Laporan Studi Pustaka (KPM 403) Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan MELISA HANDAYANI I34120094 Dosen Dr. Arif Satria, SP MSi DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Pemukiman Kumuh NelayanTerhadap Tingkat Ekonomi, Sosisal dan Lingkungan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Melisa Handayani NIM. I34120094 iii ABSTRAK MELISA HANDAYANI. Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir telah menimbulkan persoalan, diantaranya penyediaan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat yang jumlahnya semakin bertambah sehingga pada perkembangannya pemukiman nelayan tumbuh menjadi pemukiman kumuh yang memiliki dampak tidak sekedar pada masalah-masalah fisik, tetapi juga berdampak pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan nelayan. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis mengenai dampak pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan. Kata kunci: nelayan, pemukiman kumuh, tingkat ekonomi sosial lingkungan nelayan ABSTRACT MELISA HANDAYANI. The Impact of fisherman’s slums settlement on the level of economic, social and environment. Supervised by ARIF SATRIA A fairly rapid population growth in coastal areas has led to problems, such as the provision of housing and settlements to people who are increasingly making the development of fishermen settlement grew into a slums that has an impact not only on the physical problems, but also have an impact on the economic aspects, social and environmental fishermen. Therefore, this article will analyze the impact of fisherman’s slums settlement on the level of economic, social and environment. Keywords: fisherman, level of fisherman’s economic social environment, slums settlement iv DAMPAK PEMUKIMAN KUMUH NELAYAN TERHADAP TINGKAT EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN Oleh MELISA HANDAYANI I34120094 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Melisa Handayani Nomor Pokok : I34120094 Judul : Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Arif Satria, SP MSi NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan: _____________________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Dampak Pemukiman Kumuh Nelayan Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman-teman yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Melisa Handayani NIM. I34120094 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN ............................................................................................................................ ii ABSTRAK ................................................................................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................... v PRAKATA ....................................................................................................................................vi DAFTAR ISI ................................................................................................................................vii DAFTAR TABEL DAN DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1 Latar Belakang .......................................................................................................................... 1 Tujuan Penulisan ....................................................................................................................... 2 Metode Penulisan ...................................................................................................................... 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ............................................................................... 3 Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara............................................................... 3 Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Riau ..................................................................................................... 5 Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu .................................................. 6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kelompok Nelayan Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus: Kelompok Nelayan Di Pulau Temoyong, Kecamatan Bulang, Kota Batam) .............................................................................................. 8 Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah .................................................................................................................... 10 Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di Nelayan Tradisional .......................... 12 Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara ....................................................................... 14 Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Pemukiman yang Sehat (Contoh Kasus: Kota Pangkalpinang) ........................................ 16 Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau ...................................... 18 Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota ......................................... 20 ANALISIS DAN SINTESIS ....................................................................................................... 22 Perumahan dan Pemukiman .................................................................................................... 22 viii Pemukiman Kumuh ................................................................................................................. 23 Masyarakat Nelayan ................................................................................................................ 25 1. Pemukiman Masyarakat Nelayan ................................................................................ 25 2. Kondisi Masyarakat Nelayan ...................................................................................... 26 Kondisi Ekonomi Sosial dan Lingkungan ............................................................................... 27 Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Nelayan 29 SIMPULAN ................................................................................................................................ 31 Usulan Kerangka Analisis Untuk Penelitian ........................................................................... 32 Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 33 ix DAFTAR TABEL Tabel 1. Kondisi Ekonomi dan Sosial Lingkungan Nelayan ............................................... 28 Tabel 2. Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Nelayan .................................................................................................................................30 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Analisis ............................................................................................... 32 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim kaya akan adat istiadat, tradisi, suku-suku bangsa, bahasa dan juga pulau-pulau yang berteparan, di tempati oleh seluruh individu manusia dari semua kalangan sosial dan suku-suku, terdiri dari gagasan pulau dengan luas daratan yag besar serta pulau-pulau yang menjadi batas wilayah negara. Menurut BPS (2011) ada sekitar 60 juta penduduk bermukim diwilayah pesisir, berbagai kegiatan ekonomi masyarakat berkembang di wilayah ini. Padatnya penduduk di wilayah pesisir telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan di wilayah pesisir. Salah satu aspek yang sangat terasa adalah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan perumahan atau tempat tinggal bagi penduduk di sekitar wilayah pesisir. Hal itu disebabkan karena terbatasnya kemampuan untuk membangun perumahan yang layak serta semakin terbatasnya lahan untuk membangun permukiman yang mencukupi dan memenuhi syarat. Sebagai konsekuensi dari keadaan di atas maka banyak orang yang tinggal di sekitar wilayah pesisir yang terpaksa membangun rumah di atas tanah yang tidak direncanakan semula. Keadaan itu menjadikan lingkungan perumahan tidak teratur dan tidak memiliki prasarana yang jelas. Aktivitas pembangunan permukiman di wilayah pesisir seharusnya mematuhi peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada agar tercapai pembangunan wilayah pesisir yang lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal sserta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Namun faktanya, masih banyak masyarakat pesisir yang masih bermukim di permukiman yang tidak layak dan tidak berkelanjutan. Sebagai gambaran permukiman kumuh nelayan terjadi di Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Belung Selatan. Kelurahan ini memiliki tingkat kepadatan yang tinggi yaitu lebih dari 150 orang/Ha (Monografi Kecamatan TBS 2001:2). Pemukiman di Kelurahan Kangkung cukup ramai karena dalam RUTR merupakan kawasan rekreasi dan hiburan dan dahulu pernah memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang Lelang. Bentuk pemukiman kumuh di Kelurahan Kangkung dapat dilihat dari kondisi bangunan rumah yang non permanen, jarak rumah yang rapat dan tidak teratur, dan membelakangi pantai. Pantai yang berfungsi sebagai tempat buang sampah dan MCK umum. Lingkungan sekitar wilayah tersebut kotor, tidak sehat, tidak estetik dan tidak sesuai dengan perkembangan kota karena merupakan daerah yang berelevasi rendah sehingga 2 merupakan daerah yang terkena genangan air bila sungai Way Kupang meluap. Dampak negatif yang ditimbulkan dari pemukiman kumuh di Kelurahan Kangkung adalah nelayan tidak mampu mengembangkan sistem ekonominya bahkan terjadi penurunan tingkat ekonomi akibat meningkatnya biaya pengeluaran rumah tangga karena tidak tersedianya sarana dan prasarana pendukung, penumpukan sampah dan limbah