keuangan negara, perkembangan moneter, dan

advertisement
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DAN
LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB IV
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A.
PENDAHULUAN
Rangkaian kegiatan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama Repelita I, II dan III, sampai dengan tahun
pertama Repelita IV, senantiasa tak terlepas dari berbagai
ikhtiar
rasional untuk dapat menjamin tersedianya dana pembiayaan pembangunan. Berbagai upaya yang diarahkan secara optimal, telah
memungkinkan terwujudnya
landasan pembangunan
yang semakin kokoh dan tercermin pada kemampuan yang semakin
mantap untuk memperbesar tabungan dalam negeri. Kesemua ikhtiar ini tetap tertuju pada sasaran dan tujuan pembangunan
jangka panjang, seperti yang telah ditentukan di dalam GBHN.
Dalam hubungan ini usaha untuk dapat mencapai keseimbangan
yang serasi dan terkait antara realisasi pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas nasional, selama periode 1969/70 sampai
dengan 1984/85 telah ditunjang dan dimungkinkan oleh adanya
berbagai perangkat sarana yang semakin efektif di bidang keuangan negara, moneter serta lembaga-lembaga keuangan.
Kegiatan pembangunan sejak Repelita I, telah diarahkan
secara sadar untuk mencapai berbagai
sasaran jangka menengah
dan jangka panjang,
sebagaimana
dicantumkan di dalam GBHN.
Dalam hal ini,
keuangan negara
khususnya
APBN, merupakan
wadah rencana operasional tahunan dari setiap Repelita, yang
pelaksanaannya telah berjalan sejak tahun 1969/70, sebagai
tahun pertama Repelita I, sampai dengan tahun 1 98 4 /85, sebagai tahun pertama Repelita IV.
Kebijaksanaan keuangan negara dalam tahun 1984/85 tetap
dilandasi oleh prinsip anggaran yang
berimbang dan dinamis,
yang telah dianut secara konsisten pada setiap tahun pelaksanaan Repelita serta sesudah tahun 1966 pada umumnya. Prinsip
ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1 96 6, ketika
anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah
menjadi sumber utama dari suatu hyperinflasi, yang pada tahun
196 6 misalnya, masih mencapai 650 % dengan segala akibat negatifnya pada kegiatan pembangunan. Dengan telah dihilangkannya sifat inflatoir dari pengelolaan keuangan negara sesudah
tahun 1966, maka peranan APBN sebagai pendorong dan pengarah
kegiatan pembangunan, menjadi semakin besar. Dalam realisasi
tahun 1 98 4 / 85 , komponen pengeluaran pembangunan dari APBN,
IV/3
telah mencapai
jumlah
Rp 9.951,9
milyar dibanding dengan
Rp. 2.555,6 milyar dalam tahun 1978/79 dan Rp 57,9 milyar
dalam tahun 1968, ketika laju inflasi tahun 1984/85 adalah
3,64 %, tahun 1978/79 adalah 11,79 %, dalam tahun 1969/70
adalah 10,65 %, sedang dalam tahun 1968 laju inflasi masih
relatif tinggi sebesar 85,1 %.
Berlandaskan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis,
maka berbagai kebijaksanaan
di bidang penerimaan dan pengeluaran telah berhasil untuk tidak hanya memantapkan stabilitas nasional tetapi sekaligus mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan sesuai dengan Trilogi Pembangunan. Berbagai sarana kebijaksanaan tersebut senantiasa diusahakan
untuk
disempurnakan
yang dimungkinkan
oleh tingkat perbaikan yang telah tercapai pada tahap yang
bersangkutan maupun dalam rangka usaha penyesuaian terhadap
berbagai masalah baru yang timbul agar tetap dapat merealisasikan berbagai sasaran pembangunan secara optimal.
Dengan telah terciptanya landasan yang lebih kokoh pada
akhir Repelita III,
maka
dalam
tahun pertama Repelita IV
telah dimungkinkan untuk menyempurnakan landasan perundangundangan di bidang perpajakan. Selain itu, dalam akhir Repelita III kegiatan pembangunan juga telah dipengaruhi resesi
ekonomi dunia, yang akibatnya masih terasa ketika memasuki
tahun pertama Repelita IV ini. Dalam hubungan ini telah diusahakan berbagai kebijaksanaan untuk mempertajam prioritas
dibidang pengeluaran negara. Pengeluaran rutin yang diusahakan secara ofisien, telah ikut mengusahakan jumlah tabungan
Pemerintah yang makin membesar untuk membiayai pengeluaran
pembangunan.
Melalui
berbagai penyempurnaan kebijaksanaan tersebut,
telah dapat dipelihara momentum kegiatan pembangunan yang meningkat dan berkesinambungan dalam lingkungan ekonomi dunia
yang tak menentu.
Dengan telah disempurnakannya landasan perundang-undangan
perpajakan
maka
realisasi
jumlah penerimaan dalam negeri
tetap dapat ditingkatkan dalam tahun 1984/85, sehingga mencapai jumlah Rp. 15.905,5 milyar. Jumlah ini merupakan suatu
kenaikan terhadap realisasi yang dicapai pada tahun terakhir
Repelita III, sebesar Rp. 14.432,7 milyar dan terhadap tahun
1973/74 serta tahun 1968 ketika realisasinya masing-masing
mencapai Rp. 967,7 milyar dan Rp. 149,7 milyar.
Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan jumlah dan mutu
IV/4
Pelayanan kepada masyarakat dan pemeliharan hasil-hasil pembangunan,
pengeluaran
rutin
menunjukkan
pula
peningkatan.
Bila dalam
tahun
1978/79,
jumlah pengeluaran rutin baru mencapai Rp. 2.743,7 milyar, maka
pada
tahun
1983/84 jumlah
tersebut telah meningkat menjadi Rp. 8.411,8 milyar, yang
berarti suatu peningkatan sebesar Rp. 5.668,1 milyar, atau ratarata meningkat sebesar 25,1 % setiap
tahunnya. Kemudian dalam
tahun pertama Repelita IV yaitu tahun 1984/85 jumlah pengeluaran rutin tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.429,0 milyar yang berarti peningkatan sebesar Rp. 1.017,2 milyar atau
2,1 % terhadap tahun 1983/84.
Tekad untuk menjadi semakin mandiri dalam pembiayaan pembangunan serta kemajuan di bidang pengelolaan keuangan negara
selama ini tercermin pada meningkatnya pertumbuhan tabungan
Pemerintah
yang
dapat dihimpun
dalam setiap tahun anggarannya. Tabungan
Pemerintah
dalam
perkembangannya selalu menunjukkan
peningkatan
yang cukup berarti. Bila dalam tahun terakhir Repelita I jumlah tabungan Pemerintah baru mencapai
Rp. 254,4 milyar,
maka
dalam tahun
terakhir
Repelita
II
jumlah tabungan tersebut telah mencapai Rp. 1.522,4 milyar
atau hampir 6 kalinya. Lima tahun kemudian, yaitu dalam tahun
terakhir Repelita III, jumlah tersebut telah meningkat menjadi
Rp. 6.020,9
milyar,
suatu kenaikan sebesar Rp. 4.498,5
milyar,
atau rata-rata 31,7 % per tahun. Jumlah tabungan Pemerintah yang berhasil dihimpun tersebut telah meningkat lagi
menjadi
Rp. 6.476,5 milyar pada tahun 1984/85 atau meningkat
dengan
Rp. 455,6 milyar dibandingkan dengan tahun terakhir
Repelita III. Peningkatan-peningkatan yang cukup berarti tersebut telah dicapai berkat upaya peningkatan penerimaan dalam
negeri melalui berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan potensi sumber dana dari dalam negeri, sementara pengelolaan
pengeluaran
rutin
selalu diarahkan
kepada pendayagunaan dana
yang tersedia secara lebih
efisien
tanpa mengurangi mutu pelayanan yang disediakan bagi masyarakat.
Tabungan Pemerintah yang setiap tahun meningkat tersebut,
bersama-sama dengan bantuan
luar
negeri membentuk dana pembangunan
yang
selanjutnya
digunakan
untuk membiayai proyekproyek pembangunan. Semakin
berkembangnya
dana pembangunan
berarti semakin luas jangkauan
pembangunan yang dapat dilaksanakan. Pada tahun terakhir Repelita II jumlah dana pembangunan mencapai jumlah
sebesar
Rp. 2.557,9 milyar, dan selanjutnya lima tahun kemudian, yaitu pada tahun terakhir Repelita III, jumlah
tersebut telah
mencapai Rp. 9.903,3 milyar,
yang berarti suatu peningkatan rata-rata sebesar 31,1 % se-
IV/5
tiap tahunnya. Dalam tahun 1984/85 jumlah tersebut meningkat
lagi menjadi Rp. 9.954,5 milyar.
Dana pembangunan yang terus meningkat tersebut digunakan
untuk membiayai pengeluaran pembangunan baik secara sektoral
maupun regional. Jumlah pengeluaran
pembangunan dalam terakhir Repelita II, adalah R p . 2 . 5 5 5 , 6 milyar. Jumlah tersebut
meningkat menjadi Rp. 9 . 8 9 9 , 2 milyar dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 ,
yang berarti telah meningkat sebesar Rp. 7.343,6 milyar atau
rata-rata 3 1 , 1 % setiap tahunnya dalam kurun waktu Repelita
III. Pengeluaran tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9 . 9 5 1 , 9
milyar dalam tahun 1984/85, yang berarti Rp. 52,7 milyar lebih besar dari pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya.
Ringkasan realisasi APBN dalam periode 19 68 - 1984/85 dapat
dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.
Langkah-langkah melalui perangkat sarana kebijaksanaan
moneter, yang telah ditempuh, sejak awal Repelita I sampai
dengan tahun 1984/85, dapat diikuti dari perkembangan jumlah
uang beredar, dana perbankan, jumlah dan arah penggunaan kredit, suku bunga dan perkembangan harga.
Kebijaksanaan jumlah uang beredar menyangkut usaha untuk
memperlancar kegiatan roda perekonomian dan mengusahakan serta
mempertahankan stabilitas
harga-harga
serta
sekaligus
dalam hubungan yang terkait, mencapai tujuan pemerataan. Periode Repelita I merupakan awal rangkaian pelaksanaan kegiat an pembangunan secara terarah setelah berhasil diciptakan
pra-kondisinya dalam bentuk pemulihan stabilitas harga-harga
dari keadaan hyperinflasi pada periode sebelumnya. Kebijaksanaan jumlah uang beredar yang telah terarah dan terkendali
juga terkait dengan keberhasilan untuk kembali menegakkan disiplin pelaksanaan kebijaksanaan keuangan negara. Jika dalam
tahun 1 9 6 8 jumlah uang beredar baru mencapai jumlah sebesar
R p . 1 1 3 , 9 milyar, maka dalam tahun 1 9 7 3 / 7 4 , telah meningkat
mencapai jumlah R p . 7 8 4 , 3 milyar. Serasi dengan semakin mantapnya stabilitas harga-harga dan semakin meningkatnya laju
kegiatan pembangunan, maka jumlah uang
beredar telah mening kat sampai jumlah R p . 8 . 9 8 8 , 4 milyar pada akhir pelaksanaan
tahun pertama Repelita IV.
Bersamaan dengan telah dapat diciptakannya tingkat keseimbangan moneter, maka jumlah dana pembangunan dan jumlah
perkreditan yang dalam tahun 1 9 6 8
baru mencapai
jumlah
Rp. 7 6 , 6 milyar dan R p . 1 2 6 , 0 milyar sedangkan dalam tahun
IV/6
TABEL IV - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Uraian
Penerimaan Dalam Negeri
Pengeluaran Rutin
Tabungan Pemerintah
Dana Bantuan Luar Negeri
(Bantuan Program)
(Bantuan Proyek)
Dana Pembangunan
Pengeluaran Pembangunan
Surplus/Defisit
1968
149,7
149,7
57,9
(35,5)
(22,4)
57,9
57,9
-
1973/74
(Akhir Repelita I)
967,7
713,3
254,4
203,9
(89,8)
(114,1)
458,3
450,9
+ 7,4
1978/79
(akhir Repelita II)
4.266,1
2.743,7
1.522,4
1.035,5
(48,2)
(987,3)
2.557,9
2.555,6
+2,3
1982/83
12.418,3
6.996,3
5.422,0
1.940,0
(15,1)
(1.924,9)
7.362,0
7.359,6
+ 2,4
1983/84
(akhir Repelita III)
14.432,7
8.411,8
6.020,9
3.882,4
(14,9)
(3.867,5)
9.903,3
9.899,2
+ 4,1
1984/85
15.905,5
9.429,0
6.476,5
3.478,0
(69,3)
(3.408,7)
9.954,5
9.951,9
+2,6
IV/7
GRAFIK IV – 1
RINGKASAN REALISASI, ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1968 – 1984/85
IV/8
1984/85, jumlah-jumlah tersebut telah mencapai masing-masing
Rp.16.687,8 milyar dan Rp.19.636 milyar. Keberhasilan kebijaksanaan moneter, terlebih nyata lagi tercermin dalam perkembangan tingkat harga-harga yang langsung mempengaruhi daya
beli masyarakat luas, dari 85,1% dalam tahun 1968 menjadi
3,6% dalam tahun 1984/85.
Dengan pulihnya serta meningkatnya kepercayaan masyarakat
pada mata uang rupiah,
maka
telah dapat diusahakan pengembangan dan penyempurnaan di bidang lembaga perbankan serta
lembaga-lembaga keuangan pada umumnya. Jumlah bank-bank umum
yang dalam tahun 1973/74 baru mencapai 123 buah, pada akhir
tahun 1984/85 telah meningkat mencapai 1.111 buah. Selain itu
juga telah dikembangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank
(LKBB) yang sejak tahun 1973/1974
telah mencapai jumlah 10
buah. Melalui berbagai penyempurnaan dan penyesuaian kebijaksanaan yang lainnya maka telah dapat ditingkatkan tabungan
masyarakat,
yang
bersama-sama dengan tabungan pemerintah
telah memperbesar kemungkinan pembiayaan pembangunan, sesuai
dengan GBHN.
B.
KEUANGAN NEGARA
Semakin meningkat dan meluasnya pembangunan yang dilaksanakan, memerlukan penyediaan dana yang semakin berkembang. Di
samping itu dengan akan terus berkurangnya peranan sektor minyak bagi
penerimaan negara,
maka perlu ditempuh langkahlangkah kebijaksanaan yang mendorong peningkatan pengerahan
sumber-sumber dana di luar minyak dan gas alam. Usaha-usaha
peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut, senantiasa dilaksanakan dalam rangka
menunjang upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan, upaya meningkatkan pertumbuhan kegiatan pembangunan serta mempertahankan stabilitas ekonomi nasional.
Sejak Repelita I telah ditempuh berbagai langkah kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang perpajakan
antara lain berupa penyesuaian tarip pajak, serta penyempurnaan di bidang administrasi pemungutan pajak. Dalam hubungan
ini, menjelang awal Repelita IV telah disahkan beberapa undang-undang perpajakan baru sebagai pengganti undang-undang
perpajakan lama yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
alam dan gerak pembangunan dewasa ini. Sistem perpajakan baru
ini lebih mencerminkan kesederhanaan prosedur, dan lebih meningkatkan kepastian hukumnya.
maan
Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut
dalam negeri-negeri yang pada tahun 1978/79
penerisebagai
IV/9
akhir tahun pelaksanaan Repelita II baru mencapai Rp. 4.266,2
milyar,
meningkat
menjadi Rp. 14.432,7 milyar pada tahun
1983/84 atau berarti selama pelaksanaan Repelita III penerimaan dalam negeri setiap tahunnya telah meningkat rata-rata
sebesar 27,6%. Dalam tahun anggaran 1984/85, sebagai tahun
pertama Repelita IV, realisasi penerimaan dalam negeri mencapai jumlah sebesar Rp. 15.905,5 milyar, yang berarti meningkat sebesar 10,2% dari tahun terakhir Repelita III. Perkembangan realisasi penerimaan dalam negeri dapat dilihat pada
Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.
1. Penerimaan Dalam Negeri
a. Penerimaan dari Minyak dan Gas Alam
Penerimaan dari minyak bumi dan gas alam sampai saat ini
masih merupakan sumber penerimaan negara yang paling dominan.
Namun demikian, harganya di pasar minyak dunia sejak awal tahun 1981 mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan
sehingga mempengaruhi pertumbuhan penerimaan negara dari sektor ini. Hal sama terjadi dalam tahun 1975.
Perkembangan harga minyak dalam tahun 1979 meningkat dengan pesat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1981 dengan
harga patokan minyak ekspor Indonesia mencapai US $ 35,00 per
barrel. Sebelum munculnya krisis energi yang pertama pada tahun 1973, harga minyak dunia hanya mencapai tingkat US $ 3.40
per barrel. Dalam tahun 1981, seperti pada tahun 1975, berlangsung resesi dunia dan terjadi berbagai perubahan struktural yang berhubungan dengan pasaran minyak dunia, antara lain
dengan adanya usaha konservasi dan diversifikasi dalam pemakaian bahan bakar, dan peningkatan produksi minyak negara-negara produsen non OPEC. Hal ini telah mengakibatkan adanya
kesenjangan antara permintaan dan penawaran minyak dunia yang
selanjutnya menyebabkan melemahnya tingkat harga minyak di
pasaran dunia. Agar harga minyak di pasaran dunia dapat dipertahankan pada tingkat yang wajar maka OPEC telah mengambil
langkah-langkah kebijaksanaan pengamanan, dimana dalam sidang
daruratnya pada bulan Oktober 1984 di Jenewa, OPEC telah menetapkan untuk mengurangi produksinya dari batas tertinggi
17,5 juta barrel menjadi 16,0 juta barrel per hari. Sebagai
kelanjutan dari penurunan tersebut,
telah
pula
ditentukan
kuota baru yang lebih rendah
kepada anggota-anggotanya.
Kemudian untuk mengatasi semakin memburuknya harga minyak,
dalam pertemuan luar biasa para menteri perminyakan OPEC di
Jenewa bulan Januari 1985, telah pula diputuskan untuk melepaskan kaitan harga minyak pada minyak ringan Arab (ALC) se-
IV/10
TABEL IV – 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1968 – 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Jenis Penerimaan
Penerimaan Minyak bumu
Dan gas alam
Penerimaan di luar minyak
Bumi dan gas alam
Jumlah
1968
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(akhir Repelita II)
1982/83
1983/84
(akhir Repelita III)
1984/85
33,3
382,2
2.308,7
8.170,4
9.520,2
10.429,9
116,4
149,7
585,5
967,7
1.957,4
4.266,1
4.247,9
12.418,3
4.912,5
14.432,7
5.475,6
15.905,5
IV/11
GRAFIK IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1968 - 1984/85
IV/12
bagai harga patokan, dan ditempuh pula penurunan harga pembeda dari sekitar US $ 4,00 menjadi US $ 2,40 per barrel. Dengan adanya ketentuan kuota baru dan kesepakatan tentang penurunan harga pembeda tersebut, maka Indonesia sejak bulan
Nopember 1984 mendapatkan pengurangan kuota produksi sebesar
111.000 barrel per hari dan penurunan harga minyak (Minas)
dari US $ 29,53 menjadi US $ 28,53 per barrel yang mulai
berlaku 1 Februari 1985. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan
tersebut serta dengan telah sedikit pulihnya perekonomian
dunia, diharapkan untuk masa mendatang harga minyak akan
berada pada tingkat yang lebih wajar.
Realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam Indonesia
umumnya meningkat terutama selama pelaksanaan Repelita II dan
Repelita III. Apabila dalam tahun terakhir Repelita II yaitu
tahun 1978/79 , jumlah penerimaan ini baru mencapai Rp. 2.308,7
milyar, maka lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983/84
yang merupakan tahun terakhir Repelita III, penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 9.520,2 milyar atau kenaikan
rata-rata sebesar 32,7% per tahun. Selanjutnya jumlah tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 1 0 . 4 2 9 , 9 milyar pada tahun
1984/85, yang berarti telah meningkat dengan Rp. 90,7 milyar
atau 9,6 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas alam dapat dilihat pada
Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.
b. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam
Usaha peningkatan penerimaan negara di luar minyak bumi
dan gas alam dalam rangka menghimpun dana yang bersumber dari
dalam negeri terus dilakukan. Kebijaksanaan di bidang penerinaan di luar minyak bumi dan gas alam tersebut pada awal Repelita IV antara lain berupa pelaksanaan undang-undang perpajakan baru, yang selain dimaksudkan agar dapat meningkatkan
penerimaan negara, juga diusahakan agar dapat lebih menggairahkan investasi dunia usaha,
melancarkan kegiatan perdagangan, melindungi barang-barang yang sudah dapat diproduksi
di dalam negeri, mendorong terciptanya pola hidup sederhana
dan menjamin stabilitas harga. Sehubungan dengan telah disahkannya undang-undang perpajakan yang baru, yang terdiri dari
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah. Mengingat bahwa masyarakat belum
sepenuhnya siap untuk dapat melaksanakan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, maka berdasarkan Per-
IV/13
TABEL IV – 3
PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Jenis Penerimaan
1968
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(akhir Repelita II)
1982/83
1983/84
(akhir Repelita III)
1984/85
Penerimaan dari
Minyak bumi
33,3
382,2
2.308,7
7.449,8
8.522,2
8.937,0
Penerimaan dari
gas alam
--
---
---
720,6
998,0
1.492,9
33,3
382,2
2.308,7
8.170,4
9.520,2
10.429,9
Jumlah
IV/14
GRAFIK IV - 3
PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1968 - 1984/85
IV/15
aturan Pemerintah No. 1 Tahun 1985, pelaksanaannya ditangguhkan sampai 1 April 1985. Dengan demikian penerimaan di luar
minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1984/85 terdiri dari penerimaan-penerimaan pajak penghasilan, pajak penjualan, bea
masuk, cukai, pajak ekspor, penerimaan pajak lainnya, Ipeda
dan penerimaan bukan pajak. Selain ditempuh langkah-langkah
kebijaksanaan perpajakan yang di dalamnya mencakup unsur -unsur kesederhanaan, pemerataan dan kepastian, yang pada gilirannya akan dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan, telah pula dilaksanakan langkah langkah kebijaksanaan penyesuaian tarip di bidang bea masuk,
cukai, pajak, ekspor, Ipeda, dan pajak-pajak lainnya.
Selama pelaksanaan Repelita I sampai dengan tahun pertama
Repelita IV, penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kalau
dalam tahun 1978/79 penerimaan di luar minyak bumi dan gas
alam mencapai jumlah sebesar Rp. 1.957,4 milyar, maka dalam
tahun 1983/84 penerimaan tersebut telah mencapai Rp. 4.912,5
milyar. Hal itu berarti bahwa selama Repelita III telah ter jadi peningkatan rata-rata sebesar 20,2% per tahun. Selanjutnya dalam tahun 1984/85, sebagai tahun awal Repelita IV,
penerimaan di luar minyak bumi
dan
gas
alam
mencapai
Rp 5.475,6 milyar atau meningkat 11,5% dari tahun sebelumnya.
Perkembangan penerimaan diluar minyak bumi dan gas alam
dapat diikuti pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4.
Kebijaksanaan di bidang pajak penghasilan, di samping diarahkan untuk dapat mengingatkan penerimaan negara, juga dimaksudkan agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak guna ikut berperanserta di dalam membiayai
pembangunan yang sedang dilaksanakan. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, sistem pemungutannya tetap berpegang pada asas pemerataan dan keadilan dalam
pengenaan pajaknya dan sesuai dengan daya pikul masing-masing
wajib pajak. Di samping itu lebih luasnya dasar pengenaan pajak, terutama dengan dimasukkannya semua jenis penghasilan ke
dalam dasar pengenaan pajak,
dan dengan diwajibkannya pega wai negeri untuk mengisi surat pemberitahuan (SPT), serta
dengan dihapuskannya berbagai bentuk fasilitas dan pembebasan
pajak, diharapkan akan semakin memperluas potensi penerimaan
pajak penghasilan.
Selain daripada itu untuk lebih memudahkan baik di dalam
pemungutan maupun pembayaran pajak penghasilan, ditetapkan
lapisan kena pajak dan penggolongan tarip yang lebih sederha-
IV/16
TABEL IV - 4
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
1968
1973/74
(Akhir Repelita I)
1. Pajak penghasilan
25,3
140,3
617,2
1.706,5
1.932,3
2.121,0
2. Pajak penjualan *)
9,2
54,6
221,1
476,6
575,2
637,2
3. Pajak penjualan impor *)
6,0
50,7
125,5
231,0
255,4
240,8
4. Bea Masuk
37,3
128,2
295,3
521,9
557,0
530,1
5. C u k a i
16,6
61,7
252,9
620,1
773,2
872,6
6. Pajak Ekspor
13,9
68,6
166,2
82,5
104,0
91,0
7. Pajak lainnya
3,4
12,1
24,7
68,5
64,0
138,4
Jenis Penerimaan
8. I p e d a
9• Penerimaan bukan pajak
Jumlah :
1978/79
(Akhir Repelita II)
1982/83
1983/84
(Akhir Repelita III)
1984/85
19,5
63,1
105,2
132,4
157,2
4,7
49,8
191,4
435,6
519,0
687,3
116,4
585,5
1.957,4
4.247,9
4.912,5
5.475,6
*) Pajak Penjualan den Pajak Penjualan Impor, mulai dengan tahun anggaran 1985/86,
masing-masing menjadi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
IV/17
GRAFIK IV –4
PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUNI DAN GAS ALAM
1968 – 1984/85
IV/18
na dan lebih rendah dari tarip di dalam undang-undang perpajakan sebelumnya. Tarip tersebut hanya terdiri dari tiga lapisan tarip yaitu sebesar 15%, 25%, dan 35%, masing-masing
untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 10 juta, antara Rp. 10 juta sampai Rp. 50 juta,
dan lebih dari Rp. 50
juta. Sedangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang tadinya disebut batas pendapatan bebas pajak (BPBP) untuk satu
keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan tiga orang anak,
ditingkatkan dari Rp. 1.050.000 menjadi Rp. 2.800.000.
Realisasi penerimaan pajak penghasilan serta jenis-jenis
penerimaan ekuivalennya, senantiasa menunjukkan peningkatan.
Pada akhir tahun pelaksanaan Repelita II realisasi penerimaan
berbagai jenis pajak penghasilan mencapai Rp. 617,2 milyar
dan pada akhir tahun pelaksanaan Repelita III telah meningkat
menjadi Rp. 1.932,3 milyar, atau peningkatan sebesar 213,1%
selama Repelita III. Perkembangan realisasi penerimaan pajak
penghasilan dalam tahun 1984/85 telah dapat mencapai jumlah
sebesar Rp. 2.121,0 milyar yang berarti meningkat sebesar
Rp 188,7 milyar dari tahun sebelumnya.
Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984, yang ditetapkan berlaku mulai 1 April 1985 merupakan pengganti daripada Pajak
Penjualan yang didasarkan atas Undang-undang PPn tahun 1951.
Dengan dilaksanakannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
tersebut, di samping diharapkan akan dapat meningkatkan jenis
penerimaan ini, juga dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh
Pajak berganda yang terdapat pada sistem pajak penjualan yang
lama.
Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem perpajakan
yang baru ini pemungutannya didasarkan atas tambahan nilai,
di samping lebih menekankan unsur kesederhanaan dan kepastian
di dalam pengenaan pajaknya, penetapan taripnya hanya terdiri
dari dua tarip yaitu 0% dan 10%. Dalam tahun 1984/85, seperti tahun-tahun sebelumnya realisasi jenis penerimaan ini
masih didasarkan atas sistem Pajak Penjualan yang lama.
