KONSEP MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN BERBASIS PROGRAM DI RSUD KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Nenny Puji Lestari,1 Deni Kurniadi Sunjaya2 Avip Syaefullah,3 1 Mahasiswa IKM Unpad, 2IKM FK Unpad 3 FKG Unpad ABSTRAK Studi pengamatan tentang pelayanan di RSUD Kapuas menggambarkan pelayanan yang masih berisiko terhadap keselamatan pasien. Kondisi ini diduga akibat belum optimalnya program keselamatan pasien di rumah sakit. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan penelitian tentang manajemen program keselamatan pasien. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi manajemen keselamatan pasien dalam sebuah konsep untuk dapat diimplementasikan melalui program keselamatan pasien di RSUD Kapuas. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, survey singkat dan studi dokumen. Analisis data meliputi pengolahan catatan lapangan, transkripsi hasil wawancara, reduksi, koding, katagorisasi dan interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program keselamatan pasien di RSUD Kapuas terbukti tidak optimal. Kondisi demikian karena adanya hambatan dalam struktur, proses dan outcome, yang diakibatkan oleh keterbatasan sumberdaya, pengelolaan manajemen, strategi-strategi yang belum efektif, sistem pelaporan insiden yang lemah, belum adanya budaya keselamatan dan fungsi kepemimpinan yang tidak efektif. Pelaksanaan manajemen keselamatan memerlukan dukungan dari organisasi dan petugas pelayanan. Kepemimpinan, budaya keselamatan, pemenuhan struktur dan sistem yang baik dan pengelolaan manajemen merupakan dukungan untuk pemenuhan keselamatan pasien rumah sakit. Melalui program keselamatan pasien dengan prioritas pada penguatan kepemimpinan dan fungsi manajemen, penerapan budaya keselamatan di pelayanan serta peningkatan pengetahuan tentang keselamatan pasien akan mampu meningkatkan kualitas dan keselamatan pasien di rumah sakit. Realisasi program keselamatan pasien di RSUD Kapuas belum berjalan dengan optimal. Upaya peningkatan manajemen program keselamatan pasien memerlukan perhatian lebih pada faktor-faktor yang ada di tingkat organisasi dan individu. Rekomendasi bagi RSUD Kapuas untuk menyusun sejumlah kebijakan untuk implementasi budaya keselamatan, penguatan kepemimpinan di tingkat organisasi, tim dan individu serta peningkatan pengetahuan dan sosialisasi program. Kata kunci : keselamatan pasien, konsep manajemen program ABSTRACT Observation study at RSUD Kapuas provides has illustrate of the service are still at risk to patient safety. It had assumed effect from patient safety program that is not optimal. For that solution, management of patient safety programs research is needed. The purpose of the study is exploring management of patient safety programs and found a concept for implementation of patient safety program at RSUD Kapuas. This is a qualitative research with case study designed. Data were collected through participant observation, in-depth interview, quick survey and documentary study. Data analyze includes composting field notes, transcription, reduction, coding, categorization and interpretation. As a result, this research found that patient safety program at RSUD Kapuas had not optimized. Bariers discovered on structure, process and outcome. The problems are limitation resources, management and strategies has not effectively run, lack of incident report, safety culture and leadership function is not to work. Patient safety management needs organizations and workforce support in health care. Leadership, safety culture, good structure and system and good management function are the items to support it. Patient safety program with priority on leadership and management strengthening, safety culture implementation and increases stakeholder’s knowledge about patient safety will be to improve quality and safety care in hospital. Programs realization in RSUD Kapuas is not optimal. Management program needs more attention for several factors in organization and individual levels. As a recommendation to RSUD Kapuas for patient safety program are to make policies like as implementation safety culture, strengthening leadership as an activator on organization, team and individual levels, dissemination information and increases stakeholder’s knowledge about programs. Key word: patient safety, management program concept LATAR BELAKANG Laporan dari Institute of Medicine (IOM) pada tahun 1999, menyebutkan To Err is Human: Building a Safer Health System. Hal ini dilaporkan oleh IOM karena diperkirakan sebanyak 44.000 sampai dengan 98.000 jumlah kematian akibat kesalahan medis (medical error) yang tinggi terjadi di Amerika Serikat.1 Publikasi World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, memperkirakan jutaan pasien diseluruh dunia terancam mendapatkan cedera, bahkan kematian setiap tahunnya. Oleh sebab itu, lembaga World Alliance for Patient Safety di deklarasikan oleh WHO sebagai perhatian dunia terhadap keselamatan pasien yang menjadi perhatian di berbagai negara.2 Cedera atau kerugian akibat tindakan medis, merupakan adverse events atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Menurut Permenkes RI Nomor 1961/Menkes/Per/VIII/2011, KTD merupakan insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. KTD atau adverse event yang mengakibatkan cedera pada pasien bisa dikarenakan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis yang tidak dapat dicegah.3 Cahyono dalam bukunya menyebutkan bahwa insiden KTD yang terjadi di rumah sakit ibarat fenomena gunung es.4 Hal ini didukung oleh National Patient Safety Agency (NPSA), yang menafsirkan jika kejadian KTD berat berarti telah terjadi 25 KTD ringan dan 300 Kejadian Nyaris Cedera (KNC).4 Akibat dari insiden KTD dalam pelayanan kesehatan bisa mengakibatkan cedera pada pasien, dapat berupa cedera ringan, sedera sedang (reversible), cedera berat (irreversible) bahkan kematian.5 Data dari beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1991-1992, ditemukan kasus KTD yang terjadi pada pasien rumah sakit di beberapa negara dalam kisaran 3,2 % sampai dengan 16,6 %. Bahkan pada beberapa penelitian lainnya, diperkirakan angka tersebut masih berada di bawah kondisi sebenarnya.2,6-9. Hasil penelitian Ladrigen dkk, menemukan potensi KTD yang terjadi di rumah sakit mencapai angka 25 %. 