DRAFT RUU PERDAGANGAN – PER 10 DES 2008 RANCANGAN UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERDAGANGAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERDAGANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa peranan Perdagangan Luar Negeri dan Perdagangan Dalam Negeri sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta sebagai sumber devisa untuk membiayai pembangunan, sehingga pengelolaan sektor Perdagangan yang menyeluruh termasuk sektor Perdagangan Jasa dan Barang, perpasaran, gudang, standarisasi dan metrologi harus dilaksanakan berdasarkan prinsip kebebasan dan keadilan berusaha; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang tentang Perdagangan. I. UMUM Kegiatan perdagangan merupakan salah satu penggerak utama dalam pembangunan perekonomian nasional, yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menunjang peningkatan produksi dan memacu kelancaran arus distribusi Barang dan Jasa. Dengan demikian, kegiatan dimaksud akan memberi daya dukung tidak saja dalam peningkatan produksi dan pemerataan pendapatan, tetapi juga memperkuat daya saing produk nasional. Dalam hubungan ini diperlukan kemampuan untuk mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perkembangan perekonomian dunia, guna pemekaran perekonomian nasional secara maksimal. Sejalan dengan hal tersebut, utamanya dalam era globalisasi yang diwarnai oleh kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang pesat, terdapat kebutuhan untuk melakukan harmonisasi dan kodifikasi pengaturan di bidang perdagangan dalam kerangka Indonesia sebagai suatu kesatuan ekonomi dan kesatuan pasar. Kebutuhan ini semakin mendesak dengan timbulnya beraneka masalah sebagai dampak penerapan otonomi daerah yang implementasinya didasarkan pada peraturan pelaksanaan yang tidak memadai. Perubahan yang cepat dalam praktek perdagangan memerlukan harmonisasi dan kodifikasi pengaturan di bidang perdagangan, utamanya sebagai pedoman bersikap tindak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perdagangan, baik sebagai Pelaku Usaha, konsumen maupun aparat pemerintah. Pengaturan dimaksud hendaknya berlandaskan 1 pada prinsip demokrasi ekonomi, keadilan berusaha, transparansi, dan non-diskriminasi. Penerapan prinsip-prinsip ini diperlukan untuk meningkatkan penggalian potensi nasional dan mewujudkan kegiatan perdagangan sebagai penggerak utama perekonomian nasional. Undang-Undang yang berupa perumusan pengaturan kegiatan-kegiatan di bidang perdagangan ini pada garis besarnya dapat dipilah dalam kegiatan Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan Impor). Kegiatan Perdagangan Dalam Negeri dan system distribusi diarahkan untuk mencapai 4 (empat) tujuan pokok : Pertama, memperlancar arus Barang dan Jasa dalam rangka pertumbuhan ekonomi; Kedua, mempercepat pembangunan di seluruh wilayah tanah air, sehingga kesempatan usaha dan lapangan kerja terbuka luas, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara merata; Ketiga, mempertahankan integritas Indonesia bukan saja sebagai kesatuan wilayah, tetapi juga sebagai kesatuan ekonomi dan kesatuan pasar melalui pengaturan yang bertujuan menjamin tersedianya Barang kebutuhan pokok dan Barang penting secara memadai dengan tingkat harga yang wajar, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan Keempat, membangkitkan kesadaran warga masyarakat selaku konsumen akan haknya untuk diperlakukan secara adil dengan dorongan untuk mengutamakan kepentingan nasional, yang hanya akan dapat dicapai, apabila Barang dan/atau Jasa tersebut tidak berpotensi merugikan konsumen. Untuk mendukung tujuan tersebut, UndangUndang ini menata kembali pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah dalam mengatur, membina, dan mengembangkan usaha perdagangan, perdagangan Barang, perdagangan Jasa, perijinan, sarana perdagangan, keberadaan lembaga usaha perdagangan, perdagangan lintas batas, Ekspor Impor yang mencakup pula negosiasi perdagangan internasional dan Promosi perdagangan serta perlindungan perdagangan. Terkait dengan hal-hal tersebut, dalam rangka memberikan perlindungan konsumen maupun upaya peningkatan daya saing produk nasional, diatur pula perihal Standarisasi Barang dan Jasa yang diperdagangkan. Penataan kembali 2 lembaga perdagangan juga meliputi pengaturan terhadap berbagai kegiatan di bidang perdagangan yang belakangan ini jenisnya meningkat pesat, yang tidak mungkin diatur satu persatu dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu, yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya struktur-struktur (genus) dari kegiatan perdagangan tersebut dan bukan jenis (species) dari kegiatan perdagangan Barang dan Jasa yang beraneka ragam. Pengaturan “species” dari kegiatan perdagangan Barang dan Jasa akan dirinci lebih lanjut di dalam peraturan pelaksanaannya. Pengaturan kegiatan Perdagangan Luar Negeri antara lain diarahkan pada 3 (tiga) tujuan pokok: Pertama, peningkatan daya saing produk nasional yang mampu menembus pasar internasional, melalui perbaikan mutu Barang dan kualitas Jasa, yang dilakukan oleh lembaga yang memiliki kredibilitas dalam penentuan kualifikasi pelayanan di bidang Jasa serta fasilitasi Pemerintah terhadap Pelaku Usaha untuk meningkatkan mutu Barang dan Jasa. Penataan dan pengaturan di bidang ini dilakukan antara lain melalui harmonisasi dengan kesepakatankesepakatan regional, bilateral, multilateral yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI; Kedua, dipenuhinya kewajiban-kewajiban dan dimanfaatkannya secara optimal hak-hak yang timbul sebagai konsekuensi keanggotaan RI dalam kesepakatan-kesepakatan bilateral, regional dan multilateral. Tujuan ini merupakan implementasi keanggotaan Indonesia di dalam Organisasi Perdagangan Multilateral (WTO), yang diwujudkan dengan perumusan pengaturan yang konsisten dengan jiwa dan semangat dari kesepakatan multilateral tersebut, melalui rumusan yang dapat mencegah, atau setidaknya mengurangi seminimal mungkin dampak yang dapat merugikan kepentingan nasional; dan Ketiga, pembenahan pengaturan substansi norma-norma, kelembagaan, maupun budaya hukum masyarakat, dalam rangka peningkatan ketahanan pasar nasional untuk menghadapi dampak serbuan Barang maupun Jasa asing, sebagai akibat akses pasar produk asing yang harus diijinkan berdasarkan kesepakatankesepakatan bilateral, regional maupun multilateral. Pencapaian tujuan ketiga ini diupayakan dengan tetap mengacu pada kesepakatan-kesepakatan bilateral, regional, maupun multilateral yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI. 3 Sementara itu upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari kegiatan perdagangan yang curang dilakukan dengan perumusan “trade defence” yang tidak cukup hanya berupa pengaturan substansi norma-norma dengan tetap memperhatikan aspek kelembagaannya, sehingga dalam Undang-Undang ini juga diatur perihal tindakan perlindungan perdagangan, dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard), dan pengajuan keberatan. Hal lain yang juga tidak dapat diabaikan adalah kemajuan di bidang teknologi, terutama teknologi telekomunikasi, transportasi dan distribusi, yang telah mengubah pola-pola perdagangan yang semula ada. Sebagai respon terhadap perkembangan teknologi, maupun antisipasi terhadap perkembangan yang akan datang, dalam Undang-Undang ini pula diberikan ketentuan pengaturan transaksi elektronik. Rumusan Undang-Undang ini juga merupakan pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran Pemerintah di bidang perdagangan. Undang-Undang ini sejalan dengan amanat konstitusi yang tidak menghilangkan peran serta Pemerintah dalam kegiatan usaha perdagangan, namun hanya terbatas sebagai fasilitator dan mengurangi peran dominan sebagai regulator, kecuali untuk kepentingan nasional/masyarakat. Munculnya paradigma ini harus sungguh-sungguh dipahami oleh segenap jajaran aparat Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, terutama yang berperan dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN II. PASAL DEMI PASAL 4 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Pasal 1 1. Perdagangan adalah keseluruhan tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik secara langsung atau tidak langsung di dalam negeri maupun yang melampaui batas wilayah negara, dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa secara terus-menerus atau untuk sementara dengan memperoleh imbalan atau kompensasi. 2. Perdagangan Luar Negeri adalah kegiatan Perdagangan yang mencakup kegiatan Impor dan/atau Ekspor atas Barang dan/atau Jasa dari Daerah Pabean ke wilayah pabean negara lain dan/atau sebaliknya, yang memiliki fungsi sebagai sarana Promosi produk Ekspor, pendorong investasi asing jangka panjang, dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. 3. Perdagangan Dalam Negeri adalah kegiatan Perdagangan atas Barang dan/atau Jasa dalam Daerah Pabean. 4. Kerjasama Perdagangan Internasional adalah kegiatan dan upaya untuk memperluas, mengamankan dan melindungi akses pasar produk ekspor dan impor barang dan jasa 5. Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 6. Pelaku perdagangan luar negeri adalah orang dan organisasi yang melakukan aktivitas perdagangan luar negeri sesuai ketentuan undang-undang ini. 7. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. 5 Cukup jelas. 8. Barang Dilarang adalah Barang yang tidak boleh diimpor atau diekspor atau diperdagangkan di dalam negeri. 9. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi atau keahlian yang merupakan obyek Perdagangan dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi. 10. Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna Barang dan/atau Jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan pihak lain. 11. Distribusi adalah proses penyaluran Barang dan/atau Jasa dari tingkat produsen atau pedagang kepada konsumen. 12. Daerah Pabean adalah Republik Indonesia. 13. Ijin Usaha Perdagangan adalah ijin yang diberikan oleh Menteri kepada Pelaku Usaha untuk dapat melakukan kegiatan dan/atau usaha Perdagangan. 14. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu Barang dan/atau Jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap Barang dan/atau Jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. 15. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan [konsensus semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional] yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 16. Standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak. 17. Standar Satuan Ukuran adalah Standar untuk satuan ukuran yang berupa bahan ukur, alat ukur atau standar ukuran yang ditujukan untuk mendefinisikan, merealisasikan, mengkonservasi atau mereproduksi sebuah satuan atau satu atau beberapa nilai dari suatu besaran untuk maksud mengirimkan nilai tersebut Standar alat ukur lainnya melalui pembandingan. wilayah pabean 6 18. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan Sertifikat terhadap Barang dan/atau Jasa. 19. Pasar adalah tempat dan/atau sarana baik bersifat fisik maupun non fisik untuk melakukan Perdagangan. 20. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean. 21. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari Daerah Pabean. 22. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum dalam bidang Perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya untuk mendukung dilakukannya seluruh transaksi, baik elektronik dan bukan elektronik. 23. Standar Nasional Indonesia (yang selanjutnya disingkat SNI) adalah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 24. Pemerintah adalah Pemerintah pusat, kecuali dengan tegas disebutkan Pemerintah Daerah 25. Komite adalah komite yang dibentuk oleh Presiden atau Menteri, yang ditunjuk untuk melakukan upaya-upaya perlindungan dan pengamanan di bidang perdagangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini; 26. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. 27. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan. BAB II LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN Pasal 2 Pasal 2 Pengaturan kegiatan Perdagangan diselenggarakan dengan berlandaskan kepada prinsip kebebasan dan keadilan berusaha. Yang dimaksud dengan prinsip keadilan berusaha adalah suatu keadaan dimana setiap Pelaku Usaha mendapat peluang yang sama untuk melakukan usaha, serta diberikannya perlindungan kepada usaha kecil. Prinsip kebebasan dan keadilan berusaha ini didasarkan pada konsep free & fair trade dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan kepentingan Negara Republik Indonesia. Free Trade mengandung makna bahwa Perdagangan Luar Negeri bisa dilakukan oleh siapa pun. Dalam tingkat tertentu pemerintah 7 dapat melakukan intervensi dengan mengeluarkan kebijakan affirmative action, misalnya dengan mendorong Ekspor UKM. Free Trade mengadopsi prinsip free entry and exit, yaitu kebebasan dalam keluar atau masuk ke pasar. Fair Trade juga mengandung arti bahwa Perdagangan Luar Negeri dilakukan secara adil bagi seluruh pihak yang terlibat dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan kepentingan Negara Republik Indonesia. Fair Trade bukan berarti Perdagangan bebas yang tanpa hambatan apapun sama sekali, namun Fair Trade juga dapat mengambil posisi proteksi yang bersifat timbal balik (countervailing measures). Pasal 3 Pasal 3 Pengaturan Perdagangan dilakukan berdasarkan asas-asas : a. demokrasi ekonomi; b. kepastian hukum; c. non–diskriminasi dalam Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri bagi sesama anggota yang terikat perjanjian; d. tertib usaha; e. keterbukaan; f. berwawasan lingkungan; g. kemitraan usaha; h. keamanan berusaha; dan i. perlindungan konsumen. Cukup jelas. Pasal 4 Pasal 4 Pengaturan Perdagangan bertujuan untuk: a. memperlancar distribusi Barang dan/atau Jasa; b. melindungi konsumen, produsen dan pedagang; c. memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja; d. menciptakan persaingan sehat; e. meningkatkan ekspor dalam rangka penerimaan devisa; f. memperlancar dan meningkatkan investasi Perdagangan; g. meningkatkan penggunaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya di bidang Metrologi Legal dalam setiap transaksi Barang dan/atau Jasa; h. menciptakan kepastian usaha; i. memberikan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan; dan/atau j. melakukan pengaturan dalam bidang Impor. Pengaturan perdagangan ini juga memperhatikan peraturan perundang-undangan yang terkait. 8 BAB III PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN Pasal 5 Pasal 5 (1) Kegiatan Perdagangan diatur oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pembinaan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Ayat 2) Cukup jelas. (3) Pemerintah menetapkan kebijakan perdagangan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) Upaya untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. (4) Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri melakukan pengaturan di bidang perdagangan luar negeri, perdagangan dalam negeri, dan kerjasama perdagangan internasional. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 6 Pasal 6 (1) Pemerintah daerah dapat mengatur pelaksanaan teknis kebijakan di bidang perdagangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pengaturan teknis perdagangan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan efisiensi perekonomian dan menjamin terwujudnya kesatuan ekonomi nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memperhatikan efisiensi perekonomian dan menjamin terwujudnya kesatuan ekonomi nasional adalah suatu pengaturan yang tidak mengakibatkan hambatan perdagangan antar daerah dan/atau antar pulau baik yang berupa tarif (pajak atau retribusi) maupun hambatan lainnya untuk mencegah ekonomi biaya tinggi. Pasal 7 Pasal 7 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi tersedianya barang kebutuhan pokok dan atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah memadai, mutu yang baik dan harga yang wajar. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pemerintah menetapkan langkah-langkah stabilisasi harga barang kebutuhan pokok Ayat (2) Yang dimaksud menetapkan langkah-langkah 9 dan/atau barang penting dalam hal terjadi kelangkaan dan/atau gejolak harga stabilisasi antara lain mengatur pelaksanaan ekspor-impor, distribusi, larangan penimbunan terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. BAB IV PERDAGANGAN BARANG DAN JASA Bagian Kesatu Perdagangan Barang Pasal 8 Pasal 8 (1) Semua barang dapat diekspor, diimpor atau diperdagangkan di dalam negeri secara bebas, kecuali yang diatur, dan/atau yang telah diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (1) Demi kepentingan bangsa dan negara, Pemerintah dapat melarang atau membatasi kegiatan ekspor, impor, dan perdagangan antar pulau untuk barang tertentu. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk perdagangan barang antar pulau Ayat (2) Dalam hal ini, instansi lain yang terkait dalam pengaturan jenis barang ekspor & impor dapat menentukan jenis komoditi yang boleh/tidak boleh diimpor dan diekspor secara bebas dengan melakukan koordinasi dengan Menteri. Menteri dengan melakukan koordinasi dengan menteri teknis lainnya dapat melakukan tindakan untuk menghentikan kegiatan ekspor dan impor secara bebas untuk melindungi kepentingan Negara Republik Indonesia. Bagian Kedua Perdagangan Jasa Pasal 9 Pasal 9 Perdagangan Jasa dalam Undang-Undang ini terbatas pada jasa distribusi, jasa bisnis, dan jasa lainnya di bidang Perdagangan. Pengklasifikasian sektor jasa yang dinyatakan dalam undang-undang ini dibatasi hanya pada jasa-jasa yang terkait bidang perdagangan. Jasa Distribusi mengacu kepada klasifikasi WTO/GATS mengenai distribution services yang terdiri dari: 1. Jasa agen (commission agent) 2. Pedagang Besar (wholesaler) 3. Pedagang Eceran (retailer) 4. Waralaba (franchising) Jasa Bisnis adalah jasa-jasa yang terkait dengan jasa profesi (professional services) di bidang perdagangan, seperti: a. jasa profesi yang mencakup makelar (broker), sertifikasi mutu, surveyor, dan pialang; b. Jasa sewa dan sewa beli c. Jasa konsultan bisnis dan manajemen dan jasa hubungan masyarakat; dan d. Jasa bisnis lainnya antara lain mencakup 10 periklanan, penelitian pasar, pengemasan, pameran, telemarketing, jasa polling, biro jasa, layanan purna jual, perbengkelan dan time share. Jasa lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 adalah jasa di bidang perdagangan yang dapat muncul di kemudian hari. Pasal 10 Pasal 10 Semua Jasa-jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat diperdagangkan di dalam negeri secara bebas, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan lain. Cukup jelas. Pasal 11 Pasal 11 (1) Pelaku usaha jasa yang bergerak di bidang perdagangan wajib menjalankan usahanya berdasarkan standar kompetensi yang diwajibkan oleh Pemerintah. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Untuk memenuhi standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku usaha yang bersangkutan harus melalui dan menempuh tahapan-tahapan tertentu antara lain, sertifikasi, akreditasi dan otorisasi sebagaimana diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Ayat (2) Cukup jelas. (3) Pelaku usaha jasa yang bergerak di bidang perdagangan yang menjalankan usahanya tidak berdasarkan standar kompetensi yang diwajibkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Pasal 12 Pemerintah memberi pengakuan terhadap sertifikat kompetensi penyedia jasa dari negara lain sepanjang sudah dilakukan perjanjian saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA), baik secara bilateral maupun regional. Cukup jelas. Pasal 13 Pasal 13 Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Menteri. 