Pemukiman Kumuh Nelayan

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan
MELISA HANDAYANI
I34120094
Dosen
Dr. Arif Satria, SP MSi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak
Pemukiman Kumuh NelayanTerhadap Tingkat Ekonomi, Sosisal dan
Lingkungan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai
karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung
bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan
rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan
sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Mei 2015
Melisa Handayani
NIM. I34120094
iii
ABSTRAK
MELISA HANDAYANI. Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA
Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir telah menimbulkan
persoalan, diantaranya penyediaan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat yang
jumlahnya semakin bertambah sehingga pada perkembangannya pemukiman nelayan
tumbuh menjadi pemukiman kumuh yang memiliki dampak tidak sekedar pada
masalah-masalah fisik, tetapi juga berdampak pada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan nelayan. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis mengenai dampak
pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Kata kunci: nelayan, pemukiman kumuh, tingkat ekonomi sosial lingkungan nelayan
ABSTRACT
MELISA HANDAYANI. The Impact of fisherman’s slums settlement on the level of
economic, social and environment. Supervised by ARIF SATRIA
A fairly rapid population growth in coastal areas has led to problems, such as the
provision of housing and settlements to people who are increasingly making the
development of fishermen settlement grew into a slums that has an impact not only on
the physical problems, but also have an impact on the economic aspects, social and
environmental fishermen. Therefore, this article will analyze the impact of fisherman’s
slums settlement on the level of economic, social and environment.
Keywords: fisherman, level of fisherman’s economic social environment, slums
settlement
iv
DAMPAK PEMUKIMAN KUMUH NELAYAN TERHADAP TINGKAT
EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN
Oleh
MELISA HANDAYANI
I34120094
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
: Melisa Handayani
Nomor Pokok
: I34120094
Judul
: Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP MSi
NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
NIP. 19670903 199212 2 001
Tanggal Pengesahan: _____________________
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka
berjudul “Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat
kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si
sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan
terima kasih kepada orang tua tersayang, serta seluruh keluarga besar yang telah
memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini.
Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman-teman yang namanya tidak bisa
disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan
memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini. Semoga laporan
Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2015
Melisa Handayani
NIM. I34120094
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ............................................................................................................................ ii
ABSTRAK ................................................................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................... v
PRAKATA ....................................................................................................................................vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL DAN DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
Tujuan Penulisan ....................................................................................................................... 2
Metode Penulisan ...................................................................................................................... 2
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ............................................................................... 3
Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan,
Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara............................................................... 3
Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan
Sambaliung Kabupaten Riau ..................................................................................................... 5
Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu .................................................. 6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kelompok Nelayan Dalam Upaya
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus: Kelompok Nelayan Di Pulau Temoyong,
Kecamatan Bulang, Kota Batam) .............................................................................................. 8
Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan
Menengah Bawah .................................................................................................................... 10
Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di Nelayan
Tradisional .......................... 12
Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara ....................................................................... 14
Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan
dan Pemukiman yang Sehat (Contoh Kasus: Kota Pangkalpinang) ........................................ 16
Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Danau Pulau Besar dan
Danau Bawah di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau ...................................... 18
Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota ......................................... 20
ANALISIS DAN SINTESIS ....................................................................................................... 22
Perumahan dan Pemukiman .................................................................................................... 22
viii
Pemukiman Kumuh ................................................................................................................. 23
Masyarakat Nelayan ................................................................................................................ 25
1.
Pemukiman Masyarakat Nelayan ................................................................................ 25
2.
Kondisi Masyarakat Nelayan ...................................................................................... 26
Kondisi Ekonomi Sosial dan Lingkungan ............................................................................... 27
Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Nelayan 29
SIMPULAN ................................................................................................................................ 31
Usulan Kerangka Analisis Untuk Penelitian ........................................................................... 32
Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 33
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kondisi Ekonomi dan Sosial Lingkungan Nelayan ............................................... 28
Tabel 2. Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
Nelayan .................................................................................................................................30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Analisis ............................................................................................... 32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim kaya akan adat istiadat, tradisi, suku-suku
bangsa, bahasa dan juga pulau-pulau yang berteparan, di tempati oleh seluruh individu
manusia dari semua kalangan sosial dan suku-suku, terdiri dari gagasan pulau dengan
luas daratan yag besar serta pulau-pulau yang menjadi batas wilayah negara. Menurut
BPS (2011) ada sekitar 60 juta penduduk bermukim diwilayah pesisir, berbagai
kegiatan ekonomi masyarakat berkembang di wilayah ini. Padatnya penduduk di
wilayah pesisir telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan di
wilayah pesisir. Salah satu aspek yang sangat terasa adalah semakin sulitnya memenuhi
kebutuhan perumahan atau tempat tinggal bagi penduduk di sekitar wilayah pesisir. Hal
itu disebabkan karena terbatasnya kemampuan untuk membangun perumahan yang
layak serta semakin terbatasnya lahan untuk membangun permukiman yang
mencukupi dan memenuhi syarat. Sebagai konsekuensi dari keadaan di atas maka
banyak orang yang tinggal di sekitar wilayah pesisir yang terpaksa membangun rumah
di atas tanah yang tidak direncanakan semula. Keadaan itu menjadikan lingkungan
perumahan tidak teratur dan tidak memiliki prasarana yang jelas.
Aktivitas pembangunan permukiman di wilayah pesisir seharusnya mematuhi
peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada agar tercapai pembangunan
wilayah pesisir yang lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu
bertempat tinggal sserta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah
Indonesia. Namun faktanya, masih banyak masyarakat pesisir yang masih bermukim di
permukiman yang tidak layak dan tidak berkelanjutan.
Sebagai gambaran permukiman kumuh nelayan terjadi di Kelurahan Kangkung,
Kecamatan Teluk Belung Selatan. Kelurahan ini memiliki tingkat kepadatan yang tinggi
yaitu lebih dari 150 orang/Ha (Monografi Kecamatan TBS 2001:2). Pemukiman di
Kelurahan Kangkung cukup ramai karena dalam RUTR merupakan kawasan rekreasi
dan hiburan dan dahulu pernah memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang Lelang.
Bentuk pemukiman kumuh di Kelurahan Kangkung dapat dilihat dari kondisi bangunan
rumah yang non permanen, jarak rumah yang rapat dan tidak teratur, dan membelakangi
pantai. Pantai yang berfungsi sebagai tempat buang sampah dan MCK umum.
Lingkungan sekitar wilayah tersebut kotor, tidak sehat, tidak estetik dan tidak sesuai
dengan perkembangan kota karena merupakan daerah yang berelevasi rendah sehingga
2
merupakan daerah yang terkena genangan air bila sungai Way Kupang meluap. Dampak
negatif yang ditimbulkan dari pemukiman kumuh di Kelurahan Kangkung adalah
nelayan tidak mampu mengembangkan sistem ekonominya bahkan terjadi penurunan
tingkat ekonomi akibat meningkatnya biaya pengeluaran rumah tangga karena tidak
tersedianya sarana dan prasarana pendukung, penumpukan sampah dan limbah material
rumah yang tidak bisa didaur ulang karna tidak menggunakan alat-alat yang
berkelanjutan, dapat merusaknya lapisan ozon karna hasil pembakaran sampah yang
asal oleh masyarakat sekitar karena tidak adanya pengelola sampah. Selain itu, budaya
masyarakat yang kurang peduli dengan kebersihan dan satinasi lingkungan tidak dapat
dihilangkan sehingga terjangkitnya penyakit menular.
Masyarakat nelayan yang tinggal di pemukiman kumuh harus mencari alternatif
agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial serta lingkungannya. Masyarakat
nelayan harus memiliki sarana dan prasarana yang baik agar terciptanya pemukiman
yang nyaman, bersih dan berkelanjutan. Maka dari itu, penting untuk menganalisis
dampak pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tujuan Penulisan
Penulisan studi pusataka ini bertujuan untuk menganalisis tentang pemukiman
kumuh nelayan di wilayah pesisir dan dampaknya terhadap tingkat ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini yaitu mengumpulkan,
meringkas, menganalisis, dan melakukan sintesis data sekunder berupa hasil penelitian,
seperti jurnal penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan topik
studi pustaka ini yaitu pemukiman kumuh nelayan. Hasil dari ringkasan tersebut akan
digunakan sebagai landasan teori dan juga konsep mengenai pemukiman kumuh