6 Publikasi Classen dkk., pada tahun 2011 menyebutkan bahwa ditemukan 1 dari 3 pasien yang dirawat di RS mengalami KTD. Kondisi ini memunculkan potensi bahaya yang mungkin terjadi dapat berupa hasil yang tidak diharapkan (adverse outcome) seperti kesalahan medis atau waktu tunggu dan perawatan yang lama. 10 Hasil penelitian KTD yang dilakukan oleh Utarini, dkk., terhadap 4500 dokumen medik pasien rawat inap pada 15 rumah sakit, diperoleh hasil bahwa angka KTD yang bervariasi antara 8,0% sampai 98,2%.11 Hasil penelitian Manuaba dkk., juga mengungkapkan bahwa angka KTD yang berupa infeksi luka pasca operasi berkisar antara 11,5 % hingga 47,7 %.12-14 Pelayanan kesehatan memegang prinsip untuk menyelamatkan pasien dikenal dengan istilah ”Primum non nocere” atau ”First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan) sebagaimana di kemukakan oleh Hippocrates sejak 2400 tahun yang lalu. 15 Potensi dan risiko bahaya yang tinggi karena insiden KTD dalam pelayanan kesehatan, dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti ; (1) pelaksanaan pelayanan kesehatan tidak prosedural; (2) infrastruktur yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan; (3) kualitas SDM kesehatan belum optimal; (4) manajemen pelayanan yang belum berorientasi pada keselamatan pasien. Kondisi ini, merupakan faktor yang cenderung menyebabkan terjadinya kesalahaan medis (medical error), dan bisa berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Kotler dalam Cahyono mengatakan bahwa kepuasan pelanggan tercipta ketika apa yang diterima lebih besar dari yang diharapkan (perceived > expected).4-16 Kepuasan dan keselamatan pasien dengan tatakelola klinis serta efisiensi merupakan hal penting dalam menjamin kualitas pelayanan kesehatan 17 Hal ini sesuai dengan pendapat dari Institute of Medicine, bahwa kualitas pelayanan kesehatan dapat berdasarkan : (1) keselamatan pasien (patient safety); (2) efisiensi (efficiency); (3) efektifitas (effective); (4) ketepatan waktu (timeliness); (5) berorientasi pasien (patient centered) dan (6) keadilan (equity). Keenam hal tersebut merupakan tolok ukur bagi penilaian kualitas sebuah pelayanan kesehatan. 18. Isu tentang keselamatan pasien mendapatkan perhatian pemerintah seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009. Rumah sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif, dengan mengutamakan kepentingan pasien. Rumah sakit wajin memenuhi hak pasien memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit. Acuan bagi rumah sakit untuk pelaksanaan pogram keselamatan pasien di rumah sakit sesuai standar yang ditetapkan, tertuang dalam Permenkes RI Nomor 1961/Menkes/2011.19 Rangkaian kegiatan upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien menurut Berwick dalam Utarini, laksana rantai tindakan yang kompleks dan terintegrasi yang diawali dari pengalaman masyarakat sebagai pengguna layanan, proses pelayanan klinis dalam tingkatan mikro, konteks organisasi sebagai fasilitator pelayanan klinis serta lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhinya.11 Organisasi dengan fungsi manajemennya di rumah sakit memiliki peran penting dalam program keselamatan pasien. Hal ini dikarenakan organisasi dan manajemen berada di ranah latent failure terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan medis pada pasien.20 Oleh karena itu diperlukan eksplorasi yang lebih intensif untuk dapat mengetahui peran organisasi dalam menciptakan manajemen keselamatan pasien yang baik. Pelaksanaan fungsi dan kewajiban Rumah sakit untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dikelola dengan baik melalui fungsi manajemen tersebut difokuskan pada keselamatan pasien dan upaya peningkatan mutu pelayanan. Dari hasil observasi insiden KTD di RSUD Kapuas diketahui adanya kejadian pasien jatuh dari tempat tidur, pasien terjatuh di area rumah sakit yang sedang di renovasi, serta beberapa kejadian lainnya. Ironisnya, kejadian-kejadian tersebut belum terdokumentasikan dalam sistem pencatatan dan pelaporan KTD di rumah sakit. Hal ini mengilustrasikan bahwa penyelenggaraan program keselamatan pasien di RSUD masih menghadapi sejumlah hambatan sehingga pelaksanaannya belum optimal. Hambatan dalam penyelenggaraan program keselamatan pasien di RSUD Kapuas yang belum optimal ini diduga karena beberapa hal, diantaranya : (1) program keselamatan pasien belum menjadi agenda prioritas; (2) tidak adanya tenaga penggerak; (3) masih adanya resistensi yang kuat dari sejumlah elemen rumah sakit; dan (4) adanya kendala karena kurangnya pemahaman implementasi dari program keselamatan pasien. Adanya hambatan dalam program keselamatan pasien di RSUD Kapuas ini memerlukan eksplorasi manajemen keselamatan pasien yang berbasis program di RSUD Kapuas untuk dapat mengetahui bagaimana penyelenggaraan program keselamatan pasien dalam konsep manajemen keselamatan pasien yang dapat diterapkan di RSUD Kapuas serta menggali hal-hal yang diperlukan dalam manajemen program keselamatan pasien di RSUD Kapuas BAHAN DAN CARA PENELITIAN Rancangan penelitian adalah studi kasus deskriptif dengan analisis data kualitatif. Pendekatan studi kasus digunakan karena tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari Subjek dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dengan sistem keselamatan pasien rumah sakit. Pihak rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan kesehatan diwakili oleh internal stakeholder yang terkait dalam manajemen keselamatan pasien di RSUD Kapuas, seperti pimpinan RSUD, bidang umum, bidang pelayanan, bidang keuangan, tim keselamatan pasien rumah sakit (TKPRS), sub bidang perencanaan program dan komite medik Sejumlah pihak yang terlibat langsung dengan proses pemberian pelayanan kesehatan juga dijadikan sebagai subjek pengamatan untuk keperluan triangulasi data, seperti tenaga medis, tenaga perawat, tenaga penunjang medis, tenaga pencatatan dan pelaporan, pasien dan keluarga. Teknik pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive sampling.21 Melalui sejumlah pertanyaan kepada informan kunci diharapkan dapat memperoleh makna atas situasi