ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGATURAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (PPBM) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPP NRI) Penulis Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro email : Abstract: Fish resources in Indonesia is one of the capital to prosperity for the nation, approved by the government. The study of the potential and the level of years is one of the main foundations in managing resources towards sustainable resources for the welfare of the nation. One option for managing fisheries potential is community based fisheries management. However, conflicts of interest are based on the Fisheries Law, PWP3K Law and the Regional Government Law in the management of conservation and marine resources. PPBM within the wider scope of fisheries law. Writers who consider overall policy changes Fisheries that receive management by the community in fisheries. Keywords: Community Based Fisheries Management, Fisheries Law, Decentralization, Common Ownership Rights, WPP NR Abstrak: Sumber daya ikan di perairan Indonesia merupakan salah satu modal menuju kemakmuran bagi bangsa, apabila dikelola secara berkelanjutan.Kajian potensi dan tingkat pemanfaatan tahun merupakan salah satu dasar utama dalam merumuskan pengelolaan tersebut menuju pemanfaatan sumber daya yang lestari bagi kesejahteraan bangsa. Salah satu opsi pelolaan potensi perikanan yaitu pengelolaan perikanan berbasi masyarakat. Namun adanya konflik berdasarkan UU Perikanan, UU PWP3K dan UU Pemda dalam pengelolaan sumber daya perairan dan laut. Tetapi terdapat hambatan dengan tidak terintegrasinya PPBM dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas. Penulis menyarankan adanya perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan. Kata kunci: Pengelolaan Perikanan Berbasis Desentralisasi, Hak Milik Bersama., WPP NR Masyarakat, Hukum Perikanan, Dengan tersedianya potensi yang besar, sector kelautan dan perikanan dapat menjadi odyssey to prosperity atau jalan bagi masyarakat Indonesia menuju kemakmuran. Hal ini bukan suatu yang mustahil, sebab sektor perikanan merupakan salah satu sektor utama yang akan menghantarkan Indonesia sebagai negara yang maju perekonomiannya pada tahun 2030. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan pengelolaan sumber daya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Pasal 7(1) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 wajib menetapkan potensi dan alokasi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 1 Sebagai dasar penetapan potensi dan tingkat pemanfaatan tersebut telah beberapa kali dilakukan kajian stok sumberdaya ikan. Kajian stok sumber daya ikan merupakan dasar utama dalam langkahlangkah pengelolaan sumberdaya perikanan (Sparre dan Venema, 1992). Dengan adanya kajian stok yang berkesinambungan, kebaruan data dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan secara akurat dan cermat untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan nelayan di Indonesia. Namun walaupun telah dilakukan kajian yang berkelanjutan tentu saja dalam pelaksanaanya masih banyak expoloitasi sumber daya yang disebabkan oleh rezim akses terbuka yang menganggap bahwa persediaan ikan tidak terbatas dan dapat pulih dengan sendirinya. Rezim akses terbuka bergerak ke bentuk pengelolaan yang membatasi akses terhadap sumber daya ikan, antara lain dengan menggunakan pendekatan berbasis hak yang menciptakan rezim hak-hak kepemilikan (property rights) atas sumber daya. Salah satu bentuk rezim hak kepemilikan adalah kepemilikan bersama (common / collective property), dimana masyarakat lokal memegang hak ekslusif untuk menangkap ikan di suatu area tertentu. Seringkali bentuk kepemilikan bersama dalam perikanan disamakan dengan situasi akses terbuka yang ditulis oleh Hardin dalam artikelnya yang berjudul tragedy of commons. Capistrano dengan mengutip pendapat Lynch mengklarifikasi bahwa Hardin tidak merujuk kepada tragedy of the commons melainkan tragedy of open access yang bertolak belakang dengan pengelolaan dan pemilikan sumber daya oleh suatu kelompok tertentu. Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan akses terbuka tidak membatasi setiap orang untuk mengakses dan Soman Ali, “Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Wpp Nri) Tahun 2015 Serta Opsi Pengelolaannya”, Jurnal Kebijakan Indonesia, Vol. 8, No. 2 2016, Hal. 7. 1 mengeksploitasi suatu sumber daya.2 Dalam rezim kepemilikan bersama, pengelolaan perikanan dilakukan dengan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pemilik sumber daya. Masyarakat Indonesia telah mempraktikkan PPBM yang telah terbukti efektif dalam mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan serta secara adil mengalokasikan sumber daya kepada masyarakat lokal. Praktik PPBM tidak terbatas pada wilayah perairan laut tetapi mencakup perairan pedalaman. PPBM dilaksanakan berdasarkan wilayah yang ditentukan secara jelas oleh lembaga masyarakat.26 Pengawasan akses terhadap sumber daya dilakukan sendiri oleh nelayan setempat dan aturan ditegakkan oleh otoritas lembaga setempat secara moral dan politik. Bailey dan Zerner mengidentifikasi dua hambatan hukum dalam PPBM di Indonesia.28 UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan tidak menyebutkan dan mengakui hukum adat dan hak ulayat laut (hak teritorial masyarakat). Selain itu, UU No. 79 Tahun 1985 tentang Pemerintahan Desa tidak mengakui kelembagaan tingkat masyarakat dan peran kepemimpinan selain struktur pemerintahan formal serta tidak mengakui kewenangan hukum selain dari pejabat yang ditunjuk pemerintah.3 Berbagai kebijakan hukum telah diundangkan termasuk revisi terhadap berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Selain itu Dalam upaya mencapai pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan yang menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh Indonesia, Wilayah Pengelolaan Perikanan kemudian diubah dari 9 WPP menjadi 11 WPP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 2 Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And Indigenous Rights, (Nova Scotia, Saint Mary’s University, 2009). Lihat juga: Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), hal. 8. 3 Marthin Hadiwinata Ahmad, “A N A L I S I S H U K U M Terhadap Pengaturan Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Di Indonesia” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol.2, No. 1 2015, Hal 4. No. Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Perubahan WPP ini tentunya akan memberikan implikasi terhadap hasil perhitungan potensi. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan.4 Dengan demikian perlu dilakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan terdahulu Pada tahun 2011 dilakukan kajian ulang pertama kali setelah WPP berubah menjadi 11 WPP dan metoda yang dipergunakan sudah menggabungkan metode holistik dan analitik. Hasil kajian ini telah dibuat menjadi dasar kebijakan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia seperti tertuang dalam Kepmen 45 Tahun 2011.Dalam kaitan untuk memperbarui data dan informasi Kepmen 45/2011 tersebut, terutama untuk mengakurasi status pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia, maka dilakukan pembaruan potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pada tahun 2013 dan 20155 Artikel ini akan menganalisis peluang pengaturan PPBM di Indonesia dengan terbatas pada peraturan perundangan tingkat nasional dan membahas potensi implementasi PPBM dalam pemanfaatan sumber daya ikan di WPP NRI tahun 2015 untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan di Indonesia. METODE Jenis penelitian hukum yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif, yaitu penulisan yang mengkaji norma-norma hukum yang berlaku. Penelitian hukum normative menggunakan data skunder sebagai data utama sedangkan data primer sebagai penunjang. Data skunder dalam penelitian ini bersumber dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yaitu : Waluyo, “Karakteristik Seakeeping Kapal Angkut Ikan 60 Gt Di Sebaran Wilayah Perikanan Perairan Indonesia” Jurnal Wave, Vol.12, No. 2, 2018 Hal 6 5 Suman, A. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPP-NRI 2015. Makalah disampaikan pada sidang tahunan Komnas Kajiskan. Balai Penelitian Perikanan Laut, Puslitbangkan, Balitbang KP 4 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 5. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku, internet, tesis yang terkait dengan judul untuk selanjutnya diseleksi, dikaji, dan di pertimbangkan relevansinya dengan masalah yang diteliti. PEMBAHASAN 1. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat (PPBM) Kuemlangan dan Teigenem memaparkan tiga manfaat dalam PPBM. Pertama, masyarakat menikmati hak secara kolektif untuk memanfaatkan dan mengakses sumber daya, yang akan mendorong keinginan untuk menjaga dan melindungi hak-hak tersebut.10 PPBM akan meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan perikanan dan devolusi dari fungsi-fungsi pengelolaan perikanan.Kedua, PPBM akan memberikan pengakuan terhadap perikanan skala kecil. Ketiga, PPBM dapat menyediakan berbagai sumber pengetahuan adat dan lokal untuk melengkapi informasi meningkatkan ilmiah, penerapan pemantauan pengelolaan persediaan secara ikan, serta keseluruhan.Hal ini dilatari bahwa pendekatan ilmiah dengan penghitungan maximum sustainable yield (“MSY”) dari jenis ikan kunci memiliki keterbatasan penerapan terhadap perikanan di negara berkembang. Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh pelaku perikanan skala kecil akan mendukung pembangunan berkelanjutan dalam sektor perikanan sehingga perlu untuk dilindungi.6 Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan PPBM sebagai “a form of participatory and common property rights-based management which vests fishing rights in a group of individuals (communities) or involves the sharing of fisheries management and enforcement powers with local communities.”7 Dalam pengertian tersebut, PPBM melibatkan badan kolektif masyarakatnelayan sebagai kelompok yang terlibat secara langsung dalam kegiatan perikanan. Dimana masyarakat nelayan memiliki suatu fungsi kontrol, pemantauan dan pengawasan dalam kegiatan perikanan mendapatkan hak diferensial melalui partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan barang milik publik. Pemerintah berperan dalam fungsi lain, misalnya untuk menilai aspek biologis manajemen perikanan dan keseluruhan peraturan yang mengikat. Sementara, masyarakat lokal akan bertanggung jawab atas tugas yang dapat dilakukan, misalnya mengukur apakah ada usaha penangkapan berlebih, aturan lokal untuk menangkap ikan, monitoring dan tingkat kepatuhan. Prinsip-prinsip pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan adalah sebagai berikut; pertama kelestarian sumberdaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kelestarian sumberdaya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai tujuan tersebut. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground dan nursery ground ikan. kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code Review. 7 (2004). 7 Keumlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 153 6 Selain itu, tidak pulamerusak hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang memiliki keterkaitan ekologis dengan ikan. Untuk melaksanakan prinsip kelestarian sumberdaya, aspek penggunaan teknologipenangkapan dan budidaya perlu mendapat perhatian. Teknologi yang digunakan hendaknya teknologi yang ramah lingkungan sehingga tidak mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan dan munculnya konflik sosial di masyarakat. Berkaitan dengan prinsip kelestarian perlu dilakukan kegiatan monitoring, controling, dan evaluation terhadap ketersediaan sumberdaya ikan termasuk kondisi lingkungan perairan laut dan pencemaran. Kedua, kelestarian budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan seyogyanya memperhatikan kearifan/pengetahuan lokal, hukum adat dan aspek kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya. Ketiga, sumberdaya prinsip perikanan ekonomi. Pengelolaan hendaknya mampu dan pemanfaatan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli daerah sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu upaya pemerataan alokasi dan distribusi sumberdaya perikanan secara efisien dan berkelanjutan kepada masyarakat tanpa memprioritaskan suatu kelompok masyarakat dan memarjinalkan kelompok masyarakat lainnya. Keempat, prinsip partisipatif. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan partisipasi semua pihak yang terkait (stakeholders) yaitu pemerintah daerah, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat. Adanya partisipasi seluruh pihak akan mewujudkan rasa memiliki dan tanggungjawab untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumberdaya perikanan. Secara skematis pola pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif 8 Kelima, pemanfaatan akuntabilitas sumberdaya dan transparansi. perikanan harus Pengelolaan memperhatikan dan aspek akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya. Akuntabilitas artinya segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sementara transparansi artinya segala kebijakan politik, publik dan peraturan daerah dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat terutama yang berkaitan dengan distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Hal ini penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN. Pada prinsipnya kegiatan penangkapan ikan dapat dikembangkan secara bersamaan dengan kegiatan budidaya ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di alam bebas yaitu di perairan laut atau perairan umum seperti sungai, rawa, dan danau. Ketersediaan umberdaya ikan di alam bebas cenderung akan menurun seiring dengan meningkatnya upaya penangkapan ikan karena didorong oleh tingkat konsumsi ikan yang juga meningkat.9 Menurunnya produksi ikan dari penangkapan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu pertumbuhan biomass ikan menurun dibawah level optimal dan habitat yang mendukung pertumbuhan ikan tersebut mengalami degradasi. Untuk itu diperlukan upaya menjaga ekosistem dengan mempertimbangkan konservasi seperti memperbaiki populasi ikan dan struktur jejaring makanan (structure of food webs). Peningkatan produksi ikan dari kegiatan penangkapan dalam jangka panjang dapat 8 Subhat N. 2006. Peran Lembaga Riset DKP dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Makalah Utama Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor. 9 Haliwan Pralia, “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (Pspbm) Melalui Model Co-Management Perikanan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2 2014, Hal 8. terjadi apabila ada keputusan yang kuat (hard decisions) yang meliputi mengurangi upaya penangkapan, memindahkan kegiatan penangkapan dari wilayah yang kapasitas tangkapnya telah dilampaui (over capacity) ke wilayah lain yang masih rendah kapasitasnya dan membangun kelembagaan yang dapat memberi ijin atau hak pemanfaatan (property right) dan mengendalikannya atau memberikan insentif untuk perbaikan pengelolaan sumber daya perikanan. Pengelolaan sumber daya perikanan merupakan suatu tindakan pembuatan peraturan dan perundang-undangan berdasarkan hasil kajian ilmiah yang relevan. Dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut bertanggungjawab perlu menerapkan (responsible konsep fisheries) dan perikanan secara yang konsisten melakukan monitoring, controlling dan surveillance. Pada dasarnya tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource concervation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan pengkayaan (enhancement) yang dapat meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan bermanfaat bagi perkembangan industry perikanan.10 Pengkayaaan stok ikan merupakan alat (tools) pengelolaan sumber daya ikan dan sekarang cenderung lebih banyak dilakukan karena merupakan suatu teknik manipulasi stok untuk meningkatkan populasi ikan sehingga total hasil tangkapan atau hasil tangkapan jenis ikan tertentu meningkat. Pengkayaan sumber daya ikan bertujuan merehabilitas habitat dan lingkungan dengan kegiatan budidaya mulai dari memproduksi benih dan budidaya untuk restoking. (Potensi meningkatkan produktivitas ketersediaan benih ikan dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama memperbaiki perkembangbiakan biomass ikan yang populasinya berkurang secara ekstrim sampai pada level di mana sumber daya ikan dapat kembali pulih serta mampu menyediakan 10 Johann D. Bell, et. al. 2008. A New Era for Restocking, Stock Enhancement and Sea Ranching of Coastal Fisheries Resources. Reviews in Journal of Fisheries Science 16(1– 3):1–9. Taylor and Francis Group, LLC stok ikan secara normal sehingga usaha penangkapan ikan mendapat hasil yang besar (disebut dengan restoking). Kedua, menanggulangi fenomena keterbatasan proses pertumbuhan atau kelahiran ikan karena supply benih dari alam gagal menyediakan stok untuk mendukung pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal sesuai daya dukung habitat melalui proses pelepasan sejumlah ikan hasil budidaya ke perairan alam (disebut dengan stock enhancement)11 2. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan Tidak ada cetak biru pengaturan PPBM dalam kerangka hukum. Kuemlangan dan Teigenem menilai konstitusi beserta hukum turunan suatu negara akan menentukan apakah skema PPBM dapat diterapkan dengan mengkhususkan dua prasyarat terkait dengan hak kepemilikan bersama dan desentralisasi kewenangan pengelolaan. Hak kepemilikan dalam PPBM diartikan sebagai hak kepemilikan bersama atau penguasaan terhadap sekumpulan hak atau kekuasaan atas barang atau sumber daya yang dikelola bersama. Terdapat lima prinsip dasar yang harus terdapat dalam perundang-undangan nasional agar PPBM dapat berjalan yaitu jaminan (security), ekslusivitas (exclusivity), keberlangsungan (permanence), fleksibilitas (flexibility) dan keterpaduan. Hak menguasai tersebut dibatasi oleh konstitusi. Konsep hak kepemilikan dalam PPBM mendorong adanya partisipasi dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta pengakuan terhadap hak rakyat yang telah secara turun-temurun berupa kepemilikan secara bersama atas sumber daya perikanan. Terkait dengan desentralisasi pengelolaaan, UUD 1945 telah mengakui adanya otonomi daerah untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Otonomi pemerintah daerah dibatasi oleh undang-undang yang menentukan apa Baskoro Mulyono, “Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat” Journal IPB, Vol 5, No. 7 2015, hal 8. 11 saja yang menjadi urusan pemerintah pusat. Selanjutnya, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan kewenangan dan hubungan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.48 Undang-undang yang akan terkait dengan PPBM telah disebutkan di atas, yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU Desa.12 Salah satu alasan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Namun, dalam batang tubuh pengaturannya, UU No. 31 Tahun 2004 tidak menjelaskan bentuk desentralisasi kewenangan pengelolaan perikanan secara tegas. UU Perikanan memandatkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur penyerahan sebagian urusan perikanan dari pemerintah kepada pemerintah daerah dan penarikannya kembali yang hingga kini belum diterbitkan. Hubungan dekonsentrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah dalam UU Perikanan telah dilakukan melalui berbagai Peraturan Menteri. UU Perikanan menegaskan kewenangan menteri dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan.13 Salah satu kewenangan Menteri adalah menetapkan rencana pengelolaan perikanan (“RPP”) yang memuat status perikanan dan rencana strategis pengelolaan perikanan di bidang penangkapan ikan. RPP merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan para pemangku Ma’mun Asep, “Distribusi Dan Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 573 (Wpp Nri 573) Samudera Hindia”, Vol 3, No. 1 2017 Hal 9. 13 Soemarmi Amik, “Konsep Negara Kepulauan Dalam Upaya Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia” Masalah-Masalah Hukum, Vol. 48, No. 43, 2019, Hal.7 12 kepentingan sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di bidang penangkapan ikan. RPP merupakan ruang yang terbuka bagi pemerintah untuk mengatur perikanan berbasis masyarakat dimana dalam UU Perikanan tidak menyebutkan secara tegas mengenai PPBM. RPP sebagai rencana strategis pengelolaan perikanan disusun dengan mempertimbangkan pengetahuan tradisional melalui hukum adat dan kearifan lokal, serta peran serta masyarakat. Dengan dasar tersebut maka RPP merupakan peluang bagi pemerintah dalam menerapkan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Namun perlu membentuk kerangka skema khusus bagi masyarakat baik nelayan skala kecil serta masyarakat adat untuk dapat terlibat dalam perumusan bentuk pengelolaan serta menyampaikan usulan PPBM Terkait kewilayahan, UU PWP3K merupakan hukum yang secara khusus mengatur tata ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU PWP3K mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan PWP3K. Skema pemanfaatan sumber daya pesisir dilakukan melalui perizinan. Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi yang menjadi dasar pemberian izin pengelolaan. UU PWP3K memandatkan Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Namun, pengecualian kewajiban memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir hanya diberikan kepada masyarakat hukum adat. Subyek masyarakat lain yang akan memanfaatkan sumber daya dan wilayah pesisir tetap diwajibkan untuk memiliki izin lokasi termasuk oleh nelayan tradisional dengan kearifan lokal yang dimiliki. Ketentuan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memerlukan persyaratan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan menunggu pengesahan undang-undang yang mengatur masyarakat hukum adat. Ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”) mengatur desentralisasi pengelolaan perikanan. Dalam UU Pemda, urusan kelautan dan perikanan termasuk ke dalam kategori urusan pemerintahan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kelautan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Terkait dengan hubungan dengan pemerintahan kabupaten/kota adalah dalam bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang penentuannya didasarkan hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. UU Pemda menegaskan kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Daerah provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan mandat tugas dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan pemerintah pusat di bidang kelautan berdasarkan asas tugas pembantuan. Secara tegas, desentralisasi pengelolaan sumber daya di laut selain migas dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota. Dalam sub urusan Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Perikanan Tangkap, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan membagi kewenangan pengelolaan sumber daya diluar minyak dan gas antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan berdasar jarak 12 mil laut. Pemerintah provinsi berwenang untuk melakukan pengaturan sumber daya diluar migas sepanjang 0 hingga 12 mil. Pemerintah pusat berwenang dalam pengaturan terhadap sumber daya diatas 12 mil laut. Pengaturan desentralisasi dalam UU Pemda akan menimbulkan konflik dengan pengaturan WPP berdasarkan UU Perikanan dan perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU PWP3K. Konflik pengaturan dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Konflik dapat muncul terkait kewenangan pengelolaan sumber daya antara masingmasing badan pemerintahan. Untuk itu, penting pemerintah pusat memastikan kewenangan pengelolaan. Di sisi lain, keterbatasan akses dari wilayah pesisir dan pulaupulau kecil ke pusat-pusat pemerintahan akan kembali menimbulkan ketidakefektifan pengelolaan perikanan yang cenderung berada di wilayah yang tidak mudah diakses. Selanjutnya terkait dengan desa, UU Desa mendefinisikan desadan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untukmengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berwenang menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kewenangan yang luas tersebut, desa dapat berperan sebagai otoritas dalam menciptakan dan menjalankan kerangka PPBM. UU Desa mengatur aset desa sebagai barang milik desa. Aset desa disebutkan secara non-limitatif; dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata airmilik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. Dalam pengaturannya, aset desa tidak terbatas sehingga dapat termasuk wilayah dan sumber daya perairan sebagai wilayah milik desa yang dikelola bersama dengan berdasarkan atas peraturan yang diterbitkan oleh pemerintahan desa. 3. Penerapan Lima Prinsip PPBM Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ikan, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah Pengelolaan Perikanan tersebut diasumsikan sebagai satu unit stok, dan oleh karena itu masing-masing WPP itu harus dikelola secara bersama oleh wilayah administratif di seputarnya. Tanpa pengelolaan bersama, implementasi pengelolaan dipastikan tidak akan berjalan dengan baik dan tidakan akan mencapai tujuan. Komposisi jenis sumber daya ikan yang tertangkap di WPP digolongkan menjadi 9 kelompok yaitu: pelagis