Dalam tahun 1978/79 realisasi penerimaan pajak penjualan
mencapai Rp. 221,1 milyar, yang selanjutnya meningkat menjadi Rp. 575,2 milyar dalam tahun 1983/84. Selama pelaksanaan
Repelita III, penerimaan pajak penjualan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 22,1% setiap tahunnya. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 yang merupakan permulaan tahun pelaksanaan
Repelita IV, penerimaan pajak penjualan telah dapat mencapai
jumlah sebesar Rp. 637,2 milyar. Bila dibandingkan dengan
jumlah penerimaan dalam tahun 1983/84, berarti meningkat sebesar Rp. 62,0 milyar atau 10,8%.
IV/19
Di bidang bea masuk dan pajak penjualan impor, dalam
rangka mendorong tingkat perkembangan industri dalam negeri
terutama yang banyak menyerap tenaga kerja, sejak tahun pertama Repelita I senantiasa diadakan penyesuaian tarip bea
masuk dan pajak penjualan impor secara bertahap. Penyesuaian
tarip tersebut selain diarahkan untuk mendorong perkembangan
investasi dalam negeri juga ditujukan untuk lebih memantapkan
kestabilan harga-harga, melancarkan perdagangan, serta lebih
meratakan hasil-hasil pembangunan. Untuk melindungi dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri terutama yang meng hasilkan nilai tambah yang tinggi serta menyerap banyak tena ga kerja dan menggunakan sumber daya dalam negeri, maka jenis
industri tersebut diberikan keringanan pembebanan tarip serta
keringanan pembebanan impor terhadap pemasukan bahan-baku/bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi. Dalam
rangka mendorong pertumbuhan industri perakitan dalam negeri,
kepada sektor tersebut diberikan perlindungan dengan tarip
CKD yang lebih rendah dan tarip yang tinggi terhadap produk
yang diimpor dalam keadaan built up/non-CKD. Begitu pula
untuk melindungi industri pengolahan dalam negeri, terhadap
impor produk-produk sejenis dikenakan tarip yang lebih tinggi. Berbagai langkah dan usaha tersebut di atas sekaligus merupakan upaya penghematan penggunaan devisa dan usaha untuk
memperluas kesempatan kerja.
Perkembangan realisasi penerimaan bea masuk dan pajak
penjualan impor selalu menunjukkan peningkatan, kecuali dalam
tahun 1982/83 dan 1984/85 ketika bea masuk menurun terhadap
tahun sebelumnya serta dalam tahun 1984/85 ketika pajak penjualan impor menurun dari tahun 1983/84. Apabila realisasi
penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun
1978/79 baru mencapai Rp. 295,3 milyar dan Rp. 125,5 milyar,
maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 557,0
milyar dan Rp. 255,4 milyar dalam tahun 1983/84. Penerimaan
bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut sedikit menurun,
yaitu masing-masing menjadi Rp. 530,1 milyar dan Rp. 240,8
milyar, dalam tahun 1984/85. Penurunan realisasi penerimaan
bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut terutama dise babkan oleh adanya penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap
nilai tukar dollar. Sebagai akibatnya nilai barang import
terutama yang terkena tarif yang tinggi umumnya barang konsumsi, menurun jumlahnya. Di samping itu juga disebabkan oleh
komposisi barang-barang impor yang cenderung mengarah pada
bahan baku/penolong dan barang modal serta barang-barang tertentu yang secara umum tarifnya relatif rendah.
Realisasi penerimaan cukai dari tahun
IV/20
ke tahun menunjuk-
kan peningkatan yang cukup mengesankan. Apabila realisasi penerimaan cukai dalam tahun 1978/79 baru mencapai Rp. 252,9
milyar, maka dalam tahun 1983/84 atau tahun terakhir Repelita
III, penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 773,2
milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 realisasi penerimaan
cukai tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 872,6 milyar suatu
kenaikan sebesar 12,9 % dari tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan cukai tersebut sebagian besar terdiri dari penerimaan cukai tembakau, dan hanya sebagian kecil saja berupa cukai
gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan. Di dalam perkembangannya, penerimaan cukai dipengaruhi antara lain oleh perkembangan pertumbuhan produksi, penyesuaian harga pita dengan
harga jualnya, peningkatan daya beli masyarakat, serta intensifikasi dan verifikasi pemungutannya.
Di bidang cukai tembakau, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan yang bertujuan mendorong dan menunjang peningkatan
penerimaan jenis ini, antara lain menyangkut pelunasan hutang
cukai serta kebijaksanaan lainnya
seperti
peningkatan pengawasan dan penertiban baik fisik maupun administratip. Dalam
upaya meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan di bidang
cukai tembakau senantiasa diarahkan juga untuk tetap menunjang perkembangan industri rokok dan hasil tembakau dalam negeri terutama bagi produsen yang tergolong lemah dan banyak
menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini, sejak tanggal 1
0ktober 1984 terhadap perusahaan sigaret kretek tangan (SKT)
yang produksinya lebih dari 4 milyar batang setahun dikenakan
tarip 25 % dari harga pita cukai, yang produksinya antara 750
juta batang sampai dengan 4 milyar batang setahun dikenakan
tarip 22,5 % dari harga pita cukai, sedangkan untuk produksi
antara 100 juta sampai 750 juta batang setahun dikenakan tarip 20 % dari harga pita cukai. Bagi jenis produksi sigaret
buatan mesin, baik sigaret putih mesin (SPM) maupun sigaret
kretek mesin (SKM) dikenakan tarip tunggal yang besarnya 40 %
dari harga pita cukai.
Di samping kebijaksanaan di bidang
cukai tembakau, juga dilakukan penyesuaian harga dasar dalam
pemungutan cukai bir dari Rp. 400 per liter menjadi
Rp. 500
per, liter yang berlaku sejak 1 Oktober 1983.
Harga dasar
cukai gula juga telah disesuaikan sejak bulan Mei 1984, yaitu
untuk jenis SHS-I,
SHS-II dan
HS-I
masing-masing
sebesar
Rp. 40.000,per
kuintal,
Rp. 39,850,per
kuintal,
Rp. 39,700,- per kuintal, yang sebelumnya masing-masing sebesar Rp. 35.000,- per kuintal, Rp. 34.850,- per kuintal, dan
Rp. 34.700 per kuintal.
Di lain pihak, realisasi penerimaan pajak ekspor sejak awal
Repelita
III
menunjukkan
kecenderungan
menurun.
Apabila
IV/21
realisasi penerimaan pajak ekspor dalam tahun 1978/79 mencapai Rp. 166,2 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah menurun
menjadi Rp. 104,0 milyar. Penerimaan pajak ekspor itu telah
menurun lagi menjadi Rp. 91,0 milyar dalam tahun 1984/85 atau
berkurang 12,5% dari tahun sebelumnya. Resesi ekonomi yang
melanda dunia selama beberapa tahun belakangan ini, telah
mengakibatkan lesunya permintaan terhadap komoditi ekspor dari negara-negara berkembang, yang selanjutnya berakibat kepada menurunnya harga beberapa komoditi utama di pasaran internasional. Akibat selanjutnya ialah penurunan nilai ekspor
terutama ekspor non-migas yang mulai terasa dalam tahun
1980/81 yang pada gilirannya menyebabkan menurunnya penerimaan pajak ekspor. Karenanya dianggap perlu untuk mengambil
berbagai langkah kebijaksanaan di bidang ekspor, antara lain
berupa pemberian fasilitas yang diharapkan dapat merangsang
dunia usaha untuk mendorong ekspor, seperti halnya penyediaan
fasilitas kredit dan pemberian kemudahan prosedur ekspor. Se hubungan dengan itu dalam rangka upaya meningkatkan daya saing ekspor komoditi di luar minyak bumi dan gas alam di pa saran internasional, telah diambil kebijaksanaan memberikan
keringanan pajak ekspor tambahan terhadap beberapa komoditi
tertentu antara lain minyak kelapa sawit, crude stearin, dan
refined bleached deodorized stearin yaitu dengan penurunkan
taripnya dari masing-masing 37,18%, 13,18%, dan 18,48% menjadi masing-masing 10%, 0% dan 0%. Di samping itu guna meningkatkan ekspor bijih nikel serta bauksit, juga telah diturunkan tarip pajak ekspornya masing-masing dari 10% menjadi
0%.
Realisasi penerimaan iuran pembangunan daerah (Ipeda) se nantiasa menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun terakhir Repelita II, yaitu pada tahun 1978/79, penerimaan Ipeda
baru mencapai Rp. 63,1 milyar maka dalam tahun terakhir Repelita III
yaitu tahun 1983/84 penerimaan tersebut menjadi
Rp. 132,4 milyar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar 16,0%. Selanjutnya dalam pelaksanaan tahun
pertama Repelita IV, realisasi penerimaan Ipeda mencapai Rp.
157,2 milyar yang berarti meningkat sebesar 18,7% terhadap
tahun terakhir Repelita III.
Meningkatnya realisasi penerimaan Ipeda tersebut adalah
karena berbagai langkah kebijaksanaan yang telah diambil,
berupa perluasan pemungutan Ipeda yang tetap diarahkan pada
tujuan pembebanan yang adil dan merata, terus dilakukannya
penyempurnaan baik di bidang pendataan, administrasi maupun
tatalaksana pembukuannya, pembinaan kerjasama yang lebih baik
dengan Pemerintah Daerah, dan penyuluhan kepada masyarakat.
IV/22
Juga telah diambil kebijaksanaan untuk menyederhanakan penggolongan tanah dan sistem pentaripannya, sehingga memudahkan
pemungutannya serta menghasilkan pembebanan yang lebih adil dan
merata. Untuk Ipeda sektor pedesaan, selain diterapkan cara
pemungutan yang lebih praktis dan seragam juga diadakan
pembedaan tarip antara tanah sawah dan tanah darat yang kondisinya sama tetapi berbeda dalam luas yang dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak. Sementara itu untuk Ipeda sektor
perkotaan telah diadakan penyesuaian tarip yang mulai berlaku
da1am tahun takwim 1983 yang disesuaikan dengan perkembangan
nilai sewa/nilai jual tanah dan bangunan.
Selanjutnya realisasi penerimaan pajak lainnya yang terdiri dari pajak kekayaan, bea meterai dan bea lelang menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Jika dalam tahun terakhir Repelita I I , penerimaan pajak lainnya baru mencapai Rp. 24,7 milyar, maka dalam tahun terakhir Repelita
III,
penerimaan pajak lainnya menjadi sebesar Rp. 64,0 milyar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar
Rp. 21,0 milyar, sehingga rata-rata setiap tahunnya meningkat
sebesar 21,0%. Kemudian dalam tahun pertama Repelita IV, penerimaan pajak lainnya mencapai Rp. 138,4 milyar yang berarti
meningkat sebesar Rp. 74,4 milyar atau sebesar .116,3% dari
tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan realisasi penerimaan
pajak lainnya terjadi terutama karena adanya peningkatan penerimaan yang menonjol dari penerimaan bea meterai sekalipun
realisasi penerimaan pajak kekayaan dan bea lelang setiap tahunnya juga menunjukkan peningkatan. Jenis penerimaan ini
terutama ditujukan untuk lebih menyesuaikan pemikulan beban
pajak sesuai dengan berbagai tingkat kemampuan anggota masyarakat. Dalam hubungan ini telah ditetapkan tarip baru untuk
pajak kekayaan
yaitu semula lima permil telah dinaikkan menjadi satu persen yang berlaku
untuk
perhitungan pajak kekayaan tahun 1983. Karena kebijaksanaan di bidang penerimaan
dalam negeri tidak hanya diarahkan bagi peningkatan penerimaan semata-mata melainkan
juga diarahkan untuk menunjang sektor-sektor yang perlu mendapat prioritas dan bimbingan, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi Unit
Desa dan demi kelancaran pelaksanaan tata niaga cengkeh produksi dalam negeri, maka sejak bulan Maret 1980 telah diberikan keringanan berupa penurunan bea meterai. Atas tanda bukti
pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan tata niaga cengkeh
tidak dikenakan bea meterai kredit sebesar satu permil melainkan cukup dikenakan bea meterai umum Rp. 25,- tiap lembarnya.
Penerimaan bukan pajak merupakan jenis penerimaan negara
1V/23
di luar pajak, bea masuk dan cukai, baik yang diperoleh di
dalam negeri maupun di luar negeri yaitu antara lain terdiri
dari penerimaan berbagai Departemen/Lembaga Non Departemen
seperti penerimaan pendidikan, penerimaan penjualan, penerimaan jasa, penerimaan kejaksaan dan peradilan, penerimaan bagian Pemerintah dari laba perusahaan negara/bank negara, iuran hasil hutan dan royalty, serta berbagai jenis penerimaan
lainnya. Dalam perkembangannya, realisasi penerimaan bukan pajak pada umumnya menunjukkan
peningkatan pada setiap tahunnya. Bila dalam tahun 1978/79 yang merupakan tahun terakhir
Repelita II penerimaan bukan pajak baru mencapai Rp. 191,4
milyar maka pada tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir
Repelita III penerimaan ini meningkat menjadi Rp. 519,0 milyar, yang berarti rata-rata meningkat sebesar 22,1% setiap
tahunnya. Dalam tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan bukan pajak mencapai Rp. 687,3 milyar yang berarti naik
sebesar Rp. 168,3 milyar atau 32,4% lebih tinggi dari tahun
1983/84. Meningkatnya realisasi penerimaan bukan pajak antara
lain disebabkan terus dilakukannya usaha intensifikasi dan
ekstensifikasi, dan peningkatan pengawasan penyetorannya yang
dilaksanakan oleh Departemen/Lembaga badan usaha milik negara
dan bank-bank Pemerintah.
2. Pengeluaran Rutin
Sebelum tahun 1969/70, pengeluaran rutin masih relatif
kecil sekali. Kemudian selama pelaksanaan Repelita I hingga
Repelita IV pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan
yang berarti, selaras dengan semakin meningkatnya hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai selama ini. Dengan semakin meningkatnya hasil-hasil pembangunan dituntut pula peningkatan
dana pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih besar melalui
pengeluaran rutin. Namun demikian, dalam pelaksanaan pengeluaran rutin selalu berpedoman pada kebijaksanaan pokok yang
mengarah pada tercapainya sasaran peningkatan tabungan Pemerintah, peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara.
Peningkatan tabungan Pemerintah ini ditempuh melalui usaha peningkatan penerimaan dalam negeri serta usaha penghematan pengeluaran rutin semaksimal mungkin tanpa mengorbankan
tercapainya sasaran. Dengan demikian pengeluaran rutin tersebut harus dilaksanakan seefisien dan sehemat mungkin. Dalam
tahun anggaran 1968 masih belum tercipta tabungan Pemerintah,
dan baru pada awal pelaksanaan Repelita I, tahun 1969/70,
dapat dibentuk tabungan Pemerintah. Tabungan Pemerintah ini
IV/24
terus meningkat setiap tahunnya, yang menunjukkan keberhasilan usaha untuk meningkatkan dana pembangunan.
Kenaikan belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom mencerminkan usaha peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara. Pengeluaran rutin secara keseluruhan dalam tahun 1984/85 telah
mencapai Rp. 9.429,0 milyar, suatu kenaikan sebesar 12,1 %
bila dibanding dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1968 pengeluaran rutin baru mencapai jumlah sebesar Rp. 149,7 milyar. Selama Repelita I pengeluaran rutin telah mencapai kenaikan rata-rata setahun sebesar 36,7 %, sedangkan selama Repelita II telah mencapai sebesar 30,9 % dan selama Repelita
III mencapai 25,1 %. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin
sejak tahun 1968 sampai dengan tahun pertama Repelita IV atau
tahun 1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-5 dan Grafik IV-5.
Belanja pegawai dalam tahun 1968 baru mencapai jumlah
Rp. 78,3 milyar, sedangkan pada akhir Repelita I belanja pegawai mencapai Rp. 268,9 milyar atau mengalami kenaikan sebesar 243,4 % bila dibandingkan dengan tahun 1968. Pada akhir
Repelita II, belanja pegawai mencapai sebesar Rp. 1.001,6
milyar atau sebesar 272,5 % lebih tinggi bila dibandingkan
dengan akhir Repelita I. Selanjutnya belanja pegawai mencapai
sebesar Rp. 2.757,0 milyar dalam akhir Repelita III atau sebesar 175,3 % bila dibandingkan dengan akhir Repelita II. Sedangkan dalam tahun 1984/85 atau awal Repelita IV belanja pegawai mencapai Rp. 3.046,8 milyar. Perkembangan realisasi belanja pegawai sejak tahun 1968 sampai dengan awal Repelita IV
dapat dilihat pada Tabel IV-6.
Realisasi belanja barang juga terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dalam tahun 1968 realisasi belanja barang mencapai jumlah sebesar Rp. 29,1 milyar yang kemudian
meningkat menjadi Rp. 110,1 milyar pada akhir Repelita I. Sedangkan pada akhir Repelita II realisasinya meningkat lagi
menjadi Rp. 419,5 milyar atau 281,0 % lebih besar jika dibandingkan dengan akhir Repelita I. Selanjutnya pada akhir Repelita III realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.057,1
milyar
atau 152,0 % lebih besar jika dibandingkan dengan
akhir Repelita II sedang dalam tahun awal Repelita IV realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.182,8 milyar. Peningkatan belanja barang ini sejalan dengan peningkatan kegiatan
pembangunan.
Subsidi daerah otonom menampung bantuan kepada daerah
terutama untuk membiayai belanja pegawai. Subsidi ini dalam
IV/25
TABEL IV – 5
PENGELUARAN RUTIN
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Jenis Pengeluaran
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
a. Dalam Negeri
b. Luar Negeri
3. Subsidi Daerah Otonom
a. Irian Jaya
b. Daerah Lainnya
4. Bunga dan Cicilan Hutang
a. Dalam Negeri
b. lLuar Negeri
5. Lain-lain
Jumlah
1)
2)
3)
1968
78,3
29,1
(22,7)
(6,4)
25,5
(4,6)
(20,9)
10,0
(1,9)
(8,1)
6,8
149,7
1973/74
(Akhir Repelita I)
268,9
110,1
(98,3)
(11,8)
108,6
(10,3)
(98,3)
70,7
(8,2)
(62,5)
155,0 1)
713,3
Termasuk subsidi pangan
Termasuk subsidi pangan dan BBM
Termasuk subsidi BBM
1978/79
(akhir Repelita II)
1.001,6
419,5
(398,4)
(21,1)
522,3
(22,1)
(500,2)
534,5
(8,8)
(525,7)
265,82)
2.743,7
1982/83
2.418,1
1.041,2
(1.007,0)
(33,8)
1.315,4
(43,0)
(1.272,4)
1.224,5
(19,8)
(1.204,7)
997,12)
6.996,3
1983/84
(akhir Repelita III)
2.757,0
1.057,1
(1.007,0)
(50,1)
1.547,0
(41,5)
(1.505,5)
2.102,6
(29,8)
(2.072,8)
948,13)
8.411,8
1984/85
3.046,8
1.182,8
(1.134,2)
(48,6)
1.883,3
(-)
1.883,3
2.776,5
(39,3)
(2.737,2)
539,53)
9.428,9
GRAFIK IV – 5
PENGELUARAN RUTIN
1968 – 1984/85
(dalam persen)
IV/27
TABEL IV - 6
BELANJA PEGAWAI,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Janie Pengeluaran
1968
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(Akhir Repelita II)
1982/83
1983/84
(Akhir Repelita III)
1984/85
1. Tunjangan Beres
36,2
50,6
132,8
289,9
346,1
407,0
2. Gaji pegawai/pensiun
25,8
173,9
760,3
1.749,0
1.996,0
2.206,6
3. Uang makan/lauk pauk
9,4
16,8
51,2
254,9
261,3
271,4
4. Lain-lain belanja
pegawai dalam negeri
4,4
20,2
33,6
78,6
87,6
89,7
5. Belanja pegawai
luar negeri
2,5
7,4
23,7
45,7
66,0
72,1
78,3
268,9
1.001,6
2.418,1
2.757,0
3.046,8
Jumlah :
IV/28
perkembangannya selalu menunjukkan peningkatan yang sejalan
dengan perkembangan realisasi belanja pegawai pada umumnya.
Dalam tahun 1968 , realisasi subsidi daerah otonom mencapai
Rp. 25,5 milyar yang kemudian meningkat menjadi Rp. 108,6
milyar dalam akhir Repelita I atau berarti 325,9% lebih besar
bila dibandingkan dengan tahun 1968. Sedangkan dalam akhir
Repelita II subsidi daerah otonom mencapai Rp . 522,3 milyar
yang berarti 380,9% lebih besar dari realisasi akhir Repelita
I. Selanjutnya pada akhir Repelita III realisasinya telah
mencapai Rp. 1.547,0 milyar atau 196,2% lebih besar dari
realisasi akhir Repelita II. Realisasi subsidi daerah otonom
tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 1.883,3 milyar.
Sementara itu pembayaran bunga dan cicilan hutang juga
menunjukkan peningkatan yang berarti, terutama pembayaran untuk hutang luar negeri . Pembayaran bunga dan cicilan hutang
ini merupakan kewajiban Pemerintah untuk membayar kembali
angsuran dan bunga hutangnya kepada negara lain maupun kepada
pihak ketiga di dalam negeri. Dalam tahun 1968, realisasi
pembayaran bunga dan cicilan hutang mencapai sebesar Rp. 10,0
milyar dan pada akhir Repelita I telah mencapai Rp. 70,7 milyar. Sedangkan pada akhir Repelita II realisasinya mencapai
jumlah sebesar Rp. 534,5 milyar dan mencapai Rp. 2.102,6 milyar dalam tahun akhir Repelita III, yang terutama disebabkan
oleh diadakannya kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah
pada tanggal 30 Maret 1983, yaitu dari Rp. 625,- menjadi Rp .
970,- per US $ 1,-. Dalam tahun 1984/85 realisasinya mencapai
jumlah sebesar Rp. 2.776,5 milyar.
Selanjutnya lain-lain pengeluaran rutin seperti subsidi
pangan dan BBM umumnya menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun , sedang sejak tahun 1982/83 mulai menurun . Dalam lainlain pengeluaran rutin tersebut, subsidi BBM mencapai jumlah
sebesar Rp. 1.021,7 milyar dalam tahun. 1980/81, dan mencapai
jumlah sebesar Rp . 1.316,4 milyar dalam tahun 1981/82. Dalam
tahun 1982/83 dan 1983/84 realisasi subsidi BBM menjadi lebih
rendah masing-masing mencapai jumlah sebesar Rp. 961,5 milyar
dan Rp. 928,1 milyar. Lebih rendahnya subsidi BBM terutama
akibat kenaikan harga jual bahan bakar minyak pada tahun 1982
dan 1983, yang masing-masing mulai berlaku pada tanggal 1 April 1982 dan 7 Januari 1983. Selanjutnya dalam tahun 1984/85
melalui usaha peningkatan efisiensi , subsidi BBM hanya mencapai Rp. 506,7 milyar atau mengalami penurunan sebesar 45,4
% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan sejak
akhir Repelita III subsidi pangan sudah tidak diberikan
IV/29
lagi berhubung dengan keberhasilan usaha untuk meningkatkan
produksi beras dalam negeri. Pengeluaran rutin lain-lain yang
dalam tahun 1 9 6 8 baru mencapai R p . 6, 8 milyar, dalam akhir
Repelita III mencapai Rp. 9 4 8 , 1
milyar dan
dalam
tahun
1 9 8 4 / 8 5 hanya berjumlah Rp. 5 3 9 , 5 milyar, yang berarti mengalami penurunan sebesar 43,1 % bila dibandingkan dengan tahun
1983/84.
3 . Dana Pembangunan
Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dituntut
pula peningkatan dana pembangunan yang besar untuk membiayai
pembangunan tersebut yang bersumber dari tabungan Pemerintah
dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah merupakan
selisih penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, sedangkan dana bantuan luar negeri terdiri atas nilai bantuan
program dan bantuan proyek. Sesuai dengan tekad untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan kepada kekuatan sendiri, maka
telah diusahakan untuk meningkatkan tabungan Pemerintah sebagai sumber utama pembangunan. Dengan demikian bantuan luar
negeri hanya merupakan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan.
Dalam tahun 1 9 6 8 jumlah dana pembangunan baru mencapai
R p . 5 7 , 9 milyar yang seluruhnya berasal dari bantuan luar negeri. Selanjutnya dana pembangunan pada akhir Repelita I men capai R p . 4 5 8 , 3 milyar yang terdiri atas tabungan Pemerintah
sebesar 5 5 , 5 % dan 4 4 , 5 % dari bantuan luar negeri. Peranan
tabungan Pemerintah ini semakin meningkat, sehingga pada ta hun 1 9 8 2 / 8 3 merupakan 7 3 , 6 % dari dana pembangunan. Sedangkan
dalam
tahun
1983/84
jumlah
dana
pembangunan
mencapai
R p . 9 . 9 0 3 , 3 m i l y a r yang terdiri atas tabungan Pemerintah dan
bantuan luar negeri masing-masing sebesar 6 0, 8 % dan 3 9, 2%.
Selanjutnya dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 peranan tabungan Pemerintah
mencapai sebesar 65,1% dan bantuan luar negeri sebesar 34,9%
dari keseluruhan dana pembangunan yang berjumlah Rp 9.954,5
milyar.
Untuk menjamin kelanjutan pembangunan, pelaksanaan penerimaan bantuan luar negeri selalu berpedoman bahwa pemberian
bantuan tersebut tanpa ikatan politik. Di samping itu penggunaan bantuan luar negeri tersebut selalu diarahkan untuk pro yek-proyek yang bersifat produktif serta mendorong tercipta nya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kemampuan industri dalam negeri. Sedangkan di dalam jumlah dan persyaratannya selalu diusahakan agar sesuai dengan kemampuan pereko nomian nasional untuk membayar kembali.
IV/30
Realisasi jumlah dan komponen dana pembangunan dari tahun
1968 sampai dengan tahun 1984/85 dapat diikuti pada Tabel
IV-7 dan Grafik IV-6.
4. Pengeluaran Pembangunan
Pembangunan yang sedang dijalankan bangsa Indonesia melalui serangkaian program pembangunan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional seperti termaksud
di dalam GBHN. Penyelenggaraan program-program pembangunan
yang merupakan tugas yang diamanatkan oleh MPR tersebut, dilakukan melalui tahapan-tahapan Repelita yang pada tahun
1984/85 ini telah memasuki tahun pertama Repelita IV, dan merupakan tahap keempat dari Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang. Berkat kesungguhan serta kerja keras yang dilandasi
oleh tekad untuk pembangunan dari segenap jajaran aparat pemerintah dan didukung oleh peran aktif serta peranserta seluruh bangsa Indonesia, maka hasil-hasil pembangunan yang dicapai telah menciptakan keadaan yang mantap untuk melanjutkan
pembangunan tahap selanjutnya.
Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran
1984/85 yang merupakan tahun pertama Repelita IV mencapai
jumlah sebesar Rp. 9.951,9 milyar. Bila dibandingkan dengan
realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp.9.899,2 milyar, menunjukkan peningkatan sebesar Rp. 52,7 milyar, tetapi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1982/83, meningkat sebesar
Rp. 2.592,3 milyar atau sebesar 35,3.%. Dengan anggaran sebesar Rp. 9.951,9 milyar yang terdiri dari pembiayaan rupiah
sebesar Rp. 6.543,2 milyar
dan
bantuan
proyek
sebesar
Rp. 3.408,7 milyar, telah berhasil diselesaikan berbagai macam program pembangunan sektoral maupun regional. Perkembangan, dalam periode 1968-1984/85, dari realisasi jumlah pengeluaran pembangunan, dapat diikuti pada Tabel IV-8, Tabel IV9,
Grafik IV-7,
sedang realisasi pengeluaran pembangunan
di luar bantuan proyek dapat dilihat pada Tabel IV-10, Grafik
IV-8 serta realisasi komponen bantuan proyeknya dapat diikuti
pada Tabel IV-11, Grafik IV-9.
