BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul “Keabsahan Klaim Kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku” mengingat dasar yang dikemukakan di bawah ini. Pertama bahwa sengketa pemilikan teritori seperti ini sudah sangat sering sekali ditemukan dan menjadi penting dalam sistem hukum internasional, khususnya dalam beberapa kasus mengenai klaim-klaim suatu negara atas suatu teritori1 yang menurut negara tersebut merupakan wilayah kedaulatannya. Kedua, dalam kasus yang menjadi fokus kajian penelitian dan penulisan skripsi ini menjadi krusial, mengingat kedua negara, Jepang dan Tiongkok harus membuktikan dengan data/fakta yang otentik yang berkaitan dengan legalitas pemilikan Kepulauan Senkaku. Penulis menitikberatkan pada argumen Jepang, yang menurut penulis adalah yang terkuat dalam sistem hukum internasional. Permasalahan sengketa mengenai wilayah Kepulauan Senkaku sejauh ini belum pernah di angkat sebagai topik skripsi di Fakultas Hukum UKSW. Kasus sengketa pemilikan Kepulauan Senkaku, yang penulis angkat ini, adalah pencerminan dari sekian banyaknya kasus sengketa pemilikan suatu teritori yang terjadi dalam lingkup internasional, yang saat ini menjadi isu hukum yang hangat yang sedang dibicarakan, mengingat ada dua negara besar di Asia yang 1 Menurut Penulis, ada beberapa contoh sengketa internasional, semisal dalam skopa regional (ASEAN), Indonesia yang pernah berselisih argumen (yang berisikan fakta-fakta yang kuat pada masing-masing pihak) dengan Malaysia atas kedaulatan teritorial Pulau Sipadan dan Ligitan, yang sebenarnya sudah muncul tahun 1998; demikian pula Inggris dengan Argentina dalam sengketa pemilikan Kepulauan Falkland, dan masih banyak lagi. saling ‘berkompetisi’ memperebutkan teritori ini, yaitu Jepang dan Tiongkok. Kasus ini mencerminkan bahwa harus ada kejelasan batas wilayah negara, yang juga nantinya menjadi pedoman hukum bagi tegaknya integritas dan kedaulatan suatu negara.2 Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua negara bertetangga ini saling meperebutkan Kepulauan Senkaku, karena secara geografis terletak tepat di antara kedua negara tersebut. Namun dalam hal ini, penulis hanya menitikberatkan bahwa Jepang adalah negara yang paling berhak atas Kepulauan Senkaku, dengan segala akibat hukumnya. Sebelum membahas pokok-pokok latar belakang yang akan diuraikan di bawah ini, perlu diperhatikan mengenai Kepulauan Senkaku. Kepulauan Senkaku (Senkaku Islands;dalam argumen Jepang)3 adalah istilah kolektif yang menunjuk pada sekelompok kepulauan yang termasuk di dalamnya Pulau Uotsuri, Kitakojima, Minamikojima, Kuba, Taisho, Okinokitaiwa, Okinominamiiwa, dan Tobise yang berlokasi di bagian barat Kepulauan Nansei Shoto4, yang secara administratif termasuk bagian dari Kota Ishigaki, Prefektur Okinawa (lebih lanjut lihat peta pada lampiran halaman 1).5 B. Latar belakang 2 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, h.1. 3 Dalam hal ini, Tiongkok juga berargumen lain bahwa Senkaku adalah Kepulauan Diaoyu yang terdiri atas Diaoyu Dao, Huangwei Yu, Chiwei Yu, Nanxiao Dao, Beixiao Dao, Nan Yu, Bei Yu, Fei Yu dan pulau-pulau lain dan karang, yang terletak di timur laut Tiongkok Taiwan Island, pendapat ini dikutip dalam white paper “Diaoyu Dao, an Inherent Territory of China,” http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/diaodao/t973774.shtml, dikunjungi pada tanggal 4 April 2013 pukul 07.35. 4 Catatan bahwa secara historis, Kepulauan Senkaku telah terus menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto, yang merupakan wilayah Jepang, dikutip dalam http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi pada tanggal 6 April 2013 pukul 08.32. 