TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Pelestarian Nilai-Nilai Tradisional sebagai Wujud Kearifan Lokal: Pola Desa dan Lanskap di Desa Tradisional (Bali Aga) Ni Made Yudantini Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bali. Abstrak Artikel ini mengkaji mengenai pelestarian nilai-nilai traditional yang merupakan suatu kekayaan budaya sebagai cerminan pelaksanaan kearifan local (local wisdom). Kasus yang diangkat difokuskan pada pola desa beserta lansekap di desa-desa tua di Bali yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga, atau Bali Kuna, atau Bali Mula. Penelitian telah dilakukan pada desa-desa tua di dataran tinggi (pegunungan) di Bali bagian Utara dan desa-desa yang berada sepanjang danau. Desa Pinggan dan Desa Buahan merupakan contoh kajian dalam penelitian ini. Pendalaman dan pemahaman kajian histori, kebudayaan dan arsitektur dilakukan untuk memahami nilai-nilai tradisional yang ada di desa-desa tersebut. Pengamatan secara langsung pada pola desa dan lingkungannya bertujuan untuk mendalami tentang kondisi dan ekistensi desa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap keilmuan khususnya konservasi dalam melestarikan dan memelihara kekayaan arsitektur dan budaya, serta sebagai sumbangsih dokumentasi untuk generasi berikutnya agar memahami kekayaan yang dimiliki oleh bangsa ini. Kata-kunci: desa tradisional, lanskap Bali, nilai-nilai tradisional, pola desa Pengantar Bali sebagai salah satu tujuan wisata terkenal dengan adat istiadat dan budayanya yang telah berlangsung sejak turun temurun. Adat istiadat yang unik telah diterapkan jauh sebelum pengaruh Majapahit masuk ke Pulau Bali. Sistem irigasi yang dikenal sebagai subak, telah dikenal sejak 300 BC yaitu pada jaman pre-history di Bali. Pengaruh selanjutnya berkembang pada jaman Bali Kuno dimana pada masa ini terdapat pengaruh Budha pada mayoritas masyarakat Hindu Bali. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa arca di Gunung Kawi dan Goa Gajah (Adhika, 1994). Pada masa ini mulai berkembang sistem desa adat, adanya komunitas masyarakat Hindu dengan sistem banjar, serta dikenalkannya sistem pura yang disebut Kahyangan Tiga yang berada pada tingkat desa. Sejak masuknya pengaruh Majapahit, sistem kasta mulai dikenal, serta mulai maraknya penggunaan kaligarafi Bali yang ditulis dalam lontar, philosophi termasuk dalam kearsitek-turan Bali yaitu Hasta Alit,1996). Kosala-Kosali (Ardika, 2013; Namun pada masa kejayaan Majapahit ini pula, orang-orang Bali asli yang dikenal dengan sebutan Bali Aga, Bali Mula atau Bali Kuna, mereka tetap mempertahankan keaslian adat istiadat mereka. Orang-orang Bali Aga tidak mau menerima pengaruh dari Majaphit ini, sehingga mereka mengasingkan diri dan tinggal di daerah pedalaman seperti dataran tinggi, tinggal di kaki gunung, serta sepanjang Danau Batur. Masyarakat masih tetap mempertahankan budaya mereka termasuk arsitektur rumah tinggal, pola desa beserta lanskapnya. Pulau Bali juga menjadi tempat penelitian bagi para akademis maupun professional tidak hanya dalam negeri namun juga peneliti dari luar negeri. Kearifan lokal Pulau Bali yang kaya akan nilai-nilai tradisional membuat Bali menjadi salah satu tujuan dari pariwisata serta penelitian. Cukup banyak peneliti dari luar negeri telah mempublikasikan hasil penelitiannya baik di bidang psychology, antroProsiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 063 Pelestarian Nilai-Nilai Tradisional sebagai Wujud Kearifan Lokal: Pola Desa dan lanskap di Desa Tradisional (Bali Aga) pologi, arsitektur, lanskap, taman dan sebagainya. Perkembangan globalisasi memang tidak dapat dihindari dan ini tentu saja menjadi ancaman bagi keberlangsungan adat dan budaya tidak saja di Pulau Bali, namun secara nasional di Indonesia. Perubahan-perubahan tentu saja tidak dapat dihindari dengan adanya pengaruh modern pada bangunan bisnis, perkantoran serta bangunan rumah tinggal. Hal ini sangat jelas dapat dilihat di daerah kota seperti Kota Denpasar. Namun walaupun secara fisik terlihat perubahan pada bangunan, namun sejatinya masyarakat Bali pada umumnya masih tetap mempertahankan adat budaya mereka. Walaupun hidup dalam suasana perkotaan, namun masyarakat Bali sangat terikat kuat dengan sistem banjar, desa adat dan Pura Kahyangan Tiga (Setiada, 2003). Dengan adanya ancaman globalisasi, dipandang perlu untuk secara kontinu untuk melaksanakan pelestarian nilai-nilai tradisional khususnya dalam bidang arsitektur dan lingkungan lanskap. