Keterlibatan Uni Eropa dan Rusia Dalam Konflik Separatisme Transnistria (Moldova) Sebagai Wujud Perebutan Pengaruh Negara Adikuasa (Hegemon) Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Politik Internasional Oleh Annisa Ananda Sari 08/265100/SP/22645 Febrian Perdana Putra 09/280305/SP/23179 Alvin Thias Aditya 09/280672/SP/23229 Amir Abdul Aziz 09/281874/SP/23330 Kishino Bawono 09/282487/SP/23481 Simon Pratama Bayu 09/288734/SP/23763 Nur Ariani 10/296950/SP/23899 Arri Akbar K. 10/299385/SP/24117 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2012 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Moldova adalah negara yang terletak di wilayah Eropa Timur, tepatnya di sebelah timur laut Rumania. Pada mulanya, Moldova merupakan bagian dari Rumania. Kemudian, Moldova bergabung dengan Uni Soviet ketika akhir Perang Dunia II, hingga akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada Agustus 1991. Namun sejak tahun 1989, muncul konflik separatisme yang dilakukan oleh gerakan yang menamakan diri mereka Pridnestrovian Moldavian Soviet Socialist Republic, yang mendiami wilayah Transnistrian, yakni wilayah yang terletak di antara sungai Dniester dan perbatasan Ukraina. Penyebab munculnya gerakan ini adalah kekhawatiran minoritas yang berbahasa Rusia atas kebijakan pemerintah Moldova menjadikan bahasa Romania sebagai bahasa ibu. Mereka menaruh curiga bahwa pemerintah sedang berupaya untuk bergabung kembali dengan Rumania dan memilih untuk mendeklarasikan wilayah Transnistria dengan nama Pridnestrovian Moldavian Republic (PMR). Rusia turun tangan dalam kasus ini. Ia, bersama dengan pemerintah Moldova dan PMR membentuk pasukan perdamaian pada pertengahan Juli 1992.1 Tidak sebatas itu, konflik ini juga menarik perhatian PBB dan melibatkan banyak pihak lainnya, seperti Ukraina, Rusia, dan Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Namun, permasalahan tidak kunjung selesai dan perundingan menemui deadlock. Pada tahun 2005, pemerintah Moldova meminta bantuan Uni Eropa untuk menyelesaikan konflik yang telah menahun ini. Kemudian European Council mengirimkan perwakilan khusus Uni Eropa di Moldova. Uni Eropa selanjutnya melakukan berbagai upaya, termasuk bekerjasama dengan Amerika Serikat guna menjadi observer dan membentuk EU Border Assistance Mission (EUBAM) di wilayah tersebut.2 1 Immigration and Refugee Board of Canada, Moldova: Internal Flight Alternatives (online), 1 Juli 1993, <http://www.unhcr.org/refworld/docid/3ae6a7f60.html>, diakses 19 April 2012. 2 D. Isachenko, ‘The EU border mission at work around Transdniestria: a win-win case?’, Societes Politiques Comparees (online), 2010, < http://www.fasopo.org/reasopo/n21/art_di.pdf>, diakses 19 April 2012. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam risalah ini adalah: “Apakah keterlibatan Rusia dan Uni Eropa dalam konflik separatisme Transnistian merupakan perebutan pengaruh diantara negara adikuasa (hegemon) ?” Landasan Konseptual Konsep-konsep yang digunakan dalam menganalisis masalah pada risalah ini antara lain: Hegemoni Hegemoni merupakan suatu kondisi dimana suatu pihak memiliki dominasi atas pihak lainnya. Dalam studi hubungan internasional, hegemoni merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan, dimana negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk menanamkan pengaruh satu sama lain agar dapat meraih great power status hingga mencapai titik tertinggi, yaitu hegemoni. Suatu negara sering kali membujuk, meyakinkan, bahkan memaksa negara lain supaya mengikuti apa yang ia inginkan. Hal ini dilakukan agar negara lain mematuhi standar dan norma tertentu yang berlaku dalam masyarakat, yang biasanya berkaitan dengan aktor-aktor tertentu.3 Berbagai jalan dapat ditempuh guna mendapatkan posisi hegemon, baik melalui cara militer/kekerasan, cara politik, maupun cara ekonomi. Proxy War Negara-negara dengan great power status tidak jarang menggunakan media lain untuk ‘berlaga’, misalnya saling mengirimkan pasukan demi memperbesar pengaruh di suatu negara. Negara-negara tersebut menghindari kontak langsung supaya tidak timbul peperangan yang lebih besar. Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah proxy war. Clash of Interest Setiap kelompok/negara memiliki tujuan tersendiri yang termanifestasi dalam kepentingan yang bervariasi. Adanya beragam kepentingan dalam hubungan antar kelompok/negara adalah niscaya dan masing-masing pihak membuat kebijakan atau 3 J. A. Agnew, Hegemony: The New Shape of Global Power, Temple University Press, Philadelphia, 2005, pp. 1-2. melakukan tindakan yang relatif sesuai dengan kepentingannya, sehingga friksi menjadi hal yang wajar dalam hubungan tersebut. BAB II PENGANTAR Sejarah Konflik Transnistria Nama Transnistrian sendiri berasal dari ungkapan bahasa daerah Rumania, Rusia, dan Ukraina yang berarti daerah yang berada di sekitar sungai Dniester. Transnistrian juga memiliki keunikan demografi didalamnya, dimana di daerah tersebut terdapat beragam etnis masyarkat yang berdiam di Transnistrian, dengan komposisi 48% warga keturunan Ukraina, 30% warga Moldova, 9% warga keturunan Rusia, dan 8,5% warhga yahudi.4 Hal ini tercipta akibat perpecahan Uni Soviet di awal tahun 1991 yang mengakibatkan persamaan budaya dan keberagaman etnis warisan Soviet. Eskalasi konflik Transnistrian terbilang cukup unik, bukan karena masalah sengketa teritori, sumber daya, ataupun kekayaan natural yang terdapat di suatu daerah yang memicu terciptanya sebuah konflik, namun lebih kepada masalah identitas sosial dan nasionalisme. Sejak deklarasi kemerdekaan Moldova dari pengaruh Uni Soviet pada Agustus 1991, pemerintah Moldova mencoba menyatukan tiap daerah kedaulatan Moldova dalam satu kesatuan bersama, salah satunya kebijakan menjadikan bahasa Romania menjadi bahasa ibu. Kebijakan ini diresponi negatif oleh etnis Russia dan Ukrania yang berada di Transnistria, etnis Russia dan Ukraina yang berada didaerah tersebut menyebutkan kebijakan ini menjadi cerminan arah kebijakan pemerintah Moldova yang hendak bergabung lagi dengan Rumania.5 Selain itu, etnis ini juga memiliki rasa nasionalisme yang besar terhadap negara asalnya yakni Uni Soviet, sehingga arah perjuangan separatismenya lebih menekankan konsolidasi dengan Rusia. Pada 4 Olga Savceac. Transnistria-Moldova Conflict. (online), 2006, < http://www1.american.edu/ted/ice/moldova.htm> diakses pada 19 April 2012. 5 Witold Rodkiewicz. Transnistrian Conflict after 20 Years: A Report by an International Expert Group. Institute for Development and Social Initiatives “Viitorul” (online), 2012. Hal 4 <http://www.osw.waw.pl/sites/default/files/Transnistrian_Conflict_after_20_Years.pdf >, diakses pada 19 April 2012 tahun 1990, kelompok separatis ini menamakan dirinya “Transnistrian Soviet Socialist Republic within the USSR”.6 Pada tahun 1990, Transnistria memproklamasikan kemerdekaannya dengan nama resmi Pridnestrovskaia Moldavskaia Respublika dengan Tiraspol sebagai ibu kota, tetapi negara Transnistria ini tidak diakui oleh dunia internasional karena proses pembentukannya yang penuh dengan kontroversi, sehingga dunia internasional hanya mengakui Transnistria adalah bagian dari negara Moldova. Penduduk Transnisia adalah penduduk yang multi etnis, karena banyaknya etnis di daerah tersebut. Puncak ekslasi terjadi pada bulan Maret hingga Juni 1992, dengan ditandai mulai meletusnya konflik senjata diantara pemerintah Moldova dan kaum pemberontak Transnistia . Moldova dibawah kepemimpinan presiden Mircea Snegur menyatakan perang terhadap segala tindakan separatisme didaerah kedaulatan Moldova, termasuk daerah Transnistria. Selain itu dari pihak pemberontak, mereka mendapatkan bantuan militer dari Rusia dengan didatangkan pasukan pleton 14 Rusia serta sejumlah bantuan tentara bayaran Rusia “Cossacks”. Sehingga mengakibatkan ribuan orang terpaksa keluar dari daerah Transnistria dan menjadi pengungsi dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.7 Penurunan tensi konflik berangsur diupayakan dengan diadakannya perundingan damai antara pemerintah Moldova dan Pemerintah Rusia. Hasilnya ialah ditetapkannya Transnistria