KERAGAMAN LINGUISTIK I. PENDAHULUAN Para ahli bahasa selalu peduli dengan keragaman bahasa, meski pendekatan secara teoritis dan minat penelitian mereka berbeda satu dengan yang lain (Duranti, 2000:51). Noam Chomsky dan pengikutnya mendedikasikan kehidupan profesional mereka untuk menjelaskan perbedaan sintaksis,morfologi, dan fonologi antara bahasa-bahasa melalui prinsip-prinsip umum tertentu, yang dikenal dengan tata bahasa generatif transformasi. Mereka mengembangkan teori universal grammar , seperangkat aturan main yang mendeskripsikan tata bahasa dalam bahasa apapun dan dapat digunakan untuk menghipotesiskan starategi bawaan yang memungkinkan anak-anak mengakuisisi bahasa manusia apapun. Strategi penelitian mereka mengasumsikan homogenitas daripada keragaman bahasa. Strategi mereka dikritik oleh para ahli sosiologi yang menganggap ada sejumlah perbedaan pada masyarakat tutur, utamanya dalam terma bagaimana orang melafalkan kata-kata, mengonstruk dan menginterpretasi ujaran, serta memproduksi unit-unit wacana yang lebih kompleks dalam konteks sosial. Para ahli sosiolinguistik menekankan penelitian mereka pada sejumlah pokok masalah yang umumnya diabaikan oleh ahli tata bahasa formal, seperti misalnya tujuan mendefinisikan batasan masyarakat tutur dan tipe pengetahuan yang perlu dimiliki oleh anggota masyarakat tutur yang kompeten. Para ahli linguistik antropologi peduli dengan pokok masalah yang sama, namun mereka dihadapkan pada pertanyaan kompleks atas hubungan antara bahasa dan pemikiran atau apa yang telah dikenal sebagai “hipotesis relativitas linguistik”. Bahasa menurut linguis kognitif, Langacker dalam Sharifian dan Palmer, adalah sebuah komponen dan instrumen dasar budaya yang refleksinya dalam struktur linguistik cukup signifikan dan mudah menyebar (2007:1). Keberadaan bahasa sebagai komponen dan instrumen dasar budaya membuat keragamannya kembali dituangkan menjadi salah satu dimensi “ideologi bahasa”. Bab ini akan mendiskusikan keragaman bahasa melalui tradisi yang beragam. I.1. Bahasa dalam budaya: tradisi Boas Di Amerika Serikat, antropologi dikonseptualisasikan dan dipraktikkan sebagai disiplin ilmu holistik yang mempelajari secara fisik (kini biologi), linguistik (dulu merujuk pada filologi/naskah-naskah kuno), budaya, serta catatancatatan populasi manusia secara arkeologi. Sebaliknya di Eropa, ahli etnologi memiliki departemen tersendiri, terpisah dari ahli arkeologi, paleontologi, dan filologi (inkarnasi awal dari ahli bahasa). Di Amerika Serikat, mahasiswa antropologi dituntut memiliki beberapa pengetahuan dalam empat bidang kajian antropologi, sebagai penunjang, disamping mereka harus mempunyai pengetahuan mendalam tentang bidang spesialisasi mereka. Pelopor di Amerika Serikat yang merintis teori serta praktik pandangan holistik antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Ia adalah peletak dasar antropologi Amerika. Awalnya Boas, kelahiran Jerman, tertarik meneliti bahasa suku Eskimo dan Indian Kwakiutl yang eksotis di pesisir timur laut AS. Postulat pentingnya adalah seseorang tak akan benar-benar memahami budaya orang lain tanpa memiliki akses langsung pada bahasanya (Duranti,2000:52). Pendeknya, tanpa memahami bahasa, orang tak akan mampu memahami budaya orang lain. Ia menyatakan, ada koneksi intim antara budaya dan bahasa. Boas menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki deskripsi yang khas karena setiap bahasa memiliki struktur yang unik (Kadarisman, 2009:35). Ketertarikan Boas pada bahasa-bahasa suku Indian disebarkan pada muridnya, yakni Edward Sapir. Sapir melanjutkan penelitian tersebut hingga member kontribusi penting tidak saja bagi linguistik Indian Amerika tetapi juga studi bahasa secara umum. Pernyataan Boas yang menjadi tesis dasar bagi penelitian