material rumah yang tidak bisa didaur ulang karna tidak menggunakan alat-alat yang berkelanjutan, dapat merusaknya lapisan ozon karna hasil pembakaran sampah yang asal oleh masyarakat sekitar karena tidak adanya pengelola sampah. Selain itu, budaya masyarakat yang kurang peduli dengan kebersihan dan satinasi lingkungan tidak dapat dihilangkan sehingga terjangkitnya penyakit menular. Masyarakat nelayan yang tinggal di pemukiman kumuh harus mencari alternatif agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial serta lingkungannya. Masyarakat nelayan harus memiliki sarana dan prasarana yang baik agar terciptanya pemukiman yang nyaman, bersih dan berkelanjutan. Maka dari itu, penting untuk menganalisis dampak pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuan Penulisan Penulisan studi pusataka ini bertujuan untuk menganalisis tentang pemukiman kumuh nelayan di wilayah pesisir dan dampaknya terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini yaitu mengumpulkan, meringkas, menganalisis, dan melakukan sintesis data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan topik studi pustaka ini yaitu pemukiman kumuh nelayan. Hasil dari ringkasan tersebut akan digunakan sebagai landasan teori dan juga konsep mengenai pemukiman kumuh nelayan dan hubungannya dengan tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan nelayan. Penarikan hubungan antara kedua konsep tersebut dilakukan untuk memunculkan sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan masalah bagi penelitian yang akan dilakukan. 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Judul :Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Velsia Marlen D. Atihuta Nama Jurnal : Jurnal Pesisir danLaut Tropis Penerbit : Program Studi Agrobisnis Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Universitas Sam Ratulangi Manado Volume : Volume 15 No 2 Alamat URL : http://www.academia.edu/4457126/Jurnal_KEADAAN_SOSIAL_EKONOMI_NE LAYAN_SOMA_GIOP?login=&email_was_taken=true Tanggal diunduh : 14 Maret 2015 Ringkasan: Penelitian ini mengkaji tentang manajemen usaha perikanan jaring insang dasar di Keluarahan Manado Tua 1. Pulau Manado Tua termasuk dalam wilayah kecamatan Bunaken kota Manado, berjarak 25 mil dari pusat kota dan dapat di tempuh selama 11,5 jam dengan menggunakan kapal motor. Letak geografis Pulau Manado Tua padaposisi 1º38' Lintang Utara dan 124º48'Bujur Timur, berada. Luas Pulau ManadoTua adalah 937,5 Ha dengan garistengah ± 2 km. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji menajemen usaha perikanan yang mencakup modal usaha, hasil tangkapan, sistem pemasaran, sistem bagi hasil dan sistem tenaga kerja, pelaksanaan fundi-fungsi manajemen. Berdasarkan hasil penelitian, modal yang dibutuhkan Rp 4.100.000. Hasil tangkapan ialah ikan yang tergolong demersal, sistem pemasaran dari nelayan, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen. Tetapi jika hasil tangkapan sedikit, sistem pemasaran yang dilakukan dari nelayan langsung kepada konsumen. Sistem bagi hasil 50 % untuk nelayan pemilik dan 50% untuk nelayan pekerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan 3-4 orang. Upaya dalam meningkatkan produksi perikanan ialah dengan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan cara nelayan 4 dalam bidang usaha jaring insang dasar (Siahaya,2005). Usaha ini meliputi bagaimana cara mengatur manajemen usaha perikanan jaring insang dasar di Kelurahan mando Tua 1. Meskipun alat tangkap ini termasuk alat tangkap yang relatif produktif dalam hal jumlah hasil tangkapan, namun apabila cara pengelolaannya tidak baik atau manajemennya kurang baik maka usaha perikanan ini bisa saja mengalami kegagalan atau kerugian. Alat tangkap yang dipakai oleh masyarakat di Kelurahan Manado Tua adalah jaring insang dasar atau soma paka-paka yang sering disebut oleh masyarakat nelayan di Kelurahan Manado Tua 1 ini, diperkirakan sudah ada dan mulai beroperasi sejak 10 tahun yang lalu. Cara untuk mengoperasikan alat tangkap ini menggunakan satu perahu yang dilengkapi dengan motor tempel.Jaring dibawa dengan perahu ke lokasi penangkapan, tempat meletakkan jaring di dekat terumbu karang dimana kedalaman air ± 8 meter dari permukaan. Hasil tangkapan ikan dengan menggunakan soma giop di desa Leleoto, Tobelo Selatan adalah jenis ikan yang tergolong pelagis. Sistem bagi hasil atau pengupahan tenaga kerja usaha somagiop di desa Leleoto adalah 50 % untuk nelayan pemilik alat tangkap dan 50 % untuk nelayan pekerja. Upah dari hasil tangkapan ini dibagikan atau dilakukan seminggu sekali. Berdasarkan sistem bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan pemilik jaring insang dasar adalah nilai tangkapan dikurangi biaya operasi per trip, maka akan diperoleh pendapatan bersih. Pendapatan bersih tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian 50% untuk nelayan pemilik dan 50 % untuk nelayan pekerja. Fungsi manajemen dalam usaha ini dilihat dari fungsi perencanaan yaitu dilakukan oleh tonaas untuk merencanakan penentuan daerah penangkapan, waktu dan dimana akan dipasarkan. Sistem organisasi dalam usaha ini dari tonaas langsung kepada masanae. Fungsi menggerakkan sebagai tindakan untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh tonaas kepada masanae secara baik. Fungsi pengawasan merupakan fungsi yang paling penting dalam kegiatan penangkapan ikan agar tidak terjadi hal-hal yang bersifat penyimpangan, tugas untuk mengawasai masanae adalah tonaas. Pengawasan lebih khusus dilakukan terhadap hasil tangkapan yang akan diperoleh. Analisis: Penelitian ini sudah bagus karena menyertakan keadaan di Desa Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara secara rinci. Namun, penulis tidak menyertakan keadaan sosial nelayan disana secara jelas sehingga pembaca kurang bisa membayangkan kondisi sosial yang terjadi di Desa Leleoto 5 2. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Judul : Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Riau Tahun : 2013 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Eko Sugiharto, Salmani dan Bambang Indratno Nama Jurnal : Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Penerbit :Jurusan Sosek Perikanan,Universitas Mulawarman Volume : Vol. 18. No. 2, April 2013 Alamat URL :https://fpik.unmul.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/9Salmani-STUDI-TINGKAT-KESEJAHTERAANMASYARAKAT.pdf Tanggal diunduh : 14 Maret 2015 Ringkasan: Kabupaten Berau adalah satu diantara kabupaten di Kalimantan Timur yang memiliki 13 kecamatan dan 112 desa (BPS Kabupaten Berau, 2010). Kampung Gurimbang merupakan satu diantara kampung yang terletak di Kecamatan Sambaliung yang terdiri dari 7 RT (Rukun Tetangga), Kampung Gurimbang memiliki luas wilayah sekitar 12.500 Ha. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang dapat ditentukan berdasarkan indikator Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Indikator-indikator tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologi, kebutuhan pengembangan dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Aspek sosial yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pemenuhan terhadap empat kategori kebutuhan diantaranya kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologi, kebutuhan pengembangan dan kepedulian sosial. Dalam pencapaian kebutuhan tersebut tentunya sangat bergantung pada upaya yang ingin dicapai semua keluarga dalam meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan kesejahteraan yang diinginkan seluruh keluarga. Masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat nelayan antara lain dalam meningkatkan kesejahteraan diantaranya mengenai masalah modal, mahal dan sulit memperoleh bahan bakar minyak (BBM), alat tangkap, cuaca/iklim, harga jual dan 6 sumber daya manusia (SDM) yang bertambah, sumber daya alam (SDA) yang berkurang. Dari beberapa penyebab yang ada maka akan ada beberapa akibat yaitu hasil tangkapan yang kurang, pendapatan yang sangat kurang dan tidak bisa membayar hutang kepada pedagang pengumpul ataupun pinjaman dikelompok. Kemudian solusi yang ditawarkan menurut masyarakat yaitu pinjaman dari penampung (Punggawa), pinjaman dari kelompok nelayan dan adanya peran pemerintah dalam mengatasi masalah berdasarkan beberapa penyebab yang ada, diantaranya bantuan yang pernah diberikan dalam bentuk mesin, dana yang saat ini masih dalam proses ,kemudian akan adanya pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) khusus nelayan. Analisis: Penelitian ini sudah bagus karena terdapat empat kategori yang menjadi penyebab masalah kesejahteraan nelayan seperti dalam hal modal dan SDM. Penulis juga menjelaskan sebab akibat dari masalah serta menuliskan solusi dari masalah tersebut sehingga pembaca dapat membayangkan secara jelas masalah kesejahteraan yang terjadi, sebab akibatnya dan juga solusi dari masalah yang dihadapi nelayan tersebut. 3. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi Judul :Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Septi Rindawati Nama Jurnal : Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bengkulu Volume : Vol. 2 No. 3 Sept 2012 Alamat URL :http://news.palcomtech.com/wp content/uploads/2013/04/SEPTI-JE02032012.pdf Tanggal diunduh : 14 Maret 2015 Ringkasan: Provinsi Bengkulu yang berada di sebelah barat pengunungan Bukit Barisan dengan luas kurang lebih 1.978.870 ha atau 19.788,7 km2. Ditinjau dari keadaan geografinya, Provinsi Bengkulu terletak diantara 101 20’ BT – 103 45’ BT, 2 25’LS – 5 00’LS. Provinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer yang membentang kearah laut lepas (ZEE) 7 diperkirakan memiliki luas potensi 194.596,5 km untuk perikanan tangkap dan budidaya. Kekayaan sumber daya alam kelautan Provinsi Bengkulu hingga saat ini belum dikembangkan pemerintah secara serius, dan investor pun belum meliriknya sebagai sumber pemasukan. Ketidakberdayaan nelayan tradisional di daerah ini meningkatkan produksi tangkap menghadapi banyak masalah terutama modal, sehingga mereka tidak mampu membeli peralatan modern. Sehingga mereka belum mampu untuk mensejahterakan kehidupan keluarganya. Kondisi lingkungan Internal di Kota Bengkulu jika dilihat dari segi kekuatannya (Strengths) yaitu potensi sumber Daya Manusia (jumlah nelayan) yang banyak. Nelayan yang mengantungkan hidupnya pada sumber daya alam kelautan, para nelayan ini merupakan kekuatan sebagai sumber daya manusia untuk dapat mengeksploitasi sumber daya kelautan secara optimal untuk meningkatkan produktifitas hasil tangkap berdasarkan wawasan lingkungan yang bertanggung jawab. Bagi masyarakat nelayan khususnya di Kelurahan Malabero, Kelurahan Pondok Besi, dan Kelurahan Pasar Bengkulu, ikatan kekeluarganya masih tinggi sehingga mereka masih saling bahu membahu dan tolong menolong dalam melakukan kegiatan kenelayanan diantara mereka agar dapat meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat nelayan tersebut. Tingkat homogenitas masyarakat nelayan yang tinggi khususnya dari agama yang mereka anut. Mayoritas masyrakat nelayan yang ada di Kelurahan Malabero, beragama islam. Ini dapat membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pelatihan maupun bantuan modal kepada masyarakat nelayan tersebut, disamping melalui wadah kelompok masyarakat nelayan atau kelembagaan juga bisa melalui forum-forum keagamaan sehingga meraka dapat menerima atau menangkap arahan yang diberikan maupun bantuan-bantuan modal dari pemerintah agar dapat meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat nelayan. Jika dilihat dari segi kelemahannya adalah teknologi (sarana) yang digunakan oleh sebagian masyarakat nelayan masih tradisional. Sulitnya masyarakat nelayan menerima pembaharuan dalam teknologi dikarenakan rendahnya pengetahuan yang dimilikinya sehingga pengetahuan dan keterampilan dalam proses penangkapan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan dalam meningkatkan penghasilan masih sangat rendah. Masyarakat nelayan di Kelurahan Pasar Bengkulu yang mayoritas belum banyak memiliki armada dan dimana mereka masih menumpang kepada nelayan yang mempunyai perahu atau kapal motor dan jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan tersebut masyoritas atau kebanyakan menggunakan jaring. Modal yang digunakan masyarakat nelayan masih rendah. Keterbatasan modal kerja bagi masyarakat nelayan merupakan suatu masalah yang seakan-akan tidak akan selesai, masalah ini akan selalu menjadi masalah yang sangat esensial bagi masyarakat nelayan untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan proses penangkapan dan pengelolaan sumber daya kelautan. Pendidikan masyarakat nelayan yang masih rendah, itu lah menjadi kendala dalam proses penerima pembaruan atau teknologi baru dan pengoperasian sehingga pengetahuan dan keterampilan dalam proses penangkapan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan 8 dalam meningkatkan penghasilan masih sangat rendah. Peran kelembagaan masyarakat nelayan yang tidak berfungsi. Untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkap nelayan maka diperlukan suatu wadah pembinaan bagi masyarakat nelayan, yaitu suatu kelompok nelayan atau kelembagaan. Kelembagaan tersebut belum dapat berfungsi secara maksimal ini terkendala pada kesadaran pengurusan untuk menjalankan fungsi dan perannya pada kelembagaan tersebut. Analisis: Penelitian ini sudah bagus karena penulis menuliskan secara rinci kehidupan nelayan tradisional di Provinsi Bengkulu yang bisa menjadi contoh bagi para nelayan tradisional di daerah lain yang memiliki keterbatasan dalam menangkap ikan tetapi dengan bergotong royong ternyata dapat membantu memudahkan pekerjaan mereka. Namun sayangnya penulis tidak menyertakan solusi dari keterbelakangan kehidupan nelayan di Bengkulu sehingga pembaca tidak mendapatkan gambaran yang jelas akhir dari masalah tersebut. 4. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Judul :Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kelompok Nelayan Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus: Kelompok Nelayan Di Pulau Temoyong, Kecamatan Bulang, Kota Batam) Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Dikrurahman dan Tubagus Furqon Sofhani Nama Jurnal : Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Penerbit :Sekolah Arsitektur,Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Volume : Vol. 2 No. 1 Alamat URL :http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wp-oads/2013/09/V2N1-Faktoryang-Mempengaruhi-Pengembangan-Kelompok-Nelayandalam-Upaya-Pemberdayaan-Masyarakat-Nelayan-1.pdf Tanggal diunduh : 14 Maret 2015 9 Ringkasan: Sebagian besar mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah pesisir adalah nelayan dengan aktivitasnya berupa penangkapan ikan, budidaya perikanan, pengolahan hasil ikan dan perdagangan. Nelayan kelompok di Pulau Temoyong ini dapat melaksanakan produksi dari segi ekonomi dan mampu menanggung kebutuhannya sendiri. Nelayan kelompok di Pulau Temoyong terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan terlibat dalam kelompok nelayan di lokasi penelitian, dikarenakan kegiatan penangkapan ikan tidak hanya dilakukan di laut lepas dengan peralatan tangkap yang berat dan kompleks, namun juga dilakukan di sekitar pulau atau pantai, seperti menangkap udang, kepiting bakau, dan jenis-jenis ikan pantai, sehingga dapat dirumuskan bahwa tipe nelayan yang ada di Pulau Temoyong terdiri dari nelayan pantai dan laut. Pengaruh tingkat partisipasi terhadap pengembangan kelompok dapat diketahui melalui keikutsertaan seluruh anggota kelompok nelayan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan. Partisipasi yang baik dari anggota kelompok diantaranya dilakukan dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, identifikasi masalah, dan pemecahan masalah. Dalam penelitian ini, contoh kasus yang digunakan untuk mengetahui tingkat partisipasi anggota kelompok adalah dalam kegiatan menangkap ikan (melaut). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kelompok nelayan di Pulau Temoyong sudah memiliki alat produksi utama sendiri. Dalam beberapa kasus nelayan di lokasi lain, kepemilikan alat produksi utama juga ada yang berasal dari proses meminjam atau menyewa, yang pengembaliannya berupa bagi hasil dari penjualan ikan yang ditangkap. Penyuluhan dan pembinaan kelompok nelayan di Pulau Temoyong dilakukan oleh Dinas Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Batam, dengan menugaskan tenaga penyuluh untuk menjembatani kepentingan pemerintah dan kelompok nelayan. Keberadaan tenaga penyuluh dapat diketahui melalui kompetensi penyuluh, pendampingan dan fasilitasi informasi atau kemitraan, asistensi, serta pencatatan, pelaporan, dan dokumentasi kegiatan. Akses terhadap sumberdaya ikan dapat diketahui dari ketersediaan dan jangkauan ke sumberdaya ikan. Sedangkan akses terhadap pasar dapat diketahui melalui ketersediaan dan jangkauan ke sumberdaya pasar. Sebagian besar anggota kelompok menilai bahwa sumberdaya daya ikan cukup tersedia dan lokasi penangkapan masih dapat dijangkau. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kelompok nelayan di Pulau Temoyong terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, yaitu faktor-faktor yang sumbernya berasal dari dalam kelompok. Faktor-faktor ini adalah tingkat kesamaan, kepemimpinan, interaksi dan komunikasi, tingkat partisipasi, aset yang dimiliki, dan kemauan atau motivasi. Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor yang sumbernya berasal dari luar kelompok. Faktor-faktor ini adalah penyuluhan dan pembinaan, bantuan (modal) dari pihak lain, dan akses ke sumberdaya ikan dan pasar. Manfaat pengembangan kelompok dalam hal tingkat pendapatan, nilai tabungan dan investasi, pemenuhan kebutuhan hidup, dan kualitas sumberdaya manusia telah mampu dirasakan oleh kelompok nelayan. Secara umum, saat ini keadaannya lebih 10 baik bila dibandingkan sebelum berkelompok atau pada saat awal bergabung dengan kelompok. Kondisi yang menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan kelompok nelayan di Pulau Temoyong telah mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Analisis: Penelitian ini menarik karena membuka wawasan kita bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa jadi nelayan tetapi wanita juga bisa ikut membantu mengkap ikan di daerah pinggir pantai dengan alat tangkap yang ringan dan juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kelompok nelayan di Pulau Temoyong . Ini bisa menjadi contoh bagi para istri nelayan di daerah lain untuk bisa membantu suami nya menangkap ikan dan juga membantu meningkatkan perekonomian keluarga mereka. 