PERBANDINGAN SANKSI PIDANA DALAM BEBERAPA UNDANG

advertisement
DRAFT RUU PERDAGANGAN – PER 10 DES 2008
RANCANGAN
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERDAGANGAN
RANCANGAN
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERDAGANGAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
b.
c.
bahwa
pembangunan
bidang
ekonomi
harus
diarahkan
kepada
terwujudnya
kesejahteraan
rakyat
sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa
peranan
Perdagangan Luar Negeri
dan Perdagangan Dalam
Negeri sangat penting artinya
bagi peningkatan kegiatan
ekonomi dan kesejahteraan
rakyat serta sebagai sumber
devisa
untuk
membiayai
pembangunan,
sehingga
pengelolaan
sektor
Perdagangan
yang
menyeluruh termasuk sektor
Perdagangan
Jasa
dan
Barang, perpasaran, gudang,
standarisasi dan metrologi
harus
dilaksanakan
berdasarkan
prinsip
kebebasan
dan
keadilan
berusaha;
bahwa
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu membentuk
Undang-Undang
tentang
Perdagangan.
I. UMUM
Kegiatan perdagangan merupakan salah satu
penggerak
utama
dalam
pembangunan
perekonomian nasional, yang dalam jangka
panjang
diharapkan
dapat
menunjang
peningkatan produksi dan memacu kelancaran
arus distribusi Barang dan Jasa. Dengan demikian,
kegiatan dimaksud akan memberi daya dukung
tidak saja dalam peningkatan produksi dan
pemerataan
pendapatan,
tetapi
juga
memperkuat daya saing produk nasional. Dalam
hubungan ini diperlukan kemampuan untuk
mengantisipasi
dan
beradaptasi
terhadap
perkembangan perekonomian dunia, guna
pemekaran perekonomian nasional secara
maksimal.
Sejalan dengan hal tersebut, utamanya dalam
era globalisasi yang diwarnai oleh kemajuan
teknologi komunikasi dan transportasi yang pesat,
terdapat
kebutuhan
untuk
melakukan
harmonisasi dan kodifikasi pengaturan di bidang
perdagangan
dalam
kerangka
Indonesia
sebagai suatu kesatuan ekonomi dan kesatuan
pasar. Kebutuhan ini semakin mendesak dengan
timbulnya beraneka masalah sebagai dampak
penerapan
otonomi
daerah
yang
implementasinya didasarkan pada peraturan
pelaksanaan yang tidak memadai.
Perubahan
yang
cepat
dalam
praktek
perdagangan memerlukan harmonisasi dan
kodifikasi pengaturan di bidang perdagangan,
utamanya sebagai pedoman bersikap tindak
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
perdagangan, baik sebagai Pelaku Usaha,
konsumen
maupun
aparat
pemerintah.
Pengaturan dimaksud hendaknya berlandaskan
1
pada prinsip demokrasi ekonomi, keadilan
berusaha, transparansi, dan non-diskriminasi.
Penerapan prinsip-prinsip ini diperlukan untuk
meningkatkan penggalian potensi nasional dan
mewujudkan kegiatan perdagangan sebagai
penggerak utama perekonomian nasional.
Undang-Undang
yang
berupa
perumusan
pengaturan
kegiatan-kegiatan
di
bidang
perdagangan ini pada garis besarnya dapat
dipilah dalam kegiatan Perdagangan Dalam
Negeri dan Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan
Impor). Kegiatan Perdagangan Dalam Negeri
dan system distribusi diarahkan untuk mencapai 4
(empat) tujuan pokok :
Pertama, memperlancar arus Barang dan Jasa
dalam rangka pertumbuhan ekonomi;
Kedua, mempercepat pembangunan di seluruh
wilayah tanah air, sehingga kesempatan usaha
dan lapangan kerja terbuka luas, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat secara merata;
Ketiga, mempertahankan integritas Indonesia
bukan saja sebagai kesatuan wilayah, tetapi juga
sebagai kesatuan ekonomi dan kesatuan pasar
melalui pengaturan yang bertujuan menjamin
tersedianya Barang kebutuhan pokok dan Barang
penting secara memadai dengan tingkat harga
yang wajar, di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan
Keempat, membangkitkan kesadaran warga
masyarakat selaku konsumen akan haknya untuk
diperlakukan secara adil dengan dorongan untuk
mengutamakan kepentingan nasional, yang
hanya akan dapat dicapai, apabila Barang
dan/atau Jasa tersebut
tidak berpotensi
merugikan konsumen.
Untuk mendukung tujuan tersebut, UndangUndang ini menata kembali pengaturan
mengenai kewenangan Pemerintah dalam
mengatur, membina, dan mengembangkan
usaha perdagangan, perdagangan Barang,
perdagangan
Jasa,
perijinan,
sarana
perdagangan, keberadaan lembaga usaha
perdagangan, perdagangan lintas batas, Ekspor
Impor
yang
mencakup
pula
negosiasi
perdagangan
internasional
dan
Promosi
perdagangan serta perlindungan perdagangan.
Terkait dengan hal-hal tersebut, dalam rangka
memberikan perlindungan konsumen maupun
upaya peningkatan daya saing produk nasional,
diatur pula perihal Standarisasi Barang dan Jasa
yang
diperdagangkan.
Penataan
kembali
2
lembaga perdagangan juga meliputi pengaturan
terhadap
berbagai
kegiatan
di
bidang
perdagangan yang belakangan ini jenisnya
meningkat pesat, yang tidak mungkin diatur satu
persatu dalam Undang-Undang ini. Oleh karena
itu, yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya
struktur-struktur
(genus)
dari
kegiatan
perdagangan tersebut dan bukan jenis (species)
dari kegiatan perdagangan Barang dan Jasa
yang beraneka ragam. Pengaturan “species” dari
kegiatan perdagangan Barang dan Jasa akan
dirinci
lebih
lanjut
di
dalam
peraturan
pelaksanaannya.