nelayan dan hubungannya dengan tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan nelayan.
Penarikan hubungan antara kedua konsep tersebut dilakukan untuk memunculkan
sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan masalah bagi penelitian yang
akan dilakukan.
3
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1.
Jurnal Pesisir dan Laut Tropis
Judul
:Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa
Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera
Utara, Provinsi Maluku Utara
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Velsia Marlen D. Atihuta
Nama Jurnal
: Jurnal Pesisir danLaut Tropis
Penerbit
: Program Studi Agrobisnis Perikanan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan,Universitas Sam Ratulangi Manado
Volume
: Volume 15 No 2
Alamat URL
:
http://www.academia.edu/4457126/Jurnal_KEADAAN_SOSIAL_EKONOMI_NE
LAYAN_SOMA_GIOP?login=&email_was_taken=true
Tanggal diunduh
: 14 Maret 2015
Ringkasan:
Penelitian ini mengkaji tentang manajemen usaha perikanan jaring insang dasar
di Keluarahan Manado Tua 1. Pulau Manado Tua termasuk dalam wilayah kecamatan
Bunaken kota Manado, berjarak 25 mil dari pusat kota dan dapat di tempuh selama 11,5 jam dengan menggunakan kapal motor. Letak geografis Pulau Manado Tua
padaposisi 1º38' Lintang Utara dan 124º48'Bujur Timur, berada. Luas Pulau
ManadoTua adalah 937,5 Ha dengan garistengah ± 2 km. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan mengkaji menajemen usaha perikanan yang mencakup modal usaha,
hasil tangkapan, sistem pemasaran, sistem bagi hasil dan sistem tenaga kerja,
pelaksanaan fundi-fungsi manajemen. Berdasarkan hasil penelitian, modal yang
dibutuhkan Rp 4.100.000. Hasil tangkapan ialah ikan yang tergolong demersal, sistem
pemasaran dari nelayan, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen. Tetapi jika
hasil tangkapan sedikit, sistem pemasaran yang dilakukan dari nelayan langsung kepada
konsumen. Sistem bagi hasil 50 % untuk nelayan pemilik dan 50% untuk nelayan
pekerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan 3-4 orang. Upaya dalam meningkatkan produksi
perikanan ialah dengan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan cara nelayan
4
dalam bidang usaha jaring insang dasar (Siahaya,2005). Usaha ini meliputi bagaimana
cara mengatur manajemen usaha perikanan jaring insang dasar di Kelurahan mando Tua
1. Meskipun alat tangkap ini termasuk alat tangkap yang relatif produktif dalam hal
jumlah hasil tangkapan, namun apabila cara pengelolaannya tidak baik atau
manajemennya kurang baik maka usaha perikanan ini bisa saja mengalami kegagalan
atau kerugian. Alat tangkap yang dipakai oleh masyarakat di Kelurahan Manado Tua
adalah jaring insang dasar atau soma paka-paka yang sering disebut oleh masyarakat
nelayan di Kelurahan Manado Tua 1 ini, diperkirakan sudah ada dan mulai beroperasi
sejak 10 tahun yang lalu. Cara untuk mengoperasikan alat tangkap ini menggunakan
satu perahu yang dilengkapi dengan motor tempel.Jaring dibawa dengan perahu ke
lokasi penangkapan, tempat meletakkan jaring di dekat terumbu karang dimana
kedalaman air ± 8 meter dari permukaan.
Hasil tangkapan ikan dengan menggunakan soma giop di desa Leleoto, Tobelo
Selatan adalah jenis ikan yang tergolong pelagis. Sistem bagi hasil atau pengupahan
tenaga kerja usaha somagiop di desa Leleoto adalah 50 % untuk nelayan pemilik alat
tangkap dan 50 % untuk nelayan pekerja. Upah dari hasil tangkapan ini dibagikan atau
dilakukan seminggu sekali. Berdasarkan sistem bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan
pemilik jaring insang dasar adalah nilai tangkapan dikurangi biaya operasi per trip,
maka akan diperoleh pendapatan bersih. Pendapatan bersih tersebut kemudian dibagi
menjadi dua bagian 50% untuk nelayan pemilik dan 50 % untuk nelayan pekerja.
Fungsi manajemen dalam usaha ini dilihat dari fungsi perencanaan yaitu dilakukan oleh
tonaas untuk merencanakan penentuan daerah penangkapan, waktu dan dimana akan
dipasarkan. Sistem organisasi dalam usaha ini dari tonaas langsung kepada masanae.
Fungsi menggerakkan sebagai tindakan untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan
oleh tonaas kepada masanae secara baik. Fungsi pengawasan merupakan fungsi yang
paling penting dalam kegiatan penangkapan ikan agar tidak terjadi hal-hal yang bersifat
penyimpangan, tugas untuk mengawasai masanae adalah tonaas. Pengawasan lebih
khusus dilakukan terhadap hasil tangkapan yang akan diperoleh.
Analisis:
Penelitian ini sudah bagus karena menyertakan keadaan di Desa Leleoto, Kecamatan
Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara secara rinci.
Namun, penulis tidak menyertakan keadaan sosial nelayan disana secara jelas sehingga
pembaca kurang bisa membayangkan kondisi sosial yang terjadi di Desa Leleoto
5
2. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis
Judul
: Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di
Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten
Riau
Tahun
: 2013
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Eko Sugiharto, Salmani dan Bambang Indratno
Nama Jurnal
: Jurnal Ilmu Perikanan Tropis
Penerbit
:Jurusan Sosek Perikanan,Universitas Mulawarman
Volume
: Vol. 18. No. 2, April 2013
Alamat URL
:https://fpik.unmul.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/9Salmani-STUDI-TINGKAT-KESEJAHTERAANMASYARAKAT.pdf
Tanggal diunduh
: 14 Maret 2015
Ringkasan:
Kabupaten Berau adalah satu diantara kabupaten di Kalimantan Timur yang
memiliki 13 kecamatan dan 112 desa (BPS Kabupaten Berau, 2010). Kampung
Gurimbang merupakan satu diantara kampung yang terletak di Kecamatan Sambaliung
yang terdiri dari 7 RT (Rukun Tetangga), Kampung Gurimbang memiliki luas wilayah
sekitar 12.500 Ha. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang
dapat ditentukan berdasarkan indikator Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). Indikator-indikator tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan
sosial psikologi, kebutuhan pengembangan dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Aspek
sosial yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pemenuhan terhadap empat kategori
kebutuhan diantaranya kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologi, kebutuhan
pengembangan dan kepedulian sosial. Dalam pencapaian kebutuhan tersebut tentunya
sangat bergantung pada upaya yang ingin dicapai semua keluarga dalam meningkatkan
taraf hidup yang lebih baik dan kesejahteraan yang diinginkan seluruh keluarga.
Masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat nelayan antara lain dalam
meningkatkan kesejahteraan diantaranya mengenai masalah modal, mahal dan sulit
memperoleh bahan bakar minyak (BBM), alat tangkap, cuaca/iklim, harga jual dan
6
sumber daya manusia (SDM) yang bertambah, sumber daya alam (SDA) yang
berkurang. Dari beberapa penyebab yang ada maka akan ada beberapa akibat yaitu hasil
tangkapan yang kurang, pendapatan yang sangat kurang dan tidak bisa membayar
hutang kepada pedagang pengumpul ataupun pinjaman dikelompok. Kemudian solusi
yang ditawarkan menurut masyarakat yaitu pinjaman dari penampung (Punggawa),
pinjaman dari kelompok nelayan dan adanya peran pemerintah dalam mengatasi
masalah berdasarkan beberapa penyebab yang ada, diantaranya bantuan yang pernah
diberikan dalam bentuk mesin, dana yang saat ini masih dalam proses ,kemudian akan
adanya pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) khusus nelayan.
Analisis:
Penelitian ini sudah bagus karena terdapat empat kategori yang menjadi penyebab
masalah kesejahteraan nelayan seperti dalam hal modal dan SDM. Penulis juga
menjelaskan sebab akibat dari masalah serta menuliskan solusi dari masalah tersebut
sehingga pembaca dapat membayangkan secara jelas masalah kesejahteraan yang
terjadi, sebab akibatnya dan juga solusi dari masalah yang dihadapi nelayan tersebut.
3. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi
Judul
:Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Septi Rindawati
Nama Jurnal
: Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi
Penerbit
: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bengkulu
Volume
: Vol. 2 No. 3 Sept 2012
Alamat URL
:http://news.palcomtech.com/wp
content/uploads/2013/04/SEPTI-JE02032012.pdf
Tanggal diunduh
: 14 Maret 2015
Ringkasan:
Provinsi Bengkulu yang berada di sebelah barat pengunungan Bukit Barisan
dengan luas kurang lebih 1.978.870 ha atau 19.788,7 km2. Ditinjau dari keadaan
geografinya, Provinsi Bengkulu terletak diantara 101 20’ BT – 103 45’ BT, 2 25’LS – 5
00’LS. Provinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia pada garis
pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer yang membentang kearah laut lepas (ZEE)
7
diperkirakan memiliki luas potensi 194.596,5 km untuk perikanan tangkap dan
budidaya. Kekayaan sumber daya alam kelautan Provinsi Bengkulu hingga saat ini
belum dikembangkan pemerintah secara serius, dan investor pun belum meliriknya
sebagai sumber pemasukan. Ketidakberdayaan nelayan tradisional di daerah ini
meningkatkan produksi tangkap menghadapi banyak masalah terutama modal, sehingga
mereka tidak mampu membeli peralatan modern. Sehingga mereka belum mampu untuk
mensejahterakan kehidupan keluarganya.
Kondisi lingkungan Internal di Kota Bengkulu jika dilihat dari segi kekuatannya
(Strengths) yaitu potensi sumber Daya Manusia (jumlah nelayan) yang banyak. Nelayan
yang mengantungkan hidupnya pada sumber daya alam kelautan, para nelayan ini
merupakan kekuatan sebagai sumber daya manusia untuk dapat mengeksploitasi sumber
daya kelautan secara optimal untuk meningkatkan produktifitas hasil tangkap
berdasarkan wawasan lingkungan yang bertanggung jawab. Bagi masyarakat nelayan
khususnya di Kelurahan Malabero, Kelurahan Pondok Besi, dan Kelurahan Pasar
Bengkulu, ikatan kekeluarganya masih tinggi sehingga mereka masih saling bahu
membahu dan tolong menolong dalam melakukan kegiatan kenelayanan diantara
mereka agar dapat meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat nelayan
tersebut. Tingkat homogenitas masyarakat nelayan yang tinggi khususnya dari agama
yang mereka anut. Mayoritas masyrakat nelayan yang ada di Kelurahan Malabero,
beragama islam. Ini dapat membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan
pelatihan maupun bantuan modal kepada masyarakat nelayan tersebut, disamping
melalui wadah kelompok masyarakat nelayan atau kelembagaan juga bisa melalui
forum-forum keagamaan sehingga meraka dapat menerima atau menangkap arahan
yang diberikan maupun bantuan-bantuan modal dari pemerintah agar dapat
meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat nelayan. Jika dilihat dari segi
kelemahannya adalah teknologi (sarana) yang digunakan oleh sebagian masyarakat
nelayan masih tradisional. Sulitnya masyarakat nelayan menerima pembaharuan dalam
teknologi dikarenakan rendahnya pengetahuan yang dimilikinya sehingga pengetahuan
dan keterampilan dalam proses penangkapan dan pengelolaan potensi sumber daya
kelautan dalam meningkatkan penghasilan masih sangat rendah. Masyarakat nelayan di
Kelurahan Pasar Bengkulu yang mayoritas belum banyak memiliki armada dan dimana
mereka masih menumpang kepada nelayan yang mempunyai perahu atau kapal motor
dan jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan tersebut masyoritas atau
kebanyakan menggunakan jaring. Modal yang digunakan masyarakat nelayan masih
rendah. Keterbatasan modal kerja bagi masyarakat nelayan merupakan suatu masalah
yang seakan-akan tidak akan selesai, masalah ini akan selalu menjadi masalah yang
sangat esensial bagi masyarakat nelayan untuk meningkatkan kemampuan dalam
melaksanakan proses penangkapan dan pengelolaan sumber daya kelautan. Pendidikan
masyarakat nelayan yang masih rendah, itu lah menjadi kendala dalam proses penerima