sebagai daerah “security zone” yang berada dalam pengawasan Moldova, Rusia, dan pasukan Transnistria. Perundingan ini dilanjutkan pada Oktober 1994 dengan perundingan intens antara Moldova dan Rusia tentang penarikan pasukan Rusia dari daerah teritori Moldova selama 3 tahun namun usulan ini ditentang oleh pihak Rusia. Selanjutnya pada Mei 1997, Rusia dan Ukrania berinisiatif mengadakan perundingan yang mengundang pemerintah Moldova dan para kaum separatis PMR untuk rencana penghentian perang sipil yang telah berlangsung. Dibawah perundingan ini, tercapai kesepakatan antara Moldova dan pemberontak Transnistria masih berada dibawah wilayah kedaulatan Moldova namun mendapatkan hak otoritas atas wilayahnya.8 6 Ibid Oazu NANTOI. Transnistrian Conflict: What Could The European Union and The United States of America do?. , (online), Hal 4. <http://transatlantic.sais-jhu.edu/transatlantic-topics/Articles/friends-ofbelarus/nantoi_moldova.pdf> , diakses pada 19 April 2012 8 Olga Savceac. Transnistria-Moldova Conflict. (online), 2006, < http://www1.american.edu/ted/ice/moldova.htm> diakses pada 19 April 2012. 7 Proses Keterlibatan Rusia & Hubungan Rusia dengan Moldova Sejarah keterlibatan Rusia dalam konflik antara Moldova dan Transnistria telah berawal dari zaman Kekaisaran Rusia. Diawali dengan penyerahan bagian barat sungai Dniestr dari Kekaisaran Ottoman kepada Kekaisaran Rusia di tahun 1792. Selama abad ke-18 dan 19, teritori tersebut merupakan bagian dari wilayah perbatasan Uni Soviet. Pada awal abad ke 19, mengikuti revolusi yang terjadi di Rusia, Republik Moldova didirikan di sekitar wilayah sungai Dniestr sampai perbatasan Romania. Selepas Perang Dunia I, wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan pemerintah Romania. Dan direbut kembali oleh pemerintah Uni Soviet pada akhir Perang Dunia II. Sampai pada tahun 1991, Republik Moldova resmi mendapatkan kemerdekaaan mereka. Pada dasarnya, rakyat Moldova memiliki ikatan sejarah yang sangat kuat dengan Rusia. Terlebih bagi mereka orang-orang keturunan Rusia yang mendiami bagian barat sungai Dniestr. Ketika Uni Soviet semakin melemah dan Pemerintah Otonom Moldova semakin dekat dengan Pemerintah Romania, golongan keturunan Rusia yang merupakan minoritas ini merasa terancam keberadaanya. Walaupun telah menyatakan untuk bersikap netral dalam konflik ini, namun sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Rusia sangat pro kepada PMR. Salah satu sikap yang ditunjukkan adalah melakukan pemutusan hubungan ekonomi dengan Pemerintah Moldova. Bantuan lain yang diberikan oleh Rusia adalah penempatan sisa-sisa resimen ke-14 militer Uni Soviet di wilayah Transnistria. Walaupun bantuan yang diberikan terbatas kepada pelatihan prajurit dan suplai senjata kepada pemberontak PMR. Selain dukungan pasukan dan persenjataan, Rusia juga membentuk “The Ministry of The State Security” yang membawahi perjuangan kaum pemberontak Transnistria.9 The Ministry of The State Security sendiri merupakan cabang dari dinas rahasia Rusia yang berperan dalam mengawasi perjuangan pemberontak Transnistia serta bertindak dalam kancah regional sebagai polisi kebijakan yang membela perjuangan kaum pemberontak Transnistian. Ketika Snegur menyadari bahwa ia tidak bisa merebut Transnistria maka ia menyetujui permintaan Pemerintah Rusia untuk membentuk Pasukan Perdamaian di wilayah tersebut. Salah satu misi utama dari pasukan ini adalah mencegah konflik antara Transnistria dan Moldova menjadi tidak terkendali. Adapun gencatan senjata yang diprakarsai oleh Pemerintah Rusia tidak 9 Ibid terlalu disenangi oleh kedua belah pihak karena tidak dapat memenuhi tuntutan yang ada. Namun baik Pemerintah Moldova dan PMR berusaha menghargai kehadiaran pasukan Rusia untuk kepentingan masing-masing pihak. Bagi pihak PMR, pasukan penjaga perdamaian yang diturunkan oleh Rusia akan mengamankan wilayah Transnistria dari serangan Moldova. Sedangkan Pemerintah Moldova sendiri percaya bahwa Rusia akan membantu untuk mengembalikan wilayah Transdniestria kepada mereka bila Pemerintah Moldova mau