yang merupakan hasil konstruksi berdasarkan pada latar belakang historis kewenangan yang mereka miliki, khususnya di manajemen program keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan pandangan konstruksivisme sosial dimana penekanan atas pengalaman informan pada objek penelitian ini.22 Jenis data yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah data primer dan data sekunder, data primer adalah data yang didapat melalui tehnik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan berpedoman kepada daftar pertanyaan yang telah disediakan dan dibantu alat rekam tape recorder, sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan telaah dokumen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keselamatan pasien dalam pelayanan di RSUD Kapuas tidak terlepas dari kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan baik medis, perawat dan tenaga penunjang medis lainnya. Aktivitas pelayanan diberikan melalui sebuah proses yang melibatkan sejumlah profesi yang tersedia di rumah sakit. Melalui observasi terhadap proses pemberian pelayanan di rumah sakit, setiap penatalaksanaan pasien dipimpin oleh tenaga medis sesuai spesialisasi yang didasarkan pada kebutuhan pengobatan dan perawatan pasien. Penatalaksanaan ini didukung oleh tenaga perawat dan penunjang lainnya. Kebijakan terkait keselamatan pasien dituangkan dalam pembentukan tim keselamatan pasien dan program keselamatan pasien RS. Akan tetapi, informasi tentang keselamatan dalam pelayanan baik untuk pasien maupun petugas tidak terlihat ada di setiap ruang pelayanan. Sejumlah program yang telah ditetapkan tersebut merupakan bagian dari kebijakan direktur tentang TKPRS. Sejumlah program seperti sosialisasi, diklat teknis, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut merupakan agenda kegiatan di TKPRS. Kegiatan yang telah dilaksanakan oleh tim terbatas pada sosialisasi program keselamatan pasien kepada petugas rumah sakit. Kegiatan lainnya belum ter-realisasikan sepenuhnya. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah aktivitas pencatatan dan pelaporan dari unit kerja yang ada di RSUD Kapuas. Kegiatan ini dikoordinir oleh bagian pelaporan yang ada di TKPRS. Sosialisasi lainnya pernah dilakukan oleh bidang pelayanan medik dengan materi tentang cuci tangan. Hand hygiene merupakan salah satu aktivitas penting untuk pencegahan infeksi. Penilaian keselamatan pasien berdasarkan angka insiden keselamatan pasien belum dimiliki oleh RSUD Kapuas. Data dan angka insiden yang dapat diperoleh dari laporan insiden tidak terdokumentasi secara administrasi. Informasi dari beberapa petugas menyebutkan adanya sejumlah insiden yang pernah terjadi di RS. Akan tetapi data resmi tentang hal tersebut tidak ditemukan. Pengamatan pada aktivitas pelayanan dan kelengkapan fasilitas fisik RS, memberikan gambaran potensi insiden tersebut dapat terjadi. Observasi pelayanan rawat jalan pada seorang pasien penderita gangguan pernafasan yang ditemukan mengalami kondisi sakit yang memburuk selama proses menunggu pelayanan di salah satu bagian. Kondisi yang kemudian segera diatasi oleh petugas sehingga tidak berakibat lebih fatal bagi pasien tersebut. Akan tetapi pada penelusuran penyebab kondisi yang dialami oleh pasien tersebut, diketahui bahwa ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya insiden itu. Kejadian tersebut menjadi ilustrasi tentang keselamatan pasien di RSUD Kapuas yang masih jauh dari optimal. Proses pelaporan atas hal tersebut juga tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketidak tahuan petugas untuk prosedur pelaporan menjadi penyebab hal itu. Pada akhirnya, kasus-kasus seperti ini menjadi tidak diperhatikan dan dapat terulang kembali. Hal yang seharusnya dapat dihindari oleh RS melalui sebuah program keselamatn pasien yang terstruktur dan lebih sistematis. Dari hasil studi dokumen, observasi lapangan dan informasi responden, diketahui adanya beberapa kesenjangan dalam pelaksanaan program keselamatan pasien di RSUD Kapuas. Melalui pendekatan kualitas berdasarkan struktur, proses dan outcome, ringkasan analisis kesenjangan yang terjadi adalah seperti terlihat dalam tabel berikut Tabel No 1 Ringkasan Analisis Kesenjangan Program Keselamatan Pasien di RSUD Kapuas tahun 2013 Item Struktur Keterangan Kebijakan a. Penetapan tim b. Pemberdayaan tim c. Kegiatan tim terencana d. Pengembangan mutu dan keselamatan pasien Struktur organisasi a. Tim keselamatan pasien b. Koordinasi TKPRS dengan tim lain (PPI, Mutu) Ketersediaan sumber daya a. SDM profesional b. c. Fasilitas & peralatan Anggaran khusus Budaya keselamatan a. Strategi komunikasi b. Pelaporan insiden 2 3 Proses Outcome Prosedur pelayanan Prosedur tindakan Sistem informasi a. Teknik komunikasi b. Peningkatan Kemampuan komunikasi antar petugas melalui pelatihan c. Tertib administrasi Fungsi Manajemen keselamatan a. Perencanaan b. Pengorganisasian c. Penggerakan d. Pengawasan & evaluasi Insiden keselamatan a. KTD b. Nyaris cedera Kondisi seharusnya Kondisi yang ada Ada Ada Ada Ada Ada Belum Belum Belum Ada Ada Ada Tidak ada koordinasi Cukup Beberapa profesi masih kurang Perawatan kurang Tidak ada alokasi khusus Cukup & terawat Tersedia Penerapan strategi khusus Aktif Belum ada strategi khusus Pasif Tersedia Tersedia Sebagian Sebagian Ada strategi Ada agenda kegiatan Belum ada Belum pernah dilakukan Terlaksana Belum terlaksana Ada Ada Terpadu Terstruktur Tidak dibuat Belum ada Terbatas di tim Belum terstruktur Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi* Ada potensi cedera** Keterangan : *: berdasarkan laporan ruangan yang disampaikan ke tim **: berdasarkan observasi di lapangan Penyelenggaraan program keselamatan pasien di rumah sakit memerlukan dukungan semua komponen dari tingkat pelaksana sampai tingkatan manajer rumah sakit. Teori Berwick tentang efek berantai peningkatan mutu pelayanan, melibatkan inisiatif dari tingkatan pasien, pemberi layanan, organisasi dan lingkungan eksternal.23 Keempat tingkatan dalam teori Berwick tersebut masing-masing memiliki peran yang saling terkait satu dengan lainnya. Pelayananan kesehatan bagi pasien di rumah sakit harus berkualitas dan aman. Keselamatan pasien dan kualitas merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.4 