5 “The Senkaku Island,” Ministry of Foreign Affairs, 2013, h. 1, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, diunduh pada tangal 5 April 2013 pukul 23.45. Secara historis, manusia sudah menghuni wilayah-wilayah tertentu untuk berdiam dan bertempat tinggal. Dalam beberapa wilayah, dengan berjalannya waktu dan ruang muncul apa yang disebut dengan negara, karena selain persamaan tempat tinggal/berdiam juga atas dasar perasaan senasib bersama. Sudah barang tentu, suatu negara yang didirikan tidak dapat mengadakan relasi sendiri dalam kapasitas antar rakyatnya sendiri, melainkan suatu negara selalu membutuhkan hubungan dengan negara lain. Hal ini memunculkan terbentuknya masyarakat internasional (international community), sebagai konsekuensi hubungan yang terjadi antar negara, khususnya masyarakat internasional satu dengan yang lainnya. Masyarakat internasional, pula menciptakan hukum yang mengikat diantara anggota-anggotanya dalam rangka mengatur hubungan-hubungan antar individu6 yang berdasarkan adagium ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sana ada hukum), yang mana hukum tersebut selanjutnya disebut hukum internasional, yang secara fungsional (sama halnya dengan tujuan hukum) bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan menjamin suatu kepastian dalam pergaulan hidup dengan jalan memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia.7 Perkembangan masyarakat internasional ini tidak stagnan, akan tetapi terdapat perubahan, seperti yang diungkapkan oleh Kusumaatmadja: Masyarakat internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu kita perhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakekat masyarakat 6 Malcolm N. Shaw, International Law (fifth edition), Cambrigde University Press, Cambrigde, 2003, h. 1. 7 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, h. 109. internasional dewasa ini. Perubahan besar yang pertama dan pokok ialah perubahan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini yang sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia ini dari satu masyarakat internasional yang terbagi dalam beberapa negara-negara besar yang masing-masing mempunyai daerah jajahan dan lingkungan pengaruhnya menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara yang merdeka.8 Perjalanan dalam kaitan dengan hubungan antar masyarakat internasional, khususnya dalam lingkup antar negara tidak selalu berjalan baik. Ada kalanya perselisihan, baik dalam skala kecil ataupun besar dapat ditemukan dalam relasi antar negara, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kurnia: Kemajuan teknologi berakibat pada makin eratnya interaksi antar-negara. Dengan sendirinya dalam interaksi tersebut sangat sulit untuk diharapkan akan selalu terjadi keselarasan kepentingan. Keadaan sebaliknya, konflik kepentingan antarnegara, sangat besar kemungkinannya untuk terjadi.9 Jika keadaan tersebut terjadi, maka dapat dimungkinkan negara-negara tersebut menjadi saingan antara satu dengan yang lain, berkompetisi, dengan beberapa argumen yang kuat sehingga perselisihan tersebut dapat diakhiri, meskipun 8 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1989, 9 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hal. 109. h. 14-15. nantinya ada salah satu pihak yang ‘dirugikan’.10 Dari sinilah hukum internasional menjawab bagaimana sudah menjadi seharusnya dasar-dasar untuk menjadikan suatu argumentasi kuat untuk dapat dipertahankan. Secara historis, sengketa antara negara Tiongkok dan Jepang saat ini terhadap pemilikan kepulauan Senkaku bermula dari Dinasti Tiongkok (Dinasti Ming dan Dinasti Qing) yang