bekerja sama dengan Pemerintah Rusia. Bagi Rusia sendiri, keberadaan pasukannya disana juga bertujuan untuk menjaga dan memindahkan sebagian besar persenjataan artileri peninggalan era Uni Soviet. Proses Keterlibatan Uni Eropa & Hubungan Uni Eropa dengan Moldova Uni Eropa mulai memperlihatkan kebijakan luar negeri terhadap kasus Transnistria pada tahun 2002, di mana sejak saat itu, isu konflik tersebut seringkali diangkat saat berhubungan dengan Rusia dengan Ukraina. Resolusi konflik di wilayah tersebut menjadi perhatian Uni Eropa karena dianggap sebagai sebuah penyelesaian hambatan bagi EU Enlargement Vision yang terdapat di dalam EU Commission Paper yang ditujukan kepada Moldova di tahun 2002. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bagaimana konflik tersebut tidak melibatkan tindak kekerasan terorisme atau perusakan lingkungan, akan tetapi lemahnya pemerintahan Moldova dianggap sebagai penyebab tidak selesainya konflik Transnistria. Salah satu kelemahan dalam penyelesaian kasus tersebut adalah diskreditasi Mekanisme Upaya Perdamaian dan Penjagaan Keamanan Lima Sisi oleh pihak bertikai, terutama Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2003, Uni Eropa dan NATO di bawah Amerika Serikat menjadi pihak ketiga yang ditunjuk langsung oleh Moldova dalam mediasi resolusi konflik tersebut10. Dengan kehadiran Uni Eropa dalam Joint Statement Commission di tahun yang sama menjadi sebuah pernyataan bagaimana reunifikasi Moldova adalah hal politis. Selain melalui tindakan diplomatis, intervensi Uni Eropa dalam penyelesaian kasus Transnistria juga pada kenyataannya diimplementasikan melaluii sektor perdagangan. Ekonomi merupakan salah satu area vital bagi sebuah negara dalam keberlanjutan kegiatan politik domestik dan luar negeri. PMR ( Pridnestrovian Moldavian Republic ) adalah pemerintahan di 10 Popescu, Nicu. The EU in Moldova-Settling Conflicts in the Neighborhood. 2005. < http://www.iss.europa.eu/uploads/media/occ60.pdf>. Diakses pada 17 April 2012 halaman 9 daerah pecahan Transnistria yang seksesi kekuasaannya tidak diakui oleh pemerintah Moldova. Uni Eropa meyakini bahwa PMR diuntungkan dengan adanya transaksi illegal, baik senjata maupun barang-barang lainnya yang diperjualbelikan secara gelap, selama konflik berlangsung. Oleh karena itu pada tahun 2004 Uni Eropa menjalankan prosedur double check terhadap impor baja dari Moldova, yang bertujuan untuk menekan eksplorasi pertambangan di Transnistria oleh PMR. Kemudian impor baja dari wilayah tersebut tidak akan diterima oleh Uni Eropa tanpa ada persetujuan dan pengakuan dari pemerintah Moldova. Pada Maret 2005, Uni Eropa akhirnya mengirimkan perwakilan melalui mekanisme European Union Special Representatives.11 EUSR dianggap berjalan tidak efektif dan menggunakan EU Border Assistance Mission yang merupakan tanggapan atas pernyataan Rumania bahwa sebagian daerah Transnistria adalah bagian dari kedaulatan wilayah negara tersebut.12 BAB III ANALISIS Rusia dan Uni Eropa Sebagai Hegemoni Internasional. Dalam ilmu hubungan internasional setidaknya ada 4 aktor yang memiliki peranan yang signifikan di panggung politik internasional, yaitu negara, organisasi internasional, perusahaan multinasional, dan organisasi internasional non-pemerintahan. Di antara keempatnya, terdapat aktor adikuasa yang mendominasi panggung perpolitikan sementara aktor lainnya hanya bergerak mengikuti aktivitas periperal. Lantas bagaimana awalnya aktor adikuasa ini muncul? Hegemoni dan dominasi yang dimiliki adalah hasil dari sejarah perpolitikan dunia yang diwarnai peperangan dan perdamaian, yang terus berputar (long-cycle theory).13 Perubahan dalam perputaran ini dipengaruhi oleh jatuh-bangunnya aktor adikuasa, misalnya ketika satu aktor adikuasa mengalahkan aktor lainnya dan bangkit sebagai dominant power (DP), aktor yang dikalahkan akan jatuh dan menjadi lesser11 Popescu, Nicu. Centre for European Studies. Euro Journal. The EU Special Representative for Moldova. <http://eurojournal.org/more.php?id=A173_0_1_0_M> diakses pada 17 April 2012 12 