View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara memiliki orientasi politik luar negerinya masingmasing. Politik luar negeri yang dijalankan oleh setiap negara pada
dasarnya merupakan suatu komitmen berupa strategi dasar dalam
mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya. Politik luar negeri juga
menjadi cerminan dari keinginan dan aspirasi seluruh rakyat suatu negara
yang harus diperjuangkan pemerintahnya di luar negeri. Baik dalam
konteks dalam negeri maupun luar negeri serta sekaligus sebagai upaya
dalam menentukan keterlibatan suatu negara di dalam konstelasi politik
internasional maupun isu-isu intenasional dan lingkungannya.
Pada hakikatnya, politik luar negeri merupakan suatu bentuk upaya
dalam
mempertemukan
kepentingan
national,
khususnya
rencana
pembangunan nasional dengan perkembangan dan perubahan lingkungan
internasional. Sesungguhnya politik luar negeri suatu negara merupakan
perpaduan antara kekuatan nasional, kepentingan nasional, dan tujuan
nasional. Dimana, ketiga unsur ini memiliki posisi yang sederajat dalam
perumusan politik luar negeri suatu negara. Dengan kata lain, semakin
besar kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai, maka harus semakin
besar pula kemampuan atau kekuatan untuk mencapainya.
Politik luar negeri adalah komponen dari kebijaksanaan politik
nasional yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi real di dalam
1
negeri. Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri suatu negara
dipengaruhi oleh faktor domestik dan faktor internasional yang memiliki
arti korelatif dan saling mempengaruhi. Beberapa faktor domestik yang
mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri diantaranya: sumber
daya alam, sumber daya manusia, pemerintah, media massa, kelompok
kepentingan, partai politik, dan ideologi bangsa.
Demikian halnya dengan Indonesia sebagai suatu negara, memiliki
dan melaksanakan politik luar negerinya sendiri dalam hubungannya
dengan negara lain dan lingkungan internasional pada umumnya. Hal ini
menjadi satu bukti eksistensi dan kedaulatan negara Indonesia. Karenanya,
Indonesia mencoba memadukan kemampuan atau kekuatan serta potensi
yang ada dalam negeri tanpa menafikan kelemahan yang dimiliki untuk
menghasilkan rumusan politik luar negerinya.
Secara wilayah, Indonesia memiliki arti strategis di kawasan
karena berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera.
Sebagai negara maritim, Indonesia kaya akan potensi sumber daya
alamnya. Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan penduduk
terbanyak
ketiga
di
dunia,
dengan
susunan
demografi
dalam
kemajemukan/ heterogenitas penduduknya yang disatukan oleh sebuah
falsafah yang disebut Pancasila. Dan dewasa ini, Indonesia diakui sebagai
negara yang melaksanakan sistem demokratis dalam pemerintahan.
Dalam
perkembangannya,
Indonesia mengalami
perubahan-
perubahan mendasar dalam lingkungan domestik, regional dan lingkup
2
internasional. Perubahan dalam lingkup domestik Indonesia dapat dilihat
pada momentum awal pasca kemerdekaan, yang ditandai perubahan dasar
negara dengan penghapusan pelaksanaan syariat Islam pada sila pertama
Pancasila. Perubahan dalam lingkup domestik juga tercermin dalam
perubahan-perubahan yang mewarnai pemerintah yang sedang berkuasa
pada saat itu, meliputi pergantian nama kabinet dan sistem pemerintahan
yang berdampak pada penghapusan ataupun penambahan aktor-aktor yang
memiliki andil sebagai perumus kebijakan negara. Sebagaimana sejarah
mencatat bahwa ketika Indonesia berada dibawah pemerintahan Soekarno,
sentralistik tertumpu pada Presiden dan partai yang berkuasa saat itu
(PKI). Sedang ketika Soekarno digantikan oleh Soeharto, peran dan visi
didominasi oleh Presiden dan TNI.1
Momen perubahan paling besar ditandai dengan perubahan politik
secara massif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian pada
tahun 1998. Naiknya B.J. Habibie sebagai presiden setelah mundurnya
Soeharto merupakan awal sebuah periode politik baru yang menjadi
periode transisi dan lebih popular disebut masa reformasi. Dalam masa
kepemimpinan Habibie, konstitusi negara diamandemen, undang-undang
pemilu dan partai politik diubah, kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah mulai digulirkan, dan referendum dilakukan di Timor-Timur yang
berakhir dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Mengenai periode transisi ini, Riwanto
1
Budi Winarno, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta:
Media Pressindo, hal. 36-39
3
Tirtosudarmo dalam bukunya Mencari Indonesia : Demogrfi-Politik
Pasca-Soeharto menjelaskan,
“Inilah pentas besar politik periode transisi yang berlangsung sejak
lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 hingga terpilihnya
Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan September 2004.
Lengsernya Soeharto memang telah diikuti oleh berbagai
perubahan politik yang cukup mendasar melalui amandemen UUD
1945 yang menjadi landasan sistem pemilu, partai poitik, maupun
tata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.”2
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa perubahan sistem
politik akan mempengaruhi lingkungan domestik.3 Selanjutnya perubahanperubahan yang terjadi dalam lingkup domestik tersebut membawa
pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan dan orientasi politik luar
negeri Indonesia. Pengaruh faktor domestik tersebut justru lebih besar
dibanding faktor internasional.
Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik
mendalam terus berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia.
Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang politik luar negeri yang
selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif.
Pada awal kemerdekaan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih
ditujukan untuk memperoleh pengakuan internasional dan penuntasan
dekolonisasi, sehingga Soekarno membuang kemungkinan-kemungkinan
yang dapat menyebabkan Indonesia terkucilkan, serta melakukan cara-cara
untuk dapat mendapat pengakuan tersebut. Maka di awal kemerdekaan,
digaungkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut oleh
2
Riwanto Tirtosudarmo, 2007, Mencari Indonesia: Demografi-Politik PascaSoeharto, Jakarta: LIPI Press, hal. xvii-xviii
3
Winarno, op.cit., hal. 130
4
Indonesia. Hal ini lebih didasarkan pada kepentingan politik domestik
dibanding semata-mata mengikuti tekanan lingkungan internasional, yang
pada waktu itu didominasi oleh dua kekuatan besar yang saling
berseberangan.4
Ketika Soekarno digantikan oleh Soeharto, terjadi perubahan
orientasi kebijakan politik luar negeri secara radikal. Soeharto lebih
menitikberatkan kebijakan politik luar negeri Indonesia pada pertumbuhan
ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta membendung sebaran
pengaruh komunisme.5 Namun, di masa pemerintahan Orde Baru yang
otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan DPR dan kalangan publik
mengenai kebijakan luar negeri hanya terjadi dalam level yang sangat
minimal.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, politik luar negeri Indonesia
diklaim banyak pihak cenderung melemah. Lebih jauh, fokus kebijakan
luar negeri Indonesia pada masa Habibie menggantikan Soeharto terarah
pada upaya perbaikan citra nasional yang memburuk di fora internasional.
Arah kebijakan ini terus diusung para pemimpin negara hingga masa
Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, meski kiprah politik luar negeri Indonesia di
era reformasi mengalami kemunduran, namun proses demokratisasi di
Indonesia telah membuka lebar koridor pengambilan kebijakan. Dimana,
tidak terbatas pada figur individu pemimpin atau lembaga yang dominan
4
Ganewati Wuryandari dalam Ganewati Wuryandari (ed), 2008, Politik Luar
Negeri Indonesia Di Tengah Pusara politik domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 6
5
Ibid. hal. 7
5
secara politis seperti di masa lalu, tapi juga memberi kesempatan pada
berbagai aktor sosial politik lain seperti DPR, LSM, akademisi, pers,
maupun pemuka agama untuk turut berkontribusi dalam proses perumusan
kebijakan termasuk kebijakan luar negeri. Karena itu, perumusan
kebijakan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor akan
membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan akan merepresentasikan
kepentingan nasional secara lebih luas.
Perkembangan mutakhir politik Indonesia menunjukkan bahwa
agama merupakan satu institusi politik yang paling penting dalam sistem
Pancasila. Sebab, dari agamalah para politisi coba memusatkan atau
mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Agama
dipergunakan sebagai sumber-sumber ketajaman-ketajaman moral dan
keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis masyarakat
Indonesia.6
Berdasarkan angka perkiraan tahun 2009, Indonesia merupakan
negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Jumlah penduduk
Muslim Indonesia mencapai 207 juta jiwa, yang jika dikalkulasi setara
dengan dua pertiga jumlah penduduk di seluruh Negara Timur Tengah.7
Sebagai komunitas mayoritas, Islam menjadi determinan penting dalam
ikut mempengaruhi arah perpolitikan bangsa. Segenap pilihan-pilihan
6
Nurcholish Madjid, dalam Muhammad Hari Zamharir, 2004, Agama dan
Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, hal. ix
7
Michael Finkel, Indonesia Moderat dan Radikal Dalam Satu Tempat dalam
Majalah National Geographic edisi bulan Oktober 2009, hal. 86
6
politik umat Islam akan memunculkan reaksi, aspresiasi, ataupun koreksi
dari para elit pengambil kebijakan.
Menurut survei oleh Pew Global Attitudes, Indonesia adalah salah
satu negara yang penduduknya paling religius di dunia.8 Selama beberapa
dasawarsa, masyarakat Indonesia memang semakin terbuka keislamannya.
Karena itu, tidak heran jika respons terhadap Islam semakin dirasa baik
dalam ranah sosial-budaya maupun bidang politik-kenegaraan. Dalam
sosial-budaya tampak pada jamaah masjid yang bertambah banyak dan
busana Muslim yang menjadi semakin populer. Adapun dalam bidang
politik-kenegaraan, keterbukaan terhadap Islam ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya dukungan untuk partai politik Islam serta semakin
banyak pemerintah daerah yang mulai memberlakukan peraturan yang
diilhami oleh syariah atau hukum Islam.
Dewasa ini semakin terasa bahwa Islam menjadi faktor determinan
dalam pengambilan kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri
Indonesia. Dalam lingkup internal, Islam dimaknai sebagai suatu
kelompok atau komunitas dan kesatuan sosiologis masyarakat Indonesia
yang mendukung pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya kesatuan
republik Indonesia. Adapun dalam konteks internasional, Islam dimaknai
sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam hubungannya dengan negara
lain serta yang terkait dengan isu-isu global seputar Islam.
8
Ibid. hal. 87
7
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa politik luar negeri tak lain
sebagai refleksi dari keinginan seluruh masyarakatnya yang harus
diperjuangkan oleh pemerintah di luar negeri. Maka, tak dapat dipungkiri
bahwa faktor Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, menjadi
salah satu faktor domestik yang mempengaruhi pemerintah khususnya
dalam partisipasi dan pengambilan kebijakan luar negeri. Ditambah lagi,
dengan semakin terbukanya penerimaan masyarakat terhadap partai-partai
politik yang berideologikan Islam untuk mengambil peran dalam
pemerintahan.
Sebagai agama yang dianut oleh 89% penduduk, maka umat Islam
Indonesia dapat memainkan peranan yang proporsional dalam berbagai
bidang kehidupan bangsa Indonesia. Kondisi ini juga menempatkan posisi
dan aspirasi umat Islam menjadi faktor yang diperhitungkan dalam
menetapkan agenda dan kebijakan politik bangsa Indonesia, termasuk
politik luar negeri Indonesia. Ditambah lagi, era reformasi menjadi
momentum yang semakin memberikan peluang dan keterbukaan bagi umat
Islam
Indonesia dalam memainkan perannya. Serta memberikan
konstribusi dalam mempengaruhi kondisi perpolitikan bangsa Indonesia,
dalam rangka menformat bangsa Indonesia dalam menjalankan kebijakan
politik, baik politik dalam negeri maupun luar negeri yang lebih bijak dan
menjamin terlaksananya kepentingan nasional bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang multikultural dan multireligi.
8
Melalui komunitas dan organisasai Islam nasional yang ada di
Indonesia, peran dan partisipasi umat Islam dalam mempengaruhi
kebijakan pemerintah berjalan secara lebih terorganisir. Umumnya,
lembaga-lembaga
Islam
seperti
Majelis
Ulama
Indonesia,
Muhammadiyah, dan ICMI diasumsikan sebagai lembaga yang mewakili
aspirasi umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Pandangan dan
legitimasi dari lembaga tersebut mempengaruhi dan seringkali menjadi
acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan politis termasuk hal yang
berkaitan dengan agenda politik luar negeri Indonesia khususnya yang
menyangkut isu seputar Islam dan dunia Islam.
Landasan sebagai anutan mayoritas masyarakat
Indonesia,
keterbukaan rezim dan bangkitnya kesadaran umat Islam Indonesia sendiri
untuk bergerak memapankan kedudukannya dihadapan negara melalui
lembaga formal, merupakan faktor yang kuat dalam mendorong umat
Islam sebagai suatu kekuatan sosial berpengaruh dalam pelaksanaan
agenda dan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisis permasalahan dalam
penulisan skripsi yang berjudul: “Pengaruh Islam terhadap Perumusan
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia”.
9
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan
orientasi seiring dengan perkembangan tatanan dunia internasional.
Perubahan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal
dibanding faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang menjadi
determinan adalah Islam, yang merupakan agama mayoritas penduduk
Indonesia. Islam menjadi suatu kekuatan sosial yang memiliki peran
penting di awal pembentukan dasar negara. Islam juga menjadi penunjang
kekuatan nasional dalam pencapaian kepentingan nasional sehingga
berpengaruh dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.
Adapun Rumusan Masalah dalam penulisan ini adalah :
1. Apa yang melatarbelakangi keterkaitan antara Islam sebagai
agama mayoritas dalam pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh Islam sebagai anutan mayoritas penduduk
Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
C.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menggambarkan dan menganalisa latar belakang
keterkaitan antara Islam sebagai agama mayoritas penduduk
Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia;
10
2. Untuk menggambarkan dan menganalisa pengaruh Islam
sebagai
agama
mayoritas
penduduk
Indonesia
dalam
pelaksanaan politik luar negeri.
C.2. Kegunaan Penelitian
Adapun tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak dan orang-orang yang memiliki kepentingan ataupun yang
berminat pada permasalahan yang ditulis oleh penulis sehingga tulisan ini
dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi. Secara khususnya
tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Akademik
Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan
informasi bagi para mahasiswa Hubungan Internasional pada
khususnya dan pemerhati masalah-masalah internasional pada
umumnya mengenai pelaksanaan politik luar negeri Indonesia,
khususnya pengaruh Islam sebagai agama mayoritas Penduduk
Indonesia dalam politik luar negeri Indonesia;
2. Kegunaan Praktis.
Diharapkan
sebagai
bahan
pertimbangan
bagi
penentu
kebijakan (pemerintah) dalam membuat kebijakan menyangkut
kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam hubungannya
dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam.
11
D. Kerangka Konseptual
Dalam kehidupan bernegara, masyarakat suatu negara dituntut
untuk dapat berperan serta dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan
bernegara, tidak terkecuali dalam bidang politik dan pemerintahan.
Partisipasi masyarakat suatu negara menjadi salah satu kekuatan yang
selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest
group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Memahami format
sosial politik masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dulu memahami
ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, upaya
memahami ideologi bangsa menjadi satu hal yang sangat penting.