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Bali secara luas untuk tetap memelihara dan mempertahankan kekayaan arsitektur, adat istiadat yang men-jadikan Pulau Bali terkenal sebagai pulau unik dengan keberagaman budayanya sebagai salah satu identitas lokal genius Bali. Metode Metodologi dalam penulisan artikel ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, penggalian dan pemahaman literatur tentang desa-desa tua baik sejarah, kondisi sosial masyarakat yang didapat dari berbagai sumber utama dari hasil riset dan kajian penelitian sebelumnya. Dalam menggali informasi dilakukan juga wawancara kepada beberapa warga masyarakat dan kepala-kepala desa yang dikunjungi. Hal ini untuk lebih mengetahui secara mendalam kondisi desa dan sosial budaya masyarakat. Analisa kualitatif digunakan dalam pembahasan artikel ini untuk mengungkapkan temuan dari penelitian ini yaitu sejauh mana masyarakat melestarikan dan menerapkan nilai-nilai A 064 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 tradisional terutama di dalam tiga zona pola ruang desa yaitu area utama, area tengah /madya, dan area nista. Analisis dan Interpretasi Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari adat istiadat yang dijiwai oleh agama Hindu. Nilainilai yang terkandung dalam budaya Bali diaplikasikan dalam arsitektur tradisional mencakup Tri Hita Karana (tiga penyebab keharmonisan), Tri Mandala (tiga zona), serta keya-kinan akan adanya jiwa (atma) yang memberi jiwa dalam suatu karya arsitektur. Awal mula penelitian tentang desa-desa tradisional dilakukan oleh Gregor Krause pada tahun 1912, khususnya tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Bali terutama di daerah Bangli (Krause, 1988). Semenjak itu mulai bermunculan datangnya torist dari Eropa dan Amerika pada tahun 1920-an. Gregor Krause mendokumentasikan penelitiannya dalam bentuk photography yang mengundang Michael Covarrubias datang ke Bali di bagian utara yaitu di Buleleng dan mempublikasikan bukunya yang berjudul Island of Bali. Penelitian selanjutnya diikuti oleh Margaret Mead dan Gregory Bateson pada tahun 1936 sampai 1939 di Desa Bayung Gede dengan fokus penelitiannya di bidang antropologi. Kemudian Gerald Sullivan (1999) membukukan perjalanan Mead dan Bateson. Peneliti-peneliti lainnya juga bermunculan seperti L.K Suryani (1989-1996) yang fokus pada phisikologis, dan Thomas Reuter (2002) fokus di daerah dataran tinggi khusunya Kintamani. Desa-desa tradisional di Bali dikenal dengan istilah Bali Aga atau Bali Kuna, atau Bali Mula yang memiliki adat tradisi yang masih asli tanpa pengaruh dari jaman Mapajapit. Bali memiliki lebih dari 60 desa-desa tradisional atau desa tua yang tersebar di pelosok-pelosok desa pada dataran tinggi pegunungan, serta sepanjang Danau Batur, Kintamani. Secara umum pola desa tradisional di Bali beserta lanskapnya dibagi dalam tiga area yang disebut dengan Tri Mandala yaitu utama mandala (daerah utama/suci), madya mandala (daerah tengah) dan nista mandala (daerah tidak Ni Made Yudantini suci). Utama mandala biasanya diperuntukkan sebagai tempat suci desa, daerah tengah difungsikan untuk pemukiman dan fasilitasnya, dan nista mandala diperuntukkan sebagai kuburan. Covarrubias (1974) menggambarkan sebuah pola desa tradisional yang terdiri dari pura desa, puri, pasar tradisional, wantilan sebagai ruang serbaguna di desa, bale kulkul, pohon beringin, lingkungan perumahan, serta kuburan dan pura Dalemnya. ruh pada pola rumah tinggal dan lans-kapnya. Satu rumah dibagi dalam beberapa rua-ngan yang dibatasi oleh dinding bamboo untuk membedakan fungsi ruang utama, fungsi tidur serta fungsi dapur di dalam satu atap. Gambar 2. Penerapan Tri Hita Karana dan Tri Mandala pada pola desa tradisional di Bali (Sumber: Yudantini, 2015). Khusus untuk desa-desa tradisional di darah pegunungan cenderung memiliki