BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Makanan berbasis gandum atau tepung terigu telah menjadi makanan pokok banyak negara. Ketersediaannya yang melimpah di pasaran dunia, proteinnya yang tinggi, harganya yang relatif tidak mahal dan pengolahannya yang praktis mudah telah menjadikan makanan berbasis tepung terigu merambah cepat ke berbagai negara. Negara-negara pengekspor gandum juga cukup banyak antara lain, Australia, Kanada, Amerika, Rusia, Cina, dan masih banyak lagi. (Anonimb, 2011). Di dalam tepung terigu terdapat Gluten , yang secara khas membedakan tepung terigu dengan tepung tepung lainnya. Gluten adalah suatu senyawa pada tepung terigu yang bersifat kenyal dan elastis, yang diperlukan dalam pembuatan roti agar dapat mengembang dengan baik, yang dapat menentukan kekenyalan mie serta berperan dalam pembuatan kulit martabak telur supaya tidak mudah robek. 2.1.1 Klasifikasi Gandum Secara umum gandum diklasifikasikan menjadi hard wheat, shoft wheat dan drum wheat. 1. T. aestivum ( hard wheat ) Spesis ini adalah gandum yang paling banyak ditanam didunia dan banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan roti karena mempunyai kadar protein yang tinggi. Gandum ini mempunyai ciri-ciri kulit luar berwarna coklat, bijinya keras dan berdaya serap tinggi. Setiap bulir terdiri dari dua sampai lima bulir gabah. 2. T. Compactum ( shoft wheat ) Merupakan spesis yang berbeda dan hanya sedikit ditanam. Setiap bulirnya terdiri dari 3-5 buah, berwarna putih sampai merah, bijinya lunak berdaya serap air rendah dan berkadar protein rendah. Jenis gandum ini biasanya digunakan untuk membuat biscuit dan kadang – kadang membuat roti. 3. T. Drum ( drum wheat ) Merupakan gandum yang khusus. Ciri dari gandum ini ialah bagian dalam (endosferma) yang berwarna kuning, bukan putih, seperti jenis gandum pada umumnya dan memiliki biji yang lebih keras, serta memiliki kulit yang berwarna coklat. Gandum jenis ini digunakan produk-produk pasta seperti macaroni, spageti dan produk pasta lainya.(Anonimc, 2012) Umumnya kandungan gluten menentukan kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten, semakin tinggi kadar protein tepung terigu tersebut. Kadar gluten pada tepung terigu, yang menentukan kualitas pembuatan suatu makanan, sangat tergantung dari jenis gandumnya.(Anonima, 2011) 2.1.2 Kandungan protein penggolongan tepung terigu berdasarkan kandungan proteinnya. Biasanya jenis yang tersedia di pasar memiliki kandungan protein berkisar antara 8% - 9%, 10.5% - 11.5 % dan 12 % - 14 %.(Anonima,, 2011). 2.1.3 Jenis – jenis tepung terigu 1. Tepung berprotein tinggi (bread flour): tepung terigu yang mengandung kadar protein tinggi, antara 11%-13%, digunakan sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, donat. Dipasaran lebih dikenal dengan terigu Cakra Kembar. 2. Tepung berprotein sedang/serbaguna (all purpose flour): tepung terigu yang mengandung kadar protein sedang, sekitar 9%-10%, digunakan sebagai bahan pembuat kue cake. di pasaran lebih dikenal dengan sebutan tepung Segitiga Biru. 3. Tepung berprotein rendah (low protein flour): tepung terigu yang mengandung kadar protein rendah, sekitar 8 – 9 %, digunakan untuk kue kering. Dikenal dengan tepung terigu kunci biru.(Anonim, 2008) 2.1.4 Penggolongan Tepung Terigu Tepung terigu berdasarkan kandungan protein digolongkan pada tiga (3) macam yaitu: a. Hard flour (terigu protein tinggi) Tepung terigu yang mempunyai kadar gluten antara 12% – 13%.Tepung ini diperoleh dari gandum keras (hard wheat). Tingginya kadar protein menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik ini menjadikan tepung terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan baku roti, mie dan pasta karena sifatnya elastis dan mudah difermentasikan. Kandungan glutennya yang tinggi akan membentuk jaringan elastis selama proses pengadukan.(Anonima, 2012). Pada tahap fermentasi gas yang terbentuk oleh ragi akantertahan oleh jaringan gluten, hasilnya adonanrotiakanmengembangbesar dan empuk teksturnya. Tepung hard flour ini mempunyai sifat-sifat : 1)Mampu menyerap air dalam jumlah yang relative tinggi dan drajat pengembangan yang tinggi. 