BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki orientasi politik luar negerinya masingmasing. Politik luar negeri yang dijalankan oleh setiap negara pada dasarnya merupakan suatu komitmen berupa strategi dasar dalam mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya. Politik luar negeri juga menjadi cerminan dari keinginan dan aspirasi seluruh rakyat suatu negara yang harus diperjuangkan pemerintahnya di luar negeri. Baik dalam konteks dalam negeri maupun luar negeri serta sekaligus sebagai upaya dalam menentukan keterlibatan suatu negara di dalam konstelasi politik internasional maupun isu-isu intenasional dan lingkungannya. Pada hakikatnya, politik luar negeri merupakan suatu bentuk upaya dalam mempertemukan kepentingan national, khususnya rencana pembangunan nasional dengan perkembangan dan perubahan lingkungan internasional. Sesungguhnya politik luar negeri suatu negara merupakan perpaduan antara kekuatan nasional, kepentingan nasional, dan tujuan nasional. Dimana, ketiga unsur ini memiliki posisi yang sederajat dalam perumusan politik luar negeri suatu negara. Dengan kata lain, semakin besar kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai, maka harus semakin besar pula kemampuan atau kekuatan untuk mencapainya. Politik luar negeri adalah komponen dari kebijaksanaan politik nasional yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi real di dalam 1 negeri. Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor domestik dan faktor internasional yang memiliki arti korelatif dan saling mempengaruhi. Beberapa faktor domestik yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri diantaranya: sumber daya alam, sumber daya manusia, pemerintah, media massa, kelompok kepentingan, partai politik, dan ideologi bangsa. Demikian halnya dengan Indonesia sebagai suatu negara, memiliki dan melaksanakan politik luar negerinya sendiri dalam hubungannya dengan negara lain dan lingkungan internasional pada umumnya. Hal ini menjadi satu bukti eksistensi dan kedaulatan negara Indonesia. Karenanya, Indonesia mencoba memadukan kemampuan atau kekuatan serta potensi yang ada dalam negeri tanpa menafikan kelemahan yang dimiliki untuk menghasilkan rumusan politik luar negerinya. Secara wilayah, Indonesia memiliki arti strategis di kawasan karena berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Sebagai negara maritim, Indonesia kaya akan potensi sumber daya alamnya. Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ketiga di dunia, dengan susunan demografi dalam kemajemukan/ heterogenitas penduduknya yang disatukan oleh sebuah falsafah yang disebut Pancasila. Dan dewasa ini, Indonesia diakui sebagai negara yang melaksanakan sistem demokratis dalam pemerintahan. Dalam perkembangannya, Indonesia mengalami perubahan- perubahan mendasar dalam lingkungan domestik, regional dan lingkup 2 internasional. Perubahan dalam lingkup domestik Indonesia dapat dilihat pada momentum awal pasca kemerdekaan, yang ditandai perubahan dasar negara dengan penghapusan pelaksanaan syariat Islam pada sila pertama Pancasila. Perubahan dalam lingkup domestik juga tercermin dalam perubahan-perubahan yang mewarnai pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu, meliputi pergantian nama kabinet dan sistem pemerintahan yang berdampak pada penghapusan ataupun penambahan aktor-aktor yang memiliki andil sebagai perumus kebijakan negara. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa ketika Indonesia berada dibawah pemerintahan Soekarno, sentralistik tertumpu pada Presiden dan partai yang berkuasa saat itu (PKI). Sedang ketika Soekarno digantikan oleh Soeharto, peran dan visi didominasi oleh Presiden dan TNI.1 Momen perubahan paling besar ditandai dengan perubahan politik secara massif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian pada tahun 1998. Naiknya B.J. Habibie sebagai presiden setelah mundurnya Soeharto merupakan awal sebuah periode politik baru yang menjadi periode transisi dan lebih popular disebut masa reformasi. Dalam masa kepemimpinan Habibie, konstitusi negara diamandemen, undang-undang pemilu dan partai politik diubah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mulai digulirkan, dan referendum dilakukan di Timor-Timur yang berakhir dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mengenai periode transisi ini, Riwanto 1 Budi Winarno, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Media Pressindo, hal. 36-39 3 Tirtosudarmo dalam bukunya Mencari Indonesia : Demogrfi-Politik Pasca-Soeharto menjelaskan, “Inilah pentas besar politik periode transisi yang berlangsung sejak lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 hingga terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan September 2004. Lengsernya Soeharto memang telah diikuti oleh berbagai perubahan politik yang cukup mendasar melalui amandemen UUD 1945 yang menjadi landasan sistem pemilu, partai poitik, maupun tata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.”2 Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa perubahan sistem politik akan mempengaruhi lingkungan domestik.3 Selanjutnya perubahanperubahan yang terjadi dalam lingkup domestik tersebut membawa pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan dan orientasi politik luar negeri Indonesia. Pengaruh faktor domestik tersebut justru lebih besar dibanding faktor internasional. Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif. Pada awal kemerdekaan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih ditujukan untuk memperoleh pengakuan internasional dan penuntasan dekolonisasi, sehingga Soekarno membuang kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyebabkan Indonesia terkucilkan, serta melakukan cara-cara untuk dapat mendapat pengakuan tersebut. Maka di awal kemerdekaan, digaungkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut oleh 2 Riwanto Tirtosudarmo, 2007, Mencari Indonesia: Demografi-Politik PascaSoeharto, Jakarta: LIPI Press, hal. xvii-xviii 3 Winarno, op.cit., hal. 130 4 Indonesia. Hal ini lebih didasarkan pada kepentingan politik domestik dibanding semata-mata mengikuti tekanan lingkungan internasional, yang pada waktu itu didominasi oleh dua kekuatan besar yang saling berseberangan.4 Ketika Soekarno digantikan oleh Soeharto, terjadi perubahan orientasi kebijakan politik luar negeri secara radikal. Soeharto lebih menitikberatkan kebijakan politik luar negeri Indonesia pada pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta membendung sebaran pengaruh komunisme.5 Namun, di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri hanya terjadi dalam level yang sangat minimal. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diklaim banyak pihak cenderung melemah. Lebih jauh, fokus kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Habibie menggantikan Soeharto terarah pada upaya perbaikan citra nasional yang memburuk di fora internasional. Arah kebijakan ini terus diusung para pemimpin negara hingga masa Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Indonesia. Tak dapat dipungkiri, meski kiprah politik luar negeri Indonesia di era reformasi mengalami kemunduran, namun proses demokratisasi di Indonesia telah membuka lebar koridor pengambilan kebijakan. Dimana, tidak terbatas pada figur individu pemimpin atau lembaga yang dominan 4 Ganewati Wuryandari dalam Ganewati Wuryandari (ed), 2008, Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusara politik domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 6 5 Ibid. hal. 7 5 secara politis seperti di masa lalu, tapi juga memberi kesempatan pada berbagai aktor sosial politik lain seperti DPR, LSM, akademisi, pers, maupun pemuka agama untuk turut berkontribusi dalam proses perumusan kebijakan termasuk kebijakan luar negeri. Karena itu, perumusan kebijakan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan akan merepresentasikan kepentingan nasional secara lebih luas. Perkembangan mutakhir politik Indonesia menunjukkan bahwa agama merupakan satu institusi politik yang paling penting dalam sistem Pancasila. Sebab, dari agamalah para politisi coba memusatkan atau mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Agama dipergunakan sebagai sumber-sumber ketajaman-ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis masyarakat Indonesia.6 Berdasarkan angka perkiraan tahun 2009, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Jumlah penduduk Muslim Indonesia mencapai 207 juta jiwa, yang jika dikalkulasi setara dengan dua pertiga jumlah penduduk di seluruh Negara Timur Tengah.7 Sebagai komunitas mayoritas, Islam menjadi determinan penting dalam ikut mempengaruhi arah perpolitikan bangsa. Segenap pilihan-pilihan 6 Nurcholish Madjid, dalam Muhammad Hari Zamharir, 2004, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, hal. ix 7 Michael Finkel, Indonesia Moderat dan Radikal Dalam Satu Tempat dalam Majalah National Geographic edisi bulan Oktober 2009, hal. 86 6 politik umat Islam akan memunculkan reaksi, aspresiasi, ataupun koreksi dari para elit pengambil kebijakan. Menurut survei oleh Pew Global Attitudes, Indonesia adalah salah satu negara yang penduduknya paling religius di dunia.8 Selama beberapa dasawarsa, masyarakat Indonesia memang semakin terbuka keislamannya. Karena itu, tidak heran jika respons terhadap Islam semakin dirasa baik dalam ranah sosial-budaya maupun bidang politik-kenegaraan. Dalam sosial-budaya tampak pada jamaah masjid yang bertambah banyak dan busana Muslim yang menjadi semakin populer. Adapun dalam bidang politik-kenegaraan, keterbukaan terhadap Islam ditunjukkan dengan semakin meningkatnya dukungan untuk partai politik Islam serta semakin banyak pemerintah daerah yang mulai memberlakukan peraturan yang diilhami oleh syariah atau hukum Islam. Dewasa ini semakin terasa bahwa Islam menjadi faktor determinan dalam pengambilan kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri Indonesia. Dalam lingkup internal, Islam dimaknai sebagai suatu kelompok atau komunitas dan kesatuan sosiologis masyarakat Indonesia yang mendukung pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya kesatuan republik Indonesia. Adapun dalam konteks internasional, Islam dimaknai sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam hubungannya dengan negara lain serta yang terkait dengan isu-isu global seputar Islam. 8 Ibid. hal. 87 7 Telah dijelaskan sebelumnya bahwa politik luar negeri tak lain sebagai refleksi dari keinginan seluruh masyarakatnya yang harus diperjuangkan oleh pemerintah di luar negeri. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa faktor Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, menjadi salah satu faktor domestik yang mempengaruhi pemerintah khususnya dalam partisipasi dan pengambilan kebijakan luar negeri. Ditambah lagi, dengan semakin terbukanya penerimaan masyarakat terhadap partai-partai politik yang berideologikan Islam untuk mengambil peran dalam pemerintahan. Sebagai agama yang dianut oleh 89% penduduk, maka umat Islam Indonesia dapat memainkan peranan yang proporsional dalam berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia. Kondisi ini juga menempatkan posisi dan aspirasi umat Islam menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menetapkan agenda dan kebijakan politik bangsa Indonesia, termasuk politik luar negeri Indonesia. Ditambah lagi, era reformasi menjadi momentum yang semakin memberikan peluang dan keterbukaan bagi umat Islam Indonesia dalam memainkan perannya. Serta memberikan konstribusi dalam mempengaruhi kondisi perpolitikan bangsa Indonesia, dalam rangka menformat bangsa Indonesia dalam menjalankan kebijakan politik, baik politik dalam negeri maupun luar negeri yang lebih bijak dan menjamin terlaksananya kepentingan nasional bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural dan multireligi. 8 Melalui komunitas dan organisasai Islam nasional yang ada di Indonesia, peran dan partisipasi umat Islam dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah berjalan secara lebih terorganisir. Umumnya, lembaga-lembaga Islam seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan ICMI diasumsikan sebagai lembaga yang mewakili aspirasi umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Pandangan dan legitimasi dari lembaga tersebut mempengaruhi dan seringkali menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan politis termasuk hal yang berkaitan dengan agenda politik luar negeri Indonesia khususnya yang menyangkut isu seputar Islam dan dunia Islam. Landasan sebagai anutan mayoritas masyarakat Indonesia, keterbukaan rezim dan bangkitnya kesadaran umat Islam Indonesia sendiri untuk bergerak memapankan kedudukannya dihadapan negara melalui lembaga formal, merupakan faktor yang kuat dalam mendorong umat Islam sebagai suatu kekuatan sosial berpengaruh dalam pelaksanaan agenda dan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisis permasalahan dalam penulisan skripsi yang berjudul: “Pengaruh Islam terhadap Perumusan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia”. 9 B. Batasan dan Rumusan Masalah Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan orientasi seiring dengan perkembangan tatanan dunia internasional. Perubahan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal dibanding faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang menjadi determinan adalah Islam, yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam menjadi suatu kekuatan sosial yang memiliki peran penting di awal pembentukan dasar negara. Islam juga menjadi penunjang kekuatan nasional dalam pencapaian kepentingan nasional sehingga berpengaruh dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Adapun Rumusan Masalah dalam penulisan ini adalah : 1. Apa yang melatarbelakangi keterkaitan antara Islam sebagai agama mayoritas dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh Islam sebagai anutan mayoritas penduduk Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian C.