BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit, yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan (Depkes RI, 2006). Menurut Nursalam (2011) pasien safety adalah penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari proses pelayanan kesehatan. Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah sakit (Cecep, 2013). Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan test dan prosedur, banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus, dimana keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi Kejadian Tidak Diharapkan. Dimana Kejadian Tidak Diharapkan merupakan kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien (Depkes RI, 2008). 1 2 Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan Kejadian Tidak Diharapkan sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % diantaranya meninggal. Sedangkan di New York Kejadian Tidak Diharapkan adalah sebesar 3,7 % dengan angka kematian 13,6 %. Angka kematian akibat Kejadian Tidak Diharapkan pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan Kejadian Tidak Diharapkan dengan rentang 3,2 % – 16,6 % (Depkes RI, 2006). Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) masih langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan “mal praktek”, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit maka Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS). Komite tersebut telah aktif melaksanakan langkah langkah persiapan pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium program keselamatan pasien rumah sakit. Telah dikeluarkan pula KEPMEN nomor 496/MENKES/S/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di Rumah Sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk memperhatikan keselamatan pasien di rumah sakit (Depkes RI, 2006). Pengorganisasian adalah keseluruhan pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugastugas, kewenangan dan tanggung jawab sedemikian rupa sehingga tercipta suatu 3 organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kegiatan kesatuan yang telah ditetapkan. (Siagian dan Szilagji, 1983 dalam Juniati) mengemukakan bahwa fungsi pengorganisasian merupakan proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi (Rika, 2009). Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimiliki organisasi ( manusia dan bukan manusia ) akan diatur penggunaannya oleh manajer secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Roymond, 2013). Peran manajer di lingkungan perawatan kesehatan pada masa sekarang ini mengalami perubahan yang berarti. Banyak perubahan yang dimulai pada pertengahan tahun 1970-an dan awal 1980-an di masa organisasi perawatan kesehatan melakukan desentralisasi fungsi manajemen dan pengorganisasian tiap unit oleh seorang manajer yang bertanggung jawab paling tinggi dalam kualitas perawatan di unitnya. Perawat manajer diberi tanggung jawab untuk mempekerjakan, mengembangkan dan mengevaluasi stafnya. Perawat manajer memiliki tanggung jawab untuk memantau kualitas perawatan, menghadapi masalah tenaga kerjanya dan melakukan hal-hal tersebut dengan biaya yang efektif (Dionishio, 2005). Fungsi dalam manajerial yang dilakukan merupakan proses pengorganisasian untuk mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui penataan pola struktur, pendelegasian tugas, tenaga kerja dan komunikasi dalam memberikan asuhan keperawatan. Pada tahap pengorganisasian ini hubungan ditetapkan, prosedur diuraikan, perlengkapan disiapkan dan tugas diberikan. Fungsi organisasi harus terlihat pembagian tugas dan tanggung jawab staf yang akan melakukan kegiatan masing-masing. Fungsi pengorganisasian yang dijalankan oleh kepala ruang berkaitan dengan keselamatan, antara lain menentukan staf yang terlibat dalam kegiatan keselamatan pasien, menentukan tugas dan tanggung jawab yang jelas kepada staf dalam pendelegasian tugas, koordinasi kegiatan dan manajemen waktu (Dewi, 2011). 4 Peran kepala ruang dalam melaksanakan fungsi pengorganisasian ruang rawat tidak terlaksana dengan baik dapat merugikan dan bisa terjadi hal Kejadian Tidak Diharapkan bahkan mengakibatkan cedera baik pada tenaga kesehatan maupun pasien khususnya dalam menjalankan tugas dan perawatan diruangan. Hal ini dibuktikan pada angka kejadian kasus infeksi nosokomial di negara-negara maju. Misalnya di Amerika Serikat terjadi 20 ribu kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia 10% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat atau sebesar 1,4 juta infeksi setiap tahun. Menurut Dewan Penasehat Aliansi Dunia untuk Keselamatan Pasien, infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara di seluruh dunia juga menunjukan bahwa 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi nosokomial selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara berkembang, diperkirakan lebih dari 40% pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial (Suyanto, 2009). Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di sebelas rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Hasil study deskriptif Suwarni pada tahun 1999 di semua rumah sakit di Yogyakarta menunjukan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar sekitar antara 0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk lama perawatan berkisar 4,3-11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Infeksi nosokomial menyebabkan pasien di rawat lebih lama sehingga harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Demikan pula dengan pihak rumah sakit karena harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk pelayanan. Kejadian infeksi nosokomial dapat berakibat kematian apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat (Suyanto, 2009). Kejadian Tidak Diharapkan merupakan insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien (UU. No.1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien). Besarnya kasus Kejadian Tidak Diharapkan yang terjadi di rumah sakit sebagaimana disebutkan diatas mengharuskan pihak rumah sakit harus 5 melaksanakan fungsi pengorganisasian keperawatan dalam melakukan langkahlangkah kegiatan yang lebih mengutamakan pelaksanaan keselamatan pasien. Craven dan Hirnle mengemukakan bahwa ketidakpedulian akibat keselamatan pasien akan menyebakan kerugian bagi pasien dan pihak rumah sakit, seperti biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi rumah sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada upaya tindakan pencegahan terhadap kejadianinfeksi nosokomial, pastikan identifikasi pasien dan kesalahan dalam pemberian obat yang mengakibatkan cidera (Wardhani, 2010). Hasil Survey awal yang diperoleh penulis dari RSUP. H. Adam Malik Medan yang mengindikasikan adanya Kejadian Tidak Diharapkan sebagaimana dalam laporan kinerja Komite PPI RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013 pada bulan JanuariNovember menunjukkan adanya rata-rata infeksi nosokomial (plebitis) sebesar 4,82%. Laporan kinerja RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013 bahwa prilaku kebersihan tangan dalam pencegahan infeksi belum menjadi budaya pada sebagian petugas kesehatan RSUP. H. Adam Malik maupun keluarga pasien yg berkunjung. Adapun kasus lain yang pernah terjadi sebagaimana dalam wawancara peneliti (dalam kegiatan residensi III) dengan petugas instalasi gizi ditemukan bahwa pernah terjadi walaupun hanya sekali atau satu kasus kesalahan pemberian diet kepada pasien yaitu kesalahan pemberian susu (wawancara petugas, 8 Januari 2014). Dalam upaya meminimalisir terjadinya medical error atau Kejadian Tidak Diharapkan yang terkait dengan aspek keselamatan pasien, maka manajemen rumah sakit perlu menciptakan adanya budaya pelaksanaan keselamatan pasien. Hal tersebut dikarenakan banyak rumah sakit yang mengaplikasikan sistem keselamatan yang baik, tetapi pada kenyataannya Kejadian Tidak Diharapkan tetap terjadi. Meskipun pada umumnya jika sistem dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya maka Kejadian Tidak Diharapkan dapat ditekan sekecil-kecilnya, namun fakta menunjukkan bahwa sistem tidak dapat berjalan secara optimal jika 6 kompetensi dan nilai-nilai atau budaya yang ada tidak mendukung (Fadhilah, 2008). Pentingnya penerapan pelaksanaan keselamatan pasien dalam mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan sebagaimana yang telah dijelaskan membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ”Pengaruh Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruangan Terhadap Pelaksanaan Patient Safety Di Ruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disusun maka rumusan masalah yang dapat ditarik yaitu : Adakah Pengaruh Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruangan Terhadap Pelaksanaan Patient Safety Di Ruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014 ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Pengaruh Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruangan Terhadap Pelaksanaan Patient Safety Di Ruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014. 2. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruangan Di Ruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014. 2. Mengidentifikasi Pelaksanaan Patient Safety Di Ruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014. 7 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Manajemen Rumah Sakit Untuk memberi gambaran pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan khususnya dalam fungsi pengorganisasian kepala ruangan dalam memberikan keselamatan kepada pasien (patient safety). 2. Bagi Pelayanan Keperawatan Untuk menambah pengetahuan dan wawasan perawat dalam meningkatkan kewaspadaan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya keselamatan pada pasien (patient safety). 3. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut tentang Pengaruh Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruangan Terhadap Pelaksanaan Patient Safety Diruang Instalasi Rindu A RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014. 4. Bagi Peneliti Untuk memberi kontribusi dalam menambah wawasan dan sumber referensi serta dapat dijadikan bahan atau dasar dalam melakukan penelitian untuk berikutnya.