5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Pendarahan Arteri

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Pendarahan Arteri Koroner
2.1.1 Pendarahan Arteri Koroner
1. Arteri Koroner Kiri Utama/Left Main(LM)
Arteri koroner kiri utama yang lebih popular dengan sebutan Left Main
(LM), keluar dari sinus aorta kiri; kemudian segera bercabang-cabang dua
menjadi arteri Left Anterior Descending (LAD) dan Left Circumflex
(LCX).Arteri LM berjalan diantara alur keluar ventrikel kanan (right
ventricle outflow tract) yang terletak didepannya, dan atrium kiri
dibelakangnya; baru kemudian bercabang menjadi arteri LAD dan arteri
LCX (Kaligis, 2012).
2. Arteri Left Anterior Descending (LAD)
Arteri LAD berjalan di parit interventrikular depan sampai ke apeks
jantung, men-suplai: bagian depan septum melalui cabang-cabang septal
dan bagian depan ventricular kiri melalui cabang-cabang diagonal,
sebahagian besar ventrikel kiri dan juga berkas Atrio-ventrikular. Cabangcabang diagonal keluar dari arteri LAD dan berjalan menyamping
mensuplai dinding antero lateral ventrikel kiri; cabang diagonal bisa lebih
dari satu (Kaligis, 2012).
3. Arteri Left Circumflex (LCX)
Arteri LCX berjalan di dalam parit atrioventrikular kiri diantara atrium kiri
dan ventrikel kiri dan memperdarahi dinding samping ventrikel kiri
melalui cabang-cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M₁ , M₂
dst). Pada umumnya arteri LCX berakhir sebagai cabang obtuse marginal,
namun pada 10% kasus yang mempunyai sirkulasi dominan kiri maka
arteri LCX juga men-suplai cabang “posterior descending arteri” (PDA)
(Kaligis, 2012).
6
4. Arteri Koroner Kanan/Right Coronary Artery (RCA)
Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam
parit atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan
menuju ke bagian bawah dari septum. Pada 50-60% kasus, cabang pertama
dari RCA adalah cabang conus yang kecil yang mensuplai alur keluar
ventrikel kanan. Pada 20-30% kasus, cabang conus muncul langsung dari
aorta. Cabang sinus node pada 60% kasus keluar sebagai cabang kedua
dari RCA dan berjalan ke belakang mensuplai SA-node. (Pada 40% kasus
cabang ini keluar dari arteri LCX). Cabang-cabang berikutnya adalah
cabang-cabang yang berjalan diagonal dan mengarah ke depan dan mensuplai dinding depan ventrikel kanan. Selanjutnya adalah cabang acute
marginal (AM) dan berjalan ditepi ventrikel kanan diatas diafragma. RCA
berlanjut kebelakang berjalan didalam parit atrioventrikular dan bercabang
arteri AV node.Pada 65% kasus, cabang Posterior Descending Artery
(PDA) keluar dari RCA (sirkulasidominan kanan). Cabang PDA mensuplai dinding bawah ventricular kiri dan bagian bawah septum (Kaligis,
2012).
5. Vena koroner
Sebagian besar darah vena disalurkan melalui pembuluh vena yang
berjalan berdampingan dengan arteri koroner. Vena kardiak bermuara di
sinus koronarius yaitu suatu vena besar yang berakhir di atrium kanan.
Sebagian kecil darah dari sirkulasi koroner datang langsung dari otot
jantung melalui vena-vena kecil dan disalurkan langsung ke dalam ke
empat ruang jantung (Kaligis, 2012).
6. Vena Kardiak Besar (Great Cardiac Vein/Vena Cordis Magna)
Bermula di apeks jantung dan naik sepanjang parit interventrikular depan,
berdampingan dengan arteri LAD, kemudian belok ke kiri ke dalam parit
atrioventrikular, berjalan disamping arteri LCX. Great Cardiac Vein juga
menampung darah dari atrium kiri (Kaligis, 2012).
7. Sinus koronarius
7
Berjalan ke kanan di dalam parit atrioventrikular. Berakhir di dinding
belakang atrium kanan, diantara pangkal vena cava inferior dan celah
atrioventrikular dan menerima darah vena kardiak sedang dan kecil
(Kaligis, 2012).
8. Vena Kardiak Sedang dan Kecil (Middle Cardiac Vein dan Small Cardiac
Vein/Vena Cordis Parva) Vena kardiak sedang berjalan didalam parit
interventrikular belakang dan vena kardiak kecil berjalan di parit
atrioventrikular berdampingan dengan RCA (Kaligis, 2012).
9. Vena Posterior Ventrikel Kiri
Vena ini berakhir di sisi samping ventrikel kiri dan masuk ke dalam sinus
koronarius (Kaligis, 2012).
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner
utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar
dari aorta. Arteri koroner kiri berjalan dibelakang arteri pulmonal sebagai arteri
koroner kiri utama. Arteri ini kemudian bercabang menjadi arteri desendens
anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan
pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri
berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior
jantung. Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan
bawah. Cabang pertama adalah arteri atrium anterior kanan untuk mendarahi
nodus sino-atrial, dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior yang
akan mendarahi nodus atrio-ventrikuler (Oemar, 1996). Anatomi pembuluh darah
jantung dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan gambar 2.2 .
