BLUE PRINT RENCANA PENGEMBANGAN PERIKANAN SETNET DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh perikanan komersil skala kecil (artisanal fisheries) yang dilakukan oleh nelayan tradisional di wilayah perairan pantai menggunakan beragam jenis alat tangkap. Kondisi ini telah menimbulkan permasalahan yang cukup serius sehingga mengancam keberlanjutan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut diantaranya adalah: (1) intensitas penangkapan ikan di sebagian besar perairan pantai sudah tergolong tinggi, (2) penggunaan bahan/alat tangkap yang bersifat destruktif dan tidak selektif, (3) produktivitas penangkapan yang rendah, (4) penanganan ikan hasil tangkapan yang buruk, dan (5) adanya hambatan manajerial dan permodalan usaha. Kondisi ini telah berakibat pada penurunan stok ikan, degradasi lingkungan perairan, konflik antar nelayan dalam perebutan wilayah penangkapan, kemiskinan nelayan secara berkepanjangan, dan rendahnya mutu hasil tangkapan yang berdampak pada harga jual ikan yang rendah. Krisis ekonomi yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan harga-harga biaya produksi khususnya BBM, juga telah mengakibatkan semakin sulitnya kehidupan nelayan tradisional, sehingga usaha penangkapan yang dilakukan menjadi sangat tidak efisien. Permasalahan dan hambatan tersebut di atas telah terjadi karena belum maksimalnya kebijakan pemerintah dalam mengelola perikanan pantai secara keberlanjutan (sustainable coastal fisheries) untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi masyarakat nelayan tradisional. Sistem open access, yaitu pemanfaatan sumberdaya ikan secara terbuka dalam pola pengelolaan perikanan konvensional di Indonesia telah berakibat menurunya kualitas sumberdaya dan lingkungan perairan pantai khususnya di wilayah-wilayah padat penduduk. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka diperlukan penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan dan efisien dengan tingkat produktivitas yang baik dan stabil, sehingga dapat memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sejalan dengan kebijakan perikanan tangkap untuk pengelolaan perairan pantai (jalur penangkapan I sejauh 4 mil) dan berdasarkan arahan menteri kelautan dan perikanan tentang pemberdayaan pesisir, efisiensi BBM, pemberdayaan nelayan yang kesemuanya diarahkan pada penggunaan alat tangkap pasif, dan juga upaya mempertahankan daya dukung lingkungan maka jenis teknologi yang dapat diterapkan adalah setnet (atau teichi-ami dalam bahasa Jepang). Melalui teknologi ini pengelolaan sumberdaya perikanan pantai menjadi prioritas utama dalam meningkatkan keterampilan, kewirausahaan, kebersamaan, dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Set net merupakan jenis teknologi penangkapan ikan unggulan yang berbasis masyarakat (community based technology). Teknologi ini telah lama berkembang dan sangat populer digunakan di sepanjang perairan pantai Jepang, memiliki keragaman dalam struktur dan ukurannya. Hingga saat ini set net telah berhasil diterapkan pada berbagai lingkungan perairan, spesies target dan skala usaha yang berbeda. Meskipun alat tangkap sejenis set net dijumpai penggunaannya di seluruh dunia, namun Jepang diketahui sebagai negara yang mengembangkan teknologi set net dan menggunakannya secara meluas hampir di seluruh perairan pantainya. Hal ini didukung oleh lingkungan perairan pantai yang kaya hara (nutrient-rich water) dimana arus hangat kuroshio dan oyashio bergerak sepanjang perairan pantai dan berbagai jenis ikan melakukan ruaya menuju pantai secara musiman. Dari hasil penelusuran pustaka, ternyata teknologi set net jenis otoshi-ami telah diuji coba pertama kali di Indonesia sejak tahun 1956 (Soewito, 2000). Uji coba selanjutnya untuk tujuan penelitian ilmiah dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut pada tahun 1980. Kemudian uji coba penerapan set net terhenti, dan dimulai kembali tahun 2006 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap bekerjasama dengan PT. Sorong Mina Raya di Teluk Gam, Papua Barat tahun 2006. Uji coba penerapan set net yang didukung oleh pendanaan JICA (grassrot project for community development) dengan melibatkan tenaga ahli dan teknisi dari Jepang dilakukan di Teluk Bone, Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone dan UNHAS, sejak tahun 2007 hingga saat ini masih berlangsung. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas maka perlu disusun cetak biru (Blue Print) Perikanan Set Net di Indonesia untuk mengatasi berbagai masalah nelayan dan masalah perikanan khususnya pada perikanan pantai (coastal fisheries). Perkembangan setnet di jepang, di thailand, ujicoba bone dan pilot projec BBPPI Arahan menteri : pemberdayaan pesisir, BBM, nelayan Karakteristik pengelolaan dan kunci keberhasilan setnet 1.2 Landasan Hukum Undang Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, KEPMENTAN No. 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-Jalur penangkapan ikan, Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, Keppres BBM, pemberdayaan nelayan kecil, rancangan PERMEN jenis-jenis API WPP RI, ketahanan pangan, ketenagakerjaan 1.3 Metode Pendekatan Dalam pelaksanaan penyusunan Blue Print Rencana Pengembangan Perikanan Setnet di Indonesia ini akan digunakan beberapa pendekatan dengan maksud agar tujuan dan sasaran yang diharapkan dapat dicapai semaksimal mungkin. Pendekatan-pendekatan utama yang dinilai perlu digunakan adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Teoritis Pendekatan teoritis merupakan pendekatan dengan menggunakan dasar dan pedoman yang berasal dari text book (buku referensi) berupa teori atau model-model yang dapat digunakan di dalam penyusunan Blue Print Rencana Pengembangan Perikanan Setnet di Indonesia. Teori yang berupa model atau formula tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menganalisa data yang didapat dari hasil survei (data primer dan sekunder). 2. Pendekatan Empiris Pendekatan empiris merupakan pendekatan dengan menggunakan dasar dan pedoman yang berasal pengalaman atau studi kasus yang sama baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pedoman ini dapat berupa model-model atau konsep yang dapat digunakan di dalam penyusunan Blue Print Rencana Pengembangan Perikanan Setnet di Indonesia. Pendekatan empiris ini merupakan hasil dari kegiatan studi pustaka yang dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam penyusunan Blue Print Rencana Pengembangan Perikanan Setnet di Indonesia Selanjutnya metode yang digunakan untuk menganalisa data dan informasi serta merumuskan hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Metode Analisis SWOT Dalam rangka merumuskan tingkat kepentingan pada masing-masing aspek akan dilakukan metode Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT). Semua aspek tingkat kepentingan akan dikaji dari aspek SWOT, dengan demikian dapat diketahui bobot relatif tingkat kepentingan kegiatan masing-masing aspek. Dalam hal ini pendekatan tingkat kepentingan masing-masing aspek yang dilakukan adalah berdasarkan komponen dasar dalam pengembangan setnet 2. Metode Analisis B/C ratio Metode ini digunakan untuk menilai tingkat kelayakan investasi maupun hasil yang diperoleh dalam rencana pengembangan alat tangkap setnet yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam Penyusunan Blue Print Rencana Pengembangan Perikanan Setnet di Indonesia 3. Metode Analisa Kualitatif Terhadap Kunci Keberhasilan Metode kualitatif adalah suatu cara menganalisa data dan informasi berikut hasil yang diharapkan terhadap aspek-aspek atau komponen kunci keberhasilan dari suatu kegiatan dalam bentuk deskripsi secara informatif, dengan demikian diharapkan rencana kegiatan tersebut dapat dimengerti secara jelas. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup wilayah pengembangan Perikanan Set net adalah sebagai berikut : 1. Peluang penempatan set net di pulau-pulau kecil dan terluar Pulau-pulau kecil dan terluar berpotensi utk dikembangkan perikanan set net, dengan memperhatkan : Mengembangkan pemberdayaan masyarakat PPK, dan aspek pemasarannya; Aksesbilitas lokasi dan biaya pemasangan alat (secara ekonomi menguntungkan); Dapat ikut menjaga kedaulatan NKRI (pemasangan bendera pada alat dsb) Ramah lingkungan; Masih tersedianya stock sumberdaya ikan; Kondisi perairan yang sesuai. 