Rabu, 28 Oktober 2015 Mengenang Simon dari Kanaan, yang disebut Zelot, dan Yudas yang disebut Tadeus. Luk 6:12-16. Pemilihan keduabelas rasul Hari ini Gereja mengenang rasul Simon dan Yudas. Simon dengan panggilan “zelot” karena dia termasuk dalam kelompok zelot yang anti terhadap bangsa Romawi yang melakukan tindak kekerasan. Tradisi mencatat bahwa Dia menyebarkan Injil di Samaria dan di Mesopotamia lalu wafat di Persia. Yudas, yang juga disebut Tadeus, yang berarti “murah hati”, merupakan rasul yang saat perjamuan terakhir meminta Yesus untuk menyatakan diriNya hanya bagi kedubelas rasul bukan untuk dunia. Namanya ada dalam daftar terakhir para rasul. Tradisi menunjuk dia sebagai penulis kitab dengan nama yang sama, ditujukan demi pertobatan dari Yudas. Hampir tidak ada yang diketahui dari hidupnya, namun bukan berarti kurang penting dari yang lain. Di dalam Gereja bukanlah yang termasyhur yang dikenal, namun kesatuan bersama Tuhan dan saudara serta saudari kita. Sayangnya, kita sering berdebat tentang siapa yang menjadi pertama di dalam komunitas, seperti yang dilakukan oleh para murid. Di dalam Gereja hanya keutamaan lah- yang semestinya dicari, yakni keutamaan kasih, dan lewat perpanjangan tangan, kemurahan hati, yakni pelayanan yang diberikan dengan cuma-cuma. Yesus memanggil para murid ini dengan nama, juga hendak menggarisbawahi fakta bahwa kasihNyalah yang memberi martabat bagi para murid. Dan kasih yang semestinya menang diantara para murid, kasih kekal yang memberi alasan bagi banyak orang untuk percaya kepada Tuhan, yakni kasih yang Yesus tunjukkan bagi kita. Dalam Injil, nama tidaklah hanya sekedar media mengenal orang, namun, menekankan pada kisah, hati, dan kehidupan setiap individu. Panggilan Tuhan sering termasuk juga pengubahan nama, yakni pengubahan hati serta keadaan. Misalnya, Simon menjadi Petrus, yang berarti “batu” atau “fundasi.” Pertama sekali dengan menerima nama berarti dikasihi oleh Allah, yakni, dipanggil dengan nama. Juga berarti menerima suatu misi baru dari Allah. Saling mengenal satu sama lain dengan nama merupakan harta paling berharga di dalam kehidupan, bahkan hidup umat manusia. Namun Tuhan memuliakan lebih dari itu: saling mengenal satu sama lain dan memanggil dengan nama merupakan tanda kasih yang dicirikan oleh Allah. Dari perspektif ini, kita dapat melihat dengan jelas tingkat ketenaran yang mencirikan kehidupan para murid dan bagi semua orang, mulai dari orang miskin. Lebih dari sekedar kejutan, sehingga mari biasakanlah memanggil orang miskin dengan nama. Sangat sulit hal ini terjadi. Namun ada ikatan antara nama para murid dengan nama orang miskin. Merupakan suatu anugerah bahwa kita semua adalah anak-anakNya, dikasihi oleh Allah, setiap orang dengan nama masing-masing. Doa Para Rasul Kamis, 29 Oktober 2015 Roma 8:31b-39. “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Rasul menyimpulkan bagian dari surat ini, yang berfokus pada Roh Kudus, lewat kidung kepada kasih Allah. Ada pertanyaan mendasar yang mengungkapkan kekuatan iman: “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” Umat beriman melandaskan harapan mereka bukan pada diri atau kekuatan mereka sendiri, namun dalam kesetiaan kasih Allah. Tuhanlah yang membela, menopang, melindungi, serta menyelamatkan anak-anakNya. Dia melakukan segalanya demi menyelamatkan umat manusia. Bahkan sejak kisah semak yang terbakar, Allah telah menyatakan diriNya sebagai seorang yang tidak akan pernah meninggalkan umatNya. Dengan berkata, “Aku adalah diriKu sendiri” Maksud Allah adalah: “Akulah yang selalu bersama