11 Cukup jelas. BAB V PERIJINAN Pasal 14 (1) Pasal 14 Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri wajib memiliki ijin usaha perdagangan, persetujuan dan/atau memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Ayat (1) Perijinan diwajibkan untuk: (1)menjamin bahwa Pelaku Usaha memenuhi persyaratan untuk menjalankan usahanya; (2) bukti kompetensi; serta (3) tujuan pengawasan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka perlindungan konsumen. Secara khusus, untuk Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan Perdagangan Luar Negeri wajib memenuhi ketentuan Pasal 14 dalam undang-undang ini. Pelaku Impor diwajibkan memiliki Angka Pengenal Impor, sebagaimana diatur oleh perundangundangan yang berlaku. Yang dikecualikan dari ketentuan ini adalah importasi fasilitas diplomatik yang diatur secara bilateral dan tidak ditujukan untuk tujuan komersial. (2) Dalam hal pelaku usaha melakukan kegiatan usaha dengan karakteristik tertentu, pelaku usaha yang bersangkutan wajib memiliki ijin usaha, pendaftaran atau persetujuan yang diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memiliki karakteristik tertentu antara lain: (1) perdagangan barang yang diatur secara khusus seperti perdagangan barang dalam pengawasan (gula, pupuk, minuman beralkohol, crude palm oil) (2) jasa profesi seperti jasa survei, jasa properti, jasa pialang; atau (3) menggunakan metode penjualan khusus seperti waralaba, penjualan langsung (direct selling). (3) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dari kewajiban memiliki ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila tidak dipersyaratkan oleh peraturan menteri. Ayat (3) Cukup jelas. (4) Ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) berlaku untuk menjalankan perdagangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Ayat (4) Cukup jelas. (5) Pemilikan ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi pelaku usaha mikro Ayat (5) Batasan “Pelaku Usaha mikro” yang dimaksud di sini adalah sebagaimana diatur dengan UndangUndang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. 12 (6) Ketentuan pelaksanaan mengenai ijin usaha perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Ayat (6) Cukup jelas. BAB VI LEMBAGA USAHA PERDAGANGAN Pasal 15 Pasal 15 Pelaku usaha dalam memasarkan barang dan/atau jasa dapat melalui pedagang perantara. Yang dimaksud dengan kegiatan memasarkan dapat meliputi informasi pasar, promosi, distribusi, pembelian dan penjualan. Pasal 16 Pasal 16 (1) Pedagang perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 merupakan lembaga usaha perdagangan yang dapat melakukan kegiatan perdagangan dengan cara memindahkan barang dan/atau jasa dari produsen sampai pada konsumen. Ayat (1) Yang dimaksud dengan lembaga usaha perdagangan adalah commision agent seperti agen; wholesaler seperti distributor/pedagang besar; retailer seperti pedagang eceran. (2) Pemindahan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara langsung, tidak langsung, maupun dengan metode penjualan lainnya. Ayat (2) Metode penjualan yang dapat dilakukan oleh pedagang perantara meliputi penjualan secara langsung, melalui media, waralaba, berjenjang, dan dari rumah ke rumah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedagang perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Pasal 17 Pengaturan lebih lanjut mengenai jenis lembaga usaha perdagangan lain dan kegiatannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Cukup jelas. Pasal 18 Pasal 18 Pedagang Besar dilarang merangkap melakukan kegiatan sebagai Pedagang Pengecer. Cukup jelas. BAB VII SARANA PERDAGANGAN Bagian Kesatu Pasar Pasal 19 Pasal 19 Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah, dapat bekerja sama dengan pihak swasta dalam membangun pasar. 13 Cukup jelas. Pasal 20 Pasal 20 (1) Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 terdiri dari pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Ayat (1) Batasan pusat perbelanjaan, pasar tradisional dan toko modern adalah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Hubungan antara pemasok dan pusat perbelanjaan dan toko modern diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Ayat (2) Cukup jelas. (3) Ketentuan penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern yang meliputi aspek perijinan, dan aspek penataan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Pasal 21 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam menyelenggarakan pasar lelang dengan penyerahan kemudian (forward). Ayat (1) Pasar lelang dengan penyerahan kemudian ini berlaku untuk perdagangan komoditi. (2) Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam pasar dengan penyerahan kemudian (forward) harus dilengkapi dengan perjanjian tertulis antara pihak-pihak yang terlibat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perjanjian tertulis juga mencakup perjanjian yang dilakukan secara elektronik. (3) Pengaturan mengenai pasar lelang dengan penyerahan kemudian (forward) sebagaimana yang dimaksud dengan ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Bagian Kedua Gudang Pasal 22 Pasal 22 (1) Untuk menunjang kelancaran distribusi barang, Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau pelaku usaha dapat membangun atau berusaha di bidang pergudangan. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau pelaku usaha yang memiliki gudang wajib mendaftarkan gudangnya. Ayat (2) Khusus bagi gudang yang dipergunakan juga dalam Sistem Resi Gudang, maka pendaftaran gudang ini harus mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Sistem Resi Gudang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. (3) Setiap pemilik, pengelola atau penyewa gudang yang melakukan penyimpanan barang yang diperdagangkan di gudang wajib menyelenggarakan pencatatan administrasi Ayat (3) Cukup jelas. 