kecil, pelagis besar, demersal, karang, udang, lobster, kepiting, rajungan dan cumi-cumi. Analisis lebih lanjut menunjukkan potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia adalah sebesar 9,931 juta ton per tahun dengan potensi tertinggi terdapat di WPP 718 sebesar 1,992 juta ton/tahun (20%), dan terendah di WPP 571 sebesar 484.414 ton/tahun (5 %) (Lampiran 1).Potensi yang tinggi yang ditemukan di WPP 718 adalah berkaitan dengan suburnya perairan di area tersebut.14 Sumber daya ikan dipandang sebagai sumber daya yang dapat pulih kembali (renewable resources), maka pengelolaan untuk menjamin keberkelanjutan sumber daya tersebut harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia saat ini, sudah seharusnya tidak digunakan untuk mengusahakan sumber daya Krisnafi Yaser, “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Wilayah Pengawasan Perikanan (Wpp-711) Menggunakan Metode Ahp-Topsis”, Vol 5, No. 4 2018 Hal 10 14 ini maka Penerapan Lima Prinsip PPBM sangat perlu ditekankan. Karena Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah opsiopsi pengelolaan yang tepat tersebut, didasarkan pada hasil-hasil penelitian terutama kajian potensi dan tingkat pemanfaatan yang telah terbukti dilaksanakan di jepang. Desa dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat merupakan peluang bagi masyarakat untuk menciptakan pengelolaan berbasis masyarakat. Aset desa sebagai barang milik desa dapat menjadi kerangka hak kepemilikan bersama dari masyarakat desa atas sumber daya perikanan. Kewenangan desa untuk menetapkan peraturan desa secara luas, termasuk tata ruang, merupakan peluang dalam menetukan aturan dan hak-hak pemanfaatan sumber daya. Sangat jelas, desa merupakan peluang dan ruang untuk menciptakan PPBM. Namun, dalam pelaksanaannya dapat disertai dengan hambatan. Prinsip jaminan dapat diterapkan dengan menentukan peraturan yang mengatur pemanfaatan atas sumber daya perikanan. Peraturan Desa dapat menetapkan pihak-pihak beserta dengan pembatasannya yang dapat memanfaatkan sumber daya serta pengaturan tata ruang perairan sebagai aset desa yang senada dengan prinsip ekslusivitas. Prinsip keberlangsungan dapat diterapkan dengan memastikan jangka waktu bagi setiap pemanfaat perikanan. Kewenangan desa dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga desa merupakan penerapan prinsip fleksibilitas. Desa memiliki tantangan terkait dengan keterpaduan dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas. Dalam hal prinsip integrasi PPBM dalam Manajemen Perikanan, diperlukan perhatian lebih mengingat minimnya pengaturan masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Dalam pengelolaan perikanan terdapat mandat untuk mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan local serta memperhatikan peran serta masyarakat. Namun, tidak ada ketentuan lebih lanjut terkait dengan hukum adat dan/atau kearifan lokal dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Walaupun terdapat ketentuan pelibatan masyarakat dalam pengawasan serta pemberdayaan nelayan, namun UU Perikanan memandatkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang hingga kini belum terbit. Hal ini ini merupakan tantangan dan hambatan dalam mengintegrasikan PPBM dalam kerangka hukum perikanan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan menyeluruh yang khusus terkait dengan hukum perikanan dengan mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan, baik melalui kerangka hukum adat, kearifan lokal maupun sebagai peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. KESIMPULAN Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia memiliki Potensi sumber daya ikan yang begitu tinggi yaitu di 11 WPP-NRI adalah 9,931 juta ton per tahun dengan potensi tertinggi sebesar 1,992 juta ton per tahun (20 %) ditemui di WPP 718 (LautArafura). Untuk mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia, maka pengelolaan perikanan berbasi masyarakat (PPBM) merupakan salah satu opsi yang dapat dilaksanakan. Tafsir atas konstitusi bahwa hak menguasai negara bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat, termasuk kepemilikan public atas sumber daya, merupakan gambaran penerimaan gagasan kepemilikan bersama dalam PPBM. Tafsir ini dilengkapi tolok