Perubahan Iklim dan Ekosistem Lautan Besar

advertisement
Perubahan Iklim dan Ekosistem Lautan Besar
Fenomena berkurangnya jumlah dan ukuran spesies ikan komersil di
perairan laut seluruh dunia, termasuk Indonesia semakin menyeruak.
Banyak pihak yang turut mengamini hal ini dengan bersama-sama
menunjuk ke arah perubahan iklim dan metode penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan sebagai penyebabnya. Sebenarnya, kedua faktor
tersebut benar telah menjadi penyebab utama kondisi kekurangan ikan di
perairan kita selama ini, selain faktor-faktor lain yang menjadi topik
bahasan kali ini.
Perhatian terhadap dampak perubahan iklim, khususnya pemanasan
global, telah diberikan oleh komunitas kelautan dan perikanan dunia yang
inisiasi utamanya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Hal ini
terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa sistem lautan dunia
sebenarnya merupakan satu sistem yang tak dapat dipisahkan dan saling
terhubung satu sama lain. Dengan latar belakang inilah maka oleh Dr.
Kenneth Sherman dkk dicetuskanlah gagasan untuk menginisisasi konsep
ekosistem lautan besar (Large Marine Ecosystem: LME). Konsep LME
yang pada awalnya dipunggawai National Oceanic and Atmospheric
(NOAA) negara adidaya Amerika Serikat ini, akhirnya memperoleh
dukungan dari badan-badan dunia seperti Intergovernmental
Oceanographic Commission (IOC)-UNESCO, IUCN (International
Union for the Conservation of Nature), UNDP dan GEF (Global
Environment Facility) serta melibatkan sejumlah pemerintah negaranegara pada seluruh benua di atas jagad ini, termasuk Republik
Indonesia. Dalam proyek-proyek LME Global Governance dilakukan
koordinasi dan penyelarasan pengetahuan dan teknik-teknik dalam
pembentukan daerah-daerah perlindungan laut (MPA), rencana spasial
lautan (MSP), ICM (Integrated Coastal Management) dengan sejumlah
institusi partner utama seperti IOC dan ICES (International Council for
the Exploration of the Sea) yang telah banyak memperoleh dukungan
pendanaan dari GEF dan badan-badan internasional lainnya, lebih dari 20
tahun terakhir.
1
Laut Arafura dan laut Timor merupakan LME 38 (dari 66 LME di
seluruh dunia) yang melibatkan kolaborasi tiga Negara: Australia,
Indonesia dan Timor Leste. Di Indonesia dikenal Indonesian Sub-LME
(IS-LME), dikoordinasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sebagaimana diketahui di Indonesia terdapat 11 Wilayah Pengelolaan
Perikanan, namun hanya 4 WPP yang termasuk dalam IS-LME, yaitu:
WPP 712 (Laut Jawa), WPP (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores
dan Selat Bali), WPP 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda) dan WPP 715
(Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk
Berau). Subhat Nurhakim dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan KKP
yang menjadi focal point IS-LME menyatakan bahwa terdapat beberapa
isu terkait IS-LME: (1) beberapa spesies telah berada dalam kondisi lebih
tangkap, (2) semakin meningkatnya ancaman dari semakin pesatnya
pembangunan di wilayah pesisir, (3) semakin meningkatnya laju
pencemaran laut yang berasal dari daratan dan intensitas penangkapan
ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan bius dan
peledak, (4) kurang terpadunya pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
akibat pengelolaan oleh lintas sektor dengan kepentingan yang berbeda,
(5) rencana pengelolaan perikanan belum berkembang secara baik dan
benar. Tujuan utama dari pelaksanaan IS-LME adalah restorasi,
konservasi dan pengelolaan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan.
Proyek IS-LME memiliki 5 komponen kerja utama yang terpusat pada
aktifitas perikanan tangkap, habitat, pencemaran yang bersumber dari
aktifitas di daratan (land based pollution), spesies laut yang terancam
punah serta perubahan iklim.
