Masa-masa Politik Luar Negeri Indonesia Afrizal Kaha Soekarno Pencarian bentuk politik luar negeri setelah kemerdekaan Era revolusi nasional pada masa keperesidenan Soekarno, politik luar negeri dijiwai oleh kekuatan bersenjata dan diplomasi. Kedua cara tersebut dikemudi oleh dua figur yang sama sekali berbeda dan bersaing. Presiden Soekarno menekankan penyelesaian konflik dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dukungan internasional di samping juga mengandalkan kekuatan militerangkatan bersenjata untuk menyelesaikan konflik. Yang kedua, supaya konflik diselesaikan melalui diplomasi. Meskipun esensi kedua cara tersebut pada prakteknya berbeda, tetapi kedua taktik tersebut dinilai saling mendukung dan sinergis. Berkaitan dengan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia, Moh. Hatta menggunakan istilah politik luar negeri indonesia semestinya bebas aktif dan poros barat-timur bukan lagi menjadi titik temu yang esensial. Pendapat Moh Hatta ini kemudian dianggap berseberangan dengan cita-cita Soekarno pada waktu itu. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia pemahaman terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa didefinisikan kembali sesuai dengan keinginan yang berkepentingan saat itu. walaupun terdapat perbedaan penafisran terhadapa arti politik luar neger yang bebas dan aktif, tetapi selalu terdapat asumsi kalau dunia luar yang bersikap memusuhi, atau paling tidak membawa kemungkinan bahaya. Hakekat politik luar negeri pada era Soekarno, awal tahun 1950-an, Indonesia memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi pidato Moh. Hatta, secara fisik sebagai suatu negara yang tidak memihak kepada salah satu blok yang terlibat dalam perang dingin. Artinya Indonesia sedini mungkin bersikap netral, tetapi bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk perdamaian dunia dan peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering dianggap ekslusif condong ke Barat, tetapi Indonesia menolak menyokong Amerika dalam Perang Korea. Tanggapan Indonesia itu bisa ditafsirkan sebagai adanya perasaan takut akan dominasi asing yang baru, yang diakibatkan adanya perasaan baru bebas dari kolonialisme yang bercampur-baur dengan dampak pertentangan perang dingin yang terjadi pada saat itu. Akan tetapi berada di tengah-tengah dua garis jauh lebih sulit daripada memilih salah satu pihak yang sedang bertikai. Realitas mengatakan siapapun yang berada di tengahnya, cenderung terus menerus akan tertarik ke salah satu poros. Hal ini kemudian yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab selanjutnya. Konfrontasi: Ganyang Malaysia Pasca Perang dingin yang terjadi sekitar tahun 1945 yakni antar Blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet, menyebabkan beberapa pengaruh penting dalam dunia perpolitikan di Indonesia khusunya di tahun 1960 pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Pengaruh-pengaruh yang memicu terminologi “ganyang Malaysia” ini disebabkan ketika pada waktu itu, politik Luar Negri yang dipakai oleh Indonesia yakni bebas aktif, dimana pada saat itu Indonesia tidak memihak kepada Blok Barat maupun Blok timur, namun memilih untuk tetap bersikap netral. Oleh karena itu, maka muncullah sosok Negara Malaysia yang saat itu sejarah berdirinya adalah dibentuk oleh masa penjajahan Inggris. Indonesia, khususnya Soekarno memulai “politik konfrontasinya” dengan Malaysia ketika, Inggris mulai memasuki Negara Malaysia yang secara geografis sangat berdekatan dengan wilayah di Indonesia. Ketidaksukaan pemerintah Indonesia terhadap terbentuknya Negara Malaysia yang merupakan wilayah pembentukan dari Negara Inggris salah satunya karena Malaysia memiliki suatu daerah persemakmuran Inggris dimana, Soekarno mengancam bahwasanya hal ini dapat menanamkan imperialisme barat kembali akan adanya sosok Inggris di dalam pemerintahan Malaysia. Mengapa Soekarno tidak menyukai akan adanya Inggris di Malaysia? Berawal dari munculnya “Cold War” yang mengalami dampak yang sangat besar khususnya di wilayah Asia Tenggara. Indonesia tidak memaknai suatu konflik antar Blok barat dan Timur menjadi sebuah dampak yang cukup besar bagi pemerintahan Indonesia, dikarenakan karena saat itu Indonesia memiliki politik luar negri yang bebas aktif nya yang tidak memihak oleh siapapun. Kemudian muncullah term “Ganyang Malaysia” yang memang ini merupakan representasi dari politik konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Sukarno