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menggambarkan dan menganalisa latar belakang keterkaitan antara Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia; 10 2. Untuk menggambarkan dan menganalisa pengaruh Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri. C.2. Kegunaan Penelitian Adapun tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan orang-orang yang memiliki kepentingan ataupun yang berminat pada permasalahan yang ditulis oleh penulis sehingga tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi. Secara khususnya tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut: 1. Kegunaan Akademik Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi bagi para mahasiswa Hubungan Internasional pada khususnya dan pemerhati masalah-masalah internasional pada umumnya mengenai pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, khususnya pengaruh Islam sebagai agama mayoritas Penduduk Indonesia dalam politik luar negeri Indonesia; 2. Kegunaan Praktis. Diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan (pemerintah) dalam membuat kebijakan menyangkut kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam hubungannya dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam. 11 D. Kerangka Konseptual Dalam kehidupan bernegara, masyarakat suatu negara dituntut untuk dapat berperan serta dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali dalam bidang politik dan pemerintahan. Partisipasi masyarakat suatu negara menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Memahami format sosial politik masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi bangsa menjadi satu hal yang sangat penting. Ideologi secara konsep sering dipahami berbeda-beda, baik masyarakat umum, politisi, maupun ilmuwan. Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial. Namun, banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan istilah tersebut yang menurut mereka berasal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.9 Istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan atau gerakan politik suatu negara. Definisi yang biasa diberikan, menyebutkan bahwa ideologi adalah sistem gagasan politik, yang dibangun untuk melakukan tindakan-tindakan politik seperti 9 Imam Cahyono, “Melacak Akar Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia", dalam Jurnal Pemikiran Islam, International Institute of Islamic Thought Indonesia Vol.1, No.2, Juni 2003. 12 misalnya memerintah suatu negara, melakukan gerakan sosial/politik, partai politik, mengadakan revolusi, ataupun kontrarevolusi. Sebab itu, ideologi dipandang sebagai gagasan atau pemikiran manusia untuk memetakan kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Peta yang melukiskan realitas tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman arah dalam bertindak.10 Ideologi juga dipandang sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa ideologi pun dapat mengambil akar dari agama. Misalnya liberalisme, yang banyak memperoleh inspirasi dari reformasi agama Kristen yang dibawakan oleh Martin Luther abad ke-16. Meskipun memiliki inspirasi dari agama, pada perkembangannya, liberalisme lebih berfokus pada dimensi sekular, khususnya gagasan-gagasan mengenai kemanusiaan, individualitas manusia, dan pembatasan kekuasaan negara atas individu. Selain agama, ideologi pun ada yang berakar dari kondisi ekonomi. Cara produksi manusia, penguasaan alat produksi, tujuan produksi, melahirkan sejumlah ideologi seperti Kapitalisme dan Komunisme. Kedua ideologi tersebut memiliki akar yang kuat dari kondisi ekonomi di Eropa tahun 1800-an. Dengan melihat pendefinisian serta akar sejarah ideologi, maka dapat diketahui bahwa ideologi menempati posisi sebagai acuan 10 Franz Schurmann, 1973, Ideology and Organization in Communist China, USA: University of California Press, hal. 18 13 tindakan dari kelompok sosial baik pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan (pengusaha dan swasta), maupun kelompok agama. Kebijakan luar negeri tidak terlepas dari dampak ideologi yang dianut sebuah negara, terkait nilai-nilai, ide, inisiatif, dan gejolak yang ada. Disamping itu, kebijakan politik luar negeri memiliki kompleksitas elemen-elemen yang ada di dalamnya serta pengaruh elemen-elemen tersebut dalam proses pembuatan keputusan. Keterikatan antara elemen pembuat keputusan dengan ideologi yang diusung menjadi satu bagian penting yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan politik luar negeri suatu negara. Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya, meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.11 Karena keberagaman latar belakang dalam pemakaian istilah ini, maka perlu adanya kesamaan pemahaman terhadap penggunaan istilah ini. Penulis mengutip konsep politik luar negeri yang dikemukakan oleh James N Rossenau, bahwa politik luar negeri dibedakan ke dalam tiga konsep pengertian yaitu (a) politik luar negeri sebagai kumpulan orientasi; (b) politik luar negeri sebagai sejumlah komitmen terhadap suatu tindakan dan Mochtar Mas’oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, hal. 184 11 14 rencana bagi suatu tindakan; (c) politik luar negeri sebagai bentuk perilaku.12 Sebagai sekumpulan orientasi, politik luar negeri merupakan sejumlah cita-cita suatu bangsa yang diarahkan pada lingkup atau yang berhubungan dengan bangsa lain. Politik luar negeri sebagai sejumlah komitmen dimaksudkan mengandung dimensi yang bersifat strategis, artinya sebelum melakukan berbagai tindakan dari negara lain maka suatu negara harus memiliki sebuah rencana atau platform yang menjadi acuan seluruh pelaku politik luar negeri negara tersebut. Sedangkan politik luar negeri sebagai sebuah bentuk perilaku lebih bersifat aplikatif yakni menyangkut tindakan suatu negara yang berhubungan langsung dengan negara lain. Sementara itu, politik luar negeri menurut J. Frankel yaitu: “Politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri, yang tidak terpisah dari keseluruhan tujuan nasional, dan tetap merupakan komponen atau unsur dari kondisi dalam negeri”13 Yang perlu diperhatikan disini adalah politik luar negeri dapat dikatakan sebagai cerminan kepentingan nasional suatu negara terhadap lingkungan luarnya. Keterkaitan kepentingan nasional dan politik luar negeri adalah bahwa pelaksanaan politik luar negeri tersebut semaksimal mungkin dapat menguntungkan bagi kepentingan nasional. Baik diukur 12 Bakri dalam Risma Handayani, 2002, Peranan Legislatif dalam Perumusan dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia (Pasca Orde Baru), FISIP UNHAS, Makassar, hal. 24 13 J. Frankel, 1990, Hubungan Internasional, Jakarta : ANS Sungguh Bersaudara, hal.55 15 dari kepentingan keselamatan dan keamanan nasional, maupun diukur dari peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan nasional. E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik. Dalam metode ini dijelaskan secara sistematis mengenai fakta-fakta ataupun variabel-variabel yang berkaitan dengan posisi dan arti penting Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan fakta mengenai pengaruhnya dalam pelaksanaan politik khususnya politik luar negeri Indonesia. 2. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan oleh penulis adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur, buku-buku, dokumendokumen, jurnal, surat kabar,dan informasi yang diakses dari internet yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapun data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini menyangkut datadata mengenai Islam sebagai agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, potensi umat Islam dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, landasan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, dan pengaruh Islam sebagai anutan mayoritas penduduk Indonesia dalam pelaksanaan politk luar negeri Indonesia. 16 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis yaitu telaah pustaka melalui literatur- literatur yang sesuai dengan pokok permasalahan yang dibahas sesuai dengan objek penelitian, baik berupa buku, jurnal Hubungan Internasional, artikel-artikel yang bersumber dari intenet, dan surat kabar. Adapun tempat yang dikunjungi dalam rangka mengumpulkan data tersebut yaitu: 1. Perpustakaan pusat Universitas Hasanuddin; 2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin; 3. Perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan di Makassar; 4. Perpustakaan Universitas Islam Makassar; 5. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Makassar 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa yang bersifat analisis deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur kemudian dihubungkan antara fakta-fakta yang ada kemudian permasalahan yang ada dijelaskan dan dianalisa berdasarkan faktafakta yang ada dan disusun dalam suatu tulisan serta ditarik suatu kesimpulan akhir dari data dan fakta yang ada. Pokok analisa dalam tulisan ini adalah pengaruh Islam sebagai agama mayoritas dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Ideologi Semenjak istilah ideologi pertama kali oleh Destutt de Tracy tahun 1796 di Perancis, telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga ideologi dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompleks. Ideologi selalu merupakan kosakata yang bersifat polemik yang mengandung sifat dasar permulaan yang ambigu, dengan sisi negatif dan positif, konstruktif dan destruktif. Tidak ada satu-satunya pengertian substansial mengenai ideologi yang dibawa oleh adanya perkembangan pemakaian istilah tersebut. Ideologi dalam arti epistemis merupakan sebentuk pengetahuan yang tidak bersifat refleksif dengan perhatian formal yang berbeda dari yang terdapat pada ilmu. Perhatian formal ini lebih diarahkan pada kepentingan praktis dan kongkret. Perhatikan misalnya rumusan Ryan sebagai berikut, An ideology has come over the past century to mean a secular and political creed, and especially it has come to carry the implication that the truth of what is said to belong to an ideology is relatively unimportant compared with the social origins of the creed.14 Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa ideologi cenderung mengarah pada implikasi atas prinsip sekuler dan politik, dibanding 14 Ryan dalam Slamet Sutrisno, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Andi, hal. 25 18 prinsip dari ilmu sosial itu sendiri. Karenanya, istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan ataupun gerakan politik suatu negara. Pengertian selanjutnya, ideologi berkaitan dengan substansi yang meliputi pemikiran, gagasan, dan cita-cita sosial. Definisi yang biasa diberikan menyebutkan bahwa ideologi adalah sistem gagasan politik, yang dibangun untuk melakukan tindakan-tindakan politik seperti misalnya memerintah suatu negara, melakukan gerakan sosial/politik, partai politik, mengadakan revolusi, ataupun kontrarevolusi. Ideologi dipandang sebagai gagasan atau pemikiran manusia untuk memetakan kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Peta yang melukiskan realitas tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman arah dalam bertindak.15 Versi kedua ini sejalan dengan peendapat Sydney Hook bahwa ideologi dapat berarti sebagai “pandangan dunia atau kosmos tempat manusia di dalamnya, yang merupakan bimbingan kegiatan politik dalam arti seluas-luasnya.”16 Disini pengertian ideologi juga perlu dipahami secara proporsional, dalam arti dewasa ini tidak lagi dikenal muatan atau ruang lingkup tunggal dalam istilah ideologi. Terdapat lebih dari satu pengertian substansial yang bisa ditarik dari ideologi yang untuk menelusurinya dapat dilakukan dengan pendekatan historis. Pada awalnya, istilah ideologi dimaksudkan oleh De Tracy sebagai science of ideas, the study of origins, evolution and nature of 15 16 Franz Schurmann, loc.cit., hal. 18 Sydney Hook dalam Slamet Sutrisno, op.cit., hal. 25 19 ideas. Di pihak lain, dengan ideologi sebagai teori ide-ide dimaksudkan juga sebagai bagian dari usaha pembangunan kembali lembaga-lembaga kemasyarakatan atau institutional reform. Namun, pandangan tersebut berubah menjadi negatif ketika mendapat pertentangan dari Napoleon Bonaparte yang menjadi penguasa kala itu. Pandangan negatif tentang ideologi dilanjutkan oleh Karl Marx, dimana ia menganggap bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu mengenai kenyataan-kenyataan sosial ekonomi dan merupakan angan-angan kolektif yang diperbuat dan ditanggung bersama oleh kelas sosial tertentu. Melalui ideologi itulah proses riil dalam kehidupan masyarakat dibuat kabur, sehingga realitas merupakan alternatif terhadap ideologi atau dengan kata lain ideologi terletak pada oposisinya realitas. Pada titik ini, Karl Manheim berbeda dengan Marx. Ia berusaha mengeliminasikan elemen negatif ideologi dengan mengajukan konsepsi ideologi total dan ideologi partikular. Ideologi total merupakan ciri khas menyangkut struktur pikiran abad dan kelompok tertentu, misalnya sekelompok kelas sosial. Berbeda dengan konsep total ideologi, secara partikular ideologi lebih menghuni benak dan diterima secara psikologis oleh warga masyarakat. Apabila Manheim berusaha mengeliminasikan elemen negatif ideologi, Antonio Gramsci bahkan menolak konotasi negatif ideologi meskipun ia seorang Marxis. Ia memilah pengertian ideologi dalam dua 20 term, arbiter dan organis17. Hanya dalam pengertian arbiter ideologi mampu memungkinkan adanya kesadaran palsu. Sedangkan ideologi jenis kedua bersifat netral sebagai suatu konsepsi tentang dunia yang secara implisit dimanifestasikan ke dalam kesenian, hukum, kegiatan ekonomi, dan semua manifestasi individual maupun kolektif. Sifat netral ideologi itu tak urung dipertanyakan kebenarannya karena ideologi pada akhirnya bukan hanya terdiri atas sistem kognitif, melainkan sekaligus sistem normatif. Sejalan dengan hal tersebut diungkapkan oleh William Nester, “Ideology is more systematic belief system which can transcend a given culture, political philosophy like liberal democracy, communism, facism, even though moeslem culture. The essence of every ideology is a value system.18 Sargent juga memberikan perumusan ideologi, yaitu sebagai suatu sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Begitu pula dengan Ignas Kleden yang merumuskan ideologi sebagai: Seperangkat doktrin sistematis tentang hubungan manusia dengan dunia hidupnya, yang diajarkan dan disebarluaskan dengan penuh kesadaran, yang tidak hanya memberikan suatu kerangka pengetahuan yang bersifat netral, tetapi yang meminta sifat dan komitmen dari pihak yang menerimanya, dan yang sedikit banyak menimbulkan moral passion dalam diri penganutnya.19 Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pengertian ideologi telah mengalami pergeseran begitu rupa sehingga bukan lagi sebagai science of 17 Ibid, hal. 26-27 William Nester, 1995, International Relations, Geopolitical and Geoeconomic Conflict and Cooperation, USA: Harper Collins College Publisher, hal. 72 19 Slamet Sutrisno, op.cit., hal. 27 18 21 ideas. Ideologi telah berkembang menjadi pengertian yang mengandung arti sebagai gagasan, ide-ide yang semula merupakan sasaran pengkajian dalam science of ideas tersebut. Lebih lanjut, ideologi mengandung arti sebagai bukan hanya gagasan atau pemikiran, melainkan sebagai keyakinan. Dengan melihat pendefinisian serta akar sejarahnya, maka dapat disimpulkan bahwa ideologi menempati posisi sebagai acuan tindakan dari kelompok sosial baik pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan, maupun kelompok agama. B. Konsep Kebijakan Politik Luar Negeri Politik