Ideologi secara konsep sering dipahami berbeda-beda, baik
masyarakat umum, politisi, maupun ilmuwan. Istilah ideologi adalah
istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial.
Namun, banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan istilah tersebut yang
menurut mereka berasal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi
dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan
sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan
lainnya.9
Istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik
pemerintahan atau gerakan politik suatu negara. Definisi yang biasa
diberikan, menyebutkan bahwa ideologi adalah sistem gagasan politik,
yang dibangun untuk melakukan tindakan-tindakan politik seperti
9
Imam Cahyono, “Melacak Akar Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam
Indonesia", dalam Jurnal Pemikiran Islam, International Institute of Islamic Thought
Indonesia Vol.1, No.2, Juni 2003.
12
misalnya memerintah suatu negara, melakukan gerakan sosial/politik,
partai politik, mengadakan revolusi, ataupun kontrarevolusi. Sebab itu,
ideologi dipandang sebagai gagasan atau pemikiran manusia untuk
memetakan kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Peta yang
melukiskan realitas tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman arah
dalam bertindak.10
Ideologi juga dipandang sebagai seperangkat gagasan dasar tentang
kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama
ataupun politik. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa ideologi pun dapat
mengambil akar dari agama. Misalnya liberalisme, yang banyak
memperoleh inspirasi dari reformasi agama Kristen yang dibawakan oleh
Martin Luther abad ke-16. Meskipun memiliki inspirasi dari agama, pada
perkembangannya, liberalisme lebih berfokus pada dimensi sekular,
khususnya
gagasan-gagasan
mengenai
kemanusiaan,
individualitas
manusia, dan pembatasan kekuasaan negara atas individu.
Selain agama, ideologi pun ada yang berakar dari kondisi ekonomi.
Cara produksi manusia, penguasaan alat produksi, tujuan produksi,
melahirkan sejumlah ideologi seperti Kapitalisme dan Komunisme. Kedua
ideologi tersebut memiliki akar yang kuat dari kondisi ekonomi di Eropa
tahun 1800-an. Dengan melihat pendefinisian serta akar sejarah ideologi,
maka dapat diketahui bahwa ideologi menempati posisi sebagai acuan
10
Franz Schurmann, 1973, Ideology and Organization in Communist China,
USA: University of California Press, hal. 18
13
tindakan dari kelompok sosial baik pemerintah, partai politik, kelompok
kepentingan (pengusaha dan swasta), maupun kelompok agama.
Kebijakan luar negeri tidak terlepas dari dampak ideologi yang
dianut sebuah negara, terkait nilai-nilai, ide, inisiatif, dan gejolak yang
ada. Disamping itu, kebijakan politik luar negeri memiliki kompleksitas
elemen-elemen yang ada di dalamnya serta pengaruh elemen-elemen
tersebut dalam proses pembuatan keputusan. Keterikatan antara elemen
pembuat keputusan dengan ideologi yang diusung menjadi satu bagian
penting yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan politik luar negeri
suatu negara.
Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu
negara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang
diperintahnya, meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu
itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.11 Karena
keberagaman latar belakang dalam pemakaian istilah ini, maka perlu
adanya kesamaan pemahaman terhadap penggunaan istilah ini. Penulis
mengutip konsep politik luar negeri yang dikemukakan oleh James N
Rossenau, bahwa politik luar negeri dibedakan ke dalam tiga konsep
pengertian yaitu (a) politik luar negeri sebagai kumpulan orientasi; (b)
politik luar negeri sebagai sejumlah komitmen terhadap suatu tindakan dan
Mochtar Mas’oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi. Jakarta: LP3ES, hal. 184
11
14
rencana bagi suatu tindakan; (c) politik luar negeri sebagai bentuk
perilaku.12
Sebagai sekumpulan orientasi, politik luar negeri merupakan
sejumlah cita-cita suatu bangsa yang diarahkan pada lingkup atau yang
berhubungan dengan bangsa lain. Politik luar negeri sebagai sejumlah
komitmen dimaksudkan mengandung dimensi yang bersifat strategis,
artinya sebelum melakukan berbagai tindakan dari negara lain maka suatu
negara harus memiliki sebuah rencana atau platform yang menjadi acuan
seluruh pelaku politik luar negeri negara tersebut. Sedangkan politik luar
negeri sebagai sebuah bentuk perilaku lebih bersifat aplikatif yakni
menyangkut tindakan suatu negara yang berhubungan langsung dengan
negara lain.
Sementara itu, politik luar negeri menurut J. Frankel yaitu:
“Politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan
nasional yang ditujukan ke luar negeri, yang tidak terpisah
dari keseluruhan tujuan nasional, dan tetap merupakan
komponen atau unsur dari kondisi dalam negeri”13
Yang perlu diperhatikan disini adalah politik luar negeri dapat
dikatakan sebagai cerminan kepentingan nasional suatu negara terhadap
lingkungan luarnya. Keterkaitan kepentingan nasional dan politik luar
negeri adalah bahwa pelaksanaan politik luar negeri tersebut semaksimal
mungkin dapat menguntungkan bagi kepentingan nasional. Baik diukur
12
Bakri dalam Risma Handayani, 2002, Peranan Legislatif dalam Perumusan
dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia (Pasca Orde Baru), FISIP UNHAS,
Makassar, hal. 24
13
J. Frankel, 1990, Hubungan Internasional, Jakarta : ANS Sungguh
Bersaudara, hal.55
15
dari kepentingan keselamatan dan keamanan nasional, maupun diukur dari
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan nasional.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik.
Dalam metode ini dijelaskan secara sistematis mengenai fakta-fakta
ataupun variabel-variabel yang berkaitan dengan posisi dan arti
penting Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan fakta
mengenai pengaruhnya dalam pelaksanaan politik khususnya politik
luar negeri Indonesia.
2. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan oleh penulis adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur, buku-buku, dokumendokumen, jurnal, surat kabar,dan informasi yang diakses dari internet
yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapun
data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini menyangkut datadata mengenai Islam sebagai agama yang dianut oleh penduduk
Indonesia, potensi umat Islam dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah, landasan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, dan
pengaruh Islam sebagai anutan mayoritas penduduk Indonesia dalam
pelaksanaan politk luar negeri Indonesia.
16
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis yaitu telaah
pustaka
melalui literatur- literatur yang sesuai dengan pokok
permasalahan yang dibahas sesuai dengan objek penelitian, baik
berupa buku, jurnal Hubungan Internasional, artikel-artikel yang
bersumber dari intenet, dan surat kabar.
Adapun tempat yang dikunjungi dalam rangka mengumpulkan data
tersebut yaitu:
1. Perpustakaan pusat Universitas Hasanuddin;
2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin;
3. Perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan di Makassar;
4. Perpustakaan Universitas Islam Makassar;
5. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Makassar
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa yang bersifat
analisis deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari berbagai
literatur kemudian dihubungkan antara fakta-fakta yang ada kemudian
permasalahan yang ada dijelaskan dan dianalisa berdasarkan faktafakta yang ada dan disusun dalam suatu tulisan serta ditarik suatu
kesimpulan akhir dari data dan fakta yang ada. Pokok analisa dalam
tulisan ini adalah pengaruh Islam sebagai agama mayoritas dalam
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Ideologi
Semenjak istilah ideologi pertama kali oleh Destutt de Tracy tahun
1796 di Perancis, telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga
ideologi dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompleks.
Ideologi selalu merupakan kosakata yang bersifat polemik yang
mengandung sifat dasar permulaan yang ambigu, dengan sisi negatif dan
positif, konstruktif dan destruktif. Tidak ada satu-satunya pengertian
substansial mengenai ideologi yang dibawa oleh adanya perkembangan
pemakaian istilah tersebut.
Ideologi dalam arti epistemis merupakan sebentuk pengetahuan
yang tidak bersifat refleksif dengan perhatian formal yang berbeda dari
yang terdapat pada ilmu. Perhatian formal ini lebih diarahkan pada
kepentingan praktis dan kongkret. Perhatikan misalnya rumusan Ryan
sebagai berikut,
An ideology has come over the past century to mean a secular and
political creed, and especially it has come to carry the implication that the
truth of what is said to belong to an ideology is relatively unimportant
compared with the social origins of the creed.14
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa ideologi cenderung
mengarah pada implikasi atas prinsip sekuler dan politik, dibanding
14
Ryan dalam Slamet Sutrisno, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila,
Yogyakarta: Penerbit Andi, hal. 25
18
prinsip dari ilmu sosial itu sendiri. Karenanya, istilah ideologi terutama
dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan ataupun gerakan politik
suatu negara.
Pengertian selanjutnya, ideologi berkaitan dengan substansi yang
meliputi pemikiran, gagasan, dan cita-cita sosial. Definisi yang biasa
diberikan menyebutkan bahwa ideologi adalah sistem gagasan politik,
yang dibangun untuk melakukan tindakan-tindakan politik seperti
misalnya memerintah suatu negara, melakukan gerakan sosial/politik,
partai politik, mengadakan revolusi, ataupun kontrarevolusi. Ideologi
dipandang sebagai gagasan atau pemikiran manusia untuk memetakan
kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Peta yang melukiskan realitas
tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman arah dalam bertindak.15
Versi kedua ini sejalan dengan peendapat Sydney Hook bahwa
ideologi dapat berarti sebagai “pandangan dunia atau kosmos tempat
manusia di dalamnya, yang merupakan bimbingan kegiatan politik dalam
arti seluas-luasnya.”16 Disini pengertian ideologi juga perlu dipahami
secara proporsional, dalam arti dewasa ini tidak lagi dikenal muatan atau
ruang lingkup tunggal dalam istilah ideologi. Terdapat lebih dari satu
pengertian substansial yang bisa ditarik dari ideologi yang untuk
menelusurinya dapat dilakukan dengan pendekatan historis.
Pada awalnya, istilah ideologi dimaksudkan oleh De Tracy
sebagai science of ideas, the study of origins, evolution and nature of
15
16
Franz Schurmann, loc.cit., hal. 18
Sydney Hook dalam Slamet Sutrisno, op.cit., hal. 25
19
ideas. Di pihak lain, dengan ideologi sebagai teori ide-ide dimaksudkan
juga sebagai bagian dari usaha pembangunan kembali lembaga-lembaga
kemasyarakatan atau institutional reform. Namun, pandangan tersebut
berubah menjadi negatif ketika mendapat pertentangan dari Napoleon
Bonaparte yang menjadi penguasa kala itu. Pandangan negatif tentang
ideologi dilanjutkan oleh Karl Marx, dimana ia menganggap bahwa
ideologi sebagai kesadaran palsu mengenai kenyataan-kenyataan sosial
ekonomi dan merupakan angan-angan kolektif yang diperbuat dan
ditanggung bersama oleh kelas sosial tertentu. Melalui ideologi itulah
proses riil dalam kehidupan masyarakat dibuat kabur, sehingga realitas
merupakan alternatif terhadap ideologi atau dengan kata lain ideologi
terletak pada oposisinya realitas.
Pada titik ini, Karl Manheim berbeda dengan Marx. Ia berusaha
mengeliminasikan elemen negatif ideologi dengan mengajukan konsepsi
ideologi total dan ideologi partikular. Ideologi total merupakan ciri khas
menyangkut struktur pikiran abad dan kelompok tertentu, misalnya
sekelompok kelas sosial. Berbeda dengan konsep total ideologi, secara
partikular ideologi lebih menghuni benak dan diterima secara psikologis
oleh warga masyarakat.
Apabila Manheim berusaha mengeliminasikan elemen negatif
ideologi, Antonio Gramsci bahkan menolak konotasi negatif ideologi
meskipun ia seorang Marxis. Ia memilah pengertian ideologi dalam dua
20
term, arbiter dan organis17. Hanya dalam pengertian arbiter ideologi
mampu memungkinkan adanya kesadaran palsu. Sedangkan ideologi jenis
kedua bersifat netral sebagai suatu konsepsi tentang dunia yang secara
implisit dimanifestasikan ke dalam kesenian, hukum, kegiatan ekonomi,
dan semua manifestasi individual maupun kolektif.
Sifat netral ideologi itu tak urung dipertanyakan kebenarannya
karena ideologi pada akhirnya bukan hanya terdiri atas sistem kognitif,
melainkan sekaligus sistem normatif. Sejalan dengan hal tersebut
diungkapkan oleh William Nester, “Ideology is more systematic belief
system which can transcend a given culture, political philosophy like
liberal democracy, communism, facism, even though moeslem culture.
The essence of every ideology is a value system.18 Sargent juga
memberikan perumusan ideologi, yaitu sebagai suatu sistem nilai atau
keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok
tertentu. Begitu pula dengan Ignas Kleden yang merumuskan ideologi
sebagai:
Seperangkat doktrin sistematis tentang hubungan manusia dengan
dunia hidupnya, yang diajarkan dan disebarluaskan dengan penuh
kesadaran, yang tidak hanya memberikan suatu kerangka
pengetahuan yang bersifat netral, tetapi yang meminta sifat dan
komitmen dari pihak yang menerimanya, dan yang sedikit banyak
menimbulkan moral passion dalam diri penganutnya.19
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pengertian ideologi telah
mengalami pergeseran begitu rupa sehingga bukan lagi sebagai science of
17
Ibid, hal. 26-27
William Nester, 1995, International Relations, Geopolitical and Geoeconomic Conflict and Cooperation, USA: Harper Collins College Publisher, hal. 72
19
Slamet Sutrisno, op.cit., hal. 27
18
21
ideas. Ideologi telah berkembang menjadi pengertian yang mengandung
arti sebagai gagasan, ide-ide yang semula merupakan sasaran pengkajian
dalam science of ideas tersebut. Lebih lanjut, ideologi mengandung arti
sebagai bukan hanya gagasan atau pemikiran, melainkan sebagai
keyakinan. Dengan melihat pendefinisian serta akar sejarahnya, maka
dapat disimpulkan bahwa ideologi menempati posisi sebagai acuan
tindakan dari kelompok sosial baik pemerintah, partai politik, kelompok
kepentingan, maupun kelompok agama.
B. Konsep Kebijakan Politik Luar Negeri
Politik luar negeri merupakan serangkaian kebijakan yang diambil
oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional,
dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional. Dimana kebijakan tersebut
merupakan akumulasi dari kepentingan rakyat yang disebut sebagai
kepentingan
nasional.