pembaruan atau teknologi baru dan pengoperasian sehingga pengetahuan dan
keterampilan dalam proses penangkapan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan
8
dalam meningkatkan penghasilan masih sangat rendah. Peran kelembagaan masyarakat
nelayan yang tidak berfungsi. Untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkap nelayan
maka diperlukan suatu wadah pembinaan bagi masyarakat nelayan, yaitu suatu
kelompok nelayan atau kelembagaan. Kelembagaan tersebut belum dapat berfungsi
secara maksimal ini terkendala pada kesadaran pengurusan untuk menjalankan fungsi
dan perannya pada kelembagaan tersebut.
Analisis:
Penelitian ini sudah bagus karena penulis menuliskan secara rinci kehidupan nelayan
tradisional di Provinsi Bengkulu yang bisa menjadi contoh bagi para nelayan tradisional
di daerah lain yang memiliki keterbatasan dalam menangkap ikan tetapi dengan
bergotong royong ternyata dapat membantu memudahkan pekerjaan mereka. Namun
sayangnya penulis tidak menyertakan solusi dari keterbelakangan kehidupan nelayan di
Bengkulu sehingga pembaca tidak mendapatkan gambaran yang jelas akhir dari masalah
tersebut.
4. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Judul
:Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan
Kelompok
Nelayan
Dalam Upaya
Pemberdayaan
Masyarakat Nelayan (Studi Kasus: Kelompok Nelayan Di
Pulau Temoyong, Kecamatan Bulang, Kota Batam)
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Dikrurahman dan Tubagus Furqon Sofhani
Nama Jurnal
: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Penerbit
:Sekolah Arsitektur,Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan ITB
Volume
: Vol. 2 No. 1
Alamat URL
:http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wp-oads/2013/09/V2N1-Faktoryang-Mempengaruhi-Pengembangan-Kelompok-Nelayandalam-Upaya-Pemberdayaan-Masyarakat-Nelayan-1.pdf
Tanggal diunduh
: 14 Maret 2015
9
Ringkasan:
Sebagian besar mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah pesisir
adalah nelayan dengan aktivitasnya berupa penangkapan ikan, budidaya perikanan,
pengolahan hasil ikan dan perdagangan. Nelayan kelompok di Pulau Temoyong ini
dapat melaksanakan produksi dari segi ekonomi dan mampu menanggung
kebutuhannya sendiri. Nelayan kelompok di Pulau Temoyong terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Kaum perempuan terlibat dalam kelompok nelayan di lokasi penelitian,
dikarenakan kegiatan penangkapan ikan tidak hanya dilakukan di laut lepas dengan
peralatan tangkap yang berat dan kompleks, namun juga dilakukan di sekitar pulau atau
pantai, seperti menangkap udang, kepiting bakau, dan jenis-jenis ikan pantai, sehingga
dapat dirumuskan bahwa tipe nelayan yang ada di Pulau Temoyong terdiri dari nelayan
pantai dan laut. Pengaruh tingkat partisipasi terhadap pengembangan kelompok dapat
diketahui melalui keikutsertaan seluruh anggota kelompok nelayan dalam berbagai
aktivitas yang dilakukan. Partisipasi yang baik dari anggota kelompok diantaranya
dilakukan dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, identifikasi masalah,
dan pemecahan masalah. Dalam penelitian ini, contoh kasus yang digunakan untuk
mengetahui tingkat partisipasi anggota kelompok adalah dalam kegiatan menangkap
ikan (melaut). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kelompok nelayan di Pulau
Temoyong sudah memiliki alat produksi utama sendiri. Dalam beberapa kasus nelayan
di lokasi lain, kepemilikan alat produksi utama juga ada yang berasal dari proses
meminjam atau menyewa, yang pengembaliannya berupa bagi hasil dari penjualan ikan
yang ditangkap. Penyuluhan dan pembinaan kelompok nelayan di Pulau Temoyong
dilakukan oleh Dinas Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Batam, dengan
menugaskan tenaga penyuluh untuk menjembatani kepentingan pemerintah dan
kelompok nelayan. Keberadaan tenaga penyuluh dapat diketahui melalui kompetensi
penyuluh, pendampingan dan fasilitasi informasi atau kemitraan, asistensi, serta
pencatatan, pelaporan, dan dokumentasi kegiatan. Akses terhadap sumberdaya ikan
dapat diketahui dari ketersediaan dan jangkauan ke sumberdaya ikan. Sedangkan akses
terhadap pasar dapat diketahui melalui ketersediaan dan jangkauan ke sumberdaya
pasar. Sebagian besar anggota kelompok menilai bahwa sumberdaya daya ikan cukup
tersedia dan lokasi penangkapan masih dapat dijangkau.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kelompok nelayan di Pulau
Temoyong terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal, yaitu faktor-faktor yang sumbernya berasal dari dalam kelompok. Faktor-faktor
ini adalah tingkat kesamaan, kepemimpinan, interaksi dan komunikasi, tingkat
partisipasi, aset yang dimiliki, dan kemauan atau motivasi. Faktor Eksternal, yaitu
faktor-faktor yang sumbernya berasal dari luar kelompok. Faktor-faktor ini adalah
penyuluhan dan pembinaan, bantuan (modal) dari pihak lain, dan akses ke sumberdaya
ikan dan pasar. Manfaat pengembangan kelompok dalam hal tingkat pendapatan, nilai
tabungan dan investasi, pemenuhan kebutuhan hidup, dan kualitas sumberdaya manusia
telah mampu dirasakan oleh kelompok nelayan. Secara umum, saat ini keadaannya lebih
10
baik bila dibandingkan sebelum berkelompok atau pada saat awal bergabung dengan
kelompok. Kondisi yang menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat nelayan
melalui pengembangan kelompok nelayan di Pulau Temoyong telah mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Analisis:
Penelitian ini menarik karena membuka wawasan kita bahwa bukan hanya laki-laki
yang bisa jadi nelayan tetapi wanita juga bisa ikut membantu mengkap ikan di daerah
pinggir pantai dengan alat tangkap yang ringan dan juga menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan kelompok nelayan di Pulau Temoyong . Ini bisa menjadi
contoh bagi para istri nelayan di daerah lain untuk bisa membantu suami nya
menangkap ikan dan juga membantu meningkatkan perekonomian keluarga mereka.
5. Jurnal Arsitektur
Judul
:Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan
Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah
Tahun
: 2002
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Lily Mauliani
Nama Jurnal
: Jurnal Arsitektur
Penerbit
: Arsitektur Teknik Muhammadiyah Jakarta
Volume
: Volume I, Nomor Perdana, Januari 2002
Alamat URL
:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70810&val=4880
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Masalah keterbatasan penyediaan lahan di perkotaan merupakan masalah yang
dialami oleh semua kota-kota besar di dunia termasuk Jakarta yang luasnya hanya 650
km2 dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta orang. Sebab itu, menurut pemerintah
penyediaan perumahan bagi masyarakat tidak lagi dapat dibuat ke arah horisontal, tetapi
ke arah vertikal, yaitu berupa apartemen dan kondominium bagi masyarakat menengah
atas dan rumah susun bagi masyarakat menengah bawah, yang pada tahun-tahun
11
belakangan ini, sampai sebelum krisis moneter datang melanda sedang gencar dibangun.
Permasalahan pengadaan perumahan bagi golongan menengah bawah berawal dari
masalah keterbatasan dalam penyediaan lahan, yang berkaitan erat dengan jumlah
penduduk yang semakin padat. Dengan semakin banyaknya pendatang yang bermukim
di Jakarta untuk mencoba mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih baik, maka
kebutuhan akan perumahan bagi merekapun semakin meningkat. Para pendatang ini
umumnya bekerja di sektor-sektor informal, sehingga penghasilan yang mereka
dapatkan tidak menentu dan jumlahnya relatif kecil, hanya sekedar untuk dapat
mempertahankan hidup. Dengan tingkat penghasilan yang demikian kecil maka
kemampuan mereka untuk dapat memiliki tempat tinggal yang layak sangat sulit untuk
diwujudkan. Akibatnya mereka membangun rumah-rumahnya di tempat-tempat yang
tidak seharusnya diperuntukkan bagi permukiman, seperti di pinggir-pinggir rel kereta
api, di bantaran sungai dan di tempat lainnya di tengah kota. Pada umumnya masyarakat
golongan menengah bawah memang tidak berminat untuk tinggal di rumah susun
karena mereka merasakan bahwa tinggal di rumah susun membutuhkan biaya yang
besar, selain cicilan atau biaya sewa masih ada biaya-biaya lain yang harus mereka
bayar seperti listrik, air, gas dan biaya pemeliharaan, yang kesemuanya tidak sebanding
dengan penghasilan yang mereka peroleh setiap bulannya. Akibatnya mereka cenderung
untuk menjual atau menyewakan unit hunian mereka pada orang lain, sementara mereka
memilih tinggal di tempat lain yang berbiaya rendah dan itu berarti timbul masalah baru
lagi bagi pemerintah dalam penyediaan perumahan untuk golongan menengah bawah.
Dalam penghunian rumah tinggal mereka akan menggunakan atau membawa kebiasaan,
adat istiadat yang merupakan latar belakang budaya, yang telah menjadi tolok ukur
dalam hidupnya. Dengan memahami latar belakang budaya calon penghuni rumah
susun diharapkan dapat memecahkan masalah yang terjadi dan dapat mengoptimalkan
peruntukkan rumah susun ke arah yang sesuai dengan sasaran yang dituju. Karena
seperti yang diungkapkan oleh Amos Rapoport bahwa Arsitektur tidak sekedar
perwujudan dari konfigurasi komponen-komponen yang bersifat fisik semata (lantai,
dinding dan langit-langit) tetapi lebih luas lagi mencakup faktor-faktor sosial dan
budaya.
Jadi sebenarnya lahan di perkotaan masih cukup tersedia bagi pembangunan
perumahan rakyat kalau saja lahan-lahan di perkotaan ini tidak dikuasai oleh para
spekulan tetapi dikuasai oleh pemerintah dengan pengaturan yang benar sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Karena segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang
banyak seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bukan
untuk kepentingan orang atau golongan tertentu saja. Pemerintah tak perlu terlalu
bernafsu untuk membangun rumah-rumah susun tanpa persiapan yang matang, yang
akhirnya hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang tak kunjung selesai.
12
Analisis:
Penelitian ini bagus karena penulis menyertakan solusi dengan cara memahami latar
belakang budaya penghuni calon rumah susun agar dapat mengoptimalkan peruntukkan
rumah susun ke arah yang sesuai dengan sasaran yang dituju.
6. Jurnal Studi Indonesia
Judul
: Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di Nelayan
Tradisional
Tahun
: 2001
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Karjadi Mintaroem & Mohammad Imam Farisi
Nama Jurnal
: Jurnal Studi Indonesia
Penerbit
: Universitas Terbuka
Volume
: Vol. 11, No. 2, September 2001
Alamat URL
: https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Penelitian ini berlokasi di Desa Bandaran, Pamekasan. Desa Bandaran merupaka
desa tradisional yang merupakan sebuah "unit produksi" bagi pemenuhan kebutuhankebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik
tanah/modal, dll). Desa Bandaran semula bernama kampong cerek. Perubahan nama
dari "Cerek" menjadi "Bandaran" terjadi ketika desa ini berkembang menjadi "bandar"
ikan. Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan lain di Pulau Madura, rumahrumah penduduk setempat cukup padat, berjejal, tidak menganut pola penataan rumah
seperti dalam masyarakat petani pedalaman, serta mengesankan sebuah pemukiman
kumuh. Pada umumnya rumah-rumah mereka menghadap ke laut, kecuali rumah-rumah
di kedua kampung Bandaran yang berada tepat di pinggir laut menghadap ke utara.
Desa Bandaran merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang
dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata
pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki mata pencaharian tetap.
Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal,
bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas perekonomian mereka secara
13
swasembada, yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang
terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur
ekonomi desa.
Aktivitas nelayan (oreng majheng), sebagai aktivitas ekonomi utama masyarakat
desa pesisiran tradisional di desa Bandaran Madura seperti halnya aktivitas-aktivitas
perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspekaspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek
antara lain sistem penangkapan ikan yang digunakan, ekonomis semata (untuk
mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin
segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang sulit
yang berakar pada sikap sosial-budaya masyarakat setempat. Faktor ini pula yang
akhirnya melahirkan sistem pengelolaan uang dan modal dalam lembaga-lembaga
keuangan informal yang bersifat kuasi investasi seperti arisan dan titip uang. Sosok
nelayan tradisional Madura di desa Bandaran, seperti juga nelayan-nelayan yang lain,
kurang memiliki orientasi ke masa depan, atau hal-hal yang "jlimet" lainnya. Kesertaan
mereka dalam arisan, titip uang, kredit dan hutang untuk keperluan lamaran, perhelatan
perkawinan, atau untuk membeli perangkat rumah tangga dan persiapan lebaran, selain
dimaksudkan untuk memperoleh nilai ekonomis, sekaligus nilai-nilai sosial dan budaya.
Dengan sikap hidup demikian, kerja keras adalah tradisi. Tiada hari tanpa kerja adalah
"motto" hidup keseharian masyarakat nelayan tradisional Desa Bandaran. Hal-hal di
atas merupakan sejumlah karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan
tradisional di desa Bandaran, yang justru telah memungkinkan struktur ekonomi di desa
mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau
secara berswasembada. Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan
tradisional desa Bandaran di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk
senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial,
budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih modern dan
praktis, tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi.
Analisis:
Penelitian ini sudah sangat bagus karena penulis benar-benar menuliskan kehidupan
nelayan tradisional di Desa Bandaran dengan menggambarkan tradisi nelayan yang
masih kental meskipun kegiatan perekonomian nelayan disana berubah ke arah yang
lebih modern dan praktis. Jurnal ini dapat membuka wawasan para nelayan di daerah
lain dalam mengembangkan perekonomian mereka tetapi tetap mempertahankan tradisi
yang ada.
14
7. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Judul
:Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua
Kabupaten Minahasa Utara
Tahun
: 2010
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Otniel Pontoh
Nama Jurnal
: Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Penerbit
: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNSRAT. Manado
Volume
: Vol. VI-3, Desember 2010
Alamat URL
: file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/156-194-1-SM.pdf
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Penelitian ini berlokasi di Desa Gangga Dua, Kabupaten Minahasa Utara yang
pemukiman penduduknya terkonsentrasi di pantai dan relatif terlindung oleh hamparan
terumbu karang di depan pemukiman. Jika dilihat dari karakter sosial budaya
masyarakat nelayan di Desa Gangga Dua, terdapat 4 faktor yang melekat pada
masyarakatnya, yaitu:
1. Faktor nilai dan norma masyarakat
Nilai dan norma masyarakat dikaji berdasarkan pendekatan terhadap persepsi dan
perilaku dan tindakan. Persepsi ini yang dikaji pada masyarakat yaitu persepsi yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Persepsi yang dikaji terdiri dari
persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut, batas wilayah penangkapan dan
perlunya konservasi sumberdaya perikanan. Konsistensi persepsi diuji berdasarkan
perilaku dan tindakan masyarakat mengenai ketiga persepsi dimaksud. Terkait dengan
persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut diketahui bahwa masyarakat nelayan
di desa ini beranggapan bahwa laut tidak ada yang memiliki. Laut hanya dimiliki oleh
Sang Pencipta (Allah). Persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut ini tampak
konsisten dengan persepsi masyarakat nelayan mengenai batas wilayah penangkapan.
Masyarakat nelayan tidak mengenal adanya pembatasan atau batas wilayah operasional.
Persepsi masyarakat nelayan mengenai perlunya konservasi sumberdaya perikanan di
sekitar mereka menunjukkan bahwa mereka tidak perlu melaksanakan upaya
15
konservasi. Upaya konservasi merupakan urusan pemerintah. Persepsi tersebut tampak
sangat dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Bagi nelayan, upaya mencari nafkah lebih
penting daripada upaya melaksanakan konservasi sumberdaya laut di sekitar mereka.
2. Faktor kepercayaan dan organisasi lokal
Kepercayaan lokal dikaji melalui nilai-nilai dan norma agama atau kepercayaan yang
dianut. Saat kesulitan di musim paceklik, tidak ada kelompok ritual keagamaan seperti
pengajian yang mampu menggalang dana atau modal dan membantu antar anggotanya.
Para nelayan anggota perkumpulan ritual keagamaan tersebut masih terjerat dalam pola
permodalan melalui peminjaman uang kepada para tengkulak bunga tinggi atau dalam
terminologi syariat Islam disebut dengan riba. Hubungan sosial kemasyarakat masih
sangat kuat dimana kehidupan sosial mereka begitu sangat erat. Seperti contohnya ada
salah seorang warga mengalami suatu musibah misalnya kematian maka tanpa
dikomando masyarakat akan datang secara sukarela memberi bantuan baik dalam
bentuk materi maupun dalam bentuk lainnya. Di desa ini telah terbentuk suatu
organisasi sosial kemasyarakatan khusus mengatur jika ada anggotanya yang meninggal
dunia dan disebut dengan Rukun Duka. Organisasi ini diatur secara resmi oleh
pemerintah desa. Setiap anggota diwajibkan membayar uang Rp. 3000,- serta membawa
beras 1 liter ketika ada salah satu anggota yang meninggal dunia dan yang paling
istimewa ternyata semua warga Desa Kinabuhutan yang sudah menikah menjadi
anggota organisasi sosial Rukun Duka ini.
3. Faktor Pola dan sistem produksi dan Reproduksi
Masyarakat di daerah ini memiliki profesi sebagai nelayan dan mengerjakan pertanian.
Minimnya mata pencaharian alternatif juga lebih dikarenakan faktor keterbatasan
internal yaitu rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan. Replikasi sistem
produksi tampaknya memerlukan bantuan dari pihak luar. Masyarakat nelayan, baik
secara individu maupun kolektif, belum mampu untuk mencoba melakukan suatu sistem
produksi dari daerah lain yang mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.
4. Faktor politik lokal
Faktor politik di suatu masyarakat terkait dengan aspek kepemimpinan dan proses
pengambilan keputusan yang terjadi, dalam hal ini kepemimpinan dan proses
pengambilan keputusan yang terjadi dikaitkan dengan potensinya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Sistem politik lokal ini tidak berhubungan dengan
sistem politik dan pemerintahan yang ada di negara. Pengaruh pemberdayaan
masyarakat melalui program pembangunan yang diharapkan muncul dari adanya
kolektifitas antara masyarakat dengan pemerintah sulit terbangun. Pemimpin formal
(pemerintah) di tingkat desa atau yang bertugas di komunitas atau masyarakat nelayan
seringkali tidak dapat berpengaruh terhadap pengaturan kehidupan sosial maupun
ekonomi masyarakat nelayan.
16
Desa Gangga Dua, Kabupaten Minahasa Utara masih merupakan masyarakat
dengan karakter modal sosial terikat (social capital bonding). Tipologi modal sosial ini
sangat dipengaruhi oleh nilainilai dan norma dari aspek ekonomi yang dimiliki dan
dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berdampak pada
struktur sosial yang terbentuk dalam kehidupan ekonomi masyarakat nelayan yang ada
pada saat ini menjadi lebih berorientasi pada hubungan antar anggota dalam satu
kelompok lebih banyak terfokus pada hal-hal yang terkait dengan aspek ekonomi.
Analisis:
Secara keseluruhan penelitian ini sudah baik karena menggunakan analisis
modal sosial masyarakat nelayan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan
menggunakan faktor-faktor yang mudah dimengerti oleh pembaca. Sehingga pembaca
dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat memberdayakan masyarakat nelayan.
Selain itu metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sangat baik karena
menggabungkan antara data kuantitatif yang didapatkan melalui kuesioner untuk
mengetahui data presentase dan data kualitatif yang didapatkan melalui wawancara
untuk melengkapi data-data yang ada.
8. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Judul
:Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya
Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Pemukiman
yang Sehat (Contoh Kasus: Kota Pangkalpinang)
Tahun
: 2007
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Asep Hariyanto
Nama Jurnal
: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Penerbit
: Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. UNISBA
Volume
: Volume 7 Nomor 2
Alamat URL
:file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/17761-19880-1-PB.pdf
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Masalah perumahan dan permukiman merupakan masalah tanpa akhir (the
endless problems). Masalah perumahan dan permukiman merupakan masalah yang
kompleks dan perlu mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan karena rumah
17
merupakan kebutuhan dasar manusia yang masih belum dapat dipenuhi oleh seluruh
masyarakat. Pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu terarah,
terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti
air bersih, sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air
hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan atau yang kemudian
diterminologikan sebagai “Kawasan Kumuh”. Penelitian ini berlokasi di kawasan
kumuh di Kota Pangkal Pinang. Kawasan kumuh dapat diterminologikan sebagai
pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu, terarah, terencana, dan
kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti air bersih,
sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air hujan, akan
cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan. Kawasan kumuh meskipun tidak
dikendaki namun harus diakui bahwa keberadaannya dalam perkembangan wilayah dan
kota tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir munculnya
kawasan kumuh, maka perlu dilakukan upayaupaya secara komprehensif yang
menyangkut berbagai aspek yang mampu menghambat timbulnya kawasan kumuh
tersebut. Beberapa karakteristik kawasan kumuh di Indonesia menggambarkan suatu
kawasan permukiman yang secara fisik memiliki kondisi lingkungan yang tidak sehat,
seperti kotor, tercemar, lembab, dan lain-lain. Faktor penyebab munculnya kawasan
kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat
langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung. Faktor langsung adalah Faktor-faktor
yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya kawasan kumuh adalah faktor
fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan). Faktor lingkungan perumahan yang
menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan
bangunan, koefisien Dasar Bangunan (KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan
yang menimbulkan permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan
sampah, pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan. Faktor yang bersifat
tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara langsung tidak berhubungan dengan
kekumuhan tetapi faktor-faktor ini berdampak terhadap faktor lain yang terbukti
menyebabkan kekumuhan. Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung
terhadap kekumuhan adalah faktor ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat.
Strategi penanganan kawasan kumuh harus didasarkan pada upaya menanggulangi