luar negeri merupakan serangkaian kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional, dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional. Dimana kebijakan tersebut merupakan akumulasi dari kepentingan rakyat yang disebut sebagai kepentingan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa. Dengan kata lain, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Hal ini sejalan dengan definisi yang disebutkan Goldstein, ”Foreign policies are the strategies used by governments to guide their actions in the international arena (Politik luar negeri adalah strategi yang digunakan pemerintah sebagai pedoman tindakan dalam kancah internasional).20 20 Joshua S. Goldstein, 2002, International Relations Brief Edition, Amerika Serikat : Longman, hal. 95 22 Plano dan Olton menegaskan pula bahwa politik luar negeri adalah strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.21 Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa politik luar negeri sengaja dibuat oleh suatu negara sebagai pedoman tindakan dalam fora internasional, yang pelaksanaannya bertujuan demi mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Kepentingan nasional itu sendiri timbul untuk menutupi kekurangan sumber daya nasional, atau apa yang dibahasakan sebagai kekuatan nasional, yang ternyata hanya bisa diperoleh diluar batas-batas territorial negaranya.22 Secara umum politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di percaturan internasional. Pelaksanaan politik luar negeri mencerminkan kepentingan nasional di bidang luar negeri. Politik luar negeri adalah suatu komitmen yang merupakan strategi dasar untuk mencapai tujuan, baik dalam konteks dalam negeri atau luar negeri sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitar. 21 Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochammad Yani, 2006, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda, hal. 49 22 Tulus Warsito, 1998, Teori-Teori Politik Luar Negeri : Relevansi dan Keterbatasannya, Yogyakarta: Bigraf Publishing, hal. 2 23 Jika dilihat dari unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri suatu negara terdiri dari dua elemen utama yaitu tujuan nasional yang akan dicapai dan instrumen yang dimiliki suatu negara untuk mencapainya. Tujuan yang ingin dicapai dapat terlihat dari kepentingan nasional yang dirumuskan elit suatu negara. Sedangkan instrumen untuk mencapai tujuan tersebut tergambar dari strategi diplomasi yang merupakan implementasi dari kebijakan politik luar negeri yang telah dirumuskan. Dengan demikian, politik luar negeri yang dijalankan suatu negara dapat dianggap berhasil jika memiliki suatu strategi diplomasi tertentu yang efektif dapat melindungi pencapaian kepentingan nasional negara tersebut. Sementara itu, James N Rossenau membedakan konsep politik luar negeri ke dalam tiga pengertian yaitu a) politik luar negeri sebagai kumpulan orientasi; b) politik luar negeri sebagai sejumlah komitmen terhadap suatu tindakan dan rencana bagi suatu tindakan; dan c) politik luar negeri sebagai bentuk perilaku.23 Politik luar negeri sebagai sekumpulan orientasi berarti adanya sejumlah cita-cita suatu negara yang diarahkan atau yang berhubungan dengan negara lain. Sekumpulan orientasi yang terdiri dari sikap, persepsi, dan nilai-nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah dan keadaan strategis yang menentukan posisi negara dalam politik internasional. 23 Bakri dalam Risma Handayani, loc.cit., hal. 24 24 Selain itu politik luar negeri merupakan rencana dan komitmen kongkret yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan, untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang konsisten dengan kebijakan luar negeri. Pengertian politik luar negeri yang berikutnya mengarah pada aksi atau perilaku. Pada tingkat ini politik luar negeri berada pada tingkat yang lebih empiris, yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan situasi di lingkungan eksternal. Konsep lain tentang politik luar negeri adalah menurut Lovel yang dikutip oleh Sufri Yusuf, yaitu: “Politik luar negeri berhubungan dengan semua usaha dari sistem politik nasional untuk beradaptasi dengan lingkungan geopolitiknya dan untuk menetapkan tindakan pengendalian terhadap lingkungannya agar dapat memenuhi nilai-nilai (good values) yang terdapat dalam sistemnya.”24 Penjelasan dari konsep diatas dapat merujuk pada teori sistem politik yang dikemukakan oleh Almond dan Powell, “sebuah sistem secara tidak langsung merupakan ketergantungan antar bagian-bagian dan batas antara sistem dengan lingkungannya.”25 Interdependensi ini mengandung makna bahwa perubahan dalam satu bagian sistem akan mempengaruhi seluruh komponen dan keseluruhan sistem, dan juga akan berpengaruh pada sistem domestik dan kapabilitas internasional. Dilihat dari perspektif sistem, politik luar negeri juga tidak dapat dipisahkan dari politik dalam 24 Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Iternasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Pelaksanaannya, Jakarta: Pustaka Sinar, hal. 110 25 Lihat Budi Winarno, loc.cit., hal. 6 25 negeri karena keduanya merupakan sub sistem dari sistem politik suatu negara. Dalam pembahasan politik luar negeri, ada tiga determinan yang tak terpisahkan. Determinan pertama adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional, sekaligus merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri suatu negara. Holsti berpandangan bahwa kepentingan nasional atau apa yang disebut sebagai kepentingan dan nilai inti digambarkannya sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan yang sebesarbesarnya. Nilai dan kepentingan ini menurutnya lagi, biasanya dikemukakan dalam bentuk asas-asas pokok kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat tanpa reserve atau sikap kritis.26 Para ahli hubungan internasional telah bersepakat bahwa politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional suatu negara terhadap lingkungannya. Pun dengan segala kegiatan dan langkahlangkah yang diambil dalam ranah kebijaksanaan luar negerinya tidak lepas dari apa yang menjadi kepentingan nasionalnya. Maka, kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan politik luar negerinya. Perumusan dan penentuan 26 K. J. Holsti, 1989, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, jilid satu, terj. M tahir Azhari, Jakarta : Erlangga, hal. 135 26 kepentingan nasional suatu negara harus berpatokan pada apa yang menjadi kebutuhan dalam negeri dengan berupaya memenuhi kebutuhan tersebut baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun dalam bidang pertahanan dan keamanan. Donal E. Nuchterlin menyebutkan sedikitnya ada empat jenis kepentingan nasional, yaitu: a) kepentingan pertahanan, diantaranya menyangkut kepentingan untuk melindungi warga negara serta wilayahnya dan sistem politiknya dari ancaman negara lain; b) kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan negara lain; c) kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk mewujudkan atau mempertahankan sistem politik ekonomi internasional yang menguntungkan bagi negaranya; dan d) kepentingan ideologi, ialah kepentingan untuk mempertahankan atau melindungi ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain.27 Determinan yang kedua adalah kekuatan nasional. Kekuatan nasional sering diartikan sebagai power, dimana pendefinisiannya sering mengarah pada kekuasaan. Selain itu, kekuatan nasional juga dimaknai sebagai capability, dimana peristilahan ini sering digunakan oleh para sarjanawan hubungan internasional. Penulis mengambil definisi kekuatan nasional dalam pengertian national capability, yaitu kemampuan yang dimiliki suatu negara yang nyata terlihat (tangible) dan yang tidak nyata terlihat (intangible) yang kedudukannya selaras dengan kepentingan serta tujuan nasional. 27 Umar Suryadi Bakri, 1999, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jaya Baya University Press, hal. 62 27 Dijelaskan oleh Muhammad Musa bahwa, Kekuatan nasional atau kekuatan negara merupakan jaminan bagi keberhasilan politik luar negerinya. Sedangkan kekuatan dalam pengertiannya yang menonjol adalah kemampuan untuk mempengaruhi keputusan pihak lain. Kekuatan negara dalam hubungan internasional dan dalam pentas dunia berarti kepeduliannya terhadap pihak lain ketika mereka mengambil keputusan dalam beberapa masalah.28 Secara konvensional, kekuatan nasional terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu instrument ekonomi, politik (diplomasi), dan militer. Tiga komponen ini bermanfaat bagi tujuan analitik, sedangkan pada prakteknya ketiga bentuk kekuatan ini saling berhubungan satu sama lain. Instrumen kekuatan politik atau diplomatik meliputi segala aktivitas yang terukur dan terampil dari para diplomat suatu negara yang berusaha meyakinkan pihak lain akan garis kebijaksanaan negaranya. Keterbatasan kekuatan nasional yang dimiliki oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional secara internal mengharuskan negara tersebut mencari pemenuhan kepentingannya diluar batas-batas negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa politik luar negeri dapat dianggap sebagai penyeimbang kepentingan nasional dengan kekuatan nasional. Hans J. Morgenthau29 membagi kekuatan nasional atas unsurunsur yang stabil (tidak mudah berubah) sebagai berikut: 1. Geografi (letak, luas dan kondisi wilayah) 2. Sumber Daya Alam 28 Muhammad Musa, 2003, Hegemoni Barat terhadap Percaturan Politik Dunia : Sebuah Potret Hubungan Intenasional, Jakarta: Wahyu Press, hal.37 29 Lihat, Hans J. Morgenthau, 1990, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku I, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 28 3. Kemampuan Industri 4. Kesiagaan militer 5. Jumlah dan Kualitas Penduduk Dan yang labil (mudah berubah), sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Karakter Nasional Moral Nasional Kualitas Diplomasi Kualitas Pemerintah. Hampir serupa, Lerche dan Said30 membagi kapabilitas negara dalam dua kategori yaitu tangible elements (yang konnkrit nyata wujudnya dan dapat diukur, yaitu: - Populasi (penduduk) Teritorial (wilayah) Sumber Alam dan Kapasitas Industri Kapasitas Pertanian Kekuatan Militer dan Mobilitas Serta intangible elements, yaitu: - Kepemimpinan dan Kepribadian Effisiensi Organisasi-Birokrasi Tipe Pemerintahan Persatuan Masyarakat Reputasi Negara Dukungan Luar Negeri dan Ketergantungan. Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam menghimpun kekuatannya tidak saja bergantung pada alat pemaksa kekuasaan berupa peralatan militer, melainkan juga segenap potensi kemampuan pendukung dari negaranya. Dimana, unsur-unsur ini yang menjadikan negara tersebut kuat dan mampu mengubah konflik kepentingan menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya. 30 Lihat Charles O. Lerche dan Abdul Said, 1979, Concepts of International Politics, edisi ketiga. Englewood Cliffs, N.J : Prentice-Hall, hal. 66-74 29 Determinan ketiga adalah kondisi internasional dengan sifatnya yang dinamis. Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor domestik saja namun juga dipengaruhi oleh faktor internasional. Dengan kondisi internasional yang senantiasa dinamis mengharuskan suatu negara membuat penyesuaianpenyesuaian untuk mengejar kepentingan nasional di luar batas teritorialnya. Dalam hal ini keberhasilan suatu politik luar negeri akan sangat bergantung pada bagaimana suatu negara melihat dan membaca kondisi internasional, kemudian menyesuaikannya dengan kebijakan politik luar negerinya. Tatanan internasional terus berubah seiring dengan terjadinya pergeseran geo-politik dan geo-ekonomi termasuk perubahan lingkungan geostrategis pasca krisis global. Pada gilirannya, berbagai perubahan internasional yang terjadi mendorong terjadinya perubahan dalam polapola hubungan antar bangsa dan negara. Perubahan global juga mengharuskan adanya revitalisasi mekanisme kerjasama global agar mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang semakin besar dan berat. Dari pola ini, dapat dilihat bahwa kondisi internasional yang begitu dinamis, selain memberikan tantangan-tantangan juga memberikan peluang-peluang. Dalam hal ini tugas setiap negara untuk meningkatkan kapasitasnya masing-masing, serta merumuskan politik luar negeri yang mampu mengatasi berbagai tantangan dan memanfaatkan 30 peluang yang bermuara pada pencapaiaan kepentingan nasional masingmasing. Sebagai penutup dan merupakan kesimpulan mengenai konsepsi politik luar negeri, penulis mengambil definisi standar yang dikemukakan oleh Sufri Yusuf : “Politik luar negeri itu adalah politik untuk mencapai tujuan nasional dengan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada.31 Karena situasi dan kondisi global yang senantiasa dinamis, maka kebijakan politik suatu negara selalu mengalami penyusunan dan penyesuaian, karena politik luar negeri merupakan perpanjangan tangan dari politik dalam negeri. Olehnya, kebijakan politik luar negeri sangat ditentukan oleh kondisi objektif politik dalam negeri. Segala yang dirumuskan dari pertimbangan politik dalam negeri, akan menjadi acuan perumusan politik luar negeri yang ditujukan pada kancah internasional. 31 Sufri Yusuf, loc.cit., hal. 110 31 BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA A. Kedudukan Islam di Indonesia 1. Islam sebagai Agama Mayoritas di Indonesia Secara geografis, negara dan bangsa Indonesia berada dan berdomisili di lingkungan wilayah yang memiliki garis-garis pantai dan hutan tropis, yang tersebar di kawasan seluas hampir 3.000 mil. Dari faktor wilayah, Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang bertebaran di sepanjang garis khatulistiwa. Sehingga pada gilirannya, kedua faktor tersebut, secara tidak langsung telah membentuk kemajemukan bangsa ini dalam berbagai hal, baik dalam tradisi-sosial, suku-ras, maupun agama-kepercayaan. Keadaan geografis dan wilayah yang dimiliki Indonesia ini telah membentuk keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya. Ajid Thohir menggambarkan ragam masyarakat Indonesia yang berkembang di seluruh wilayah Indonesia menjadi tiga jenis kelompok masyarakat sebagai berikut: Kelompok pertama, adalah masyarakat yang hidup di daerahdaerah pedalaman dan kawasan-kawasan pegunungan yang terpencil. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaankepercayaan animisme dan komitmen kesukuannya yang kuat. Kelompok kedua, adalah masyarakat yang hidup di sepanjang garis pesisir, dimana jalur-jalur perdagangan laut telah memudahkan mereka untuk dapat mengenal dan bertukar kebudayaan dengan dunia luar. Sedangkan kelompok ketiga, adalah masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur 32 budaya keraton. Pada umumnya, kelompok masyarakat ini hidup dalam sebuah kota di sekitar kawasan istana yang mudah dijangkau. 