dengan umatKu, yang menopang mereka setiap hari.” Semua kitab suci menggambarkan kasih Allah yang luar biasa dan turun – temurun ini terhadap umat manusia. Puncak ikatan ini terjadi pada Yesus, Imanuel, yakni Allah beserta kita. Kasih Allah Bapa begitu menakjubkan sebab Dia tidak hanya mengutus AnakNya kedunia, Dia bahkan memberikan diriNya untuk “dikurbankan” demi keselamatan semua orang. Inilah kasih yang memberikan makna bagi iman kita. Dengan menggunakan gambaran perkara yang dibawa untuk menentang umat beriman, rasul Paulus berkata, “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah?” Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah Bapa, yang malah menjadi Pembela bagi kita?” Hal ini seolah-olah bahwa umat beriman dibebaskan dari rangkulan Allah. Hanya perkara mau menerima atau tidak. Sebenarnya, tidak ada, selain keputusan kita yang bebas, yang dapat memisahkan kita dari kasihNya. Rasul menyebutkan rangkaian situasi, wafat atau kematian, malaikat atau penguasa, hal-hal yang ada sekarang atau yang akan datang, kekuatan, derajat, kedalaman hati, atau hal lain yang dapat mengusik umat beriman. Dan sungguh umat beriman mengalami berbagai rintangan dan pertentangan, hingga wafat mereka. Namun tidak seorangpun yang “akan mampu memisahkan kita dari kasih Allah.” Doa bagi Gereja Jumat, 30 Oktober 2015 Roma 9:1-5. Hidup demi kebaikan saudara dan saudari kita Setelah berbicara tentang pewahyuan keadilan Allah, yang membela umat beriman serta memberi mereka kemampuan untuk hidup seturut dengan Roh Kudus, kini rasul Paulus kembali mengarahkan perhatiannya kepada bangsa Israel serta misteri sejarah mereka. Dia merasa terikat secara mendalam ke dalam sejarah umat yang telah dipilih Allah, mulai dari Abraham. Dan dengan kesedihan yang mendalam, dia bertanya bagaimana jadinya nasib bangsa ini apabila keselamatan tergantung pada Allah dan bukan lagi dari hukum taurat. Rasul Paulus dengan jelas merasa sedih karena pendahulunya melanggar secara jasmani dan tidak menjalani perjanjian baru yang telah dibangun oleh Yesus: “aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janjijanji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.” Paulus menegaskan bahwa bangsa dari perjanjian yang pertama ini membiarkan diri mereka ditarik oleh anggapan bahwa mereka telah memiliki pertolongan Allah lewat hukum taurat. Dan kepercayaan ini membuat mereka tersandung, atas “balok sandungan” itu sendiri, yakni, dengan tidak mengenali Yesus sebagai Anak Allah. Meskipun demikian, disini rasul Paulus menjamah misteri kepenuhan iman Allah- “Bukan seolah-olah sabda Allah telah gagal.” Rasul Paulus berusaha memecahkan masalah identitas bangsa Israel yang sesungguhnya. Dia menegaskan bahwa tidak semua keturunan Israel benar adanya. Tidak cukup merendahkan hati secara tubuh dan darah untuk menjadi anak-anak Allah; sangatlah penting untuk hati kita menerima Injil Kristus. Hanya dengan imanlah, yakni, penerimaan Allah secara merdeka dan penuh dalam hati kita, yang akan membebaskan kita dari perbudakan daging serta memberi kita bagian dalam keselamatan. Inilah mengapa bahkan murid-murid Yesus harus menjadi pasukan yang menentang komunitas umat beriman lewat jalan individualistis, ekstrior, dan ritual. Hanya iman yang ditandai dengan kasihlah yang dapat menyelamatkan. Doa Salib Suci Sabtu, 31 Oktober 2015 Roma 11:1-2a, 11-12, 25-29. Allah akan menyelamatkan umatNya Dalam refleksi dan peran bangsa Israel dalam sejarah keselamatan, Paulus berusaha memahami apa rancangan Allah atas umatNya. Meskipun dia telah menyatakan bahwa bangsa Israel