pola desa yang linear meskipun beberapa desa Bali Aga juga memiliki pola desa yang compound (menyebar) dengan pola natah. Desa Pinggan terletak di kaki Gunung Batur. Desa Pinggan memiliki keterkaitan dengan sebuah pura yaitu Pura Dalem Balingkang dimana jaman dahulu terdapat bekas pusat kerajaan Puri Dalem Balingkang. Desa Pinggan memiliki pola desa linear. Note: A : Pura Desa (village temple) B : Puri (palace) C : Peken (traditional market) D : Wantilan (hall of assembly) E : Kulkul (bell tower) F : Beringin/Waringin (banyan tree) G : Pura Dalem (death temple) Gambar 1. Pola desa tradisional di Bali (Sumber: Covarrubias, 1974, p.43). Desa traditional di Bali dibatasi dengan jalan lingkar desa, dikelilingi oleh hutan tropis, tegalan maupun pertanian sebagai sumber mata pencaharian masyarakat desa. Dalam kesehariannya masayrakat desa akan lebih banyak melewatkan waktu mereka di daerah perkebunan ataupun pertanian. Hal ini juga berpenga- Gambar 3. Peta Desa Pinggan dengan pola linear (Sumber: Google Earth, 2013). Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 065 Pelestarian Nilai-Nilai Tradisional sebagai Wujud Kearifan Lokal: Pola Desa dan lanskap di Desa Tradisional (Bali Aga) Pola Desa Pinggan yang linear juga dapat terlihat pada pola rumah tinggal yang cenderung linear, dimana setiap unit pekarangan terdiri dari beberapa keluarga, biasanya 6 sampai 10 kepala keluarga yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung. mah tinggal Desa Buahan juga memiliki pola linear dimana setiap unit pekarangan dihuni oleh lebih dari 6 kepala keluarga dengan tipe rumah disebut dengan sakaroras (rumah tiang 12). Kesimpulan Pola desa-desa tradisional di Bali khususnya Bali Aga, masih tetap mempertahankan pola aslinya beserta lingkungan alam sekitarnya dimana desa dibatasi dengan jalan lingkar desa, hutan maupun. Perkebunan. Pola desa tradisional secara tidak langsung juga mempengaruhi pola rumah tinggalnya dimana kecenderungan pola desa linear di desa-desa Bali Aga juga memiliki pola rumah tinggal yang linear. Kehidupan masyarakat di desa-desa tradisional masih tetap mempertahankan nilai-nilai traditional seperti Tri Mandala maupun Tri Hita Karana dalam pola desanya. Pelestarian nilai-nilai tradisional ini sangatlah penting sebagai identitas sebuah daerah yang merupakan sumber kekayaan arsitektur daerah dan arsitektur nasional. Gambar 4. Pola linear pada unit rumah tinggal Desa Pinggan (Sumber: Yudantini, 2015). Pola desa linear juga dapat dilihat pada Desa Buahan yang terletak di pinggir Danau Batur. Daftar Pustaka Adhika, I.M. (1994). Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali, Studi kasus Kota Denpasar. Bandung, Indonesia: Program magister Perencanaan Wilayah dan kota, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Alit, I.K. (1996). Diskrepansi Pola Pembangunan Fasilitas Lingklungan secara Adat dan Dinas dalam Penataan Ruang Desa-desa Wisata di Bali. Bandung, Gambar 5. Pola desa linear di Desa Buahan, Kintamani (Sumber: Yudantini, 2015). Desa Buahan miliki pola desa linear yang sangat kuat dengan akses ketinggian dari Pura Desa kea rah view danau di depan desa. Desa Buahan juga dikelilingi dengan hutan di daerah perbukitan dengan perkebunan palawija seperti bawang dan cabai cukup banyak yang merupakan sumber matapencaharian masyarakat desa. RuA 066 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Indonesia: Institut Teknologi Bandung. Ardhika, I.W. (2009). Sejarah Bali Kuno: Bali Tempo Dulu (Museum Purbakala Bali, diakses pada 28 Juli 2015,http://serbasejarah.blogspot.com.au/2011/07/ sejarah-bali-kuno-bali-tempo-dulu.html) Covarrubias, M. (1974). Island of Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press/Indira. Krause, G. (1988). Bali 1912. New Zealand: January Books Ltd. Setiada, N.K. (2003). Desa Adat Legian Ditinjau dari Pola Desa Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah, 1(2), 52-108. Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Yudantini, N.M. (2015). Bali Aga Cultural landscape Challenges: Conserving the Balinese Traditional landscape for Future Balinese Indigenous Villages (Bali Aga) and Communities. Australia: Deakin University.