Ditinjau secara sektoral, pengeluaran pembangunan sebesar
Rp. 9.951,9 milyar dalam tahun 1984/85 tersebut digunakan antara lain untuk membiayai program-program pembangunan di bidang ekonomi, terutama sektor pertanian dan pengairan, sektor
perhubungan dan pariwisata, sektor pendidikan, sektor pertambangan dan energi, dan sektor pembangunan daerah, desa dan
kota,
dengan
jumlah
pengeluaran
masing-masing
sebesar
Rp. 1.699,1 milyar, Rp. 1.428,3 milyar, Rp. 1.231,0 milyar,
IV/31
TABEL IV - 7
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Tahun
Anggaran
1968
Jumlah Dana
Pembangunan
57,9 (100%)
Tabungan
Pemerintah
-
( -
Dana Bantuan
Luar Negeri
)
57,9 (100%)
1973/74
458,3 (100%)
254,4 (55,5%)
203,9 (44,5%)
1978/79
2.557,9 (100%)
1.522,4 (59,5%)
1.035,5 (40,5%)
1982/83
7.362,0 (100%)
5.422,0 (73,6%)
1.940,0 (26,4%)
1983/84
9.903,3 (100%)
6.020,9 (60,8%)
3.882,4 (39,2%)
1984/85
9.954,5 (100%)
6.476,5 (65,1%)
3.478,0 (34,9%)
IV/32
GRAFIK IV - 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1968 - 1984/85,
(dalam persen)
IV/33
TABEL IV – 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN M E N U R U T SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
No
Sektor dan Sub Sektor,
(1)
(2)
1973/74
(Akhir Repelite I)
(4)
1968
(3)
1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN
98,1
Sub-sektor Pertanian
Sub-sektor Pengairan
450
-
2. SEKTOR INDUSTRI
(6)
91_ 2,9
1.699,1
641,7
289,4
639,7
1.234,6
273,2
464,5.
506,0
512,9
602,9
506,5
512,9
602,9
1.164.8 .
2.299.7
.17.7
406,6
758,2
1.640,2
659,5
236,3
911,4
1111,12
1.527.7
1.428,3
373,3
469,1
679,6
180,2
157,4
45,12)
31
47,6
271,8
Sub-sektor Pertambangan
Sub-sektor Energi
4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA
79,4
413,2
Sub-sektor Prasarana Jalan
Sub-sektor Perhubungan Darat
-
)
)
Sub-sektor Perhubungan Lout
-
)
Sub-sektor Perhubungan Udara
-
)
Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi
-
)
Sub-sektor Pariwisata
22.42)
1
104,5
409,9
1983/84
(Akhir Re- 1984/85
',elite III)
(7)
(a)
93~?
.
157
-
3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI
1982/83.
186,7
263,6
33ye)
Sub-sektor Industri
5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN K0PE8A8I
1978/79
(Akhir Repolite II)
(5)
5730.
250,9
86,8
309,0
126,0
276,7
219,8
3,3
53,7
6,6
33,1
16,6
49,4
22,6
12,4
131,6
1 ~
8,8
3,6
93,1
38,7
158,2
5
342,
314,0
40,6
28,5
456,4
421,6
.
Sub-sektor Perdagangan
Sub-sektor Koperasi
6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
94,7
436,(l
Sub-sektor Tenaga Kerja
11,2
48,6
Sub-sektor Transmigrasi
83,5
387,4
398,6
360,1
2751
711,3
748,7
790,8
275,1
711,3
748,7
790,8
50,6
50,8
54,0
59,8
54,0
59,8
251,17)
703,2
1.032,1
1.231 0
226,3
15,8
626,9
56,7
944,6
1.110,9
67,5
85,5
Ott'1
57,8
61,5
7. SEKTOR PEM860888 N DAERAH,
DESA DAN KOTA
69,8
Sub-sektor Pembangunan Daerah,
Dees den Kota
8. SEKTOR AGAMA
0,6
Sub-sektor Agama
9. SEKT0R PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,
KEBUDAYAAN NASI0NAL DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Sub-sektor Pendidikan Umum dan
Generasi Muda
Sub-sektor Pendidikan Kedinasan
Sub-sektor Kebudayaan Nasional
dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
IV/34
7.56)
7,5
36,9
9,07)
19,6
20,0
34,6
(Lanjutan Tabel IV - 8),
IV/35
GRAFIK IV - 7
PENGELUARAN PEMBANGUNAN,
1968 - 1984/85
IV/36
TABEL IV - 9
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(Akhir Repelita II)
1. Pembiayaan Departemen/Lembaga
167,3
851,0
2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah
a. Bantuan Pembangunan Desa
b. Bantuan Pembangunan Kabupaten/
Kotamadya
c. Bantuan Pembangunan Dati I
d. Irian Jaya
e. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar
f. Bantuan Pembangunan Kesehatan/
PUSKESMAS
g. Bantuan Pembangunan dan
Pemugaran Pasar
h. Bantuan Penghijauan
i. Bantuan Penunjangan jalan
dan Jembatan Kabupaten
j. Timor Timur
k. Ipeda
85,7
(5,7)
(19,2)
(20,8)
(3,3)
(17,2)
Jenis Pembiayaan
1968
(
(
(
(
3. Pembiayaan lainnya
a. Subsidi Pupuk
b. Penyertaan Modal Pemerintah
c. Lain-lain
Jumlah
IV/37
:
35,5
1982/83
1983/84
(Akhir Bepelita
III)
1984/85
3.260,9
3.219,6
3.474,4
431,1
(24,0)
1.090,4
( 88,4)
1.447,5
(91,6)
1.526,2
(92,8)
(70,9)
(86,8)
(
5,9
(111,8)
)
(26,9)
(193,9)
(253,0)
(267,4)
(194,1)
(253,0)
(194,6)
(253,0)
(549,3)
( - )
(572,0)
( 80,3)
(87,3)
(64,6)
(1,2)
(36,0)
(
4,5)
( 49,6)
(10,6)
(59,4)
(25,5)
(61,2)
(-)
(4,5)
(63,1)
( 42,4)
(5,7)
(105,2)
(64,6)
(5,2)
(132,4)
(101,1)
(4,2)
(157,2)
83,8
(33,0)
(40,8)
(10,0)
286,2
(82,6)
(128,5)
(75,1)
1.083,4
(420,1)
(336,6)
(326,7)
1.364,6
(324,2)
(591,7)
(448,7)
1.542,6
(731,6)
(336,1)
336,8
1.568,3
5.434,7
)
( - )
)
)
)
(19,5)
6.031,7
(474,9)
6.543,2
TABEL IV - 10
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
IV/38
(Lanjutan Tabel IV - 10)
(1)
(2)
(3)
10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
(4)
(5)
7,54)
57 76)
41,0
Sub-sektor 60606 tan
Sub-sektor Kesejahteraan Sosial
den Peranan Wanita
Sub-sektor Kependudukan don
Keluarga Berencana
11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN
PEMUKIMAN
44,2
48,7
45,2
5,85)
371_3
129,5
165?
140,6
37,3
129,5
169,7
140,6
11,1
66,1
56,_6
60,5
11,1
66,1
56,6
60,5
418,2
505,9
45~
418,0
505,9
451,7
_1c 0
58_3
27,5
32,6
7,0
50,3
27,5
32,6
128,2
8,1
109,9
6,8
15,3
23,3
25,9
27,1
86,7
96,1
84,0
5017
215_2
1d
lllc2
50,7
218,2
184.,4
159,8
40,8
.12LI
235_9
188,_7
131,4
40,8
128,5
233,9
188,7
131,4
184,4
170
_6
145,9
184,4
170,6
145,9
5.434,7
6.031,7
6.543,2
12 ,122
108,8
-
, 15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEHN0L011
DAN PENELITIAN
33,9
-
116. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH
Sub-sektor Aparatur Pemerintah
18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN
HIDUP
_
11)
Sub-sektor Somber Alam den Lingkungan Hidup
Jumlah
35,5
153,1
42,7
4. SEKTOR PENERANGAN, PENS DAN
KOMUNIKASI S05IAL
Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha
2R,5_
150,4
38,6
i2
17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA
245_8
149,0
48,1
Sub-sektor Pertahanan don Keamanan
Nasional
Sub-sektor Pengembangan Ilmu
Pengetahuan don Teknologi
Sob-sektor Penelitian
23__5_7
5,79)
-
Sub-sektor Penerangan don
Komunikasi Social
(8)
11,010)
12. SEKTOR HUKUM
13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
NASIONAL
(7)
-
Sub-sektor Perumahan Rakyat
don Pemukiman
Sub-sektor Hukum
(6)
336,8
1.568,3
1) Termasuk sektor Pertambangan
2) Sektor Energi coin
3) Merupakan penjumlahan dari sektor 5, 12 den 14 0/d 16
'4) Sektor K000hetan den Keluarga Berencana
5) Termasuk Kesejahteraan Sosial
b) Termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
'7) Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
'8) Tidak termasuk Peranan Wanita
'9) Jumlah sub-sektor Kesejahteraan sosial saja
10) Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana saja
(1) Jumlah sektor/sub-sektor Somber Alan dan Lingkungan Hidup
dimasukkan di dalam sub-sektor Pertanian, sub-sektor Pengairan den
Sub-Sektor Poe dan Telekomunikasi
IV/39
GRAFIK IV - 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK
1968 - 1984/85
IV/40
TABEL IV - 11
REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
No.
Sektor dan Sub Sektor
(1)
1968
(2)
(3)
1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN
1973/74
1978/79
(Akhir Re- (Akhir Repelita I) pelita II)
(4)
(5)
18,6
152
472,11
55,0
80,2
78,2
22,7
107,6
266,4
2 8 _7
153mt
345,9
246 1
470,3
-
153,8
345,9
246,1
470,3
Sub-sektor Pertanian
Sub-sektor Pengairan
2. SEKTOR I050010I
Sub-sektor Industri
3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI
27,5
135,2
1983/84
1982/83 (Akhir Re1984/85
pelita (III)_
(6)
(7)
(8)
100E
47,6
205,7
251,.(2
824,0
1.986.6
854,0
Sub-sektor Pertambangan
-
45,2
387,9
1.599,0
200,6
Sub-Sektor Energi
-
207,8
506,1
387,6
653,4
241,1
335,1
4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA
25,3
600,6
Sub-sektor Prasarana Alan
-
)
53,2
163,7
220,0
Sub-sektor Perhubungan Darat
-
)
55,9
494,3
123,8
Sub-sektor Perhubungan Laut
-
)
179,5
122,3
Sub-sektor Perhubungan Mara
-
)
164,9
10,1
Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi
-
)
46,9
Sub-sektor Pariwisata
247,0
2,7
5. SENIOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI
5,83)
1,1
24,5
90,5
26,5
38,6
0,6
5,4
1,3
18,7
2,1
1,3
18,7
2,0
15,0
45,2
7m_7
2,6
12,4
45,2
70,4
Sub-sektor Perdagangan
0,1
Sub-sektor Koperasi
6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
11,
Sub-sektor Tenaga Eerie
3,2
8,4
Sub-sektor Transmigrasi
5,3
7. SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH,
DESA DAN KOTA
Sub-sektor Pembangunan Daerah,
Dose dan Kota
i8
1,0
2,6
6,8
1,0
35,36)
24,2
16,1
34,8
0,2
22,3
21,6
1,9
6,8
7,9
8. SENIOR AGAMA Subsektor Agama
9. SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,
KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MARA ESA
Sub-sektor Pendidikan Umum dan
Generasi Muda
Sub-sektor Pendidikan Kediaman
Sub-sektor Kebudayaan Nasional
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
L_5_
1
159,5
15,2
dan
0,36)
5,0
IV/41
(Lanjutan Tabel IV - 11)
(1)
(2)
(3)
10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
(4)
121'
4
)
Sub-sektor Kesehatan
Sub-sektor Kesejahteraan Sosial
dan Peran Wanita
Sub-sektor Kependudukan dan
Keluarga Berencana
11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN
PEMUKIMAN
2.75)
Sub-sektor Perumahan Rakyat
dan Pemukiman
(5)
(6)
(7)
(8)
6
14,9
36.9
7T
15,8
3,9
50,5
5,97)
8,7
33,0
27,0
18.3
21c E
51.2
1 1
18,3
21,2
51,2
83,7
2
7)
2 3 .6
12. SEKTOR HUKUM
Sub-sektor Hukum
13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
NASIONAL
Sub-sektor Pertabanan den Keamanan
Nasional
50.6
58,8
20.1
150,6
50,6
58,8
20,1
250,0
14. SEKTOR PENERANGAN, PENS DAN
KOMUNIKASI SOSIAL
12
Sub-sektor Penerangan dan
Komunikasi Sosial
12,9
3,8
15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI
dan PENELITIAN
Sub-sektor Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Sub-sektor Penelitian
8
2_63
183.2
80,0
7,4
1,1
1,0
146,8
40,1
25,3
36,4
39,9
24.4
151,1
ALI
3,5
24,4
132,2
4.3
46.8
45,2
160,3
46,8
45,2
160,3
9.1
22.6
87.9
16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH
Sub-sektor Aparatur Pemerintah
17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA
Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha
33,1
18. SEKTOR SOMBER ALAN DAN LINGKUNGAN
LINGKUNGAN HIDUP
Sub-sektor Somber Alam dan Lingkungan Hidup
Jumlah t
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
22,4
114,1
Termasuk sektor Pertambangan
Sektor Energi Baja
Penjumlahan dari sektor 5 B/d 8 dan 12 mid 17
8ektor Kesehatan dan Keluarga Berencana Baja
Termasuk Kesejahteraan Sosial
Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Naha Esa
Tidak termasuk Peran wanita
IV/42
987,3
9,1
22,6
83,9
1.924.9
3.867,5
3.408,7
GRAFIK IV - 9
REALISASI BANTUAN PROYEK,
1968 - 1984/85
IV/43
Rp. 1.147,7 milyar, dan Rp. 790,8 milyar. Sesuai dengan arah
dan kebijaksanaan Repelita IV, penggunaan dana di kelima sektor pembangunan bidang ekonomi tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan yang makin merata bagi seluruh rakyat, yang berarti pula makin memperkokoh ketahanan nasional.
Pengeluaran pembangunan melalui sektor pertanian dan pengairan sebesar Rp. 1.699,1 milyar merupakan peningkatan sebesar 86,1 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan
82,5 % diatas realisasi dalam tahun 1982/83. Pada akhir Repelita I dan akhir Repelita II realisasi pengeluaran melalui
sektor ini
baru mencapai masing-masing sebesar Rp. 98,1 milyar dan Rp. 450,3 milyar. Selanjutnya melalui pengeluaran
pembangunan
sektor
perhubungan
dan
pariwisata
sebesar
Rp. 1.428,3 milyar, telah dilaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan prasarana angkutan dan perhubungan, serta usahausaha untuk memperluas kepariwisataan dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa, perluasan lapangan kerja, di samping
untuk memperkenalkan kebudayaan bangsa. Sektor pendidikan,
generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan
alokasi anggaran sebesar Rp. 1.231,0 milyar. Dibandingkan
dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp. 1.032,1 milyar
berarti meningkat sebesar 19,3 %, dan bila dibandingkan
dengan realisasi tahun 1982/83 menunjukkan kenaikan sebesar
Rp. 527,8 milyar atau 75,1 %. Pada akhir Repelita I realisasi
pengeluaran sektor pendidikan baru mencapai jumlah sebesar
Rp. 36,9 milyar. Sementara itu sektor pertambangan dan energi
dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar
Rp. 1.147,7 milyar. Kegiatan pembangunan pada sektor pertambangan yang meliputi inventarisasi dan pemetaan, eksplorasi,
dan eksploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral dan energi, dalam tahun 1984/85 terus ditingkatkan sehingga produksi
dan ekspor pertambangan serta distribusi tenaga listrik yang
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat desa dan kota, serta
untuk mendorong kegiatan ekonomi terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Realisasi pengeluaran pembangunan melalui sektor
pembangunan daerah, desa dan kota, dalam tahun 1984/85 adalah
sebesar Rp. 790,8 milyar
yang berarti peningkatan sebesar
Rp. 42,1 milyar dan Rp. 79,5 milyar dari ralisasi
dalam
tahun 1983/84 dan tahun 1982/83. Dalam tahun 1973/74 yang
merupakan tahun terakhir Repelita I baru direalisasikan
sebesar Rp. 69,8 milyar, sedangkan pada akhir Repelita II
direalisasikan sebesar Rp. 275,1 milyar.
Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga dalam
tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 3.474,4 milyar,
IV/44
rang berarti Rp. 254,8 milyar lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun 1983/84. Pembiayaan pembangunan melalui
departemen/lembaga melihat pembiayaan proyek-proyek pembangunan sektoral dari segi departemen/lembaga.
Realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah dalam tahun
1984/85 telah mencapai jumlah sebesar Rp. 1.526,2 milyar.
Bantuan ini diberikan Pemerintah pusat dalam rangka menseimbangkan tingkat pembangunan antara berbagai daerah di samping
memberikan kesempatan kepada Pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kondisi daerah.
jumlah bantuan pembangunan yang berupa program-program Inpres,
Ipeda dan bantuan Timor Timur selalu diusahakan untuk
ditingkatkan setiap tahunnya. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan bagi daerah dapat diikuti pada Tabel IV-9.
Bantuan pembangunan desa yang diberikan sejak tahun 1969/
70, dimaksudkan untuk mendorong serta mengarahkan usaha-usaha
swadaya gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya.
Bantuan yang semula baru sebesar Rp. 2,6 milyar, selalu ditingkatkan tiap tahunnya sehingga pada akhir Repelita I, Repelita II, dan akhir Repelita III telah mencapai jumlah masing-masing
sebesar
Rp. 5,7 milyar,
Rp. 24,0 milyar
dan
Rp. 91,6 milyar. Sedangkan pada tahun 1984/85 telah diberikan
bantuan sebesar Rp. 92,8 milyar. Meningkatnya jumlah bantuan
yang diberikan disebabkan bertambahnya jumlah desa serta ditingkatkannya besarnya bantuan tiap desa. Bila pada tahun
1969/70 besar bantuan tiap desa baru sebesar Rp. 100 ribu tahun 1975/76 ditingkatkan menjadi Rp. 300 ribu, dan
menjadi
Rp. 350 ribu dalam tahun 1977/78. Selanjutnya pada tahun
1979/80 ditingkatkan lagi menjadi Rp. 450 ribu, kemudian menjadi Rp. 750 ribu dan Rp. 1 juta untuk masing-masing tahun
1980/81 dan tahun 1981/82. Pada tahun 1982/83 jumlah bantuan
ditingkatkan lagi menjadi Rp. 1,25 juta per desa, termasuk di
dalamnya dana untuk kegiatan Pembiayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebesar Rp. 250 ribu.
Bantuan pembangunan Kabupaten/Kotamadya diberikan sejak
tahun 1970/71, dan besar bantuannya terutama didasarkan atas
jumlah penduduk. Pada akhir Repelita I realisasinya baru mencapai sebesar Rp. 19,2 milyar, dan pada akhir Repelita II meningkat menjadi Rp. 70,9 milyar, kemudian meningkat lagi pada
pada akhir Repelita III menjadi Rp. 194,1 milyar. Di samping
didasarkan atas jumlah penduduk, kepada daerah-daerah yang
masih jarang penduduknya, diberikan jumlah bantuan minimum
yang jumlahnya juga ditingkatkan setiap tahunnya. Bila pada
IV/45
tahun 1974/75 jumlah bantuan minimum adalah sebesar Rp. 16
juta per kabupaten/kotamadya, maka pada akhir Repelita II
(1978/79) telah meningkat menjadi Rp. 50 juta, dan kemudian
ditingkatkan lagi setiap tahunnya sehingga pada akhir Repeli ta III telah mencapai 160 juta per kabupaten/kotamadya. Atas
dasar perkembangan jumlah penduduk, serta perkembangan besarnya bantuan per jiwa dalam tahun 1984/85 telah berhasil direalisasikan bantuan sebesar Rp. 194,6 milyar.
Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I adalah program Inpres yang pada mulanya merupakan sumbangan Pemerintah sebagai
pengganti ADO (Alokasi Devisa Otomatis). Program Inpres ini
terdiri dari bantuan yang penggunaannya ditetapkan serta yang
diarahkan. Bantuan yang ditetapkan digunakan untuk membiayai
penunjangan jalan dan jembatan, penggantian jembatan serta
perbaikan dan peningkatan irigasi untuk eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sedangkan bantuan yang penggunaannya diarahkan membiayai proyek-proyek yang meningkatkan taraf hidup
rakyat, mengembangkan daerah minus dan daerah kritis serta
proyek-proyek lain yang penting dalam rangka pembangunan daerah. Pada akhir Repelita I realisasi bantuan pembangunan ini
baru mencapai jumlah sebesar Rp. 20,8 milyar, tetapi pada
akhir Repelita II telah mencapai jumlah sebesar Rp. 86,8 milyar, dan pada akhir Repelita III meningkat menjadi sebesar
Rp. 253,0 milyar. Kenaikan ini disebabkan terutama karena ditingkatkannya jumlah bantuan minimum dan bantuan maksimum
tiap propinsi. Apabila dalam tahun 1974/75 jumlah bantuan minimum hanya sebesar Rp. 500 juta, maka setelah mengalami kenaikan setiap tahunnya pada akhir Repelita II menjadi Rp. 2
milyar, dan pada akhir Repelita III telah menjadi Rp. 9 milyar untuk tiap propinsi.
Program bantuan pembangunan sekolah dasar diberikan untuk
pertama kalinya pada tahun 1973/74, dengan jumlah bantuan sebesar Rp. 17,2 , milyar. Pada mulanya Inpres ini hanya meliputi
pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung SD, baik gedung SD
negeri maupun swasta dan Madrasah Ibtidaiyah swasta yang ada
serta
penyediaan buku-buku pelajaran dan bacaan bagi anakanak SD. Kemudian pada akhir Repelita II diperluas lagi dengan pembangunan ruang kelas baru, dan pada tahun berikutnya
diperluas lagi dengan pembangunan rumah kepala sekolah dan
guru di daerah terpencil. Pada akhir Repelita III bantuan
lebih ditingkatkan lagi, yaitu ditambah dengan penyediaan paket peralatan olah raga untuk sekolah dasar negeri dan swasta
serta Madrasah Ibtidaiyah. Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, maka pengeluaran bagi bantuan pembangunan
sekolah dasar yang pada tahun 1973/74 baru mencapai jumlah
IV/46
sebesar Rp. 17,2 milyar, pada akhir Repelita II telah menjadi
Rp. 111,8 milyar, dan pada akhir Repelita III telah mencapai
jumlah sebesar Rp. 549,3 milyar. Dalam tahun 1984/85 realisasi bantuan pembangunan untuk sekolah dasar ini ditingkatkan
la g i menjadi Rp. 572,0 milyar.
Inpres saran kesehatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi kepada golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di
kota, terus ditingkatkan jumlah bantuannya pada setiap tahunnya. Apabila pada akhir Repelita II bantuan yang diberikan
baru mencapai Rp. 26,9 milyar, pada akhir Repelita III telah
meningkat menjadi Rp. 87,3 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan
yang diberikan ditingkatkan menjadi Rp. 64,6 milyar, berupa
bantuan untuk obat-obatan, pembangunan gedung puskesmas baru,
puskesmas pembantu, dan rumah dokter/paramedis. Di samping
itu juga untuk puskesmas keliling, dan rehabilitasi puskes mas/puskesmas pembantu yang sudah ada serta pengadaan air
bersih pedesaan.
Dalam rangka melindungi para pedagang kecil golongan eko nomi lemah di daerah, maka sejak tahun 1976/77 telah diberikan bantuan subsidi bunga atas kredit pembangunan dan pemugaran pasar. Bantuan ini dipergunakan untuk membantu penye diaan tempat berjualan bagi para pedagang, khususnya para
pedagang kecil golongan ekonomi, lemah dengan sewa semurah
mungkin. Pada 1978/79 bantuan yang diberikan adalah sebesar
Rp. 1,2 milyar, sedangkan pada akhir Repelita III meningkat
menjadi Rp. 10,6 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan yang diberikan mencapai jumlah sebesar Rp. 25,5 milyar.
Bantuan penghijauan dan reboisasi merupakan program Inpres yang bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumbersumber alam,
tanah, hutan, dan air. Sasaran Inpres penghijauan ini terutama daerah-daerah kritis, yaitu daerah-daerah
yang ditinjau dari segi hidrologi dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)
atau wilayah lain. Pada tahun 1976/77 realisasi program Inpres penghijauan ini adalah sebesar Rp. 16,0 milyar, sedangkan selama Repelita III telah direalisasikan anggaran sebesar
Rp. 268,8 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 telah direalisasikan bantuan penghijauan sebesar Rp. 61,2 milyar.
Inpres prasarana jalan
adalah
program bantuan yang diberikan dalam rangka pemerataan pembangunan, dan menggairahkan
kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan, dan
IV/47
distribusi serta menunjang proyek-proyek di daerah. Dalam
tahun 1979/80 bantuan yang diberikan melalui Inpres ini baru
sebesar Rp. 13,0 milyar, kemudian
ditingkatkan
menjadi
Rp. 25,9 milyar dan Rp. 54,8 milyar masing-masing dalam tahun
1980/81 dan tahun 1981/82. Dalam tahun 1982/83 dan tahun
1983/84 diberikan masing-masing sebesar Rp. 42,4 milyar dan
Rp. 64,6 milyar, sehingga selama Repelita III telah direalisasikan bantuan sebesar Rp. 200,7 milyar. Dalam tahun 1984/85
bantuan yang diberikan telah mencapai jumlah sebesar Rp. 101,1
milyar.
Bantuan pembiayaan pembangunan daerah lainnya berupa bantuan untuk daerah Timor Timur yang diberikan sejak tahun
1977/78. Bantuan ini diberikan dalam rangka memberi kesempatan kepada propinsi termuda tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bantuan
yang diberikan pada tahun 1977/78 adalah sebesar Rp. 3,5 milyar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp.4,5 milyar pada tahun
1978/79. Selama Repelita III Timor Timur mendapat bantuan
pembangunan sebesar Rp. 30,7 milyar, dan pada tahun 1984/85
telah diberikan bantuan sebesar Rp. 4,2 milyar.
Program pembangunan daerah melalui dana IPEDA dalam tahun
anggaran 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 157,2 milyar,
yang berarti suatu kenaikan sebesar 18,7 %, dan 49,4 % bila
dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1983/84 dan tahun
1982/83. Dana pembangunan yang sebenarnya berasal dari daerah
sendiri itu dipungut berdasarkan kerjasama antara Pusat dan
Daerah,
dan
dipergunakan
sepenuhnya
untuk
pembangunan
daerah.
Pengeluaran pembangunan lainnya terdiri dari subsidi
pupuk, penyertaan modal Pemerintah, dan lain-lain pengeluaran
pembangunan. Subsidi pupuk diberikan dalam rangka meningkatkan produksi pangan, khususnya pertanian dengan mempertahankan harga pupuk yang stabil, dan dapat dijangkau oleh petani.