8
Gambar 2.1 Anatomi arteri koroner jantung.
Sumber : Atlas of human anatomy, Frank H. Netter 2011.
Gambar 2.2 Anatomi arteri koroner jantung.
Sumber : Atlas of human anatomy, Frank H. Netter 2011.
9
2.2 Sindrom Koroner Akut (SKA)
2.2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut
SKA adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris
tidak stabil (APTS), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa
elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan
infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/ STEMI) (Departemen Kesehatan, 2006).
APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang
sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis
miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis
adalah NSTEMI; sedangkan bila pertanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS (Departemen Kesehatan, 2006).
Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi
total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk
mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri
paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan
alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang
bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk
mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang
ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.
Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi
pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Ketiga jenis
kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari
fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi
oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard
berlangsung (Departemen Kesehatan, 2006).
2.2.2
Epidemiologi Sindrom Koroner Akut
Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit
karena angina pektoris tak stabil; di mana 6 samapi 8 persen kemudian mendapat
10
serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah
diagnosis ditegakkan (Trisnohadi, 2009).
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30%
dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah
Sakit.Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir,
sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,meningggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Alwi, 2009).
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi
salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD,
diperkirakan 5,3 juta kunjungan/tahun. Kira-kira 1/3 darinya disebabkan oleh
(unstable angina=UA dan non ST elevation myocardial infarction=NSTEMI), dan
merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung.
Angka kunjungan ke RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin meningkat,
sementara angka infark miokard dengan elevasi (STEMI) menurun (Harun et al.,
2009).
2.2.3 Etiologi Sindrom Koroner Akut
Penyebab dari Sindrom Koroner Akut ini adalah :
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
2. Obstruksi dinamik ( spasme koroner atau vasokonstriksi )
3. Obstruksi mekanik yang progresif
4. Inflamasi dan/atau infeksi
5. Faktor atau keadaan pencetus (Departmen Kesehatan, 2006)
Dalam empat penyebab pertama, ketidakseimbangan oksigen terjadi
terutama oleh karena suplai oksigen ke miokard yang berkurang, sedangkan pada
penyebab ke lima adalah ketidakseimbangan terutama akibat meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard, biasanya disertai adanya keadaan kekurangan
pasokan oksigen yang menetap (Departemen Kesehatan, 2006).
11
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh
karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada
pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai
menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di
distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada
banyak pasien (Departemen Kesehatan, 2006).
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri
koroner epikardium (angina prinzmetal).Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi
endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil (Departemen Kesehatan,
2006).
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan
karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan
aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi
koroner perkutan (PCI) (Departemen Kesehatan, 2006).
4. Inflamasi dan/atau infeksi.
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan
dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri,
destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di
dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang
dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya
dapat mengakibatkan SKA (Departemen Kesehatan, 2006).
Faktor atau keadaan pencetus. Penyebab ke lima adalah SKA yang
merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner.
Pada pasien ini ada penyebab berupa penyempitan arteri koroner yang
12
mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya
menderita angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena :
a. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis
b. Berkurangnya aliran darah koroner
c. Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak
terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu
penyebab dan saling terkait (Departemen Kesehatan, 2006).
2.2.4 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
Faktor resiko SKA terbagi dua, faktor resiko yang tidak dapat diubah dan
yang dapat diubah (Overbaugh, 2009).
Faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah adalah :
1. Merokok
2. Hipertensi
3. Hiperlipidemia
4. Diabetes mellitus
5. Obesitas (Overbaugh, 2009).
2.2.5 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
1. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS)
APTS adalah keadaan pasien dengan simptom iskemia sesuai SKA, tanpa
terjadi peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan
atau tanpa perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen
13
ST, inversi gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien (Juzar, et
al., 2012). Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu:
a. Pasien dengan angina yang masih baru dalam dua bulan, di mana
angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per
hari.
b. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina
stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit
dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan.
c. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
d. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya
ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina
dan keadaan klinik (Juzar, et al., 2012).
Beratnya angina :
a. Kelas 1
Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
b. Kelas 2
Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi
tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
c. Kelas 3
Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir (Trisnohadi, 2009)
Keadaan Klinis :
a. Kelas A
Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau
febris.
b. Kelas B
Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak.
c. Kelas C
Angina yang timbul setelah serangan infark jantung (Trisnohadi, 2009)
14
2. Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan angina pektoris
tak stabil (APTS) diketahui merupakan kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi
dan
gambaran
klinis
sehingga
pada
prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan
jika pasien dengan manifestasi klinis APTS menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung (Harun et al.,
2009).
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi
salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang
ke instalasi gawat daruratan. Perlu diingat bahwa prinsip penatalaksanaan
sangat tergantung kepada sarana/prasarana yang tersedia di tempat
pelayanan masing-masing khususnya untuk tindakan intervensi koroner
(Harun et al., 2009).