melakukan perjalanan (misi) ke Kerajaan Ryukyu, dari tahun 1532 hingga sekitar 1755, dengan misi oleh Chen Kan (1532), Kuo Ju Lin (1561), Xiao Chong (1576), Xia Ziyang (1606), Zhang Xueli (1663), Xu Baoguang (1709), Zhou Huang (1755).11 Dari beberapa misi ini, mereka mulai menamai Kepulauan Diaoyu, karena dalam perjalanan ke wilayah Kerajaan Ryukyu, mereka melewati beberapa pulau tersebut.12 Misi terakhir dari Tiongkok membuat Jepang mulai mendekati Kerajaan Ryukyu dan berinteraksi dengan kerajaan tersebut, dan dari sini penduduk Ryukyu menggunakan nama Jepang dalam mengidentifikasikan Kepulauan Diaoyu sebagai Uotsuri.13 Jepang memulai mensurvei14 Kepulauan Senkaku dari tahun 1885, yang berada di sekitar Laut Tiongkok Timur, yang masih termasuk wilayah prefektur Okinawa. Dengan survei 10 Sebenarnya, menurut Penulis, tidak juga setiap perselisihan ada pihak yang memang harus dikalahkan. Dalam beberapa alasan tertentu, para pihak yang berselisih (negara) juga dapat sama-sama menang (win win solution). 11 Martin Lohmeyer, The Diaoyu / Senkaku Islands Dispute: Questions of Sovereignty and Suggestions for Resolving the Dispute, Tesis, University of Canterbury, Canterbury, 2008, hal. 57., diunduh melalui ir.canterbury.ac.nz/bitstream/10092/4085/1/thesis_fulltext.pdf., h. 47-56. 12 Kementrian Luar Negeri Tiongkok, http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/diaodao/t973774.shtml, dikunjungi tanggal 21 April 2013, pukul 11.10. 13 OeKenzaburo, “Okinawa Noto (Record of Okinawa)”, 1993, hal. 92-94; dikutip dalam: Unryu Suganuma, Sovereign Rights and Territorial Space in Sino-Japanese Relation, 1rst ed., 2000, h. 83, dalam Martin Lohmeyer, Op.Cit., h. 57. 14 Dalam hal ini, Jepang telah melakukan suatu penemuan (discovery), di mana dalam perolehan kedaulatan secara okupasi, harus didahului dengan penemuan terlebih dahulu, lihat Rebecca M.M Wallace, International Law, Sweet and Maxwell, London, 1986, h. 82, ‘Ocupation is preceded by discovery’. yang dilakukan pada tahun 1885, Jepang berhasil menemukan Pulau tersebut tanpa adanya satu pun penghuni yang menempati (terra nulius).15 Melihat bahwa tidak ada satupun penghuni yang menempati16, maka Jepang atas keputusan kabinet pada tanggal 14 Januari 1895 untuk mendirikan sebuah penanda di Kepulauan Senkaku untuk secara resmi menggabungkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Preskripsi yang dilakukan Jepang atas Kepulauan Senkaku tidak berhenti sampai di sana saja, melainkan ada kehendak Jepang untuk mengelola Kepulauan Senkaku yang tidak berpenghuni terssebut. Persetujuan dari pemerintah Meiji diberikan kepada Tatsuhiro Koga17 dari prefektur Fukuoka pada tahun 1896, di mana penduduk tersebut telah mengadakan kegiatan perikanan di sekitar Pulau Senkaku. Persetujuan ini pula, memberikan keleluasaan kepada Tatsuhiro Koga untuk mengirimkan pekerja ke wilayah Kepulauan Senkaku, dengan menjalankan beberapa kegiatan usaha, diantaranya pengumpulan bulu burung, manufaktur bonito (sejenis makanan olahan laut) kering, pengumpulan karang, pemeliharaan hewan ternak, manufaktur makanan kaleng, dan pengumpulan mineral fosfat guano (kotoran burung yang dipergunakan untuk bahan bakar).18 Fakta ini, merupakan effective occupation19 yang dilakukan Jepang. 15 Perlu menjadi catatan bahwa selain pada waktu itu keadaan Pulau Senkaku yang tidak berpenghuni juga tidak ada tanda-tanda yang jelas oleh penguasaan dari Dinasti Ming (Tiongkok), lihat “Three Truths about the Senkaku Islands,” http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi pada tanggal 22 April 2013, pukul 10.12. 