Sedangkan penyertaan modal pemerintah ditujukan dalam rangka
mempercepat pengembangan dunia usaha, dengan meningkatkan likuiditas berbagai badan usaha milik negara, dan proyek-proyek
lainnya, antara lain proyek Otorita Pengembangan Industri
Pulau Batam, BTN/KPR Perumnas, PT Tambang Batu Bara Bukit
Asam, dan PT Danareksa, pembiayaan proyek-proyek Benih II/
Perum Sang Hyang Seri, PT PAL Indonesia, PT TWC Borobudur dan
Prambanan serta PT INKA. Sedangkan pembiayaan pembangunan
lain-lain ditujukan antara lain untuk proyek pencetakan sawah, proyek air minum/air bersih, program keluarga berencana,
sensus dan proyek sumber daya laut. Di samping itu juga untuk
dana tanaman ekspor, pembiayaan pembangunan rumah susun, pem-
IV/48
bangunan gedung lantai jemur, serta pengembangan Badan Kredit
Kecamatan (BKK). Realisasi subsidi pupuk dalam tahun 1984/85
adalah sebesar Rp. 7 3 1 , 6 milyar, sedangkan penyertaan modal
Pemerintah dalam tahun tersebut adalah sebesar Rp. 336,1 milyar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 474,9
milyar.
C.
PERKEMBANGAN MONETER
1. Kebijaksanaan Moneter
Keadaan moneter di Indonesia menjelang dilaksanakannya
kebijaksanaan stabilisasi dan rehabilitasi bulan Oktober
1966, nampak tidak menentu memprihatinkan. Hal tersebut tercermin pada tingginya laju inflasi serta tidak mampunya sektor perbankan menjalankan fungsinya untuk mengerahkan dan menyalurkan dana ke masyarakat secara baik. Menghadapi keadaan
ini program stabilisasi dan rehabilitasi Oktober 1966 telah
dilaksanakan pemerintah yang pada dasarnya meliputi kebijaksanaan anggaran belanja berimbang dan dinamis, kebijaksanaan
suku bunga yang tinggi serta upaya untuk mengusahakan tersedianya kebutuhan pokok. Dengan program stabilisasi ekonomi
tersebut dapat dicapai penurunan pertambahan uang beredar dan
laju inflasi, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan perbaikan posisi neraca pembayaran.
Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal, moneter dan
devisa yang secara terpadu dilaksanakan maka sarana utama
bagi pelaksanaan rencana pembangunan, yaitu kestabilan moneter dan ekonomi pada umumnya di samping bidang-bidang lain,
telah diletakkan pada tahun-tahun tersebut.
Dalam Repelita I kebijaksanaan moneter penting yang dilaksanakan pada dasarnya melanjutkan program stabilisasi yai tu kebijaksanaan suku bunga yang realistis mencerminkan ke langkaan dana. Hal ini telah berhasil mengerahkan dana masyarakat dan memulihkan kepercayaan masyarakat kepada sektor
perbankan. Deposito berjangka pada bank-bank pemerintah yang
pada bulan Desember 1968 berjumlah Rp. 4 , 5 milyar telah meningkat menjadi Rp. 146,6 milyar pada akhir Repelita I, sedangkan jumlah Tabanas/Taska meningkat dari Rp. 1,2 milyar
menjadi Rp. 3 6 , 8 milyar selama periode Repelita I. Kebijaksaaan pokok lain adalah pelaksanaan program penyediaan kredit
investasi yaitu kredit jangka menengah ( 3 - 5 tahun) untuk
mendorong sektor swasta melakukan penanaman modal dan bersama
IV/49
dengan bantuan luar negeri pada gilirannya dapat meningkatkan
kegiatan ekonomi di semua sektor. Kebijaksanaan moneter Repe lita I tersebut telah berhasil memantapkan stabilitas ekonomi, meskipun pada akhir Repelita I timbul masalah hanya besarnya pengaruh pemberian kredit terhadap peningkatan uang
beredar yang bersama pengaruh sektor luar negeri telah berakibat meningkatnya laju inflasi.
Dalam rangka menanggulangi laju inflasi yang tinggi selanjutnya pemerintah dalam Repelita II menempuh kebijaksanaan
stabilisasi pada 9 April 1974 dan 28 Desember 1974. Kebijaksanaan 9 April 1974 meliputi ketentuan-ketentuan yang antara
lain: a) menetapkan batas tertinggi (pagu) pertambahan pemberian pinjaman dan aktiva netto lainnya; b) menaikkan suku
bunga kredit secara selektif, suku bunga deposito berjangka
Inpres serta Tabanas; serta c) memperketat pembatasan pemasukan dana dari luar negeri. Untuk menghindarkan naiknya suku
bunga kredit, maka pada tanggal 28 Desember 1974 pemerintah
mengadakan tindakan penyesuaian berupa: a) penurunan suku
bunga kredit jangka pendek, khususnya kredit ekspor, produk si, dan perdagangan dalam negeri; b) penurunan suku bunga deposito berjangka Inpres; dan c) pencabutan ketentuan tentang
simpanan wajib dalam rangka pinjaman luar negeri bagi perusahaan swasta dan perubahan ketentuan pembatasan pinjaman luar
negeri. Dalam rangka membantu pengusaha golongan ekonomi lemah serta untuk menunjang tercapainya tujuan program pemerataan, pemerintah menyediakan fasilitas Kredit Investasi Kecil
(KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) serta beberapa
jenis kredit kecil lainnya. Dalam tahun 1977/78 terjadi penurunan daya saing barang-barang ekspor Indonesia di pasaran
luar negeri antara lain sebagai akibat dari lebih tingginya
tingkat inflasi di Indonesia dibandingkan inflasi dunia. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 15 Nopember 1978 pe merintah mengadakan penyesuaian nilai tukar rupiah yakni dari
Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- untuk setiap dollar Amerika. Sasaran utama tindakan devaluasi itu adalah untuk meningkatkan
ekspor komoditi non-migas, dan meningkatkan kemampuan bersaing bagi kegiatan ekspor Indonesia, yang sangat penting
bagi landasan kegiatan pembangunan nasional dalam jangka panjang.
Setelah periode peningkatan-peningkatan ekonomi dan pembangunan dalam tahun 1970-an, kelesuan ekonomi dunia yang mulai terjadi pada tahun 1980, telah menunjukkan dampak nega tifnya terhadap perekonomian Indonesia menjelang akhir 1981,
terutama dengan turunnya permintaan dan harga dari barang-barang ekspor Indonesia, baik migas maupun non-migas. Dampak
IV/50
negatif dari kelesuan ekonomi dunia tersebut lebih dipertajam
lagi dengan adanya musim kemarau panjang
dalam
tahun 1982
yang pada akhirnya menurunkan kenaikan PDB 1982 menjadi 2,2%.
Di bidang moneter kemunduran keadaan ekonomi dunia telah menimbulkan tekanan berat pada nilai rupiah dan cadangan devisa
Indonesia. Pemerintah berusaha menanggulangi masalah tersebut
melalui Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982, yang menentukan dihapuskannya keharusan
menjual
devisa yang diperoleh
dari hasil ekspor pada Bank Indonesia. Selain itu untuk mendorong ekspor non-migas Pemerintah memberikan fasilitas kredit ekspor dengan bunga yang rendah menyediakan jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor.
Kebijaksanaan fiskal juga dilaksanakan untuk menghadapi
salah tersebut yaitu
dalam bentuk mengurangi pengeluaran di
satu pihak dan meningkatkan penerimaan Negara di pihak lain.
Dalam rangka mengurangi beban subsidi, untuk pertama kalinya
semenjak 1976, harga pupuk
dan
pestisida telah dinaikkan.
Untuk mengurangi ekspansi moneter yang berlebihan, kebijaksanaan moneter dilakukan melalui penetapan pagu kredit dan penentuan prioritas yang lebih ketat. Sektor kegiatan yang mendapat prioritas tinggi adalah sektor-sektor yang dapat mengurangi impor, menunjang penyerapan tenaga kerja dan yang dilaksanakan oleh pengusaha kecil.
Perkembangan ekonomi dunia, khususnya yang menyangkut minyak telah memberikan pengaruh yang semakin tidak menguntungkan terhadap neraca pembayaran nampak dari membengkaknya defisit pada transaksi berjalan dan menurunnya cadangan devisa.
Untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk lagi, pada bulan
Maret 1983 Pemerintah
melakukan penyesuaian kurs rupiah dari
Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US S. Tindakan tersebut dimaksudkan selain untuk memperkecil defisit transaksi berjalan, juga untuk mendorong pemasukan modal, serta penggunaan
teknik produksi yang padat karya.
Kebijaksanaan moneter selama Repelita III yang sangat
penting
adalah
kebijaksanaan 1 Juni 1983. Sebagaimana diketahui, kebijaksanaan perkreditan selama lebih kurang 15 tahun
sebelum 1 Juni 1983 dilaksanakan melalui penyediaan dana murah dalam bentuk kredit
likuiditas
Bank Indonesia
kepada
bank-bank pelaksana yang kemudian menyalurkannya pada berbagai sektor yang diprioritaskan.
Namun dapat dicatat bahwa
kredit likuiditas tersebut pada hakekatnya merupakan penciptaan uang oleh Bank Sentral yang berarti mempunyai pengaruh
inflatoir terhadap perekonomian Indonesia serta tekanan ter-
IV/51
hadap neraca pembayaran pada transaksi berjalan maupun cadangan devisa.
Dampak negatip pemberian kredit likuiditas terhadap perkembangan neraca pembayaran selama satu dasawarsa terakhir
ini sebagian besar dapat ditampung oleh keadaan neraca pembayaran yang baik, khususnya karena naiknya harga minyak bumi
dan meningkatkan produksi minyak serta membaiknya ekspor non
migas. Akan tetapi mulai akhir 1981 terjadi perubahan dalam
perkembangan neraca pembayaran Indonesia terutama disebabkan
oleh resesi ekonomi dunia dan kemudian juga karena penurunan
harga minyak bumi di pasaran internasional. Perkembangan tersebut mempersulit perekonomian nasional untuk menampung dampak negatif dari kredit likuiditas yang terus membengkak tersebut.
Untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan
perkembangan harga, maka pada tanggal 1 Juni 1983, telah di keluarkan kebijaksanaan moneter baru. Kebijaksanaan tersebut
meliputi langkah-langkah untuk : 1) lebih mendorong bank-bank
mengerankan dana dari masyarakat serta menyalurkannya secara
efisien dengan memberikan kebebasan kepada mereka dalam menetapkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit yang tidak
tergolong prioritas tinggi, 2) mengurangi pemberian kredit
likuiditas oleh Bank Indonesia kepada bank-bank dengan membatasi pemberian kredit likuiditas hanya untuk sektor-sektor
yang tergolong prioritas tinggi; dan 3) menghapuskan penentuan pagu kredit.
Hasil-hasil positif dari kebijaksanaan moneter 1 Juni
1983 yang telah dicapai antara lain adalah seperti berikut :
a.
Dana perbankan, terutama deposito berjangka telah menunjukkan perkembangan yang sangat mengesankan, sehingga ketergantungan bank-bank kepada kredit likuiditas Bank Indonesia telah berkurang. Di samping itu kepercayaan bankbank kepada diri sendiri menjadi lebih meningkat.
b.
Mekanisme pasar uang telah mulai berkembang ke arah yang
lebih baik sehingga bunga telah lebih mampu mencerminkan
keadaan pasar. Suku Bunga lebih ditentukan oleh perkembangan dan keadaan pasar, dan fragmentasi pasar telah mulai berkurang.
c.
Terdapat indikasi bahwa bank-bank telah dengan sungguhsungguh berusaha untuk meningkatkan efisiensi kerjanya.
1V/52
Selain itu, telah dilakukan penjadwalan kembali proyekproyek yang banyak menggunakan devisa negara. Penjadwalan
tersebut bertujuan untuk membatasi penggunaan devisa negara
sehingga tidak mengakibatkan beban pembayaran kembali pinjaman luar negeri yang terlalu berat dimasa mendatang.
Dengan dihapuskannya sistem penetapan pagu kredit perbankan sejak 1 Juni 1983 Bank Indonesia mengatur jumlah uang
beredar melalui penetapan target uang primer, yaitu kewajiban
moneter Bank Indonesia kepada sektor perbankan dan swasta domestik. Untuk mengendalikan perkembangan moneter tersebut,
Bank Indonesia mempergunakan alat pengendalian moneter tidak
langsung melalui penetapan likuiditas minimum, penyediaan fasilitas diskonto dan kebijaksanaan pasar terbuka yang dewasa
ini dilakukan dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Dalam tahun 1984/85, pada umumnya Pemerintah tetap berusaha menjaga kestabilan moneter yang tercermin pada pengendalian jumlah uang beredar. Hal tersebut dapat terlaksana
berkat adanya usaha untuk menyempurnakan penggunaan alat-alat
moneter, seperti yang berkaitan dengan penghapusan pemberian
bunga atas simpanan pada Bank Indonesia, perpanjangan jangka
waktu pasar uang antar bank, pengaturan pelaksanaan transaksi
antar bank, penyempurnaan transaksi jual beli SBI serta dimu 1ainya transaksi SBPU di kalangan lembaga keuangan di Indone sia. Keseluruhan tindakan-tindakan yang telah dilakukan tersebut adalah merupakan pelaksanaan paket kebijaksanaan di bidang moneter yang selalu memperhatikan keterkaitannya dengan
kebijaksanaan di bidang fiskal dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Dalam pada itu sejak dikeluarkannya Kebijaksanaan Moneter
1 Juni 1983, pemberian kredit perbankan tetap didasarkan pada
kemampuan pengerahan dana yang berasal dari masyarakat. Dalam
hubungan ini Bank Indonesia secara terus menerus memonitor
perkembangan pasar uang dan berusaha membantu bank-bank yang
kurang
sehat.
Dengan
memperhatikan
perkembangan
ekonomi
keseluruhan, Bank Indonesia dapat mengambil kebijaksanaankebijaksanaan tertentu dengan menyesuaikan instrumen-instrumen
yang tersedia dalam usaha pengarahan pemberian kredit perbankan.
2.
Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan
yang Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar
Faktor-Faktor
Selama masa Repelita I, pemerintah telah berhasil mengen-
IV/53
dalikan jumlah uang beredar untuk disesuaikan dengan kebutuh an pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kestabilan
harga. Apabila persentase kenaikan jumlah uang beredar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga, maka dalam masa Repelita I, jumlah uang beredar telah meningkat dengan 499,2%
sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan 87,4%.
Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan jumlah
uang beredar terlihat adanya pergeseran dari sektor Pemerintah ke sektor kegiatan perusahaan dan sektor luar negeri. Hal
ini berarti bahwa Pemerintah telah dapat memenuhi kebutuhan
pembiayaan pengeluarannya dari sumber-sumber penerimaan yang
non-inflatoir. Selama masa Repelita I, sektor Pemerintah
umumnya memberikan pengaruh kontraktif sedangkan sebaliknya
sektor kegiatan perusahaan telah menyebabkan pengaruh ekspansif terhadap jumlah uang beredar.
Menurunnya laju inflasi, selain disebabkan oleh pergeseran sektoral di dalam unsur-unsur penyebab kenaikan uang beredar, juga oleh karena perkembangan pengerahan dana-dana
dalam bentuk deposito dan tabungan. Dana deposito dan tabung an tersebut merupakan sumber keuangan bagi perbankan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Sejak dilaksanakannya gerakan deposito berjangka dan tabungan dalam bulan
Oktober 1968, jumlah dana yang dapat dikerahkan meningkat
dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar.
Dalam Repelita I sektor luar negeri juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan jumlah uang beredar, ter utama pada tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa neraca pembayaran mengalami surplus yang sekaligus merupakan
penambahan pada cadangan devisa.
Selama Repelita II, jumlah uang beredar telah meningkat
dengan 257,0% sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan
98,4%. Hal ini mencerminkan kecenderungan digunakannya sebagian besar jumlah pertambahan uang beredar untuk pembiayaan
kegiatan yang produktif dan semakin mantapnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah.
Di dalam periode 1974/75-1978/79, sektor luar negeri menyebabkan pengaruh ekspansif, sedangkan sektor Pemerintah
memberikan pengaruh yang kontraktif terhadap uang beredar.
Sampai dengan tahun permulaan Repelita II peranan uang kartal
terhadap jumlah uang beredar masih lebih besar dibandingkan
dengan uang giral, yaitu masing-masing 54,0% pada 1973/74 dan
IV/54
52,0% pada tahun 1974/75. Akan tetapi pada tahun 1975/76 peranan uang giral mulai menggeser kedudukan uang kartal sebagai alat pembayaran dan penyimpan kekayaan yang utama. Hingga
akhir Repelita II proporsi uang giral terhadap jumlah uang
beredar merupakan bagian yang dominan, yaitu 54,0%. Proporsi
uang giral yang dominan ini mencerminkan kebiasaan masyarakat
dalam menggunakan uang giral yang semakin meningkat. Selain
dari pada itu sejalan dengan berkembangnya dunia usaha, maka
keperluan masyarakat akan jasa-jasa lembaga perbankan juga
semakin bertambah.
Di antara faktor-faktor yang menyebabkan pertambahan
jumlah uang beredar, sektor kegiatan perusahaan menduduki
tempat utama selama periode Repelita II. Pengaruh ekspansif
deri sektor kegiatan perusahaan meningkat dari Rp. 458,6 milyar dalam tahun 1973/74, menjadi Rp. 1.606,0 pada akhir Repelita II. Kenaikan yang sangat besar pada tahun 1975/76 bersi,mber pada pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan negalra, terutama PN Pertamina, yang memerlukan kredit dalam
jumlah yang besar untuk pembayaran kembali hutang-hutangnya,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Sektor aktiva luar negeri yang menimbulkan efek kontraktif sangat besar dalam tahun 1975/76 telah berubah menjadi
ekspansif dalam tahun berikutnya. Hal ini berkaitan dengan
telah terbayarnya hutang-hutang luar negeri PN Pertamina yang
sekaligus menyebabkan pula turunnya kebutuhan pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan negara. Hingga akhir Repelita II sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah terhadap jumlah uang beredar/ekspansif sebesar Rp. 956,1 milyar.
Sektor Pemerintah, terkecuali dalam tahun 1974/75, selalu
mempunyai efek kontraktif terhadap perkembangan uang beredar.
Efek kontraktif sektor Pemerintah sejumlah Rp. 410,1 milyar
dalam tahun 1975/76 sebagian besar merupakan pembukuan nilai
lawan pinjaman luar negeri Pemerintah untuk pelunasan hutanghutang luar negeri Pertamina.
Jumlah uang beredar (Ml) yang terdiri dari uang kartal
dan uang giral, selama Repelita III telah naik dengan 187,7%
atau rata-rata 23,5% setahun sehingga mencapai Rp 8.054,7
milyar pada tahun 1983/84. Kenaikan pada dua tahun terakhir
Repelita III relatif rendah, yakni sebesar 8,9% pada tahun
192/83 dan 9,2% pada tahun 1983/84. Dilihat dari komposisi
uang beredar, peranan uang giral terus meningkat menjadi 62%
pada tahun 1981/82. Namun peranan tersebut menurun menjadi
IV/55
59% pada tahun 1982/83 dan 56% pada tahun 1983/84. Menurunnya
peranan uang giral tersebut terutama disebabkan oleh terdapatnya penarikan rekening giro perusahaan-perusahaan pemerintah untuk penyetoran hutang pajak.
Perkembangan moneter Indonesia selama Repelita III sangat
dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian dunia yang antara
lain tercermin pada keadaan neraca pembayaran kita. Dalam dua
tahun pertama Repelita III, sektor luar negeri memberikan pengaruh ekspansif yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 2.497,7
milyar pada tahun 1979/80 dan Rp. 2.296,2 milyar pada tahun
1980/81. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya harga barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri,
terutama minyak, di samping pengaruh dari tindakan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 15 Nopember1978. Dalam
tahun-tahun berikutnya,
sektor luar negeri memberikan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar. Pengaruh kontraktif yang besar pada tahun 1982/83 terutama disebabkan
oleh defisit dalam transaksi berjalan pada neraca pembayaran
yang membesar sebagai akibat pengaruh resesi ekonomi dunia
dan memburuknya pasaran minyak internasional. Pada tahun
1983/84, dengan diambilnya kebijaksanaan devaluasi pada bulan
Maret 1983, maka sektor luar negeri telah memberikan pengaruh
ekspansif sebesar Rp. 2.684,9 milyar.
Sektor Pemerintah pada dua tahun pertama Repelita III
memberikan pengaruh kontraktif yang cukup besar, terutama
berkaitan erat dengan meningkatnya penerimaan pajak perseroan
(PPs) minyak sehubungan dengan meningkatnya harga minyak di
pasar dunia. Selanjutnya, pengaruh kontraktif sektor Pemerintah menurun untuk kemudian pada tahun 1982/83 berubah menjadi
ekspansif sebesar Rp. 697,1 milyar. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya
penerimaan pemerintah yang berasal dari PPs minyak.
Dalam tahun 1983/84, sektor tersebut memberikan pengaruh mengurang lagi sebesar Rp. 1.719,1 milyar, sebagai
hasil usaha penghematan yang dilakukan Pemerintah melalui pengurangan beban subsidi BBM dan pupuk, serta penghapusan subsidi pangan. Di samping itu, kebijaksanaan penyesuaian nilai
tukar rupiah pada bulan Maret 1983 dan pelaksanaan pemungutan
pajak yang lebih intensif telah dapat meningkatkan arus penerimaan pemerintah.
Taiwan pada perusahaan negara dan swasta sampai dengan
tahun 1982/83 terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan
perkembangan kegiatan usaha. Sektor tersebut pada tahun 1982/83 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 2.741,8 milyar
(tidak diperhitungkan hasil penilaian kembali rekening valuta
IV/56
asing sebesar Rp. 294,3 milyar karena devaluasi bulan Maret
1983). Dalam tahun 1983/84, pengaruh ekspansif tersebut menurun menjadi Rp. 2.633,2 milyar terutama disebabkan oleh
berhati-hatinya bank dalam pemberian kredit, di samping lesunya dunia usaha karena pengaruh resesi ekonomi dunia.
Deposito berjangka dan tabungan yang merupakan unsur uang
kiasi, dalam tiga tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh kontraktif yang relatif sama yakni rata-rata sebesar
Rp. 674 milyar setahun. Dalam tahun 1982/83, uang kuasi tersebut memberikan pengaruh mengurang yang besar yaitu Rp.
1.491,4 milyar. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya
jumlah simpanan dalam valuta asing sebagai akibat semakin
membuatnya dollar Amerika Serikat dan beberapa mata uang asing lainnya terhadap rupiah. Dalam tahun 1983/84, pengaruh
kontraktif dari deposito berjangka dan tabungan mencapai jumlah Rp. 2.835,5 milyar, terutama disebabkan oleh meningkatnya
deposito
berjangka
dalam
rupiah
sebagai
akibat
kebijaksanaan 1 Juni 1983.
Sektor lain-lain yang terutama terdiri dari rekening modal, cadangan dan laba, serta jaminan impor, dalam tahun
1983/84 memberikan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang
beredar sebesar Rp. 88 milyar yang merupakan pengaruh mengurang terkecil selama Repelita III.
Jumlah uang beredar dalam tahun 1984/85 mencapai
Rp. 8.988,4 milyar atau meningkat 11,6% dibandingkan tahun
sebelumnya. Pertambahan uang beredar selama tiga tahun terakhir ini adalah merupakan kenaikan yang terendah selama masa
Repelita. Hal ini berkaitan dengan program penghematan yang
dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengurangan dan penghapusan berbagai jenis subsidi.
Dalam tahun 1984/85, sektor luar negeri mempunyai pengaruh ekspansif sekitar Rp. 2.349,7 milyar dibandingkan dengan
Rp, 2.684,9 milyar dalam tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa neraca pembayaran masih mengalami surplus meskipun
tidak sebesar kelebihan pada tahun sebelumnya.
Sektor Pemerintah dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh
kontraktif terhadap uang beredar sebesar Rp. 2.259,7 milyar.
Sedangkan tagihan pada badan/lembaga dan perusahaan negara,
perusahaan swasta dan perorangan dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 3.465,3 milyar dibandingkan dengan Rp 2.633,2 milyar dalam tahun sebelumnya. Kenaik-
IV/57
an tersebut mencerminkan bahwa bank-bank telah lebih longgar
dalam pemberian kreditnya sejalan dengan membaiknya kegiatan
perekonomian.
Dalam tahun yang sama uang kuasi menunjukkan pengaruh
kontraktif sebesar Rp. 2.755,2 milyar dibandingkan dengan
Rp. 2.835,5 milyar dalam tahun sebelumnya. Melambatnya per tumbuhan uang kuasi tersebut menyebabkan lebih rendahnya
pertumbuhan
likuiditas
perekonomian
dibandingkan
dengan
tahun sebelumnya.
Sektor lain-lain, dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh
ekspansif sebesar Rp. 133,5 milyar dibandingkan dengan pengaruh kontraktif sebesar Rp. 88,0 milyar dalam tahun sebelumnya.
Perkembangan jumlah uang beredar, komposisi uang beredar,
sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar, perbandingan antara tingkat kenaikan harga dan pertambahan uang beredar, selama periode 1968-1984/85 dapat diikuti masing-masing pada Tabel IV-12, Grafik IV-10, Tabel IV-13, Tabel IV-14 dan Grafik
IV-11.
3 . Dana Perkreditan Bank
a. Kebijaksanaan Dana Perkreditan
Kebijaksanaan untuk mengerahkan dana perbankan semenjak
Pemerintah Orde Baru telah meningkatkan tabungan masyarakat
melalui sektor perbankan guna pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat.
Dalam periode stabilisasi dan rehabilitasi telah dilaksanakan gerakan tabungan dalam bentuk deposito berjangka yang
dimulai sejak bulan Oktober 1968. Kemudian pada bulan Pebruari 1969 diadakan pula gerakan tabungan berhadiah 1969 . Gerakan tabungan ini bertujuan untuk menghimpun dana masyarakat
yang berpenghasilan rendah.
Agar lembaga-lembaga keuangan dapat memanfaatkan dananya
secara lebih produktif, maka pada tanggal 1 April 1970 Bank
Indonesia telah merintis pengeluaran Sertifikan Bank Indonesia (SBI). Program ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap surat-surat berharga dan
merintis pembentukan pasar uang dan modal di Indonesia. Usaha
tersebut telah berhasil mendorong beberapa bank untuk ikut
mengeluarkan sertifikat deposito sebagai upaya untuk mengerahkan dana masyarakat.