Pengaturan kegiatan Perdagangan Luar Negeri
antara lain diarahkan pada 3 (tiga) tujuan pokok:
Pertama, peningkatan daya saing produk
nasional yang mampu menembus pasar
internasional, melalui perbaikan mutu Barang dan
kualitas Jasa, yang dilakukan oleh lembaga yang
memiliki kredibilitas dalam penentuan kualifikasi
pelayanan di bidang Jasa serta fasilitasi
Pemerintah terhadap Pelaku Usaha untuk
meningkatkan mutu Barang dan Jasa. Penataan
dan pengaturan di bidang ini dilakukan antara
lain melalui harmonisasi dengan kesepakatankesepakatan regional, bilateral, multilateral yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah RI;
Kedua, dipenuhinya kewajiban-kewajiban dan
dimanfaatkannya secara optimal hak-hak yang
timbul sebagai konsekuensi keanggotaan RI
dalam
kesepakatan-kesepakatan
bilateral,
regional dan multilateral. Tujuan ini merupakan
implementasi keanggotaan Indonesia di dalam
Organisasi Perdagangan Multilateral (WTO), yang
diwujudkan dengan perumusan pengaturan yang
konsisten dengan jiwa dan semangat dari
kesepakatan
multilateral
tersebut,
melalui
rumusan yang dapat mencegah, atau setidaknya
mengurangi seminimal mungkin dampak yang
dapat merugikan kepentingan nasional; dan
Ketiga, pembenahan pengaturan substansi
norma-norma, kelembagaan, maupun budaya
hukum masyarakat, dalam rangka peningkatan
ketahanan pasar nasional untuk menghadapi
dampak serbuan Barang maupun Jasa asing,
sebagai akibat akses pasar produk asing yang
harus
diijinkan
berdasarkan
kesepakatankesepakatan
bilateral,
regional
maupun
multilateral. Pencapaian tujuan ketiga ini
diupayakan dengan tetap mengacu pada
kesepakatan-kesepakatan bilateral, regional,
maupun multilateral yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah RI.
3
Sementara itu upaya untuk melindungi industri
dalam negeri dari kegiatan perdagangan yang
curang dilakukan dengan perumusan “trade
defence” yang tidak cukup hanya berupa
pengaturan substansi norma-norma dengan
tetap memperhatikan aspek kelembagaannya,
sehingga dalam Undang-Undang ini juga diatur
perihal tindakan perlindungan perdagangan,
dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan
perdagangan (safeguard), dan pengajuan
keberatan.
Hal lain yang juga tidak dapat diabaikan adalah
kemajuan di bidang teknologi, terutama
teknologi
telekomunikasi,
transportasi
dan
distribusi, yang telah mengubah pola-pola
perdagangan yang semula ada. Sebagai respon
terhadap perkembangan teknologi, maupun
antisipasi terhadap perkembangan yang akan
datang, dalam Undang-Undang ini pula diberikan
ketentuan pengaturan transaksi elektronik.
Rumusan Undang-Undang ini juga merupakan
pengejawantahan paradigma baru dalam cara
pandang terhadap peran Pemerintah di bidang
perdagangan.
Undang-Undang
ini
sejalan
dengan
amanat
konstitusi
yang
tidak
menghilangkan peran serta Pemerintah dalam
kegiatan usaha perdagangan, namun hanya
terbatas sebagai fasilitator dan mengurangi
peran dominan sebagai regulator, kecuali untuk
kepentingan nasional/masyarakat. Munculnya
paradigma ini harus sungguh-sungguh dipahami
oleh segenap jajaran aparat Pemerintah, baik di
tingkat Pusat maupun Daerah, terutama yang
berperan dalam menerapkan suatu peraturan
perundang-undangan.
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2), dan Pasal 33 UndangUndang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERDAGANGAN
II. PASAL DEMI PASAL
4
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pasal 1
1.
Perdagangan adalah keseluruhan tatanan
kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang
dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku
Usaha, baik secara langsung atau tidak
langsung di dalam negeri maupun yang
melampaui batas wilayah negara, dengan
tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau
Jasa
secara
terus-menerus
atau
untuk
sementara dengan memperoleh imbalan atau
kompensasi.
2.
Perdagangan Luar Negeri adalah kegiatan
Perdagangan yang mencakup kegiatan Impor
dan/atau Ekspor atas Barang dan/atau Jasa
dari Daerah Pabean ke wilayah pabean negara
lain dan/atau sebaliknya, yang memiliki fungsi
sebagai sarana Promosi produk Ekspor,
pendorong investasi asing jangka panjang, dan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
3.
Perdagangan Dalam Negeri adalah kegiatan
Perdagangan atas Barang dan/atau Jasa
dalam Daerah Pabean.
4.
Kerjasama Perdagangan Internasional adalah
kegiatan dan upaya untuk memperluas,
mengamankan dan melindungi akses pasar
produk ekspor dan impor barang dan jasa
5.
Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6.
Pelaku perdagangan luar negeri adalah orang
dan organisasi yang melakukan aktivitas
perdagangan luar negeri sesuai ketentuan
undang-undang ini.
7.
Barang adalah setiap benda baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat
dihabiskan,
yang
dapat
untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
5
Cukup jelas.
8.
Barang Dilarang adalah Barang yang tidak
boleh
diimpor
atau
diekspor
atau
diperdagangkan di dalam negeri.
9.
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi atau keahlian yang
merupakan obyek Perdagangan dengan tujuan
pengalihan hak atas barang atau jasa dengan
disertai imbalan atau kompensasi.
10.
Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau
pengguna Barang dan/atau Jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun kepentingan
pihak lain.
11.
Distribusi adalah proses penyaluran Barang
dan/atau Jasa dari tingkat produsen atau
pedagang kepada konsumen.