3. Infark Miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
Infark Miokard dengan elevasi segmen ST merupakan bahagian dari
spektrum SKA yang mengambarkan cedera miokard transmural, akibat
oklusi total arteri koroner oleh trombus. Bila tidak dilakukan
revaskularisasi segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang
berhubungan linear dengan waktu. Maka dikenalah paradigm “time is
muscle”, yang berarti tidak akan bisa diselamatkan. Paradigma ini
menekan perlunya reperfusi sedini mungkin (Juzar et al., 2012).
2.2.6
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut
2.2.6.1 Angina Pektoris Tak Stabil
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris
tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang
mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
15
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan
pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti
yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan
timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak
(fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila
trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan
elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan
hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil
(Trisnohadi, 2009).
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi
faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin
(Trisnohadi, 2009).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus (Trisnohadi, 2009).
16
4. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia (Trisnohadi, 2009).
2.2.6.2 Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri
dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur
plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2
(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Alwi, 2009).
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
17
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi (Alwi, 2009).
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2009).
2.2.6.3 Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi
ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi
ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya
proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF
α, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati
(Sjaharuddin, 2009).
2.2.7 Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut
2.2.7.1. Gambaran Klinis Angina Tak Stabil
1. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa.
2. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal.
18
3. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin.
4. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas (Trisnohadi,
2009).
2.2.7.2 Gambaran Klinis Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST
(STEMI)
1. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar.
2. Nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI.
3. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada
waktu istirahat.
4. Gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui
dengan baik.
5. Gejala tidak khas seperti dispneu ,mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun (Harun et
al., 2009).
2.2.7.3 Gambaran Klinis Infark Miokard Dengsn Elevasi Segmen ST
(STEMI)
1. Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
19
5. Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas (Alwi, 2009).
2.2.8 Diagnosis Sindrom Koroner Akut
2.2.8.1 Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran
EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada
tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak
nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda
awal dalam pengelolaan pasien SKA (Departemen Kesehatan, 2006).
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1. Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula,
dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas (Departemen Kesehatan, 2006)
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda
gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak
jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat
terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia.
Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular
20
multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis (Departemen
Kesehatan, 2006).
Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum (Departemen Kesehatan, 2006).
* Klasifikasi AP dari CCS classification
No
Patogenesis
Penampilan Klinis Umum
Angina terjadi saat istirahat dan terus
1
Angina saat istirahat
menerus, biasanya
lebih dari 20 menit
Angina yang pertama kali terjadi,
2
Angina pertama kali
setidaknya CCS Kelas III
Angina semakin lama makin sering,
3
Angina yang
semakin lama waktunya
meningkat
atau lebih mudah tercetus
2.2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi
tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati
hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3)
menunjukkanprognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit
vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga
penderita penyakit jantung koroner (PJK) (Departemen Kesehatan, 2006).
2.2.8.3. Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari
EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial.
3. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan
21
adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak
menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI (Departemen Kesehatan, 2006).
Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan
kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut,
dengan berbagai ciri dan katagori:
1. Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak
dijumpai gelombang Q.
2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T
(Departemen Kesehatan, 2006).
2.2.8.4. Petanda Biokimia Jantung
Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT)
mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI
dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari
Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan
TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko
kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari, adalah
sama. Kemampuan dan nilai dari masing-masing petanda jantung dapat dilihat
pada Tabel 2 (Departemen Kesehatan, 2006)
Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator
penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut
adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah
onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment ST elevasi
lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB (Departemen Kesehatan,
2006).
22
Tabel 2.2. Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana SKA
tanpa Elevasi Segmen ST (Departemen Kesehatan, 2006)
Petanda
Troponin
Jantung
Keunggulan
-
-
-
CK-MB
-
Modalitas yang
kuat untuk
stratifikasi risiko
Sensitivitas dan
spesitifitas
yanglebih baik
dari CKMB
Deteksi serangan
infark miokard
sampai dengan 2
minggu setelah
terjadi
Bermanfaat
untuk seleksi
pengobatan
Deteksi reperfusi
Cepat, efisiensi
biaya dan tepat
Dapat
mendeteksi awal
infark
Kekurangan
-
-
-
-
Mioglobin
-
-
Sensitifitas tinggi
Bermanfaat
untuk deteksi
awal
infark miokard
Deteksi reperfusi
Sangat
bermanfaat
dalam menilai
infark miokard
-
-
Kurang sensitif
pada awal terjadinya
serangan(onset <6 jam)
dan membutuhkan
penilaian ulang
pada 6-12 jam, jika
hasil negatif.
Kemampuan yang
terbatas untuk
mendeteksi infark
ulangan yang
terlambat.
