KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI Oleh: RADITYA ALFERO E1A007263 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : Raditya Alfero NIM : E1A007263 Judul Skripsi : KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DI TINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi Polres Banyumas) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 20 Oktober 2013 RADITYA ALFERO NIM. E1A007263 KATA PENGANTAR Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DI TINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi Polres Banyumas)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan ketulusan hati. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Budiyono, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penguji II atas perhatian dan kemudahan dalam bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. iv 3. Bapak Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji dalam seminar skripsi dan ujian skripsi, yang telah memberikan masukan bagi Penulis demi perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Raditya Permana, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan masukan dan motivasi dalam menuntut ilmu. 5. Seluruh dosen pengajar, staf administrasi, dan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah membekali dan memberikan kesempatan penulis menimba ilmu. 6. Segenap pegawai dan karyawan tempat penulis melakukan penelitian di Kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Pemerintah Kabupaten Banyumas yang telah memberikan data dan informasinya terkait skripsi ini. 7. Kepada kedua orangtua tercinta, Ibunda Emilia Lihan S.Pd dan ayahanda Prof. Dr. Taswin Rahman Tagama S.U yang telah memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Ibu dan Bapak adalah motivasi terbesar penulis untuk menjadi orang sukses. 8. Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2007, sahabat terdekat penulis dan teman-teman UKM ALSA ‘always be one’ di Kampus Merah, serta semua pihak yang turut membantu dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, kehangatan, kerjasama dan persaudaraan kalian. v 9. Sahabat dekat penulis Winardi Eka dan Ikhsan fathoni yang sudah menjadi sahabat bahkan keluarga bagi penulis. 10. Buat sahabatku Didit Waluyo dan Tyas swastio, Sarastyo, Hudiyanto, Rifky Faudzan,Mochammad Rizal, Lasi Rizal, Dabenk dan Endink yang selalu memberikan keceriaan disetiap waktu. Semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis, mendapatkan balasan pahala dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tingkah laku selama berproses di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang membacanya. Purwokerto, 20 November 2013 RADITYA ALFERO E1A007263 vi ABSTRAK KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (STUDI DI POLRES BANYUMAS) OLEH : RADITYA ALFERO E1A007263 Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan dengan kekerasan. Persoalan kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena ia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia. Berkaitan dengan soal kejahatan, maka kekerasan yang merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tadi studi tentang kejahatan. Kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam kenyataannya dari berbagai mitos selama ini pelaku tak selalu laki-laki dan korban pun tak selalu perempuan, serta tidak mengenal kelas sosial ekonomi, budaya dan ras. Kejahatan KDRT merupakan salah satu masalah yang bukan dikategorikan lagi sebagai masalah dalam keluarga, dan penegakan hukum perlu dilaksanakan secara konsekuen agar dapat memberikan kontribusi besar terhadap perlindungan korban-korban kejahatan kekerasan dalam rumah tangga. Budaya masyarakat yang patrilineal adalah faktor terbesar yang menyebabkan lahirnya kekerasan terhadap perempuan, budaya inipun turut melegitimasi dan melestarikan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah Banyumas. Perlindungan dalam proses penegakan hukum, mulai dari proses pelaporan, pemeriksaan, penyidikan, hingga persidangan berakhir. Dengan berpijak pada ketiga elemen dalam sistem hukum, maka disusunlah parameter yang merupakan prasyarat bagi perbaikan serta upaya yang dapat dilakukan. Kebijakan Penerapan hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual terbagi menjadi 2 yaitu : Penal yaitu menggunakan sarana hukum pidana yang ada (aparat penegak hukum dan Per UU), Non penal yaitu melakukan sosialisasi terhadap elemen-elemen masyarakat dan bekerja sama dengan instansi terkait (Bapernas,diknas dan yang mengenai UU no.23 tahun 2002 dan 2004. Kata Kunci : Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga, Kriminologi, Banyumas ABSTRAK Crime is a complex phenomenon and can be understood from many different sides. One issue that often comes to the fore in public life is about crime in general, especially regarding violent crimes. The issue of crime is a perennial problem in human life, as it develops in line with the level of development of human civilization. With regard to crime, the violence that is a complement of the crime itself. In fact he has formed its own characteristics in the repertoire of an earlier study of crime. Crimes of sexual violence in the home, in fact from myth during the offender does not always men and the victims are not always women, and knows no socio-economic class, culture and racist. Crime of domestic violence is one issue that is not considered anymore as a problem in the family, and law enforcement need to be implemented consistently in order to make a major contribution to the protection of victims of domestic violence crimes. Patrilineal culture that is the biggest factor that led to the birth of violence against women, even this culture helped legitimize and perpetuate violence against women that occurred in the area of Banyumas. Protection in the law enforcement process, starting from the reporting, inspection, investigation, until the trial ends. Relying on the third element in the legal system, then drafted parameters is a prerequisite for improvement and effort to do. Application of legal policy for sexual violence crimes are divided into two, namely: Penal namely by means of the criminal justice (law enforcement officers and Legislation), Non penal is to disseminate the elements of the community and work with relevant agencies (Bapernas, diknas and that the Legislation no.23 of 2002 and 2004. Key Words : Domestic Sexual Violence, criminology, Banyumas DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………. ii SURAT PERNYATAAN ………………………………………………. iii KATA PENGANTAR ………………………………………………….. iv ABSTRAK …………………………………………………………….… vii ABSTRACT ……………………………………………………….……. viii DAFTAR ISI ……………………………………………….……………. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……………………………………………..…….. 1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………. 5 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 6 D. Kegunaan Penelitian …………………………………………...…. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia ....……………….... 7 2. Tugas dan Wewenang Kepolisian ..................…………............ 7 ix 3. Tinjauan Peran Polisi Dalam Penegakan Hukum …………….. 8 B. Definisi-Definisi Kriminologi …………………………………….. 18 C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ……………………………………………………………………… 22 D. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum dan Pelaku Kejahatan 1. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan ……..………………… 24 2. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat .......................................... 26 3. Penjelasan Teori Struktural Sosial Tentang Kejahatan …………. 28 E. Obyek Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga …………………. 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ………………………………………....……. 39 B. Metode Penelitian ………………………………………………… 39 C. Spesifikasi Penelitian …………………………………………...… 41 D. Lokasi Penelitian ……………………………………………….… 41 E. Informan Penelitian ………………………………………….…… 42 F. Metode Penentuan Informan …………..….……………………… 43 G. Jenis dan Sumber Data …………………………….……………... 44 H. Metode Pengambilan data …………………………….………….. 45 I. Metode Pengolahan data …………………………………………. 47 J. Uji Mutu Data …………………………………………………….. 48 K. Metode Penyajian Data …………………………………………… 51 L. Metode Analisis Data ……………………………………………... 52 x BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan terjadinya Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga terhadap Perempuan ..…………………………….. 53 B. Bentuk Perlindungan Hukum dalam kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Wilayah Kabupaten banyumas ............................................ 77 BAB V PENUTUP A. Simpulan ……..……………………………………………………. 95 B. Saran …………..…………………………………………………... 97 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam realitas sosial dapat ditangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan dengan kekerasan. Persoalan kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena dia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia. Sejarah perkembangan masyarakat sejak sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya, dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realitas.Bahkan kehidupan umat manusia abad ke-20 ini, masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai fenomena yang tidak berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan. Berkaitan dengan soal kejahatan, maka kekerasan yang merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tadi studi tentang kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luar 2 frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini. Kejahatan kekerasan bisa dialami oleh siapa saja, dimana pun dan dalam keadaan apapun.Pada umumnya, remaja, perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang kerap kali menjadi obyek kekerasan.Khususnya kekerasan terhadap perempuan, meliputi pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik) dan mutilasi kelamin, pembunuhan, pelecehan seksual.1 Dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dari PBB tanggal 20 Desember 1993, diketahui bahwa kekerasan domestik dimasukkan sebagai tindak kejahatan. Ada sejumlah alasan kenapa kekerasan domestik harus disebut sebagai kejahatan, antara lain karena kejahatan domestik ini umumnya terjadi karena masih adanya diskriminasi posisi antara mereka yang melakukan kekerasan dengan yang menjadi korban kekerasan. Biasanya mereka yang melakukan kekerasan merasa posisinya dominan dibandingkan mereka yang menjadi korban. Jika ini terjadi dalam rumah tangga yang seharusnya para pihak dalam rumah tangga itu saling mengayomi satu sama lain, maka tindakan kekerasan dalam rumah tangga itu dapat digolongkan sebagai kejahatan. Dari fakta-fakta sosial diketahui bahwa kejahatan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi terhadap istri, anak dan pembantu.Diketahui bahwa perbuatan tersebut dilakukan di dalam rumah, di balik pintu tertutup, dengan kekerasan fisik, 1 Wikipedia, “Kejahatan kekerasan” www.wikipedia.com diakses tanggal 23 oktober 2012 pada pukul: 23.10 3 seksual dan psikologis, dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban.Nampaknya, masalah kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam lingkup pribadi (privat).Oleh karena itu, kasus-kasus yang terjadi dipersepsikan sebagai masalah yang tak terjangkau oleh hukum. Kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam kenyataannya dari berbagai mitos selama ini pelaku tak selalu laki-laki dan korban pun tak selalu perempuan, serta tidak mengenal kelas sosial ekonomi, budaya dan ras. Di sisi lain, pandangan bahwa semua tindak kejahatan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan pandangan yang tidak mendukung pembaharuan hukum sesuai tuntutan perkembangan yang ada sehingga seringkali korban kekerasan seksual mengalami hambatan untuk mengakses kasusnya pada aturan hukum yang ada. Sementara ketentuan hukum acara pidana dan ketentuan perundangan lain sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Semua pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa kedudukan perempuan di dalam hukum sangatlah lemah. Meski secara de jure, misalnya di dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan, perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan suami (laki-laki) di muka hukum dan kehidupan bermasyarakat, akan tetapi secara de facto tidaklah demikian.2 Selain pertimbangan hukum tersebut, ada asumsi masyarakat yang menganggap bahwa masalah kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah urusan 2 Pasal 31 UU perkawinan “Tentang hak dan kedudukan Perempuan” 4 suami isteri yang bersangkutan yang harus diselesaikan oleh mereka berdua. Hal ini turut menghambat proses perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi korban kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sebagian masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti keluarga, masyarakat maupun pemerintah dianggap tidak lazim. Telah menjadi keyakinan masyarakat pula baik masyarakat tradisional maupun modern, bahwa kehidupan dalam perkawinan (rumah tangga) adalah merupakan sebuah area yang tertutup atau hanya untuk kalangan sendiri.Artinya, ada keengganan untuk membicarakan persoalan domestik kepada orang luar, karena memang ada nilai-nilai yang melembagakan kesakralan keluarga dan perkawinan.Kekerasan seksual terhadap isteri sangat mungkin terjadi di dalam perkawinan karena ada keyakinan sebagian masyarakat bahwa hal itu hak suami sebagai seorang pemimpin dan kepala keluarga. Dalih mendidik isteri seringkali dijadikan sebagai alasan pembenar manakala suami menggunakan cara memukul, memperingatkan secara kasar atau menghardik dan berbagai bentuk perilaku lain yang menyakitkan hati atau fisik isteri. Kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga belum banyak dimengerti sebagai masalah yang serius, karena umumnya orang belum mengerti realitasnya..Kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah ini memberikan kekuasaan lebih kepada suami atas isterinya.Kedudukan ini dengan sendirinya semakin menciptakan ketergantungan para isteri (setidaknya secara ekonomi) kepada suaminya. 