KLONING GEN Rv 1980c PENGKODE PROTEIN MPT 64 Mycobacterium tuberculosis SEBAGAI ANTIGEN UNTUK IMMUNODIAGNOSTIK TUBERKULOSIS LATEN IRFANDI H411 13 023 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 KLONING GEN Rv 1980c PENGKODE PROTEIN MPT 64 Mycobacterium tuberculosis SEBAGAI ANTIGEN UNTUK IMMUNODIAGNOSTIK TUBERKULOSIS LATEN Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains IRFANDI H411 13 023 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 ii HALAMAN PENGESAHAN iii KATA PENGANTAR Alhamdulillah rabbil ‘alamin puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada umat manusia. Tak lupa kami kirimkan shalawat dan salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah diutus untuk membawa rahmat berupa ajaran Islam dan sebagai tauladan bagi kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kloning gen rv 1980c pengkode protein MPT 64 Mycobacterium tuberculosis sebagai antigen untuk immunodiagnostik tuberkulosis laten” yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang Strata Satu (S1) Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini, sejak dari merencanakan penelitian, jalannya penelitian hingga dalam tahap penyusunan laporan. Namun berkat doa, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut. Oleh karena itu penulis dengan tulus menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Jaenuddin dan Ibunda Risnawati atas doa dan kasih sayang yang tak terbatas serta segala bentuk motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan sampai di tingkat perguruan tinggi. Kepada saudara penulis Muhammad Ririn Jerianto terima kasih untuk kehadiranmu, dukungan dan doa yang selalu ada untuk penulis. Terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Dr. Rosana Agus, M.Si., Prof. dr. Muh. Nasrum Massi, Ph.D dan Dr. Fahruddin, M.Si. selaku pembimbing yang telah membantu dan membimbing penulis dalam melaksanakan iv penelitian dan penulisan skiripsi. Terima kasih atas segala bimbingan, doa, dukungan, perhatian, semangat, waktu, saran dan motivasi yang membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini sampai selesai. Selain itu tak lupa penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M. A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar beserta jajarannya. 2. Dr. Eng. Amiruddin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Makassar beserta jajarannya. 3. Dr. Zohra Hasyim, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNHAS Makassar dan Penasehat Akademik. 4. Bapak/Ibu Dosen dan pegawai Jurusan Biologi yang senantiasa membantu penulis sehingga dapat mencapai gelar sarjana. 5. Tim Penguji skripsi Dr. Irma Andriani, S.Pi., M.Si., Dr. Nurhaedar, M.Si., dan Drs. Muh. Ruslan Umar, M.Si. yang telah membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi melalui kritik dan sarannya. 6. Staf dan pegawai laboratorium Hasanuddin University Research Center (HUM-RC) unit tuberkulosis yang telah memberi waktu, tenaga, pikiran dan dorongan moril. Markus Lembong dan Marina binti Ali, S.Si. yang telah memberikan banyak pengajaran selama penulis mengerjakan penelitian di Laboratorium. 7. Sahabatku Natalia Herasti dan Clara Imaniar yang selalu menyemangati dalam menyelesaikan skiripsi ini. 8. Rekan sepenelitian Ian Imanuel Fidhatami, Hilwah Fathiyah dan Wa Ode v Baharaeni yang senantiasa menyemangati saat penelitian. Terimakasih Atas dukungan, pikiran dan kesediaannya berbagi suka dan duka selama penelitian ini berlangsung. 9. Sahabat yang telah kuanggap sebagai saudaraku Nurul Fajriah, Rahayu Nurul Reski, Fauziah dan Asnur Ade Putri. Terima kasih atas segala doa, dukungan, perhatian serta canda tawa selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman seperjuangan Yuliana Sari, Riyan Sukma, Andika Susantri, Muhammad Rinaldi Alim, Mardatillah, Inda Ridayani Ari, Ayu Putri Pertiwi Syamsika Tahir, Metty Agustine, Nur Asni. 11. Saudara dan saudariku tercinta Biologi Unhas Angkatan 2013 dan temanteman MIPA 2013, terima kasih untuk persahabatan, kebersamaan, kebahagiaan yang telah kita lalui bersama, penulis tidak akan melupakannya. 12. Keluarga KKN Tematik Enrekang Gelombang 93 Desa Bungin Muhammad Widiyanto, A. Muh. Agil Mahasin, Aynandhar Masrip, Siti Rahmayati R., Dwi Multi Maigawarti, Kuasasari, Nisrina Atikah, Dewi Sri Kurnia dan Hardiyanti Pertiwi yang selalu menyumbangkan pikiran, ide dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skiripsi. 13. Kakak-kakak dan adik-adik warga Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) yang mengajarkan kekeluargaan dan selalu menyemangati dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skiripsi. 14. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu. Karya ini penulis persembahkan terkhusus kepada orangtua dan keluarga tercinta karena penulis tidak akan sampai pada titik ini tanpa dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian yang selalu tercurah selama penyusunan karya ini, terima kasih. vi Dalam penyelesaian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik terbaik yang membangun dari para pembaca. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan kelak. Makassar, Desember 2016 Penulis vii ABSTRAK Mycobacterium Protein Tuberkulosis 64 (MPT 64) adalah protein spesifik yang dikodekan oleh gen Rv 1980c dengan ukuran gen 671 bp dan dihasilkan selama pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab penyakit Tuberkulosis yang mengakibatkan kematian dalam jumlah yang besar di dunia, sehingga dibutuhkan suatu metode untuk mendeteksi adanya bakteri ini dalam tubuh seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan klon rekombinan gen Rv 1980c pengkode protein MPT 64 yang akan menjadi dasar untuk immunodiagnostik TB laten. Metode yang digunakan adalah melakukan pemurnian produk PCR, meligasi vektor plasmid pGEM-T Easy dengan produk purifikasi dan mentransformasi pada sel kompeten Escherichia coli JM 109. Hasil penelitian menunjukkan gen Rv 1980c pengkode protein MPT 64 berhasil di klon ke dalam vektor pGEM-T Easy dengan persentase 69%. Hal ini ditandai dengan terbentuknya koloni putih. Koloni Escherichia coli yang berwarna putih menunjukkan DNA pengkode MPT 64 telah diligasi pada daerah multi cloning site (MCS) yang terdapat pada gen lacZ pGEM-T. Kata Kunci : Antigen MPT 64, Kloning, pGEMT-Easy, Tuberkulosis viii ABSTRACT Mycobacterium Tuberkulosis Protein 64 (MPT 64) is a specific protein encoded by the gene Rv 1980c with the size of 671 bp gene and produced during the growth of the bacteria Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis is a disease-causing Tuberculosis bacteria that caused death in large amounts in the world, so we need a method to detect the presence of these bacteria in a person’s body. This research purpose to produce the recombinant clones of protein- coding genes Rv 1980c MPT 64 that will be basic for immunodiagnostics latent TB. The method used is purified the PCR product, ligated the plasmid pGEM-T Easy vector with the purification product and transformed to Escherichia coli JM 109 competent cells. The research results that Rv 1980c genes protein-coding MPT 64 is successful to cloned inside the pGEM-T Easy vector with percentage of 69%. It’s marked with the formation of white colonies. Escherichia coli colonies that white shows the DNA encoding of the MPT 64 had been ligated at multiple cloning site (MCS) area inside the lacZ pGEM-T. Keywords: Antigen MPT 64, Cloning, pGEMT-Easy, Tuberculosis ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………….…………...… i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT .......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 I.1 Latar Belakang............................................................................................ 1 I.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4 I.3 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4 I.4 Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5 II.1 Karakteristik Bakteri ................................................................................. 5 II.1.1 Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis ......................................... 5 II.1.2 Morfologi Mycobacterium tuberculosis .......................................... 8 II.1.3 Antigen MPT 64 ............................................................................ 10 II.2 Tuberkulosis ............................................................................................ 10 II.2.1 Patofisiologi Tuberkulosis ............................................................ 10 II.2.1.1 Tuberkulosis Primer .............................................................. 11 II.2.1.2 Tuberkulosis Post-Primer ...................................................... 12 II.2.2 Respon Imun Terhadap Bakteri TB .............................................. 14 x II.2.3 Tuberkulosis Laten ........................................................................ 17 II.2.4 Gejala Klinis Tuberkulosis ............................................................ 18 II.2.5 Diagnosis Tuberkulosis ................................................................. 19 II.2.5.1 Tes Tuberkulin....................................................................... 21 II.2.5.2 Immunodiagnostik ................................................................. 21 II.3 Kloning Gen ............................................................................................ 22 II.3.1 Komponen Kloning ....................................................................... 22 II.3.1.1 Sampel DNA ......................................................................... 22 II.3.1.2 Vektor .................................................................................... 23 II.3.1.3 Enzim Restriksi ..................................................................... 24 II.3.1.4 Ligasi ..................................................................................... 25 II.3.1.5 Sel inang ................................................................................ 26 II.3.2 Tahapan-tahapan proses kloning ................................................... 26 II.3.2.1 Pemilihan sampel DNA ......................................................... 27 II.3.2.2 Penyisipan DNA ke dalam vektor ......................................... 27 II.3.2.3 Transformasi vektor rekombinan ke dalam sel inang............ 28 II.3.2.4 Screening ............................................................................... 29 II.4 Vektor Plasmid pGEM-T Easy ............................................................... 31 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 33 III.1 Alat ......................................................................................................... 37 III.2 Bahan ..................................................................................................... 38 III.3 Metode Penelitian .................................................................................. 39 III.3.1 Pemurnian Produk PCR dengan Kit Geneaid, Biotech, Ltd ........ 