Urse, Cristian. Solving Transnistria: Any Optimist Left?. The Quarterly Journal. Partnership of Peace Consortium (PfPC) of Defense Academies and Security Studies. Garmisch-Partenkirchen, Germany. Diperoleh dari < http://www.isn.ethz.ch/isn/Digital-Library/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9c-be1e-2c24a6a8c7060233&lng=en&id=57339>. Diakses pada 17 April 2012 13 Handout of Introduction to International Relations, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, 2008. power. Dengan kata lain, status adikuasa yang dimiliki aktor politik internasional adalah hasil dari struggle for power. Dalam kasus konflik di Transnistria, disebutkan keterlibatan Rusia sebagai negara adikuasa yang memiliki hegemoni. Negara adalah entitas legal yang memiliki populasi permanen, batas teritori yang jelas, dan pemerintahan yang berdaulat. Dalam prakteknya di tatanan politik internasional, sebuah negara memiliki cara masing-masing dalam berhubungan dengan negara-negara lainnya dan sistem global untuk memenuhi kepentingannya yang beragam. Ditemukan pada abad ke 12, pemerintah setempat melanjutkan kebijakan ekspansi dari Siberia menuju Pasifik di awal abad ke 17. Di bawah kepemimpinan Peter I (1682-1725), dari sini lah hegemoni bermula. Negeri ini terus meluas hingga Laut Baltik dan negeri tersebut kemudian disebut Kekaisaran Russia. Di abad ke 19, ekspansi terus dilakukan hingga menyentuh hampir seluruh Eropa dan Asia. Kekalahan Rusia sebagai hegemon pertama kali terjadi pada perang Russo-Japanese 1904-1905. Pemerintahan Kekaisaran Rusia kemudian runtuh pasca Perang Dunia I tahun 1917. Pemerintahan baru kemudian terbentuk di bawah kepemimpinan Lenin dengan sebutan Uni Soviet. Pergeseran kursi kepemimpinan di bawah Stalin (1928-1953) memperkuat pengaruh komunisme dan dominasi Rusia di Uni Soviet. Akan tetapi perekonomian Rusia mengalami stagnansi hingga akhirnya Gorbachev memberlakukan kebijakan glasnost (pembukaan dari isolasi) dan perestroika (restrukturisasi) demi modernisasi komunisme. Namun kebijakan ini justru memecah Uni Soviet menjadi Rusia dan 14 negara merdeka lainnya. Sejak itu Rusia memberlakukan sistem pemerintahan yang semi-otoriter di bawah Putin dan terus memperkuat kekuatan militer dan ekonominya hingga kini. Begitu pula dengan Uni Eropa, wakaupun tidak dikategorikan sebagai negara namun Uni Eropa telah dianggap sebagai badan supranasional yang memeiliki fungsi dan kedudukan yang sama dan setara dengan negara. Uni Eropa dikategorikan sebagai hegemoni dalam politik internasional karena memeiliki tiga elemen power yang utama yaitu militer, sipil dan normatif. Kekuatan militer Uni Eropa merupakan yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat dilihat dari jumlah personil dan persenjataan. Kekuatan militer Uni Eropa dioperasikan untuk tujuan humaniter seperti pasukan perdamaian di daerah berkonflik.Kekuatan sipil diartikan sebagai kekuatan non militer seperti ekonomi, humanisme. Beberapa fakta yang memperlihatkan Uni Eropa sebagai hegemon adalah Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi dunia dengan dua mata uang terkuat di dunia yaitu Poundsterling, Euro. Uni Eropa juga sebagai aktor internasional yang sangat fokus pada kegiatan humanitarian. Jika dilihat dari kekuatan normatif, Uni Eropa juga merupakan hegemoni dalam politik internasional. Kekuatan normatif diartikan sebagai dimensi kekuatan sebuah negara/kelompok dalam mempengaruhi, menentukan bahkan mempenetrasi sebuah nilai/ideologi yang diyakini sebagai hal yang benar diantara yang lain. Kekuatan normatif dapat menempatkan negara pada posisi sebagai pemimpin dalam lingkungan internasional dikarenakan kemampuan untuk membentuk opini publik yang secara langsung akan mempengaruhi reputasi negara tersebut pula. Dalam konteks ini Uni Eropa mengupayakan kekuatan normatifnya dengan memperjuangkan nilai-nilai environmentalist di level internasional.14 Kepentingan Rusia dan Uni Eropa Dalam Konflik Transnitria Pada dasarnya, kepentingan Rusia dalam konflik Transnistria ini dapat dikatakan masih simpang siur, salah