5 Dari 217 juta penduduk, setidaknya 24 juta penduduk perempuan mengalami kekerasan khususnya di daerah pedesaan.Kekerasan dalam rumah tangga itu, seperti penganiayaan, pemerkosaan dan pelecehan seksual.3 Dan sedangkan di daerah Banyumas terdapat 141 kasus kejahatan kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010 hingga 2012, akan tetapi hanya 2 kasus yang bersangkutan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Dari kenyataan di atas maka penulis mengetengahkan topik tersebut dengan berdasarkan oleh beberapa hal antara lain : 1. Kejahatan KDRT merupakan salah satu masalah yang bukan dikategorikan lagi sebagai masalah dalam keluarga. 2. Penegakan hukum perlu dilaksanakan secara konsekuen agar dapat memberikan kontribusi besar terhadap perlindungan korban-korban kejahatan kekerasan dalam rumah tangga. Dari latar belakang inilah, penulis memutuskan untuk mengangkatnya ke dalam bahasan skripsi dengan judul “KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi di Polres Banyumas)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap perempuan? 3 http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24 diakses tanggal 20 Oktober 2012 pada pukul: 21.00 6 2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang dilakukan Polres (unit PPA) terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga. 2. Untuk mengetahui upaya polres dalam menanggulangi dan memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaharuan hukum nasional pada umumnya. b. Dapat menambah wawasan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam lingkup pidana yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga. 2. Secara Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi mereka yang berminat dibidang hukum. b. Untuk dapat berperan dalam membantu para penegak hukum melakukan pemberantasan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada khususnya. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia Polri (Kepolisian Republik Indonesia), arti kepolisian disini ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai departemen pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak atau memberantas pelaku kejahatan. Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahwa polisi diartikan: 1) sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang melanggar undang-undang, dsb.), dan anggota dari badan pemerintahan tersebut di atas (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan, dsb.).4 Pengertian lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, “Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangaundangan”. Istilah kepolisian dalam Undang-undang Polri tersebut mengandung dua pengertian, yakni fungai polisi dan lembaga polisi. Jika mencermati dari pengertian fungsi polisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri tersebut fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan 4 W.J.S. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 763 8 negara dibidang pemeliharaaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat, sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan demikian berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini dipengaruhi dari konsep fungsi kepolisian yang diembannya dan dirumuskan dalam tugas dan wewenangnya.5 2. Tugas dan Wewenang Kepolisian 2.1 Tugas Kepolisian Tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang diklasifikasikan menjadi tiga yakni: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri memiliki tanggungjawab terciptanya dan terbinanya suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sadjijono di dalam menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut melalui tugas preventif dan tugas represif. Tugas dibidang preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, 5 Sadjijono, Mengenal hukum Kepolisian (Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi), Surabaya: LaksBang Mediatama, 2008, hal. 5 9 tertib, dan tenteram tidak terganggu segala aktivitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi pada tataran preventif ini secara teoritis dan teknis kepolisian, mencegah adanya Faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tidak berkembang menjadi Police Hazard (PH) dan munculsebagai Ancaman Faktual (AF). Sehingga dapat diformulasikan apabila niat dan kesempatan bertemu, maka akan terjadi kriminalitas atau kejahatan (n + k = c), oleh karena itu langkah preventif, adalah usaha mencegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan atau kriminalitas.6 Tugas di bidang represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum termasuk didalamnya pihak kepolisian setelah adanya tindak kejahatan atau tindak pidana. Yang termasuk dalam tindakan represif adalah penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya sampai dilaksanakannya pidana. Tugas pokok kepolisian yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut dirinci dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang terdiri dari: a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dijalan; 6 Sadjijono, Ibid, hal. 117 10 c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisianuntuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidupdari gangguan ketertiban dan/ atau pihak yang berwenang; j. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta k. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2.2 Wewenang Kepolisian 11 Kepolisian Negara Republik indonesia dalam melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas, melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut penjelasan UUD 1945 dirumuskan “Bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Guna terselenggaranya fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang yang pada hakekatnya berupa “kekuasaan negara di bidang kepolisian untuk bertindak atau untuk tidak bertindak” baik dalam bentuk upaya preventif mapun upaya represif. Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada Polri umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: wewenang-wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan Plichmatigheid yang sebagian besar bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan, dimana sebagian besar bersifat represif.7 Wewenang umum tersebut akan memberikan hak kepada petugas polisi untuk dapat mengeluarkan perintah-perintah dengan keharusan untuk ditaati sepanjang masih dalam lingkup tugas kepolisian. Perintah tersebut biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan maupun dalam bentuk yang lainnya.8 7 Warsito Hadi Kusumo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hal. 99 Ibid, hal. 101 8 12 Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; 13 m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Sedangkan dalam ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. 14 Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan pasal 14 dibidang proses pidana, maka kepolisian mempunyai wewenang yang telah diatur secara rinci pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu: a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenangdi tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untukmencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 15 k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipilserta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkankepada penuntut umum; l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Seorang anggota polisi dituntut untuk menentukan sikap yang tegas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Apabila salah satu tidak tepat dalam menentukan atau mengambil sikap, maka tidak mustahil akan mendapat cercaan, hujatan, dan celaan dari masyarakat. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan pada etika moral dan hukum, bahkan menjadi komitmen dalam batin dan nurani bagi setiap insan polisi, sehingga penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang kepolisian bisa bersih dan baik. Dengan demikian akan terwujud konsep kepolisian yang baik sebagai prasyarat menuju good governance. Dalam pasal 18 UU kepolisian, Selain tugas dan wewenang yang disebutkan di dalam UU Kepolisian ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan umum, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Tinjauan Peran Polisi dalam Penegakan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa atau bagian yang 16 dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa,9 sehingga peranan dapat diartikan sebagai langkah yang diambil seseorang atau kelompok dalam menghadapi suatu peristiwa. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto,Peranan (role) merupakan aspek dinamika dari status (kedudukan), apabila seseorang atau beberapa orang atau organisasi yang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka ia atau mereka atau organisasi tersebut telah melaksanakan suatu peranan.10 Beliau juga mengutip pendapat Levinson bahwa peranan mencakup paling sedikit 3 hal, yaitu: 1) Peranan adalah meliputi sarana yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini menempatkan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. 2) Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3) Peranan dapat juga dikatakan sebagai perihal individu yang penting dalam struktur sosial.11 Berdasarkan pengertian di atas, peranan mengandung makna sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu atau kelompok untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang peran 9 W.J.S. Purwodarminto, op. cit, hal. 751 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1987, hal. 220 11 Ibid. hal. 221 10 17 sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.Dimana setiap orang memiliki macammacam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupya. Hal ini sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Khusus mengenai peran Kepolisian dinyatakan dalam Tap MPR No. VII/MPR/2000tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. sebagai berikut: “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Secara sosiologis maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).Kedudukan merupakan posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya hak-hak dan kewajiban tertentu.Hak-hak dan kewajiban tadi merupakan peranan atau role.Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hal sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas, suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut :12 1. Peranan yang ideal (ideal role) 2. Peranan yang seharusnya (expected role) 12 Soerjonno Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Bandung: Alumni,1982, hal. 20 18 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role). Masalah Peranan dianggap Penting, oleh karena pembahasan mengenai penegakan hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi.Maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang sangat terkait oleh hukum tetapi dalam penerapannya, penilaian pribadi juga memegang peranan. Didalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena :13 1. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia. 2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundangundangan didalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian. 3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. 4. Adanya kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. B. Definisi-Definisi Kriminologi Pengertian kriminologi Kriminolgi, (criminology dalam bahasa Inggris, atau kriminologie dalam bahasa Jerman) secara bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan ”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu.Dengan demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi.14 13 14 Ibid, hal. 22 I.S.,Susanto,kriminologi, FH Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto; 2009. Hlm 1. 