39 III.3.2 Ligasi DNA orf MPT 64 ke Vektor Kloning pGEM-T Easy ...... 39 III.3.3 Transformasi Pada Sel Kompeten E.coli JM 109 ........................ 39 xi III.3.3.1 Pembuatan Sel Kompeten .................................................... 39 III.3.3.2 Transformasi Pada E.coli JM 109 ........................................ 39 III.4 Analisis Data .......................................................................................... 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37 IV.1 Purifikasi DNA Produk dengan menggunakan Purification Kit ........... 37 IV.2 Ligasi Vektor Plasmid pGEM-T Easy dengan produk purifikasi .......... 38 IV.3 Transformasi Sel Kompeten E. coli JM 109.......................................... 39 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 45 V.1 Kesimpulan ............................................................................................. 45 V.2 Saran ....................................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46 LAMPIRAN…………………………………………………………………...…52 xii DAFTAR TABEL Tabel 1. Hasil Transformasi E.coli JM 109 .......................................................... 42 Tabel 2. Komposisi media Luria Bertani (LB) ..................................................... 54 Tabel 3. Komposisi reagen purifikasi produk PCR .............................................. 55 Tabel 4. Komposisi Reaksi Ligasi ........................................................................ 56 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Genom Mycobacterium tuberculosis(Sampson, et al., 2001) ....... 6 Gambar 2. Mycobacterium tuberculosis (CDC, 2014) ........................................... 8 Gambar 3. Respon Imun Tuberkulosis (O’Garra, et al., 2011) ............................ 16 Gambar 4. Proses Ligasi dan Transformasi(Retnoningrum, 2010) ...................... 29 Gambar 5. Proses Kloning Molekular (Molnar dan Jane, 2015) .......................... 30 Gambar 6. Peta pGEM®-T Easy Vector (www.promega.com, 2010) ................. 32 Gambar 7. Pita DNA Hasil Purifikasi ................................................................... 37 Gambar 8. Hasil transformasi dan skrining biru putih. ......................................... 41 Gambar 9. Reaksi Pemecahan X-Gal .................................................................... 43 Gambar 10. Pemurnian produk PCR dengan Kit Geneaid ................................... 60 Gambar 11. Pembuatan gel agarose ...................................................................... 60 Gambar 12. Ligasi DNA orf MPT 64 ke vektor kloning pGEM-T Easy ............ 61 Gambar 13. Pembuatan Sel Kompeten ................................................................. 61 Gambar 14. Transformasi pada E.coli JM 109 ..................................................... 62 xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Skema Kerja ..................................................................................... 52 Lampiran 2. Skema pembuatan buffer TBE dan gel agarosa 1,5 % ..................... 53 Lampiran 3. Komposisi pembuatan media Luria Bertani (LB) ............................ 54 Lampiran 4. Komposisi reagen purifikasi produk PCR ........................................ 55 Lampiran 5. Komposisi reaksi ligasi..................................................................... 56 Lampiran 6. Reagen Transformasi Sel Kompeten E. coli JM 109 ....................... 57 Lampiran 7. Full genom antigen MPT 64 (NCBI Gen Bank: NC_000962.3) ...... 58 Lampiran 8. Peta marka vektor kloning (pGEM-T Easy) ..................................... 59 Lampiran 9. Prosedur Kerja .................................................................................. 60 xv BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya mempengaruhi paru-paru (TB paru) tetapi dapat juga mempengaruhi daerah lain. Penyakit ini menyebar di udara ketika orang-orang yang menderita penyakit TB paru mengeluarkan bakteri TB, misalnya dengan batuk (WHO, 2015). Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam. Bakteri ini tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, karena itu penularannya terjadi di malam hari (Tabrani, 2010). Menurut estimasi WHO (World Health Organization) tahun 2014 Asia Tenggara dan daerah Pasifik Barat secara kolektif menyumbang 58% dari kasus TB di dunia. Wilayah Afrika memiliki 28% dari kasus di dunia yaitu 281 kasus kejadian per 100.000 populasi rata-rata. Indonesia menduduki peringkat kedua kasus TB terbanyak di dunia setelah India (WHO, 2015). Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015) menunjukkan pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus, hal tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di Propinsi Jawa Barat yaitu sekitar 31.469 kasus. Kasus tuberkulosis di Sulawesi ditemukan sekitar 22.597 kasus, dengan jumlah kasus tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sekitar 8.297 1 kasus. Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka penemuan penderita baru TB Paru BTA+ tahun 2013 sebanyak 72,44 % (ditemukan 1.811 penderita dari sebanyak 2.500 sasaran), jumlah ini meningkat dari tahun 2012 dengan jumlah penderita sebanyak 1.324 dari 1.641 sasaran (Dinas Kesehatan Makassar, 2014). Menurut Martin dan Hasibuan (2010) infeksi TB terjadi karena inhalasi droplet nuclei yang mengandung kuman tuberkulosis. Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes kulit tuberkulin yang negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah progresivitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian. Infeksi TB laten didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tetapi saat ini orang tersebut tidak sakit, tidak mempunyai gejala/ asymptomatic dan gambaran foto toraks normal. Diperkirakan sekitar 5% - 10% dari orang dengan infeksi laten, akan terjadi reaktivasi dan menjadi TB aktif. Di negara berkembang termasuk Indonesia, diagnostik tuberkulosis (TB) dilakukan secara mikroskopik pada sputum untuk melihat keberadaan dan jumlah basil tahan asam (BTA). Namun tantangan utama dalam pengendalian TB adalah bagaimana mendiagnosis secara cepat dan tepat infeksi TB khususnya TB laten. Sampai saat ini deteksi infeksi TB laten tidak memiliki standar baku, dan masih dilakukan dengan uji tuberculin skin test (TST) (Menzies,et al., 2007). 2 Tes tuberkulin merupakan satu-satunya metode yang digunakan secara luas untuk mengetahui seseorang sudah terinfeksi tuberkulosis paru. Namun tes ini memiliki beberapa kelemahan yaitu uji tuberkulin hanya bisa menentukan bahwa seseorang pernah terinfeksi kuman TB, tetapi tidak bisa menentukan apakah infeksi TB tersebut masih berlangsung atau sudah tidak aktif. Selain itu, uji ini juga tidak bisa membedakan apakah hasil positif terjadi karena infeksi TB atau karena imunisasi BCG. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti foto rontgen, pemeriksaan mikroskopis dahak, atau biakan dahak (Kenyorini, et al, 2006). Terdapatnya kekurangan dari TST, maka disarankan untuk melakukan uji imunodiagnostik agar hasil yang diperoleh dapat dikonfirmasi kebenarannya Pencarian antigen Mycobacterium tuberculosis yang reaktif terhadap serum penderita tuberkulosis laten terus dilakukan untuk menangani penderita TB yang semakin meningkat. Pada penelitian Hasegawa, et al. (2002) diketahui bahwa Mycobacterium Protein Tuberkulosis (MPT 64) merupakan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. MPT 64 merupakan protein penting yang dihasilkan oleh Mycobacterium tuberculosis. MPT 64 yang dihasilkan dari Mycobacterium tuberculosis adalah bagian pertama yang berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh inang, sehingga protein tersebut penting untuk mengaktifkan respon imun pada individu yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (Yi Jiang, 2013). Kumar, et al. (2012) mengatakan bahwa antigen MPT 64 tidak ditemukan pada strain BCG, Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae maupun pada NTM. Protein MPT 64 berada pada daerah RD2 dan menunjukkan antigen yang imunodominan pada studi imunoreaktivitas terhadap berbagai jenis hewan uji 3 (Kalra et al., 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MPT 64 merupakan salah satu antigen terbaik dari RD 2 yang menunjukkan reaksi hipersensitivitas yang kuat dan dapat memicu IFN-γ pada pasien TB dan kontak. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan produksi antigen MPT 64 dengan teknologi DNA rekombinan. Produksi antigen tersebut dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan kloning gen penyandi protein MPT 64 untuk digunakan sebagai immunodiagnostik. Dihasilkannya protein tersebut akan dapat memberikan proteksi terhadap penderita TB laten pada usia produktif, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh TBC. I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan klon rekombinan gen Rv 1980c pengkode protein MPT 64 dari Mycobacterium tuberculosis yang akan menjadi dasar untuk immunodiagnostik TB laten. I.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan klon rekombinan gen Rv 1980c pengkode protein MPT 64 yang akan menjadi dasar untuk immunodiagnostik TB laten. I.4 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-November 2016 di Unit Tuberkulosis Hasanuddin University Medical Research Center (HUM-RC) dan analisis data dilakukan di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Karakteristik Bakteri II.1.1 Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis Menurut Garrity, et al. (2004) klasifikasi Mycobacterium tuberculosis yaitu sebagai berikut: Domain : Bacteria Phylum : Actinobacteria Class : Actinobacteria Subclass : Actinobacteridae Order : Actinomycetales Suborder : Corynebacterineae Family : Mycobacteriaceae Genus : Mycobacterium Species : Mycobacterium tuberculosis Genom Genom Mycobacterium tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) yang paling banyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sekuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sekuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sekuen DNA ulangan seperti elemen sisipan (PDPI, 2002). 5 Gambar 1. Peta Genom Mycobacterium tuberculosis (Sampson, et al., 2001) Analisis genom komparatif terhadap spesies mycobacterium, telah mengawali pengetahuan tentang suatu bahan untuk diagnosis dengan menjelaskan perbedaan genom antara kelompok virulen dan avirulen dari Mycobacterium tuberculosis pada manusia dan host yang lain (Brosch,et al., 2000). Protein yang disekresi oleh Mycobacterium tuberculosis secara in vivo maupun in vitro dapat menstimulasi respon imun yang mempunyai nilai diagnostik (Chen,et al., 2011). Saat ini telah diketahui protein antigen yang dikode oleh genomic region Mycobacterium tuberculosis yang ditunjukkan sebagai region of difference (RD) (Kalra, et al., 2010). Pemeriksaan genomic Mycobacterium tuberculosis dengan bacterial artificial chromosomes (BAC) array dan deoxyribonucleat acid (DNA) microarrays dapat mengidentifikasi suatu segmen genomik, yaitu RD 1 sampai RD 16 yang ada pada Mycobacterium tuberculosis. Kedua penelitian ini dapat mengidentifikasi delesi genom dari Mycobacterium bovis bacillus calmette guerin 6 (BCG) terhadap Mycobacterium tuberculosis strain H37Rv (Brosch, et al., 2000). Mahairas, et al. (1996) menggunakan comparative subtractive genomic hybridization tehadap strain virulen Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis BCG yang dilemahkan, dari hasil hibridisasi didapatkan tiga genom yang berbeda (RD 1, RD 2, RD 3) yang hilang pada genom Mycobacterium bovis BCG (Parkash, et al., 2009). 