yang sesungguhnya hanyalah sisa yang melakukan iman mereka dalam Allah dengan jalan menerima Yesus sebagai Mesias, kini Paulus menghadapi masalah dari mereka yang tidak membuat langkah yang tegas. Apakah mungkin membayangkan bahwa dengan memilih bangsa yang dibangun dari bangsa Yahudi dan bukan Yahudi, Allah menolak sejarah bangsa Israel, mengabaikan atas nasib mereka sendiri? Sejak dari awal, Paulus telah menegaskan dengan jelas bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan “umatNya.” Penolakan warta keselamatan merupakan suatu misteri yang membuat dirinya menderita. Namun bahkan di hadapan wajah penolakan, yang dia tidak dapat jelaskan, rasul Paulus yakin bahwa tindakannya tidaklah kekal. Paulus dapat melihat hubungan misterius antara bangsa Israel dengan perjanjian yang baru; yakni suatu ikatan yang penuh rahasia, namun tentunya memegang peranan penting dalam sejarah keselamatan. Perjanjian baru dikaitkan dengan jalan pertama seperti dimana cabang terhubung dengan dahan yang ada diatasnya. Meskipun demikian, umat beriman dari perjanjian yang baru semestinya tidak menjadi sombong; sebaliknya, mereka dipanggil untuk tetap mengucap syukur karena telah dipanggil menuju keselamatan. Paulus menutup dengan kidung mendalam dari kebijaksanaan yang tetap langsung menuju sejarah umat manusia. Dan dia menulis kepada umat di Roma: “aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan.” Inilah pandangan sejarah nabi yang mengungkapkan kedekatan yang unik antara bangsa Israel dengan mereka yang percaya di dalam Kristus. Yang kemudian diminta untuk mengenali kehadiran Allah dalam sejarah umat manusia di setiap lingkup- seperti yang Santo Yohanes XXIII katakan, untuk mengenali “tanda-tanda zaman”- dan untuk dapat ambil bagian didalamnya supaya dapat menuntun sejarah menuju kerajaan kasih dan damai Allah. Doa Vigili Minggu, 01 November 2015: Hari Raya Semua Orang Kudus Mengenang semua orang kudus yang namanya tertulis di surga. Dalam persatuan dengan mereka, kita berpaling kepada Tuhan, mengenali diri kita sebagai anak-anakNya. Wahyu 7:2-4, 9-14; 1Yoh3:1-3; Mat5:1-12 Gereja, Guru dan Ibu sejati, bekerja dengan segala cara untuk memimpin anak-anaknya ke dalam kekudusan, datang kepada kita hari ini dan menghadirkan kepada kita sekumpulan besar orangorang kudus. Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang kudus yang kita kenang hari ini adalah mereka yang seperti pemungut cukai, yang telah mengakui dosa mereka, yang membuat alasan dan mengakui hak-hak istimewa, dan telah mempercayakan diri mereka pada belas kasih Allah (Luk 18:10-14). Mereka bukan pahlawan, bukan manusia super kehidupan rohani, yang dapat dikagumi tapi mustahil untuk ditiru. Mereka laki-laki dan perempuan biasa, sekumpulan orang banyak yang terdiri dari para murid segala jaman, yang telah mencoba untuk mendengarkan Injil, yang juga terdiri dari orang-orang kafir, orang-orang yang berkehendak baik yang telah berkomitmen untuk hidup bukan hanya demi diri mereka sendiri saja. Kitab Wahyu, yang kita dengarkan dalam bacaan pertama, Yohanes mengungkapkan suatu pemandangan yang menakjubkan, “Suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” (Why 7:9) Tidak ada seorang pun yang dikeluarkan dari keikutsertaan dalam kehidupan orang-orang kudus, tidak peduli bangsa atau budaya apa yang dimilikinya, asalkan dia bersedia. Orang banyak itu terdiri dari semua “anak-anak Allah”, adalah suatu keluarga orangorang kudus. Mereka bukanlah orang-orang “penting” dan orang-orang yang berani, melainkan mereka yang dipanggil Allah untuk menjadi bagian dari