19 Penelitian-penelitian kriminologi meliputi berbagai faktor, yang secara umum meliputi: 1. Penelitian tentang sigat, bentuk, dan peristiwa tindak kejahatan serta persebarannya menurut faktor sosial, waktu, dan geografis. 2. Ciri-ciri fisik dan psikologis, riwayat hidup pelaku kejahatan (yangmenetap) dan hubungannya dengan adanya kelainan perilaku. 3. Perilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, seperti perjudian, pelacuran, homoseksualitas, pemabukan, dsb. 4. Ciri-ciri korban kejahatan. 5. Peranan korban kejahatan dalam proses terjadinya kejahatan. 6. Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana. 7. Sistem peradilan pidana, yang meliputi bekerjanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penghukuman dalam menangani pelaku pelanggaran hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan. 8. Metode pembinaan pelaku pelanggaran hukum. 9. Struktur sosial dan organisasi penjara. 10. Metode dalam mencegah dan mengendalikan kejahatan. 11. Penelitian terhadap kebijakan birokrasi dalam masalah kriminalitas, termasuk analisa sosiologis terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum. 12. Bentuk-bentuk reaksi non-formal masyarakat terhadap kejahatan, penyimpangan perilaku, dan terhadap korban kejahatan.15 W.A Bonger (1970) memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” (Bonger, 1970:21). Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek: 1. kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya. 2. kriminologi teoritis, pengelamannya 15 seperti yaitu ilmu ilmu pengetahuan pengetahuan yang lainnya berdasarkan yang Dr.Soedjono Dirdjosisworo,Pengantar Penelitian Kriminologi,Remadja Karya CV.Bandung,1984.Hal 15 sejenis, 20 memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi. Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan bahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan. Herman Manheim, orang Jerman yang bermukim di Inggris memberikan definisi kriminologi sebagai berikut: “Kriminologi dalam pengertian sempit adalah kajian tentanga kejahatan.dalam pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana” Gibbons memberikan definisi yang menekankan pada aspek analisa objektif kriminologi, yaitu sebagai berikut: ”Kajian ilmiah tentang pelanggaran hukum dan usaha sunggun-sungguh untuk menyingkap penyebab kriminalitas pada umumnya telah dilakukan di wilayah yang dinamakan kriminologi, yang memberi perhatian pada analisa objektif tentang kejahatan sebagai gejala sosial.” Dalam ruang lingkupnya kriminologi memasukkan pencarian yang berkaitan dengan proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum. Selanjutnya definisi yang diberikan oleh Walter Reckless: “Kriminologi adalah pemahaman ketertiban indiveidu dalam tingkah laku delinkuen dan tingakah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem peradilan peidana. Yang disebut pertama, yaitu kajian keterlibatan, mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap si pelaku, dan (2) kajian tingkah laku dari si pelaku, termasuk korban manusia. Yang disebut kedua, memperhatikan masalah (1) masuknya orang dalam sistemperadilan pidana pada setiap titik, dan parale; serta (2) keluaran daru produk sistem peradilan pidana dalam setiap titik perjalanan. Dengan demikian secara singkat dapat diuraikan, bahwa objek kriminologi adalah: 21 1) Kejahatan Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi.Banyak para pakar mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut.Pengertian kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada nilai-nilai dan skala sosial (I Nyoman Nurjaya, 1985:60). Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana.Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana.Dengan mempelajari kejahatan dan jenisjenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana.16 16 Nurjaya, I Nyoman,Masalah aktual tentang hukum Acara Pidana dan Kriminologi. Penerbit: Binacipta Tahun terbit: 1984 22 2) Pelaku Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini.Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga dipelajari.Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan.Objek penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru.17 C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.18 Pengertian Rumah tangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan 17 Ibid. Wikipedia, “Pengertian Kekerasan Seksual” www.wikipedia.com diakses tanggal 24 oktober 2012 pukul:22.15 18 23 dengan keluarga. Keluarga adalah bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah: a. Suami istri atau mantan suami istri. b. Orangtua dan anak-anak. 19 Pengertian dari istri atau suami atau mantan istri/ suami adalah meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de facto yaitu, seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di bawah undang-undang tertulis. 19 Wikipedia, “Pengertian Rumah Tangga” www.wikipedia.comdiakses tanggal 24 oktober 2012 pada pukul:23.10 24 Menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.20 D. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum Dan Pelaku Kejahatan 1. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif.Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya.dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. a. Reaksi Represif 20 Pasal 1Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga 25 Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi. b. Reaksi Preventif Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi.Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini.Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi. Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal, a. Reaksi Formal Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihakpihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut. Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian adalah; (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya. b. Reaksi Informal Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa.Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada. 26 Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal.Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal.Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.21 2. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relative. Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan dimana satu sisi memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral serta adanya relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan. Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan.Jadi sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan). Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan 21 http://blogingria.blogspot.com/2011/12/modul-kuliah-kriminologi.html 27 hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu kejahatan.Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas Rutin. Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di dalam populasi.Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman.Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial. 28 Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial.Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.22 3. Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain; a. Teori Belajar Sosial Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan.Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim.Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung kejahatan. 22 http://mamien-go.wordpress.com/2011/07/teori-kriminologi-bag2.html dilakukannya 29 b. Teori Kontrol Sosial Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum. c. Teori Label Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.23 Teori Anomie, Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan tentang hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan. 23 http://tugas-makalah.blogspot.com/2013/05/teori-teori-tentang-kejahatan-dan-penyebabnya.html 30 d. Teori Anomie Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatankesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut. e. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda. Pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.24 E. Obyek Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga 1. Perempuan atau Istri KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga.Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang 24 http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/ 31 sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang. Dampak umum KDRT a. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. b. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. c. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya. 2. Anak yang mempunyai hubungan darah Kekerasan, sebagai salah satu bentuk agresi, memiliki definisi yang beragam. Salah satu definisi yang paling sederhana adalah segala tindakan yang cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal, kemarahan atau permusuhan. Masing-masing bentuk kekerasan memiliki faktor pemicu dan konsekuensi yang berbeda-beda.Penganiayaan anak atau kekerasan pada anak atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, 32 yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung pada seorang anak secara fisik, dan emosional. Kekerasan anak meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. UNICEF mendefinisikan bahwa kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan”. Terdapat banyak teori berkaitan dengan kekerasan pada anak, di antaranya teori yang berkaitan dengan stres di dalam keluarga.Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orangtua, atau situsional. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan fisik, mental, atau perilaku beda, anak usia balita, serta anak dengan penyakit menahun. Stres berasal dari orangtua misalnya orangtua dengan gangguan jiwa, orangtua korban kekerasan pada masa lalu, orangtua memiliki harapan pada anak terlampau tinggi, dan orangtua dengan disiplin tinggi. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga.Tindak kekerasan anak yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap anak. Namun, orang tua 33 menyikapi hal tersebut adalah proses mendidik anak, padahal itu adalah salah satu tindak kekerasan terhadap anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.Bahkan, Komnas Perlindungan Anak (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.Bayangkan bagaimana seorang anak menjadi sangat membenci dan tidak bersimpatik terhadap dunia disekitarnya, khususnya pihak yang memberikan perilaku kekerasan padanya.Bila yang melakukan itu adalah kedua orang tuanya, maka jelas anak tersebut bisa menjadi sosok yang sangat menentang bahkan melawan orang tuanya. Rasa sakit hati yang disimpan oleh anak ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan psikologis anak. Meski kondisi lingkungan, pendidikan dan pergaulan juga sangat berpengaruh. Beberapa hal yang mungkin terjadi : a. Anak menjadi penakut dan sulit mengambil keputusan. b. Anak menjauhkan diri dari pergaulan dengan teman sebaya. c. Anak menjadi agresif. d. Anak suka mencederai atau menyakiti orang lain. e. Anak melakukan penyimpangan seksual. f. Anak menjadi pengguna narkoba. 34 g. Anak depresi dan bahkan ingin bunuh diri. Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan. Namun, dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakantindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun, orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Kekerasan anak dapat terjadi dimana saja, dan oleh siapa saja. Di rumah kekerasan biasanya di lakukan oleh orangtua, kakak, dan pembantu.Sedangkan di lingkungan sekolah kekerasan tersbut dapat di lakukan oleh guru, teman-teman, dan kakak kelasnya. Dan juga di di lingkungan tempat dia bermain kekerasan juga dapat terjadi. a. Pemicu Kekerasan Anak Pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah : 1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi 35 ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. 2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi. 3. Faktor ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi. 4. Anak memiliki cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki tempramental lemah, ketidak tahuan anak terhadap hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. 5. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu atau ayah dalam jangka panjang. 6. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis terhadap anak, anak lahir di luar nikah. 7. Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua. 8. Orangtua yang dulu sering di telantarkan atau mendapatkan perlakuan kekerasan , sering memperlakukan anaknya dengan perlakuan yang sama. 9. Kekerasan terhadap anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan penelantaran. Namun kekerasan yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Jika anak menderita kekerasan fisik, pada saat bersamaan anak juga menderita kekerasan emosional. 