1. Regions of Differences 1 (RD 1) Regions of Differences 1 tidak terdapat pada semua strain Mycobacterium bovis BCG dan hampir semua mikobakteria lingkungan. Identifikasi segmen gen 9,5 kb yang meliputi 9 open reading frame (ORF) dari RD 1 (Rv 3871c-Rv 3879c) terdapat pada strain virulen Mycobacterium tuberculosis dan delesi pada semua substrain BCG. Dua dari ORF pada RD ini (Rv 3874 dan Rv 3875) yaitu, 10 kDa culture filtrate protein (CFP-10) dan 6 kDa ESAT-6 merupakan antigen poten yang dapat menginduksi respon sel T dan sebagai antigen yang dikenal pada awal infeksi (Ganguly dan Sharma, 2012). 2. Regions of Differences 2(RD 2) Mahairas, et al. (1996) menemukan RD2 yang tidak ada pada beberapa strain BCG. Diantara tiga belas substrain BCG yang diperiksa oleh Behr, et al, 8 substrain menunjukkan delesi 10 kb. Dua gen dalam daerah RD2 mengkode protein imunogenik MPT 64 dan protein regulator LysR. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa hilangnya RD2 pada beberapa sustrrain BCG mungkin bertanggung jawab atas menurunnya imunitas protektif yang dipicu oleh substrain BCG tersebut (Parkash et al., 2009). 3. Regions of Differences 3 (RD 3) Daerah RD3 sesuai dengan satu (phiRv1) dari dua prophage (phiRv1 dan 7 phiRv2) dan tempat pada genom Mycobacterium tuberculosis, panjang keduanya 10 kb dan phiRv1 hilang pada strain Mycobacterium bovis BCG (Parkash,et al., 2009). II.1.2 Morfologi Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar dinding bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat bakteri ini lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena bakteri berada dalam sifat dorman sehingga dapat hidup kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi (Amin dan Asril, 2009). Gambar 2. Mycobacterium tuberculosis (CDC, 2014) Pada media buatan, bakteri ini menunjukkan bentuk kokoid dan filamentous yang bervariasi dari suatu spesies ke spesies lain. Mikobakteria tidak dapat dikelompokkan sebagai bakteri gram positif.Segera setelah diwarnai dengan 8 pencelup dasar bakteri ini tidak dapat didekolorisasi oleh alkohol. Bakteri tahan asam dapat diidentifikasi dengan pencepat asam misalnya 95% etil alkohol yang berisi 3% asam hidrokloat (asam alkohol) yang mendekolorisasi semua bakteri dengan cepat kecuali mikobakteria. Pencepat asam tergantung pada integritas lilin pembungkus. Pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen digunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam (Jawetz, et al. 2005). Menurut Amin dan Asril (2009) di dalam jaringan, bakteri ini hidup sebagai parasit intraseluler yaitu dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Konstituen Basil Tuberkel Jawetz, et al. (2005) menyatakan bahwa dinding sel mikobakteria menyebabkan penundaan hipersensivitas dan beberapa diantaranya resisten terhadap infeksi dan dapat menggantikan keseluruhan sel mikobakteria. Sel mikobakteria dapat menunda reaksi hipersensivitas pada manusia yang sebelumnya sensitif. Adapun konstituen dari dinding sel mikobakteria yaitu : A. Lipid. Mikobakteria kaya akan lipid. Termasuk asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90), bahan dari lilin dan pospatida. Dalam sel, lipid secara luas berikatan dengan protein dan polisakarida. Muramil dipeptida (dari peptidoglikan) yang diperkaya dengan asam mikolat dapat menyebabkan nekrosis kaseosa. Lipid pada beberapa perluasan bertanggung jawab terhadap kecepatan asam. 9 B. Protein. Masing-masing tipe mikobakterium berisi beberapa protein yang mendatangkan reaksi tuberkulin. Ikatan protein pada fraksi lilin, dengan injeksi, menyebabkan sensivitas tuberkulin. Mereka juga dapat menimbulkan pembentukan berbagai antibodi. C. Polisakarida. Mikobakterium berisi berbagai polisakarida. Polisakarida dapat menyebabkan hipersensivitas tipe cepat dan dapat bertindak sebagai antigen dalam reaksi dengan serum orang yang terinfeksi. II.1.3 Antigen MPT 64 Mycobacterium Protein Tuberkulosis 64 (MPT64) adalah protein spesifik yang disekresikan selama pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Protein MPT 64 atau MPB 64 dikode oleh daerah RD2 yang spesifik pada MTB kompleks dan dapat dideteksi pada isolat kultur (Kanade, et al. 2012). Protein ini dikodekan oleh gen Rv1980c, mengandung 228 asam amino dan memiliki massa molekul sekitar 24.000 Da, dan ukuran gen 687 bp (Changtai Zhu, et al.2013). Antigen ini disekresikan dalam jumlah yang signifikan selama periode awal kultur dan semakin lama menurun selama kultur. II.2 Tuberkulosis II.2.1 Patofisiologi Tuberkulosis Tuberkulosis dapat terjadi melalui berkembangnya infeksi baru yang didapat, reaktivasi dari TB laten, atau infeksi eksogen yang kembali terjadi. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam saluran napas bawah, kemudian terjadi rangkaian peristiwa imunologi. Hasil dari imunologi pertama ini adalah apakah indvidu yang terinfeksi mampu melawan infeksi dan menjadi TB laten atau berkembang progresif menjadi TB primer. Setelah mendapat infeksi primer, 10 adanya gangguan di dalam sistem imun dapat mengakibatkan reaktivasi Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan secara klinis penyakit menjadi aktif (Daley, 2004). II.2.1.1 Tuberkulosis Primer Price dan Lorraine, (2006) menyatakan bahwa tempat masuk bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas dan diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensivitas selular (lambat). Bakteri tuberkulosis yang masuk melalui saluran pernapasan akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Masa inkubasi Mycobacterium tuberculosis hingga membentuk afek primer biasanya berlangsung dalam waktu 10-20 hari. Ciri utama dari sarang primer akan terlihat adanya peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut akan diikuti oleh terjadinya pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional) (Price dan Lorraine, 2006). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2002) menyatakan bahwa afek primer yang terbentuk bersama dengan limfangitis regional disebut sebagai kompleks primer (tuberkulosis). Kompleks primer tersebut akan mengalami 11 beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). 2. Sembuh dengan meninggalakan sedikit bekas (antara lain Ghon, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus). 3. Menyebar dengan cara : a. Perkontinuitatum, menyebar ke daerah di sekitarnya. Misalnya pada epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas. Bakteri tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat sampai ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik dibagian paru yang bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi bakteri. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang kuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis landouzy. II.2.1.2 Tuberkulosis Post-Primer Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2002), mengatakan bahwa dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post- 12 primer, biasanya pada rentang usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer disebut juga tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang menjadi masalah kesehatan di masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan terbentuknya sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Pneumonik ini selanjutnya akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti yang terbentuk dapat meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan sebelumnya. Kaviti yang terbentuk dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Selain itu, kaviti bisa 13 pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. II.2.2 Respon Imun Terhadap Bakteri TB Menurut Karakousis, et al. (2004) segera setelah terjadi infeksi bakteri TB akan difagositasis oleh sel makrofag alveolar dan tetap bertahan hidup dalam fagosom. Respon makrofag terhadap infeksi awal ini merupakan innate immune responses yang utama. Selanjutnya rekrutmen sel-sel dendritik merupakan respon imun selular termasuk didalamnya keterlibatan sel T CD4+ dan CD8+ dengan kemungkinan terbentuknya granuloma. Pada umumnya sebagian besar individu mampu bertahan agar tidak sakit tetapi tidak mampu mengeleminasi bakteri, sehingga bakteri tetap berada di dalam granuloma yang dapat berkembang dan menimbulkan infeksi TB laten. Karakousis, et al. (2004) menyatakan bahwa ada beberapa faktor penentu virulensi bakteri yang ada di dalam dinding sel Mycobacterium tuberculosis dan dapat menjelaskan immunopatogenesisnya. Faktor tersebut adalah : 1. Aipoarabinomannan, 2. Sulfolipida, 3. Asam mikolat yang mengandung glikolipida, 4. Lipoprotein 19-kDa. Respon imun innate terhadap dinding sel lipida bakteri TB mempunyai efek terhadap migrasi sel neutrofil, sel monosit dan sel makrofag. Lapisan dinding sel terutama LAM dan TDM menimbulkan aktifasi pembentukan granulositik di dalam paru-paru. LAM secara langsung dapat menghambat aktifasi makrofag oleh IFN-γ, dan merangsang produksi tumor growth factor beta (TGF-β) makrofag, 14 sehingga dapat menghambat aktifasi sel makrofag dan sel T. Akibatnya terjadi pergeseran ke arah perkembangan sel tipe Th2 dan berakibat terjadinya imunitas yang tidak efektif terhadap bakteri TB (Karakousis, et al. 2004). Eliminasi bakteri TB sangat bergantung pada keberhasilan interaksi antara sel makrofag dan sel limfosit T. Sel TCD4+ dengan produksi sitokin utama IFN-γ setelah mendapat stimulasi antigen bakteri TB menimbulkan efek protektif. Sel subset T yang lain yaitu TCD8+ mempunyai kontribusi dalam proteksi terhadap bakteri melalui sekresi sitokin dan melisis sel yang terinfeksi. Respon sel T merupakan spesifik antigen dengan antigen imunodominan tertentu. Bersama Major Histocompatibility Complex (MHC) serta adanya polimorfisme di MHC, maka setiap individu mempunyai suseptibilitas berbeda terhadap infeksi dan terjadinya penyakit TB (Emoto, et al. 1999). Pengenalan bakteri TB oleh sel fagosit memicu terjadinya aktifasi dan produksi sitokin dan kemokin. Terdapat dua macam kelompok sitokin yang berperan di dalam respon imun terhadap bakteri TB, yaitu sitokin proinflamasi dan sitokin anti inflamasi (Van Crevel, et al. 2002). Beberapa sitokin proinflamasi yang terlibat di dalam proses infeksi bakteri TB adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, IL-1β, IL-6, IL-12, IL-8, IL-15 dan IFN-γ. Sitokin anti inflamasi adalah IL-10, Tumor Growth Factor (TGF)-β dan IL-4. Kemokin yang terlibat dalam proses respon imun terhadap infeksi bakteri TB adalah IL-8 dan