IV/58
TABEL IV - 12
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
Jumlah
long
Beredar
Jumlah
1968
113,9
74,7
1968/69
130,8
80,8
1969/70
210,7
1973/74
(Akhir Repelita I)
784,3
1974/75
1975/76
1.027,1
1,427,9
Uang Kartal
Jumlah
%
Mutasi
Uang
Beredar
(66)
39,2
(34)
+62,4
+121,3
(62)
50,0
(38)
+68,1
+108,4
126,3
(60)
84,4
(40)
+79,9
+61,1
421,1
(54)
363,2
(46)
+254,0
+ 47,9
538,5
(52)
488,6
(48)
+242,8
+31,0
659,2
(46)
768,7
(54)
+400,8
+689,0
+ 32,6
%
Uang Giral
Persentase Perubahan
Tahun/
Triwulan
39,0
+
1978/79
(Akhir Repelita II)
2.799,9
1.368,7
(49)
1.431,2
(51)
1979/80
3.797,1
1.773,9
(47)
2.023,2
(53)
+997,2
+ 35,6
1980/81
5.214,1
2.228,7
(43)
2.985,4
(57)
+1.417,0
+ 37,3
1981/82
6.774,7
2.541,3
(38)
4.233,4
(62)
+1.560,6
+ 29,9
(41)
4.378,7
(59)
+ 604,7
+
3.553,5
(44)
4.501,2
(56)
* 675,3
+
3.283,8
3.306,5
(44)
4.221,7
4.409,4
(56)
+ 126,1
+ 210,4
+
+
1,7
2,8
1982/83
7.379.4
1983/84
(Akhir Repelita III)
Triwulan I
8.054.7
3.000.7
8,9
9,2
Triwulan II
7.505,5
7.715,9
Triwulan -III
7.569,2
4.235,9
(57)
(56)
- 146,7
-
1,9
Triwulan IV
8.054,7
3.553,5
(44)
4.501,2
(56)
+ 485,5
+
6,4
1984/851)
8.988,4
3.785,2
(42)
5.203,2
(58)
+ 933,7
+ 11,6
April
8.072,6
7.982,9
3.508,9
3.572,7
(43)
(45)
4.563,7
4.410,2
(57)
Mei
Juni
8.182,9
4.046,7
(49)
4.136,2
3.333.3
(43)
(44)
(55)
(51)
Bulan
17,9
89,7
+
0,2
-
1,1
+ 200,0
+
2,5
-
1,8
+
1,3
0,3
+
-
Triwulan I
Ju11
8.036,1
3.615,2
(55)
7.934,4
3.631,6
(45)
(46)
4.420,9
Agustus
4.302,8
(54)
September
7.961,4
3.640,7
(46)
4.320,7
(54)
- 101,7
+
27,0
Oktober
Nopember
8.010,8
3.641,6
(45)
(44)
+
49,4
+ 245,3
0,6
3.643,3
(55)
(56)
+
8.256,1
4.369,2
4.612,8
+
3,1
Desember
8.581,3
3.712,4
(43)
4.868,9
(57)
+ 325,2
+
3,9
+
5,1
2,9
Triwulan II
- 221,5
Triwulan III
+ 619,9
Januari
Februari
8.146,4
8.381,0
3.595,3
(44)
3.616,5
Maret
8.988,4
3.785,2
(43)
(42)
Triwulan IV
+ 128,2
- 146,8
4.551,1
4.764,5
5.203,2
(56)
(57)
(58)
+
-
+
1,6
2,7
7,8
- 434,9
+ 234,6
+ 607,4
* 407,1
+ 7,3
+
4,7
IV/59
GRAFIK IV - 10
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR
1968 - 1984/85
(dalam persen)
IV/60
TABEL IV - 13
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DAN TINGKAT PERTAMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 - 1984/85
Tahun
Jumlah uang
beredar
(milyar Rp)
Tingkat
Perubahan uang beredar
(%) 2)
Tingkat
kenaikan harga
(%)
1) 2)
1968
113,9
121,3
85,1
1973/74
784,3
47,9
47,4
1978/79
2.799,9
32,6
11,8
1979/80
3.797,1
35,6
19,1
1980/81
5.214,1
37,3
15,9
1981/82
6.774,7
29,9
9,8
1982/83
7.379,4
8,9
8,4
1983/84
8.054,7
9,2
12,6
1984/85
8.988,4
11,6
3,6
1) Sampai dengan Maret 1979, berdasarkan IBH, sedangkan mulai dengan April 1979
berdasarkan IHK. Kedua indeks dengan tahun dasar April 1977 sampai dengan
Maret 1978.
2) Perubahan terhadap tahun sebelumnya.
IV/61
GRAFIK IV - 11
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 - 1984/85
IV/62
TABEL IV – 14
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Jests 5ektor Penyebab
SEK20R AKTIVA LUAR NEGERI
SEKTOR PEMERINTAH
(Tagihan pada Pemerintah)
(DISC)
SEKT0R KEGIATAN PERU5ANAAN
(Taiwan pada Perusahaan
Negara den Swasta)
(Kredit pengadaan pagan)
LAIN-LAIN
TOTAL LIKUIDITAS
DEP0SITO BERJANGKA DAN
TABUNGAN
JUMLAH UANG BEREDAR
(Kartal)
(Giral)
1)
2)
1966
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/791)
(Akhir Repelita II)
1979/80
1980/81
1981/82
1983/84
(Akhir Repel i t a III)
1984/6,5
1984/85
II
•12,5
*154,2
•956,1
•2.497,7
32.296,2
-67,5
•16,4
32.684,9
*532.0
*2,9
(-0,9)
(*3,8)
-13,9
-445,9
-1.099,6
-1.825,5
-70,4
*697,1
-1.719,1
(-102,7)
(232,3)
(•699,0)
(-1,9)
(-1.719,1)
(
-)
-765,3
(-765.3)
(
-)
*62,6
3458,6
(-15,1)
(*1,2)
(-446,3) (-1.101,4)
(*0,4) (
*1,8)
*1.606,0
+808,0
(*831.1)
(-23,1)
(-1.834,0)
(*8.5)
•1.837,2
*2.605,2
•3.036,1
32.633,2
(•1.612,7)
(*224,5)
(*2.199,5)
(*405,7)
(•2.969,2)
(.66,9)
(32.352,7)
(.280,5)
32.103,2
*2.245,2
(241,4)
(*21,2)
(*435,4)
(*23,4)
(*1.544,8)
(.61,2)
35,3
-164,5
-1.236.3
272,7
•434,4
*879,9
-10,3
-180,4
-190,9
-650,5
-686,2
-684,7
•689,0
(•332,9)
(•356,1)
*997,2
(•405,2)
(*592,0)
•1.417,0
(*454,8)
(3962,2)
*1.560,5
(3312,6)
(.1.247,9)
*62,4
(240,6)
(221,8)
3
254,0
(•129.9)
(•124.1)
-558,4
•1.647,7
-26_2 1
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta acing karena penyesuaian n i l a i taker rupiah
deri Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US Dollar pad. tanggal 15 Nopember 1978.
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari
Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Karat 1983 , masing-masing sebesar Rp. 1.962,50
pad. sektor luar negeri, Rp. 237.3 milyar pada sektor Pe8orinteh, Rp. 294,3 milyar pada sektor kegiatan
perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor la in -la in dan Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka
dan tabungan (Uang Kuasi ) .
IV/63
2)
1982/83
-1.653,5
•2.096,1
•3.511,0
-1.491,4
-2.835,5
*604.7
(•459,4)
(*145,3)
*675,5
(2552,9)
(•122,6)
3
III
*49,4
-906.9
(-906,9)
(
-) (
*760,1
-693,4
(-693,4)
-)
907,1
*1.065,0
*1.010,2
(*692,2)
(•214,9)
(•769,1)
(•295,9)
(*1.052,9)
(-42,7)
*SJ_9
•84,4
.691,7
*291,9
-563,5
•128,2
(*493,2)
(-365,0)
IV
-130,0
•1.195,0
-56 3 4`
-5 ~5 2
-221,5
(-406,0)
(*184,5)
*619,8
(*71,7)
(•548,1)
*105.9
(.105,9)
(
-)
•2.349,7
-2.259,7
(-2.259,7)
•483,0
*3.465.3
(*722,2)
(-239.2)
(*3.236,4)
(*228,9)
•1~1 22
•133,5
31.510,2
-1.103,1
*407,1
(272,8)
(•334,3)
-2.75 2
•933,6
(•231,7)
(*701,9)
Agar kegiatan menabung dapat semakin ditingkatkan maka
pada tanggal 1 Agustus 1971 tabungan berhadiah 1969 dihentikan dan selanjutnya diganti dengan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska).
Dalam Repelita II, telah diadakan beberapa kali perubahan
suku bunga deposito berjangka yang disesuaikan dengan perkembangan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Di samping itu,
dalam ketentuan yang dikeluarkan tanggal 9 April 1974 tersebut, telah diciptakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan
24 bulan serta melarang bank-bank pemerintah untuk menerima
deposito berjangka Inpres yang dananya berasal dari luar negeri. Dalam hal dana deposito berjangka tersebut ternyata
berasal dari luar negeri maka bunga paling tinggi yang akan
dibayarkan adalah 6 % setahun. Sementara itu dalam ketentuan 1
Januari 1978 ditetapkan bahwa deposito berjangka waktu 3
bulan atau kurang penetapan suku bunganya diserahkan kepada
masing-masing bank.
Dalam rangka lebih meningkatkan pengerahan dana dari masyarakat, maka pada tanggal 1 Mei 1983 bank-bank Pemerintah
telah diberi wewenang untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito berjangka waktu 6 bulan ke bawah.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Juni 1983 Bank Indonesia telah menetapkan bahwa Bank Umum Pemerintah dan Bapindo dapat
menentukan sendiri suku bunga deposito berjangka kecuali un tuk deposito berjangka waktu 24 bulan yang bunganya ditetapkan oleh Bank Indonesia sekurang-kurangnya 12% setahun. Di
samping itu, dalam usaha pengerahan dana dan untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, bank-bank diperkenankan menerbitkan bilyet deposito berjangka, baik atas
nama maupun atas unjuk yang dapat diperpanjang secara otoma tis.
Kebijaksanaan pengerahan dana perkreditan dalam tahun
1984/85 masih tetap dititik beratkan pada usaha untuk meningkatkan pengerahan dana masyarakat sebagai salah satu sumber
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Sehubungan
dengan itu pada akhir Oktober 1984 telah disempurnakan ketentuan yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat deposito.
Berdasarkan ketentuan baru ini, penerbitan sertifikat deposito yang semula hanya dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan
bank asing, kini dapat dilakukan oleh semua bank umum dan
bank pembangunan yang termasuk dalam kategori sehat dan cukup
sehat. Sertifikat deposito tersebut diterbitkan atas unjuk
dengan jangka waktu tidak kurang dari 15 hari. Dalam hal bank
IV/64
memiliki sertifikat deposito yang diterbitkan bank lain,
jumlahnya setiap saat tidak boleh melebihi 7,5% dari jumlah
pinjaman yang diberikannya baik dalam rupiah maupun dalam
valuta asing.
Selanjutnya Pemerintah tetap menangguhkan pemungutan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan tabungan
lainnya dalam valuta asing milik penduduk Indonesia, sedangkan bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dalam rupiah maupun valuta asing milik bukan penduduk Indonesia dipotong pajak penghasilan (PPh). Di samping itu atas jasa giro,
bunga call money dan deposito on call dalam rupiah dan valuta
asing baik milik penduduk maupun bukan penduduk Indonesia dikenakan PPh.
b. Perkembangan Dana Perkreditan
Dana perkreditan yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing
sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita IV semakin meningkat. Perkembangan dana dalam Repelita I menunjukkan kenaikan rata-rata 53,1% setiap tahun sehingga mencapai
Rp. 864,8 milyar pada akhir Repelita I. Kenaikan tersebut
terjadi pada giro, deposito dan tabungan sehingga jumlahnya
masing-masing menjadi Rp. 426,8 milyar, Rp. 399,5 milyar dan
Rp. 38,5 milyar pada tahun 1973/ 74.
Perkembangan dana dalam Repelita II menunjukkan kenaikan
rata-rata 30,9% setiap tahun sehingga mencapai Rp. 3.327,8
milyar pada akhir Repelita II. Dalam tahun 1978/79 jumlah
giro, deposito dan tabungan telah meningkat masing-masing
menjadi Rp.1.791,9 milyar, Rp. 1.330,1 milyar dan Rp. 205,8
milyar.
Perkembangan dana dalam Repelita III menunjukkan kenaikan
rata-rata 32,0% setiap tahun sehingga menjadi Rp. 13.337,1
milyar pada tahun 1983/84. Dalam tahun tersebut jumlah giro
terus meningkat menjadi Rp. 6.350,4 milyar, sedangkan deposito dan tabungan meningkat menjadi Rp. 6.348,8 milyar dan
Rp. 637,9 milyar.
Jumlah dana yang dihimpun oleh perbankan sampai dengan
tahun pertama Repelita IV mencapai Rp. 16.687,8 milyar. Dibandingkan dengan posisi pada tahun 1983/84 jumlah tersebut
menunjukkan kenaikan sebesar 25,1%. Komposisi dana perkreditan mengalami perubahan yaitu giro yang semula merupakan jumlah yang terbesar dari seluruh dana perkreditan, pada tahun
IV/65
1984/85 peranam ya menurun, yaitu dari 53,8% pada akhir
Repelita II telah menurun menjadi 43,1% pada tahun 1984/85.
Penurunan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya minat
masyarakat dalam deposito berjangka rupiah karena semakin
menariknya suku bunga deposito tersebut.
Perkembangan dana perkreditan selama periode 1968-1984/85
dapat dilihat pada Tabel IV-15.
c.
Perkembangan Deposito Berjangka,
serta Tabungan lainnya
Tabanas
dan
Taska
Dari jumlah dana perkreditan, maka jumlah deposito berjangka rupiah perbankan merupakan komponen terbesar. Perkem bangan deposito. berjangka rupiah ini, yang telah dirintis
oleh program deposito berjangka Inpres No. 28 Tahun 1968, merupakan hasil dari usaha stabilisasi yang telah memulihkan
serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah dan pada lembaga perbankan pada umumnya.
Jika jumlah deposito berjangka rupiah perbankan pada tahun 1968 baru mencapai Rp. 12,0 milyar, maka pada akhir Repelita I, II dan III, meningkat dengan pesat menjadi berturutturut Rp. 250,5 milyar, Rp. 946,4 milyar dan Rp. 4.912,6 milyar. Pada tahun pertama realisasi Repelita IV, jumlah terse but mencapai Rp. 6.544,6 milyar, suatu peningkatan cukup
besar 33,2% terhadap realisasi tahun terakhir Repelita III.
Dilihat dari segi kelompok bank, deposito rupiah yang dihimpun bank pemerintah dalam tahun 1984/85 meningkat dengan
28,9%, bank swasta nasional naik 48,4%, sedangkan yang dihimpun bank asing hanya naik sebesar 23,8%. Bila dilihat dari
jangka waktunya, peningkatan deposito rupiah yang berjangka
wait-hi 12 bulan memegang peranan yang terbesar yaitu 42,4%
kemudian menyusul deposito 6 bulan yaitu 17,9%. Pergeseran
dalam komposisi deposito rupiah perbankan menurut jangka wak tunya berhubungan erat dengan berbagai langkah untuk terus
mengusahakan tingkat suku bunga deposito yang realistis, khususnya langkah kebijaksanaan yang ditempuh pada bulan Juni
tahun 1983.
Tabungan yang terdiri dari Tabanas, Taska dan tabungan
Ongkos Naik Haji (ONH) serta tabungan lainnya meningkat de ngan cukup menggembirakan. Tabungan tersebut yang pada t ahun
1968 berjumlah Rp. 1,4 milyar meningkat menjadi Rp. 38,5
milyar pada akhir Repelita I. Selanjutnya, tabungan tersebut
IV/66
TABEL IV - 15
PERKEMBANGAN DANA PERKREDITAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
1)
IV/67
meningkat menjadi Rp. 205,8 milyar pada akhir Repelita II,
menjadi Rp. 6.379 milyar pada akhir Repelita III dan menjadi
Rp. 77 4 ,1 milyar pada akhir Maret 1985.
Usaha pengerahan Tabanas dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Nilai Tabanas yang pada 1973/74 sebesar Rp. 36,7
milyar naik menjadi Rp. 200 milyar pada tahun 1978/79, menjadi Rp. 575,6 milyar pada tahun 19 83/84 dan menjadi Rp. 699,3
milyar pada tahun 19 8 4/ 8 5 . Jumlah penabung Tabanas yang pada
tahun 19 7 3/ 7 4 sebesar 3 juta lebih telah meningkat menjadi
kurang lebih 13 juta dalam tahun 1984/85. Adapun bank yang
ditunjuk
sebagai
bank
penyelenggara
Tabanas/Taska
sampai
dengan akhir tahun 1 9 84/ 8 5 berjumlah 6 1 bank.
Mengenai Taska sejak dimulainya gerakan tersebut dari ta hun ke tahun perkembangannya kurang begitu menggembirakan.
Nilai Taska dan penabungnya pada akhir 1973/74 masing-masing
adalah Rp. 78 juta dan 1 1 . 1 34 penabung, naik menjadi Rp. 566
juta dan 16.893 penabung pada akhir 1984/85.
Di samping Tabanas dan Taska telah pula dilaksanakan kebijaksanaan tabungan lainnya yaitu tabungan Ongkos Naik Haji
(ONH). Tabungan ONH ini merupakan
cicilan setoran untuk ongkos naik haji. Terhadap setoran tersebut bank memberikan dis konto (potongan)
dengan maksud agar calon jemaah haji menyetor ONH seawal mungkin. Jumlah tabungan ONH dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yaitu sebesar Rp. 3 milyar dengan 9
ribu jemaah pada tahun 1969/70, Rp. 17 milyar dengan 39 ribu
jemaah pada tahun 1 9 73 / 7 4, Rp. 54 milyar dengan 70 ribu
jemaah pada tahun 1 9 78 / 7 9, Rp. 106 milyar dengan 51 ribu
jemaah pada tahun 1982/83, Rp. 144 milyar dengan 47 ribu
jemaah pada tahun 1983/84 dan Rp. 107 milyar dengan 35 ribu
jemaah pada tahun 1 98 4 /8 5 .
Perkembangan deposito berjangka rupiah perbankan dalam
periode 1 9 68 - 19 8 4 /8 5 dapat diikuti pada Tabel I V - 16, Grafik
IV-12 sedangkan perkembangan Tabanas dan Taska dalam periode
tersebut dapat dilihat pada Tabel IV - 17.
d. Perkembangan Sertifikat Deposito
Perkembangan jumlah sertifikat deposito dari tahun ke ta hun juga menunjukkan peningkatan. Sertifikat deposito yang
pada akhir Repelita I meliputi jumlah Rp. 56,8 milyar telah
meningkat menjadi Rp. 4 4 4 ,8 milyar pada akhir tahun pertama
IV/68
TABEL IV – 16
PERKEMBANGAN DEPOSITO RUPIAH PERBANKAN,
MENURUT JANGKA WAKTU 1)
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
1
bin.2)
3
bi n.
1968
1973/74
0,6
11,4
1,1
22,3
1,0
21,2
-
1,7
35,5
0,2
5,1
1978/79
1979/80
1980/81
80,9
108,6
180,1
39,9
54,1
106,1
109,6
139,2
199,2
0,3
1,2
3,4
98,1
103,1
162,7
1981/82
1982/83
226,2
483,0
160,3
255,9
229,0
282,2
6,9
7,6
1.010,3
631,8
890,6
April
1.100,9
1.076,1
955,0
680,4
1.171.3
991,0
MeI
Juni
Juli
1.078,2
831,6
869,5
806,1
821,3
748,7
Agustus
September
806,0
832,5
Oktober
1983/84
Triwulan I
Triwulan I I
Triwulan I I I
Triwulan IV
1984/85
1)
2)
3)
6
bi n.
9
bin.
12
bin.
18
bin.
24
bin.
Lainnya
Jumlah
Kenaik-
Persentase
kenaikan
Tahun/ Hideo
T r i wu l a n
6,8
0,6
12,0
1,6
1,3
2,9
142,3
612,0
618,0
721,0
12,7
4,0
12,8
14,0
250,5
946,4
1.038,3
1,389.4
74,5
42,3
91,9
351,1
-
42,3
4,7
9,7
33,8
-
249,9
334,8
1,6
7,9
855,0
949,5
89,1
86,7
1.818,0
2.407,6
428,6
589,6
30,9
3,4
1.619,8
9,9
591,2
155,2
4.912,2
2.504,6
6,2
2,5
2.778,0
1.737,7
3,5
9,4
379,1
569,3
150,6
115,7
6.544,6
5.181,7
1.632,4
269,5
1.006,8
1.166,6
1.183,6
2,9
2,4
5,2
1.786,3
1.980,3
2.128,1
9,1
8,6
7,9
518,7
480,5
450,4
119,7
107,5
114,5
5.327,8
5.398,8
5.507,9
146,1
71,0
109,1
803,5
725,2
1.222,2
1.165,1
6,7
6,4
2.261,2
2.267,0
7,9
5,8
418,5
407,5
114,7
107,1
5.640,7
5.516,6
132,8
-124,1
-
32,4
104,0
-
33,2
9,9
-
5,5
2,8
1,3
2,0
2,2
2,4
2,2
966,9
807,8
1.064,8
6,9
2.293.4
3,7
392,8
151,3
5.687,6
171,0
-
3,1
Nopember
Desember
928,6
1.061,8
822,6
876,5
1.100,9
1.132,2
16,1
6,2
2.299,9
2.351.7
3,7
3,7
386,3
395,9
203,9
194,0
5.762,0
6.200,0
74,4
260,0
9,2
1,3
4,5
Januari
Februari
1.058,5
1.067.5
936,2
938,9
1.115,1
1.151,5
6,5
7,3
2.603,2
2.638.7
3,7
3,6
289,5
381,3
221,6
183,7
6.334.3
6.372,5
312,3
38,2
-
5,2
0,6
Maret
1.100,9
955,0
1.171,3
6,2
2.778,0
3,5
379,1
150,6
6.544,6
172,1
8,7
2,7
Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan termasuk
Dana milik Pemerintah Pusat dan bukan Penduduk
Termasuk sertifikat deposito
Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji
IV/69
GRAFIK IV - 12
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN,
MENURUT JANGKA WAKTU I)
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
(milyar Rp)
IV/70
TABEL IV - 17
PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1)
1968 - 1984/85
TABANAS
Akhir
Triwulan/Triwula
n/ Bulan
Penabung
TASK A
J u m l a h
Posisi
(juta
rupiah)
Posisi
Penabung (juta
rupiah)
Penabung
1968
1973/74
3.010.760
1978/79
7.600.382
36.773
199.954
11.134
6.296
78
117
3.021.894
7.606.678
1979
1979/80
7.996.389
8.296.854
212.560
237.357
5.880
112
118
8.002.269
1980
8.828.909
291.731
1980/81
9.021.750
321.382
1981
9.480.647
1981/82
1982
5.544
5.428
122
8.302.398
8.834.337
Posisi
(juta
rupiah)
36.811
200.071
212.672
237.475
291.853
133
168
9.027.448
321.515
384.255
5.698
12.704
9.493.351
384.423
9.589.604
399.545
17.002
227
9.606.606
399.772
9.952.239
445.845
16.134
307
446.152
1982/83
10.186.110
483.488
16.532
303
9.968.373
10.202.642
1983
11.003.630
532.344
15.716
331
11.019.346
532.675
1983/84
11.474.295
575.672
17.263
357
11.491.558
576.029
Triwulan I
10.228.296
460.680
14.213
10.572.736
483.921
15.546
10.242.509
10.588.282
460.997
Triwulan II
317
366
Triwulan III
11.003.630
532.344
15.716
331
11.019.346
532.675
Triwulan IV
11.474.295
575.672
357
11.491.558
576.029
1984
12.424.913
669.598
17.263
16.362
452
12.441.275
670.050
1984/85
12.984.237
699.312
16.893
566
13.001.130
699.878
April
Mei
11.544.991
11.630.381
584.853
580.701
15.984
16.400
343
357
11.560.975
11.646.781
585.196
581.058
Juni
11.054.840
581.050
19.301
1.296
11.074.141
582.346
Juli
11.703.524
584.454
585.123
11.841.293
589.484
669
668
11.722.377
Agustus
18.853
18.280
590.152
September
12.032.517
17.628
Oktober
12.227.322
592.633
612.971
17.093
659
564
11.859.573
12.050.145
12.244.415
613.535
November
12.359.176
632.624
17.265
459
12.376.441
633.083
Desember
12.424.913
669.598
16.362
452
12.441.275
670.050
Januari
Februari
11.917.717
12.660.529
666.306
15.690
403
11.933.407
697.269
14.543
360
12.675.072
666.709
697.629
Maret
12.984.237
699.312
16.893
566
13.001.130
699.878
483.791
484.287
593.292
1). Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-Bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan
dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA. Program TABANAS/TASKA ini
dimulai penyelenggaraannya dalam tahun 1971.
IV/71
Repelita IV. Perkembangan sertifikat deposito dapat diikuti
pada Tabel IV-18.
4. Perkreditan
a. Kebijaksanaan Perkreditan
Setelah stabilitas ekonomi dapat diciptakan lewat berbagai upaya dalam program stabilisasi dan rehabilitasi, mulai
dilaksanakan program pembangunan dan mengambil langkah-langkah yang penting dalam kebijaksanaan kredit dengan melakukan
alokasi dana sebaik-baiknya guna menunjang pembangunan nasional. Kebijaksanaan kredit tersebut diarahkan kepada usaha un tuk mendorong kegiatan produksi pangan, produksi barang -barang ekspor dan distribusi 9 jenis bahan pokok. Untuk kelancaran program tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk pembiayaan sektor-sektor
prioritas dengan tetap memperhatikan kestabilan moneter.
Selain itu dalam usaha menunjang peningkatan produksi dan
investasi sejak awal Repelita I bank-bank umum dapat memberikan kredit investasi jangka menengah/panjang untuk pembangunan pabrik-pabrik baru, modernisasi dan rehabilitasi peralatan
produksi yang telah ada, atau dapat pula untuk pembayaran i mpor barang-barang modal. Untuk kredit investasi ini Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas dengan tingkat suku
bunga yang relatif rendah. Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, sektor perbankan terus meningkatkan usaha nya untuk mempermudah dan memperlancar pemberian kredit investasi. Di samping itu terhadap kredit untuk keperluan modal
kerja telah diadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyederhanaan yang bertujuan untuk memperlancar produksi barang -barang
kebutuhan pokok masyarakat.
Dalam pada itu untuk memberikan kesempatan usaha yang
lebih luas kepada golongan ekonomi lemah serta untuk membuka
kesempatan kerja yang lebih besar, sejak Mei 1973 kredit investasi digolongkan menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut didasarkan pada jumlah pinjaman dan besarnya pembiayaan
sendiri. Untuk lebih meningkatkan kegiatan golongan ekonomi
lemah, sejak akhir Desember 1973 bank-bank pemerintah memberikan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) dengan persyaratan yang lebih ringan. Pinjaman KIK dan KMKP yang dilaksanakan dibeberapa daerah di Indonesia dimaksudkan pula untuk menggali potensi ekonomi yang
ada di daerah masing-masing. Di samping itu dalam usaha me-
IV/72
TABEL I V - 18
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK-BANK,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Periode
Penjualan
Pelunasan
Dalam
Peredaran
1968
-
-
1973/74
110,1
61,9
56,8
1978/79
174,1
201,9
29,8
1979/80
93,5
76,5
46,8
1980/81
1981/82
295,0
259,3
82,5
373,2
381,7
74,0
1982/83
319,8
291,7
102,1
1.766,0
1.491,8
376,3
269,2
126,8
244,5
Juli - September
239,4
25,4
229,5
Oktober - Desember
656,9
512,7
373,7
Januari - Maret
600,5
597,9
376,3
1.532,5
339,6
1.464,0
289,7
444,8
426,2
Mei
113,3
208,8
330,7
Juni
79,8
108,7
301,8
Juli
77,0
119,0
Agustus
47,7
56,7
259,8
250,8
September
78,3
105,1
224,0
Oktober
53,0
153,2
123,8
November
50,0
Desember
51,3
45,9
48,8
127,9
130,4
Januari
140,1
218,0
29,6
240,9
Februari
62,0
396,9
Maret
284,4
236,5
444,8
1983/84
April - Juni
1984/85
April
1)
-
Termasuk sertifikat deposito antar bank
IV/73
ningkatkan peranan bank-bank swasta nasional dalam pemberian
kredit sejak Mei 1973 disediakan pula bantuan kredit likuiditas kepada bank-bank tersebut.
Mengingat bahwa menjelang akhir pelaksanaan Repelita I
terdapat gangguan terhadap kestabilan moneter, maka untuk menanggulanginya telah dikeluarkan serangkaian tindakan fiskal
dan moneter, antara lain meninjau kembali kebijaksanaan pemberian kredit. Dalam rangka ini, sejak April 1974 dilaksana kan program stabilisasi dengan cara antara lain menaikkan
suku bunga kredit secara selektif dan mempertahankan suku
bunga kredit untuk kegiatan berprioritas tinggi, seperti kre dit Bimas, KIK dan KMKP.