Kehilangan
spesifitas pada penyakit
otot jantung dan
kerusakan otot miokard
akibat bedah
Kehilangan sensitifitas
saat awal infark
miokard akut (onset < 6
jam) atau sesudahnya
setelah onset (36 jam)
dan untuk kerusakan
otot jantung minor
(terdeteksi dengan
Troponin).
Spesifitas yang
rendah dalam
menilai kerusakan
dan penyakit otot
rangka
Penurunan yang
cepat ke nilai
normal, sensitif
untuk kejadian yang
terlambat (normal
kembali dalam 6 jam)
Rekomendasi
klinik
-Tes yang
bermanfaat untuk
mendiagnosis
kerusakan
miokard,
dimana klinisi
harus
membiasakan diri
dengan
keterbatasan
penggunaan pada
laboratorium RS
masing-masing.
-
Standar yang
berlaku dan
masih
dapat diterima
sebagai tes
diagnostik
pada
sebagaian
besar
kondisi
-
Tidak
digunakan
sebagai
satusatunya
petanda
diagnostik
karena
kelemahan
pada
spesifitas
jantung
23
Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung, tapi memiliki
sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes
negative dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya
nekrosis miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai
satu satunya petanda jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI.
Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan
SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya
kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak
menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya
perburukan penderita (Departemen Kesehatan, 2006).
Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA.
Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 612 jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantung dapat dilakukan di
laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di
laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit (Departemen
Kesehatan, 2006).
Tabel 2.3. Spektrum Klinis Sindrom Koroner (Departemen Kesehatan, 2006)
Enzim
Jenis
Nyeri Dada
EKG
Jantung
Angina pada waktu
Depresi segmen T
Tidak
APTS
istirahat/aktivitas ringan
Inversi gelombang T
meningkat
(CCS III-IV). Cresendo
Tidak ada gelombang
angina. Hilang dengan
Q
nitrat
NSTEMI Lebih berat dan lama (>
Depresi segmen ST
Meningkat
30 menit). Tidak hilang
Inversi gelombang T
minimal 2
dengan nitrat, perlu
kali nilai batas
opium.
atas normal
STEMI
Lebih berat dan lama (>
Hiperakut T
Meningkat
30 menit) tidak hilang
Elevasi segmen T
minimal 2
dengan nitrat, perlu
Gelombang Q
kali nilai batas
opium
Inversi gelombang T
atas normal.
24
2.2.9 Tatalaksana Sindrom koroner akut
2.2.9.1 Evaluasi Awal
Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan keluhan nyeri dada
bertujuaan untuk menegakkan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih
tatalaksana yang tepat. Berdasarkan kwalitas nyeri dada, anamnesa dan
pemeriksaan fisik terarah serta gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi
salah satu dari : STEMI, NSTEMI dan kemungkinan diagnosis SKA rendah (Juzar
et al., 2012).
2.2.9.2 Penanganan Awal
Penanganan awal dimulai saat diagnosis angina pektoris tidak stabil dan
STEMI ditegakan atau bahkan dicurigai terhadap SKA cukup tinggi, meliputi :
1. Atasi nyeri dada akibat iskemia.
2. Melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya.
Sebagai contoh hipertensi dan takikardia merupakan keadaan yang
meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen, dan bisa diatasi dengan
pemberian penyekat beta dan nitrogliserin intravena.
3. Risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko
dini.
4. Berdasarkan estimasi stratifikasi risiko diatas, strategi tatalaksana
ditentukan antara strategi invasif (angiografi koroner dengan tujuan
revaskularisasi) atau konservatif (medikamentosa).
5. Inisiasi terapi antitrombolitik (antiplatelet dan antikoagulan) untuk
mencegah
terjadinya
trombosis
baru
dan
embolisasi
dari
plak
aterosklerosis yang ruptur atau erosi.
6. Pemberian penyekat beta untuk mencegah terjadinya iskemia berulang dan
aritmia ventrikular maligna (Juzar et al., 2012).
Penangan awal diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa
yang telah terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti dibawah
ini :
25
1. Pemberian antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko trombosis
arteri koroner berulang.
2. Penyekat beta
3. Statin (Juzar et al., 2012).
Terapi Anti-Iskemia dan Analgesik
1. Oksigen dianjurkan bila saturasi O₂ perifer < 90%.
2. Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual dan dilanjutkan
dengan pemberian kontinu melalui intravena, manfaat nitrogliserin antara
lain :
a. Dilatasi arteri koroner
b. Dilatasi system vena/venodilator akan menurunkan preload/volume
ventrikel dan tekanan baji arteri pulmonalis, sehingga berguna pada
pasien dengan kongesti pulmonal.
c. Dilatasi arteri sistemik, mengurangi afterload sehingga konsumsi
oksigen menurun.
d. Terminasi angina variant/angina prinzmetal/angina vasospasme.
e. Meningkatkan aliran darah melalui kolateral (Juzar et al., 2012).