Melalui
politik
luar
negeri,
pemerintah
memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar
bangsa. Dengan kata lain, politik luar negeri adalah pola perilaku yang
digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara
lain. Hal ini sejalan dengan definisi yang disebutkan Goldstein, ”Foreign
policies are the strategies used by governments to guide their actions in
the international arena (Politik luar negeri adalah strategi yang digunakan
pemerintah sebagai pedoman tindakan dalam kancah internasional).20
20
Joshua S. Goldstein, 2002, International Relations Brief Edition, Amerika
Serikat : Longman, hal. 95
22
Plano dan Olton menegaskan pula bahwa politik luar negeri
adalah strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat
keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik
internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional
spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.21 Dari
pengertian ini dapat dilihat bahwa politik luar negeri sengaja dibuat oleh
suatu negara sebagai pedoman tindakan dalam fora internasional, yang
pelaksanaannya bertujuan demi mencapai kepentingan nasional negara
tersebut. Kepentingan nasional itu sendiri timbul untuk menutupi
kekurangan sumber daya nasional, atau apa yang dibahasakan sebagai
kekuatan nasional, yang ternyata hanya bisa diperoleh diluar batas-batas
territorial negaranya.22
Secara umum politik luar negeri merupakan suatu
perangkat
formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan,
mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di percaturan
internasional. Pelaksanaan politik luar negeri mencerminkan kepentingan
nasional di bidang luar negeri. Politik luar negeri adalah suatu komitmen
yang merupakan strategi dasar untuk mencapai tujuan, baik dalam konteks
dalam negeri atau luar negeri sekaligus menentukan keterlibatan suatu
negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitar.
21
Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochammad Yani, 2006, Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda, hal. 49
22
Tulus Warsito, 1998, Teori-Teori Politik Luar Negeri : Relevansi dan
Keterbatasannya, Yogyakarta: Bigraf Publishing, hal. 2
23
Jika dilihat dari unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri
suatu negara terdiri dari dua elemen utama yaitu tujuan nasional yang
akan dicapai dan instrumen yang dimiliki suatu negara untuk
mencapainya. Tujuan yang ingin dicapai dapat terlihat dari kepentingan
nasional yang dirumuskan elit suatu negara. Sedangkan instrumen untuk
mencapai tujuan tersebut tergambar dari strategi diplomasi yang
merupakan implementasi dari kebijakan politik luar negeri yang telah
dirumuskan. Dengan demikian, politik luar negeri yang dijalankan suatu
negara dapat dianggap berhasil jika memiliki suatu strategi diplomasi
tertentu yang efektif dapat melindungi pencapaian kepentingan nasional
negara tersebut.
Sementara itu, James N Rossenau membedakan konsep politik
luar negeri ke dalam tiga pengertian yaitu
a) politik luar negeri sebagai kumpulan orientasi;
b) politik luar negeri sebagai sejumlah komitmen terhadap suatu tindakan
dan rencana bagi suatu tindakan; dan
c) politik luar negeri sebagai bentuk perilaku.23
Politik luar negeri sebagai sekumpulan orientasi berarti adanya
sejumlah cita-cita suatu negara yang diarahkan atau yang berhubungan
dengan negara lain. Sekumpulan orientasi yang terdiri dari sikap, persepsi,
dan nilai-nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah dan keadaan
strategis yang menentukan posisi negara dalam politik internasional.
23
Bakri dalam Risma Handayani, loc.cit., hal. 24
24
Selain itu politik luar negeri merupakan rencana dan komitmen kongkret
yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan, untuk membina dan
mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang konsisten dengan
kebijakan luar negeri. Pengertian politik luar negeri yang berikutnya
mengarah pada aksi atau perilaku. Pada tingkat ini politik luar negeri
berada pada tingkat yang lebih empiris, yaitu berupa langkah-langkah
nyata yang diambil oleh para pembuat kebijakan yang berhubungan
dengan situasi di lingkungan eksternal.
Konsep lain tentang politik luar negeri adalah menurut Lovel yang
dikutip oleh Sufri Yusuf, yaitu:
“Politik luar negeri berhubungan dengan semua usaha dari sistem
politik nasional untuk beradaptasi dengan lingkungan geopolitiknya dan untuk menetapkan tindakan pengendalian terhadap
lingkungannya agar dapat memenuhi nilai-nilai (good values)
yang terdapat dalam sistemnya.”24
Penjelasan dari konsep diatas dapat merujuk pada teori sistem politik yang
dikemukakan oleh Almond dan Powell, “sebuah sistem secara tidak
langsung merupakan ketergantungan antar bagian-bagian dan batas antara
sistem dengan lingkungannya.”25 Interdependensi ini mengandung makna
bahwa perubahan dalam satu bagian sistem akan mempengaruhi seluruh
komponen dan keseluruhan sistem, dan juga akan berpengaruh pada
sistem domestik dan kapabilitas internasional. Dilihat dari perspektif
sistem, politik luar negeri juga tidak dapat dipisahkan dari politik dalam
24
Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Iternasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah
Analisis Teoritis dan Uraian Pelaksanaannya, Jakarta: Pustaka Sinar, hal. 110
25
Lihat Budi Winarno, loc.cit., hal. 6
25
negeri karena keduanya merupakan sub sistem dari sistem politik suatu
negara.
Dalam pembahasan politik luar negeri, ada tiga determinan yang
tak terpisahkan. Determinan pertama adalah kepentingan nasional.
Kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami
perilaku internasional, sekaligus merupakan dasar untuk menjelaskan
perilaku politik luar negeri suatu negara. Holsti berpandangan bahwa
kepentingan nasional atau apa yang disebut sebagai kepentingan dan nilai
inti digambarkannya sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya
kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan yang sebesarbesarnya. Nilai dan kepentingan ini menurutnya lagi, biasanya
dikemukakan dalam bentuk asas-asas pokok kebijakan luar negeri dan
menjadi keyakinan yang diterima masyarakat tanpa reserve atau sikap
kritis.26
Para ahli hubungan internasional telah bersepakat bahwa politik
luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional suatu
negara terhadap lingkungannya. Pun dengan segala kegiatan dan langkahlangkah yang diambil dalam ranah kebijaksanaan luar negerinya tidak
lepas dari apa yang menjadi kepentingan nasionalnya. Maka, kepentingan
nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor
penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dalam
merumuskan kebijakan politik luar negerinya. Perumusan dan penentuan
26
K. J. Holsti, 1989, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, jilid satu,
terj. M tahir Azhari, Jakarta : Erlangga, hal. 135
26
kepentingan nasional suatu negara harus berpatokan pada apa yang
menjadi kebutuhan dalam negeri dengan berupaya memenuhi kebutuhan
tersebut baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun
dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Donal E. Nuchterlin menyebutkan sedikitnya ada empat jenis
kepentingan nasional, yaitu:
a) kepentingan pertahanan, diantaranya menyangkut kepentingan
untuk melindungi warga negara serta wilayahnya dan sistem
politiknya dari ancaman negara lain;
b) kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk
meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan
ekonomi dengan negara lain;
c) kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk
mewujudkan atau mempertahankan sistem politik ekonomi
internasional yang menguntungkan bagi negaranya; dan
d) kepentingan
ideologi,
ialah
kepentingan
untuk
mempertahankan atau melindungi ideologi negaranya dari
ancaman ideologi negara lain.27
Determinan yang kedua adalah kekuatan nasional. Kekuatan
nasional sering diartikan sebagai power, dimana pendefinisiannya sering
mengarah pada kekuasaan. Selain itu, kekuatan nasional juga dimaknai
sebagai capability, dimana peristilahan ini sering digunakan oleh para
sarjanawan hubungan internasional. Penulis mengambil definisi kekuatan
nasional dalam pengertian national capability, yaitu kemampuan yang
dimiliki suatu negara yang nyata terlihat (tangible) dan yang tidak nyata
terlihat (intangible) yang kedudukannya selaras dengan kepentingan serta
tujuan nasional.
27
Umar Suryadi Bakri, 1999, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jaya
Baya University Press, hal. 62
27
Dijelaskan oleh Muhammad Musa bahwa,
Kekuatan nasional atau kekuatan negara merupakan jaminan bagi
keberhasilan politik luar negerinya. Sedangkan kekuatan dalam
pengertiannya yang menonjol adalah kemampuan untuk
mempengaruhi keputusan pihak lain. Kekuatan negara dalam
hubungan internasional dan dalam pentas dunia berarti kepeduliannya
terhadap pihak lain ketika mereka mengambil keputusan dalam
beberapa masalah.28
Secara konvensional, kekuatan nasional terbagi ke dalam tiga
kategori, yaitu instrument ekonomi, politik (diplomasi), dan militer. Tiga
komponen ini bermanfaat bagi tujuan analitik, sedangkan pada prakteknya
ketiga bentuk kekuatan ini saling berhubungan satu sama lain. Instrumen
kekuatan politik atau diplomatik meliputi segala aktivitas yang terukur
dan terampil dari para diplomat suatu negara yang berusaha meyakinkan
pihak lain akan garis kebijaksanaan negaranya.
Keterbatasan kekuatan nasional yang dimiliki oleh suatu negara
untuk mencapai kepentingan nasional secara internal mengharuskan
negara tersebut mencari pemenuhan kepentingannya diluar batas-batas
negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa politik luar negeri dapat dianggap
sebagai penyeimbang kepentingan nasional dengan kekuatan nasional.
Hans J. Morgenthau29 membagi kekuatan nasional atas unsurunsur yang stabil (tidak mudah berubah) sebagai berikut:
1. Geografi (letak, luas dan kondisi wilayah)
2. Sumber Daya Alam
28
Muhammad Musa, 2003, Hegemoni Barat terhadap Percaturan Politik Dunia :
Sebuah Potret Hubungan Intenasional, Jakarta: Wahyu Press, hal.37
29
Lihat, Hans J. Morgenthau, 1990, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku I,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
28
3. Kemampuan Industri
4. Kesiagaan militer
5. Jumlah dan Kualitas Penduduk
Dan yang labil (mudah berubah), sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Karakter Nasional
Moral Nasional
Kualitas Diplomasi
Kualitas Pemerintah.
Hampir serupa, Lerche dan Said30 membagi kapabilitas negara
dalam dua kategori yaitu tangible elements (yang konnkrit nyata
wujudnya dan dapat diukur, yaitu:
-
Populasi (penduduk)
Teritorial (wilayah)
Sumber Alam dan Kapasitas Industri
Kapasitas Pertanian
Kekuatan Militer dan Mobilitas
Serta intangible elements, yaitu:
-
Kepemimpinan dan Kepribadian
Effisiensi Organisasi-Birokrasi
Tipe Pemerintahan
Persatuan Masyarakat
Reputasi Negara
Dukungan Luar Negeri dan Ketergantungan.
Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam menghimpun kekuatannya
tidak saja bergantung pada alat pemaksa kekuasaan berupa peralatan
militer, melainkan juga segenap potensi kemampuan pendukung dari
negaranya. Dimana, unsur-unsur ini yang menjadikan negara tersebut kuat
dan mampu mengubah konflik kepentingan menjadi sesuatu yang
menguntungkan baginya.
30
Lihat Charles O. Lerche dan Abdul Said, 1979, Concepts of International
Politics, edisi ketiga. Englewood Cliffs, N.J : Prentice-Hall, hal. 66-74
29
Determinan ketiga adalah kondisi internasional dengan sifatnya
yang dinamis. Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri suatu negara
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor domestik saja namun juga
dipengaruhi oleh faktor internasional. Dengan kondisi internasional yang
senantiasa dinamis mengharuskan suatu negara membuat penyesuaianpenyesuaian untuk mengejar kepentingan nasional di luar batas
teritorialnya. Dalam hal ini keberhasilan suatu politik luar negeri akan
sangat bergantung pada bagaimana suatu negara melihat dan membaca
kondisi internasional, kemudian menyesuaikannya dengan kebijakan
politik luar negerinya.
Tatanan internasional terus berubah seiring dengan terjadinya
pergeseran geo-politik dan geo-ekonomi termasuk perubahan lingkungan
geostrategis pasca krisis global. Pada gilirannya, berbagai perubahan
internasional yang terjadi mendorong terjadinya perubahan dalam polapola hubungan antar bangsa dan negara. Perubahan global juga
mengharuskan adanya revitalisasi mekanisme kerjasama global agar
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang semakin
besar dan berat. Dari pola ini, dapat dilihat bahwa kondisi internasional
yang begitu dinamis, selain memberikan tantangan-tantangan juga
memberikan peluang-peluang. Dalam hal ini tugas setiap negara untuk
meningkatkan kapasitasnya masing-masing, serta merumuskan politik luar
negeri yang mampu mengatasi berbagai tantangan dan memanfaatkan
30
peluang yang bermuara pada pencapaiaan kepentingan nasional masingmasing.
Sebagai penutup dan merupakan kesimpulan mengenai konsepsi
politik luar negeri, penulis mengambil definisi standar yang dikemukakan
oleh Sufri Yusuf : “Politik luar negeri itu adalah politik untuk mencapai
tujuan nasional dengan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada.31
Karena situasi dan kondisi global yang senantiasa dinamis, maka
kebijakan politik suatu negara selalu mengalami penyusunan dan
penyesuaian, karena politik luar negeri merupakan perpanjangan tangan
dari politik dalam negeri. Olehnya, kebijakan politik luar negeri sangat
ditentukan oleh kondisi objektif politik dalam negeri. Segala yang
dirumuskan dari pertimbangan politik dalam negeri, akan menjadi acuan
perumusan politik luar negeri yang ditujukan pada kancah internasional.
31
Sufri Yusuf, loc.cit., hal. 110
31
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM DI INDONESIA
DAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
A. Kedudukan Islam di Indonesia
1. Islam sebagai Agama Mayoritas di Indonesia
Secara geografis, negara dan bangsa Indonesia berada dan
berdomisili di lingkungan wilayah yang memiliki garis-garis pantai
dan hutan tropis, yang tersebar di kawasan seluas hampir 3.000 mil.
Dari faktor wilayah, Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang
bertebaran di sepanjang garis khatulistiwa. Sehingga pada gilirannya,
kedua faktor tersebut, secara tidak langsung telah membentuk
kemajemukan bangsa ini dalam berbagai hal, baik dalam tradisi-sosial,
suku-ras, maupun agama-kepercayaan. Keadaan geografis dan wilayah
yang dimiliki Indonesia ini telah membentuk keragaman dan
perbedaan struktur masyarakatnya.
Ajid Thohir menggambarkan ragam masyarakat Indonesia
yang berkembang di seluruh wilayah Indonesia menjadi tiga jenis
kelompok masyarakat sebagai berikut:
Kelompok pertama, adalah masyarakat yang hidup di daerahdaerah pedalaman dan kawasan-kawasan pegunungan yang
terpencil. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaankepercayaan animisme dan komitmen kesukuannya yang
kuat. Kelompok kedua, adalah masyarakat yang hidup di
sepanjang garis pesisir, dimana jalur-jalur perdagangan laut
telah memudahkan mereka untuk dapat mengenal dan
bertukar kebudayaan dengan dunia luar. Sedangkan kelompok
ketiga, adalah masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur
32
budaya keraton. Pada umumnya, kelompok masyarakat ini
hidup dalam sebuah kota di sekitar kawasan istana yang
mudah dijangkau. 32
Lebih lanjut dijelaskan oleh Ajid Thohir bahwa Islam datang pertama
kali ke Indonesia melalui perantara masyarakat kedua yaitu masyarakat
yang tinggal di sekitar daerah pesisir.33 Berbeda dengan negara-negara
di Timur Tengah, proses masuknya Islam di Indonesia tidak melalui
jalur perang, melainkan melalui jalur perdagangan.