Kebijaksanaan kredit dalam Repelita II diarahkan untuk
mendorong peningkatan kesempatan kerja, pengembangan usaha
golongan ekonomi lemah dan peningkatan produksi barang -barang
ekspor, di samping pemberian kredit untuk pengadaan pangan
dan kebutuhan pokok lainnya seperti terigu dan gula yang dikelola Bulog. Dalam pada itu guna meningkatkan produksi barang ekspor, khususnya barang-barang ekspor tradisional, disediakan pula kredit investasi kepada petani kecil serta un tuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman ekspor
(PRPTE) bagi tanaman karat, kelapa, kopi, lada, teh dan co klat, dengan persyaratan yang lebih ringan dibanding kredit
investasi biasa. Untuk mengembangkan usaha kecil dipedesaan
serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat, disediakan
Kredit Mini dan Kredit Midi serta Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) dengan persyaratan yang cukup ringan.
Dalam Repelita III kebijaksanaan kredit perbankan tetap
diarahkan untuk memperluas kesempatan kerja, perbaikan pelayanan masyarakat serta perbaikan fasilitas kesehatan dan pen didikan. Dengan timbulnya dampak negatif kelesuan ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia, maka pada bulan Juni
1983 Pemerintah memandang perlu mengadakan deregulasi ketentuan perbankan. Maksud dari pada ketentuan tersebut adalah
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bank-bank dalam
menjalankan fungsinya mengumpulkan dana dari masyarakat dan
menyalurkannya lewat pemberian pinjaman.
Kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 mengelompokkan kredit
dalam kredit yang berprioritas tinggi dan kredit yang tidak
berprioritas tinggi. Bagi kredit yang berprioritas tinggi
Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas
dan menetapkan persyaratan kredit kepada nasabahnya. Adapun
persyaratan dan suku bunga kredit yang tidak berprioritas
IV/74
tinggi ditentukan sendiri oleh masing-masing bank dengan pendanaan yang seluruhnya berasal dari bank yang bersangkutan.
Seluruh jenis kredit yang berprioritas tinggi merupakan
kredit yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi
barang kebutuhan pokok, angkutan, jasa-jasa serta pendidikan.
Kredit modal kerja meliputi kredit Bimas, KMKP, produksi dan
impor pupuk untuk Bimas, kredit koperasi dan kredit ekspor.
Sedangkan kredit investasi terdiri dari kredit investasi sam pai dengan Rp. 75 juta, KIK, kredit koperasi serta kredit investasi yang mendorong program Pemerintah seperti kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), kredit untuk Peremajaan, Rehabili tasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan kredit kepada
Perkebunan Swasta Nasional. Kredit lainnya terdiri dari kredit untuk pemilikan rumah, dan kredit untuk Asrama Mahasiswa.
Untuk jenis-jenis kredit tersebut Bank Indonesia menyediakan
kredit likuiditas antara 70% - 100% dengan suku bunga 3 % setahun, sedangkan suku bunga kepada nasabah adalah 12% setahun
kacuali untuk kredit ekspor 9 % , KPR ( 5 % - 9 % ) , KMI (6%) dan
kredit Asrama Mahasiswa 5 % .
Dalam hal bank-bank umum mengalami kesulitan dalam pengelolaan dana ataupun dalam pemberian kreditnya, Bank Indonesia
menyediakan pula fasilitas diskonto dengan cara pembelian
promes yang diterbitkan oleh bank-bank. Dengan demikian bankbank umum akan dapat meningkatkan kreditnya dengan cara-cara
yang lebih sehat dan tidak lagi tergantung pada kredit likuiditas Bank Indonesia.
Perkembangan ekonomi dalam tahun 1984/85, yang merupakan
tahun pertama pelaksanaan Repelita IV menunjukkan hasil yang
cukup menggembirakan
berkat
adanya langkah-langkah kebijaksanaan di sektor keuangan negara dan moneter.
Kebijaksanaan
kredit dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 pada dasarnya melanjutkan kebijaksanaan pengarahan kepada usaha-usaha
untuk
meningkatkan produksi dalam negeri
terutama pengembangan golongan ekonomi
lemah, produksi barang-barang ekspor bukan migas dengan memperhatikan pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, neraca
pembayaran serta untuk kestabilan harga. Dalam usaha memberikan kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah, bank-bank umum dengan
bantuan kredit likuiditas
Bank Indonesia mendorong kegiatan-kegiatan berprioritas tinggi, memberikan bantuan permodalan pada koperasi dan menetapkan persyaratan kredit yang lebih ringan kepada nasabah KIK/KMKP. Selain itu kepada bank-bank umum didorong untuk meningkatkan pemberian kredit dengan cara menerbitkan atau memperdagangkan surat berharga pasar uang (SBPU).
IV/75
b. Jumlah dan arah penggunaan kredit
Dalam Repelita I jumlah kredit meningkat dengan rata-rata
55% setahun sehingga mencapai Rp. 1 . 2 1 3 milyar dalam tahun
1 9 7 3/ 7 4. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun pertama
Repelita I terutama untuk menampung kenaikan pemberian kredit
untuk sektor produksi dan perdagangan. Kredit tersebut digunakan untuk membiayai produksi dan perdagangan 9 bahan kebutuhan pokok, pupuk dan ekspor.
Dalam periode Repelita jumlah kredit naik dengan ratarata 3 6 % setahun sehingga mencapai Rp. 5 . 6 7 4 milyar pada
akhir Maret 1979. Lebih rendahnya kenaikan kredit dalam Repelita II dibanding Repelita I merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan stabilisasi bulan April 1974 yang dilaksanakan sampai akhir Repelita II.
Dalam kebijaksanaan tersebut diusahakan agar ekspansi moneter karena pemberian kredit tidak akan
mengganggu kestabilan harga.
Dilihat dari kelompok bank, pinjaman Bank-bank Umum Pemerintah merupakan bagian
yang terbesar dari keseluruhan kre dit, namun peranannya menurun dari 72,7% pada akhir Repelita
I menjadi 5 3, 2 % pada akhir Repelita II. Peranan kredit Bank
Swasta Nasional hampir tidak berubah, yaitu sekitar 6%, Bank
Asing 5% sedangkan kredit langsung Bank Indonesia meningkat
dari 11,1% menjadi 34,7%. Peningkatan kredit langsung Bank
Indonesia tersebut erat kaitannya dengan kredit dalam rangka
pembiayaan pengadaan pangan nasional dan kredit kepada PN
Pertamina.
Dalam Repelita III, jumlah kredit naik dengan rata-rata
23% setahun. Tingkat pertambahan kredit tersebut mulai melambat dalam tahun 1982/83, berkaitan erat dengan kelesuan ekonomi Indonesia, yang mulai merasakan akibat resesi dunia.
Dengan pelaksanaan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, pertambahan kredit dalam tahun 1983/84 tidak banyak mengalami penurunan, karena meningkatnya dana yang dapat dikumpulkan perbankan. Dalam tahun 1981/82 terdapat kecenderungan bahwa kredit yang diberikan oleh bank-bank umum swasta nasional meningkat lebih cepat dibanding bank-bank umum pemerintah, karena kemampuan bank-bank swasta nasional dalam pengumpulan
dana yang semakin meningkat. Di lain pihak ketergantungan
bank-bank umum pemerintah kepada kredit likuiditas Bank Indonesia secara berangsur-angsur semakin berkurang.
Pinjaman perbankan
pada akhir tahun 1984/85 berjumlah
Rp. 1 9 . 3 3 6 milyar yang berarti naik 19,8% dibanding kenaikan
IV/76
17,7% dalam tahun 1983/84. Peningkatan pinjaman tersebut terutama nampak pada sektor jasa-jasa, perindustrian dan perdagangan. Kenaikan kredit di sektor jasa-jasa adalah untuk
membiayai jasa-jasa konstruksi, jasa-jasa dunia usaha, penyediaan air bersih dan angkutan. Di bidang perindustrian peningkatan kredit terutama untuk industri barang-barang logam,
mesin-mesin dan peralatan, industri kertas dan percetakan,
industri pengelolaan bahan-bahan kimia, industri tekstil,
sandang dan kulit serta industri kayu dan hasil-hasilnya. Sedangkan kenaikan kredit pada sektor perdagangan meliputi per dagangan ekspor dan produksi barang ekspor, pengumpulan dan
distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, serta perdagangan
eceran.
Dilihat dari sektor perbankan kredit bank-bank umum Pemerintah naik 31,5% sehingga mencapai Rp. 13.522 milyar dalam
tahun 1984/86. Dalam kenaikan tersebut telah termasuk pengalihan kredit Bank Indonesia dalam rangka pengadaan pangan na sional. Apabila tidak diperhitungkan pengalihan kredit tersebut, maka kredit oleh bank-bank umum pemerintah meningkat
dengan 18,4% dibandingkan dengan 16,1% pada tahun sebelumnya.
Kredit dalam rupiah bank-bank umum pemerintah naik dengan
40,0% dibandingkan dengan 16,4% dalam tahun sebelumnya. Hal
ini mencerminkan semakin meningkatnya peranan bank-bank umum
pemerintah dalam usaha pemberian kredit dengan dana yang berasal dari masyarakat.
Pada akhir tahun 1984/85 kredit Bank-bank Umum Swasta Nasional dan Bank Pembangunan Daerah mencapai Rp. 3.814 milyar
atau naik dengan 47,7%. Angka ini hampir tidak berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 1982/83 (48,4%) dan 1983/
84 (49,7%). Adapun kredit bank asing dalam tahun 1984/85 naik
dengan 8,7%.
Peranan kredit bank-bank umum
Pemerintah sejak tahun
1982/83 senantiasa meningkat hingga mencapai 70,0% dari keseluruhan kredit pada tahun 1984/85. Dalam periode yang sama
kredit bank umum swasta nasional meningkat dari 12,6% menjadi
19,7%.
Sedangkan kredit bank asing hampir tidak mengalami
perubahan
yakni
sekitar
6% dari jumlah kredit. Dapat ditambahkan bahwa kredit prioritas bank-bank umum dalam
tahun
1984/85 mengalami kenaikan lebih
besar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Peningkatan kredit tersebut terutama terjadi pada kredit untuk ekspor dan kredit investasi untuk pengembangan Perkebunan
Inti
Rakyat (PIR)
dan
PRPTE. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dan sektor ekonomi da-
IV/77
pat dilihat pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20, serta Grafik
IV-13.
c.
Kredit Investasi, KIK/KMKP,
Candak Kulak,
Kredit
Umum
mahan Rakyat.
Kredit Mini/Midi, Kredit
Pedesaan dan Kredit Peru-
Program kredit investasi mulai diberikan oleh bank-bank
Pemerintah sejak 1 April 1969, waktu dimulainya pelaksanaan
Repelita I. Sumber pembiayaan kredit investasi terdiri dari
kredit likuiditas dari Bank Indonesia, dana anggaran pembangunan dan dana sendiri bank-bank Pemerintah.
Selanjutnya pemberian kredit investasi lebih diarahkan
untuk mendorong kegiatan usaha golongan ekonomi lemah dan ke giatan yang bersifat padat karya. Untuk itu kredit investasi
digolongkan menjadi 4 golongan : golongan I sampai dengan
Rp.25 juta; golongan II di atas Rp. 25 juta s/d Rp.100 juta;
golongan III di atas Rp.100 juta s/d Rp.300 juta; golongan IV
di atas Rp. 300 juta s/d Rp. 1 milyar.
Kemudian berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan pemberian kredit investasi, baik melalui penyempurnaan ketentuan kredit, penyederhanaan tatacara pemberian kre dit ataupun keringanan persyaratannya. Dalam tahun 1977/78
persyaratan jangka waktu pelunasan yang , semula maksimum 5
tahun dengan masa tenggang 2 tahun diperpanjang menjadi 10
tahun dan masa tenggang 4 tahun. Selanjutnya jumlah maksimum
kredit investasi dinaikkan menjadi Rp.75 juta, Rp.300 juta,
Rp.500 juta dan Rp.1.500 juta masing-masing untuk golongan I
s/d IV. Untuk kredit di atas Rp.1.500 juta dan/atau kredit
berjangka waktu lebih dari 10 tahun hanya dapat diberikan
oleh Bapindo. Jangka waktu paling lama untuk semua jenis pinjaman adalah 15 tahun dengan masa tenggang maksimum 6 tahun.
Kebijaksanaan kredit investasi sejak tahun 1978 hingga
tahun 1984/85 antara lain menyangkut penyediaan fasilitas
kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah pinjaman
s/d Rp.75 juta dan pemberian kredit investasi untuk proyek
yang dibiayai dengan APBN (Keppres 14A). Selain itu diadakan
lagi penyesuaian dalam jumlah maksimum kredit investasi yang
semula ditetapkan Rp.1.500 juta dinaikkan menjadi Rp.2.500
juta, sedangkan untuk kredit di atas Rp.2.500 juta hanya dapat
diberikan oleh Bapindo.
Pemberian kredit investasi selama Repelita I sampai dengan
IV/78
TABEL IV - 19
PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
1 9 6 8
1973/74
(Akhir Repelita I)
Bank
Bank-bank2)
Indonesia Pemerintah
Bank-bank Bank-bank
Swasta
Asing/
Nasional Campuran
Persentase Kenaikan
Jumlah
61
56
8
1
135
882
72
124
1.213
Kenaikan
Tahun/
Triwulan
126
1978/79
(Akhir Repelita II)
1.969
3.021
387
297
5.674
1979/804)
2.009
3.441
532
345
6.327
1980/81
2.314
4.620
785
435
8.154
+1.827
1981/82
2.632
6.353
1.163
587
10.735
+2.581
1982/835)
2.388
8.854
1.726
737
13.705
+2.970
+27,7
1983/84
(Akhir Repelita III)
Triwulan
I
Triwulan
II
Triwulan III
Triwulan
IV
2.292
10.283
2.583
977
16.135
+2.430
+17,7
2.293
2.362
2.356
2.292
9.062
9.542
9.787
10.283
1.784
1.966
2.294
2.583
661
735
862
977
13.800
14.605
15.299
16.135
+95
+
805
+694
+
836
1984/85
April
938
1.084
13.522
11.512
3.814
2.701
1.062
981
19.336
16.278
3.201
+
143
Ne
1.081
11.782
2.808
1.004
16.675
+
895
12.107
2.917
1.039
16.958
+283
J u 1 i
923
12.293
3.039
1.030
17.285
+
Agustus
September
938
906
12.644
12.773
3.177
3.269
1.068
1.095
17.827
18.043
+
Oktober
November
925
834
12.984
3.379
3.484
1.058
1.070
18.346
18.631
+303
+285
Desember
870
+182
874
3.552
3.594
18.813
Januari
13.345
13.448
1.046
1.062
18.978
+165
Februari
909
13.395
3.683
1.051
1.062
19.038
+60
+298
1
',J u n i
Maret
1)
2)
3)
4)
5)
938
13.243
13.522
3.814
Bulan
19.336
+1.5993)
653
+
+39,2
11,5
+
+28,9
31,6
+
+
0,7
+
5,8
+4,8
+5,5
+19,8
+0,9
397
+2,4
5,1
+
327
542
+216
+1,7
+1,9
+6,4
+
3,1
+1,2
+1,7
+1,6
4,3
+1,0
+2,6
+0,3
+1,6
+
0,9
+
Kredit dale. rupiah, maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi,
KIK den KMKP tetapi tidak termasuk kredit antar bank aorta kredit
kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek
Termasuk kredit yang dibiayai oleh kredit likuiditas Bank Indonesia
Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 untuk kredit di luar Bank Indonesia, tidak termasuk bunga
dalam penyelesaian yang belum diperhitungkan dalam laba/rugi
Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 702,5 menjadi Rp. 970,- per US$ 1,-
IV/79
TABEL IV - 20
PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
1968
1973/74
(Akhir Repelita I)
Produkai2) Perdagangan3) Lain-lain4)Jumlah
55
71
Kenaikan
126
Persentase Kenaikan
( % )
Tahun
Bulan
Triwulan
-
-
457
421
335
1.213
1978/795)
(Akhir Repelita II)
2.172
1.153
2.349
5.674
1979/805) 6)
2.548
1.249
2.530
6.327
1980/81
2.977
2.026
3.151
8.154
+1.827
+28,9
1981/82
3.930
3.263
3.542
10.735
+2.581
+31,6
1982/837)
5.832
4.135
3.738
13.705
+2.970
+27,7
1983/84
(Akhir Repelita III)
7.115
5.297
3.723
16.135
+2.430
+17,7
Triwulan I
5.966
4.187
3.647
13.800
+95
+0,7
Triwulan II
6.117
4.800
3.688
14.605
+805
+5,8
Triwulan III
6.519
5.132
3.648
15.299
+694
+4,8
Triwulan IV
7.115
5.297
3.723
16.135
+836
8.613
6.204
4.519
19.336
7.182
5.359
3.737
16.278
+143
7.443
5.651
3.581
16.675
+397
J u n 1
7.443
5.888
3.627
16.958
+283
J u 1 i
7.436
6.132
3.717
17.285
+327
Agustus
7.561
6.450
3.816
17.827
September
7.745
6.227
4.071
18.043
+542
+216
Oktober
6.206
4.232
18.346
+303
Nopember
7.908
8.109
6.334
4.188
18.631
*285
December
8.210
6.334
4.269
18.813
+182
Januari
8.391
6.309
4.278
18.978
+165
Februari
8.401
6.235
4.402
19.038
+60
8.613
6.204
4.519
19.336
+298
1984/85
April
M e i
Maret
+1.599
+653
3.201
1) Kredit dalam rupiah maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi,
KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar bank Serta kredit
kepada Pemerintah Neat dan bukan penduduk Serta nilai lawan bantuan
proyek
2) Termasuk produksi barang-barang hasil pertanian, pertambangan
(kecuali PN. Pertamina) dan Perindustrian
3) Terdiri dari kredit ekspor, kredit impor den kredit. perdagangan
dalam negeri
4) Terdiri dari kredit untuk PN. Pertamina, jasa-jasa dan lain-lain
5) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp 415,- menjadi
Rp.625,- per us $ 1,- sejak 15 November 1978
6) Sejak akhir December 1979 tidak termasuk bunga dalam penyelesaian
yang dibebankan dalam pinjaman
7) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,50 per
US$ 1,- menjadi Rp. 970,- sejak 30 Maret 1983
IV/80
+39,2
+11,5
+5,5
+19,8
+0,9
+2,4
+5,1
+1,7
+1,9
+3,1
+6,4
+1,2
*1,7
+1,6
4,3
+
+1,0
+0,9
+0,3
+2,6
+1,6
GRAFIK IV – 13
PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 - 1984/85
(milyar Rp.)
IV/81
tahun pertama
Grafik IV-14.
Repelita
IV
dapat
dilihat
pada
Tabel
IV-21,
Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan jumlah
kredit investasi baik realisasi maupun persetujuannya. Realisasi kredit investasi tahun 1973/74 adalah Rp.119 milyar, meningkat menjadi Rp.665 milyar tahun 1978/79, menjadi Rp.2.367
milyar tahun 1982/83, menjadi Rp.2.912 milyar tahun 1983/84
dan Rp.3.902 milyar dalam tahun 1984/85. Adapun jumlah kredit
investasi yang disetujui juga meningkat dari Rp.175 milyar
dalam tahun 1973/74, menjadi Rp.4.955 milyar pada tahun 1984/
85.
Perkembangan KIK, KMKP, Kredit Mini, Kredit Midi, KCK,
KUPEDES dapat diikuti pada Tabel IV - 22, Grafik IV-15, Tabel
IV-23, Tabel IV-24 dan Tabel IV-25.
Jumlah pemberian KIK selama periode 1973/74 - 1982/83 senantiasa mengalami peningkatan, yaitu dari Rp.5 milyar menjadi
Rp.68 milyar dan Rp.414 milyar. Dalam tahun 1983/84 dan
1984/85 posisi KIK menurun menjadi Rp.387 milyar dan Rp 349
milyar. Turunnya pemberian KIK tersebut erat kaitannya dengan
masih lesunya gairah kegiatan investasi. Dalam pada itu pemberian KMKP mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga
posisinya yang pada tahun 1973/74 masih sebesar Rp. 3 milyar
terus meningkat menjadi Rp.815 milyar tahun 1982/83, kemudian
menjadi Rp.867 milyar dan Rp.890 milyar masing-masing untuk
tahun 1983/84 dan 1984/85.
Jumlah kredit Mini yang pada tahun 1973/74 baru mencapai
Rp.2 milyar telah meningkat menjadi Rp.63 milyar tahun 1982/83, untuk kemudian menurun menjadi Rp.9 milyar tahun 1984/85.
Demikian pula kredit Midi yang pada tahun 1982/83 sebesar
Rp.42 milyar menurun menjadi Rp.12 milyar tahun 1984/85. Penurunan tersebut sejalan dengan ditiadakannya kredit Mini dan
kredit Midi yang untuk kemudian diganti dengan Kredit Umum
Pedesaan (KUPEDES). Jumlah Kupedes yang baru dimulai pelaksanaannya telah menunjukkan kenaikan, yaitu dari Rp.31 milyar
dalam tahun 1983/84 menjadi Rp.143 milyar tahun 1984/85.
Posisi KCK yang dalam tahun 1978/79 berjumlah Rp.2 milyar
telah meningkat menjadi Rp.10 milyar dan Rp.15 milyar masingmasing pada tahun 1983/84 dan 1984/85. KCK yang disalurkan
melalui KUD tersebut dimaksudkan untuk
membantu pedagang kecil di pasar-pasar. Dalam pada itu jumlah KUD yang menyalurkan KCK telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga
mencapai 4.286, pada tahun 1984/85.
IV/82
TABEL IV - 21
.
PERKEMBANGAN
KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR
1969 - 1984/85
(dalam milyar r6pi8h)2)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
1969 (Des)
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(Akhir Repelita II)
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
(Akhir Repelita III)
April
Rai
Joel
Juli '
Agustus
September
Oktober
Nopember
December
Januari
Februari
Maret
1984/85
April
Mei
Juni
Dili
Agustus
September
Oktober
Nopember
December
Januari
Februari
Maret
Pertanian
Perindustrian
Pertambangan
Perdagangan
Persetujuan
Realisasi
Persetujuan
Realisasi
7
18
4
10
8
84
2
61
2
1
1
403
382
10
10
35
6
86
56
Perse- Realitujuan sasi
Jasa-jasa
Persetujuan
Realisasi
Perse- Realitujuan asi
3
12
1
8
7
50
1
32
33
171
171
EKONOMI,1)
Lain-lain
Pers.- Realitujuan seal
10
3
Kenaikan
Jumlah
Persetujuan
Realisasi
Persentase
Ken4tksa ($)
Perse- Reali- Perse- RealiTujuan sasi tujuan sasi
9
7
27
175
119
*28
*22
3
708
655
*104
+126
849
+263
*194
1.088
*319
1.533
2.367
*711
+1.115
*445
+834
*19,0
17,2
+
+22,7
23,8
+
92
240
74
116
512
661
432
614
15
4
11
42
47
35
38
315
323
301
305
4
4
3
4
971
1.290
352
641
217
356
982
1.669
812
1.327
43
53
31
43
78
112
62
91
543
626
408
507
3
15
3
13
2.001
3.116
787
490
2.001
1.679
59
58
137
92
691
584
9
9
3.684
2.912
+568
+545
+18,2
489
555
612
629
633
708
720
713
730
750
714
787
395
405
413
428
437
434
444
458
474
483
487
490
1.661
1.670
1.806
1.817
1.820
1.835
1.870
1.905
1.914
1.985
1.982
2.001
1.322
1.335
1.380
1.391
1.417
1.443
1.472
1.519
1.567
1.619
1.624
1.679
52
52
52
52
53
60
52
56
56
63
63
59
44
44
45
45
47
52
47
49
48
56
56
58
111
108
112
120
123
128
132
126
116
132
127
137
92
87
93
102
103
108
115
106
103
109
104
92
846
950
776
764
793
746
737
754
747
652
734
691
508
553
512
519
530
526
535
539
543
554
579
584
23
11
5
6
8
6
7
9
8
9
9
9
23
9
4
5
6
6
6
9
8
9
9
9
3.182
3.346
3.363
3.388
3.430
3.483
3.518
3.563
3.571
3.591
3.629
3.684
2.384
2.433
2.447
2.490
2.540
2.569
2.619
2.680
2.743
2.830
2.859
2.912
+66
+164
+17
*25
+42
+
53
*35
+45
+8
+20
+
38
*55
*17
+49
+14
*43
+50
+29
+
50
+61
+63
+87
+29
*53
+2,1
+5,1
*0,5
+0,7
*1,2
+1,5
+1,0
+1,3
+0,2
+0,6
+1,1
+1,5
+0,7
+2,1
*0,6
+1,8
*2,0
+1,1
+1,9
+2,3
+2.3
*3.2
+1,0
+1,8
1.219
810
826
847
871
869
885
778
795
804
1.026
1.099
1.219
661
504
517
533
578
581
582
510
535
550
583
648
661
2.392
2.006
2.026
2.067
2.084
2.130
2.153
2.240
2.265
2.294
2.332
2.298
2.392
2.112
1.676
1.700
1.760
1.778
1.849
1.892
1.965
1.974
2.025
2.054
2.034
2.112
202
59
63
68
66
73
70
80
178
179
178
186
202
191
58
62
65
63
66
67
68
176
178
177
177
191
237
145
145
151
164
158
207
207
204
221
228
242
237
181
107
109
119
124
135
152
154
149
152
173
183
181
837
716
700
723
746
735
788
779
823
804
842
813
837
726
598
607
631
637
649
694
688
717
717
727
708
726
68
9
8
8
13
21
32
63
54
41
61
68
68
31
9
7
8
11
12
22
34
38
26
28
38
31
4.955
3.745
3.768
3.864
3.944
3.986
4.135
4.147
4.319
4.343
4.667
4.706
4.955
3.902+1.271
2.952
+61
3.002
+23
3.116
+96
3.191
*80
3.292
+42
3.409
*149
3.419
+12
3.589
+172
3.648
+24
3.742
+324
3.788
*39
3.902
+249
+990
*40
+
50
*114
*75
+101
+117
+10
+170
+59
*94
+46
+114
*34,5
+1,7
*0,6
+
2,5
+2,1
+1,1
*3.7
+0,3
+4,1
+0,6
+
7,5
+0,8
*5.3
+34,0
*1.4
+1,7
+3,8
+2,4
+
3,2
+3,6
+0,3
+5,0
+1,6
*2.6
*1.2
+
3.0
1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman
Investasi dalam rangka bantuan proyek
239
+
*37,1
+29.6
32,8
+28.1
55,1
+55,7
+40,9
+54,4
+
+
23,0
+
GRAFIK IV –14
PERKEMBANGAN JUMLAH PERSETUJUAN DAN REALISASI KREDIT INVESTASI
1969 – 1984/85
(Miyar Rp.)