ukur sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan penghormatan atas hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam, yang juga sejalan dengan konsep dalam hak kepemilikan bersama yang dikandung PPBM. Terkait konteks hak kepemilikan bersama, UUD 1945 tidak membatasi dan tidak bertentangan dengan PPBM sehingga skema PPBM dapat diterima secara hukum. Terkait desentralisasi pengelolaan, UUD 1945 telah mengakui otonomi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan yang dibatasi undang-undang khusus mengatur pengelolaan sumber daya alam. Undang-undang khusus terkait yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU Desa. UU Perikanan tidak mengatur secara khusus bagaimana desentralisasi kewenangan, namun UU Pemda mengatur lebih lanjut dengan membagi kewenangan berdasarkan wilayah antara pemerintah pusat dan provinsi. Di sisi lain, UU PWP3K mengatur mandat perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dari kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat. UU Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur urusan desa termasuk aset desa sebagai sumber daya milik bersama yang merupakan devolusi pengelolaan. Konflik pengelolaan dapat tercipta antara UU Perikanan melalui WPP, UU PWP3K dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembagian urusan pengelolaan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam UU Pemda. Desa sendiri merupakan peluang bagi penciptaan PPBM dimana telah terpenuhinya keberlangsungan pengaturan empat serta masyarakat prinsip fleksibilitas. dalam yaitu Namun pengelolaan jaminan, karena perikanan ekslusivitas, kosongnya perlu ada perhatian khusus terkait dengan integrasi PPBM dalam kerangka pengelolaan perikanan. Sebagai saran, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan. Kerangka hukum untuk mengakui pengelolaan perikanan berbasis masyarakat harus diturunkan dalam suatu kerangka kebijakan yang memberikan masyarakat dalam pengelolaan perikanan ruang khusus bagi Daftar Pustaka BUKU Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And Indigenous Rights, (Nova Scotia, Saint Mary’s University, 2009). Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), hal. 8.Dino Patti, Djalal, “The Geopolitics of Indonesia’s Maritime” Territory Policies, 1996. kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code Review. 7 (2004). Subhat N. 2006. Peran Lembaga Riset DKP dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Makalah Utama Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor. Suman, A. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPPNRI 2015. Makalah disampaikan pada sidang tahunan Komnas Kajiskan. Balai Penelitian Perikanan Laut, Puslitbangkan, Balitbang KP Johann D. Bell, et. al. 2008. A New Era for Restocking, Stock Enhancement and Sea Ranching of Coastal Fisheries Resources. Reviews in Journal of Fisheries Science 16(1–3):1–9. Taylor and Francis Group, LLC JURNAL Baskoro Mulyono, “Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat” Journal IPB, Vol 5, No. 7 2015, hal 8. Haliwan Pralia, “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (Pspbm) Melalui Model Co-Management Perikanan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2 2014, Hal 8. Krisnafi Yaser, “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Wilayah Pengawasan Perikanan (Wpp-711) Menggunakan Metode Ahp-Topsis”, Vol 5, No. 4 2018 Hal 10 Ma’mun Asep, “Distribusi Dan Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 573 (Wpp Nri 573) Samudera Hindia”, Vol 3, No. 1 2017 Hal 9. Marthin Hadiwinata Ahmad, “A N A L I S I S H U K U M Terhadap Pengaturan Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Di Indonesia” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol.2, No. 1 2015, Hal 4. Soman Ali, “Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Wpp Nri) Tahun 2015 Serta Opsi Pengelolaannya”, Jurnal Kebijakan Indonesia, Vol. 8, No. 2 2016, Hal. 7.. Soemarmi, Amik, “Konsep Negara Kepulauan Dalam Upaya Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia” Masalah-Masalah Hukum, Vol. 48, No. 43, 2019, Hal.7 Waluyo, “Karakteristik Seakeeping Kapal Angkut Ikan 60 Gt Di Sebaran Wilayah Perikanan Perairan Indonesia” Jurnal Wave, Vol.12, No. 2, 2018 Hal 6