12.
Daerah Pabean adalah
Republik Indonesia.
13.
Ijin Usaha Perdagangan adalah ijin yang
diberikan oleh Menteri kepada Pelaku Usaha
untuk dapat melakukan kegiatan dan/atau
usaha Perdagangan.
14.
Promosi adalah kegiatan pengenalan atau
penyebarluasan
informasi
suatu
Barang
dan/atau Jasa untuk menarik minat beli
konsumen terhadap Barang dan/atau Jasa
yang akan dan sedang diperdagangkan.
15.
Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu
yang dibakukan termasuk tata cara dan
metode yang disusun berdasarkan [konsensus
semua
pihak/Pemerintah/keputusan
internasional]
yang
terkait
dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi, serta pengalaman, perkembangan
masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
16.
Standarisasi
adalah
proses
merumuskan,
menetapkan,
menerapkan
dan
merevisi
Standar yang dilaksanakan secara tertib dan
bekerja sama dengan semua pihak.
17.
Standar Satuan Ukuran adalah Standar untuk
satuan ukuran yang berupa bahan ukur, alat
ukur atau standar ukuran yang ditujukan untuk
mendefinisikan, merealisasikan, mengkonservasi
atau mereproduksi sebuah satuan atau satu
atau beberapa nilai dari suatu besaran untuk
maksud mengirimkan nilai tersebut Standar alat
ukur lainnya melalui pembandingan.
wilayah
pabean
6
18.
Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan
Sertifikat terhadap Barang dan/atau Jasa.
19.
Pasar adalah tempat dan/atau sarana baik
bersifat fisik maupun non fisik untuk melakukan
Perdagangan.
20.
Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke
dalam Daerah Pabean.
21.
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang
dari Daerah Pabean.
22.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
dalam bidang Perdagangan yang dilakukan
dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer, atau media elektronik lainnya untuk
mendukung dilakukannya seluruh transaksi, baik
elektronik dan bukan elektronik.
23.
Standar Nasional Indonesia (yang selanjutnya
disingkat SNI) adalah sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
24.
Pemerintah adalah Pemerintah pusat, kecuali
dengan tegas disebutkan Pemerintah Daerah
25.
Komite adalah komite yang dibentuk oleh
Presiden atau Menteri, yang ditunjuk untuk
melakukan upaya-upaya perlindungan dan
pengamanan
di
bidang
perdagangan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini;
26.
Orang adalah orang perseorangan, dan/atau
kelompok orang, dan/atau badan hukum.
27.
Menteri adalah menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pasal 2
Pengaturan kegiatan Perdagangan diselenggarakan
dengan berlandaskan kepada prinsip kebebasan dan
keadilan berusaha.
Yang dimaksud dengan prinsip keadilan berusaha
adalah suatu keadaan dimana setiap Pelaku
Usaha mendapat peluang yang sama untuk
melakukan
usaha,
serta
diberikannya
perlindungan kepada usaha kecil.
Prinsip kebebasan dan keadilan berusaha ini
didasarkan pada konsep free & fair trade dengan
tetap memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan Negara Republik Indonesia.
Free
Trade
mengandung makna bahwa
Perdagangan Luar Negeri bisa dilakukan oleh
siapa pun. Dalam tingkat tertentu pemerintah
7
dapat
melakukan
intervensi
dengan
mengeluarkan kebijakan affirmative action,
misalnya dengan mendorong Ekspor UKM. Free
Trade mengadopsi prinsip free entry and exit,
yaitu kebebasan dalam keluar atau masuk ke
pasar.
Fair Trade juga mengandung arti bahwa
Perdagangan Luar Negeri dilakukan secara adil
bagi seluruh pihak yang terlibat dengan tetap
memperhatikan
dan
mengutamakan
kepentingan Negara Republik Indonesia. Fair
Trade bukan berarti Perdagangan bebas yang
tanpa hambatan apapun sama sekali, namun
Fair Trade juga dapat mengambil posisi proteksi
yang bersifat timbal balik (countervailing
measures).
Pasal 3
Pasal 3
Pengaturan Perdagangan dilakukan berdasarkan
asas-asas :
a.
demokrasi ekonomi;
b.
kepastian hukum;
c.
non–diskriminasi dalam Perdagangan Dalam
Negeri dan Perdagangan Luar Negeri bagi
sesama anggota yang terikat perjanjian;
d.
tertib usaha;
e.
keterbukaan;
f.
berwawasan lingkungan;
g.
kemitraan usaha;
h.
keamanan berusaha; dan
i.
perlindungan konsumen.
Cukup jelas.
Pasal 4
Pasal 4
Pengaturan Perdagangan bertujuan untuk:
a.
memperlancar distribusi Barang dan/atau Jasa;
b.
melindungi
konsumen,
produsen
dan
pedagang;
c.
memperluas kesempatan usaha dan lapangan
kerja;
d.
menciptakan persaingan sehat;
e.
meningkatkan
ekspor
dalam
rangka
penerimaan devisa;
f.
memperlancar dan meningkatkan investasi
Perdagangan;
g.
meningkatkan penggunaan alat-alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya di bidang
Metrologi Legal dalam setiap transaksi Barang
dan/atau Jasa;
h.
menciptakan kepastian usaha;
i.
memberikan perlindungan terhadap kesehatan
manusia, hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan;
dan/atau
j.
melakukan pengaturan dalam bidang Impor.
Pengaturan
perdagangan
ini
juga
memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang terkait.
8
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
Pasal 5
Pasal 5
(1) Kegiatan Perdagangan diatur oleh Negara
dan
pembinaannya
dilakukan
oleh
Pemerintah.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2) Pembinaan
perdagangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian.
Ayat 2)
Cukup jelas.