IV/84
TABEL IV - 22
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN,
1973/74 - 1984/85
(dalam milyar rupiah)
Kredit I n v e s t a s i Kecil
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
permohonan
yang
disetujui
(dalam
ribuan)
permohonan P o s i s i
yang
Kredit
disetujui
( milyar rupiah )
1973/74
1978/79
5
57
6
113
1 9 7 9
72
163
1979/80
79
190
1 9 8 0
115
1980/81
4
68
Kredit Modal Kerja Permanen
permohonan permohonan
yang
yang
disetujui disetujui
(dalam
ribuan)
Posisi
Kredit
( milyar rupiah )
3
4
438
644
188
305
154
118
664
349
181
314
210
890
569
321
125
366
249
167
528
353
656
1.062
384
1 9 8 1
953
1.242
1981/82
176
571
374
1.298
1.178
704
1 9 8 2
200
685
405
1.423
1.454
791
1982/83
213
723
414
1.486
1.542
815
1 9 8 3
225
799
858
228
825
1.592
1.621
1.798
1983/84
393
387
867
Juni
218
749
409
1.531
1.861
1.627
September
Desember
222
225
778
411
1.553
Maret
228
799
825
393
387
1.592
1.621
1 9 8 4
241
898
557
1984/85
243
922
April
229
M e i
230
J u n i
231
99
1.697
1.798
3
93
635
845
872
858
867
1.749
1.861
2.136
1.848
2.284
890
835
349
385
1.627
1.888
858
847
383
1.938
869
882
380
1.647
1.658
1.961
865
1.671
1.701
1.998
2.022
891
1.718
2.073
2.081
886
J u 1 i
232
895
380
Agustus
233
860
378
September
238
872
Oktober
236
877
376
371
Nopember
244
902
368
Desember
241
898
Januari
240
900
357
356
Februari
241
911
M a r e t
243
922
1.719
1.755
871
883
2.159
873
884
1.749
2.136
871
2.201
353
1.746
1.771
2.242
881
880
349
1.848
2.284
890
IV/85
GRAFIK IV – 15
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA DAN KREDIT MINI
1973/74 – 1984/85
IV/86
TABEL IV - 23
PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1)
1974/75 - 1984/85
IV/87
TABEL IV – 24
PERKEMBANGAN KREDIT MIDI,1)
1980/81 - 1984/85
Akhir
Tahun/Triwulan/
Sulam
Baki Debet
(dalam milyar rupiah)
Investasi
Eksploitasi
Nasabah
(dalam ribuan)
Jumlah
Investasi
Eksploitasi
Jumlah
1980/81
1,1
7,0
8,1
2,8
18,0
1 9 8 1
3,4
21,2
24,6
9,2
65,2
20,8
74,4
1981/82
3,6
24,3
27,9
10,2
77,6
87,8
1982/83
5,0
36,8
41,8
16,9
128,6
145,5
J u n i
3,9
27,3
31,2
11,8
91,3
103,1
September
4,5
29,4
33,9
14,7
102,3
117,0
Desember
4;6
32,0
36,6
15,0
114,8
129,8
M a r e t
5,0
36,8
41,8
16,9
128,6
145,5
4,3
29,7
34,0
21,3
125,3
146,6
J u n i
4,9
39,4
44,3
16,4
140,8
157,2
September
4,9
38,4
43,3
16,2
141,1
157,3
Desember
4,9
38,3
43,2
16,8
143,9
160,7
M a r e t
4,3
29,7
34,0
21,3
125,3
146,6
1984/85
2,3
10,2
12,5
9,7
53,5
63,2
April
4,0
27,4
31,4
14,9
116,3
131,2
M e i
3,8
25,2
29,0
13,6
108,9
122,5
117,5
112,3
1983/84
J u n i
3,6
23,5
27,1
13,4
104,1
J u 1 i
3,4
21,6
25,0
12,8
99,5
Agustus
3,3
19,5
22,8
12,4
92,9
105,7
September
3,1
17,9
21,0
12,2
86,8
99,0
Oktober
3,0
16,1
19,1
11,9
78,1
90,0
Nopember
2,8
14,7
17,5
11,4
74,2
85,6
Desember
2,7
13,2
15,9
11,2
67,4
78,6
Januari
2,5
12,2
14,7
10,3
63,6
73,9
Februari
2,4
11,2
13,6
10,1
58,8
68,9
M a r e t
2,3
10,2
12,5
9,7
53,5
63,2
1) Kredit Midi diberikan mulai bulan Juli 1980
IV/88
TABEL IV - 25
KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES)1)
(dalam milyar rupiah)
Investasi
Eksploitasi
Jumlah
1984 :
Januari
0,3
2,6
2,9
Februari
0,6
11,6
12,2
Maret
0,6
30,1
30,7
April
1,5
43,9
45,4
M e i
1,2
57,4
58,6
J u it i
1,7
66,4
68,1
J u 1 i
2,2
73,1
75,3
Agustus
2,9
79,8
82,7
September
4,0
84,6
88,6
Oktober
5,0
88,2
93,2
Nopember
6,4
97,1
103,5
December
6,2
104,5
110,7
Januari
6,4
111,9
118,3
Februari
6,8
121,6
128,4
Maret
7,2
135,4
142,6
1985 :
1) Kredit Umum Pedesaan diberikan mulai Januari 1984
IV/89
Pemberian KPR yang disalurkan melalui BTN maupun melalui
PT Papan Sejahtera mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan. Jumlah KPR-BTN selama tahun 1978/79 - 1984/85 meningkat
dari Rp.6 milyar menjadi Rp.600 milyar, dengan nasabah
196.000. Kenaikan tersebut dikarenakan semakin banyaknya pembangunan perumahan di seluruh Indonesia. Demikian pula KPR-PT
Papan Sejahtera yang dananya berasal dari perbankan mengalami
kenaikan baik nilai maupun jumlah nasabahnya sehingga mencapai Rp.19 milyar dengan 1.478 nasabah pada tahun 1984/85.
Pemberian kredit untuk pembangunan dan pemugaran pasar
(Pasar Inpres) masih senantiasa mengalami peningkatan. Kredit
tersebut pada akhir 1984/85 mencapai Rp.100 milyar.
5 . Suku bunga
Sejalan dengan tingginya tingkat inflasi pada tahun-tahun
pertama Repelita I, suku bunga kredit yang berlaku pada saat
itu relatif tinggi, tercermin pada suku bunga kredit jangka
pendek bank-bank pemerintah yang berkisar antara 36% - 72%
setahun. Tingkat suku bunga tersebut kemudian menurun hingga
mencapai 12% - 36% setahun pada akhir Repelita I. Sejalan dengan usaha Pemerintah untuk mendorong investasi diberbagai
sektor ekonomi, pada 7 Maret 1969 perbankan menyediakan kredit investasi dengan suku bunga yang relatif cukup rendah.
Tingkat suku bunga kredit investasi tersebut dalam pelaksanaannya dari tahun ke tahun selalu diselaraskan dengan perkembangan moneter dan prioritas bidang-bidang ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Selama Repelita II sampai tahun ke 4 Repelita III suku
bunga kredit bank-bank pemerintah tidak banyak mengalami perubahan, antara lain karena bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia yang cukup besar. Suku bunga kredit modal kerja bank
pemerintah berkisar antara 9% - 24% dan suku bunga kredit investasi berkisar antara 12% - 15% setahun dalam Repelita II.
Dalam Repelita III, suku bunga kredit mengalami penurunan
menjadi antara 6% - 21% setahun bagi kredit modal kerja dan
antara 10,5% - 13,5% setahun untuk kredit investasi.
Pada bulan-bulan .pertama tahun terakhir Repelita III,
perkembangan kredit bank-bank pemerintah jauh menurun dibandingkan dengan bank-bank swasta nasional dan bank asing. Menurunnya pengerahan dana masyarakat dan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank umum pemerintah telah
mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lebih
IV/90
lanjut dengan memberikan kewenangan kepada bank-bank umum pemerintah dalam penentuan suku bunga deposito dan kredit. De ngan demikian bank-bank pemerintah dapat lebih didorong untuk
mengembangkan pemberian kreditnya sesuai dengan dana yang
dapat dihimpun dari masyarakat. Bila pada bulan Maret 1983
suku bunga kredit bank-bank umum pemerintah berkisar antara
6% - 21% setahun dan suku bunga kredit bank swasta nasional
berkisar antara 6% - 36%, maka pada akhir Maret 1985 tingkat
suku bunganya sedikit meningkat menjadi 15% - 24% bagi kredit
bank-bank umum pemerintah, sedangkan kredit bank-bank swasta
nasional menjadi sekitar 21% - 43,2% setahun. Suku bunga kredit investasi yang semula berkisar antara 10,5% - 13,5% setahun pada bulan Maret 1983 ikut pula mengalami perubahan
menjadi sekitar 15% - 24% pada akhir Maret 1985. Namun demikian untuk kredit yang berprioritas tinggi atau kredit program Pemerintah seperti kredit ekspor, KIK, KMKP dan kredit
untuk golongan ekonomi lemah lainnya ditetapkan suku bunga
antara 9% - 12% setahun.
Dalam pada itu sejalan dengan perkembangan ekonomi dan
untuk lebih mengikutsertakan peranan golongan ekonomi lemah
dalam dunia usaha, pada tanggal 30 Mei 1984 disediakan kredit
untuk modal kerja dalam rangka Keppres No. 29/1984 dengan
suku bunga 15% setahun. Perkembangan suku bunga dan golongan
suku bunga pinjaman menurut sektor ekonomi dalam periods 1972
- 1983 dapat diikuti pada Tabel IV-26.
Dalam usaha mendorong bank-bank umum pemerintah dalam
pemberian kredit investasi, serta guna mengatasi kesulitan
dana sehari-hari, Bank Indonesia dalam bulan Februari 1984
menyediakan fasilitas diskonto yang dimaksudkan sebagai upaya
terakhir bagi bank-bank dalam usahanya memperoleh tambahan
dana dari bank sentral sebagai lembaga kreditor terakhir.
Apabila pada bulan Februari 1984 suku bunga fasilitas diskon to berkisar antara 17,5% dan 19,5%, maka pada akhir Maret
1985 suku bunga fasilitas diskonto mengalami perubahan yakni
berkisar antara 21% dan 23%.
Suku bunga deposito berjangka bank pemerintah telah diturunkan berkali-kali. Penurunan suku bunga tersebut disesuaikan
dengan turunnya laju inflasi serta dengan memperhatikan pula
keuntungan
dan
biaya
bank
di
dalam
mengelola
deposito
tersebut. Adapun penetapan suku bunga deposito berjangka tersebut dimulai tanggal 1 Oktober 1968 yaitu untuk deposito
berjangka kurang dari 3 bulan 18%, 3 bulan 48%, 6 bulan 60%
dan 1 tahun 72%. Deposito berjangka tersebut dijamin oleh Pe -
IV/91
TABEL iv – 26
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DAN GOLONGAN SUKU BUNGA PINJAMAN
MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1972 - 1983
IV/92
(Lanjutan Tabel IV - 26)
No.
Janis Kredit / Pinjaman
Dan
Janie Penggunaannya
4. Pabrik terigu
5. Ekspor dan produsen/eksportir
a.
Sebelum pengapalan
- Ekspor barang-barang kuat
- Ekspor barang-barang lainnya
b.
Sesudah pengapalan (untuk semua
jenis barang ekspor)
6. Produksi, impor dan penyaluran
pupuk dan obat hama
7. Kredit Perkebunan Swasta Nasional
(PSM)
8. Kredit kepada koperasi untuk anggotanya dan untuk pengadaan barang-barang
yang berprioritas tinggi
9. Impor dan penyaluran barang-barang
bantuan luar negeri (kecuali pangan)
10. Pengumpulan dan penyaluran hasil
pertanian, peternakan dan perikanan
oleh BUUD/KUD dan koperasi
11. Pertanian rakyat dan kerajinan rakyat
12. Peternakan, unggas dan perikanan
rakyat
13. Industri dan jasa-jasa
a. Penggilingan padi/huller
b. Gula
c. Minyak kelapa
d. Tekstil
e. Alat-alat pertanian
IV/93
31 Mei 1972
G4)
IIIB
IIB/IIIA/
I1IS
I
9 Apr 1974
1 Apr 1976
1 Jan. 1978
31 Mar 1983
S4)
G4)
54)
G4)
S4)
G4)
S4)
G4)
54)
24
IA
12
IA
12
II
12
II
12
18/21
IA
12
II
12
14/21/24 IIA/
IIB
12
IA
12
IA
12
II
12
1 Juni Setelah
1983
1 Juni 1983
S4)
97)
II
II
9
6
II
6
II
12
128)
12
12
I
12
IIIB
24
IA/IIA 12/18
IB
II/A/IIIB 15/24
I1IB
II1B
IIIB
II12
IIIB
24
24
24
24
24
IIA
'15
18
IA/IIA 12/18
II
12
II
12
1B 15
IB/IIA 15/18
II
12
II
12
II
12
II
12
II
12
II
12
IB/IIA 15/18/ lB/IIA
I1B /
21
IIA
IIA
IIB
IIA
IIB
18
18
21
18
21
IB
IB
ILA
IN
IIA
15/18
15
15
18
15
18
III
III
III
III
III
13,5
13,5
13,5
13,5
13,5
III
III
III
III
III
13,5
13,5
13,5
13,5
13,5
54)
(Lanjutan label IV - 26)
31 Mei 1972
Janis Kredit / Pinjaman
No.
9 Apr 1974
1 Apr 1976
1 Jan. 1978
31 Mar 1983
1 Juni
1983
Setelah
1 Juni 1983
dan
Janie Penggunaannya
4)
G
f.
g.
h.
i.
J.
Kertas
Semen
Pengangkutan umum
Percetakan dan penerbitan
Pariwisata
14. Produksi lainnya
15. Impor dan penyaluran barang-barang
yang diawasi
4)
S
4)
4)
4)
4)
4)
4)
4)
S
G
4)
S
S
G
S
G
21
21
15
21
24
IIA
13,5
III
III
III
III
13,5
13,5
13,5
13,5
13,5
III
IIA
IB
IIA
III
18
18
15
18
24
III
III
24,36
IIB
IIB
IIA
IIB
III
III
III
III
13,5
13,5
13,5
13,5
IIB/IIIB 15/24
IIB
21
IIA
18
III
13,5
III
13,5
24-36
IIA
18
IIA
18
III
13,5
III
13,5
24
IIA
18
IIA
18
III
13,5
III
13,5
III
13,5
IIIB
IIIB
IIIB
IIIB
IV
IV
24
24
24
24
G
16. Pembayaran persediaan gula
IIIB
17. Perdagangan dalam negeri
IV
24-36
IIB
21
IIA
18
III
13,5
18. Kontraktor proyek DIP dan Inpres
IV
24-36
III
24
IIB
21
III
13,5
19. Kontraktor proyek lainnya
20. Impor dan penyaluran barang-barang
impor lainnya
IV
24-36
III
24
IIB
21
IV
15
IV
15
IV
24-36
III
24
III
24
V
18
V
18
21. Lainnya yang belum termasuk diatas
IV
24-36
III
24
III
24
IV
21
IV
21
IV/94
III
13,5
4)
S
15
911)
4)
S
Jenis Kredit / Pinjaman
31 Mel 1972
9 Apr 1974
1 Apr 1976
1 Jan. 1978
Jenis Penggunaannya
4)
G
4)
s
4)
0
.4)
b
4) 84)
G
4)
0
4)
s
V. Kredit lainnya
1. Kredit Pemilikan Rumah (KPH)
2. Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI)
3. Kredit Asrama Mahasiswa
1)
Dalam suku bunga tersebut sudah termasuk provisi yang diperhitungkan dari plafond pinjaman dan
dipungut hanya satu ka l i pada waktu penanda tangan akad pinjaman den pada tiap-tiap perpanjangan
waktu pinjaman. Besarnya provisi adalah 1%, kecuali untuk pinjaman impor pangan yang dibiayai dengan
PL 480 hanya 0,5%
2)
Suku bung. pinjaman likuiditas untuk ekspor den produksi barang ekspor diturunkan dari 10% setahun
menjadi 5% setahun
3)
Pinjaman investasi Golongan I dan KIK dikenakan suku bunga pinjaman likuiditas BI kepada bank-bank
pemerintah sebesar 3% setahun, untuk Golongan I I s/d IV dan KMKP dikenakan suku bunga 4% .setahun.
Untuk pinjaman modal kerja, suku bunga pinjaman likuiditas untuk masing-masing golongan adalah
sebagai berikut :
Golongan I
: 3% setahun
Golongan I I
: 4% setahun (kecuali suku bunga BIMAS/INMAS: 3% setahun )
Golongan I I I s/d IV
: 6% setahun
Pinjaman modal kerja yang akadnya ditanda tangani sebelum 1 Januari 1978 dikenakan ketentuan suku
bunga lama berlaku s/d 31 Maret 1978
4)
S - Suku bunga per tahun. Mulai 1 Juni 1983 suku bunga kredit likuiditas adalah 3% setahun
G - Golongan suku bunga pinjaman
5)
Sebelum 1 Januari 1978 jumlah kredit investasi untuk tiap-tiap Golongan adalah sebagai berikut : - Golongan I : s/d
Rp. 25,- juta
- Golongan I I : di atas Rp. 25,- juta s/d Rp.100,- juta
- Golongan I I I : di atas Rp. 100,- juta s/d Rp.300,- juta
- Golongan IV : di atas Rp. 300,- juta
Sejak 1 Januari 1978 kredit investasi golongan IV di atas Rp. 1.500,- Juta hanya dapat diberikan
oleh BAPIND0
Mulai Juni 1980 b a t a s maksimum golongan IV diubah menjad i Rp.2.500,- juta. Kredit investasi diatas
Rp.2.500,- Juta hanya diberikan oleh BAPIND0
6)
Tidal, termasuk Inmas
7)
Sepanjang yang telah direalisir
8)
Khusus untuk Bimas
9)
Kupedes modal kerja 1% setahun dan bila terjadi tunggakan suku bunga i n ve s t a s i menjadi 10% setahun
dan modal kerja 24% setahun
10) Pemerintah menyediakan subsidi 1½ %, setahun
11) Pinjam untuk kontraktor nasional dengan tender internasional.
31 Mar 1983
4)
G
4)
3
1 Jan.
3983-
...__
4)
S
Setelah
11983
_ 34)
5 -9
6
5
merintah. Selain itu, dalam penyelenggaraan deposito berjangka bank umum pemerintah dan Bapindo memperoleh subsidi sebesar 1/3 dari jumlah bunga yang dibayarkan untuk deposito berjangka 6 bulan dan 12 bulan.
Dalam Repelita I suku bunga deposito berjangka telah beberapa kali diturunkan sehingga pada tanggal 12 April 1973
suku bunga deposito berjangka berkisar antara 6% - 15% setahun untuk deposito kurang dari 3 bulan sampai 12 bulan. Walaupun suku bunga diturunkan, posisi deposito berjangka tetap
meningkat, hal ini mencerminkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Dalam pada itu subsidi bunga
juga diturunkan dari 1/3 menjadi 1/5 dari bunga yang dibayarkan dan hanya diberikan bagi deposito berjangka waktu 12
bulan.
Suku bunga Tabanas yang semula ditetapkan 1$% setahun,
pada 12 April 1973 diubah menjadi 15% untuk saldo tabungan
Rp. 100 ribu yang pertama, sedangkan saldo di atas Rp. 100 ribu diturunkan dari 12% menjadi 9% setahun. Adapun suku bunga
Taska yang ditetapkan sejak 20 Agustus 1971 tidak mengalami
perubahan yaitu tetap 15% setahun.
Dalam Repelita II juga telah diadakan beberapa kali perubahan terhadap macam maupun suku bunga deposito berjangka.
Pada tanggal 9 April 1974 telah diciptakan deposito berjangka
waktu 18 bulan dan 24 bulan dan telah diadakan perubahan suku
bunga, menjadi sebagai berikut: untuk deposito kurang dari 3
bulan 6%, 3 bulan 9%, 6 bulan 12%, 12 bulan 18%, 18 bulan 24%
dan 24 bulan 30% setahun. Untuk deposito dengan jangka waktu
18 bulan dan 24 bulan telah ditetapkan subsidi atas bunga,
masing-masing sebesar 8% dan 15% setahun. Dalam pada itu
bank-bank pemerintah dilarang menerima deposito berjangka Inpres yang dananya berasal dari luar negeri. Dalam hal dana
deposito tersebut ternyata berasal dari luar negeri, maka
akan dibayarkan subsidi bunga setinggi-tingginya 6% setahun.
Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1974 suku bunga deposito berjangka waktu 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan diturunkan masing-masing dari 18% menjadi 15%, 24% menjadi 21%
dan 30% menjadi 24%. Sejalan dengan perubahan tersebut maka
subsidi atas bunga untuk deposito 18 dan 24 bulan diturunkan
pula masing-masing menjadi 6% dan 9%. Kemudian pada tanggal
13 Januari 1977 suku bunga deposito berjangka diturunkan lagi
dan untuk deposito berjangka 18 bulan ditiadakan. Dengan demikian deposito kurang dari 3 bulan menjadi 3%, 3 bulan 6%, 6
bulan 9%, 12 bulan 12% dan 24 bulan 24%. Subsidi bunga untuk
IV/96
deposito 24 bulan diturunkan lagi menjadi 6%. Sejak 1 Januari
1978 deposito berjangka waktu kurang dari 3 bulan dan 3 bulan
suku bunganya dapat ditetapkan oleh masing-masing bank. Untuk
deposito yang berjangka waktu 6 bulan dan 12 bulan masing-masing diturunkan bunganya dari 9% menjadi 6% setahun dan dari
12% menjadi 9% setahun. Dalam hal suku bunga deposito berjangka waktu 24 bulan ditentukan bahwa untuk jumlah sampai
dengan Rp 2,5 juta bunganya 15% setahun dan untuk bagian deposito yang melebihi Rp 2,5 juta bunganya 12% setahun. Besarnya subsidi adalah 4,5% untuk yang bersuku bunga 15% dan 1,5%
bagi yang bersuku bunga 12%. Untuk suku bunga Taska yang semula ditetapkan 15%, sejak 13 Januari 1977 diturunkan menjadi
9 % setahun.
Dalam Repelita III, kembali diadakan perubahan suku bunga
deposito berjangka dengan maksud untuk lebih mendorong peningkatan pengerahan dana dari masyarakat. Pada tanggal 1 Mei
1983 ditetapkan bahwa suku bunga deposito berjangka 6 bulan
ke bawah dapat ditentukan sendiri oleh bank pemerintah yang
bersangkutan. Selanjutnya mulai 1 Juni 1983 dikeluarkan kebijaksanaan dimana kepada bank-bank pelaksana diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito, kecuali
untuk deposito yang berjangka waktu 24 bulan, dimana suku
bunganya masih ditetapkan sekurang-kurangnya 12% setahun.
Adapun suku bunga Tabanas sejak 1 Juni 1983 telah diubah
menjadi 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp 1
juta dan 12% untuk saldo tabungan di atas Rp 1 juta. Suku
bunga Taska, besarnya tetap 9% setahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum
jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. Perkembangan suku
bunga deposito berjangka Inpres, Tabanas dan Taska dapat
diikuti pada Tabel IV - 27.
Dalam tahun pertama Repelita IV suku bunga deposito berjangka rupiah, baik yang berlaku pada bank Pemerintah maupun
pada bank swasta nasional dari akhir Maret 1984 sampai dengan
akhir Maret 1985 telah mengalami kenaikan. Suku bunga bank
Pemerintah yang berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan
masing-masing naik dari 16,5% menjadi 17% setahun, 17,5% menjadi 19% setahun dan 18% menjadi 20% setahun. Adapun suku
bunga yang berlaku di bank swasta nasional rata-rata naik
dari 18% menjadi 20% setahun untuk deposito berjangka 1
bulan, 19,5% menjadi 21% setahun untuk deposito 3 bulan, 20%
menjadi 22% untuk deposito 6 bulan, 20% menjadi 24% untuk deposito 12 bulan dan 20% menjadi 23% setahun untuk deposito 24
bulan.
IV/97
TABEL IV - 27
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DEPOSITO BERJANGKA
INPRES DAN TABANAS/TASKA,
1968 – 1983
(dalam p e r s e n per tahun)
Berlaku mulai
Janie
Sups.;.
1 Okt.
1968
17 Maret 1 Mei
1969
1969
10 Juli
1969
15 Sept. 1 Januari
1969 1970
20 Agust.
1971
31 Mei
1972
12 April
1973
Deposito berjangka:
-
Kurang dari 3 bulan
3 bulan
18
18
12
12
12
12
-
9
48
36
24
18
18
18
-
12
-
6 bulan
60
48
36
30
24
21
-
12 bulan
72
60
48
36
30
24
-
18 bulan
-
-
-
-
15
-
18
6
12
15
4)
5)
6)
7)
8)
9)
T A B A N A S
18
18/12 4)
15/9
T A S K A
15
15
15
Besarnya suku bunga ditetapkan oleh masing -masing bank
Sejak 13 Januari 1977 deposito berjangka 18 bulan ditiadakan.
15% setahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 2,5 juta,
jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000, jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000.jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun
18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000, jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun
15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000.jumlah selebihnya bunganya adalah 6% per tahun
Dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 ditetapkan
sekurang-kurangnya 12% per tahun
15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 1.000.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
3)
28 Des.
1974
6
13 Jan.
1977
1 Jan
1978
3
1)
1 Mei
1 Juni
1983
1983
_ 1)
_ 1)
_1)
_1)
_ 1)
_ 1)
6
_ 1)
_ 1)
9
_
9
-
-
31 Maret
1983
9
9
6
12
12
9
6
12
_2)
9
-
18
15/12 3)
15/12 3)
15/6 7)
15/6 7)
18
24 bulan
1)
2)
3)
9 April.
1974
15
24
21
30
24
18/9
15
6)
18/9 6)
15
15/6 6)
15
1)
9
-
l)
15/12 3)
12 8)
15/6 7)
15/12 9)
9
9
6. Perkembangan Harga
Kebijaksanaan dalam bidang harga mengusahakan agar harga
kebutuhan pokok masyarakat senantiasa berada dalam jangkauan
dayabelinya. Melalui pengadaan dan penyaluran barang-barang
kebutuhan pokok yang cukup ke segenap pelosok tanah air diharapkan agar kegoncangan harga dapat dihindarkan. Dari perkembangan laju inflasi selama periode Repelita I s/d Repelita
IV (tahun 1984/85) dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun
telah berhasil dipertahankan kestabilan ekonomi.
Laju inflasi rata-rata selama Repelita I adalah 17,48%
yang mengingat akan adanya hyperinflasi pada periode sebelumnya, merupakan hasil stabilisasi moneter yang cukup menggembirakan. Perlu dicatat bahwa pada tahun ke tiga Repelita I
(19 71 / 72 ) inflasi hanya mencapai 0,9% yaitu titik terendah
dari inflasi yang terjadi selama itu. Rendahnya inflasi pada
tahun tersebut disebabkan turunnya harga beras karena panen
yang baik dan persediaan yang cukup. Sebaliknya pada tahun
terakhir Repelita I ( 19 7 3 /7 4 ) terjadi kenaikan harga-harga
sebesar 47 , 3% yang antara lain disebabkan oleh pertambahan
uang beredar sebagai akibat naiknya kredit perbankan dan pengaruh keadaan moneter di luar negeri yang kurang menguntung kan.
Selama Repelita II laju inflasi rata-rata per tahun adalah 1 4 ,7 7 % dan dalam empat tahun pertama Repelita II inflasi
terus menerus menurun dari 21,0% pada tahun pertama (1974/75)
menjadi 10,1% pada tahun ke empat ( 1 9 7 7 / 7 8 ) . Menurunnya laju
inflasi tersebut disebabkan adanya beberapa kebijaksanaan antara lain menyangkut penetapan batas tertinggi untuk kredit
perbankan, penurunan tarip pajak dan cukai beberapa barang,
pemberian subsidi untuk beras dan pupuk serta lancarnya pe nyediaan bahan kebutuhan pokok. Pada tahun ke lima Repelita
I I ( 1 9 78/ 79 ) inflasi kembali meningkat menjadi 11,8% antara
lain disebabkan oleh pengaruh kebijaksanaan devaluasi Rupiah
pada tanggal 1 5 Nopember 19 7 8.