antropologi budaya Amerika adalah pandangan bahwa perlunya bahasa bagi pikiran manusia, dalam hal ini budaya manusia. Penulisan deskripsi upacara-upacara penduduk pribumi dan aspek-aspek lain budaya tradisional adalah bagian sekaligus bingkisan “peninggalan antropologi” yang dipraktikkan oleh Boas. Seperti ahli antropologi pada masanya, Boas peduli dengan kehilangan yang cepat atau perubahan dramatis atas budaya serta bahasa penduduk asli AS. Ia ingin mempertahankan budaya serta bahasa tersebut melalui pendokumentasian agar masih ada orang-orang yang berbicara bahasa Indian dengan fasih dan dapat mendeskripsikan budaya mereka sendiri. Sisi positif dari penelitian ini adalah realisasi atas banyaknya ide tentang “bahasa-bahasa primitif” yang ditemukan dalam sastra, yang secara empiris tak terdengar sebelumnya. Termasuk dalam bahasa Indian Amerika, bunyi-bunyi bahasa dilafalkan tak seakurat sebagaimana dalam bahasa-bahasa Eropa. Boas menunjukkan keterbatasan peneliti yang kesulitan mengenali bunyi-bunyi yang tidak umum dalam bahasa-bahasa Eropa. Konsekuensinya, karena berkonsentrasi pada naratif tentang masa lampau, metode yang digunakan oleh Boas memunculkan etnografis yang secara empiris dapat dipertanyakan. Ahli etnografi berkonsentrasi pada pengumpulan kembali adat istiadat masa lalu yang diperoleh informan dan mengabaikan seabad atau lebih kontak dengan orang Eropa, bahkan ketika kontak tersebut memiliki konsekuensi langsung pada kehidupan orangorang yang mereka teliti. Terlebih lagi, teks tersebut seringkali dihasilkan oleh satu “informan kunci” dan tidak dicek melalui sumber-sumber atau versi lain. Meski terbatas, metode Boas menjadi petunjuk penting atas linguistik antropologi. Apalagi juga bersikukuh mempublikasikan sejumlah upacara penduduk pribumi satu demi satu dan aspek-aspek lain dari warisan budaya. Publikasi teks yang digunakan ahli etnografi dalam memformulasikan catatan mereka, memungkinkan pembaca mempunyai akses kepada beberapa sumber. Pembaca seakan dapat melihat dengan mata mereka sendiri apa yang didikusikan dalam teks tersebut. Ketika menuliskan teks asli dan menerjemahkannya, Boas terpesona dengan cara-cara yang berbeda dari bahasa tersebut dalam mengklasifikasikan pengalaman dan dunia manusia. Ia menggunakan penelitian ini sebagai argumen atas relativitas kultural. Relativitas kultural adalah pandangan dimana masing-masing budaya harus dipahami dalam termanya sendiri daripada diukur melalui rencana tapak secara moral maupun intelektual, yang oleh orangorang Eropa dianggap lebih tinggi. Boas menggunakan pengetahuan bahasa-bahasa Indian Amerika untuk menunjukkan bahwa cara bahasa mengklasifikasi dunia adalah arbitrer. Masingmasing bahasa mempunyai caranya sendiri membangun kosa kata yang membagi dunia dan membuat kategori pengalaman. Apa yang dalam bahasa Inggris mungkin direpresentasikan oleh kata-kata yang berbeda (air, danau, sungai, sungai kecil, hujan, dan lain-lain), dalam bahasa lain mungkin diekspresikan oleh kata yang sama atau berasal dari terma yang sama. Cermati contoh kata water dan salju dalam bahasa Eskimo. I.1.2. Pandangan Sapir dan Whorf Edward Sapir (1884-1939) adalah sarjana terdepan dalam linguistik antropologi. Ia melanjutkan serta memperluas kajian Boas dalam bidang bahasa dengan memberi perhatian lebih pada struktur linguistik. Selanjutnya, ia menekankan pada cara dimana tiap bahasa merupakan sistem sempurna dan lengkap yang harus dipahami melalui terma mereka masing-masing. Sapir melihat bahasa sebagai prasyarat bagi pengembangan budaya dan melanjutkan tradisi Boas terhadap kritik tajam atas usaha mengklasifikasikan bahasa-bahasa tertentu sebagai ‘bahasa primitif’ atau lebih ‘terbatas’ dibandingkan bahasa-bahasa lainnya. Sapir menganggap bahwa bahasa adalah sarana paling sempurna atas komunikasi dan ekspresi diantara orang-orang yang saling mengenal (Duranti, 2000: 56). Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah salah satu murid Sapir ternama yang juga mempunyai minat dan ketertarikan besar terhadap bahasa. Kontribusi besar Whorf pada teori linguistik adalah fokusnya terhadap hubungan antara bahasa dan pandangan dunia (Duranti, 2000:58). Ia percaya bahwa struktur tiap bahasa mengandung teori struktur alam semesta, yang ia sebut sebagai ‘metafisika’. Pandangannya berangkat dari pemikiran bahwa masing-masing struktur bahasa menjadi amat jelas ketika seseorang menyelidiki bahasa dan budaya yang berbeda dari yang dimiliki oleh sang peneliti. Pendeknya, tiap bahasa menentukan corak budaya, jalan pikiran serta tindak lakunya penuturnya. Whorf menggunakan terma konfigurasi yang dapat menyingkap tak hanya kategori terbuka (overt/phenotypes) tapi juga kategori tertutup (covert/cryptotypes). Misalnya jamak untuk kata benda dalam bahasa Inggris adalah kategori terbuka karena ditandai oleh akhiran s/es atau oleh fitur-fitur frasa atau kalimat yang ada bersama mereka (bentuk kata kerja, penggunaan artikel). Misalnya fish-fishes, star-stars. Sementara verba intransitif dan transitif dalam bahasa Inggris merupakan kategori tertutup karena mereka tak mempunyai penanda imbuhan tertentu. Misalnya, go to, sit down dan cook, see. Kategori tertutup penting untuk diketahui karena dua alasan. Pertama, kategori tertutup menunjukkan bahwa bahasa membuat distingsi bukan hanya dalam terma apa yang (kelihatannya) dapat atau tidak dapat dilakukan oleh sebuah kata. Pandangan ini juga dikembangkan Noam Chomsky sebagai deep structure, yakni tingkatan kategorisasi linguistik yang tidak secara langsung terlihat atau terdengar, namun penting untuk menjelaskan mengapa bahasa bertindak dengan cara tertentu. Kedua, kategori tertutup diartikan bahwa bahasa terlihat agak sederhana pada tataran superfisial (misalnya bahasa yang tak memiliki kategori gender terbuka atau distingsi angka) bisa jadi dianggap lebih kompleks, atau lebih abstraknya, tingkatan tertutup. Perbedaan bahasa dalam hipotesis Sapir-Whorf menyebabkan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab akan melihat realitas secara berbeda dengan orang Jepang, misalnya (Chaer, 2004:167). Itulah sebabnya orang Inggris dan Filipina meski sama-sama mengenal warna, tetapi memiliki pandangan berbeda dalam menyebutkan warna. Bagi orang Filipina hanya ada empat kelompok warna, yaitu mabiru (warna biru dan gelap), melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah) dan malatuy (kuning , hijau muda, dan coklat muda). Peta atas realitas, menurut Whorf didasarkan bahasa yang dipakai, bukan sebaliknya. Pengertian terhadap pandangan dunia digunakan oleh Whorf (juga Sapir dan Boas)terikat oleh teori tertentu tentang budaya, yang dinamakan bahasa sebagai pengetahuan. Pandangan bahasa juga terikat oleh teori bahasa. Bahasa adalah salah satu data awal pekerjaan yang diteliti oleh ahli sosiolinguistik dan peneliti lain melalui kajian yang bervariasi dalam komunitas maupun secara individu. I.2.1. Relativitas Linguistik Pernyataan terpenting yang mengatakan bahwa dunia dipengaruhi oleh bahasa yang dituturkan, nampaknya ditarik dari pemikiran Sapir tentang status linguistik sebagai sains. Tak ada dua bahasa yang benar-benar sama. Hal itu merupakan representasi dari realitas sosial. Dunia yang dihuni masyarakat yang berbeda merupakan dunia yang terpisah, bukan benar-benar dunia yang sama dengan label berbeda yang dilekatkan. Inilah yang mendasari Whorf membuat kerangka prinsip relativitas linguistik. Bagi Whorf, struktur bahasa secara gramatikal dari tiap bahasa terdiri dari teori struktur alam semesta atau metafisik. Contoh yang diberikan oleh Whorf adalah