(3) Pemerintah
menetapkan
kebijakan
perdagangan
untuk
mencapai
tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Ayat (3)
Upaya untuk mencapai tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan
pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat serta perkembangan global.
(4) Dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Menteri melakukan pengaturan di bidang
perdagangan luar negeri, perdagangan
dalam negeri, dan kerjasama perdagangan
internasional.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 6
Pasal 6
(1)
Pemerintah
daerah
dapat
mengatur
pelaksanaan teknis kebijakan di bidang
perdagangan
dengan
memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Pengaturan teknis perdagangan di daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhatikan efisiensi perekonomian dan
menjamin terwujudnya kesatuan ekonomi
nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memperhatikan efisiensi
perekonomian dan menjamin terwujudnya
kesatuan ekonomi nasional adalah suatu
pengaturan
yang
tidak
mengakibatkan
hambatan perdagangan antar daerah dan/atau
antar pulau baik yang berupa tarif (pajak atau
retribusi) maupun hambatan lainnya untuk
mencegah ekonomi biaya tinggi.
Pasal 7
Pasal 7
(1)
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
memfasilitasi tersedianya barang kebutuhan
pokok dan atau barang penting di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jumlah memadai, mutu yang baik dan
harga yang wajar.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Pemerintah
menetapkan
langkah-langkah
stabilisasi harga barang kebutuhan pokok
Ayat (2)
Yang dimaksud menetapkan langkah-langkah
9
dan/atau barang penting dalam hal terjadi
kelangkaan dan/atau gejolak harga
stabilisasi antara lain mengatur pelaksanaan
ekspor-impor, distribusi, larangan penimbunan
terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau
barang penting.
BAB IV
PERDAGANGAN BARANG DAN JASA
Bagian Kesatu
Perdagangan Barang
Pasal 8
Pasal 8
(1)
Semua barang dapat diekspor, diimpor atau
diperdagangkan di dalam negeri secara bebas,
kecuali yang diatur, dan/atau yang telah diatur
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (1)
Demi
kepentingan
bangsa
dan
negara,
Pemerintah dapat melarang atau membatasi
kegiatan ekspor, impor, dan perdagangan antar
pulau untuk barang tertentu.
(2)
Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk perdagangan barang antar pulau
Ayat (2)
Dalam hal ini, instansi lain yang terkait dalam
pengaturan jenis barang ekspor & impor dapat
menentukan jenis komoditi yang boleh/tidak
boleh diimpor dan diekspor secara bebas
dengan melakukan koordinasi dengan Menteri.
Menteri dengan melakukan koordinasi dengan
menteri teknis lainnya dapat melakukan tindakan
untuk menghentikan kegiatan ekspor dan impor
secara bebas untuk melindungi kepentingan
Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Perdagangan Jasa
Pasal 9
Pasal 9
Perdagangan Jasa dalam Undang-Undang ini
terbatas pada jasa distribusi, jasa bisnis, dan jasa
lainnya di bidang Perdagangan.
Pengklasifikasian sektor jasa yang dinyatakan
dalam undang-undang ini dibatasi hanya pada
jasa-jasa yang terkait bidang perdagangan.
Jasa Distribusi mengacu kepada klasifikasi
WTO/GATS mengenai distribution services yang
terdiri dari:
1. Jasa agen (commission agent)
2. Pedagang Besar (wholesaler)
3. Pedagang Eceran (retailer)
4. Waralaba (franchising)
Jasa Bisnis adalah jasa-jasa yang terkait dengan
jasa profesi (professional services) di bidang
perdagangan, seperti:
a. jasa profesi yang mencakup makelar (broker),
sertifikasi mutu, surveyor, dan pialang;
b. Jasa sewa dan sewa beli
c. Jasa konsultan bisnis dan manajemen dan
jasa hubungan masyarakat; dan
d. Jasa bisnis lainnya antara lain mencakup
10
periklanan, penelitian pasar, pengemasan,
pameran, telemarketing, jasa polling, biro
jasa, layanan purna jual, perbengkelan dan
time share.
Jasa lainnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 adalah jasa di bidang perdagangan
yang dapat muncul di kemudian hari.
Pasal 10
Pasal 10
Semua Jasa-jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dapat diperdagangkan di dalam negeri
secara bebas, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan lain.
Cukup jelas.
Pasal 11
Pasal 11
(1)
Pelaku usaha jasa yang bergerak di bidang
perdagangan wajib menjalankan usahanya
berdasarkan
standar
kompetensi
yang
diwajibkan oleh Pemerintah.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Untuk
memenuhi
standar
kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku
usaha yang bersangkutan harus melalui dan
menempuh tahapan-tahapan tertentu antara
lain,
sertifikasi,
akreditasi
dan
otorisasi
sebagaimana diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku..
Ayat (2)
Cukup jelas.
(3)
Pelaku usaha jasa yang bergerak di bidang
perdagangan yang menjalankan usahanya
tidak berdasarkan standar kompetensi yang
diwajibkan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Pasal 12
Pemerintah memberi pengakuan terhadap sertifikat
kompetensi penyedia jasa dari negara lain sepanjang
sudah dilakukan perjanjian saling pengakuan (Mutual
Recognition Arrangement/MRA), baik secara bilateral
maupun regional.
Cukup jelas.
Pasal 13
Pasal 13
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan
Menteri.
11
Cukup jelas.
BAB V
PERIJINAN
Pasal 14
(1)
Pasal 14
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan baik perdagangan dalam negeri
maupun perdagangan luar negeri wajib
memiliki ijin usaha perdagangan, persetujuan
dan/atau memenuhi persyaratan lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Ayat (1)
Perijinan diwajibkan untuk:
(1)menjamin bahwa Pelaku Usaha memenuhi
persyaratan untuk menjalankan usahanya;
(2) bukti kompetensi; serta
(3) tujuan pengawasan terhadap Pelaku Usaha
dalam rangka perlindungan konsumen.