5. Jurnal Arsitektur Judul :Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah Tahun : 2002 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Lily Mauliani Nama Jurnal : Jurnal Arsitektur Penerbit : Arsitektur Teknik Muhammadiyah Jakarta Volume : Volume I, Nomor Perdana, Januari 2002 Alamat URL : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70810&val=4880 Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Masalah keterbatasan penyediaan lahan di perkotaan merupakan masalah yang dialami oleh semua kota-kota besar di dunia termasuk Jakarta yang luasnya hanya 650 km2 dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta orang. Sebab itu, menurut pemerintah penyediaan perumahan bagi masyarakat tidak lagi dapat dibuat ke arah horisontal, tetapi ke arah vertikal, yaitu berupa apartemen dan kondominium bagi masyarakat menengah atas dan rumah susun bagi masyarakat menengah bawah, yang pada tahun-tahun 11 belakangan ini, sampai sebelum krisis moneter datang melanda sedang gencar dibangun. Permasalahan pengadaan perumahan bagi golongan menengah bawah berawal dari masalah keterbatasan dalam penyediaan lahan, yang berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang semakin padat. Dengan semakin banyaknya pendatang yang bermukim di Jakarta untuk mencoba mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih baik, maka kebutuhan akan perumahan bagi merekapun semakin meningkat. Para pendatang ini umumnya bekerja di sektor-sektor informal, sehingga penghasilan yang mereka dapatkan tidak menentu dan jumlahnya relatif kecil, hanya sekedar untuk dapat mempertahankan hidup. Dengan tingkat penghasilan yang demikian kecil maka kemampuan mereka untuk dapat memiliki tempat tinggal yang layak sangat sulit untuk diwujudkan. Akibatnya mereka membangun rumah-rumahnya di tempat-tempat yang tidak seharusnya diperuntukkan bagi permukiman, seperti di pinggir-pinggir rel kereta api, di bantaran sungai dan di tempat lainnya di tengah kota. Pada umumnya masyarakat golongan menengah bawah memang tidak berminat untuk tinggal di rumah susun karena mereka merasakan bahwa tinggal di rumah susun membutuhkan biaya yang besar, selain cicilan atau biaya sewa masih ada biaya-biaya lain yang harus mereka bayar seperti listrik, air, gas dan biaya pemeliharaan, yang kesemuanya tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh setiap bulannya. Akibatnya mereka cenderung untuk menjual atau menyewakan unit hunian mereka pada orang lain, sementara mereka memilih tinggal di tempat lain yang berbiaya rendah dan itu berarti timbul masalah baru lagi bagi pemerintah dalam penyediaan perumahan untuk golongan menengah bawah. Dalam penghunian rumah tinggal mereka akan menggunakan atau membawa kebiasaan, adat istiadat yang merupakan latar belakang budaya, yang telah menjadi tolok ukur dalam hidupnya. Dengan memahami latar belakang budaya calon penghuni rumah susun diharapkan dapat memecahkan masalah yang terjadi dan dapat mengoptimalkan peruntukkan rumah susun ke arah yang sesuai dengan sasaran yang dituju. Karena seperti yang diungkapkan oleh Amos Rapoport bahwa Arsitektur tidak sekedar perwujudan dari konfigurasi komponen-komponen yang bersifat fisik semata (lantai, dinding dan langit-langit) tetapi lebih luas lagi mencakup faktor-faktor sosial dan budaya. Jadi sebenarnya lahan di perkotaan masih cukup tersedia bagi pembangunan perumahan rakyat kalau saja lahan-lahan di perkotaan ini tidak dikuasai oleh para spekulan tetapi dikuasai oleh pemerintah dengan pengaturan yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan orang atau golongan tertentu saja. Pemerintah tak perlu terlalu bernafsu untuk membangun rumah-rumah susun tanpa persiapan yang matang, yang akhirnya hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang tak kunjung selesai. 12 Analisis: Penelitian ini bagus karena penulis menyertakan solusi dengan cara memahami latar belakang budaya penghuni calon rumah susun agar dapat mengoptimalkan peruntukkan rumah susun ke arah yang sesuai dengan sasaran yang dituju. 6. Jurnal Studi Indonesia Judul : Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di Nelayan Tradisional Tahun : 2001 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Karjadi Mintaroem & Mohammad Imam Farisi Nama Jurnal : Jurnal Studi Indonesia Penerbit : Universitas Terbuka Volume : Vol. 11, No. 2, September 2001 Alamat URL : https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Penelitian ini berlokasi di Desa Bandaran, Pamekasan. Desa Bandaran merupaka desa tradisional yang merupakan sebuah "unit produksi" bagi pemenuhan kebutuhankebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik tanah/modal, dll). Desa Bandaran semula bernama kampong cerek. Perubahan nama dari "Cerek" menjadi "Bandaran" terjadi ketika desa ini berkembang menjadi "bandar" ikan. Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan lain di Pulau Madura, rumahrumah penduduk setempat cukup padat, berjejal, tidak menganut pola penataan rumah seperti dalam masyarakat petani pedalaman, serta mengesankan sebuah pemukiman kumuh. Pada umumnya rumah-rumah mereka menghadap ke laut, kecuali rumah-rumah di kedua kampung Bandaran yang berada tepat di pinggir laut menghadap ke utara. Desa Bandaran merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas perekonomian mereka secara 13 swasembada, yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa. Aktivitas nelayan (oreng majheng), sebagai aktivitas ekonomi utama masyarakat desa pesisiran tradisional di desa Bandaran Madura seperti halnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspekaspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem penangkapan ikan yang digunakan, ekonomis semata (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang sulit yang berakar pada sikap sosial-budaya masyarakat setempat. Faktor ini pula yang akhirnya melahirkan sistem pengelolaan uang dan modal dalam lembaga-lembaga keuangan informal yang bersifat kuasi investasi seperti arisan dan titip uang. Sosok nelayan tradisional Madura di desa Bandaran, seperti juga nelayan-nelayan yang lain, kurang memiliki orientasi ke masa depan, atau hal-hal yang "jlimet" lainnya. Kesertaan mereka dalam arisan, titip uang, kredit dan hutang untuk keperluan lamaran, perhelatan perkawinan, atau untuk membeli perangkat rumah tangga dan persiapan lebaran, selain dimaksudkan untuk memperoleh nilai ekonomis, sekaligus nilai-nilai sosial dan budaya. Dengan sikap hidup demikian, kerja keras adalah tradisi. Tiada hari tanpa kerja adalah "motto" hidup keseharian masyarakat nelayan tradisional Desa Bandaran. Hal-hal di atas merupakan sejumlah karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan tradisional di desa Bandaran, yang justru telah memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara berswasembada. Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan tradisional desa Bandaran di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial, budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih modern dan praktis, tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi. Analisis: Penelitian ini sudah sangat bagus karena penulis benar-benar menuliskan kehidupan nelayan tradisional di Desa Bandaran dengan menggambarkan tradisi nelayan yang masih kental meskipun kegiatan perekonomian nelayan disana berubah ke arah yang lebih modern dan praktis. Jurnal ini dapat membuka wawasan para nelayan di daerah lain dalam mengembangkan perekonomian mereka tetapi tetap mempertahankan tradisi yang ada. 14 7. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Judul :Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara Tahun : 2010 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Otniel Pontoh Nama Jurnal : Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Penerbit : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNSRAT. Manado Volume : Vol. VI-3, Desember 2010 Alamat URL : file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/156-194-1-SM.pdf Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Penelitian ini berlokasi di Desa Gangga Dua, Kabupaten Minahasa Utara yang pemukiman penduduknya terkonsentrasi di pantai dan relatif terlindung oleh hamparan terumbu karang di depan pemukiman. Jika dilihat dari karakter sosial budaya masyarakat nelayan di Desa Gangga Dua, terdapat 4 faktor yang melekat pada masyarakatnya, yaitu: 1. Faktor nilai dan norma masyarakat Nilai dan norma masyarakat dikaji berdasarkan pendekatan terhadap persepsi dan perilaku dan tindakan. Persepsi ini yang dikaji pada masyarakat yaitu persepsi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Persepsi yang dikaji terdiri dari persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut, batas wilayah penangkapan dan perlunya konservasi sumberdaya perikanan. Konsistensi persepsi diuji berdasarkan perilaku dan tindakan masyarakat mengenai ketiga persepsi dimaksud. Terkait dengan persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut diketahui bahwa masyarakat nelayan di desa ini beranggapan bahwa laut tidak ada yang memiliki. Laut hanya dimiliki oleh Sang Pencipta (Allah). Persepsi tentang hak kepemilikan sumberdaya laut ini tampak konsisten dengan persepsi masyarakat nelayan mengenai batas wilayah penangkapan. Masyarakat nelayan tidak mengenal adanya pembatasan atau batas wilayah operasional. Persepsi masyarakat nelayan mengenai perlunya konservasi sumberdaya perikanan di sekitar mereka menunjukkan bahwa mereka tidak perlu melaksanakan upaya 15 konservasi. Upaya konservasi merupakan urusan pemerintah. Persepsi tersebut tampak sangat dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Bagi nelayan, upaya mencari nafkah lebih penting daripada upaya melaksanakan konservasi sumberdaya laut di sekitar mereka. 