14 dengan baik yang antara lain mencakup pencatatan mengenai barang-barang yang masuk dan keluar gudang serta melaporkannya secara berkala kepada instansi yang berwenang. (4) Ketentuan mengenai pergudangan dikecualikan untuk gudang-gudang yang dikuasai oleh penguasa pelabuhan. Ayat (4) Cukup jelas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pergudangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Ayat (5) Cukup jelas. (6) Setiap pemilik, pengelola atau penyewa gudang yang melakukan penyimpanan barang yang diperdagangkan di gudang namun tidak menyelenggarakan pencatatan administrasi dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ayat (6) Cukup jelas. BAB VIII PROMOSI Pasal 23 Pasal 23 (1) Menteri menyediakan jasa publik berupa informasi, edukasi dan promosi perdagangan luar negeri. Jasa publik yang dimaksud di sini adalah berupa: a. informasi pasar di luar negeri dan potensi pengusaha domestik; b. edukasi, yaitu suatu usaha yang dilakukan untuk menutupi perbedaan antara standar atau selera pasar luar negeri dengan kemampuan pengusaha domestik; dan c. Promosi perdagangan luar negeri memberikan payung bagi fungsi utama pemerintah dalam bidang perdagangan luar negeri yaitu melakukan pemasaran (marketing) mulai dari penelitian pasar (market intelligence), citra pasar (branding image), promosi produk (product promotion) untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan daya saing (backward linkage effect). (2) (3) Penyelenggaraan kegiatan promosi perdagangan luar negeri dilakukan berkoordinasi dengan Menteri terkait. (4) Kegiatan promosi perdagangan luar negeri juga dapat dilaksanakan bekerja sama dengan pihak swasta. 15 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kerja sama promosi perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 24 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 (1) Kegiatan promosi perdagangan antara lain meliputi penyelenggaraan pameran perdagangan, penyediaan informasi pasar, analisis dan proyeksi kondisi perdagangan, intelijen bisnis, jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan, misi dagang luar negeri, serta pendirian perwakilan promosi perdagangan di luar negeri. Ayat (1) Promosi yang dimaksud juga mencakup promosi perdagangan, investasi dan pariwisata (trade, investment, tourism). Promosi Perdagangan Luar Negeri atau internasional dapat dilakukan di luar negeri (pameran luar negeri) dan di dalam negeri (pameran dalam negeri). (2) Dalam rangka melaksanakan kegiatan promosi perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk perwakilan promosi perdagangan di luar negeri yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Ayat (2) Perwakilan promosi perdagangan luar negeri selain mempromosikan perdagangan barang dan/atau jasa juga mampu mendorong peningkatan investasi dan atau pariwisata. Atase perdagangan diangkat pada tingkat eselon satu dan menteri Pasal 25 Pasal 25 Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan upaya peningkatan kemampuan dan pengetahuan serta keterampilan pelaku usaha dalam negeri dalam kegiatan Ekspor-Impor yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan Perdagangan di luar negeri. Fungsi utama Pemerintah dalam hal edukasi adalah sebagai upaya pemberdayaan kemampuan para Eksportir. Pemberdayaan eksportir lebih rinci akan diatur lebih lanjut dalam peraturan teknis. Hal ini penting karena bentuk peningkatan kemampuan yang bergerak secara dinamis sehingga sulit diikat secara hukum. Salah satunya adalah pemberian “fasilitas” peningkatan kapasitas eksportir yang diprediksi akan mengalami perubahanperubahan bentuk. BAB IX PERLINDUNGAN PERDAGANGAN Pasal 26 Pasal 26 Setiap Barang dapat diimpor dan diekspor secara bebas, kecuali ditentukan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, instansi lain yang terkait dalam pengaturan jenis barang Ekspor & Impor dapat menentukan jenis komoditi yang boleh dan tidak boleh diimpor dan diekspor secara bebas dengan melakukan koordinasi dengan Menteri. Menteri dengan melakukan koordinasi dengan menteri teknis lainnya dapat melakukan tindakan untuk menghentikan kegiatan ekspor dan impor secara bebas dalam hal untuk melindungi kepentingan Negara Republik Indonesia . 16 Pasal 27 (1) Menteri menetapkan kebijakan Perdagangan Luar Negeri untuk melindungi dan mengamankan serta memperluas akses pasar bagi produk barang dan jasa nasional Pasal 27 Ayat (1) Kebijakan perlindungan diberikan dalam bentuk tarif dan non tarif. Kebijakan pengamanan yang dimaksud di sini adalah segala langkah-langkah yang tepat yang perlu diambil dan diterapkan dalam bentuk pembalasan, pemulihan, pemberian sanksi, retaliasi atau penjadwalan kesepakatan atau penundaan kewajiban. Kebijakan perluasan akses pasar dilakukan melalui usaha perluasan pangsa pasar ekspor dan impor dengan mempertahankan pangsa pasar negara mitra dagang tradisional dan memperluas cakupan hingga ke negara mitra dagang non tradisional. Kebijakan ini terkait dengan meningkatkan jenis komoditi perdagangan luar negeri Indonesia (2) Pengamanan dan perlindungan perdagangan luar negeri dapat dilakukan dalam hal terjadi antara lain: a. praktek dumping atau impor yang mengandung subsidi yang mengakibatkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri dalam negeri; b. tindakan negara mitra dagang yang menimbulkan hambatan terhadap pasar ekspor Indonesia; atau c. lonjakan Impor yang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri. Ayat (2) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri termasuk penerapan tindakan pengamanan dan perlindungan atas adanya kebijakan unfair trade yang dilakukan oleh negara mitra dagang misalnya dengan melakukan dumping dan subsidi ekspor. Tindakan mitra dagang juga termasuk penerapan hambatan non tarif yang merugikan pasar ekspor nasional. Lonjakan impor sebagaimana dimaksud pada ayat ini terjadi ketika impor menghasilkan potensi kerugian atau ancaman serius bagi kelangsungan proses produksi dalam negeri. Bila terjadi “keadaan luar biasa” yang membahayakan kepentingan ekonomi Indonesia maka pengaturan ekspor dan impor dapat dikecualikan, misalnya ketika terjadi bencana alam. (3) Pengenaan hambatan perdagangan luar negeri berupa tarif dan non-tarif ditetapkan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Cukup Jelas. (4) Ketentuan lebih lanjut dari tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 28 Pasal 28 (1) Menteri berwenang melakukan tindakan penghambatan, pembatasan dan/atau larangan impor dan ekspor suatu barang dan/atau jasa Ayat (1) Dalam hal negara lain melakukan tindakan tidak adil (unfair trade) yang merugikan Indonesia, misalnya negara tujuan Ekspor melakukan proteksi terhadap produksi nasionalnya (national safeguards) yang berdampak pada Ekspor Indonesia, maka Menteri memiliki hak untuk 17 melakukan upaya timbal balik demi tercapainya prinsip keadilan. Kewenangan ini ditujukan agar Perdagangan tidak semata-mata bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara dagang tapi juga memperkuat basis