IOM menetapkan 6 tujuan yang ingin dicapai pada abad 21, yaitu : keselamatan pasien, efisiensi, efektivitas, ketepatan waktu, berorientasi pada pasien dan keadilan.18 EPemenuhan keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan adalah wujud responsivitas dari pelayanan yang berkualitas. Menurut Avedis Donabedian, untuk mengukur pelayanan yang berkualitas dapat ditinjau melalui struktur, proses dan hasil dari pelayanan yang diberikan.4 Komponen struktur diantaranya struktur organisasi, sumber daya material dan SDM yang ada di institusi pelayanan. Struktur organisasi termasuk didalamnya adalah staf medis, komite-komite dan tim keselamatan pasien. Komponen proses meliputi semua aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh staf rumah sakit dan diterima oleh pasien. Sedangkan hasil menggambarkan efek pelayanan yang diberikan selama pasien dirawat, yang berupa kesembuhan, kepuasan, peningkatan pengetahuan dan terhindar dari akibat yang tidak diharapkan (cedera) 4 Rumah sakit pada kenyatannya adalah tempat yang tidak selalu aman bagi pasiennya. Cedera medis yang banyak terjadi di rumah sakit menjadi bukti atas hal ini. Akses informasi yang mudah bagi masyarakat, akan meningkatkan kesadaran mereka tentang adanya risiko keselamatan dalam pelayanan kesehatan. Hal ini dapat berakibat pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dapat berkibat pada kelangsungan hidup rumah sakit. Oleh karena itu program keselamatan pasien harus menjadi strategi pemasaran dan pengembangan rumah sakit di masa depan. Pelaksanaan pengembangan program keselamatan pasien berpedoman pada standar keselamatan pasien dan sasaran keselamatan pasien. Melalui penerapan 7 langkah menuju keselamatan pasien, akan mampu mendorong upaya perbaikan yang lebih mengutamakan pasien dalam setiap pelayanannya. Melalui struktur dan proses yang terstandarisasi, dengan penyediaan fasilitas dan sumberdaya yang adekuat serta peran serta aktif SDM akan menghasilkan outcome yang baik. Didukung dengan peran kepemimpinan dalam menciptakan budaya keselamatan akan sangat menentukan keberhasilan program ini Kualitas dan keselamatan pasien memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Kualitas adalah suatu kondisi yang mensyaratkan struktur dan proses yang terstandar dan keselamatan adalah hasil dari interaksi komponen struktur dan proses. Keselamatan pasien dapat terpenuhi apabila komponen struktur dan proses tersedia sesuai jumlah dan standar yang berlaku. Struktur dan system dalam program keselamatan pasien dapat dilihat dari pembentukan struktur organisasi tim keselamatan pasien. Pembentukan stuktur organisasi ini dimaksudkan agar kebijakan dan prosedur keselamatan pasien dapat dilaksanakan secara optimal. 4 Struktur organisasi tim secara lebih spesifik dituangkan dalam kelompok-kelompok kerja (pokja). Sebuah struktur organisasi dan pokja yang baik memerlukan dukungan SDM yang terlatih di bidangnya. (catatan)…. Sistem keselamatan pasien dirancang berdasarkan pada tiga prinsip dasar yaitu : (1) cara mendesain system agar setiap kesalahan dapat dilihat; (2) bagaimana merancang sistem agar efek suatu kesalahan dapat dikurangi dan (3) bagaimana merancang sistem agar tidak terjadi kesalahan. Upaya yang dapat ditempuh diantaranya dengan standarisasi prosedur, regulasi terhadap staf, penggunaan teknologi, pengembangan sistem pelaporan dan merancang lingkungan kerja yang kondusif. SDM terlatih dalam bidang keselamatan pasien di RSUD Kapuas masih belum ada. Kondisi ini mengakibatkan kinerja tim dalam program keselamatan pasien menjadi kurang maksimal. Keberadaaan tim hanya menjadi pelengkap tanpa pelaksanaan program secara menyeluruh sebagaimana ditetapkan dalam kerangka acuan tim. Program keselamatan pasien di rumah sakit memerlukan SDM dengan kompetensi yang baik. Insiden keselamatan pasien yang terjadi tidak terlepas dari faktor manusia yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Human error ini tidak bisa terhindarkan karena setiap individu tentunya memiliki banyak keterbatasan. Keterbatasan inilah yang menjadi pemicu terjadinya insiden yang tidak diharapkan.4 Teori Wood tentang insiden keselamatan pasien menjelaskan bahwa kesalahan tersebut dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu sisi blunt end dan sharp end.4 Penampilan organisasi, kebijakan dan prosedur merupakan gambaran dari sisi yang tumpul, sedangkan sisi tajamnya dilihat dari hubungan langsung antara petugas yang memberikan pelayanan. Keseimbangan antara faktor sumber daya dan keterbatasan yang dimiliki SDM akan mempengaruhi terjadinya insiden keselamatan pasien. Faktor sumber daya yang dapat memengaruhi diantaranya adalah jumlah staf, beban kerja dan ketersediaan alat medis. Sedangkan keterbatasan SDM ditandai dengan ketrampilan dan pengetahuan yang kurang. Kelelahan, lupa, kesulitan untuk konsentrasi dan hanya berpedoman pada asumsi menjadi akibat dari keterbatasan-keterbatasan tersebut. Kegagalan sistem juga berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien. Menurut Reason dalam teori “the swiss cheese” menjelaskan bahwa hampir semua KTD yang terjadi merupakan kombinasi dari kegagalan sistem pertahanan, petugas, kondisi yang berpeluang dan kegagalan organisasi dan manajemen.4 Beberapa penyebab insiden diantaranya : (1) kebijakan dan prosedur yang tidak tersedia atau ditati; (2) kinerja tim yang terganggu; (3) malfungsi dari peralatan akibat pemeliharaan yang kurang; (4) kompetensi yang dibawah standard dan (5) perencanaan pelatihan yang tidak terstruktur. Peluang insiden terjadi akibat dari kondisi-kondisi tertentu. Kondisi yang memudahkan terjadinya kesalahan misalnya gangguan lingkungan dan teamwork yang tidak berjalan. Gangguan lingkungan seperti desain ruangan yang tidak memenuhi syarat, pencahayaan yang kurang, dan suasana kerja yang tidak harmonis akan menganggu kinerja individu. Hambatan komunikasi dan pembagian tugas yang tidak seimbang menjadi penyebab tidak berjalanya teamwork yang efektif. Efektivitas teamwork sangat tergantung pada komunikasi dalam tim, kerjasama, adanya supervisi dan pembagian tugas. 