2. Peluang penempatan set net di pulau-pulau dengan jalur kapal pengumpul ikan hidup (ekonomis & ornamental) 3. Peluang penempatan set net di kawasan-kawasan keramba apung dan marine culture (fish cage) BAB II POTENSI PENGEMBANGAN SETNET 2.1 Gambaran Umum Set Net Set net merupakan jenis teknologi penangkapan ikan unggulan yang berbasis masyarakat (community based technology). Teknologi ini telah lama berkembang dan sangat populer digunakan di sepanjang perairan pantai Jepang, memiliki keragaman dalam struktur dan ukurannya. Hingga saat ini set net telah berhasil diterapkan pada berbagai lingkungan perairan, spesies target dan skala usaha yang berbeda. Meskipun alat tangkap sejenis set net dijumpai penggunaannya di seluruh dunia, namun Jepang diketahui sebagai negara yang mengembangkan teknologi set net dan menggunakannya secara meluas hampir di seluruh perairan pantainya. Hal ini didukung oleh lingkungan perairan pantai yang kaya hara (nutrient-rich water) dimana arus hangat kuroshio dan oyashio bergerak sepanjang perairan pantai dan berbagai jenis ikan melakukan ruaya menuju pantai secara musiman. Perikanan set net tergolong kedalam alat tangkap pasif, yang menangkap ikan dengan cara menghadang dan mengarahkan kelompok ikan yang beruaya ke arah pantai, sehingga masuk terperangkap ke dalam bagian kantong set net. Dari semua jenis alat tangkap yang tergantung pada kelimpahan relatif kelompok ikan, maka keberhasilan pengoperasian set net akan dipengaruhi oleh berbagai faktor alam seperti kondisi dasar laut, arus dan perubahan migrasi musiman dari spesies ikan. Sementara itu, dampak pengoperasian set net terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut adalah minimal, sehingga set net diketahui sebagai salah satu alat tangkap ramah lingkungan. Disamping sebagai alat tangkap ramah lingkungan, pengoperasian set net pada suatu wilayah perairan yang tepat akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut : (1) Memanen ikan secara kontinyu, yaitu dengan menunggu datangnya kelompok ikan (fish schooling) yang melakukan ruaya (migrasi) menyusuri pantai, kemudian diarahkan masuk terperangkap kedalam bagian kantong set net. (2) Kepastian waktu dan lokasi pemanenan yang dekat dengan pantai, sehingga operasional kapal angkut tidak memerlukan banyak BBM. (3) Set net bersifat mengurung ikan dan ikan dipanen dalam kondisi hidup (kualitas kesegaran ikan terjamin). (4) Set net dapat berfungsi sebagai shelter bagi kehidupan biota laut. (5) Dapat dijadikan objek wisata bahari (eco-tourism). Selain itu, pengoperasian set net berbasis masyarakat (community based management). Pengembangan dan pengelolaan set net sesuai untuk diorganisir oleh masyarakat nelayan lokal yang dikelola secara ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat diintegrasikan dalam manajemen dan pengembangan wilayah pantai. Meskipun teknologi set net merupakan teknologi yang sudah teradaptasi baik dengan kondisi lingkungan perairan Jepang yang unik dan sosial masyarakatnya, tidak berarti teknologi ini tidak dapat diterapkan di wilayah perairan lain di dunia. Karakteristik lingkungan perairan yang sesuai bagi pengoperasian set net terdapat hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di wilayah perairan pantai Indonesia yang banyak memiliki teluk dan pulau-pulau kecil. Penerapan teknologi set net telah berhasil baik di beberapa negara di luar Jepang seperti Taiwan, Costarica dan Filipina. Thailand dan Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang dalam lima tahun terakhir ini cukup intense melakukan uji coba penerapan set net, yang diantaranya secara langsung mendapatkan asistensi teknis (technical assistance) dari tim ahli dari Jepang dan SEAFDEC. 