merupakan sosok pemimpin yang tidak menyukai adanya colonial barat khususnya yang berdekatan dengan wilayah geografis di Indonesia. Pembentukan Federasi Malaysia adalah pemicu munculnya konfrontasi ini. Malaysia yang saat itu disebut sebagai “Bonekanya Inggris” disebabkan karena ketidaksesuaian dari suatu Politik Luar Negri Indonesia akan terbentuknya Federasi Malaysia ini yang nantinya akan menanamkan persepsi “ancaman” barat terhadap wilayah Asia Tenggara. Jadi, Pemicu konfrontasi ini selain disebabkan oleh inggris juga dipengaruhi oleh beberapa aspek yakni karena Indonesia memiliki hubungan geografis yang berdekatan dengan Malaysia saat itu (Serawak dan Sabah saat ini) dan Soekarno yang menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia memicu munculnya penyebaran imperialisme barat yakni dengan perpolitikannya di regional Asia. Dan hubungannya dengan politik Luar Negri RI saat itu karena selain Sukarno tidak menyukai adanya Negara barat di wilayah Asia, juga dikarenakan oleh sebuah persepsi ancaman yang datang dari pembentukan Negara Malaysia yang menjadi suatu Negara Inggris untuk wilayah Asia Tenggara. Dan pada tanggal 20 Januari 1965 atas dasar konfrontasi ini menyebabkan pengunduran diri Indonesia terhadap keanggotaan Dewan keamanan PBB. Politik poros-porosan Meski menganut politik bebas aktif, Indonesia sempat menunjukkan bahwa dirinya lebih condong pada Komunisme. Hal itu dapat terlihat dari politik poros-porosan terbagi menjadi dua periode yakni periode tahun 1966 Nefos Vs Oldefos dan 1967 Poros Jakarta-Peking. Kedua periode tersebut menunjukkan bahwa Soekarno sangat anti pada negara-negara Barat beserta dengan ideologi yang dibawanya. Indonesia menjadi salah satu negara yang mempopulerkan NEFOS (New Emerging Forces) guna melawan kekuatan OLDEFOS (Old Establishment Forces) yang merupakan negara-negara imperialis dan kapitalis.[5] Itu merupakan salah satu bentuk konfrontasi negara-negara berkembang kepada negara-negara Barat. Tidak hanya itu, Indonesia beberapa kali mengecam tindakan PBB yang terlalu menjunjung tinggi kepentingan negara-negara Barat, seperti dalam konflik China-Taiwan dan Israel-Arab.[6] Puncak dari kekecewaan terhadap PBB, Indonesia keluar dari keanggotaan pada 7 Januari 1965. Setelah itu, Indonesia berusaha membuat kekuatan tandingan bagi PBB dengan menyelenggarakan GANEFO sebagai pengganti olimpiade dunia yang sebagian besar diikuti oleh negara-negara komunis,[7] serta CONEFO sebagai wadahnya. Indonesia juga melaksanakan politik mercusuar guna mendukung terselenggaranya GANEFO melalui pembangunan beberapa proyek raksasa. Setelah resmi keluar dari keanggotan PBB, Indonesia mulai menjalin hubungan secara terangterangan dengan negara-negara Komunis. Hal itu dapat dilihat dari pembentukan poros Poros Peking(Beijing)-Hanoi-Pyongyang-Jakarta untuk menandingi kekuatan Blok Barat dan Timur.[8] Mulai saat itu, Indonesia menjadi sangat dekat dengan China. Hubungan yang terjalin tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik, sosial, budaya. Hampir semua politik luar negeri Indonesia pada saat itu menyimpang dari kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Hal itu membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang pragmatis. Indonesia akan menjalin kerjasama dengan negara-negara yang akan mendukung kepentingan nasionalnya. Pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat, Indonesia dengan sengaja berusaha mendekati Amerika Serikat yang memiliki hak veto dalam PBB untuk dapat melancarkan proses penyatuan ke dalam wilayah NKRI. Di sisi lain, pada saat yang sama Indonesia juga menjalin hubungan dengan Uni Soviet guna memperoleh senjata dan peralatan militer untuk melawan Belanda. Dalam keadaan seperti itu, Indonesia harus waspada agar pengaruh kedua negara tersebut tidak sampai berimbas negatif bagi urusan dalam negerinya. Bagaimanapun juga, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soekarno pada saat itu dapat menjadi salah satu pembelajaran bagi perkembangan politik luar negeri Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi hendaknya tidak diulangi lagi, karena setiap tindakan yang dilakukan dapat berdampak negatif bagi Indonesia pada nantinya. Dengan demikian, diharapkan dinamika politik luar negeri Indonesia menjadi lebih terarah dan teratur, sehingga akan mempermudah tercapainya kepentingan yang diperjuangkan. Soeharto PERAN SENTRAL PRESIDEN