faktor-faktor yang menyebabkan kekumuhan, baik faktor yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Pada hakikatnya penyelesaian permasalahan lingkungan kumuh
tidak dapat dilakukan oleh satu unit atau dinas, akan tetapi membutuhkan keterpaduan
kegiatan dari setiap dinas yang akan berdampak terhadap perbaikan lingkungan kumuh.
Analisis:
Penelitian ini sangat bagus karena penulis menyertakan faktor-faktor terjadinya
kekumuhan seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Seh9ingga pembaca
menjadi tahu bahwa lingkungan menjadi kumuh karena terdapat banyak faktor
didalamnya
18
9. Jurnal Perikanan dan Kelautan
Judul
:Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kecamatan
Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis `
: Hendrik
Nama Jurnal
: Jurnal akultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Riau
Penerbit
: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau
Volume
: Volume 16 Nomor 1
Alamat URL
:
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JPK/article/viewFile/44/39
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Lokasi penelitian dalam penelitian ini berada di Desa Dayun Kecamatan Dayun
Kabupaten Siak. Desa Dayun mempunyai luas ± 123.500 ha dengan pemanfaatan lahan
terbesar dimanfaatkan oleh Kawasan Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau
Bawah. Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang
memiliki sumberdaya alam yang cukup beragam dan berpotensi seperti minyak bumi,
perkebunan, kehutanan, perikanan, pertanian dan salah satu sumberdaya yang dimiliki
tersebut adalah sub sektor perikanan. Hal ini dapat dilihat dari luasnya perairan umum
seperti Sungai Siak beserta anak sungainya, rawa-rawa dan danau, yang didalamnya
terkandung sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis di pasaran. Selain itu, tersedianya
lahan yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan seperti penangkapan,
budidaya, pasca panen dan pemasaran diharapkan dapat mendukung peningkatan
produksi dari sub sektor perikanan sehingga secara tidak langsung akan menaikkan
kesejahteraan yang tercermin dari pendapatan rumah tangga perikanan pertahunnya.
Keberadaan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah memberikan peluang pemanfaatan
sumberdaya ikan bagi nelayan, yang dapat berperan dalam peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat nelayan di sekitarnya.
Untuk dapat melakukan penangkapan ikan di Danau Pulau Besar dan Danau
Bawah nelayan menggunakan alat tangkap jaring, bubu dan ambai. Jenis bubu yang
19
digunakan nelayan adalah bubu yang terbuat dari bahan kawat, bambu dan jaring.
Jumlah bubu kawat rata-rata 20 unit/orang dengan kisaran 16-40 unit/orang. Alat
tangkap jaring yang digunakan nelayan merupakan jaring dasar (bottom gillnet). Setiap
nelayan memiliki rata-rata 10 keping/orang dengan kisaran 6-20 keping/orang. Ambai
merupakan alat tangkap yang termasuk jenis perangkap. Jumlah ambai di lokasi
penelitian ini berjumlah 13 unit. Rata-rata satu unit/orang. Jumlah nelayan yang
memiliki alat tangkap jaring, bubu dan ambai berjumlah 13 orang dan yang memiliki
alat tangkap jaring dan bubu berjumlah 14 orang. Sedangkan yang memiliki alat
tangkap bubu saja berjumlah 9 orang. Armada penangkapan yang ada di Danau Pulau
Besar dan Danau Bawah berupa kapal motor (pompong) dan sampan. Jumlah kapal
motor yang ada sebanyak 18 unit dan sampan 36 unit.
Masyarakat nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah pada umumnya
memiliki rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Tidak ada sumber
penerangan dari PLN, hanya beberapa rumah tangga yang menggunakan genset sebagai
penerangan. Demikian pula dalam hal pendidikan, kepala rumah tangga sebagian besar
tidak tamat/tamat SD sebanyak 55,55% atau 20 jiwa. Untuk aset rumah tangga yang
dimiliki dapat berupa kapal motor (pompong), sampan, kebun, tanah, sepeda motor,
sepeda, radio, hp, emas, dan lain-lain. Berdasarkan kriteria UMR, Bappenas dan BPS
dapat disimpulkan bahwa Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Siak sebesar Rp
1.016.000 sedangkan pendapatan nelayan lebih dari jumlah tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan pendapatan nelayan di daerah ini telah melebihi UMR. Berdasarkan
kriteria Bappenas didapatkan sebanyak 4 nelayan dikategorikan pada rumah tangga
tidak sejahtera sedangkan 32 responden lainnya sejahtera. Berdasarkan 14 kriteria yang
ditentukan oleh BPS, didapatkan 30 orang responden tidak memenuhi 9 variabel untuk
menjadi rumah tangga miskin/tidak sejahtera, yang artinya berada pada keadaan
sejahtera. Selebihnya 6 orang responden memenuhi 9 variabel maka dikategorikan
sebagai rumah tangga miskin/tidak sejahtera.
Analisis:
Secara keseluruhan penelitian ini sudah baik karena menggunakan kriteria kesejahteraan
menurut UMR, Bappenas dan BPS sehingga data yang ada sudah terpercaya. Selain itu,
penulis juga menjelaskan kondisi kesejahteraan nelayan dengan menyertakan presentase
nya.
20
10. Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS
Judul
:Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung
Kota
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis `
: Ir. Wiwik Widyo W
Nama Jurnal
: Jurnal Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS
Penerbit
: Fakultas Teknik ITATS
Volume
: Volume 3 Nomor 2
Alamat URL
: http://jurnal.itats.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/StudiPotensi-Lingkungan-Pemukiman-Kumuh-di-Kampung-Kota-_1997_.pdf
Tanggal diunduh
: 15 Maret 2015
Ringkasan:
Dalam usaha penanganan linkungan secara terpadu yang dikembangkan saat ini,
selain memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan tinggal bagi masyarakat
berpenghasilan rendah di bagian wilayah kota tapi masih dalam prospek pertumbuhan
kota yang baik. Studi ini merupakan tahap awal dari action research yang dilakukan
dalam bidang penataan Iingkungan permukiman kumuh di kampung Kota, khususnya
daerah Pulo Wonokromo Surabaya. Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pemukiman kawasan ini, apakah memiliki dimensi peran serta masyarakat dan
mengandung potensi pengembangan pembangunan pemukiman yang swadaya.
Penekanan dari studi ini adalah mendiskripsikan kondisi sosial ekonomi masyarakat
serta jaringan sosial yang ada, terutama yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi dan
proses pemukiman mereka. Penelitian diskriptif ini dilakukan survey di daerah studi
dengan teknik wawancara dan menggunakan kuestioner dengan sample 100 responden
secara random. Daerah studi dibatasi hanya satu RW dengan kriteria yang telah
ditentukan. Setelah diadakan pengamatan lapang ternyata di kawasan Pulo Wonokromo
tersebut masih membutuhkan perbaikan kualitas lingkungan pemukiman.
Hasil dari temuan studi didapatkan gambaran suatu kelompok masyarakat yang
dalam keterbatasan penghasilannya telah mampu menyiapkan sarana untuk berteduh
bagi keluarganya. Disamping keberhasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar
manusia ini, nampaknya juga mereka menunjukkan usahanya dalam menciptakan
lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan sebagian dari bangunan rumahnya. Dengan
21
demikian pengertian bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah studi ini
tidak hanya diartikan sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai sumber, penghasilan
keluarga. OIeh karena proses bermukim bagi masyarajkat di sini disamping
menghadirkan satu bentuk atau ciri pemukiman tersendiri juga menciptakan satu
jaringan sosial ekonomi khususnya bagi penghuninya dan bagi komunitas atau
masyarakat di lingkungan sekelilingnya. Secara menyeluruh peughasilan rata-rata
penduduk di pemukiman ini relatif sudah tinggi yaitu mencapai RP. 188.294,73 (mean).
Masih ada masalah yang harus dihadapi dengan besar pendapatan ini, yaitu ada
fluktuasi yang juga tinggi. Dengan sendirinya bila usaha mereka dapat dibinadan
didukung maka melalui efisiensi yang meningkat potensi dan penghasilan masih dapat
ditingkatkan lebih lanjut. Indikator mobilitas yang perlu diperlihatkan juga adalah yang
berkaitan dengan tempat tinggal. Dari para pemilik bangunan yang umumnya berniat
menetap di tempat itu, hanya sedikit yang punya pekerjaan tetap. Dan umumnya mereka
sudah lama berada di tempat itu. Sebaliknya dari kelompok penyewa gambarannya juga
tak seluruhnya yang menunjukkan sifat sirkuler atau sementara. Para penyewa yang
telah berada di tempat itu lebih dari sepuluh tahun, menunjukkan gejala permanen dan
macet mobilitas.
Pemukiman di kawasan Pulo Wonokromo terbukti memiliki peran serta
masyarakat yang bersifat swadaya dalam pengembangan pemukiman. Selain daripada
itu kawasan studi jug mengandung potensi pengembangan dalam perbaikan lingkungan
pemukiman. Penangan di kawasan studi perlu keterlibatan dan berbagai pelaku
pembangunan baik pemerintah, masyarakat, maupun penduduk setempat.
Analisis:
Penelitian ini sudah baik karena penulis menjelaskan bahwa lingkuman kumuh juga
memiliki potensi yang dimanfaatkan sebagai strategi bertahan hidup. Namun perlu
penelitian Iebih lanjut dalam menyusun usulan tindakan baik langsung maupun tidak
langsung dalam batas-batas yang ditetapkan
22
ANALISIS DAN SINTESIS
Perumahan dan Pemukiman
Menurut Turner (1976) perumahan dan pemukiman mempunyai fungsi dan
peranan penting dalam kehidupan manusia. Di dalam masyarakat Indonesia, perumahan
merupakan cermin dari diri pribadi manusia, baik secara perorangan maupun dalam
suatu kesatuan dan kebersamaan lingkungan alamnya. Perumahan tidak dapat dilihat
dari sekedar sebagai suatu benda mati atau sarana kehidupan semata-mata, tetapi lebih
dari itu, perumahan merupakan suatu proses bermukim, yakni kehadiran manusia dalam
ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya. Bermukim pada hakekatnya
adalah hidup bersama, dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan adalah sebagai
tempat tinggal dalam suatu lingkungan yang mempunyai sarana dan prasarana yang
diperlukan oleh manusia dalam mensyaratkan dirinya.
Turner (1976) mengidentifikasikan 3 fungsi utama yang terkandung dalam
sebuah rumah tempat bermukim, yaitu:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga yang diwujudkan pada kualitas
hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah. Kebutuhan akan
tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat emmiliki tempat
berlindung atau berteduh guna melindungi iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi pengembang keluarga.
Fungsi ini diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan
berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan
kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan
keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas
lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa
kepemilikan rumah dan laha.
Prioritas dari ketiga fungsi tersebut menurut Turner (1976) berbeda-beda sesuai
dengan tingkat penghasilan masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan sangat rendah,
faktor opportunity bersifat penting dan faktor identity belum terpikirkan. Yang utama
adalah memperoleh kerja guna mendapatkan security pada tahap selanjutnya. Bagi
golongan pendapatan rendah, faktor security diprioritaskan lebih tinggi. Bagi
masyarakat menengah ke atas, faktor identity menjadi tuntutan utama.
23
Pemukiman Kumuh
Pengertian pemukiman kumuh secara umum menurut Rabekka dalam Sobirin
(2001) bahwa yang paling menonjol terlihat dari kualitas bangunan rumahnya yang
tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana
jalan yang sangat terbatas, kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku,
tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah sehingga terlihat kotor
dan jorok. Tidak jarang pula terdapat daerah yang secara berkala mengalami banjir.
Fenomena yang sering muncul di kota-kota besar adalah tingkat kebutuhan yang