32 Lebih lanjut dijelaskan oleh Ajid Thohir bahwa Islam datang pertama kali ke Indonesia melalui perantara masyarakat kedua yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar daerah pesisir.33 Berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah, proses masuknya Islam di Indonesia tidak melalui jalur perang, melainkan melalui jalur perdagangan. Pola perdangangan yang terjadi di sekitar daerah pesisir telah berkembang menjadi pola hubungan timbal balik antara masyarakat pesisir dengan para pedagang asing. Dari hubungan tersebut, masyarakat Indonesia mengenal Islam sebagai agama dan budaya, yang selanjutnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Sejarah memperlihatkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali tanpa ada tendensi politik ataupun pemaksaan kekuasaan tertentu. Hal inilah yang menjadikan wajah Islam di Indonesia sebagai agama kultural yang mengakar kuat pada masyarakat Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia dengan jalur perdagangan tampaknya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat pesisir saat itu. Terbukti dengan semakin banyak masyarakat Indonesia yang awalnya telah lekat dengan budaya Hindu-Budha kemudian memilih Islam dalam kehidupan mereka. Bahkan, masyarakat pesisir hingga 32 Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif EtnoLinguistik dan Geo-Politik, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 384 33 Ibid. hal. 385 33 saat ini terkenal sebagai masyarakat yang berkomitmen kuat terhadap agama Islam. Persentuhan Islam dengan budaya yang ada di Nusantara membuat keduanya saling mempengaruhi. Di masa Sultan Agung (1613-1645) misalnya dibuat kalender Jawa yang membuktikan bahwa Islam sanggup berasimilasi dengan kebudayaan setempat dan sebaliknya. Masa ini adalah masa dimulainya proses sinkretisme antara budaya Jawa dengan Islam. Pelaksanaan Islam yang dipengaruhi oleh budaya tradisional akhirnya mulai ditentang oleh gerakan pemurnian atau modernis Islam yang datang dari Mesir pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Kebangkitan golongan ini pada akhirnya menyebabkan Islam di Indonesia berkembang menjadi dua golongan besar, yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis, yang secara simplistik direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah. Agaknya, dijelaskan pola sebelumnya, penyebaran memberi Islam sebagaimana karakteristik tersendiri yang bagi masyarakat Indonesia. Islam di Indonesia masuk melalui budaya, tanpa melalui perebutan kekuasaan sebagaimana yang terjadi di semenanjung Arab, Andalusia, India, dan juga termasuk Asia kecil. Sehingga, akulturasi budaya yang terjadi menyebabkan Islam menjadi agama dan budaya yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Karakteristik Islam di Indonesia menjadi satu hal yang khas dan berbeda dengan karakteristik Islam di negara-negara lain. 34 Indonesia merupakan negara dengan potensi penduduk terbesar ke-empat di dunia. Dengan luas wilayah seluas 1.919.440 km dengan total populasi penduduk 239.400.901 jiwa. Potensi ini tentu menjadi kekuatan tersendiri bagi negara. Karena tak dapat dipungkiri, luas wilayah dan populasi penduduk merupakan satu unsur penting kekuatan negara. Tabel 1: Populasi Penduduk Dunia 10 Negara Teratas: Sumber GeoHive online, yang diolah dari UN Population Division, World Population Prospects: The 2004 Revision. Higlights Dari jumlah total populasi masyarakat Indonesia tersebut, 89% penduduk Indonesia adalah muslim. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia dengan jumlah mencapai 207 juta jiwa.34 Dimana, angka ini adalah 36 juta lebih banyak daripada Pakistan yang menjadi kedua terbanyak di dunia. Jika dikalkulasi, 34 Michael Finkel, loc.cit., hal. 86 35 jumlah penduduk muslim Indonesia setara dengan dua pertiga jumlah penduduk di seluruh Negara Timur Tengah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Global Attitudes, Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang penduduknya paling religius di dunia.35 Umat Islam di Indonesia tersebar di seluruh pelosok Nusantara dan menempati hampir seluruh wilayah. Sebagian besar umat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti di pulau Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah Timur, penduduk muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara dan wilayahwilayah tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Tual dan lain-lain. Dari jumlah yang mayoritas tersebut, Islam menjadi sebuah nilai dan anutan yang dijunjung oleh masyarakat Indonesia. Islam sebagai sebuah agama yang merefleksikan sikap serta budaya masyarakat di Indonesia. Beberapa peraturan/hukum dalam pemerintahan dan negara banyak yang terinspirasi oleh hukum Islam. Selain itu, Islam menjadi satu budaya yang menyatu dengan budaya asli Indonesia. Sebagai Negara dengan mayoritas muslim yang terbesar di seluruh dunia, Indonesia sudah barang tentu harus memberikan peran terhadap Islam itu sendiri. Negara sebagai suatu organ yang memiliki 35 Ibid. hal. 87 36 kekuasaan tertinggi dan sah, sepatutnya menjamin hak-hak kaum muslimin. Dalam pemenuhan hak-hak itu timbullah peran negara Indonesia yang menjamin rakyatnya yang merupakan kaum muslimin. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia mempunyai sejumlah kebijakan dalam pembangunan bangsa melalui pembinaan umat beragama, antara lain: 1. Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1945, suatu departemen yang merealisasi sila pertama dari Pancasila, dan sekaligus menjadi ciri khas Islam di Indonesia; 2. Menetapkan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; 3. Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji di tanah air; 4. Membentuk Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975; 5. Melembagakan Musabaqah Tilawatil Qur’an secara nasional dari tingkat rasional dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa, mendirikan dan meresmikan Masjid Istiqlal sebagai masjid yang sepenuhnya dibiayai pemerintahan/ negara, membentuk Badan Amil Zakat,dan lain-lain; 6. Ikut serta membina kerukunan hidup umat beragama serta antarumat beragama, maupun antara umat beragama dan pemerintah; 7. Membentuk secara Yuridis-Formal sebagian hukum Islam, yaitu penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia, dengan undangundang pada tahun 1989; 37 8. Menetapkan hari-hari besar Islam sebagai hari libur nasional; 9. Mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan agama Islam seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas Islam Negeri, dan Universitas Islam Indonesia. Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia dengan jumlah penganut hingga 89% dari total penduduk Indonesia. Dengan jumlah tersebut, Islam menjadi agama yang mendominasi sehingga menjadi suatu hal yang pantas ketika negara memberikan peranannya dan mengayomi masyarakatnya agar senantiasa terjamin dalam hak-hak kehidupannya. Karena, agama bukan hanya sekedar keyakinan dalam hati, namun ia merupakan sebuah ajaran yang sifatnya aplikatif. 2. Peran Islam dalam Negara Indonesia Dilihat dari pemeluknya, Indonesia merupakan negara yang paling besar jumlah kaum muslimnya di seluruh dunia. Namun secara religi politik dan ideologis, Indonesia bukanlah sebuah “Negara Islam”. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa Islam sebagai sebuah agama besar memainkan beberapa peranan di dunia, begitu pun di Indonesia. Pada peringkat yang lebih awal dari gerakan kemerdekaan nasional, Islam telah memainkan peranan penting dalam pemberontakan-pemberontakan rakyat melawan penjajah. Baik dengan perang atau dengan mendirikan organisasi, semangat untuk 38 kemerdekaan pada 1940-an, dengan cara yang sama, telah dipelopori oleh impuls-impuls agama dan moral Islam. Sejarah mencatat bahwa dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan Indonesia, banyak tokoh yang merefleksikan Islam sebagai agama yang mengakar dalam semangat bangsa Indonesia. Tokoh seperti Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Fatahilah dan sebagainya telah menggambarkan patriotik yang dilandasi dengan semangat Islam. Selain itu, peran penting umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan juga tampak dari sikap para ulama, haji, santri, dan pedagang yang menunjukkan anti- imperialisme. Dari segi organisasi yang dibentuk pada masa itu, tak pelak Islam menjadi satu acuan dalam pembentukan organisasi nasional seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, Nadhlatul Ulama dan Majelis A’la Indonesia. Dari tokoh intelektual ini muncul nama-nama seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim. Karenanya tak heran jika banyak pemimpin-pemimpin Indonesia saat itu yang memperjuangkan agar syari’at Islam di laksanakan di Indonesia, meski tidak berarti menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan telah berjuang keras agar pelaksanaan syari’at Islam diakui secara konstitusional. Perjuangan ini berlangsung menjelang dan sesudah 39 proklamasi yang diusung oleh sembilan pemimpin Indonesia yang diketuai oleh Presiden Soekarno. Hingga kemudian, tercetus piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dengan kesepakatan penghapusan diktum pelaksanaan syari’at Islam pada dasar negara, demi persatuan bangsa36. Piagam ini merupakan sebuah kompromi politis-ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian juga menganut agama Islam, tapi menolak ide negara berdasar Islam. Meski diktum pelaksanaan syari’at Islam dihapus, sebagai gantinya, konteks Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan simbol Tauhid dalam sistem umat Islam.37 Seiring dengan berlalunya zaman, maka muncullah gerakangerakan Islam yang baru. Antara 1950-1954, mereka menolak gagasan pendirian negara Islam sekaligus menerima Pancasila sebagai dasar negara. Pada 1960-an, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Persatuan Islam Indonesia (PII) memainkan peran besar dalam demonstrasi menjatuhkan rezim Soekarno. Dominasi keduanya menandai signifikansi pertama inteligensia Muslim Indonesia pasca kemerdekaan. Sila pertama Pancasila yang diusulkan semula berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun, sebagian pemimpin negara saat itu tidak menyetujui rancangan tersebut karena beberapa alasan, sehingga pada akhirnya sila pertama Pancasila diganti dengan formula: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 37 A. Syafi’I Ma’arif dalam Zakir, Pengaruh Perkembangan Gerakan Islam Terhadap Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia, FISIP UNHAS, Makassar, hal.42 36 40 Selanjutnya, lahir generasi-generasi baru yang sebagian anggotanya lahir pada 1970-an dan 1980-an seperti Ulil Abshar Abdalla, Fachri Hamzah. Generasi ini dipandang tidak homogen karena rivalitas para pengikutnya terutama mengenai masalah manhaj (metode penalaran), jaringan intelektual dan persaingan memperebutkan kepemimpinan. Harakah yang paling berpengaruh, ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai politiknya, Partai Keadilan Sejahteran (PKS) sebagai sarana untuk menegakkan demokrasi di Indonesia. Dan yang juga berperan bagi Indonesia adalah mahasiswa Islam. Mereka sangat besar andilnya dalam penegakkan syariah Islam seperti melakukan aksi dukungan terhadap RUU Pornografi, Penggalangan bantuan untuk Palestina dan studi-studi mengenai Islam. Selain dari segi politik pemerintahan, peran Islam juga dapat dilihat diantaranya pada: 1. Corak Masyarakat Islam Indonesia Umat Islam di Indonesia sangat berperan dalam pembentukan adat istiadat bangsa Indonesia. Sebagaimana uraian di awal pembahasan, penerimaan masyarakat Indonesia terhadap Islam menyebabkan akulturasi budaya lokal dengan Islam itu sendiri mudah terjadi. Akulturasi budaya yang terjadi sejak lama lantas mengakar kuat pada masyarakat Indonesia hingga hari ini. 41 Dengan pluralitas bangsa dalam ragam dalam tradisi-sosial, sukuras, maupun agama-kepercayaan, Islam menjadi satu entitas pemersatu dalam tubuh masyarakat masyarakat. Pengaruh Islam dalam adat dan kebiasaan di Indonesia tampak pada ajaran-ajaran dalam kehidupan sehari-hari, yang selanjutnya berkembang bahkan sampai tingkat formal seperti dalam lingkup pemerintahan, dan acara-acara resmi lainnya. Ucapan salam serta basmalah yang menjadi adat di setiap sambutan atau pidato kenegaraan menjadi bukti pengaruh Islam pada corak masyarakat Indonesia. Selain itu, penggunaan peci38 berwarana hitam menjadi seragam formal para petinggi negara dalam acaraacara resmi negara. Umat Islam Indonesia terdiri dari dua golongan yaitu tradisional dan modern. Golongan tradisionalis ini adalah para ulama yang tergabung dalam Nahdhatul Ulama (NU), sedangkan golongan modernis ialah para ulama yang tergabung dalam Muhamadiyah. Kedua golongan inilah yang mewakili umat Islam seluruh Indonesia. Keduanya menjalin kerjasama dalam membangun negara dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 38 Penutup kepala bagi muslim laki-laki. Biasa dipakai ketika shalat atau pada acara-acara keagamaan. 42 2. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Lembaga-lembaga sosial keagamaan Islam di Indonesia sangat besar peranannya. Majelis Ulama Indonesia (MUI), memiliki peranan penting dalam mengatur kehidupan umat muslim di negara Indonesia. Dalam menetapkan hari-hari besar Islam, atau dalam menetapkan hukum haram-halal, pemerintah memberi kewenangan pada MUI untuk mengeluarkan fatwa yang diperlukan. Selain MUI, lembaga-lembaga sosial keagamaan yang juga memainkan peran penting dalam menjaga persatuan bangsa diantaranya NU, Muhammadiyah, ICMI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain. MUI bersama lembaga sosial keagamaan ini menjadi sarana dalam menjaga keutuhan umat Islam di Indonesia sehingga terciptanya persatuan bangsa. 3. Dalam Pendidikan Salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan pendidikan, membimbing dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga Islam telah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan Belanda. Salah satu pendidikan tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah, lembaga ini dipimpin oleh seorang ulama atau kyai. 43 Pada awal abad ke-20 persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian pada beberapa kalangan untuk memahami dan bukan menghafal, ditekankan dan pengertian ditumbuhkan, itulah yang dinamakan madrasah. Pada umumnya madrasah ini dibagi menjadi tiga jenjang yaitu tingkat dasar/ Ibtidaiyah, tingkat lanjutan pertama/ Tsanawiyah dan tingkat lanjutan atas/ Aliyah. 