produksi (industri dan investasi). Menteri perlu melakukan konsultasi dan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Penghambatan, pembatasan dan/atau larangan dilakukan dengan tetap memperhatikan perjanjian internasional dan persetujuan internasional yang telah ditandatangani dan/atau diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia (2) Tindakan penghambatan/pembatasan impor dan ekspor suatu barang dan/atau jasa dapat dilakukan dalam hal: a. menjaga kepentingan umum dan keamanan nasional b. terjadi kekurangan pasokan di pasar dalam negeri c. melindungi sumberdaya dalam negeri yang langka d. mempercepat perkembangan industri tertentu dalam negeri e. melindungi produk pertanian, peternakan dan perikanan di dalam negeri atau f. mengamankan posisi Indonesia dalam keuangan internasional dan neraca pembayaran Ayat (2) Ketentuan hambatan Perdagangan Luar Negeri diatur dalam BAB IV UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan dimana disebutkan bahwa (i) Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap Barang Impor yang mana harga Ekspor dari Barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya atau jika merugikan industri dalam negeri; dan (ii) Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap Barang Impor dalam hal ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengEkspor terhadap Barang tersebut atau jika merugikan industri dalam negeri; (iii) Bea Masuk Tindakan Pengamanan dapat dikenakan terhadap Barang Impor dalam hal terdapat lonjakan Barang Impor baik secara absolut maupun relatif terhadap Barang produksi dalam negeri yang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan Barang Impor; (iv) Bea Masuk Pembalasan dikenakan terhadap Barang Impor yang berasal dari negara yang memperlakukan Barang Ekspor Indonesia secara diskriminatif. Pasal 29 Pasal 29 (1) Menteri berwenang untuk melakukan negosiasi dan/atau advokasi dalam hal terjadi hambatan Perdagangan di Luar Negeri Ayat (1) Yang dimaksud hambatan perdagangan luar negeri adalah hambatan yang diakibatkan oleh tuduhan perdagangan tidak adil dari negara mitra dagang. Peran menteri untuk negosiasi dilakukan sebelum konflik menjadi terbuka sementara Advokasi dilakukan ketika konflik sudah terbuka. Negosiasi lebih diutamakan mengingat pemecahan masalah Perdagangan antarnegara lebih baik diselesaikan sebelum Advokasi. Sementara bila terjadi advokasi maka jalur bilateral lebih diutamakan ketimbang pemecahan di tingkat internasional. Fungsi negosiasi dan advokasi ini dilakukan oleh Departemen Perdagangan, namun bersifat lintas departemen sepanjang diperlukan dan tergantung kasus yang dihadapi, yang mana dalam pelaksanaannya selalu berkolaborasi dengan Departemen Luar Negeri 18 RI. Dalam melakukan kewenangannya, Menteri juga dapat melakukan (i) re-negosiasi, misalnya renegosiasi bea masuk termasuk re-schedule; (ii) advokasi yang dilakukan dapat terkait dengan suatu sengketa atau bukan sengketa. Menteri dalam melaksanakan negosiasi dan/atau advokasi dapat bekerjasama dengan menteri teknis terkait. (2) Tindakan pembelaan terhadap tuduhan perdagangan tidak adil (unfair trade) dari negara mitra dagang dapat dilakukan dalam hal: a. Barang dan/atau Jasa ekspor dari Indonesia terkena tuduhan dumping, b. Barang dan/atau jasa ekspor dari Indonesia terkena tuduhan subsidi dan dukungan perdagangan oleh negara mitra dagang; c. terjadi tindakan perdagangan tidak adil yang merugikan ekonomi Indonesia, atau d. tindakan negara mitra dagang yang menimbulkan hambatan terhadap akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri. Ayat (2) Pembelaan yang dimaksud di sini dilakukan melalui negosiasi dan advokasi terhadap hambatan Perdagangan yang dilakukan oleh Pemerintah (Menteri) dan/atau bekerjasama dengan pihak swasta. Advokasi yang dimaksud di sini dapat berupa tindakan pembelaan demi kepentingan industri dalam negeri, khususnya eksportir kecil. (3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada: a. ayat (1) huruf a dibentuk Komite Anti-dumping b. ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d dibentuk Komite Pengamanan Perdagangan Ayat (3) Cukup Jelas. (4) Pembentukan Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Ayat (4) Cukup Jelas BAB X KERJASAMA PERDAGANGAN Pasal 30 Pasal 30 (1) Kegiatan Perdagangan Luar Negeri dan Kerjasama Perdagangan Internasional dilaksanakan sesuai dengan asas kesamaan kedudukan dan asas manfaat bersama. Ayat (1) Asas-asas yang dimaksud di sini adalah menjamin kesamaan posisi tawar antara negara mitra dagang dan Indonesia. Lebih lanjut, setiap perjanjian luar negeri, baik bilateral, regional, multilateral, harus dirancang berdasarkan prinsip win-win solution/pareto optimum. (2) Menteri melakukan koordinasi untuk harmonisasi kebijakan Perdagangan mengenai perjanjian bilateral, regional, atau multilateral. Ayat (2) Harmonisasi kebijakan perdagangan dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya, yaitu termasuk namun tidak terbatas pada penetapan tarif berdasarkan ketentuan undang-undang ini dapat bersinggungan dengan kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan, yaitu salah satunya adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk 19 menetapkan barang-barang yang bea masuknya tidak dipungut, dibebaskan diringankan atau bahkan dikembalikan; dan bea masuk anti dumping berdasarkan ketentuan undang-undang ini diusulkan oleh Menteri. Harmonisasi kebijakan dengan mitra dagang (bilateral, regional dan multilateral) dilakukan untuk meningkatkan manfaat dari perjanjian dan bukan sebaliknya. Misalnya kasus: Televisi sebagai Barang final (AFTA) versus Barang input (non AFTA). Pemerintah tidak melakukan harmonisasi hulu ke hilir rantai produksi sehingga prinsip terjadi counter effective rate of protection (ERP). Produsen televisi nasional mengalami kerugian cukup besar. BAB XI PERDAGANGAN LINTAS BATAS Pasal 31 (1) Menteri mengatur secara khusus perdagangan lintas batas tradisional. Pasal 31 kegiatan (2) Kegiatan perdagangan lintas batas tradisional diatur dalam perjanjian bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain yang wilayahnya berbatasan dengan wilayah Republik Indonesia. 