kata kosong dalam bahasa Inggris (empty) yang merujuk pada drum yang berisi bensin. Pada kasus ini, ia berpendapat, meski secara fisik , situasi nonlinguistik adalah bahaya, (drum bensin yang kosong masih menyisakan uap yang bisa meledak jika berkontak dengan api) karena pembicara menganggap drum hampa dan tak berisi apa-apa, yang berarti negarif. Hubungan antara makna yang berbeda dan tingkatan interpretasi tentang ‘kosong’ digambarkan sebagai berikut: Bentuk linguistik EMPTY Makna Linguistik Kontainer yg tak berisi hampa, negatif Interpretasi mental Drum yg tak lagi berisi bensin Drum yang tak lagi berbahaya (boleh merokok) Nonlinguistik yg bisa diobservasi Drum bensin tanpa bensin Pekerja merokok Paparan di atas memunculkan debat dalam antropologi dan psikologi, termasuk sejumlah kajian secara empiris yang ditujukan baik pada konfirmasi hipotesis relativitas linguistik maupun yang menyanggahnya. Selanjutnya, tema bahasa memengaruhi pikiran, tetap menjadi topik penting dalam linguistik antropologi. I.2.2. Bahasa sebagai objektifikasi dunia: pemikiran Van Humboldt hingga Cassirer Sapir dan Whorf bukanlah orang pertama yang menyatakan pandangan mengenai pengaruh bahasa pada aktivitas berpikir. Dua abad sebelumnya, diplomat dan ahli bahasa Wilhelm Von Humboldt menuliskan pikirannya dalam ‘Perkembangan intelektual dan variabilitas linguistik’ (Duranti: 2000:62). Humboldt menyatakan masing-masing lidah menggambar sebuah lingkaran tentang orang yang memiliki lidah tersebut, dan lidah itu bisa jadi meninggalkan lingkarannya hanya dengan cara simultan saat memasuki lidah orang lain. Artinya, mempelajari bahasa asing harus menaklukkan sudut pandang sikap kosmik individual yang biasa-biasa saja sebelumnya. Secara turun temurun, bahasa merupakan instrumen yang memungkinkan kita memaknai dunia. Bahasa menyediakan kategori-kategori pikiran atau gagasan, tapi pada saat yang sama, properti bahasa mendesak kemungkinankemungkinan, membatasi seberapa jauh atau seberapa dekat yang dapat kita lihat. Dari tesis tersebut dapat ditarik asumsi tentang sifat bahasa dan hubungan antara bahasa dan dunia. Konseptualisasi bahasa sebagai objektifikasi sifat, dan langkah evolusioner terhadap pembentukan secara intelektual apa yang dipertimbangkan sebagai sebuah pola yang beraturan atau sebaliknya, kacau, merupakan basis asumsi filosofis bagi ahli bahasa seperti Saussure dan Cassirer. Akar dari asumsi ini berasal dari pemikiran Immanuel Kant tentang daya akal manusia sebagai alat yang sangat kuat dan memungkinkan manusia memaknai dunia atau sebaliknya, mengacak-acak atau menjungkirbalikkan pemahaman tentang jagad raya. Lebih konkrit, Casirer menyatakan bahwa bahasa, seperti kognisi tidak semata-mata mengkopi objek yang diberikan, namun lebih pada mewujudkan sikap spiritual yang selalu menjadi faktor kritis dalam persepsi kita tentang sifat objek (Duranti, 2000:63). Bahasa, sebagaimana yang dipahami oleh Casirer, sebagai instrumen untuk mendeskripsikan realitas, ini merupakan tuntunan pada dunia tapi bukan satu-satunya. Sedangkan, intuisi individual direpresentasikan oleh seni. Intuisi kelompok dapat direpresentasikan oleh mitos, yang melihat dunia melalui terma pengalaman yang fluktuatif, seperti wajah manusia yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang berlawanan, ‘dari suka cita ke duka cita, dari kegirangan ke kepedihan hati, dari kelembutan dan kebajikan ke kemarahan dan kegeraman. Hipotesis lain dari Sapir-Whorf direpresentasikan oleh kontribusi terkini terhadap kajian metafora, yang telh dianalisa sebagai skemata konseptual yang disediakan melalui cara kita memahami dunia. Lakoff dan Johnson dalam Duranti menyatakan bahwa: (1). Bahasa sehari-hari kita lebih kaya dalam metafora dari yang kita duga. (2). Metafora sebagai sarana