16 Dalam hal ini, Kepulauan tersebut tidak berada di bawah wilayah Tiongkok dalam masa Dinasti Qing, lihat “Three Truths about the Senkaku Islands,” http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi pada tanggal 22 April 2013, pukul 10.12. 17 Perlu menjadi catatan bahwa Tatsuhiro Koga juga menjelajahi Kepulauan Senkaku untuk Jepang, lihat Martin Lohmeyer, Op.Cit., h. 58. 18 Ini berarti telah terjadi transfer kepemilikan privat terhadap Kepulauan tersebut. Pengelolaan terhadap Kepulauan tersebut berakhir pada tahun 1941, hingga pada tahun 1958 dikuasai oleh Administrasi Sipil Amerika Serikat dengan pembayaran sejumlah uang kepada anak laki-laki Koga dalam rangka hak menggunakan kepulauan ini, lihat Tao Cheng, ”The Sino- Perang antara Tiongkok dan Jepang yang terjadi tahun 1895, juga menjadikan bukti bahwa Jepang untuk pertama kalinya mendapatkan hak teritorial atas pulau-pulau yang sebelumnya dikuasai oleh Tiongkok, salah satunya adalah Taiwan (yang dahulu merupakan wilayah koloni Jepang).20 Jepang memperoleh wilayah beberapa pulau tersebut untuk pertama kalinya, berasal dari Traktat Shimonoseki pada 17 April 1895. Traktat (yang mana disebut juga Perjanjian Perdamaian) tersebut muncul akibat dari perang Sino-Jepang, yaitu perang antara Tiongkok dengan Jepang, yang dimenangkan oleh Jepang. Jepang sendiri tidak merebut pulau-pulau tersebut, dengan dasar pada Article 2 Traktat Shimonoseki, sebagaimana dikutip: China cedes to Japan in perpetuity and full sovereignty the following territories, together with all fortifications, arsenals, and public property thereon (Tiongkok mengembalikan dengan penuh dan selama-lamanya kedaulatan atas wilayah berikut Japanese Dispute Over the Tiao-yu-tai (Senkaku) Islands and the Law of Territorial Acquisition”, Vol. 14 A.J.I.L. (1973), hal. 247, dalam Ibid., h. 70. 19 Effective occupation, merupakan proses tahapan untuk memperoleh kedaulatan secara legal yang dibenarkan oleh hukum internasional. Namun sebelumnya terdapat doktrin hak permulaan/pendahuluan (doctrine of inchoate title), yang mana suatu negara memperoleh hak sementara atas suatu teritori dengan belum sempurna sampai dengan negara tersebut meperoleh bukti kuat dalam effective occupation. Agar menyempurnakan doktrin ini, maka diharuskan adanya effective occupation, lebih lanjut, lihat J.L. Brierly, The Law Of Nations, Oxford at The Clarendon Press, London, 1955, hal. 154, ‘Since an effective occupation must usually be a gradual process it is considered that some weight shold be given to mere discovery, and it is regarded therefore as giving an ‘inchoate title’, that is to say, a temporary right to exclude other states until the state of the discoverer has had a reasonable time within which to make an effective occupation,...’; catatan bahwa effective occupation juga berlaku pada perolehan kedaulatan teritorial dengan preskripsi, lihat D.W. Greig, International Law, Butterworths, London, 1976, h. 163-164; dan D. P. O’Connell, International Law, Stevens and Sons, London, 1970, h. 424-425, dalam Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.h. 111-112 (footnote). 20 Menurut Penulis, Pulau-Pulau yang diperoleh dari Jepang berdasar Perang SinoJepang pada dasarnya merupakan conquest (perolehan wilayah berdasarkan penaklukan). Namun, conquest ini sudah melebur dalam Traktat Shimonoseki yang berarti bahwa terjadi transfer (cessi) wilayah (Pulau-Pulau tersebut). segala kubu pertahanan, gudang senjata, dan benda-benda publik): (a) The southern portion of the province of Fêngtien within the following boundaries (bagian selatan propinsi Fêngtien dalam batas wilayahnya): The line of demarcation begins at the mouth of the River Yalu and ascends that stream to the