4. Dalam Hukum dan Peradilan Pengaruh Islam dalam hukum dan peradilan terangkum dan terlihat jelas dalam rancangan undang-undang peradilan yang disahkan oleh Presiden Soeharto menjadi Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang : 1. Perkawinan 2. Warisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 3. Wakaf dan sedekah 4. Fatwa ulama (MUI) dijadikan pertimbangan dalam setiap kebijakan yang menyangkut umat dan bangsa Agama dan kehidupan publik akan selalu berhubungan, dan ini telah dipahami oleh para pemimpin negara ini, dimana menjadi luar biasa dalam dekade terakhir. Agama merupakan satu institusi politik yang paling penting dalam sistem Pancasila. Sebab, dari agamalah para politisi coba memusatkan atau mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun 44 tidak. Agama dipergunakan sebagai sumber-sumber ketajaman-ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis masyarakat Indonesia.39 B. Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Pada hakikatnya, politik luar negeri adalah suatu rumusan yang berisikan segala aspek keinginan atau aspirasi seluruh rakyat suatu negara, yang dilengkapi dengan perhitungan-perhitungan yang meliputi kemampuan atau kekuatan negara tersebut serta derajat beban yang ingin dicapai. Politik luar negeri adalah representasi atas keinginan seluruh rakyat yang harus diperjuangkan oleh pemerintah pada lingkup luar negeri. Perjuangan atas apa yang menjadi tujuan serta pencapaian kepentingan nasional, adalah dengan mempertimbangkan kekuatan nasional yang dimiliki oleh negara tersebut. Indonesia, sebagai sebuah negara yang berdaulat juga merumuskan serta melaksanakan politik luar negerinya sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan kondisi real dalam negeri serta perubahan konstelasi global. Politik luar negeri yang spesifik dilaksanakan oleh suatu negara sebagai inisiatif atau reaksi inisiatif yang dilakukan oleh negara lain. Kebijakan politik luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan internasional. Hal ini 39 Nurcholish Madjid, dalam Muhammad Hari Zamharir, loc.cit, hal. ix 45 dimaksudkan untuk mengembangkan suatu cara tindakan yang selanjutnya diikuti pelaksanaan cara-cara dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 1. Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Syarat suatu negara dapat dikatakan sebagai negara berdaulat adalah jika ada pengakuan dari negara lain yang ditandai dengan adanya hubungan luar negeri. Hubungan tersebut selanjutnya diimplementasikan dalam pergaulan dan kerjasama dengan negara lain yang secara otomatis menyiarkan identitas diri suatu negara kepada dunia internasional tentang eksistensi negara tersebut. Karenanya, dalam menjalankan hubungan luar negerinya, Indonesia perlu merumuskan prioritas kepentingan yang hendak dipertahankan dan tujuan yang hendak dicapai. Karena keadaan internasional yang senantiasa dinamis dan selalu berkembang, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Indonesia harus merumuskan politik luar negeri yang mampu mengatasi berbagai tantangan dan memanfaatkan peluang yang bermuara pada pencapaiaan kepentingan nasional serta harus dapat mengantisipasi sejauh mungkin perkembangan selanjutnya. Namun, dalam menyesuaikan kebijakan luar negeri dengan situasi internasional, Indonesia tetap harus berpegang teguh pada landasan dasar serta prinsip politik luar negerinya. 46 Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini berarti pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945.40 Dasar-dasar yang pokok dalam politik luar negeri Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama menyatakan bahwa: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…41 Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara diposisikan sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri Indonesia. Pancasila diakui sebagai ideologi negara, yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia baik terhadap diri, lingkungan, negara maupun dunia internasional. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia, bahkan dikatakan sebagai salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas 40 41 Athiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari (ed), loc.cit., hal. 27-28 Lihat Pembukaan UUD 1945 47 politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.42 Adapun landasan operasional dari kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah TAP MPR, KEPRES, dan Keputusan Menlu. Namun, ketetapan landasan operasional ini senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Inilah yang ditegaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa kebijakan luar negeri suatu negara bergantung pada aktor perumus kebijakan atau siapa yang berkuasa pada masa tersebut. Dimana, perubahan ini juga diakibatkan karena penyesuaian akan kepentingan nasional yang dirasa sesuai dengan masa pemerintahan yang berlangsung. Pada masa Orde Lama, landasan operasional politik luar negeri sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkan Maklumat Politik Pemerintahan tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut: 42 Athiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari (ed), op.cit., hal. 28 48 1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai; 2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; 3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain; 4. Politik berdasarkan Piagam PBB. Landasan operasional politik luar negeri Indonesia mengalami perluasan makna pada tanggal 17 Agustus 1960 yang dinyatakan dalam pidato Presiden Soekarno. Beberapa bulan berikutnya, dikeluarkan kebijakan yang sekaligus merupakan garisgaris besar politik luar negeri Indonesia dalam “Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”. Kebijakan ini termaktub dalam Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No. 2/ Kpts/ Sd/ I/ 61 tanggal 19 Januari 1961. Berdasarkan maklumat dan pidato presiden diatas, terlihat perubahan landasan operasional politik luar negeri sesuai kepentingan yang hendak dicapai pada rezim yang berlaku. Di awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia diarahkan pada kebijakan hidup bertetangga dengan baik dengan negara-negara di kawasan tanpa turut campur urusan domestik. Ini merefleksikan sifat politik luar negeri yang bebas aktif, dimana Indonesia berupaya untuk tetap menjalin hubungan dengan negara tetangga, khususnya di kawasan tanpa keberpihakan. Indonesia juga mengambil sikap untuk tidak campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara-negara tetangga. 49 Pada perkembangannya, politik luar negeri Indonesia kemudian diarahkan pada hubungan ekonomi dengan luar negeri. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa sifat politik luar negeri yang bebas aktif juga mencakup wilayah ekonomi. Meski di awal pemerintahan Presiden Soekarno lebih mengedepankan masalah-masalah terkait eksistensi negara, yang dalam hal ini adalah kedaulatan bangsa Indonesia, namun kemudian kebijakan Indonesia diarahkan pada hubungan ekonomi dengan negara-negara tetangga. Kebijakan tersebut selanjutnya berkembang pada sikap Indonesia yang merasa wajib untuk turut andil dalam perjuangan membangun dunia yang aman, adil, dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal. Diantaranya sebagai berikut: a. Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/ 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia. b. Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973 c. Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai perincian ketetapan MPR tersebut di atas. d. Petunjuk bulanan Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan. e. Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri. 50 Selain berbagai ketentuan di atas, landasan operasional politik luar negeri Indonesia juga dituangkan dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu: 1. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1973; 2. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978; 3. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983; 4. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1988; 5. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1993. Pergantian rezim dari masa Orde Lama ke Orde Baru membawa perubahan pula dalam landasan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Jika pada masa Soekarno kebijakan politik luar negeri Indonesia mengarah pada perjuangan anti-kolonialisme dan antiimperialisme, tidak begitu pada TAP MPR yang dikeluarkan oleh presiden Soeharto. Ketetapan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional. Selanjutnya perubahan landasan operasional terlihat pada dikeluarkannya TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978. Ketetapan MPR ini mengatur kebijakan politik luar negeri Indonesia dengan mengadakan perluasan bidang kerjasama. Jika TAP-TAP sebelumnya yang dikeluarkan pada masa presiden Soekarno umumnya hanya membatasi pada pembangunan bidang ekonomi saja, kebijakan pada masa presiden Soeharto ini diarahkan pada pembangunan seluruh bidang. 51 Selanjutnya sasaran politik luar negeri Indonesia dirinci lebih lanjut serta lebih spesifik yang tertuang dalam TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983. Perubahan-perubahan tersebut berlanjut hingga masa pasca Orde Baru. Politik luar negeri sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1988 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara massif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan Soeharto. Pemerintahan pada masa B.J Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1999-2010) disebut sebagai masa transisi yang merupakan proses pematangan diri dalam mencapai kedewasaan sebagai negara bangsa.43 Olehnya, para pemimpin negara pada periode ini lebih memfokuskan kebijakan luar negeri Indonesia pada upaya perbaikan citra nasional yang memburuk di fora internasional. Pada masa Kabinet Gotong Royong kebijakan politik luar negeri Indonesia dilandaskan pada: a. Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004; b. UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; c. UU No. 24 tahun 2000 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 2000 tentang Perjanjian Internasional; 43 Mappa Nasrun, Guru Besar FISIP UNHAS, Strategi Pemanfaatan Potensi Domestik Untuk Menunjang Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia, disampaikan pada acara Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) Politik Luar Negeri RI dan New Global Architecture: Peningkatan Kapasitas Domestik dan Posisi Indonesia ke Depan di Makassar Golden Hotel pada tanggal 20 Oktober 2010 52 d. Perubahan UUD 1945 atas hasil sidang MPR RI pada 19 Oktober 1999 yang perubahannya pada UUD 1945 pasal 5 ayat 1, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat 2 dan 3, pasal 20, dan pasal 21. Kabinet selanjutnya, yakni kabinet Indonesia bersatu meletakkan landasan operasional politik luar negerinya pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009. Dalam RPJM, ada tiga program utama nasional kebijakan luar negeri yaitu: a. Pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. b. Peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerjasama internasional, terutama kerja sama ASEAN di samping negaranegara yang memiliki kepentingan yang sejalan dengan Indonesia. c. Penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membangun dan mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan berbagai persoalan keamanan internasional. Landasan operasional ini disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.5 tahun 2010 tentang RPJMN tahun 2010-2014 yang prioritas kebijakan politik luar negeri Indonesia mencakup: 53 1) Peningkatan peran dan kepempimpinan Indonesia dalam ASEAN; 2) Peningkatan peran Indonesia dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia; 3) Pemantapan pelaksanaan diplomasi perbatasan; 4) Peningkatan pelayanan dan pelindungan WNI/BHI di luar negeri; 5) Peningkatan peran Indonesia dalam pemajuan Demokrasi, HAM, Lingkungan Hidup, dan Perlindungan Kekayaan Budaya; 6) Pemantapan kemitraan strategis di kawasan Aspasaf dan Amerop; 7) Peningkatan pelaksanaan diplomasi ekonomi; dan 8) Peningkatan kerjasama Selatan-Selatan. 2. Sifat dan Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia Komitmen bangsa Indonesia untuk menentang kolonialisme dan imperialisme telah ditegaskan oleh para pemimpin bangsa sejak diraihnya kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Pengalaman masa penjajahan kurang lebih 350 tahun telah mengajarkan kepada bangsa Indonesia akan pahitnya hidup di bawah kolonialisasi bangsa lain. Namun, kemerdekaan yang diraih bukan suatu hal yang serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Hal ini dikarenakan salah satu syarat negara berdaulat belum diperoleh Indonesia saat itu, yaitu: pengakuan dari dunia internasional. Dengan situasi internasional yang saat itu tengah terjadi perang dunia II, Indonesia berjuang memperoleh jati diri bangsa sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka. Indonesia dihadapkan 54 pada pilihan antara dua kutub kekuatan dunia antara blok Amerika dan blok Uni soviet. Hal ini menjadi pilihan yang sangat dilematis bagi Indonesia sebagai negara yang sedang mengupayakan kedaulatan negaranya sendiri. Ditambah lagi, faktor domestik Indonesia yang belum stabil dengan keadaan ekonomi negara yang buruk serta adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah, menjadikan politik luar negeri Indonesia sulit menjadi fokus para pemimpin negara masa itu. Namun, dalam situasi yang berat dan terjepit diantara persaingan ketat dua blok kekuatan adidaya serta kondisi domestik yang belum stabil, para pemimpin negara mampu untuk menunjukkan sikap dan orientasi politik luar negeri yang independen. Bangsa Indonesia melihat bahwa bukan menjadi suatu solusi terbaik dengan mengambil sikap keberpihakan pada salah satu blok diantara kedua kubu yang sedang berseteru pada perang dunia II saat itu. Indonesia memilih menjadi suatu negara yang menginginkan perdamaian, dengan sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Inilah yang melatarbelakangi sifat politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Bebas dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Serta aktif yang berarti bahwa di dalam menjalankan 55 kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersikap aktif.44 Dengan politik luar negeri yang bebas aktif itu, Indonesia memposisikan dirinya sebagai subjek dalam hubungan luar negerinya dan bukan sebagai objek, sehingga Indonesia tidak dapat dikendalikan oleh haluan politik negara lain yang berdasarkan kepentingan nasional negara lain itu sendiri.45 Sifat bebas aktif ini menjadi suatu kebijakan luar negeri Indonesia yang bertujuan untuk bebas menentukan arah dan sasaran politik luar negeri tanpa melibatkan diri dengan blok-blok kekuatan. Meski tidak melibatkan diri dengan blok-blok kekuatan, sifat bebas aktif juga memberi arti bahwa Indonesia tidak menghindarkan diri untuk berhubungan dengan blok-blok kekuatan tersebut. Disamping itu, turut aktif berperan serta memperjuangkan bukan semata untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sendiri tetapi juga kepentingan bangsa dan negara lain di dunia dalam segala aspek. Lebih lanjut, tujuan politik luar negeri Indonesia berbedabeda setiap masa sesuai dengan kepentingan nasional pada masa tersebut. Atiqah Nur Alami memaparkan tujuan politik luar negeri Indonesia yang dirumuskan oleh Muhammad Hatta semasa presiden Soekarno sebagai berikut46: 44 Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelakasanaannya Dewasa Ini, Bandung: Penerbit Alumni, hal. 7 45 Ibid. hal. 7 46 Atiqah Nur Alami dalam Ganewati Wuryandari, loc.cit., hal. 46 56 1. Untuk mempertahankan kemerdekaan rakyat dan menjaga keamanan negara. 2. Untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok yang berasal dari luar negeri guna meningkatkan standar hidup masyarakat seperti nasi, obat-obatan, dan sebagainya. 3. Untuk memperoleh modal guna membangun kembali apa yang telah hancur atau rusak, dan modal untuk industrialisasi, konstruksi baru, dan mekanisasi pertanian. 4. Untuk memperkuat prinsip hukum internasional dan untuk membantu meraih keadilan sosial pada lingkup internasional, yang sejalan dengan piagam PBB khususnya artikel satu, dua, dan lima puluh lima. 5. Untuk memberikan penekanan khusus pada upaya membangun hubungan baik dengan negara tetangga. 6. Untuk membangun persaudaraan antar-negara melalui realisasi idealita dalam Pancasila, sebagai filosofi dasar bangsa Indonesia. Adapun pada masa Orde Baru, urgensi kepentingan nasional dirumuskan dalam tiga pokok sebagai berikut47: 1. Pembangunan nasional yang menyeluruh, dengan prioritas utama pada pembangunan ekonomi yang terarah, sesuai dengan Pelita. 47 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hal. 7 57 2. Keamanan dan kestabilan dalam negeri yang harus ditingkatkan ke wilayah sekeliling negara kita untuk dapat menjamin berlangsungnya pembangunan nasional. 3. Menjaga keutuhan wilayah negara Indonesia dimana dijadikan kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam alam demokrasi Pancasila. Di samping itu, pada masa ini, presiden Soeharto menegaskan kembali urutan prioritas daripada pemikiran strategis bangsa Indonesia, yaitu48: 1. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif diabadikan kepada kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. 2. Meneruskan usaha-usaha pemantapan stabilitas dan kerjasama di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya khususnya dalam lingkungan ASEAN, dalam rangka mempertinggi tingkat ketahanan nasional untuk mencapai ketahanan regional. 3. Meningkatkan peranan Indonesia di dunia internasional dalam rangka membina dan meningkatkan persahabatan dan kerjasama yang saling bermanfaat antara bangsa-bangsa. 4. Memperkokoh kesetiakawanan, persatuan, dan kerjasama ekonomi di antara negar-negara yang sedang membangun lainnya untuk mempercepat terwujudnya Tata Ekonomi Dunia baru. 48 Ibid, hal. 9 58 5. Meningkatkan kerjasama antar negara untuk menggalang perdamaian dan ketertiban dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial. Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Perumusan tujuan itu dipengaruhi oleh kekuatan serta kelemahan yang dimiliki Indonesia. Umum diketahui bahwa politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan merupakan bagian keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuantujuan nasional. Politik luar negeri adalah komponen dari kebijakan politik luar negeri yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi real dalam negeri. Potensi real yang dimiliki Indonesia sebagai bobot dari politik luar negeri diantaranya: a. Letak wilayah Indonesia yang geo-strategis karena berada di posisi silang, luas wilayah, kekayaan alam di darat, bumi, dan laut, besarnya jumlah penduduk, serta ideologi falsafah Pancasila. b. Serta jiwa kebangsaan yang konstruktif ketabahan dan keuletan menghadapi hambatan, gangguan, maupun ancaman serta semangat yang tangguh untuk mencapai kemajuan. Faktor-faktor diatas menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kedudukan penting di kawasan. Namun di samping potensi-potensi yang dimiliki Indonesia tersebut, Indonesia juga 59 memiliki sejumlah kelemahan dan keterbatasan. Di balik falsafah pemersatu Pancasila, Indonesia adalah negara dengan multi etnis, agama, dan budaya. Ini dapat menjadi suatu potensi perpecahan di tubuh nasional bangsa Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki keterbatasan kemampuan militer serta alat pertahanan untuk menjaga keamanan wilayah Indonesia. Keterbatasan dan kelemahan Indonesia yang lain dapat ditemui pada keterbatasan kualitas sumber daya manusia dalam mengelola potensi-potensi dalam negeri, keterbatasan perangkat hukum untuk mengatur dan menegakkan aturan dan ketertiban dalam negeri, keterbatasan teknologi, dan keterbatasan modal/finansial dalam mengelola apa yang ada. Berangkat dari kondisi real Indonesia, baik ditinjau dari segi geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-strategis tadi, Indonesia merumuskan polirik luar negerinya ke dalam rumusan-rumusan yang lebih dikenal dengan istilah lingkaran konsentris49. 49 Patrice Lumumba, Politik Luar Negeri Indonesia Lingkup Asia Tenggara, disampaikan pada perkuliahan Politik Luar Negeri Indonesia semester III di Unhas pada tanggal 16 April 2008 60 Gambar 1: Lingkaran Konsentris Politik Luar Negeri Indonesia Konsentris pertama menempatkan lingkungan atau kawasan Asia Tenggara. Konsentris berikutnya Asia Pasifik kemudian disusul konsentris dunia internasional secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik luar negeri dan pelaksanaannya sehingga dapat memudahkan pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Selain itu, juga sekaligus untuk dijadikan sebagai syarat antisipasi dari kemungkinan- kemungkinan yang terjadi di luar lingkaran Indonesia tersebut, apakah sesuai dengan keinginan Indonesia atau justru sebagai ancaman. Dengan kata lain, perumusan politik luar negeri Indonesia dan implementasinya memperhitungkan korelasi timbal balik antara faktor domestik Indonesia dengan faktor-faktor eksternalnya. 61 BAB IV PENGARUH ISLAM DALAM PELAKSANAAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA A. PENUNJANG KEKUATAN NASIONAL Memandang politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaannya hingga dewasa ini, tampak begitu jelas dinamika yang terjadi. Dinamika politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi dari perubahan yang terjadi di dalam negeri. Perubahan wajah politik dalam negeri Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan terhadap posisi Indonesia di mata internasional. Hal ini jelas memaksa para penentu kebijakan merumuskan politik luar negerinya sesuai dengan kekuatan yang ada dalam negeri dan menyelaraskannya dengan tujuan nasional serta kepentingan nasional yang hendak diperjuangkan di fora internasional. Gambaran politik luar negeri Indonesia sejak 1945 dapat ditelusuri melalui berbagai tahapan yang mencerminkan betapa dinamika, fleksibilitas, dan akseptualitasnya politik luar negeri Indonesia sebagai berikut50, 1. Masa Patriotik – Revolusioner Periode 1945-1966 merupakan era patriotik-revolusioner yang menandai dan merupakan era awal perkembangan hubungan 50 Mappa Nasrun, Guru Besar FISIP UNHAS, Strategi Pemanfaatan Potensi Domestik Untuk Menunjang Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia, disampaikan pada acara Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) Politik Luar Negeri RI dan New Global Architecture: Peningkatan Kapasitas Domestik dan Posisi Indonesia ke Depan di Makassar Golden Hotel pada tanggal 20 Oktober 2010 62 internasional Indonesia. Politik luar negeri dimainkan untuk mendapatkan legitimasi yang meluas dari masyarakat internasional atas kemerdekaan yang telah dicapai dan penentuan posisi Indonesia atas konstalasi perang dingin. Pada 1948 Indonesia memantapkan diri untuk menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif yang tidak bisa didikte oleh negara lain. Namun di era ini perjuangan diplomasi Indonesia sangatlah tidak mudah karena wujudnya kombinasi antara agresi militer I dan II Belanda pada 1947-1949 yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya. Munculnya pemberontakan-pemberontakan dari kelompokkelompok perjuangan seperti DI/TII, Kahar Muzakkar/ Abdul Aziz, RMS, G30/S/PKI dan sebagainya semakin membuat perjuangan Indonesia semakin sulit. Ditambah lagi oleh kegamangan perpolitikan nasional yang pemerintahan ditandai serta oleh kuatnya jatuh peran bangunnya individu kabinet Soekarno atau dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia. 2. Masa Stabilitas – Pembangunan Periode 1967-1998 adalah masa koreksi total terhadap peninggalan Orde Lama dan dimulainya pemobilisasian sumber daya luar negeri untuk mendukung pembangunan nasional. Kehadiran pihak luar dalam membangun struktur ekonomi Indonesia telah membawa konsekuensi logis terhadap jalannya roda pembangunan di Indonesia. Sikap inward-looking Presiden Soeharto yang lebih berfokus terhadap 63 penguatan potensi domestik sangat bersinergis terhadap menguatnya peran korporasi dan negara donor yang membiayai pembangunan Indonesia. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap garis linear politik luar negeri yang cukup terapresiasi secara internasional. Kondisi dalam negeri Indonesia yang relatif stabil dengan stabilitas keamanan yang terkendali, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dan mapannya pranata-pranata sosial berimbas terhadap peran Indonesia di lingkup internasional. Keterlibatan Indonesia dalam perdamaian dunia melalui pengiriman kontingen Garuda sebagai pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah bukti tingginya kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Swasembada beras 1983 telah mengantarkan Indonesia sebagai salah satu contoh lumbung pangan dunia. Dan ditunjuknya Indonesia sebagai ketua organisasi-organisasi internasional seperti Gerakan NonBlok, ASEAN, dan APEC adalah cerminan kualitas dan eksistensi Indonesia di mata internasional. 3. Masa Transition – Maturity Periode 1999-2010 merupakan proses pematangan diri dalam mencapai kedewasaan sebagai negara bangsa. Koreksi terhadap peninggalan Orde Baru yang korup dan totaliter memunculkan sikap kritis dan terbuka di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Kungkungan ketakutan dalam kehidupan berdemokrasi teredukasi dengan sendirinya ketika Indonesia mampu melewati estafet 64 kepemimpinan tanpa resiko yang berlebihan dan bahkan bisa memilih pemimpin yang berlegitimasi tinggi. Akan tetapi semua itu tidak dicapai dengan mudah. Wait and see masyarakat internasional membuat Indonesia harus bekerja dalam memenuhi harapan mereka karena banyaknya segmen yang terfragmentasi yang memunculkan korban yang tidak sedikit. Indonesia di masa ini mengalami degradasi kepercayaan internasional karena krisis ekonomi dan tingginya pelanggaran HAM sebagai imbas dari reformasi kebangsaan. Namun sejalan dengan itu lambat laun Indonesia sudah mampu meniti kembali dan mulai bergeliat membenahi struktur domestik. Sinyalemen ini mengantarkan Indonesia kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat internasional. Diterimanya Indonesia dalam forum G-20 salah satu contoh diakuinya Indonesia yang berjelajah global. Dinamika politik luar negeri Indonesia memang kerap bahkan lebih sering diwarnai oleh perubahan-perubahan domestik. Sebagaimana negaranegara berdaulat lainnya, perubahan yang terjadi di negara Indonesia tentu memberikan warna bagi konstelasi global. Sebaliknya, konstelasi global yang sifatnya dinamis dan terus berubah mau tidak mau akan memberikan warna serta pengaruh dalam dinamika politik luar negeri Indonesia. Sehingga, Indonesia dalam merumuskan kebijakan politik luar negerinya akan mempertimbangkan dua hal yang saling berkaitan, yaitu kondisi domestik (internal) serta konstelasi global (eksternal). 65 Dalam perkembangannya, Indonesia mengalami perubahan mendasar dalam lingkup domestik. Perubahan-perubahan tersebut tak lepas dari perubahan sistem politik yang berpengaruh pada lingkup domestik yang selanjutnya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Perubahan yang terjadi secara signifikan seakan menemukan ranahnya pada kondisi dalam negeri yang merefleksikan posisi bagi Indonesia di tingkat luar negeri. Determinan domestik merupakan satu unsur penting dalam politik luar negeri. Ia berfungsi sebagai sumber keputusan dan tindakan yang dituangkan dalam politik luar negeri suatu negara. Howard Lerntner menjelaskan bahwa determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang terbagi ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu: 1. Highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam. 2. Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik. 3. Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor ketidaksengajaan.51 Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa politik luar negeri dan politik dalam negeri tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan sub sistem politik suatu negara. Sehingga untuk lebih memahami sistem politik maka perlu rasanya melihat batas-batas diluar institusi politik yang lebih luas yang menyangkut konteks historis, sosial, ideologi, dan ciri-ciri psikologis yang menentukannya. Dalam hal 51 Howard Lentner dalam Anak Agung Bayu Parwita, loc.cit, hal. 56 66 ini, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lerntnar, penting untuk memahami sistem politik dengan melihat latar belakang politik seperti lokasi geografis, ekonomi, komunikasi, pendidikan, sejarah, ideologi, dan budaya politik.52 Dominan output politik luar negeri dalam prosesnya didapatkan dari kondisi-kondisi internal yang meliputi social sources, governmental sources, role and private sources. Faktor-faktor tersebut menjadi acuan dasar bagi pelaksanaan politik luar negeri. a. Lingkungan Geografis Kondisi-kondisi geografis suatu negara mempunyai dampakdampak dalam derajat tertentu terhadap politik diorganisasikan. Para konservatif, fasis, liberal, ataupun Marxis tidak ada yang menyanggah bahwa politik juga dipengaruhi oleh kondisi geografinya, meski derajat ketergantungan politik terhadap kondisi geografi belum mereka sepakati. Lingkungan geografis ini bisa bersifat sosiologis maupun geografis, sosial ataupun fisik, dan unsur-unsur sosial meningkat dalam mengatasi yang fisik dalam perbandingannya dengan kemajuan teknologi. Beberapa faktor yang bersifat geografis sangat menentukan pengaruhnya dalam kehidupan politik suatu negara diantaranya adalah luas wilayah, posisi serta bentuk wilayah, dan sumber daya alam. Meski bukan satu-satunya, teritorial sebuah negara merupakan satu unsur kekuatan nasional yang sangat penting. Sebuah negara dengan luas wilayah yang besar dan posisi yang strategis tentu 52 Budi Winarno, loc.cit, hal. 132 67 memiliki bargaining power yang lebih dibanding negara dengan luas wilayah yang sempit dan posisi yang kurang strategis. Begitu pula dengan unsur kekayaan alam suatu negara. Kelimpahan sumber daya alam akan sangat menentukan perkembangan sosial dan politik. Negara-negara yang diberi kelimpahan kekayaan alam mempunyai struktur politik mapan dan menjadi dominan dalam politik internasional, sedangkan yang lainnya gagal memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam yang diberikan kepadanya. Negaranegara miskin berjuang keras untuk menjadi kaya dan demi mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka. Sedangkan yang lainnya menjadi sumber konflik dan antagonism politik yang tidak ada habis-habisnya. Namun, nampaknya pemanfaatan yang efisien terhadap sumbersumber kekayaan alam akan memberikan modal bagi berlakunya sistem politik yang stabil, dan dalam interaksinya dengan sistem politik yang lain. Pandangan semacam ini menemukan relevansinya dalam sistem politik di Indonesia. Sejatinya, luasnya wilayah Indonesia, dengan posisi yang strategis di mata dunia, serta kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bisa menjadi potensi dan modal yang bisa dijadikan bargaining position dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Namun, kondisi kapabilitas sistem politik dalam negeri Indonesia tidak memiliki cukup kapabilitas ekstraktif sebagai akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akut. Akibatnya, 68 kekayaan sumber daya alam yang melimpah tidak memberikan kemampuan dan kinerja yang cukup bagus bagi sistem politik karena sumber-sumber tersebut gagal dimanfaatkan dengan baik. b. Struktur Demografis Jumlah, komposisi, dan tingkat persebaran penduduk akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan politik. Pengaruh yang diterima bisa mengarah pada sisi positif maupun negatif. Bagi sebagian negara, jumlah penduduk yang besar memberikan berbagai keuntungan seperti ketersediaan tenaga murah, pasar bagi produk-produk industri, dan lain sebagainya. Namun bagi sebagian sistem politik yang lain, jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan kesulitan karena memberikan banyak tekanan, seperti pengangguran yang terus menerus meningkat sementara tidak sebanding dengan jumlah lapangan yang tersedia. Di Indonesia, jumlah penduduk yang besar nampaknya merupakan hal yang terjadi lebih mengarah pada permasalahan kedua. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kurang memadainya akses pendidikan. Dengan demikian, perjuangan Indonesia untuk mengentaskan permasalahan dalam negeri akibat kondisi demografi memberi tantangan dalam diplomasi serta pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. 69 c. Kemampuan Ekonomi Sumber daya alam hanya menjadi bahan-bahan dasar yang memerlukan modal lebih lanjut seperti tenaga kerja dan kemampuan teknologi. Negara-negara kaya sumber daya alam dapat saja masih miskin dan terbelakang seperti Indonesia, sebagai akibat rendahnya kemampuan teknologi serta kurangnya tenaga kerja yang terampil. Selain itu, ketiadaan elit politik yang bersih dan mempunyai integritas bangsa juga mempengaruhi efektifitas penggunaan sumber-sumber daya alam ini bagi kemakmuran seluruh negeri. Kemakmuran ekonomi bagaimanapun juga akan mempunyai pengaruh terhadap daya kritis masyarakatnya terhadap pemerintahan. Jika kemakmuran mempunyai korelasi positif dengan pendidikan, maka dapat pula diasumsikan bahwa kemakmuran akan mendorong munculnya tuntutan-tuntutan baru bagi sistem politik seperti tuntutan akan partisipasi dalam sistem politik. Demikian pula dalam konteks internasional, kemampuan ekonomi suatu negara akan menentukan posisinya dalam politik internasional dan dalam hubungannya dengan negara lain. d. Historis dan Sosial Budaya Harus diakui bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan pengalaman dan sejarah kebangsaan yang bersinergis dengan pembentukannya sebagai negara bangsa. Nilai-nilai kepahlawanan telah melekat dalam diri bangsa Indonesia melalui perjuangan- 70 perjuangan fisik maupun non-fisik dalam meraih kemerdekaan. Sejarah pendirian bangsa ini menjadi satu momen penting yang menjadi acuan dan dasar kedaulatan yang diperoleh Indonesia hingga seperti sekarang ini. Namun demikian, meski heroisme yang terbentuk dan diyakini menjadi modal dasar dalam menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, Indonesia tetap dianggap sebagai negara dengan potensi konflik cukup tinggi. Indonesia terkenal seantero dunia sebagai negara yang kaya dengan perbedaan. Meski menjadi kebanggan, tetap saja tak bisa dipungkiri bahwa keberagaman etnis-ras, tradisi-sosial, serta agama-kepercayaan menjadi benih-benih yang dapat memicu konflik internal. Maka, kasus yang merebak di Indonesia dewasa ini dipenuhi dengan konflik suku maupun konflik agama. e. Pendidikan Sistem pendidikan akan sangat memberikan kontribusi penting dalam proses sosialisai politik. Di Indonesia, perubahan-perubahan besar seringkali terjadi sebagai hasil dari gerakan-gerakan sosial dan politik para mahasiswa di kampus-kampus, yang menuntut pemerintah melakukan perubahan. Pada masa Orde Baru, diskusi-diskusi politik banyak muncul di kampus-kampus. Mereka menjadi anggota kelompok masyarakat yang senantiasa menuntut partisipasi yang lebih besar dalam dunia politik. 71 Dalam banyak kesempatan para mahasiswa tersebut menjadi aktor yang sangat kuat dalam mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan. Bahkan, reformasi 1998 tidak dapat dilepaskan dari peran besar mahasiswa dalam menuntut secara terus menerus agar Orde Baru digulingkan. Kesadaran politik mereka yang tinggi ditunjang dengan akses informasi yang luas dalam beberapa tahun belakangan ini membuat mereka menjadi kekuatan demokrasi penting, dan menjadi penyulut terhadap banyak perubahan di Indonesia. f. Ideologi dan Budaya Politik Ideologi secara sederhana dipandang sebagai acuan dasar dan gagasan nilai yang menjadi patokan-patokan tindakan. Ideologi dalam konteks ini telah menjadi acuan tindakan bagi orang-orang yang menganutnya. Perbedaan ideologi pula yang membedakan bagaimana Uni Soviet yang sosialis-komunis sebelum keruntuhannya dengan Amerika yang kapitalis-liberal. Di Indonesia, perdebatan ideologi telah menyedot banyak perhatian di awal-awal kemerdekaan dan terus bergaung hingga beberapa waktu sesudahnya. Perdebatan ideologis ini mencapai puncaknya pada masa Orde Lama yang akhirya dituntaskan pada masa Orde Baru melalui paksaan diskursif.53 Pada masa Orde Lama, perdebatan ideologis ini sangat kuat terutama sebagai akibat masuknya komunis dalam konstelasi politik Indonesia. Partai-partai Islam juga mempunyai akar ideologis yang 53 Ibid, hal. 140 72 kuat, yang dipelopori oleh Masyumi. Kuatnya perdebatan ideologi ini membuat pemerintahan Orde Lama gagal melakukan agenda pembangunan. Sebaliknya, konflik horizontal menguat yang berujung pada perpecahan di masyarakat. Masyarakat terbagi dalam garis-garis ideologis yang beragam, yang satu dengan yang lain bermusuhan. Pada masa Orde Baru, perdebatan ideologis ini diselesaikan melalui penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Oleh karena itu, setiap organisasi sosial dan politik harus menggunakan asas Pancasila. Padahal, pada kenyataannya Pancasila sebagai ideologi belum pernah menjadi acuan tindakan yang benar-benar nyata. Pada masa reformasi pun, ideologi ini tetap menjadi ideologi negara, tapi daya tariknya telah semakin melemah. Menilik pada kekuatan serta kelemahan yang ada pada internal negeri Indonesia, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mengalami pasang surut. Indonesia semakin berusaha agar mampu memainkan perannya di dunia internasional secara maksimal. Untuk mewujudkannya diperlukan kekuatan nasional di dalam negeri terlebih dahulu dalam menciptakan internal power yang nantinya diperlukan dalam posisi tawar dalam hubungannya dengan negara lain dalam mencapai kepentingan nasional. Ada bagian dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor domestik, yang salah satunya adalah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Islam dimaknai sebagai komunitas atau kesatuan sosiologis masyarakat 73 Indonesia yang mendukung pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya kesatuan Republik Indonesia. Islam di Indonesia yang mayoritas, memiliki karakteristik masyarakat yang sangat khusus mengingat pengalaman awal proses masuknya Islam di Indonesia. Karakteristik Islam di Indonesia yang mendominasi warna negara ini berbeda dengan negara-negara Islam di belahan dunia lainnya. Akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal membentuk karakter masyarakat Islam Indonesia menjadi masyarakat Islam yang moderat. Inilah yang menjadi mayoritas dalam kaum muslim di Indonesia itu sendiri. Meski Indonesia bukan negara Islam, namun Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari identitas Islam. Walaupun awal dibentuknya negara ini lebih diwarnai oleh semangat nasionalis, dalam perjalanannya Indonesia masih belum mampu disebut sebagai negara murni sekuler. Islam masih menjadi determinan yang senantiasa diperhitungkan para pemimpin negeri sejak awal kemerdekaan negara ini hingga berkali-kali pergantian kekuasaan seperti sekarang. Hal ini ditandai dengan campur tangan pemerintah dalam urusan keagamaan masyarakatnya, dan juga sebaliknya, campur tangan agama dalam urusan pemerintahan masih sangat terasa. Partisipasi Islam dalam politik Indonesia mulai tampak sejak masa pendudukan Jepang. Pembentukan Masyumi pada Oktober 1943 menyatukan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dalam satu 74 kesatuan pandangan dalam perjuangan. Meski begitu, perdebatan mengenai dasar negara terus mencuat setiap kali Indonesia berniat untuk membahas kembali undang-undang dasarnya. Hasil-hasil amandemen UUD mengakibatkan perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan yang juga mengakibatkan perubahan pada komitmen kebangsaan. Dari perspektif ini patut diperhatikan perkembangan di beberapa daerah yang mulai memberlakukan syariat Islam. Peran Islam dalam perkembangan perpolitikan di Indonesia semakin menemukan tempatnya sejak reformasi berlangsung. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia. Hal ini membuka jalan bagi keterbukaan di semua lini, termasuk umat Islam Indonesia dalam memainkan perananannya serta memberikan kontribusi dalam perpolitikan bangsa Indonesia. Di Indonesia, proses demokratisasi diyakini tidak akan berjalan lancar dan terarah dengan baik jika tidak didukung oleh kesadaran bagian terbesar warga negara yang terdiri dari kaum muslimin akan hak dan kewajiban sosial-politik mereka.54 Islam memiliki keterwujudan sebagai sistem kepercayaan, ibadah, perilaku, dan sekaligus merupakan tatanan sosial serta kode kehidupan yang lengkap. Islam membicarakan seluruh dimensi kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketahanan, politik, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan manusia di dunia. Karenanya, Islam berbicara 54 Nurcholis Madjid, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, hal.58 75 universal, tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, namun juga meletakkan peraturan-peraturan dasar mengenai hubungan-hubungan antar manusia dan kepentingan-kepentingan mereka secara umum, dengan tujuan kesejahteraan.55 Dari keuniversalan inilah, Islam bertujuan menyatukan antara dunia dan akhirat dalam suatu organisasi spiritual, dan organisasi yang tidak memisahkan antara tugastugas keduniaan dan tugas-tugas keagamaan. Secara mendasar, Islam tidak pernah bergeser dari tujuan penyatuan itu meski terjadi perubahanperubahan pada bentuk-bentuk lahirnya atau adat istiadat masyarakat.56 Dari pandangan tersebut di atas, umat Islam di Indonesia hendak menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Membicarakan Islam dan politik di Indonesia melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam karena sistem politik Islam yang sifatnya multiinterpretatif. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan –mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik.57 Atas dasar inilah, butuh pemahaman bahwa perjuangan politik di Indonesia memang diwarnai dengan semangat Islam yang tampak pada pembentukan partai-partai Islam yang tumbuh dan berkembang sejak era 55 Jhon L. Esposito, 1994, Islam dan Pembangunan Ensiklopedi MasalahMasalah (terj.), Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 167 56 Jhon L. Esposito, 1997, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses, dan Tantangan (terj.), Jakarta: Rajawali Press, hal. 215 57 Bachtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 55 76 Orde Lama hingga Reformasi berlangsung. Namun agaknya butuh disadari bahwa perjuangan itu belum mampu merefleksikan Islam secara total. Dari pengalaman perpolitikan di Indonesia, umat Islam Indonesia memainkan peran yang cukup signifikan dalam suatu komunitas yang terangkum dalam wadah organisasi, baik organisasi keagamaan maupun organisasi politik. Meski sebelumnya penulis menerangkan bahwa kondisi tersebut tidak mampu merefleksikan Islam sebagai sebuah agama secara total, namun penulis memandang bahwa ini mampu dijadikan sebagai sebuah acuan dalam menjelaskan peran Islam sebagai determinan yang mempengaruhi kondisi domestik. Selanjutnya, melalui komunitas dan organisasi Islam nasional yang ada di Indonesia, peran dan partisipasi umat Islam dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah berjalan secara lebih terorganisir. Pandangan dan legitimasi dari lembaga-lembaga seperti MUI, Muhammadiah, NU, ICMI, dan PKS seringkali menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan politis. Termasuk juga hal-hal yang berkaitan dengan agenda politik luar negeri Indonesia, khususnya yang menyangkut isu seputar Islam dan dunia Islam. Ini jelas menandakan bahwa Indonesia tidak mampu melepaskan diri dari kondisi dalam negeri, yang menuntut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam hubungannya ke luar negeri. 