20 Ayat (1) Perdagangan lintas batas meliputi Perdagangan lintas batas tradisional dan/atau Perdagangan Luar Negeri. Perdagangan lintas batas tradisional adalah perdagangan antara Indonesia dengan negara lain yang memiliki perbatasan darat dengan Indonesia. Jenis dan kuantitas barang yang diperdagangkan dalam perdagangan lintas batas tradisional akan diatur dengan peraturan Menteri. Pengecualian atas penerapan ketentuan Perdagangan lintas batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan atas dasar pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan/atau keperluan kekerabatan masyarakat di lintas batas Terhadap pemasukan dan/atau pengeluaran Barang dan/atau Jasa di luar tujuan-tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dikategorikan sebagai Perdagangan Luar Negeri, sebagaimana kewenangannya diatur oleh Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. BAB XII PRAKTEK PERDAGANGAN YANG DILARANG Pasal 32 Pasal 32 (1) Pelaku usaha dilarang menimbun barang yang dapat mengakibatkan terjadinya hambatan terhadap lalu lintas barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan menimbun barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Pasal 33 Pelaku usaha dilarang melakukan manipulasi data atau informasi mengenai persediaan barang yang mengakibatkan terjadinya hambatan lalu lintas barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Cukup jelas. Pasal 34 Pasal 34 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya atau barang yang status awalnya tidak jelas. Yang dimaksud barang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya adalah barang yang tidak memiliki bukti-bukti pembelian, bukti pemilikan yang sah, dokumen lainnya yang terkait dengan barang, atau barang yang asalusulnya tidak jelas. Pasal 35 Pasal 35 (1) Pelaku usaha di bidang Perdagangan Luar Negeri dilarang melakukan hal-hal berikut ini: a. memalsukan, mengubah, memperjualbelikan dan/atau menyalahgunakan Surat Keterangan Asal (certificate of origin), lisensi Impor dan Ekspor, dan dokumen Perdagangan Luar Negeri lainnya; b. hal-hal lain yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Perbuatan lain yang dinyatakan sebagai tindak pidana di bidang perdagangan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. BAB XIII STANDARDISASI Pasal 36 (1) Pasal 36 Barang atau jasa yang diperdagangkan wajib 21 Ayat (1) memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib oleh Pemerintah. Standar jasa yang dimaksud adalah standar pelayanan jasa (2) Pemberlakuan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan. Ayat (2) Cukup jelas. (3) Pemberlakuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri teknis sesuai dengan kewenangannya. Ayat (3) Cukup jelas. (4) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, lingkungan dan/atau pertimbangan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. (5) Barang atau jasa yang sudah ditetapkan pemberlakuan standar atau persyaratan teknisnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian lainnya atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah. Ayat (5) Cukup jelas. (6) Tanda SNI, tanda kesesuaian dan/atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang sudah diakreditasi dan diotorisasi oleh pemerintah. Ayat (6) Cukup jelas. (7) SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat berupa standar barang dan standar pelayanan. Ayat (7) Cukup jelas. (8) Standar dan/atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah sepanjang telah dilakukan perjanjian saling pengakuan yang telah diratifikasi oleh kedua negara yang bersangkutan. Ayat (8) Cukup jelas. (9) Ketentuan mengenai standarisasi perdagangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Ayat (9) Cukup jelas. (10) Barang atau jasa yang diperdagangkan yang tidak memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ayat (10) Cukup jelas. (11) Barang atau jasa yang sudah ditetapkan pemberlakuan standar atau persyaratan teknisnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), namun tidak dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian lainnya atau dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana yang Ayat (11) Cukup jelas. 22 dimaksud pada ayat (5) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 37 Pasal 37 (1) Penetapan standar terhadap standar satuan ukuran, satuan-satuan ukuran, metode-metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya (UTTP) yang menyangkut persyaratan teknis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Metrologi Legal. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Setiap transaksi perdagangan berdasarkan ukuran, takaran, dan timbangan wajib menggunakan satuan ukuran dan/atau UTTP yang berlaku di Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Menteri Ayat (3) Cukup jelas. (4) Transaksi perdagangan berdasarkan ukuran, takaran, dan timbangan yang tidak menggunakan satuan ukuran dan/atau UTTP yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 38 Pasal 38 (1) Barang dan jasa yang telah diberlakukan SNI wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) namun tetap beredar di pasar dengan tidak memenuhi standar atau persyaratan, Pemerintah berwenang: a. Memerintahkan pelaku usaha/produsen/ importir untuk menarik dari peredaran dan memusnahkan barang dimaksud; atau b. Menghentikan usaha jasa Ayat (1) Cukup jelas. (2) Ketentuan pelaksanaan penarikan dan pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. BAB XIV TRANSAKSI ELEKTRONIK Pasal 39 Pasal 39 Kegiatan Perdagangan Barang dan Jasa dapat menggunakan Transaksi Elektronik yang mencakup antara lain kegiatan promosi, kerjasama dagang, pengumpulan dan analisis data statistik, pencegahan dan penyelesaian konflik dagang, transaksi jual beli Transaksi Elektronik merupakan bagian dari aktivitas Perdagangan yang diikat secara hukum dan rincian kegiatannya dilindungi oleh hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk menghindari penipuan/aktivitas Perdagangan yang 23 berbasis teknologi informasi yang dilakukan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. melanggar hukum. Transaksi elektronik ini mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karenanya kepastian hukum dalam setiap transaksi masuk dan keluar dari satu negara baik berbentuk paper contract based maupun electronic based dapat lebih terjamin. BAB XV PENGAWASAN Pasal 40 Pasal 40 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pengawasan kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup: a. aspek perijinan persetujuan dan pendaftaran; b. distribusi; c. kegiatan perdagangan yang dilarang; d. pelaksanaan pemberlakuan standar; dan e. ketentuan lain yang diatur dalam undangundang ini. Ayat (2) Pengawasan terhadap pemberlakuan standar meliputi pengawasan pra-pasar maupun pasar. (3) Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Ayat (3) Cukup jelas. (4) Tindakan administratif terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa: a. mengamankan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan b. penarikan barang dari peredaran. c. penghentian kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Ayat (4) Cukup jelas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3) dan (4) diatur dengan Peraturan Presiden. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 (1) Pasal 41 Petugas pengawas di bidang perdagangan yang ditunjuk melaksanakan tugas pengawasan berwenang: a. memasuki dan memeriksa tempat yang diduga digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa secara tidak benar dan sah; b. menghentikan dan memeriksa sarana transportasi yang diduga mengangkut barang yang tidak sesuai dengan ketentuan 24 Ayat (1) Tindakan untuk memeriksa sarana angkutan perlu dikoordinasikan dengan Departemen Perhubungan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. peraturan perundang-undangan lain; dan/atau c. melakukan langkah pengamanan terhadap barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b untuk dilarang diperdagangkan. (2) Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di bidang perdagangan. (3) Dalam hal pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti awal telah terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, maka Petugas Pengawas yang ditunjuk untuk melakukan pengawasan melaporkan kepada Penyidik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Penyidik adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di bidang perdagangan atau Penyidik Polri. (4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil kegiatan pengawasan kepada Menteri. Ayat (3) Cukup jelas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara serta pelaksanaan kewenangan pengawasan Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. BAB XVI PENYIDIKAN Pasal 42 Pasal 42 (1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan, baik di pusat maupun di daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana di bidang perdagangan; b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perdagangan; c. memanggil dan meminta keterangan dan alat bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang Perdagangan; Ayat (2) Cukup jelas. 25 d. memanggil orang atau badan hukum untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi berkenaan dengan dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perdagangan; e. memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perdagangan; f. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perdagangan; g. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat alat bukti serta melakukan penyitaan dan/atau penyegelan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perdagangan; dan h. memanggil dan meminta bantuan atau keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perdagangan. (3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. (4) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai Hukum Acara Pidana. Ayat (4) Cukup jelas. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43 Pasal 43 Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui. 26 Cukup jelas. BAB XVIII KETENTUAN SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Administratif Pasal 44 Pasal 44 (1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri yang tidak memiliki persetujuan dan/atau persyaratan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Ayat (1) Cukup Jelas. (2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha dengan karakteristik tertentu yang tidak memiliki pendaftaran atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 45 Pasal 45 Pedagang Besar yang merangkap kegiatan sebagai Pedagang Pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Cukup Jelas. Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 46 Pasal 46 (1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri yang tidak memiliki ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama .... tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.... Ayat (1) Cukup jelas. (2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha dengan karakteristik tertentu yang tidak memiliki ijin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama .... tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.... Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 47 Pasal 47 Pelaku usaha yang memiliki gudang dan tidak mendaftarkan gudangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama ...tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp... 27 Cukup Jelas. Pasal 48 Pasal 48 Pelaku usaha yang menimbun barang dan mengakibatkan terjadinya hambatan terhadap lalu lintas barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang dan gejolak harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama .... tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.... Cukup Jelas. Pasal 49 Pasal 49 Pelaku usaha yang melakukan manipulasi data atau informasi mengenai persediaan barang yang mengakibatkan terjadinya hambatan lalu lintas barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang dan gejolak harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama ...tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp... Cukup Jelas. Pasal 50 Pasal 50 Pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya atau barang yang status awalnya tidak jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama .... tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp... Cukup Jelas. Pasal 51 Pasal 51 Pelaku usaha di bidang Perdagangan Luar Negeri yang memalsukan, mengubah, memperjual-belikan dan/atau menyalahgunakan Surat Keterangan Asal (certificate of origin), lisensi Impor dan Ekspor, dan dokumen Perdagangan Luar Negeri lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama ... tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp... Cukup Jelas. BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Penyaluran Perusahaan 1934 (Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934, Staatsblad 1938 Nomor 86); b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2210); dan 28 Cukup Jelas. c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2759); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Cukup Jelas. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ....... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal ..... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .... NOMOR .... TAMBAHAN LEMBARAN INDONESIA NOMOR ..... 29 NEGARA REPUBLIK