Uploaded by riskyrama.rr

Wilayah Perikanan

advertisement
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGATURAN
PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT
(PPBM) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPP NRI)
Penulis
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
email :
Abstract: Fish resources in Indonesia is one of the capital to prosperity for the nation,
approved by the government. The study of the potential and the level of years is one of
the main foundations in managing resources towards sustainable resources for the
welfare of the nation. One option for managing fisheries potential is community based
fisheries management. However, conflicts of interest are based on the Fisheries Law,
PWP3K Law and the Regional Government Law in the management of conservation and
marine resources. PPBM within the wider scope of fisheries law. Writers who consider
overall policy changes Fisheries that receive management by the community in fisheries.
Keywords: Community Based Fisheries Management, Fisheries Law,
Decentralization, Common Ownership Rights, WPP NR
Abstrak: Sumber daya ikan di perairan Indonesia merupakan salah satu modal menuju
kemakmuran bagi bangsa, apabila dikelola secara berkelanjutan.Kajian potensi dan
tingkat pemanfaatan tahun merupakan salah satu dasar utama dalam merumuskan
pengelolaan tersebut menuju pemanfaatan sumber daya yang lestari bagi kesejahteraan
bangsa. Salah satu opsi pelolaan potensi perikanan yaitu pengelolaan perikanan berbasi
masyarakat. Namun adanya konflik berdasarkan UU Perikanan, UU PWP3K dan UU
Pemda dalam pengelolaan sumber daya perairan dan laut. Tetapi terdapat hambatan
dengan tidak terintegrasinya PPBM dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas.
Penulis menyarankan adanya perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum
perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan.
Kata kunci: Pengelolaan Perikanan Berbasis
Desentralisasi, Hak Milik Bersama., WPP NR
Masyarakat,
Hukum
Perikanan,
Dengan tersedianya potensi yang besar, sector kelautan dan
perikanan dapat menjadi odyssey to prosperity atau jalan bagi masyarakat
Indonesia menuju kemakmuran. Hal ini bukan suatu yang mustahil, sebab
sektor perikanan merupakan salah satu sektor utama yang akan
menghantarkan Indonesia sebagai negara yang maju perekonomiannya
pada tahun 2030. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan pengelolaan sumber
daya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan
pengelolaan sumber daya perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan
melalui Pasal 7(1) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45
Tahun 2009 wajib menetapkan potensi dan alokasi sumberdaya ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 1
Sebagai dasar penetapan potensi dan tingkat pemanfaatan
tersebut telah beberapa kali dilakukan kajian stok sumberdaya ikan.
Kajian stok sumber daya ikan merupakan dasar utama dalam langkahlangkah pengelolaan sumberdaya perikanan (Sparre dan Venema, 1992).
Dengan adanya kajian stok yang berkesinambungan, kebaruan data dapat
dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya
perikanan secara akurat dan cermat untuk mewujudkan peningkatan
kesejahteraan nelayan di Indonesia.
Namun walaupun telah dilakukan kajian yang berkelanjutan tentu
saja dalam pelaksanaanya masih banyak expoloitasi sumber daya yang
disebabkan oleh rezim akses terbuka yang menganggap bahwa
persediaan ikan tidak terbatas dan dapat pulih dengan sendirinya. Rezim
akses terbuka bergerak ke bentuk pengelolaan yang membatasi akses
terhadap
sumber
daya
ikan,
antara
lain
dengan
menggunakan
pendekatan berbasis hak yang menciptakan rezim hak-hak kepemilikan
(property rights) atas sumber daya. Salah satu bentuk rezim hak
kepemilikan adalah kepemilikan bersama (common / collective property),
dimana masyarakat lokal memegang hak ekslusif untuk menangkap ikan
di suatu area tertentu.
Seringkali
bentuk
kepemilikan
bersama
dalam
perikanan
disamakan dengan situasi akses terbuka yang ditulis oleh Hardin dalam
artikelnya yang berjudul tragedy of commons. Capistrano dengan
mengutip pendapat Lynch mengklarifikasi bahwa Hardin tidak merujuk
kepada tragedy of the commons melainkan tragedy of open access yang
bertolak belakang dengan pengelolaan dan pemilikan sumber daya oleh
suatu kelompok tertentu. Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan
akses terbuka tidak membatasi setiap orang untuk mengakses dan
Soman Ali, “Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Wpp Nri) Tahun 2015 Serta Opsi
Pengelolaannya”, Jurnal Kebijakan Indonesia, Vol. 8, No. 2 2016, Hal. 7.