memandang satu macam pengalaman dari pengalaman lainnya. (3) Metafora mengimplikasikan teori-teori tertentu (atau teori rakyat jelata)tentang dunia atau pengalaman kita tentang dunia. Pokok persoalan relativitas linguistik berbicara pada inti upaya secara antropologi, karena hal tersebut menyentuh ilmu pengetahuan tentang manusia sebagai entitas yang lebih dari sekedar mahluk biologis. Jika bahasa benar-benar tidak leluasa atau paksaan, bagaimanakah kita menggunakan bahasa tersebut untuk mendeskripsikan apa dan yang orang lain lakukan,percayai, pikirkan, dan rasakan? Sepeti juga seni, silmu pengetahuan mendapatkan banyak gagasan dari intuisi yang muncul tiba-tiba. Sepanjang gagasan ilmu pengetahuan tersebut mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan atau persoalan manusia, maka ilmu pengetahuan tersebut akan dikukuhi dan dipertahankan. Hal berikutnya yang ditawarkan Casirer berkaitan dengan bahasa dan ilmu pengetahuan adalah mengkaji produk-produk budaya, seperti mitos, yang menyingkap kebenaran tertentu yang tidak dikenali secara terbuka. Masalah ini berkait erat dengan kepedulian utama atas antropologi simbolik. I.3. Bahasa, Bahasa-bahasa dan varietas linguistik Agaknya penting memisahkan antara ‘bahasa’ dan ‘sebuah bahasa’. Yang pertama merujuk pada kemampuan alami tubuh manusia berkomunikasi menggunakan tipe tertentu tanda-tanda (bunyi,bahasa tubuh) yang diorganisasikan dalam tipe unit-unit tertentu (misalnya susunan/urutan). Sementara yang kedua merujuk pada produk tertentu yang secara sosiohistoris dapat diidentifikasikan dengan label seperti bahasa Inggris, bahasa Tok Pisin, Swahili, Polandia, Cina. Meskipun ahli sosiolinguistik (juga ahli linguistik antropologi) secara rutin menggunakan terma ‘bahasa’, secara umum,banyak penelitian sosiolinguistik pada empat dekade terakhir menunjukkan bahwa identifikasi terhadap ‘bahasa’ sebagai sistem linguistik yang digunakan oleh kelompok tertentu cukup problematis. Tiap kali kita menjadikan ‘sebuah bahasa’ sebagai subjek (misalnya bahasa Inggris) pada penelitian sitematis, kita menemukan bahwa sebuah bahasa tersebut menyuguhkan variasi mulai dari penutur sampai situasi. Artinya, kita tidak yakin, apakah kita tengah menggambarkan sekelompok kecil penutur atau seluruh kelompok yang memiliki distribusi lebih besar daripada kelompok tersebut. Ahli sosiolinguistik mengajarkan pada kita bahwa kita tidak dapat selalu mempercayai karakterisasi anggota pengelompokan dan perbedaan linguistik. Apa yang orang sebut sebagai sebuah bahasa diperlawankan dengan sebuah dialek yang secara sederhana berkait dengan stigma sosial atau keputusan politik untuk memberi status satu dialek tertentu, sebagai dialek standar. Untuk alasan inilah ahli sosiolinguistik lebih suka menggunakan terma varietas (varietas linguistik maupun varietas bahasa). Terma varietas tidak diimplikasikan dengan kata seperti ‘bahasa’ maupun ‘dialek’, dan dapat menutup bermacam-macam situasi, termasuk semua bahasa dari beberapa penutur multibahasa, atau komunitas. Selain itu, terma varietas juga mengimplikasikan konsep repertoir linguistik dan masyarakat tutur, yang keduanya merupakan pusat dari klarifikasi bahasa sebagai objek kajian kita. Repertoir linguistik adalah konsep yang aslinya dikenalkan oleh Gumperz untuk merujuk pada totalitas bentuk-bentuk linguistik yang berperan dalam rangkaian interaksi signifikan secara sosial (Duranti, 2000:71). Asumsi permasalahan ini adalah menuturkan sebuah bahasa berarti melibatkan proses membuat keputusan secara terus menerus, meskipun tidak perlu sebuah kesadaran. Repertoir adalah konsep yang dapat diaplikasikan baik dalam kelompok maupun individu. Repertoir bukanlah unit yang harus dipahami sebagaimana tata bahasa, atau bagaimana praanggapan untuk berbicara