24 Sebuah studi observasional dan analisis retrospektif terhadap insiden keselamatan menunjukkan bahwa faktor teamwork yang kurang berkontribusi lebih banyak dibandingkan dengan kemampuan klinis yang lemah. .25 Berbagai studi tentang teamwork mengidentifikasi bahwa pola dalam komunikasi, koordinasi dan kepemimpinan dapat mendukung efektivitas teamwork dalam pelayanan kesehatan. Ketersediaan peralatan medis yang cukup dan baik serta harus memenuhi syarat keamanan sangat diperlukan dalam pelayanan rumah sakit.. Peralatan yang tidak aman, dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi bahkan insiden yang lebih fatal. Risiko infeksi tersebut misalnya seperti penularan penyakit melalui penggunaan jarum suntik yang tidak aman. Penelitian Gregor pada tahun 2002 menyebutkan analisis kegagalan alat yang dilakukan American College of Clinical Engineering menunjukkan bahwa 67 % kesalahan operator akibat faktor kebingungan dalam penggunaan peralatan. Faktor lainnya seperti kualitas alat, kurangnya training penggunaan alat dan faktor pasien juga menjadi kontributor terhadap kegagalan operasional alat tersebut. Penggunaan peralatan medis dalam pelayanan harus dirancang sedemikian rupa agar tidak mengakibatkan kerugian baik bagi pasien maupun operator peralatan medis. Pemeliharaan alat, modifikasi yang tidak tepat serta kondisi lingkungan eksternal yang tidak sesuai dapat berakibat pada penurunan fungsi peralatan. Keterampilan dan ketelitian petugas dalam menggunakan peralatan dan kesalahan pengaturan alat juga dapat mengganggu fungsi dari alat tersebut.4 Budaya keselamatan harus ada di setiap bagian di rumah sakit, dari tingkat individu hingga tingkat organisasi. Dimensi budaya keselamatan di tiap tingkatan tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Namun keberhasilan budaya keselamatan menjadi budaya bagi organisasi memerlukan keterpaduan dari setiap dimensi tersebut. Setiap rumah sakit memiliki karakteristik masing-masing untuk keberhasilan membangun dimensi budaya keselamatan pasien di organisasinya. Oleh karena itu, rumah sakit perlu mengetahui dimensi budayanya yang dapat berkontribusi pada keberhasilan program keselamatan pasien di tempatnya. Komunikasi efektif merupakan salah satu strategi untuk membangun budaya keselamatan pasien. Komunikasi efektif sangat berperan dalam menurunkan KTD dalam sebuah asuhan medis pasien. Strategi ini ditetapkan oleh The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) sebagai tujuan nasional keselamatan pasien. Hal ini didasarkan pada laporan Agency of Healthcare Research and Quality (AHRQ) bahwa komunikasi merupakan 65 % menjadi akar masalah dari KTD. Strategi yang diterapkan JCHO untuk menciptakan proses komunikasi efektif adalah pendekatan standarisasi komunikasi dalam serah terima pasien (hand over).4 Komunikasi saat proses transisi perawatan pasien dapat berisiko kesalahan ketika informasi yang diberikan tidak akurat. Kegiatan lain yang dapat menggambarkan budaya keselamatan pasien adalah pelaporan insiden yang sistematis. Pelaporan insiden menjadi titik awal dalam program keselamatan pasien. Melalui mekanisme pelaporan yang baik akan mampu mengidentifikasi permasalahan yang kemudian dapat dirumuskan solusi perbaikannya. Menjadikan pelaporan sebagai sumber informasi dalam proses belajar, memerlukan setidaknya dua hal yang harus disiapkan oleh rumah sakit. Pertama adalah tersedianya SDM yang mampu melakukan analisis terhadap insiden. Perihal kedua yaitu adanya kebijakan yang dikembangkan rumah sait untuk menjabarkan kriteria pelaksanaan analisis akar masalah dan analisis dampak dan kegagalan.19 Tujuh langkah menuju keselamatan pasien menempatkan faktor kepemimpinan menjadi langkah kedua yang harus diperhatikan. Tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pimpinan diantaranya : (1) menetapkan visi dan misi terkait peningkatan mutu dan keselamatan pasien; (2) membuat kebijakan dan pedoman keselamatan pasien; (3) membentuk struktur organisasi tim keselamatan pasien denga kelompok kerja; (4) mengalokasikan dana, sarana, prasarana dan SDM; (5) mengagendakan keselamatan pasien dalam pertemuan tingkat direksi atau unit pelayanan; (6) Melakukan koordinasi antar unit pelayanan dan monitoring terhadap kinerja unit dan SDMnya; (7) memasukkan program keselamatan pasien dalam program orientasi karyawan baru dan (8) menyediakan teknologi yang dapat meminimalkan KTD sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan rumah sakit. Kepemimpinan transformasional dalam program keselamatan pasien rumah sakit sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Kepemimpinan tranformasional akan mampu menginspirasi, penuh keterbukaan dan penghargaan terhadap staf serta mampu memberikan umpan balik yang baik pada situasi yang tepat dan berbasis bukti.26 Organisasi tidak akan sukses tanpa adanya pimpinan yang bervisi, berani mengambil risiko, memiliki komitmen yang tinggi untuk perubahan dan mampu mengkomunikasikan ide-ide. 4 Program keselamatan pasien perlu ditunjang dengan kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan. Karena pengembangan program akan membawa perubahan-perubahan yang diperlukan untuk upaya pengembangan tersebut. Kepemimpinan yang kolaboratif dalam program keselamatan pasien merupakan kolektivitas kepemimpinan untuk melakukan perubahan. Pemimpin yang membawa perubahan dalam pola kepemimpinannya memerlukan dukungan 3 hal seperti : (1) kepemimpinan yang mempunyai visi perubahan; (2) kemampuan mengkomunikasikan visi pada lingkungan baik internal atau eksternal dan (3) dukungan lingkungan yang memperkuat visi tersebut. 