1
mengeksploitasi suatu sumber daya.2 Dalam rezim kepemilikan bersama,
pengelolaan perikanan dilakukan dengan pengelolaan perikanan berbasis
masyarakat sebagai pemilik sumber daya.
Masyarakat Indonesia telah mempraktikkan PPBM yang telah
terbukti efektif dalam mengelola sumber daya perikanan secara
berkelanjutan serta secara adil mengalokasikan sumber daya kepada
masyarakat lokal. Praktik PPBM tidak terbatas pada wilayah perairan
laut
tetapi
mencakup
perairan
pedalaman.
PPBM
dilaksanakan
berdasarkan wilayah yang ditentukan secara jelas oleh lembaga
masyarakat.26 Pengawasan akses terhadap sumber daya dilakukan
sendiri oleh nelayan setempat dan aturan ditegakkan oleh otoritas
lembaga setempat secara moral dan politik. Bailey dan Zerner
mengidentifikasi dua hambatan hukum dalam PPBM di Indonesia.28 UU
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan tidak menyebutkan dan mengakui
hukum adat dan hak ulayat laut (hak teritorial masyarakat). Selain itu,
UU No. 79 Tahun 1985 tentang Pemerintahan Desa tidak mengakui
kelembagaan tingkat masyarakat dan peran kepemimpinan selain
struktur pemerintahan formal serta tidak mengakui kewenangan hukum
selain dari pejabat yang ditunjuk pemerintah.3
Berbagai kebijakan hukum telah diundangkan termasuk revisi
terhadap berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat. Selain itu Dalam upaya mencapai pemanfaatan
secara optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan yang
menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh
Indonesia, Wilayah Pengelolaan Perikanan kemudian diubah dari 9 WPP
menjadi 11 WPP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
2
Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous
Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And
Indigenous Rights, (Nova Scotia, Saint Mary’s University, 2009). Lihat juga: Takdir
Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), hal. 8.
3 Marthin Hadiwinata Ahmad, “A N A L I S I S H U K U M Terhadap Pengaturan
Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Di Indonesia” Jurnal Hukum Lingkungan,
Vol.2, No. 1 2015, Hal 4.
No. Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia. Perubahan WPP ini tentunya akan memberikan implikasi
terhadap
hasil
perhitungan
potensi.
Jumlah
Tangkapan
yang
Diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan.4 Dengan demikian perlu
dilakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan terdahulu
Pada tahun 2011 dilakukan kajian ulang pertama kali setelah WPP
berubah menjadi 11 WPP dan metoda yang dipergunakan sudah
menggabungkan metode holistik dan analitik. Hasil kajian ini telah dibuat
menjadi dasar kebijakan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia
seperti tertuang dalam Kepmen 45 Tahun 2011.Dalam kaitan untuk
memperbarui data dan informasi Kepmen 45/2011 tersebut, terutama
untuk mengakurasi status pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia,
maka dilakukan pembaruan potensi dan tingkat pemanfaatan sumber
daya ikan pada tahun 2013 dan 20155
Artikel ini akan menganalisis peluang pengaturan PPBM di
Indonesia dengan terbatas pada peraturan perundangan tingkat nasional
dan membahas potensi implementasi PPBM dalam pemanfaatan sumber
daya ikan di WPP NRI tahun 2015 untuk mewujudkan pemanfaatan
sumber daya ikan yang berkelanjutan di Indonesia.
METODE
Jenis penelitian hukum yang digunakan oleh penulis adalah
penelitian hukum normatif, yaitu penulisan yang mengkaji norma-norma
hukum yang berlaku. Penelitian hukum normative menggunakan data
skunder sebagai data utama sedangkan data primer sebagai penunjang.
Data skunder dalam penelitian ini bersumber dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan yaitu :
Waluyo, “Karakteristik Seakeeping Kapal Angkut Ikan 60 Gt Di Sebaran Wilayah
Perikanan Perairan Indonesia” Jurnal Wave, Vol.12, No. 2, 2018 Hal 6
5 Suman, A. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPP-NRI
2015. Makalah disampaikan pada sidang tahunan Komnas Kajiskan. Balai Penelitian
Perikanan Laut, Puslitbangkan, Balitbang KP
4
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
5. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014
Tentang Kelautan
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku,
internet, tesis yang terkait dengan judul untuk selanjutnya diseleksi,
dikaji, dan di pertimbangkan relevansinya dengan masalah yang
diteliti.