dengan tepat, tetapi repertoir adalah sesuatu yang dimiliki oleh penutur, tanpa mempedulikan apakah penutur tersebut berpendidikan tinggi atau tidak. Repertoir bahasa ada dua, yakni yang dimiliki individu dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan(Chaer, 2004:35). Repertoir bahasa secara individu mengacu pada alat-alat bahasa yang dikuasai oleh penutur, termasuk kemampuannya memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Sementara repertoir milik masyarakat tutur mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam suatu masyarakat, beserta norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Ahli linguistik antropologi tidak hanya mengkaji varietas bahasa tetapi juga varietas bahasa-bahasa yang diucapkan dalam sebuah komunitas tertentu. Dengan kata lain, linguistik antropologi memulai asumsi bahwa pikiran atas varietas bahasa mensyaratkan sebuah komunitas tutur. Komunitas tutur adalah suatu kelompok masyarakat yang mempunyai repertoir verbal yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut (Chaer, 2004:36). Sementara menurut Duranti masyarakat tutur adalah produk aktifitas komunikatif yang terlibat dengan orang-orang di dalamnya (2000:82). Dell Hymes dalam Duranti menyatakan bahwa definisi keberterimaan bahasa adalah problematis mengingat keberterimaan tersebut bukan semata masalah gramatikal tapi juga kultural dan sosial (2000:74). Ahli sosiolinguistik dan linguistik antropologi percaya bahwa selalu ada percampuran baik dalam bentuk atau dua varietas yang sangat berbeda (bahasa Prancis dan Inggris), atau dalam bentuk perbedaan secara dialek atau stilistika. Homogenitas linguistik yang diasumsikan oleh ahli bahasa, filsuf, dan ahli filologi adalah sebuah konstruksi ideal, secara historis terikat pada perkembangan negara-negara nasional untuk disebut dalam satu nama, sebagai: Jerman, Prancis, Rusia, Italia. Pandangan sebuah bahasa yang disatukan tidak perlu memiliki hubungan dengan penggunaan bahasa secara nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, tuturan banyak orang diisi oleh beragam suara atau persona yang dikonstruksikan secara linguistik. Inilah yang disebut Mikhail Bakhtin sebagai heteroglossia (Duranti, 2000:75). Dalam evolusinya, bahasa distratifikasikan tidak hanya dalam dialek linguistik, tetapi ini juga mendasar bagi kita, dalam bahasa secara ideologis dan sosial: bahasa kelompok sosial, ‘bahasa umum dan profesional’, bahasa generasi dan sebagainya. Dalam pangertian ini, bahasa sastra sendiri hanyalah satu dari bahasa heteroglot, dan juga distratifikasikan dalam bahasa. Mempelajari bahasa dalam budaya berarti lebih daripada sekadar cara dimana kategori kultural direfleksikan dalam bahasa atau cara dimana taksonomi linguistik, merupakan tuntunan pada pandangan dunia yang bekerja bersamanya. Kajian secara antropologi terhadap bahasa berarti mengenali pengaruh antara bahasa sebagai sumber manusia dan bahasa sebagai proses dan produk secara historis. Pengaruh seperti itu haruslah didekati dengan sejumlak alat-alat teoritis, termasuk konsep-konsep yang dikenalkan dalam pembahasan di paragraf terdahulu *** Daftar Pustaka Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropology: University Press. Cambridge. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Rineka Cipta. Jakarta. Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sosiolinguistics: Longman. London. Sharifian, Farzad dan Palmer, Gary B (Ed). 2007. Applied Cultural Linguistisc:. John Benjamin Publishing and Co. Philadelpia. KERAGAMAN BAHASA MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Antropolinguistik yang dibina oleh Prof. Dr. Maryaeni,M.Pd. dan Dr. Mujianto, M.Pd Oleh Jam’an Ari Ambarwati 120211639744 120211639750 UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEPTEMBER 2012