Bagaimana Mengelola Hubungan Industrial Tanpa Kehadiran Serikat Pekerja Oleh: Arbono Lasmahadi** Jakarta, 29 April 2004 Wajah Ginandjar tampak berseri-seri sore itu ketika ia baru saja keluar dari sebuah kantor di Kawasan Bisnis Segitiga Emas. Betapa tidak, Ia baru saja menanda-tangani kesepakatan kerja dengan sebuah perusahaan di Kawasan Elite tersebut, sebagai seorang Manajer di Divisi Sumber Daya Manusia (SDM). Di perusahaan yang baru ini dan dengan posisinya yang baru, Ginandjar akan mendapatkan tanggung jawab kerja dan wewenang yang lebih luas dari peran yang selama ini ia jalankan di perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Posisinya saat ini adalah sebagai Manajer Pelatihan dan Pengembangan yang bertanggung Jawab untuk mengelola proses rekrutmen dan seleksi , pelatihan dan pengembangan karyawan. Sementara di posisinya yang baru, ia akan bertanggung jawab untuk mengelola seluruh spektrum dari Fungsi SDM yang ada di perusahaan yang bersangkutan, yaitu dimulai dari proses rerutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, remunerasi, administrasi personalia, dan hubungan industrial, hingga penanganan masalah pensiun. Bila melihat tanggung jawab yang akan diembannya di perusahaan yang baru, wajar saja bila Ginandjar cukup senang atas tantangan yang ditawarkan oleh perusahaan yang baru. Namun di balik keceriaan yang ditampilkannya sore itu, ada terbesit di dalam pikiran Ginandjar, satu peran baru yang membuatnya sedikit cemas, yaitu mengenai pengelolaan hubungan industrial di perusahaan. Masalahnya adalah adanya perbedaan persepsi yang ada pada dirinya mengenai hubungan industrial dengan keinginan dari pihak manajemen perusahaan. Dalam pandangan Ginandjar , fungsi hubungan industrial sebaiknya dikelola dengan melibatkan serikat pekerja. Sedangkan dari pihak manajemen perusahaan menginginkan bahwa pengelolaan hubungan industrial dilakukan tanpa kehadiran serikat pekerja. Hal ini terjadi karena manajemen perusahaan percaya bahwa hubungan industrial yang positif dapat dibangun tanpa perlu hadirnya serikat. Sepanjang pengetahuannya semua perusahaan yang mempekerjakan minimum 25 orang karyawan wajib mempunyai sebuah serikat pekerja. Mungkinkan hubungan industrial yang positif terjalin tanpa kehadiran dari serikat pekerja? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam benak Ginandjar sering pula menjadi kekhawatiran para praktisi SDM yang mungkin sedang mengalami situasi yang mirip seperti yang dihadapi oleh Ginandjar atau yang berkeinginan untuk mengembangkan karirnya menjadi seorang generalis di bidang SDM. Pada dasarnya di dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan, keberadaan Serikat Pekerja bukanlah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bila kita merujuk kepada Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 106 dinyatakan : 1. 2. 3. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan Berdasarkan Undang-undang tersebut di atas, yang wajib dipenuhi oleh perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya adalah adanya lembaga kerjasama bipartite, dan tidak harus melulu melalui hubungan dengan Serikat Pekerja. Dengan perkataan lain, perusahaan dimungkinkan untuk mengelola hubungan industrialnya tanpa ada keterlibatan dari Serikat Pekerja. Meskipun Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 memberikan kemungkinan untuk itu, bukan berarti perusahaan dapat melakukan kampanye anti serikat pekerja di perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh,yang mengamanatkan : "Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara : 1. Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi 2. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh 3. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun 4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh" Apabila anda menjadi Ginandjar, apa yang akan anda lakukan dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan tanpa melibatkan serikat pekerja ? Uraian-uraian berikut ini akan menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola hubungan industrial di dalam perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Uraian-uraian ini dibuat berdasarkan pengalaman yang dialami oleh penulis; yang pernah bekerja di perusahaan yang mengelola hubungan industrialnya dengan keterlibatan dari serikat pekerja dan tanpa serikat pekerja; serta dari studi literatur yang ada A. Hubungan Industrial Tanpa Serikat Pekerja Perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan industrial yang produktif namun tidak ingin melibatkan serikat pekerja di dalam keseluruhan prosesnya dapat mempertahankan kondisi tersebut apabila : 1. Mampu meningkatkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja 2. Manajemen perusahaan mampu dan berkeinginan untuk menawarkan kondisi kerja yang sama atau lebih baik dari yang dapat mereka harapkan dari serikat pekerja (Mondy, Noe, & Premeaux, 2002) A.1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja Menurut American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations; AFL - CIO (Nation Business No. 54, 1966) ada sejumlah faktor yang dapat menurunkan kesempatan bagi terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan, seperti berikut : o Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya. o Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya. o Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai. Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Stone (1998) yang mengemukakan bahwa Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dari manajemen mendorong pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja o Tidak adanya favoritisme; yang biasanya diperoleh melalui mekanisme diluar prestasi kerja. o Para supervisor yang mempunyai hubungan baik dengan para bawahannya. Walaupun faktor-faktor tersebut muncul di Amerika Serikat, namun berdasarkan pengalaman penulis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut masih relevan untuk dipertimbangkan dalam konteks hubungan industrial di Indonesia. Sebagai contoh : penulis dalam kapasitasnya sebagai Manajer SDM pernah menyelesaikan pembuatan peraturan perusahaan dengan baik tanpa menimbulkan konflik, di perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Dalam proses pembuatan peraturan perusahaan ini, para perwakilan karyawan dilibatkan dalam memberikan usulan perubahan terhadap peraturan perusahaan yang ada. Memang tidak semua usulan perwakilan karyawan dapat diterima. Namun demikian, dengan pendekatan ini para karyawan tidak merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Dengan pendekatan ini pula, para perwakilan karyawan akan mempunyai rasa memiliki terhadap aturan-aturan yang ada. Hal ini kelak akan memudahkan pihak manajemen dalam menegakkan peraturan yang ada. Disamping itu hubungan baik yang terjalin antara penulis dengan perwakilan karyawan yang ada memudahkan penulis untuk menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan usulan-usulan perwakilan karyawan belum dapat dipenuhi. o A.2. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja Menurut Mondy, Noe, Premeaux ( 2002) ada sejumlah faktor yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat mengundang munculnya serikat pekerja. Faktorfaktor tersebut adalah : a. Supervisor lini pertama yang berfungsi efektif Hal yang paling penting bagi perusahaan agar tetap mempunyai kemampuan dalam mempertahankan status bebas serikat pekerja adalah efektifitas dari manajemennya, khususnya para Supervisor pada lini pertama. Para Supervisor ini merupakan pertahanan awal pihak manajemen terhadap serikat pekerja. Kemampuan para Supervisor ini dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, penilaian karya , keluhan karyawan, penegakkan disiplin dan pemberian penghargaan, akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Bila mereka mampu menangani masalah-masalah yang muncul dengan baik, kemungkinan besar sikap karyawan akan lebih positif terhadap perusahaan. Dengan demikian dapat menghindarkan karyawan untuk berpikir mencari alternatif pemecahan masalah yang lain, yang salah satunya melalui serikat pekerja. Peran para Supervisor ini tidak dapat diabaikan, walaupun mereka adalah tingkatan manajemen terendah di dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena para Supervisor biasanya mempunyai pengaruhi yang lebih besar kepada para karyawan dibandingkan dengan para Manajer lainnya. b. Adanya kebijakan bebas serikat pekerja Apabila perusahaan mempunyai sasaran untuk tetap mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibatan serikat pekerja, maka kebijakan tersebut seharusnya dikomunikasikan dengan baik dan berulang-ulang pada seluruh karyawannya. Para karyawan harus diberikan informasi yang lengkap dan tepat tentang alasan-alasan yang mendasari pihak manajemen organisasi untuk mengambil kebijakan ini dan dampak kebijakan ini terhadap seluruh karyawan. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk meyakinkan para karyawan tentang manfaat yang diperoleh oleh organisasi dan juga para karyawan atas penetapan kebijakan bebas serikat pekerja ini. Khususnya di Indonesia, penetapan dan penerapan kebijakan bebas serikat pekerja ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Dengan demikian hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan bahwa langkah yang diambil organisasi ini tidak dianggap sebagai upaya untuk melakukan kampanye anti serikat pekerja. Sesuatu kebijakan yang akan dianggap melanggar pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak secara resmi atau tertulis menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan bebas serikat pekerja. Namun dalam prakteknya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini mungkin bagian dari taktik perusahaan agar tidak dianggap melanggar undang undang. Namun demikian menurut hemat penulis, seandainya memang perusahaan ingin mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibaan serikat pekerja, maka sebaiknya perusahaan tidak perlu menetapkan dan menyatakan kebijakan ini secara terbuka kepada siapapun. Selain itu, praktisi SDM yang ada di perusahaan harus memahami dengan baik ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai serikat pekerja. c. Komunikasi yang efektif Agar tetap bebas dari serikat pekerja, perusahaan harus mampu membangun sebuah komunikasi yang efektif dengan seluruh elemen yang ada di dalam organisasi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun proses komunikasi yang efektif di dalam perusahaan, antara lain melalui : 1. Manajemen partisipatif Melalui manajemen partisipatif ini, para karyawan diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan tertentu oleh atasannya. Dengan pendekatan ini demikian para manajer dapat mendengarkan dan memahami gagasan-gagasan, umpan balik, maupun keberatan dari para karyawan. Dampak utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya sikap positif dan keyakinan dari para karyawan bahwa mereka telah diperlakukan dengan baik dan bahwa atasan mereka merupakan pihak yang tepat untuk menyalurkan aspirasi mereka, dan bukan serikat pekerja. 2. Manajemen Kinerja (Performance Management) Salah satu bentuk dari komunikasi yang efektif adalah apabila para karyawan memahami tugas-tugas yang harus dilakukannya, diberikan informasi yang diperlukan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dan diberikan umpan balik atas kinerja yang ditampilkannya. Semua kondisi tersebut di atas hanya dapat terjadi apabila proses manajemen kinerja di dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik. Dengan penerapan manajemen kinerja yang baik maka akan menghindarkan munculnya konflik di tempat kerja yang disebabkan oleh ketidak-jelasan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para karyawan. Konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menciptakan ruang bagi kemungkinan munculnya keinginan dari karyawan untuk membentuk serikat pekerja. Khususnya bila karyawan yang bersangkutan merasa tidak puas dengan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh atasannya atau pihak manajemen perusahaan. 3. Open door policy Open door policy adalah kebijakan perusahaan yang memberikan hak kepada para karyawan untuk membawa berbagai masalah/keluhan kepada atasan dari atasan langsung, apabila penyelesaian yang memuaskan tidak dapat diperoleh dari atasannya langsung. Dengan kebijakan ini, maka para karyawan didorong untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya tetap dalam kerangka struktur organisasi yang ada. Dengan demikian dapat memastikan bahwa berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan memuaskan Dengan demikian memperkecil ruang bagi munculnya keinginan untuk mencari penyelesaian di luar struktur organisasi. Agar kebijakan ini berjalan dengan efektif maka para karyawan tidak boleh merasa takut bahwa dengan melaporkan masalah yang dihadapinya kepada atasan dari atasan langsungnya, akan menghambat karirnya. Untuk itulah para pihak yang terlibat dalam proses ini harus memiliki sikap dewasa, terbuka dan saling percaya satu dengan lainnya. Kebijakan ini akan menjadi kontra produktif bila karyawan yang melaporkan keluhannya kemudian dihukum atau dihambat karirnya karena telah mem”bypass” atasannya langsung. d. Kepercayaan dan keterbukaan Kepercayaan dan keterbukaan dari para manajer dan para karyawan merupakan hal yang tidak dapat dilupakan