27 Menurut teori Sunjaya. integrasi ketiga hal tersebut dengan dorongan faktor pencetus menentukan keberhasilan suatu perubahan dalam organisasi. Pelayanan yang mengutamakan keselamatan dan kualitas yang optimal akan memberikan dampak yang luas. Bagi masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang lebih berkualitas, aman dan memenuhi harapan mereka. Bagi RS menjadi nilai tambah untuk pencapaian pelayanan yang berstandar nasional atau dunia. Pelayanan yang aman dan kualitas juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada RS. Bagi tenaga kesehatan dapat menumbuhkan nilainilai baru khususnya arti penting penerapan keselamatan pasien dalam setiap aktivitas pelayanan yang diberikan. Solusi pengembangan program keselamatan pasien di tingkat organisasi dapat ditempuh dengan optimalisasi pada 4 aspek yaitu : (1) Kebijakan yang aplikatif; (2) penguatan struktur dan sistem; (3) Pelaksanaan manajemen yang efektif dan (4) Pengembangan budaya keselamatan.. Untuk menuju kondisi perubahan yang diharapkan tersebut diperlukan kepemimpinan yang memiliki komitmen dan passion yang kuat di bidang keselamatan dan kualitas pelayanan. Ketersediaan SDM, fasilitas, dana dan sistem informasi yang berorientasi pada keselamatan pasien sangat mendukung program. Langkah yang dapat ditempuh oleh rumah sakit diantaranya dengan membuat kebijakan pemetaan SDM yang dilengkapi dengan rencana pengembangan SDM baik kuantitas dan kualitasnya. Rencana pengembangan SDM dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan untuk memenuhi kualitas dan keselamatan pasien, termasuk program pelatihan bagi SDM di RS. Pemanfaatan teknologi terkini untuk peningkatan kualitas pelayanan perlu diiringi dengan peningkatan kemampuan SDM dalam pengoperasian teknologi. Tanpa adanya tenaga yang terampil dan terlatih dalam pengelolaan alat dan teknologi, dapat memberikan peluang bagi keselamatan pasien. Oleh karena itu, pemilihan penggunaan teknologi dan peralatan harus memperhatikan faktor pendukung seperti SDM, dana dan kebutuhan pelayanan. Pemenuhan fasilitas tidak terbatas pada peralatan dan teknologi semata. Desain pembangunan sarana RS di masa yang akan datang perlu memperhatikan faktor keselamatan sebagai salah satu indikator. Hal ini penting bagi kelangsungan pelayanan dan keamanan bagi pasien, petugas dan pengunjung RS. Faktor ergonomis, penempatan material dan pengaturan tata letak alat sesuai jenis dan fungsinya harus mencerminkan keselamatan pasien. Keamanan proses peralatan RS harus selalu diukur secara berkala. Interaksi kompleks antara petugas, pasien dan peralatan yang ada di RS memerlukan pengelolaan khusus melalui manajemen risiko. Manajemen risiko keselamatan pasien dapat dilakukan dengan : (1) menetapkan konteks; (2) identifikasi risiko; (3) analisis dan evaluasi; (4) intervensi risiko; (5) monitoring dan komunikasi; (6) komunikasi dan konsultasi.27 Langkah nyata yang dapat ditempuh RS adalah dengan identifikasi risiko melalui telaah rekam medis, audit medis dan penilaian indikator keselamatan menggunakan daftar tilik. Risiko dilihat dari penyimpangan dari prosedur atau clinical pathway yang berlaku di RS. Penggunaan daftar tilik dapat didasarkan pada sasaran dan standar keselamatan pasien sesuai permenkes atau JCI. Selanjutnya dilakukan analisis dan grading atas risiko yang ada berdasarkan matriks grading risiko. Evaluasi dari analisis dan grading risiko dulakukan untuk mendapatkan prioritas solusi dan intervensi yang akan dilakukan. Pelaksanaan intervensi hendaknya dilakukan monitoring berkelanjutan untuk memastikan keberhasilannya, serta mengkomunikasikan secara internal dan eksternal di RS. Peran tim KPRS sangat diperlukan dalam praktik MRK di RS. Kemampuan tim dalam identifikasi dan analisis risiko harus dimiliki melalui upaya pelatihan teknis tim dalam pengelolaan keselamatan pasien. Selain kemampuan untuk MRK, tim juga dituntut untuk mampu melakukan analisis akar masalah atas insiden yang dilaporkan. Organisasi dalam hal ini RS harus menyediakan tim yang memiliki kemampuan tersebut melalui pengiriman tim untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan khususnya program keselamatan pasien. Menumbuhkan budaya keselamatan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam pengembangan program keselamatan pasien. Membangun budaya keselamatan pasien dapat dikonseptualisasikan sebagai intervensi yang berakar pada prinsip kepemimpinan, kerjasama tim, dan perubahan perilaku. Strategi yang diperlukan seperti struktur laporan, pelatihan tim, pertemuan lintas disiplin atau executive walk around akan mampu membawa perubahan di tingkat sistem. Executive walk around dapat memengaruhi terbentuknya budaya keselamatan pasien. 69 Strategi untuk pengembangan keselamatan pasien juga memerlukan promosi untuk setiap program yang akan di jalankan. Upaya promosi keselamatan pasien pada semua unsur rumah sakit merupakan langkah nyata yang dapat ditempuh. Langkah ini yang ditempuh oleh RCH di Australia yang secara rutin menginformasikan tentang pentingnya keselamatan pasien dalam pelayanan. Informasi rutin dalam bentuk bulletin yang diterbitkan RCH ditujukan bagi pasien dan petugas rumah sakit. Informasi yang memuat hal-hal seperti pentingnya komunikasi yang jelas antar petugas, pemakaian tanda pengenal dan berbagai hal lain yang informatif bagi pasien. Dikemas dengan sangat menarik dan teratur, promosi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap transparansi mutu pelayanan bagi konsumen rumah sakit. Standarisasi pelayanan rumah sakit melalui penilaian akreditasi dapat dijadikan sebagai instrumen penilaian pelayanan dan pelaksanaan program keselamatan pasien. Permenkes 1619/2011 juga merupakan tools dalam menyusun rangkaian kegiatan program. Berpedoman pada tujuh langkah keselamatan pasien sesuai dengan Permenkes 1691/2011, sejumlah upaya dan kegiatan dapat ditempuh rumah sakit dalam pengembangan program keselamatan pasien. Pengalaman penerapan 8 langkah keselamatan pasien di Inggris dan AS adalah : (1) Jadikan keselamatan pasien sebagai prioritas strategis rumah sakit; (2) Merancang langkah yang sederhana dalam implementasi setiap kegiatan; (3) Menjadikan pengalaman sebagai pembelajaran; (5) pencatatan data yang akurat, tepat waktu dan up to date; (6) Motivasi dan dukungan bagi staf untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya; (7) Melibatkan pasien dalam setiap aktivitas pelayanan dan (8) Pimpin staf dengan dukungan dan motivasi untuk peningkatan kerjasama dan komunikasi efektif diantara unsur rumah sakit.70 Kepemimpinan dalam program keselamatan pasien diperlukan untuk menjamin kelangsungan program mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penetapan visi dan misi berorientasi keselamatan pasien dalam pelayanan RS menjadi indikator penilaian proses kepemimpinan berjalan efektif. Pemilihan strategi untuk pencapaian tujuan dari program juga perlu ditentukan. Strategi-strategi yang dipilih