Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Studi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Terdapat keterkaitan antara tanah dengan agraria, sebagaimana hasil
ulasan kembali mengenai isi UUPA 1960 pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) oleh Sitorus
(2002). Menurutnya, tanah merupakan salah satu sumber atau obyek agraria yang
memiliki posisi sentral yang mewadahi semua kekayaan alami dan merupakan
modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Pada intinya, tanah
merupakan sumber agraria yang memiliki fungsi bagi pemenuhan berbagai
kebutuhan hidup manusia. Tanah memiliki nilai-nilai, yakni nilai sosial, nilai
budaya, nilai ekonomi, dan nilai politik. Adanya suatu kondisi lingkungan dan
kualitas tanah dari segi kondisi fisik maupun dari segi nilai strategis, lokasi tanah
yang bervariasi pada suatu wilayah memperlihatkan beragamnya kegiatan
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Bentuk penggunaan dan pemanfaatan tanah
antara lain digunakan untuk sektor pertanian dan non-pertanian. Secara kualitas
sumber agraria tanah dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas, yakni sumber
agraria tanah yang tersedia pada suatu tatanan ruang tertentu (suatu wilayah) akan
tetap (fixed).
Berkembangnya sektor industri, jasa, dan properti di era
pertumbuhan ekonomi, dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Dengan
demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
regional tidak mungkin dapat dihindarkan.
Berbicara masalah pertanahan, yakni terjadinya berbagai fenomena terkait
konteks pertanahan perkotaan di Indonesia, sungguh merupakan persoalan yang
sangat kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya keputusan bahwa pemerintah
daerah memiliki kewenangan otonomi di lingkup wilayah teritorialnya (sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah), dimana kota-kota di Indonesia seperti juga kota besar lainnya di negara
berkembang dianggap sebagai engine of growth atau penggerak yang digunakan
sebagai roda untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi demi pembangunan.
Oleh karena itu, kota dijadikan pusat segala aktivitas ekonomi. Selain itu,
penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan pun semakin banyak sehingga luas
2
lahan di perkotaan kian hari kian meningkat nilai ekonomisnya. Hal ini ditambah
lagi dengan tersedianya ilmu dan teknologi yang memungkinkan ragam dan
macam kebutuhan (Silalahi, 2001). Akibatnya, lahan menjadi komoditas langka
yang sangat dicari dan dibutuhkan orang banyak. Kebutuhan akan sumber agraria
tanah yang terus meningkat ini menyebabkan tumpang tindihnya penatagunaan
tanah sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antar aktor-aktor sosial di
atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2003 pasal 1, penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna
tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang
terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil. Pertimbangan aspek pertanahan atau lebih dikenal dengan
aspek penatagunaan tanah merupakan salah satu instrumen yang secara
operasional dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi objektif dan terbaru
(present land use) dari suatu bidang tanah.
Catatan panjang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum
petani selalu digambarkan sebagai kelompok sosial yang lemah secara politik
maupun ekonomi dan tidak memiliki cukup tanah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Husodo, 2002). Di samping itu, bila ditelusuri jejak sejarah distribusi
hak atas tanah di masa lampau, ternyata telah membawa akibat yang dapat
disaksikan dewasa ini. Dapat dipahami permasalahan pertanahan yang dihadapi
masyarakat sekarang ini, tentu saja memiliki keterkaitan dengan sisa kebijakan di
masa lampau. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan keagrariaan merupakan salah
satu mata rantai dari keseluruhan kegiatan pembangunan sub sektor pertanahan
secara nasional. Dalam konteks keseluruhan proses penatagunaan tanah,
persoalan bagaimana menata ruang wilayah bagi kepentingan masyarakat secara
adil sungguh merupakan masalah yang paling rumit dan tidak terduga ketika
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun 1960.
Keruwetan yang dirasakan senantiasa timbul dan diakibatkan oleh praktik-praktik
politik hukum di lapangan yang saat ini pun seringkali menyimpang atau sengaja
disimpangkan dari semangat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
3
Terdapat pula kemungkinan bahwa penyimpangan itu terjadi karena
memang normanya sendiri yang sudah kurang atau tidak dapat sepenuhnya
mengakomodasi perkembangan dan tuntutan masyarakat. Dapat ditelusuri bahwa
tatkala Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun 1960,
tentu saja belum dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia, dan
khususnya Pulau Jawa akan berkembang pesat dan terpusat di perkotaan. Di
samping norma dasarnya yang demikian sudah tertinggal, permasalahan tanah
juga sering timbul karena berbagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) di bawah yang kadang-kadang berbenturan satu sama lainnya.
Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tak jarang malah
bertentangan dengan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini
dapat dipahami dari aspek-aspek pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan yang
dapat memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian merupakan fenomena pembangunan yang erat dengan perubahan
tataguna dan alokasi sumber agraria tanah akibat adanya pergeseran struktural
dalam perekonomian dan tekanan penduduk yang sulit dihindari. Pergeseran
struktural yang dimaksud adalah pertumbuhan perekonomian dan pertambahan
penduduk yang terus meningkat.
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2004), total lahan pertanian
dalam hal ini lahan sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar. Dari luasan
tersebut, sekitar 187.720 hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap
tahunnya (Data Badan Pertanahan Nasional, 2004). Dengan demikian, alih fungsi
lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang terus menjadi ancaman serius.
Dampak alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara langsung
atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata
ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan
nasional (Nasoetion, 2006). Pengendalian terhadap meningkatnya laju alih fungsi
lahan menjadi mutlak diperlukan dan dilakukan, yang dalam hal ini adalah
menghambat dan menekan alih fungsi lahan pertanian. Aspek penatagunaan
secara optimal oleh pemerintah daerah sebenarnya dapat menjadi sarana yang
efektif dalam menjabarkan kebijakan penataan ruang wilayah, yakni berfungsi
untuk memantau dan membatasi perubahan tanah pertanian ke penggunaan tanah
4
non-pertanian (adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan
aspek-aspek pembangunan lainnya). Namun pertimbangan aspek pertanahan yang
dapat melahirkan kebijakan penataan ruang wilayah, hanyalah melahirkan sebuah
kebijakan semata tanpa adanya implementasi faktual sebagai instrumen
pengendali alih fungsi lahan pertanian. Menjadi semakin kompleks ketika
kebijakan-kebijakan pertanahan yang lahir mengikuti dan atau terbentuk atas
dasar suatu kepentingan, yakni kepentingan aktor-aktor sosial. Kepentingan aktoraktor sosial tersebut terkait dengan nilai dan peran tanah.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian,
yang menganalisis keterkaitan kebijakan pertanahan, yakni tata ruang wilayah
sebagai instrumen penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi.
Hal ini dipahami dari adanya suatu kondisi keterbatasan akan lahan serta
terjadinya peningkatan kebutuhan tanah seiring dengan berkembangnya beragam
sektor non-pertanian seperti sektor jasa dan sektor industri di era pertumbuhan
ekonomi yang dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Selain itu,
potensi sumber agraria tanah yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan tanpa
adanya kerangka kebijakan yang tepat.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan
masalah penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta?
2. Bagaimana rumusan, asas, dan
tujuan penataan tata ruang wilayah Kota
Bogor?
3. Bagaimana aspek-aspek kebijakan penataan ruang memberikan peluang
terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting,
Kelurahan Mulyaharja?
4. Bagaimana tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi
lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja?
5
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini antara lain untuk:
1. Mengetahui peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta.
2. Mengetahui rumusan, asas, dan tujuan penataan tata ruang wilayah Kota
Bogor.
3. Mengetahui aspek-aspek dari kebijakan penataan ruang yang memberikan
peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting,
Kelurahan Mulyaharja.
4. Mengetahui tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi
lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya
mahasiswa, pemerintah, dan swasta. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat menjadi
proses pembelajaran untuk lebih kritis dalam memahami fenomena-fenomena
faktual yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, hasil pengkajian ini dapat
menciptakan suatu output (data-data atau informasi) yang dapat dijadikan acuan
literatur penunjang bagi penelitian-penelitian sejenis dan penulisan lanjutan.
Selain itu, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi
pengembangan studi. Sementara itu bagi pemerintah, hasil penelitian ini
diharapkan menjadi suatu sarana evaluasi, informasi, dan data bagi pemerintah
untuk melakukan perbaikan-perbaikan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan, baik secara substansial ataupun implementasinya di lapangan. Selain
itu, penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mencari alternatif penyelesaian
terbaik terkait dengan objek permasalahan yang dikaji sehingga upaya
penanggulangan alih fungsi lahan pertanian dapat dilakukan secara optimal.
Adapun bagi swasta, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu masukan bagi
private sector agar lebih memperhatikan dan menyadari arti penting lahan
pertanian bagi masyarakat tani sehingga dengan begitu tidak dengan mudah untuk
melakukan eksploitasi terhadap sumber agraria tanah untuk keuntungan semata.
Download