2. Faktor kepercayaan dan organisasi lokal Kepercayaan lokal dikaji melalui nilai-nilai dan norma agama atau kepercayaan yang dianut. Saat kesulitan di musim paceklik, tidak ada kelompok ritual keagamaan seperti pengajian yang mampu menggalang dana atau modal dan membantu antar anggotanya. Para nelayan anggota perkumpulan ritual keagamaan tersebut masih terjerat dalam pola permodalan melalui peminjaman uang kepada para tengkulak bunga tinggi atau dalam terminologi syariat Islam disebut dengan riba. Hubungan sosial kemasyarakat masih sangat kuat dimana kehidupan sosial mereka begitu sangat erat. Seperti contohnya ada salah seorang warga mengalami suatu musibah misalnya kematian maka tanpa dikomando masyarakat akan datang secara sukarela memberi bantuan baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk lainnya. Di desa ini telah terbentuk suatu organisasi sosial kemasyarakatan khusus mengatur jika ada anggotanya yang meninggal dunia dan disebut dengan Rukun Duka. Organisasi ini diatur secara resmi oleh pemerintah desa. Setiap anggota diwajibkan membayar uang Rp. 3000,- serta membawa beras 1 liter ketika ada salah satu anggota yang meninggal dunia dan yang paling istimewa ternyata semua warga Desa Kinabuhutan yang sudah menikah menjadi anggota organisasi sosial Rukun Duka ini. 3. Faktor Pola dan sistem produksi dan Reproduksi Masyarakat di daerah ini memiliki profesi sebagai nelayan dan mengerjakan pertanian. Minimnya mata pencaharian alternatif juga lebih dikarenakan faktor keterbatasan internal yaitu rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan. Replikasi sistem produksi tampaknya memerlukan bantuan dari pihak luar. Masyarakat nelayan, baik secara individu maupun kolektif, belum mampu untuk mencoba melakukan suatu sistem produksi dari daerah lain yang mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. 4. Faktor politik lokal Faktor politik di suatu masyarakat terkait dengan aspek kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan yang terjadi, dalam hal ini kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan yang terjadi dikaitkan dengan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sistem politik lokal ini tidak berhubungan dengan sistem politik dan pemerintahan yang ada di negara. Pengaruh pemberdayaan masyarakat melalui program pembangunan yang diharapkan muncul dari adanya kolektifitas antara masyarakat dengan pemerintah sulit terbangun. Pemimpin formal (pemerintah) di tingkat desa atau yang bertugas di komunitas atau masyarakat nelayan seringkali tidak dapat berpengaruh terhadap pengaturan kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat nelayan. 16 Desa Gangga Dua, Kabupaten Minahasa Utara masih merupakan masyarakat dengan karakter modal sosial terikat (social capital bonding). Tipologi modal sosial ini sangat dipengaruhi oleh nilainilai dan norma dari aspek ekonomi yang dimiliki dan dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berdampak pada struktur sosial yang terbentuk dalam kehidupan ekonomi masyarakat nelayan yang ada pada saat ini menjadi lebih berorientasi pada hubungan antar anggota dalam satu kelompok lebih banyak terfokus pada hal-hal yang terkait dengan aspek ekonomi. Analisis: Secara keseluruhan penelitian ini sudah baik karena menggunakan analisis modal sosial masyarakat nelayan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan faktor-faktor yang mudah dimengerti oleh pembaca. Sehingga pembaca dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat memberdayakan masyarakat nelayan. Selain itu metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sangat baik karena menggabungkan antara data kuantitatif yang didapatkan melalui kuesioner untuk mengetahui data presentase dan data kualitatif yang didapatkan melalui wawancara untuk melengkapi data-data yang ada. 8. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Judul :Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Pemukiman yang Sehat (Contoh Kasus: Kota Pangkalpinang) Tahun : 2007 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Asep Hariyanto Nama Jurnal : Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Penerbit : Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. UNISBA Volume : Volume 7 Nomor 2 Alamat URL :file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/17761-19880-1-PB.pdf Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Masalah perumahan dan permukiman merupakan masalah tanpa akhir (the endless problems). Masalah perumahan dan permukiman merupakan masalah yang kompleks dan perlu mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan karena rumah 17 merupakan kebutuhan dasar manusia yang masih belum dapat dipenuhi oleh seluruh masyarakat. Pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu terarah, terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti air bersih, sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan atau yang kemudian diterminologikan sebagai “Kawasan Kumuh”. Penelitian ini berlokasi di kawasan kumuh di Kota Pangkal Pinang. Kawasan kumuh dapat diterminologikan sebagai pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu, terarah, terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti air bersih, sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan. Kawasan kumuh meskipun tidak dikendaki namun harus diakui bahwa keberadaannya dalam perkembangan wilayah dan kota tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir munculnya kawasan kumuh, maka perlu dilakukan upayaupaya secara komprehensif yang menyangkut berbagai aspek yang mampu menghambat timbulnya kawasan kumuh tersebut. Beberapa karakteristik kawasan kumuh di Indonesia menggambarkan suatu kawasan permukiman yang secara fisik memiliki kondisi lingkungan yang tidak sehat, seperti kotor, tercemar, lembab, dan lain-lain. Faktor penyebab munculnya kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung. Faktor langsung adalah Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan). Faktor lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan (KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah, pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan. Faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan. Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah faktor ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat. Strategi penanganan kawasan kumuh harus didasarkan pada upaya menanggulangi faktor-faktor yang menyebabkan kekumuhan, baik faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya penyelesaian permasalahan lingkungan kumuh tidak dapat dilakukan oleh satu unit atau dinas, akan tetapi membutuhkan keterpaduan kegiatan dari setiap dinas yang akan berdampak terhadap perbaikan lingkungan kumuh. Analisis: Penelitian ini sangat bagus karena penulis menyertakan faktor-faktor terjadinya kekumuhan seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Seh9ingga pembaca menjadi tahu bahwa lingkungan menjadi kumuh karena terdapat banyak faktor didalamnya 18 9. Jurnal Perikanan dan Kelautan Judul :Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis ` : Hendrik Nama Jurnal : Jurnal akultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Penerbit : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Volume : Volume 16 Nomor 1 Alamat URL : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JPK/article/viewFile/44/39 Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Lokasi penelitian dalam penelitian ini berada di Desa Dayun Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. Desa Dayun mempunyai luas ± 123.500 ha dengan pemanfaatan lahan terbesar dimanfaatkan oleh Kawasan Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah. Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang memiliki sumberdaya alam yang cukup beragam dan berpotensi seperti minyak bumi, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertanian dan salah satu sumberdaya yang dimiliki tersebut adalah sub sektor perikanan. Hal ini dapat dilihat dari luasnya perairan umum seperti Sungai Siak beserta anak sungainya, rawa-rawa dan danau, yang didalamnya terkandung sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis di pasaran. Selain itu, tersedianya lahan yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan seperti penangkapan, budidaya, pasca panen dan pemasaran diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi dari sub sektor perikanan sehingga secara tidak langsung akan menaikkan kesejahteraan yang tercermin dari pendapatan rumah tangga perikanan pertahunnya. Keberadaan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya ikan bagi nelayan, yang dapat berperan dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan di sekitarnya. Untuk dapat melakukan penangkapan ikan di Danau Pulau Besar dan Danau Bawah nelayan menggunakan alat tangkap jaring, bubu dan ambai. Jenis bubu yang 19 digunakan nelayan adalah bubu yang terbuat dari bahan kawat, bambu dan jaring. Jumlah bubu kawat rata-rata 20 unit/orang dengan kisaran 16-40 unit/orang. Alat tangkap jaring yang digunakan nelayan merupakan jaring dasar (bottom gillnet). Setiap nelayan memiliki rata-rata 10 keping/orang dengan kisaran 6-20 keping/orang. Ambai merupakan alat tangkap yang termasuk jenis perangkap. Jumlah ambai di lokasi penelitian ini berjumlah 13 unit. Rata-rata satu unit/orang. Jumlah nelayan yang memiliki alat tangkap jaring, bubu dan ambai berjumlah 13 orang dan yang memiliki alat tangkap jaring dan bubu berjumlah 14 orang. Sedangkan yang memiliki alat tangkap bubu saja berjumlah 9 orang. Armada penangkapan yang ada di Danau Pulau Besar dan Danau Bawah berupa kapal motor (pompong) dan sampan. Jumlah kapal motor yang ada sebanyak 18 unit dan sampan 36 unit. Masyarakat nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah pada umumnya memiliki rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Tidak ada sumber penerangan dari PLN, hanya beberapa rumah tangga yang menggunakan genset sebagai penerangan. Demikian pula dalam hal pendidikan, kepala rumah tangga sebagian besar tidak tamat/tamat SD sebanyak 55,55% atau 20 jiwa. Untuk aset rumah tangga yang dimiliki dapat berupa kapal motor (pompong), sampan, kebun, tanah, sepeda motor, sepeda, radio, hp, emas, dan lain-lain. Berdasarkan kriteria UMR, Bappenas dan BPS dapat disimpulkan bahwa Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Siak sebesar Rp 1.016.000 sedangkan pendapatan nelayan lebih dari jumlah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pendapatan nelayan di daerah ini telah melebihi UMR. Berdasarkan kriteria Bappenas didapatkan sebanyak 4 nelayan dikategorikan pada rumah tangga tidak sejahtera sedangkan 32 responden lainnya sejahtera. Berdasarkan 14 kriteria yang ditentukan oleh BPS, didapatkan 30 orang responden tidak memenuhi 9 variabel untuk menjadi rumah tangga miskin/tidak sejahtera, yang artinya berada pada keadaan sejahtera. Selebihnya 6 orang responden memenuhi 9 variabel maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin/tidak sejahtera. Analisis: Secara keseluruhan penelitian ini sudah baik karena menggunakan kriteria kesejahteraan menurut UMR, Bappenas dan BPS sehingga data yang ada sudah terpercaya. Selain itu, penulis juga menjelaskan kondisi kesejahteraan nelayan dengan menyertakan presentase nya. 20 10. Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS Judul :Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis ` : Ir. Wiwik Widyo W Nama Jurnal : Jurnal Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS Penerbit : Fakultas Teknik ITATS Volume : Volume 3 Nomor 2 Alamat URL : http://jurnal.itats.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/StudiPotensi-Lingkungan-Pemukiman-Kumuh-di-Kampung-Kota-_1997_.pdf Tanggal diunduh : 15 Maret 2015 Ringkasan: Dalam usaha penanganan linkungan secara terpadu yang dikembangkan saat ini, selain memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah di bagian wilayah kota tapi masih dalam prospek pertumbuhan kota yang baik. Studi ini merupakan tahap awal dari action research yang dilakukan dalam bidang penataan Iingkungan permukiman kumuh di kampung Kota, khususnya daerah Pulo Wonokromo Surabaya. Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pemukiman kawasan ini, apakah memiliki dimensi peran serta masyarakat dan mengandung potensi pengembangan pembangunan pemukiman yang swadaya. Penekanan dari studi ini adalah mendiskripsikan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta jaringan sosial yang ada, terutama yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi dan proses pemukiman mereka. Penelitian diskriptif ini dilakukan survey di daerah studi dengan teknik wawancara dan menggunakan kuestioner dengan sample 100 responden secara random. Daerah studi dibatasi hanya satu RW dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah diadakan pengamatan lapang ternyata di kawasan Pulo Wonokromo tersebut masih membutuhkan perbaikan kualitas lingkungan pemukiman. Hasil dari temuan studi didapatkan gambaran suatu kelompok masyarakat yang dalam keterbatasan penghasilannya telah mampu menyiapkan sarana untuk berteduh bagi keluarganya. Disamping keberhasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia ini, nampaknya juga mereka menunjukkan usahanya dalam menciptakan lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan sebagian dari bangunan rumahnya. Dengan 21 demikian pengertian bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah studi ini tidak hanya diartikan sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai sumber, penghasilan keluarga. OIeh karena proses bermukim bagi masyarajkat di sini disamping menghadirkan satu bentuk atau ciri pemukiman tersendiri juga menciptakan satu jaringan sosial ekonomi khususnya bagi penghuninya dan bagi komunitas atau masyarakat di lingkungan sekelilingnya. Secara menyeluruh peughasilan rata-rata penduduk di pemukiman ini relatif sudah tinggi yaitu mencapai RP. 188.294,73 (mean). Masih ada masalah yang harus dihadapi dengan besar pendapatan ini, yaitu ada fluktuasi yang juga tinggi. Dengan sendirinya bila usaha mereka dapat dibinadan didukung maka melalui efisiensi yang meningkat potensi dan penghasilan masih dapat ditingkatkan lebih lanjut. Indikator mobilitas yang perlu diperlihatkan juga adalah yang berkaitan dengan tempat tinggal. Dari para pemilik bangunan yang umumnya berniat menetap di tempat itu, hanya sedikit yang punya pekerjaan tetap. Dan umumnya mereka sudah lama berada di tempat itu. Sebaliknya dari kelompok penyewa gambarannya juga tak seluruhnya yang menunjukkan sifat sirkuler atau sementara. Para penyewa yang telah berada di tempat itu lebih dari sepuluh tahun, menunjukkan gejala permanen dan macet mobilitas. Pemukiman di kawasan Pulo Wonokromo terbukti memiliki peran serta masyarakat yang bersifat swadaya dalam pengembangan pemukiman. Selain daripada itu kawasan studi jug mengandung potensi pengembangan dalam perbaikan lingkungan pemukiman. Penangan di kawasan studi perlu keterlibatan dan berbagai pelaku pembangunan baik pemerintah, masyarakat, maupun penduduk setempat. Analisis: Penelitian ini sudah baik karena penulis menjelaskan bahwa lingkuman kumuh juga memiliki potensi yang dimanfaatkan sebagai strategi bertahan hidup. Namun perlu penelitian Iebih lanjut dalam menyusun usulan tindakan baik langsung maupun tidak langsung dalam batas-batas yang ditetapkan 22 ANALISIS DAN SINTESIS Perumahan dan Pemukiman Menurut Turner (1976) perumahan dan pemukiman mempunyai fungsi dan peranan penting dalam kehidupan manusia. Di dalam masyarakat Indonesia, perumahan merupakan cermin dari diri pribadi manusia, baik secara perorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan lingkungan alamnya. Perumahan tidak dapat dilihat dari sekedar sebagai suatu benda mati atau sarana kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu, perumahan merupakan suatu proses bermukim, yakni kehadiran manusia dalam ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya. Bermukim pada hakekatnya adalah hidup bersama, dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan adalah sebagai tempat tinggal dalam suatu lingkungan yang mempunyai sarana dan prasarana yang diperlukan oleh manusia dalam mensyaratkan dirinya. Turner (1976) mengidentifikasikan 3 fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah tempat bermukim, yaitu: 1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga yang diwujudkan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah. Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat emmiliki tempat berlindung atau berteduh guna melindungi iklim setempat. 2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi pengembang keluarga. Fungsi ini diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan. 3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan laha. Prioritas dari ketiga fungsi tersebut menurut Turner (1976) berbeda-beda sesuai dengan tingkat penghasilan masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan sangat rendah, faktor opportunity bersifat penting dan faktor identity belum terpikirkan. Yang utama adalah memperoleh kerja guna mendapatkan security pada tahap selanjutnya. Bagi golongan pendapatan rendah, faktor security diprioritaskan lebih tinggi. Bagi masyarakat menengah ke atas, faktor identity menjadi tuntutan utama. 23 Pemukiman Kumuh Pengertian pemukiman kumuh secara umum menurut Rabekka dalam Sobirin (2001) bahwa yang paling menonjol terlihat dari kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas, kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah sehingga terlihat kotor dan jorok. Tidak jarang pula terdapat daerah yang secara berkala mengalami banjir. Fenomena yang sering muncul di kota-kota besar adalah tingkat kebutuhan yang tidak seimbang dengan kemampuan kota dalam menyediakan fasilitas umum. Dampaknya adalah munculnya lingkungan kumuh, kemacetan lalu lintas, ketidakteraturan tapak kawasan, inefesiensi penggunaan lahan serta rendahnya tingkat pelayanan kebutuhan air bersih, dan lainnya baik dari segi keterjangkauan maupun kualitas pelayanan (Saraswati, 2001) Yudohusodo (1998) mendefinisikan kampung kumuh sebagai bentuk hunian tidak berstruktur, tidak berpola dengan letak rumah dan jalan-jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana pemukiman tidak mendukung , terlihat tidak ada got, sarana air bersih, MCK, dan lainnya, bentuk fisiknya tidak layak misalnya setiap tahun kebanjiran, dan lain-lain. Menurut Silas (2013) pemukiman kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan pemukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio pemukiman kumuh. Pengertian pemukiman kumuh yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh yang disebabkan oleh adanya mobilitas sosial ekonomi yang stagnan. Adapun karakteristik pemukiman kumuh, yaitu: 1. Keadaan rumah pada pemukiman kumuh terpaksa dibawah standar rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas perkotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan pemukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.Pemukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat pemukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi. Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana. 24 Menurut Johan (2011) pemukiman kumuh memiliki ciri-ciri antara lain: 1. Dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel, baik karena pertumbuhan penduduk akibat kelahiran mapun karena adanya urbanisasi. 2. Dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap, atau berproduksi subsisten yang hidup di bawah garis kemiskinan. 3. Rumah-rumah yang ada di daerah ini merupakan rumah darurat yang terbuat dari bahan-bahan bekas dan tidak layak. 4. Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, biasanya ditandai oleh lingkungan fisik yang jorok dan mudahnya tersebar penyakit menular. 5. Pertumbuhannya yang tidak terencana sehingga penampilan fisiknya pun tidak teratur dan tidak terurus; jalan yang sempit, halaman tidak ada, dsb. 6. Kuatnya gaya hidup “pedesaan” yang masih tradisional. 7. Secara sosial terisolasi dari pemukiman lapisan masyarakat lainnya 8. Ditempati secara ilegal atau status hukum tanah yang tidak jelas ( bermasalah ). 