umatNya. “Kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11). Inilah suatu bangsa yang terbentuk dari orang-orang lemah, sakit, yang membutuhkan, yang tidak berdiri di hadapan Tuhan, melainkan di atas lutut mereka, bukan dengan kepala yang terangkat tinggi, melainkan dengan tertunduk, bukan dengan sikap menuntut, melainkan dengan tangan yang terulur meminta bantuan. Seseorang adalah orang kudus, bukan setelah kematian, melainkan sejak saat seseorang menjadi bagian dari Familia Dei (Keluarga Allah), sejak saat “dipisahkan” (inilah arti “kudus”) dari takdir menyedihkan dunia ini. Yohanes, dalam surat pertamanya, mengatakan dengan jelas, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.....Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak” (1Yoh 3:1-2). Kekudusan seharusnya menjadi komitmen kehidupan setiap orang percaya, cakrawala untuk menuliskan pemikiran-pemikiran, tindakan, pilihan, tujuan, baik secara pribadi atau kolektif. Kekudusan bukanlah realita internal sepenuhnya yang dijauhkan dari kekonkritan kemalangan manusia, sebagaimana kehidupan seseorang sebagai seorang anak Allah yang menjadi milik keluargaNya, bukan pada kehidupannya sendiri. Terlebih lagi, kekudusan adalah suatu dimensi yang merevolusi setiap kehidupan masing-masing orang. Dalam istilah Injil, kekudusan adalah seperti yang digambarkan dalam Sabda Bahagia (Mat 5:1-12), yang mana seseorang benar-benar didefinisikan sebagai “manusia konstitusi” milenium kedua ini. Sabda Bahagia dapat menolong umat manusia untuk meninggalkan kondisi menyedihkan dimana mereka menemukan diri mereka sendiri. Konsepsi Injil kebahagiaan, yang merupakan kebalikan dari budaya yang dominan, sebenarnya merupakan panduan berharga. Memang benar bahwa kita dapat bertanya pada diri kita sendiri, bagaimana seseorang dapat berbahagia ketika miskin, menderita, lemah dan perlu dikasihani? Namun, ketika kita melihat dengan lebih dekat penyebab kepahitan dalam hidup, kita melihat mereka berbohong dalam ketidakpuasan, kesombongan, berbelit-belit, dalam ketidakpedulian masyarakat. Cara hidup yang kudus dengan demikian bukanlah suatu hal yang luar biasa, melainkan lebih merupakan cara sehari-hari pria dan wanita yang berusaha untuk hidup dalam terang Injil. Doa Hari Tuhan Senin, 02 November 2015 Mengenang semua orang yang telah tertidur di dalam Tuhan. Secara khusus kita mengingat mereka yang ditinggal dan tidak diingat oleh siapapun, dan mereka yang menempati tempat istimewa dalam hati kita. Yes25:6, 7-9;Mzm27; Rom8:14-23; Mat 25:31-46 Injil menegaskan bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka yang dicintaiNya, Dia tidak pernah meninggalkan mereka, khususnya selama perjalanan kematian yang sulit. Sebaliknya, Dia mengumpulkan mereka bersama dan membuat mereka menjadi bagian dari kebangkitanNya. Akibatnya, rasa pedih perpisahan itu disertai dengan harapan, tentunya kepastian dari suatu pertemuan yang baru. Kehidupan, Injil mengatakan, tidak berakhir dengan kematian. Nama orang-orang yang telah kita kasihi dan kenal tidak hilang dalam kepekatan kegelapan akhir kehidupan. Penting bahwa Gereja menempatkan pesta orang-orang kudus bersama dengan peringatan hari orang-orang yang telah meninggal. Pandangan ini memiliki kekuatan yang luar biasa menggugah, orang-orang kudus dan orang-orang yang meninggal disatukan dalam masa depan yang satu. Jika kita mengingat satu orang setiap hari dalam setahun, pada dua hari ini kita diundang untuk mengingat sejumlah besar laki-laki dan perempuan, seluruh bangsa, barisan orang-orang kudus dan orang-orang yang telah