tidak seimbang dengan kemampuan kota dalam menyediakan fasilitas umum.
Dampaknya adalah munculnya lingkungan kumuh, kemacetan lalu lintas,
ketidakteraturan tapak kawasan, inefesiensi penggunaan lahan serta rendahnya tingkat
pelayanan kebutuhan air bersih, dan lainnya baik dari segi keterjangkauan maupun
kualitas pelayanan (Saraswati, 2001)
Yudohusodo (1998) mendefinisikan kampung kumuh sebagai bentuk hunian
tidak berstruktur, tidak berpola dengan letak rumah dan jalan-jalannya tidak beraturan,
tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana pemukiman tidak mendukung ,
terlihat tidak ada got, sarana air bersih, MCK, dan lainnya, bentuk fisiknya tidak layak
misalnya setiap tahun kebanjiran, dan lain-lain.
Menurut Silas (2013) pemukiman kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian,
yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota
dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan
lahan perkotaan. Sedangkan kawasan pemukiman berkepadatan tinggi merupakan
embrio pemukiman kumuh. Pengertian pemukiman kumuh yang kedua ialah kawasan
yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula
baik, lambat laun menjadi kumuh yang disebabkan oleh adanya mobilitas sosial
ekonomi yang stagnan. Adapun karakteristik pemukiman kumuh, yaitu:
1. Keadaan rumah pada pemukiman kumuh terpaksa dibawah standar rata-rata 6
m2/orang. Sedangkan fasilitas perkotaan secara langsung tidak terlayani karena
tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan pemukiman yang ada,
maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.Pemukiman ini
secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah
(opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik
membeli atau menyewa. Manfaat pemukiman disamping pertimbangan lapangan
kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas
tinggi. Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan
tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di
sana.
24
Menurut Johan (2011) pemukiman kumuh memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel, baik karena pertumbuhan penduduk
akibat kelahiran mapun karena adanya urbanisasi.
2. Dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap, atau berproduksi
subsisten yang hidup di bawah garis kemiskinan.
3. Rumah-rumah yang ada di daerah ini merupakan rumah darurat yang terbuat dari
bahan-bahan bekas dan tidak layak.
4. Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, biasanya ditandai oleh lingkungan fisik
yang jorok dan mudahnya tersebar penyakit menular.
5. Pertumbuhannya yang tidak terencana sehingga penampilan fisiknya pun tidak teratur
dan tidak terurus; jalan yang sempit, halaman tidak ada, dsb.
6. Kuatnya gaya hidup “pedesaan” yang masih tradisional.
7. Secara sosial terisolasi dari pemukiman lapisan masyarakat lainnya
8. Ditempati secara ilegal atau status hukum tanah yang tidak jelas ( bermasalah ).
9. Biasanya ditandai oleh banyaknya perilaku menyimpang dan tindak kriminal
Menurut Anonim (2009)
beberapa tipologi, yaitu:
kawasan pemukiman kumuh dapat dibedakan dalam
1. Pemukiman kumuh nelayan
Merupakan pemukiman kumuh yang terletak di luar arena antara garis pasang tertinggi
dan terendah, dengan bangunan-bangunan yang langsung bertumpu pada tanah, baik itu
bangunan rumah tinggal atau bagunan lainnya. Rata-rata lokasinya ditepi pantai.
2. Pemukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi.
Merupakan pemukiman kumuh yang terletak di sekitar pusat-pusat aktifitas sosialekonomi. Seperti halnya lingkungan industri, sekitar pasar tradisional, pertokoan,
lingkungan pendidikan/kampus, sekitar obyek-obyek wisata dan pusat-pusat pelayanan
sosial-ekonomi lainnya.
3. Pemukiman kumuh pinggiran kota
Merupakan pemukiman kumuh yang berada di luar pusat kota (urban fringe), yang ada
pada umumnya merupakan pemukiman yang tumbuh dan berkembang di pinggiran kota
sebagai konsekuensi dari perkembangan kota, perkembangan penduduk yang sangat
cepat serta tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota yang sangat tinggi
25
Masyarakat Nelayan
1. Pemukiman Masyarakat Nelayan
Menurut Batubara (2010) pemukiman adalah suatu kawasan perumahan yang
ditata secara fungsional, ekonomi dan fisik tata ruang yang dilengkapi dengan prasarana
lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai satu kesatuan yang utuh dengan
membudidayakan sumber daya dan dana, mengelolah lingkungan yang ada untuk
mendukung kelangsungan perikatan mutu kehidupan manusia, memberikan rasa aman,
tentram dan nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keserasian dan keseimbangan agar
berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara.
Ciri khas yang melekat pada perumahan nelayan adalah rumah-rumah non atau semi
permanen, dindingnya terbuat dari papan atau geribik (bambu) serta atapnya dari seng.
Ada pula rumah yang dibangun dengan model panggung dan seluruh bahan bakunya
dari kayu. Model rumah panggung ini dibuat untuk menghindari banjir saat musim
angin barat. Disekitar perumahan tersedia tanah lapang tempat-tempat menjemur ikan
dan perbaikan jaring. Pemilik tanah lapang umumnya adalah nelayan besar atau juragan,
karena hanya juraganlah yang mampu memiliki tanah yang luas (Mubyarto, 1984)
Menurut Sugiarto (1996) pada perkembangannya kampung-kampung nelayan
berkembang semakin padat dan tidak tertib karena pertumbuhan penduduk alami dan
urbanisasi. Ketidaktertiban itu semakin membesar akibat perencanaan tata ruang yang
masih memarjinalkan masyarakat pesisir dan masyarakat nelayan. Permasalahanpermasalahan tersebut mengakibatkan munculnya pemukiman kumuh nelayan.
Perkampungan nelayan kumuh adalah lingkungan hidup yang kumuh dengan rumahrumah yang sangat sederhana , lokasi geografisnya banyak berada di daerah kepulauan,
sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai, serta lingkungannya
sering kali sudah terpolusi (Sarosa, 2000)
Hasil penelitian yang dilakukan Direktorat Perumahan, Ditjen Cipta Karya PU
(2011), mencatat hanya 0,4% dari perumahan masyarakat nelayan yang kondisinya
baik, 40,5 % agak baik, dan 59% sisanya buruk serta tidak memenuhi syarat kesehatan.
Karakteristik pemukiman kumuh nelayan adalah rumah-rumah dibangun berimpitan
disuatu lokasi tertentu yang luasnya memang sangat minim di sempanjang pantai,
adanya polusi udara yaitu bau amis yang menusuk hidung karena limbah ikan yang
mereka olah akibat tidak tersedianya tempat khusus untuk membuang sampah dan
limbah ikan. Sampah ditumpuk begitu saja di sembarang tempat sepanjang pantai.
Limbah ikan hasil pengolahan mereka juga sering tercecer dimana-mana (Chairul Amri,
2001)
26
2. Kondisi Masyarakat Nelayan
Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di indonesia
para nelayan biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas
nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal di
desa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya, 2002).
Satria (2002) mendefinisikan secara sosiologis karakteristik nelayan yang berbeda
dengan karakteristik masyarakat agraris, seiring dengan perbedaan karakteristik sumber
daya yang dimanfaatkan. Karakteristik sumber daya yang bersifat terbuka (open access)
membuat nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal
sehingga memiliki elemen resiko yang tinggi. Kondisi sumber daya yang beresiko ini
yang menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter yang berbeda dengan
masyarakat lain. Tidak jarang masyarakat yang bukan nelayan mengartikan nelayan
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki karakter yang keras, tegas dan terbuka.
Lebih lanjut Satria (2002) menjelaskan berbagai aspek yang mereprentasikan
masyarakat pesisir, antara lain:
1. Sistem pengetahuan; Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya
diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya
pengetahuan lokal ilmiah yang menjadikan terjaminnya kelangsungan hidup
sebagai nelayan.
2. Sistem kepercayaan; Secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang
kuat bahwa laut memiliki kekuatan magic dalam melakukan aktivitas
penangkapan ikan agar keselamatandan hasil tangkapan semakin terjamin.
Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi di lingkungan mereka hanya
sebagai salah satu alat stabilitas sosial nelayan.
3. Peran wanita; Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah
tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan
penangkapan di perairan dangka;, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan
perdagangan. Selain itu pengaturan aktivitas ekonomi rumah tangga banyak
dilakukan oleh istri nelayan.
4. Struktur sosial; Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi pada usaha
perikanan, perikanan tangkap maupun budidaya dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien.
5. Stratifikasi sosial; Bentuk stratifikasi sosial masyarakat peisisir ditunjukkan
dengan semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan yang
bersifat horizontal maupun vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi,
prestise dan kekuasaan.
27
6. Posisi sosial nelayan; Pada masyarakat sekitar nelayan dianggap sebagai
kelompok masyarakat dengan status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial
nelayan menjadi akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat nonnelayan tidak mengetahui kehidupan nelayan. Alokasi waktu untuk berinteraksi
dan letak geografis yang relatif jauh menjadi faktor kuat yang menyebabkan
kurangnya hubungan sosial nelayan dengan masyarakat lain.
Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks
dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumh tangga nelayan memiliki ciri-ciri
khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai faktor produksi, jam kerja
yang mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari yang dimanfaatkan untuk melaut hanya
20 hari, sisanya mereka relatif menganggur. Pekerjaan menangkap ikan adalah
merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya hanya dapat dikerjakan oleh
lelaki. Hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh
(Pangemanan, 2002)
Kondisi Ekonomi Sosial dan Lingkungan
Berbagai aktivitas manusia yang tinggal di wilayah pesisir berpotensi menyebab
terjadinya degradasi lingkungan, khususnya aktivitas masyarakat dalam memanfaat
sumber daya laut untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam pengelolaan relokasi
permukiman kumuh nelayan ke rumah susun terdapat beberapa aspek yang berpengaruh
penting seperti aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Jika dilihat dari aspek ekonomi, ekonomi nelayan ditandai dengan adanya
pendapatan yang rendah dan sangat terbatas padahal mata pencaharian di laut bertarung
dengan nyawa dan merupakan pekerjaan yang berat dan keras. Kondisi ini disebabkan
pendapatan utama dari produksi hasil laut yang masih konvensional. Penyebab lainnya
adalah tata niaga perikanan yang kurang mendukung (Tim Peneliti Jurusan Perikanan
Undip, 1985). Kondisi ekonomi masyarakat nelayan selalu dipahami sebagai
masyarakat yang memiliki ekonomi lemah. Seperti dikatakan oleh Bailey (1998) dikutip
Muflikhati (2010), bahwa masyarakat nelayan miskin karena mereka nelayan atau
dikenal kemiskinan endemik, artinya apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka
tetap diartikan miskin. Hal ini berdasar pada pengertian kemiskinan yang berbeda di
masyarakat sekitar. Menurut Bene (2003) dikutip Muflikhati (2010), kemiskinan
nelayan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang menganut paradigma
lama yang menyatakan bahwa kemiskinan nelayan terkait dengan sumber daya alam
dan paradigma baru yang melihat kemiskinan nelayan dari berbagai sisi (multidimensi).
Kondisi-kondisi tersebut dapat dijelaskan pada Tabel 1.
28
Tabel 1. Kondisi Ekonomi dan Sosial Lingkungan Nelayan
Aspek
Ekonomi
Bentuk
Penjelasan