satu teori yang timbul adalah Rusia membantu Transnistria karena faktor solidaritas mengingat sebagian dari populasi penduduk Transnistria adalah berasal dari etnis Rusia. Namun, teori lain menganggap bahwa Rusia sengaja membantu kelompok pemberontak di Transnistria agar situasi internal di Moldova tidak stabil dan Moldova tidak jadi menyatu dengan Rumania, negara yang pasca perang dingin semakin dekat dengan negara-negara barat saingan Rusia dan ingin mencegah agar tidak berorientasi kepada barat.15 Dunia internasional memandang wilayah Transnistria sebagai bagian dari Moldova, yang dahulunya merupakan bagian dari SSR Moldavia. Kekhawatiran utama Rusia mengenai penyatuan Rumania dan Moldova adalah bila kedua negara tersebut menyatu, maka negara-negara barat bisa menempatkan pangkalan militernya lebih dekat dengan perbatasan barat Rusia dan mengusik kondisi internal negara terbesar di dunia tersebut. Konflik di Transnistria sendiri terbukti berhasil menggagalkan upaya penyatuan Rumania dan Moldova. Tahun 1997, Rusia sepakat untuk mengakui klaim Moldova atas Transnistria selama negara tersebut tidak menyatu dengan Rumania. Hingga sekarang, Rusia masih menempatkan sebagian kecil pasukannya di Transnistria dengan dalih menjaga 14 Kelemen, R. Daniel, 2010, Globalizing European Union environmental policy, Journal of European Public Policy, 17:3, 335-349. p. 337 15 ‘Transnistria-Moldova Conflict: Territorial Dispute’ http://www1.american.edu/ted/ice/moldova.htm diakses pada tanggal 19 April 2012 perdamaian wilayah setempat. Dan karena negaranya yang terisolasi, Transnistria sangat menggantungkan hidupnya kepada Rusia untuk mencukupi kebutuhan pokoknya. Sedangkan kepentingan Uni Eropa dalam konflik Transnistria ini adalah tujuan Uni Eropa adalah untuk menstabilkan, mengamankan, memakmurkan, dan menciptakan iklim atau lingkungan yang demokratis.16 Dan untuk menciptakan hal tersebut, maka Uni Eropa harus membuat perjanjian Common Foreign and Security Policy yang lebih mengikat dan lebih kuat. Berkontribusi dalam resolusi konflik di dalam lingkungan Uni Eropa adalah kunci untuk mencapai tujuan-tujuan Uni Eropa. Uni Eropa telah menunjuk perwakilannya dan diharapkan dapat memonitor perkembangan dari Transnisia dan Moldova agar tidak terjadi konflik baru di antara mereka. Dan perkembangan terbaru mengatakan bahwa Rusia pun siap menarik pasukan pemelihara perdamaiannya dari wilayah Moldova yang ingin memisahkan diri itu, dan digantikan pasukan pemelihara perdamaian internasional.17 Hanya saja, pada saat ini kondisinya jelas sekali belum dipulihkan untuk dilanjutkannya konsultasi. Lebih lanjut Rusia mengatakan bahwa masalah Transnistria hanya bisa diselesaikan melalui perundingan di antara para pihak yang terlibat dalam konflik. Banyak kebijakan eksternal lainnya yang diimplementasikan oleh Uni Eropa, dengan tujuan mencapai reunifikasi Moldova serta mengamankan perbatasan UE dari berbagai ancaman instabilitas, seperti sanksi terhadap wilayah PMR, pengawasan wilayah perbatasan, hingga manajemen krisis internal Moldova.18 Perebutan Pengaruh di antara Rusia dan Uni Eropa Perebutan pengaruh dalam konflik Transnistrian terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Rusia. Jika kita penganut heartland theory, maka kita akan memandang berbagai fenomena politik internasional yang ada di daerah Eropa Timur merupakan bentuk yang mewakili upaya negara-negara untuk menguasai Eropa Timur sebagai awal untuk menguasai dunia. 16 Popescu, Nicu. The EU in Moldova-Settling Conflicts in the Neighborhood. 2005. < http://www.iss.europa.eu/uploads/media/occ60.pdf>. Diakses pada 17 April 2012 p.29 17 ‘Rusia Mendukung Perundingan’, (Online) <http://nasional.kompas.com/read/2010/07/26/03183275/>, diakses pada tanggal 19 April 2012 18 Popescu, Nicu. The EU in Moldova-Settling Conflicts in the Neighborhood. 