Secara khusus, untuk Pelaku Usaha yang
melakukan kegiatan Perdagangan Luar Negeri
wajib memenuhi ketentuan Pasal 14 dalam
undang-undang ini.
Pelaku Impor diwajibkan memiliki Angka Pengenal
Impor, sebagaimana diatur oleh perundangundangan yang berlaku. Yang dikecualikan dari
ketentuan ini adalah importasi fasilitas diplomatik
yang diatur secara bilateral dan tidak ditujukan
untuk tujuan komersial.
(2)
Dalam hal pelaku usaha melakukan kegiatan
usaha dengan karakteristik tertentu, pelaku
usaha yang bersangkutan wajib memiliki ijin
usaha, pendaftaran atau persetujuan yang
diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memiliki karakteristik
tertentu antara lain:
(1) perdagangan barang yang diatur
secara khusus seperti perdagangan
barang dalam pengawasan (gula,
pupuk, minuman beralkohol, crude palm
oil)
(2) jasa profesi seperti jasa survei, jasa
properti, jasa pialang; atau
(3) menggunakan
metode
penjualan
khusus seperti waralaba, penjualan
langsung (direct selling).
(3)
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dikecualikan dari kewajiban
memiliki ijin usaha perdagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila tidak
dipersyaratkan oleh peraturan menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(4)
Ijin
usaha
perdagangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) berlaku untuk
menjalankan perdagangan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ayat (4)
Cukup jelas.
(5)
Pemilikan ijin usaha perdagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
bagi pelaku usaha mikro
Ayat (5)
Batasan “Pelaku Usaha mikro” yang dimaksud di
sini adalah sebagaimana diatur dengan UndangUndang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
12
(6)
Ketentuan pelaksanaan mengenai ijin usaha
perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal
ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
BAB VI
LEMBAGA USAHA PERDAGANGAN
Pasal 15
Pasal 15
Pelaku usaha dalam memasarkan barang dan/atau
jasa dapat melalui pedagang perantara.
Yang dimaksud dengan kegiatan memasarkan
dapat meliputi informasi pasar, promosi, distribusi,
pembelian dan penjualan.
Pasal 16
Pasal 16
(1)
Pedagang perantara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 merupakan lembaga usaha
perdagangan yang dapat melakukan kegiatan
perdagangan dengan cara memindahkan
barang dan/atau jasa dari produsen sampai
pada konsumen.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga usaha
perdagangan adalah commision agent seperti
agen; wholesaler seperti distributor/pedagang
besar; retailer seperti pedagang eceran.
(2)
Pemindahan
barang
dan/atau
jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara langsung, tidak langsung,
maupun dengan metode penjualan lainnya.
Ayat (2)
Metode penjualan yang dapat dilakukan oleh
pedagang perantara meliputi penjualan secara
langsung, melalui media, waralaba, berjenjang,
dan dari rumah ke rumah.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedagang
perantara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Pasal 17
Pengaturan lebih lanjut mengenai jenis lembaga
usaha perdagangan lain dan kegiatannya ditetapkan
dalam Peraturan Menteri.
Cukup jelas.
Pasal 18
Pasal 18
Pedagang Besar dilarang merangkap melakukan
kegiatan sebagai Pedagang Pengecer.
Cukup jelas.
BAB VII
SARANA PERDAGANGAN
Bagian Kesatu
Pasar
Pasal 19
Pasal 19
Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah, dapat
bekerja sama dengan pihak swasta dalam
membangun pasar.
13
Cukup jelas.
Pasal 20
Pasal 20
(1)
Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
terdiri dari pasar tradisional, pusat perbelanjaan
dan toko modern.
Ayat (1)
Batasan pusat perbelanjaan, pasar tradisional
dan toko modern adalah sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2)
Hubungan
antara
pemasok
dan
pusat
perbelanjaan dan toko modern diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Presiden.
Ayat (2)
Cukup jelas.
(3)
Ketentuan penyelenggaraan pasar tradisional,
pusat perbelanjaan dan toko modern yang
meliputi aspek perijinan, dan aspek penataan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Pasal 21
(1)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
dapat bekerjasama dengan pihak swasta
dalam menyelenggarakan pasar lelang dengan
penyerahan kemudian (forward).
Ayat (1)
Pasar lelang dengan penyerahan kemudian ini
berlaku untuk perdagangan komoditi.
(2)
Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam
pasar dengan penyerahan kemudian (forward)
harus dilengkapi dengan perjanjian tertulis
antara pihak-pihak yang terlibat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perjanjian tertulis juga
mencakup perjanjian yang dilakukan secara
elektronik.
(3)
Pengaturan mengenai pasar lelang dengan
penyerahan kemudian (forward) sebagaimana
yang dimaksud dengan ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Gudang
Pasal 22
Pasal 22
(1)
Untuk menunjang kelancaran distribusi barang,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau pelaku
usaha dapat membangun atau berusaha di
bidang pergudangan.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau pelaku
usaha
yang
memiliki
gudang
wajib
mendaftarkan gudangnya.
Ayat (2)
Khusus bagi gudang yang dipergunakan juga
dalam Sistem Resi Gudang, maka pendaftaran
gudang ini harus mendapat persetujuan dari
Badan
Pengawas
Sistem
Resi
Gudang
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.
9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
(3)
Setiap pemilik, pengelola atau penyewa
gudang yang melakukan penyimpanan barang
yang diperdagangkan di gudang wajib
menyelenggarakan pencatatan administrasi
Ayat (3)
Cukup jelas.
14
dengan baik yang antara lain mencakup
pencatatan mengenai barang-barang yang
masuk dan keluar gudang serta melaporkannya
secara
berkala
kepada
instansi
yang
berwenang.