meninggal, semua berkumpul bersama dalam sebuah tujuan tunggal. Kenyataannya adalah bahwa orang yang telah meninggal disatukan dengan para orang kudus dalam suatu kenangan, adalah nubuat impian bagi dunia global kita yang ingin menyembunyikan kematian dan maknanya. Kebangkitan Yesus, “yang pertama bangkit dari antara orang mati” (Kol 1:18) adalah suatu unsur pokok dalam iman Kristiani yang dikatakan Rasul Paulus, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14). Justru pada titik kebangkitan Yesus dan kebangkitan semua orang yang mengikuti Dia, yang mana orang-orang Athena tidak setuju dengan Paulus di Areopagus, berkata, “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu.” (Kis 17:32). Bahkan sekalipun mereka telah menerima keabadian jiwa, kebangkitan badan tidak dapat diterima bagi orang-orang Athena ini. Bagaimanapun ini adalah inovasi Kristiani, kemenangan Yesus sepenuhnya atas kematian. Mereka yang percaya kepada Dia akan bangkit dengan tubuh mereka. Inilah Injil, kabar baik, yang sungguh mengejutkan dan menghibur. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, tentunya bukan keselamatan mereka yang begitu dikasihiNya sehingga Dia mengutus PutraNya ke dunia untuk mereka. Kita semua tentu merasakan kerasnya kematian, dan jika kita berpikir tentang mereka yang telah meninggal, khususnya mereka yang dekat di hati kita, kita tidak bisa tidak akan merasakan kesedihan perpisahan. Namun, rasul Paulus mengajak kita untuk tidak melupakan bahwa masa depan disiapkan bagi anak-anak Allah, “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah…..Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris.” Dia kemudian menambahkan, “Aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rom 8:15-18). Sekalipun kematian masih menguasai kita, setelah kebangkitan Yesus, tidak ada lagi jarak antara seorang percaya dengan yang lain, tidak ada lagi pemutusan hubungan kasih yang diikrarkan di bumi, tidak perlu lagi orang-orang keluar dari keluarga Allah. Yesus, yang memberikan hidupNya sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang dipercayakan kepadaNya oleh Bapa akan hilang, mengumpulkan orang-orang percaya. Kasih Yesus lebih kuat daripada kematian. Dia yang mencintai murid-muridNya dan melakukan hal-hal yang hampir tidak dapat dipercaya bersama dengan mereka, tidak membiarkan kematian memisahkan mereka dari diriNya. Semua orang percaya ada di dalam tangan Tuhan, dan kasihNya lebih kuat daripada kematian. Kadang-kadang kita heran, dimana mereka yang telah kita cintai, yang telah meninggal, mungkin kita mencoba untuk memikirkan mereka dan membayangkan dimana mereka tinggal dan apa yang mereka lakukan. Tradisi mengunjungi makam tentu kuat dan indah. Sebuah tradisi Kristiani kuno mengatakan bahwa orang-orang yang meninggal “tidur” dan menunggu untuk dibangunkan. Namun juga indah (dan mungkin lebih indah) untuk membayangkan bahwa kepergian orang-orang yang kita kasihi terus berlanjut dengan hadir di gereja-gereja kita, dimana mereka menerima sakramen-sakramen, dimana mereka berdoa, dimana mereka memuji Tuhan, dimana mereka berharap dalam masa-masa sulit, dan dimana mereka didampingi dalam perjalanan mereka ke surga. Kita dapat mengatakan bahwa kepergian adalah di dalam gereja-gereja komunitas milik mereka. Sungguh, kematian tidak dapat mematahkan ikatan-ikatan ini. Mereka terus berada dekat dengan kita untuk merayakan pujian kepada Tuhan bersama dengan mereka yang ada di bumi. Inilah sebabnya mengapa orang-orang dulu dimakamkan di dalam gereja, atau paling tidak di dekatnya. Ada suatu persekutuan yang kuat