Non-Prioritas Angka sementara sampai dengan Desember 1997 II/107 TABEL II - 14.A PERKEMBANGAN SUKU BUNGA ¹) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (%//tahun) Uraian No. Akhir Repelita I 1973/74 1968 Akhir Repelita II 1978/79 Akhir Repelita III 1983/84 Akhir Repelita IV 1988/89' 1. Suku Bunga Deposito Berjangka 2) 48,0 60,0 72,0 .. 9,0 12,0 15,0 24,0 3,0 6,0 9,0 15,0 17,5 18,5 19,8 19,0 18,0 19,2 18,8 16,9 2. Suku Bunga Kredit 3) Kredit Modal Kerja Kredit Investasi .. .. 15,0 15,0 12,0 12,0 21,7 19,4 22,3 19,6 3. Tingkat Diskonto SBI 7 hari 1 bulan 3 bulan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 14,6 15,0 13,8 17,1 4. Tingkat Diskonto SBPU 7 hari 1 bulan 3 bulan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 15,8 17,6 .. 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan 1) Suku bunga tingkat diskonto akhir periode. 2) Rata-rata tertimbang 3) Rata-rata tertimbang untuk Kredit Non-Prioritas. . II/108 TABEL II – 15 PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING ¹) 1992/93,1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 6) II/109 Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan serta Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk Termasuk giro valuta asing Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti Ongkos Naik Haji (ONH) Terhadap tahun sebelumnya Angka sementara sampai dengan Desember 1997 TABEL II – 15.A PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING ¹) 1969/70, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) II/110 Angka akhir tahun. Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan, dan bank-bank Tabungan serta termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk Termasuk giro valuta asing Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH) Terhadap tahun sebelumnya TABEL II - 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU ¹) 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 4) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat Deposito Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu Terhadap tahun sebelumnya Angka sementara sampai dengan Desember 1997 II/111 TABEL II – 16.A PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU 1) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) No. Uraian 1 11 81 1.010 3.578 2. 3 Bulan 1 22 40 632 4.723 3. 6 Bulan 1 21 II0 891 3.019 4. 12 Bulan 2 36 98 1.620 7.227 5. 24 Bulan 7 142 612 591 2.071 6. Lainnya 1 18 6 169 365 12 .. .. 251 75 42,3 946 42 4,7 4.912 2.505 104,0 (%) 2) 3) 1968 Akhir Akhir Akhir Repelita II Repelita III Repelita IV 1978/79 1983/84 1988/89 2 1. 1 Bulan ) Jumlah Perubahan 3) 1) Akhir Repelita 1 1973/74 Angka akhir tahun. Termasuk dana milk Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat deposito Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu Terhadap tahun sebelumnya II/112 20.984 4.328 26,0 TABEL II – 17 PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 Akhir Repelita V No. Uraian Jumlah Tabungan Penabung Pertumbuhan 1) Posisi Pertumbuhan 1) 1) 2) II/113 Satuan 1992/93 1993/94 1994/95 Repelita VI 1995/96 1996/97 1997/98 2) ribu orang (%) 38.843 12,4 40.618 4,6 44.725 10,1 49.197 10,0 54.527 10,8 60.441 10,8 miliar Rp (%) 28.343 62,2 37.613 32,7 40.922 8,8 51.170 25,0 66.321 29,6 67.990 2,5 Terhadap tahun sebelumnya Angka sementara sampai dengan Desember 1997 TABEL II – 17.A PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT 1) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 Uraian Satuan 1968 Akhir Repelita I 1973/74 Akhir Repelita II 1978/79 Akhir Repelita III 1983/84 Akhir Repelita IV 1988/89 Jumlah Penabung ribu orang .. 3.030 7.607 11.637 22.666 Posisi miliar Rp .. 40 209 638 2.485 1) Angka tahunan II/114 TABEL II – 18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1) 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Uraian 1992/93 Akhir Repelita V 1993/94 1. Bank Pemerintah 507 468 802 3.805 3.205 2. Bank Swasta ²) 1.375 1.494 2.717 6.749 11.113 5.894 Jumlah 1.882 1.962 3.519 10.554 14.318 6.671 No. 1) Posisi akhir Maret 2) Sebelum Maret 1985 merupakan posisi sertifikat deposito bank asing, sedangkan sejak Maret 1985 termasuk posisi sertifikat deposito bank umum swasta nasional 3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997 II/115 Repelita VI 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 ³) 777 TABEL II – 18.A PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) 1) Angka akhir tahun. Termasuk sertifikat deposito antarbank II/16 TABEL II – 19 PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN 1) 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) Akhir Repelita V Uraian No. 1992/93 1. Bank Indonesia 2. Bank Pemerintah 69.066 3. Bank Swasta Nasional 2) 4. Bank Asing Campuran Jumlah Perubahan (%) 755 1993/94 Repelita VI 1994/95 56 73.443 81.333 95.619 110.900 45.406 68.350 94.891 121.602 166.442 9.695 15.377 19.925 25.202 28.783 124.922 157.324 196.254 242.479 306.184 8.363 32.402 38.930 46.225 63.705 23,6 26,3 25,9 24,7 1) Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, pinjaman antarbank, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek 2) Termasuk Bank Pembangunan Daerah 3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997 Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya II/117 1996/97 105 7,2 154 1995/96 59 1997/1998 ³) 50 153.266 187.477 48.606 389399 83.215 27,2 TABEL II – 19.A PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN 1) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) No. Uraian 1968 Akhir Repelita I Akhir Repelita II 1973/74 1978/79 1. Bank Indonesia 61 139 1.969 2. Bank Pemerintah 2) 56 882 3.021 3. Bank Swasta Nasional 3) 8 72 387 4. Bank Asing Campuran 1 124 297 126 .. .. 1.217 1.082 .. Jumlah Perubahan 4) (%) 5.674 1.559 39,2 Akhir Repelita III Akhir Repelita IV 1983/84 1988/89 2.292 10.283 30.270 2.583 12.679 977 16.135 2.430 17,7 1) Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antarbank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk, dan nilai lawan bantuan proyek 2) Sejak Mei 1989 termasuk BTN 3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah 4) Terhadap tahun sebelumnya II/18 1.583 1.994 46.526 11.445 32,6 TABEL II – 20 PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI 1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98 (miliar rupiah) 1) 2) 3) 1) Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, pinjaman Antarbank, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek Terhadap tahun sebelumnya Angka sementara sampai dengan Desember 1997 Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya II/II9 TABEL II – 20.A PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1968,1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) No. Uraian 1. Produksi 2) Akhir Repelita I 1973/74 1968 Akhir Repelita II 1978/79 34 454 2.172 2. Perdagangan 9 426 1.153 3. Lain – lain 3) 83 337 Jumlah Perubahan 4) (%) 126 .. .. 1.217 1.082 Akhir Repelita III 1983/84 7.115 5.297 2349 3723 5.674 4.457 39,2 16.135 2.430 17,7 1) Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tetapi tidak termasuk kredit antarbank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk, dan nilai lawan bantuan proyek 2) Termasuk sektor pertanian, pertambangan, dan perindustrian 3) Termasuk sektor jasa dan lain – lain 4) Terhadap tahun sebelumnya II/120 Akhir Repelita IV 1988/89 20.382 14.687 11.457 46.526 11.445 32,6 TABEL II - 21 PERKEMBANGAN REALISASI KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98 (miliar rupiah) No. Uraian 1992/93 Akhir Repelita V 1993/94 1994/95 7.169 8.893 10.215 10.869 12.040 14.677 18.097 20.447 23.949 25.485 35.214 215 271 540 1.322 Repelita VI 1995/96 1996/97 1997/98 3) 1. Pertanian 2. Perindustrian 16.489 3. Pertambangan 436 189 4. Perdagangan 4.185 6.951 6.535 8.798 12.787 18.232 5. Jasa-jasa 8.404 8.822 13.349 18.125 23.691 32.515 Jumlah Perubahan 2) 36.683 8.473 42.952 6.269 50.761 7.809 62.012 11.251 74.543 12.531 101.960 27.417 (%) 30,0 17,1 18,2 22,2 20,2 6,8 1) Kredit termasuk KIK, KMKP, dan KI tetapl tidak termasuk kredit antarbank, kepada Pemerintah Pusat, kepada bukan penduduk, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek 2) Terhadap tahun sebelumnya 3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997 Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya II/121 TABEL II – 21.A PERKEMBANGAN REALISASI KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 (miliar rupiah) No. Uraian Akhir Akhir Repelita I Repelita II 1973/74 1978/79 1968 Akhir Akhir Repelita III Repelita IV 1983/84 1988/89 1. Pertanian 6 10 56 495 2.610 2. Perindustrian 5 61 382 2.316 4.791 3. Pertambangan 1 1 10 58 313 4. Perdagangan .. 8 33 106 536 5. Jasa – jasa 5 32 171 622 2.489 6. Lain – lain .. 7 3 12 1.071 17 .. 119 22 655 126 3.609 571 11.810 2.600 .. 22,7 23,8 18,8 Jumlah Perubahan 2) (%) 28,2 1) Angka akhir tahun. Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat, dan nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek 2) Terhadap tahun sebelumnya II/122