(4)
Ketentuan
mengenai
pergudangan
dikecualikan untuk gudang-gudang yang
dikuasai oleh penguasa pelabuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pergudangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3)
dan (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
(6)
Setiap pemilik, pengelola atau penyewa
gudang yang melakukan penyimpanan barang
yang diperdagangkan di gudang namun tidak
menyelenggarakan pencatatan administrasi
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
BAB VIII
PROMOSI
Pasal 23
Pasal 23
(1) Menteri menyediakan jasa publik berupa
informasi, edukasi dan promosi perdagangan luar
negeri.
Jasa publik yang dimaksud di sini adalah berupa:
a. informasi pasar di luar negeri dan potensi
pengusaha domestik;
b. edukasi, yaitu suatu usaha yang dilakukan
untuk menutupi perbedaan antara standar
atau selera pasar luar negeri dengan
kemampuan pengusaha domestik; dan
c. Promosi
perdagangan
luar
negeri
memberikan payung bagi fungsi utama
pemerintah dalam bidang perdagangan luar
negeri
yaitu
melakukan
pemasaran
(marketing) mulai dari penelitian pasar
(market intelligence), citra pasar (branding
image), promosi produk (product promotion)
untuk
memperluas
akses
pasar
dan
meningkatkan daya saing (backward linkage
effect).
(2)
(3) Penyelenggaraan
kegiatan
promosi
perdagangan luar negeri dilakukan berkoordinasi
dengan Menteri terkait.
(4) Kegiatan promosi perdagangan luar negeri juga
dapat dilaksanakan bekerja sama dengan pihak
swasta.
15
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk
kerja sama promosi perdagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 24
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
(1)
Kegiatan promosi perdagangan antara lain
meliputi
penyelenggaraan
pameran
perdagangan, penyediaan informasi pasar,
analisis dan proyeksi kondisi perdagangan,
intelijen bisnis, jasa konsultasi, pendidikan dan
pelatihan, misi dagang luar negeri, serta
pendirian perwakilan promosi perdagangan di
luar negeri.
Ayat (1)
Promosi yang dimaksud juga mencakup promosi
perdagangan, investasi dan pariwisata (trade,
investment, tourism). Promosi Perdagangan Luar
Negeri atau internasional dapat dilakukan di luar
negeri (pameran luar negeri) dan di dalam negeri
(pameran dalam negeri).
(2)
Dalam rangka melaksanakan kegiatan promosi
perdagangan
luar
negeri
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk perwakilan
promosi perdagangan di luar negeri yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Ayat (2)
Perwakilan promosi perdagangan luar negeri
selain mempromosikan perdagangan barang
dan/atau jasa juga
mampu mendorong
peningkatan investasi dan atau pariwisata.
Atase perdagangan diangkat pada tingkat
eselon satu dan menteri
Pasal 25
Pasal 25
Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan
upaya peningkatan kemampuan dan pengetahuan
serta keterampilan pelaku usaha dalam negeri dalam
kegiatan
Ekspor-Impor
yang
bertujuan
untuk
mengembangkan dan meningkatkan Perdagangan
di luar negeri.
Fungsi utama Pemerintah dalam hal edukasi
adalah
sebagai
upaya
pemberdayaan
kemampuan para Eksportir.
Pemberdayaan eksportir lebih rinci akan diatur
lebih lanjut dalam peraturan teknis. Hal ini penting
karena bentuk peningkatan kemampuan yang
bergerak secara dinamis sehingga sulit diikat
secara hukum. Salah satunya adalah pemberian
“fasilitas” peningkatan kapasitas eksportir yang
diprediksi
akan
mengalami
perubahanperubahan bentuk.
BAB IX
PERLINDUNGAN PERDAGANGAN
Pasal 26
Pasal 26
Setiap Barang dapat diimpor dan diekspor secara
bebas, kecuali ditentukan lain sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, instansi lain yang terkait dalam
pengaturan jenis barang Ekspor & Impor dapat
menentukan jenis komoditi yang boleh dan tidak
boleh diimpor dan diekspor secara bebas
dengan melakukan koordinasi dengan Menteri.
Menteri dengan melakukan koordinasi dengan
menteri teknis lainnya dapat melakukan tindakan
untuk menghentikan kegiatan ekspor dan impor
secara bebas dalam hal untuk melindungi
kepentingan Negara Republik Indonesia .
16
Pasal 27
(1) Menteri menetapkan kebijakan Perdagangan
Luar Negeri untuk melindungi dan mengamankan
serta memperluas akses pasar bagi produk
barang dan jasa nasional
Pasal 27
Ayat (1)
Kebijakan perlindungan diberikan dalam bentuk
tarif dan non tarif.
Kebijakan pengamanan yang dimaksud di sini
adalah segala langkah-langkah yang tepat yang
perlu diambil dan diterapkan dalam bentuk
pembalasan, pemulihan, pemberian sanksi,
retaliasi atau penjadwalan kesepakatan atau
penundaan kewajiban.
Kebijakan perluasan akses pasar dilakukan
melalui usaha perluasan pangsa pasar ekspor
dan impor dengan mempertahankan pangsa
pasar negara mitra dagang tradisional dan
memperluas cakupan hingga ke negara mitra
dagang non tradisional. Kebijakan ini terkait
dengan
meningkatkan
jenis
komoditi
perdagangan luar negeri Indonesia
(2) Pengamanan dan perlindungan perdagangan
luar negeri dapat dilakukan dalam hal terjadi
antara lain:
a. praktek
dumping
atau
impor
yang
mengandung subsidi yang mengakibatkan
kerugian atau ancaman kerugian bagi industri
dalam negeri;
b. tindakan
negara
mitra
dagang
yang
menimbulkan hambatan terhadap pasar
ekspor Indonesia; atau
c. lonjakan Impor yang mengakibatkan kerugian
serius atau ancaman kerugian serius bagi
industri dalam negeri.
