Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Inovasi Pertanian Nol Limbah (Zero Waste) dan Kearifan Lokal Pada Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut Zero Waste Agricultural Innovation and Local Wisdom of Rice Farming in Tidal Swamp Land Susilawati1)* 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jl. G Obos Km. 5 Palangka Raya *Coressponding author: [email protected] ABSTRACT One of the basic principles of agricultural bio-industry is zero waste, that is the agricultural activity which all parts used in the production process, either directly or indirectly. In the rice farming practice in tidal swamp land, some farmers have been using agricultural waste rice. After harvest main crop, the farmers will be produce of ratoon. And then processed residual stems and weeds using the Tajak, which is a tool that serves as a cutter rice straw and other weeds, as well as the top and inverting the soil around the roots. The rest of the trunk and pulled weeds in roll or in-Puntal and left for 10-15 days until blackened or rot. Then broken down and distributed or decomposition on the surface of tidal swamp land, as a fertile planting medium. The process can take 1-2 months. Currently land preparation can thus be accelerated by using decomposing microorganisms, decay, etc.. Similarly with other wastes such as rice husk ash or processed into charcoal husk and straw were used for the rest of the plants and the media can be distributed back to agricultural land. This paper is a review that aims to inform the advantages and benefits of zero waste agricultural, as conservation agriculture and environmentally friendly in the tidal swamp land of Central Kalimantan. Key words: local knowledge, marginal land, environmentally friendly ABSTRAK Salah satu prinsip dasar pertanian bioindustri adalah pertanian yang nol limbah (zero waste), yaitu aktivitas pertanian yang seluruh bagiannya dimanfaatkan dalam proses produksi, baik langsung maupun tidak. Pada praktek usahatani padi di lahan pasang surut, sebagian petani telah memanfaatkan limbah pertanian padi. Setelah panen, petani membiarkan bekas panennya hingga menghasilkan ratun dan memanennya kembali. Setelah itu bekas tanaman dan gulma diolah dengan menggunakan tajak, yaitu alat yang berfungsi sebagai pemotong bekas batang padi dan gulma lainnya, sekaligus pembalik tanah bagian atas dan sekitar perakaran. Sisa batang dan gulma ditarik secara menggulung atau di-puntal dan dibiarkan selama 10-15 hari hingga menghitam atau membusuk. Kemudian dipecah dan disebarkan atau di-urai di permukaan lahan, sebagai media tanam yang subur. Proses tersebut dapat berlangsung 1-2 bulan. Saat ini penyiapan lahan demikian dapat dipercepat dengan menggunakan mikroorganisme pengurai, pembusukan, dll. Demikian juga dengan limbah lainnya berupa sekam padi yang diproses menjadi abu atau arang sekam dan sisa jerami yang dimanfaatkan untuk media tanaman dan dapat disebar kembali ke lahan pertanian. Tulisan ini merupakan review yang bertujuan untuk menginformasikan keunggulan dan manfaat pertanian nol limbah (zero waste), sebagai 673 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... usaha pertanian konservasi dan ramah lingkungan di lahan pasang surut Kalimantan Tengah. Kata kunci: Kearifan lokal, lahan marginal, ramah lingkungan PENDAHULUAN Luas lahan pasang surut di Kalimantan Tengah mencapai 5,5 juta hektar dan 4.131.360 ha diantaranya berpotensi untuk pertanian dan perikanan. Selain itu terdapat sekitar 1.195.771 ha yang telah direklamasi dan termasuk ke dalam kawasan eks PLG sejuta hektar (Alihamsyah et al., 2000). Kendala umum di lahan pasang surut adalah kemasaman tanah tinggi, rawan banjir, miskin hara, dan keracunan pirit (Suriadikarta, 2005). Usahatani padi di lahan demikian merupakan pilihan untuk