2005. < http://www.iss.europa.eu/uploads/media/occ60.pdf>. Diakses pada 17 April 2012 p. 33 Upaya perebutan pengaruh yang pertama yang akan kita lihat adalah tindakan-tindakan Rusia. Rusia sendiri, pasca kehancuran Uni Soviet diibaratkan sebagai negara yang post-powersyndrome. Negara ini kehilangan banyak power-nya dan ingin lagi mengklaim posisi yang telah hilang itu dengan berbagai cara. Pada era 90an pula, terjadi banyak kekisruhan di sekitaran negara-negara bekas Uni Soviet, misalkan Yugoslavia dan Moldova sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh buku The Heart of War: On Power, Conflict and Obligation in the Twenty-first Century.19 Dalam buku itu ditunjukkan bahwa upaya Rusia terkait dalam mengembalikan power-nya. Saat itu, Rusia memberikan dukungan pada Serbia dan menganggap bahwa Serbia lah yang benar dengan menyerang ke Kroasia, Bosnia, dan Kosovo karena ketiga negara itu ingin keluar dari Yugoslavia, untuk kasus Kosovo dari Serbia. Merujuk dari itu, tindakan Rusia di kasus Tranistria ini tidak akan jauh dari upaya Rusia untuk mengklaim lagi power-nya di dunia internasional. Pertama, tindakan militeristiknya. Militer angkatan ke-empatbelas Soviet yang ditempatkan di Moldova dipakai oleh Rusia sebagai bantuan bagi pemberontak Tranistria dalam melawan pihak Moldova pada awal konflik, tepatnya di tahun 1992. Salah satu serangan militer Rusia adalah perebutan kota Tighina pada bulan Juni agar dapat dipakai lagi dan ditempati lagi oleh pemberontak Tranistria. Selain upaya militer, Rusia juga memakai cara diplomatis. Diplomasi pertama dimulai dari April 1992, tidak hanya dengan Moldova melainkan dengan beberapa pihak ketiga yaitu Ukraina, Romania dan OSCE.20 Rusia memunculkan Kozak’s Memorandum, sebuah perjanjian antara Rusia dan Moldova terkait masalah Tranistria ini. Isi pokok dari perjanjian ini adalah soal perubahan struktur negara Moldova menjadi federasi dengan satu bagian khusus bernama Transitria, yang berbeda dengan sub-unit dari Moldova lainnya yang “bernama” negara bagian – yang tidak secara langsung menunjukkan identitas daerahnya. Dan ketika upaya dengan Kozak’s Memorandum gagal, Rusia menyalahkan pihak Moldova. Rusia berupaya mendiskreditkan pihak Moldova atas kegagalan mereka untuk melaksanakan apa yang ada di perjanjian itu sehingga konflik itu tidak kunjung selesai. Dalam berbagai proses yang ada, Rusia sendiri nampak kurang ingin menyelesaikan kasus ini. Mengapa? Rusia lebih diuntungkan dengan status-quo, kondisi yang menggantung, karena Rusia terlihat aktif dan berpengaruh. Namun, di satu sisi, kedekatan Rusia dengan 19 Prins, Gwin. The Heart of War: On Power, Conflict and Obligation in the Twenty-first Century. 2002. Routledge. Dalam hal ini, pihak pertama adalah pemerintah Moldova. Sementara pihak kedua adalah pemberontak Tranistrian. Rusia dan negara-negara lainnya adalah pihak ketiga. 20 Transnistria ini dapat diduga dikarenakan kesamaan etnis dari penduduk Tranistria yang juga berbahasa Rusia dan memakai huruf Cyrillic. Jika disimpulkan, kebijkan Rusia terkait Tranistria ini lebih ke arah tidak ingin kehilangan pengaruhnya di negara-negara Eropa Timur yang dulu menjadi perpanjangan tangan dan menjadi “pendukung” bagi Soviet atau Rusia. Dalam mencari pendukung inilah, Rusia datang dan membela salah satu pihak yang berkonflik. Dalam kasus Yugoslavia, Rusia lebih cenderung berpihak pada Serbia walaupun pada akhirnya dalam sidang DK PBB terkait Kosovo, Rusia tidak tegas menolak resolusi atas intervensi NATO ke Kosovo hanya dengan abstain dalam pengambilan suara tentang Kosovo. Dalam kasus Tranistria, tidak ada resolusi PBB yang mendukung adanya intervensi asing, bahkan DK PBB tidak banyak bertindak dengan eksistensi pasukan ke-empat belas dari Rusia di wilayah Transitria. Dalam kasus ini, Rusia seakan tidak ingin kecolongan seperti kasus Kosovo dengan memperpanjang kasus dan tidak segera mengakhiri. Rusia tetap ingin memiliki pendukung dan bermain dengan rezim di Moldova terkait seberapa “dekat” mereka dengan Rusia dan juga dengan pemberontak Transitria yang secara jelas dahulu mendukung Rusia dan kesatuan Uni Soviet dengan mendukung kudeta pada Gorbachev, walaupun kudeta itu gagal. Pengaruh selanjutnya adalah pengaruh dari Uni Eropa. Uni Eropa di sini bergerak