dengan kepergian yang dijamin oleh Yesus. Benar bahwa itu bukanlah suatu persekutuan yang kelihatan, namun hal ini tidak membuatnya menjadi kurang nyata. Bahkan lebih dalam lagi karena tidak didasarkan pada penampilan lahiriah yang sering menipu. Persekutuan kita dengan mereka yang telah meninggal didasarkan pada misteri kasih Allah, yang mengumpulkan dan menopang semua orang. Kasih Allah adalah kebenaran kehidupan dan kematian. Semua hal berlalu, termasuk iman dan harapan, namun kasih tidak akan berlalu. Doa bagi Orang Sakit Selasa, 03 November 2015 Roma 12:5-16. Kerendahan hati serta amal dalam komunitas Lewat bagian yang paling menyemangati dalam kitab Roma bab 12 ditulis sebagai konsekuensi langsung atas argumen yang mendahuluinya. Rasul Paulus menempatkan apa yang dibutuhkan umat beriman oleh karena keadilan yang telah dinyatakan bagi mereka. Bacaan yang telah kita dengarkan mencakup tentang desakan terhadap ikatan dalam komunitas Kristiani- dimana, diantara hal lainnya rasul Paulus merujuk pada gambaran tubuh seperti dalam Surat pertama kepada jemaat di Korintus (12:12-27)- dan hubungan dengan dunia luar yang telah melakukan berbagai bentuk penganiayaan. “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama” tulis rasul Paulus. “demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masingmasing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (ay.5). Dalam tubuh yang mencakup banyak anggota tubuh tidak akan menentang kesatuan serta fungsi setiap anggota tubuh itu sendiri. Malah, akan membantunya. Dan demikian pula dalam Gereja dan di setiap komunitas Kristiani sebab Tuhan telah memperkayanya dengan banyak anugerah dan karisma, supaya semua orang dapat berkontribusi atas perkembangan kasih serta kesaksian Injil. Semua orang disatukan terhadap yang lain dalam satu ikatan kasih, namun Tuhan memberikan setiap orang tugas demi pelayanan yang sama. Kita tidak tinggal dalam Gereja hanya demi kepentingan kita sendiri, akan tetapi, kita dipanggil untuk bekerja demi pertumbuhan kesatuan, demi keharmonisan perkembangan satu tubuh, yakni tubuh Kristus sendiri. Tentunya, setiap kita memiliki identitas masing- masing. Roh Kudus tidak pernah meniadakannya, namun memadukannya dalam satu kesatuan yang membuat tubuh yang banyak menjadi satu. Komunitas Kristiani terlahir bukan karena dari kumpulan beberapa orang atau individu bukan pula dari unsur homogenitas komponennya, melainkan dari kasih Allah yang membuat banyak komunitas menjadi satu. Doa bersama Maria, Bunda Allah Rabu, 04 November 2015 Mengenang Sto.Karolus Boromeus (+ 1584), uskup Milan Roma 13:8-10. Orang yang berhutang akan kasih Setelah suatu pandangan atas sikap yang umat beriman harus miliki terhadap para penguasa (13:1-7) dan yang tidak lazim dalam surat Paulus, dia memperluas perspektif dan menambahkan pertimbangan atas hubungan umat beriman terhadap semua orang. Dan hubungan yang demikian semestinya ditentukan lewat kasih yang selalu memberi dengan bebas. Umat Kristiani- meski dalam hakekat yang baik terhadap semua orang, walau mereka telah memenuhi segalanya- maka akan selalu memiliki hutang, yakni kasih terhadap sesama. Dan hal ini benar bagi semua umat beriman. Lingkaran kasih yang luhur diciptakan lewat jalan ini. Kita semua adalah orang yang berhutang kasih terhadap sesama. Semestinya dikatakan bahwa orang lain memiliki hak atas kasih, perhatian, serta kedekatan yang kita miliki. Kebenaran ini mewakili kemenangan atas “philautia”, yaitu cinta bagi diri sendiri merupakan akar dari setiap kejahatan. Melalui sosok Yesus yang mengasihi umat