Pola perdangangan yang terjadi di sekitar daerah pesisir telah
berkembang menjadi pola hubungan timbal balik antara masyarakat
pesisir dengan para pedagang asing. Dari hubungan tersebut,
masyarakat Indonesia mengenal Islam sebagai agama dan budaya,
yang selanjutnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat
Indonesia. Sejarah memperlihatkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
pertama kali tanpa ada tendensi politik ataupun pemaksaan kekuasaan
tertentu. Hal inilah yang menjadikan wajah Islam di Indonesia sebagai
agama kultural yang mengakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Islam yang masuk ke Indonesia dengan jalur perdagangan
tampaknya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat pesisir saat
itu. Terbukti dengan semakin banyak masyarakat Indonesia yang
awalnya telah lekat dengan budaya Hindu-Budha kemudian memilih
Islam dalam kehidupan mereka. Bahkan, masyarakat pesisir hingga
32
Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif EtnoLinguistik dan Geo-Politik, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 384
33
Ibid. hal. 385
33
saat ini terkenal sebagai masyarakat yang berkomitmen kuat terhadap
agama Islam.
Persentuhan Islam dengan budaya yang ada di Nusantara
membuat keduanya saling mempengaruhi. Di masa Sultan Agung
(1613-1645) misalnya dibuat kalender Jawa yang membuktikan bahwa
Islam sanggup berasimilasi dengan kebudayaan setempat dan
sebaliknya. Masa ini adalah masa dimulainya proses sinkretisme antara
budaya Jawa dengan Islam. Pelaksanaan Islam yang dipengaruhi oleh
budaya tradisional akhirnya mulai ditentang oleh gerakan pemurnian
atau modernis Islam yang datang dari Mesir pada akhir abad XIX dan
awal abad XX. Kebangkitan golongan ini pada akhirnya menyebabkan
Islam di Indonesia berkembang menjadi dua golongan besar, yaitu
Islam tradisionalis dan Islam modernis, yang secara simplistik
direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah.
Agaknya,
dijelaskan
pola
sebelumnya,
penyebaran
memberi
Islam
sebagaimana
karakteristik
tersendiri
yang
bagi
masyarakat Indonesia. Islam di Indonesia masuk melalui budaya, tanpa
melalui perebutan kekuasaan sebagaimana yang terjadi di semenanjung
Arab, Andalusia, India, dan juga termasuk Asia kecil. Sehingga,
akulturasi budaya yang terjadi menyebabkan Islam menjadi agama dan
budaya yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Karakteristik Islam di Indonesia menjadi satu hal yang khas dan
berbeda dengan karakteristik Islam di negara-negara lain.
34
Indonesia merupakan negara dengan potensi penduduk
terbesar ke-empat di dunia. Dengan luas wilayah seluas 1.919.440 km
dengan total populasi penduduk 239.400.901 jiwa. Potensi ini tentu
menjadi kekuatan tersendiri bagi negara. Karena tak dapat dipungkiri,
luas wilayah dan populasi penduduk merupakan satu unsur penting
kekuatan negara.
Tabel 1: Populasi Penduduk Dunia 10 Negara Teratas:
Sumber GeoHive online, yang diolah dari UN Population Division, World
Population Prospects: The 2004 Revision. Higlights
Dari jumlah total populasi masyarakat Indonesia tersebut,
89% penduduk Indonesia adalah muslim. Indonesia adalah negara
berpenduduk muslim terbanyak di dunia dengan jumlah mencapai 207
juta jiwa.34 Dimana, angka ini adalah 36 juta lebih banyak daripada
Pakistan yang menjadi kedua terbanyak di dunia. Jika dikalkulasi,
34
Michael Finkel, loc.cit., hal. 86
35
jumlah penduduk muslim Indonesia setara dengan dua pertiga jumlah
penduduk di seluruh Negara Timur Tengah. Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Pew Global Attitudes, Indonesia disebut sebagai salah
satu negara yang penduduknya paling religius di dunia.35
Umat Islam di Indonesia tersebar di seluruh pelosok
Nusantara dan menempati hampir seluruh wilayah. Sebagian besar
umat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat,
seperti di pulau Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan
untuk wilayah Timur, penduduk muslim banyak yang menetap di
wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara dan wilayahwilayah tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak,
Haruku, Banda, Tual dan lain-lain.
Dari jumlah yang mayoritas tersebut, Islam menjadi sebuah
nilai dan anutan yang dijunjung oleh masyarakat Indonesia. Islam
sebagai sebuah agama yang merefleksikan sikap serta budaya
masyarakat
di
Indonesia.
Beberapa
peraturan/hukum
dalam
pemerintahan dan negara banyak yang terinspirasi oleh hukum Islam.
Selain itu, Islam menjadi satu budaya yang menyatu dengan budaya
asli Indonesia.
Sebagai Negara dengan mayoritas muslim yang terbesar di
seluruh dunia, Indonesia sudah barang tentu harus memberikan peran
terhadap Islam itu sendiri. Negara sebagai suatu organ yang memiliki
35
Ibid. hal. 87
36
kekuasaan tertinggi dan sah, sepatutnya menjamin hak-hak kaum
muslimin. Dalam pemenuhan hak-hak itu timbullah peran negara
Indonesia yang menjamin rakyatnya yang merupakan kaum muslimin.
Maka dari itu, Pemerintah Indonesia mempunyai sejumlah
kebijakan dalam pembangunan bangsa melalui pembinaan umat
beragama, antara lain:
1. Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1945, suatu
departemen yang merealisasi sila pertama dari Pancasila, dan
sekaligus menjadi ciri khas Islam di Indonesia;
2. Menetapkan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
3. Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji di tanah air;
4. Membentuk Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975;
5. Melembagakan Musabaqah Tilawatil Qur’an secara nasional dari
tingkat rasional dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa,
mendirikan dan meresmikan Masjid Istiqlal sebagai masjid yang
sepenuhnya dibiayai pemerintahan/ negara, membentuk Badan
Amil Zakat,dan lain-lain;
6. Ikut serta membina kerukunan hidup umat beragama serta
antarumat beragama, maupun antara umat beragama dan
pemerintah;
7. Membentuk secara Yuridis-Formal sebagian hukum Islam, yaitu
penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia, dengan undangundang pada tahun 1989;
37
8. Menetapkan hari-hari besar Islam sebagai hari libur nasional;
9. Mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan agama
Islam seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas
Islam Negeri, dan Universitas Islam Indonesia.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa Islam menjadi agama
mayoritas di Indonesia dengan jumlah penganut hingga 89% dari total
penduduk Indonesia. Dengan jumlah tersebut, Islam menjadi agama
yang mendominasi sehingga menjadi suatu hal yang pantas ketika
negara memberikan peranannya dan mengayomi masyarakatnya agar
senantiasa terjamin dalam hak-hak kehidupannya. Karena, agama
bukan hanya sekedar keyakinan dalam hati, namun ia merupakan
sebuah ajaran yang sifatnya aplikatif.
2. Peran Islam dalam Negara Indonesia
Dilihat dari pemeluknya, Indonesia merupakan negara yang
paling besar jumlah kaum muslimnya di seluruh dunia. Namun secara
religi politik dan ideologis, Indonesia bukanlah sebuah “Negara
Islam”. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa Islam sebagai
sebuah agama besar memainkan beberapa peranan di dunia, begitu pun
di Indonesia. Pada peringkat yang lebih awal dari gerakan
kemerdekaan nasional, Islam telah memainkan peranan penting dalam
pemberontakan-pemberontakan rakyat melawan penjajah. Baik dengan
perang
atau
dengan
mendirikan
organisasi,
semangat
untuk
38
kemerdekaan pada 1940-an, dengan cara yang sama, telah dipelopori
oleh impuls-impuls agama dan moral Islam.
Sejarah mencatat bahwa dalam perjuangan untuk meraih
kemerdekaan Indonesia, banyak tokoh yang merefleksikan Islam
sebagai agama yang mengakar dalam semangat bangsa Indonesia.
Tokoh seperti Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Fatahilah dan sebagainya telah menggambarkan patriotik
yang dilandasi dengan semangat Islam. Selain itu, peran penting umat
Islam dalam perjuangan kemerdekaan juga tampak dari sikap para
ulama,
haji,
santri,
dan
pedagang
yang
menunjukkan
anti-
imperialisme.
Dari segi organisasi yang dibentuk pada masa itu, tak pelak
Islam menjadi satu acuan dalam pembentukan organisasi nasional
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam,
Nadhlatul Ulama dan Majelis A’la Indonesia. Dari tokoh intelektual ini
muncul nama-nama seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, dan
Agus Salim. Karenanya tak heran jika banyak pemimpin-pemimpin
Indonesia saat itu yang memperjuangkan agar syari’at Islam di
laksanakan di Indonesia, meski tidak berarti menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam.
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan
telah berjuang keras agar pelaksanaan syari’at Islam diakui secara
konstitusional. Perjuangan ini berlangsung menjelang dan sesudah
39
proklamasi yang diusung oleh sembilan pemimpin Indonesia yang
diketuai oleh Presiden Soekarno. Hingga kemudian, tercetus piagam
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dengan kesepakatan penghapusan
diktum pelaksanaan syari’at Islam pada dasar negara, demi persatuan
bangsa36. Piagam ini merupakan sebuah kompromi politis-ideologis
antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang
sebagian juga menganut agama Islam, tapi menolak ide negara
berdasar Islam. Meski diktum pelaksanaan syari’at Islam dihapus,
sebagai gantinya, konteks Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
simbol Tauhid dalam sistem umat Islam.37
Seiring dengan berlalunya zaman, maka muncullah gerakangerakan Islam yang baru. Antara 1950-1954, mereka menolak gagasan
pendirian negara Islam sekaligus menerima Pancasila sebagai dasar
negara. Pada 1960-an, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
Persatuan Islam Indonesia (PII) memainkan peran besar dalam
demonstrasi menjatuhkan rezim Soekarno. Dominasi keduanya
menandai signifikansi pertama inteligensia Muslim Indonesia pasca
kemerdekaan.
Sila pertama Pancasila yang diusulkan semula berbunyi, “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun,
sebagian pemimpin negara saat itu tidak menyetujui rancangan tersebut karena
beberapa alasan, sehingga pada akhirnya sila pertama Pancasila diganti dengan
formula: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
37
A. Syafi’I Ma’arif dalam Zakir, Pengaruh Perkembangan Gerakan
Islam Terhadap Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia, FISIP UNHAS,
Makassar, hal.42
36
40
Selanjutnya, lahir generasi-generasi baru yang sebagian
anggotanya lahir pada 1970-an dan 1980-an seperti Ulil Abshar
Abdalla, Fachri Hamzah. Generasi ini dipandang tidak homogen
karena rivalitas para pengikutnya terutama mengenai masalah manhaj
(metode
penalaran),
jaringan
intelektual
dan
persaingan
memperebutkan kepemimpinan. Harakah yang paling berpengaruh,
ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin, yakni Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai politiknya,
Partai Keadilan Sejahteran (PKS) sebagai sarana untuk menegakkan
demokrasi di Indonesia. Dan yang juga berperan bagi Indonesia adalah
mahasiswa Islam. Mereka sangat besar andilnya dalam penegakkan
syariah Islam seperti melakukan aksi dukungan terhadap RUU
Pornografi, Penggalangan bantuan untuk Palestina dan studi-studi
mengenai Islam.
Selain dari segi politik pemerintahan, peran Islam juga dapat
dilihat diantaranya pada:
1. Corak Masyarakat Islam Indonesia
Umat Islam di Indonesia sangat berperan dalam
pembentukan adat istiadat bangsa Indonesia. Sebagaimana uraian
di awal pembahasan, penerimaan masyarakat Indonesia terhadap
Islam menyebabkan akulturasi budaya lokal dengan Islam itu
sendiri mudah terjadi. Akulturasi budaya yang terjadi sejak lama
lantas mengakar kuat pada masyarakat Indonesia hingga hari ini.
41
Dengan pluralitas bangsa dalam ragam dalam tradisi-sosial, sukuras, maupun agama-kepercayaan, Islam menjadi satu entitas
pemersatu dalam tubuh masyarakat masyarakat.
Pengaruh Islam dalam adat dan kebiasaan di Indonesia
tampak pada ajaran-ajaran dalam kehidupan sehari-hari, yang
selanjutnya berkembang bahkan sampai tingkat formal seperti
dalam lingkup pemerintahan, dan acara-acara resmi lainnya.
Ucapan salam serta basmalah yang menjadi adat di setiap sambutan
atau pidato kenegaraan menjadi bukti pengaruh Islam pada corak
masyarakat Indonesia. Selain itu, penggunaan peci38 berwarana
hitam menjadi seragam formal para petinggi negara dalam acaraacara resmi negara.
Umat Islam Indonesia terdiri dari dua golongan yaitu
tradisional dan modern. Golongan tradisionalis ini adalah para
ulama yang tergabung dalam Nahdhatul Ulama (NU), sedangkan
golongan modernis ialah para ulama yang tergabung dalam
Muhamadiyah. Kedua golongan inilah yang mewakili umat Islam
seluruh
Indonesia.
Keduanya
menjalin
kerjasama
dalam
membangun negara dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur.
38
Penutup kepala bagi muslim laki-laki. Biasa dipakai ketika shalat
atau pada acara-acara keagamaan.
42
2. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia
Lembaga-lembaga sosial keagamaan Islam di Indonesia
sangat besar peranannya. Majelis Ulama Indonesia (MUI),
memiliki peranan penting dalam mengatur kehidupan umat muslim
di negara Indonesia. Dalam menetapkan hari-hari besar Islam, atau
dalam menetapkan hukum haram-halal, pemerintah memberi
kewenangan
pada
MUI
untuk
mengeluarkan
fatwa
yang
diperlukan. Selain MUI, lembaga-lembaga sosial keagamaan yang
juga memainkan peran penting dalam menjaga persatuan bangsa
diantaranya NU, Muhammadiyah, ICMI, Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain. MUI
bersama lembaga sosial keagamaan ini menjadi sarana dalam
menjaga keutuhan umat Islam di Indonesia sehingga terciptanya
persatuan bangsa.
3. Dalam Pendidikan
Salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen
Agama adalah menyelenggarakan pendidikan, membimbing dan
mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga Islam telah
berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan
Belanda. Salah satu pendidikan tertua di Indonesia adalah
pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah, lembaga ini
dipimpin oleh seorang ulama atau kyai.
43
Pada awal abad ke-20 persoalan administrasi dan
organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian pada beberapa
kalangan untuk memahami dan bukan menghafal, ditekankan dan
pengertian ditumbuhkan, itulah yang dinamakan madrasah. Pada
umumnya madrasah ini dibagi menjadi tiga jenjang yaitu tingkat
dasar/ Ibtidaiyah, tingkat lanjutan pertama/ Tsanawiyah dan tingkat
lanjutan atas/ Aliyah.