Tenaga Kerja

Diversifikasi pekerjaan pada musim paceklik
(Mugni 2006; Muflikhati 2010).

Adaptasi Teknologi

Menggunakan kapal bermotor tempel sebagai
usaha meningkatkan hasil tangkapan
(Herdian 2003).
Melakukan modifikasi alat tangkap sesuai
kondisi perairan (Sihombing 2003).


Pengalokasian Keuangan



Pemanfaatan
sumber daya
terhadap




Sosial Lingkungan


Organisasi Kerja

Lebih dari 50 persen untuk konsumsi pangan
(Pancasasti 2008).
Untuk jajan dan merokok (Muflikhati 2010).
Bergantung pada pemanfaatan sumber daya
pesisir (Satria 2002).
Bergantung langsung pada hasil laut (Imron
2003).
Memanfaatkan langsung sumber daya
lingkungan pesisir, mengolah hasil ikan atau
laut, menunjang ekonomi perikanan seperti
tukang perahu, pemilik toko atau warung
(Kusnadi 2009).
Bergantung pada kondisi lingkungan, musim,
dan pasar (Kusumastanto 2000).
Nelayan besar (lebih dari 10 orang buruh),
nelayan sedang (antara 4-10 orang buruh),
nelayan kecil (maksimal 3 orang buruh), dan
buruh (Kinseng 2011).
Nelayan buruh yang bekerja dengan alat
tangkap milik orang lain, nelayan juragan
yang memiliki alat tangkap dan dioperasikan
orang lain, dan nelayan perorangan yang
memiliki
alat
tangkap
sendiri dan
pengoperasian juga sendiri (Mulyadi 2007).