Monocyte Chemo atractant Protein 1 (MCP-1) (Van Crevel, et al. 2002). Menurut Emoto, et al. (1999) peran protektif IFN-γ pada TB sangat dikenal dan sudah sering dibuktikan kebenarannya terutama dalam konteks antigen spesifik T-cell immunity. Produksi IFN-γ terhadap antigen yang spesifik pada penyakit TB in vitro dapat dijadikan marker yang penting. Beberapa sel yang 15 berperan dalam memproduksi IFN-γ karena adanya respon imun terhadap bakteri TB adalah sel NK, makrofag paru, sel TCD1, sel Tgd, TCD4+ dan sel TCD8+ (Van Crevel, et al. 2002). Respon imun humoral terhadap antigen bakteri TB seperti LAM, SL-1, TDM dan lipoprotein 19-kDa dapat terjadi setelah manusia diinfeksi oleh bakteri TB. Imunoglobulin G terhadap LAM menimbulkan aktifasi komplemen klasik yang penting didalam fagositosis. Imunoglobulin M anti LAM meningkatkan pembersihan LAM yang ada di serum. Pemberian TDM dapat meningkatkan pembentukan respon antibodi IgM dan menginduksi sitokin IL-4, IL-6 dan IL-10 yang selanjutnya sitokin tersebut menjadi milieu yang kondusif untuk meningkatkan produksi antibodi. Antibodi anti LAM yang terbentuk selama infeksi adalah isotipe IgG2 tetapi apabila yang terbentuk adalah isotipe IgG1 maka antigennya lipoprotein 19-kDa (Flynn dan Chan, 2001). Antibodi terhadap antigen lipid mikobakteri sudah banyak diteliti sebagai sarana diagnostik TB yang potensial. Secara umum uji diagnostik terhadap keberadaan antibodi memberikan hasil sensitifitas dan spesifisitas yang tidak optimal dan sampai saat ini tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam program pemberantasan penyakit TB (Karakousis, et al. 2004). Gambar 3. Respon Imun Tuberkulosis (O’Garra, et al., 2011) 16 II.2.3 Tuberkulosis Laten Diperkirakan sekitar dua miliar orang menderita TB laten yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kasus TB aktif yaitu 9,2 juta orang dan kasus kematian sebanyak 1,7 juta orang di dunia. Diperkirakan Asia merupakan penyumbang sekitar 55% kasus TB aktif tersebut dan hanya 78% diantaranya yang terdeteksi. Tuberkulosis laten akan berkembang menjadi TB aktif pada 50% bayi dalam 3 sampai 9 bulan setelah infeksi, 25% anak pada usia 1 sampai 5 tahun dan 15% remaja dalam 1 sampai 2 tahun setelah infeksi (Panjaitan, 2014). Tuberkulosis laten didefenisikan sebagai keadaan asimtomatik dengan karakteristik adanya respon sel T spesifik mikobakterium yang ditandai dengan hasil uji tuberkulin positif, tidak ada manifestasi klinis TB paru atau ekstra paru, dan tidak ada bukti sembuh dari sakit TB. Hanya sebagian kecil individu yang penderita TB laten yang mengalami perkembangan menjadi TB aktif. Jumlah kuman pada TB laten tidak cukup untuk menyebabkan TB aktif. Tuberkulosis laten mempunyai karakteristik dorman dan metabolisme kuman Mycobacterium tuberculosis bersifat inaktif (Panjaitan, 2014). Kejadian TB laten tidak sama pada semua kelompok umur. Kemungkinan terjadinya TB laten lebih tinggi pada kelompok umur yang lebih muda, karena kemampuan yang rendah melawan infeksi akibat sistem imun yang belum berkembang sempurna (immature). Anak usia muda berada pada resiko tinggi mengalami TB laten. Penelitian menunjukkan resiko mengalami TB laten pada anak kurang dari lima tahun sebesar 10% sampai 20% (Panjaitan, 2014). 17 II.2.4 Gejala Klinis Tuberkulosis Menurut Amin dan Asril (2009) keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan-keluhan tersebut dapat dikategorikan sebagai gejala klinis dari penyakit tuberkulosis. Gejala tersebut yaitu: 1. Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadangkadang panas badan dapat mencapai 40-41oC, serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi bakteri tuberkulosis yang masuk 2. Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan unruk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 3. Sesak Napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yakni 18 infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 4. Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. 5. Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot dan keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. II.2.5 Diagnosis Tuberkulosis Tes kulit tuberkulin adalah metode yang terbukti dapat mengidentifikasi adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis pada orang yang tidak mempunyai gejala menderita penyakit TB. Meskipun antigen tes kulit tuberkulin yang tersedia mempunyai sensifitas dan spesifitas kurang dari 100% untuk mendeteksi infeksi Mycobacterium tuberculosis tetapi belum ditemukan metode yang lebih baik. Tes kulit tuberkulin dapat berguna untuk mengidentifikasi orang yang baru terinfeksi Mycobacterium tuberculosis jika dilakukan pengulangan tes secara periodik (Mayhall, 2004). Infeksi Mycobacterium tuberculosis biasanya mengakibatkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat sebagai reaksi terhadap disuntikkannya tuberkulin PPD yang dapat dideteksi setelah dua sampai dua belas minggu terinfeksi (Handayani, 2002). Hasil tes tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi dengan basil TB. Hasil tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut sedang terinfeksi basil TB. The American College 19 Health Association (ACHA) menyebutkan jika hasil tes tuberkulin positif maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto toraks tersebut normal maka dapat dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika foto toraks terjadi kelainan dan menunjukkan kearah TB maka dapat dimasukkan dalam TB paru aktif (Kenyorini, et al., 2006). Reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap tuberkulin PPD juga mengindikasikan adanya infeksi berbagai nontuberculosa mycobacteria hal ini merupakan penyebab positif palsu pada tes kulit tuberkulin. Sedangkan yang menyebabkan terjadinya hasil tes negatif palsu yaitu adnya penyakit yang mempengaruhi organ limfoid, pengaruh obat dan usia, terjadi bias dan kesalahan dalam membaca (Kenyorini, et al., 2006). Pengetahuan tentang sensitifitas dan spesifisitas dan juga nilai prediksi positif dari tes kulit tuberkulin diperlukan untuk menginterpretasikan reaksi tes kulit secara tepat. Pada orang dengan infeksi TB laten dan respon imunnya normal sensitifitas tes hampir mendekati 100%. Reaksi positif palsu mengakibatkan spesifisitas menjadi lebih rendah dan menurunnya nilai prediksi positif pada orang yang mempunyai sedikit kemungkinan untuk infeksi TB laten. Spesifisitas dapat diperbaiki dengan menambahkan ukuran reaksi yang membedakan reaksi positif dari reaksi negatif (American Thoracic Society, 2000). Salah satu pertahanan tubuh terhadap bakteri patogen adalah dengan menggunakan sistem imunologi. Pada proses patogenitasnya beberapa bakteri menghasilkan produk sekretorik atau eksektorik dalam bentuk protein. Protein yang dibentuk itu disebut sebagai antigen. Jika antigen ini masuk ke dalam tubuh, tubuh mampu menghasilkan molekul protein kompleks lainnya (antibodi) yang menetralisir antigen dengan mengikat mereka. Teknik yang digunakan untuk 20 mengukur antibodi atau antigen tersebut merupakan alat alternatif untuk diagnosis. Metode diagnosis yang menggunakan reaksi pengikatan imunologi antara antibodi dan antigen disebut immunodiagnosis dan tes untuk mengukur antibodi atau antigen disebut immunoassay. Metode ini dapat dijadikan sebagai alternatif yang cepat untuk menentukan isolat Mycobacterium tuberculosis (MTB) atau Nontuberculous Mycobacteria (NTM) (Handayani, 2002). II.2.5.1 Tes Tuberkulin Tes kulit tuberkulin telah digunakan sebagai tes diagnostik infeksi TB laten sejak awal tahun 1900. Tes ini murah dan relatif mudah untuk dilakukan (Lopes,et al. 2008). Sejarahnya berawal pada tahun 1882 yang lalu, segera setelah ditemukan basil TB, Robert Koch mengambil konsentrat steril dari biakan cair yang sudah mati yang disebut tuberculin. Tes kulit tuberkulin adalah salah satu metode yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi TB. Tes kulit tuberkulin dilakukan untuk melihat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil TB, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi tes tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan Mycobacterium tuberculosis tersebut aktif atau tidak aktif (laten) (Kenyorini, et al., 2006). II.2.5.2 Immunodiagnostik Immunodiagnostik adalah metodologi diagnostik yang menggunakan reaksi antigen-antibodi sebagai sarana utama untuk melakukan deteksi. Konsep menggunakan imunologi sebagai alat diagnostik diperkenalkan pada tahun 1960 sebagai tes untuk pengujian serum insulin. Tes kedua dikembangkan pada tahun 1970 sebagai pengujian untuk tiroksin pada 1970-an (Edwards, et al., 1982). 21 Teknik immunodiagnostik digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi dengan menggunakan berbagai aplikasi dari imunologi dan metode immunochemical untuk diagnosis penyakit yang disebabkan mikroba. Immunodiagnosis merupakan metode yang banyak digunakan untuk mengetahui penyakit pada manusia karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas imun yang spesifik (respon imun). Penggunaan awal diagnosis imunologis adalah untuk menunjukkan antibodi dari penyakit yang memproduksi agen mikroba. Hal ini dilakukan langsung dengan uji Widal dan dengan menunjukkan nilai titer yang meningkat antara serum sampel yang diambil pada fase akut kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil selama masa pemulihan (Edwards, et al., 1982). II.3 Kloning Gen Kloning merupakan proses pembuatan salinan dari suatu gen dengan prinsip teknologi DNA rekombinan (Brooker, 2005). Molekul DNA rekombinan dibuat dengan menyisipkan fragmen DNA yang mengandung gen target ke dalam vektor. Vektor berperan sebagai pembawa gen yang akan dikloning ke dalam sel inang. Vektor rekombinan yang ditransformasi ke dalam sel inang ikut membelah setiap sel inang melakukan pembelahan sehingga koloni sel inang yang membawa vektor dengan gen target akan menghasilkan salinan gen target yang banyak (Wong, 1997). II.3.1 Komponen Kloning II.3.1.1 Sampel DNA Sampel DNA yang digunakan untuk kloning dapat berasal dari hasil isolasi DNA yang dimanipulasi lebih lanjut dengan prosedur subkloning, produk 22 PCR, atau oligonukleotida yang disintesis secara kimiawi (Twyman, 1998). Sampel DNA dapat juga berupa DNA genom atau DNA komplementer yang merupakan DNA komplemen dari mRNA (Snustad dan Simmons, 2003). II.3.1.2 Vektor Grompe, et al. (1998) menyatakan bahwa vektor adalah DNA untai ganda sirkuler yang memiliki ukuran kecil (2000-5000 pb) dan dapat bereplikasi di dalam sel inang. Sedangkan menurut Campbell, et al. (2010) vektor adalah molekul DNA yang dapat membawa DNA asing kedalam sel inang dan bereplikasi di dalam sel inang. Molekul DNA yang berperan sebagai vektor harus memiliki beberapa syarat seperti memiliki penanda awal replikasi/ origin of replication (ORI), gen penanda seleksi (umumnya berupa gen resistan pada antibiotik), dan situs pengenalan restriksi yang unik (multiple kloning sites/ MCS) (Snustad dan Simmons. 