Dalam Repelita III rata-rata laju inflasi adalah 13,16%
setahun. Berbagai kebijaksanaan Pemerintah dalam periode tersebut adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak yang dilak sanakan beberapa kali, serta peningkatan harga dasar pembelia n g a b a h dan beras. Selain itu untuk meningkatkan daya saing
barang-barang ekspor di pasar internasional maka pada tanggal
30 Maret 1 98 3 diadakan devaluasi uang Rupiah terhadap mata
uang dollar Amerika. Pengaruh dari kebijaksanaan tersebut
terhadap harga ternyata tidak menggoncangkan, terlihat pada
IV/99
perkembangan laju inflasi yang relatip rendah dalam tahun
1982/83 dan 1983/84, masing-masing hanya 8,4% dan 12,6%.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perkembangan harga
yang cukup baik telah terjadi dalam tahun 1984/85 dimana laju
inflasi dalam masa tersebut hanya meningkat sebesar 3,6%. Kenaikan tersebut terdiri dari indeks sektor makanan 1,8%, indeks sektor perumahan 3,6%, indeks sektor sandang 2,7% dan
indeks aneka barang dan jasa 7,8%. Peningkatan indeks pada
sektor aneka barang dan jasa sebesar 7,8% adalah disebabkan
oleh naiknya indeks sub sektor kesehatan (6,9%), indeks biaya
pendidikan (9,6%) dan indeks biaya transpor (10,6%). Peningkatan biaya transpor yang cukup tinggi erat kaitannya dengan
disesuaikannya tarip angkutan dalam bulan April 1984. Peningkatan biaya kesehatan disebabkan oleh naiknya tarip dokter
dan obat tanpa resep. Sedangkan permintaan yang cukup besar
pada alat-alat tulis dan buku tulis karena tahun ajaran baru,
yaitu bulan Juli 1984, telah menyebabkan meningkatnnya biaya
sub sektor pendidikan sebesar 9,6 %.
Dalam sektor makanan, kenaikan sebesar 1,8% terjadi pada
indeks harga daging dan hasil-hasilnya sebesar 8,0%, indeks
harga ikan segar sebesar 8,0%, indeks harga minuman yang tak
beralkohol 6,9%, dan indeks harga kacang-kacangan 6,0%. Dalam
periode tersebut telah terjadi penurunan_ pada indeks harga
ubi-ubian, padi-padian dan hasil-hasilnya serta indeks harga
lemak dan minyak masing-masing 4,0% dan 8,7%. Pada sektor perumahan, kenaikan sub sektor tempat tinggal dan penyelenggaraan rumah tangga merupakan faktor utama meningkatnya sektor
tersebut sebesar 3,6%. Dalam hal sektor sandang, telah terjadi peningkatan yang relatif kecil yaitu terjadi pada indeks
harga sub sektor sandang laki-laki dan anak-anak, masingmasing sebesar 3,3% dan 4,0%.
Perkembangan indeks harga Sembilan bahan pokok di 17 kota
dalam tahun 1978/79 telah menunjukkan peningkatan secara
rata-rata sebesar 16,3% sebulan. Dalam tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 kenaikan rata-rata bahan pokok tersebut menjadi
15,0% dan 14,8% sebulan. Dalam tahun 1984/85 atau tahun pertams Repelita IV, harga sembilan bahan pokok mengalami penurunan di 11 kota dari 17 kota Propinsi di Indonesia. Peningkatan yang cukup besar telah terjadi di kota Jayapura dan Medan masing-masing sebesar 5,7% dan 5,0% sedang penurunan yang
relatif kecil terjadi di kota Palembang, Kupang dan Semarang
masing-masing 4,9%, 4,8% dan 3,3%.
IV/100
Pada akhir Repelita III atau tahun 1983/84 laju inflasi
di 5 dari 17 kota propinsi telah mengalami kenaikan pada
tingkat yang lebih rendah dari laju inflasi nasional sebesar
12,63%. Laju inflasi yang tertinggi telah terjadi di kota
Ambon yaitu sebesar 19,9% sedang laju inflasi terendah terjad i d i kota Kupang yaitu sebesar 4,3%.
Dalam tahun 1984/85 laju inflasi tertinggi diantara 17
kota tersebut terjadi di kota Denpasar sebesar 6% sedang untuk kota-kota lainnya laju inflasi kurang dari 6,0% bahkan di
kota Ambon selama tahun anggaran 1984/ 85 telah terjadi penurunan harga atau deflasi sebesar 0,9%.
Perkembangan harga-harga di Indonesia selama periode
1968-1984/85 yang diukur menurut IBH sampai dengan Maret 1979
dan menurut IHK sejak April 1979, dapat dilihat pada Tabel
IV-28, Grafik IV-16 dan perinciannya menurut, kelompok barang
dapat diikuti pada Tabel IV-29, Grafik IV-17 sedang perinciannya menurut 17 Ibu kota propinsi dalam periode 1982/83 1984/85, dapat dilihat pada Tabel IV-30. Perkembangan indeks
harga 9 macam bahan pokok di 17 Ibu kota propinsi dapat dili hat pada Tabel IV-31.
D.
PERKEMBANGAN
LAINNYA
LEMBAGA
PERBANKAN
DAN
LEMBAGA
KEUANGAN
Setelah masa Orde Baru, Pemerintah berusaha untuk mengembalikan citra perbankan khususnya dan lembaga keuangan pada
umumnya, mengingat dalam waktu sebelumnya sektor perbankan
tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Kebijaksanaan Peme rintah selanjutnya senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan
sistem lembaga keuangan yang sehat dan berhasil guna sebagai
sarana pembangunan nasional. Hal ini dilakukan dengan cara
meningkatkan efisiensi lembaga keuangan yang ada, di samping
mendorong pembentukan lembaga-lembaga keuangan yang baru.
Dalam periode sejak kebijaksanaan stabilisasi Oktober
1966 sampai tahun pertama Repelita I telah dikeluarkan 2 per aturan perbankan yang penting, ialah Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan dan Undang-undang RI
No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Kedua peraturan ini
merupakan landasan/dasar dari undang-undang perbankan yang
bertujuan untuk mengatur keseluruhan sistem perbankan serta
mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan perbankan di
Indonesia, serta memobilisir dan mengembangkan seluruh poten si yang ada di sektor perbankan.
IV/101
TABEL IV - 28
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA,
1968 - 1984/85
Tahun
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
IV/102
% Kenaikan
Tahun
% Kenaikan
85,1
9,9
8,8
2,5
25,7
27,4
33,3
19,7
14,2
11,8
6,7
1968/69
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
22,8
10,6
7,8
0,9
20,7
47,4
20,1
19,8
12,1
10,1
11,8
21,8
16,0
7,1
9,7
11,5
8,8
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
1984/85
19,1
15,9
9,8
8,4
12,6
3,6
GRAFIK IV - 16
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA
1968 - 1984/85
IV/103
TABLE IV - 29
PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP (D1 JAKARTA),1) DAN INDEKS
HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI),2)
MENURUT KELOMPOK BARANG,
1968 - 1984/85
Tahun/Bulan
1968
Makanan
Perumahan
Pakaian
Aneka
Barang
dan Jasa
Indeks
Umum
Kenaikan Indeks Umum %
29,29
36,63
25,73
30,21
+85,1
+10,6
Tahun/Triwulan Bu1an
23,83
26,96
23,05
58,02
52,79
64,25
59,81
58,42
+47,4
114,71
107,27
118,44
123,17
115,95
+11,8
144,82
146,70
173,82
139,58
147,14
+19,1
1980/81
172,60
171,80
192,80
161,88
167,14
+15,9
1981/82
183,38
200,12
200,27
183,90
189,63
+ 9,8
1982/83
189,70
228,76
204,60
210,57
205,99
+ 8,4
1983/84
(Akhir Repelita III)
220,54
263,88
215,14
229,77
233,42
+12,6
Juni
205,23
234,86
210,18
217,18
216,19
+ 4,9
September
Desember
210,48
236,45
212,96
219,51
219,61
+ 1,6
212,70
238,08
214,04
221,54
221,53
+ 0,9
Maret
220,54
263,88
215,14
229,77
233,42
+ 5,3
1984/85
224,34
273,47
221,08
248,07
242,07
+ 3,6
April
221,16
265,64
M e i
224,27
240,34
240,87
236,48
238,02
Juni
Juli
225,29
265,80
266,14
215,72
216,03
217,50
240,93
238,69
225,93
267,34
218,77
241,68
239,58
Agustus
September
223,20
222,45
267,94
267,95
219,68
219,77
244,14
244,57
239,22
238,98
Oktober
221,52
268,53
220,34
246,03
239,06
Nopember
220,90
269,46
220,46
246,35
239,14
December
226,35
269,99
220,58
246,54
241,63
Januari
227,07
272,37
220,83
247,17
242,75
Pebruari
223,88
272,89
247,37
241,54
Maret
224,34
273,47
220,91
221,08
248,07
242,07
1969/70
1973/74
(Akhir Repelita I)
1978/79
(Akhir Repents II)
1979/80
33,96
35,88
38,93
'
1). Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan digunakan hingga bulan Maret 1979.
21. Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan mulai digunakan April 1979.
IV/104
+ 1,3
+ 0,6
+ 2,2
+ 0,3
+ 0,4
- 0,2
+ 0,1
- 0,1
+ 0,03
+ 0,03
+ 1,1
+ 1,04
+ 0,5
- 0,5
+ 0,2
+ 0,2
GRAFIK IV - 17
PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA, DAN INDEKS
HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI),
1968 - 1984/85
(angka indeks)
(angka Indeks)
IV/105
TABEL IV - 30
PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA
(April 1977 – Maret 1978 = 100),
1979/80 - 1984/85
IV/106
TABEL IV - 31
PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA PROPINSI,
1978/79 – 1984/85
1979/80 - 1984/85
IV/107
Jumlah bank pada tahun 1969 adalah 179 buah yang terdiri
dari 7 bank pemerintah, 138 bank swasta nasional, 23 bank
pembangunan daerah dan 11 bank asing. Sedangkan aktivitas
perbankan tercermin pada keadaan neraca, pengumpulan dana dan
pemberian kredit, di mana posisi masing-masing pada akhir
1969 adalah Rp. 290,7 milyar, Rp. 185,2 milyar dan Rp. 158,2
milyar.
Dalam Repelita I telah dikeluarkan peraturan-peraturan
yang mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan bagi bank
swasta nasional untuk bisa menjadi bank devisa, serta pendirian bank umum koperasi, bank tabungan koperasi dan bank pem bangunan koperasi. Untuk mengembangkan operasi bank-bank pemerintah, dikeluarkan ketentuan tentang syarat-syarat dan
prosedur pendirian kantor cabang, cabang pembantu dan kantor
perwakilan bank-bank pemerintah, termasuk bank pembangunan
pemerintah dan bank tabungan pemerintah. Di bidang bank se kunder, dalam tahun 1970 telah diadakan penyesuaian persyaratan pendirian bank desa.
Untuk dapat menciptakan iklim yang lebih baik di bidang
perbankan, khususnya bagi bank swasta nasional, pada bulan
Nopember 1969 Bank Indonesia menggariskan kebijaksanaan baru
yang menganjurkan bank-bank untuk melakukan penggabungan
(merger), serta memberikan bantuan teknis dan keuangan kepada
bank-bank. Dengan melakukan merger diharapkan bank-bank tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan mereka. Dorongan tersebut dilakukan dengan memberikan keringanan-keringanan pajak bagi mereka yang bergabung.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bank asing tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha bank di luar DKI Jakarta. Namun dalam rangka pemberian kesempatan kepada bankbank swasta nasional dan bank-bank asing untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi daerah, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kerjasama antara bank-bank tersebut
dalam memberikan jasa-jasa di luar Jakarta, antara lain dalam
bentuk pembiayaan bersama dalam pemberian pinjaman, pelaksa naan ekspor-impor dan pengeluaran garansi bank.
Kegiatan bank serta volume aktivitasnya selama Repelita I
meningkat dengan pesat. Pada akhir Repelita I, jumlah bank
adalah 162 dengan jumlah aktiva, dana dan kredit pada akhir
Repelita I tercatat masing-masing sebesar Rp. 1.722 milyar,
Rp. 1.002 milyar dan Rp. 1.080 milyar.
Dalam
IV/108
usaha
membantu
pengusaha
golongan
ekonomi
lemah
serta koperasi telah didirikan PT Asuransi Kredit Indonesia
(PT Askrindo), PT Bahana dan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi
(LJKK)/Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK). PT Askrin do bertugas membantu pengamanan kredit melalui penutupan asuransi; PT Bahana bertugas memberikan penyertaan modal dan
bantuan manajemen kepada perusahaan kecil yang belum berkem bang; sedangkan LJKK/Perum PKK bertugas memberikan jaminan
kepada koperasi atas kredit yang diberikan bank atau badanbadan lainnya.
Guna menunjang pengembangan pasar uang dan modal serta
membantu permodalan perusahaan-perusahaan, sejak tahun 1972
diberikan ijin bagi pendirian lembaga keuangan bukan bank
(LKBB). LKBB tersebut terdiri dari jenis pembiayaan pembangunan dan jenis investasi. Usaha pokok jenis pembiayaan pembangunan adalah memberikan kredit jangka menengah/panjang
serta melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan.
LKBB jenis investasi terutama melakukan usaha sebagai perantara dalam penerbitan surat-surat berharga dan menjamin serta
menanggung terjualnya surat-surat berharga (underwriter).
Sampai dengan akhir Repelita I LKBB yang didirikan telah ber jumlah 10, yang terdiri atas 2 LKBB jenis pembiayaan pembangunan dan 8 LKBB jenis investasi.
Suatu kebijaksanaan penting yang menyangkut bank-bank
umum selama Repelita II adalah diturunkannya kewajiban likui ditas minimum dari 30% menjadi 15%. Tindakan tersebut dilakukan untuk lebih mendorong kegiatan ekonomi dan untuk menurunkan biaya dana perbankan. Selain itu ditentukan bahwa simpanan wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah yang semula
ditetapkan 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang
dapat dibayar; simpanan wajib minimum dalam valuta asing yang
semula 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang dapat
dibayar kepada penduduk dan dari 30% menjadi 15% dari kewaji ban yang dapat dibayar kepada bukan penduduk.
Selain dari pada itu Bank Indonesia telah pula mengadakan
penyesuaian mengenai ketentuan pemberian
bunga
atas saldo
giro rupiah dan giro valuta asing
bank-bank pada Bank Indonesia. Adapun penyesuaian menurut ketentuan baru itu meliputi
peningkatan jumlah maksimum simpanan yang dapat dibayar bunga
dari 10% menjadi 15% atas jumlah kewajiban yang dapat segera
dibayar,
sedangkan suku bunganya diturunkan dari 10% menjadi
6% setahun. Yang dimaksudkan dengan simpanan yang dapat diberikan bunga hanya meliputi jumlah kelebihan di atas jumlah
simpanan wajib pada Bank Indonesia.
IV/109
Seperti telah disebutkan dimuka bahwa LKBB merupakan sarana penting bagi pengembangan pasar uang dan modal di Indo nesia. Melalui lembaga keuangan tersebut, perdagangan suratsurat berharga baik jangka pendek maupun jangka panjang diharapkan akan semakin berkembang, sehingga penyaluran dana da lam masyarakat dapat dilakukan secara lebih berdayaguna. Guna
membantu LKBB dalam usaha meningkatkan perdagangan surat -surat berharga, sejak bulan April 1 9 7 8 , Bank Indonesia telah
memberikan fasilitas diskonto ulang sampai jumlah maksimum
Rp. 500 juta setahun untuk setiap LKBB. Melalui fasilitas ini
LKBB dapat mendiskonto ulangkan wesel dagang, aksep dan promes atas nama yang dimilikinya, kepada Bank Indonesia.
Dalam Repelita III, Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan
baru yaitu Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983. Dengan Kebijaksanaan tersebut kepada bank-bank pemerintah diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito dan kredit
untuk sektor-sektor yang tidak berprioritas tinggi. Selain
itu pagu kredit perbankan yang berlaku sejak tahun 1974 dihapuskan. Untuk membantu bank-bank serta untuk menjaga agar
bank-bank tidak memanfaatkan kelebihan likuiditasnya untuk
kegiatan yang non produktif telah diadakan penyesuaian-penyesuaian suku bunga atas saldo giro bank-bank pada Bank Indonesia, baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pada tahap pertama setelah dikeluarkannya Kebijaksanaan 1 Juni 1 9 8 3 pemupukan dana yang dilakukan oleh bank-bank lebih pesat daripada
pemberian kreditnya sehingga sebagian bank-bank mengalami kelebihan likuiditas. Agar biaya dana yang ditanggung bank-bank
tidak terlalu tinggi, maka jasa giro simpanan rupiah bankbank pada Bank Indonesia dinaikkan dari 10% menjadi 13% seta hun. Selanjutnya dengan diterbitkannya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sarana penanaman dana sementara, maka
jasa giro tersebut diturunkan dari 13% menjadi 7 % setahun dan
batas maksimum giro yang memperoleh bunga adalah 1% dari
jumlah seluruh kewajiban yang segera dapat dibayar sepanjang
bank-bank tersebut mempunyai kelebihan likuiditas. Dalam pada
itu, jasa atas kelebihan saldo giro valuta asing bank-bank
pada Bank Indonesia sejak tanggal 1 Februari 1984 dihapuskan.
Dalam tahun 1 9 8 2 / 8 3 sebagai kelanjutan dari langkah penertiban perizinan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah dibentuk satuan tugas guna membahas tentang BPR dengan maksud untuk meningkatkannya menjadi badan hukum koperasi. Dalam rangka tujuan tersebut, BRI dipersiapkan untuk menjadi bank induk
dari bank-bank perkreditan rakyat tersebut.
Kebijaksanaan lainnya dalam Repelita III adalah melanjut-
IV/110
kan langkah langkah antara lain mendorong merger antar bank
swasta nasional, meningkatkan efisiensi bank-bank pemerintah,
membina bank pembangunan daerah melalui program bantuan
teknis dan pendidikan serta memperluas jaringan kliring lokal
di tempat-tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia.
Keringanan pajak sebagai akibat merger hanya diberikan sepan jang permohonannya dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni
1981.
Pada akhir Repelita III, jumlah bank adalah 117, yang
terdiri dari 7 bank pemerintah, 72 bank swasta nasional, 27
bank pembangunan daerah dan 11 bank asing/campuran, dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) berjumlah 5.823. Jumlah aktiva bank
secara keseluruhan, dana yang terkumpul dan jumlah kredit
yang
diberikan
masing-masing
adalah
Rp. 22.118 milyar,
Rp. 10.097 milyar dan Rp. 13.827 milyar.
Mobilisasi tabungan masyarakat tetap merupakan sasaran
utama sektor perbankan dalam Repelita IV. Dengan program ini
tetap diusahakan untuk mengikutsertakan seluruh lapisan ma syarakat dalam aktivitas penabungan sebagai salah satu sumber
pembiayaan pembangunan/investasi. Untuk mencapai maksud itu
kesiapan lembaga-lembaga keuangan dalam melaksanakan kebijaksanaan tersebut sangat penting artinya. Seterusnya pembenahan
dan peningkatan sistem organisasi, managemen bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank perlu mendapatkan perhatian
yang utama.
Dalam Repelita I kegiatan pasar modal berada pada tahap
penyesuaian awal. Dengan membaiknya keadaan moneter dan iklim
perekonomian pada umumnya, Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kegiatan pasar modal, sebagai sarana penting dalam
pengerahan dana serta pemerataan kesempatan penanaman modal.
Berbagai langkah kebijaksanaan telah dilakukan, yaitu pembentukan Team Pasar Uang dan Pasar Modal
(tahun 1971);
pembentukan Badan Pembina Pasar Uang dan Modal (1972); dikeluarkannya ketentuan tentang penawaran efek
dan perdagangannya
(1974); dan pada tahun 1976 dibentuknya Badan Pembina Pasar
Modal, Badan Pelaksana Pasar Modal serta PT Danareksa. Tugas
Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) adalah mengendalikan
serta melaksanakan bursa saham
dan surat-surat berharga lainnya. Sedangkan tugas PT Danareksa adalah membeli saham-saham
perusahaan yang akan dijual di pasar modal dan selanjutnya
memecahnya ke dalam
bentuk sertifikat saham dengan nominal
yang kecil, untuk memungkinkan masyarakat
yang daya belinya
terbatas membeli sertifikat saham. Dalam tahun 1977 PT Semen
IV/111
Cibinong merupakan perusahaan
sahamnya (go public).
pertama
yang
memasyarakatkan
Sejak diaktifkannya pasar modal tahun 1977 sampai tahun
1982, kegiatan pasar modal menunjukkan perkembangan yang
cukup menggembirakan. Namun dengan adanya kebijaksanaan mone ter 1 Juni 1983 serta kebijaksanaan devaluasi Maret 1983 maka
perdagangan efek di bursa menurun. Hal ini disebabkan karena
masyarakat penabung pada periode ini, lebih banyak memilih
untuk menanamkan dananya dalam deposito yang memberikan ting kat bunga yang relatif tinggi terhadap tingkat rentabilitas
saham.
Sampai dengan akhir tahun 1984/85 jumlah perusahaan yang
go public sebanyak 24 perusahaan dengan jumlah saham yang di tawarkan sebesar 57.448.184 lembar dan nilai seluruhnya menu rut harga pasar perdana Rp.130,8 milyar. Selain daripada emisi saham, pada tahun 1984/85 terdapat pula emisi obligasi
oleh 3 (tiga) badan
usaha
dengan
nilai
emisi
sebesar
Rp. 224.7 milyar. Dengan demikian jumlah dana yang dapat di serap dari masyarakat melalui pasar modal sampai akhir tahun
1984/85 mencapai Rp. 355,5 milyar.
Sejalan dengan tujuan Pasar Modal yang antara lain untuk
pemerataan pendapatan masyarakat maka saham perusahaan yang
go public, oleh PT Danareksa dijadikan sertifikat jenis “back
to back” dan sertifikat jenis mutual fund (sertifikat dana PT
Danareksa) untuk dijual ke seluruh pelosok tanah air. Sampai
dengan akhir 1984/85 telah diterbitkan sertifikat PT Danareksa sebanyak 7.420.300 lembar dengan nilai nominal seluruhnya
sebesar Rp. 73,8 milyar, yang terdiri dari 1.420.300 lembar
sertifikat back to back dengan nilai Rp. 13,8 milyar da n Rp.
60,0 milyar sertifikat dana PT Danareksa Unit Umum Seri
A,B,C, dan D.
Dalam Repelita IV, langkah-langkah pengembangan kegiatan
Pasar Modal dalam rangka usaha untuk menambah jumlah perusahaan-perusahaan yang go public dan mengarahkan emisi obligasi
oleh badan-badan usaha, juga menyangkut langkah-langkah untuk
menata kembali sejumlah peraturan-peraturan di bidang pasar
modal, sehingga diharapkan aktivitas pasar modal dapat lebih
ditingkatkan pada waktu-waktu yang akan datang. Rencananya
akan diproyeksikan sekitar 90 emisi saham dan obligasi, dengan nilai emisi secara keseluruhan diperkirakan Rp. 2 trili yun. Selain itu sedang dipersiapkan pengembangan pasar modal
pra bursa (bursa seksi kedua) Serta penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pasar Modal.
IV/112
Kegiatan perasuransian selama Repelita I masih belum memberikan hasil sebagaimana yang kita harapkan. Namun sejak Re pelita II sejalan dengan kemantapan dalam kehidupan perekono mian dan lajunya pembangunan nasional, usaha perasuransian
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Perusahaan-perusahaan asuransi memegang peranan yang semakin penting dalam
menghimpun dana masyarakat yang dapat digunakan untuk pembia yaan pembangunan.
Kebijaksanaan perasuransian selama periode 1982/83 1984/85 diarahkan terutama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam usaha asuransi serta mengembangkan obyek -obyek
asuransi baru. Usaha-usaha Pemerintah selama ini adalah melakukan pembinaan dan pengawasan di bidang permodalan, orga nisasi dan managemen serta tenaga kerja dalam perusahaanperusahaan asuransi.
Usaha-usaha di sektor asuransi kerugian meliputi kegiatan
perusahaan asuransi kerugian berikut kantor-kantor cabangnya,
perusahaan reasuransi, perusahaan adjuster, broker, agen dan
kantor perwakilan. Hingga akhir Maret 1985 jumlah perusahaan
asuransi kerugian meliputi 65 buah, perusahaan reasuransi 3
buah, perusahaan adjuster 8 buah, broker 29 buah, agen 130
buah dan kantor perwakilan perusahaan asuransi kerugian asing
6 buah.
Dalam usaha meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi kerugian serta agar dapat melindungi
kepentingan masyarakat, selain pengawasan tidak langsung telah pula dilakukan pemeriksaan secara langsung terhadap per usahaan-perusahaan asuransi kerugian. Selain itu juga turut
ditangani masalah-masalah tentang jaminan kredit ekspor, asuransi ekspor serta komputerisasi data asuransi kerugian.
Hasil dari perkembangan kegiatan asuransi kerugian tercermin
dari semakin meningkatnya dana investasi perusahaan asuransi
kerugian dan reasuransi yang dalam tahun 1 96 9 sebesar Rp. 1,1
milyar telah
meningkat
menjadi
Rp. 159,8 milyar dalam tahun 1983.
Perkembangan kegiatan asuransi jiwa juga menunjukkan kemajuan yang cukup menggembirakan, tercermin dari peningkatan
dana investasi perusahaan asuransi jiwa yang pada tahun 1969
berjumlah Rp. 30 juta telah berkembang menjadi Rp. 29,1 milyar tahun 1 97 8 dan Rp. 570,4 milyar tahun 1983. Selanjutnya
perlu dicatat bahwa dalam tahun 1983 jumlah pemegang polis
dibandingkan penduduk telah meningkat menjadi 1,7%.
IV/113
Berbagai kebijaksanaan yang menyangkut asuransi jiwa antara lain adalah ketentuan mengenai deposito wajib, persya ratan modal, penanaman dana dalam jenis-jenis investasi menurut peraturan yang berlaku serta ketentuan tentang perusahaan
asuransi jiwa patungan. Dalam kebijaksanaan pada 1 Januari
1983 telah dikeluarkan 2 macam polis asuransi jiwa, yaitu po lis rupiah tanpa indeks dan polis rupiah dengan indeks. Dalam
hal polis rupiah dengan indeks besarnya klaim tebusan dan
uang pertanggungan diperhitungkan terhadap indeks asuransi
jiwa.
Bidang asuransi sosial terutama menangani kesejahteraan
sosial pegawai negeri, kecelakaan lalu-lintas, masalah tenaga
kerja perusahaan dan lain-lain. Jumlah perusahaan asuransi
sosial hingga tahun 1984/85 tetap yaitu sebanyak 5 buah perusahaan, terdiri dari PT (Persero) Taspen, PT (Persero) Asu ransi Kerugian Jasa Raharja, Perum Asabri, Perum Astek dan
Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan Pusat (Askes).
Sebagai hasil dari pembinaan-pembinaan yang
dilakukan terhadap perusahaan asuransi sosial selama ini, maka besarnya dana
investasi di bidang asuransi
sosial terus berkembang dari
Rp. 1,6 milyar tahun 1969 menjadi Rp. 570,4 milyar dalam
tahun 1983.
Secara keseluruhan dana investasi perusahaan-perusahaan
asuransi telah mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari
Rp. 3,0 milyar dalam tahun 1969 menjadi Rp. 900,1 milyar dalam
tahun 1983. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor asuransi
didalam pengerahan dana dari masyarakat tidak kecil artinya.
Dalam Repelita IV sedang disusun Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang usaha perasuransian yang akan mengatur tata
cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan di bidang asuransi.
IV/114
Download