4. Dalam Hukum dan Peradilan
Pengaruh Islam dalam hukum dan peradilan terangkum
dan terlihat jelas dalam rancangan undang-undang peradilan yang
disahkan oleh Presiden Soeharto menjadi Undang-Undang No. 7
tahun 1989 tentang :
1. Perkawinan
2. Warisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
3. Wakaf dan sedekah
4. Fatwa ulama (MUI) dijadikan pertimbangan dalam setiap
kebijakan yang menyangkut umat dan bangsa
Agama dan kehidupan publik akan selalu berhubungan, dan ini
telah dipahami oleh para pemimpin negara ini, dimana menjadi luar biasa
dalam dekade terakhir. Agama merupakan satu institusi politik yang paling
penting dalam sistem Pancasila. Sebab, dari agamalah para politisi coba
memusatkan atau mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun
44
tidak. Agama dipergunakan sebagai sumber-sumber ketajaman-ketajaman
moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis
masyarakat Indonesia.39
B. Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
Pada hakikatnya, politik luar negeri adalah suatu rumusan yang
berisikan segala aspek keinginan atau aspirasi seluruh rakyat suatu negara,
yang
dilengkapi
dengan
perhitungan-perhitungan
yang
meliputi
kemampuan atau kekuatan negara tersebut serta derajat beban yang ingin
dicapai. Politik luar negeri adalah representasi atas keinginan seluruh
rakyat yang harus diperjuangkan oleh pemerintah pada lingkup luar negeri.
Perjuangan atas apa yang menjadi tujuan serta pencapaian kepentingan
nasional, adalah dengan mempertimbangkan kekuatan nasional yang
dimiliki oleh negara tersebut. Indonesia, sebagai sebuah negara yang
berdaulat juga merumuskan serta melaksanakan politik luar negerinya
sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan kondisi real dalam negeri serta
perubahan konstelasi global.
Politik luar negeri yang spesifik dilaksanakan oleh suatu negara
sebagai inisiatif atau reaksi inisiatif yang dilakukan oleh negara lain.
Kebijakan politik luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan
pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor
situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan internasional. Hal ini
39
Nurcholish Madjid, dalam Muhammad Hari Zamharir, loc.cit, hal. ix
45
dimaksudkan untuk mengembangkan suatu cara tindakan yang selanjutnya
diikuti pelaksanaan cara-cara dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
1. Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
Syarat suatu negara dapat dikatakan sebagai negara berdaulat
adalah jika ada pengakuan dari negara lain yang ditandai dengan
adanya hubungan luar negeri. Hubungan tersebut selanjutnya
diimplementasikan dalam pergaulan dan kerjasama dengan negara lain
yang secara otomatis menyiarkan identitas diri suatu negara kepada
dunia internasional tentang eksistensi negara tersebut. Karenanya,
dalam menjalankan hubungan luar negerinya, Indonesia perlu
merumuskan prioritas kepentingan yang hendak dipertahankan dan
tujuan yang hendak dicapai.
Karena keadaan internasional yang senantiasa dinamis dan
selalu berkembang, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia
memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Indonesia harus merumuskan
politik luar negeri yang mampu mengatasi berbagai tantangan dan
memanfaatkan peluang yang bermuara pada pencapaiaan kepentingan
nasional
serta
harus
dapat
mengantisipasi
sejauh
mungkin
perkembangan selanjutnya. Namun, dalam menyesuaikan kebijakan
luar negeri dengan situasi internasional, Indonesia tetap harus
berpegang teguh pada landasan dasar serta prinsip politik luar
negerinya.
46
Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini
berarti pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar
negeri Indonesia. Dengan demikian semakin jelas bahwa politik luar
negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai
kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945.40
Dasar-dasar yang pokok dalam politik luar negeri Indonesia
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama menyatakan
bahwa:
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kepada
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…41
Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara diposisikan
sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri Indonesia. Pancasila
diakui sebagai ideologi negara, yang merupakan cara pandang bangsa
Indonesia baik terhadap diri, lingkungan, negara maupun dunia
internasional. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu
faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia, bahkan
dikatakan sebagai salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas
40
41
Athiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari (ed), loc.cit., hal. 27-28
Lihat Pembukaan UUD 1945
47
politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam
Pancasila, berisi pedoman dasar dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi
kehidupan manusia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara
mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai
politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan
suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.42
Adapun landasan operasional dari kebijakan politik luar
negeri Indonesia adalah TAP MPR, KEPRES, dan Keputusan Menlu.
Namun, ketetapan landasan operasional ini senantiasa mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Inilah yang ditegaskan dalam
pembahasan sebelumnya, bahwa kebijakan luar negeri suatu negara
bergantung pada aktor perumus kebijakan atau siapa yang berkuasa
pada masa tersebut. Dimana, perubahan ini juga diakibatkan karena
penyesuaian akan kepentingan nasional yang dirasa sesuai dengan
masa pemerintahan yang berlangsung.
Pada masa Orde Lama, landasan operasional politik luar
negeri sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato
Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkan
Maklumat Politik Pemerintahan tanggal 1 November 1945, yang
diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
42
Athiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari (ed), op.cit., hal. 28
48
1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai;
2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;
3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di
bidang ekonomi, politik, dan lain-lain;
4. Politik berdasarkan Piagam PBB.
Landasan
operasional
politik
luar
negeri
Indonesia
mengalami perluasan makna pada tanggal 17 Agustus 1960 yang
dinyatakan dalam pidato Presiden Soekarno. Beberapa bulan
berikutnya, dikeluarkan kebijakan yang sekaligus merupakan garisgaris besar politik luar negeri Indonesia dalam “Perincian Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”. Kebijakan ini
termaktub dalam Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No. 2/ Kpts/
Sd/ I/ 61 tanggal 19 Januari 1961.
Berdasarkan maklumat dan pidato presiden diatas, terlihat
perubahan landasan operasional politik luar negeri sesuai kepentingan
yang hendak dicapai pada rezim yang berlaku. Di awal kemerdekaan,
politik luar negeri Indonesia diarahkan pada kebijakan hidup
bertetangga dengan baik dengan negara-negara di kawasan tanpa turut
campur urusan domestik. Ini merefleksikan sifat politik luar negeri
yang bebas aktif, dimana Indonesia berupaya untuk tetap menjalin
hubungan dengan negara tetangga, khususnya di kawasan tanpa
keberpihakan. Indonesia juga mengambil sikap untuk tidak campur
tangan terhadap urusan dalam negeri negara-negara tetangga.
49
Pada perkembangannya, politik luar negeri Indonesia
kemudian diarahkan pada hubungan ekonomi dengan luar negeri. Hal
ini jelas memperlihatkan bahwa sifat politik luar negeri yang bebas
aktif juga mencakup wilayah ekonomi. Meski di awal pemerintahan
Presiden Soekarno lebih mengedepankan masalah-masalah terkait
eksistensi negara, yang dalam hal ini adalah kedaulatan bangsa
Indonesia, namun kemudian kebijakan Indonesia diarahkan pada
hubungan ekonomi dengan negara-negara tetangga. Kebijakan tersebut
selanjutnya berkembang pada sikap Indonesia yang merasa wajib
untuk turut andil dalam perjuangan membangun dunia yang aman,
adil, dan sejahtera.
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar
negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa
peraturan formal. Diantaranya sebagai berikut:
a. Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/ 1966 tanggal 5 Juli 1966
tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar
Negeri Indonesia.
b. Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973
c. Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai perincian ketetapan MPR
tersebut di atas.
d. Petunjuk bulanan Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik
dan Keamanan.
e. Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri.
50
Selain berbagai ketentuan di atas, landasan operasional
politik luar negeri Indonesia juga dituangkan dalam TAP MPR tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu:
1. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1973;
2. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978;
3. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983;
4. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1988;
5. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1993.
Pergantian rezim dari masa Orde Lama ke Orde Baru
membawa perubahan pula dalam landasan kebijakan politik luar negeri
Indonesia. Jika pada masa Soekarno kebijakan politik luar negeri
Indonesia mengarah pada perjuangan anti-kolonialisme dan antiimperialisme, tidak begitu pada TAP MPR yang dikeluarkan oleh
presiden Soeharto. Ketetapan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru
lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan
peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.
Selanjutnya perubahan landasan operasional terlihat pada
dikeluarkannya TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978. Ketetapan MPR ini
mengatur kebijakan politik luar negeri Indonesia dengan mengadakan
perluasan bidang kerjasama. Jika TAP-TAP sebelumnya yang
dikeluarkan pada masa presiden Soekarno umumnya hanya membatasi
pada pembangunan bidang ekonomi saja, kebijakan pada masa
presiden Soeharto ini diarahkan pada pembangunan seluruh bidang.
51
Selanjutnya sasaran politik luar negeri Indonesia dirinci lebih lanjut
serta lebih spesifik yang tertuang dalam TAP MPR RI No. II/ MPR/
1983.
Perubahan-perubahan tersebut berlanjut hingga masa pasca
Orde Baru. Politik luar negeri sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru
pada tahun 1988 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara
massif
yang
mengikuti
kejatuhan
pemerintahan
Soeharto.
Pemerintahan pada masa B.J Habibie hingga Susilo Bambang
Yudhoyono
(1999-2010)
disebut
sebagai
masa
transisi
yang
merupakan proses pematangan diri dalam mencapai kedewasaan
sebagai negara bangsa.43 Olehnya, para pemimpin negara pada periode
ini lebih memfokuskan kebijakan luar negeri Indonesia pada upaya
perbaikan citra nasional yang memburuk di fora internasional.
Pada masa Kabinet Gotong Royong kebijakan politik luar
negeri Indonesia dilandaskan pada:
a. Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1999 tanggal 19 Oktober 1999
tentang
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
dalam
rangka
mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004;
b. UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
c. UU No. 24 tahun 2000 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober
2000 tentang Perjanjian Internasional;
43
Mappa Nasrun, Guru Besar FISIP UNHAS, Strategi Pemanfaatan
Potensi Domestik Untuk Menunjang Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia, disampaikan pada acara Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) Politik Luar
Negeri RI dan New Global Architecture: Peningkatan Kapasitas Domestik dan Posisi
Indonesia ke Depan di Makassar Golden Hotel pada tanggal 20 Oktober 2010
52
d. Perubahan UUD 1945 atas hasil sidang MPR RI pada 19 Oktober
1999 yang perubahannya pada UUD 1945 pasal 5 ayat 1, pasal 7,
pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat 2 dan 3, pasal
20, dan pasal 21.
Kabinet selanjutnya, yakni kabinet Indonesia bersatu
meletakkan landasan operasional politik luar negerinya pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009. Dalam
RPJM, ada tiga program utama nasional kebijakan luar negeri yaitu:
a. Pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi
Indonesia dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri.
b. Peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan
secara optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerjasama
internasional, terutama kerja sama ASEAN di samping negaranegara yang memiliki kepentingan yang sejalan dengan Indonesia.
c. Penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam
rangka
membangun
dan
mengembangkan
semangat
multilateralisme dalam memecahkan berbagai persoalan keamanan
internasional.
Landasan
operasional
ini
disempurnakan
dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No.5 tahun 2010 tentang RPJMN
tahun 2010-2014 yang prioritas kebijakan politik luar negeri Indonesia
mencakup:
53
1) Peningkatan peran dan kepempimpinan Indonesia dalam ASEAN;
2) Peningkatan peran Indonesia dalam menjaga keamanan dan
perdamaian dunia;
3) Pemantapan pelaksanaan diplomasi perbatasan;
4) Peningkatan pelayanan dan pelindungan WNI/BHI di luar negeri;
5) Peningkatan peran Indonesia dalam pemajuan Demokrasi, HAM,
Lingkungan Hidup, dan Perlindungan Kekayaan Budaya;
6) Pemantapan kemitraan strategis di kawasan Aspasaf dan Amerop;
7) Peningkatan pelaksanaan diplomasi ekonomi; dan
8) Peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
2. Sifat dan Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia
Komitmen bangsa Indonesia untuk menentang kolonialisme
dan imperialisme telah ditegaskan oleh para pemimpin bangsa sejak
diraihnya kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tahun 1945.
Pengalaman masa penjajahan kurang lebih 350 tahun telah
mengajarkan kepada bangsa Indonesia akan pahitnya hidup di bawah
kolonialisasi bangsa lain. Namun, kemerdekaan yang diraih bukan
suatu hal yang serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara yang
berdaulat. Hal ini dikarenakan salah satu syarat negara berdaulat belum
diperoleh Indonesia saat itu, yaitu: pengakuan dari dunia internasional.
Dengan situasi internasional yang saat itu tengah terjadi
perang dunia II, Indonesia berjuang memperoleh jati diri bangsa
sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka. Indonesia dihadapkan
54
pada pilihan antara dua kutub kekuatan dunia antara blok Amerika dan
blok Uni soviet. Hal ini menjadi pilihan yang sangat dilematis bagi
Indonesia sebagai negara yang sedang mengupayakan kedaulatan
negaranya sendiri. Ditambah lagi, faktor domestik Indonesia yang
belum stabil dengan keadaan ekonomi negara yang buruk serta adanya
pemberontakan-pemberontakan di daerah, menjadikan politik luar
negeri Indonesia sulit menjadi fokus para pemimpin negara masa itu.
Namun, dalam situasi yang berat dan terjepit diantara
persaingan ketat dua blok kekuatan adidaya serta kondisi domestik
yang belum stabil, para pemimpin negara mampu untuk menunjukkan
sikap dan orientasi politik luar negeri yang independen. Bangsa
Indonesia melihat bahwa bukan menjadi suatu solusi terbaik dengan
mengambil sikap keberpihakan pada salah satu blok diantara kedua
kubu yang sedang berseteru pada perang dunia II saat itu. Indonesia
memilih menjadi suatu negara yang menginginkan perdamaian, dengan
sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme.
Inilah yang melatarbelakangi sifat politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif. Bebas dalam pengertian bahwa Indonesia
tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam
Pancasila. Serta aktif yang berarti bahwa di dalam menjalankan
55
kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap pasif-reaktif atas
kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersikap aktif.44
Dengan politik luar negeri yang bebas aktif itu, Indonesia
memposisikan dirinya sebagai subjek dalam hubungan luar negerinya
dan bukan sebagai objek, sehingga Indonesia tidak dapat dikendalikan
oleh haluan politik negara lain yang berdasarkan kepentingan nasional
negara lain itu sendiri.45 Sifat bebas aktif ini menjadi suatu kebijakan
luar negeri Indonesia yang bertujuan untuk bebas menentukan arah dan
sasaran politik luar negeri tanpa melibatkan diri dengan blok-blok
kekuatan. Meski tidak melibatkan diri dengan blok-blok kekuatan, sifat
bebas aktif juga memberi arti bahwa Indonesia tidak menghindarkan
diri untuk berhubungan dengan blok-blok kekuatan tersebut.
Disamping itu, turut aktif berperan serta memperjuangkan bukan
semata untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sendiri tetapi
juga kepentingan bangsa dan negara lain di dunia dalam segala aspek.
Lebih lanjut, tujuan politik luar negeri Indonesia berbedabeda setiap masa sesuai dengan kepentingan nasional pada masa
tersebut. Atiqah Nur Alami memaparkan tujuan politik luar negeri
Indonesia yang dirumuskan oleh Muhammad Hatta semasa presiden
Soekarno sebagai berikut46:
44
Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Politik Luar Negeri Indonesia dan
Pelakasanaannya Dewasa Ini, Bandung: Penerbit Alumni, hal. 7
45
Ibid. hal. 7
46
Atiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari, loc.cit., hal. 46
56
1. Untuk
mempertahankan
kemerdekaan
rakyat
dan
menjaga
keamanan negara.
2. Untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok yang berasal
dari luar negeri guna meningkatkan standar hidup masyarakat
seperti nasi, obat-obatan, dan sebagainya.
3. Untuk memperoleh modal guna membangun kembali apa yang
telah hancur atau rusak, dan modal untuk industrialisasi, konstruksi
baru, dan mekanisasi pertanian.
4. Untuk memperkuat prinsip hukum internasional dan untuk
membantu meraih keadilan sosial pada lingkup internasional, yang
sejalan dengan piagam PBB khususnya artikel satu, dua, dan lima
puluh lima.
5. Untuk memberikan penekanan khusus pada upaya membangun
hubungan baik dengan negara tetangga.
6. Untuk membangun persaudaraan antar-negara melalui realisasi
idealita dalam Pancasila, sebagai filosofi dasar bangsa Indonesia.
Adapun pada masa Orde Baru, urgensi kepentingan nasional
dirumuskan dalam tiga pokok sebagai berikut47:
1. Pembangunan nasional yang menyeluruh, dengan prioritas utama
pada pembangunan ekonomi yang terarah, sesuai dengan Pelita.
47
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hal. 7
57
2. Keamanan dan kestabilan dalam negeri yang harus ditingkatkan ke
wilayah
sekeliling
negara
kita
untuk
dapat
menjamin
berlangsungnya pembangunan nasional.
3. Menjaga keutuhan wilayah negara Indonesia dimana dijadikan
kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam alam demokrasi
Pancasila.
Di samping itu, pada masa ini, presiden Soeharto
menegaskan kembali urutan prioritas daripada pemikiran strategis
bangsa Indonesia, yaitu48:
1. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif diabadikan kepada
kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan di
segala bidang.
2. Meneruskan usaha-usaha pemantapan stabilitas dan kerjasama di
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya khususnya dalam
lingkungan
ASEAN,
dalam
rangka
mempertinggi
tingkat
ketahanan nasional untuk mencapai ketahanan regional.
3. Meningkatkan peranan Indonesia di dunia internasional dalam
rangka membina dan meningkatkan persahabatan dan kerjasama
yang saling bermanfaat antara bangsa-bangsa.
4. Memperkokoh kesetiakawanan, persatuan, dan kerjasama ekonomi
di antara negar-negara yang sedang membangun lainnya untuk
mempercepat terwujudnya Tata Ekonomi Dunia baru.
48
Ibid, hal. 9
58
5. Meningkatkan
kerjasama
antar
negara
untuk
menggalang
perdamaian dan ketertiban dunia demi kesejahteraan umat manusia
berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial.
Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia memiliki
tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Perumusan tujuan itu
dipengaruhi oleh kekuatan serta kelemahan yang dimiliki Indonesia.
Umum diketahui bahwa politik luar negeri merupakan pencerminan
dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan
merupakan bagian keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuantujuan nasional. Politik luar negeri adalah komponen dari kebijakan
politik luar negeri yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi
real dalam negeri.
Potensi real yang dimiliki Indonesia sebagai bobot dari
politik luar negeri diantaranya:
a. Letak wilayah Indonesia yang geo-strategis karena berada di posisi
silang, luas wilayah, kekayaan alam di darat, bumi, dan laut,
besarnya jumlah penduduk, serta ideologi falsafah Pancasila.
b. Serta jiwa kebangsaan yang konstruktif ketabahan dan keuletan
menghadapi
hambatan,
gangguan,
maupun
ancaman
serta
semangat yang tangguh untuk mencapai kemajuan.
Faktor-faktor diatas menempatkan Indonesia sebagai negara
yang memiliki kedudukan penting di kawasan. Namun di samping
potensi-potensi yang dimiliki Indonesia tersebut, Indonesia juga
59
memiliki sejumlah kelemahan dan keterbatasan. Di balik falsafah
pemersatu Pancasila, Indonesia adalah negara dengan multi etnis,
agama, dan budaya. Ini dapat menjadi suatu potensi perpecahan di
tubuh nasional bangsa Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki
keterbatasan kemampuan militer serta alat pertahanan untuk menjaga
keamanan wilayah Indonesia. Keterbatasan dan kelemahan Indonesia
yang lain dapat ditemui pada keterbatasan kualitas sumber daya
manusia dalam mengelola potensi-potensi dalam negeri, keterbatasan
perangkat hukum untuk mengatur dan menegakkan aturan dan
ketertiban dalam negeri, keterbatasan teknologi, dan keterbatasan
modal/finansial dalam mengelola apa yang ada.
Berangkat dari kondisi real Indonesia, baik ditinjau dari segi
geo-politik,
geo-ekonomi,
dan
geo-strategis
tadi,
Indonesia
merumuskan polirik luar negerinya ke dalam rumusan-rumusan yang
lebih dikenal dengan istilah lingkaran konsentris49.
49
Patrice Lumumba, Politik Luar Negeri Indonesia Lingkup Asia
Tenggara, disampaikan pada perkuliahan Politik Luar Negeri Indonesia semester III
di Unhas pada tanggal 16 April 2008
60
Gambar 1: Lingkaran Konsentris Politik Luar Negeri
Indonesia
Konsentris pertama menempatkan lingkungan atau kawasan
Asia Tenggara. Konsentris berikutnya Asia Pasifik kemudian disusul
konsentris dunia internasional secara umum. Hal ini dimaksudkan
untuk menjadi pedoman di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
politik luar negeri dan pelaksanaannya sehingga dapat memudahkan
pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Selain itu, juga sekaligus
untuk
dijadikan
sebagai
syarat
antisipasi
dari
kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi di luar lingkaran Indonesia tersebut, apakah
sesuai dengan keinginan Indonesia atau justru sebagai ancaman.
Dengan kata lain, perumusan politik luar negeri Indonesia dan
implementasinya memperhitungkan korelasi timbal balik antara faktor
domestik Indonesia dengan faktor-faktor eksternalnya.
61
BAB IV
PENGARUH ISLAM DALAM PELAKSANAAN
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
A. PENUNJANG KEKUATAN NASIONAL
Memandang politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaannya
hingga dewasa ini, tampak begitu jelas dinamika yang terjadi. Dinamika
politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi dari perubahan yang
terjadi di dalam negeri. Perubahan wajah politik dalam negeri Indonesia
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap posisi Indonesia di mata
internasional. Hal ini jelas memaksa para penentu kebijakan merumuskan
politik luar negerinya sesuai dengan kekuatan yang ada dalam negeri dan
menyelaraskannya dengan tujuan nasional serta kepentingan nasional yang
hendak diperjuangkan di fora internasional.
Gambaran politik luar negeri Indonesia sejak 1945 dapat ditelusuri
melalui
berbagai
tahapan
yang mencerminkan
betapa
dinamika,
fleksibilitas, dan akseptualitasnya politik luar negeri Indonesia sebagai
berikut50,
1. Masa Patriotik – Revolusioner
Periode 1945-1966 merupakan era patriotik-revolusioner yang
menandai dan merupakan era awal perkembangan hubungan
50
Mappa Nasrun, Guru Besar FISIP UNHAS, Strategi Pemanfaatan Potensi
Domestik Untuk Menunjang Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia,
disampaikan pada acara Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) Politik Luar Negeri RI dan
New Global Architecture: Peningkatan Kapasitas Domestik dan Posisi Indonesia ke
Depan di Makassar Golden Hotel pada tanggal 20 Oktober 2010
62
internasional
Indonesia.
Politik luar
negeri
dimainkan
untuk
mendapatkan legitimasi yang meluas dari masyarakat internasional
atas kemerdekaan yang telah dicapai dan penentuan posisi Indonesia
atas konstalasi perang dingin. Pada 1948 Indonesia memantapkan diri
untuk menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif yang tidak
bisa didikte oleh negara lain. Namun di era ini perjuangan diplomasi
Indonesia sangatlah tidak mudah karena wujudnya kombinasi antara
agresi militer I dan II Belanda pada 1947-1949 yang ingin
mengembalikan kekuasaan kolonialnya.
Munculnya pemberontakan-pemberontakan dari kelompokkelompok perjuangan seperti DI/TII, Kahar Muzakkar/ Abdul Aziz,
RMS, G30/S/PKI dan sebagainya semakin membuat perjuangan
Indonesia semakin sulit. Ditambah lagi oleh kegamangan perpolitikan
nasional
yang
pemerintahan
ditandai
serta
oleh
kuatnya
jatuh
peran
bangunnya
individu
kabinet
Soekarno
atau
dalam
menentukan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia.
2. Masa Stabilitas – Pembangunan
Periode 1967-1998 adalah masa koreksi total terhadap
peninggalan Orde Lama dan dimulainya pemobilisasian sumber daya
luar negeri untuk mendukung pembangunan nasional. Kehadiran pihak
luar dalam membangun struktur ekonomi Indonesia telah membawa
konsekuensi logis terhadap jalannya roda pembangunan di Indonesia.
Sikap inward-looking Presiden Soeharto yang lebih berfokus terhadap
63
penguatan potensi domestik sangat bersinergis terhadap menguatnya
peran korporasi dan negara donor yang membiayai pembangunan
Indonesia. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap garis linear
politik luar negeri yang cukup terapresiasi secara internasional.
Kondisi dalam negeri Indonesia yang relatif stabil dengan
stabilitas keamanan yang terkendali, pertumbuhan ekonomi yang
signifikan, dan mapannya pranata-pranata sosial berimbas terhadap
peran Indonesia di lingkup internasional. Keterlibatan Indonesia dalam
perdamaian dunia melalui pengiriman kontingen Garuda sebagai
pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
adalah bukti tingginya kepercayaan internasional terhadap Indonesia.
Swasembada beras 1983 telah mengantarkan Indonesia sebagai salah
satu contoh lumbung pangan dunia. Dan ditunjuknya Indonesia
sebagai ketua organisasi-organisasi internasional seperti Gerakan NonBlok, ASEAN, dan APEC adalah cerminan kualitas dan eksistensi
Indonesia di mata internasional.
3. Masa Transition – Maturity
Periode 1999-2010 merupakan proses pematangan diri dalam
mencapai kedewasaan sebagai negara bangsa. Koreksi terhadap
peninggalan Orde Baru yang korup dan totaliter memunculkan sikap
kritis dan terbuka di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kungkungan ketakutan dalam kehidupan berdemokrasi
teredukasi dengan sendirinya ketika Indonesia mampu melewati estafet
64
kepemimpinan tanpa resiko yang berlebihan dan bahkan bisa memilih
pemimpin yang berlegitimasi tinggi.
Akan tetapi semua itu tidak dicapai dengan mudah. Wait and
see masyarakat internasional membuat Indonesia harus bekerja dalam
memenuhi
harapan
mereka
karena
banyaknya
segmen
yang
terfragmentasi yang memunculkan korban yang tidak sedikit.
Indonesia di masa ini mengalami degradasi kepercayaan internasional
karena krisis ekonomi dan tingginya pelanggaran HAM sebagai imbas
dari reformasi kebangsaan. Namun sejalan dengan itu lambat laun
Indonesia sudah mampu meniti kembali dan mulai bergeliat
membenahi struktur domestik. Sinyalemen ini mengantarkan Indonesia
kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat internasional.
Diterimanya Indonesia dalam forum G-20 salah satu contoh diakuinya
Indonesia yang berjelajah global.
Dinamika politik luar negeri Indonesia memang kerap bahkan lebih
sering diwarnai oleh perubahan-perubahan domestik. Sebagaimana negaranegara berdaulat lainnya, perubahan yang terjadi di negara Indonesia tentu
memberikan warna bagi konstelasi global. Sebaliknya, konstelasi global
yang sifatnya dinamis dan terus berubah mau tidak mau akan memberikan
warna serta pengaruh dalam dinamika politik luar negeri Indonesia.
Sehingga, Indonesia dalam merumuskan kebijakan politik luar negerinya
akan mempertimbangkan dua hal yang saling berkaitan, yaitu kondisi
domestik (internal) serta konstelasi global (eksternal).
65
Dalam
perkembangannya,
Indonesia
mengalami
perubahan
mendasar dalam lingkup domestik. Perubahan-perubahan tersebut tak
lepas dari perubahan sistem politik yang berpengaruh pada lingkup
domestik yang selanjutnya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia.
Perubahan yang terjadi secara signifikan seakan menemukan ranahnya
pada kondisi dalam negeri yang merefleksikan posisi bagi Indonesia di
tingkat luar negeri.
Determinan domestik merupakan satu unsur penting dalam politik
luar negeri. Ia berfungsi sebagai sumber keputusan dan tindakan yang
dituangkan dalam politik luar negeri suatu negara. Howard Lerntner
menjelaskan bahwa determinan domestik menunjuk pada keadaan di
dalam negeri yang terbagi ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk
berubah, yaitu:
1. Highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi,
bentuk daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam.
2. Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik,
gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.
3. Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang
serta faktor-faktor ketidaksengajaan.51
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa
politik luar negeri dan politik dalam negeri tidak dapat dipisahkan karena
keduanya merupakan sub sistem politik suatu negara. Sehingga untuk
lebih memahami sistem politik maka perlu rasanya melihat batas-batas
diluar institusi politik yang lebih luas yang menyangkut konteks historis,
sosial, ideologi, dan ciri-ciri psikologis yang menentukannya. Dalam hal
51
Howard Lentner dalam Anak Agung Bayu Parwita, loc.cit, hal. 56
66
ini, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lerntnar, penting untuk
memahami sistem politik dengan melihat latar belakang politik seperti
lokasi geografis, ekonomi, komunikasi, pendidikan, sejarah, ideologi, dan
budaya politik.52 Dominan output politik luar negeri dalam prosesnya
didapatkan dari kondisi-kondisi internal yang meliputi social sources,
governmental sources, role and private sources. Faktor-faktor tersebut
menjadi acuan dasar bagi pelaksanaan politik luar negeri.
a. Lingkungan Geografis
Kondisi-kondisi geografis suatu negara mempunyai dampakdampak dalam derajat tertentu terhadap politik diorganisasikan. Para
konservatif, fasis, liberal, ataupun Marxis tidak ada yang menyanggah
bahwa politik juga dipengaruhi oleh kondisi
geografinya, meski
derajat ketergantungan politik terhadap kondisi geografi belum mereka
sepakati. Lingkungan geografis ini bisa bersifat sosiologis maupun
geografis, sosial ataupun fisik, dan unsur-unsur sosial meningkat
dalam mengatasi yang fisik dalam perbandingannya dengan kemajuan
teknologi. Beberapa faktor yang bersifat geografis sangat menentukan
pengaruhnya dalam kehidupan politik suatu negara diantaranya adalah
luas wilayah, posisi serta bentuk wilayah, dan sumber daya alam.
Meski bukan satu-satunya, teritorial sebuah negara merupakan
satu unsur kekuatan nasional yang sangat penting. Sebuah negara
dengan luas wilayah yang besar dan posisi yang strategis tentu
52
Budi Winarno, loc.cit, hal. 132
67
memiliki bargaining power yang lebih dibanding negara dengan luas
wilayah yang sempit dan posisi yang kurang strategis. Begitu pula
dengan unsur kekayaan alam suatu negara. Kelimpahan sumber daya
alam akan sangat menentukan perkembangan sosial dan politik.