manusia hingga ke titik memberikan hidupNya demi keselamatan mereka, para rasul bahkan tidak dapat menjauhkan diri mereka dari sikap seperti yang ditunjukkan oleh sang Guru. Oleh karena itulah rasul Paulus dapat berbicara tentang hutang kasih. Kasih umat Kristiani haruslah diberikan dengan penuh dan bebas bagi semua orang. Dan jelas bahwa kasih radikal seperti ini tidaklah berasal dari diri kita: bukanlah buah dari karya kita: melainkan kasih yang hanya dapat kita terima dari surga. Dengan mengamalkan kasih ini berarti kita dapat melakukan kehidupan yang penuh pengorbanan, kudus dan berkenan kepada Allah seperti yang rasul Paulus telah ingatkan pada kita. Keutamaan kasih berasal dari masa yang semakin mendekat. Rasul Paulus sepertinya hendak berkata bahwa inilah masa untuk mengasihi. Dan ketika kita melihat situasi abad millennium baru ini, kita paham bagaimana pentingnya bagi umat Kristiani untuk memberi kesaksian terhadap kasih sebagai satu-satunya jalan bagi dunia demi memperoleh keselamatan. Dihadapkan dengan perkembangan rasa benci dan kekerasan, dengan penyebaran terorisme serta perang, komunitas Kristiani perlu meninggalkan semua godaan dan cobaan supaya dapat mengkomunikasikan keutamaan kasih terhadap dunia. Sebab jalan menuju damai adalah dengan membuat kasih menang atas segalanya. Doa bersama Para Kudus Kamis, 05 November 2015 Mengenang Zakharia dan Elisabeth, yang pada usia senjanya mengandung Yohanes Pembaptis Roma 14:7-12. Kita semestinya tidak hidup bagi diri sendiri Bacaan ini berpusat pada perhatian yang harus kita miliki terhadap mereka yang “lemah” dalam komunitas, yakni terhadap mereka yang memiliki iman yang solid namun mempunyai beban atas makanan yang hendak dimakan. Tentunya, hal itu ada- baik dalam jemaat Roma maupun dalam Korintus- dan beberapa komunitas yang “kuat” yang meyakini diri mereka bebas dari setiap tradisi dan beberapa yang “lemah” yang masih hidup seturut dengan norma-norma lingkungan Kristiani-Yudea. Inti perbedaan diatas segalanya itu adalah tentang kemurnian makanan. Sungguh, situasi serius dinyatakan dalam dakwaan timbal balik yang dibuat oleh kedua kelompok ini. Paulus memiliki kata-kata yang keras bagi mereka yang menghakimi dan memandang rendah sesama. Sebenarnya, hal inilah, yang melemahkan komunitas, yang tidak mengasihi apa yang dapat membangun, dan melakukan energi kesatuan yang sia-sia. Rasul Paulus memanggil umat Kristiani terhadap keutamaan persaudaraan serta kesatuan: pertama sekali, para murid dipanggil untuk hidup bagi Tuhan dan InjilNya bukan bagi diri dan ide mereka sendiri. Injil, dan memang hanya Injillah, yang menjadi sumber dan alasan atas kesatuan diantara umat beriman. Ketaatan bukanlah perkara apa yang menyatukan. Dan bukan pula tentang “kekuatan” arogansi atau “kelemahan” atas kehidupan yang selalu mengalah [ bersifat tunduk ], menjaga kesatuan komunitas Krstiani. Yang memelihara selalu dan hanyalah kasih Allah sajaapabila disambut serta diamalkan dalam komunitas. Menjaga dan membela kasih persaudaraan ini- yang telah kita terima dari surga- merupakan suatu tugas prioritas. Dan demi tugas inilah yang menjadi hal yang paling berharga untuk dijaga. Yesus berkata- sebenarnya, dari sinilah kita akan dapat mengenal bahwa kita adalah murid-muridNya. Doa bagi Gereja Jumat, 06 November 2015 Roma 15:14-21. Pewartaan Paulus Paulus sadar akan fakta bahwa bukan dirinya yang membangun komunitas Kristiani di Roma. Meskipun demikian, dia masih merasa punya tanggung jawab mewartakan Injil disana, di ibukota kekaisaran Romawi. Pewartaan Injil merupakan kebanggaan