SOEHARTO Soeharto dilantik sebagai pengganti Presiden Soekarno segera setelah Supersemar dikeluarkan tahun 1966. Namun, belakangan ini muncul kontroversi bahwa dalam pidato terakhir yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno tidak disebutkan adanya pengalihan kekuasaan kepada Soeharto. Isi dari Supersemar hanya meliputi pengamanan negara, pengamanan diri presiden, dan pelaksanaan ajaran presiden (Roy Suryo, 2008). Hal itu semakin memperkuat dugaan bahwa sejak awal pemerintahannya, Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaan. Selama masa pemerintahan Soeharto berlangsung, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang sengaja dibuat Pro Barat. Hal itu dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintahan Presiden Soekarno yang jatuh akibat Pemberontakan PKI tahun 1965, serta krisis ekonomi yang berkepanjangan karena penerapan ideologi yang terlalu condong kiri. Pergantian masa kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto menandai babak baru dari orde lama ke orde baru. Apabila selama masa pemerintahan Soekarno, kebijakan yang diambil banyak bertentangan dengan Barat hal sebaliknya justru terjadi di masa orde baru. Konflik-konflik yang banyak terjadi di era Soekarno terbukti banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar hingga berdampak pada krisis ekonomi, oleh sebab itu maka kebijakan yang diambil Soeharto cenderung untuk memperbaiki ekonomi negara melalui peningkatan pembangunan diberbagai sektor. Dalam masa jabatannya, Soeharto selalu mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah Amerika Serikat. Selain karena kebijakannya yang sangat antikomunis, Soeharto sangat tertarik pada hal-hal yang berbau kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain. Soeharto memiliki kepercayaan bahwa Lanjutan Pada awalnya Soeharto berusaha mengarahkan kebijakannya pada kembali pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Hal yang pertama dilakukan adalah bergabung kembali menjadi anggota PBB serta menjalin hubungan baik dengan Malaysia dan Singapura. Dalam politik luar negerinya, Soeharto berusaha membangun image dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Soeharto pernah mengatakan bahwa “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia, dan politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi” (Sabam Siagian, 2008). Dengan adanya dukungan serta kestabilitasan politik luar negeri maka secara tidak langsung akan mendukung stabilitas politik ke luar negeri. Dengan demikian, maka kepentingan nasional Indonesia akan mudah dicapai. Selama masa pemerintahannya, Soeharto juga berperan dan berpengaruh kuat di kalangan militer, birokrasi maupun bisnis (Anonim, 1996). Hal itulah yang juga membuat peran sebagai presiden menjadi sentral pemerintahan. Soeharto juga dikenal sangat otoriter, banyak kebijakan dibuat hanya untuk mempertahankan kekuasaannya meski merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Sering terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto apabila ada pihak yang secara terang-terangan menolak dan menentang kebijakan yang dibuatnya. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto dapat dilihat dari kasus 27 Juli dan kasus Trisakti (Ramidi, 2004), serta peristiwa Malari. PENGARUH KUAT MILITER Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Soeharto sangat berpengaruh kuat di kalangan militer, birokrasi, dan pebisnis. Militer menjadi sumber utama untuk menegakkan ketertiban, peraturan, dan undang-undang. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi pemerintahan Soeharto di Indonesia. Siapapun yang menentang kebijakan Presiden maka militer akan bertindak sebagai penegak hukumnya. Hal itulah yang membuat tidak ada satu pihak pun baik dari dalam maupun luar yang berani mengusik pemerintah Indonesia. Tindakan otoriter yang selama ini dilakukan oleh Soeharto juga didukung oleh militer. Keberhasilan Soeharto dalam menyebarkan pengaruhnya di kalangan militer tidak terlepas dari pengalamannya sebagai anggota Angkatan Darat. Soeharto melebarkan peran Angkatan Darat melalui kebijakan Dwifungsi ABRI yang merupakan sebuah konsep dasar TNI dalam menjalankan peran sosial politik (Dephan RI, 2005). Peran sosial mencakup program-program kemanusiaan, bencana alam, pelayanan kesehatan, TNI masuk desa, dan bakti TNI. Sedangkan peran politik, meliputi pengembangan kesadaran bela negara kepada setiap warga negara, setia kepada