PEMBAHASAN
1. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat (PPBM)
Kuemlangan dan Teigenem memaparkan tiga manfaat dalam
PPBM. Pertama, masyarakat menikmati hak secara kolektif untuk
memanfaatkan dan mengakses sumber daya, yang akan mendorong
keinginan untuk menjaga dan melindungi hak-hak tersebut.10 PPBM
akan meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan perikanan dan
devolusi dari fungsi-fungsi pengelolaan perikanan.Kedua, PPBM akan
memberikan pengakuan terhadap perikanan skala kecil. Ketiga, PPBM
dapat menyediakan berbagai sumber pengetahuan adat dan lokal untuk
melengkapi
informasi
meningkatkan
ilmiah,
penerapan
pemantauan
pengelolaan
persediaan
secara
ikan,
serta
keseluruhan.Hal
ini
dilatari bahwa pendekatan ilmiah dengan penghitungan maximum
sustainable yield (“MSY”) dari jenis ikan kunci memiliki keterbatasan
penerapan terhadap perikanan di negara berkembang.
Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh pelaku perikanan skala
kecil akan mendukung pembangunan berkelanjutan dalam sektor
perikanan sehingga perlu untuk dilindungi.6
Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan PPBM sebagai “a form
of participatory and common property rights-based management which
vests fishing rights in a group of individuals (communities) or involves the
sharing of fisheries management and enforcement powers with local
communities.”7 Dalam pengertian tersebut, PPBM melibatkan badan
kolektif masyarakatnelayan sebagai kelompok yang terlibat secara
langsung dalam kegiatan perikanan. Dimana masyarakat nelayan memiliki
suatu fungsi kontrol, pemantauan dan pengawasan dalam kegiatan
perikanan mendapatkan hak diferensial melalui partisipasi masyarakat
terhadap pengelolaan barang milik publik. Pemerintah berperan dalam
fungsi lain, misalnya untuk menilai aspek biologis manajemen perikanan
dan keseluruhan peraturan yang mengikat. Sementara, masyarakat lokal
akan bertanggung jawab atas tugas yang dapat dilakukan, misalnya
mengukur apakah ada usaha penangkapan berlebih, aturan lokal untuk
menangkap ikan, monitoring dan tingkat kepatuhan.
Prinsip-prinsip
pengelolaan
dan
pengembangan
sumberdaya
perikanan adalah sebagai berikut; pertama kelestarian sumberdaya.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya
memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena
itu,
kelestarian
sumberdaya
harus dipertahankan
sebagai
landasan utama untuk mencapai tujuan tersebut. Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan tidak menyebabkan
rusaknya fishing ground, spawning ground dan nursery ground ikan.
kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And
Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code
Review. 7 (2004).
7 Keumlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 153
6
Selain itu, tidak pulamerusak hutan mangrove, terumbu karang, dan
padang lamun yang memiliki keterkaitan ekologis dengan ikan.
Untuk melaksanakan prinsip kelestarian sumberdaya, aspek
penggunaan
teknologipenangkapan
dan
budidaya
perlu
mendapat
perhatian. Teknologi yang digunakan hendaknya teknologi yang ramah
lingkungan sehingga tidak mengakibatkan menurunnya daya dukung
lingkungan dan munculnya konflik sosial di masyarakat. Berkaitan dengan
prinsip kelestarian perlu dilakukan kegiatan monitoring, controling, dan
evaluation terhadap ketersediaan sumberdaya ikan termasuk kondisi
lingkungan perairan laut dan pencemaran.
Kedua,
kelestarian
budaya.
Pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya perikanan seyogyanya memperhatikan kearifan/pengetahuan
lokal, hukum adat dan aspek kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya.
Ketiga,
sumberdaya
prinsip
perikanan
ekonomi.
Pengelolaan
hendaknya
mampu
dan
pemanfaatan
memberikan
kontribusi
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli
daerah sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu upaya pemerataan alokasi dan
distribusi sumberdaya perikanan secara efisien dan berkelanjutan kepada
masyarakat tanpa memprioritaskan suatu kelompok masyarakat dan
memarjinalkan kelompok masyarakat lainnya.
Keempat,
prinsip partisipatif.
Pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan
partisipasi semua pihak yang terkait (stakeholders) yaitu pemerintah
daerah, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat. Adanya
partisipasi
seluruh
pihak
akan
mewujudkan
rasa
memiliki
dan
tanggungjawab untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumberdaya
perikanan. Secara skematis pola pengelolaan sumberdaya perikanan
secara partisipatif 8
Kelima,
pemanfaatan
akuntabilitas
sumberdaya
dan
transparansi.
perikanan
harus
Pengelolaan
memperhatikan
dan
aspek
akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya. Akuntabilitas
artinya segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
publik.