menopang kehidupan masyarakat. Mengingat terbatasnya sumber daya lahan yang dimiliki dan akses ke sumber daya lahan lainnya hampir tidak memungkinkan. Pengalaman masyarakat lokal khususnya suku Banjar dalam memanfaatkan lahan pasang surut yang diwariskan secara turun temurun, menghasilkan pengetahuan spesifik tentang lahan rawa pasang surut, baik yang terdapat di Kalimantan Selatan maupun di Kalimantan Tengah (Noor, 2014). Jenis padi yang umum ditanam di lahan pasang surut Kalimantan Tengah adalah varietas-varietas lokal yang berumur panjang (6-11 bulan) yang jumlahnya sangat banyak, seperti Siam Mutiara, Siam Linggis, Siam Epang, Siam Landak, Siam Unus, Umbang Bilis, Sekonyer, dll. Selain bentuk gabah dan rasa nasi yang disukai, harga jual padi lokal lebih tinggi dibandingkan padi varietas unggul, sehingga padi lokal selalu ditanam petani setiap musim. Benih yang diperlukan mudah diperoleh, karena petani selalu menyimpan hasil panen sebelumnya. Sifat lain dari padi lokal adalah kurang respon pemupukan sehingga lebih effisien, dan bentuk tanaman tinggi dan mengikuti ketinggian air, dan mudah melakukan panen. Rata-rata produktivitas padi lokal berkisar antara 2,0-2,8 t/ha. Umur padi lokal yang lebih panjang dan produksi yang rendah tidak menurunkan, minat petani untuk menanamnya (Aswidinnor et al., 2008). Nilai kearifan lokal yang tinggi pada usahatani padi di lahan pasang surut antara lain kearifan dalam pengelolaan lahan dan pengolahan tanah rawa pasang surut yang ramah lingkungan. Walaupun persiapan lahan umumnya dimulai setelah selesai musim penghujan atau menjelang musim kemarau, namun petani di lahan pasang surut tidak melalukan pembakaran lahan. Mereka tetap menolah lahan secara manual, dengan menggunakan alat tradisional yang disebut Tajak, yaitu alat pengolah tanah bertangkai panjang dan melengkung pada bagian depannya menyerupai golok. Tajak berfungsi sebagai alat pemotong gulma sekaligus pembalik tanah bagian atas dan sekitar perakaran gulma. Saat ini telah banyak petani yang mengolah lahan dengan menggunakan hand tarctor dan mengendalikan gulma dengan menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida tentu harus memperhatikan berbagai ketepatan dan sesuai dengan petunjuk, sehingga segala aktivitas yang dilakukan tetap ramah lingkungan. Tulisan ini merupakan review dari beberapa hasil kajian yang bertujuan untuk mengetahui keunggulan dan manfaat sistem olah tanah ramah lingkungan, mengetahui nilai kearifan dalam sistem usahatani padi, dan pemanfaatan limpah pertanian untuk menciptakan pertanian nol limbah (Zero waste) di lahan pasang surut secara berkelanjutan. 674 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Nilai Kearifan Lokal Dalam Budidaya Padi Di Lahan Pasang Surut Nilai kearifan lokal dalam pengelolaan lahan dan air di lahan pasang surut dapat ditunjukkan pada (1) sistem penyiapan lahan dan pengolahan tanah, (2) penataan lahan, (3) pengelolaan kesuburan tanah, dan (4) sistem pengelolaan air yang dipengaruhi oleh komoditas tanaman yang dikembangkan dan persepsi individual atau kelompok dalam menyikapi kondisi lahan dan lingkungannya (Noor, 2014). Susilawati et al., (2005) menambahkan nilai kearifan lokal pada petani di lahan pasang surut meliputi pengaturan waktu tanam dan pemilihan varietas. Penyiapan lahan oleh petani pada budidaya padi secara tradisional di lahan pasang surut Kalimantan Tengah menggunakan tajak sejenis parang panjang yang berfungsi sebagai alat olah tanah terbatas (minimum tillage). Pekerjaan menebas rumput atau jerami ini disebut menajak (dari kata tajak) (Noor, 2014). Gulma yang telah terlepas dari tanah kemudian ditarik secara menggulung atau di-puntal dan dikumpulkan dengan menggunakan bagian ujung tajak sehingga terbentuk tumpukan gulma. Tumpukan-tumpukan gulma dibiarkan terendam