berdasarkan kondisi yang ada di organisasi dan tujuan yang ingin dicapai. serta memenuhi semua unsur yang terdapat dalam struktur dan sistem. Kepemimpinan di tingkat rumah sakit seperti : (1) ada anggota direksi yang bertanggung jawab atas keselamatan pasien; (2) di beberapa bagian ada yang menjadi “penggerak” (champion) keselamatan pasien; (3) prioritaskan keselamatan pasien dalam agenda rapat direksi/manajemen; (4) Masukkan keselamatan pasien dalam program pelatihan staf. Kegiatan di tingkat tim keselamatan pasien dapat berupa : (1) ada “penggerak” dalam tim yang memimpin gerakan keselamatan pasien; (2) Menjelaskan relevansi dan manfaat keselamatan pasien bagi setiap staf; (3) menumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden. Kegiatan di tingkat tim ini harus terintegrasi dengan upaya yang dilakukan di tingkat organisasi. Selain peningkatan di tingkat organisasi, upaya perbaikan di tingkat individu juga merupakan hal penting dalam program keselamatan pasien. Budaya keselamatan di tingkat individu perlu ditumbuhkan melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku yang lebih berorientasi pada keselamatan. Hal ini dapat ditempuh dengan penyebarluasan informasi terkait keselamatan pasien melalui bulletin RS dan media-media lainnya. Proses pembelajaran dari laporan insiden yang disampaikan secara rutin baik oleh tim maupun pihak manajemen RS pada setiap pertemuan dan rapat. Informasi insiden yang telah dikemas dengan solusi dari hasil analisis akar masalah, dapat menjadi informasi berharga bagi setiap individu untuk meningkatkan pengetahuannya akan keselamatan pasien. Tanpa budaya menyalahkan individu atas insiden yang ada akan mampu memperbaiki sikap dan perilaku serta keberanian untuk meleporkan setiap insiden sebagai bagian dari proses pembelajaran. RS dengan interaksi profesi yang cukup banyak, membutuhkan strategi yang tepat dalam proses komunikasi antar profesi terkait. Metode SBAR (situation, backgraound, assessment, recomencation) dalam proses komunikasi antar profesi dapat dijadikan sebagai pilihan. Berdasarkan situasi, latar belakang, penilaian dan rekomendasi yang dikomunikasikan dengan baik akan memberikan kondisi pengobatan pasien lebih informatif, jelas dan terstruktur. Hal ini akan mengurangi potensi insiden yang tidak diinginkan terjadi. Strategi komunikasi lain adalah pada proses komunikasi antar klinisi. Keseinambungan perawatan dan komunikasi antara sejawat dokter sangat mempengaruhi keselamatan pasien. 4 Melalui penerapan ringkasan pulang khususnya bagi pasien pasca-rawat inap, dapat sebagai upaya membangun komunikasi di antara dokter. Hal ini akan dapat menurunkan angka perawatan kembali (hospital readmission). Komunikasi lain yang juga penting dibangun adalah komunikasi dengan pasien dan keluarga. Sebagai individu utama yang dilayani dalam pelayanan RS, sudah seharusnya pasien dan keluarga terlibat dalam proses komunikasi yang baik dengan petugas RS. Strategi yang dapat di tempuh diantaranya dengan memberikan akses bagi pasien dan keluarga terhadap informasi pelayanan yang diterimanya. Menyediakan waktu yang cukup bagi pasien untuk berkomunikasi dengan petugas dan peningkatan edukasi pasien terkait keselamatan beberapa upaya yang dapat dilakukan. Metode SPEAK UP merupakan metode yang direkomendasikan JCAHO untuk komunikasi efektif antara pasien dan petugas. Kerjasama tim dalam pelayanan di RS dapat mempengaruhi kualitas dan keselamatan pasien. Potensi konflik yang mungkin terjadi dalam interaksi tim dapat berakibat pada pelaksanaan kerjasama tim dalam pelayanan. Bekerja secara teamwork merupakan sebuah nilai yang harus dibangun sebagai budaya keselamatan. Konflik yang muncul dapat menurunkan persepsi individu atas teamwork, yang dapat menganggu proses pelayanan dan berujung pada kemungkinan terjadinya insiden. Sebuah penelitian menunjukkan persepsi individu yang kurang terhadap teamwork berpotensi 3x lebih besar untuk terjadi insiden keselamatan.72 Mengenali dan menyelesaikan konflik memerlukan sebuah peran supervisi yang baik dan profesional dari seorang manajer. Pelayanan RS yang berlangsung 24 jam secara terus menerus seudah barang tentu memerlukan manajemen khusus. Alternatif yang dapat dilakukan di RS adalah dengan mengaktifkan manajer jaga rumah sakit dengan peran supervisi pelayanan, khususnya untuk menajemen pelayanan di luar jam kerja. Manajer jaga dilengkapi dengan instrumen pengendalian yang telah ditentukan agar dapat mendeteksi, menyelesaikan dan pengedalian konflik dan masalah dari sudut manajemen. Petugas RS sebagai individu pelaksana langsung pelayanan harus memenuhi kecukupan baik kuantitas atau kualitas. Aspek kualitas individu dilihat dari pendidikan dan standar kompetensi yang dimiliki. Kompetensi petugas di RS dapat di lakukan dengan upaya memenuhi standar kompetensi oleh setiap petugas sesuai dengan standar yang ditetapkan di setiap profesi. RS dapat menempuh upaya seperti pengiriman petugas untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi untuk setiap profesi yang ada. Langkah ini terintegrasi dengan perencanaan SDM RS khususnya bagian diklat RS. Bagi petugas yang belum memenuhi standar kompetensi untuk profesinya, RS dapat memberikan fasilitas untuk dapat memenuhi standar tersebut. Perhitungan kebutuhan tenaga yang tepat untuk setiap profesi di RS sangat diperlukan untuk menghindari adanya peningkatan beban kerja bagi masing-masing individu. Perhitungan rasio jumlah tenaga dengan jumlah pasien serta waktu pelayanan harus dimiliki RS. Perhitungan kebutuhan dengan metode analisis beban kerja adalah salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Hal ini akan sangat berguna dalam perencanaan SDM RS terutama untuk pada profesi tertentu dengan jumlah tenaga yang masih terbatas. Keberhasilan program keselamatan pasien tergantung pada faktor individu dan organisasi. Hambatan personal yang dapat mempengaruhi adalah pemahaman yang kurang atas visi organisasi, takut dihukum, kompleksitas tugas staf, dan teamwork yang lemah.39 Faktor yang menghambat ini harus dapat diantisipasi oleh rumah sakit melalui berbagi nilai-nilai keselamatan dengan penyampaian visi organisasi secara jelas. Menghilangkan budaya menyalahkan, penyederhanaan