Sementara
transparansi artinya segala kebijakan politik, publik dan peraturan
daerah dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat terutama yang
berkaitan dengan distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Hal ini penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari praktek KKN.
Pada prinsipnya kegiatan penangkapan ikan dapat dikembangkan
secara
bersamaan
dengan
kegiatan
budidaya
ikan.
Kegiatan
penangkapan ikan dilakukan di alam bebas yaitu di perairan laut atau
perairan
umum
seperti
sungai,
rawa,
dan
danau.
Ketersediaan
umberdaya ikan di alam bebas cenderung akan menurun seiring dengan
meningkatnya upaya penangkapan ikan karena didorong oleh tingkat
konsumsi ikan yang juga meningkat.9
Menurunnya produksi ikan dari penangkapan dapat disebabkan
oleh dua faktor yaitu pertumbuhan biomass ikan menurun dibawah level
optimal dan habitat yang mendukung pertumbuhan ikan tersebut
mengalami degradasi. Untuk itu diperlukan upaya menjaga ekosistem
dengan mempertimbangkan konservasi seperti memperbaiki populasi ikan
dan struktur jejaring makanan (structure of food webs). Peningkatan
produksi ikan dari kegiatan penangkapan dalam jangka panjang dapat
8
Subhat N. 2006. Peran Lembaga Riset DKP dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap
yang Bertanggungjawab. Makalah Utama Seminar Nasional Perikanan Tangkap.
Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor.
9 Haliwan Pralia, “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (Pspbm)
Melalui Model Co-Management Perikanan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No.
2 2014, Hal 8.
terjadi apabila ada keputusan yang kuat (hard decisions) yang meliputi
mengurangi upaya penangkapan, memindahkan kegiatan penangkapan
dari wilayah yang kapasitas tangkapnya telah dilampaui (over capacity) ke
wilayah
lain
yang
masih
rendah
kapasitasnya
dan
membangun
kelembagaan yang dapat memberi ijin atau hak pemanfaatan (property
right) dan mengendalikannya atau memberikan insentif untuk perbaikan
pengelolaan sumber daya perikanan.
Pengelolaan sumber daya perikanan merupakan suatu tindakan
pembuatan peraturan dan perundang-undangan berdasarkan hasil kajian
ilmiah yang relevan. Dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya
perikanan
tersebut
bertanggungjawab
perlu
menerapkan
(responsible
konsep
fisheries)
dan
perikanan
secara
yang
konsisten
melakukan monitoring, controlling dan surveillance. Pada dasarnya tujuan
utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang
berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource
concervation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan
pengkayaan (enhancement) yang dapat meningkatkan kehidupan sosial
nelayan dan bermanfaat bagi perkembangan industry perikanan.10
Pengkayaaan stok ikan merupakan alat (tools) pengelolaan sumber
daya ikan dan sekarang cenderung lebih banyak dilakukan karena
merupakan suatu teknik manipulasi stok untuk meningkatkan populasi
ikan sehingga total hasil tangkapan atau hasil tangkapan jenis ikan
tertentu
meningkat.
Pengkayaan
sumber
daya
ikan
bertujuan
merehabilitas habitat dan lingkungan dengan kegiatan budidaya mulai dari
memproduksi benih dan budidaya untuk restoking. (Potensi meningkatkan
produktivitas ketersediaan benih ikan dalam jumlah besar dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pertama memperbaiki perkembangbiakan biomass
ikan yang populasinya berkurang secara ekstrim sampai pada level di
mana sumber daya ikan dapat kembali pulih serta mampu menyediakan
10
Johann D. Bell, et. al. 2008. A New Era for Restocking, Stock Enhancement and Sea
Ranching of Coastal Fisheries Resources. Reviews in Journal of Fisheries Science 16(1–
3):1–9. Taylor and Francis Group, LLC
stok ikan secara normal sehingga usaha penangkapan ikan mendapat
hasil yang besar (disebut dengan restoking). Kedua, menanggulangi
fenomena keterbatasan proses pertumbuhan atau kelahiran ikan karena
supply benih dari alam gagal menyediakan stok untuk mendukung
pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal sesuai daya dukung habitat
melalui proses pelepasan sejumlah ikan hasil budidaya ke perairan alam
(disebut dengan stock enhancement)11
2. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat dalam Peraturan
Perundang-undangan
Tidak ada cetak biru pengaturan PPBM dalam kerangka hukum.