36 Sementara jika anak mengalami kekerasan seksual, selain menderita kekerasan emosional, anak juga akan mengalami penelantaran. b. Ciri-ciri Anak Korban Kekerasan Secara umum, anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar. 2. Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orangtua. 3. Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi. 4. Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain. 5. Kurangnya pengarahan dari orangtua. 6. Selalu mengeluh, pasif atau menghindar. 7. Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tidak mau pulang ke rumah. c. Ciri-ciri Orangtua Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak adalah : 1. Tak ada perhatian pada anak. 2. Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan menyalahkan anak pada setiap masalah. 3. Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak. 37 4. Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tak berharga, dan susah diatur. 5. Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan kemampuan yang ada. 6. Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan. d. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak 1. Kekerasan Fisik : dianiaya, dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dll. 2. Kekerasan Psikis : dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll. 3. Kekerasan Seksual : diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya. 4. Penelantaran : Kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak,tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa 38 aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara.25 25 http://books.google.co.id/books?id=04TZAAAAMAAJ&q=dampak+umum+kdrt&dq=dampak+umu m+kdrt&html 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain seorang peneliti yang menggunakan metode kualitatif tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut.26 Sedangkan yang dimaksud dengan Yuridis Sosiologis atau social legal research adalah pendekatan yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarian-pencarian, keajegan-keajegan empirik dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga melakukan observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi .27 Perhatian peneliti terfokus pada faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga dan mengetahui upaya polres dalam menanggulangi dan memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. B. Metode Penelitian 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 250 R. Soemitro Hanitijio, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghali Indonesia, Jakarta, 1988, hlm 11 27 40 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan metode Documenter.Metode survei merupakan pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang baik terhadap suatu persoalan tertentu di dalam daerah atau lokasi tertentu atau suatu studi ekstensif yang dipolakan untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan.28 Penelitian survei merupakan kegiatan penelitian yang memiliki tiga tujuan penting diantaranya, mendeskripsikan keadaan alami yang hidup saat itu, mengidentifikasi secara terukur keadaan sekarang untuk dibandingkan, menentukan hubunngan sesuatu yang hidup di antara kejadian spesifik. 29 Penelitian dengan menggunakan survei juga merupakan metode baik guna mengukur sikap orientasi penduduk dalam populasi besar terhadap suatu kasus sosial. Kegiatan peneitian survei dapat diidentifikasikan sejak seorang peneliti melakukan persiapan perencanaan, menentukan strategi sampling yang hendak digunakan, mendiskusikan instrumen pengumpul data seperti angket dan wawancara, bagaimana menyampaikan instrumen tersebut kepada responden sebagai kelengkapan teknik survei, sampai akhirnya mengidentifikasi beberapa prosedur yang tepat agar dapat memproses dan menganalisis untuk memperoleh hasil penelitian.30 Metode dokumenter adalah tehnik pengumpulan data dan informasi melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti.Metode dokumenter ini merupakan metode 28 Ikhsanudin, 2011, Tentang Penelitian, Artikel, Diakses disitus http://ikhsanu.blogspot.com pada tanggal 15 Mei 2012. 29 Alim Sumarno, 2012, Penelitian survei adalah, Artikel, Diakses disitus http://blog.elearning.unesa.ac.idpada tanggal 15 Mei 2012. 30 ibid 41 pengumpulan data yang berasal dari sumber non manusia.Data yang diperoleh disebut dokumen. Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang antara lain berupa: buku, jurnal, surat-surat, hasil penelitian, karya ilmiah ,artikel, dsb. dokumenter memuat apa dan kapan suatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam suatu kejadian. Data dokumenter dapat menjadi bahan atau dasar analisa data yang kompleks yang dikumpulkan melalui metode observasi dan analisis dokumen yang dikenal dengan content analysis.31 C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu menggambarkan keadaan dari obyek yang akan diteliti untuk kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan tersebut di atas.32Spesifikasi penelitian deskriptif analitis dalam penelitian ini dimaksudkan memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang peranan kepolisian dalam upaya polres menanggulangi dan memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga D. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada lembaga yang terkait, yaitu di Polres Banyumas, Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Pusat 31 Fu'adz Al-Gharuty, 2009, Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, Artikel. Diakses disitus http://adzelgar.wordpress.com pada tanggal 2 September 2012. 32 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 13 42 Informasi Ilmiiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Karena pada dewasa ini sedang marak mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga. Dengan adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga maka banyak terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya sendiri. Sehubungan dengan tugas kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai peranan kepolisian mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga diwilayah hukum Polres Banyumas. Pengambilan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa sumber data yang dimungkinkan dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Pertimbangan yang lain yaitu efisiensi biaya dan waktu, dikarenakan peneliti bertempat tinggal di Banyumas. Hal ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti. E. Informan Penelitian Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk dapat memberikan informasi tentang situasi dan latar belakang penelitian.Jadi informan harus benar-benar mengetahui kondisi dan situasi di lapangan dalam memberikan informasi kepada peneliti. Informan dalam penelitian ini ialah Anggota Kepolisian Resor Banyumas tetapi tidak semua informan dijadikan subyek penelitian, hanya sebagian dari informan saja yang dijadikan subyek penelitian, yaitu Kepala Kepolisian Resor Banyumas atau orang yang berkapasitas sebagai penanggung jawab dari kinerja Anggota Kepolisian Resor Banyumas. Hal tersebut didasarkan bahwa Kepala 43 Kepolisian Resor Banyumas atau orang yang berkapasitas sebagai penanggung jawab dari kinerja Anggota Kepolisian Resor Banyumas dapat mewakili Kepolisian Resor Banyumas dalam menjalankan peranannya terhadap penanggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga di wilayah hukum Kepolisian Resor Banyumas, serta memahami faktor-faktor yang cenderung menghambat peranan Anggota Kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual dalam rumah tangga di wilayah hukum Kepolisian Resor Banyumas. F. Metode Penentuan Informan Konsep informan berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang terpercaya mengenai elemenelemen yang ada (karakteristik elemen-elemen yang tercakup dalam fokus atau topik penelitian).33 Informan diambil dengan carapurposive sampling atau criterian based selection yang diikuti oleh Snowball Sampling.34Menentukan sampling dengan criterian based selection maka peneliti cenderung memilih nara sumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui secara mendalam, sedangkan snowball sampling digunakan untuk mencari informan/ sampel yang berkelanjutan yang baru berhenti bila sudah tidak menemukan informasi. Snowball sampling hanya mungkin diterapkan terhadap populasi yang jumlahnya 33 Sanafiah Faisal, penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, Y A 3, Malang, hlm. 56. H.B Sutopo, Suatu Pengantar Kualitatif, Dasar Teori dan Praktek, pusat Penelitian UNS, Surakarta, 1988, hlm. 22. 34 44 tidak lebih dari 100 orang. 35 Berdasarkan kepada fokus kajian yang dilaksanakan dalam penelitian ini, maka informan yang dikaji adalah: 1. Kepala Kepolisian Resor Banyumas. 2. Kepala Kesatuan Reserse Kepolisian Resor Banyumas. 3. Kepala Kesatuan Unit PPA Kepolisian Resor Banyumas. Informan penelitian sebagaimana tersebut di atas bukan hal yang limitatif, karena akan terus berkembang mengikuti prinsip “bola salju” (snowball). G. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer diperoleh penulis dari Polres Banyumas berupa sejumlah keterangan atau fakta dari individu Anggota Kepolisian Resor Banyumas tentang peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga. 2. Data Sekunder Data sekunder bersumber dari studi kepustakaan, berupa mempelajari buku-buku literature, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek kajian. Data sekunder yang diperoleh dari proses dokumentasi berupa data tertulis ataupun film bersumber dari dokumen resmi yang ada di Kepolisian Resor Banyumas, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian, serta hasil-hasil 35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 197. 45 pertemuan ilmiah atau lokakarya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek kajian. H. Metode Pengambilan Data 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu di Polres Banyumas, dengan menggunakan metode: a. Interview (wawancara) Wawancara adalah suatu cara yang dipergunakan untuk tujuan tertentu guna mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadap muka dengan orang tersebut.36 Wawancara (interview), menurut Fred N Kerlinger37 adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Teknik wawancara yang dipilih adalah dalam bentuk, “ wawancara terstruktur“ dan “wawancara tak terstruktur”. Wawancara terstruktur adalah wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertnyaan yang diajukan.Sedangkan wawancara tak terstruktur adalah wawancara dimana 36 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1996, hlm.129 Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Perada, Jakarta, 2004, hlm. 106. 37 46 peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara bebas namun terpimpin dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaanpertanyaan tetapi masih di mungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.38 b. Observasi Observasi atau pengamatan dilakukan untuk memperoleh data non verbal (eksperimen informan, penampilan fisik dan lain sebagainya) yang digunakan untuk melengkapi hasil wawancara atau data lain yang tidak terjangkau oleh wawancara. Observasi tidak berperan atau keterlibatan pasif dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para aktor pelaku yang diamati dan jua tidak memerlukan suatu bentuk interaksi dengan peaku yang diamati, jadi peneliti hanya mengamati saja. 2. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literature dan dokumendokumen lainnya yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan- 38 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.59-60 47 bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangna yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder.39 Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan dengan kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. I. Metode Pengolahan Data Data yang telah terkupul diolah dengan menggunakan redukdi data. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi yang muncul dari catatan tertulis di lapangan, oleh karenanya reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorgaisasi data dengan sedemikian rupa. Pada tahap Reduksi data, data dirangkum, dipilih hal- hal yang pokok, memfokuskan pada hal - hal yang penting dicari tema dan polanya.40 Tahapan pengolahan data selanjutnya, Display data agar dapat melihat gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian, harus 39 S. Nasution, Metode Penelitan Naturalistik Kualitatif, Rekasarasin, Yogyakarta, 1996, hlm. 72. 39 Soegiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, CV Alfabeta, Bandung, hlm.92. 40 Ibid, hlm. 99. 48 diusahakan membuat berbagai macam matriks, grafik dan charts. Dengan demikian peneliti dapat menggunakan data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail. Pada langkah ini peneliti menyusun data yang relevan sehingga dapat menjadi informsi yang disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Kemudian tahap berikutnya adalah tahap penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi akhir dari tahapan analisis.41 Tahap pengolahan data kemudian memasuki tahap kategorisasi data. Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian- bagian yang memiliki kesamaan.42 Kategori adalah salah satu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu. Yaitu dengan mengelompokan kartu-kartu yang telah dibuat kedalam bagian-bagian isi yang secara jelas berkaitan, kemudian merumuskan aturan yang menguraikan kawasan kategori dan yang akhirnya digunakan untuk menetapkan inklusi setiap kartu pada kategori dan juga sebagai dasar untuk pemeriksaan keabsahan data, serta menjaga agar setiap kategori yang telah disusun satu dengan yang lain mengikuti prinsip taat asas. J. Uji Mutu Data Menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanan teknik didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Penelitian ini penulis memfokuskan pada kriteria Kepercayaan (credibility). 42 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung, 1991, hlm. 288. 49 Pengujian data/uji kepercayaan (credibility) data dilakukan dengan cara Triangulasi Sumber Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dilakukan apabila terdapat data yang bertentangan, tidak sejalan atau berbeda mengenai hal yang sama atau lebih sumber data serta pengecekan terhadap data yang tidak jelas sehingga dapat diperoleh data yang dapat dipercaya kebenarannya. Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh N. K. Denzin dengan meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk pada penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala tertentu. Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber atau metode tertentu dengan data yang di dapat dari sumber atau metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa setiap bias yang inheren dalam sumber data, peneliti, atau metode tertentu, akan dinetralkan oleh sumber data, peneliti atau metode lainnya. Istilah triangulasi yang dikemukakan oleh Denzin dikenal sebagai penggabungan antara metode kualitatif dan metode kuantitatif yang digunakan secara bersama-sama dalam suatu penelitian. Triangulasi menurut Denzin dibagi menjadi empat, yaitu:43 43 Ibid hlm. 330. 50 1. Sumber Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, maka pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh dapat dilakukan ke beberapa anggota Resor Banyumasyaitu, ke Kepala Resor Banyumas, Kepala Bagian Reserse Polres Banyumas dan anggota unit PPA. Data dari ketiaga sumber tersebut, tidak bisa diratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi di deskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana yang spesifik dari tiga sumber data tersebut. Data yang telah di analisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member chek) dengan ketiga sumber data tersebut. 2. Teknik Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi, atau kuesioner.Bila dengan teknik pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilakan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk mestikan data mana yang dianggap benar.Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandangnya berbeda-beda. 51 3. Penyidik Menggunakan beberapa penyidik yang berbeda yang disiplin ilmunya sama dengan penelitian ini. 4. Teori Penggunaan sejumlah perspektif dalam menafsir suatu data.Yakni melakukan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisa dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda. K. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang tersusun secara sistematis, artinya data primer yang diperoleh akan dihubungkan dengan data sekunder yang didapat serta dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti,sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain menggunakan teks naratif penyajian data juga menggunakan matriks data, matriks yang digunakan adalah matriks pengaruh eksploratif dan matriks tata peran. Matriks eksploratif digunakan untuk mengkomparasikan data yang diperoleh dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Matriks tata peran menyajikan data dari datadata yang telah dikumpulkan mengenai pandangan-pandangan populasi.44Matriks ini menekankan peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga di wilayah hukum Polres Banyumas. 44 Mathew B Miles & Michael hubermas, Analisis Data Kualitatif, PT UI Press, Jakarta 1992, hlm. 19-20 52 L. MetodeAnalisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runrun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif kemudian dilakukan pembahasan.Penulis menggunakan metode pengolahan data berupa analisis konten dan analisis komparatif. Analisis konten merupakan bagian dari modus analisis semiotik.Analisis konten adalah teknik penelitian yang digunakan untuk referensi yang replikabel dan valid dari data pada konteksnya.Analisis konten lakukan dengan penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi atau data yang telah diperoleh. Pelopor analisis isi adalah Harold D Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk data yang tersedia.Peneliti mencari bentuk dan struktur serta pola yang beraturan dalam teks dan membuat kesimpulan yang ditemukan.45 Analisis komparatif merupakan suatu analisis yang menggunakan logika perbandingan komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif.46Penggunaan analisis ini adalah untuk membandingkan data-data yang diperoleh dari informan penelitian selama penelitian berlangsung.Analisis komparatif memungkinkan kesimpulan yang bisa ditarik dengan menggunakan logika perbandingan. 45 Lexy J. Moleong, op. Cit. Hlm.279. Mathew B Miles & Michael hubermas op. Cit. Hlm.88. 46 53 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan. Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Rumah tangga, menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga.Keluarga adalah bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. a. Kekerasan seksual Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. 54 b. Pengertian Konsep Pelecehan seksual adalah: Bentuk perbuatannya sangat (subtil), seperti mengedip-ngedipkan dan memelototkan mata pada seorang perempuan, mengomentari bentuk tubuhnya, menyiulinya, meraba, atau menciuminya, mulai dengan yang persuasif sampai dengan yang menggunakan kekerasan”. Pengertian diatas dapat dibagi kedalam tingkat penggunaan kekerasan, dari yang ringan hingga paling keras, serta cara pelecehan seksual, dari verbal hingga penggunaan kekerasan. Pelecehan seksual, terutama yang terjadi ditempat kerja biasanya diiringi dengan adanya penggunaan kewenangan, dalam hal ini atasan terhadap bawahan, begitu pula di dalam rumah tangga, Pemanfaatan kewenangan ini membuktikan bahwa tidak hanya penggunaan kekerasan secara fisik tetapi juga ancaman secara verbal, dengan memanfaatkan ketergantungan korban terhadap pelaku secara sosial maupun ekonomi. Viktimisasi adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial, pada seseorang atau sekelompok orang atau lembaga, oleh orang atau kelompok orang atau lembaga lain, baik untuk kepentingan sendiri maupun orang lain. 55 Paul Separovic menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan seseorang untuk menjadi korban. 1. faktor personal, termasuk keadaan biologis ( umur, jenis kelamin, keadaan mental ). 2. faktor sosial, misalnya imigran, minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan hubungan antar pribadi. 3. faktor situasional, misalnya situasi konflik, tempat dan waktu.47 c. Kekerasan seksual dalam rumah tangga Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah: 1. Suami istri atau mantan suami istri. 2. Orangtua dan anak-anak. 3. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah. 4. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang lain 47 http://adhimulyablogs.blogspot.com/2011/05/pelecehan-seksual.html diakses tanggal 3 juli 2013 56 yang menetap di sebuah rumah tangga. 5. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu). Definisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993). Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan: Kekerasan terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”. Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan : “Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasa yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan danpraktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk 57 kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya”.48 Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu.Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual, atau perkosaan oleh anggota keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki.Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan.Kekerasan kategori ini muncul akibat diposisikannya perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya. Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial.Dalam hal ini, masyarakat menentukan batasbatas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan.Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad 48 http://eko-gudangmakalah.blogspot.com/2011/06/kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt.html diakses tanggal 3 juli 2013 58 lamanya, dan dianggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut. Salah satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah banyaknya perempuan yang mengalami tindakan kekerasan. Kenyataan ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yangdiperlakukan secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan dipandang tidak lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian. 2. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang. 3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. 59 4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dingeksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. 5. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (seperti diantaranya: larangan keluar rumah, larangan berkomunikasi dengan orang lain).49 Merujuk dari penjelasan diatas Berdasarkan data yang saya peroleh di Polres Banyumas terutama di Bagian Unit PPA, terdapat 141 kasus kekerasan dalam rumah tangga di daerah banyumas.Data tersebut diambil dari tahun 2010-2012, dan terdapat 2 kasus yang berdasarkan penelitian saya, yaitu kekerasan seksual dalam Rumah tangga. Kasus yang sudah diputus di Pengadilan Negeri Banyumas terdapat 1 kasus kekerasan seksual dalam rumah Tangga yaitu Putusan Nomor : 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms pada tanggal 18 februari 2010 yang korbannya dialami oleh anak dibawah umur. berdasarkan kasus tersebut terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual dalam rumah tangga yaitu : 1. Secara Teoritis. Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan 49 http://consultanonline.wordpress.com/tahukah-kamu/kejahatan-pidana/kdrt-kekerasan-dalamrumah-tangga/ diakses tanggal 4 juli 2013 60 dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli. Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Secara Empiris Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan seksual dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan 61 peningkatan.untukmengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga.Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana.Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan seksual dalam rumah tangga di negara kita. Penjelasan dari seluruh data dan informan di atas, dapat diabstraksikanbahwa berdasarkan data wawancara dan observasi di Polres banyumas terutama di Unit PPA, Dalam proses reduksi data dilakukan penyederhanaan atau penyeleksian data yang didasarkan pada perumusan masalah, fokus dan tujuan Penelitian. Data yang telah direduksi kemudian disajikan sebagai pengantar untuk melakukan penarikan kesimpulan. Reduksi untuk masing-masing fokus kajian penelitian adalah sebagai berikut : 1. Fokus Kajian Latar belakang terjadinya Kekerasan terhadap perempuan Latar belakang terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan atau faktor-faktor yang turut melestarikan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat, adapun faktor/aspek tersebut adalah faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Reduksi data untuk tiap aspek latar belakang kekerasan terhadap perempuan adalah : 62 a. Faktor sosial, status sosial korban maupun pelaku tidak terlalu mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini terbukti dari hasil penelitian tercatat beberapa hal yaitu kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pada korban dengan status sosial apapun demikian juga pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak didominasi oleh pelaku dengan status tertentu dalam masyarakat. Hal ini berarti faktor sosial bukan faktor/variabel penentu yang melatarbelakangi kekerasan terhadap perempuan. tapi faktor ini hanya menjadi faktor yang secara tidak langsung melestarikan kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam masyarakat hal ini dapat dibuktikan bahwa ada atau tidaknya peran masyarakat dapat menjadi faktor yang menyuburkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan seperti : 1) kurangnya peran keluarga dalam mendidik anak menyebabkan anak cenderung mudah menjadi pelaku ataupun korban kekerasan hal ini dapat dilihat dari data kasus kekerasan terhadap perempuan berupa perkosaan dan pencabulan yang dilakukan oleh pelaku dan korban dibawah umur ; 2) Lingkungan masyarakat yang buruk mempengaruhi kecenderungan manusia untuk menjadi pelaku ataupun korban kekerasan ; 3) Masyarakat yang apatis terhadap lingkungannya memiliki kecenderungan untuk menjadi faktor pendukung terjadinya kekerasan, hal ini berupa adanya anggapan masyarakat bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga orang lain adalah tabu untuk dicampuri anggapan ini menjadi penyebab tingginya tingkat kekerasan terhadap istri dan kekerasan dalam 63 rumah tangga dalam masyarakat yang cenderung apatis terhadap lingkungannya ; 4) Pengaruh negatif perkembangan teknologi dapat menjadi faktor yang mempercepat degradasi moral masyarakat, sehingga melahirkan masyarakat yang individualis, apatis serta hedonis, yang kemudian menyebabkan generasi berikutnya meniru generasi sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan berupa perkosaan dan pencabulan yang dilakukan oleh pelaku dan korban dibawah umur, mayoritas dari kasus tersebut adalah karena pengaruh VCD porno serta perilaku meniru kekerasan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Keseluruhan faktor tersebut memunculkan sebuah hipotesa bahwa masyarakat yang acuh serta keluarga yang kurang memperhatikan perkembangan anaknya adalah faktor yang sangat mempengaruhi perilaku anak untuk menjadi pelaku ataupun korban kekerasan seksual. b. Faktor ekonomi, faktor ini sebenarnya hanya menjadi faktor penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan yang sifatnya kasuistis artinya bahwa faktor ekonomi tidak bisa digeneralisir sebagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan pada setiap kasus, melainkan hanya terhadap kasus-kasus tertentu saja faktor ini berlaku, karena kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pada korban dan pelaku dengan tingkat ekonomi apapun dari data hasil penelitian tercatat bahwa faktor ekonomi ini besar sekali pengaruhnya untuk menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam 64 bentuk perdagangan perempuan dan pelecehan seksual, berupa ketergantungan ekonomi yang sangat besar terhadap pelaku pelecehan seksual menyebabkan perempuan tersebut rentan sekali terhadap pelecahan seksual, kasus ini dapat dilihat dari data pelecehan seksual yang terdapat pada Lentera Perempuan dimana korban kebanyakan adalah mereka yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi dengan kedudukan karir menjadi bawahan pelaku pelecehan, tapi tentu saja pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja dan oleh siapa saja. c. Faktor budaya, faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat menganut budaya patrialkal yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua di masyarakat, hal ini melahirkan inferioritas perempuan terhadap laki-laki, karena kedudukan perempuan yang lemah secara budaya inilah perempuan rentan terhadap kekerasan. Faktor budaya ini dapat tercermin dalam bentuk sebagai berikut. 1) Subordinasi, lemahnya posisi perempuan baik dalam keluarga maupun dalam ruang publik. Dalam keluarga tercermin dalam lemahnya posisi istri dan anak perempuan, budaya kita menempatkan laki-laki dan suami memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan atau istrinya sehingga suami merasa berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya, adanya penafsiran yang keliru atas ajaran agama, budaya ini melahirkan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap istri baik fisik, seksual dan psikologis. Dalam ruang 65 publik perempuan dinomorduakan dalam pengambilan keputusan, jenjang karir perempuan cenderung terhambat apalagi bagi perempuan yang sudah berkeluarga, hal ini melahirkan beban psikologis bagi perempuan sehingga timbul hipotesa bahwa apabila perempuan mau maju maka dia harus memiliki dua kali lipat kemampuan dari laki-laki ; 2) Pelabelan negatif (stereotipe), adanya pelabelan negatif terhadap perempuan apalagi bagi perempuan yang yang secara sosial dianggap cacat moralnya ; 3) Marginalisasi (peminggiran) dalam mengakses kesempatan dan hasil kerja ekonomis. Hal ini dapat terlihat bahwa dalam keluarga laki-laki lebih di dahulukan daripada perempuan dalam hal pendidikan, materi atau yang lainnya. Berdasarkan data yang saya peroleh di Polres Banyumas, terdapat 141 kasus kekerasan dalam rumah tangga di daerah banyumas akan tetapi hanya 3 kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Data tersebut diambil dari tahun 2010-2011, dan terdapat 2 kasus yang berdasarkan penelitian saya, yaitu kekerasan seksual dalam Rumah tangga. Kasus yang sudah diputus di Pengadilan Negeri Banyumas terdapat 2 kasus kekerasan seksual dalam rumah Tangga yaitu Putusan Nomor : 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms pada tanggal 18 februari 2010. berdasarkan kasus tersebut terdapat dimana seorang pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandung dan anak tiri yang korbannya rata – rata dialami oleh anak dibawah umur sekitar 14-13 tahun. Daftar kasus yang terjadi Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten banyumas, maka yang 66 pertama harus di lihat adalah gambaran dari hasil penelitian tentang jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang di laporkan pada Polisi Resort (Polres) Banyumas selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2010-2011 dan dapat di lihat pada tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Data kekerasan terhadap perempuan Tahun 2009-2012 No Bentuk kekerasan Jumlah 1. Pencabulan 9 Kasus 2. Perceraian 6 Kasus 3. Kekerasan seksual terhadap anak 4 Kasus 4. Kekerasan terhadap Istri 42 Kasus 5. penganiayaan 8 Kasus 6. Perselingkuhan 9 Kasus 7. Kekerasan dalam rumah tangga 20 Kasus 8. Kekerasan dalam pacaran 18 Kasus 9. Perkosaan 6 Kasus 10. Pelecehan seksual 19 Kasus Jumlah 141 Kasus Data : Polres Banyumas Tabel 2: Jumlah kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga dilaporkan tahun 2010-2011 No 1. 2. Tahun terjadinya kekerasan 2010 2011 Jumlah Jumlah kasus 2 1 3 Sumber : Data primer diolah dari kuisoner Data di atas menunjukan jumlah kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilaporkan kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Banyumas kisaran tahun 2010-2011 yaitu ada 3 kasus yang sudah selesei dan pada tahun 2012 ada 2 kasus yang saat ini sedang dalam proses sidang, berarti ada 67 penurunan. Dengan demikian jumlah kasus kekerasan seksual yang di laporkan pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres banyumas selama periode 2010-2012 sejumlah 4 kasus yang menunjukkan adanya angka yang sama jumlah kasus dari tahun 2010-2012 dengan rata-rata korban dibawah umur 17 tahun. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka 11 orang responden telah memberikan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan ini dapat dilihat pada tabel 3 : Tabel 3:Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga No Penyebab Kekerasan Terhadap Responden 1 Ekonomi 2 Selingkuh 3 Perilaku seks menyimpang Jumlah Responden 5 3 3 Sumber : Data primer diolah dari kuisoner Dari data di atas dapat terlihat bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga, yaitu : 1. Faktor Ekonomi 2. Faktor Perselingkuhan 3. Faktor perilaku seks menyimpang Menurut Ali Rustomo (Kanit PPA) wawancara, tanggal 15 februari 2013, mengatakan bahwa korban pada umumnya datang melapor dan mengadu hanya mengaku telah dianiaya tetapi tidak jelas apa penyebabnya 68 sehingga dianiaya. Walaupun ada korban yang mengatakan faktor penyebabnya adalah faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya mengapa ia dianiaya, sehingga polisi hanya memproses pengaduan tersebut tanpa melihat lebih jauh faktor penyebabnya. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah penghasilan suami, sehingga seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang berakibat terjadinya kekerasan fisik dan penelantaran rumah tangga. Selanjutnya ia mengemukan bahwa selain faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor perselingkuhan yang dapat menyebakan atau berujung pada kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik dapat terjadi karena antara pelaku dan korban selalu cekcok atau bertengkar karena adanya perselingkuhan dari salah satu atau kedua-duanya masing-masing berselingkuh dengan orang lain. Begitu pula tentang penelantaran rumah tangga yang terjadi karena adanya perselingkuhan yaitu pelaku sering meninggalkan rumah tanpa alasan, sehingga tidak mengurus lagi orang-orang dalam lingkup rumah tangganya. Faktor perilaku yang dapt menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku buruk seseorang seperti seseorang yang mempunyai sifat tempramen tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka main judi, pemabuk dan mudah tersinggung, pencemburu dan sifat tersebut dapat 69 dengan cepat terpengaruh untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang di sekelilingnya.50 Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dilihat gambaran sebagai berikut : 1. Penyajian data dengan fokus kajian latar belakang kekerasan terhadap perempuan menggunakan matrik sebagai berikut : Tabel 4: Sajian Data Penelitian dilihat dari Fokus Kajian Latarbelakang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Latar belakang kekerasan Keterangan a. Faktor Ekonomi Ketidakmampuan pelaku secara ekonomi b. Faktor Perselimgkuhan Adanya perselingkuhan dari salah satu pihak baik yang dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga serta kekerasan seksual. c. penyimpangan seksual Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan factor genetik Sumber : Data primer diolah dari kuisioner a. Faktor Ekonomi Masalah ekonomi secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang dapat memicu adanya pertengkaran yang berujung pada kekerasan seksual atau pencabulan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sebagai penyebab 50 Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7 maret 2013 70 terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dilihat ada tabel berikut mata pencaharian Pelaku Kekerasan Seksual : Tabel 3. Pekerjaan Pelaku Kekerasan Seksual No 1 Jenis Pekerjaan Pelaku Petani Jumlah Responden 2 2 Buruh 1 3 Pengangguran Jumlah 2 5 orang Data: Unit PPA PolresBanyumas 2012 Menurut Ali Rustomo (wawancara, tanggal 7 maret 2013) bahwa kasus-kasus yang dilaporkan karna alasan ekonomi memang pada umumnya karna penghasilan kurang yaitu ada tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami, sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Tetapi ada juga dari yang berpenghasilan cukup atau berlebih yaitu karena korban atau istri tidak bisa mengatur keuangan rumah tangga, sehingga berapapun besarnya uang yang diberikan selalu habis.51 Hal senada di sampaikan oleh Patahuddin B, SH (Pakar Hukum) bahwa kalau sepintas lalu seseorang memukul istri karena masalah ekonomi, disini bukan hanya karna penghasilan rendah tetapi juga ada yang berpenghasilan 51 Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7 maret 2013 71 cukup.Faktor ekonomi juga sangat bervariasi bentuknya, misalnya istri selalu minta uang belanja melebihi jumlah penghasilan suaminya. Si suami yang punya tempramen tinggi dan cepat marah setiap istri minta uang belanja selalu dibalas kata-kata kasar bahkan dengan pukulan. Kasus lain dimana pelaku bukan karna kekurangan tetapi berlebih atau cukup sehingga selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk membiayai hidup perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung memaki-maki atau memukul istrinya karna untuk menutupi perselingkuhannya. Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencelanya bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah tangga, bukan karena kurang uang bahkan dapat dikatakan berlebih hanya dalam hal ini disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok maka biasanya berujung pada kekerasan fisik dan dapat . Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena faktor ekonomi relatif dapat di lakukan baik yang berpenghasilan cukup maupun yang berpenghasilan kurang dapat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, hanya bentuknya beda. 72 b. Faktor Perselingkuhan Menurut Ali Rustomo (wawancara tanggal 7 maret 2013) Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Berbagai alasan yang secara umum nyatakan bahwa karena adanya perselingkuhan dari salah satu pihak baik yang dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga serta kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi apabila suami yang berselingkuh tetapi istri selalu mempersoalkan masalah tersebut, selalu marah-marah, cemburu. Hal ini dapat memicu emosi suami untuk bertindak kasar sampai memukul istri., demikian juga jika istri yang selingkuh apabila suami mengetahui ada yang langsung memukul istrinya ada pula yang tidak langsung seperti memperingati istrinya kalau menurut larangan suami maka dapat terjadi percekcokan berujung pada kekerasan fisik terhadap istri. Hal ini juga dapat terjadi pada anak perempuan, ipar perempuan dan pembantu perempuan yang dalam konteks rumah tangga dapat menjadi objek kekerasan seksual yang disebabkan karena cemburu akibat faktor perselingkuhan. 