2003). Vektor dapat berupa plasmid, bacteriophage, fagemid, kosmid, yeast artificial chromosomes (YACs), dan bacterial artificial chromosomes (BACs). Vektor modern saat ini telah direkayasa sehingga memiliki beberapa situs restriksi (polylinker sites). Vektor pada saat sekarang ini telah dibuat mempunyai jumlah salinan tinggi dan memiliki ukuran 3 kb sehingga dapat menerima DNA sisipan sampai 15 kb. Kebanyakan DNA yang diklon ke dalam vektor berukuran relatif kecil kurang dari 10 kb, karena ukuran DNA yang jauh lebih besar biasanya tidak stabil (Grompe, et al.1998). Vektor berdasarkan fungsinya terdiri atas dua jenis, yaitu vektor kloning dan vektor ekspresi. Vektor kloning adalah vektor yang digunakan untuk perbanyakan atau kloning gen. Vektor ekspresi merupakan vektor yang tidak 23 hanya dapat bereplikasi sendiri, tetapi juga mengandung sinyal-sinyal ekspresi, sehingga gen yang dikloning juga dapat ditranskripsi menjadi mRNA dan kemudian ditranslasi menjadi protein. Tiga sinyal ekspresi yang paling penting antara lain promoter transkripsi, terminator transkripsi, dan tempat pengikatan ribosom (Brown, 1987).Salah satu tipe vektor yang sering digunakan dalam teknik kloning adalah plasmid. Plasmid merupakan molekul DNA yang berbentuk lingkaran (sirkular) beruntai ganda di luar kromososm yang dapat melakukan replikasi sendiri di dalam sel bakteri (Snustad dan Simmons. 2003). II.3.1.3 Enzim Restriksi Enzim restriksi merupakan endonuklease yang memecahkan ikatan fosfodiester pada situs pengenalan spesifik dari DNA (Wong, 1997). Enzim restriksi dibedakan berdasarkan hasil potongan yang dihasilkan. Beberapa enzim memotong kedua untai DNA pada posisi yang sama dan akan menghasilkan ujung potongan blunt end. Contoh enzim tersebut adalah HaeIII, HindII dan SmaI. Potongan blunt end dihasilkan jika enzim restriksi memotong DNA tepat pada bagian tengah situs pengenalannya. Beberapa enzim memotong untai DNA pada posisi yang berbeda dan menghasilkan potongan kohesif yang disebut sticky end. Contoh enzim tersebut adalah EcoRI, HindIII dan PstI (Wong, 1997). Grompe, et al. (1998) menyebutkan bahwa enzim restriksi umumnya diperoleh dari bakteri, yang dapat mengenal DNA untai ganda dengan urutan basa spesifik serta memotong pada tempat tertentu. Enzim ini berfungsi untuk membatasi masuknya DNA asing dengan cara memotong DNA pada situs restriksi yang tidak terdapat pada bakteri. Setiap enzim restriksi dapat mengenal, mengikat dan memotong urutan basa tertentu yang terdiri dari 4-8 pasang basa. 24 Enzim restriksi diberi nama sesuai dengan bakteri penghasilnya, misalnya EcoRI berasal dari Eschericia coli, penggunaan enzim restriksi adalah dengan menginkubasi enzim bersama-sama dengan DNA dalam larutan buffer yang sesuai sehingga akan dihasilkan potongan-potongan DNA dengan ukuran tertentu. Pemotongan enzim restriksi bersifat spesifik untuk urutan basa tertentu, sehingga DNA yang berbeda akan menghasilkan pola pemotongan yang khas. Pola ini dapat diketahui setelah dilakukan elektroforesis gel dan pewarnaan sehingga fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya dapat terlihat (Grompe, et al., 1998). II.3.1.4 Ligasi Ligasi adalah suatu proses penggabungan fragmen DNA yang saling berlinear dengan menggunakan ikatan kovalen. Prose ligasi dikatalis oleh enzim ligase dengan bantuan ATP. Menurut Grompe, et al., (1998) ligasi DNA hanya dapat terjadi antara dua ujung fragmen DNA yang kompatibel. Kompatibilitas inilah yang digunakan untuk mengatur ligasi beberapa fragmen DNA yang berbeda secara sekaligus dalam satu campuran reaksi. Proses ligasi memerlukan kofaktor ATP yang kemudian membentuk kompleks enzim-AMP. Kompleks ini menempel dan menyambung gugus 5’-fosfat dan 3’-hidroksi dengan ikatan kovalen sehingga terbentuk rantai fosfodiester (Sudjadi, 2008). Enzim ligase merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan kembali ikatan fosfodiester antar potongan fragmen DNA. Contoh enzim ligase adalah bacteriophage T4 DNA ligase. Enzim ligase digunakan dalam teknik rekayasa genetika karena mampu menyambungkan fragmen DNA ujung rata (blunt end) dan ujung kohesif (sticky end). Enzim-enzim ligase lainnya yaitu E.coli DNA ligase dan thermostable DNA ligase (Sambrook dan Russell, 2001). 25 Moelhard (2007) menyebutkan proses ligasi berjalan baik pada temperature 14oC-16oC selam 1 jam atau lebih. Proses ligasi berjalan cepat ketika terdapat overhang pada vektor kloning dan DNA sisipan. Ligasi dari vektor kloning dan DNA sisipan yang tidak memiliki overhang akan lebih sulit dan reaksinya akan kurang efektif, pada temperatur yang sama dalam waktu 4-18 jam atau pada temperatur 4oC semalam. II.3.1.5 Sel inang Sel inang dipilih berdasarkan tujuan kloning dan asal gen yang dikloning. Karakteristik sel inang yang baik antara lain memiliki laju pertumbuhan cepat, tumbuh dalam jumlah yang banyak, nonpatogenik, genom telah dipetakan, dapat menerima vektor, dapat menjaga stabilitas gen asing, dan dapat mengekspresikan gen asing (Tamarin, 2002). Sel inang prokariotik yang umum digunakan adalah Eschericia coli, sedangkan sel inang eukariotik yang umum digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Bakteri E.coli merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif yang dapat tumbuh dengan cepat dalam medium pengayaan, serta memiliki banyak galur yang telah dikarakterisasi (Davis, et al, 1994). Galur-galur E.coli yang sering digunakan dalam rekayasa genetika antara lain BL21, DH1, DH5α, JM103, XL1-Blue, dan JM109 (Sambrook dan Russell, 2001). II.3.2 Tahapan-tahapan proses kloning Prosedur kloning suatu gen tertentu didahului dengan pemotongan DNA vektor dengan menggunakan enzim restriksi, sehingga DNA vektor sirkuler terbuka dan menjadi linier. DNA untai ganda linier lain yang diinginkan dibuat dengan ujung-ujungnya sesuai untuk diligasikan ke dalam celah sehingga 26 terbentuk kembali vektor sirkuler yang mengandung insert. Vektor rekombinan yang diperoleh kemudian akan dimasukkan ke dalam sel inang melalui proses transformasi (Grompe, et al. 1998). Proses pemasukan molekul DNA ke dalam sel disebut transformasi karena masuknya molekul DNA ke dalam sel dapat mengubah fenotip sel tersebut (Muladno, 2010). Menurut Suryo (2011) Pada umumnya, membuat klon dari sepotong DNA tidak akan bermanfaat apabila informasi genetik yang tersimpan di dalam DNA itu tidak dapat dipindahkan ke tempat lain yang dapat membentuk protein baru. Oleh karena itu perlu dilakukan penyisipan DNA ke dalam sel. II.3.2.1 Pemilihan sampel DNA Sampel DNA yang dipilih dalam proses kloning tergantung dari tujuannya. Sampel DNA dapat berupa DNA genom apabila kloning bertujuan mengetahui regulasi dan transkripsi suatu protein, sedangkan apabila kloning bertujuan mengetahui sekuen asam amino pada suatu protein, maka informasi lebih mudah didapatkan dari sekuen nukleotida yang berasal dari cDNA (Watson, et al, 1992). II.3.2.2 Penyisipan DNA ke dalam vektor Fragmen DNA dan vektor harus dipotong terlebih dahulu, sebelum fragmen DNA disisipkan ke dalam vektor. Pemotongan fragmen DNA dan vektor dilakukan menggunakan enzim restriksi yang sama (Campbell, et al, 2010). Enzim restriksi akan memotong fragmen DNA dan vektor pada situs spesifik, dengan tujuan agar vektor dan fragmen DNA memiliki ujung-ujung yang saling bersesuaian. Proses selanjutnya adalah ligasi. Ligasi dilakukan dengan cara menggabungkan fragmen DNA dan vektor yang telah dipotong kemudian digabungkan melalui ikatan kovalen menggunakan enzim ligase (Wong, 1997). 27 II.3.2.3 Transformasi vektor rekombinan ke dalam sel inang Proses introduksi DNA asing ke dalam sel inang disebut transformasi. Berdasarkan tujuan transformasi sel inang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sel inang sementara dan sel inang tetap. Sel inang sementara yaitu sel yang digunakan hanya untuk memperbanyak jumlah sel DNA rekombinan sedangkan sel inang tetap yaitu sel inang yang digunakan untuk mengekspresikan gen asing yang dikloning (Sjahril, 2008). Terdapat beberapa metode transformasi. Pemilihan metode yang digunakan bergantung dari sel inang yang digunakan. Transformasi DNA dapat dilakukan dengan metode CaCl2 dan elektroporasi, dengan perantara Agrobcterium tumefaciens, biolistik atau particle bombardment, mikroinjeksi, dan transfer dengan polietilen glikol (PEG) (Wong, 1997). Tidak semua bakteri dapat menjadi objek dari transformasi, hanya sel kompeten bakteri yang dapat digunakan. Sel kompeten adalah bakteri yang telah diberi perlakuan fisika atau kimia yang meningkatkan kemampuannya untuk menerima DNA rekombinan. Pembuatan sel kompeten dapat dilakukan dengan metode penambahan CaCl2 atau dengan penambahan DMSO/ metode TSS. Sel kompeten harus dipanen pada log-fase dan disimpan pada temperature dingin yaitu -80oC, karena akan menurunkan kualitas kompeten sel jika dibiarkan dalam temperatur ruang (Moelhard, 2007). Transformasi dengan metode elektroporasi memanfaatkan kejutan listrik langsung pada sel kompeten. Teknik elektroporasi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut elektroporator. Energi yang digunakan pada teknik elektroporator dapat mencapai hingga 50.000 V. Kejutan listrik tersebut akan menggangu kestabilan membran E.coli sehingga akan terbentuk pori-pori 28 pada membran sel. Pori-pori tersebut memungkinkan membran sel terbuka serta membuatnya menjadi permeabel. Hal tersebut menyebabkan molekul DNA dapat masuk ke dalam sel (Wong, 1997). Gambar 4. Proses Ligasi dan Transformasi (Retnoningrum, 2010) II.3.2.4 Screening Screening merupakan tahapan untuk menyeleksi vektor rekombinan hasil kloning. Screening vektor rekombinan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan menguji sensivitas dan resistensi terhadap antibiotik, menumbuhkan sel transforman pada medium selektif nutrient, seleksi biru putih atau α-komplementasi, analisis restriksi dari DNA plasmid dan hibridisasi asam nukleat. Uji sensitivitas dan resistensi antibiotik dapat dilakukan apabila vektor pengklonan membawa sedikitnya satu gen penyebab resisten terhadap antibiotik pada sel inang, misalnya ampisilin (ampR). ampisilin dapat menghambat sejumlah enzim yang mempengaruhi sintesis dinding sel bakteri. Gen resisten ampisilin atau gen bla pada vektor mengkode enzim β-laktamase yang disekresikan ke dalam ruang periplasmik bakteri. Enzim tersebut akan mengkatalisis reaksi hidrolisis cincin β-laktam ampisilin sehingga bakteri menjadi resisten terhadap ampisilin (Sambrook dan Russell, 2001). 29 Gambar 5. Proses Kloning Molekular (Molnar dan Jane, 2015) Seleksi putih biru atau α-komplementasi terjadi ketika dua fragmen yang inaktif bersatu membentuk β-galaktosidase yang fungsional. Enzim βgalaktosidase menghidrolisis laktosa menjadi glukosa. Aktivitas enzim dapat diuji menggunakan senyawa 5-bromo-4-kloro-3-indolil-β-D-galtosidase (X-gal) yang menghasilkan warna biru pada medium. Enzim tersebut dihasilkan oleh gen lacZ pada MCS vektor pengklonan. Isopropil-1-tio-β-galaktosidase (IPTG) juga digunakan sebagai induser untuk menonaktifkan repressor lacZ. Bakteri yang mengandung plasmid rekombinan tidak menghasilkan enzim β-galaktosidase sehingga pada medium akan berwarna putih, sedangkan bakteri yang mengandung vektor rekombinan tetap menghasilkan enzim β-galaktosidase yang dapat memecah senyawa X-gal, sehingga koloni yang terbentuk akan berwarna biru (Sambrook dan Russell, 2001). 