Mempererat Hubungan RI-Rusia Kps: 05-09-07 N Jenny Hardjatno Hubungan diplomatik Indonesia-Rusia telah berlangsung selama 57 tahun walaupun mengalami pasang surut. Awal hubungan ditandai oleh kedatangan Menteri Luar Negeri Uni Soviet A Vysshinky untuk menyampaikan keputusan pengakuan Uni Soviet kepada RI. Presiden Soekarno pun melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet (1955). Disusul nota kesepahaman di bidang perdagangan dan teknik (1959), realisasi pembangunan fakultas teknik di Ambon, dan Stadion Senayan oleh Pemerintah Uni Soviet. Tahun 1960 Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschov berkunjung ke Indonesia. Intensitas hubungan meningkat tahun 1961, dengan ditandatanganinya kontrak bantuan Uni Soviet untuk membangun dua reaktor nuklir di Indonesia, dan pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Namun, sejak meletusnya pemberontakan G30S tahun 1965, hubungan kedua negara mulai mendingin karena Uni Soviet dianggap mendukung pemberontakan itu. Hubungan Indonesia-Rusia mulai membaik lagi sejak kunjungan resmi Presiden Soeharto (1989) dengan kesepakatan bersama "untuk tidak merugikan kepentingan negara lain mana pun serta tidak memengaruhi kewajiban bilateral, regional, maupun multilateral". Pada masa kepemimpinan Gus Dur dibuat kebijakan, warga negara Indonesia yang sudah lama menetap di Rusia boleh datang ke Indonesia, kemudian dibuat kerja sama dalam bidang logistik, peralatan pertahanan, dan bantuan teknis militer. Selanjutnya dibuat persetujuan kerja sama dalam bidang kebudayaan (1998), persetujuan ekonomi, teknik, dan perdagangan (1999). Selama kepemimpinan Presiden Megawati, hubungan Indonesia-Rusia semakin meningkat. Tahun 2000 dilakukan kerja sama dalam bidang pendidikan, kebudayaan, perdagangan, dan teknologi yang direalisasikan dalam pembelian pesawat terbang Sukhoi dan helikopter. Kerja sama ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan nota kesepahaman (2006) dan sebagai komitmen atas nota yang telah dibuat tersebut Rusia memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar 1 miliar dollar AS dengan jangka waktu kredit selama 15 tahun untuk pengadaan persenjataan Indonesia selama tahun 2007-2010. Sporadis dan lamban Tabir hubungan RI-Rusia sudah mulai dibuka, tetapi reali- sasinya masih kelihatan sporadis, lamban, dan terbatas pada pembelian persenjataan dan peralatan militer dibandingkan kerja sama dengan negara-negara lain. Jadi belum meluas. Mengapa? Hal itu disebabkan oleh rendahnya kreativitas dan kegesitan untuk memanfaatkan peluang yang telah dibuka. Dari pihak masyarakat Indonesia masih terdapat (1) kendala ideologis yang tidak mudah dihapus bahwa Rusia identik dengan negara komunis. Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi karena Rusia sudah berubah menjadi negara demokratis. (2) Minimnya orang yang tahu berbahasa Rusia dan mempunyai pengetahuan tentang Rusia. (3) Di lingkungan swasta tidak ada tradisi mengenai bentuk- bentuk kerja sama dengan Rusia karena sistem komunis Uni Soviet tidak memberikan peluang pada peranan swasta. Padahal, Rusia melalui sistem ekonomi pasar mulai membuka diri terhadap pihak luar. Hal inilah yang harus disadari oleh masyarakat kita. Untuk menerobos dan mengatasi kendala-kendala tersebut perlu diadakan pendekatan budaya yang mampu memberikan pemahaman tentang kultur Rusia yang begitu kaya dan kuat secara komprehensif, tepat, dan benar. Melalui cara dan pendekatan tersebut, dapat diperoleh gambaran tentang ciri dan watak bangsa Rusia, mentalitas, dan cara berpikirnya. Selain itu, pendekatan budaya ini mampu membangkitkan apresiasi terhadap prestasi bangsa Rusia. Secara politis, kita mengalami kemiripan dengan Rusia, yaitu tuntutan reformasi. Untuk itu, kita dapat belajar dari pengalaman bangsa Rusia. Reformasi menuntut adanya perubahan sistem dan penyelenggaraan kehidupan bangsa. Perubahan secara menyeluruh di Rusia diawali dengan konsep glasnos, perestroika, dan demokratiya, yang diteruskan oleh para penerusnya secara konsekuen dan konsisten. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh manakah kita serius dalam menjalankan tuntutan reformasi dalam memperbaiki sistem kehidupan bangsa dan negara kita sendiri? N Jenny Hardjatno Guru Besar dalam Bidang Rusia di Universitas Indonesia