Pemberian nitrat bentuk apapun harus dihindari pada keadaan- keadaan
dibawah ini :
a. Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg atau penurunan tekanan >30mmHg
dari baseline. Hipotensi pada iskemia miokard dapat mengakibatkan
kerusakan miokard yang lebih luas.
b. Dicurigai terdapat infark miokard ventrikel kanan.
c. Pasien masih dalam pengaruh penyekat diesterase inhibitor (seperti
sildenafil), karena dapat menyebabkan hipotensi berat.
d. Kardiomiopati hipertropik dengan obstruksi alur keluar ventrikel.
e. Stenosis katup aorta yang berat (Juzar et al., 2012).
26
Dosis dan cara pemberian :
a. Sublingual nitrogliserin 0.4 mg atau isosorbide dinitrat (ISDN) 5mg
setiap 5 menit.
b. Nitrogliserin intravena digunakan bila angina tidak teratasi dengan
pemberian sublingual. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal
5mcg/menit ditingkatkan secara titrasi sebesar 5 mcg/menit setiap 3-5
menit. Bila tidak ada response pada dosis 20 mcg dapat ditingkatkan
dengan sebesar 10-20 mcg/menit hingga dosis maksimal 400
mcg/menit. ISDN diberikan dengan dosis awal 1 mg/jam ditingkatkan
secara titrasi sebesar 1 mg/jam setiap 3-5 menit hingga dosis maksimal
10 mg/jam (Juzar et al., 2012).
3. Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis
awal 2-4 mg, dapat ditingkatkan hingga 8 mg dan diulang setiap 5-15
menit. Namun efek samping depresi nafas di antisipasi pada dosis tinggi.
4. Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek katekolamin terhadap
miokard dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan
darah, sehingga konsumsi oksigen oleh miokard menurun (Juzar et al.,
2012).
Agen Antiplatelet
Peran aktivasi dan agregasi platelet sangat besar pada propagasi trombus,
sehingga merupakan target utama pada penanganan pasien SKA. Pemberian
antiplatelet harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi risiko komplikasi
iskemia akut dan kejadian aterotrombosis berulang.
Saat ini ada tiga kelas antiplatelets, yaitu :
1. Penghambat siklo oksiginase (COX1) : Aspirin
2. Penyekat reseptor P2Y12 : Clopigogrel, Prasugrel dan Ticagrelor.
3. Penyekat reseptor GPIIbIIIa : (Abxicimab, eptifibatide dan tirofiban)
(Juzar et al., 2012).
Rekomendasi penggunaan antiplatelets pada pasien dengan APTS dan
NSTEMI :
27
1. Semua pasien tanpa kontraindikasi, dosis awal 150-300 mg dan dosis
pemeliharaan 75-100 mg untuk jangka panjang.
2. Penyekat reseptor P2Y₁₂ diberikan secepatnya dan diberikan untuk 12
bulan, kecuali ada kontraindikasi, seperti pendarahan.
3. Penyekat Pompa Proton (PPI) di kombinasi dengan pemberian dual
antiplatelets
(DAPT)
pada
pasien
dengan
riwayat
pendarahan
gastrointestinal.
4. Pemberhentian penyekat reseptor P2Y12 sebelum 12 bulan sejak kejadian
ACS, perlu dihindari kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor (loading 18 mg, dosis pemeliaraan 2 × 90 mg) untuk semua
pasien dengan risiko sedang dan berat (peningkatan enzim petanda
jantung).
6. Prasugrel* (loading 60 mg, dosis pemeliharaan 1× 10 mg) pada pasien
yang anatomi koroner telah diketahui dan dilakukan PCI, kecuali
mempunyai faktor risiko untuk terjadi perdarahan masif dan kontraindikasi
lainnya. *Saat artikel ini ditulis prasugrel tidak tersedia di Indonesia.
7. Clopidogrel (loading 300mg, dosis pemeliharaan 1×75 mg) untuk pasien
yang tidak mendapatkan ticagrelor dan prasugrel.
8. Loading clopidogrel 600 mg dianjurkan untuk pasien yang menjalani
strategi invasif dan tidak mendapat ticagrelor dan prasugrel.
9. Pada pasien dengan penyekat reseptor P2Y₁₂ dan perlu menjalani operasi
mayor (termasuk Coronary Arterial Bypass Graft, CABG), bila
memungkinkan ditunda selama 5 hari (clopidogrel dan ticagrelor) atau 7
hari (prasugrel).
10. Kombinasi aspirin dengan NSAID tidak dianjurkan (Juzar et al., 2012).
Penyekat Glycoprotein IIb/IIIa
Ada tiga GPIIb/IIIa yang digunakan pada pasien SKA: Abxicimab (Reopro),
eptifibatide (Integrilin) dan Tirofiban (Aggrastat). Sebagai antiplatelet ternyata
keuntungan dalam menurunkan angka kematian dan infark miokard hanya terlihat
pada pasien yang menjalani strategi invasif (dilakukan PCI), sedangkan pada
28
pasien menjalani strategi konservatif hasilnya tidak lebih baik dibandingkan
placebo.
Perlu diingat bahwa pengunaan GIIb/IIIa akan meningkatkan kejadian
perdarahan mayor, sehingga potensi keuntungannya harus dinilai bersama dengan
risiko perdarahannya. Pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi (usia
lanjut, riwayat perdarahan gastrointestinal) keuntungan penggunaan GIIb/IIIa jadi
berkurang (Juzar et al., 2012).