selama 10-15 hari, hingga tampak matang atau membusuk. Selanjutnya tumpukan gulma dipecah dan disebarkan atau di-urai di permukaan lahan sawah. Sistem penyiapan lahan atau olah tanah ini dikenal dengan sistem ”tajak-puntal-urai”, yang sekaligus berfungsi sebagai olah tanah konservasi dan ramah lingkungan. Menurut Djajakirana et al, (1999) dalam Noor (2014), penyiapan lahan dengan pengembalian gulma dan jerami (puntal) dapat menurunkan kemasaman tanah dari pH 3,0 menjadi pH 6,0. Cara ”tajak-puntal-urai” juga berhasil menaikan pH tanah dari pH 3,0 sebelum penyiapan lahan menjadi pH 5,8 sesudah penyiapan lahan. Secara tidak langsung, cara ini juga dapat mencegah terjadinya produksi asam-asam terutama pirit (Mulyanto et al., 1999). Sistem penataan lahan yang banyak dilakukan di lahan pasang surut, khususnya lahan sulfat masam adalah “Sistem Surjan”, yaitu membagi lahan dengan dua bagian yaitu bagian lahan yang ditinggikan di sebut “Guludan” dan yang rendah disebut “Tabukan” (Susilawati dan Salvina, 2012). Anjuran pembuatan surjan yang tepat adalah lebar guludan 3-5 m, tinggi 0,5 m dan lebar tabukan 15 m, sehingga dalam setiap hektar lahan hanya terdapat 3 hingga 4 surjan saja (Suriadikarta et al., 1999). Penataan lahan demikian bertujuan untuk menganekaragamkan tanaman (diversifikasi), khususnya di lahan Guludan, yang banyak dimanfaatkan untuk tanaman buah-buahan, seperti jeruk, rambutan, mangga lokal, kelapa, dll. Berdasarkan pengalaman petani di lahan pasang surut, tanaman buah-buahan yang dipilih umumnya cukup tahan dengan genangan, sehingga jika lahan terendah 2-4 hari maka tanaman masih mampu menghasilkan (Susilawati et al., 2005). Pada sistem pengelolaan kesuburan tanah, Noor (1996) menyebutkan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa dapat dihitung dari biomasa yang dihasilkan tanaman, bukan yang terkandung dalam tanahnya. Gulma yang tumbuh di lahan rawa dapat menghasilkan 2-3 ton bahan kering per musim per hektar. Demikian juga hasil analisis jaringan berbagai gulma lahan rawa yang dikomposkan, dan menunjukkan hasil bahwa pada tanaman Purun Tikus (Eleocharis dulcis), Bura-Bura (Panicum repens), dan tanaman Krisan (Rhynchospora corymbosa) terkandung rata-rata 31,74% organik karbon, 1,96 % N; 0,68 % P dan 0,64 % K (Balittra, 2001). Dengan demikian masukan dalam rangka mempertahankan (status) bahan organic tanah menjadi sangat penting, dan menjadi kunci keberhasilan pemanfaatan lahan rawa. Kondisi ini sudah disadari oleh para petani lokal di lahan pasang surut, yang memanfaatkan gulma, rumput, dan sisa panen berupa jerami untuk dikembalikan ke dalam tanah dalam penyiapan lahan. Dalam upaya mempertahankan kesuburan lahannya petani lokal jarang menggunakan pupuk (Noor, 1996). 675 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Sistem pengelolaan air di lahan pasang surut sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya air akibat pergerakan benda-benda langit. Pasang tunggal atau purnama terjadi pada hari ke-1 (bulan mati) dan hari ke -15 (bulan purnama) dalam almanak Qomariah. Selanjutnya, secara berkala selama lebih kurang 15 hari mengalami pasang ganda atau perbani dengan ketinggian pasang bergoncah (fluctuation) menurut peredaran matahari dan bulan. Pada beberapa daerah terkadang terjadi pasang yang meluap dan pada beberapa daerah cekungan terjadi genangan ladung (stagnant) yang dikategorikan sebagai rawa lebak apabila tinggi genangan ≥ 50 cm dan lama genangan ≥ 3 bulan (Simatupang dan ArRiza, 1991). Pada lahan-lahan yang mendekati sungai (tipe A dan B) luapan pasang masih dapat dirasakan, tetapi pada lahan yang menjorok ke pedalaman >10 km (tipe C dan D) jangkauan pasang tidak lagi dirasakan dan kedalaman muka air tanah ≥ 50 cm dari permukaan tanah. Selama musim hujan muka air tanah hampir tidak berbeda secara