mouth of the River An-ping, from thence the line runs to Fêng-huang, from thence to Haicheng, from thence to Ying-kow, forming a line which describes the southern portion of the territory. The places above named are included in the ceded territory. When the line reaches the River Liao at Ying-kow, it follows the course of the stream to its mouth, where it terminates. The mid-channel of the River Liao shall be taken as the line of demarcation (Garis pembatas dimulai dari mulut Sungai Yalu dan menaik ke mulut Sungai Anping, dari garis setelah Fêng-huang, dari kemudian kepada Haicheng, dari kemudian kepada Ying-kow, membentuk sebuah garis yang menggambarkan bagian selatan wilayah tersebut. tempat-tempat di atas yang dinamai termasuk wilayah yang dikembalikan. Ketika garis tersebut mencapai Sungai Liao di Ying-Kow, mengikuti aliran mulut sungai tersebut, dimana sungai tersebut berakhir. Saluran tengah Sungai Liao akan diambil sebagai garis pembatas). This cession also includes all islands appertaining or belonging to the province of Fêngtien situated in the eastern portion of the Bay of Liao-tung and the northern portion of the Yellow Sea (Cessi ini juga termasuk semua pulau mencakupi atau yang termasuk propinsi Fêngtien yang berada di bagian timur Teluk Liao-tung dan bagian utara Laut Kuning). (b) The island of Formosa, together with all islands appertaining or belonging to the said island of Formosa (Pulau Formosa, bersama dengan semua pulau yang mencakup atau termasuk Pulau Formosa). (c) The Pescadores Group, that is to say, all islands lying between the 119th and 120th degrees of longitude east of Greenwich and the 23rd and 24th degrees of north latitude (Kelompok Pescadores, yang mana semua pulau berada diantara 119 dan 120 derajat bujur timur Greenwich dan 23 dan 24 derajat lintang utara). Namun, dalam hal ini, tidak terlihat jelas adanya penyerahan Kepulauan Senkaku, hanya terdapat penyerahan pulau-pulau kecil saja , yaitu penyerahan dari semua pulau yang berada di bagian timur teluk Liao-tung dan bagian utara Laut Kuning; Pulau Formosa; dan Kepulauan Pescadores (yang saat ini menjadi Republic of China/Taiwan).21 21 Dalam hal ini, Kepulauan Senkaku bukan merupakan bagian dalam Article 2 Traktat Shimonoseki, yang mana Tiongkok mengklaim bahwa Jepang menyisipkan Kepulauan Senkaku dalam Article 2 tersebut, lihat “Three Truths about the Senkaku Islands,” Seiring bergantinya waktu, Perang Dunia kedua yang meletus pada tahun 1945 berakhir dengan kekalahan Jepang, setelah bom atom dijatuhkan oleh pasukan Sekutu (allied states) di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, akhirnya Jepang menyerah kepada Sekutu.22 Beberapa wilayah Jepang (khususnya di wilayah Prefektur Okinawa) dijadikan basis pertahanan oleh salah satu negara anggota pasukan sekutu, yaitu Amerika Serikat. Pada tanggal 8 September 1951, bertempat di San Fransisco, disahkan Perjanjian Perdamaian antara Jepang dan Negara-Negara yang tergabung dalam pasukan sekutu, yang lebih lanjut dinamakan Perjanjian Perdamaian Jepang 1951 (San Fransisco Peace Treaty/Treaty of Peace with Japan).23 Perjanjian ini mencakup dalam beberapa hal, yaitu mengenai wilayah, keamanan, politik dan ekonomi, klaim-klaim dan properti, penyelesaian sengketa dan klausula akhir. Dalam hal kedaulatan Kepulauan Senkaku, penulis berfokus pada Article 3, sebagaimana tertulis bahwa: Japan will concur in any proposal of the United States to the United Nations to place under its trusteeship system, with the United States as the sole administering authority, Nansei Shoto south of 290 north latitude (including the Ryukyu Islands and the Daito Islands) [huruf tebal dari penulis], Nanpo Shoto south of Sofu Gan (including the Bonin Islands, Rosario Island and the Volcano Islands) and Parece Vela and Marcus Island. Pending the making of such a proposal and affirmative action thereon, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi tanggal 22 April 2013, pukul 10.12 . 