Kuemlangan dan Teigenem menilai konstitusi beserta hukum turunan
suatu negara akan menentukan apakah skema PPBM dapat diterapkan
dengan mengkhususkan dua prasyarat terkait dengan hak kepemilikan
bersama dan desentralisasi kewenangan pengelolaan.
Hak kepemilikan dalam PPBM diartikan sebagai hak kepemilikan
bersama atau penguasaan terhadap sekumpulan hak atau kekuasaan
atas barang atau sumber daya yang dikelola bersama. Terdapat lima
prinsip dasar yang harus terdapat dalam perundang-undangan nasional
agar
PPBM
dapat
berjalan
yaitu
jaminan
(security),
ekslusivitas
(exclusivity), keberlangsungan (permanence), fleksibilitas (flexibility) dan
keterpaduan. Hak menguasai tersebut dibatasi oleh konstitusi.
Konsep hak kepemilikan dalam PPBM mendorong
adanya
partisipasi dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam serta pengakuan terhadap hak rakyat yang telah
secara turun-temurun berupa kepemilikan secara bersama atas sumber
daya perikanan. Terkait dengan desentralisasi pengelolaaan, UUD 1945
telah mengakui adanya otonomi daerah untuk mengatur sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Otonomi
pemerintah daerah dibatasi oleh undang-undang yang menentukan apa
Baskoro Mulyono, “Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat”
Journal IPB, Vol 5, No. 7 2015, hal 8.
11
saja yang menjadi urusan pemerintah pusat. Selanjutnya, pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan
kewenangan dan hubungan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya
lainnya
antara
pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.48
Undang-undang yang akan terkait dengan PPBM telah disebutkan di
atas, yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU
Desa.12
Salah satu alasan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan adalah untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang
memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Namun, dalam batang tubuh pengaturannya, UU No.
31 Tahun 2004 tidak menjelaskan bentuk desentralisasi kewenangan
pengelolaan perikanan secara tegas.
UU Perikanan memandatkan adanya Peraturan Pemerintah yang
mengatur penyerahan sebagian urusan perikanan dari pemerintah kepada
pemerintah daerah dan penarikannya kembali yang hingga kini belum
diterbitkan. Hubungan dekonsentrasi antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah dalam UU Perikanan telah dilakukan melalui
berbagai Peraturan Menteri. UU Perikanan menegaskan kewenangan
menteri dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan.13
Salah satu kewenangan Menteri adalah menetapkan rencana
pengelolaan perikanan (“RPP”) yang memuat status perikanan dan
rencana strategis pengelolaan perikanan di bidang penangkapan ikan.
RPP merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan para pemangku
Ma’mun Asep, “Distribusi Dan Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 573 (Wpp Nri 573) Samudera
Hindia”, Vol 3, No. 1 2017 Hal 9.
13 Soemarmi Amik, “Konsep Negara Kepulauan Dalam Upaya Perlindungan Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia” Masalah-Masalah Hukum, Vol. 48, No. 43, 2019,
Hal.7
12
kepentingan sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan di bidang penangkapan ikan.
RPP merupakan ruang yang terbuka bagi pemerintah untuk
mengatur perikanan berbasis masyarakat dimana dalam UU Perikanan
tidak menyebutkan secara tegas mengenai PPBM. RPP sebagai rencana
strategis pengelolaan perikanan disusun dengan mempertimbangkan
pengetahuan tradisional melalui hukum adat dan kearifan lokal, serta
peran serta masyarakat. Dengan dasar tersebut maka RPP merupakan
peluang bagi pemerintah dalam menerapkan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat. Namun perlu membentuk kerangka skema khusus
bagi masyarakat baik nelayan skala kecil serta masyarakat adat untuk
dapat
terlibat
dalam
perumusan
bentuk
pengelolaan
serta
menyampaikan usulan PPBM Terkait kewilayahan,
UU PWP3K merupakan hukum yang secara khusus mengatur tata
ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU PWP3K mewajibkan
kepada pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan PWP3K.
Skema pemanfaatan sumber daya pesisir dilakukan melalui perizinan.
Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan
Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap
wajib memiliki Izin Lokasi yang menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.