77 B. PENUNJANG PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang ditujukan untuk kepentingan nasional. Dalam prakteknya, selama enam puluh satu tahun merdeka, pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif ini kerap mengalami pasang surut. Dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, pengaruh Islam dapat dikatakan tidak terlalu terasa pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, meski bukan berarti tidak memiliki pengaruh sama sekali. Pada masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945-1949, terdapat tokoh Islam yang menjadi menteri luar negeri, yaitu Agus Salim yang berasal dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tujuan politik luar negeri saat itu adalah meraih dukungan sebesar-besarnya bagi perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini menarik untuk dikaji bahwa negara-negara di Timur Tengah adalah pihak yang pertama kali memberikan pengakuan kepada kemerdekaan Indonesia yang sudah dapat diduga didasarkan pada solidaritas Islam dan semangat antikolonialisme.58 Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), terdapat beberapa perdana menteri dan menteri luar negeri yang berasal dari Partai Masyumi, tetapi mereka juga tidak membawa pengaruh Islam dalam politik luar negeri Indonesia. Perdana Menteri Natsir dan Sukiman justru menjalankan politik luar negeri yang 58 Imron Cotan, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Islam dan Polugri, diambil dari Republika online http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=298281&kat_id=16 diakses pada tanggal 19 Juli 2011 78 pro-Barat. Setelah PNI berkuasa dan terutama setelah dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tema yang diangkat dalam pelaksanaan politik luar negeri saat itu adalah antikolonialisme dan tidak mengangkat solidaritas Islam. Setelah Orde Baru berkuasa, politik luar negeri diarahkan sebagai alat pembangunan dan sama sekali tidak memberi ruang kepada pihak oposisi untuk berpartisipasi. Satu-satunya hal yang dapat dikatakan memberikan warna Islam pada politik luar negeri Indonesia sampai akhir tahun 1990-an adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah KTM OKI pada tahun 1993. Hingga pada akhir kekuasaan Orde Baru, peranan Islam dalam politik dalam negeri Indonesia mulai menggeliat. Hal ini juga mempengaruhi pelaksanaan politik luar negeri. Sejak saat itu pemerintah Indonesia mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Islam, yang tercermin dari aktifnya bangsa Indonesia dalam pembentukan KTT D-8. Selama perjalanan sejarah Indonesia harus diakui bahwa proses pengambilan keputusan politik luar negeri tampaknya sangat diwarnai oleh faktor personal dari individu pemimpin nasional dan kondisi politik domestik. Seperti telah ditekankan sebelumnya, proses demokratisasi di Indonesia telah membuka lebar koridor pengambilan kebijakan yang tidak terbatas pada figur individu pemimpin atau lembaga yang dominan secara politis seperti di masa lalu. Tapi juga memberi kesempatan pada berbagai aktor sosial, politik lain seperti DPR, LSM, akademisi, pers, maupun 79 pemuka agama untuk turut berkontribusi dalam proses perumusan kebijakan, termasuk kebijakan politik luar negeri. Karenanya, pengaruh Islam pada pelaksanaan politik luar negeri Indonesia mulai menguat setelah masa refomasi. Setelah berakhirnya pemerintahan Soeharto, pengaruh Islam yang tadinya terpinggirkan meningkat pada masa kepresidenan Habibie. Dengan asumsi bahwa politik luar negeri merupakan perpanjangan politik dalam negeri, sangatlah wajar jika pelaksanaan politik luar negeri diwarnai pula oleh aspirasi kalangan umat Islam. Sebagai bagian dari sistem politik Indonesia, umat Islam yang ada di Indonesia mempunyai artikulasi kepentingan dalam menyampaikan apa yang menjadi keinginan atau kepentingan Islam yang ada di Indonesia pada khususnya dan kepentingan kelompok Islam yang ada di dunia pada umumnya. Hal ini tampak jelas dari sikap pemerintah Indonesia yang secara tegas berkomitmen menutup pintu hubungan diplomatik dengan Israel. Oleh karena itu umat Islam yang ada di Indonesia sangat peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu global seputar Islam. Dalam masa pasca Orde Baru, Indonesia semakin dikenal dunia tidak sekadar negara Muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Dengan posisi dan status seperti itu, tidak heran kalau banyak kalangan, baik di Dunia Barat maupun di Dunia Muslim, yang berharap agar Indonesia dapat memainkan 80 peran lebih besar di tingkat internasional. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia dipandang masyarakat dunia sebagai negara yang dapat mensinergikan antara Islam dan demokrasi. Dengan predikat tersebut, Indonesia memiliki peran penting dalam tata kelola dunia yang lebih adil, damai dan beradab sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil 'alamin) yang dengan sendirinya memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Di bawah rubrik `ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial' seperti termaktub pada pembukaan UUD 1945, memang menjadi kewajiban konstitusi bangsa Indonesia untuk turut menghindarkan perbenturan antara Islam dan Barat.59 Sejak saat itu Indonesia memposisikan dirinya sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan beraliran Islam moderat. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi pandangan yang keliru tentang Islam. Dengan keadaan ini, Indonesia menunjukkan pada dunia sikap mendukung penuh dalam pemberantasan jaringan terrorisme global. Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya telah membentuk tiga lembaga utama bagi penanggulangan terorisme yaitu, 59 Ibid 81 - South East Asia Regional Centre for Counter-Terrorism (SEARC-CT) di Kuala Lumpur; - International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok; dan - Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Indonesia. Keberhasilan langkah-langkah yang telah ditetapkan itu sangat penting bagi Indonesia. Ancaman aksi-aksi terorisme internasional ini, khususnya yang terjadi di wilayah Indonesia, memiliki dampak ganda yang bersifat destruktif. Pertama, persepsi asing terhadap Indonesia tidak akan berubah bahwa Indonesia tidak mampu melakukan langkah-langkah preventif yang diperlukan (kebijakan anti-terorismenya kurang keras) atau Indonesia tidak berdaya dalam menjaga keamanan dan keselamatan orangorang dari tindakan terorisme tersebut. Kedua, prasangka bahwa Indonesia telah menjadi sarang bagi para pelaku aksi terorisme internasional akan terus berlanjut dan hal itu akan membawa implikasi serius terhadap citra masyarakat muslim di Indonesia. Sikap yang diambil Indonesia ini untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia sebagai negara Pancasilais yang menganut prinsip bebas aktif senantiasa mempertahankan tujuan politik luar negeri Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Dengan semangat inilah Indonesia memposisikan dirinya dalam percaturan politik dunia. Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim, yang juga sebagai anggota OIC (Organization Islamic Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di 82 Timur Tengah khususnya mendukung Palestina sebagai negara merdeka dari pendudukan zionisme Israel. Dalam kerangka upaya-upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, Indonesia senantiasa mengadakan promosi dan peningkatan peran secara aktif di setiap forum internasional bagi penyegeraan penyelesaiannya masalah Palestina secara adil melalui PBB dan pengakhiran pendudukan Israel, sebagai bagian dari upaya ikut menciptakan perdamaian dunia. Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina berdasarkan Resolusi DK-PBB No. 242 (1967) dan No. 338 (1973), yang menyebutkan pengembalian tanpa syarat semua wilayah Arab yang diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri dengan Al-Quds As-Sharif (Jerusalem) sebagai ibukotanya serta prinsip land for peace. Indonesia selalu menyambut baik upaya perdamaian yang sejalan dengan resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan oleh baik PBB maupun OKI, termasuk di antaranya Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al Sheikh (1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map) gagasan quartet AS, Russia, PBB dan UE yang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi Internasional Ulama sedunia pada bulan April 2007 di Bogor. Disini para ulama sedunia menyuarakan penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan Palestina. Pertemuan itu mengeluarkan pernyataan agar Amerika Serikat 83 tidak menjadi pemecah-belah umat Islam di Timur Tengah yang ditenggarai para ulama sebagai alasan tidak terselesaikannya perdamaian di dunia Arab. Indonesia juga mempromosikan Islam yang moderat, toleran, solidaritas, serta meningkatan dialog lintas budaya dan peradaban, karena pada saat ini masyarakat internasional salah persepsi bahwa penyerangan yang dilakukan oleh segelintir orang muslim terhadap kepentingan barat dalam bentuk teror dipahami sebagai benturan antar peradaban, tapi melainkan terjadi karena ketidakadilan dan ketimpangan sosial di dunia. Untuk melaksanakan pembangunan nasional, Indonesia memerlukan kondisi lingkungan regional dan internasional yang kondusif. Untuk tujuan tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam memperkuat kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Secara obyektif dapat dipakai asas lingkaran konsentris untuk menakar kedekatan geografis dan prioritas kepentingan nasional dalam kebijakan luar negeri. Perhatian lebih besar wajar diberikan bagi pengembangan hubungan regional di Asia Tenggara, serta Asia Timur dan Wilayah Pasifik. Selanjutnya jangkauan hubungan diperluas meliputi 84 kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah, hingga menembus wilayah Eropa dan Amerika. Disamping itu, dengan melihat kondisi umum yang terjadi di internal wilayah negara Indonesia, serta mempertimbangkan permasalahan dan sasaran pembangunan, maka dalam RPJMN ditetapkan arah kebijakan dan strategi dari politik luar negeri itu sendiri. Adapun yang menjadi fokus prioritas politik luar negeri Indonesia adalah: 9) Peningkatan peran dan kepempimpinan Indonesia dalam ASEAN; 10) Peningkatan peran Indonesia dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia; 11) Pemantapan pelaksanaan diplomasi perbatasan; 12) Peningkatan pelayanan dan pelindungan WNI/BHI di luar negeri; 13) Peningkatan peran Indonesia dalam pemajuan Demokrasi, HAM, Lingkungan Hidup, dan Perlindungan Kekayaan Budaya; 14) Pemantapan kemitraan strategis di kawasan Aspasaf dan Amerop; 15) Peningkatan pelaksanaan diplomasi ekonomi; dan 16) Peningkatan kerjasama Selatan-Selatan. Berdasarkan prioritas dan fokus bidang tersebut, maka peran yang lebih bermakna perlu dilakukan dalam fora regional dan internasional, seperti di lembaga ASEAN (Association of South East Asian Nations) dan APEC (Asia Pacific Economic Community). Kepemimpinan Indonesia di lingkungan ASEAN, sebagai bagian dari strategi memperkuat lingkaran pertama kebijakan politik luar negeri kita, juga tercermin secara baik pada 85 keberhasilan menuangkan gagasan untuk membentuk komunitas ASEAN yang dirumuskan dalam tiga rencana aksi bersama ASEAN, yakni komunitas keamanan, komunitas ekonomi, dan komunitas sosial budaya.60 Begitu pula partisipasi yang kongkrit dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Segenap aspek hubungan luar negeri diselenggarakan dengan prinsip: kesetaraan, saling menghormati kedaulatan, saling menguntungkan, penciptaan stabilitas regional dan perdamaian dunia, serta penghargaan terhadap martabat kemanusiaan. Dalam perjalanan politik luar negeri Indonesia dan penyelenggaraan hubungan luar negeri sesungguhnya telah banyak hal yang dilakukan dan dicapai dengan baik. Penumbuhan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan dinamika penduduk yang mayoritas beragama Islam dan demokrasi, perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif, pendorongan pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan warga negara yang konsisten, merupakan dasar-dasar kebijakan yang terus dikembangkan. Seluruh pencapaian itu sesungguhnya menjadi aset penting bagi pelaksanaan politik luar negeri dan penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia. Di samping itu, kedudukan geo-politik yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam 60 Heru Susetyo, Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Tantangan Peran Diplomasi PKS, http://pks-jepang.org/archives/458 diakses pada tanggal 19 Juli 2011 86 (SDA), populasi, proses demokratisasi yang semakin baik merupakan kekuatan dan keunggulan komparatif sebagai potensi untuk membangun kepemimpinan Indonesia di tataran global melalui inisiatif dan kontribusi pemikiran komitmen Indonesia pada terbentuknya tatanan hubungan internasional yang lebih adil dan berimbang. 87 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan 1. Indonesia mengalami perubahan-perubahan mendasar dalam lingkungan domestik, regional, dan lingkup internasional. Perubahan politik mendalam serta proses demokratisasi terus berlangsung di semua aspek sosial politik Indonesia. 2. Islam memberikan pengaruhnya dalam politik luar negeri. Dalam lingkup internal, Islam dimaknai sebagai suatu komunitas atau satu kesatuan sosiologis masyarakat Indonesia yang mendukung pencapaian tujuan nasional, yaitu terwujudnya kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks internasional, Islam dimaknai sebagai faktor determinan dalam hubungan dengan negara-negara lain khususnya isuisu global seputar Islam, sekaligus sebagai penunjang dalam mewujudkan tujuan politik luar negeri yaitu menjaga perdamaian dunia. 3. Karena itu, partisipasi masyarakat muslim dalam partai politik misalnya, bukanlah dari suatu akhir dari tujuan pembangunan politik, akan tetapi merupakan langkah awal dalam menata kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang baik. 4. Namun, perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara Islam, sehingga peran Islam dalam politik luar negeri Indonesia hanya sebatas penunjang kepentingan nasional. Hal ini jelas memberi gambaran utuh 88 Indonesia sebagai negara berdaulat yang menjalankan politik luar negeri dengan menempatkan kepentingan nasional sebagai hal pokok yang harus diperjuangkan. B. Saran-Saran 1. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim yang bersifat moderat sudah selayaknya menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan kepentingan Islam di tingkat dunia. 2. Selain itu, Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai satu ajaran dalam kehidupan agama namun juga perlu dijadikan acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan politis termasuk hal yang berkaitan dengan politik luar negeri. Karenanya, umat Islam di Indonesia diharapakan mampu untuk memberikan kontribusi dalam memberikan warna bagi perpolitikan bangsa Indonesia sesuai dengan prinsip dan tujuan Islam yaitu menciptakan kesejahteraan. 3. Kontribusi umat Islam juga diharapkan mampu memformat bangsa Indonesia dalam menjalankan kebijakan politik, baik politik dalam negeri dan luar negeri yang lebih bijak serta menjamin terlaksananya kepentingan nasional bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural dan multireligi. 4. Islam di Indonesia di harapkan mampu untuk menjadi satu determinan pembangun sebagai satu identitas bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan global. 89