Ayat (2)
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri termasuk
penerapan
tindakan
pengamanan
dan
perlindungan atas adanya kebijakan unfair trade
yang dilakukan oleh
negara mitra dagang
misalnya dengan melakukan dumping dan subsidi
ekspor.
Tindakan mitra dagang juga termasuk penerapan
hambatan non tarif yang merugikan pasar ekspor
nasional.
Lonjakan impor sebagaimana dimaksud pada
ayat ini terjadi ketika impor menghasilkan potensi
kerugian atau ancaman serius bagi kelangsungan
proses produksi dalam negeri.
Bila terjadi “keadaan luar biasa” yang
membahayakan kepentingan ekonomi Indonesia
maka pengaturan ekspor dan impor dapat
dikecualikan, misalnya ketika terjadi bencana
alam.
(3) Pengenaan hambatan perdagangan luar negeri
berupa tarif dan non-tarif ditetapkan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
(4) Ketentuan lebih lanjut dari tindakan pengamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 28
Pasal 28
(1) Menteri
berwenang
melakukan
tindakan
penghambatan, pembatasan dan/atau larangan
impor dan ekspor suatu barang dan/atau jasa
Ayat (1)
Dalam hal negara lain melakukan tindakan tidak
adil (unfair trade) yang merugikan Indonesia,
misalnya negara tujuan Ekspor melakukan proteksi
terhadap
produksi
nasionalnya
(national
safeguards) yang berdampak pada Ekspor
Indonesia, maka Menteri memiliki hak untuk
17
melakukan upaya timbal balik demi tercapainya
prinsip keadilan. Kewenangan ini ditujukan agar
Perdagangan tidak semata-mata bertujuan
menjadikan Indonesia sebagai negara dagang
tapi juga memperkuat basis produksi (industri dan
investasi). Menteri perlu melakukan konsultasi dan
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Penghambatan, pembatasan dan/atau larangan
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan
perjanjian
internasional
dan
persetujuan
internasional
yang
telah
ditandatangani
dan/atau diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia
(2) Tindakan penghambatan/pembatasan impor
dan ekspor suatu barang dan/atau jasa dapat
dilakukan dalam hal:
a. menjaga kepentingan umum dan keamanan
nasional
b. terjadi kekurangan pasokan di pasar dalam
negeri
c. melindungi sumberdaya dalam negeri yang
langka
d. mempercepat perkembangan industri
tertentu dalam negeri
e. melindungi produk pertanian, peternakan dan
perikanan di dalam negeri atau
f. mengamankan posisi Indonesia dalam
keuangan internasional dan neraca
pembayaran
Ayat (2)
Ketentuan hambatan Perdagangan Luar Negeri
diatur dalam BAB IV UU No. 17/2006 tentang
Kepabeanan dimana disebutkan bahwa (i) Bea
Masuk Antidumping dikenakan terhadap Barang
Impor yang mana harga Ekspor dari Barang
tersebut lebih rendah dari nilai normalnya atau
jika merugikan industri dalam negeri; dan (ii) Bea
Masuk Imbalan dikenakan terhadap Barang
Impor dalam hal ditemukan adanya subsidi yang
diberikan di negara pengEkspor terhadap Barang
tersebut atau jika merugikan industri dalam
negeri; (iii) Bea Masuk Tindakan Pengamanan
dapat dikenakan terhadap Barang Impor dalam
hal terdapat lonjakan Barang Impor baik secara
absolut maupun relatif terhadap Barang produksi
dalam negeri yang sejenis atau Barang yang
secara langsung bersaing, dan lonjakan Barang
Impor; (iv) Bea Masuk Pembalasan dikenakan
terhadap Barang Impor yang berasal dari negara
yang memperlakukan Barang Ekspor Indonesia
secara diskriminatif.
Pasal 29
Pasal 29
(1) Menteri berwenang untuk melakukan negosiasi
dan/atau advokasi dalam hal terjadi hambatan
Perdagangan di Luar Negeri
Ayat (1)
Yang dimaksud hambatan perdagangan luar
negeri adalah hambatan yang diakibatkan oleh
tuduhan perdagangan tidak adil dari negara
mitra dagang.
Peran menteri untuk negosiasi dilakukan sebelum
konflik menjadi terbuka sementara Advokasi
dilakukan ketika konflik sudah terbuka. Negosiasi
lebih
diutamakan
mengingat
pemecahan
masalah Perdagangan antarnegara lebih baik
diselesaikan sebelum Advokasi. Sementara bila
terjadi advokasi maka jalur bilateral lebih
diutamakan ketimbang pemecahan di tingkat
internasional. Fungsi negosiasi dan advokasi ini
dilakukan oleh Departemen Perdagangan,
namun bersifat lintas departemen sepanjang
diperlukan dan tergantung kasus yang dihadapi,
yang mana dalam pelaksanaannya selalu
berkolaborasi dengan Departemen Luar Negeri
18
RI.
Dalam melakukan kewenangannya, Menteri juga
dapat melakukan (i) re-negosiasi, misalnya renegosiasi bea masuk termasuk re-schedule; (ii)
advokasi yang dilakukan dapat terkait dengan
suatu sengketa atau bukan sengketa.
Menteri dalam melaksanakan negosiasi dan/atau
advokasi dapat bekerjasama dengan menteri
teknis terkait.
(2) Tindakan
pembelaan
terhadap
tuduhan
perdagangan tidak adil (unfair trade) dari negara
mitra dagang dapat dilakukan dalam hal:
a. Barang dan/atau Jasa ekspor dari Indonesia
terkena tuduhan dumping,
b. Barang dan/atau jasa ekspor dari Indonesia
terkena tuduhan subsidi dan dukungan
perdagangan oleh negara mitra dagang;
c. terjadi tindakan perdagangan tidak adil yang
merugikan ekonomi Indonesia, atau
d. tindakan
negara
mitra
dagang
yang
menimbulkan hambatan terhadap akses pasar
produk ekspor Indonesia di luar negeri.