9. Biasanya ditandai oleh banyaknya perilaku menyimpang dan tindak kriminal Menurut Anonim (2009) beberapa tipologi, yaitu: kawasan pemukiman kumuh dapat dibedakan dalam 1. Pemukiman kumuh nelayan Merupakan pemukiman kumuh yang terletak di luar arena antara garis pasang tertinggi dan terendah, dengan bangunan-bangunan yang langsung bertumpu pada tanah, baik itu bangunan rumah tinggal atau bagunan lainnya. Rata-rata lokasinya ditepi pantai. 2. Pemukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi. Merupakan pemukiman kumuh yang terletak di sekitar pusat-pusat aktifitas sosialekonomi. Seperti halnya lingkungan industri, sekitar pasar tradisional, pertokoan, lingkungan pendidikan/kampus, sekitar obyek-obyek wisata dan pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi lainnya. 3. Pemukiman kumuh pinggiran kota Merupakan pemukiman kumuh yang berada di luar pusat kota (urban fringe), yang ada pada umumnya merupakan pemukiman yang tumbuh dan berkembang di pinggiran kota sebagai konsekuensi dari perkembangan kota, perkembangan penduduk yang sangat cepat serta tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota yang sangat tinggi 25 Masyarakat Nelayan 1. Pemukiman Masyarakat Nelayan Menurut Batubara (2010) pemukiman adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional, ekonomi dan fisik tata ruang yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai satu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumber daya dan dana, mengelolah lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan perikatan mutu kehidupan manusia, memberikan rasa aman, tentram dan nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keserasian dan keseimbangan agar berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Ciri khas yang melekat pada perumahan nelayan adalah rumah-rumah non atau semi permanen, dindingnya terbuat dari papan atau geribik (bambu) serta atapnya dari seng. Ada pula rumah yang dibangun dengan model panggung dan seluruh bahan bakunya dari kayu. Model rumah panggung ini dibuat untuk menghindari banjir saat musim angin barat. Disekitar perumahan tersedia tanah lapang tempat-tempat menjemur ikan dan perbaikan jaring. Pemilik tanah lapang umumnya adalah nelayan besar atau juragan, karena hanya juraganlah yang mampu memiliki tanah yang luas (Mubyarto, 1984) Menurut Sugiarto (1996) pada perkembangannya kampung-kampung nelayan berkembang semakin padat dan tidak tertib karena pertumbuhan penduduk alami dan urbanisasi. Ketidaktertiban itu semakin membesar akibat perencanaan tata ruang yang masih memarjinalkan masyarakat pesisir dan masyarakat nelayan. Permasalahanpermasalahan tersebut mengakibatkan munculnya pemukiman kumuh nelayan. Perkampungan nelayan kumuh adalah lingkungan hidup yang kumuh dengan rumahrumah yang sangat sederhana , lokasi geografisnya banyak berada di daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai, serta lingkungannya sering kali sudah terpolusi (Sarosa, 2000) Hasil penelitian yang dilakukan Direktorat Perumahan, Ditjen Cipta Karya PU (2011), mencatat hanya 0,4% dari perumahan masyarakat nelayan yang kondisinya baik, 40,5 % agak baik, dan 59% sisanya buruk serta tidak memenuhi syarat kesehatan. Karakteristik pemukiman kumuh nelayan adalah rumah-rumah dibangun berimpitan disuatu lokasi tertentu yang luasnya memang sangat minim di sempanjang pantai, adanya polusi udara yaitu bau amis yang menusuk hidung karena limbah ikan yang mereka olah akibat tidak tersedianya tempat khusus untuk membuang sampah dan limbah ikan. Sampah ditumpuk begitu saja di sembarang tempat sepanjang pantai. Limbah ikan hasil pengolahan mereka juga sering tercecer dimana-mana (Chairul Amri, 2001) 26 2. Kondisi Masyarakat Nelayan Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di indonesia para nelayan biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal di desa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya, 2002). Satria (2002) mendefinisikan secara sosiologis karakteristik nelayan yang berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris, seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya yang dimanfaatkan. Karakteristik sumber daya yang bersifat terbuka (open access) membuat nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal sehingga memiliki elemen resiko yang tinggi. Kondisi sumber daya yang beresiko ini yang menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat lain. Tidak jarang masyarakat yang bukan nelayan mengartikan nelayan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki karakter yang keras, tegas dan terbuka. Lebih lanjut Satria (2002) menjelaskan berbagai aspek yang mereprentasikan masyarakat pesisir, antara lain: 1. Sistem pengetahuan; Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ilmiah yang menjadikan terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. 2. Sistem kepercayaan; Secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magic dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatandan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi di lingkungan mereka hanya sebagai salah satu alat stabilitas sosial nelayan. 3. Peran wanita; Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangka;, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Selain itu pengaturan aktivitas ekonomi rumah tangga banyak dilakukan oleh istri nelayan. 4. Struktur sosial; Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun budidaya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. 5. Stratifikasi sosial; Bentuk stratifikasi sosial masyarakat peisisir ditunjukkan dengan semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan yang bersifat horizontal maupun vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise dan kekuasaan. 27 6. Posisi sosial nelayan; Pada masyarakat sekitar nelayan dianggap sebagai kelompok masyarakat dengan status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan menjadi akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat nonnelayan tidak mengetahui kehidupan nelayan. Alokasi waktu untuk berinteraksi dan letak geografis yang relatif jauh menjadi faktor kuat yang menyebabkan kurangnya hubungan sosial nelayan dengan masyarakat lain. Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumh tangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai faktor produksi, jam kerja yang mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari yang dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya mereka relatif menganggur. Pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya hanya dapat dikerjakan oleh lelaki. Hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh (Pangemanan, 2002) Kondisi Ekonomi Sosial dan Lingkungan Berbagai aktivitas manusia yang tinggal di wilayah pesisir berpotensi menyebab terjadinya degradasi lingkungan, khususnya aktivitas masyarakat dalam memanfaat sumber daya laut untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam pengelolaan relokasi permukiman kumuh nelayan ke rumah susun terdapat beberapa aspek yang berpengaruh penting seperti aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika dilihat dari aspek ekonomi, ekonomi nelayan ditandai dengan adanya pendapatan yang rendah dan sangat terbatas padahal mata pencaharian di laut bertarung dengan nyawa dan merupakan pekerjaan yang berat dan keras. Kondisi ini disebabkan pendapatan utama dari produksi hasil laut yang masih konvensional. Penyebab lainnya adalah tata niaga perikanan yang kurang mendukung (Tim Peneliti Jurusan Perikanan Undip, 1985). Kondisi ekonomi masyarakat nelayan selalu dipahami sebagai masyarakat yang memiliki ekonomi lemah. Seperti dikatakan oleh Bailey (1998) dikutip Muflikhati (2010), bahwa masyarakat nelayan miskin karena mereka nelayan atau dikenal kemiskinan endemik, artinya apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka tetap diartikan miskin. Hal ini berdasar pada pengertian kemiskinan yang berbeda di masyarakat sekitar. Menurut Bene (2003) dikutip Muflikhati (2010), kemiskinan nelayan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang menganut paradigma lama yang menyatakan bahwa kemiskinan nelayan terkait dengan sumber daya alam dan paradigma baru yang melihat kemiskinan nelayan dari berbagai sisi (multidimensi). Kondisi-kondisi tersebut dapat dijelaskan pada Tabel 1. 28 Tabel 1. Kondisi Ekonomi dan Sosial Lingkungan Nelayan Aspek Ekonomi Bentuk Penjelasan Tenaga Kerja Diversifikasi pekerjaan pada musim paceklik (Mugni 2006; Muflikhati 2010). Adaptasi Teknologi Menggunakan kapal bermotor tempel sebagai usaha meningkatkan hasil tangkapan (Herdian 2003). Melakukan modifikasi alat tangkap sesuai kondisi perairan (Sihombing 2003). Pengalokasian Keuangan Pemanfaatan sumber daya terhadap Sosial Lingkungan Organisasi Kerja Lebih dari 50 persen untuk konsumsi pangan (Pancasasti 2008). Untuk jajan dan merokok (Muflikhati 2010). Bergantung pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria 2002). Bergantung langsung pada hasil laut (Imron 2003). Memanfaatkan langsung sumber daya lingkungan pesisir, mengolah hasil ikan atau laut, menunjang ekonomi perikanan seperti tukang perahu, pemilik toko atau warung (Kusnadi 2009). Bergantung pada kondisi lingkungan, musim, dan pasar (Kusumastanto 2000). Nelayan besar (lebih dari 10 orang buruh), nelayan sedang (antara 4-10 orang buruh), nelayan kecil (maksimal 3 orang buruh), dan buruh (Kinseng 2011). Nelayan buruh yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain, nelayan juragan yang memiliki alat tangkap dan dioperasikan orang lain, dan nelayan perorangan yang memiliki alat tangkap sendiri dan pengoperasian juga sendiri (Mulyadi 2007). Boros dalam menggunakan uang dengan menghabiskan banyak uang untuk merokok dan jajan (Muflikhati 2010). Gaya Hidup Meminjam uang kepada tetangga, berhutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, dan meminjam ke rentenir atau bank (Sunarti 2009). Hubungan Sosial Masyarakat heterogen, interaksi struktur relasi patron-klien sangat kuat (Kusnadi 2009; Mugni 2006). Kerentanan bencana Sangat rentan terhadap bencana (Ruswandi 2009). terhadap 29 Kondisi sosial masyarakat nelayan yang sering ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditandai dengan tingginya angka kelahiran (fertilitas), perkembangan penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan (Mubyarto, 1984). Rendahnya pendidikan masyarakat nelayan yang dipengaruhi oleh fenomena keseharian masyarakat nelayan. Anak laki-laki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai hasil persiapan orang tua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan (Pangemanan, 2002:3). Isu-isu sosial ini jika tidak ditangani akan memberikan tekanan yang besar terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya pesisir seperti wajah pesisir menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai, terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar menjadi tempat pembuangan sampah. Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Tingkat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Nelayan Pesatnya pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir akan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana nya, dalam hal ini menyangkut kebutuhan akan perumahan dan pemukiman. Semakin tingginya kepadatan penduduk menciptakan berbagai permasalahan, salah satunya adalah munculnya pemukiman kumuh. Menurut Herlianto (1999) keadaan tersebut apabila tidak segera ditangani dengan baik berdampak pada masalah kerusakan lingkungan, masalah kesehatan yang merosot, masalah ekonomi dan kesempatan kerja yang makin tidak seimbang. Adapun dampak negatif dari pemukiman kumuh jika ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dapat dijelaskan pada Tabel 2. 30 Tabel 2. Dampak Pemukiman Kumuh Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Nelayan Aspek Dampak yang ditimbulkan Ekonomi Tidak sedikit pemukim kumuh nelayan yang memiliki status ekonomi miskin yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitarnya (Rizal 2003) Sosial Menimbulkan banyak masalah perkotaan, berbagai perilaku menyimpang seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya (Rizal 2003) Tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan (Andy 2000) Sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial (Umbara 2001) Wajah pesisir menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai, terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar menjadi tempat pembuangan sampah (Rizal 2003) Lingkungan 31 SIMPULAN Pertumbuhan penduduk telah menimbulkan persoalan diantaranya penyediaan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat yang jumlahnya semakin bertambah. Penyediaan perumahan yang relatif terbatas menyebabkan kebutuhan rumah sulit dipenuhi sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat dengan penghasilan kecil kemudian membangun rumah di atas tanah kosong milik negara. Masyarakat nelayan dengan pendapatan yang rendah kemudian memilih membangun rumah di atas lahan pasang surut. Pemilihan lokasi di pantai ini dipengaruhi oleh pekerjaan mereka yang menggunakan perahu atau kapal dalam menopong hidupnya. Pada perkembangannya pemukiman nelayan tumbuh menjadi pemukiman kumuh. Pemukiman kumuh tersebut tidak sekedar dihadapkan pada masalah-masalah fisik, melainkan terkait aspek ekonomi, sosial dan lingkungnnya. Kondisi ekonomi masyarakat nelayan selalu dipahami sebagai masyarakat yang memiliki ekonomi lemah. Seperti dikatakan oleh Bailey (1998) dikutip Muflikhati (2010), bahwa masyarakat nelayan miskin karena mereka nelayan atau dikenal kemiskinan endemik, artinya apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka tetap diartikan miskin. Kondisi sosial masyarakat nelayan yang sering ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditandai dengan tingginya angka kelahiran (fertilitas), perkembangan penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan (Mubyarto, 1984). Kondisi lingkungan masyarakat nelayan yang sering ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditandai dengan kotornya lingkungan sekitar wilayah pesisir yang ditandai dengan banyaknya sampah, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, penyakit menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai dan terbatasnya sarana air bersih. Menurut Herlianto (1999) pemukiman kumuh nelayan tersebut apabila tidak segera ditangani dengan baik berdampak pada masalah kerusakan lingkungan, masalah kesehatan yang merosot, masalah ekonomi dan kesempatan kerja yang makin tidak seimbang. Adapun dampak negatif dari pemukiman kumuh jika ditinjau dari aspek ekonomi ialah status ekonomi miskin yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitarnya (Rizal 2003). Dampak negatif jika ditinjau dari aspek sosial ialah tanggung jawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan (Andy 2000). Dan dampak negatif jika ditinjau dari aspek lingkungan ialah memburuknya wajah, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, penyakit menular dan kebakaran yang sering melanda, fasilitas MCK yang tidak memadai, terbatasnya sarana air bersih, dan lingkungan sekitar menjadi tempat pembuangan sampah (Rizal 2003). Hal ini menunjukkan bahwa pemukiman kumuh berdampak negatif bagi nelayan jika ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungannya. 32 Usulan Kerangka Analisis Untuk Penelitian Karakteristik Nelayan: Faktor Eksternal: - Tingkat pendidikan - Tidak tersedianya tempat tinggal layak huni - Jumlah tanggungan anggota - Taraf ekonomi lemah keluarga - Tingkat ketergantungan Pemukiman Kumuh Nelayan Kondisi Nelayan: - Kondisi Ekonomi Kondisi Sosial Kondisi Lingkungan Keterangan: = Hubungan mempengaruhi Pertanyaan Penelitian Berdasarkan analisis, sintesis serta kesimpulan yang telah dibuat, maka dapat disusun beberapa pertanyaan spesifik yang dapat diangkat untuk topik penelitian selanjutnya. Rumusan pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan pemukiman nelayan kumuh? 2. Bagaimana dampak pemukiman kumuh nelayan terhadap tingkat ekonomi, sosial dan lingkungan nelayan? 33 DAFTAR PUSTAKA Atihuta V. 2012. Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Soma Giop di Desa Leleoto, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara [Internet]. [Diunduh tanggal 14 Maret 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.academia.edu/4457126/Jurnal_KEADAAN_SOSIAL_EKONOM I_NELAYAN_SOMA_GIOP?login=&email_was_taken=true Dikrurahman, Sofhani TF. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kelompok Nelayan Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus: Kelompok Nelayan Di Pulau Temoyong, Kecamatan Bulang, Kota Batam) . Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 14 Maret 2015]; 02(01).Dapat diunduh dari: http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wp-oads/2013/09/V2N1-Faktor- yangMempengaruhi-Pengembangan-Kelompok-Nelayan-dalam-UpayaPemberdayaan-Masyarakat-Nelayan-1.pdf Hariyanto A. 2010. Strategi Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Pemukiman yang Sehat (Contoh Kasus: Kota Pangkalpinang). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015];14(02).Dapat diunduh dari: file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/17761-19880-1-PB.pdf Hendrik. 2011. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau . Jurnal Perikanan dan Kelautan [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015];16(01).Dapat diunduh dari: http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JPK/article/viewFile/44/39 Lestari A. 2011. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian. [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 20 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47310 Mauliani L. 2002. Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah. Jurnal Arsitektur [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015]; 01(01).Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70810&val=4880 Mintaroem K, Farisi MI. 2001. Aspek Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi di Nelayan Tradisional . Jurnal Studi Indonesia [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015];11(02).Dapat diunduh dari: https://mfarisiblog.files.wordpress.com/2013/05/nelayan.pdf 34 Pontoh O. 2010. Identifikasi dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara . Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015];06(03).Dapat diunduh dari: file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/156194-1-SM.pdf Rindawati S. 2012. Strategi Peningkatan Masyarakat Nelayan di Kota Bengkulu . Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 14 Maret 2015];02(03).Dapat diunduh dari: http://news.palcomtech.com/wp content/uploads/2013/04/SEPTI-JE02032012.pdf Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo Sugiharto E, Salmani, Indratno B. 2013. Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Riau. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 14 Maret 2015];18(02).Dapat diunduh dari: https://fpik.unmul.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/9-Salmani-STUDI-TINGKATKESEJAHTERAAN-MASYARAKAT.pdf Widyo W. 2011. Studi Potensi Lingkungan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota. Jurusan Teknik Arsitektur FTSP-ITATS [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 15 Maret 2015];03(02).Dapat diunduh dari: http://jurnal.itats.ac.id/wpcontent/uploads/2013/04/Studi-Potensi-Lingkungan-Pemukiman-Kumuh-diKampung-Kota-_1997_.pdf