USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN SUMARJITO DAN LAHAN TANPA BAKAR Oleh: Indra Nugraha Kebakaran hutan dan lahan adalah hantu lingkungan karena menurunkan kesuburan tanah, mengancam biodiversitas, mengurangi aset hutan hingga berkontribusi pada perubahan iklim. Menurut FAO, kebakaran hutan terjadi hampir di 95 negara dan mencakup 500 juta hektar setiap tahunnya. Disamping faktor alam, hutan terbakar juga dipicu oleh aktivitas pertanian manusia. Pembakaran adalah teknik paling tua, berbiaya murah dan efektif dalam pembersihan lahan yang dipakai ribuan petani, peternak dan pemilik perkebunan. Imbasnya, aktivitas pembakaran lahan oleh petani harus ditiadakan. Di Propinsi Kalimantan Tengah misalnya, beberapa aturan yang semula membolehkan cara membakar dalam membuka lahan akhirnya dicabut. Sehingga membuat masyarakat resah dan beranggapan jika kegiatan berladang sama sekali tidak diperbolehkan. Pantang melarang tanpa solusi, itu prinsip saya (Sumarjito, Manggala Agni) Sebagai koordinator pencegahan dan deteksi dini Manggala Agni Kabupaten Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, Sumarjito merasa tertantang untuk mencari pemecahan bagaimana upaya mengembangkan sistem Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). “Melarang saja tidak menyelesaikan masalah karena petani juga perlu penghidupan. Karena itu harus dicari jalan keluar bagaimana petani tidak lagi membakar waktu membuka lahan“. Demikian kata Sumarjito saat ditemui di kediamannya di Kuala Kapuas, Jumat (12/8/16). USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1 Untuk itu, sebidang lahan seluas 6 hektar di Desa Tahai dibeli dan kemudian diolah dengan cara tanpa bakar. Termasuk tidak menggunakan mesin eskavator dan hanya menggunakan cara manual (mencangkul) untuk mengolah lahan tanpa bakar (PLTB). Hal ini didasarkan pengalamannya selama puluhan tahun melihat kegiatan PLTB yang gagal karena memakai cara mekanik dengan eskavator. Mengingat penggunaan mesin mengakibatkan tanah yang digali terlalu dalam dan membuat kadar asam tinggi. Imbasnya, padi yang ditanam tak akan tumbuh. Disamping biayanya cukup besar yaitu Rp. 20 juta per hektar. Pengerukan dan pembersihan lahan dengan menggunakan eskavator juga menyebabkan kandungan asam dalam tanah akan naik dan berakibat pada benih tanaman yang ditanam akan mati, sisa-sisa pohon seringkali masih tertinggal di dalam tanah dan akan membutuhkan biaya lagi untuk pembersihan lahan secara tuntas. dan dimanfaatkan dengan tanaman padi. Sementara ini di lahan seluas enam hektar miliknya baru ditanami dengan nanas dan jeruk. Kedepannya diharapkan dapat berfungsi sebagai laboratorium tanaman. Karenanya cara manual dipilih oleh Sumarjito untuk membuka lahannya, meskipun biayanya lebih mahal dibanding cara mekanis. Paling tidak dibutuhkan biaya sekitar Rp. 25 juta per hektar. Besarnya biaya ini karena lahan minimal perlu dibajak sebanyak 2-3 kali agar tanah menjadi rata dan padat, dengan biaya untuk setiap membajak sekitar Rp.1.440.000 per hektar. “Sejauh yang saya alami, kalau tanah gambut ini digali, maka asamnya naik. Padi tidak akan hidup. Sehingga saya lebih menerapkan cara manual. Pohon-pohon yang ada dicabut kemudian diratakan. Setelah rata, kemudian baru kita bajak,” kata bapak empat orang anak tersebut. “Kalau bicara rugi ya pasti rugi. Saya harus bayar untuk kegiatan bajak lahan. Tapi ini saya lakukan atas inisiatif pribadi dengan harapan suatu saat berhasil. Sehingga petani dapat hasil besar sekalipun lahannya kecil. Dengan demikian lahan yang dimiliki petani dapat diusahakan secara optimal dan tidak menganggur. Karena jika lahan menganggur akan banyak gulma tumbuh dan rawan kebakaran”,katanya. Beliau menyadari bahwa menerapkan PLTB dengan cara manual membutuhkan waktu lama, biaya besar dan sedikit merepotkan dalam prakteknya. Terlebih masih banyak anggapan, PLTB dengan cara manual tidak praktis. Sumarjito sendiri sudah satu tahun mencoba mempraktekkan PLTB dengan cara manual. Namun hingga kini, lahannya belum dapat dikelola Beliau tergolong berani mengambil risiko dengan percobaan yang dilakukannya. Namun dengan keyakinan yang kuat karena didasarkan atas pengalaman, maka PLTB tetap dilakukan. Beliau berprinsip bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Karena jika melakukan sesuatu dengan terlebih dahulu menghitung untung rugi, maka tidak pernah ada upaya inovatif dalam pengelolaan lahan gambut. Sekalipun hingga saat ini belum menguntungkan, namun