UU PWP3K memandatkan Pemerintah mengakui, menghormati,
dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan
kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun-temurun. Namun, pengecualian kewajiban
memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan
sumber daya perairan pesisir hanya diberikan kepada masyarakat
hukum adat. Subyek masyarakat lain yang akan memanfaatkan sumber
daya dan wilayah pesisir tetap diwajibkan untuk memiliki izin lokasi
termasuk oleh nelayan tradisional dengan kearifan lokal yang dimiliki.
Ketentuan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memerlukan
persyaratan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
akan menunggu pengesahan undang-undang yang mengatur masyarakat
hukum adat.
Ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(“UU Pemda”) mengatur desentralisasi pengelolaan perikanan. Dalam
UU Pemda, urusan kelautan dan perikanan termasuk ke dalam kategori
urusan pemerintahan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang kelautan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.
Terkait dengan hubungan dengan pemerintahan kabupaten/kota adalah
dalam bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
kelautan yang penentuannya didasarkan hasil kelautan yang berada
dalam batas wilayah empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
UU Pemda menegaskan kewenangan daerah provinsi di laut dan
daerah provinsi yang berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya
alam di laut yang ada di wilayahnya. Daerah provinsi yang berciri
kepulauan mendapatkan mandat tugas dari pemerintah pusat untuk
melaksanakan kewenangan pemerintah pusat di bidang kelautan
berdasarkan asas tugas pembantuan. Secara tegas, desentralisasi
pengelolaan sumber daya di laut selain migas dilaksanakan oleh daerah
provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota. Dalam sub urusan Kelautan,
Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Perikanan Tangkap, Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan membagi kewenangan pengelolaan sumber
daya diluar minyak dan gas antara pemerintah pusat dan daerah provinsi
dengan berdasar jarak 12 mil laut. Pemerintah provinsi berwenang untuk
melakukan
pengaturan sumber daya diluar migas sepanjang 0 hingga 12 mil.
Pemerintah pusat berwenang dalam pengaturan terhadap sumber daya
diatas 12 mil laut.
Pengaturan desentralisasi dalam UU Pemda akan menimbulkan
konflik dengan pengaturan WPP berdasarkan UU Perikanan dan
perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU
PWP3K. Konflik pengaturan dapat terjadi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Konflik dapat
muncul terkait kewenangan pengelolaan sumber daya antara masingmasing badan pemerintahan. Untuk itu, penting pemerintah pusat
memastikan kewenangan pengelolaan. Di sisi lain, keterbatasan akses
dari wilayah pesisir dan pulaupulau kecil ke pusat-pusat pemerintahan
akan kembali menimbulkan ketidakefektifan pengelolaan perikanan yang
cenderung berada di wilayah yang tidak mudah diakses.
Selanjutnya terkait dengan desa, UU Desa mendefinisikan desadan
desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untukmengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan,
kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berwenang
menyelenggarakan
pemerintahan,
melaksanakan
pembangunan,
melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.
Kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal
usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh
pemerintah (pusat), pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan kewenangan yang luas tersebut, desa
dapat berperan sebagai otoritas dalam menciptakan dan menjalankan
kerangka PPBM.
UU Desa mengatur aset desa sebagai barang milik desa. Aset desa
disebutkan secara non-limitatif; dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa,
pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata
airmilik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. Dalam
pengaturannya, aset desa tidak terbatas sehingga dapat termasuk
wilayah dan sumber daya perairan sebagai wilayah milik desa yang
dikelola bersama dengan berdasarkan atas peraturan yang diterbitkan
oleh pemerintahan desa.
3. Penerapan Lima Prinsip PPBM Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia (WPP NRI)
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ikan, wilayah perairan
Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Wilayah Pengelolaan Perikanan tersebut diasumsikan sebagai satu unit
stok, dan oleh karena itu masing-masing WPP itu harus dikelola secara
bersama oleh wilayah administratif di seputarnya. Tanpa pengelolaan
bersama, implementasi pengelolaan dipastikan tidak akan berjalan
dengan baik dan tidakan akan mencapai tujuan.
Komposisi jenis sumber daya ikan yang tertangkap di WPP
digolongkan menjadi 9 kelompok yaitu: pelagis kecil, pelagis besar,
demersal, karang, udang, lobster, kepiting, rajungan dan cumi-cumi.