nyata, tetapi pada musim kemarau muka air turun lebih dalam, seperti yang terjadi pada hutan reboisasi (Jaya et al., 2004 dalam Noor, 2014). Terkait dengan sistem pengelolaan air, maka pengaturan waktu tanam dan pemilihan varietas menjadi penting ketika musim tanam tiba dan air dapat dikelola. Secara tradisional petani akan mulai menanam padi pada awal musim hujan atau paling lambat pada tanggal 10 bulan 10 dalam tahun hijriah, semua persiapan membuat anakan telah di lakukan. Dalam sistem persiapan tanaman padi lokal di lahan pasang surut dikenal istilah Ampak, Lacak, Taradak yang masing-masing memerlukan wartu 25-35 hari. Waktu tanam yang tepat berdampak terhadap kondisi tanaman yang semakin kuat dan kokoh sehingga mampu tergenang selama 2-4 hari ketika terjadi pasang tunggal. Sedangka varietas padi yang digunakan umumnya padi-padi lokal yang memiliki tinggi tanaman cukup dan ketika tergenang tidak menengggelamkan tanamannn (Aswidinnor et al., 2008). Inovasi Pemanfaatan Limbah Padi Dan Upaya Penyehatan Lahan Pasang Surut Permasalahan umum yang dialami pada usahatani padi di lahan pasang surut antara lain kondisi lahan yang asam atau pH rendah, keracunan pirit, miskin hara, kekeringan, kebanjiran, dll. Hal yang paling sering dilupakan petani di lahan pasang surut adalah kendala lahan yang miskin hara. Perilaku usahatani lebih tertuju pada cara memupuk tanaman, bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman. Walaupun dalam komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sudah populer di tingkat lapang, terdapat pemberian bahan organik, namun kendala pemenuhan membuat petani melupakannya. Saat ini usahatani padi di lahan pasang surut secara umum belum melibatkan tanah sebagai komponen yang mempengaruhi dan menentukan keputusan pengendalian dalam pengelolaan suatu agroekosistem. Akibatnya beberapa lahan mengalami penurunan kesehatan dan kesuburan tanah. Kondisi ini ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti ; tanah cepat kering, retak-retak bila kurang air, lengket bila diolah, lapisan olah dangkal, asam dan padat, produksi sulit meningkat bahkan cenderung menurun. Kondisi ini semakin buruk karena penggunaan pupuk anorganik terus meningkat dan penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan juga meningkat (Kemtan, 2013; Susilawati, 2011). Pengembangan sistem usahatani padi yang terjadi di lahan pasang surut, tentu tidak terlepas dari diperolehnya limbah tanaman padi yang berlimpah, baik dalam bentuk jerami maupun sekam dan bahan turunan lainnya. Ini mengindikasikan bahwa upaya untuk memperbaiki kualitas lahan dan tanaman dapat dilakukan melalui pemanfaatan limbah tersebut. Selain tersedia secara in situ limbah tanaman padi juga memiliki kandungan berbagai bahan organik yang sangat bermanfaat untuk lahan dan tanaman. Murni, et al. 676 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... (2000) menyebutkan sekitar 17% dari berat total gabah adalah kulit gabah atau sekam. Adapun komposisi kulit gabah atau sekam terdiri dari bahan kering 92%, protein kasar 3.0%, lemak kasar 3.0%, abu 19.0%, serat kasar 39.6%, dinding sel 76.0%, selulosa 30.0%, lignin 15.0% dan ADF 66.0%. Adapun jerami padi mengandung bahan kering 80.8%, protein kasar 3.9%, serat kasar 33.5%, abu 21.4%, lemak 2.1% dan BETN 39.1%. Pengenalan inovasi dalam pemanfaatan limbah pertanian yang dirintis di lahan pasang surut, tidak begitu berkendala. Beranjak dari kebiasaan petani lokal membiarkan sisa tanaman padi sebagai bahan organik, maka pemahaman dan kemampuan petani mulai ditingkatkan untuk melakukan praktek budidaya padi yang tidak menghasilkan limbah, atau seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan kembali untuk praktek pertanian di sekitarnya (Tabel 1). Selain mengandung bahan organik yang tinggi, limbah tanaman