ISLAM DAN PEROBAHAN Dr. H. Shobahussurur, M.A. Ketua Takmir Masjid Agung Al-Azhar Jakarta. “Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rizki) yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Q.S. alNisa’/4: 100. Tidak dapat disangkal bahwa Islam adalah agama yang membawa perobahan. Islam menjadi agent of change (agen perobahan) bagi perilaku, cara pandang, dan cara hidup individu, masyarakat, dan bangsa. Islam datang untuk merobah tradisi yang telah mendarah mendaging, pikiran yang telah membatu, sikap hidup statis dan jumud, tata nilai yang membelenggu, dan kebiasaan yang mengungkung. Islam datang untuk membebaskan diri, masyarakat, dan bangsa dari belenggu, ikatan, dan kungkungan menuju kepada kondisi dinamis, bergerak dan maju. Secara keseluruhan, dalam pandangan Islam, perobahan itu terjadi min al-kufr ilâ alîmân (dari kekufuran berobah menjadi keimanan), min al-syirk ila al-tauhîd (dari kemusyrikan berobah menjadi Tauhid), min al-dzulumât ilâ al-nûr (dari gelap menuju terang), dan perobahan min al-jâhiliyyah ilâ al-’âlimiyyah (dari kebodohan berobah menjadi pengetahuan). Islam datang untuk merobah kufur menjadi iman. Islam datang untuk menjelaskan hakekat Tuhan, menjelaskan inti makna lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah). Semua manusia diajak untuk meyakini adanya Sang Pencipta, Sang Pemelihara, mentaati apa yang diperintah dan menjauhi segala yang dilarang. Penolakan terhadap keberadaan-Nya berarti kufur, mengingkari, dan membangkang-Nya. Allah berfirman: ”Dia-lah yang menciptakan kamu Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. alTaghâbun/64: 2). Firman yang lain: ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang kufur (ingkar) kepada Thâghût dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Thâghût dimaksudkan sebagai segala bentuk sesembahan selain dari Allah SWT. Islam datang untuk merobah sikap manusia yang dahulu menolak, mengingkari, mengabaikan, bahkan menentang Tuhan, menjadi mengakui, berserah diri, setia, dan mematuhi-Nya. Banyak manusia yang tadinya kufur i’tiqâdî (menolak keberadaan Allah), atau kufur ni’mah (mengingkari kenikmatan yang diberikan Allah), berobah menjadi mukmin sejati, mengakui keberadaan-Nya dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepadanya. Islam datang untuk merobah syirik menjadi tauhid. Kita paham kondisi masyarakat Quraisy sebelum Islam dengan tradisi kemusyrikannya (paganisme). Selain menyembah Allah, mereka mengakui keberadaan tuhan-tuhan lain yang diyakini dapat mempengaruhi pola hidupnya. Maka mereka membuat patung-patung untuk disembah selain Allah. Di satu sisi menyembah Allah, tapi di sisi lain memohon kesejahteraan, rizki, dan kesehatan kepada selain Allah. Patung-patung yang disembah itu kemudian berkembang tidak saja berupa batu, tapi bisa juga dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, binatang, makanan, kekayaan, dan harta benda. Islam datang untuk menghapuskan bentuk perselingkuhan terhadap Allah itu dimana disatu sisi mengakui Allah, tapi secara diam-diam mengakui pula tuhan yang lain. Allah berfirman: ”... Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". (Q.S. al-An’âm/6: 19). Manusia hanya disuruh menyembah kepada Tuhan yang Esa, tidak untuk menyekutukan-Nya: ”... Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (Q.S. al-Ra’d/13: 36). Islam datang untuk merobah gelap menjadi terang. Islam datang sebagai obor yang menyinari hati, pikiran dan jiwa sehingga terang bercahaya. Islam adalah cahaya dan Tuhan itu sendiri adalah cahaya di atas segala cahaya (nûr ’alâ nûr). Cahaya Tuhan bersinar begitu terang menembus menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya. ”Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nûr/24: 35). Untuk merobah gelap menjadi terang, Allah menurunkan al-Quran sebagai pedoman hidup, siapa yang berpegang teguh kepadanya akan bersinar hidupnya, siapa yang mengabaikan al-Quran akan gelap gulita jiwa dan kehidupannya. ”Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrâhîm/14: 1). Kondisi gelap tentu berbeda dari kondisi terang. Gelap tidak dapat melihat apa-apa, sedangkan suasana terang akan menampakkan segala kebenaran. ”Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas” (Q.S. Fâthir/35: 20-21). Islam datang untuk merobah al-jâhiliyyah (kebodohan) menjadi al-’âlimiyyah (pengetahuan). Masyarakat sebelum Islam disebut sebagai masyarakat jahiliyah, tidak saja dimaknai sebagai masyarakat yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tapi dimaksudkan sebagai masyarakat yang tidak dapat menerapkan ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan membangun peradaban, membentuk perilaku, dan mempertinggi martabat. Abu Sofyan, pemimpin Quraisy, adalah pemimpin masyarakat jahiliyah itu. Bukanlah dimaksudkan Abu Sofyan tidak mempunyai ilmu dan keahlian. Dia adalah politisi hebat yang berhasil menaklukkan suku-suku Arab lainnya tunduk dalam kekuasaannya. Dia disebut pemimpin Jahiliyyah karena kekuasaan yang dimiliki tidak untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, melainkan untuk mendominasi dan menindas, untuk menginjak dan mengerdilkan mereka. Maka al-Quran menyebutkan kategori jahiliyyah ke dalam empat aspek: 1). Zann alJâhiliyyah (prasangka Jahiliyyah), yaitu ketika seseorang memiliki prasangka buruk kepada Allah, maupun manusia (Q.S. Alî ’Imrân/3: 154). 2). Hukm al-Jâhiliyyah (hukum jahiliyyah), yaitu hukum, undang-undang, peraturan yang dibuat tidak berdasar keadilan dan kepentingan manusia secara umum, tapi untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau golongannya (Q.S. al-Mâ’idah/5: 50). 3). Tabarruj al-Jâhiliyyah (busana jahilyah), yaitu ketika seseorang atau masyarakat mengikuti mode yang mengumbar aurat, menampakkan bagian-bagian sensual, untuk membangkitkan nafsu syahwat (Q.S. al-Ahzâb/33: 33). 4). Hamiyyah al-Jahiliyyah (kecongkakan jahiliyah), yaitu ketika seseorang sombong, congkah dan angkuh dengan harta yang dimiliki, ilmu yang diraih, atau kekuasaan yang dalam genggaman (Q.S. al-Fath/48: 26). Hijrah Konsep Perobahan Di dalam al-Quran, kata-kata hijrah dengan berbagai derifasinya disebutkan sebanyak 31 kali. Al-Quran terkadang menyebutkankannya untuk menunjuk pada perintah merobah perilaku (meninggalkan perbuatan keji menuju perbuatan baik), seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Muddatsir/74: 5: “dan hijrahlah (tinggalkanlah) segala (perbuatan) yang keji”. Hijrah juga dimaknai sebagai pindah (menghindari) dari orang-orang jahat, seperti: “Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dengan cara yang baik”. (Q.S. alMuzammil/73: 10). Hijrah juga digunakan guna mendidik isteri ketika mulai tidak taat kepada suami: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dari tempat tidur”. (Q.S. al-Nisa’/4: 34). Dalam sejarah Islam awal, hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya beberapa kali, puncaknya adalah hijrah ke Yatsrib (nama asli sebelum akhirnya diganti oleh Nabi dengan nama al-Madinah al-Munawwarah). Hijrah itu dilakukan tidak sekedar pindah tempat dari Makkah ke Madinah, bahkan tidak sekedar mendapatkan tujuan duniawi, tapi ada tujuan utama yaitu untuk mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Itulah maka ada hadits terkenal tentang pentingnya memasang niat pada setiap pekerjaan, termasuk niat dalam berhijrah. Bila hijrah yang dilakukan demi Allah dan dan Rasul-Nya, maka akan mendapatkan pahala kebaikan dari Allah dan Rasul-Nya. Tapi bila tujuannya hanya ingin mendapatkan kesenangan duniawi (dalam hadits itu disebutkan ingin mendapatkan seorang gadis yang hendak dinikahinya), maka dia hanya akan mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Tidak mudah seseorang untuk meninggalkan kampung halamannya menuju kepada suatu tempat yang asing baginya. Berbagai kendala dihadapi ketika sampai di tempat baru itu, keterasingan, serba kekurangan dan keterbatasan. Dia belum mengenal orang-orang disekitarnya, maka harus melakukan adaptasi. Dia tidak memiliki harta benda yang dijadikan tumpuhan hidupnya di tempat baru itu. Dia belum memiliki teman yang banyak sebanyak di tempat asalnya, maka gerakannya serba terbatas dan sempit. Namun sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nisa’/4: 100 di atas, Allah memberikan jaminan-Nya yang tegas. Buya Hamka menjelaskan, bila saja ada rasa takut dalam perjalanan hijrah, misalnya dari Makkah ke Madinah, maka Allah telah memberikan hamparan bumi tempat berlindung. Sesampai di tempat yang baru itu, kesempitan dan kesusahan akan berubah menjadi kelapangan dan kemudahan. Kalau selama ini dada tertekan, dan siang malam selalu terancam, maka setelah hijrah, di tempat kediaman yang baru itu semuanya akan hilang. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225). Di balik kesusahan itu ada cita-cita tinggi yang hendak diperjuangkan. Maka seorang yang berhijrah berupaya keras untuk dapat bangkit di tengah suasana terasing itu. Dia bekerja keras untuk mendapatkan harta, berkenalaan dengan banyak orang untuk menunjang usahanya itu, belajar dari para ahli untuk mengenali lingkungannya. Nabi Muhammad Saw dan para shahabat pada hari-hari pertama di Madinah juga mengalami hal di atas. Mereka datang tanpa harta benda dan sanak famili. Mereka memulai babak kehidupan baru dalam rangka menyongsong kehidupan yang lebih cerah. Mereka meninggalkan kehidupan di Makkah yang terus menerus berada dalam rongrongan dan penindasan para penguasa Musyrikin Quraisy. Shuhaib adalah salah seorang shahabat Rasulullah Saw yang terkemuka. Sejak sebelum hijrah, Shuhaib dikenal sebagai shahabat yang kaya raya. Ketika perintah hijrah ke Madinah, dia meninggalkan Makkah dengan seluruh hartanya. Di Madinah dia memulai kehidupan baru, berhasil, bahkan lebih kaya daripada ketika masih di Makkah. Demikian halnya shahabat Rasulullah lainnya, seperti Abdurrahman bin Auf. Seluruh kekayaannya ditinggalkan di Makkah demi mengikuti perintah Rasulullah Saw. Ketika ada kaum Anshar yang mencoba menyantuni, Abdurrahman bin Auf menolak dengan mengatakan: Terimakasih, tunjukkan saja kepadaku, di mana pasar. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan”. Tidak beberapa lama, Abdurrahman bin ‘Auf dikenal sebagai pendatang terkaya di Madinah. Demikian halnya dengan para sahabat lain, seumpama Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman, Ali, Khalid bin al-Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Amer bin al-Ash. Mereka dan ribuan sahabat lain menerima janji dan jaminan Allah itu, mendapat perlindungan di muka bumi, mendapatkan kehidupan yang lebih lapang. Dari tangan mereka umat Islam berkembang luas membangun peradaban yang tinggi. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225-226). Kerjasama dan Tolong Menolong Dalam Proses Perobahan. Ketulusan dalam berhijrah semata dalam rangka mencari keridhaan Allah membawa hasil yang nyata. Allah akan memberikan pahala bagi siapa yang sungguh-sungguh dalam menegakkan agama-Nya. Allah tidak akan menelantarkan hambanya yang setia, melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".(Q.S. al-Nahl/16: 97). Dan disebutkan dalam ayat lain: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q. S. al-Baqarah/2: 218). Apa yang dirasakan oleh Nabi dan para shahabat selesai melakukan hijrah adalah sebuah karunia dan rahmat Allah (Q.S. al-Baqarah/2: 218, al-Taubah/9: 20). Mereka di Madinah disambut dengan tangan terbuka penuh keceriaan oleh sebagian besar warga Madinah (kaum Anshar). Kaum Anshar membantu Nabi dan para shahabat yang berhijrah (kaum Muhajirin) ke Madinah, segala keperluan yang mereka butuhkan; makanan, minuman, tempat tinggal, bahkan pekerjaan dan usaha yang mereka inginkan untuk menopang hidupnya. Agar di kemudian hari mereka tidak terus menerus hidup dalam pemberian orang. Kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling kasih mengasihi, cinta mencintai, tolong menolong menggalang ukhuwwah dan persatuan kokoh, hingga akhirnya Madinah menjadi negeri yang sejahtera, makmur, penuh keadilan di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Dari peristiwa hijrah itu, Islam berkembang meluas ke segala penjuru dunia, menembus ras, bangsa, agama dan wilayah. Bahkan dengan semangat hijrah itu pula umat Islam pernah mengalami kejayaan hingga menjadi super power dunia. Dengan semangat hijrah, umat Islam membangun peradaban baru mengungguli peradaban yang ada pada waktu itu. Dengan semangat hijrah pula mereka bangkit melawan segala penindasan, kediktatoran, dan keserakahan. Oleh karena itu, hijrah tidak saja dipahami sebagai perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih dari itu, mengandung makna perpindahan dari suatu kondisi kepada kondisi lain, satu situasi kepada situasi lain. Secara keseluruhan, hijrah dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: hijrah jasadiyyah (perpindahan fisikal), hijrah qalbiyyah (perpindahan hati), dan hijrah aqliyyah (perpindahan intelektual). Hijrah Jasadiyyah adalah perobahan fisikal dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan lebih diridhai Allah. Hijrah Qalbiyyah adalah upaya mengadakan perobahan sikap hati menuju yang lebih baik; merobah sifat hati yang suka membenci menjadi suka mencintai, mendengki menjadi mengasihi, kikir menjadi dermawan, sombong menjadi bersahaja, malas menjadi bersemangat, tinggi hati menjadi rendah hati, egoistis menjadi altruistis. Hijrah Aqliyyah adalah upaya mengadakan perobahan secara intelektual, dari kebodohan menuju kepandaian, selalu membaca, selalu ingin tahu yang sebelumnya masa bodoh, belajar dan terus belajar memperbaiki kualitas intelektual, berkarya dan terus produktif berkarya membangun peradaban mewujudkan kejayaan Islam. Hijrah adalah konsep dinamisme dalam Islam, dimana Islam mengajarkan umatnya untuk terus menjadi, berobah, berkembang, dan maju, menjadi lebih baik dari sebelumnya. Islam membenci mereka yang menjadi jumud (statis), mundur, diam, pasif, tidak produktif. Umat Islam seharusnya menjadi umat yang maju, bukan umat yang mundur. Mereka adalah umat yang rajin dan gigih bukan umat yang malas, umat yang penuh pencerahan bukan umat yang berada dalam kegelapan. Semoga tahun baru hijriyah 1431 ini mengingatkan kita tentang pentingnya belajar dari ajaran dinamisme dalam Islam. Kita mampu membuat perobahan (hijrah) setiap saat dari kondisi buruk kepada kondisi yang lebih baik. Semoga. Jakarta, 23 Desember 2009 Penulis.