Boros dalam menggunakan uang dengan
menghabiskan banyak uang untuk merokok
dan jajan (Muflikhati 2010).

Gaya Hidup

Meminjam uang kepada tetangga, berhutang
ke warung terdekat, memanfaatkan program
anti kemiskinan, dan meminjam ke rentenir
atau bank (Sunarti 2009).

Hubungan Sosial

Masyarakat heterogen, interaksi struktur
relasi patron-klien sangat kuat (Kusnadi
2009; Mugni 2006).

Kerentanan
bencana

Sangat rentan terhadap bencana (Ruswandi
2009).
terhadap
29
Kondisi sosial masyarakat nelayan yang sering ditemukan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil ditandai dengan tingginya angka kelahiran (fertilitas), perkembangan
penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir, rendahnya tingkat pendidikan dan
pengetahuan (Mubyarto, 1984). Rendahnya pendidikan masyarakat nelayan yang
dipengaruhi oleh fenomena keseharian masyarakat nelayan. Anak laki-laki maupun
wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai hasil
persiapan orang tua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan (Pangemanan,
2002:3). Isu-isu sosial ini jika tidak ditangani akan memberikan tekanan yang besar
terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya pesisir seperti wajah pesisir menjadi
memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit
menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai,
terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar menjadi tempat pembuangan
sampah.
Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
Nelayan
Pesatnya pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir akan berpengaruh langsung
terhadap kebutuhan sarana dan prasarana nya, dalam hal ini menyangkut kebutuhan
akan perumahan dan pemukiman. Semakin tingginya kepadatan penduduk menciptakan
berbagai permasalahan, salah satunya adalah munculnya pemukiman kumuh. Menurut
Herlianto (1999) keadaan tersebut apabila tidak segera ditangani dengan baik
berdampak pada masalah kerusakan lingkungan, masalah kesehatan yang merosot,
masalah ekonomi dan kesempatan kerja yang makin tidak seimbang. Adapun dampak
negatif dari pemukiman kumuh jika ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
dapat dijelaskan pada Tabel 2.
30
Tabel 2. Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan Nelayan
Aspek
Dampak yang ditimbulkan
Ekonomi

Tidak sedikit pemukim kumuh nelayan yang memiliki status
ekonomi miskin yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku
menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni
itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitarnya
(Rizal 2003)
Sosial

Menimbulkan banyak masalah perkotaan, berbagai perilaku
menyimpang seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial
lainnya (Rizal 2003)

Tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan
hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi
terabaikan dan kurang diperhatikan (Andy 2000)

Sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan
rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah
dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan
terhadap norma-norma sosial (Umbara 2001)

Wajah pesisir menjadi memburuk dan kotor, planologi
penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular
dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak
memadai, terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar
menjadi tempat pembuangan sampah (Rizal 2003)
Lingkungan
31
SIMPULAN
Pertumbuhan penduduk telah menimbulkan persoalan diantaranya penyediaan
perumahan dan pemukiman bagi masyarakat yang jumlahnya semakin bertambah.
Penyediaan perumahan yang relatif terbatas menyebabkan kebutuhan rumah sulit
dipenuhi sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat dengan penghasilan kecil
kemudian membangun rumah di atas tanah kosong milik negara. Masyarakat nelayan
dengan pendapatan yang rendah kemudian memilih membangun rumah di atas lahan
pasang surut. Pemilihan lokasi di pantai ini dipengaruhi oleh pekerjaan mereka yang
menggunakan perahu atau kapal dalam menopong hidupnya.
Pada perkembangannya pemukiman nelayan tumbuh menjadi pemukiman
kumuh. Pemukiman kumuh tersebut tidak sekedar dihadapkan pada masalah-masalah
fisik, melainkan terkait aspek ekonomi, sosial dan lingkungnnya. Kondisi ekonomi
masyarakat nelayan selalu dipahami sebagai masyarakat yang memiliki ekonomi lemah.
Seperti dikatakan oleh Bailey (1998) dikutip Muflikhati (2010), bahwa masyarakat
nelayan miskin karena mereka nelayan atau dikenal kemiskinan endemik, artinya
apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka tetap diartikan miskin. Kondisi sosial
masyarakat nelayan yang sering ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
ditandai dengan tingginya angka kelahiran (fertilitas), perkembangan penduduk yang
cukup pesat di wilayah pesisir, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
(Mubyarto, 1984). Kondisi lingkungan masyarakat nelayan yang sering ditemukan di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditandai dengan kotornya lingkungan sekitar
wilayah pesisir yang ditandai dengan banyaknya sampah, planologi penertiban
bangunan sukar dijalankan, penyakit menular dan kebakaran yang sering melanda,
fasilitas MCK yang tidak memadai dan terbatasnya sarana air bersih.
Menurut Herlianto (1999) pemukiman kumuh nelayan tersebut apabila tidak
segera ditangani dengan baik berdampak pada masalah kerusakan lingkungan, masalah
kesehatan yang merosot, masalah ekonomi dan kesempatan kerja yang makin tidak
seimbang. Adapun dampak negatif dari pemukiman kumuh jika ditinjau dari aspek
ekonomi ialah status ekonomi miskin yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku
menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun
terhadap masyarakat lingkungan sekitarnya (Rizal 2003). Dampak negatif jika ditinjau
dari aspek sosial ialah tanggung jawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan
hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang
diperhatikan (Andy 2000). Dan dampak negatif jika ditinjau dari aspek lingkungan ialah
memburuknya wajah, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, penyakit
menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai,
terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar menjadi tempat pembuangan
sampah (Rizal 2003). Hal ini menunjukkan bahwa pemukiman kumuh berdampak
negatif bagi nelayan jika ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungannya.
32
Usulan Kerangka Analisis Untuk Penelitian
Karakteristik Nelayan:
Faktor Eksternal:
- Tingkat pendidikan
- Tidak tersedianya tempat
tinggal layak huni
- Jumlah tanggungan anggota
- Taraf ekonomi lemah
keluarga
- Tingkat ketergantungan
Pemukiman Kumuh
Nelayan
Kondisi Nelayan:
-
Kondisi Ekonomi
Kondisi Sosial
Kondisi Lingkungan
Keterangan:
= Hubungan mempengaruhi
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan analisis, sintesis serta kesimpulan yang telah dibuat, maka dapat disusun
beberapa pertanyaan spesifik yang dapat diangkat untuk topik penelitian selanjutnya.
Rumusan pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan pemukiman nelayan kumuh?
2.
Bagaimana dampak pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi,
sosial dan lingkungan nelayan?
33
DAFTAR PUSTAKA
Atihuta V. 2012. Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa Leleoto,
Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku
Utara [Internet]. [Diunduh tanggal 14 Maret 2015]. Dapat diunduh dari:
http://www.academia.edu/4457126/Jurnal_KEADAAN_SOSIAL_EKONOM
I_NELAYAN_SOMA_GIOP?login=&email_was_taken=true
Dikrurahman, Sofhani TF. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan
Kelompok Nelayan Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Studi
Kasus: Kelompok Nelayan Di Pulau Temoyong, Kecamatan Bulang, Kota
Batam) . Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota [Internet]. Jurnal. [Diunduh
tanggal 14 Maret 2015]; 02(01).Dapat diunduh dari:
http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wp-oads/2013/09/V2N1-Faktor- yangMempengaruhi-Pengembangan-Kelompok-Nelayan-dalam-UpayaPemberdayaan-Masyarakat-Nelayan-1.pdf
Hariyanto A. 2010. Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan
Lingkungan Perumahan dan Pemukiman yang Sehat (Contoh Kasus: Kota
Pangkalpinang). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota [Internet]. Jurnal.
[Diunduh tanggal 15 Maret 2015];14(02).Dapat diunduh dari:
file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/17761-19880-1-PB.pdf
Hendrik. 2011. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan
Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak
Propinsi Riau . Jurnal Perikanan dan Kelautan [Internet]. Jurnal. [Diunduh
tanggal 15 Maret 2015];16(01).Dapat diunduh dari:
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JPK/article/viewFile/44/39
Lestari A. 2011. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan
Pertanian. [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 20 September 2014]. Dapat diunduh
dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47310
Mauliani L. 2002. Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi
Masyarakat Golongan Menengah Bawah. Jurnal Arsitektur [Internet]. Jurnal.
[Diunduh tanggal 15 Maret 2015]; 01(01).Dapat diunduh dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70810&val=4880
Mintaroem K, Farisi MI. 2001. Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di
Nelayan Tradisional . Jurnal Studi Indonesia [Internet]. Jurnal. [Diunduh
tanggal 15 Maret 2015];11(02).Dapat diunduh dari:
https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf
34
Pontoh O. 2010. Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara . Jurnal
Perikanan dan Kelautan Tropis [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret
2015];06(03).Dapat diunduh dari: file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/156194-1-SM.pdf
Rindawati S. 2012. Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu . Jurnal
Ekonomi dan Informasi Akuntansi [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 14
Maret 2015];02(03).Dapat diunduh dari: http://news.palcomtech.com/wp
content/uploads/2013/04/SEPTI-JE02032012.pdf
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo
Sugiharto E, Salmani, Indratno B. 2013. Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Riau.
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 14 Maret
2015];18(02).Dapat diunduh dari: https://fpik.unmul.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/9-Salmani-STUDI-TINGKATKESEJAHTERAAN-MASYARAKAT.pdf
Widyo W. 2011. Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota.
Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal
15 Maret 2015];03(02).Dapat diunduh dari: http://jurnal.itats.ac.id/wpcontent/uploads/2013/04/Studi-Potensi-Lingkungan-Pemukiman-Kumuh-diKampung-Kota-_1997_.pdf
Download