tugas staf dengan pemanfaatan teknologi yang tepat dan mengembangkan metode supervisi manajemen merupakan alternatif lain yang dapat ditempuh. Pelaksanaan manajemen program keselamatan pasien berdasarkan 7 langkah menuju keselamatan sesuai yang ditetapkan dalam Permenkes 1619/2011, memberikan beberapa langkah yang dapat dilakukan di RS. Langkah tersebut dapat dilakukan ditingkat RS sebagai organisasi dan di tingkat tim sebagai pelaksana teknis. KESIMPULAN DAN SARAN Program keselamatan pasien yang ada di RSUD Kapuas diselenggarakan sebagai bagian dari kewajiban rumah sakit untuk mencapai pelayanan yang berkualitas. Kegiatan dalam program keselamatan pasien belum terealisasi dengan baik, dikarenakan beberapa hambatan dan masalah dalam struktur, proses dan outcome. Peran kepemimpinan dan budaya keselamatan yang dapat mempengaruhi kinerja sistem belum berfungsi optimal dalam pelaksanaan program. Rumusan konsep manajemen program keselamatan pasien didasarkan pada kondisi dan analisis situasi yang terdapat di RSUD, perlu memperhatika unsur-unsur di tingkatan organisasi dan individu seperti kepemimpinan, budaya keselamatan, struktur dan manajemen komunikasi, kerja tim dan kualitas tenaga Konsep manajemen keselamatan pasien yang telah dihasilkan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam menyusun rencana kebutuhan program keselamatan pasien di RSUD Kapuas sebagai bagian dari rencana strategis rumah sakit. Hal ini dapat ditempuh dengan perumusan beberapa kebijakan yang lebih teknis sebagai pedoman penyelenggaraan keselamatan pasien melalui kapasitasi tim yang ada. RS juga dapat merumuskan strategi-strategi khusus untuk penguatan dan peningkatan kontribusi faktor-faktor di organisasi dan individu terhadap program keselamatan pasien. Daftar Pustaka 1. Khon LT, Corrigan JM, Donaldson MS, To Err Is Human: Building a Safer Health System, Washington DC ; National Academic Press; 2000 2. Worl Alliance for patient safety: Forward Program. World Health Organization; 2004 3. Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Rumah Sakit: Edisi ke 2, Jakarta, 2008 4. J.B. Suharjo B. Cahyono, Membengun Budaya Keselamatan Pasien Dlama Praktik Kedokteran, Yogyakarta; Kanisius; 2008. 5. Bambang Joni. Belajar Kenal Dengan Program Keselamatan Pasien (Patient Safety) [serial on the internet] 2009 [diunduh 23 maret 2012] tersedia dari : http://www.scribb.com 6. Landrigrn CP, Parry GJ, Bones J, Hackbarth AD, Goldman DA, et al, Temporal Trend in Rates of Patient Harm Resulting From Medical Care, NEJM, 2010 [diunduh 22 Juni 2012]; 363 (22); 2124-34 tersedia dari : http://www.nejm.org. 7. Brennan TA, Leapae LL, Laird NM, et al. Incidence of adverse events and negligence in hispitalised patients : results on the Harvard Medical Practice Study I, NEJM, 1991 [diunduh 22 Juni 2012]; 324:370-6 tersedia dari http://www.nejm.org 8. Baker GR, Norton PG, Flintoft V, el al. The Canadian adverse event study: The incidence of adverse among hospital patient in Canada, CMAJ, 2004 [diunduh 22 juni 2012]; 170: 167886 tersedia pada publish.gov. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed 9. Davis P, Lay YR, Briant R, et al. Adverse events in New Zaeland public hospitals: principal finding from the national survey in Health Mo, Welington, 2001 [diunduh 22 Juni 2012] 10. Grant T Savage & Eric S Williams, Performance Improvement in Health Careuality, 2008 11. Adi Utarini, Mutu Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Sistem Regulasi yang Responsif [Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar] Yogyakarta; UGM; 2011 12. IARW Manuaba, Faktor risiko klinik pada tindakan pembedahan urologi di unit bedah sentral Badan Rumah Sakit Umum Tabanan [Thesis] Yogyakarta: UGM ; 2006 13. Prihartono L, Outcome klinik peleyanan bedah pasca penerapan manajemen risiko di RSUD Koja 2003 [Theses] Yogyakarta; UGM; 2005 14. Yulianto w. Pengaruh perubahan desain ruang operasi dan perubahan perilaku petugas di ruang operasi terhadap kejadian surgical site infection di Rumah Sakit Santa Pemalang [Theses]; Yogyakarta; UGM: 2007 15. Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta; 2006 hal 1-46 16. Kotler P, Keller KL. Marketing Management. New Jersey; Pearson Prentice Hall; 2009 17. Boy S. Sabarguna Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit Edisi Revisi; Jakarta; CV Sagung Seto; 2008 18. Flynn E. Summary of crossing the quality of chasm: A new system for 21th century dalam The Patient Safety Handbook. 2004 [diunduh 25 Juni 2012]; 25-34 19. Permenkes RI No 1691/Menkes/Per.VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit; 2011 20. Adib A Yahya. Konsep dan program “patient safety” dalam konvensi Nasional Mutu Rumah Sakit ke IV; 14-14 November 2006; Bandung [diunduh 7 juli 2012] tersedia pada : http://www.scribb.com 21. A Chedar Alwasilah. Pokoknya kualitatif, dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian Kualitatif, Bandung; PT Cunia Pustaka Jaya; 2008 (49) 22. Strauss A & Corbin J, Dasar-dasar penelitian Kualitatif: tata langkah dan Tekhnik-tekhnik Teorisasi data Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009 23. Berwick DM, A User‟s manual for the IOM‟s „quality chasm‟ report. Health Affairs. 2002 [diunduh 2 Juli 2012]; 20; 80-90 tersedia dari http;//content.health affairs.org/content/21/3/80 full.pdf 24. Vincent C., Understanding and responding to adverse events, NEJM, 2003; 348; 1051-56 [diunduh 2 juli 2012] 25. Manser T, Teamwork and patient safety in dynamic domain of healthcare : a review of the literature, Acta anaesthasia Scand, 2009: 53 :143-151 [diunduh 23 januari 2013] 26. Adi Utarini, Kompetensi manajer rumah sakit dalam pengembangan patient centered care, disampaikan dalam seminar ilmiah 20 tahun MMR UGM dan Forum mutu IHQN VIII, Yogyakarta 10-13 Oktober 2012 27. Deni K. Sunjaya, Perubahan Organisasional Dinas Kesehatan : Studi Kasus Peningkatan Fungsi Regulasi Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Program Doktor, Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, 2010 28. Hasting G, Service re-design : Eight steps to better patient safety. Health service journal, 2006 terdapat pada http ://www.goodmanagement-hsj.co,uk/patientsafety [diunduh pada 22 juni 2012]