lebih karena kepentingan mereka untuk mengamankan perbatasan Uni-Eropa. Kepentingan itu dahulu mendasari kebijakan intervensionis mereka terhadap Yugoslavia dengan pertimbangan bahwa ada kemungkinan jika kekacauan seperti ini akan mengganggu performa Uni Eropa dan mengganggu keamanan serta kestabilan Uni Eropa secara keseluruhan. Jika kita lihat, upaya Uni Eropa baru lebih nampak jelas pasca 2002, pasca keanggotaan Romania semakin di depan mata. Romania merupakan negara yang berbatasan dengan Moldova, tepatnya berada di barat dan selatan dari Moldova. Ditakutkan akan ada spillover dari konflik di Tranistria hingga ke Romania. Dan ketika masalah itu mencapai Romania, maka complex interdependence yang dibentuk Uni Eropa mengharuskan mereka untuk masuk dan ikut menyelesaikan atau malah benar-benar memotong hubungan interdependensi dengan Romania sebagai upaya containment terhadap masalah. Jika kita lihat, upaya Uni Eropa lebih ke arah upaya yang lebih damai, Uni Eropa tidak memakai cara militeristik di Tranistria. Cara-cara yang dipakai adalah diplomasi seperti yang terjadi dengan pengiriman orang dari OSCE, sanksi ekonomi bagi Tranistria dengan cara mengharuskan mereka untuk memberikan cap-Moldova atas produk baja mereka jika ingin diekspor ke negara Uni Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga mencoba menarik hati Moldova dengan mengajak Moldova ikut dalam ENP Action Plan for Increased Cooperation pada 2005. Action Plan ini secara garis besar berisi tentang perencanaan kerjasama ekonomi dan politik antara Uni Eropa dengan Moldova, yang pada dasarnya juga merupakan upaya Uni Eropa menarik Moldova ke dekat Uni Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga memberlakukan travel-ban bagi para pemimpin Tranistria yang akan ke negara Uni Eropa dengan harapan mampu memberikan tekanan bagi pemerintahan de-facto dari Tranistria. Kesimpulan dari kasus Uni Eropa dan Tranistria lebih condong pada upaya Uni Eropa untuk mengamankan perbatasan Uni Eropa yang semakin dekat dengan Eropa Timur dengan perkembangan dari Enlargement of European Union. Jika dikaitkan dengan Uni Eropa dan Rusia sebagai kekuatan hegemonik di Eropa Timur, Uni Eropa sendiri nampaknya tidak terlalu banyak bersitegang dengan Rusia. Uni Eropa hanya nampak mencoba menaikkan posisi tawar mereka terkait dengan ketergantungan energi di beberapa negara Uni Eropa terhadap Rusia. Yang dilakukan oleh Uni Eropa terkait persaingan dengan Rusia lebih ke arah balancing the scale antara Uni Eropa dan Rusia. BAB IV KESIMPULAN Dari uraian analisis keterlibatan Rusia dan Uni Eropa dalam konflik Transnistria terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Keberadaan Rusia dalam konflik separatisme di Moldova dapat dikategorikan sebagai post power syndrome yaitu hasrat untuk terus mengembangankan pengaruh kepada aktoraktor yang pernah berada di bawah kendali Rusia, yang secara teknis dulu merupakan Uni Soviet, walaupun saat ini secara de facto wilayah Transnistria bukanlah bagian dari Rusia. Selain itu ikatan diantara Rusia dan wilayah Transnistria juga diciptakan dari fakta bahwa hampir sebagian komposisi penduduk di wilayah tersebut berasal dari etnis Rusia sehingga pembenaran atas keterlibatan Rusia di wilayah tersebut juga semakin kuat. (2) Kepentingan Uni Eropa lebih kepada menjaga perdamaian dan stabilitas regional di wilayah timur. Kepentingan ini lebih dilandaskan pada komitmen Uni Eropa sebagai badan supranasional yang sangat peduli pada aksi-aksi kemanusiaan di level internasional. Hal ini sesuai dengan elemen kekuatan normatif Uni Eropa dalam hal nilainilai kemanusiaan. (3) Tidak terdapat perebutan kekuasaan yang dimanifestasikan melalui proxy war maupun clash of interest dalam konteks konflik Transnistria di Moldova. Hal ini dikarenakan keterlibatan salah satu aktor tidak didasarkan untuk menyaingi keberadaan dan pengaruh aktor yang lain. Sangat jelas bahwa walaupun Rusia memiliki kepentingan di wilayah Transnistria, namun kepentingan Rusia tidak ditujukan untuk menyaingi keberadaan Uni Eropa dan sebaliknya.