Negara-negara
yang
diberi
kelimpahan
kekayaan
alam
mempunyai struktur politik mapan dan menjadi dominan dalam politik
internasional,
sedangkan
yang
lainnya
gagal
memanfaatkan
kelimpahan sumber daya alam yang diberikan kepadanya. Negaranegara miskin berjuang keras untuk menjadi kaya dan demi mengejar
ketinggalan-ketinggalan mereka. Sedangkan yang lainnya menjadi
sumber konflik dan antagonism politik yang tidak ada habis-habisnya.
Namun, nampaknya pemanfaatan yang efisien terhadap sumbersumber kekayaan alam akan memberikan modal bagi berlakunya
sistem politik yang stabil, dan dalam interaksinya dengan sistem
politik yang lain.
Pandangan semacam ini menemukan relevansinya dalam
sistem politik di Indonesia. Sejatinya, luasnya wilayah Indonesia,
dengan posisi yang strategis di mata dunia, serta kekayaan sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya bisa menjadi potensi dan
modal yang bisa dijadikan bargaining position dalam pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia. Namun, kondisi kapabilitas sistem politik
dalam negeri Indonesia tidak memiliki cukup kapabilitas ekstraktif
sebagai akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akut. Akibatnya,
68
kekayaan sumber daya alam yang melimpah tidak memberikan
kemampuan dan kinerja yang cukup bagus bagi sistem politik karena
sumber-sumber tersebut gagal dimanfaatkan dengan baik.
b. Struktur Demografis
Jumlah, komposisi, dan tingkat persebaran penduduk akan
memberikan pengaruh terhadap kehidupan politik. Pengaruh yang
diterima bisa mengarah pada sisi positif maupun negatif. Bagi sebagian
negara, jumlah penduduk yang besar memberikan berbagai keuntungan
seperti ketersediaan tenaga murah, pasar bagi produk-produk industri,
dan lain sebagainya. Namun bagi sebagian sistem politik yang lain,
jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan kesulitan karena
memberikan banyak tekanan, seperti pengangguran yang terus
menerus meningkat sementara tidak sebanding dengan jumlah
lapangan yang tersedia.
Di Indonesia, jumlah penduduk yang besar nampaknya
merupakan hal yang terjadi lebih mengarah pada permasalahan kedua.
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan
kurang memadainya akses pendidikan. Dengan demikian, perjuangan
Indonesia untuk mengentaskan permasalahan dalam negeri akibat
kondisi demografi memberi tantangan dalam diplomasi serta
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.
69
c. Kemampuan Ekonomi
Sumber daya alam hanya menjadi bahan-bahan dasar yang
memerlukan modal lebih lanjut seperti tenaga kerja dan kemampuan
teknologi. Negara-negara kaya sumber daya alam dapat saja masih
miskin dan terbelakang seperti Indonesia, sebagai akibat rendahnya
kemampuan teknologi serta kurangnya tenaga kerja yang terampil.
Selain itu, ketiadaan elit politik yang bersih dan mempunyai integritas
bangsa juga mempengaruhi efektifitas penggunaan sumber-sumber
daya alam ini bagi kemakmuran seluruh negeri.
Kemakmuran ekonomi bagaimanapun juga akan mempunyai
pengaruh terhadap daya kritis masyarakatnya terhadap pemerintahan.
Jika kemakmuran mempunyai korelasi positif dengan pendidikan,
maka dapat pula diasumsikan bahwa kemakmuran akan mendorong
munculnya tuntutan-tuntutan baru bagi sistem politik seperti tuntutan
akan partisipasi dalam sistem politik. Demikian pula dalam konteks
internasional, kemampuan ekonomi suatu negara akan menentukan
posisinya dalam politik internasional dan dalam hubungannya dengan
negara lain.
d. Historis dan Sosial Budaya
Harus diakui bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya
akan pengalaman dan sejarah kebangsaan yang bersinergis dengan
pembentukannya sebagai negara bangsa. Nilai-nilai kepahlawanan
telah melekat dalam diri bangsa Indonesia melalui perjuangan-
70
perjuangan fisik maupun non-fisik dalam meraih kemerdekaan.
Sejarah pendirian bangsa ini menjadi satu momen penting yang
menjadi acuan dan dasar kedaulatan yang diperoleh Indonesia hingga
seperti sekarang ini.
Namun demikian, meski heroisme yang terbentuk dan diyakini
menjadi modal dasar dalam menggalang persatuan dan kesatuan
bangsa, Indonesia tetap dianggap sebagai negara dengan potensi
konflik cukup tinggi. Indonesia terkenal seantero dunia sebagai negara
yang kaya dengan perbedaan. Meski menjadi kebanggan, tetap saja tak
bisa dipungkiri bahwa keberagaman etnis-ras, tradisi-sosial, serta
agama-kepercayaan menjadi benih-benih yang dapat memicu konflik
internal. Maka, kasus yang merebak di Indonesia dewasa ini dipenuhi
dengan konflik suku maupun konflik agama.
e. Pendidikan
Sistem pendidikan akan sangat memberikan kontribusi penting
dalam proses sosialisai politik. Di Indonesia, perubahan-perubahan
besar seringkali terjadi sebagai hasil dari gerakan-gerakan sosial dan
politik para mahasiswa di kampus-kampus, yang menuntut pemerintah
melakukan perubahan. Pada masa Orde Baru, diskusi-diskusi politik
banyak muncul di kampus-kampus. Mereka menjadi anggota
kelompok masyarakat yang senantiasa menuntut partisipasi yang lebih
besar dalam dunia politik.
71
Dalam banyak kesempatan para mahasiswa tersebut menjadi
aktor yang sangat kuat dalam mengartikulasikan dan mengagregasikan
kepentingan. Bahkan, reformasi 1998 tidak dapat dilepaskan dari peran
besar mahasiswa dalam menuntut secara terus menerus agar Orde Baru
digulingkan. Kesadaran politik mereka yang tinggi ditunjang dengan
akses informasi yang luas dalam beberapa tahun belakangan ini
membuat mereka menjadi kekuatan demokrasi penting, dan menjadi
penyulut terhadap banyak perubahan di Indonesia.
f. Ideologi dan Budaya Politik
Ideologi secara sederhana dipandang sebagai acuan dasar dan
gagasan nilai yang menjadi patokan-patokan tindakan. Ideologi dalam
konteks ini telah menjadi acuan tindakan bagi orang-orang yang
menganutnya. Perbedaan ideologi pula yang membedakan bagaimana
Uni Soviet yang sosialis-komunis sebelum keruntuhannya dengan
Amerika yang kapitalis-liberal. Di Indonesia, perdebatan ideologi telah
menyedot banyak perhatian di awal-awal kemerdekaan dan terus
bergaung hingga beberapa waktu sesudahnya. Perdebatan ideologis ini
mencapai puncaknya pada masa Orde Lama yang akhirya dituntaskan
pada masa Orde Baru melalui paksaan diskursif.53
Pada masa Orde Lama, perdebatan ideologis ini sangat kuat
terutama sebagai akibat masuknya komunis dalam konstelasi politik
Indonesia. Partai-partai Islam juga mempunyai akar ideologis yang
53
Ibid, hal. 140
72
kuat, yang dipelopori oleh Masyumi. Kuatnya perdebatan ideologi ini
membuat pemerintahan Orde Lama gagal melakukan agenda
pembangunan. Sebaliknya, konflik horizontal menguat yang berujung
pada perpecahan di masyarakat. Masyarakat terbagi dalam garis-garis
ideologis yang beragam, yang satu dengan yang lain bermusuhan.
Pada masa Orde Baru, perdebatan ideologis ini diselesaikan
melalui penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Oleh karena
itu, setiap organisasi sosial dan politik harus menggunakan asas
Pancasila. Padahal, pada kenyataannya Pancasila sebagai ideologi
belum pernah menjadi acuan tindakan yang benar-benar nyata. Pada
masa reformasi pun, ideologi ini tetap menjadi ideologi negara, tapi
daya tariknya telah semakin melemah.
Menilik pada kekuatan serta kelemahan yang ada pada internal
negeri Indonesia, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mengalami
pasang surut. Indonesia semakin berusaha agar mampu memainkan
perannya di dunia internasional secara maksimal. Untuk mewujudkannya
diperlukan kekuatan nasional di dalam negeri terlebih dahulu dalam
menciptakan internal power yang nantinya diperlukan dalam posisi tawar
dalam hubungannya dengan negara lain dalam mencapai kepentingan
nasional. Ada bagian dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor domestik, yang salah satunya adalah
Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Islam dimaknai sebagai komunitas atau kesatuan sosiologis masyarakat
73
Indonesia yang mendukung pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya
kesatuan Republik Indonesia.
Islam di Indonesia yang mayoritas, memiliki karakteristik
masyarakat yang sangat khusus mengingat pengalaman awal proses
masuknya Islam di Indonesia. Karakteristik Islam di Indonesia yang
mendominasi warna negara ini berbeda dengan negara-negara Islam di
belahan dunia lainnya. Akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal
membentuk karakter masyarakat Islam Indonesia menjadi masyarakat
Islam yang moderat. Inilah yang menjadi mayoritas dalam kaum muslim
di Indonesia itu sendiri.
Meski Indonesia bukan negara Islam, namun Indonesia tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari identitas Islam. Walaupun awal dibentuknya
negara ini lebih diwarnai oleh semangat nasionalis, dalam perjalanannya
Indonesia masih belum mampu disebut sebagai negara murni sekuler.
Islam masih menjadi determinan yang senantiasa diperhitungkan para
pemimpin negeri sejak awal kemerdekaan negara ini hingga berkali-kali
pergantian kekuasaan seperti sekarang. Hal ini ditandai dengan campur
tangan pemerintah dalam urusan keagamaan masyarakatnya, dan juga
sebaliknya, campur tangan agama dalam urusan pemerintahan masih
sangat terasa.
Partisipasi
Islam
dalam
politik
Indonesia
mulai
tampak
sejak masa pendudukan Jepang. Pembentukan Masyumi pada Oktober
1943 menyatukan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dalam satu
74
kesatuan pandangan dalam perjuangan. Meski begitu, perdebatan
mengenai dasar negara terus mencuat setiap kali Indonesia berniat untuk
membahas kembali undang-undang dasarnya. Hasil-hasil amandemen
UUD mengakibatkan perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan yang
juga mengakibatkan perubahan pada komitmen kebangsaan. Dari
perspektif ini patut diperhatikan perkembangan di beberapa daerah yang
mulai memberlakukan syariat Islam.
Peran Islam dalam perkembangan perpolitikan di Indonesia
semakin menemukan tempatnya sejak reformasi berlangsung. Setelah
jatuhnya rezim Orde Baru, demokratisasi dan perubahan politik mendalam
terus berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia. Hal ini
membuka jalan bagi keterbukaan di semua lini, termasuk umat Islam
Indonesia dalam memainkan perananannya serta memberikan kontribusi
dalam perpolitikan bangsa Indonesia. Di Indonesia, proses demokratisasi
diyakini tidak akan berjalan lancar dan terarah dengan baik jika tidak
didukung oleh kesadaran bagian terbesar warga negara yang terdiri dari
kaum muslimin akan hak dan kewajiban sosial-politik mereka.54
Islam memiliki keterwujudan sebagai sistem kepercayaan, ibadah,
perilaku, dan sekaligus merupakan tatanan sosial serta kode kehidupan
yang lengkap. Islam membicarakan seluruh dimensi kehidupan, baik
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketahanan, politik, dan lain-lain yang
menyangkut kehidupan manusia di dunia. Karenanya, Islam berbicara
54
Nurcholis Madjid, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta:
Paramadina, hal.58
75
universal, tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, namun juga meletakkan peraturan-peraturan dasar mengenai
hubungan-hubungan antar manusia dan kepentingan-kepentingan mereka
secara umum, dengan tujuan kesejahteraan.55 Dari keuniversalan inilah,
Islam bertujuan menyatukan antara dunia dan akhirat dalam suatu
organisasi spiritual, dan organisasi yang tidak memisahkan antara tugastugas keduniaan dan tugas-tugas keagamaan. Secara mendasar, Islam tidak
pernah bergeser dari tujuan penyatuan itu meski terjadi perubahanperubahan pada bentuk-bentuk lahirnya atau adat istiadat masyarakat.56
Dari pandangan tersebut di atas, umat Islam di Indonesia hendak
menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Membicarakan
Islam dan politik di Indonesia melibatkan kekhawatiran dan harapan lama
yang
mencekam
karena
sistem
politik
Islam
yang
sifatnya
multiinterpretatif. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan
diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam di
Indonesia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling
bertentangan –mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik.57
Atas dasar inilah, butuh pemahaman bahwa perjuangan politik di
Indonesia memang diwarnai dengan semangat Islam yang tampak pada
pembentukan partai-partai Islam yang tumbuh dan berkembang sejak era
55
Jhon L. Esposito, 1994, Islam dan Pembangunan Ensiklopedi MasalahMasalah (terj.), Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 167
56
Jhon L. Esposito, 1997, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses, dan
Tantangan (terj.), Jakarta: Rajawali Press, hal. 215
57
Bachtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 55
76
Orde Lama hingga Reformasi berlangsung. Namun agaknya butuh disadari
bahwa perjuangan itu belum mampu merefleksikan Islam secara total.
Dari pengalaman perpolitikan di Indonesia, umat Islam Indonesia
memainkan peran yang cukup signifikan dalam suatu komunitas yang
terangkum dalam wadah organisasi, baik organisasi keagamaan maupun
organisasi politik. Meski sebelumnya penulis menerangkan bahwa kondisi
tersebut tidak mampu merefleksikan Islam sebagai sebuah agama secara
total, namun penulis memandang bahwa ini mampu dijadikan sebagai
sebuah acuan dalam menjelaskan peran Islam sebagai determinan yang
mempengaruhi kondisi domestik. Selanjutnya, melalui komunitas dan
organisasi Islam nasional yang ada di Indonesia, peran dan partisipasi
umat Islam dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah berjalan secara
lebih terorganisir.
Pandangan dan legitimasi dari lembaga-lembaga seperti MUI,
Muhammadiah, NU, ICMI, dan PKS seringkali menjadi acuan pemerintah
dalam menetapkan kebijakan politis. Termasuk juga hal-hal yang berkaitan
dengan agenda politik luar negeri Indonesia, khususnya yang menyangkut
isu seputar Islam dan dunia Islam. Ini jelas menandakan bahwa Indonesia
tidak mampu melepaskan diri dari kondisi dalam negeri, yang menuntut
untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam hubungannya ke luar
negeri.