30 II.4 Vektor Plasmid pGEM-T Easy Plasmid awal disebut vektor pengklonan (cloning vector), yang didefenisikan sebagai molekul DNA yang dapat mengangkut DNA asing ke dalam sel inang dan bereplikasi di dalamnya. Plasmid bakteri banyak digunakan sebagai vektor pengklonan karena beberapa alasan. Plasmid semacam itu dapat diisolasi dari bakteri dengan mudah, dimanipulasi sehingga membentuk plasmid rekombinan dengan penyisipan DNA asing secara in vitro, dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam sel bakteri. Terlebih lagi, plasmid bakteri rekombinan (beserta DNA asing yang diangkut) memperbanyak diri dengan cepat berkat laju reproduksi sel inang yang tinggi (Campbell, et al. 2010). Plasmid pGEM-T Easy merupakan plasmid sirkular terbuka, memiliki dua buah origin of replication dan daerah resisten terhadap ampisilin (Amp). Plasmid ini mengandung multy cloning site. Karena memiliki kelebihan timin yang menggantung di ujung terbuka plasmid (T overhang), plasmid ini sering dipakai sebagai vektor untuk produk PCR yang selalu memiliki kelebihan adenin pada ujungnya tanpa memerlukan tahapan pemotongan terlebih dahulu. Plasmid pGEM-T Easy juga termasuk plasmid high copy number yang cocok untuk menyimpan gen insert dalam suatu inang (Kendrew & Lawrence, 1994). Selain itu, pGEM-T Easy merupakan vektor yang berukuran kecil yaitu 3015 bp. Ukuran tersebut relatif kecil sehingga vektor dapat membawa DNA target cukup banyak dan memudahkan preparasi DNA sisipan dalam jumlah besar. Vektor berukuran kecil lebih mudah dimasukkan ke dalam sel inang dan lebih mudah dimurnikan karena cenderung tidak rapuh dibandingkan dengan vektor berukuran besar (Sambrook dan Russel, 2001). 31 Menurut Brown (2006) sifat pGEM-T Easy adalah sebagai berikut : 1. T-overhang untuk memudahkan kloning produk PCR (TA kloning vektor). pGEM-T Easy adalah vektor linier dengan tutup 3’ timidin tunggal pada kedua ujungnya. T-overhang pada bagian sisi penyisipan dapat meningkatkan efisiensi ligasi dari produk PCR dengan mencegah resirkularisasi dari vektor dan menyediakan overhang yang cocok untuk produk PCR. 2. Seleksi biru/putih dari rekombinan. Vektor pGEM-T Easy adalah vektor dengan kemampuan menggandakan yang tinggi yang terdiri dari promotor T7 dan RNA polymerase SP6, mengapit beberapa daerah kloning di dalam daerah pengkode α-peptida dari enzim βgalaktosidase. 3. Proses ligasi yang cepat. Vektor pGEM-T Easy disertai dengan 2x rapid ligation buffer. Reaksi ligasi dengan menggunakan dapar ini dapat diinkubasi selama 1 jam dalam temperatur ruang. Waktu inkubasi dapat ditambah untuk meningkatkan jumlah koloni setelah transformasi. Secara umum, inkubasi semalam dalam temperature 4oC menghasilkan transforman dengan jumlah maksimum. Gambar 6. Peta pGEM®-T Easy Vector (www.promega.com, 2010) 32 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Alat Alat yang digunakan adalah centrifuse (profuge), waterbath (memmert), vortex (heidolph), timbangan (kern ew), inkubator shaker (heidolph), inkubator 1000 dan heidolph (titramax 1000), inkubator (memmert), mesin elektroforesis (bio rad), geldoc (bio rad), mikropipet (bio rad), tabung 1,5 ml dan 0,5 ml (axygen), tabung 50 ml (iwaki), oven (electrolux), kulkas (LG), freezer (gea), ice maker (hoshizaki), autoklav (hirayama), laminar air flow (labconco), tabung reaksi (pyrex), cawan petridish, erlenmeyer (pyrex), tabung mikrosentrifuga, mikrotube (eppendorf), tabung eppendorf, rak tabung eppendorf, power supply (power pac 100 biorad), gelas ukur (pyrex), gelas kimia, mesin heatshock, botol reagen, spatula drygalski. III.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Produk PCR MPT 64, Agarose, buffer PB, buffer PE, buffer EB, enzim T4 DNA ligasi, 2x rapid ligation buffer, nuclease free water, plasmid pGEM-T Easy, strain E.coli JM 109, medium Luria Bertani (LB), CaCl2, ampicillin, IPTG, X-Gal, aquades, tris base, asam borat, EDTA, buffer TBE, EtBr, Qiagen Kit, loading dye, marker 100 bp, NaCl, Bacto trypton, Bacto agar, Bacto yeast III.3 Metode Penelitian III.3.1 Pemurnian produk PCR dengan Kit Geneaid, Biotech, Ltd. Pemurnian produk PCR menggunakan Kit Geneaid (Qiagen) yang 33 mempunyai kolom EZ-10. Kit tersebut memiliki tahapan dalam purifikasi yaitu gel dissociation, DNA binding, Wash dan DNA elution. Pemurnian bertujuan agar mendapatkan fragmen DNA murni yang akan diligasikan ke vektor kloning. Produk PCR hasil elektroforesis pada gel agarose diambil sebanyak 10 l kemudian ditambahkan larutan buffer PB 50 l dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf. Kemudian diinversi hingga produk PCR dan buffer PB homogen, selanjutnya dipindahkan ke tabung spin coloum dan disentrifuse dengan kecepatan 13.000 rpm selama satu menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dan sebanyak 700 l buffer pencuci PE ditambahkan ke dalam spin colom, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit. Cairan yang terbentuk dibuang, setelah itu colom dipindahkan ke eppendorf steril dan ditambahkan 35 l buffer EB. Selanjutnya didiamkan selama 3 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit, cairan yang terbentuk dibuang sampai didapatkan DNA pekat. Produk yang sudah di purifikasi di cek dengan menggunakan elektroforesis gel agarose. Elektroforesis hasil purifikasi produk PCR dilakukan dengan cara membuat gel Agarosa sebanyak 0,75 gr ke dalam 50 mL TBE, kemudian panaskan dalam microwave ±3 menit tanpa diaduk, kemudian angkat dan dinginkan lalu ditambahkan EtBr (Ethidium Bromida), kemudian cetak ke dalam cetakan agar yang telah diatur. Biarkan hingga memadat. Kemudian masukkan 7 L sampel ke dalam masing-masing sumur gel yang ditambah dengan 2 L loading dye. Selanjutnya mesin elektroforesis dijalankan dengan 100 volt selama ± 3 jam. Hasil elektroforesis kemudian dibaca menggunakan geldoc. 34 III.3.2 Ligasi DNA orf MPT 64 ke vektor kloning pGEM-T Easy Proses ligasi dilakukan dengan menggunakan T4 DNA Ligasi. Komposisi reaksi ligasi terdiri dari purif MPT 64 (sampel) 5 μL, pGEM-T Easy 1 μL, enzim T4 DNA ligase 1 μL, 2x rapid ligation buffer 2 μL, dan nuclease free water 3 μL. Masing-masing komposisi dimasukkan dalam tabung 1,5 mL. Proses pencampuran dilakukan diatas es. Setelah semua larutan berada dalam kondisi homogen, maka akan dilakukan inkubasi pada suhu 4C selama 24 jam. III.3.3 Transformasi Pada Sel Kompeten E. coli JM 109 III.3.3.1 Pembuatan Sel Kompeten Sel kompeten yang digunakan ialah sel kompeten strain E. coli JM 109. Koloni tunggal E.coli JM 109 ditumbuhkan dalam 5 ml Medium LB (Luria Bertani). Kemudian dishaker pada 37oC selama 18 jam pada 150 rpm. Selanjutnya ke dalam 20 ml LB dimasukkan 2% kultur dan di inkubasi lagi 37oC selama 2 jam. Kultur didinginkan dalam es selama 10 menit. Kultur sebanyak 1,5 ml dipindahkan ke tabung eppendorf. Kemudian disimpan di dalam es selama 10 menit. Sentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang, kemudian ke dalam natan/endapan dimasukkan 300 µl CaCl2, resuspensi pelan-pelan dan di sentrifugasi lagi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan tambahkan 50 µl CaCl2 dingin kemudian diinkubasi semalam pada suhu 4C. III.3.3.2 Transformasi pada E.coli JM 109 Metode yang digunakan dalam transformasi ini adalah heat shock berdasarkan Sambrook et al.,(1989). Sebanyak 10 μL produk ligasi dimasukkan ke dalam 50 μL sel kompeten. Sebagai kontrol positif digunakan sel kompeten 35 Escherichia coli tanpa penambahan antibiotik dan sel kompeten Escherichia coli yang ditambahkan dengan antibiotik sebagai kontrol negatif. Ketiga tabung diinkubasi dalam es selama 1 jam. Proses heat shock dilakukan pada suhu 42oC selama 90 detik, kemudian diinkubasi dalam es selama 1 jam. Selanjutnya ditambahkan media LB cair sebanyak 600 μL. Tabung diinkubasi dengan menggunakan inkubator goyang pada suhu 37oC, selama 3 jam dengan 150 rpm. Selanjutnya disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Produk ligasi sejumlah 600 μL dipekatkan menjadi 150 μL kemudian disebarkan masing-masing 50 μL pada 15 mL media LuriaBertani (LB) padat yang mengandung 0,15 mg/mL ampisilin, 0,8 mg X-gal dan 0,397 mM IPTG. Diinkubasi pada suhu 37C selama 16-18 jam. III.4 Analisis Data Hasil kloning Rv 1980c pengkode protein MPT 64 dianalisis berdasarkan ada tidakknya koloni putih biru yang terbentuk, kemudian data disajikan dalam bentuk gambar dan dijelaskan secara deskriptif. Koloni yang mengandung pGEMT Easy dengan DNA sisipan gen MPT 64 akan berwarna putih. Sedangkan koloni biru merupakan E.coli yang hanya membawa plasmid pGEM-T Easy tanpa gen MPT-64. 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Purifikasi DNA Produk dengan menggunakan Purification Kit (Qiagen) Hasil amplifikasi gen MPT 64 dicek dengan menggunakan gel agarose. Setelah mengetahui pita yang ada pada hasil amplifikasi sudah terbentuk dengan densitas tinggi, hasil amplifikasi DNA selanjutnya dipurifikasi. Pada penelitian ini digunakan purification kit (Qiagen) untuk purifikasi produk PCR. Hasil purifikasi produk PCR kemudian dielektroforesis dan dilakukan pengecekan pita DNA pada gel agarosa. Selanjutnya divisualisasikan dengan menggunakan mesin geldoc sehingga dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Pita DNA Hasil Purifikasi Ket. : M= Marker 100 bp, MPT= Mycobacterium Protein Tuberkulosis 671 bp 37 Pada gambar 7 dapat dilihat adanya satu band DNA yang terbentuk dan berpendar sebagai hasil purifikasi. Band DNA yang berpendar ini merupakan hasil reaksi antara DNA dan ethium bromide (EtBr). EtBr adalah senyawa yang dapat mengikat DNA sehingga apabila disinari dengan sinar UV akan terlihat band yang berpendar (berwarna terang). Untuk mengetahui ukuran band DNA yang terbentuk digunakan marker sebagai penanda. Marker yang digunakan pada penelitian ini adalah marker 100 bp. Pada gambar 7 dapat dilihat adanya pergerakan atau migrasi pada sampel hasil purifikasi. Band DNA yang terbentuk dan berpendar berada diantara band ke-6 dan ke-7 pada marker, hal ini menandakan bahwa ukuran band DNA yang terbentuk berada antara 600 bp – 700 bp. Setelah itu dilakukan pengecekan pada data gen Bank sehingga didapatkan ukuran gen MPT 64 yaitu sebesar 671 bp. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fu, et al, (2009) bahwa gen MPT 64 memiliki ukuran 671 bp. Terbentuknya band DNA yang berukuran 671 bp dan tidak terdapat dimer pada visualisasi hasil elektroforesis membuktikan bahwa purifikasi yang dilakukan telah berhasil. DNA insert (MPT 64) hasil purifikasi telah siap digunakan pada tahapan selanjutnya untuk diligasikan ke vektor pGEM-T Easy. IV.2 Ligasi Vektor Plasmid pGEM-T Easy dengan produk purifikasi Hasil purifikasi produk PCR yang telah diperoleh selanjutnya dijadikan sebagai insert dalam proses ligasi ke vektor kloning. Pada penelitian ini digunakan vektor kloning pGEM-T Easy karena memiliki daerah Origin of Replication (ORI), memiliki situs gen resisten Ampisilin (Ampr) dan gen lacZ yang berperan dalam skrining biru-putih pada saat transformasi ke sel kompeten 38 Escherichia coli JM 109. Menurut Kendrew and Lawrence (1994) vektor pGEMT Easy merupakan plasmid linear yang memiliki basa Timin (T) menggantung (overhangs) pada kedua ujungnya. Daerah T-overhangs pada situs pemasukan insert dapat meningkatkan efisiensi ligasi untuk produk PCR karena mencegah terjadinya resirkularisasi. Pada penelitian ini digunakan perbandingan insert dan vektor 5:1. Penambahan insert dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan vektor dimaksudkan untuk memperbesar peluang insert dalam berikatan dengan vektor yang digunakan. Suhu optimum untuk aktivitas DNA ligase yaitu berada pada suhu 30C. Namun, pada suhu ini ikatan hidrogen yang terbentuk antara insert dan vektor menjadi tidak stabil dan mengakibatkan terjadinya kerusakan karena suhu tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan suhu 4C dan diinkubasi selama satu malam. Hasil dari ligasi tidak dapat dilihat secara kasat mata, sehingga perlu dilakukan transformasi ke dalam sel kompeten E.coli JM 109 dan ditumbuhkan pada media LB yang ditambahkan ampicillin, IPTG dan Xgal. IV.3 Transformasi Sel Kompeten E. coli JM 109 Transformasi dilakukan menggunakan sel kompeten Escherichia coli JM 109 yang berfungsi sebagai organisme yang akan memperbanyak DNA insert. Sel E. coli dibuat kompeten supaya permeabilitas dinding selnya meningkat sehingga vektor rekombinan lebih mudah masuk ke dalam sel. Menurut Radji (2011) penambahan CaCl2 dingin dapat menjadikan sel E. coli menjadi sel kompeten. Larutan CaCl2 dalam keadaan dingin efektif menyebabkan perubahan permeabilitas dinding sel bakteri. 39 Metode transformasi yang digunakan yaitu metode heat shock. Metode heat shock merupakan metode sederhana yang dapat menyebabkan pori-pori dari membran sel E. coli terbuka dalam waktu yang singkat dan siap untuk menerima vektor rekombinan yang akan masuk. Pada metode ini sel E. coli JM 109 diberi kejutan dengan suhu dingin dan suhu panas secara bergantian agar dinding selnya mengembang dan mengempis secara cepat sehingga memungkinkan DNA dari luar masuk ke dalam sel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sambrook dan Russell (2001) yang menyatakan bahwa proses transformasi yang dilakukan dengan metode heat shock dilakukan pada suhu 42C selama 90 detik. Pada umumnya bakteri tidak dapat hidup pada media yang mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid yang di transformasikan harus memiliki gen penyandi resisten antibiotik sehingga bakteri yang menjadi hostnya dapat bertahan hidup pada media yang mengandung antibiotik. Bakteri yang tidak berhasil disisipi oleh plasmid akan mati dengan sendirinya. Pada penelitian ini digunakan antibiotik berupa ampicillin. Ampicillin merupakan antibiotik yang memiliki spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram negatif maupun positif dengan cara menghambat secara irreversible aktivitas enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sisntesis dinding sel bakteri. Dengan adanya antibiotik ini akan menyeleksi pertumbuhan dari bakteri, sehingga hanya bakteri yang memiliki plasmid dengan daerah resisten ampicillin yang dapat tumbuh. 40 C Gambar 8. Hasil transformasi dan skrining biru putih. Keterangan : A = Kontrol Negatif, B = Kontrol Positif, C = Hasil Transformasi Sel kompeten E. coli JM 109, 1 = Koloni Putih, 2 = Koloni Biru Tabel 1. Hasil Transformasi E.coli JM 109 Jumlah Jumlah Sampel Koloni Putih Koloni Biru A (Kontrol negatif) 1352 B (Kontrol positif) C (Hasil Transformasi) 842 378 Persentase Koloni putih Koloni Biru 100 % 69 % 31 % Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa proses ligasi dan transformasi sel E.coli JM 109 telah berhasil. Perbandingan jumlah koloni putih (sel rekombinan) : koloni biru (sel non rekombinan) adalah 2 : 1, hal ini menunjukkan proses transformasi berlangsung dengan baik (Jones, 1998). 41 Transformasi merupakan kelanjutan dari proses ligasi. Sebelum melakukan proses transformasi, dibuat suatu kontrol untuk mengetahui keberhasilannya (Brown, 2006). Pada penelitian ini digunakan kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol positif dibuat tanpa menambahkan antibiotik, sehingga dapat diketahui kemampuan sel kompeten untuk hidup di media tanpa antibiotik atau agen penseleksi. Kontrol negatif dibuat dengan menambahkan antibiotik sehingga dapat menseleksi sel bakteri yang tumbuh pada media tersebut hanya sel yang kompeten. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sampel A (kontrol negatif) yaitu E. coli JM 109 hasilnya sama sekali tidak tumbuh koloni pada media LB ampicillin, hal ini dikarenakan pada kontrol negatif hanya terdapat E. coli JM 109 yang tidak memiliki plasmid yang resisten terhadap ampicillin. Pada sampel B (kontrol positif) adalah plasmid pGEM-T Easy non-insert yang diklon kedalam E.coli JM 109, hasilnya tumbuh 1352 koloni berwarna putih dalam media LB ampicillin, hal ini dikarenakan pada kontrol positif terdapat plasmid pGEM-T Easy yang memiliki penanda resisten ampicillin. Sedangkan pada hasil transformasi sel kompeten yang ditunjukkan sampel C bakteri E. coli JM 109 yang ditambahkan oleh X-gal dan IPTG diperoleh 842 koloni bakteri berwarna putih dan 378 koloni biru. Koloni putih yang terbentuk menandakan keberhasilan dari proses kloning yaitu plasmid berhasil disisipi dengan insert. Sedangkan koloni biru merupakan koloni bakteri yang tidak berhasil disisipi gen insert. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Izzah (2011) bahwa koloni E. coli yang berwarna putih (sel transforman) menunjukan DNA pengkode MPT 64 telah diligasi pada daerah MCS (multi cloning site) yang terdapat pada gen lacZ dari plasmid pGEM-T Easy. Sisipan fragmen DNA ini akan 42 menghambat gen lacZ untuk mengkode subunit β-galactosidase, sehingga enzim tersebut tidak dapat mendegradasi substrat galaktosa yang tersedia. Koloni bakteri berwarna biru, tidak memiliki fragmen DNA sisipan sehingga dapat mendegradasi substrat galaktosa yang tersedia. Gambar 9. Reaksi Pemecahan X-Gal (Izzah, 2011) Medium LB padat yang sudah ditambahkan antibiotik ampisilin, isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside (IPTG), dan X-Gal, dapat digunakan sebagai medium seleksi pertumbuhan sel kompeten yang ditransformasi. Penambahan IPTG dimaksudkan sebagai induser transkripsi pada gen operon lac yaitu lacZ. Gen lacZ akan mengkode suatu enzim β-galaktosidase yang berfungsi memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Adanya enzim β-galaktosidase dapat dideteksi dengan terjadinya pemecahan substrat X-gal (5-bromo-4-chloro-3indolyl-β-D-galactopyranoside) yang tidak berwarna menjadi galaktosa dan 5bromo-4-chloroindigo yang berwarna biru. Adanya enzim β-galaktosidase yang aktif akan menghasilkan koloni sel bakteri yang berwarna biru. Hal ini 43 menunjukan tidak adanya DNA sisipan di dalam plasmid vektor. Sebaliknya, sel yang tidak memiliki aktivitas enzim β-galaktosidase akan menghasilkan koloni sel bakteri yang berwarna putih. Hal ini disebabkan adanya sisipan fragmen DNA yang terletak diantara gen lacZ sehingga fragmen DNA akan menginaktifkan ekspresi dari gen lacZ (Madigan and Martinko, 2005). Tes tuberkulin merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan secara luas untuk mengetahui seseorang sudah terinfeksi tuberkulosis paru (Palomino, 2005). Namun tes ini memiliki beberapa kelemahan yaitu kurang spesifik, tidak bisa membedakan antara infeksi Mycobacterium tuberculosis dengan Myobacterium bovis strain Bacillus Calmette- Guerin, tidak bisa membedakan antara seseorang pasien tuberkulosis paru atau laten dan membutuhkan kecakapan individu dalam menginterpretasikannya. Hasil transformasi yang didapatkan menunjukkan keberhasilan proses transformasi vektor ke dalam sel host E.coli JM 109. Proses transformasi ini penting dilakukan untuk mengetahui bahwa bakteri yang telah ditumbuhkan pada media ampicillin berhasil disisipi dengan gen MPT 64 atau tidak. Koloni putih yang terbentuk merupakan bakteri yang berhasil disisipkan gen MPT 64. Koloni putih ini dapat digunakan sebagai kandidat antigen untuk imunodiagnostik tuberkulosis laten. Imunodiagnostik memiliki peluang sebagai metode yang lebih spesifik dalam mengenali infeksi TB tersebut, dengan menggunakan antigen yang dimurnikan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap kuman TB di tubuh pasien. Klon rekombinan Rv1980c-pGEMT Easy yang terbentuk dapat digunakan sebagai antigen untuk diagnosis tuberkulosis laten dengan melihat reaksi antigen dan antibodi. 44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Gen Rv 1980c pengkode protein MPT 64 telah berhasil di klon ke dalam vektor kloning pGEM-T Easy dengan persentase 69% hal ini ditandai dengan terbentuknya koloni putih V.2 Saran Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menguji hasil klon rekombinan gen Rv 1980c menggunakan hewan uji secara in vivo atau mengkombinasikan dengan beberapa gen yang ada sehingga dapat ditemukan suatu upaya yang cepat dan tepat dalam mencegah penyakit tuberculosis laten. 45 DAFTAR PUSTAKA American Thoracic Society. 2000. Targeted Tuberculin Testing and Treatment of Latent Tuberculosis Infection. Journal RespirCrit Care Med. 161 : S221-47. Amin, Z. dan Asril, B. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Interna Publishing. Jakarta. Brooker, R. J. 2005. Genetics: Analysis and Principles. McGraw-Hill. New York. Brosch, R., Gordon, S. V., Eiglmeier, K., Garnier, T., Tekaia, F., Yeramian, E., Cole, S. T. 2000. Genomics, biology, andevolution of the Mycobacterium tuberculosis complex. In Molecular Genetics of Mycobacteria. American Society for Microbiology. Washington, DC. Brown, T. 2006. Gene Cloning and DNA Analysis an Introduction, 5th edition. Blackwell Publishing Asia Pty Ltd. Australia. Brown, T. A. 1987. Gene Cloning an Introduction. Van Nostrand Reinhold Co. Ltd. Wokingham. Campbell, N. A., Jane, B. R., Lisa, A. U., Michael, L. C., Steven, A. W., Peter, V. M., Robert, B. J. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 1. Erlangga. Jakarta. Centres for Disease Control and Prevention (CDC). 2014. Untreatable: Today’s Drug-Resistant Health Threats. http://www.cdc.gov/media/dpk/2013/ dpk-untreatable.html, diakses pada tanggal 8 Mei 2016. Changtai Zhu, Jinming, L., Yang, L., Hua, Y., Zhonghua, L., Ruijuan, Z., Lianhua, Q., Zhongyi, H. 2013. Evaluation Of The Clinical Value Of Elisa Based On Mpt64 Antibody Aptamer For Serological Diagnosis Of Pulmonary Tuberculosis. BMC Infect Dis. Vol. 12; 13: 430. Chen, J., Renfang, Z., Jiangrong, W., Li Liu, Yufang, Z., Yinzhong, S., Tangkai, Q., 2011. Interferon-Gamma Release Assays for the Diagnosis of Active Tuberculosis in HIV-Infected Patients: A Systematic Review and Meta-Analysis. Plos One. Vol.8 : 1-6. Daley, C. L. 2004. Tuberculosis Latency in Humans. dalam : Rom, W. N., Garay, S. M., Bloom, B. R. Tuberculosis 2nd ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.p.85-99. 