tersendiri baginya. Malah dia menambahkan, “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang.” Lewat kata-kata yang dia tujukan kepada umat Kristiani di Roma, dia tampaknya hendak mengingatkan seluruh Gereja dan semua komunitas umat Kristiani atas tanggung jawab mereka dalam mengkomunikasikan Injil, apakah di tempat dimana telah ada komunitas Kristiani selama berabad-abad atau ditempat dimana Injil baru saja sampai. Dimanapun kita berada di dunia ini, kita perlu kembali dan memulai bersama Yesus lagi- bahkan kini di awal abad millennium ketiga ini. Kita dapat mengatakan bahwa misi Gereja masih pada awalnya. Merupakan awal bagi kita umat Kristiani yang daerahnya Injil telah dinyatakan sejak dahulu, sebab kita masih harus memahami makna mendalam dari banyak halaman Injil, seperti halaman tentang damai dan kasih terhadap musuh kita. Saat kita berfokus pada isu dan masalah organisasi, terkadang kita beresiko kehilangan fokus atas keutamaan dalam mengkomunikasikan Injil, yang merupakan “kehormatan” sesungguhnya bagi Paulus dan yang semestinya menjadi “kehormatan” bagi Gereja masa kini juga. Sebagai akibatnya, masih ada banyak tempat didunia-dan saya berpikir tentang penyebaran di Asia- dimana Injil masih harus perlu diwartakan. Inilah salah satu tantangan besar yang umat Kristiani jaman ini perlu lakukan seperti yang dijelaskan dari surat Paulus kepada jemaat di Roma ini. Paulus, yang tidak pernah membaptis siapapun, paham bahwa pewartaan Injil yang dilakukanNya diantara banyak penyembah berhala adalah sebagai suatu “pelayanan kerasulan”: dengan mengkomunikasikan Injil Tuhan yang dia tawarkan kepada semua orang yang menyambut dia. Doa Salib Suci Sabtu, 07 November 2015 Roma 16:3-9,16,22-27. Rekomendasi terhadap komunitas Bab ini, muncul sebagai suatu rangkaian bacaan berbeda yang didaftarkan, sungguh menampilkan kesatuan konkret yang Paulus garisbawahi di bagian terakhir suratnya. Daftar nama panjang tidak hanya mewakili sejumlah besar sahabat yang dia miliki; meskipun sebenarnya Paulus belum berada di Roma akan tetapi dia kenal banyak anggota dari komunitas itu. Kita tahu bahwa dia telah bertemu dengan Aquilas dan Priskila di Korintus, disusul dengan maklumat Claudius yang memerintahkan pengusiran kaum Yahudi, atau sebagian dari mereka, yang dari Roma, dan yang dengan jelas bahwa tidak berada dalam masa itu. Kita tidak tahu dimana ruang lingkup rasul bertemu dengan orang lain namun disebutkan bahwa mereka menyambut rasul Paulus dan dia dikasihi oleh komunitas meski dia bukanlah yang mendirikan namun dia dapat menunjukkan kedekatan lewat keterikatan dalam hubungan kesatuan yang spesial. Disinilah pentingnya persaudaraan dalam Gereja dengan berbagai cara dimana persaudaraan yang dibalut muncul. Kisah persaudaraan umat Kristiani tidak pernah menjadi kisah yang biasa dan tidak dipandang. Dalam Gereja, kesatuan selalu mengakar dalam pertemuan personal antara para murid, hubungan antara orang-orang secara individual. Semua orang memiliki nama serta kisah, dan semua orang dikasihi dan dijaga secara personal. Inilah tantangan yang komunitas Kristiani masa kita perlu terima supaya dapat mengalahkan keadaan dimana masyarakat tampaknya saling menyalahkan semua orang. Hal ini menjelaskan rekomendasi rasul tentang siapa yang menyebabkan skandal: mereka perlu waspada, dan sama halnya bahwa yang lemah semestinya tidak diabaikan, namun mereka semestinya ditolong. Ikatan dengan Injil membuat komunitas kuat dan mampu “menghancurkan” kuasa iblis serta dapat memahami “misteri” kasih yang telah diungkapkan terhadapnya. Doa Vigili