77
B. PENUNJANG PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang RI No. 37 tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar negeri Indonesia menganut
prinsip bebas aktif yang ditujukan untuk kepentingan nasional. Dalam
prakteknya, selama enam puluh satu tahun merdeka, pengejawantahan
politik luar negeri bebas aktif ini kerap mengalami pasang surut. Dalam
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, pengaruh Islam dapat dikatakan
tidak terlalu terasa pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, meski
bukan berarti tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Pada masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945-1949, terdapat
tokoh Islam yang menjadi menteri luar negeri, yaitu Agus Salim yang
berasal dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tujuan politik luar
negeri saat itu adalah meraih dukungan sebesar-besarnya bagi perjuangan
kemerdekaan. Dalam hal ini menarik untuk dikaji bahwa negara-negara di
Timur Tengah adalah pihak yang pertama kali memberikan pengakuan
kepada kemerdekaan Indonesia yang sudah dapat diduga didasarkan pada
solidaritas Islam dan semangat antikolonialisme.58 Pada masa demokrasi
parlementer (1950-1959), terdapat beberapa perdana menteri dan menteri
luar negeri yang berasal dari Partai Masyumi, tetapi mereka juga tidak
membawa pengaruh Islam dalam politik luar negeri Indonesia. Perdana
Menteri Natsir dan Sukiman justru menjalankan politik luar negeri yang
58
Imron Cotan, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Islam dan Polugri,
diambil dari Republika online
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=298281&kat_id=16 diakses pada
tanggal 19 Juli 2011
78
pro-Barat. Setelah PNI berkuasa dan terutama setelah dilaksanakannya
Demokrasi
Terpimpin
(1959-1966),
tema
yang
diangkat
dalam
pelaksanaan politik luar negeri saat itu adalah antikolonialisme dan tidak
mengangkat solidaritas Islam.
Setelah Orde Baru berkuasa, politik luar negeri diarahkan sebagai
alat pembangunan dan sama sekali tidak memberi ruang kepada pihak
oposisi untuk berpartisipasi. Satu-satunya hal yang dapat dikatakan
memberikan warna Islam pada politik luar negeri Indonesia sampai akhir
tahun 1990-an adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah KTM OKI pada
tahun 1993. Hingga pada akhir kekuasaan Orde Baru, peranan Islam dalam
politik dalam negeri Indonesia mulai menggeliat. Hal ini juga
mempengaruhi pelaksanaan politik luar negeri. Sejak saat itu pemerintah
Indonesia mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara
Islam, yang tercermin dari aktifnya bangsa Indonesia dalam pembentukan
KTT D-8.
Selama perjalanan sejarah Indonesia harus diakui bahwa proses
pengambilan keputusan politik luar negeri tampaknya sangat diwarnai oleh
faktor personal dari individu pemimpin nasional dan kondisi politik
domestik. Seperti telah ditekankan sebelumnya, proses demokratisasi di
Indonesia telah membuka lebar koridor pengambilan kebijakan yang tidak
terbatas pada figur individu pemimpin atau lembaga yang dominan secara
politis seperti di masa lalu. Tapi juga memberi kesempatan pada berbagai
aktor sosial, politik lain seperti DPR, LSM, akademisi, pers, maupun
79
pemuka agama untuk turut berkontribusi dalam proses perumusan
kebijakan, termasuk kebijakan politik luar negeri.
Karenanya, pengaruh Islam pada pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia mulai menguat setelah masa refomasi. Setelah berakhirnya
pemerintahan Soeharto, pengaruh Islam yang tadinya terpinggirkan
meningkat pada masa kepresidenan Habibie. Dengan asumsi bahwa politik
luar negeri merupakan perpanjangan politik dalam negeri, sangatlah wajar
jika pelaksanaan politik luar negeri diwarnai pula oleh aspirasi kalangan
umat Islam.
Sebagai bagian dari sistem politik Indonesia, umat Islam yang ada
di Indonesia mempunyai artikulasi kepentingan dalam menyampaikan apa
yang menjadi keinginan atau kepentingan Islam yang ada di Indonesia
pada khususnya dan kepentingan kelompok Islam yang ada di dunia pada
umumnya. Hal ini tampak jelas dari sikap pemerintah Indonesia yang
secara tegas berkomitmen menutup pintu hubungan diplomatik dengan
Israel. Oleh karena itu umat Islam yang ada di Indonesia sangat peka
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu global seputar
Islam.
Dalam masa pasca Orde Baru, Indonesia semakin dikenal dunia
tidak sekadar negara Muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara
demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Dengan posisi dan
status seperti itu, tidak heran kalau banyak kalangan, baik di Dunia Barat
maupun di Dunia Muslim, yang berharap agar Indonesia dapat memainkan
80
peran lebih besar di tingkat internasional. Sebagai negara berpenduduk
Muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia
dipandang masyarakat dunia sebagai negara yang dapat mensinergikan
antara Islam dan demokrasi. Dengan predikat tersebut, Indonesia memiliki
peran penting dalam tata kelola dunia yang lebih adil, damai dan beradab
sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.
Terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat
mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia
untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil 'alamin) yang dengan
sendirinya memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia. Di bawah rubrik `ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial'
seperti termaktub pada pembukaan UUD 1945, memang menjadi
kewajiban konstitusi bangsa Indonesia untuk turut menghindarkan
perbenturan antara Islam dan Barat.59 Sejak saat itu Indonesia
memposisikan dirinya sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia
dan beraliran Islam moderat. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi
pandangan yang keliru tentang Islam.
Dengan keadaan ini, Indonesia menunjukkan pada dunia sikap
mendukung penuh dalam pemberantasan jaringan terrorisme global.
Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya telah
membentuk tiga lembaga utama bagi penanggulangan terorisme yaitu,
59
Ibid
81
-
South East Asia Regional Centre for Counter-Terrorism (SEARC-CT)
di Kuala Lumpur;
-
International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok; dan
-
Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di
Indonesia.
Keberhasilan langkah-langkah yang telah ditetapkan itu sangat
penting bagi Indonesia. Ancaman aksi-aksi terorisme internasional ini,
khususnya yang terjadi di wilayah Indonesia, memiliki dampak ganda
yang bersifat destruktif. Pertama, persepsi asing terhadap Indonesia tidak
akan berubah bahwa Indonesia tidak mampu melakukan langkah-langkah
preventif yang diperlukan (kebijakan anti-terorismenya kurang keras) atau
Indonesia tidak berdaya dalam menjaga keamanan dan keselamatan orangorang dari tindakan terorisme tersebut. Kedua, prasangka bahwa Indonesia
telah menjadi sarang bagi para pelaku aksi terorisme internasional akan
terus berlanjut dan hal itu akan membawa implikasi serius terhadap citra
masyarakat muslim di Indonesia.
Sikap yang diambil Indonesia ini untuk menunjukkan pada dunia
internasional bahwa Indonesia sebagai negara Pancasilais yang menganut
prinsip bebas aktif senantiasa mempertahankan tujuan politik luar negeri
Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Dengan semangat inilah
Indonesia memposisikan dirinya dalam percaturan politik dunia. Indonesia
dengan mayoritas penduduk muslim, yang juga sebagai anggota OIC
(Organization Islamic Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di
82
Timur Tengah khususnya mendukung Palestina sebagai negara merdeka
dari pendudukan zionisme Israel.
Dalam kerangka upaya-upaya mewujudkan perdamaian di Timur
Tengah, Indonesia senantiasa mengadakan promosi dan peningkatan peran
secara
aktif
di
setiap
forum
internasional
bagi
penyegeraan
penyelesaiannya masalah Palestina secara adil melalui PBB dan
pengakhiran pendudukan Israel, sebagai bagian dari upaya ikut
menciptakan perdamaian dunia. Indonesia tetap konsisten mendukung
perjuangan bangsa Palestina berdasarkan Resolusi DK-PBB No. 242
(1967) dan No. 338 (1973), yang menyebutkan pengembalian tanpa syarat
semua wilayah Arab yang diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah
rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, mendirikan negara di
atas tanah airnya sendiri dengan Al-Quds As-Sharif (Jerusalem) sebagai
ibukotanya serta prinsip land for peace. Indonesia selalu menyambut baik
upaya perdamaian yang sejalan dengan resolusi-resolusi yang telah
dikeluarkan oleh baik PBB maupun OKI, termasuk di antaranya
Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al Sheikh
(1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map) gagasan quartet AS,
Russia, PBB dan UE yang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai jadwal.
Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi
Internasional Ulama sedunia pada bulan April 2007 di Bogor. Disini para
ulama sedunia menyuarakan penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan
Palestina. Pertemuan itu mengeluarkan pernyataan agar Amerika Serikat
83
tidak menjadi pemecah-belah umat Islam di Timur Tengah yang
ditenggarai para ulama sebagai alasan tidak terselesaikannya perdamaian
di dunia Arab. Indonesia juga mempromosikan Islam yang moderat,
toleran, solidaritas, serta meningkatan dialog lintas budaya dan peradaban,
karena pada saat ini masyarakat internasional salah persepsi bahwa
penyerangan yang dilakukan oleh segelintir orang muslim terhadap
kepentingan barat dalam bentuk teror dipahami sebagai benturan antar
peradaban, tapi melainkan terjadi karena ketidakadilan dan ketimpangan
sosial di dunia.
Untuk
melaksanakan
pembangunan
nasional,
Indonesia
memerlukan kondisi lingkungan regional dan internasional yang kondusif.
Untuk tujuan tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam
memperkuat kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam
pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat
multilateralisme. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014.
Secara obyektif dapat dipakai asas lingkaran konsentris untuk
menakar kedekatan geografis dan prioritas kepentingan nasional dalam
kebijakan luar negeri. Perhatian lebih besar wajar diberikan bagi
pengembangan hubungan regional di Asia Tenggara, serta Asia Timur dan
Wilayah Pasifik. Selanjutnya jangkauan hubungan diperluas meliputi
84
kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah, hingga menembus wilayah
Eropa dan Amerika.
Disamping itu, dengan melihat kondisi umum yang terjadi di
internal wilayah negara Indonesia, serta mempertimbangkan permasalahan
dan sasaran pembangunan, maka dalam RPJMN ditetapkan arah kebijakan
dan strategi dari politik luar negeri itu sendiri. Adapun yang menjadi fokus
prioritas politik luar negeri Indonesia adalah:
9) Peningkatan peran dan kepempimpinan Indonesia dalam ASEAN;
10) Peningkatan
peran
Indonesia
dalam
menjaga
keamanan
dan
perdamaian dunia;
11) Pemantapan pelaksanaan diplomasi perbatasan;
12) Peningkatan pelayanan dan pelindungan WNI/BHI di luar negeri;
13) Peningkatan peran Indonesia dalam pemajuan Demokrasi, HAM,
Lingkungan Hidup, dan Perlindungan Kekayaan Budaya;
14) Pemantapan kemitraan strategis di kawasan Aspasaf dan Amerop;
15) Peningkatan pelaksanaan diplomasi ekonomi; dan
16) Peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
Berdasarkan prioritas dan fokus bidang tersebut, maka peran yang
lebih bermakna perlu dilakukan dalam fora regional dan internasional,
seperti di lembaga ASEAN (Association of South East Asian Nations) dan
APEC (Asia Pacific Economic Community). Kepemimpinan Indonesia di
lingkungan ASEAN, sebagai bagian dari strategi memperkuat lingkaran
pertama kebijakan politik luar negeri kita, juga tercermin secara baik pada
85
keberhasilan menuangkan gagasan untuk membentuk komunitas ASEAN
yang dirumuskan dalam tiga rencana aksi bersama ASEAN, yakni
komunitas keamanan, komunitas ekonomi, dan komunitas sosial budaya.60
Begitu pula partisipasi yang kongkrit dalam OKI (Organisasi Konferensi
Islam) dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Segenap aspek hubungan
luar
negeri
diselenggarakan
dengan
prinsip:
kesetaraan,
saling
menghormati kedaulatan, saling menguntungkan, penciptaan stabilitas
regional dan perdamaian dunia, serta penghargaan terhadap martabat
kemanusiaan.
Dalam
perjalanan
politik
luar
negeri
Indonesia
dan
penyelenggaraan hubungan luar negeri sesungguhnya telah banyak hal
yang dilakukan dan dicapai dengan baik. Penumbuhan penguatan citra
Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan dinamika penduduk
yang mayoritas beragama Islam dan demokrasi, perhatian yang sangat
serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan
penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif,
pendorongan
pemulihan
ekonomi
yang
lebih
menjanjikan
serta
perlindungan warga negara yang konsisten, merupakan dasar-dasar
kebijakan yang terus dikembangkan. Seluruh pencapaian itu sesungguhnya
menjadi aset penting bagi pelaksanaan politik luar negeri dan
penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia.
Di samping itu,
kedudukan geo-politik yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam
60
Heru Susetyo, Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Tantangan Peran
Diplomasi PKS, http://pks-jepang.org/archives/458 diakses pada tanggal 19 Juli 2011
86
(SDA), populasi, proses demokratisasi yang semakin baik merupakan
kekuatan dan keunggulan komparatif sebagai potensi untuk membangun
kepemimpinan Indonesia di tataran global melalui inisiatif dan kontribusi
pemikiran komitmen Indonesia pada terbentuknya tatanan hubungan
internasional yang lebih adil dan berimbang.
87
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan
1. Indonesia
mengalami
perubahan-perubahan
mendasar
dalam
lingkungan domestik, regional, dan lingkup internasional. Perubahan
politik mendalam serta proses demokratisasi terus berlangsung di
semua aspek sosial politik Indonesia.
2. Islam memberikan pengaruhnya dalam politik luar negeri. Dalam
lingkup internal, Islam dimaknai sebagai suatu komunitas atau satu
kesatuan
sosiologis
masyarakat
Indonesia
yang
mendukung
pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya kesatuan Republik
Indonesia. Dalam konteks internasional, Islam dimaknai sebagai faktor
determinan dalam hubungan dengan negara-negara lain khususnya isuisu global seputar Islam, sekaligus sebagai penunjang dalam
mewujudkan tujuan politik luar negeri yaitu menjaga perdamaian
dunia.
3. Karena itu, partisipasi masyarakat muslim dalam partai politik
misalnya, bukanlah dari suatu akhir dari tujuan pembangunan politik,
akan tetapi merupakan langkah awal dalam menata kembali kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang baik.
4. Namun, perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara Islam, sehingga
peran Islam dalam politik luar negeri Indonesia hanya sebatas
penunjang kepentingan nasional. Hal ini jelas memberi gambaran utuh
88
Indonesia sebagai negara berdaulat yang menjalankan politik luar
negeri dengan menempatkan kepentingan nasional sebagai hal pokok
yang harus diperjuangkan.
B. Saran-Saran
1. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim yang
bersifat moderat sudah selayaknya menjadi yang terdepan dalam
memperjuangkan kepentingan Islam di tingkat dunia.
2. Selain itu, Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai satu ajaran
dalam kehidupan agama namun juga perlu dijadikan acuan pemerintah
dalam menetapkan kebijakan politis termasuk hal yang berkaitan
dengan politik luar negeri. Karenanya, umat Islam di Indonesia
diharapakan mampu untuk memberikan kontribusi dalam memberikan
warna bagi perpolitikan bangsa Indonesia sesuai dengan prinsip dan
tujuan Islam yaitu menciptakan kesejahteraan.
3. Kontribusi umat Islam juga diharapkan mampu memformat bangsa
Indonesia dalam menjalankan kebijakan politik, baik politik dalam
negeri dan luar negeri yang lebih bijak serta menjamin terlaksananya
kepentingan nasional
bangsa
Indonesia sebagai
bangsa
yang
multikultural dan multireligi.
4. Islam di Indonesia di harapkan mampu untuk menjadi satu determinan
pembangun sebagai satu identitas bangsa Indonesia dalam menghadapi
perubahan-perubahan global.
89
Download