Antikoagulan
Antikoagulan
diberikan
untuk
mencegah
generasi
thrombin dan
aktivitasnya. Banyak studi telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan
antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat trombosis.
Kombinasi kedua agen akan lebih efektif dari hanya pemberian salah satu agen
saja. Ada beberapa macam antikoagulan, yaitu :
1. Penghambat thrombin indirek unfractionated heparin (UFH), Low
molecular weight heparin (LMWH).
2. Penghambat faktor Xa indirek : LMWH dan Fondaparinux
3. Penghambat faktor Xa direk : Bivalirudin (Juzar et al., 2012).
Rekomendasi penggunaan antikoagulan :
1. Semua pasien dan dikombinasi dengan terapi antiplatelet.
2. Fondaparinux 2.5 mg subkutan setiap hari.
3. Pada pasien yang telah menggunakan fondaparinux, bila akan dilakukan
PCI memerlukan tambahan UFH 85 iu/kg bolus tunggal atau 60 iu/kg bila
mendapatkan GP IIB/IIIa.
4. Enoxaparin 1 mg/kg dua kali perhari bila fondaparinux tidak tersedia.
5. Bila Fondaparinux atau anoxaparin tidak tersedia, berikan UFH 85 iu/kg
dengan target aPTT 50-70s.
6. Pada pasien dengan strategi konservatif antikoagulan diberikan hingga
pasien dipulangkan.
7. Setelah menjalani PCI, pertimbangkan untuk menghentikan antikoagulan
(Juzar et al., 2012).
29
Revaskukarisasi Koroner
Pasien dengan NSTEMI mempunyai spektrum yang luas dan heterogen,
mulai dari risiko rendah hingga risiko tinggi; sehingga stratifikasi risiko menjadi
penting. Pada pasien dengan risiko rendah, pendekatan terbaik dengan
medikamentosa (strategi konservatif). Namun pada pasien dengan risiko tinggi
menjalani kematian dan kejadian kardivaskular, pemeriksaan angiografi koroner
dengan tujuan untuk revaskularisasi (strategi invasif) telah terbukti mengatasi
simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis. Penilaiaan
stratifikasi risiko menjadi bahagian penting untuk menentukan strategi yang
optimal untuk setiap pasien.
Pasien dinyatakan berisiko sangat tinggi dan membutuhkan pendekatan
invasif mendesak (dalam 2 jam), bila ditemukan salah satu tanda dibawah ini;
1. Angina pektoris yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa.
2. Gagal jantung yang berat.
3. Instabilitas hemodinamik.
4. Aritmia ventricular maligna.
Metode revaskularisasi yang dipilih antara metoda PCI (percutaneous
coronary intervention) dan metoda bedah pintas koroner (coronary artery bypass
graft, CABG) tegantung banyak faktor, yaitu: kondisi pasien adanya gambaran
risiko tinggi, penyakit komorbid dan berat serta banyaknya lesi berdasarkan hasil
angiografi koroner (Juzar et al., 2012).
Sekitar setengah pasien NSTEMI memperlihatkan hasil angiografi koroner
penyempitan pada satu pembuluh darah (lesi “culprit”). Pada keadaan ini
angiografi dilanjutkan dengan tindakan PCI menggunakan stent. Namun 50% dari
pasien NSTEMI memperlihatkan penyempitan arteri koroner yang multiple,
sehingga keputusan untuk menggunakan metoda revaskularisasi PCI atau CABG
menjadi lebih kompleks (Juzar et al., 2012).
Intervensi koroner perkuatan (PCI)
Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya menggunakan stent/cincin
untuk mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba (abrupt closure) dan penyempitan
30
kembali. Tipe cincin dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : stent bersalut obat
(DES : drug eluting stent) dan cincin tanpa salutan obat (BMS : bare metal stent).
Drug eluting stent lebih unggul dalam menurunkan kejadian restenosis,
namum memerlukan dual antiplatelet (DAPT), yaitu aspirin dan penghambat
P2Y12 selama minimal 12 bulan. Penghentian DAPT secara premature
meningkatkan risiko in stent trombosis dengan manifestasi SKA. Kejadian
restenosis lebih tinggi pada penggunaan BMS,DAPT dapat diberikan minimal 12
bulan. Pemilihan tipe cincin hendaknya mempertimbangkan kepatuhan pasien
minum DAPT jangka panjang dan memungkinkan untuk menggunakan DAPT
selama 12 bulan, (tidak ada riwayat perdarahan gastro-intestinal atau tidak
membutuhkan operasi mayor lainya (Juzar et al., 2012).
Intervensi bedah : Coronary artery bypass graft (CABG)
Pemilihan waktu untuk CABG dipertimbangkan berdasarkan symptom,
hemodinamik, anatomi koroner dan iskemia. Seperti diuraikan terdahulu,
menekan proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan antikoagulan,
sehingga bila pasien menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi
perioperatif lebih tinggi. Secara umum bila memungkinkan, CABG dilakukan
setelah minimal 48-72 jam (Juzar et al., 2012).