2) Memerlukan waktu pengadukan yang lama 3) Memerlukan hanya sedikit ragi. b. Medium flour (terigu protein sedang) Jenis terigu medium wheat mengandung 10%-11%. Sebagian orang mengenalnya dengan sebutan all-purpose flour atau tepung serbaguna. Dibuat dari campuran tepung terigu hard wheat dan soft wheat sehingga karakteristiknya diantara kedua jenis tepung tersebut. Tepung ini cocok untuk membuat adonan fermentasi dengan tingkat pengembangan sedang, seperti donat, bakpau, wafel, panada atau aneka cakedan muffin.(Anonimb, 2012). c. Soft Flour ( terigu protein rendah ). Tepung ini dibuat dari gandum lunak dengan kandungan protein gluten 8%9%. Sifatnya, memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya rendah serta penggunaan ragi yang banyak. Cocok untuk membuat kue kering (cookies/biscuit), pastel dan kue-kue yang tidak memerlukan proses fermentasi. Jenis tepung lunak memiliki persentase gluten yang rendah, adonan kurang elastis dan tidak baik menahan gas. Tetapi tepung lunak ini memerlukan energi yang lebih kecil dalam pencampuran dan pengocokan adonan dibandingkan dengan jenis tepung keras.(Anonima, 2012) 2.1.5 Syarat Mutu Tepung Terigu Untuk Bahan Makanan SNI 01-3751-1995 Produk Parameter Tepung terigu untuk Organoleptik bahan makanan Benda-benda asing SNI 01-3751-1995 Serangga (dalam bentuk setadia dan potongan) Jenis pati lain Kehalusan(lolos ayakan 145 mesh) Air Abu Protein : Jenis A Jenis B Jenis C Serat kasar Keasaman(di hitung sbg as.laktat). BTM(bahan pemutih) Cemaran logam : Pb Cu Zn Hg Cemaran arsen (Anonim,1995) Syarat mutu Normal tidak boleh ada tidak boleh ada tidak boleh ada min 95% max 14% max 0,6% min 12% 10 – 11 % 8–9% Max 0,4% Max 0,4% Sesuai SNI 010222-1987 Max 1 mg/kg Max 10mg/kg Max 10mg/kg Max 0,05 mg/kg Max 0,5mg/kg 2.2 Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dn pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992). Protein merupakan suatu polipeptida dengan BM yang sangat bervariasi dari 5000 sampai lebih dari satu juta karena molekul protein yang besar, protein sangat mudah mengalami perubahan fisis dan aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah dari protein seperti panas, asam, basa, solven organik, garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif (Sudarmadji, 1996). Struktur asam amino digambarkan sebagai berikut: H H2N C COOH R (Lehninger, 1995). Apabila asam amino larut dalam air, gugus karboksilat akan melepaskan ion H+, sedangkan gugus amina akan menerima ion H+, seperti reaksi berikut: - COOH ↔ -COO + H⁺ - NH₂ + H ⁺ ↔ - NH ₃⁺ ( Poedjiadi, 1994 ) Oleh adanya kedua gugus tersebut asam amino dalam larutan dapat membentuk ion yang bermuatan positif dan juga bermuatan negatif atau disebut juga ion amfoter (zwitterion). Keadaan ion ini sangat tergantung pada pH larutan. Apabila asam amino dalam air ditambah dengan basa, maka asam amino akan terdapat dalam bentuk (I) karena konsentrasi ion OH- yang tinggi mampu mengikat ion-ion H+ pada gugus –NH3+. Sebaliknya bila ditambahkan asam ke dalam larutan asam amino, maka konsentrasi ion H+ yang tinggi mampu berikatan dengan ion –COO- sehingga terbentuk gugus –COOH sehingga asam amino akan terdapat dalam bentuk (II) (Poedjiadi, 1994). H₂ N ― CH ― COO ⁺H₃N ― CH ― COOH │ │ R R Dal am basa ( 1) Dalam asam (11) ⁺H₃N ― CH ― COO │ R Ion amfoter ( Zwitterion ) ( Poedjiadi, 1994 ) Dalam suatu sistem elektroforesis yang memiliki elektroda positif dan negatif, asam amino akan bergerak menuju elektroda yang berlawanan dengan muatan asam amino yang terdapat dalam larutan. Apabila ion asam amino tidak bergerak ke arah negatif maupun positif dalam suatu sistem elektroforesis maka pH pada saat itu disebut pH isolistrik. Pada pH tersebut terdapat keseimbangan antara bentuk-bentuk asam amino sebagai ion amfoter, anion dan kation. ( Poedjiadi, 1994). Gugus karboksil pada asam amino dapat dilepas dengan proses dekarboksilasi dan menghasilkan suatu amina. Gugus amino pada asam amino dapat bereaksi dengan asam nitrit dan melepaskan gas nitrogen yang dapat diukur volumenya. Van Slyke menggunakan reaksi ini untuk menentukan gugus amino bebas pada asam amino, peptida maupun protein. ( Poedjiadi, 1994). Pada dasarnya suatu peptida adalah asil-asam amino, karena gugus – COOH dan –NH2 membentuk ikatan peptida. Peptida didapatkan dari hidrolisis protein yang tidak sempurna. Apabila peptida yang dihasilkan dihidrolisis lebih lanjut akan dihasilkan asam-asam amino. ( Poedjiadi, 1994). Pada umumnya kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Salah satu parameter nilai gizi protein adalah daya cernanya yang didefinisikan sebagai efektivitas absorbsi protein oleh tubuh (Del Valle, 1981). Berdasarkan kandungan asam-asan amino esensialnya, bahan pangan dapat dinilai apakah bergizi tinggi atau tidak. Bahan pangan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam amino esensial yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Peneraan jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. N total bahan diukur dengan menggunakan metode mikro-Kjeldahl. Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen dalam bentuk ammonia yaitu penentuan protein berdasarkan jumlah N. Dalam penentuan protein seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi teknik ini sulit sekali dilakukan mengingat kandungan senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga terikut dalam analisis ini. Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat kecil yang meliputi urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini biasa disebut sebagai protein kadar/crude protein (Sudarmadji, 1996). Analisa protein cara kjeldahl pada dasarnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi. Penentuan Kadar Protein Total 3.3 Metode Analisis Protein (Metode Kjeldahl) Metode Kjeldahl dikembangkan pada tahun 1883 oleh pembuat bir bernama Johann Kjeldahl. Makanan didigesti dengan asam kuat sehingga melepaskan nitrogen yang dapat ditentukan kadarnya dengan teknik titrasi yang sesuai. Jumlah protein yang ada kemudian dihitung dari kadar nitrogen dalam sampel. Prinsip dasar yang sama masih digunakan hingga sekarang, walaupun dengan modifikasi untuk mempercepat proses dan mencapai pengukuran yang lebih akurat. Metode ini masih merupakan metode standart untuk penentuan kadar protein. Karena metode Kjeldahl tidak menghitung kadar protein secara langsung, diperlukan faktor konversi (F) untuk menghitung kadar protein total dan kadar nitrogen. Faktor konversi 6,25 (setara dengan 0,16 g nitrogen per gram protein) digunakan untuk banyak jenis makanan, namun angka ini hanya nilai rata-rata, tiap protein mempunyai factor konversi yang berbeda tergantung komposisi asam aminonya. Metode Kjeldahl terdiri dari tiga langkah : digesti, netralisasi dan titrasi 1. Tahap Destruksi Pada tahapan ini sampel dipananaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsure-unsurnya. Elemen karbon , hydrogen teroksida menjadi CO, CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikan titik didih juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah atau sebaliknya. Selama destruksi, akan terjadi reaksi sebagai berikut : HgO + H2SO4 HgSO4 + H2O 2 HgSO4 Hg2SO4 + SO2 + 2 On Hg2SO4 + 2 H2SO4 2 HgSO4 + 2 H2O + SO2 (CHON) + On + H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4 (Sudarmadji, 1996) 2. Tahap Destilasi Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dipanaskan. Agar supaya selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh asam klorida atau asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya kontak antara asam dan ammnia lebih baik maka diusahakan ujung tabung detilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indicator misalnya BCG+MR atau PP. Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan asam borat akan berubah membiru karena larutan menangkap adanya ammonia dalam bahan yang bersifat basa sehingga mengubah warna merah muda menjadi biru. Reaksi yang terjadi : (NH4)SO4 + NaOH 2NH4OH 4NH3 + 2H3BO3 Na2SO4 + 2 NH4OH 2NH3 + 2H2O 2(NH4)2BO3 +H2 3. Tahap Titarsi Apabila penampung destilasi digunakan asam khlorida maka sisa asam khlorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indicator PP. % N= × N. NaOH × 14,008 × 100% Apabila penampung detilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengam titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indicator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. % N= × N.HCl × 14,008 × 100%. Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu factor. Besarnya factor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan. Rumus Perhitungan protein Kadar protein = ( ) X 100% Dimana : w = bobot cuplikan ( berat bersih sampel ) V1 = volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran contoh V2 = volume HCl yang di pergunakan penitaran blanko( hanya sebagai standar). N = normalitas ( konsentrasi HCl dengan titrasi ) Fk= factor konversi untuk protein dan makanan secara umum : 6,25 ( rata-rata kandungan protein pada bahan )