NU Membangun Desa http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/28/nu03.htm Oleh BASOFI SUDIRMAN TERLEPAS dari istilah ekonomi kerakyatan, usaha kecil dan menengah, atau istilah lain, tapi sampai saat ini pemerintah belum memiliki konsep jelas untuk membangun desa. Padahal, sebagian besar masyarakat kita yang otomatis umat Islam tinggal di desa-desa. Ormas keagamaan terutama NU memiliki jaringan sampai ke desa-desa hingga harus ikut untuk membangun desa. NU bisa melibatkan pesantren-pesantren yang rata-rata berada di pedesaan dengan sosok seorang kiai yang dihormati dan disegani oleh warga. Namun, selama ini masih ada asumsi kuat yang beredar di aparat pemerintah dan masyarakat sendiri bahwa untuk membangun desa-desa yang utama adalah penyediaan dana. Padahal, masalah pendanaan bukan hal utama yang harus selalu menjadi hambatan dan halangan dalam memajukan desa-desa. Pembangunan masyarakat desa bukan hanya butuh duit, namun yang lebih penting adalah pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Misalnya, di satu desa terdapat potensi tanaman nanas karena sudah diusahakan secara turun-temurun hingga sifatnya tradisional dan tak berkembang. Pemerintah bergandengan tangan ormas Islam seperti NU bisa memberikan pengetahuan dan keterampilan cara bertanam nanas yang baik agar hasilnya besar. Namun, kalau sebatas budidaya tanaman dampaknya akan kecil malah terjebak kepada masalah klasik persis ketika masyarakat belum mendapat sentuhan dari pemerintah dan NU. Produksi nanas akan berlimpah, sedangkan di sisi lain permintaan tetap hingga harga nanas akan jatuh dan merugikan petani. Untuk itu, masyarakat juga perlu diberikan cara-cara untuk mengolah nanas dan ilmu pemasarannya. Bagaimana cara mengemas nanas (packing) yang baik dan bagaimana menembus jaringan pemasaran yang lebih menguntungkan seperti ke pasar swalayan atau supermarket. Demikian pula petani jagung atau bawang merah di Brebes Jawa Tengah, yang tidak bisa bergerak maju apabila hanya mengandalkan hasil jagung dan bawang merah. Bagaimana masyarakat desa bisa maju kalau sekadar tanam jagung dengan areal sawah sempit lalu hasilnya dijual ke pasar atau bandar? Lajnah (lembaga --red) Pengembangan Ekonomi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) pernah menangani masalah pemberdayaan masyarakat di daerah Sukabumi selatan yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Boleh dikata hampir 100% nelayan adalah umat Islam hingga NU harus ikut urun rembuk dan berkiprah di daerah pesisir pantai. Persoalan yang sering mengimpit nelayan di Sukabumi adalah ketika hasil tangkapan melimpah otomatis harga jatuh, sedangkan kalau tangkapan sedikit harganya akan naik drastis. Padahal, tangkapan nelayan berupa ikan tuna yang seharusnya bernilai tinggi. NU menyadari tak bisa berjalan sendiri dalam memberdayakan masyarakat desa akibat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Mau tidak mau pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan pendanaan harus berpaling kebijakannya dengan melirik potensi di pedesaan yang luar biasa. Kita selalu bicara desa-desa harus dibangun, tapi realitanya tidak sesuai dengan ucapan dan janjijanji pemerintah. Selama kepengurusan Lajnah Pengembangan Ekonomi PB NU dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini belum bisa berbuat banyak meski memiliki beberapa daerah binaan. Paling-paling mereka mengadakan seminar atau diskusi dengan menghadirkan pejabat pemerintah, pengamat, maupun pakar ekonomi. Susah bergerak apabila tidak ada dukungan riil dari pemerintah sebab membangun ekonomi umat terasa pelik. Contoh riil ketika Lembaga Pengembangan Ekonomi PB NU menggulirkan program asuransi kesehatan umat ternyata tidak berjalan sama sekali. Setelah dirunut masalahnya semua berkutat kepada PB NU tidak memiliki seorang manajer yang bisa menggerakkan ekonomi umat. Jangan tanya soal pendanaan karena NU memiliki jaringan luas yang dapat dimanfaatkan dalam penggalian dana. Ketiadaan seorang manajer andal amat terasa akhir-akhir ini. Namun, jangan dimaknai NU tidak memiliki orang yang bisa menjadi manajer. Banyak orang NU yang pintar dan baik dalam mengelola masalah ekonomi, tapi sayangnya kurang dapat difungsikan oleh pengurus. Saat menjabat Gubernur Jawa Timur, saya menggulirkan program terobosan "Kembali ke Desa" agar masyarakat tidak terfokus kepada kota yang memunculkan masalah-masalah baru akibat urbanisasi. Kita lihat perkotaan di Indonesia terasa kumuh dan kurang terurus setelah beban pemerintah kota amat berat dalam penyediaan perumahan yang layak dan fasilitas-fasilitas masyarakat. Dengan gerakan "Kembali ke Desa" ibarat dampak domino (multiflier effect) yang amat luas dan menyentuh semua kehidupan masyarakat. Desa-desa memiliki SDM-SDM dengan keterampilan dan pengetahuan luas untuk mengolah potensinya yang luar biasa. Desa-desa menjadi basis kuat untuk pemberdayaan diri sendiri sekaligus menjadi penopang bagi perkotaan dalam mengurangi masalah yang muncul. Program ideal tersebut nyatanya tidak bisa berjalan dengan baik karena Pemprov Jawa Timur merasa berjalan sendirian tanpa adanya program yang sama di pemerintah pusat. Pemerintah tidak memiliki konsep dalam menangani masalah ekonomi mikro seperti pemberdayaan masyarakat desa. Yang dipikirkan oleh pemerintah dari dulu sampai sekarang adalah persoalan ekonomi makro seperti nilai ekspor dan impor, jumlah investasi yang masuk, pengaturan atau tata niaga barang, dan lain-lain. NU akan menghadapi masalah besar apabila kebijakan pemerintah sekarang masih seperti dulu dengan lebih mementingkan kestabilan ekonomi makro dan mengesampingkan ekonomi mikro. Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla di awal pemerintahannya saat ini perlu menyadari masalah itu agar tidak terjebak kepada pembangunan ekonomi layaknya pemerintah di masa lalu. Dalam Muktamar NU ke-31 ini di Asrama Haji Donohudan Lembaga Pengembangan Ekonomi PB NU sudah membahas secara khusus berbagai masukan dan program-program yang perlu dimasukkan dan dijalankan oleh pengurus lima tahun ke depan. Kami hanya bisa berharap agar PB NU tidak hanya menghasilkan program bagus tapi sebatas tertulis di kertas. Layaknya harapan besar kepada pemerintahan baru untuk lebih memperhatikan persoalan pedesaan yang sampai saat ini terpinggirkan.*** Penulis Ketua Lajnah Pengembangan Ekonomi PB NU dan mantan Gubernur Jawa Timur.