2.2.9.3 Tatalaksana jangka panjang
Pasien dengan SKA non ST elevasi memiliki risiko tinggi untuk
berulangnya iskemia setelah fase awal. Oleh sebab itu, prevensi sekunder secara
aktif sangat penting sebagai tatalaksana jangka panjang, yang mencakup :
1. Perbaikan gaya hidup seperti : berhenti merokok, aktivitas fisik teratur,
dan diet.
2. Penurunan berat badan pada pasien obese dan kelebihan berat badan
overweight.
3. Kontrol tekanan darah.
4. Tatalaksana diabetes.
5. Intervensi terhadap profil lipid
31
a. Statin direkomendasikan pada semua pasien dengan SKA tanpa ST
elevasi, diberikan hari ke 1-4, dengan tujuan menstabilisasi dinding
plak aterosklerosis, efek pleitropik.
b. Disarankan terapi penurunan level lipid secara intensif dengan target
LDL<100 mg/dL
6. Meneruskan pemakaian anti-platelet.
7. Pemakaian penyekat beta : harus diberikan pada semua pasien, termasuk
pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan, dengan atau tanpa
gejala gagal jantung.
8. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor : diindikasikan sebagai
terapi jangka panjang pada semua pasien dengan LVEF ≤ 40%.
9. Penghambat reseptor angiotensin (ARB): harus dipertimbangkan pada
pasien yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor dan/atau dengan gagal
jantung atau infark miokard dengan LVEF <40%.
10. Antagonis reseptor aldosteron: harus dipertimbangkan pada pasien pasca
infark miokard yang telah mendapat ACE inhibitor dan beta bloker dan
LVEF<40% dan dengan diabetes atau gagal jantung, tanpa disfungsi renal
atau hiperkalemia.
11. Rehabilitasi dan kembali ke aktivitas fisik (Juzar et al., 2012).
Setelah suatu SKA tanpa elevasi ST, direkomendasi penilaiaan kapasitas
funsional. Berdasarkan status kardiovaskuler dan penilaian kapasitas fisik
fungsional tersebut, pasien diberi informasi mengenai waktu dan level aktivitas
fisik yang direkomendasikan, termasuk rekreasi, kerja, dan aktivitas seksual.
Pasien pasca SKA tanpa elevasi ST dapat disarankan menjalani uji latih jantung
dengan EKG atau suatu pemeriksaan stress non invasif untuk iskemia yang setara,
dalam 4-7 minggu setelah perawatan (Juzar et al., 2012).
2.2.9.4 Tatalaksana Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)
Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal
yang sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12
jam setelah awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi
32
bila STEMI sudah melampaui 12 jam dari awitan symptom, tidak ada lagi
jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard telah komplit dan keluhan pasien
hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia
berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru.
Ada dua jenis strategi reperfusi, pertama dengan intervensi koroner perkutan
primer (primary PCI) dan kedua secara medikamentosa dengan obat fibrinolitik
(Irmalita, 2012).
Intervensi koroner perkutan primer
Primary PCI merupakan pilihan pertama, karena hasil studi memperlihatkan
angka kematian lebih rendah dibanding fibrinolitik. Dianjurkan untuk melakukan
PCI sedini mugkin, idealnya kurang dari 90 menit sejak keluhan nyeri dada
timbul. Pilihan reperfusi perlu mempertimbangkan waktu awitan dari STEMI,
fasilitas, sumber daya dan demografi.
Sekitar 50% kasus STEMI mempunyai penyempitan lebih dari satu arteri
koroner (multivessel). Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan
pada lesi culprit, yaitu lesi di arteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada
syok kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk diintervensi.
Kelebihan PCI primer, dapat mengidentikasi lesi culprit terkait infark dan anatomi
koroner yang lainya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan stent, guna
menurunkan kejadian trombosis.
Rescue PCI, angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi dilakukan
segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil. Rescue PCI dilakukan bila
terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis (nyeri dada berulang atau perubahan
segmen ST) atau kapasitas latihan rendah atau stress test farmakologik
memperlihatkan tanda-tanda iskemia (Juzar et al, 2012).
Rekomendasi antitrombotik pada pasien yang menjalani PCI primer :
33
Terapi antiplatelet
1. Aspirin
2. Penyekat P2Y12/ ADP (prasugrel 40 mg, ticagrelor 180 mg atau
Clopidogrel 600 mg).
3. GPIIb/IIa hanya digunakan sebagai bail out bila saat tindakan
memperlihatkan beban trombus yang tinggi (Juzar et al., 2012).
Terapi antikoagulan
1. Unfractioned heparin 70-100 ui/kg pada pasien yang tidak mendapatkan
enoxaparin atau bivalirudin (Juzar et al., 2012).