22 Ini ditunjukkan dalam Japanese Surrender pada tanggal 15 Agustus 1945. 23 Treaty Peace with Japan 1951 ini pula yang menetapkan secara sah wilayah Jepang setelah perang Dunia Kedua, lihat “Questions and Answers on The Senkaku Islands,” http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi pada tanggal 5 April 2013 pukul 23.55. the United States will have the right to exercise all and any powers of administration, legislation and jurisdiction over the territory and inhabitants of these islands, including their territorial waters (Jepang akan setuju terhadap beberapa tawaran dari Amerika Serikat kepada PBB untuk ditempatkan di bawah sistem perwalian, dengan Amerika Serikat sebagai pihak yang berwenang mengadministrasi secara tunggal, Nansei Shoto selatan dari 290 lintang utara (termasuk Kepulauan Ryukyu dan Daito), Nanpo Shoto selatan dari Sofu Gan (termasuk Kepulauan Bonin, Rosario dan Volcano), dan Pulau Parece Vela dan Marcus. Sementara menunggu pembuatan beberapa tawaran dan tindakan afirmasi, Amerika Serikat akan memiliki hak untuk melaksanakan semua kekuasaan administrasi, legislasi, dan yurisdiksi di seluruh wilayah kepulauan tersebut, termasuk laut teritorial). Dalam Article 3 yang dikutip di atas, terutama yang diberi garis miring, menunjukkan bahwa Nansei Shoto, yang didalamnya termasuk Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito, ditempatkan dibawah sistem perwalian yang dikelola secara administratif oleh Amerika Serikat, yang berarti bahwa Kepulauan Senkaku belum sepenuhnya menjadi wilayah dari Jepang. Perlu diperhatikan bahwa secara geografis, dalam kepulauan Nansei Shoto, termasuk pula di dalamnya Kepulauan Senkaku24, yang termasuk dalam wilayah administrasi Prefektur Okinawa. Berarti, dalam hal ini terdapat transfer kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. 24 Ini dikuatkan dengan The U.S. Civil Administration Proclamation No. 27, of December 25, 1953, dalam Seokwoo Lee, “The 1951 San Fransisco Peace Treaty With Japan And Namun, penguasaan Amerika Serikat pada Kepulauan Nansei Shoto tidak berlangsung lama. Pada tanggal 17 Juni 1971, telah disahkan Perjanjian antara Jepang dan Amerika Serikat mengenai Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito (selanjutnya disebut Okinawa Reversion Agreement), di mana dalam perjanjian tersebut, wilayah yang sebelumnya dikuasai secara administratif oleh Amerika Serikat, dikembalikan sepenuhnya hak-haknya kepada Jepang. Mengenai pengembalian atau penyerahan ini, sebagaimana mengutip Article 1 ayat (1): With respect to the Ryukyu Islands and the Daito Islands, as defined in paragraph 2 below, the United States of America relinquishes in favor of Japan all rights and interests under Article 3 of the Treaty of Peace with Japan signed at the city of San Francisco on September 8, 1951, effective as of the date of entry into force of this Agreement. Japan, as of such date, assumes full responsibility an authority for the exercise of all and any powers of administration, legislation and jurisdiction over the territory and inhabitants of the said islands [huruf tebal dari penulis] (dengan rasa hormat terhadap Kepulauan Ryukyu dan Daito, sebagaimana didefinisikan dalam paragraf 2 di bawah, Amerika Serikat mengembalikan untuk seluruhnya kepada Jepang semua hak dan kepentinga di bawah Article 3 