2.1.1 Setnet skala kecil 2.1.1.1 Bentuk dan ukuran setnet 2.1.1.2 Kondisi perairan (sampai kedalaman berapa) 2.1.1.3 Target spesies dan produksi 2.1.1.4 Pengelolaannya (jumlah nelayan yang mengelola) 2.1.1.5 Unit pendukung 2.1.2 Setnet skala menengah 2.1.2.1 Bentuk dan ukuran setnet 2.1.2.2 Kondisi perairan (sampai kedalaman berapa) 2.1.2.3 Target spesies dan produksi 2.1.2.4 Pengelolaannya (jumlah nelayan yang mengelola) 2.1.2.5 Unit pendukung 2.1.3 Setnet skala besar 2.1.3.1 Bentuk dan ukuran setnet 2.1.3.2 Kondisi perairan (sampai kedalaman berapa) 2.1.3.3 Target spesies dan produksi 2.1.3.4 Pengelolaannya (jumlah nelayan yang mengelola) 2.1.3.5 Unit pendukung 2.2 2.2.1 Gambaran Umum Lokasi Pengembangan Kondisi wilayah pulau-pulau kecil dan terluar 2.1.1.1 Posisi geografis dan aksebilitas 2.1.1.2 Kondisi bathimetri dan arus perairan 2.1.1.3 Kondisi penduduk dan nelayan 2.1.1.4 Kondisi penggunaan perairan (adakah peraturannya???) 2.2.2 Kondisi wilayah pulau-pulau dengan jalur kapal pengumpul ikan hidup (ekonomis & ornamental) 2.2.2.1 Posisi geografis dan aksebilitas 2.2.2.2 Kondisi bathimetri dan arus perairan 2.2.2.3 Kondisi penduduk dan nelayan 2.2.2.4 Kondisi penggunaan perairan (adakah peraturannya???) 2.2.3 Kondisi wilayah kawasan-kawasan keramba apung dan marine culture (fish cage) 2.2.3.1 Posisi geografis dan aksebilitas 2.2.3.2 Kondisi bathimetri dan arus perairan 2.2.3.3 Kondisi penduduk dan nelayan 2.2.3.4 Kondisi penggunaan perairan (adakah peraturannya???) 2.3 Potensi Pengembangan 2.3.1 Potensi setnet Berdasarkan natural resources 2.3.2 Potensi setnet Berdasarkan jalur pemasaran 2.3.3 Potensi setnet Berdasarkan keterkaitan dengan penguatan marine culture 2.3.4 Potensi setnet Berdasarkan kemampuan kelembagaan masyarakat BAB III STRATEGI PENGEMBANGAN 3.1 Kebijakan dan Arahan Pembangunan 3.1.1 Berdasarkan arahan menteri MKP 2009 3.1.2 Berdasarkan BBM 3.1.3 Berdasarkan UU No. 27 tahun 2007 (HP3, peraturan jalur, RPPPK) Menurut undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka 3.1.4 Berdasarkan RPJM Nasional 3.1.5 Berdasarkan RTRWN 3.2 Analisa Strategi 3.2.1 Analisa teoritis 3.2.2 Analisa empiris 3.2.3 Analisa B/C ratio 3.2.4 Analisa SWOT Strategi pengembangan perikanan setnet dirumuskan berdasarkan analisis SWOT, dengan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Faktor-faktor SWOT tersebut diuraikan berikut ini: Kekuatan (Strength): 1. Set net termasuk alat penangkap ikan yang selektif dan ramah lingkungan 2. Hasil tangkapan ikan dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar 3. Biaya operasional rendah dan hemat BBM 4. Dapat sebagai obyek marine ecotourism 5. Mampu membuat ekosistem baru Kelemahan (Weakness): 1. Memerlukan area khusus untuk pengoperasian set net secara biologis (ruaya) 2. Ketergantungan pada kondisi lingkungan secara fisik (oceanografi) 3. Bersifat pasif 4. Mengganggu operasi API lainnya dan alur pelayaran 5. Investasi relatif besar/mahal beberapa komponen set net belum tersedia di Indonesia Peluang (Oppurtunity): 1. Sumberdaya ikan (pelagis maupun demersal) di beberapa wilayah perairan Indonesia masih potensial dan teridentifikasi ruaya ikan baik secara lokal maupun high migratory 2. Banyaknya wilayah perairan pulau-pulau terluar yang potensial (kondisi bio-fisik lingkungan perairan) untuk penempatan/pemasangan set net yang dapat memperbaiki ekosistem laut dalam mendukung pengaruh global warming 3. Telah berkembang kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan secara berkelompok (CBM) 4. Telah berkembang pemasaran ikan hidup untuk konsumsi dalam dan luar negeri 5. Transfer teknologi set net ke Indonesia telah dirintis secara intensif sejak tahun 2004 dengan TUF (Tokyo University of Fisheries), JICA dan SEAFDEC Ancaman (Threat): 1. Pemahaman terhadap Kepmentan No. 