Pernyataan Dr. Kenneth Sherman dalam pertemuan konsultatif IOCIUCN-NOAA tentang LME di Paris pada tanggal 10-11 Juli 2013 lalu
patut menjadi perhatian kita semua, khususnya para pemerhati
lingkungan laut. Sherman memberi penekanan pada kecenderungan
terjadinya pemanasan global di 66 wilayah LME dunia dan proyeksi
terhadap penurunan produktifitas primer akibat meningkatnya suhu pada
lapisan permukaan perairan yang dapat menyebabkan konsekuensi serius
pada aktifitas perikanan tangkap, pada wilayah-wilayah dengan kisaran
2
20o Lintang Utara - 20o Lintang Selatan, yang pada umumnya merupakan
lokasi negara- negara berkembang.
Penguatan terhadap penyataan Sherman tadi datang dari Dr. Daniel Pauly
(koordinator Proyek Sea Around Us yang berbasis di University of
British Columbia, Canada), pada pertemuan yang sama, memaparkan
fakta pergerakan ikan-ikan bermigrasi (migratory species) ke arah kutub
sebagai akibat dari peningkatan suhu permukaan wilayah-wilayah lautan
di dunia. Data yang dipresentasikan oleh Pauly berisi hasil analisis suhu
dan spesies ikan di wilayah LME dunia selama kurang lebih 50 tahun,
yang mengindikasikan bahwa suhu rata-rata pada penangkapan ikan
menggunakan alat trawl yang dikalkulasi dan digunakan dalam
pemodelan proyeksi pergerakan spesies ikan akibat menghangatnya suhu
lautan. Daniel Pauly juga mengemukakan suatu indikator baru yang
bersifat spesifik untuk setiap spesies ikan, dinamakan indikator suhu ratarata penangkapan (Mean Temperature of Catch = MTC). Dengan
mengombinasikan MTC dengan data tangkapan ikan ber-georeferensi
yang dilakukan sejak tahun 1950-an, Pauly menunjukkan kepada kita
bagaimana pergerakan (shifts) kisaran persebaran (range of distribution)
ikan yang dipicu oleh perubahan iklim dalam wilayah-wilayah LME di
Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Dalam publikasi
Cheung, W.W.L., R. Watson dan Daniel Pauly tahun 2013 di Majalah
Ilmiah Nature 497: 365-368, untuk seluruh LME diindikasikan bahwa:
(1) MTC meningkat secara berkala dibandingkan suhu perairan dengan
laju peningkatan suhu 0,19o C per-dekade, (2) perubahan pada wilayah
perairan tropis merupakan asymptot terhadap peningkatan suhu perairan
yang terjadi secara cepat pada dekade pertama, lalu berhenti pada saat
spesies sub-tropis meninggalkan wilayah perairan tersebut. Setelah
kepergian spesies sub-tropis tersebut, sekitar satu atau dua dekade hanya
spesies tropis yang mendiaminya, yang kemudian menjadi ekosistem
stabil, (3) pada wilayah-wilayah perairan sub-tropis dan dingin, spesies
ikan dari wilayah perairan tropis akan menggantikan spesies-spesies dari
perairan dingin, dan hal ini akan terus berlanjut hingga waktu yang tdiak
ditentukan, (4) di perairan tropis, penurunan jumlah dan ukuran ikan
3
berlanjut tanpa adanya penggantian. Data historis penangkapan ikan
menunjukkan bahwa perubahan ini sudah dan sedang terjadi di wilayah
perairan laut tropis, yang sangat mengkhawatirkan bahwa suatu saat
wilayah perairan laut tropis akan mengalami kepunahan spesies ikan
tanpa adanya pergerakan ikan dan spesies ikan lain yang
menggantikannya. Kecenderungan (trend) ini merupakan hasil analisis
dari pengamatan data historis lebih dari 30 tahun (1970-2006) yang
diperkuat oleh model prediksi MTC dan analisis perubahan iklim.