Treaty of Peace with Japan yang ditandatangani di San Fransisco pada tanggal 8 September 1951, berlaku efektif pada tanggal perjanjian ini. Jepang, pada tanggal ini, menerima The Territorial Disputes In East Asia”, Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 11, 2002, No. 1, h. 90. tanggung jawab penuh untuk berwenang melaksanakan seluruh kekuasaan administrasi, legislasi, dan yurisdiksi di seluruh wilayah pulau tersebut). Lebih lanjut dalam Article 1 ayat (2), menjelaskan mengenai istilah (dan juga skopa) Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito, sebagaimana dikutip: For the purpose of this Agreement, the term "the Ryukyu Islands and the Daito Islands" means all the territories and their territorial waters with respect to which the right to exercise all and any powers of administration, Iegislation and jurisdiction was accorded to the United States of America under Article 3 of the Treaty of Peace with Japan [huruf tebal dari penulis] other than those with respect to which such right has already been returned to Japan in accordance with the Agreement concerning the Amami Islands and the Agreement concerning Nanpo Shoto and Other Islands signed between Japan and the United States of America, respectively on December 24, 1953 and April 5, 1968.(Dalam hal kegunaan perjanjian ini, istilah “Kepulauan Ryukyu dan Daito” berarti seluruh wilayah dan laut teritorialnya dengan yang mana terdapat hak untuk melaksanakan seluruh kekuasaan administrasi, legislasi, dan yurisdiksi, yang telah disetujui Amerika Serikat di bawah Article 3 Treaty of Peace with Japan) Dari Article 1 ini, mengenai penguasaan Kepulauan Senkaku, terdapat Agreed Minutes25, yang mana menjelaskan wilayah mana yang termasuk dalam Kepulauan Ryukyu dan Daito, dan Kepulauan Senkaku masuk dalam wilayah Kepulauan tersebut. Atas dasar Perjanjian ini, maka telah terjadi transfer kepemilikan terhadap Kepulauan Senkaku, yang mana pengelolaan secara administratif Kepulauan tersebut telah berpindah dari Amerika Serikat kepada Jepang. C. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang muncul adalah: 25 “The Senkaku Islands,” Ministry of Foreign Affairs (MOFA) Japan, February 2013, diunduh melalui http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, tanggal 5 April 2013 pukul 23.45., berikut adalah pernyataan dari Agreed Minutes: Agreed Minutes The representatives of the Government of Japan and of the Government of the United States of America wish to record the following understanding reached during the negotiations for the Agreement between Japan and the United States of America concerning the Ryukyu Islands and the Daito Islands, signed today(Perwakilan Pemerintah Jepang dan Pemerintah Amerika Serikat, menginginkan mencatat kesamaan pemahaman yang dicapai berdasarkan negosiasi untuk Perjanjian antara Jepang dan Amerika Serikat mengenai Kepulauan Ryukyu dan Daito, tertanda tangan hari ini): Regarding Article I(mengenai Article I): The territories defined in paragraph 2 of Article I are the territories under the administration of the United States of America under Article 3 of the Treaty of Peace with Japan, and are, as designated under Civil Administration Proclamation Number 27 of December 25, 1953, all of those islands, islets, atolls and rocks situated in an area bounded by the straight lines connecting the following coordinates in the listed order (wilayah yang digambarkan dalam paragraf 2 Article I adalah wilayah di bawah administrasi Amerika Serikat di bawah Article 3 Treaty of Peace with Japan, dan didesain di bawah Proklamasi Administrasi Sipil Nomor 27 tertanggal 25 Desember 1953, seluruh pulau, atol, dan bebatuan, di wilayah yang terikat oleh garis lurus yang terhubung dengan koordinat di bawah ini): North latitude(Lintang utara) East Longitude(Bujur timur) 28 degrees 124 degrees 40 minutes 24 degrees 122 degrees 24 degrees 133 degrees 27 degrees 131 degrees 50 minutes 27 degrees 128 degrees 18 minutes 28 degrees 128 degrees 18 minutes 28 degrees 124 degrees 40 minutes. 