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan masih belum seragam untuk penerapan set net 2. Adanya konflik pemanfaatan ruang perairan dan benturan fisik antar alat tangkap pasif menetap dan aktif bergerak 3. Belum tersedianya zonasi atau pemetaan perairan dalam pengelolaan operasional API 4. Belum tersosialisasinya pengelolaan set net secara berkelompok kepada masyarakat, (kapasitas kelembagaannya) 5. Masih kurangnya infrastruktur pendukung perikanan set net yang meliputi pemasaran hasil (cold storage, pasca panen dan transportasi), permodalan di wilayah pesisir (KUR) Tabel 2. Matriks SWOT untuk Pengembangan Perikanan Set net Faktor Internal Faktor Eksternal OPPORTUNITIES (O) STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) STRATEGI SO STRATEGI WO Pengembangan perikanan set net di pulau-pulau terluar dan jalur pemasaran ikan hidup Pengembangan pasar hasil tangkapan set net untuk ikan hidup dan benih untuk marineculture Perbaikan ekosistem dan pengembangan wisata bahari melalui perikanan set net Meningkatkan kerjasama riset dalam penetapan zonasi atau pemetaan perairan untuk penempatan set net Pengembangan permodalan di wilayah pesisir (KUR) untuk perikanan set net dan pemasaran Uji coba prototype perikanan set net skala kecil dan menengah THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT Pengaturan dan penetapan zonasi perairan untuk perikanan set net Pembinaan masyarakat dalam pengembangan perikanan set net berbasis masyarakat (comanagement) Pengembangan rantai pemasaran ikan hidup dan pengembangan industri pasca panen yang dapat memberikan nilai tambah (added value) Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) Sosialisasi zonasi perikanan set net Pengembangan pola usaha perikanan set net sebagai aset PEMDA atau masyarakat dalam bentuk klaster industri Strategi pengembangan perikanan set net di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan perikanan set net di pulau-pulau terluar dan jalur pemasaran ikan hidup; 2. Pengembangan pasar hasil tangkapan set net untuk ikan hidup dan benih untuk marineculture; 3. Perbaikan ekosistem dan pengembangan wisata bahari melalui perikanan set net; 4. Meningkatkan kerjasama riset dalam penetapan zonasi atau pemetaan perairan untuk penempatan set net; 5. Pengembangan permodalan di wilayah pesisir (KUR) untuk perikanan set net dan pemasaran; 6. Uji coba prototype perikanan set net skala kecil dan menengah; 7. Pengaturan dan penetapan zonasi perairan untuk perikanan set net; 8. Pembinaan masyarakat dalam pengembangan perikanan set net berbasis masyarakat (co-management); 9. Pengembangan rantai pemasaran ikan hidup dan pengembangan industri pasca panen yang dapat memberikan nilai tambah (added value); 10. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement); 11. Sosialisasi zonasi perikanan set net; Pengembangan pola usaha perikanan set net sebagai aset PEMDA atau masyarakat dalam bentuk klaster industri; 3.2.5 Analisa kualitatif terhadap kunci keberhasilan 3.2.6 Implementasi tata ruang dan prosedur regulasi 3.2.7 Implementasi pengelolaan setnet dan pengembangan pemasaran serta nilai tambah 3.2.8 Implementasi peningkatan kapasitas kelembagaan BAB IV RENCANA PENGEMBANGAN 4.1 4.1.1 Rencana Pengembangan setnet Rencana pengembangan Kawasan prioritas untuk setnet 4.1.1.1 pulau-pulau kecil dan terluar 4.1.1.2 pulau-pulau dengan jalur kapal pengumpul ikan hidup (ekonomis & ornamental) 4.1.1.3 wilayah kawasan-kawasan keramba apung dan marine culture (fish cage) 4.1.1.4 Rencana Pengembangan Kawasan ekonomi khusus berbasis setnet 4.2 Rencana Pengembangan kelembagaan 4.2.1 Kelembagaan pengelolaan riset dan diklat pengembangan setnet 4.2.2 Kelembagaan pengelolaan setnet skala kecil, sedang dan besar 4.2.3 Kelembagaan pengelolaan produksi, peningkatan nilai tambah dan penguatan pasar BAB V RENCANA AKSI 5.1 Rencana Aksi Pengembangan Setnet 5.1.1 Tahun pertama 5.1.2 Tahun kedua 5.1.3 Tahun ketiga 5.1.4 Tahun keempat 5.1.5 Tahun kelima 5.2 Rencana Aksi Pengembangan Kelembagaan 5.2.1 Tahun pertama 5.2.2 Tahun kedua 5.2.3 Tahun ketiga 5.2.4 Tahun keempat 5.2.5 Tahun kelima LAMPIRAN a. Tipe gambar setnet dan spesifikasi teknis b. Tahapan survey pemilihan lokasi secara fisik c. Tahapan penentuan ruaya ikan d. Tahapan peningkatan keterampilan nelayan e. Sarana dan prasarana setnet 5.2.6 Peta pulau-pulau kecil, pulau-pulau terluar, pulau-pulau dengan jalur kapal pengumpul ikan hidup, kawasan-kawasan keramba apung dan marine culture (fish cage)