Selanjutnya oleh Pauly dinyatakan bahwa perubahan pada wilayah
perairan laut tropis adalah bersifat permanen atau tidak dapat balik
(irreversible) dan memiliki implikasi serius bagi aktifitas penangkapan
ikan. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan suhu perairan akan
membatasi pertumbuhan ukuran ikan karena berkurangnya kadar oksigen
terlarut dalam air yang secara langsung akan mempengaruhi ukuran,
kapasitas dan daya kerja insang ikan. Hal ini jelas akan menyebabkan
ukuran ikan di wilayah perairan tropis yang terkena dampak pemanasan
global akan menjadi lebih kecil yang akan berujung pada menurunnya
produktifitas stok ikan yang jelas akan mengancam ketahanan dan
keamanan bahan pangan, khususnya di negara-negara berkembang
dengan jumlah penduduk miskin yang masih relatif besar.
Tekanan terhadap lingkungan pesisir dan lautan sebagai dampak kegiatan
manusia sangat beragam: peledakan populasi alga berbahaya (HABs:
harmful Algal Blooms), abrasi pantai dan sedimentasi wilayah perairan
pesisir akibat run-off, partikel plastik di permukaan badan air, bahan
pencemar organik persisten (POPs: persistent organic pollutants) adalah
beberapa contoh yang dapat disebutkan. Anomali iklim berupa hujan
berdurasi panjang semakin meningkatkan sedimentasi di wilayah pesisir
akibat tingginya laju presipitasi, jelas akan sangat mengganggu
produktifitas primer dan berdampak pada kondisi perairan anoksik yang
tidak mendukung pertumbuhan populasi ikan.
Beberapa upaya mitigasi untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan
pesisir dan lautan dapat diterapkan. Beberapa metode yang dilakukan di
4
LME 48 Laut Kuning China untuk membantu pemulihan dan
pengurangan tekanan pada lingkungan seperti pemberlakuan buka tutupmusim penangkapan, mengurangi intensitas upaya penangkapan,
mendorong usaha-usaha peningkatan stok (restocking) serta terus
mengembangkan aktifitas budi daya laut ramah lingkungan. Penerapan
aktifitas-aktifitas tersebut secara kolektif terbukti (1) melestarikan sumber
daya perikanan dan (2) menumbuhkembangkan aktifitas budi daya laut
ramah lingkungan. LME Laut Kuning China itu mendemonstrasikan
bagaimana penerapan sistem budi daya multi trofik (dengan spesies budi
daya: ikan, rumput laut, teripang laut dan abalon) di wilayah pesisir
mampu menyerap sejumlah besar CO2 dan nutrien berlebih pada
permukaan perairan. Hal ini jelas akan memiliki dampak mengurangi
tekanan atau paling tidak memperlambat laju kerusakan ekosistem akibat
pemanasan global yang secara langsung memberikan manfaat sosial
ekonomi masyarakat.
Tantangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di masa mendatang,
jelas akan membutuhkan kebijakan umum yang lebih fleksibel terhadap
kondisi kekinian dimana perubahan/pergerakan (shifting) dalam
persebaran spesies-spesies ikan akibat perubahan iklim. Akan menjadi
lebih sulit untuk mengelola stok ikan yang disebabkan oleh shifting
dalam populasi dan migrasi ikan keluar dari area tradisionalnya. Hal ini
karena kebijakan perikanan konvensional sangat sering melibatkan waktu
negosiasi yang panjang sebelum sampai pada proses-proses pengambilan
keputusan yang juga sangat berbelit-belit (contohnya dalam menentukan
lokasi wilayah perlindungan laut/MPA), yang sudah sangat tidak cepat
tanggap atau sering sangat terlambat dalam konteks adaptasi terhadap
dinamika perubahan lingkungan yang berlangsung sedemikian cepatnya,
yang sudah sama-sama kita alami saat ini. Dari kondisi yang telah kita
cermati bersama, dengan sangat pesimistik dapat dikatakan bahwa kita
semua akan berakhir dengan kehilangan sumber daya ikan akibat
pemanasan global dan tingkat pencemaran laut yang semakin lama
semakin mengkhawatirkan. Mari peduli pada wilayah laut kita, semoga
ada dampak dari partisipasi kita semua, sekecil apapun itu, terhadap stok
5
ikan di lautan kita, khususnya untuk kepentingan anak cucu kita di masa
mendatang.
Akbar Tahir
Guru Besar Toksikologi dan Pencemaran Laut
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS
Mobile: 0811441807
Email: [email protected]
6
Download