KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Rangkaian kegiatan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama Repelita I, II dan III, sampai dengan tahun pertama Repelita IV, senantiasa tak terlepas dari berbagai ikhtiar rasional untuk dapat menjamin tersedianya dana pembiayaan pembangunan. Berbagai upaya yang diarahkan secara optimal, telah memungkinkan terwujudnya landasan pembangunan yang semakin kokoh dan tercermin pada kemampuan yang semakin mantap untuk memperbesar tabungan dalam negeri. Kesemua ikhtiar ini tetap tertuju pada sasaran dan tujuan pembangunan jangka panjang, seperti yang telah ditentukan di dalam GBHN. Dalam hubungan ini usaha untuk dapat mencapai keseimbangan yang serasi dan terkait antara realisasi pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas nasional, selama periode 1969/70 sampai dengan 1984/85 telah ditunjang dan dimungkinkan oleh adanya berbagai perangkat sarana yang semakin efektif di bidang keuangan negara, moneter serta lembaga-lembaga keuangan. Kegiatan pembangunan sejak Repelita I, telah diarahkan secara sadar untuk mencapai berbagai sasaran jangka menengah dan jangka panjang, sebagaimana dicantumkan di dalam GBHN. Dalam hal ini, keuangan negara khususnya APBN, merupakan wadah rencana operasional tahunan dari setiap Repelita, yang pelaksanaannya telah berjalan sejak tahun 1969/70, sebagai tahun pertama Repelita I, sampai dengan tahun 1 98 4 /85, sebagai tahun pertama Repelita IV. Kebijaksanaan keuangan negara dalam tahun 1984/85 tetap dilandasi oleh prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis, yang telah dianut secara konsisten pada setiap tahun pelaksanaan Repelita serta sesudah tahun 1966 pada umumnya. Prinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1 96 6, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber utama dari suatu hyperinflasi, yang pada tahun 196 6 misalnya, masih mencapai 650 % dengan segala akibat negatifnya pada kegiatan pembangunan. Dengan telah dihilangkannya sifat inflatoir dari pengelolaan keuangan negara sesudah tahun 1966, maka peranan APBN sebagai pendorong dan pengarah kegiatan pembangunan, menjadi semakin besar. Dalam realisasi tahun 1 98 4 / 85 , komponen pengeluaran pembangunan dari APBN, IV/3 telah mencapai jumlah Rp 9.951,9 milyar dibanding dengan Rp. 2.555,6 milyar dalam tahun 1978/79 dan Rp 57,9 milyar dalam tahun 1968, ketika laju inflasi tahun 1984/85 adalah 3,64 %, tahun 1978/79 adalah 11,79 %, dalam tahun 1969/70 adalah 10,65 %, sedang dalam tahun 1968 laju inflasi masih relatif tinggi sebesar 85,1 %. Berlandaskan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis, maka berbagai kebijaksanaan di bidang penerimaan dan pengeluaran telah berhasil untuk tidak hanya memantapkan stabilitas nasional tetapi sekaligus mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan sesuai dengan Trilogi Pembangunan. Berbagai sarana kebijaksanaan tersebut senantiasa diusahakan untuk disempurnakan yang dimungkinkan oleh tingkat perbaikan yang telah tercapai pada tahap yang bersangkutan maupun dalam rangka usaha penyesuaian terhadap berbagai masalah baru yang timbul agar tetap dapat merealisasikan berbagai sasaran pembangunan secara optimal. Dengan telah terciptanya landasan yang lebih kokoh pada akhir Repelita III, maka dalam tahun pertama Repelita IV telah dimungkinkan untuk menyempurnakan landasan perundangundangan di bidang perpajakan. Selain itu, dalam akhir Repelita III kegiatan pembangunan juga telah dipengaruhi resesi ekonomi dunia, yang akibatnya masih terasa ketika memasuki tahun pertama Repelita IV ini. Dalam hubungan ini telah diusahakan berbagai kebijaksanaan untuk mempertajam prioritas dibidang pengeluaran negara. Pengeluaran rutin yang diusahakan secara ofisien, telah ikut mengusahakan jumlah tabungan Pemerintah yang makin membesar untuk membiayai pengeluaran pembangunan. Melalui berbagai penyempurnaan kebijaksanaan tersebut, telah dapat dipelihara momentum kegiatan pembangunan yang meningkat dan berkesinambungan dalam lingkungan ekonomi dunia yang tak menentu. Dengan telah disempurnakannya landasan perundang-undangan perpajakan maka realisasi jumlah penerimaan dalam negeri tetap dapat ditingkatkan dalam tahun 1984/85, sehingga mencapai jumlah Rp. 15.905,5 milyar. Jumlah ini merupakan suatu kenaikan terhadap realisasi yang dicapai pada tahun terakhir Repelita III, sebesar Rp. 14.432,7 milyar dan terhadap tahun 1973/74 serta tahun 1968 ketika realisasinya masing-masing mencapai Rp. 967,7 milyar dan Rp. 149,7 milyar. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan jumlah dan mutu IV/4 Pelayanan kepada masyarakat dan pemeliharan hasil-hasil pembangunan, pengeluaran rutin menunjukkan pula peningkatan. Bila dalam tahun 1978/79, jumlah pengeluaran rutin baru mencapai Rp. 2.743,7 milyar, maka pada tahun 1983/84 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 8.411,8 milyar, yang berarti suatu peningkatan sebesar Rp. 5.668,1 milyar, atau ratarata meningkat sebesar 25,1 % setiap tahunnya. Kemudian dalam tahun pertama Repelita IV yaitu tahun 1984/85 jumlah pengeluaran rutin tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.429,0 milyar yang berarti peningkatan sebesar Rp. 1.017,2 milyar atau 2,1 % terhadap tahun 1983/84. Tekad untuk menjadi semakin mandiri dalam pembiayaan pembangunan serta kemajuan di bidang pengelolaan keuangan negara selama ini tercermin pada meningkatnya pertumbuhan tabungan Pemerintah yang dapat dihimpun dalam setiap tahun anggarannya. Tabungan Pemerintah dalam perkembangannya selalu menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dalam tahun terakhir Repelita I jumlah tabungan Pemerintah baru mencapai Rp. 254,4 milyar, maka dalam tahun terakhir Repelita II jumlah tabungan tersebut telah mencapai Rp. 1.522,4 milyar atau hampir 6 kalinya. Lima tahun kemudian, yaitu dalam tahun terakhir Repelita III, jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 6.020,9 milyar, suatu kenaikan sebesar Rp. 4.498,5 milyar, atau rata-rata 31,7 % per tahun. Jumlah tabungan Pemerintah yang berhasil dihimpun tersebut telah meningkat lagi menjadi Rp. 6.476,5 milyar pada tahun 1984/85 atau meningkat dengan Rp. 455,6 milyar dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III. Peningkatan-peningkatan yang cukup berarti tersebut telah dicapai berkat upaya peningkatan penerimaan dalam negeri melalui berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan potensi sumber dana dari dalam negeri, sementara pengelolaan pengeluaran rutin selalu diarahkan kepada pendayagunaan dana yang tersedia secara lebih efisien tanpa mengurangi mutu pelayanan yang disediakan bagi masyarakat. Tabungan Pemerintah yang setiap tahun meningkat tersebut, bersama-sama dengan bantuan luar negeri membentuk dana pembangunan yang selanjutnya digunakan untuk membiayai proyekproyek pembangunan. Semakin berkembangnya dana pembangunan berarti semakin luas jangkauan pembangunan yang dapat dilaksanakan. Pada tahun terakhir Repelita II jumlah dana pembangunan mencapai jumlah sebesar Rp. 2.557,9 milyar, dan selanjutnya lima tahun kemudian, yaitu pada tahun terakhir Repelita III, jumlah tersebut telah mencapai Rp. 9.903,3 milyar, yang berarti suatu peningkatan rata-rata sebesar 31,1 % se- IV/5 tiap tahunnya. Dalam tahun 1984/85 jumlah tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.954,5 milyar. Dana pembangunan yang terus meningkat tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan baik secara sektoral maupun regional. Jumlah pengeluaran pembangunan dalam terakhir Repelita II, adalah R p . 2 . 5 5 5 , 6 milyar. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp. 9 . 8 9 9 , 2 milyar dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 , yang berarti telah meningkat sebesar Rp. 7.343,6 milyar atau rata-rata 3 1 , 1 % setiap tahunnya dalam kurun waktu Repelita III. Pengeluaran tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9 . 9 5 1 , 9 milyar dalam tahun 1984/85, yang berarti Rp. 52,7 milyar lebih besar dari pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya. Ringkasan realisasi APBN dalam periode 19 68 - 1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Langkah-langkah melalui perangkat sarana kebijaksanaan moneter, yang telah ditempuh, sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1984/85, dapat diikuti dari perkembangan jumlah uang beredar, dana perbankan, jumlah dan arah penggunaan kredit, suku bunga dan perkembangan harga. Kebijaksanaan jumlah uang beredar menyangkut usaha untuk memperlancar kegiatan roda perekonomian dan mengusahakan serta mempertahankan stabilitas harga-harga serta sekaligus dalam hubungan yang terkait, mencapai tujuan pemerataan. Periode Repelita I merupakan awal rangkaian pelaksanaan kegiat an pembangunan secara terarah setelah berhasil diciptakan pra-kondisinya dalam bentuk pemulihan stabilitas harga-harga dari keadaan hyperinflasi pada periode sebelumnya. Kebijaksanaan jumlah uang beredar yang telah terarah dan terkendali juga terkait dengan keberhasilan untuk kembali menegakkan disiplin pelaksanaan kebijaksanaan keuangan negara. Jika dalam tahun 1 9 6 8 jumlah uang beredar baru mencapai jumlah sebesar R p . 1 1 3 , 9 milyar, maka dalam tahun 1 9 7 3 / 7 4 , telah meningkat mencapai jumlah R p . 7 8 4 , 3 milyar. Serasi dengan semakin mantapnya stabilitas harga-harga dan semakin meningkatnya laju kegiatan pembangunan, maka jumlah uang beredar telah mening kat sampai jumlah R p . 8 . 9 8 8 , 4 milyar pada akhir pelaksanaan tahun pertama Repelita IV. Bersamaan dengan telah dapat diciptakannya tingkat keseimbangan moneter, maka jumlah dana pembangunan dan jumlah perkreditan yang dalam tahun 1 9 6 8 baru mencapai jumlah Rp. 7 6 , 6 milyar dan R p . 1 2 6 , 0 milyar sedangkan dalam tahun IV/6 TABEL IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Uraian Penerimaan Dalam Negeri Pengeluaran Rutin Tabungan Pemerintah Dana Bantuan Luar Negeri (Bantuan Program) (Bantuan Proyek) Dana Pembangunan Pengeluaran Pembangunan Surplus/Defisit 1968 149,7 149,7 57,9 (35,5) (22,4) 57,9 57,9 - 1973/74 (Akhir Repelita I) 967,7 713,3 254,4 203,9 (89,8) (114,1) 458,3 450,9 + 7,4 1978/79 (akhir Repelita II) 4.266,1 2.743,7 1.522,4 1.035,5 (48,2) (987,3) 2.557,9 2.555,6 +2,3 1982/83 12.418,3 6.996,3 5.422,0 1.940,0 (15,1) (1.924,9) 7.362,0 7.359,6 + 2,4 1983/84 (akhir Repelita III) 14.432,7 8.411,8 6.020,9 3.882,4 (14,9) (3.867,5) 9.903,3 9.899,2 + 4,1 1984/85 15.905,5 9.429,0 6.476,5 3.478,0 (69,3) (3.408,7) 9.954,5 9.951,9 +2,6 IV/7 GRAFIK IV – 1 RINGKASAN REALISASI, ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1968 – 1984/85 IV/8 1984/85, jumlah-jumlah tersebut telah mencapai masing-masing Rp.16.687,8 milyar dan Rp.19.636 milyar. Keberhasilan kebijaksanaan moneter, terlebih nyata lagi tercermin dalam perkembangan tingkat harga-harga yang langsung mempengaruhi daya beli masyarakat luas, dari 85,1% dalam tahun 1968 menjadi 3,6% dalam tahun 1984/85. Dengan pulihnya serta meningkatnya kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah, maka telah dapat diusahakan pengembangan dan penyempurnaan di bidang lembaga perbankan serta lembaga-lembaga keuangan pada umumnya. Jumlah bank-bank umum yang dalam tahun 1973/74 baru mencapai 123 buah, pada akhir tahun 1984/85 telah meningkat mencapai 1.111 buah. Selain itu juga telah dikembangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang sejak tahun 1973/1974 telah mencapai jumlah 10 buah. Melalui berbagai penyempurnaan dan penyesuaian kebijaksanaan yang lainnya maka telah dapat ditingkatkan tabungan masyarakat, yang bersama-sama dengan tabungan pemerintah telah memperbesar kemungkinan pembiayaan pembangunan, sesuai dengan GBHN. B. KEUANGAN NEGARA Semakin meningkat dan meluasnya pembangunan yang dilaksanakan, memerlukan penyediaan dana yang semakin berkembang. Di samping itu dengan akan terus berkurangnya peranan sektor minyak bagi penerimaan negara, maka perlu ditempuh langkahlangkah kebijaksanaan yang mendorong peningkatan pengerahan sumber-sumber dana di luar minyak dan gas alam. Usaha-usaha peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut, senantiasa dilaksanakan dalam rangka menunjang upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan, upaya meningkatkan pertumbuhan kegiatan pembangunan serta mempertahankan stabilitas ekonomi nasional. Sejak Repelita I telah ditempuh berbagai langkah kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang perpajakan antara lain berupa penyesuaian tarip pajak, serta penyempurnaan di bidang administrasi pemungutan pajak. Dalam hubungan ini, menjelang awal Repelita IV telah disahkan beberapa undang-undang perpajakan baru sebagai pengganti undang-undang perpajakan lama yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan alam dan gerak pembangunan dewasa ini. Sistem perpajakan baru ini lebih mencerminkan kesederhanaan prosedur, dan lebih meningkatkan kepastian hukumnya. maan Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dalam negeri-negeri yang pada tahun 1978/79 penerisebagai IV/9 akhir tahun pelaksanaan Repelita II baru mencapai Rp. 4.266,2 milyar, meningkat menjadi Rp. 14.432,7 milyar pada tahun 1983/84 atau berarti selama pelaksanaan Repelita III penerimaan dalam negeri setiap tahunnya telah meningkat rata-rata sebesar 27,6%. Dalam tahun anggaran 1984/85, sebagai tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan dalam negeri mencapai jumlah sebesar Rp. 15.905,5 milyar, yang berarti meningkat sebesar 10,2% dari tahun terakhir Repelita III. Perkembangan realisasi penerimaan dalam negeri dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2. 1. Penerimaan Dalam Negeri a. Penerimaan dari Minyak dan Gas Alam Penerimaan dari minyak bumi dan gas alam sampai saat ini masih merupakan sumber penerimaan negara yang paling dominan. Namun demikian, harganya di pasar minyak dunia sejak awal tahun 1981 mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan sehingga mempengaruhi pertumbuhan penerimaan negara dari sektor ini. Hal sama terjadi dalam tahun 1975. Perkembangan harga minyak dalam tahun 1979 meningkat dengan pesat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1981 dengan harga patokan minyak ekspor Indonesia mencapai US $ 35,00 per barrel. Sebelum munculnya krisis energi yang pertama pada tahun 1973, harga minyak dunia hanya mencapai tingkat US $ 3.40 per barrel. Dalam tahun 1981, seperti pada tahun 1975, berlangsung resesi dunia dan terjadi berbagai perubahan struktural yang berhubungan dengan pasaran minyak dunia, antara lain dengan adanya usaha konservasi dan diversifikasi dalam pemakaian bahan bakar, dan peningkatan produksi minyak negara-negara produsen non OPEC. Hal ini telah mengakibatkan adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran minyak dunia yang selanjutnya menyebabkan melemahnya tingkat harga minyak di pasaran dunia. Agar harga minyak di pasaran dunia dapat dipertahankan pada tingkat yang wajar maka OPEC telah mengambil langkah-langkah kebijaksanaan pengamanan, dimana dalam sidang daruratnya pada bulan Oktober 1984 di Jenewa, OPEC telah menetapkan untuk mengurangi produksinya dari batas tertinggi 17,5 juta barrel menjadi 16,0 juta barrel per hari. Sebagai kelanjutan dari penurunan tersebut, telah pula ditentukan kuota baru yang lebih rendah kepada anggota-anggotanya. Kemudian untuk mengatasi semakin memburuknya harga minyak, dalam pertemuan luar biasa para menteri perminyakan OPEC di Jenewa bulan Januari 1985, telah pula diputuskan untuk melepaskan kaitan harga minyak pada minyak ringan Arab (ALC) se- IV/10 TABEL IV – 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1968 – 1984/85 (dalam milyar rupiah) Jenis Penerimaan Penerimaan Minyak bumu Dan gas alam Penerimaan di luar minyak Bumi dan gas alam Jumlah 1968 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (akhir Repelita II) 1982/83 1983/84 (akhir Repelita III) 1984/85 33,3 382,2 2.308,7 8.170,4 9.520,2 10.429,9 116,4 149,7 585,5 967,7 1.957,4 4.266,1 4.247,9 12.418,3 4.912,5 14.432,7 5.475,6 15.905,5 IV/11 GRAFIK IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1968 - 1984/85 IV/12 bagai harga patokan, dan ditempuh pula penurunan harga pembeda dari sekitar US $ 4,00 menjadi US $ 2,40 per barrel. Dengan adanya ketentuan kuota baru dan kesepakatan tentang penurunan harga pembeda tersebut, maka Indonesia sejak bulan Nopember 1984 mendapatkan pengurangan kuota produksi sebesar 111.000 barrel per hari dan penurunan harga minyak (Minas) dari US $ 29,53 menjadi US $ 28,53 per barrel yang mulai berlaku 1 Februari 1985. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut serta dengan telah sedikit pulihnya perekonomian dunia, diharapkan untuk masa mendatang harga minyak akan berada pada tingkat yang lebih wajar. Realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam Indonesia umumnya meningkat terutama selama pelaksanaan Repelita II dan Repelita III. Apabila dalam tahun terakhir Repelita II yaitu tahun 1978/79 , jumlah penerimaan ini baru mencapai Rp. 2.308,7 milyar, maka lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III, penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 9.520,2 milyar atau kenaikan rata-rata sebesar 32,7% per tahun. Selanjutnya jumlah tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 1 0 . 4 2 9 , 9 milyar pada tahun 1984/85, yang berarti telah meningkat dengan Rp. 90,7 milyar atau 9,6 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas alam dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3. b. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam Usaha peningkatan penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam dalam rangka menghimpun dana yang bersumber dari dalam negeri terus dilakukan. Kebijaksanaan di bidang penerinaan di luar minyak bumi dan gas alam tersebut pada awal Repelita IV antara lain berupa pelaksanaan undang-undang perpajakan baru, yang selain dimaksudkan agar dapat meningkatkan penerimaan negara, juga diusahakan agar dapat lebih menggairahkan investasi dunia usaha, melancarkan kegiatan perdagangan, melindungi barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri, mendorong terciptanya pola hidup sederhana dan menjamin stabilitas harga. Sehubungan dengan telah disahkannya undang-undang perpajakan yang baru, yang terdiri dari Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Mengingat bahwa masyarakat belum sepenuhnya siap untuk dapat melaksanakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, maka berdasarkan Per- IV/13 TABEL IV – 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Jenis Penerimaan 1968 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (akhir Repelita II) 1982/83 1983/84 (akhir Repelita III) 1984/85 Penerimaan dari Minyak bumi 33,3 382,2 2.308,7 7.449,8 8.522,2 8.937,0 Penerimaan dari gas alam -- --- --- 720,6 998,0 1.492,9 33,3 382,2 2.308,7 8.170,4 9.520,2 10.429,9 Jumlah IV/14 GRAFIK IV - 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1968 - 1984/85 IV/15 aturan Pemerintah No. 1 Tahun 1985, pelaksanaannya ditangguhkan sampai 1 April 1985. Dengan demikian penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1984/85 terdiri dari penerimaan-penerimaan pajak penghasilan, pajak penjualan, bea masuk, cukai, pajak ekspor, penerimaan pajak lainnya, Ipeda dan penerimaan bukan pajak. Selain ditempuh langkah-langkah kebijaksanaan perpajakan yang di dalamnya mencakup unsur -unsur kesederhanaan, pemerataan dan kepastian, yang pada gilirannya akan dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan, telah pula dilaksanakan langkah langkah kebijaksanaan penyesuaian tarip di bidang bea masuk, cukai, pajak, ekspor, Ipeda, dan pajak-pajak lainnya. Selama pelaksanaan Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita IV, penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kalau dalam tahun 1978/79 penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai jumlah sebesar Rp. 1.957,4 milyar, maka dalam tahun 1983/84 penerimaan tersebut telah mencapai Rp. 4.912,5 milyar. Hal itu berarti bahwa selama Repelita III telah ter jadi peningkatan rata-rata sebesar 20,2% per tahun. Selanjutnya dalam tahun 1984/85, sebagai tahun awal Repelita IV, penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai Rp 5.475,6 milyar atau meningkat 11,5% dari tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan diluar minyak bumi dan gas alam dapat diikuti pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4. Kebijaksanaan di bidang pajak penghasilan, di samping diarahkan untuk dapat mengingatkan penerimaan negara, juga dimaksudkan agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak guna ikut berperanserta di dalam membiayai pembangunan yang sedang dilaksanakan. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, sistem pemungutannya tetap berpegang pada asas pemerataan dan keadilan dalam pengenaan pajaknya dan sesuai dengan daya pikul masing-masing wajib pajak. Di samping itu lebih luasnya dasar pengenaan pajak, terutama dengan dimasukkannya semua jenis penghasilan ke dalam dasar pengenaan pajak, dan dengan diwajibkannya pega wai negeri untuk mengisi surat pemberitahuan (SPT), serta dengan dihapuskannya berbagai bentuk fasilitas dan pembebasan pajak, diharapkan akan semakin memperluas potensi penerimaan pajak penghasilan. Selain daripada itu untuk lebih memudahkan baik di dalam pemungutan maupun pembayaran pajak penghasilan, ditetapkan lapisan kena pajak dan penggolongan tarip yang lebih sederha- IV/16 TABEL IV - 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) 1968 1973/74 (Akhir Repelita I) 1. Pajak penghasilan 25,3 140,3 617,2 1.706,5 1.932,3 2.121,0 2. Pajak penjualan *) 9,2 54,6 221,1 476,6 575,2 637,2 3. Pajak penjualan impor *) 6,0 50,7 125,5 231,0 255,4 240,8 4. Bea Masuk 37,3 128,2 295,3 521,9 557,0 530,1 5. C u k a i 16,6 61,7 252,9 620,1 773,2 872,6 6. Pajak Ekspor 13,9 68,6 166,2 82,5 104,0 91,0 7. Pajak lainnya 3,4 12,1 24,7 68,5 64,0 138,4 Jenis Penerimaan 8. I p e d a 9• Penerimaan bukan pajak Jumlah : 1978/79 (Akhir Repelita II) 1982/83 1983/84 (Akhir Repelita III) 1984/85 19,5 63,1 105,2 132,4 157,2 4,7 49,8 191,4 435,6 519,0 687,3 116,4 585,5 1.957,4 4.247,9 4.912,5 5.475,6 *) Pajak Penjualan den Pajak Penjualan Impor, mulai dengan tahun anggaran 1985/86, masing-masing menjadi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. IV/17 GRAFIK IV –4 PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUNI DAN GAS ALAM 1968 – 1984/85 IV/18 na dan lebih rendah dari tarip di dalam undang-undang perpajakan sebelumnya. Tarip tersebut hanya terdiri dari tiga lapisan tarip yaitu sebesar 15%, 25%, dan 35%, masing-masing untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 10 juta, antara Rp. 10 juta sampai Rp. 50 juta, dan lebih dari Rp. 50 juta. Sedangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang tadinya disebut batas pendapatan bebas pajak (BPBP) untuk satu keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan tiga orang anak, ditingkatkan dari Rp. 1.050.000 menjadi Rp. 2.800.000. Realisasi penerimaan pajak penghasilan serta jenis-jenis penerimaan ekuivalennya, senantiasa menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun pelaksanaan Repelita II realisasi penerimaan berbagai jenis pajak penghasilan mencapai Rp. 617,2 milyar dan pada akhir tahun pelaksanaan Repelita III telah meningkat menjadi Rp. 1.932,3 milyar, atau peningkatan sebesar 213,1% selama Repelita III. Perkembangan realisasi penerimaan pajak penghasilan dalam tahun 1984/85 telah dapat mencapai jumlah sebesar Rp. 2.121,0 milyar yang berarti meningkat sebesar Rp 188,7 milyar dari tahun sebelumnya. Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984, yang ditetapkan berlaku mulai 1 April 1985 merupakan pengganti daripada Pajak Penjualan yang didasarkan atas Undang-undang PPn tahun 1951. Dengan dilaksanakannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut, di samping diharapkan akan dapat meningkatkan jenis penerimaan ini, juga dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh Pajak berganda yang terdapat pada sistem pajak penjualan yang lama. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem perpajakan yang baru ini pemungutannya didasarkan atas tambahan nilai, di samping lebih menekankan unsur kesederhanaan dan kepastian di dalam pengenaan pajaknya, penetapan taripnya hanya terdiri dari dua tarip yaitu 0% dan 10%. Dalam tahun 1984/85, seperti tahun-tahun sebelumnya realisasi jenis penerimaan ini masih didasarkan atas sistem Pajak Penjualan yang lama. Dalam tahun 1978/79 realisasi penerimaan pajak penjualan mencapai Rp. 221,1 milyar, yang selanjutnya meningkat menjadi Rp. 575,2 milyar dalam tahun 1983/84. Selama pelaksanaan Repelita III, penerimaan pajak penjualan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 22,1% setiap tahunnya. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 yang merupakan permulaan tahun pelaksanaan Repelita IV, penerimaan pajak penjualan telah dapat mencapai jumlah sebesar Rp. 637,2 milyar. Bila dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam tahun 1983/84, berarti meningkat sebesar Rp. 62,0 milyar atau 10,8%. IV/19 Di bidang bea masuk dan pajak penjualan impor, dalam rangka mendorong tingkat perkembangan industri dalam negeri terutama yang banyak menyerap tenaga kerja, sejak tahun pertama Repelita I senantiasa diadakan penyesuaian tarip bea masuk dan pajak penjualan impor secara bertahap. Penyesuaian tarip tersebut selain diarahkan untuk mendorong perkembangan investasi dalam negeri juga ditujukan untuk lebih memantapkan kestabilan harga-harga, melancarkan perdagangan, serta lebih meratakan hasil-hasil pembangunan. Untuk melindungi dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri terutama yang meng hasilkan nilai tambah yang tinggi serta menyerap banyak tena ga kerja dan menggunakan sumber daya dalam negeri, maka jenis industri tersebut diberikan keringanan pembebanan tarip serta keringanan pembebanan impor terhadap pemasukan bahan-baku/bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi. Dalam rangka mendorong pertumbuhan industri perakitan dalam negeri, kepada sektor tersebut diberikan perlindungan dengan tarip CKD yang lebih rendah dan tarip yang tinggi terhadap produk yang diimpor dalam keadaan built up/non-CKD. Begitu pula untuk melindungi industri pengolahan dalam negeri, terhadap impor produk-produk sejenis dikenakan tarip yang lebih tinggi. Berbagai langkah dan usaha tersebut di atas sekaligus merupakan upaya penghematan penggunaan devisa dan usaha untuk memperluas kesempatan kerja. Perkembangan realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor selalu menunjukkan peningkatan, kecuali dalam tahun 1982/83 dan 1984/85 ketika bea masuk menurun terhadap tahun sebelumnya serta dalam tahun 1984/85 ketika pajak penjualan impor menurun dari tahun 1983/84. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun 1978/79 baru mencapai Rp. 295,3 milyar dan Rp. 125,5 milyar, maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 557,0 milyar dan Rp. 255,4 milyar dalam tahun 1983/84. Penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut sedikit menurun, yaitu masing-masing menjadi Rp. 530,1 milyar dan Rp. 240,8 milyar, dalam tahun 1984/85. Penurunan realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut terutama dise babkan oleh adanya penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap nilai tukar dollar. Sebagai akibatnya nilai barang import terutama yang terkena tarif yang tinggi umumnya barang konsumsi, menurun jumlahnya. Di samping itu juga disebabkan oleh komposisi barang-barang impor yang cenderung mengarah pada bahan baku/penolong dan barang modal serta barang-barang tertentu yang secara umum tarifnya relatif rendah. Realisasi penerimaan cukai dari tahun IV/20 ke tahun menunjuk- kan peningkatan yang cukup mengesankan. Apabila realisasi penerimaan cukai dalam tahun 1978/79 baru mencapai Rp. 252,9 milyar, maka dalam tahun 1983/84 atau tahun terakhir Repelita III, penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 773,2 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 realisasi penerimaan cukai tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 872,6 milyar suatu kenaikan sebesar 12,9 % dari tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan cukai tersebut sebagian besar terdiri dari penerimaan cukai tembakau, dan hanya sebagian kecil saja berupa cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan. Di dalam perkembangannya, penerimaan cukai dipengaruhi antara lain oleh perkembangan pertumbuhan produksi, penyesuaian harga pita dengan harga jualnya, peningkatan daya beli masyarakat, serta intensifikasi dan verifikasi pemungutannya. Di bidang cukai tembakau, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan yang bertujuan mendorong dan menunjang peningkatan penerimaan jenis ini, antara lain menyangkut pelunasan hutang cukai serta kebijaksanaan lainnya seperti peningkatan pengawasan dan penertiban baik fisik maupun administratip. Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan di bidang cukai tembakau senantiasa diarahkan juga untuk tetap menunjang perkembangan industri rokok dan hasil tembakau dalam negeri terutama bagi produsen yang tergolong lemah dan banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini, sejak tanggal 1 0ktober 1984 terhadap perusahaan sigaret kretek tangan (SKT) yang produksinya lebih dari 4 milyar batang setahun dikenakan tarip 25 % dari harga pita cukai, yang produksinya antara 750 juta batang sampai dengan 4 milyar batang setahun dikenakan tarip 22,5 % dari harga pita cukai, sedangkan untuk produksi antara 100 juta sampai 750 juta batang setahun dikenakan tarip 20 % dari harga pita cukai. Bagi jenis produksi sigaret buatan mesin, baik sigaret putih mesin (SPM) maupun sigaret kretek mesin (SKM) dikenakan tarip tunggal yang besarnya 40 % dari harga pita cukai. Di samping kebijaksanaan di bidang cukai tembakau, juga dilakukan penyesuaian harga dasar dalam pemungutan cukai bir dari Rp. 400 per liter menjadi Rp. 500 per, liter yang berlaku sejak 1 Oktober 1983. Harga dasar cukai gula juga telah disesuaikan sejak bulan Mei 1984, yaitu untuk jenis SHS-I, SHS-II dan HS-I masing-masing sebesar Rp. 40.000,per kuintal, Rp. 39,850,per kuintal, Rp. 39,700,- per kuintal, yang sebelumnya masing-masing sebesar Rp. 35.000,- per kuintal, Rp. 34.850,- per kuintal, dan Rp. 34.700 per kuintal. Di lain pihak, realisasi penerimaan pajak ekspor sejak awal Repelita III menunjukkan kecenderungan menurun. Apabila IV/21 realisasi penerimaan pajak ekspor dalam tahun 1978/79 mencapai Rp. 166,2 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah menurun menjadi Rp. 104,0 milyar. Penerimaan pajak ekspor itu telah menurun lagi menjadi Rp. 91,0 milyar dalam tahun 1984/85 atau berkurang 12,5% dari tahun sebelumnya. Resesi ekonomi yang melanda dunia selama beberapa tahun belakangan ini, telah mengakibatkan lesunya permintaan terhadap komoditi ekspor dari negara-negara berkembang, yang selanjutnya berakibat kepada menurunnya harga beberapa komoditi utama di pasaran internasional. Akibat selanjutnya ialah penurunan nilai ekspor terutama ekspor non-migas yang mulai terasa dalam tahun 1980/81 yang pada gilirannya menyebabkan menurunnya penerimaan pajak ekspor. Karenanya dianggap perlu untuk mengambil berbagai langkah kebijaksanaan di bidang ekspor, antara lain berupa pemberian fasilitas yang diharapkan dapat merangsang dunia usaha untuk mendorong ekspor, seperti halnya penyediaan fasilitas kredit dan pemberian kemudahan prosedur ekspor. Se hubungan dengan itu dalam rangka upaya meningkatkan daya saing ekspor komoditi di luar minyak bumi dan gas alam di pa saran internasional, telah diambil kebijaksanaan memberikan keringanan pajak ekspor tambahan terhadap beberapa komoditi tertentu antara lain minyak kelapa sawit, crude stearin, dan refined bleached deodorized stearin yaitu dengan penurunkan taripnya dari masing-masing 37,18%, 13,18%, dan 18,48% menjadi masing-masing 10%, 0% dan 0%. Di samping itu guna meningkatkan ekspor bijih nikel serta bauksit, juga telah diturunkan tarip pajak ekspornya masing-masing dari 10% menjadi 0%. Realisasi penerimaan iuran pembangunan daerah (Ipeda) se nantiasa menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun terakhir Repelita II, yaitu pada tahun 1978/79, penerimaan Ipeda baru mencapai Rp. 63,1 milyar maka dalam tahun terakhir Repelita III yaitu tahun 1983/84 penerimaan tersebut menjadi Rp. 132,4 milyar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar 16,0%. Selanjutnya dalam pelaksanaan tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan Ipeda mencapai Rp. 157,2 milyar yang berarti meningkat sebesar 18,7% terhadap tahun terakhir Repelita III. Meningkatnya realisasi penerimaan Ipeda tersebut adalah karena berbagai langkah kebijaksanaan yang telah diambil, berupa perluasan pemungutan Ipeda yang tetap diarahkan pada tujuan pembebanan yang adil dan merata, terus dilakukannya penyempurnaan baik di bidang pendataan, administrasi maupun tatalaksana pembukuannya, pembinaan kerjasama yang lebih baik dengan Pemerintah Daerah, dan penyuluhan kepada masyarakat. IV/22 Juga telah diambil kebijaksanaan untuk menyederhanakan penggolongan tanah dan sistem pentaripannya, sehingga memudahkan pemungutannya serta menghasilkan pembebanan yang lebih adil dan merata. Untuk Ipeda sektor pedesaan, selain diterapkan cara pemungutan yang lebih praktis dan seragam juga diadakan pembedaan tarip antara tanah sawah dan tanah darat yang kondisinya sama tetapi berbeda dalam luas yang dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak. Sementara itu untuk Ipeda sektor perkotaan telah diadakan penyesuaian tarip yang mulai berlaku da1am tahun takwim 1983 yang disesuaikan dengan perkembangan nilai sewa/nilai jual tanah dan bangunan. Selanjutnya realisasi penerimaan pajak lainnya yang terdiri dari pajak kekayaan, bea meterai dan bea lelang menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Jika dalam tahun terakhir Repelita I I , penerimaan pajak lainnya baru mencapai Rp. 24,7 milyar, maka dalam tahun terakhir Repelita III, penerimaan pajak lainnya menjadi sebesar Rp. 64,0 milyar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar Rp. 21,0 milyar, sehingga rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar 21,0%. Kemudian dalam tahun pertama Repelita IV, penerimaan pajak lainnya mencapai Rp. 138,4 milyar yang berarti meningkat sebesar Rp. 74,4 milyar atau sebesar .116,3% dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan realisasi penerimaan pajak lainnya terjadi terutama karena adanya peningkatan penerimaan yang menonjol dari penerimaan bea meterai sekalipun realisasi penerimaan pajak kekayaan dan bea lelang setiap tahunnya juga menunjukkan peningkatan. Jenis penerimaan ini terutama ditujukan untuk lebih menyesuaikan pemikulan beban pajak sesuai dengan berbagai tingkat kemampuan anggota masyarakat. Dalam hubungan ini telah ditetapkan tarip baru untuk pajak kekayaan yaitu semula lima permil telah dinaikkan menjadi satu persen yang berlaku untuk perhitungan pajak kekayaan tahun 1983. Karena kebijaksanaan di bidang penerimaan dalam negeri tidak hanya diarahkan bagi peningkatan penerimaan semata-mata melainkan juga diarahkan untuk menunjang sektor-sektor yang perlu mendapat prioritas dan bimbingan, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi Unit Desa dan demi kelancaran pelaksanaan tata niaga cengkeh produksi dalam negeri, maka sejak bulan Maret 1980 telah diberikan keringanan berupa penurunan bea meterai. Atas tanda bukti pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan tata niaga cengkeh tidak dikenakan bea meterai kredit sebesar satu permil melainkan cukup dikenakan bea meterai umum Rp. 25,- tiap lembarnya. Penerimaan bukan pajak merupakan jenis penerimaan negara 1V/23 di luar pajak, bea masuk dan cukai, baik yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri yaitu antara lain terdiri dari penerimaan berbagai Departemen/Lembaga Non Departemen seperti penerimaan pendidikan, penerimaan penjualan, penerimaan jasa, penerimaan kejaksaan dan peradilan, penerimaan bagian Pemerintah dari laba perusahaan negara/bank negara, iuran hasil hutan dan royalty, serta berbagai jenis penerimaan lainnya. Dalam perkembangannya, realisasi penerimaan bukan pajak pada umumnya menunjukkan peningkatan pada setiap tahunnya. Bila dalam tahun 1978/79 yang merupakan tahun terakhir Repelita II penerimaan bukan pajak baru mencapai Rp. 191,4 milyar maka pada tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III penerimaan ini meningkat menjadi Rp. 519,0 milyar, yang berarti rata-rata meningkat sebesar 22,1% setiap tahunnya. Dalam tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan bukan pajak mencapai Rp. 687,3 milyar yang berarti naik sebesar Rp. 168,3 milyar atau 32,4% lebih tinggi dari tahun 1983/84. Meningkatnya realisasi penerimaan bukan pajak antara lain disebabkan terus dilakukannya usaha intensifikasi dan ekstensifikasi, dan peningkatan pengawasan penyetorannya yang dilaksanakan oleh Departemen/Lembaga badan usaha milik negara dan bank-bank Pemerintah. 2. Pengeluaran Rutin Sebelum tahun 1969/70, pengeluaran rutin masih relatif kecil sekali. Kemudian selama pelaksanaan Repelita I hingga Repelita IV pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan yang berarti, selaras dengan semakin meningkatnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini. Dengan semakin meningkatnya hasil-hasil pembangunan dituntut pula peningkatan dana pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih besar melalui pengeluaran rutin. Namun demikian, dalam pelaksanaan pengeluaran rutin selalu berpedoman pada kebijaksanaan pokok yang mengarah pada tercapainya sasaran peningkatan tabungan Pemerintah, peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara. Peningkatan tabungan Pemerintah ini ditempuh melalui usaha peningkatan penerimaan dalam negeri serta usaha penghematan pengeluaran rutin semaksimal mungkin tanpa mengorbankan tercapainya sasaran. Dengan demikian pengeluaran rutin tersebut harus dilaksanakan seefisien dan sehemat mungkin. Dalam tahun anggaran 1968 masih belum tercipta tabungan Pemerintah, dan baru pada awal pelaksanaan Repelita I, tahun 1969/70, dapat dibentuk tabungan Pemerintah. Tabungan Pemerintah ini IV/24 terus meningkat setiap tahunnya, yang menunjukkan keberhasilan usaha untuk meningkatkan dana pembangunan. Kenaikan belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom mencerminkan usaha peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara. Pengeluaran rutin secara keseluruhan dalam tahun 1984/85 telah mencapai Rp. 9.429,0 milyar, suatu kenaikan sebesar 12,1 % bila dibanding dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1968 pengeluaran rutin baru mencapai jumlah sebesar Rp. 149,7 milyar. Selama Repelita I pengeluaran rutin telah mencapai kenaikan rata-rata setahun sebesar 36,7 %, sedangkan selama Repelita II telah mencapai sebesar 30,9 % dan selama Repelita III mencapai 25,1 %. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin sejak tahun 1968 sampai dengan tahun pertama Repelita IV atau tahun 1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-5 dan Grafik IV-5. Belanja pegawai dalam tahun 1968 baru mencapai jumlah Rp. 78,3 milyar, sedangkan pada akhir Repelita I belanja pegawai mencapai Rp. 268,9 milyar atau mengalami kenaikan sebesar 243,4 % bila dibandingkan dengan tahun 1968. Pada akhir Repelita II, belanja pegawai mencapai sebesar Rp. 1.001,6 milyar atau sebesar 272,5 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan akhir Repelita I. Selanjutnya belanja pegawai mencapai sebesar Rp. 2.757,0 milyar dalam akhir Repelita III atau sebesar 175,3 % bila dibandingkan dengan akhir Repelita II. Sedangkan dalam tahun 1984/85 atau awal Repelita IV belanja pegawai mencapai Rp. 3.046,8 milyar. Perkembangan realisasi belanja pegawai sejak tahun 1968 sampai dengan awal Repelita IV dapat dilihat pada Tabel IV-6. Realisasi belanja barang juga terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dalam tahun 1968 realisasi belanja barang mencapai jumlah sebesar Rp. 29,1 milyar yang kemudian meningkat menjadi Rp. 110,1 milyar pada akhir Repelita I. Sedangkan pada akhir Repelita II realisasinya meningkat lagi menjadi Rp. 419,5 milyar atau 281,0 % lebih besar jika dibandingkan dengan akhir Repelita I. Selanjutnya pada akhir Repelita III realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.057,1 milyar atau 152,0 % lebih besar jika dibandingkan dengan akhir Repelita II sedang dalam tahun awal Repelita IV realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.182,8 milyar. Peningkatan belanja barang ini sejalan dengan peningkatan kegiatan pembangunan. Subsidi daerah otonom menampung bantuan kepada daerah terutama untuk membiayai belanja pegawai. Subsidi ini dalam IV/25 TABEL IV – 5 PENGELUARAN RUTIN 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Jenis Pengeluaran 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang a. Dalam Negeri b. Luar Negeri 3. Subsidi Daerah Otonom a. Irian Jaya b. Daerah Lainnya 4. Bunga dan Cicilan Hutang a. Dalam Negeri b. lLuar Negeri 5. Lain-lain Jumlah 1) 2) 3) 1968 78,3 29,1 (22,7) (6,4) 25,5 (4,6) (20,9) 10,0 (1,9) (8,1) 6,8 149,7 1973/74 (Akhir Repelita I) 268,9 110,1 (98,3) (11,8) 108,6 (10,3) (98,3) 70,7 (8,2) (62,5) 155,0 1) 713,3 Termasuk subsidi pangan Termasuk subsidi pangan dan BBM Termasuk subsidi BBM 1978/79 (akhir Repelita II) 1.001,6 419,5 (398,4) (21,1) 522,3 (22,1) (500,2) 534,5 (8,8) (525,7) 265,82) 2.743,7 1982/83 2.418,1 1.041,2 (1.007,0) (33,8) 1.315,4 (43,0) (1.272,4) 1.224,5 (19,8) (1.204,7) 997,12) 6.996,3 1983/84 (akhir Repelita III) 2.757,0 1.057,1 (1.007,0) (50,1) 1.547,0 (41,5) (1.505,5) 2.102,6 (29,8) (2.072,8) 948,13) 8.411,8 1984/85 3.046,8 1.182,8 (1.134,2) (48,6) 1.883,3 (-) 1.883,3 2.776,5 (39,3) (2.737,2) 539,53) 9.428,9 GRAFIK IV – 5 PENGELUARAN RUTIN 1968 – 1984/85 (dalam persen) IV/27 TABEL IV - 6 BELANJA PEGAWAI, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Janie Pengeluaran 1968 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (Akhir Repelita II) 1982/83 1983/84 (Akhir Repelita III) 1984/85 1. Tunjangan Beres 36,2 50,6 132,8 289,9 346,1 407,0 2. Gaji pegawai/pensiun 25,8 173,9 760,3 1.749,0 1.996,0 2.206,6 3. Uang makan/lauk pauk 9,4 16,8 51,2 254,9 261,3 271,4 4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 4,4 20,2 33,6 78,6 87,6 89,7 5. Belanja pegawai luar negeri 2,5 7,4 23,7 45,7 66,0 72,1 78,3 268,9 1.001,6 2.418,1 2.757,0 3.046,8 Jumlah : IV/28 perkembangannya selalu menunjukkan peningkatan yang sejalan dengan perkembangan realisasi belanja pegawai pada umumnya. Dalam tahun 1968 , realisasi subsidi daerah otonom mencapai Rp. 25,5 milyar yang kemudian meningkat menjadi Rp. 108,6 milyar dalam akhir Repelita I atau berarti 325,9% lebih besar bila dibandingkan dengan tahun 1968. Sedangkan dalam akhir Repelita II subsidi daerah otonom mencapai Rp . 522,3 milyar yang berarti 380,9% lebih besar dari realisasi akhir Repelita I. Selanjutnya pada akhir Repelita III realisasinya telah mencapai Rp. 1.547,0 milyar atau 196,2% lebih besar dari realisasi akhir Repelita II. Realisasi subsidi daerah otonom tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 1.883,3 milyar. Sementara itu pembayaran bunga dan cicilan hutang juga menunjukkan peningkatan yang berarti, terutama pembayaran untuk hutang luar negeri . Pembayaran bunga dan cicilan hutang ini merupakan kewajiban Pemerintah untuk membayar kembali angsuran dan bunga hutangnya kepada negara lain maupun kepada pihak ketiga di dalam negeri. Dalam tahun 1968, realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang mencapai sebesar Rp. 10,0 milyar dan pada akhir Repelita I telah mencapai Rp. 70,7 milyar. Sedangkan pada akhir Repelita II realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 534,5 milyar dan mencapai Rp. 2.102,6 milyar dalam tahun akhir Repelita III, yang terutama disebabkan oleh diadakannya kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 30 Maret 1983, yaitu dari Rp. 625,- menjadi Rp . 970,- per US $ 1,-. Dalam tahun 1984/85 realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 2.776,5 milyar. Selanjutnya lain-lain pengeluaran rutin seperti subsidi pangan dan BBM umumnya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun , sedang sejak tahun 1982/83 mulai menurun . Dalam lainlain pengeluaran rutin tersebut, subsidi BBM mencapai jumlah sebesar Rp. 1.021,7 milyar dalam tahun. 1980/81, dan mencapai jumlah sebesar Rp . 1.316,4 milyar dalam tahun 1981/82. Dalam tahun 1982/83 dan 1983/84 realisasi subsidi BBM menjadi lebih rendah masing-masing mencapai jumlah sebesar Rp. 961,5 milyar dan Rp. 928,1 milyar. Lebih rendahnya subsidi BBM terutama akibat kenaikan harga jual bahan bakar minyak pada tahun 1982 dan 1983, yang masing-masing mulai berlaku pada tanggal 1 April 1982 dan 7 Januari 1983. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 melalui usaha peningkatan efisiensi , subsidi BBM hanya mencapai Rp. 506,7 milyar atau mengalami penurunan sebesar 45,4 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan sejak akhir Repelita III subsidi pangan sudah tidak diberikan IV/29 lagi berhubung dengan keberhasilan usaha untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri. Pengeluaran rutin lain-lain yang dalam tahun 1 9 6 8 baru mencapai R p . 6, 8 milyar, dalam akhir Repelita III mencapai Rp. 9 4 8 , 1 milyar dan dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 hanya berjumlah Rp. 5 3 9 , 5 milyar, yang berarti mengalami penurunan sebesar 43,1 % bila dibandingkan dengan tahun 1983/84. 3 . Dana Pembangunan Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dituntut pula peningkatan dana pembangunan yang besar untuk membiayai pembangunan tersebut yang bersumber dari tabungan Pemerintah dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah merupakan selisih penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, sedangkan dana bantuan luar negeri terdiri atas nilai bantuan program dan bantuan proyek. Sesuai dengan tekad untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan kepada kekuatan sendiri, maka telah diusahakan untuk meningkatkan tabungan Pemerintah sebagai sumber utama pembangunan. Dengan demikian bantuan luar negeri hanya merupakan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan. Dalam tahun 1 9 6 8 jumlah dana pembangunan baru mencapai R p . 5 7 , 9 milyar yang seluruhnya berasal dari bantuan luar negeri. Selanjutnya dana pembangunan pada akhir Repelita I men capai R p . 4 5 8 , 3 milyar yang terdiri atas tabungan Pemerintah sebesar 5 5 , 5 % dan 4 4 , 5 % dari bantuan luar negeri. Peranan tabungan Pemerintah ini semakin meningkat, sehingga pada ta hun 1 9 8 2 / 8 3 merupakan 7 3 , 6 % dari dana pembangunan. Sedangkan dalam tahun 1983/84 jumlah dana pembangunan mencapai R p . 9 . 