padi yaitu sekam, dapat juga digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain dijadikan arang sekam yang bermanfaat sebagai pupuk tanaman, bahan energi alternatif, bahan baku industri kimia dan bahan baku industri bahan bangunan dan bahan pakan ternak. Informasi ini tentu mendorong terciptanya sistem pertanian terpadu antara tanaman dan ternak, untuk mempercepat proses perbaikan lahan dan tanaman di lahan pasang surut. Tabel 1. Inovasi pemanfaatan limbah padi di lahan pasang surut Kalimantan Tengah. BAGIAN TANAMAN DIMANFAATKAN NILAI TAMBAH/ KEGUANAAN Batang terpanen dan yang tertinggal di lahan (biomassa) Dijadikan bahan organik tanah, melalui pengolahan tanah dengan Tajak dan pembusukan alami. Dijadikan bahan organik tanah, melalui pengolahan tanah dengan Tajak dan pembusukan dengan bantuan mikroorganis-me, seperti EM-4. Diperlukan waktu 1-2 bulan Diperlukan waktu 15-25 hari. INOVASI Olah tanah sederhana dengan aplikasi herbisida, dan penggunaan hand tractor sehingga bekas tanaman yang kering terpendam dalam tanah. Diperlukan waktu 5-7 hari Jerami Jerami dimanfaatkan secara langsung dengan menyebarkan ke lahan-lahan sawah yang berkontur lebih rendah dan terdapat genangan air, sehingga tanah menjadi lebih tinggi dan jerama cepat membusuk. Jerami di bakar dan abunya disebarkan ke lahan. Jerami dan gulma yang ada dijadikan kompos. Sekam Dibiarkan menunpuk lalu dicampur dengan tanah, digunakan untuk media persemaian dan media tanam sayuran. Dijadikan arang sekam diberikan ke lahan sawah dan Penciptaan sistem usahatani terpadu padi-sayuran-ternak yang dilakukan di lahan pasang surut desa Bungai Jaya dan Tambun Raya kecamatan Basarang kabupaten Kapuas telah berhasil memperbaiki lahan sulfat masam aktual setelah 4-5 tahun. Pada kajian ini integrasi antara padi – sayuran - ternak telah menjadikan kecamatan Basarang yang 677 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... sebelumnya Bongkor menjadi daerah pengembangan sayuran dan sentral pengembangan sapi. Limbah dari sapi yang dihasilkan rata-rata 10 kg/ekor/hari, diolah sendiri oleh petani untuk dijadikan kompos. Walaupun hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapat Rahayu et al, 2009 yang menyatakan satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya, namun bagi petani ketersediaan pupuk kandang bukan lagi masalah, karena hampir setiap rumah tangga petani memiliki ternak sapi. Demikian juga dengan teknik pembuatan kompos, hampir semua rumah tangga petani telah terbiasa membuat kompos dari limbah ternak sapi, bahkan di kecamatan Basarang terdapat industri pengolahan pupuk kandang yang dilakukan oleh kelompok tani. Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak, selain dapat menghasilkan beberapa unsur hara makro yaitu N, P dan K, juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa, pupuk kandang ini dapat dianggap sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi tanaman (Rahayu et al., 2009). Demikian sebaliknya limbah dari sayuran dan tanaman padi telah diolah menjadi pakan ternak. Limbah dari sayuran umumnya dimanfaatkan secara langsung (bentuk segar) oleh ternak, sedangkan limbah tanaman padi berupa jerami diolah menjadi Hay. Di lokasi ini sekam tidak dimanfaatkan untuk ternak tetapi diolah menjadi arang sekam. Menurut Murni et al. (2000), sekam termasuk bahan pakan berkualitas rendah. Apabila dimanfaatkan untuk pakan ternak, maka harus digiling terlebih dahulu sebelum dicampurkan dengan bahan pakan lain yang lebih palatabel. Kandungan protein kasarnya berkisar antara 2 - 7%, ADF 41 - 56%, TDN (Total Digestible Nutrient) 43 - 54%, abu ± 17%, Ca 0.2 – 0.7% dan P 0.07 – 0.16%. KESIMPULAN Pertanian ramah lingkungan dengan nol limbah (zero waste), di lahan pasang surut dapat dicapai apabila terjadi kearifan dalam pengelolaan lahan dan