beliau tidak surut mengelola lahan dalam rangka mencari solusi atas peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berlangsung setiap tahun Tekadnya untuk mengembangkan model pembukaan lahan tanpa bakar tidak terlepas dari profesinya sebagai petugas terdepan dalam memadamkan api. Pengalaman memadamkan api sangat meyakinkan dirinya betapa luas dan merugikan dampak dari kebakaran. Mengingat, efek karhutla selain mengganggu aktivitas manusia, juga berpengaruh pada kualitas air. Begitu kebakaran terjadi maka abu turun ke sungai dan membuat air tercemar. Jangankan untuk mandi dan memasak, sekedar untuk mencuci muka, langsung menimbulkan rasa pedih luar biasa dan menyebabkan kematian ikan. Foto: Sumarjito, koordinator pencegahan dan deteksi dini Manggala Agni Kabupaten Kuala Kapuas Kalimantan Tengah. 2 USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Foto: Bapak Sumarjito menerapkan sistem Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) menggunakan cara manual. Sesungguhnya sebelum dikembangkan dalam skala luas, konsep PLTB sudah berhasil diterapkan di kantor tempat Sumarjito mengabdi. Di lahan seluas 1,5 hektar beliau membuat program BIS (Buah, Ikan dan Sayur).Tanah yang semula rawa ditanami sayur mayur dan pohon jeruk. Di sekelilingnya dibuat lintasan lari (jogging track) sepanjang 400 meter untuk kegiatan olahraga. Disana, ia juga membuat kolam ikan. “Awalnya banyak yang tidak yakin. Tapi prinsip saya tanah itu seperti pot. Bagaimana agar tanah ini subur, harus dikelola dengan menggunakan pupuk. Pertama dulu kita pakai pupuk kandang untuk tanam jagung. Lama-lama karena sudah tercampur dengan pupuk, tanah menjadi subur, baru kita tanami jeruk,” ujarnya. Sumarjito adalah anak seorang transmigran tahun 1962 yang lahir dan besar di tanah dayak. Menamatkan pendidikannya di STM Negeri Palangkaraya tahun 1983 jurusan kelistrikan dan kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka Palangkaraya. Sayangnya tidak selesai. Sebagai orang yang hidup di wilayah gambut, Sumarjito tidak menampik adanya anggapan bahwa dengan membakar akan membuat tanah subur. Namun menurutnya, lahan yang dibakar pun kalau tak dibantu dengan pupuk ekstra, juga akan menurun produksinya. Padahal biaya yang dikeluarkan juga sama mahalnya. “Sekalipun dengan membakar, tetap saja kegiatan pertanian harus mengeluarkan biaya mulai dari menebas, membakar hingga menanam. Misal saja untuk menebas, dibutuhkan tenaga 10 orang untuk menebas lahan 1 hektar. Kemudian sewaktu membakar dengan mengerahkan orang. Kalau ongkos dan biaya lain sebesar Rp. 25 ribu perhektar/orang/hari maka dibutuhkan biaya bakar sebesar Rp. 500 ribu. Padahal biaya untuk pemadaman kebakaran ini bisa dialihkan untuk hal lain”. Begitu ucapnya. “PLTB selain untuk tanaman padi juga dapat digunakan untuk nanas dan jeruk. Sembari menanam nanas, bisa ditanami dengan tumbuhan lain yang memerlukan waktu tanam cukup lama, seperti karet. Secara ekonomis, menanam nanas dan jeruk jauh lebih menguntungkan. Untuk tanaman padi, paling banyak bisa menghasilkan Rp.6 juta per hektar. Sementara jika menanam nanas, di lahan 17 meter persegi bisa ditanami 600 pohon. Harga per bibit Rp.800 rupiah, biaya tanam Rp.100 ribu rupiah, biaya perawatan juga relatif murah. Harga jual nanas paling murah Rp.3.500 per buah. Pemasaran komoditi ini nyaris tidak masalah. Kalau sudah jadi, itu lebih menguntungkan. Orang kadang menggarapnya terlalu banyak, niatnya untuk menguasai lahan, selesai itu jadi belukar lagi, begitu terus. Tapi kalau menetap di satu lahan, apa petani tak bisa beli traktor? Pasti bisa,” paparnya. Menurutnya, kalau praktek membakar lahan masih terus dilakukan, akan membuat gambut habis. Padahal gambut menyimpan stok karbon yang sangat tinggi. Sekali terbakar, ketebalan gambut akan turun signifikan. Sementara untuk memulihkan ke kondisi awal butuh waktu 50 tahun. Ia berharap ke depan, Indonesia aman dari bahaya karhutla dan masyarakat juga bisa meningkat taraf perekonomiannya dengan adanya solusi alternatif membuka lahan tanpa membakar. “Setelah pensiun saya akan fokus mengembangkan PLTB. Sudah terlanjur. Kalau berhasil akan saya promosikan ke banyak orang. Sekarang yang penting terbukti dulu. Sejauh ini sudah ada tanggapan positif dari Pemkab Pulang Pisau yang juga tertarik mengembangkan PLTB. Mudah-mudahan berhasil dan semua orang bisa menerapkan PLTB dan tak membakar lahan lagi,” tandasnya. USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3