9 0 3 , 3 m i l y a r yang terdiri atas tabungan Pemerintah dan bantuan luar negeri masing-masing sebesar 6 0, 8 % dan 3 9, 2%. Selanjutnya dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 peranan tabungan Pemerintah mencapai sebesar 65,1% dan bantuan luar negeri sebesar 34,9% dari keseluruhan dana pembangunan yang berjumlah Rp 9.954,5 milyar. Untuk menjamin kelanjutan pembangunan, pelaksanaan penerimaan bantuan luar negeri selalu berpedoman bahwa pemberian bantuan tersebut tanpa ikatan politik. Di samping itu penggunaan bantuan luar negeri tersebut selalu diarahkan untuk pro yek-proyek yang bersifat produktif serta mendorong tercipta nya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kemampuan industri dalam negeri. Sedangkan di dalam jumlah dan persyaratannya selalu diusahakan agar sesuai dengan kemampuan pereko nomian nasional untuk membayar kembali. IV/30 Realisasi jumlah dan komponen dana pembangunan dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1984/85 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6. 4. Pengeluaran Pembangunan Pembangunan yang sedang dijalankan bangsa Indonesia melalui serangkaian program pembangunan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional seperti termaksud di dalam GBHN. Penyelenggaraan program-program pembangunan yang merupakan tugas yang diamanatkan oleh MPR tersebut, dilakukan melalui tahapan-tahapan Repelita yang pada tahun 1984/85 ini telah memasuki tahun pertama Repelita IV, dan merupakan tahap keempat dari Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang. Berkat kesungguhan serta kerja keras yang dilandasi oleh tekad untuk pembangunan dari segenap jajaran aparat pemerintah dan didukung oleh peran aktif serta peranserta seluruh bangsa Indonesia, maka hasil-hasil pembangunan yang dicapai telah menciptakan keadaan yang mantap untuk melanjutkan pembangunan tahap selanjutnya. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 1984/85 yang merupakan tahun pertama Repelita IV mencapai jumlah sebesar Rp. 9.951,9 milyar. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp.9.899,2 milyar, menunjukkan peningkatan sebesar Rp. 52,7 milyar, tetapi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1982/83, meningkat sebesar Rp. 2.592,3 milyar atau sebesar 35,3.%. Dengan anggaran sebesar Rp. 9.951,9 milyar yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp. 6.543,2 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp. 3.408,7 milyar, telah berhasil diselesaikan berbagai macam program pembangunan sektoral maupun regional. Perkembangan, dalam periode 1968-1984/85, dari realisasi jumlah pengeluaran pembangunan, dapat diikuti pada Tabel IV-8, Tabel IV9, Grafik IV-7, sedang realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dapat dilihat pada Tabel IV-10, Grafik IV-8 serta realisasi komponen bantuan proyeknya dapat diikuti pada Tabel IV-11, Grafik IV-9. Ditinjau secara sektoral, pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 9.951,9 milyar dalam tahun 1984/85 tersebut digunakan antara lain untuk membiayai program-program pembangunan di bidang ekonomi, terutama sektor pertanian dan pengairan, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pendidikan, sektor pertambangan dan energi, dan sektor pembangunan daerah, desa dan kota, dengan jumlah pengeluaran masing-masing sebesar Rp. 1.699,1 milyar, Rp. 1.428,3 milyar, Rp. 1.231,0 milyar, IV/31 TABEL IV - 7 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Tahun Anggaran 1968 Jumlah Dana Pembangunan 57,9 (100%) Tabungan Pemerintah - ( - Dana Bantuan Luar Negeri ) 57,9 (100%) 1973/74 458,3 (100%) 254,4 (55,5%) 203,9 (44,5%) 1978/79 2.557,9 (100%) 1.522,4 (59,5%) 1.035,5 (40,5%) 1982/83 7.362,0 (100%) 5.422,0 (73,6%) 1.940,0 (26,4%) 1983/84 9.903,3 (100%) 6.020,9 (60,8%) 3.882,4 (39,2%) 1984/85 9.954,5 (100%) 6.476,5 (65,1%) 3.478,0 (34,9%) IV/32 GRAFIK IV - 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1968 - 1984/85, (dalam persen) IV/33 TABEL IV – 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN M E N U R U T SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) No Sektor dan Sub Sektor, (1) (2) 1973/74 (Akhir Repelite I) (4) 1968 (3) 1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 98,1 Sub-sektor Pertanian Sub-sektor Pengairan 450 - 2. SEKTOR INDUSTRI (6) 91_ 2,9 1.699,1 641,7 289,4 639,7 1.234,6 273,2 464,5. 506,0 512,9 602,9 506,5 512,9 602,9 1.164.8 . 2.299.7 .17.7 406,6 758,2 1.640,2 659,5 236,3 911,4 1111,12 1.527.7 1.428,3 373,3 469,1 679,6 180,2 157,4 45,12) 31 47,6 271,8 Sub-sektor Pertambangan Sub-sektor Energi 4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 79,4 413,2 Sub-sektor Prasarana Jalan Sub-sektor Perhubungan Darat - ) ) Sub-sektor Perhubungan Lout - ) Sub-sektor Perhubungan Udara - ) Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi - ) Sub-sektor Pariwisata 22.42) 1 104,5 409,9 1983/84 (Akhir Re- 1984/85 ',elite III) (7) (a) 93~? . 157 - 3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1982/83. 186,7 263,6 33ye) Sub-sektor Industri 5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN K0PE8A8I 1978/79 (Akhir Repolite II) (5) 5730. 250,9 86,8 309,0 126,0 276,7 219,8 3,3 53,7 6,6 33,1 16,6 49,4 22,6 12,4 131,6 1 ~ 8,8 3,6 93,1 38,7 158,2 5 342, 314,0 40,6 28,5 456,4 421,6 . Sub-sektor Perdagangan Sub-sektor Koperasi 6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 94,7 436,(l Sub-sektor Tenaga Kerja 11,2 48,6 Sub-sektor Transmigrasi 83,5 387,4 398,6 360,1 2751 711,3 748,7 790,8 275,1 711,3 748,7 790,8 50,6 50,8 54,0 59,8 54,0 59,8 251,17) 703,2 1.032,1 1.231 0 226,3 15,8 626,9 56,7 944,6 1.110,9 67,5 85,5 Ott'1 57,8 61,5 7. SEKTOR PEM860888 N DAERAH, DESA DAN KOTA 69,8 Sub-sektor Pembangunan Daerah, Dees den Kota 8. SEKTOR AGAMA 0,6 Sub-sektor Agama 9. SEKT0R PENDIDIKAN, GENERASI MUDA, KEBUDAYAAN NASI0NAL DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA Sub-sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda Sub-sektor Pendidikan Kedinasan Sub-sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa IV/34 7.56) 7,5 36,9 9,07) 19,6 20,0 34,6 (Lanjutan Tabel IV - 8), IV/35 GRAFIK IV - 7 PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1968 - 1984/85 IV/36 TABEL IV - 9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (Akhir Repelita II) 1. Pembiayaan Departemen/Lembaga 167,3 851,0 2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah a. Bantuan Pembangunan Desa b. Bantuan Pembangunan Kabupaten/ Kotamadya c. Bantuan Pembangunan Dati I d. Irian Jaya e. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar f. Bantuan Pembangunan Kesehatan/ PUSKESMAS g. Bantuan Pembangunan dan Pemugaran Pasar h. Bantuan Penghijauan i. Bantuan Penunjangan jalan dan Jembatan Kabupaten j. Timor Timur k. Ipeda 85,7 (5,7) (19,2) (20,8) (3,3) (17,2) Jenis Pembiayaan 1968 ( ( ( ( 3. Pembiayaan lainnya a. Subsidi Pupuk b. Penyertaan Modal Pemerintah c. Lain-lain Jumlah IV/37 : 35,5 1982/83 1983/84 (Akhir Bepelita III) 1984/85 3.260,9 3.219,6 3.474,4 431,1 (24,0) 1.090,4 ( 88,4) 1.447,5 (91,6) 1.526,2 (92,8) (70,9) (86,8) ( 5,9 (111,8) ) (26,9) (193,9) (253,0) (267,4) (194,1) (253,0) (194,6) (253,0) (549,3) ( - ) (572,0) ( 80,3) (87,3) (64,6) (1,2) (36,0) ( 4,5) ( 49,6) (10,6) (59,4) (25,5) (61,2) (-) (4,5) (63,1) ( 42,4) (5,7) (105,2) (64,6) (5,2) (132,4) (101,1) (4,2) (157,2) 83,8 (33,0) (40,8) (10,0) 286,2 (82,6) (128,5) (75,1) 1.083,4 (420,1) (336,6) (326,7) 1.364,6 (324,2) (591,7) (448,7) 1.542,6 (731,6) (336,1) 336,8 1.568,3 5.434,7 ) ( - ) ) ) ) (19,5) 6.031,7 (474,9) 6.543,2 TABEL IV - 10 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) IV/38 (Lanjutan Tabel IV - 10) (1) (2) (3) 10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA (4) (5) 7,54) 57 76) 41,0 Sub-sektor 60606 tan Sub-sektor Kesejahteraan Sosial den Peranan Wanita Sub-sektor Kependudukan don Keluarga Berencana 11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN PEMUKIMAN 44,2 48,7 45,2 5,85) 371_3 129,5 165? 140,6 37,3 129,5 169,7 140,6 11,1 66,1 56,_6 60,5 11,1 66,1 56,6 60,5 418,2 505,9 45~ 418,0 505,9 451,7 _1c 0 58_3 27,5 32,6 7,0 50,3 27,5 32,6 128,2 8,1 109,9 6,8 15,3 23,3 25,9 27,1 86,7 96,1 84,0 5017 215_2 1d lllc2 50,7 218,2 184.,4 159,8 40,8 .12LI 235_9 188,_7 131,4 40,8 128,5 233,9 188,7 131,4 184,4 170 _6 145,9 184,4 170,6 145,9 5.434,7 6.031,7 6.543,2 12 ,122 108,8 - , 15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEHN0L011 DAN PENELITIAN 33,9 - 116. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH Sub-sektor Aparatur Pemerintah 18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP _ 11) Sub-sektor Somber Alam den Lingkungan Hidup Jumlah 35,5 153,1 42,7 4. SEKTOR PENERANGAN, PENS DAN KOMUNIKASI S05IAL Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha 2R,5_ 150,4 38,6 i2 17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA 245_8 149,0 48,1 Sub-sektor Pertahanan don Keamanan Nasional Sub-sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan don Teknologi Sob-sektor Penelitian 23__5_7 5,79) - Sub-sektor Penerangan don Komunikasi Social (8) 11,010) 12. SEKTOR HUKUM 13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL (7) - Sub-sektor Perumahan Rakyat don Pemukiman Sub-sektor Hukum (6) 336,8 1.568,3 1) Termasuk sektor Pertambangan 2) Sektor Energi coin 3) Merupakan penjumlahan dari sektor 5, 12 den 14 0/d 16 '4) Sektor K000hetan den Keluarga Berencana 5) Termasuk Kesejahteraan Sosial b) Termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa '7) Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa '8) Tidak termasuk Peranan Wanita '9) Jumlah sub-sektor Kesejahteraan sosial saja 10) Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana saja (1) Jumlah sektor/sub-sektor Somber Alan dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam sub-sektor Pertanian, sub-sektor Pengairan den Sub-Sektor Poe dan Telekomunikasi IV/39 GRAFIK IV - 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK 1968 - 1984/85 IV/40 TABEL IV - 11 REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) No. Sektor dan Sub Sektor (1) 1968 (2) (3) 1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 1973/74 1978/79 (Akhir Re- (Akhir Repelita I) pelita II) (4) (5) 18,6 152 472,11 55,0 80,2 78,2 22,7 107,6 266,4 2 8 _7 153mt 345,9 246 1 470,3 - 153,8 345,9 246,1 470,3 Sub-sektor Pertanian Sub-sektor Pengairan 2. SEKTOR I050010I Sub-sektor Industri 3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 27,5 135,2 1983/84 1982/83 (Akhir Re1984/85 pelita (III)_ (6) (7) (8) 100E 47,6 205,7 251,.(2 824,0 1.986.6 854,0 Sub-sektor Pertambangan - 45,2 387,9 1.599,0 200,6 Sub-Sektor Energi - 207,8 506,1 387,6 653,4 241,1 335,1 4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 25,3 600,6 Sub-sektor Prasarana Alan - ) 53,2 163,7 220,0 Sub-sektor Perhubungan Darat - ) 55,9 494,3 123,8 Sub-sektor Perhubungan Laut - ) 179,5 122,3 Sub-sektor Perhubungan Mara - ) 164,9 10,1 Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi - ) 46,9 Sub-sektor Pariwisata 247,0 2,7 5. SENIOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 5,83) 1,1 24,5 90,5 26,5 38,6 0,6 5,4 1,3 18,7 2,1 1,3 18,7 2,0 15,0 45,2 7m_7 2,6 12,4 45,2 70,4 Sub-sektor Perdagangan 0,1 Sub-sektor Koperasi 6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 11, Sub-sektor Tenaga Eerie 3,2 8,4 Sub-sektor Transmigrasi 5,3 7. SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH, DESA DAN KOTA Sub-sektor Pembangunan Daerah, Dose dan Kota i8 1,0 2,6 6,8 1,0 35,36) 24,2 16,1 34,8 0,2 22,3 21,6 1,9 6,8 7,9 8. SENIOR AGAMA Subsektor Agama 9. SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA, KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MARA ESA Sub-sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda Sub-sektor Pendidikan Kediaman Sub-sektor Kebudayaan Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa L_5_ 1 159,5 15,2 dan 0,36) 5,0 IV/41 (Lanjutan Tabel IV - 11) (1) (2) (3) 10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA (4) 121' 4 ) Sub-sektor Kesehatan Sub-sektor Kesejahteraan Sosial dan Peran Wanita Sub-sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN PEMUKIMAN 2.75) Sub-sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman (5) (6) (7) (8) 6 14,9 36.9 7T 15,8 3,9 50,5 5,97) 8,7 33,0 27,0 18.3 21c E 51.2 1 1 18,3 21,2 51,2 83,7 2 7) 2 3 .6 12. SEKTOR HUKUM Sub-sektor Hukum 13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL Sub-sektor Pertabanan den Keamanan Nasional 50.6 58,8 20.1 150,6 50,6 58,8 20,1 250,0 14. SEKTOR PENERANGAN, PENS DAN KOMUNIKASI SOSIAL 12 Sub-sektor Penerangan dan Komunikasi Sosial 12,9 3,8 15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI dan PENELITIAN Sub-sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sub-sektor Penelitian 8 2_63 183.2 80,0 7,4 1,1 1,0 146,8 40,1 25,3 36,4 39,9 24.4 151,1 ALI 3,5 24,4 132,2 4.3 46.8 45,2 160,3 46,8 45,2 160,3 9.1 22.6 87.9 16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH Sub-sektor Aparatur Pemerintah 17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha 33,1 18. SEKTOR SOMBER ALAN DAN LINGKUNGAN LINGKUNGAN HIDUP Sub-sektor Somber Alam dan Lingkungan Hidup Jumlah t 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 22,4 114,1 Termasuk sektor Pertambangan Sektor Energi Baja Penjumlahan dari sektor 5 B/d 8 dan 12 mid 17 8ektor Kesehatan dan Keluarga Berencana Baja Termasuk Kesejahteraan Sosial Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Naha Esa Tidak termasuk Peran wanita IV/42 987,3 9,1 22,6 83,9 1.924.9 3.867,5 3.408,7 GRAFIK IV - 9 REALISASI BANTUAN PROYEK, 1968 - 1984/85 IV/43 Rp. 1.147,7 milyar, dan Rp. 790,8 milyar. Sesuai dengan arah dan kebijaksanaan Repelita IV, penggunaan dana di kelima sektor pembangunan bidang ekonomi tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan yang makin merata bagi seluruh rakyat, yang berarti pula makin memperkokoh ketahanan nasional. Pengeluaran pembangunan melalui sektor pertanian dan pengairan sebesar Rp. 1.699,1 milyar merupakan peningkatan sebesar 86,1 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan 82,5 % diatas realisasi dalam tahun 1982/83. Pada akhir Repelita I dan akhir Repelita II realisasi pengeluaran melalui sektor ini baru mencapai masing-masing sebesar Rp. 98,1 milyar dan Rp. 450,3 milyar. Selanjutnya melalui pengeluaran pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata sebesar Rp. 1.428,3 milyar, telah dilaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan prasarana angkutan dan perhubungan, serta usahausaha untuk memperluas kepariwisataan dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa, perluasan lapangan kerja, di samping untuk memperkenalkan kebudayaan bangsa. Sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.231,0 milyar. Dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp. 1.032,1 milyar berarti meningkat sebesar 19,3 %, dan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1982/83 menunjukkan kenaikan sebesar Rp. 527,8 milyar atau 75,1 %. Pada akhir Repelita I realisasi pengeluaran sektor pendidikan baru mencapai jumlah sebesar Rp. 36,9 milyar. Sementara itu sektor pertambangan dan energi dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.147,7 milyar. Kegiatan pembangunan pada sektor pertambangan yang meliputi inventarisasi dan pemetaan, eksplorasi, dan eksploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral dan energi, dalam tahun 1984/85 terus ditingkatkan sehingga produksi dan ekspor pertambangan serta distribusi tenaga listrik yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat desa dan kota, serta untuk mendorong kegiatan ekonomi terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Realisasi pengeluaran pembangunan melalui sektor pembangunan daerah, desa dan kota, dalam tahun 1984/85 adalah sebesar Rp. 790,8 milyar yang berarti peningkatan sebesar Rp. 42,1 milyar dan Rp. 79,5 milyar dari ralisasi dalam tahun 1983/84 dan tahun 1982/83. Dalam tahun 1973/74 yang merupakan tahun terakhir Repelita I baru direalisasikan sebesar Rp. 69,8 milyar, sedangkan pada akhir Repelita II direalisasikan sebesar Rp. 275,1 milyar. Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga dalam tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 3.474,4 milyar, IV/44 rang berarti Rp. 254,8 milyar lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun 1983/84. Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga melihat pembiayaan proyek-proyek pembangunan sektoral dari segi departemen/lembaga. Realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah dalam tahun 1984/85 telah mencapai jumlah sebesar Rp. 1.526,2 milyar. Bantuan ini diberikan Pemerintah pusat dalam rangka menseimbangkan tingkat pembangunan antara berbagai daerah di samping memberikan kesempatan kepada Pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kondisi daerah. jumlah bantuan pembangunan yang berupa program-program Inpres, Ipeda dan bantuan Timor Timur selalu diusahakan untuk ditingkatkan setiap tahunnya. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan bagi daerah dapat diikuti pada Tabel IV-9. Bantuan pembangunan desa yang diberikan sejak tahun 1969/ 70, dimaksudkan untuk mendorong serta mengarahkan usaha-usaha swadaya gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya. Bantuan yang semula baru sebesar Rp. 2,6 milyar, selalu ditingkatkan tiap tahunnya sehingga pada akhir Repelita I, Repelita II, dan akhir Repelita III telah mencapai jumlah masing-masing sebesar Rp. 5,7 milyar, Rp. 24,0 milyar dan Rp. 91,6 milyar. Sedangkan pada tahun 1984/85 telah diberikan bantuan sebesar Rp. 92,8 milyar. Meningkatnya jumlah bantuan yang diberikan disebabkan bertambahnya jumlah desa serta ditingkatkannya besarnya bantuan tiap desa. Bila pada tahun 1969/70 besar bantuan tiap desa baru sebesar Rp. 100 ribu tahun 1975/76 ditingkatkan menjadi Rp. 300 ribu, dan menjadi Rp. 350 ribu dalam tahun 1977/78. Selanjutnya pada tahun 1979/80 ditingkatkan lagi menjadi Rp. 450 ribu, kemudian menjadi Rp. 750 ribu dan Rp. 1 juta untuk masing-masing tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Pada tahun 1982/83 jumlah bantuan ditingkatkan lagi menjadi Rp. 1,25 juta per desa, termasuk di dalamnya dana untuk kegiatan Pembiayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebesar Rp. 250 ribu. Bantuan pembangunan Kabupaten/Kotamadya diberikan sejak tahun 1970/71, dan besar bantuannya terutama didasarkan atas jumlah penduduk. Pada akhir Repelita I realisasinya baru mencapai sebesar Rp. 19,2 milyar, dan pada akhir Repelita II meningkat menjadi Rp. 70,9 milyar, kemudian meningkat lagi pada pada akhir Repelita III menjadi Rp. 194,1 milyar. Di samping didasarkan atas jumlah penduduk, kepada daerah-daerah yang masih jarang penduduknya, diberikan jumlah bantuan minimum yang jumlahnya juga ditingkatkan setiap tahunnya. Bila pada IV/45 tahun 1974/75 jumlah bantuan minimum adalah sebesar Rp. 16 juta per kabupaten/kotamadya, maka pada akhir Repelita II (1978/79) telah meningkat menjadi Rp. 50 juta, dan kemudian ditingkatkan lagi setiap tahunnya sehingga pada akhir Repeli ta III telah mencapai 160 juta per kabupaten/kotamadya. Atas dasar perkembangan jumlah penduduk, serta perkembangan besarnya bantuan per jiwa dalam tahun 1984/85 telah berhasil direalisasikan bantuan sebesar Rp. 194,6 milyar. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I adalah program Inpres yang pada mulanya merupakan sumbangan Pemerintah sebagai pengganti ADO (Alokasi Devisa Otomatis). Program Inpres ini terdiri dari bantuan yang penggunaannya ditetapkan serta yang diarahkan. Bantuan yang ditetapkan digunakan untuk membiayai penunjangan jalan dan jembatan, penggantian jembatan serta perbaikan dan peningkatan irigasi untuk eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sedangkan bantuan yang penggunaannya diarahkan membiayai proyek-proyek yang meningkatkan taraf hidup rakyat, mengembangkan daerah minus dan daerah kritis serta proyek-proyek lain yang penting dalam rangka pembangunan daerah. Pada akhir Repelita I realisasi bantuan pembangunan ini baru mencapai jumlah sebesar Rp. 20,8 milyar, tetapi pada akhir Repelita II telah mencapai jumlah sebesar Rp. 86,8 milyar, dan pada akhir Repelita III meningkat menjadi sebesar Rp. 253,0 milyar. Kenaikan ini disebabkan terutama karena ditingkatkannya jumlah bantuan minimum dan bantuan maksimum tiap propinsi. Apabila dalam tahun 1974/75 jumlah bantuan minimum hanya sebesar Rp. 500 juta, maka setelah mengalami kenaikan setiap tahunnya pada akhir Repelita II menjadi Rp. 2 milyar, dan pada akhir Repelita III telah menjadi Rp. 9 milyar untuk tiap propinsi. Program bantuan pembangunan sekolah dasar diberikan untuk pertama kalinya pada tahun 1973/74, dengan jumlah bantuan sebesar Rp. 17,2 , milyar. Pada mulanya Inpres ini hanya meliputi pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung SD, baik gedung SD negeri maupun swasta dan Madrasah Ibtidaiyah swasta yang ada serta penyediaan buku-buku pelajaran dan bacaan bagi anakanak SD. Kemudian pada akhir Repelita II diperluas lagi dengan pembangunan ruang kelas baru, dan pada tahun berikutnya diperluas lagi dengan pembangunan rumah kepala sekolah dan guru di daerah terpencil. Pada akhir Repelita III bantuan lebih ditingkatkan lagi, yaitu ditambah dengan penyediaan paket peralatan olah raga untuk sekolah dasar negeri dan swasta serta Madrasah Ibtidaiyah. Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, maka pengeluaran bagi bantuan pembangunan sekolah dasar yang pada tahun 1973/74 baru mencapai jumlah IV/46 sebesar Rp. 17,2 milyar, pada akhir Repelita II telah menjadi Rp. 111,8 milyar, dan pada akhir Repelita III telah mencapai jumlah sebesar Rp. 549,3 milyar. Dalam tahun 1984/85 realisasi bantuan pembangunan untuk sekolah dasar ini ditingkatkan la g i menjadi Rp. 572,0 milyar. Inpres saran kesehatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota, terus ditingkatkan jumlah bantuannya pada setiap tahunnya. Apabila pada akhir Repelita II bantuan yang diberikan baru mencapai Rp. 26,9 milyar, pada akhir Repelita III telah meningkat menjadi Rp. 87,3 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan yang diberikan ditingkatkan menjadi Rp. 64,6 milyar, berupa bantuan untuk obat-obatan, pembangunan gedung puskesmas baru, puskesmas pembantu, dan rumah dokter/paramedis. Di samping itu juga untuk puskesmas keliling, dan rehabilitasi puskes mas/puskesmas pembantu yang sudah ada serta pengadaan air bersih pedesaan. Dalam rangka melindungi para pedagang kecil golongan eko nomi lemah di daerah, maka sejak tahun 1976/77 telah diberikan bantuan subsidi bunga atas kredit pembangunan dan pemugaran pasar. Bantuan ini dipergunakan untuk membantu penye diaan tempat berjualan bagi para pedagang, khususnya para pedagang kecil golongan ekonomi, lemah dengan sewa semurah mungkin. Pada 1978/79 bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp. 1,2 milyar, sedangkan pada akhir Repelita III meningkat menjadi Rp. 10,6 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan yang diberikan mencapai jumlah sebesar Rp. 25,5 milyar. Bantuan penghijauan dan reboisasi merupakan program Inpres yang bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumbersumber alam, tanah, hutan, dan air. Sasaran Inpres penghijauan ini terutama daerah-daerah kritis, yaitu daerah-daerah yang ditinjau dari segi hidrologi dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau wilayah lain. Pada tahun 1976/77 realisasi program Inpres penghijauan ini adalah sebesar Rp. 16,0 milyar, sedangkan selama Repelita III telah direalisasikan anggaran sebesar Rp. 268,8 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 telah direalisasikan bantuan penghijauan sebesar Rp. 61,2 milyar. Inpres prasarana jalan adalah program bantuan yang diberikan dalam rangka pemerataan pembangunan, dan menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan, dan IV/47 distribusi serta menunjang proyek-proyek di daerah. Dalam tahun 1979/80 bantuan yang diberikan melalui Inpres ini baru sebesar Rp. 13,0 milyar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp. 25,9 milyar dan Rp. 54,8 milyar masing-masing dalam tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Dalam tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 diberikan masing-masing sebesar Rp. 42,4 milyar dan Rp. 64,6 milyar, sehingga selama Repelita III telah direalisasikan bantuan sebesar Rp. 200,7 milyar. Dalam tahun 1984/85 bantuan yang diberikan telah mencapai jumlah sebesar Rp. 101,1 milyar. Bantuan pembiayaan pembangunan daerah lainnya berupa bantuan untuk daerah Timor Timur yang diberikan sejak tahun 1977/78. Bantuan ini diberikan dalam rangka memberi kesempatan kepada propinsi termuda tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bantuan yang diberikan pada tahun 1977/78 adalah sebesar Rp. 3,5 milyar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp.4,5 milyar pada tahun 1978/79. Selama Repelita III Timor Timur mendapat bantuan pembangunan sebesar Rp. 30,7 milyar, dan pada tahun 1984/85 telah diberikan bantuan sebesar Rp. 4,2 milyar. Program pembangunan daerah melalui dana IPEDA dalam tahun anggaran 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 157,2 milyar, yang berarti suatu kenaikan sebesar 18,7 %, dan 49,4 % bila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1983/84 dan tahun 1982/83. Dana pembangunan yang sebenarnya berasal dari daerah sendiri itu dipungut berdasarkan kerjasama antara Pusat dan Daerah, dan dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan daerah. Pengeluaran pembangunan lainnya terdiri dari subsidi pupuk, penyertaan modal Pemerintah, dan lain-lain pengeluaran pembangunan. Subsidi pupuk diberikan dalam rangka meningkatkan produksi pangan, khususnya pertanian dengan mempertahankan harga pupuk yang stabil, dan dapat dijangkau oleh petani. Sedangkan penyertaan modal pemerintah ditujukan dalam rangka mempercepat pengembangan dunia usaha, dengan meningkatkan likuiditas berbagai badan usaha milik negara, dan proyek-proyek lainnya, antara lain proyek Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam, BTN/KPR Perumnas, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, dan PT Danareksa, pembiayaan proyek-proyek Benih II/ Perum Sang Hyang Seri, PT PAL Indonesia, PT TWC Borobudur dan Prambanan serta PT INKA. Sedangkan pembiayaan pembangunan lain-lain ditujukan antara lain untuk proyek pencetakan sawah, proyek air minum/air bersih, program keluarga berencana, sensus dan proyek sumber daya laut. Di samping itu juga untuk dana tanaman ekspor, pembiayaan pembangunan rumah susun, pem- IV/48 bangunan gedung lantai jemur, serta pengembangan Badan Kredit Kecamatan (BKK). Realisasi subsidi pupuk dalam tahun 1984/85 adalah sebesar Rp. 7 3 1 , 6 milyar, sedangkan penyertaan modal Pemerintah dalam tahun tersebut adalah sebesar Rp. 336,1 milyar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 474,9 milyar. C. PERKEMBANGAN MONETER 1. Kebijaksanaan Moneter Keadaan moneter di Indonesia menjelang dilaksanakannya kebijaksanaan stabilisasi dan rehabilitasi bulan Oktober 1966, nampak tidak menentu memprihatinkan. Hal tersebut tercermin pada tingginya laju inflasi serta tidak mampunya sektor perbankan menjalankan fungsinya untuk mengerahkan dan menyalurkan dana ke masyarakat secara baik. Menghadapi keadaan ini program stabilisasi dan rehabilitasi Oktober 1966 telah dilaksanakan pemerintah yang pada dasarnya meliputi kebijaksanaan anggaran belanja berimbang dan dinamis, kebijaksanaan suku bunga yang tinggi serta upaya untuk mengusahakan tersedianya kebutuhan pokok. Dengan program stabilisasi ekonomi tersebut dapat dicapai penurunan pertambahan uang beredar dan laju inflasi, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan perbaikan posisi neraca pembayaran. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal, moneter dan devisa yang secara terpadu dilaksanakan maka sarana utama bagi pelaksanaan rencana pembangunan, yaitu kestabilan moneter dan ekonomi pada umumnya di samping bidang-bidang lain, telah diletakkan pada tahun-tahun tersebut. Dalam Repelita I kebijaksanaan moneter penting yang dilaksanakan pada dasarnya melanjutkan program stabilisasi yai tu kebijaksanaan suku bunga yang realistis mencerminkan ke langkaan dana. Hal ini telah berhasil mengerahkan dana masyarakat dan memulihkan kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan. Deposito berjangka pada bank-bank pemerintah yang pada bulan Desember 1968 berjumlah Rp. 4 , 5 milyar telah meningkat menjadi Rp. 146,6 milyar pada akhir Repelita I, sedangkan jumlah Tabanas/Taska meningkat dari Rp. 1,2 milyar menjadi Rp. 3 6 , 8 milyar selama periode Repelita I. Kebijaksaaan pokok lain adalah pelaksanaan program penyediaan kredit investasi yaitu kredit jangka menengah ( 3 - 5 tahun) untuk mendorong sektor swasta melakukan penanaman modal dan bersama IV/49 dengan bantuan luar negeri pada gilirannya dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di semua sektor. Kebijaksanaan moneter Repe lita I tersebut telah berhasil memantapkan stabilitas ekonomi, meskipun pada akhir Repelita I timbul masalah hanya besarnya pengaruh pemberian kredit terhadap peningkatan uang beredar yang bersama pengaruh sektor luar negeri telah berakibat meningkatnya laju inflasi. Dalam rangka menanggulangi laju inflasi yang tinggi selanjutnya pemerintah dalam Repelita II menempuh kebijaksanaan stabilisasi pada 9 April 1974 dan 28 Desember 1974. Kebijaksanaan 9 April 1974 meliputi ketentuan-ketentuan yang antara lain: a) menetapkan batas tertinggi (pagu) pertambahan pemberian pinjaman dan aktiva netto lainnya; b) menaikkan suku bunga kredit secara selektif, suku bunga deposito berjangka Inpres serta Tabanas; serta c) memperketat pembatasan pemasukan dana dari luar negeri. Untuk menghindarkan naiknya suku bunga kredit, maka pada tanggal 28 Desember 1974 pemerintah mengadakan tindakan penyesuaian berupa: a) penurunan suku bunga kredit jangka pendek, khususnya kredit ekspor, produk si, dan perdagangan dalam negeri; b) penurunan suku bunga deposito berjangka Inpres; dan c) pencabutan ketentuan tentang simpanan wajib dalam rangka pinjaman luar negeri bagi perusahaan swasta dan perubahan ketentuan pembatasan pinjaman luar negeri. Dalam rangka membantu pengusaha golongan ekonomi lemah serta untuk menunjang tercapainya tujuan program pemerataan, pemerintah menyediakan fasilitas Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) serta beberapa jenis kredit kecil lainnya. Dalam tahun 1977/78 terjadi penurunan daya saing barang-barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri antara lain sebagai akibat dari lebih tingginya tingkat inflasi di Indonesia dibandingkan inflasi dunia. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 15 Nopember 1978 pe merintah mengadakan penyesuaian nilai tukar rupiah yakni dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- untuk setiap dollar Amerika. Sasaran utama tindakan devaluasi itu adalah untuk meningkatkan ekspor komoditi non-migas, dan meningkatkan kemampuan bersaing bagi kegiatan ekspor Indonesia, yang sangat penting bagi landasan kegiatan pembangunan nasional dalam jangka panjang. Setelah periode peningkatan-peningkatan ekonomi dan pembangunan dalam tahun 1970-an, kelesuan ekonomi dunia yang mulai terjadi pada tahun 1980, telah menunjukkan dampak nega tifnya terhadap perekonomian Indonesia menjelang akhir 1981, terutama dengan turunnya permintaan dan harga dari barang-barang ekspor Indonesia, baik migas maupun non-migas. Dampak IV/50 negatif dari kelesuan ekonomi dunia tersebut lebih dipertajam lagi dengan adanya musim kemarau panjang dalam tahun 1982 yang pada akhirnya menurunkan kenaikan PDB 1982 menjadi 2,2%. Di bidang moneter kemunduran keadaan ekonomi dunia telah menimbulkan tekanan berat pada nilai rupiah dan cadangan devisa Indonesia. Pemerintah berusaha menanggulangi masalah tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982, yang menentukan dihapuskannya keharusan menjual devisa yang diperoleh dari hasil ekspor pada Bank Indonesia. Selain itu untuk mendorong ekspor non-migas Pemerintah memberikan fasilitas kredit ekspor dengan bunga yang rendah menyediakan jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor. Kebijaksanaan fiskal juga dilaksanakan untuk menghadapi salah tersebut yaitu dalam bentuk mengurangi pengeluaran di satu pihak dan meningkatkan penerimaan Negara di pihak lain. Dalam rangka mengurangi beban subsidi, untuk pertama kalinya semenjak 1976, harga pupuk dan pestisida telah dinaikkan. Untuk mengurangi ekspansi moneter yang berlebihan, kebijaksanaan moneter dilakukan melalui penetapan pagu kredit dan penentuan prioritas yang lebih ketat. Sektor kegiatan yang mendapat prioritas tinggi adalah sektor-sektor yang dapat mengurangi impor, menunjang penyerapan tenaga kerja dan yang dilaksanakan oleh pengusaha kecil. Perkembangan ekonomi dunia, khususnya yang menyangkut minyak telah memberikan pengaruh yang semakin tidak menguntungkan terhadap neraca pembayaran nampak dari membengkaknya defisit pada transaksi berjalan dan menurunnya cadangan devisa. Untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk lagi, pada bulan Maret 1983 Pemerintah melakukan penyesuaian kurs rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US S. Tindakan tersebut dimaksudkan selain untuk memperkecil defisit transaksi berjalan, juga untuk mendorong pemasukan modal, serta penggunaan teknik produksi yang padat karya. Kebijaksanaan moneter selama Repelita III yang sangat penting adalah kebijaksanaan 1 Juni 1983. Sebagaimana diketahui, kebijaksanaan perkreditan selama lebih kurang 15 tahun sebelum 1 Juni 1983 dilaksanakan melalui penyediaan dana murah dalam bentuk kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana yang kemudian menyalurkannya pada berbagai sektor yang diprioritaskan. Namun dapat dicatat bahwa kredit likuiditas tersebut pada hakekatnya merupakan penciptaan uang oleh Bank Sentral yang berarti mempunyai pengaruh inflatoir terhadap perekonomian Indonesia serta tekanan ter- IV/51 hadap neraca pembayaran pada transaksi berjalan maupun cadangan devisa. Dampak negatip pemberian kredit likuiditas terhadap perkembangan neraca pembayaran selama satu dasawarsa terakhir ini sebagian besar dapat ditampung oleh keadaan neraca pembayaran yang baik, khususnya karena naiknya harga minyak bumi dan meningkatkan produksi minyak serta membaiknya ekspor non migas. Akan tetapi mulai akhir 1981 terjadi perubahan dalam perkembangan neraca pembayaran Indonesia terutama disebabkan oleh resesi ekonomi dunia dan kemudian juga karena penurunan harga minyak bumi di pasaran internasional. Perkembangan tersebut mempersulit perekonomian nasional untuk menampung dampak negatif dari kredit likuiditas yang terus membengkak tersebut. Untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan perkembangan harga, maka pada tanggal 1 Juni 1983, telah di keluarkan kebijaksanaan moneter baru. Kebijaksanaan tersebut meliputi langkah-langkah untuk : 1) lebih mendorong bank-bank mengerankan dana dari masyarakat serta menyalurkannya secara efisien dengan memberikan kebebasan kepada mereka dalam menetapkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi, 2) mengurangi pemberian kredit likuiditas oleh Bank Indonesia kepada bank-bank dengan membatasi pemberian kredit likuiditas hanya untuk sektor-sektor yang tergolong prioritas tinggi; dan 3) menghapuskan penentuan pagu kredit. Hasil-hasil positif dari kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 yang telah dicapai antara lain adalah seperti berikut : a. Dana perbankan, terutama deposito berjangka telah menunjukkan perkembangan yang sangat mengesankan, sehingga ketergantungan bank-bank kepada kredit likuiditas Bank Indonesia telah berkurang. Di samping itu kepercayaan bankbank kepada diri sendiri menjadi lebih meningkat. b. Mekanisme pasar uang telah mulai berkembang ke arah yang lebih baik sehingga bunga telah lebih mampu mencerminkan keadaan pasar. Suku Bunga lebih ditentukan oleh perkembangan dan keadaan pasar, dan fragmentasi pasar telah mulai berkurang. c. Terdapat indikasi bahwa bank-bank telah dengan sungguhsungguh berusaha untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. 1V/52 Selain itu, telah dilakukan penjadwalan kembali proyekproyek yang banyak menggunakan devisa negara. Penjadwalan tersebut bertujuan untuk membatasi penggunaan devisa negara sehingga tidak mengakibatkan beban pembayaran kembali pinjaman luar negeri yang terlalu berat dimasa mendatang. Dengan dihapuskannya sistem penetapan pagu kredit perbankan sejak 1 Juni 1983 Bank Indonesia mengatur jumlah uang beredar melalui penetapan target uang primer, yaitu kewajiban moneter Bank Indonesia kepada sektor perbankan dan swasta domestik. Untuk mengendalikan perkembangan moneter tersebut, Bank Indonesia mempergunakan alat pengendalian moneter tidak langsung melalui penetapan likuiditas minimum, penyediaan fasilitas diskonto dan kebijaksanaan pasar terbuka yang dewasa ini dilakukan dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dalam tahun 1984/85, pada umumnya Pemerintah tetap berusaha menjaga kestabilan moneter yang tercermin pada pengendalian jumlah uang beredar. Hal tersebut dapat terlaksana berkat adanya usaha untuk menyempurnakan penggunaan alat-alat moneter, seperti yang berkaitan dengan penghapusan pemberian bunga atas simpanan pada Bank Indonesia, perpanjangan jangka waktu pasar uang antar bank, pengaturan pelaksanaan transaksi antar bank, penyempurnaan transaksi jual beli SBI serta dimu 1ainya transaksi SBPU di kalangan lembaga keuangan di Indone sia. Keseluruhan tindakan-tindakan yang telah dilakukan tersebut adalah merupakan pelaksanaan paket kebijaksanaan di bidang moneter yang selalu memperhatikan keterkaitannya dengan kebijaksanaan di bidang fiskal dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam pada itu sejak dikeluarkannya Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983, pemberian kredit perbankan tetap didasarkan pada kemampuan pengerahan dana yang berasal dari masyarakat. Dalam hubungan ini Bank Indonesia secara terus menerus memonitor perkembangan pasar uang dan berusaha membantu bank-bank yang kurang sehat. Dengan memperhatikan perkembangan ekonomi keseluruhan, Bank Indonesia dapat mengambil kebijaksanaankebijaksanaan tertentu dengan menyesuaikan instrumen-instrumen yang tersedia dalam usaha pengarahan pemberian kredit perbankan. 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan yang Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar Faktor-Faktor Selama masa Repelita I, pemerintah telah berhasil mengen- IV/53 dalikan jumlah uang beredar untuk disesuaikan dengan kebutuh an pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kestabilan harga. Apabila persentase kenaikan jumlah uang beredar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga, maka dalam masa Repelita I, jumlah uang beredar telah meningkat dengan 499,2% sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan 87,4%. Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan jumlah uang beredar terlihat adanya pergeseran dari sektor Pemerintah ke sektor kegiatan perusahaan dan sektor luar negeri. Hal ini berarti bahwa Pemerintah telah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan pengeluarannya dari sumber-sumber penerimaan yang non-inflatoir. Selama masa Repelita I, sektor Pemerintah umumnya memberikan pengaruh kontraktif sedangkan sebaliknya sektor kegiatan perusahaan telah menyebabkan pengaruh ekspansif terhadap jumlah uang beredar. Menurunnya laju inflasi, selain disebabkan oleh pergeseran sektoral di dalam unsur-unsur penyebab kenaikan uang beredar, juga oleh karena perkembangan pengerahan dana-dana dalam bentuk deposito dan tabungan. Dana deposito dan tabung an tersebut merupakan sumber keuangan bagi perbankan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Sejak dilaksanakannya gerakan deposito berjangka dan tabungan dalam bulan Oktober 1968, jumlah dana yang dapat dikerahkan meningkat dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar. Dalam Repelita I sektor luar negeri juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan jumlah uang beredar, ter utama pada tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa neraca pembayaran mengalami surplus yang sekaligus merupakan penambahan pada cadangan devisa. Selama Repelita II, jumlah uang beredar telah meningkat dengan 257,0% sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan 98,4%. Hal ini mencerminkan kecenderungan digunakannya sebagian besar jumlah pertambahan uang beredar untuk pembiayaan kegiatan yang produktif dan semakin mantapnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Di dalam periode 1974/75-1978/79, sektor luar negeri menyebabkan pengaruh ekspansif, sedangkan sektor Pemerintah memberikan pengaruh yang kontraktif terhadap uang beredar. Sampai dengan tahun permulaan Repelita II peranan uang kartal terhadap jumlah uang beredar masih lebih besar dibandingkan dengan uang giral, yaitu masing-masing 54,0% pada 1973/74 dan IV/54 52,0% pada tahun 1974/75. Akan tetapi pada tahun 1975/76 peranan uang giral mulai menggeser kedudukan uang kartal sebagai alat pembayaran dan penyimpan kekayaan yang utama. Hingga akhir Repelita II proporsi uang giral terhadap jumlah uang beredar merupakan bagian yang dominan, yaitu 54,0%. Proporsi uang giral yang dominan ini mencerminkan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan uang giral yang semakin meningkat. Selain dari pada itu sejalan dengan berkembangnya dunia usaha, maka keperluan masyarakat akan jasa-jasa lembaga perbankan juga semakin bertambah. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar, sektor kegiatan perusahaan menduduki tempat utama selama periode Repelita II. Pengaruh ekspansif deri sektor kegiatan perusahaan meningkat dari Rp. 458,6 milyar dalam tahun 1973/74, menjadi Rp. 1.606,0 pada akhir Repelita II. Kenaikan yang sangat besar pada tahun 1975/76 bersi,mber pada pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan negalra, terutama PN Pertamina, yang memerlukan kredit dalam jumlah yang besar untuk pembayaran kembali hutang-hutangnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Sektor aktiva luar negeri yang menimbulkan efek kontraktif sangat besar dalam tahun 1975/76 telah berubah menjadi ekspansif dalam tahun berikutnya. Hal ini berkaitan dengan telah terbayarnya hutang-hutang luar negeri PN Pertamina yang sekaligus menyebabkan pula turunnya kebutuhan pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan negara. Hingga akhir Repelita II sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah terhadap jumlah uang beredar/ekspansif sebesar Rp. 956,1 milyar. Sektor Pemerintah, terkecuali dalam tahun 1974/75, selalu mempunyai efek kontraktif terhadap perkembangan uang beredar. Efek kontraktif sektor Pemerintah sejumlah Rp. 410,1 milyar dalam tahun 1975/76 sebagian besar merupakan pembukuan nilai lawan pinjaman luar negeri Pemerintah untuk pelunasan hutanghutang luar negeri Pertamina. Jumlah uang beredar (Ml) yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, selama Repelita III telah naik dengan 187,7% atau rata-rata 23,5% setahun sehingga mencapai Rp 8.054,7 milyar pada tahun 1983/84. Kenaikan pada dua tahun terakhir Repelita III relatif rendah, yakni sebesar 8,9% pada tahun 192/83 dan 9,2% pada tahun 1983/84. Dilihat dari komposisi uang beredar, peranan uang giral terus meningkat menjadi 62% pada tahun 1981/82. Namun peranan tersebut menurun menjadi IV/55 59% pada tahun 1982/83 dan 56% pada tahun 1983/84. Menurunnya peranan uang giral tersebut terutama disebabkan oleh terdapatnya penarikan rekening giro perusahaan-perusahaan pemerintah untuk penyetoran hutang pajak. Perkembangan moneter Indonesia selama Repelita III sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian dunia yang antara lain tercermin pada keadaan neraca pembayaran kita. Dalam dua tahun pertama Repelita III, sektor luar negeri memberikan pengaruh ekspansif yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 2.497,7 milyar pada tahun 1979/80 dan Rp. 2.296,2 milyar pada tahun 1980/81. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya harga barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri, terutama minyak, di samping pengaruh dari tindakan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 15 Nopember1978. Dalam tahun-tahun berikutnya, sektor luar negeri memberikan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar. Pengaruh kontraktif yang besar pada tahun 1982/83 terutama disebabkan oleh defisit dalam transaksi berjalan pada neraca pembayaran yang membesar sebagai akibat pengaruh resesi ekonomi dunia dan memburuknya pasaran minyak internasional. Pada tahun 1983/84, dengan diambilnya kebijaksanaan devaluasi pada bulan Maret 1983, maka sektor luar negeri telah memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 2.684,9 milyar. Sektor Pemerintah pada dua tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh kontraktif yang cukup besar, terutama berkaitan erat dengan meningkatnya penerimaan pajak perseroan (PPs) minyak sehubungan dengan meningkatnya harga minyak di pasar dunia. Selanjutnya, pengaruh kontraktif sektor Pemerintah menurun untuk kemudian pada tahun 1982/83 berubah menjadi ekspansif sebesar Rp. 697,1 milyar. Hal ini disebabkan oleh menurunnya penerimaan pemerintah yang berasal dari PPs minyak. Dalam tahun 1983/84, sektor tersebut memberikan pengaruh mengurang lagi sebesar Rp. 1.719,1 milyar, sebagai hasil usaha penghematan yang dilakukan Pemerintah melalui pengurangan beban subsidi BBM dan pupuk, serta penghapusan subsidi pangan. Di samping itu, kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada bulan Maret 1983 dan pelaksanaan pemungutan pajak yang lebih intensif telah dapat meningkatkan arus penerimaan pemerintah. Taiwan pada perusahaan negara dan swasta sampai dengan tahun 1982/83 terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan perkembangan kegiatan usaha. Sektor tersebut pada tahun 1982/83 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 2.741,8 milyar (tidak diperhitungkan hasil penilaian kembali rekening valuta IV/56 asing sebesar Rp. 294,3 milyar karena devaluasi bulan Maret 1983). Dalam tahun 1983/84, pengaruh ekspansif tersebut menurun menjadi Rp. 2.633,2 milyar terutama disebabkan oleh berhati-hatinya bank dalam pemberian kredit, di samping lesunya dunia usaha karena pengaruh resesi ekonomi dunia. Deposito berjangka dan tabungan yang merupakan unsur uang kiasi, dalam tiga tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh kontraktif yang relatif sama yakni rata-rata sebesar Rp. 674 milyar setahun. Dalam tahun 1982/83, uang kuasi tersebut memberikan pengaruh mengurang yang besar yaitu Rp. 1.491,4 milyar. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah simpanan dalam valuta asing sebagai akibat semakin membuatnya dollar Amerika Serikat dan beberapa mata uang asing lainnya terhadap rupiah. Dalam tahun 1983/84, pengaruh kontraktif dari deposito berjangka dan tabungan mencapai jumlah Rp. 2.835,5 milyar, terutama disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka dalam rupiah sebagai akibat kebijaksanaan 1 Juni 1983. Sektor lain-lain yang terutama terdiri dari rekening modal, cadangan dan laba, serta jaminan impor, dalam tahun 1983/84 memberikan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar sebesar Rp. 88 milyar yang merupakan pengaruh mengurang terkecil selama Repelita III. Jumlah uang beredar dalam tahun 1984/85 mencapai Rp. 8.988,4 milyar atau meningkat 11,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertambahan uang beredar selama tiga tahun terakhir ini adalah merupakan kenaikan yang terendah selama masa Repelita. Hal ini berkaitan dengan program penghematan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengurangan dan penghapusan berbagai jenis subsidi. Dalam tahun 1984/85, sektor luar negeri mempunyai pengaruh ekspansif sekitar Rp. 2.349,7 milyar dibandingkan dengan Rp, 2.684,9 milyar dalam tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa neraca pembayaran masih mengalami surplus meskipun tidak sebesar kelebihan pada tahun sebelumnya. Sektor Pemerintah dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh kontraktif terhadap uang beredar sebesar Rp. 2.259,7 milyar. Sedangkan tagihan pada badan/lembaga dan perusahaan negara, perusahaan swasta dan perorangan dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 3.465,3 milyar dibandingkan dengan Rp 2.633,2 milyar dalam tahun sebelumnya. Kenaik- IV/57 an tersebut mencerminkan bahwa bank-bank telah lebih longgar dalam pemberian kreditnya sejalan dengan membaiknya kegiatan perekonomian. Dalam tahun yang sama uang kuasi menunjukkan pengaruh kontraktif sebesar Rp. 2.755,2 milyar dibandingkan dengan Rp. 2.835,5 milyar dalam tahun sebelumnya. Melambatnya per tumbuhan uang kuasi tersebut menyebabkan lebih rendahnya pertumbuhan likuiditas perekonomian dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sektor lain-lain, dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 133,5 milyar dibandingkan dengan pengaruh kontraktif sebesar Rp. 88,0 milyar dalam tahun sebelumnya. Perkembangan jumlah uang beredar, komposisi uang beredar, sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar, perbandingan antara tingkat kenaikan harga dan pertambahan uang beredar, selama periode 1968-1984/85 dapat diikuti masing-masing pada Tabel IV-12, Grafik IV-10, Tabel IV-13, Tabel IV-14 dan Grafik IV-11. 3 . Dana Perkreditan Bank a. Kebijaksanaan Dana Perkreditan Kebijaksanaan untuk mengerahkan dana perbankan semenjak Pemerintah Orde Baru telah meningkatkan tabungan masyarakat melalui sektor perbankan guna pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Dalam periode stabilisasi dan rehabilitasi telah dilaksanakan gerakan tabungan dalam bentuk deposito berjangka yang dimulai sejak bulan Oktober 1968. Kemudian pada bulan Pebruari 1969 diadakan pula gerakan tabungan berhadiah 1969 . Gerakan tabungan ini bertujuan untuk menghimpun dana masyarakat yang berpenghasilan rendah. Agar lembaga-lembaga keuangan dapat memanfaatkan dananya secara lebih produktif, maka pada tanggal 1 April 1970 Bank Indonesia telah merintis pengeluaran Sertifikan Bank Indonesia (SBI). Program ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap surat-surat berharga dan merintis pembentukan pasar uang dan modal di Indonesia. Usaha tersebut telah berhasil mendorong beberapa bank untuk ikut mengeluarkan sertifikat deposito sebagai upaya untuk mengerahkan dana masyarakat. IV/58 TABEL IV - 12 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan Jumlah long Beredar Jumlah 1968 113,9 74,7 1968/69 130,8 80,8 1969/70 210,7 1973/74 (Akhir Repelita I) 784,3 1974/75 1975/76 1.027,1 1,427,9 Uang Kartal Jumlah % Mutasi Uang Beredar (66) 39,2 (34) +62,4 +121,3 (62) 50,0 (38) +68,1 +108,4 126,3 (60) 84,4 (40) +79,9 +61,1 421,1 (54) 363,2 (46) +254,0 + 47,9 538,5 (52) 488,6 (48) +242,8 +31,0 659,2 (46) 768,7 (54) +400,8 +689,0 + 32,6 % Uang Giral Persentase Perubahan Tahun/ Triwulan 39,0 + 1978/79 (Akhir Repelita II) 2.799,9 1.368,7 (49) 1.431,2 (51) 1979/80 3.797,1 1.773,9 (47) 2.023,2 (53) +997,2 + 35,6 1980/81 5.214,1 2.228,7 (43) 2.985,4 (57) +1.417,0 + 37,3 1981/82 6.774,7 2.541,3 (38) 4.233,4 (62) +1.560,6 + 29,9 (41) 4.378,7 (59) + 604,7 + 3.553,5 (44) 4.501,2 (56) * 675,3 + 3.283,8 3.306,5 (44) 4.221,7 4.409,4 (56) + 126,1 + 210,4 + + 1,7 2,8 1982/83 7.379.4 1983/84 (Akhir Repelita III) Triwulan I 8.054.7 3.000.7 8,9 9,2 Triwulan II 7.505,5 7.715,9 Triwulan -III 7.569,2 4.235,9 (57) (56) - 146,7 - 1,9 Triwulan IV 8.054,7 3.553,5 (44) 4.501,2 (56) + 485,5 + 6,4 1984/851) 8.988,4 3.785,2 (42) 5.203,2 (58) + 933,7 + 11,6 April 8.072,6 7.982,9 3.508,9 3.572,7 (43) (45) 4.563,7 4.410,2 (57) Mei Juni 8.182,9 4.046,7 (49) 4.136,2 3.333.3 (43) (44) (55) (51) Bulan 17,9 89,7 + 0,2 - 1,1 + 200,0 + 2,5 - 1,8 + 1,3 0,3 + - Triwulan I Ju11 8.036,1 3.615,2 (55) 7.934,4 3.631,6 (45) (46) 4.420,9 Agustus 4.302,8 (54) September 7.961,4 3.640,7 (46) 4.320,7 (54) - 101,7 + 27,0 Oktober Nopember 8.010,8 3.641,6 (45) (44) + 49,4 + 245,3 0,6 3.643,3 (55) (56) + 8.256,1 4.369,2 4.612,8 + 3,1 Desember 8.581,3 3.712,4 (43) 4.868,9 (57) + 325,2 + 3,9 + 5,1 2,9 Triwulan II - 221,5 Triwulan III + 619,9 Januari Februari 8.146,4 8.381,0 3.595,3 (44) 3.616,5 Maret 8.988,4 3.785,2 (43) (42) Triwulan IV + 128,2 - 146,8 4.551,1 4.764,5 5.203,2 (56) (57) (58) + - + 1,6 2,7 7,8 - 434,9 + 234,6 + 607,4 * 407,1 + 7,3 + 4,7 IV/59 GRAFIK IV - 10 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR 1968 - 1984/85 (dalam persen) IV/60 TABEL IV - 13 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DAN TINGKAT PERTAMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1968 - 1984/85 Tahun Jumlah uang beredar (milyar Rp) Tingkat Perubahan uang beredar (%) 2) Tingkat kenaikan harga (%) 1) 2) 1968 113,9 121,3 85,1 1973/74 784,3 47,9 47,4 1978/79 2.799,9 32,6 11,8 1979/80 3.797,1 35,6 19,1 1980/81 5.214,1 37,3 15,9 1981/82 6.774,7 29,9 9,8 1982/83 7.379,4 8,9 8,4 1983/84 8.054,7 9,2 12,6 1984/85 8.988,4 11,6 3,6 1) Sampai dengan Maret 1979, berdasarkan IBH, sedangkan mulai dengan April 1979 berdasarkan IHK. Kedua indeks dengan tahun dasar April 1977 sampai dengan Maret 1978. 2) Perubahan terhadap tahun sebelumnya. IV/61 GRAFIK IV - 11 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1968 - 1984/85 IV/62 TABEL IV – 14 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Jests 5ektor Penyebab SEK20R AKTIVA LUAR NEGERI SEKTOR PEMERINTAH (Tagihan pada Pemerintah) (DISC) SEKT0R KEGIATAN PERU5ANAAN (Taiwan pada Perusahaan Negara den Swasta) (Kredit pengadaan pagan) LAIN-LAIN TOTAL LIKUIDITAS DEP0SITO BERJANGKA DAN TABUNGAN JUMLAH UANG BEREDAR (Kartal) (Giral) 1) 2) 1966 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/791) (Akhir Repelita II) 1979/80 1980/81 1981/82 1983/84 (Akhir Repel i t a III) 1984/6,5 1984/85 II •12,5 *154,2 •956,1 •2.497,7 32.296,2 -67,5 •16,4 32.684,9 *532.0 *2,9 (-0,9) (*3,8) -13,9 -445,9 -1.099,6 -1.825,5 -70,4 *697,1 -1.719,1 (-102,7) (232,3) (•699,0) (-1,9) (-1.719,1) ( -) -765,3 (-765.3) ( -) *62,6 3458,6 (-15,1) (*1,2) (-446,3) (-1.101,4) (*0,4) ( *1,8) *1.606,0 +808,0 (*831.1) (-23,1) (-1.834,0) (*8.5) •1.837,2 *2.605,2 •3.036,1 32.633,2 (•1.612,7) (*224,5) (*2.199,5) (*405,7) (•2.969,2) (.66,9) (32.352,7) (.280,5) 32.103,2 *2.245,2 (241,4) (*21,2) (*435,4) (*23,4) (*1.544,8) (.61,2) 35,3 -164,5 -1.236.3 272,7 •434,4 *879,9 -10,3 -180,4 -190,9 -650,5 -686,2 -684,7 •689,0 (•332,9) (•356,1) *997,2 (•405,2) (*592,0) •1.417,0 (*454,8) (3962,2) *1.560,5 (3312,6) (.1.247,9) *62,4 (240,6) (221,8) 3 254,0 (•129.9) (•124.1) -558,4 •1.647,7 -26_2 1 Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta acing karena penyesuaian n i l a i taker rupiah deri Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US Dollar pad. tanggal 15 Nopember 1978. Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Karat 1983 , masing-masing sebesar Rp. 1.962,50 pad. sektor luar negeri, Rp. 237.3 milyar pada sektor Pe8orinteh, Rp. 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor la in -la in dan Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (Uang Kuasi ) . IV/63 2) 1982/83 -1.653,5 •2.096,1 •3.511,0 -1.491,4 -2.835,5 *604.7 (•459,4) (*145,3) *675,5 (2552,9) (•122,6) 3 III *49,4 -906.9 (-906,9) ( -) ( *760,1 -693,4 (-693,4) -) 907,1 *1.065,0 *1.010,2 (*692,2) (•214,9) (•769,1) (•295,9) (*1.052,9) (-42,7) *SJ_9 •84,4 .691,7 *291,9 -563,5 •128,2 (*493,2) (-365,0) IV -130,0 •1.195,0 -56 3 4` -5 ~5 2 -221,5 (-406,0) (*184,5) *619,8 (*71,7) (•548,1) *105.9 (.105,9) ( -) •2.349,7 -2.259,7 (-2.259,7) •483,0 *3.465.3 (*722,2) (-239.2) (*3.236,4) (*228,9) •1~1 22 •133,5 31.510,2 -1.103,1 *407,1 (272,8) (•334,3) -2.75 2 •933,6 (•231,7) (*701,9) Agar kegiatan menabung dapat semakin ditingkatkan maka pada tanggal 1 Agustus 1971 tabungan berhadiah 1969 dihentikan dan selanjutnya diganti dengan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska). Dalam Repelita II, telah diadakan beberapa kali perubahan suku bunga deposito berjangka yang disesuaikan dengan perkembangan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Di samping itu, dalam ketentuan yang dikeluarkan tanggal 9 April 1974 tersebut, telah diciptakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan serta melarang bank-bank pemerintah untuk menerima deposito berjangka Inpres yang dananya berasal dari luar negeri. Dalam hal dana deposito berjangka tersebut ternyata berasal dari luar negeri maka bunga paling tinggi yang akan dibayarkan adalah 6 % setahun. Sementara itu dalam ketentuan 1 Januari 1978 ditetapkan bahwa deposito berjangka waktu 3 bulan atau kurang penetapan suku bunganya diserahkan kepada masing-masing bank. Dalam rangka lebih meningkatkan pengerahan dana dari masyarakat, maka pada tanggal 1 Mei 1983 bank-bank Pemerintah telah diberi wewenang untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito berjangka waktu 6 bulan ke bawah. Selanjutnya, pada tanggal 1 Juni 1983 Bank Indonesia telah menetapkan bahwa Bank Umum Pemerintah dan Bapindo dapat menentukan sendiri suku bunga deposito berjangka kecuali un tuk deposito berjangka waktu 24 bulan yang bunganya ditetapkan oleh Bank Indonesia sekurang-kurangnya 12% setahun. Di samping itu, dalam usaha pengerahan dana dan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, bank-bank diperkenankan menerbitkan bilyet deposito berjangka, baik atas nama maupun atas unjuk yang dapat diperpanjang secara otoma tis. Kebijaksanaan pengerahan dana perkreditan dalam tahun 1984/85 masih tetap dititik beratkan pada usaha untuk meningkatkan pengerahan dana masyarakat sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Sehubungan dengan itu pada akhir Oktober 1984 telah disempurnakan ketentuan yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat deposito. Berdasarkan ketentuan baru ini, penerbitan sertifikat deposito yang semula hanya dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan bank asing, kini dapat dilakukan oleh semua bank umum dan bank pembangunan yang termasuk dalam kategori sehat dan cukup sehat. Sertifikat deposito tersebut diterbitkan atas unjuk dengan jangka waktu tidak kurang dari 15 hari. Dalam hal bank IV/64 memiliki sertifikat deposito yang diterbitkan bank lain, jumlahnya setiap saat tidak boleh melebihi 7,5% dari jumlah pinjaman yang diberikannya baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Selanjutnya Pemerintah tetap menangguhkan pemungutan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dalam valuta asing milik penduduk Indonesia, sedangkan bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dalam rupiah maupun valuta asing milik bukan penduduk Indonesia dipotong pajak penghasilan (PPh). Di samping itu atas jasa giro, bunga call money dan deposito on call dalam rupiah dan valuta asing baik milik penduduk maupun bukan penduduk Indonesia dikenakan PPh. b. Perkembangan Dana Perkreditan Dana perkreditan yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita IV semakin meningkat. Perkembangan dana dalam Repelita I menunjukkan kenaikan rata-rata 53,1% setiap tahun sehingga mencapai Rp. 864,8 milyar pada akhir Repelita I. Kenaikan tersebut terjadi pada giro, deposito dan tabungan sehingga jumlahnya masing-masing menjadi Rp. 426,8 milyar, Rp. 399,5 milyar dan Rp. 38,5 milyar pada tahun 1973/ 74. Perkembangan dana dalam Repelita II menunjukkan kenaikan rata-rata 30,9% setiap tahun sehingga mencapai Rp. 3.327,8 milyar pada akhir Repelita II. Dalam tahun 1978/79 jumlah giro, deposito dan tabungan telah meningkat masing-masing menjadi Rp.1.791,9 milyar, Rp. 1.330,1 milyar dan Rp. 205,8 milyar. Perkembangan dana dalam Repelita III menunjukkan kenaikan rata-rata 32,0% setiap tahun sehingga menjadi Rp. 13.337,1 milyar pada tahun 1983/84. Dalam tahun tersebut jumlah giro terus meningkat menjadi Rp. 6.350,4 milyar, sedangkan deposito dan tabungan meningkat menjadi Rp. 6.348,8 milyar dan Rp. 637,9 milyar. Jumlah dana yang dihimpun oleh perbankan sampai dengan tahun pertama Repelita IV mencapai Rp. 16.687,8 milyar. Dibandingkan dengan posisi pada tahun 1983/84 jumlah tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 25,1%. Komposisi dana perkreditan mengalami perubahan yaitu giro yang semula merupakan jumlah yang terbesar dari seluruh dana perkreditan, pada tahun IV/65 1984/85 peranam ya menurun, yaitu dari 53,8% pada akhir Repelita II telah menurun menjadi 43,1% pada tahun 1984/85. Penurunan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya minat masyarakat dalam deposito berjangka rupiah karena semakin menariknya suku bunga deposito tersebut. Perkembangan dana perkreditan selama periode 1968-1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-15. c. Perkembangan Deposito Berjangka, serta Tabungan lainnya Tabanas dan Taska Dari jumlah dana perkreditan, maka jumlah deposito berjangka rupiah perbankan merupakan komponen terbesar. Perkem bangan deposito. berjangka rupiah ini, yang telah dirintis oleh program deposito berjangka Inpres No. 28 Tahun 1968, merupakan hasil dari usaha stabilisasi yang telah memulihkan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah dan pada lembaga perbankan pada umumnya. Jika jumlah deposito berjangka rupiah perbankan pada tahun 1968 baru mencapai Rp. 12,0 milyar, maka pada akhir Repelita I, II dan III, meningkat dengan pesat menjadi berturutturut Rp. 250,5 milyar, Rp. 946,4 milyar dan Rp. 4.912,6 milyar. Pada tahun pertama realisasi Repelita IV, jumlah terse but mencapai Rp. 6.544,6 milyar, suatu peningkatan cukup besar 33,2% terhadap realisasi tahun terakhir Repelita III. Dilihat dari segi kelompok bank, deposito rupiah yang dihimpun bank pemerintah dalam tahun 1984/85 meningkat dengan 28,9%, bank swasta nasional naik 48,4%, sedangkan yang dihimpun bank asing hanya naik sebesar 23,8%. Bila dilihat dari jangka waktunya, peningkatan deposito rupiah yang berjangka wait-hi 12 bulan memegang peranan yang terbesar yaitu 42,4% kemudian menyusul deposito 6 bulan yaitu 17,9%. Pergeseran dalam komposisi deposito rupiah perbankan menurut jangka wak tunya berhubungan erat dengan berbagai langkah untuk terus mengusahakan tingkat suku bunga deposito yang realistis, khususnya langkah kebijaksanaan yang ditempuh pada bulan Juni tahun 1983. Tabungan yang terdiri dari Tabanas, Taska dan tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) serta tabungan lainnya meningkat de ngan cukup menggembirakan. Tabungan tersebut yang pada t ahun 1968 berjumlah Rp. 1,4 milyar meningkat menjadi Rp. 38,5 milyar pada akhir Repelita I. Selanjutnya, tabungan tersebut IV/66 TABEL IV - 15 PERKEMBANGAN DANA PERKREDITAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) 1) IV/67 meningkat menjadi Rp. 205,8 milyar pada akhir Repelita II, menjadi Rp. 6.379 milyar pada akhir Repelita III dan menjadi Rp. 77 4 ,1 milyar pada akhir Maret 1985. Usaha pengerahan Tabanas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Nilai Tabanas yang pada 1973/74 sebesar Rp. 36,7 milyar naik menjadi Rp. 200 milyar pada tahun 1978/79, menjadi Rp. 575,6 milyar pada tahun 19 83/84 dan menjadi Rp. 699,3 milyar pada tahun 19 8 4/ 8 5 . Jumlah penabung Tabanas yang pada tahun 19 7 3/ 7 4 sebesar 3 juta lebih telah meningkat menjadi kurang lebih 13 juta dalam tahun 1984/85. Adapun bank yang ditunjuk sebagai bank penyelenggara Tabanas/Taska sampai dengan akhir tahun 1 9 84/ 8 5 berjumlah 6 1 bank. Mengenai Taska sejak dimulainya gerakan tersebut dari ta hun ke tahun perkembangannya kurang begitu menggembirakan. Nilai Taska dan penabungnya pada akhir 1973/74 masing-masing adalah Rp. 78 juta dan 1 1 . 1 34 penabung, naik menjadi Rp. 566 juta dan 16.893 penabung pada akhir 1984/85. Di samping Tabanas dan Taska telah pula dilaksanakan kebijaksanaan tabungan lainnya yaitu tabungan Ongkos Naik Haji (ONH). Tabungan ONH ini merupakan cicilan setoran untuk ongkos naik haji. Terhadap setoran tersebut bank memberikan dis konto (potongan) dengan maksud agar calon jemaah haji menyetor ONH seawal mungkin. Jumlah tabungan ONH dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yaitu sebesar Rp. 3 milyar dengan 9 ribu jemaah pada tahun 1969/70, Rp. 17 milyar dengan 39 ribu jemaah pada tahun 1 9 73 / 7 4, Rp. 54 milyar dengan 70 ribu jemaah pada tahun 1 9 78 / 7 9, Rp. 106 milyar dengan 51 ribu jemaah pada tahun 1982/83, Rp. 144 milyar dengan 47 ribu jemaah pada tahun 1983/84 dan Rp. 107 milyar dengan 35 ribu jemaah pada tahun 1 98 4 /8 5 . Perkembangan deposito berjangka rupiah perbankan dalam periode 1 9 68 - 19 8 4 /8 5 dapat diikuti pada Tabel I V - 16, Grafik IV-12 sedangkan perkembangan Tabanas dan Taska dalam periode tersebut dapat dilihat pada Tabel IV - 17. d. Perkembangan Sertifikat Deposito Perkembangan jumlah sertifikat deposito dari tahun ke ta hun juga menunjukkan peningkatan. Sertifikat deposito yang pada akhir Repelita I meliputi jumlah Rp. 56,8 milyar telah meningkat menjadi Rp. 4 4 4 ,8 milyar pada akhir tahun pertama IV/68 TABEL IV – 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU 1) 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) 1 bin.2) 3 bi n. 1968 1973/74 0,6 11,4 1,1 22,3 1,0 21,2 - 1,7 35,5 0,2 5,1 1978/79 1979/80 1980/81 80,9 108,6 180,1 39,9 54,1 106,1 109,6 139,2 199,2 0,3 1,2 3,4 98,1 103,1 162,7 1981/82 1982/83 226,2 483,0 160,3 255,9 229,0 282,2 6,9 7,6 1.010,3 631,8 890,6 April 1.100,9 1.076,1 955,0 680,4 1.171.3 991,0 MeI Juni Juli 1.078,2 831,6 869,5 806,1 821,3 748,7 Agustus September 806,0 832,5 Oktober 1983/84 Triwulan I Triwulan I I Triwulan I I I Triwulan IV 1984/85 1) 2) 3) 6 bi n. 9 bin. 12 bin. 18 bin. 24 bin. Lainnya Jumlah Kenaik- Persentase kenaikan Tahun/ Hideo T r i wu l a n 6,8 0,6 12,0 1,6 1,3 2,9 142,3 612,0 618,0 721,0 12,7 4,0 12,8 14,0 250,5 946,4 1.038,3 1,389.4 74,5 42,3 91,9 351,1 - 42,3 4,7 9,7 33,8 - 249,9 334,8 1,6 7,9 855,0 949,5 89,1 86,7 1.818,0 2.407,6 428,6 589,6 30,9 3,4 1.619,8 9,9 591,2 155,2 4.912,2 2.504,6 6,2 2,5 2.778,0 1.737,7 3,5 9,4 379,1 569,3 150,6 115,7 6.544,6 5.181,7 1.632,4 269,5 1.006,8 1.166,6 1.183,6 2,9 2,4 5,2 1.786,3 1.980,3 2.128,1 9,1 8,6 7,9 518,7 480,5 450,4 119,7 107,5 114,5 5.327,8 5.398,8 5.507,9 146,1 71,0 109,1 803,5 725,2 1.222,2 1.165,1 6,7 6,4 2.261,2 2.267,0 7,9 5,8 418,5 407,5 114,7 107,1 5.640,7 5.516,6 132,8 -124,1 - 32,4 104,0 - 33,2 9,9 - 5,5 2,8 1,3 2,0 2,2 2,4 2,2 966,9 807,8 1.064,8 6,9 2.293.4 3,7 392,8 151,3 5.687,6 171,0 - 3,1 Nopember Desember 928,6 1.061,8 822,6 876,5 1.100,9 1.132,2 16,1 6,2 2.299,9 2.351.7 3,7 3,7 386,3 395,9 203,9 194,0 5.762,0 6.200,0 74,4 260,0 9,2 1,3 4,5 Januari Februari 1.058,5 1.067.5 936,2 938,9 1.115,1 1.151,5 6,5 7,3 2.603,2 2.638.7 3,7 3,6 289,5 381,3 221,6 183,7 6.334.3 6.372,5 312,3 38,2 - 5,2 0,6 Maret 1.100,9 955,0 1.171,3 6,2 2.778,0 3,5 379,1 150,6 6.544,6 172,1 8,7 2,7 Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan termasuk Dana milik Pemerintah Pusat dan bukan Penduduk Termasuk sertifikat deposito Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji IV/69 GRAFIK IV - 12 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU I) 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) (milyar Rp) IV/70 TABEL IV - 17 PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1) 1968 - 1984/85 TABANAS Akhir Triwulan/Triwula n/ Bulan Penabung TASK A J u m l a h Posisi (juta rupiah) Posisi Penabung (juta rupiah) Penabung 1968 1973/74 3.010.760 1978/79 7.600.382 36.773 199.954 11.134 6.296 78 117 3.021.894 7.606.678 1979 1979/80 7.996.389 8.296.854 212.560 237.357 5.880 112 118 8.002.269 1980 8.828.909 291.731 1980/81 9.021.750 321.382 1981 9.480.647 1981/82 1982 5.544 5.428 122 8.302.398 8.834.337 Posisi (juta rupiah) 36.811 200.071 212.672 237.475 291.853 133 168 9.027.448 321.515 384.255 5.698 12.704 9.493.351 384.423 9.589.604 399.545 17.002 227 9.606.606 399.772 9.952.239 445.845 16.134 307 446.152 1982/83 10.186.110 483.488 16.532 303 9.968.373 10.202.642 1983 11.003.630 532.344 15.716 331 11.019.346 532.675 1983/84 11.474.295 575.672 17.263 357 11.491.558 576.029 Triwulan I 10.228.296 460.680 14.213 10.572.736 483.921 15.546 10.242.509 10.588.282 460.997 Triwulan II 317 366 Triwulan III 11.003.630 532.344 15.716 331 11.019.346 532.675 Triwulan IV 11.474.295 575.672 357 11.491.558 576.029 1984 12.424.913 669.598 17.263 16.362 452 12.441.275 670.050 1984/85 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878 April Mei 11.544.991 11.630.381 584.853 580.701 15.984 16.400 343 357 11.560.975 11.646.781 585.196 581.058 Juni 11.054.840 581.050 19.301 1.296 11.074.141 582.346 Juli 11.703.524 584.454 585.123 11.841.293 589.484 669 668 11.722.377 Agustus 18.853 18.280 590.152 September 12.032.517 17.628 Oktober 12.227.322 592.633 612.971 17.093 659 564 11.859.573 12.050.145 12.244.415 613.535 November 12.359.176 632.624 17.265 459 12.376.441 633.083 Desember 12.424.913 669.598 16.362 452 12.441.275 670.050 Januari Februari 11.917.717 12.660.529 666.306 15.690 403 11.933.407 697.269 14.543 360 12.675.072 666.709 697.629 Maret 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878 483.791 484.287 593.292 1). Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-Bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA. Program TABANAS/TASKA ini dimulai penyelenggaraannya dalam tahun 1971. IV/71 Repelita IV. Perkembangan sertifikat deposito dapat diikuti pada Tabel IV-18. 4. Perkreditan a. Kebijaksanaan Perkreditan Setelah stabilitas ekonomi dapat diciptakan lewat berbagai upaya dalam program stabilisasi dan rehabilitasi, mulai dilaksanakan program pembangunan dan mengambil langkah-langkah yang penting dalam kebijaksanaan kredit dengan melakukan alokasi dana sebaik-baiknya guna menunjang pembangunan nasional. Kebijaksanaan kredit tersebut diarahkan kepada usaha un tuk mendorong kegiatan produksi pangan, produksi barang -barang ekspor dan distribusi 9 jenis bahan pokok. Untuk kelancaran program tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk pembiayaan sektor-sektor prioritas dengan tetap memperhatikan kestabilan moneter. Selain itu dalam usaha menunjang peningkatan produksi dan investasi sejak awal Repelita I bank-bank umum dapat memberikan kredit investasi jangka menengah/panjang untuk pembangunan pabrik-pabrik baru, modernisasi dan rehabilitasi peralatan produksi yang telah ada, atau dapat pula untuk pembayaran i mpor barang-barang modal. Untuk kredit investasi ini Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah. Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, sektor perbankan terus meningkatkan usaha nya untuk mempermudah dan memperlancar pemberian kredit investasi. Di samping itu terhadap kredit untuk keperluan modal kerja telah diadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyederhanaan yang bertujuan untuk memperlancar produksi barang -barang kebutuhan pokok masyarakat. Dalam pada itu untuk memberikan kesempatan usaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah serta untuk membuka kesempatan kerja yang lebih besar, sejak Mei 1973 kredit investasi digolongkan menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut didasarkan pada jumlah pinjaman dan besarnya pembiayaan sendiri. Untuk lebih meningkatkan kegiatan golongan ekonomi lemah, sejak akhir Desember 1973 bank-bank pemerintah memberikan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dengan persyaratan yang lebih ringan. Pinjaman KIK dan KMKP yang dilaksanakan dibeberapa daerah di Indonesia dimaksudkan pula untuk menggali potensi ekonomi yang ada di daerah masing-masing. Di samping itu dalam usaha me- IV/72 TABEL I V - 18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK-BANK, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Periode Penjualan Pelunasan Dalam Peredaran 1968 - - 1973/74 110,1 61,9 56,8 1978/79 174,1 201,9 29,8 1979/80 93,5 76,5 46,8 1980/81 1981/82 295,0 259,3 82,5 373,2 381,7 74,0 1982/83 319,8 291,7 102,1 1.766,0 1.491,8 376,3 269,2 126,8 244,5 Juli - September 239,4 25,4 229,5 Oktober - Desember 656,9 512,7 373,7 Januari - Maret 600,5 597,9 376,3 1.532,5 339,6 1.464,0 289,7 444,8 426,2 Mei 113,3 208,8 330,7 Juni 79,8 108,7 301,8 Juli 77,0 119,0 Agustus 47,7 56,7 259,8 250,8 September 78,3 105,1 224,0 Oktober 53,0 153,2 123,8 November 50,0 Desember 51,3 45,9 48,8 127,9 130,4 Januari 140,1 218,0 29,6 240,9 Februari 62,0 396,9 Maret 284,4 236,5 444,8 1983/84 April - Juni 1984/85 April 1) - Termasuk sertifikat deposito antar bank IV/73 ningkatkan peranan bank-bank swasta nasional dalam pemberian kredit sejak Mei 1973 disediakan pula bantuan kredit likuiditas kepada bank-bank tersebut. Mengingat bahwa menjelang akhir pelaksanaan Repelita I terdapat gangguan terhadap kestabilan moneter, maka untuk menanggulanginya telah dikeluarkan serangkaian tindakan fiskal dan moneter, antara lain meninjau kembali kebijaksanaan pemberian kredit. Dalam rangka ini, sejak April 1974 dilaksana kan program stabilisasi dengan cara antara lain menaikkan suku bunga kredit secara selektif dan mempertahankan suku bunga kredit untuk kegiatan berprioritas tinggi, seperti kre dit Bimas, KIK dan KMKP. Kebijaksanaan kredit dalam Repelita II diarahkan untuk mendorong peningkatan kesempatan kerja, pengembangan usaha golongan ekonomi lemah dan peningkatan produksi barang -barang ekspor, di samping pemberian kredit untuk pengadaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya seperti terigu dan gula yang dikelola Bulog. Dalam pada itu guna meningkatkan produksi barang ekspor, khususnya barang-barang ekspor tradisional, disediakan pula kredit investasi kepada petani kecil serta un tuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE) bagi tanaman karat, kelapa, kopi, lada, teh dan co klat, dengan persyaratan yang lebih ringan dibanding kredit investasi biasa. Untuk mengembangkan usaha kecil dipedesaan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat, disediakan Kredit Mini dan Kredit Midi serta Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan persyaratan yang cukup ringan. Dalam Repelita III kebijaksanaan kredit perbankan tetap diarahkan untuk memperluas kesempatan kerja, perbaikan pelayanan masyarakat serta perbaikan fasilitas kesehatan dan pen didikan. Dengan timbulnya dampak negatif kelesuan ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia, maka pada bulan Juni 1983 Pemerintah memandang perlu mengadakan deregulasi ketentuan perbankan. Maksud dari pada ketentuan tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bank-bank dalam menjalankan fungsinya mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya lewat pemberian pinjaman. Kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 mengelompokkan kredit dalam kredit yang berprioritas tinggi dan kredit yang tidak berprioritas tinggi. Bagi kredit yang berprioritas tinggi Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan kredit kepada nasabahnya. Adapun persyaratan dan suku bunga kredit yang tidak berprioritas IV/74 tinggi ditentukan sendiri oleh masing-masing bank dengan pendanaan yang seluruhnya berasal dari bank yang bersangkutan. Seluruh jenis kredit yang berprioritas tinggi merupakan kredit yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi barang kebutuhan pokok, angkutan, jasa-jasa serta pendidikan. Kredit modal kerja meliputi kredit Bimas, KMKP, produksi dan impor pupuk untuk Bimas, kredit koperasi dan kredit ekspor. Sedangkan kredit investasi terdiri dari kredit investasi sam pai dengan Rp. 75 juta, KIK, kredit koperasi serta kredit investasi yang mendorong program Pemerintah seperti kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), kredit untuk Peremajaan, Rehabili tasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan kredit kepada Perkebunan Swasta Nasional. Kredit lainnya terdiri dari kredit untuk pemilikan rumah, dan kredit untuk Asrama Mahasiswa. Untuk jenis-jenis kredit tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas antara 70% - 100% dengan suku bunga 3 % setahun, sedangkan suku bunga kepada nasabah adalah 12% setahun kacuali untuk kredit ekspor 9 % , KPR ( 5 % - 9 % ) , KMI (6%) dan kredit Asrama Mahasiswa 5 % . Dalam hal bank-bank umum mengalami kesulitan dalam pengelolaan dana ataupun dalam pemberian kreditnya, Bank Indonesia menyediakan pula fasilitas diskonto dengan cara pembelian promes yang diterbitkan oleh bank-bank. Dengan demikian bankbank umum akan dapat meningkatkan kreditnya dengan cara-cara yang lebih sehat dan tidak lagi tergantung pada kredit likuiditas Bank Indonesia. Perkembangan ekonomi dalam tahun 1984/85, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita IV menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan berkat adanya langkah-langkah kebijaksanaan di sektor keuangan negara dan moneter. Kebijaksanaan kredit dalam tahun 1 9 8 4 / 8 5 pada dasarnya melanjutkan kebijaksanaan pengarahan kepada usaha-usaha untuk meningkatkan produksi dalam negeri terutama pengembangan golongan ekonomi lemah, produksi barang-barang ekspor bukan migas dengan memperhatikan pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, neraca pembayaran serta untuk kestabilan harga. Dalam usaha memberikan kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah, bank-bank umum dengan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia mendorong kegiatan-kegiatan berprioritas tinggi, memberikan bantuan permodalan pada koperasi dan menetapkan persyaratan kredit yang lebih ringan kepada nasabah KIK/KMKP. Selain itu kepada bank-bank umum didorong untuk meningkatkan pemberian kredit dengan cara menerbitkan atau memperdagangkan surat berharga pasar uang (SBPU). IV/75 b. Jumlah dan arah penggunaan kredit Dalam Repelita I jumlah kredit meningkat dengan rata-rata 55% setahun sehingga mencapai Rp. 1 . 2 1 3 milyar dalam tahun 1 9 7 3/ 7 4. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun pertama Repelita I terutama untuk menampung kenaikan pemberian kredit untuk sektor produksi dan perdagangan. Kredit tersebut digunakan untuk membiayai produksi dan perdagangan 9 bahan kebutuhan pokok, pupuk dan ekspor. Dalam periode Repelita jumlah kredit naik dengan ratarata 3 6 % setahun sehingga mencapai Rp. 5 . 6 7 4 milyar pada akhir Maret 1979. Lebih rendahnya kenaikan kredit dalam Repelita II dibanding Repelita I merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan stabilisasi bulan April 1974 yang dilaksanakan sampai akhir Repelita II. Dalam kebijaksanaan tersebut diusahakan agar ekspansi moneter karena pemberian kredit tidak akan mengganggu kestabilan harga. Dilihat dari kelompok bank, pinjaman Bank-bank Umum Pemerintah merupakan bagian yang terbesar dari keseluruhan kre dit, namun peranannya menurun dari 72,7% pada akhir Repelita I menjadi 5 3, 2 % pada akhir Repelita II. Peranan kredit Bank Swasta Nasional hampir tidak berubah, yaitu sekitar 6%, Bank Asing 5% sedangkan kredit langsung Bank Indonesia meningkat dari 11,1% menjadi 34,7%. Peningkatan kredit langsung Bank Indonesia tersebut erat kaitannya dengan kredit dalam rangka pembiayaan pengadaan pangan nasional dan kredit kepada PN Pertamina. Dalam Repelita III, jumlah kredit naik dengan rata-rata 23% setahun. Tingkat pertambahan kredit tersebut mulai melambat dalam tahun 1982/83, berkaitan erat dengan kelesuan ekonomi Indonesia, yang mulai merasakan akibat resesi dunia. Dengan pelaksanaan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, pertambahan kredit dalam tahun 1983/84 tidak banyak mengalami penurunan, karena meningkatnya dana yang dapat dikumpulkan perbankan. Dalam tahun 1981/82 terdapat kecenderungan bahwa kredit yang diberikan oleh bank-bank umum swasta nasional meningkat lebih cepat dibanding bank-bank umum pemerintah, karena kemampuan bank-bank swasta nasional dalam pengumpulan dana yang semakin meningkat. Di lain pihak ketergantungan bank-bank umum pemerintah kepada kredit likuiditas Bank Indonesia secara berangsur-angsur semakin berkurang. Pinjaman perbankan pada akhir tahun 1984/85 berjumlah Rp. 1 9 . 3 3 6 milyar yang berarti naik 19,8% dibanding kenaikan IV/76 17,7% dalam tahun 1983/84. Peningkatan pinjaman tersebut terutama nampak pada sektor jasa-jasa, perindustrian dan perdagangan. Kenaikan kredit di sektor jasa-jasa adalah untuk membiayai jasa-jasa konstruksi, jasa-jasa dunia usaha, penyediaan air bersih dan angkutan. Di bidang perindustrian peningkatan kredit terutama untuk industri barang-barang logam, mesin-mesin dan peralatan, industri kertas dan percetakan, industri pengelolaan bahan-bahan kimia, industri tekstil, sandang dan kulit serta industri kayu dan hasil-hasilnya. Sedangkan kenaikan kredit pada sektor perdagangan meliputi per dagangan ekspor dan produksi barang ekspor, pengumpulan dan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, serta perdagangan eceran. Dilihat dari sektor perbankan kredit bank-bank umum Pemerintah naik 31,5% sehingga mencapai Rp. 13.522 milyar dalam tahun 1984/86. Dalam kenaikan tersebut telah termasuk pengalihan kredit Bank Indonesia dalam rangka pengadaan pangan na sional. Apabila tidak diperhitungkan pengalihan kredit tersebut, maka kredit oleh bank-bank umum pemerintah meningkat dengan 18,4% dibandingkan dengan 16,1% pada tahun sebelumnya. Kredit dalam rupiah bank-bank umum pemerintah naik dengan 40,0% dibandingkan dengan 16,4% dalam tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan semakin meningkatnya peranan bank-bank umum pemerintah dalam usaha pemberian kredit dengan dana yang berasal dari masyarakat. Pada akhir tahun 1984/85 kredit Bank-bank Umum Swasta Nasional dan Bank Pembangunan Daerah mencapai Rp. 3.814 milyar atau naik dengan 47,7%. Angka ini hampir tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 1982/83 (48,4%) dan 1983/ 84 (49,7%). Adapun kredit bank asing dalam tahun 1984/85 naik dengan 8,7%. Peranan kredit bank-bank umum Pemerintah sejak tahun 1982/83 senantiasa meningkat hingga mencapai 70,0% dari keseluruhan kredit pada tahun 1984/85. Dalam periode yang sama kredit bank umum swasta nasional meningkat dari 12,6% menjadi 19,7%. Sedangkan kredit bank asing hampir tidak mengalami perubahan yakni sekitar 6% dari jumlah kredit. Dapat ditambahkan bahwa kredit prioritas bank-bank umum dalam tahun 1984/85 mengalami kenaikan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan kredit tersebut terutama terjadi pada kredit untuk ekspor dan kredit investasi untuk pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan PRPTE. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dan sektor ekonomi da- IV/77 pat dilihat pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20, serta Grafik IV-13. c. Kredit Investasi, KIK/KMKP, Candak Kulak, Kredit Umum mahan Rakyat. Kredit Mini/Midi, Kredit Pedesaan dan Kredit Peru- Program kredit investasi mulai diberikan oleh bank-bank Pemerintah sejak 1 April 1969, waktu dimulainya pelaksanaan Repelita I. Sumber pembiayaan kredit investasi terdiri dari kredit likuiditas dari Bank Indonesia, dana anggaran pembangunan dan dana sendiri bank-bank Pemerintah. Selanjutnya pemberian kredit investasi lebih diarahkan untuk mendorong kegiatan usaha golongan ekonomi lemah dan ke giatan yang bersifat padat karya. Untuk itu kredit investasi digolongkan menjadi 4 golongan : golongan I sampai dengan Rp.25 juta; golongan II di atas Rp. 25 juta s/d Rp.100 juta; golongan III di atas Rp.100 juta s/d Rp.300 juta; golongan IV di atas Rp. 300 juta s/d Rp. 1 milyar. Kemudian berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan pemberian kredit investasi, baik melalui penyempurnaan ketentuan kredit, penyederhanaan tatacara pemberian kre dit ataupun keringanan persyaratannya. Dalam tahun 1977/78 persyaratan jangka waktu pelunasan yang , semula maksimum 5 tahun dengan masa tenggang 2 tahun diperpanjang menjadi 10 tahun dan masa tenggang 4 tahun. Selanjutnya jumlah maksimum kredit investasi dinaikkan menjadi Rp.75 juta, Rp.300 juta, Rp.500 juta dan Rp.1.500 juta masing-masing untuk golongan I s/d IV. Untuk kredit di atas Rp.1.500 juta dan/atau kredit berjangka waktu lebih dari 10 tahun hanya dapat diberikan oleh Bapindo. Jangka waktu paling lama untuk semua jenis pinjaman adalah 15 tahun dengan masa tenggang maksimum 6 tahun. Kebijaksanaan kredit investasi sejak tahun 1978 hingga tahun 1984/85 antara lain menyangkut penyediaan fasilitas kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah pinjaman s/d Rp.75 juta dan pemberian kredit investasi untuk proyek yang dibiayai dengan APBN (Keppres 14A). Selain itu diadakan lagi penyesuaian dalam jumlah maksimum kredit investasi yang semula ditetapkan Rp.1.500 juta dinaikkan menjadi Rp.2.500 juta, sedangkan untuk kredit di atas Rp.2.500 juta hanya dapat diberikan oleh Bapindo. Pemberian kredit investasi selama Repelita I sampai dengan IV/78 TABEL IV - 19 PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan 1 9 6 8 1973/74 (Akhir Repelita I) Bank Bank-bank2) Indonesia Pemerintah Bank-bank Bank-bank Swasta Asing/ Nasional Campuran Persentase Kenaikan Jumlah 61 56 8 1 135 882 72 124 1.213 Kenaikan Tahun/ Triwulan 126 1978/79 (Akhir Repelita II) 1.969 3.021 387 297 5.674 1979/804) 2.009 3.441 532 345 6.327 1980/81 2.314 4.620 785 435 8.154 +1.827 1981/82 2.632 6.353 1.163 587 10.735 +2.581 1982/835) 2.388 8.854 1.726 737 13.705 +2.970 +27,7 1983/84 (Akhir Repelita III) Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 2.292 10.283 2.583 977 16.135 +2.430 +17,7 2.293 2.362 2.356 2.292 9.062 9.542 9.787 10.283 1.784 1.966 2.294 2.583 661 735 862 977 13.800 14.605 15.299 16.135 +95 + 805 +694 + 836 1984/85 April 938 1.084 13.522 11.512 3.814 2.701 1.062 981 19.336 16.278 3.201 + 143 Ne 1.081 11.782 2.808 1.004 16.675 + 895 12.107 2.917 1.039 16.958 +283 J u 1 i 923 12.293 3.039 1.030 17.285 + Agustus September 938 906 12.644 12.773 3.177 3.269 1.068 1.095 17.827 18.043 + Oktober November 925 834 12.984 3.379 3.484 1.058 1.070 18.346 18.631 +303 +285 Desember 870 +182 874 3.552 3.594 18.813 Januari 13.345 13.448 1.046 1.062 18.978 +165 Februari 909 13.395 3.683 1.051 1.062 19.038 +60 +298 1 ',J u n i Maret 1) 2) 3) 4) 5) 938 13.243 13.522 3.814 Bulan 19.336 +1.5993) 653 + +39,2 11,5 + +28,9 31,6 + + 0,7 + 5,8 +4,8 +5,5 +19,8 +0,9 397 +2,4 5,1 + 327 542 +216 +1,7 +1,9 +6,4 + 3,1 +1,2 +1,7 +1,6 4,3 +1,0 +2,6 +0,3 +1,6 + 0,9 + Kredit dale. rupiah, maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi, KIK den KMKP tetapi tidak termasuk kredit antar bank aorta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek Termasuk kredit yang dibiayai oleh kredit likuiditas Bank Indonesia Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 untuk kredit di luar Bank Indonesia, tidak termasuk bunga dalam penyelesaian yang belum diperhitungkan dalam laba/rugi Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 702,5 menjadi Rp. 970,- per US$ 1,- IV/79 TABEL IV - 20 PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1968 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan 1968 1973/74 (Akhir Repelita I) Produkai2) Perdagangan3) Lain-lain4)Jumlah 55 71 Kenaikan 126 Persentase Kenaikan ( % ) Tahun Bulan Triwulan - - 457 421 335 1.213 1978/795) (Akhir Repelita II) 2.172 1.153 2.349 5.674 1979/805) 6) 2.548 1.249 2.530 6.327 1980/81 2.977 2.026 3.151 8.154 +1.827 +28,9 1981/82 3.930 3.263 3.542 10.735 +2.581 +31,6 1982/837) 5.832 4.135 3.738 13.705 +2.970 +27,7 1983/84 (Akhir Repelita III) 7.115 5.297 3.723 16.135 +2.430 +17,7 Triwulan I 5.966 4.187 3.647 13.800 +95 +0,7 Triwulan II 6.117 4.800 3.688 14.605 +805 +5,8 Triwulan III 6.519 5.132 3.648 15.299 +694 +4,8 Triwulan IV 7.115 5.297 3.723 16.135 +836 8.613 6.204 4.519 19.336 7.182 5.359 3.737 16.278 +143 7.443 5.651 3.581 16.675 +397 J u n 1 7.443 5.888 3.627 16.958 +283 J u 1 i 7.436 6.132 3.717 17.285 +327 Agustus 7.561 6.450 3.816 17.827 September 7.745 6.227 4.071 18.043 +542 +216 Oktober 6.206 4.232 18.346 +303 Nopember 7.908 8.109 6.334 4.188 18.631 *285 December 8.210 6.334 4.269 18.813 +182 Januari 8.391 6.309 4.278 18.978 +165 Februari 8.401 6.235 4.402 19.038 +60 8.613 6.204 4.519 19.336 +298 1984/85 April M e i Maret +1.599 +653 3.201 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar bank Serta kredit kepada Pemerintah Neat dan bukan penduduk Serta nilai lawan bantuan proyek 2) Termasuk produksi barang-barang hasil pertanian, pertambangan (kecuali PN. Pertamina) dan Perindustrian 3) Terdiri dari kredit ekspor, kredit impor den kredit. perdagangan dalam negeri 4) Terdiri dari kredit untuk PN. Pertamina, jasa-jasa dan lain-lain 5) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp 415,- menjadi Rp.625,- per us $ 1,- sejak 15 November 1978 6) Sejak akhir December 1979 tidak termasuk bunga dalam penyelesaian yang dibebankan dalam pinjaman 7) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,50 per US$ 1,- menjadi Rp. 970,- sejak 30 Maret 1983 IV/80 +39,2 +11,5 +5,5 +19,8 +0,9 +2,4 +5,1 +1,7 +1,9 +3,1 +6,4 +1,2 *1,7 +1,6 4,3 + +1,0 +0,9 +0,3 +2,6 +1,6 GRAFIK IV – 13 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1968 - 1984/85 (milyar Rp.) IV/81 tahun pertama Grafik IV-14. Repelita IV dapat dilihat pada Tabel IV-21, Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan jumlah kredit investasi baik realisasi maupun persetujuannya. Realisasi kredit investasi tahun 1973/74 adalah Rp.119 milyar, meningkat menjadi Rp.665 milyar tahun 1978/79, menjadi Rp.2.367 milyar tahun 1982/83, menjadi Rp.2.912 milyar tahun 1983/84 dan Rp.3.902 milyar dalam tahun 1984/85. Adapun jumlah kredit investasi yang disetujui juga meningkat dari Rp.175 milyar dalam tahun 1973/74, menjadi Rp.4.955 milyar pada tahun 1984/ 85. Perkembangan KIK, KMKP, Kredit Mini, Kredit Midi, KCK, KUPEDES dapat diikuti pada Tabel IV - 22, Grafik IV-15, Tabel IV-23, Tabel IV-24 dan Tabel IV-25. Jumlah pemberian KIK selama periode 1973/74 - 1982/83 senantiasa mengalami peningkatan, yaitu dari Rp.5 milyar menjadi Rp.68 milyar dan Rp.414 milyar. Dalam tahun 1983/84 dan 1984/85 posisi KIK menurun menjadi Rp.387 milyar dan Rp 349 milyar. Turunnya pemberian KIK tersebut erat kaitannya dengan masih lesunya gairah kegiatan investasi. Dalam pada itu pemberian KMKP mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga posisinya yang pada tahun 1973/74 masih sebesar Rp. 3 milyar terus meningkat menjadi Rp.815 milyar tahun 1982/83, kemudian menjadi Rp.867 milyar dan Rp.890 milyar masing-masing untuk tahun 1983/84 dan 1984/85. Jumlah kredit Mini yang pada tahun 1973/74 baru mencapai Rp.2 milyar telah meningkat menjadi Rp.63 milyar tahun 1982/83, untuk kemudian menurun menjadi Rp.9 milyar tahun 1984/85. Demikian pula kredit Midi yang pada tahun 1982/83 sebesar Rp.42 milyar menurun menjadi Rp.12 milyar tahun 1984/85. Penurunan tersebut sejalan dengan ditiadakannya kredit Mini dan kredit Midi yang untuk kemudian diganti dengan Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES). Jumlah Kupedes yang baru dimulai pelaksanaannya telah menunjukkan kenaikan, yaitu dari Rp.31 milyar dalam tahun 1983/84 menjadi Rp.143 milyar tahun 1984/85. Posisi KCK yang dalam tahun 1978/79 berjumlah Rp.2 milyar telah meningkat menjadi Rp.10 milyar dan Rp.15 milyar masingmasing pada tahun 1983/84 dan 1984/85. KCK yang disalurkan melalui KUD tersebut dimaksudkan untuk membantu pedagang kecil di pasar-pasar. Dalam pada itu jumlah KUD yang menyalurkan KCK telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga mencapai 4.286, pada tahun 1984/85. IV/82 TABEL IV - 21 . PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR 1969 - 1984/85 (dalam milyar r6pi8h)2) Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan 1969 (Des) 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (Akhir Repelita II) 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 (Akhir Repelita III) April Rai Joel Juli ' Agustus September Oktober Nopember December Januari Februari Maret 1984/85 April Mei Juni Dili Agustus September Oktober Nopember December Januari Februari Maret Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Persetujuan Realisasi Persetujuan Realisasi 7 18 4 10 8 84 2 61 2 1 1 403 382 10 10 35 6 86 56 Perse- Realitujuan sasi Jasa-jasa Persetujuan Realisasi Perse- Realitujuan asi 3 12 1 8 7 50 1 32 33 171 171 EKONOMI,1) Lain-lain Pers.