bagi perusahaan untuk tetap dapat mengelola hubungan industrialnya tanpa kehadiran dari serikat pekerja. Kredibilitas yang didasarkan atas kepercayaan harus ada diantara manajemen dan para karyawan. Bila para karyawan mempersepsikan bahwa manajernya cukup terbuka dan dapat menerima gagasan-gagasan dari mereka, maka akan muncul lebih banyak umpan balik kepada manajernya. Manajer membutuhkan umpan balik ini untuk melaksanakannya pekerjaannya secara efektif. Bila manajer memberikan kesan bahwa perintah-perintahnya tidak boleh dipertanyakan, maka komunikasi akan tersumbat dan kredibilitas manajer perlahan-lahan akan hilang. e. Program-program kompensasi yang efektif Tak dapat dipungkiri lagi bahwa program kompensasi yang efektif akan menjadi daya tahan tersendiri bagi perusahaan dari “gempuran” pihak-pihak yang menginginkan berdirinya serikat pekerja di perusahaan. Kompensasi yang efektif berarti bahwa sistim penggajian dan kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan. Contoh : Pemberian bonus bagi para karyawan yang berprestasi di atas rata-rata, kenaikan gaji berkala yang dilakukan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan kenaikan gaji pada industri sejenis, bantuan biaya pendidikan bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang relevan dengan pekerjaannya, dll. Berdasarkan pengalaman penulis dalam menangani permasalahan serikat pekerja, diketahui bahwa umumnya isu yang menjadi bahan perselisihan oleh serikat pekerja adalah menyangkut hal-hal yang bersifat normatif, seperti kenaikan gaji, uang lembur, jaminan kesehatan, jamsostek , dan sebagainya. Dengan demikian, apabila perusahaan telah mempunyai program-program kompensasi yang efektif, maka sebagain besar potensi masalah yang dapat menjadi titik awal munculnya perselisihan perburuhan, yang dapat mengarah pada upaya pembentukan serikat pekerja telah dapat dieleminir. Namun demikian, program kompensasi yang efektif yang diberikan oleh pihak perusahaan harus secara berkala ditinjau ulang dan dikelola dengan baik. Hal ini untuk memastikan bahwa program-program yang ada tetap kompetitif dan menarik bagi para karyawan, khususnya bagi karyawan yang berprestasi. Pemberian kompensasi yang menarik namun tidak dikelola secara efektif malah akan menjadi pemicu munculnya ketidak-puasan karyawan, yang pada akhirnya akan menstimulasi munculnya perselisihan yang dapat mendorong munculnya upaya-upaya pembentukan serikat pekerja. f. Lingkungan kerja yang sehat dan aman Lingkungan kerja, tak pelak lagi menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membangun hubungan industrial tanpa kehadiran serikat pekerja. Lingkungan kerja yang sehat dan aman akan menciptakan ketenangan bekerja bagi para karyawan. Lingkungan kerja yang tidak memberikan perlindungan yang baik bagi karyawan, akan memberikan ruang bagi terjadinya kecelakaan kerja. Semakin banyak terjadinya kecelakaan kerja akan mendorong karyawan menuntut pada pihak perusahaan untuk memenuhi kewajiban normatifnya. Bukan tidak mungkin, karyawan akan membawa masalah ini kepada pihak luar, bila pihak perusahaan tidak berupaya menananggapi masalah ini arif. Bila hal ini terus berkepanjangan, maka ruang bagi munculnya serikat pekerja telah terbuka dengan luas di perusahaan. Kesimpulan Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan yang berlaku di bidang ketenaga-kerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang telah menerapkan hal ini. Namun demikian dalam melaksanakan hal tersebut di atas, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang no 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh. Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja seperti telah disebutkan dan dijabarkan di atas, telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa semua faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lainnya. Tidak adanya salah satu faktor dari faktor-faktor yang tersebut di atas, dapat mengurangi kemampuan perusahaan untuk menghindari terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan. Ulasan di atas, diharapkan dapat membantu Anda, mengambil sikap yang tepat, dalam menjawab tantangan-tuntutan- kebutuhan seputar serikat kerja di perusahaan tempat Anda bekerja. Semoga bermanfaat. (jr) **Penulis adalah alumnus Program Pasca Sarjana Psikologi Jurusan Psikologi SDM – Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Saat ini penulis merupakan praktisi SDM di sebuah perusahaan Multinasional Asing