cita-cita proklamasi 17 agustus 1945 dan NKRI, pengembangan nilai-nilai persatuan dan wawasan kebangsaan. Dalam kenyataannya, penerapan yang dilakukan menyimpang dari konsep awal. Soeharto berhasil memimpin selama 32 tahun dan orang-orang militer membanjiri panggung politik. Banyak pejabat negara dan anggota administasi sipil yang memiliki latar belakang militer. Itu berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, yang otomatis mendukung Presiden. Namun apabila dilihat dari sisi eksternal, posisi Indonesia secara internasional semakin kuat meski demokrasi semakin melemah. Keberhasilan ekonomi yang dicapai pemerintah bisa menutupi buruknya tingkat demokrasi di Indonesia. POLITIK LUAR NEGERI UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI Indonesia mengalami kejayaan pembangunan dan kemajuan ekonomi di Indonesia di masa pemerintahan Soeharto. Politik luar negeri sepenuhnya difokuskan untuk pembangunan nasional di berbagai sektor. Melalui program Repelita, Indonesia mampu meningkatkan ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang sangat pesat dan menjadi negara pengekspor beras terbesar sehingga mendapat penghargaan dari FAO yakni medali yang bertuliskan ”from rice importer to self sufficiency” (Anonim, 2005). Soeharto dianggap berjasa besar dalam menyelesaikan masalah hutang dan pinjaman luar negeri ditimbulkan oleh pemerintahan Soekarno. Untuk mengatasi hutang-hutang tersebut, Soeharto mencanangkan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) yang berfungsi untuk melakukan rehabilitasi terhadap perekonomian yang sedang kacau melalui kerjasama dan bantuan asing. Secara regional, Indonesia berhasil mendirikan ASEAN yang selain untuk menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan juga berfungsi untuk mengakhiri konfrontasi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto melakukan usaha yang cukup penting dalam sejarah politik luar negeri RI saat itu. Keberhasilan dalam membentuk ASEAN berdampak positif bagi pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara berkembang yang berhasil mencetuskan organisasi regional yang cukup penting secara internasional. Lanjutan Kemajuan ekonomi dan kestabilitasan secara politik tidak membuat pemerintahan Soeharto bertahan untuk selamanya. Banyaknya penyelewengan yang terjadi mulai dari praktek KKN, pelanggaran HAM, dan pengekangan terhadap masyarakat menjadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri. Meski secara internal, regional, dan internasional Indonesia dapat dikatakan mencapai kejayaan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun demokrasi tidak dapat ditegakkan. Untungnya keberhasilan pembangunan nasional berhasil menutupi kebobrokan pemerintahan dalam negeri. Ekonomi yang sangat pesat membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai “Macan Asia”. Habibie Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999) setelah lengsernya Soeharto dari jabatannya. Kemudian kebijakan lain yang dikeluarkan Habibie adalah tentang masalah Timor-Timor yang merupakan propinsi palong muda yang dimiliki Indonesia yang mati-matian dipertahankan pada masa Soeharto. Dan kontroversi paling hangat adalah ketika dia menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor-Timur (Tim-Tim), asatu propinsi termuda Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah oleh Rezim Soeharto. Siapapun dia orangnya tentu ingin bebas merdeka termasuk rakyat Tim-Tim. Sehingga ketika jajak pendapat dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggulk merdeka. Masalah TimTim, salah-satu yang dianggap menjadi penyebab penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999. Pemilu terbaik paling demokratis setelah Pemilu tahun 1955. penolakan ini membuat BJ, Habibie tidak bersedia maju sebagai kandidat calon presiden (Capres). Perhatian Habibie difokuskan untuk menangani permasalahan domestik. Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada hari tanpa demontrasi. Demontrasi itu mendesak Habibie merepon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, mebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon tuntutan reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan Orde Baru. Pemerintahannya yang berusia 518 hari hanya dianggap sebagai pemerintahan transisi. Dengan demikian arah politik luar negeri Indonesia sebagian besar menjadi ranah menteri luar negerinya. Adapun hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia dinilai tidak memuaskan, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Sayangnya, karena kita terlalu fokus pada permasalahan domestik yang seringkali diwarnai oleh aksi protes, kita sering lupa dengan apa yang telah diprogramkan oleh Habibie ke luar. Jika kita lebih jeli mengamati keseluruhan program Presiden Habibi, maka kita mesti mengakui bahwa politik luar negeri Habibi dijalankan dengan menggunakan instrumen diplomasi soft power. Soft power dalam Habibi diistilahkan melalui pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Banyak sekali pelajar Indonesia utamanya S2 yang mendapat beasiswa dari berbagai negara guna menuntut ilmu. Tentu saja hal ini mencerminkan nama baik Habibie yang diakui secara internasional. Perihal perekonomian, Bj Habibie menyerahkan sepenuhnya kepada staf pemerintah tertinggi yaitu menteri perdagangan, begitu pula hubungan luar negeri dipercayakan pada sekelompok orang saja yang mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan presiden untuk mengambil keputusan. Inti arah politik luar negeri Bj Habibie adalah pemulihan nama baik indonesia seputar dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Timor timur. Akan tetapi sebelum permasalahan pelanggaran hak asasi manusi terselesaikan, sayangnya Bj Habibie telah digantikan oleh presiden terpilih hasil reformasi. Masa Pemerintahan Gusdur Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya. Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999 direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada Dewan Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI yang dinilai bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, KPP HAM yang dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca referendum juga melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM serius di Timor Timur dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang terlibat, termasuk Wiranto.[12] Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan dari Davos saat ia menghadiri World Economic Forum bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinetnya.[13] Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur dari kabinet dan akibatnya memunculkan spekulasi kemungkinan kudeta oleh TNI. Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB Richard Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa TNI tidak mendukung investigasi atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan.[14] Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi pernyataan bahwa TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima Daerah Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI tetap loyal kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan ia memberi pernyataan menarik yaitu: TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East Timor issue. We were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that the president wanted to let go of East Timor at the expense of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.[15] Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjung. Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh prodemokrasi untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada publik ketika Sekjen PBB Kofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi persnya di istana presiden setelah bertemu Wahid, Kofi Annan menyatakan bahwa ‘the decision [onWiranto] has proven that Indonesia had taken on responsibility to ensure that those responsible for the atrocities in East Timor would be made accountable’ Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh[19] dan isu perbaikan ekonomi. Masa Pemerintahan Megawati Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow. Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia. Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut. Era SBY PLNRI bergantung pada 3 hal (Bantarto Bandoro, CSIS), yaitu: Postur Indonesia Posisi Indonesia, dan Krisis di Indonesia. PLN Era SBY Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini). Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu: terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll). terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahanperubahan di luar negeri. ‘prakmatis kreatif’ dan ‘opportunist’, artinya: Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bisa membantu dan menguntungkan bagi Indonesia. TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. TRUST di sini adalah Tidak Berkiblat ke AS