- Realitujuan seal 10 3 Kenaikan Jumlah Persetujuan Realisasi Persentase Ken4tksa ($) Perse- Reali- Perse- RealiTujuan sasi tujuan sasi 9 7 27 175 119 *28 *22 3 708 655 *104 +126 849 +263 *194 1.088 *319 1.533 2.367 *711 +1.115 *445 +834 *19,0 17,2 + +22,7 23,8 + 92 240 74 116 512 661 432 614 15 4 11 42 47 35 38 315 323 301 305 4 4 3 4 971 1.290 352 641 217 356 982 1.669 812 1.327 43 53 31 43 78 112 62 91 543 626 408 507 3 15 3 13 2.001 3.116 787 490 2.001 1.679 59 58 137 92 691 584 9 9 3.684 2.912 +568 +545 +18,2 489 555 612 629 633 708 720 713 730 750 714 787 395 405 413 428 437 434 444 458 474 483 487 490 1.661 1.670 1.806 1.817 1.820 1.835 1.870 1.905 1.914 1.985 1.982 2.001 1.322 1.335 1.380 1.391 1.417 1.443 1.472 1.519 1.567 1.619 1.624 1.679 52 52 52 52 53 60 52 56 56 63 63 59 44 44 45 45 47 52 47 49 48 56 56 58 111 108 112 120 123 128 132 126 116 132 127 137 92 87 93 102 103 108 115 106 103 109 104 92 846 950 776 764 793 746 737 754 747 652 734 691 508 553 512 519 530 526 535 539 543 554 579 584 23 11 5 6 8 6 7 9 8 9 9 9 23 9 4 5 6 6 6 9 8 9 9 9 3.182 3.346 3.363 3.388 3.430 3.483 3.518 3.563 3.571 3.591 3.629 3.684 2.384 2.433 2.447 2.490 2.540 2.569 2.619 2.680 2.743 2.830 2.859 2.912 +66 +164 +17 *25 +42 + 53 *35 +45 +8 +20 + 38 *55 *17 +49 +14 *43 +50 +29 + 50 +61 +63 +87 +29 *53 +2,1 +5,1 *0,5 +0,7 *1,2 +1,5 +1,0 +1,3 +0,2 +0,6 +1,1 +1,5 +0,7 +2,1 *0,6 +1,8 *2,0 +1,1 +1,9 +2,3 +2.3 *3.2 +1,0 +1,8 1.219 810 826 847 871 869 885 778 795 804 1.026 1.099 1.219 661 504 517 533 578 581 582 510 535 550 583 648 661 2.392 2.006 2.026 2.067 2.084 2.130 2.153 2.240 2.265 2.294 2.332 2.298 2.392 2.112 1.676 1.700 1.760 1.778 1.849 1.892 1.965 1.974 2.025 2.054 2.034 2.112 202 59 63 68 66 73 70 80 178 179 178 186 202 191 58 62 65 63 66 67 68 176 178 177 177 191 237 145 145 151 164 158 207 207 204 221 228 242 237 181 107 109 119 124 135 152 154 149 152 173 183 181 837 716 700 723 746 735 788 779 823 804 842 813 837 726 598 607 631 637 649 694 688 717 717 727 708 726 68 9 8 8 13 21 32 63 54 41 61 68 68 31 9 7 8 11 12 22 34 38 26 28 38 31 4.955 3.745 3.768 3.864 3.944 3.986 4.135 4.147 4.319 4.343 4.667 4.706 4.955 3.902+1.271 2.952 +61 3.002 +23 3.116 +96 3.191 *80 3.292 +42 3.409 *149 3.419 +12 3.589 +172 3.648 +24 3.742 +324 3.788 *39 3.902 +249 +990 *40 + 50 *114 *75 +101 +117 +10 +170 +59 *94 +46 +114 *34,5 +1,7 *0,6 + 2,5 +2,1 +1,1 *3.7 +0,3 +4,1 +0,6 + 7,5 +0,8 *5.3 +34,0 *1.4 +1,7 +3,8 +2,4 + 3,2 +3,6 +0,3 +5,0 +1,6 *2.6 *1.2 + 3.0 1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman Investasi dalam rangka bantuan proyek 239 + *37,1 +29.6 32,8 +28.1 55,1 +55,7 +40,9 +54,4 + + 23,0 + GRAFIK IV –14 PERKEMBANGAN JUMLAH PERSETUJUAN DAN REALISASI KREDIT INVESTASI 1969 – 1984/85 (Miyar Rp.) IV/84 TABEL IV - 22 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1973/74 - 1984/85 (dalam milyar rupiah) Kredit I n v e s t a s i Kecil Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan permohonan yang disetujui (dalam ribuan) permohonan P o s i s i yang Kredit disetujui ( milyar rupiah ) 1973/74 1978/79 5 57 6 113 1 9 7 9 72 163 1979/80 79 190 1 9 8 0 115 1980/81 4 68 Kredit Modal Kerja Permanen permohonan permohonan yang yang disetujui disetujui (dalam ribuan) Posisi Kredit ( milyar rupiah ) 3 4 438 644 188 305 154 118 664 349 181 314 210 890 569 321 125 366 249 167 528 353 656 1.062 384 1 9 8 1 953 1.242 1981/82 176 571 374 1.298 1.178 704 1 9 8 2 200 685 405 1.423 1.454 791 1982/83 213 723 414 1.486 1.542 815 1 9 8 3 225 799 858 228 825 1.592 1.621 1.798 1983/84 393 387 867 Juni 218 749 409 1.531 1.861 1.627 September Desember 222 225 778 411 1.553 Maret 228 799 825 393 387 1.592 1.621 1 9 8 4 241 898 557 1984/85 243 922 April 229 M e i 230 J u n i 231 99 1.697 1.798 3 93 635 845 872 858 867 1.749 1.861 2.136 1.848 2.284 890 835 349 385 1.627 1.888 858 847 383 1.938 869 882 380 1.647 1.658 1.961 865 1.671 1.701 1.998 2.022 891 1.718 2.073 2.081 886 J u 1 i 232 895 380 Agustus 233 860 378 September 238 872 Oktober 236 877 376 371 Nopember 244 902 368 Desember 241 898 Januari 240 900 357 356 Februari 241 911 M a r e t 243 922 1.719 1.755 871 883 2.159 873 884 1.749 2.136 871 2.201 353 1.746 1.771 2.242 881 880 349 1.848 2.284 890 IV/85 GRAFIK IV – 15 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA DAN KREDIT MINI 1973/74 – 1984/85 IV/86 TABEL IV - 23 PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1) 1974/75 - 1984/85 IV/87 TABEL IV – 24 PERKEMBANGAN KREDIT MIDI,1) 1980/81 - 1984/85 Akhir Tahun/Triwulan/ Sulam Baki Debet (dalam milyar rupiah) Investasi Eksploitasi Nasabah (dalam ribuan) Jumlah Investasi Eksploitasi Jumlah 1980/81 1,1 7,0 8,1 2,8 18,0 1 9 8 1 3,4 21,2 24,6 9,2 65,2 20,8 74,4 1981/82 3,6 24,3 27,9 10,2 77,6 87,8 1982/83 5,0 36,8 41,8 16,9 128,6 145,5 J u n i 3,9 27,3 31,2 11,8 91,3 103,1 September 4,5 29,4 33,9 14,7 102,3 117,0 Desember 4;6 32,0 36,6 15,0 114,8 129,8 M a r e t 5,0 36,8 41,8 16,9 128,6 145,5 4,3 29,7 34,0 21,3 125,3 146,6 J u n i 4,9 39,4 44,3 16,4 140,8 157,2 September 4,9 38,4 43,3 16,2 141,1 157,3 Desember 4,9 38,3 43,2 16,8 143,9 160,7 M a r e t 4,3 29,7 34,0 21,3 125,3 146,6 1984/85 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2 April 4,0 27,4 31,4 14,9 116,3 131,2 M e i 3,8 25,2 29,0 13,6 108,9 122,5 117,5 112,3 1983/84 J u n i 3,6 23,5 27,1 13,4 104,1 J u 1 i 3,4 21,6 25,0 12,8 99,5 Agustus 3,3 19,5 22,8 12,4 92,9 105,7 September 3,1 17,9 21,0 12,2 86,8 99,0 Oktober 3,0 16,1 19,1 11,9 78,1 90,0 Nopember 2,8 14,7 17,5 11,4 74,2 85,6 Desember 2,7 13,2 15,9 11,2 67,4 78,6 Januari 2,5 12,2 14,7 10,3 63,6 73,9 Februari 2,4 11,2 13,6 10,1 58,8 68,9 M a r e t 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2 1) Kredit Midi diberikan mulai bulan Juli 1980 IV/88 TABEL IV - 25 KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES)1) (dalam milyar rupiah) Investasi Eksploitasi Jumlah 1984 : Januari 0,3 2,6 2,9 Februari 0,6 11,6 12,2 Maret 0,6 30,1 30,7 April 1,5 43,9 45,4 M e i 1,2 57,4 58,6 J u it i 1,7 66,4 68,1 J u 1 i 2,2 73,1 75,3 Agustus 2,9 79,8 82,7 September 4,0 84,6 88,6 Oktober 5,0 88,2 93,2 Nopember 6,4 97,1 103,5 December 6,2 104,5 110,7 Januari 6,4 111,9 118,3 Februari 6,8 121,6 128,4 Maret 7,2 135,4 142,6 1985 : 1) Kredit Umum Pedesaan diberikan mulai Januari 1984 IV/89 Pemberian KPR yang disalurkan melalui BTN maupun melalui PT Papan Sejahtera mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan. Jumlah KPR-BTN selama tahun 1978/79 - 1984/85 meningkat dari Rp.6 milyar menjadi Rp.600 milyar, dengan nasabah 196.000. Kenaikan tersebut dikarenakan semakin banyaknya pembangunan perumahan di seluruh Indonesia. Demikian pula KPR-PT Papan Sejahtera yang dananya berasal dari perbankan mengalami kenaikan baik nilai maupun jumlah nasabahnya sehingga mencapai Rp.19 milyar dengan 1.478 nasabah pada tahun 1984/85. Pemberian kredit untuk pembangunan dan pemugaran pasar (Pasar Inpres) masih senantiasa mengalami peningkatan. Kredit tersebut pada akhir 1984/85 mencapai Rp.100 milyar. 5 . Suku bunga Sejalan dengan tingginya tingkat inflasi pada tahun-tahun pertama Repelita I, suku bunga kredit yang berlaku pada saat itu relatif tinggi, tercermin pada suku bunga kredit jangka pendek bank-bank pemerintah yang berkisar antara 36% - 72% setahun. Tingkat suku bunga tersebut kemudian menurun hingga mencapai 12% - 36% setahun pada akhir Repelita I. Sejalan dengan usaha Pemerintah untuk mendorong investasi diberbagai sektor ekonomi, pada 7 Maret 1969 perbankan menyediakan kredit investasi dengan suku bunga yang relatif cukup rendah. Tingkat suku bunga kredit investasi tersebut dalam pelaksanaannya dari tahun ke tahun selalu diselaraskan dengan perkembangan moneter dan prioritas bidang-bidang ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selama Repelita II sampai tahun ke 4 Repelita III suku bunga kredit bank-bank pemerintah tidak banyak mengalami perubahan, antara lain karena bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia yang cukup besar. Suku bunga kredit modal kerja bank pemerintah berkisar antara 9% - 24% dan suku bunga kredit investasi berkisar antara 12% - 15% setahun dalam Repelita II. Dalam Repelita III, suku bunga kredit mengalami penurunan menjadi antara 6% - 21% setahun bagi kredit modal kerja dan antara 10,5% - 13,5% setahun untuk kredit investasi. Pada bulan-bulan .pertama tahun terakhir Repelita III, perkembangan kredit bank-bank pemerintah jauh menurun dibandingkan dengan bank-bank swasta nasional dan bank asing. Menurunnya pengerahan dana masyarakat dan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank umum pemerintah telah mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lebih IV/90 lanjut dengan memberikan kewenangan kepada bank-bank umum pemerintah dalam penentuan suku bunga deposito dan kredit. De ngan demikian bank-bank pemerintah dapat lebih didorong untuk mengembangkan pemberian kreditnya sesuai dengan dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Bila pada bulan Maret 1983 suku bunga kredit bank-bank umum pemerintah berkisar antara 6% - 21% setahun dan suku bunga kredit bank swasta nasional berkisar antara 6% - 36%, maka pada akhir Maret 1985 tingkat suku bunganya sedikit meningkat menjadi 15% - 24% bagi kredit bank-bank umum pemerintah, sedangkan kredit bank-bank swasta nasional menjadi sekitar 21% - 43,2% setahun. Suku bunga kredit investasi yang semula berkisar antara 10,5% - 13,5% setahun pada bulan Maret 1983 ikut pula mengalami perubahan menjadi sekitar 15% - 24% pada akhir Maret 1985. Namun demikian untuk kredit yang berprioritas tinggi atau kredit program Pemerintah seperti kredit ekspor, KIK, KMKP dan kredit untuk golongan ekonomi lemah lainnya ditetapkan suku bunga antara 9% - 12% setahun. Dalam pada itu sejalan dengan perkembangan ekonomi dan untuk lebih mengikutsertakan peranan golongan ekonomi lemah dalam dunia usaha, pada tanggal 30 Mei 1984 disediakan kredit untuk modal kerja dalam rangka Keppres No. 29/1984 dengan suku bunga 15% setahun. Perkembangan suku bunga dan golongan suku bunga pinjaman menurut sektor ekonomi dalam periods 1972 - 1983 dapat diikuti pada Tabel IV-26. Dalam usaha mendorong bank-bank umum pemerintah dalam pemberian kredit investasi, serta guna mengatasi kesulitan dana sehari-hari, Bank Indonesia dalam bulan Februari 1984 menyediakan fasilitas diskonto yang dimaksudkan sebagai upaya terakhir bagi bank-bank dalam usahanya memperoleh tambahan dana dari bank sentral sebagai lembaga kreditor terakhir. Apabila pada bulan Februari 1984 suku bunga fasilitas diskon to berkisar antara 17,5% dan 19,5%, maka pada akhir Maret 1985 suku bunga fasilitas diskonto mengalami perubahan yakni berkisar antara 21% dan 23%. Suku bunga deposito berjangka bank pemerintah telah diturunkan berkali-kali. Penurunan suku bunga tersebut disesuaikan dengan turunnya laju inflasi serta dengan memperhatikan pula keuntungan dan biaya bank di dalam mengelola deposito tersebut. Adapun penetapan suku bunga deposito berjangka tersebut dimulai tanggal 1 Oktober 1968 yaitu untuk deposito berjangka kurang dari 3 bulan 18%, 3 bulan 48%, 6 bulan 60% dan 1 tahun 72%. Deposito berjangka tersebut dijamin oleh Pe - IV/91 TABEL iv – 26 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DAN GOLONGAN SUKU BUNGA PINJAMAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1972 - 1983 IV/92 (Lanjutan Tabel IV - 26) No. Janis Kredit / Pinjaman Dan Janie Penggunaannya 4. Pabrik terigu 5. Ekspor dan produsen/eksportir a. Sebelum pengapalan - Ekspor barang-barang kuat - Ekspor barang-barang lainnya b. Sesudah pengapalan (untuk semua jenis barang ekspor) 6. Produksi, impor dan penyaluran pupuk dan obat hama 7. Kredit Perkebunan Swasta Nasional (PSM) 8. Kredit kepada koperasi untuk anggotanya dan untuk pengadaan barang-barang yang berprioritas tinggi 9. Impor dan penyaluran barang-barang bantuan luar negeri (kecuali pangan) 10. Pengumpulan dan penyaluran hasil pertanian, peternakan dan perikanan oleh BUUD/KUD dan koperasi 11. Pertanian rakyat dan kerajinan rakyat 12. Peternakan, unggas dan perikanan rakyat 13. Industri dan jasa-jasa a. Penggilingan padi/huller b. Gula c. Minyak kelapa d. Tekstil e. Alat-alat pertanian IV/93 31 Mei 1972 G4) IIIB IIB/IIIA/ I1IS I 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978 31 Mar 1983 S4) G4) 54) G4) S4) G4) S4) G4) 54) 24 IA 12 IA 12 II 12 II 12 18/21 IA 12 II 12 14/21/24 IIA/ IIB 12 IA 12 IA 12 II 12 1 Juni Setelah 1983 1 Juni 1983 S4) 97) II II 9 6 II 6 II 12 128) 12 12 I 12 IIIB 24 IA/IIA 12/18 IB II/A/IIIB 15/24 I1IB II1B IIIB II12 IIIB 24 24 24 24 24 IIA '15 18 IA/IIA 12/18 II 12 II 12 1B 15 IB/IIA 15/18 II 12 II 12 II 12 II 12 II 12 II 12 IB/IIA 15/18/ lB/IIA I1B / 21 IIA IIA IIB IIA IIB 18 18 21 18 21 IB IB ILA IN IIA 15/18 15 15 18 15 18 III III III III III 13,5 13,5 13,5 13,5 13,5 III III III III III 13,5 13,5 13,5 13,5 13,5 54) (Lanjutan label IV - 26) 31 Mei 1972 Janis Kredit / Pinjaman No. 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978 31 Mar 1983 1 Juni 1983 Setelah 1 Juni 1983 dan Janie Penggunaannya 4) G f. g. h. i. J. Kertas Semen Pengangkutan umum Percetakan dan penerbitan Pariwisata 14. Produksi lainnya 15. Impor dan penyaluran barang-barang yang diawasi 4) S 4) 4) 4) 4) 4) 4) 4) S G 4) S S G S G 21 21 15 21 24 IIA 13,5 III III III III 13,5 13,5 13,5 13,5 13,5 III IIA IB IIA III 18 18 15 18 24 III III 24,36 IIB IIB IIA IIB III III III III 13,5 13,5 13,5 13,5 IIB/IIIB 15/24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5 24-36 IIA 18 IIA 18 III 13,5 III 13,5 24 IIA 18 IIA 18 III 13,5 III 13,5 III 13,5 IIIB IIIB IIIB IIIB IV IV 24 24 24 24 G 16. Pembayaran persediaan gula IIIB 17. Perdagangan dalam negeri IV 24-36 IIB 21 IIA 18 III 13,5 18. Kontraktor proyek DIP dan Inpres IV 24-36 III 24 IIB 21 III 13,5 19. Kontraktor proyek lainnya 20. Impor dan penyaluran barang-barang impor lainnya IV 24-36 III 24 IIB 21 IV 15 IV 15 IV 24-36 III 24 III 24 V 18 V 18 21. Lainnya yang belum termasuk diatas IV 24-36 III 24 III 24 IV 21 IV 21 IV/94 III 13,5 4) S 15 911) 4) S Jenis Kredit / Pinjaman 31 Mel 1972 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978 Jenis Penggunaannya 4) G 4) s 4) 0 .4) b 4) 84) G 4) 0 4) s V. Kredit lainnya 1. Kredit Pemilikan Rumah (KPH) 2. Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) 3. Kredit Asrama Mahasiswa 1) Dalam suku bunga tersebut sudah termasuk provisi yang diperhitungkan dari plafond pinjaman dan dipungut hanya satu ka l i pada waktu penanda tangan akad pinjaman den pada tiap-tiap perpanjangan waktu pinjaman. Besarnya provisi adalah 1%, kecuali untuk pinjaman impor pangan yang dibiayai dengan PL 480 hanya 0,5% 2) Suku bung. pinjaman likuiditas untuk ekspor den produksi barang ekspor diturunkan dari 10% setahun menjadi 5% setahun 3) Pinjaman investasi Golongan I dan KIK dikenakan suku bunga pinjaman likuiditas BI kepada bank-bank pemerintah sebesar 3% setahun, untuk Golongan I I s/d IV dan KMKP dikenakan suku bunga 4% .setahun. Untuk pinjaman modal kerja, suku bunga pinjaman likuiditas untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut : Golongan I : 3% setahun Golongan I I : 4% setahun (kecuali suku bunga BIMAS/INMAS: 3% setahun ) Golongan I I I s/d IV : 6% setahun Pinjaman modal kerja yang akadnya ditanda tangani sebelum 1 Januari 1978 dikenakan ketentuan suku bunga lama berlaku s/d 31 Maret 1978 4) S - Suku bunga per tahun. Mulai 1 Juni 1983 suku bunga kredit likuiditas adalah 3% setahun G - Golongan suku bunga pinjaman 5) Sebelum 1 Januari 1978 jumlah kredit investasi untuk tiap-tiap Golongan adalah sebagai berikut : - Golongan I : s/d Rp. 25,- juta - Golongan I I : di atas Rp. 25,- juta s/d Rp.100,- juta - Golongan I I I : di atas Rp. 100,- juta s/d Rp.300,- juta - Golongan IV : di atas Rp. 300,- juta Sejak 1 Januari 1978 kredit investasi golongan IV di atas Rp. 1.500,- Juta hanya dapat diberikan oleh BAPIND0 Mulai Juni 1980 b a t a s maksimum golongan IV diubah menjad i Rp.2.500,- juta. Kredit investasi diatas Rp.2.500,- Juta hanya diberikan oleh BAPIND0 6) Tidal, termasuk Inmas 7) Sepanjang yang telah direalisir 8) Khusus untuk Bimas 9) Kupedes modal kerja 1% setahun dan bila terjadi tunggakan suku bunga i n ve s t a s i menjadi 10% setahun dan modal kerja 24% setahun 10) Pemerintah menyediakan subsidi 1½ %, setahun 11) Pinjam untuk kontraktor nasional dengan tender internasional. 31 Mar 1983 4) G 4) 3 1 Jan. 3983- ...__ 4) S Setelah 11983 _ 34) 5 -9 6 5 merintah. Selain itu, dalam penyelenggaraan deposito berjangka bank umum pemerintah dan Bapindo memperoleh subsidi sebesar 1/3 dari jumlah bunga yang dibayarkan untuk deposito berjangka 6 bulan dan 12 bulan. Dalam Repelita I suku bunga deposito berjangka telah beberapa kali diturunkan sehingga pada tanggal 12 April 1973 suku bunga deposito berjangka berkisar antara 6% - 15% setahun untuk deposito kurang dari 3 bulan sampai 12 bulan. Walaupun suku bunga diturunkan, posisi deposito berjangka tetap meningkat, hal ini mencerminkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Dalam pada itu subsidi bunga juga diturunkan dari 1/3 menjadi 1/5 dari bunga yang dibayarkan dan hanya diberikan bagi deposito berjangka waktu 12 bulan. Suku bunga Tabanas yang semula ditetapkan 1$% setahun, pada 12 April 1973 diubah menjadi 15% untuk saldo tabungan Rp. 100 ribu yang pertama, sedangkan saldo di atas Rp. 100 ribu diturunkan dari 12% menjadi 9% setahun. Adapun suku bunga Taska yang ditetapkan sejak 20 Agustus 1971 tidak mengalami perubahan yaitu tetap 15% setahun. Dalam Repelita II juga telah diadakan beberapa kali perubahan terhadap macam maupun suku bunga deposito berjangka. Pada tanggal 9 April 1974 telah diciptakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan dan telah diadakan perubahan suku bunga, menjadi sebagai berikut: untuk deposito kurang dari 3 bulan 6%, 3 bulan 9%, 6 bulan 12%, 12 bulan 18%, 18 bulan 24% dan 24 bulan 30% setahun. Untuk deposito dengan jangka waktu 18 bulan dan 24 bulan telah ditetapkan subsidi atas bunga, masing-masing sebesar 8% dan 15% setahun. Dalam pada itu bank-bank pemerintah dilarang menerima deposito berjangka Inpres yang dananya berasal dari luar negeri. Dalam hal dana deposito tersebut ternyata berasal dari luar negeri, maka akan dibayarkan subsidi bunga setinggi-tingginya 6% setahun. Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1974 suku bunga deposito berjangka waktu 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan diturunkan masing-masing dari 18% menjadi 15%, 24% menjadi 21% dan 30% menjadi 24%. Sejalan dengan perubahan tersebut maka subsidi atas bunga untuk deposito 18 dan 24 bulan diturunkan pula masing-masing menjadi 6% dan 9%. Kemudian pada tanggal 13 Januari 1977 suku bunga deposito berjangka diturunkan lagi dan untuk deposito berjangka 18 bulan ditiadakan. Dengan demikian deposito kurang dari 3 bulan menjadi 3%, 3 bulan 6%, 6 bulan 9%, 12 bulan 12% dan 24 bulan 24%. Subsidi bunga untuk IV/96 deposito 24 bulan diturunkan lagi menjadi 6%. Sejak 1 Januari 1978 deposito berjangka waktu kurang dari 3 bulan dan 3 bulan suku bunganya dapat ditetapkan oleh masing-masing bank. Untuk deposito yang berjangka waktu 6 bulan dan 12 bulan masing-masing diturunkan bunganya dari 9% menjadi 6% setahun dan dari 12% menjadi 9% setahun. Dalam hal suku bunga deposito berjangka waktu 24 bulan ditentukan bahwa untuk jumlah sampai dengan Rp 2,5 juta bunganya 15% setahun dan untuk bagian deposito yang melebihi Rp 2,5 juta bunganya 12% setahun. Besarnya subsidi adalah 4,5% untuk yang bersuku bunga 15% dan 1,5% bagi yang bersuku bunga 12%. Untuk suku bunga Taska yang semula ditetapkan 15%, sejak 13 Januari 1977 diturunkan menjadi 9 % setahun. Dalam Repelita III, kembali diadakan perubahan suku bunga deposito berjangka dengan maksud untuk lebih mendorong peningkatan pengerahan dana dari masyarakat. Pada tanggal 1 Mei 1983 ditetapkan bahwa suku bunga deposito berjangka 6 bulan ke bawah dapat ditentukan sendiri oleh bank pemerintah yang bersangkutan. Selanjutnya mulai 1 Juni 1983 dikeluarkan kebijaksanaan dimana kepada bank-bank pelaksana diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito, kecuali untuk deposito yang berjangka waktu 24 bulan, dimana suku bunganya masih ditetapkan sekurang-kurangnya 12% setahun. Adapun suku bunga Tabanas sejak 1 Juni 1983 telah diubah menjadi 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp 1 juta dan 12% untuk saldo tabungan di atas Rp 1 juta. Suku bunga Taska, besarnya tetap 9% setahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. Perkembangan suku bunga deposito berjangka Inpres, Tabanas dan Taska dapat diikuti pada Tabel IV - 27. Dalam tahun pertama Repelita IV suku bunga deposito berjangka rupiah, baik yang berlaku pada bank Pemerintah maupun pada bank swasta nasional dari akhir Maret 1984 sampai dengan akhir Maret 1985 telah mengalami kenaikan. Suku bunga bank Pemerintah yang berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan masing-masing naik dari 16,5% menjadi 17% setahun, 17,5% menjadi 19% setahun dan 18% menjadi 20% setahun. Adapun suku bunga yang berlaku di bank swasta nasional rata-rata naik dari 18% menjadi 20% setahun untuk deposito berjangka 1 bulan, 19,5% menjadi 21% setahun untuk deposito 3 bulan, 20% menjadi 22% untuk deposito 6 bulan, 20% menjadi 24% untuk deposito 12 bulan dan 20% menjadi 23% setahun untuk deposito 24 bulan. IV/97 TABEL IV - 27 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DEPOSITO BERJANGKA INPRES DAN TABANAS/TASKA, 1968 – 1983 (dalam p e r s e n per tahun) Berlaku mulai Janie Sups.;. 1 Okt. 1968 17 Maret 1 Mei 1969 1969 10 Juli 1969 15 Sept. 1 Januari 1969 1970 20 Agust. 1971 31 Mei 1972 12 April 1973 Deposito berjangka: - Kurang dari 3 bulan 3 bulan 18 18 12 12 12 12 - 9 48 36 24 18 18 18 - 12 - 6 bulan 60 48 36 30 24 21 - 12 bulan 72 60 48 36 30 24 - 18 bulan - - - - 15 - 18 6 12 15 4) 5) 6) 7) 8) 9) T A B A N A S 18 18/12 4) 15/9 T A S K A 15 15 15 Besarnya suku bunga ditetapkan oleh masing -masing bank Sejak 13 Januari 1977 deposito berjangka 18 bulan ditiadakan. 15% setahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 2,5 juta, jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000, jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000.jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000, jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000.jumlah selebihnya bunganya adalah 6% per tahun Dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 ditetapkan sekurang-kurangnya 12% per tahun 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 1.000.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 3) 28 Des. 1974 6 13 Jan. 1977 1 Jan 1978 3 1) 1 Mei 1 Juni 1983 1983 _ 1) _ 1) _1) _1) _ 1) _ 1) 6 _ 1) _ 1) 9 _ 9 - - 31 Maret 1983 9 9 6 12 12 9 6 12 _2) 9 - 18 15/12 3) 15/12 3) 15/6 7) 15/6 7) 18 24 bulan 1) 2) 3) 9 April. 1974 15 24 21 30 24 18/9 15 6) 18/9 6) 15 15/6 6) 15 1) 9 - l) 15/12 3) 12 8) 15/6 7) 15/12 9) 9 9 6. Perkembangan Harga Kebijaksanaan dalam bidang harga mengusahakan agar harga kebutuhan pokok masyarakat senantiasa berada dalam jangkauan dayabelinya. Melalui pengadaan dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok yang cukup ke segenap pelosok tanah air diharapkan agar kegoncangan harga dapat dihindarkan. Dari perkembangan laju inflasi selama periode Repelita I s/d Repelita IV (tahun 1984/85) dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun telah berhasil dipertahankan kestabilan ekonomi. Laju inflasi rata-rata selama Repelita I adalah 17,48% yang mengingat akan adanya hyperinflasi pada periode sebelumnya, merupakan hasil stabilisasi moneter yang cukup menggembirakan. Perlu dicatat bahwa pada tahun ke tiga Repelita I (19 71 / 72 ) inflasi hanya mencapai 0,9% yaitu titik terendah dari inflasi yang terjadi selama itu. Rendahnya inflasi pada tahun tersebut disebabkan turunnya harga beras karena panen yang baik dan persediaan yang cukup. Sebaliknya pada tahun terakhir Repelita I ( 19 7 3 /7 4 ) terjadi kenaikan harga-harga sebesar 47 , 3% yang antara lain disebabkan oleh pertambahan uang beredar sebagai akibat naiknya kredit perbankan dan pengaruh keadaan moneter di luar negeri yang kurang menguntung kan. Selama Repelita II laju inflasi rata-rata per tahun adalah 1 4 ,7 7 % dan dalam empat tahun pertama Repelita II inflasi terus menerus menurun dari 21,0% pada tahun pertama (1974/75) menjadi 10,1% pada tahun ke empat ( 1 9 7 7 / 7 8 ) . Menurunnya laju inflasi tersebut disebabkan adanya beberapa kebijaksanaan antara lain menyangkut penetapan batas tertinggi untuk kredit perbankan, penurunan tarip pajak dan cukai beberapa barang, pemberian subsidi untuk beras dan pupuk serta lancarnya pe nyediaan bahan kebutuhan pokok. Pada tahun ke lima Repelita I I ( 1 9 78/ 79 ) inflasi kembali meningkat menjadi 11,8% antara lain disebabkan oleh pengaruh kebijaksanaan devaluasi Rupiah pada tanggal 1 5 Nopember 19 7 8. Dalam Repelita III rata-rata laju inflasi adalah 13,16% setahun. Berbagai kebijaksanaan Pemerintah dalam periode tersebut adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak yang dilak sanakan beberapa kali, serta peningkatan harga dasar pembelia n g a b a h dan beras. Selain itu untuk meningkatkan daya saing barang-barang ekspor di pasar internasional maka pada tanggal 30 Maret 1 98 3 diadakan devaluasi uang Rupiah terhadap mata uang dollar Amerika. Pengaruh dari kebijaksanaan tersebut terhadap harga ternyata tidak menggoncangkan, terlihat pada IV/99 perkembangan laju inflasi yang relatip rendah dalam tahun 1982/83 dan 1983/84, masing-masing hanya 8,4% dan 12,6%. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perkembangan harga yang cukup baik telah terjadi dalam tahun 1984/85 dimana laju inflasi dalam masa tersebut hanya meningkat sebesar 3,6%. Kenaikan tersebut terdiri dari indeks sektor makanan 1,8%, indeks sektor perumahan 3,6%, indeks sektor sandang 2,7% dan indeks aneka barang dan jasa 7,8%. Peningkatan indeks pada sektor aneka barang dan jasa sebesar 7,8% adalah disebabkan oleh naiknya indeks sub sektor kesehatan (6,9%), indeks biaya pendidikan (9,6%) dan indeks biaya transpor (10,6%). Peningkatan biaya transpor yang cukup tinggi erat kaitannya dengan disesuaikannya tarip angkutan dalam bulan April 1984. Peningkatan biaya kesehatan disebabkan oleh naiknya tarip dokter dan obat tanpa resep. Sedangkan permintaan yang cukup besar pada alat-alat tulis dan buku tulis karena tahun ajaran baru, yaitu bulan Juli 1984, telah menyebabkan meningkatnnya biaya sub sektor pendidikan sebesar 9,6 %. Dalam sektor makanan, kenaikan sebesar 1,8% terjadi pada indeks harga daging dan hasil-hasilnya sebesar 8,0%, indeks harga ikan segar sebesar 8,0%, indeks harga minuman yang tak beralkohol 6,9%, dan indeks harga kacang-kacangan 6,0%. Dalam periode tersebut telah terjadi penurunan_ pada indeks harga ubi-ubian, padi-padian dan hasil-hasilnya serta indeks harga lemak dan minyak masing-masing 4,0% dan 8,7%. Pada sektor perumahan, kenaikan sub sektor tempat tinggal dan penyelenggaraan rumah tangga merupakan faktor utama meningkatnya sektor tersebut sebesar 3,6%. Dalam hal sektor sandang, telah terjadi peningkatan yang relatif kecil yaitu terjadi pada indeks harga sub sektor sandang laki-laki dan anak-anak, masingmasing sebesar 3,3% dan 4,0%. Perkembangan indeks harga Sembilan bahan pokok di 17 kota dalam tahun 1978/79 telah menunjukkan peningkatan secara rata-rata sebesar 16,3% sebulan. Dalam tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 kenaikan rata-rata bahan pokok tersebut menjadi 15,0% dan 14,8% sebulan. Dalam tahun 1984/85 atau tahun pertams Repelita IV, harga sembilan bahan pokok mengalami penurunan di 11 kota dari 17 kota Propinsi di Indonesia. Peningkatan yang cukup besar telah terjadi di kota Jayapura dan Medan masing-masing sebesar 5,7% dan 5,0% sedang penurunan yang relatif kecil terjadi di kota Palembang, Kupang dan Semarang masing-masing 4,9%, 4,8% dan 3,3%. IV/100 Pada akhir Repelita III atau tahun 1983/84 laju inflasi di 5 dari 17 kota propinsi telah mengalami kenaikan pada tingkat yang lebih rendah dari laju inflasi nasional sebesar 12,63%. Laju inflasi yang tertinggi telah terjadi di kota Ambon yaitu sebesar 19,9% sedang laju inflasi terendah terjad i d i kota Kupang yaitu sebesar 4,3%. Dalam tahun 1984/85 laju inflasi tertinggi diantara 17 kota tersebut terjadi di kota Denpasar sebesar 6% sedang untuk kota-kota lainnya laju inflasi kurang dari 6,0% bahkan di kota Ambon selama tahun anggaran 1984/ 85 telah terjadi penurunan harga atau deflasi sebesar 0,9%. Perkembangan harga-harga di Indonesia selama periode 1968-1984/85 yang diukur menurut IBH sampai dengan Maret 1979 dan menurut IHK sejak April 1979, dapat dilihat pada Tabel IV-28, Grafik IV-16 dan perinciannya menurut, kelompok barang dapat diikuti pada Tabel IV-29, Grafik IV-17 sedang perinciannya menurut 17 Ibu kota propinsi dalam periode 1982/83 1984/85, dapat dilihat pada Tabel IV-30. Perkembangan indeks harga 9 macam bahan pokok di 17 Ibu kota propinsi dapat dili hat pada Tabel IV-31. D. PERKEMBANGAN LAINNYA LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN Setelah masa Orde Baru, Pemerintah berusaha untuk mengembalikan citra perbankan khususnya dan lembaga keuangan pada umumnya, mengingat dalam waktu sebelumnya sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Kebijaksanaan Peme rintah selanjutnya senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan sistem lembaga keuangan yang sehat dan berhasil guna sebagai sarana pembangunan nasional. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi lembaga keuangan yang ada, di samping mendorong pembentukan lembaga-lembaga keuangan yang baru. Dalam periode sejak kebijaksanaan stabilisasi Oktober 1966 sampai tahun pertama Repelita I telah dikeluarkan 2 per aturan perbankan yang penting, ialah Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan dan Undang-undang RI No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Kedua peraturan ini merupakan landasan/dasar dari undang-undang perbankan yang bertujuan untuk mengatur keseluruhan sistem perbankan serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan perbankan di Indonesia, serta memobilisir dan mengembangkan seluruh poten si yang ada di sektor perbankan. IV/101 TABEL IV - 28 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1968 - 1984/85 Tahun 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 IV/102 % Kenaikan Tahun % Kenaikan 85,1 9,9 8,8 2,5 25,7 27,4 33,3 19,7 14,2 11,8 6,7 1968/69 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 22,8 10,6 7,8 0,9 20,7 47,4 20,1 19,8 12,1 10,1 11,8 21,8 16,0 7,1 9,7 11,5 8,8 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 19,1 15,9 9,8 8,4 12,6 3,6 GRAFIK IV - 16 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA 1968 - 1984/85 IV/103 TABLE IV - 29 PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP (D1 JAKARTA),1) DAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI),2) MENURUT KELOMPOK BARANG, 1968 - 1984/85 Tahun/Bulan 1968 Makanan Perumahan Pakaian Aneka Barang dan Jasa Indeks Umum Kenaikan Indeks Umum % 29,29 36,63 25,73 30,21 +85,1 +10,6 Tahun/Triwulan Bu1an 23,83 26,96 23,05 58,02 52,79 64,25 59,81 58,42 +47,4 114,71 107,27 118,44 123,17 115,95 +11,8 144,82 146,70 173,82 139,58 147,14 +19,1 1980/81 172,60 171,80 192,80 161,88 167,14 +15,9 1981/82 183,38 200,12 200,27 183,90 189,63 + 9,8 1982/83 189,70 228,76 204,60 210,57 205,99 + 8,4 1983/84 (Akhir Repelita III) 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42 +12,6 Juni 205,23 234,86 210,18 217,18 216,19 + 4,9 September Desember 210,48 236,45 212,96 219,51 219,61 + 1,6 212,70 238,08 214,04 221,54 221,53 + 0,9 Maret 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42 + 5,3 1984/85 224,34 273,47 221,08 248,07 242,07 + 3,6 April 221,16 265,64 M e i 224,27 240,34 240,87 236,48 238,02 Juni Juli 225,29 265,80 266,14 215,72 216,03 217,50 240,93 238,69 225,93 267,34 218,77 241,68 239,58 Agustus September 223,20 222,45 267,94 267,95 219,68 219,77 244,14 244,57 239,22 238,98 Oktober 221,52 268,53 220,34 246,03 239,06 Nopember 220,90 269,46 220,46 246,35 239,14 December 226,35 269,99 220,58 246,54 241,63 Januari 227,07 272,37 220,83 247,17 242,75 Pebruari 223,88 272,89 247,37 241,54 Maret 224,34 273,47 220,91 221,08 248,07 242,07 1969/70 1973/74 (Akhir Repelita I) 1978/79 (Akhir Repents II) 1979/80 33,96 35,88 38,93 ' 1). Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan digunakan hingga bulan Maret 1979. 21. Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan mulai digunakan April 1979. IV/104 + 1,3 + 0,6 + 2,2 + 0,3 + 0,4 - 0,2 + 0,1 - 0,1 + 0,03 + 0,03 + 1,1 + 1,04 + 0,5 - 0,5 + 0,2 + 0,2 GRAFIK IV - 17 PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA, DAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI), 1968 - 1984/85 (angka indeks) (angka Indeks) IV/105 TABEL IV - 30 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA (April 1977 – Maret 1978 = 100), 1979/80 - 1984/85 IV/106 TABEL IV - 31 PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA PROPINSI, 1978/79 – 1984/85 1979/80 - 1984/85 IV/107 Jumlah bank pada tahun 1969 adalah 179 buah yang terdiri dari 7 bank pemerintah, 138 bank swasta nasional, 23 bank pembangunan daerah dan 11 bank asing. Sedangkan aktivitas perbankan tercermin pada keadaan neraca, pengumpulan dana dan pemberian kredit, di mana posisi masing-masing pada akhir 1969 adalah Rp. 290,7 milyar, Rp. 185,2 milyar dan Rp. 158,2 milyar. Dalam Repelita I telah dikeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan bagi bank swasta nasional untuk bisa menjadi bank devisa, serta pendirian bank umum koperasi, bank tabungan koperasi dan bank pem bangunan koperasi. Untuk mengembangkan operasi bank-bank pemerintah, dikeluarkan ketentuan tentang syarat-syarat dan prosedur pendirian kantor cabang, cabang pembantu dan kantor perwakilan bank-bank pemerintah, termasuk bank pembangunan pemerintah dan bank tabungan pemerintah. Di bidang bank se kunder, dalam tahun 1970 telah diadakan penyesuaian persyaratan pendirian bank desa. Untuk dapat menciptakan iklim yang lebih baik di bidang perbankan, khususnya bagi bank swasta nasional, pada bulan Nopember 1969 Bank Indonesia menggariskan kebijaksanaan baru yang menganjurkan bank-bank untuk melakukan penggabungan (merger), serta memberikan bantuan teknis dan keuangan kepada bank-bank. Dengan melakukan merger diharapkan bank-bank tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan mereka. Dorongan tersebut dilakukan dengan memberikan keringanan-keringanan pajak bagi mereka yang bergabung. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bank asing tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha bank di luar DKI Jakarta. Namun dalam rangka pemberian kesempatan kepada bankbank swasta nasional dan bank-bank asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerah, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kerjasama antara bank-bank tersebut dalam memberikan jasa-jasa di luar Jakarta, antara lain dalam bentuk pembiayaan bersama dalam pemberian pinjaman, pelaksa naan ekspor-impor dan pengeluaran garansi bank. Kegiatan bank serta volume aktivitasnya selama Repelita I meningkat dengan pesat. Pada akhir Repelita I, jumlah bank adalah 162 dengan jumlah aktiva, dana dan kredit pada akhir Repelita I tercatat masing-masing sebesar Rp. 1.722 milyar, Rp. 1.002 milyar dan Rp. 1.080 milyar. Dalam IV/108 usaha membantu pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi telah didirikan PT Asuransi Kredit Indonesia (PT Askrindo), PT Bahana dan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK)/Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK). PT Askrin do bertugas membantu pengamanan kredit melalui penutupan asuransi; PT Bahana bertugas memberikan penyertaan modal dan bantuan manajemen kepada perusahaan kecil yang belum berkem bang; sedangkan LJKK/Perum PKK bertugas memberikan jaminan kepada koperasi atas kredit yang diberikan bank atau badanbadan lainnya. Guna menunjang pengembangan pasar uang dan modal serta membantu permodalan perusahaan-perusahaan, sejak tahun 1972 diberikan ijin bagi pendirian lembaga keuangan bukan bank (LKBB). LKBB tersebut terdiri dari jenis pembiayaan pembangunan dan jenis investasi. Usaha pokok jenis pembiayaan pembangunan adalah memberikan kredit jangka menengah/panjang serta melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan. LKBB jenis investasi terutama melakukan usaha sebagai perantara dalam penerbitan surat-surat berharga dan menjamin serta menanggung terjualnya surat-surat berharga (underwriter). Sampai dengan akhir Repelita I LKBB yang didirikan telah ber jumlah 10, yang terdiri atas 2 LKBB jenis pembiayaan pembangunan dan 8 LKBB jenis investasi. Suatu kebijaksanaan penting yang menyangkut bank-bank umum selama Repelita II adalah diturunkannya kewajiban likui ditas minimum dari 30% menjadi 15%. Tindakan tersebut dilakukan untuk lebih mendorong kegiatan ekonomi dan untuk menurunkan biaya dana perbankan. Selain itu ditentukan bahwa simpanan wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah yang semula ditetapkan 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang dapat dibayar; simpanan wajib minimum dalam valuta asing yang semula 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang dapat dibayar kepada penduduk dan dari 30% menjadi 15% dari kewaji ban yang dapat dibayar kepada bukan penduduk. Selain dari pada itu Bank Indonesia telah pula mengadakan penyesuaian mengenai ketentuan pemberian bunga atas saldo giro rupiah dan giro valuta asing bank-bank pada Bank Indonesia. Adapun penyesuaian menurut ketentuan baru itu meliputi peningkatan jumlah maksimum simpanan yang dapat dibayar bunga dari 10% menjadi 15% atas jumlah kewajiban yang dapat segera dibayar, sedangkan suku bunganya diturunkan dari 10% menjadi 6% setahun. Yang dimaksudkan dengan simpanan yang dapat diberikan bunga hanya meliputi jumlah kelebihan di atas jumlah simpanan wajib pada Bank Indonesia. IV/109 Seperti telah disebutkan dimuka bahwa LKBB merupakan sarana penting bagi pengembangan pasar uang dan modal di Indo nesia. Melalui lembaga keuangan tersebut, perdagangan suratsurat berharga baik jangka pendek maupun jangka panjang diharapkan akan semakin berkembang, sehingga penyaluran dana da lam masyarakat dapat dilakukan secara lebih berdayaguna. Guna membantu LKBB dalam usaha meningkatkan perdagangan surat -surat berharga, sejak bulan April 1 9 7 8 , Bank Indonesia telah memberikan fasilitas diskonto ulang sampai jumlah maksimum Rp. 500 juta setahun untuk setiap LKBB. Melalui fasilitas ini LKBB dapat mendiskonto ulangkan wesel dagang, aksep dan promes atas nama yang dimilikinya, kepada Bank Indonesia. Dalam Repelita III, Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan baru yaitu Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983. Dengan Kebijaksanaan tersebut kepada bank-bank pemerintah diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito dan kredit untuk sektor-sektor yang tidak berprioritas tinggi. Selain itu pagu kredit perbankan yang berlaku sejak tahun 1974 dihapuskan. Untuk membantu bank-bank serta untuk menjaga agar bank-bank tidak memanfaatkan kelebihan likuiditasnya untuk kegiatan yang non produktif telah diadakan penyesuaian-penyesuaian suku bunga atas saldo giro bank-bank pada Bank Indonesia, baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pada tahap pertama setelah dikeluarkannya Kebijaksanaan 1 Juni 1 9 8 3 pemupukan dana yang dilakukan oleh bank-bank lebih pesat daripada pemberian kreditnya sehingga sebagian bank-bank mengalami kelebihan likuiditas. Agar biaya dana yang ditanggung bank-bank tidak terlalu tinggi, maka jasa giro simpanan rupiah bankbank pada Bank Indonesia dinaikkan dari 10% menjadi 13% seta hun. Selanjutnya dengan diterbitkannya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sarana penanaman dana sementara, maka jasa giro tersebut diturunkan dari 13% menjadi 7 % setahun dan batas maksimum giro yang memperoleh bunga adalah 1% dari jumlah seluruh kewajiban yang segera dapat dibayar sepanjang bank-bank tersebut mempunyai kelebihan likuiditas. Dalam pada itu, jasa atas kelebihan saldo giro valuta asing bank-bank pada Bank Indonesia sejak tanggal 1 Februari 1984 dihapuskan. Dalam tahun 1 9 8 2 / 8 3 sebagai kelanjutan dari langkah penertiban perizinan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah dibentuk satuan tugas guna membahas tentang BPR dengan maksud untuk meningkatkannya menjadi badan hukum koperasi. Dalam rangka tujuan tersebut, BRI dipersiapkan untuk menjadi bank induk dari bank-bank perkreditan rakyat tersebut. Kebijaksanaan lainnya dalam Repelita III adalah melanjut- IV/110 kan langkah langkah antara lain mendorong merger antar bank swasta nasional, meningkatkan efisiensi bank-bank pemerintah, membina bank pembangunan daerah melalui program bantuan teknis dan pendidikan serta memperluas jaringan kliring lokal di tempat-tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia. Keringanan pajak sebagai akibat merger hanya diberikan sepan jang permohonannya dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni 1981. Pada akhir Repelita III, jumlah bank adalah 117, yang terdiri dari 7 bank pemerintah, 72 bank swasta nasional, 27 bank pembangunan daerah dan 11 bank asing/campuran, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berjumlah 5.823. Jumlah aktiva bank secara keseluruhan, dana yang terkumpul dan jumlah kredit yang diberikan masing-masing adalah Rp. 22.118 milyar, Rp. 10.097 milyar dan Rp. 13.827 milyar. Mobilisasi tabungan masyarakat tetap merupakan sasaran utama sektor perbankan dalam Repelita IV. Dengan program ini tetap diusahakan untuk mengikutsertakan seluruh lapisan ma syarakat dalam aktivitas penabungan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan/investasi. Untuk mencapai maksud itu kesiapan lembaga-lembaga keuangan dalam melaksanakan kebijaksanaan tersebut sangat penting artinya. Seterusnya pembenahan dan peningkatan sistem organisasi, managemen bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank perlu mendapatkan perhatian yang utama. Dalam Repelita I kegiatan pasar modal berada pada tahap penyesuaian awal. Dengan membaiknya keadaan moneter dan iklim perekonomian pada umumnya, Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kegiatan pasar modal, sebagai sarana penting dalam pengerahan dana serta pemerataan kesempatan penanaman modal. Berbagai langkah kebijaksanaan telah dilakukan, yaitu pembentukan Team Pasar Uang dan Pasar Modal (tahun 1971); pembentukan Badan Pembina Pasar Uang dan Modal (1972); dikeluarkannya ketentuan tentang penawaran efek dan perdagangannya (1974); dan pada tahun 1976 dibentuknya Badan Pembina Pasar Modal, Badan Pelaksana Pasar Modal serta PT Danareksa. Tugas Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) adalah mengendalikan serta melaksanakan bursa saham dan surat-surat berharga lainnya. Sedangkan tugas PT Danareksa adalah membeli saham-saham perusahaan yang akan dijual di pasar modal dan selanjutnya memecahnya ke dalam bentuk sertifikat saham dengan nominal yang kecil, untuk memungkinkan masyarakat yang daya belinya terbatas membeli sertifikat saham. Dalam tahun 1977 PT Semen IV/111 Cibinong merupakan perusahaan sahamnya (go public). pertama yang memasyarakatkan Sejak diaktifkannya pasar modal tahun 1977 sampai tahun 1982, kegiatan pasar modal menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Namun dengan adanya kebijaksanaan mone ter 1 Juni 1983 serta kebijaksanaan devaluasi Maret 1983 maka perdagangan efek di bursa menurun. Hal ini disebabkan karena masyarakat penabung pada periode ini, lebih banyak memilih untuk menanamkan dananya dalam deposito yang memberikan ting kat bunga yang relatif tinggi terhadap tingkat rentabilitas saham. Sampai dengan akhir tahun 1984/85 jumlah perusahaan yang go public sebanyak 24 perusahaan dengan jumlah saham yang di tawarkan sebesar 57.448.184 lembar dan nilai seluruhnya menu rut harga pasar perdana Rp.130,8 milyar. Selain daripada emisi saham, pada tahun 1984/85 terdapat pula emisi obligasi oleh 3 (tiga) badan usaha dengan nilai emisi sebesar Rp. 224.7 milyar. Dengan demikian jumlah dana yang dapat di serap dari masyarakat melalui pasar modal sampai akhir tahun 1984/85 mencapai Rp. 355,5 milyar. Sejalan dengan tujuan Pasar Modal yang antara lain untuk pemerataan pendapatan masyarakat maka saham perusahaan yang go public, oleh PT Danareksa dijadikan sertifikat jenis “back to back” dan sertifikat jenis mutual fund (sertifikat dana PT Danareksa) untuk dijual ke seluruh pelosok tanah air. Sampai dengan akhir 1984/85 telah diterbitkan sertifikat PT Danareksa sebanyak 7.420.300 lembar dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp. 73,8 milyar, yang terdiri dari 1.420.300 lembar sertifikat back to back dengan nilai Rp. 13,8 milyar da n Rp. 60,0 milyar sertifikat dana PT Danareksa Unit Umum Seri A,B,C, dan D. Dalam Repelita IV, langkah-langkah pengembangan kegiatan Pasar Modal dalam rangka usaha untuk menambah jumlah perusahaan-perusahaan yang go public dan mengarahkan emisi obligasi oleh badan-badan usaha, juga menyangkut langkah-langkah untuk menata kembali sejumlah peraturan-peraturan di bidang pasar modal, sehingga diharapkan aktivitas pasar modal dapat lebih ditingkatkan pada waktu-waktu yang akan datang. Rencananya akan diproyeksikan sekitar 90 emisi saham dan obligasi, dengan nilai emisi secara keseluruhan diperkirakan Rp. 2 trili yun. Selain itu sedang dipersiapkan pengembangan pasar modal pra bursa (bursa seksi kedua) Serta penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pasar Modal. IV/112 Kegiatan perasuransian selama Repelita I masih belum memberikan hasil sebagaimana yang kita harapkan. Namun sejak Re pelita II sejalan dengan kemantapan dalam kehidupan perekono mian dan lajunya pembangunan nasional, usaha perasuransian mengalami perkembangan yang menggembirakan. Perusahaan-perusahaan asuransi memegang peranan yang semakin penting dalam menghimpun dana masyarakat yang dapat digunakan untuk pembia yaan pembangunan. Kebijaksanaan perasuransian selama periode 1982/83 1984/85 diarahkan terutama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam usaha asuransi serta mengembangkan obyek -obyek asuransi baru. Usaha-usaha Pemerintah selama ini adalah melakukan pembinaan dan pengawasan di bidang permodalan, orga nisasi dan managemen serta tenaga kerja dalam perusahaanperusahaan asuransi. Usaha-usaha di sektor asuransi kerugian meliputi kegiatan perusahaan asuransi kerugian berikut kantor-kantor cabangnya, perusahaan reasuransi, perusahaan adjuster, broker, agen dan kantor perwakilan. Hingga akhir Maret 1985 jumlah perusahaan asuransi kerugian meliputi 65 buah, perusahaan reasuransi 3 buah, perusahaan adjuster 8 buah, broker 29 buah, agen 130 buah dan kantor perwakilan perusahaan asuransi kerugian asing 6 buah. Dalam usaha meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi kerugian serta agar dapat melindungi kepentingan masyarakat, selain pengawasan tidak langsung telah pula dilakukan pemeriksaan secara langsung terhadap per usahaan-perusahaan asuransi kerugian. Selain itu juga turut ditangani masalah-masalah tentang jaminan kredit ekspor, asuransi ekspor serta komputerisasi data asuransi kerugian. Hasil dari perkembangan kegiatan asuransi kerugian tercermin dari semakin meningkatnya dana investasi perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi yang dalam tahun 1 96 9 sebesar Rp. 1,1 milyar telah meningkat menjadi Rp. 159,8 milyar dalam tahun 1983. Perkembangan kegiatan asuransi jiwa juga menunjukkan kemajuan yang cukup menggembirakan, tercermin dari peningkatan dana investasi perusahaan asuransi jiwa yang pada tahun 1969 berjumlah Rp. 30 juta telah berkembang menjadi Rp. 29,1 milyar tahun 1 97 8 dan Rp. 570,4 milyar tahun 1983. Selanjutnya perlu dicatat bahwa dalam tahun 1983 jumlah pemegang polis dibandingkan penduduk telah meningkat menjadi 1,7%. IV/113 Berbagai kebijaksanaan yang menyangkut asuransi jiwa antara lain adalah ketentuan mengenai deposito wajib, persya ratan modal, penanaman dana dalam jenis-jenis investasi menurut peraturan yang berlaku serta ketentuan tentang perusahaan asuransi jiwa patungan. Dalam kebijaksanaan pada 1 Januari 1983 telah dikeluarkan 2 macam polis asuransi jiwa, yaitu po lis rupiah tanpa indeks dan polis rupiah dengan indeks. Dalam hal polis rupiah dengan indeks besarnya klaim tebusan dan uang pertanggungan diperhitungkan terhadap indeks asuransi jiwa. Bidang asuransi sosial terutama menangani kesejahteraan sosial pegawai negeri, kecelakaan lalu-lintas, masalah tenaga kerja perusahaan dan lain-lain. Jumlah perusahaan asuransi sosial hingga tahun 1984/85 tetap yaitu sebanyak 5 buah perusahaan, terdiri dari PT (Persero) Taspen, PT (Persero) Asu ransi Kerugian Jasa Raharja, Perum Asabri, Perum Astek dan Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan Pusat (Askes). Sebagai hasil dari pembinaan-pembinaan yang dilakukan terhadap perusahaan asuransi sosial selama ini, maka besarnya dana investasi di bidang asuransi sosial terus berkembang dari Rp. 1,6 milyar tahun 1969 menjadi Rp. 570,4 milyar dalam tahun 1983. Secara keseluruhan dana investasi perusahaan-perusahaan asuransi telah mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari Rp. 3,0 milyar dalam tahun 1969 menjadi Rp. 900,1 milyar dalam tahun 1983. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor asuransi didalam pengerahan dana dari masyarakat tidak kecil artinya. Dalam Repelita IV sedang disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang usaha perasuransian yang akan mengatur tata cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan di bidang asuransi. IV/114