1. Apa yang menjadikan permasalahan klaim kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku? 2. Bagaimana tindakan yang dilakukan oleh Jepang dalam rangka menegaskan keabsahan klaim atas kepemilikan Kepulauan Senkaku? D. Tujuan Penelitian 1. Ingin mengetahui permasalahan klaim kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku. 2. Ingin mengetahui bagaimana tindakan yang dilakukan oleh Jepang dalam rangka mewujudkan klaim atas kepemilikan Kepulauan Senkaku. E. Manfaat Penelitian a. Teoritis: 1. Menambah ilmu, khususnya dalam bidang hukum internasional, tentang bagaimana cara suatu negara mendapatkan wilayah/teritori kedaulatannya berdasarkan cara-cara yang sudah ditentukan dalam sistem hukum internasional. 2. Menambah referensi tentang kajian hukum internasional, khususnya dalam rangka tindakan pemilikan suatu wilayah b. Praktis: 1. Dengan penelitian ini, diharapkan permasalahan mengenai kepemilikan Pulau Senkaku yang saling diklaim oleh dua negara, yaitu Jepang dan Tiongkok dapat terselesaikan, dengan dasar-dasar argumen yang kuat dalam sistem hukum internasional. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dengan melihat latar belakang diatas, penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan melihat norma-norma terkait dengan kepemilikan Kepulauan Senkaku oleh Jepang dalam rangka compatible dengan hukum internasional. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan teori (theory approach), dengan menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan penguasaan oleh Jepang terhadap Kepulauan Senkaku yang sesuai dengan norma dari Hukum Internasional. Pendekatan kasus (case approach), dengan melihat kasus sengketa kepemilikan antara Tiongkok dan Jepang dalam rangka siapa yang paling berhak memperoleh kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. 3. Bahan Hukum Penulis menggunakan bahan hukum, yang terdiri atas bahan hukum primer meliputi Traktat Shimonoseki 1895; Treaty of Peace with Japan; Perjanjian Amerika Serikat dan Jepang Mengenai Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito 1971 (Okinawa Reversion Agreement). Bahan hukum sekunder, yaitu berasal dari hasil-hasil penelitian dan karangan ilmiah (buku, jurnal, tesis, dan lain sebagainya). Adapun bahan hukum tersier, yaitu kamus hukum (Black’s Law Dictionary) 4. Pengambilan dan pengolahan bahan hukum Dengan beberapa penelitian yang mencari dan menyesuaikan antara fakta dengan norma dari hukum internasional atas kasus kepemilikan Kepulauan Senkaku antara Tiongkok dan Jepang, yang mana melihat kepada perspektif Jepang, khususnya dalam rangka perolehan kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. 5. Unit Amatan Penulis menggunakan unit amatan yang terdapat dalam kajian utama yang menjadi titik persoalan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Traktat Shimonoseki 1895; 2. Treaty of Peace with Japan 1951; 3. Perjanjian Amerika Serikat dan Jepang Mengenai Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito (Okinawa Reversion Agreement) 1971. 6. Metode Analisis Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dikombinasikan dengan analisis historis, yang mana terdapat beberapa traktat sebagai sumber hukum dan juga beberapa teori dengan aspek historis dari traktat tersebut.