lingkungan termasuk tanaman secara bijaksana dan hati-hati, mengingat kondisi lahan pasang surut yang sangat marginal. Pada usahatani padi di lahan pasang surut, nilai kearifan tersebut ditunjukkan oleh kearifan dalam pengelolaan lahan dan air serta penetapan waktu tanam dan pemilihan varietas yang tepat. Beranjak dari kebiasaan petani lokal membiarkan sisa tanaman padi sebagai bahan organik, aktivitas usahatani dengan memanfaatkan limbah terus ditingkatkan. Limbah tanaman padi yang terdiri dari sekam dan jerami, digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dijadikan arang sekam, pakan ternak dan kompos. Terciptanya usahatani yang terintegrasi antara padi – suyuran – ternak di lahan pasang surut sulfat masam aktual terbukti dapat mengembalikan fungsi lahan melalui pemanfaatan limbah ternak dan tanaman, sehingga tercipta pertanian dengan nol limbah dan berkelanjutan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai beberapa kegiatan yang pernah dilakukan di lahan pasang surut Kalimantan Tengah. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Noor, MS, dari Balai Penelitan Tanaman Lahan Rawa, yang telah banyak membagi pengetahuan dan pengalamannya dalam pengelolaan lahan rawa berkelanjutan. 678 Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, S. Wahyuni, E. Suhartatik, Astanto, F. Tangkuman, K. Nugroho, dan N. Sutrisna. 2000. Karakterisasi Wilayah Pengembangan ISDP Propinsi Jambi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 127 hlm. Aswidinnoor H, Sabran M, Masganti, Susilawati. 2008. Perakitan Varietas Unggul Padi Tipe Baru dan Padi Tipe Baru-Ratun Spesifik Lahan Pasang Surut Kalimantan untuk Mendukung Teknologi Budidaya Dua Kali Panen Setahun. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor. 44 Hal. Balittra, 2001. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Kemtan, 2013. Pedoman Teknis System Rice of Intensification. Kementrian Pertanian. Jakarta Mulyanto, B., Sumawinata, Djajakirana, G, dan Suwardi. 1999. Micromorphological characteristics of (potential) acid sulphate soils under the Banjarese Traditional Land Management (BTLM) System. Dalam : Proc. Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, Sept 27-28 1999. 277-292 pp. Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya. Jakarta. 213 hlm. Noor, 2014. Kearifan Lokal Lahan Gambut. http://muhammadnoor20.blogspot.com. Diunduh 16 Agustus 2014. R. Murni, Suparjo, Akmal, BL. Ginting. 2000. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi Rahayu S., Dyah P dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai sumber energi alternatif lingkungan beserta aspek sosio kulturalnya. J. Inotek, Vol 13 (2). p. 150-160 Simatupang, I. S dan Ar-Riza, I. 1991. Efektivitas cara pengendalian gulma pada pertanaman padi di sawah pasang surut. Makalah Seminar Menuju Kebijaksanaan Terpadu Pengembangan Pertanian Daerah Irigasi Riam Kanan, 2-3 Oktober 1991. Fak. Pertanian Univ. Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Suriadikarta DA. 2005. Pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian. J Litbang Pertanian, 24(1): 36-45. Susilawati,, M. Sabran, Rahmadi R, Deddy Dj, Rukayah, dan Koesrini. 2005. Pengkajian sistem usahatani terpadu padi-kedelai/ sayuran-ternak di lahan pasang surut. J. PPTP. Vol 8(2) p. 176-191 Susilawati. 2011. Usahatani Padi-Jeruk dengan Sistem Surjan Sebagai Basis Agribisnis Pedesaan Di Lahan Pasang Surut Eks PLG Dadahup A-2. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi. Buku II. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi PertanianYogjakarta. Hal; 8391. Susilawati dan Salvina N.A. 2012. Usahatani Sayuran-Ternak Sebagai Basis Agribisnis Pedesaan Di Lahan Pasang Surut Bongkor Kecamatan Basarng. Prosiding Seminar Nasional Pemandirian Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 679