Analisis lebih lanjut menunjukkan potensi sumber daya ikan di perairan
Indonesia adalah sebesar 9,931 juta ton per tahun dengan potensi
tertinggi terdapat di WPP 718 sebesar 1,992 juta ton/tahun (20%), dan
terendah di WPP 571 sebesar 484.414 ton/tahun (5 %) (Lampiran
1).Potensi yang tinggi yang ditemukan di WPP 718 adalah berkaitan
dengan suburnya perairan di area tersebut.14
Sumber daya ikan dipandang sebagai sumber daya yang dapat
pulih kembali (renewable resources), maka pengelolaan untuk menjamin
keberkelanjutan sumber daya tersebut harus diartikan sebagai upaya
pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui
laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan
secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia saat
ini, sudah seharusnya tidak digunakan untuk mengusahakan sumber daya
Krisnafi Yaser, “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Wilayah
Pengawasan Perikanan (Wpp-711) Menggunakan Metode Ahp-Topsis”, Vol 5, No. 4
2018 Hal 10
14
ini maka Penerapan Lima Prinsip PPBM sangat perlu ditekankan. Karena
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah opsiopsi pengelolaan
yang tepat tersebut, didasarkan pada hasil-hasil penelitian terutama kajian
potensi dan tingkat pemanfaatan yang telah terbukti dilaksanakan di
jepang.
Desa dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan
dan
kepentingan
masyarakat
setempat
merupakan
peluang bagi masyarakat untuk menciptakan pengelolaan berbasis
masyarakat. Aset desa sebagai barang milik desa dapat menjadi kerangka
hak kepemilikan bersama dari masyarakat desa atas sumber daya
perikanan. Kewenangan desa untuk menetapkan peraturan desa secara
luas, termasuk tata ruang, merupakan peluang dalam menetukan aturan
dan hak-hak pemanfaatan sumber daya. Sangat jelas, desa merupakan
peluang
dan
ruang
untuk
menciptakan
PPBM.
Namun,
dalam
pelaksanaannya dapat disertai dengan hambatan.
Prinsip jaminan dapat diterapkan dengan menentukan peraturan
yang mengatur pemanfaatan atas sumber daya perikanan. Peraturan
Desa dapat menetapkan pihak-pihak beserta dengan pembatasannya
yang dapat memanfaatkan sumber daya serta pengaturan tata ruang
perairan sebagai aset desa yang senada dengan prinsip ekslusivitas.
Prinsip keberlangsungan dapat diterapkan dengan memastikan jangka
waktu bagi setiap pemanfaat perikanan. Kewenangan desa dalam
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga desa merupakan
penerapan prinsip fleksibilitas. Desa memiliki tantangan terkait dengan
keterpaduan dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas.
Dalam hal prinsip integrasi PPBM dalam Manajemen Perikanan,
diperlukan perhatian lebih mengingat minimnya pengaturan masyarakat
dalam pengelolaan perikanan. Dalam pengelolaan perikanan terdapat
mandat untuk mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan local
serta memperhatikan peran serta masyarakat. Namun, tidak ada
ketentuan lebih lanjut terkait dengan hukum adat dan/atau kearifan lokal
dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan.
Walaupun
terdapat
ketentuan
pelibatan
masyarakat
dalam
pengawasan serta pemberdayaan nelayan, namun UU Perikanan
memandatkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang
hingga kini belum terbit. Hal ini ini merupakan tantangan dan hambatan
dalam mengintegrasikan PPBM dalam kerangka hukum perikanan
nasional. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan
menyeluruh yang khusus terkait dengan hukum perikanan dengan
mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan, baik melalui
kerangka hukum adat, kearifan lokal maupun sebagai peningkatan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan.
KESIMPULAN
Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia memiliki Potensi
sumber daya ikan yang begitu tinggi yaitu di 11 WPP-NRI adalah 9,931
juta ton per tahun dengan potensi tertinggi sebesar 1,992 juta ton per
tahun (20 %) ditemui di WPP 718 (LautArafura). Untuk mewujudkan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia, maka
pengelolaan perikanan berbasi masyarakat (PPBM) merupakan salah satu
opsi yang dapat dilaksanakan. Tafsir atas konstitusi bahwa hak
menguasai negara bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan
rakyat, termasuk kepemilikan public atas sumber daya, merupakan
gambaran penerimaan gagasan kepemilikan bersama dalam PPBM.
Tafsir ini dilengkapi tolok ukur sebesar-besar kemakmuran rakyat,
dengan tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya
alam dan penghormatan atas hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam, yang juga sejalan dengan konsep
dalam hak kepemilikan bersama yang dikandung PPBM. Terkait konteks
hak kepemilikan bersama, UUD 1945 tidak membatasi dan tidak
bertentangan dengan PPBM sehingga skema PPBM dapat diterima
secara hukum. Terkait desentralisasi pengelolaan, UUD 1945 telah
mengakui otonomi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan yang
dibatasi undang-undang khusus mengatur pengelolaan sumber daya
alam. Undang-undang khusus terkait yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU
Pemerintahan Daerah dan UU Desa.