73 c. Faktor Perilaku Seks menyimpang Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan factor genetik. Berikut ini macam-macam bentuk penyimpangan seksual : 1. Homoseksual Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Hal yang memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara homoseksual dengan peningkatan risiko AIDS. Pernyataan ini dipertegas dalam jurnal kedokteran Amerika (JAMA tahun 2000), kaum homoseksual yang “mencari” pasangan yang melalui internet, terpapar risiko penyakit menular seksual (termasuk AIDS) lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. 2. Sadomasokisme Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan 74 dari sadism seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual. 3. Ekshibisionisme Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi begini sering di derita pria, dengan memperlihatkan penisnya yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi. 4. Voyeurisme Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual. Yang jelas, para penderita perilaku seksual menyimpang sering membutuhkan bimbingan atau konseling kejiwaan, disamping dukungan orang-orang terdekatnya agar dapat membantu mengatasi keadaan mereka. 75 5. Fetishisme Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan bendabenda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut. 6. Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil Adalah orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur. 7. Bestially Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain sebagainya. 8. Incest Adalah hubungan seks dengan sesame anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak cowok. 9. Necrophilia/Necrofil 76 Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat / orang mati. 10. Zoophilia Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan. 11. Sodomi Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesame jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan. 12. Frotteurisme/Frotteuris Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seseorang laki-laki mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek / menggosok-gosok alat kelaminnya ketubuh perempuan di tempat publik / umum seperti di kereta, pesawat, bis, dll. 13. Gerontopilia Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu diagnosis gangguan seksual, dari sekian banyak gangguan seksual seperti voyurisme, exhibisionisme, sadisme, masochisme, pedopilia, brestilia, homoseksual, fetisisme, frotteurisme, dan lain sebagainya. Keluhan awalnya adalah merasa impoten bila menghadapi istri/suami sebagai pasangan hidupnya, karena merasa tidak tertarik lagi. Semakin ia 77 didesak oleh pasangannya maka ia semakin tidak berkutik, bahkan menja dicemas. Gairah seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya justru bias bangkit lagi jika ia telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).52 Berdasarkan penjelasan diatas diliat dari data primer yang sudah diolah dari kuisoner di daerah Banyumas beserta Data kasus , Perilaku seks menyimpang yang terjadi pada kasus-kasus kekerasan seksual di banyumas yaitu: - Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil - Incest B. Bentuk Perlindungan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Wilayah Kabupaten Banyumas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di dalam Pasal 1 ayat (3) menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum. Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, keamanan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Banyumas mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap 52 http://www.idonbiu.com/2009/05/bentuk-bentuk-penyimpangan-sosial-di.html 78 anak, terdapat jumlah kekerasan seksual terhadap anak yang ada di beberapa wilayah kecamatan di Banyumas, relasi antara pelaku dengan korban, usia pelaku dan korban, penyelesaian kasus, tuntutan Jaksa dan vonis Pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak di Banyumas. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan oleh masyarakat, bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak secara kedinasan, dan modus kasus-kasus kekerasan seksual yang dapat dilihat pada data dari Unit PPA Sat Reskrim Polres Banyumas. Pada waktu melapor, korban ditempatkan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dimana seharusnya anggota-anggota didalamnya didominasi oleh polisi wanita (polwan) sehingga korban tidak malu dan lebih terbuka dalam memberikan keterangan dan menceritakan kronologis peristiwa perkosaan yang telah dialaminya. Dalam memberikan pertanyaan, sebisa mungkin penyidik tidak menyinggung perasaan korban apalagi memojokkan korban. Namun kenyataannya jumlah anggota Polwan di unit PPA Polres Banyumas amat terbatas sehingga pemeriksaan dilakukan oleh laki-laki namun korban didampingi orangtuanya. Untuk kepentingan visum at repertum, RPK seharusnya menyediakan ruangan khusus sehingga sedikit banyak dapat membantu meringankan penderitaan korban dalam proses penyidikan. Namun kenyataannya korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara. Bagi korban yang mengalami trauma atau gangguan psikis akibat kekerasan seksual yang telah dialaminya, Unit PPA Polres Banyumas menjalin 79 kerjasama dengan Dinas Sosial Banyumas yang menyediakan psikiater yang bertujuan untuk memulihkan kondisi kejiwaan dari korban kekerasan seksual tersebut. Dalam hal setelah mengalami kekerasan seksual korban tidak diterima kembali oleh keluarganya, atau sudah tidak ada lagi yang bersedia menampung korban, maka Unit PPA Polres Banyumas juga menjalin kerjasama dengan Dinas Sosial banyumas yang menyediakan fasilitas berupa SHELTER (Rumah Aman) yang memberikan perlindungan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan masalahnya. Perlakuan yang diterima korban selama proses peradilan pidana adalah merupakan salah satu wujud perlindungan hukum terhadap korban (tindak pidana perkosaan). Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikan dan penyempurnaan penanganan antara lain: 1. Kekerasan seksual dan/atau perkosaan merupakan tindakan pseudoseksual yang sering dilandasi keinginan mendominasi, menaklukkan dan merendahkan daripada mendorong seksual sebagai pemicu utama. Karena itu, kekerasan seksual tidak selalu ditampilkan dalam bentuk perkosaan (dalam arti penetrasi penis ke vagina) melainkan dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk lain. Upaya perkosaan pun tidak selalu dapat berlangsung sempurna. Meskipun demikian, dampak psikologisnya pada korban seringkali sama 80 beratnya. Penggunaan istilah perkosaan dapat menjebak dan mengandung banyak kelemahan, mengingat perkosaan dalam arti (upaya) pemaksaan hubungan seksual hanya merupakan satu dari banyak bentuk kekerasan seksual terhadap anak. 2. Pengalaman klinis menunjukkan cukup banyak penganiayaan atau penyalahgunaan seksual masa kanak yang dilakukan oleh orang-orang dekat korban, yang berdampak psikologis untuk jangka panjang. Isu incest atau penganiayaan seksual ini belum mendapatkan perhatian sama besar dengan isu kekerasan dalam rumah tangga yang lebih umum. Perhatian perlu diberikan oleh semua pihak pada isu penganiayaan seksual masa kanak, karena dengan sifatnya yang khusus, penanganan terhadap kasus demikian tidak sama dengan penanganan terhadap kasus kekerasan lain. 3. Kampanye atau berbagai bentuk advokasi anti kekerasan terhadap anak akan banyak membantu counsciousness raising dan pemberdayaan korban (dalam arti membuka keberanian untuk membahas masalah kekerasan, meninggalkan rasa malu dan tabu), tetapi diperkirakan tidak banyak berdampak langsung dalam mengubah tingkah laku pelaku. Menurunnya kesewenangan melakukan kekerasan diperkirakan dapat terjadi bila produk dan proses hukum sungguhsungguh dapat menjerat pelaku dengan hukuman setimpal, dan masyarakat menunjukkan pemihakannya pada korban dengan menyediakan berbagai bentuk dukungan sosial yang nyata. 81 4. Dengan kompleksnya permasalahan di seputar kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, penanganan atau tindakan legal terhadap korban tidak dapat dilakukan secara sepenuhnya sama seperti terhadap korban tindak kriminal lain. Perlu dipikirkan kemungkinannya kehadiran saksi ahli menggantikan kehadiran korban dalam sidang pengadilan, ataupun bentukbentuk lain untuk memungkinkan dilakukannya tindakan hukum. 53 Dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak khususnya tindak pidana perkosaan, aparat penegak hukum masih mengalami hambatan. Secara umum, hambatan yang dihadapi adalah berupa hambatan internal dan eksternal. 1. Hambatan Internal Hambatan pertama yang dihadapi dari segi internal, yaitu banyaknya kegiatan, luasnya cakupan kegiatan yang meliputi seluruh institusi penegak hukum serta mitra kerja. Banyaknya pihak yang terlibat dari berbagai institusi serta jangkauan dari kegiatan menimbulkan kesulitan dalam melakukan monitoring dari pelaksanaan masing-masing kegiatan. Oleh karena itu, diambil langkah-langkah solusi dalam mengatasi masalah ini. Misalnya, melakukan konsolidasi serta mengefektifkan alur komunikasi dan informasi. Tim kerja memerlukan konsolidasi ke dalam dan evalusi kegiatan yang tepat guna dan terus menerus. Tim kerja dari masing-masing kegiatan dan Koordinator Program perlu membangun persepsi yang setara, komunikasi 53 Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7 maret 2013, diolah 82 dinamis dan tim yang kompak. Koordinator Program perlu memahami persoalan-persoalan yang dihadapi mitra, yang berhadapan dengan kelompok peserta misalnya aparat penegak hukum, akademisi dan masyarakat luas. Contoh permasalahan adalah lobi-lobi informal dan strategi pendekatan yang berbeda-beda, yang masih harus terus dilaukan terhadap instansi penegak hukum. Ini untuk menembus dinding birokrasi dan meraih partisipasi dan umpan balik dari mereka, bahkan untuk memasukkan hasil kegiatan dalam struktur lembaganya masing-masing. Hambatan internal kedua, adalah hambatan teknis, yaitu kebutuhan penyediaan sistem informasi digital dan intrnet yang memadai dan merata. Namun, hal ini berhasil diatasi dengan baik. Hambatan internal yang ketiga, yaitu kapasitas. Terdapat perbedaan dan kesenjangan kapasitas kerja pada masing-masing lembaga tim kerja, penegak hukum dan peserta lainnya, sehingga kerap menimbulkan hambatan dalam menjalankan program. Upaya konsolidasi dalam tim kerja dapat menunjukkan secara dimana kekurangan kapasitas ini, dan bagaimana tim kerja dapat mengatasinya. 2. Hambatan Eksternal Hambatan eksternal terdiri dari beberapa macam, yang pertama adalah adanya perbedaan pemahaman. Hal ini sudah diperkirakan sejak awal mendesain Program. Mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berperspektif keadilan, sadari awal disadari tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Solusi yang diambil, melakukan pendekatan yang bersifat 83 partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Kedua, menyusun strategi untuk menyamakan persepsi dan assessment terhadap program-program yang telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. Ketiga, mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berkeadilan dengan menggali pengalaman para pihak yang terlibat dalam Program dalam menangani kekerasan terhadap anak. Dalam prosesnya, pengalaman kemudian dibahas secara bersama-sama. Pengenalan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu- Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak secara perlahan-lahan dilakukan dan didiskusikan bersama pula hingga mencapai satu persepsi dan pemahaman yang sama. Hambatan lain adalah hambatan birokrasi yang berkaitan dengan belum menjadi prioritas dikalangan pengambil kebijakan. Hal ini juga berkaitan dengan dinamika lapangan hukum dalam konteks sosial, ekonomi, politik. Keterangan dari aparat penegak hukum yang penulis wawancarai dengan fakta yang terjadi di lapangan memang jauh berbeda. Namun tidak bijak jika kemudian muncul stigma atau anggapan bahwa kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah seperti yang tertulis di atas karena tidak semua aparat penegak hukum bersikap demikian. Hanya saja memang diharapkan bahwa aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, adalah aparat penegak hukum yang berperspektif anak agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat menjerat pelaku sesuai 84 dengan perbuatannya. Dengan demikian penegakan hukum akan tercapai, korban akan merasa dilindungi dan dapat menjawab rasa keadilan dalam masyarakat. Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak. Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu: 1. compassion, respect and recognition; 2. receive information and explanation about the progress of the case; 3. provide information; 4. providing proper assistance; 5. protection of privacy and physical safety; 6. restitution and compensation; 7. to access to the mechanism of justice system. 85 Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain:54 1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan); 2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana; 3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang; 4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku; 5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya; 6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan; 7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. 54 Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 hal 54-55 86 Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tidak semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Perlindungan Oleh Hukum Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Berdasarkan ilmu hukum, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam.55 1) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” 55 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004, hal 91 87 Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 2) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban. Jadi selain pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian dalam perkara kekerasan seksual yang ditanganinya. Gugatan ganti kerugian hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja. Dari dimensi sistem peradilan pidana maka kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu: a) Aspek Positif KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan korban perlindungan dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat 88 diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu: Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang didengar sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa. Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, memberi keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian. b) Aspek Negatif Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat 89 perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung. 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006. UndangUndang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan hukum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor. Bagi korban, Undang-Undang ini juga merupakan alat baru untuk mengakses keadilan karena ia memuat: a) Jaminan hukum tentang perlindungan bagi saksi, korban dan pelapor dari tuntutan secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Walaupun masih terbatas, jaminan bagi pelapor adalah penting, terutama karena masih banyak korban yang tidak berani secara sendiri melaporkan kejahatan yang menimpanya. b) Adanya perluasan cakupan perlindungan yang dapat diperoleh oleh para saksi dan korban tindak pidana-tindak pidana yang menempatkan korban dalam situasi rentan dan berada dalam ancaman terus-menerus seperti korban-korban atau saksi pada situasi konflik, situasi perdagangan orang, situasi birokrasi dan lain sebagainya. 90 c) Adanya ketegasan asas-asas yang menjadi acuan implementasi dan operasional penyediaan perlindungan saksi dan korban, yaitu asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. d) Adanya penjabaran yang cukup rinci tentang hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan, yaitu: - memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan; - ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; - memberikan keterangan tanpa tekanan; - mendapatkan penerjemah; - bebas dari pertanyaan yang menjerat; - mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; - mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; - mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; - mendapat identitas baru; - mendapatkan tempat kediaman baru; - memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; - mendapat nasihat hukum; dan atau 91 - memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (Pasal 5 ayat 1) 4) Termasuknya Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga sebagai jenis kasus yang berhak atas perlindungan saksi dan korban. 5) Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial, kompensasi dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan ini sangat penting bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dalam situasi konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai akibat kejahatan terhadap kemanusiaan. 6) Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa kehadiran langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman suara. Terobosan ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang seringkali masih trauma, merasa takut mengalami reviktimisasi dan juga malu yang tak tertanggungkan pada saat memberikan kesaksian. b. Perlindungan Oleh Masyarakat 1) Keluarga Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa kejadian yang dialaminya tidak boleh merusak masa 92 depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya korban merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya. 2) Masyarakat Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Selain itu, perlindungan hukum terhadap korban juga dilakukan selama proses peradilan yang dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut: 93 1. Sebelum Sidang Pengadilan Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Polri telah membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diwakili oleh Polwan yang diwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional. Adapun visi dan misi dari RPK adalah sebagai berikut: a. Visi: Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan baik medis, psikologis maupun hukum sehingga masalahnya terselesaikan dengan adil. b. Misi: 1) Memberikan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. 2) Memberikan pelayanan secara cepat, profesional, penuh empati dan rasa asih kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. 94 3) Membangun jaringan kerjasama antar instansi atau badan atau lembaga untuk menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari uraian di atas dan dari permasalahan yang ke-2 tentang bagaimana korban diperlakukan selama proses peradilan pidana, masih ada beberapa aparat hukum yang dalam memperlakukan korban pada kasus ini belum berspektif perempuan. Penanganan kasus kekerasan seksual juga terlampau panjang karena harus mengikuti prosedur hukum yang membuat korban menjadi enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum yang berkeadilan. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa pemahaman mengenai kepekaan bagi aparat penegak hukum agar bersikap tanggap terhadap kepentingan anak-anak korban kekerasan seksual yang dialaminya. Bicara mengenai reformasi penegakan hukum yang berkeadilan, menyangkut bagaimana sistem penegakan hukum yang ada mampu mengeluarkan kebijakan yang menjamin perlindungan terhadap kepentingan dan hak asasi. 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor penyebab kekerasan seksual dalam rumah tangga a. Faktor Ekonomi Faktor melatarbelakangi kekerasan seksual dimana ketidakmampuan pelaku secara ekonomi yang membatasi istri bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang, sehingga Pelaku melakukan tindakan oleh karena itu pelaku tidak mendapat kebutuhan biologis istrinya, sehingga timbul kekerasan seksual terhadap anak sebagai pelampiasan. b. Faktor Perselingkuhan Faktor tersebut timbul karena adanya ketidaknyamanan pelaku perselingkuhan terhadap pasangannya baik yang dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan seksual. 96 c. Faktor penyimpangan seksual Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Berikut ini macam-macam bentuk penyimpangan seksual yang terdapat kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah Banyumas: - Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil - Incest d. Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan pihak Polres banyumas terhadap korban kekerasan seksual. Bentuk perlindungan yang dilakukan pihak Polres Banyumas khsusnya unit PPA adalah pada saat belum terjadi persidangan dimana korban ditempatkan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dimana seharusnya anggota-anggota didalamnya didominasi oleh polisi wanita (polwan) sehingga korban tidak malu dan lebih terbuka dalam memberikan keterangan dan menceritakan kronologis peristiwa perkosaan yang telah dialaminya. Bagi korban yang mengalami trauma atau gangguan psikis akibat kekerasan seksual yang telah dialaminya. 97 B. SARAN a. Kebijakan Penerapan hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual terbagi menjadi 2 yaitu : Penal yaitu menggunakan sarana hukum pidana yang ada ( aparat penegak hukum dan Per UU ) Non penal yaitu melakukan sosialisasi terhadap elemenelemen masyarakat dan bekerja sama dengan instansi terkait (Bapernas,diknas dan yang mengenai UU no.23 tahun 2002 dan 2004. Sesuai dengan uu no.2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara tentang tugas pokok polri dimana meliputi Penegakan hukum, Melindungi, Mengayomi, dan melayani masyarakat. Harkantiknas (pemeliharaan, keamanan, ketertiban masyarakat) b. Seharusnya penanganan kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga jangan terlampau panjang, karena prosedur hukum yang membuat korban menjadi enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum yang berkeadilan. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa pemahaman mengenai kepekaan bagi aparat penegak hukum agar bersikap tanggap terhadap kepentingan anak-anak korban kekerasan seksual yang dialaminya. DAFTAR PUSTAKA Literatur : Amirudin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Perada. Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada. Dirdjosisworo, Dr.Soedjono. 1984, Pengantar Penelitian Kriminologi, Bandung, Remadja Karya CV. Faisal, Sanafiah.penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Y A 3. Hanitiidjosumitro, Rony. 1989.Perspektif Sosial dalam Pemahaman MasalahMasalah Hukum, Semarang: CV. Agung. Hadi Kusumo, Warsito. 2005. Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka. Koentjoroningrat.1996. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, Lexy J. Maleong. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Mathew B Miles dan Michael hubermas, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta. PT UI Press. Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, Nurjaya, I Nyoman. 1984, Masalah aktual tentang hukum Acara Pidana dan Kriminologi. Jakarta, Binacipta. Nasution, S, 1996, Rekasarasin. Metode Penelitan Naturalistik Kualitatif, Yogyakarta. Purwodarminto, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. Sadjijono. 2008. Mengenal hukum Kepolisian (Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi). Surabaya: LaksBang Mediatama. Soejono, Soekanto. 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Susanto, I.S. 2009, kriminologi, Purwokerto, FH Universitas Jendral Soedirman. Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press. Soemitro, Rony. 1994. Metodologi Penelian Hukum. Jakarta,Ghalia Indonesia. Sutopo, H.B, 1988, Suatu Pengantar Kualitatif, Dasar Teori dan Praktek, Surakarta, pusat Penelitian UNS Soegiono,2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung. CV Alfabeta. Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Sumber lain : Wikipedia, “Kejahatan kekerasan” www.wikipedia.com diakses tanggal 23 oktober 2012 pada pukul: 23.10 http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24 diakses tanggal 20 Oktober 2012 pada pukul: 21.00 Wikipedia, “Pengertian Kekerasan Seksual” www.wikipedia.com diakses tanggal 24 oktober 2012 pukul:22.15 Ikhsanudin. 2011.Tentang Penelitian.Artikel.Diakses http://ikhsanu.blogspot.com pada tanggal 15 Mei 2012 disitus Alim Sumarno, 2012, Penelitian survei adalah, Artikel, Diakses disitus http://blog.elearning.unesa.ac.id pada tanggal 15 Mei 2012. Fu'adz Al-Gharuty, 2009, Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, Artikel. Diakses disitus http://adzelgar.wordpress.com pada tanggal 2 September 2012. http://adhimulyablogs.blogspot.com/2011/05/pelecehan-seksual.html diakses tanggal 3 juli 2013 http://eko-gudangmakalah.blogspot.com/2011/06/kekerasan-dalam-rumah-tanggakdrt.html diakses tanggal 3 juli 2013 http://consultanonline.wordpress.com/tahukah-kamu/kejahatan-pidana/kdrtkekerasan-dalam-rumah-tangga/ diakses tanggal 4 juli 2013 Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7 maret 2013. http://blogingria.blogspot.com/2011/12/modul-kuliah-kriminologi.html http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/ http://www.idonbiu.com/2009/05/bentuk-bentuk-penyimpangan-sosial-di.html http://mamien-go.wordpress.com/2011/07/teori-kriminologi-bag2.html http://books.google.co.id/books?id=04TZAAAAMAAJ&q=dampak+umum+kdrt&dq =dampak+umum+kdrt&html