Terapi reperfusi medikamentosa/ fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang sangat penting, terutamanya
bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumberdaya dan
demografi. Keuntungan terbesar bila dilakukan dalam 6 jam pertama. Terapi
fibrinolitik dinyatakan berhasil bila angina berkurang, resolusi amplituda segmen
ST > 50% dan dijumpai aritmia reperfusi. Risiko untuk terjadinya stroke
hemoragik cukup rendah yaitu 1%.
Semua pasien post fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas kesehatan
dengan kemampuan PCI. Pasien yang gagal terapi fibrinolitik dengan kriteria
angina disertai dengan resolusi segmen ST < 50%, perlu dilakukan “rescue PCI”
secepatnya (Juzar et al., 2012).
Rekomendasi terapi antitrombotik untuk pasien yang mendapatkan
fibrinolisis :
1. Terapi fibrinolisis untuk semua tanpa kontraindikasi yang datang < 12
jam.
2. Pada pasien yang datang dalam waktu 2 jam dengan infark miokard luas
dan risiko perdarahan yang rendah, bila prediksi waktu yang dibutuhkan
hingga tiba di meja katerisasi >90 menit.
3. Fibrin spesifik agen merupakan pilihan pertama (Juzar et al., 2012).
34
Antiplatelets
1. Aspirin dan clopidogrel (Juzar et al., 2012).
Antithrombin co-terapi fibrinolisis
1. Antikoagulan post fibrinolitik hingga revaskularisasi atau dipulangkan.
2. Enoxaparin IV diikuti dengan subkutan.
3. Unfractionated heparin bolus.
4. Pasien dengan streptokinase fondaparinux IV dan bolus setelah 24 jam
(Juzar et al., 2012).
Terapi medical postreperfusi
1. Aspirin 81 mg/hari harus dimakan seumur hidup.
2. Clopidogrel 600 mg dosis loading diikuti 75 m/hari. Semua pasien yang
mendapatkan drug-eluting stents melanjutkan clopidogrel selama minimal
1 tahun. Pada yang mendapatkan bare-metal stents clopidogrel dilanjutkan
sampai minimal 1 bulan, idealnya 1 tahun.
3. Penyekat Beta harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang
datang dengan STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus
dilanjutkan seumur hidup. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek
seperti Lopresor; ketika dosis optimum tercapai berdasarkan laju nadi dan
tekanan darah yang diinginkan, obat kerja panjang sekali sehari dapat
diberikan. Pada pasien dengan disfungsi LV, dapat diberikan carvedilol
3,25 mg dua kali sehari untuk dititrasi bila dapat ditoleransi. Beta bloker
harus dihindari pada pasien dengan STEMI Killip II, III, atau IV atau
dengan hipotensi, bradikardia, atau syok.
4. ACE inhibitors harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai
dengan obat kerja pendek (captopril) pada 24 jam pertama sampai dosis
maksimum tercapai. Setelah pasien dapat mentoleransi dosis ini, obat kerja
panjang sekali sehari dapat diberikan misalnya lisinopril. Inisiasi ACE
inhibitor harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien dengan fraksi ejeksi
<40% dan paling sedikit 1 bulan pada semua pasien. Inisiasi ACE
35
inhibitor dihubungkan dengan peningkatan awal kreatinin, namun pada
banyak kasus merupakan transien. Pertimbangkan ARB bila terdapat
kontraindikasi ACE inhibitor.
5. Terapi insulin direkomendasikan untuk kontrol gula darah pada semua
pasien yang dirawat di CVCU, berikan insulin-drip bila kadar gula darah
>200 mg/dL. Hindari penggunaan glucophage pada pre dan post-PCI
karena obat ini berhubungan dengan asidosis laktat.
6. Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasien stabil.
Dapat diberikan atorvastatin 80 mg/hari. Low density lipoprotein
cholesterol (LDL-C) harus dikurangi sampai 60-70 mg/dL pada semua
pasien dengan STEMI. Namun ada beberapa bukti bahwa terapi statin
dosis tinggi memiliki efek pleiotropic diluar level LDC-C.
7. Amiodarone dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disritmia,
sebaiknya dihindari pada pasien muda. Umumnya terapi beta bloker
agresif cukup adekuat untuk mengatasi masalah aritmia pada STEMI
(Juzar et al., 2012).
Terapi bedah
Tindakan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi
awal dan segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun, setelah upaya awal
dengan
PCI
atau
reperfusi
fibrinolitik
telah
dilakukan,
nyeri
dada
menetap/berulang, atau anatomi koroner risiko tinggi (stenosis left-main atau
triple –vessel pada diabetes) atau terjadi komplikasi mekanis (rupture septum
ventrikel, rupture muskulus papilaris) intervensi bedah patut dipertimbangkan.
Pada kondisi seperti ini, sebaiknya menunggu paling sedikit 24 jam setelah
STEMI dan setelah hemodinamik stabil. Topangan mekanik dengan intra-aortic
ballon pump (IABP) dibutuhkan sebagai jembatan untuk pembedahan pada kasus
nyeri dada menetap, aritmia, dan hemodinamik tidak stabil (Juzar et al., 2012).
Download