46 Davis, L. G., W. M. Kuehl., J. F. Battey., 1994. Basic Methods in Molecular Biology.2nd ed. Appleton dan Lange. Norwlk. Dinas Kesehatan Makassar. 2014. Profil Kesehatan Kota Makassar 2013. Pemerintah Kota Makassar. Makassar. Edwards, E. A., Michael, W. R., Richard, L. H., 1982. Immunodiagnostic Techniques for Bacterial Infection. Naval Health Research Center. San Diego. Emoto, M., Emoto, Y., Buchwalow, I. B., Kaufmann, S. H. 1999. Induction of IFN Gamma – Producing CD4+ Natural Killer T Cells by Mycobacterium bovis Bacillus Calmette Guerin. Eur J Immunol. Vol. 29: 650-59. Flynn, J. L. dan Chan, J. 2001. Immunology of tuberculosis. Annu Rev Immuno; Vol. 19: 93-129. Fu, R., Chun, W., Chunwei, S., Mengji, L., Zhengming, F., Jia, L., Fang, W., and Xionglin, F. 2009. An Improved Whole-Blood Gamma Interferon Assay Based on the CFP21-MPT64 Fusion Protein. Journals Clinical And Vaccine Immunology. Vol. 16 [5], p. 686-691. Ganguly, N., Pawan, Sharma. 2012. Mycobacterium tuberculosis RD-1 Secreted Antigens as Protective and Risk Factors for Tuberculosis. International Centre for Genetic Engineering and Biotechnology. New Delhi. Garrity, G. M., Julia, A. B., Timothy, G. L., 2004. Taxonomic Outline of The Prokaryotes Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, Second Edition. Springer. New York. Grompe, M., Johnson, W., dan Jameson, L. 1998. Recombinant DNA and Genetic Technique. In Principles of Molecular Medicine. Edited by J. Larry Jameson.Humana Press Inc. Totowa. New Jersey. Handayani, S. 2002. Respon Imunitas Seluler Pada Infeksi Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta. Hasegawa, N., Takao, M., Koudou, I., Kazuhiro, Y., Thomas, H. L., Samuel, M., Janis, D. M., Salman, H. S. 2002. New Simple and Rapid Test for Culture Confirmation of Mycobacterium Complex: a Multicenter Study. Journal Of Clinical Microbiology. Vol.40 (3), pp 908-912. Izzah, A., dan Agus, K. B., 2012. Analisis Tanaman Jarak Pagar Transgenik (Jatropha curcas L.) Menggunakan Primer Gen GusA. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah. Malang. 47 Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 22, diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. Jones, P. 1998. Vectors Cloning Applications-essential Techniques, John Wiley & Sons. BIOS Scient Publishers. NewYork. Kalra, M., Gopal, K. K., Javaid, A. S., Indu, V., 2010. Evaluation of Mycobacterium tuberculosis specific RD antigens for delayed type hypersensitivity responses in guinea pig. Indian Journal of Experimental Biology.Vol. 48, pp. 117-123 Kanade, S., Nataraj, G., Suryawanshi, R., Mehta, P. 2012. Utility of MPT64 Antigen Detection Assay for Rapid Characterization of Mycobacteria in a Resource Constrained Setting. Indian Journal of Tuberculosis, 59, 92-96. Karakousis, P. C., Bishai, W. R., Dorman, S. E. 2004. Mycobacterium Tuberculosis Cell Envelope Lipids and The Host Immune Response. Cellular Microbiology. Vol. 6: 105-6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan Indonesia). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Kendrew, S. J., Lawrence, E. 1994. The Encyclopedia of Molecular Biology. Blackwell Science. Cambridge. Kenyorini, Suradi, Surjanto, E., 2006. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol. 3 (2) : 1-5. Kumar, V. G., Urs, T. A., Ranganath, R. R. 2011. MPT 64 Antigen detection for Rapid confirmation of Mycobacterium tuberculosis Isolates. BMC research note. Lopes, L. K. O., Teles, S. A., Souza, A. C. S., Rabahi, M. F., Tipple, A. F. V., 2008. Tuberculosis Risk Among Nursing Professionals From Central Brazil. Am J Infect Control ; 36 : 148 – 51. Madigan, M.T. dan Martinko J.M., 2005. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. Prentice Hall. New Jersey. Mahairas, G. G., Sabo, P. J., Hickey, M. J., Singh, D. C., Stover, C. K., 1996. Molecular analysis of genetic differences between Mycobacterium bovis BCG and virulent M. bovis. J Bacteriol.Vol. 178(5): 1274-82. 48 Martin, R. 1996. Gel electrophoresis: Nucleid acids. Bros Scientific Publishers Ltd. Oxford. Martin, U. dan P. Hasibuan. 2010. Prevalens TB Laten Pada Petugas Kesehatan di RSUP H. Adam Malik Medan. J Respir Indo.Vol. 30 (2). Mayhall, C. G. 2004. Hospital Epidemiology and Infection Control.3th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Menzies, D., Madhukar, P., George, C., 2007. Meta-Analysis: New Tests for The Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection: Areas of Uncertainty and Recommendations for Research, Ann Intern Med. 2007; 146 : 340354 Moelhard, C. 2007. Molecular Biology and Genomics, The Experimenter Series. Elsevier Academic Press. California. Molnar, C. dan Jane, G. 2015. Concepts of Biology-1st Canadian Edition. BC Campus Open Ed. Kanada. Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika, Edisi Kedua. Penerbit IPB Press. Bogor. O’Garra A. Redford P. S., Murray P. J., 2011. The Role Of IL-10 In Immune Regulation During M.Tuberculosis Infection. Nature Review, Mucosal Immunology: 49 (3): 261-270. Palomino J. C. 2005. Nonconventional and New Methods in Diagnosis of Tuberculosis. Feasibility and Applicability in the Field.Jurnal Eur Respir. Vol. 26: 339- 50. Panjaitan, F. M., 2014. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Laten Pada Anak Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis Dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. Parkash, O., B. P. Singh., M. Pai., 2009. Regions of Differences Encoded Antigens as Targets for Immunodiagnosis of Tuberculosis in Human. Scandinavian Journal of Immunology. Vol. 70 :321–410. PDPI. 2002. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Price, Sylvia A., Lorraine, M. W. 2006. Patofisiologi :Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Volume 2, Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 49 Promega. 2010. pGEM-T and pGEM-T Easy Vector Systems. Woods Hollow Road Madison. USA. Radji, M. 2011. Rekayasa genetika Pengantar Untuk Profesi Kesehatan. Penerbit Sagung Seto. Jakarta. Retnoningrum, Debbie S. 2010. Prinsip Teknologi DNA Rekombinan. Sekolah Farmasi ITB. Bioteknologi Farmasi-FA 4202. Sambrook, J., dan D. W. Russell. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Volume 1-3. 3rd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. Sampson, S.,Robin, W., Madalene, R., Gian, V. D. S., Paul, V. H., 2001. Distribution of IS6110 Insertion Loci Relative to Open Reading Frames (Orfs) of The Mycobacterium tuberculosis H37Rv Genome. J. Clin. Microbiol. Vol. 39(9) :3423-3424. Sjahril, R. 2008. Aplikasi Konsep Teknologi DNA Rekombinan Pada Transfer Genetik Tanaman. Universitas Hasanuddin. Makassar. Snustad, D. P., dan M. J. Simmons. 2003. Principles of Genetic. 3rd ed. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken. Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Suryo. 2011. Genetika Manusia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Tabrani, R. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Trans Info Media. Jakarta. Tamarin, R. H. 2002. Principles of Genetics.7th ed. McGraw-Hill Companies, Inc. Boston. Twyman, R. M. 1998. Advanced Molecular Biology. BIOS Scientifics Publishers. New York. Van Crevel, R., Ottenhoff, T. H. M., Vd Meer, J. W. M. 2002. Innate immunity to Mycobacterium tuberculosis. Vol. 15: 294-309. Watson, J. D., M. Gilman., Witkowski., M. Zoller., 1992. Recombinant DNA.2nd ed. W. H. Freeman and Company. New York. WHO. 2015. Global Tuberculosis Report. World Health Organization. Wong, D. W. S. 1997. The ABC of Gene Cloning. International Thomson Publishing. New York. 50 Yi Jiang, Hairan, L., Haiyin, W., Xiangfeng, D., Xiugin, Z., Yun, B., Li, W., Guilian, L., Wen, Z., Chen, C., Kanglin, W. 2013. Polymorphism of Antigen MPT 64 in Mycobacterium tuberculosis Strains. Journal of Clinical Microbiology. Vol. 51 (5): 1558 – 1562. Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta. 51 Lampiran 1. Skema Kerja Pemurnian produk PCR dengan Kit Geneaid Elektroforesis pada gel agarose Ligasi DNA ORF MPT 64 ke vektor kloning pGEM-T Easy Transformasi Pada Sel Kompeten E. coli JM 109 Pembuatan Sel Kompeten Pengujian Hasil Kloning E. coli JM 109 tanpa plasmid + ampicillin (K-) E. coli JM 109 (K+) E. coli JM 109 + ampicillin + IPTG + X-gal Analisis Data 52 Lampiran 2. Skema pembuatan buffer TBE dan gel agarosa 1,5 % 1. Pembuatan Buffer TBE 108 gram Tris Base, 55 gram Asam Borat dan 40 mL EDTA 0,5 M disiapkan Dilarutkan dalam aquades Ditera sampai 1 liter 2. Pembuatan Gel Agarosa 1,5 % Sebanyak 0,45 gram agarosa ditimbang dan dilarutkan dalam 30 mL buffer TBE 1x Dilakukan pemanasan dengan microwave kemudian diamkan sampai dingin Ditambahkan 2 L EtBr Larutan dituang dalam cetakan yang telah disusun bersama sisirnya Setelah gel memadat, sisir diambil 53 Lampiran 3. Komposisi pembuatan media Luria Bertani (LB) Tabel 2. Komposisi media Luria Bertani (LB) No. Komposisi 1 NaCl 2 Bacto trypton 3 Bacto agar 4 Bacto yeast 5 Aquadest Dosis 1 gram 1 gram 1,5 gram 0,5 gram 100 mL 54 Lampiran 4. Komposisi reagen purifikasi produk PCR Tabel 3. Komposisi reagen purifikasi produk PCR No. Komposisi 1 Produk PCR (sampel) 2 Buffer PE 3 Buffer PB 4 Buffer EB 1 2 Volume yang Ditambahkan 50 μl 750 μl 50 μl 70 μl 3 4 55 Lampiran 5. Komposisi reaksi ligasi Tabel 4. Komposisi Reaksi Ligasi No. Komposisi dalam Reaksi Ligasi 1 Purif MPT64 (sampel) 2 Plasmid pGEM-T Easy 3 2x Rapid Ligation Buffer 4 Nuclease Free Water 5 Enzim T4 DNA Ligase Volume total 1 Volume yang Ditambahkan 5 μl 1 μl 2 μl 3 μl 1 μl 12 μl 2 4 3 5 56 Lampiran 6. Reagen Transformasi Sel Kompeten E. coli JM 109 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside (X-Gal) isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside (IPTG) 57 Lampiran 7. Full genom antigen MPT 64 (NCBI Gen Bank: NC_000962.3) ORIGIN 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 gtgcgcatca gccacggccg tgccagattc cccgaccaga gccacatcgt cagtccgcga ggcggcacgc ccaatcacct attgtgcaag ggcttggacc ttcaacccgg tccgcgatcg agatcttcat cgcccaagac aaatgtccga agtcgctgga ccactccacg taccgccgcg acccaacgac atgacacgct gtgaactgag cggtgaatta gggagttgct actcgatgct gctggtcacg ctactgcgag cccggcctac aaattacatc cgaagccccc tggtacgcag cacgtacaag gtggcaggct caagcagacc tcagaacttc gcccgaagca ggcctag gctgtcgttt gagttgaaag aacatcaaca gcccagacgc tacgaattga gccgtggtgc gccttcgatt gacaccgatc ggacaacagg gcagtcacga gccggcccaa tgctctgttg gcaccgatac tcagcctgcc gcgacaagtt atatcacctc tcaaggtcta gggaccaggc cgctgccagt tatcgatagc acgacggggt cccaggtatt ttcgggtgtg cggccaggcg cagttactac cctcagcgcg ggccacatac ccagaacgcc ctatcgcaag cgtcttcccc gccgaatgcc gattttcttc ggtcccacgt 58 Lampiran 8. Peta marka vektor kloning (pGEM-T Easy) 59 Lampiran 9. Prosedur Kerja Gambar 10. Pemurnian produk PCR dengan Kit Geneaid Gambar 11. Pembuatan gel agarose 60 Gambar 12. Ligasi DNA orf MPT 64 ke vektor kloning pGEM-T Easy Gambar 13. Pembuatan Sel Kompeten 61 Gambar 14. Transformasi pada E.coli JM 109 62