UU
Perikanan
tidak
mengatur
secara
khusus
bagaimana
desentralisasi kewenangan, namun UU Pemda mengatur lebih lanjut
dengan membagi kewenangan berdasarkan wilayah antara pemerintah
pusat dan provinsi. Di sisi lain, UU PWP3K mengatur mandat
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dari kabupaten/kota, provinsi,
hingga pemerintah pusat. UU Desa memberikan kewenangan kepada
desa untuk mengatur urusan desa termasuk aset desa sebagai sumber
daya milik bersama yang merupakan devolusi pengelolaan. Konflik
pengelolaan dapat tercipta antara UU Perikanan melalui WPP, UU
PWP3K dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, serta pembagian urusan pengelolaan antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam UU Pemda.
Desa sendiri merupakan peluang bagi penciptaan PPBM dimana
telah
terpenuhinya
keberlangsungan
pengaturan
empat
serta
masyarakat
prinsip
fleksibilitas.
dalam
yaitu
Namun
pengelolaan
jaminan,
karena
perikanan
ekslusivitas,
kosongnya
perlu
ada
perhatian khusus terkait dengan integrasi PPBM dalam kerangka
pengelolaan perikanan.
Sebagai saran, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan
menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh
masyarakat
dalam
perikanan.
Kerangka
hukum
untuk
mengakui
pengelolaan perikanan berbasis masyarakat harus diturunkan dalam
suatu
kerangka
kebijakan
yang memberikan
masyarakat dalam pengelolaan perikanan
ruang khusus bagi
Daftar Pustaka
BUKU
Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of
Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience
With fishing Rights And Indigenous Rights, (Nova Scotia, Saint
Mary’s University, 2009).
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers,
2011), hal. 8.Dino Patti, Djalal, “The Geopolitics of Indonesia’s
Maritime” Territory Policies, 1996.
kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries
And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And
Opportunities,” FAO Fish Code Review. 7 (2004).
Subhat N. 2006. Peran Lembaga Riset DKP dalam Mewujudkan Perikanan
Tangkap yang Bertanggungjawab. Makalah Utama Seminar Nasional
Perikanan Tangkap. Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Departemen
Kelautan dan Perikanan. Bogor.
Suman, A. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPPNRI 2015. Makalah disampaikan pada sidang tahunan Komnas Kajiskan.
Balai Penelitian Perikanan Laut, Puslitbangkan, Balitbang KP
Johann D. Bell, et. al. 2008. A New Era for Restocking, Stock
Enhancement and Sea Ranching of Coastal Fisheries Resources.
Reviews in Journal of Fisheries Science 16(1–3):1–9. Taylor and
Francis Group, LLC
JURNAL
Baskoro Mulyono, “Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis
Masyarakat” Journal IPB, Vol 5, No. 7 2015, hal 8.
Haliwan
Pralia,
“Pengelolaan
Sumberdaya
Perikanan
Berbasis
Masyarakat (Pspbm) Melalui Model Co-Management Perikanan”,
Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2 2014, Hal 8.
Krisnafi Yaser, “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas
Wilayah Pengawasan Perikanan (Wpp-711) Menggunakan Metode
Ahp-Topsis”, Vol 5, No. 4 2018 Hal 10
Ma’mun Asep, “Distribusi Dan Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 573
(Wpp Nri 573) Samudera Hindia”, Vol 3, No. 1 2017 Hal 9.
Marthin Hadiwinata Ahmad, “A N A L I S I S H U K U M Terhadap
Pengaturan
Pengelolaan
Perikanan
Berbasis
Masyarakat
Di
Indonesia” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol.2, No. 1 2015, Hal 4.
Soman Ali, “Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Wpp
Nri) Tahun 2015 Serta Opsi Pengelolaannya”, Jurnal Kebijakan
Indonesia, Vol. 8, No. 2 2016, Hal. 7..
Soemarmi, Amik, “Konsep Negara Kepulauan Dalam Upaya Perlindungan
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Indonesia”
Masalah-Masalah
Hukum, Vol. 48, No. 43, 2019, Hal.7
Waluyo, “Karakteristik Seakeeping Kapal Angkut Ikan 60 Gt Di Sebaran
Wilayah Perikanan Perairan Indonesia” Jurnal Wave, Vol.12, No. 2,
2018 Hal 6
Download