Ayat (2)
Pembelaan yang dimaksud di sini dilakukan
melalui negosiasi dan advokasi terhadap
hambatan Perdagangan yang dilakukan oleh
Pemerintah (Menteri) dan/atau bekerjasama
dengan pihak swasta. Advokasi yang dimaksud di
sini dapat berupa tindakan pembelaan demi
kepentingan industri dalam negeri, khususnya
eksportir kecil.
(3) Dalam
hal terjadi keadaan
sebagaimana
dimaksud pada:
a. ayat (1) huruf a dibentuk Komite Anti-dumping
b. ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d dibentuk
Komite Pengamanan Perdagangan
Ayat (3)
Cukup Jelas.
(4) Pembentukan Komite sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
Ayat (4)
Cukup Jelas
BAB X
KERJASAMA PERDAGANGAN
Pasal 30
Pasal 30
(1) Kegiatan Perdagangan Luar Negeri dan Kerjasama
Perdagangan Internasional dilaksanakan sesuai
dengan asas kesamaan kedudukan dan asas
manfaat bersama.
Ayat (1)
Asas-asas yang dimaksud di sini adalah menjamin
kesamaan posisi tawar antara negara mitra
dagang dan Indonesia. Lebih lanjut, setiap
perjanjian luar negeri, baik bilateral, regional,
multilateral, harus dirancang berdasarkan prinsip
win-win solution/pareto optimum.
(2) Menteri melakukan koordinasi untuk harmonisasi
kebijakan Perdagangan mengenai perjanjian
bilateral, regional, atau multilateral.
Ayat (2)
Harmonisasi
kebijakan
perdagangan
dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
lainnya, yaitu termasuk namun tidak terbatas
pada penetapan tarif berdasarkan ketentuan
undang-undang
ini
dapat
bersinggungan
dengan
kewenangan
Menteri
Keuangan
berdasarkan Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan, yaitu salah satunya
adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk
19
menetapkan
barang-barang
yang
bea
masuknya
tidak
dipungut,
dibebaskan
diringankan atau bahkan dikembalikan; dan bea
masuk anti dumping berdasarkan ketentuan
undang-undang ini diusulkan oleh Menteri.
Harmonisasi kebijakan dengan mitra dagang
(bilateral, regional dan multilateral) dilakukan
untuk meningkatkan manfaat dari perjanjian dan
bukan sebaliknya. Misalnya kasus: Televisi sebagai
Barang final (AFTA) versus Barang input (non
AFTA). Pemerintah tidak melakukan harmonisasi
hulu ke hilir rantai produksi sehingga prinsip terjadi
counter effective rate of protection (ERP).
Produsen televisi nasional mengalami kerugian
cukup besar.
BAB XI
PERDAGANGAN LINTAS BATAS
Pasal 31
(1) Menteri mengatur secara khusus
perdagangan lintas batas tradisional.
Pasal 31
kegiatan
(2) Kegiatan perdagangan lintas batas tradisional
diatur
dalam
perjanjian
bilateral
antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dengan
pemerintah negara lain yang wilayahnya
berbatasan dengan wilayah Republik Indonesia.
20
Ayat (1)
Perdagangan lintas batas meliputi Perdagangan
lintas batas tradisional dan/atau Perdagangan
Luar Negeri.
Perdagangan lintas batas tradisional adalah
perdagangan antara Indonesia dengan negara
lain yang memiliki perbatasan darat dengan
Indonesia.
Jenis
dan
kuantitas
barang
yang
diperdagangkan dalam perdagangan lintas
batas tradisional akan diatur dengan peraturan
Menteri.
Pengecualian
atas
penerapan
ketentuan
Perdagangan
lintas
batas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan atas dasar
pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
dan/atau keperluan kekerabatan masyarakat di
lintas batas
Terhadap pemasukan dan/atau pengeluaran
Barang dan/atau Jasa di luar tujuan-tujuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
ini
dikategorikan sebagai Perdagangan Luar Negeri,
sebagaimana kewenangannya diatur oleh
Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
BAB XII
PRAKTEK PERDAGANGAN YANG DILARANG
Pasal 32
Pasal 32
(1)
Pelaku usaha dilarang menimbun barang yang
dapat mengakibatkan terjadinya hambatan
terhadap
lalu
lintas
barang
dan/atau
menimbulkan kelangkaan barang dan gejolak
harga.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
menimbun barang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Pasal 33
Pelaku usaha dilarang melakukan manipulasi data
atau informasi mengenai persediaan barang yang
mengakibatkan terjadinya hambatan lalu lintas
barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang
dan gejolak harga.
Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal 34
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
perolehannya atau barang yang status awalnya tidak
jelas.
Yang dimaksud barang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya adalah
barang yang tidak memiliki bukti-bukti pembelian,
bukti pemilikan yang sah, dokumen lainnya yang
terkait dengan barang, atau barang yang asalusulnya tidak jelas.
Pasal 35
Pasal 35
(1)
Pelaku usaha di bidang Perdagangan Luar
Negeri dilarang melakukan hal-hal berikut ini:
a.
memalsukan, mengubah, memperjualbelikan dan/atau menyalahgunakan Surat
Keterangan Asal (certificate of origin),
lisensi Impor dan Ekspor, dan dokumen
Perdagangan Luar Negeri lainnya;
b.
hal-hal lain yang dilarang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c.
Perbuatan lain yang dinyatakan sebagai
tindak pidana di bidang perdagangan
berdasarkan
peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
BAB XIII
STANDARDISASI
Pasal 36
(1)
Pasal 36
Barang atau jasa yang diperdagangkan wajib
21
Ayat (1)
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)
atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan
secara wajib oleh Pemerintah.
Standar jasa yang dimaksud adalah standar
pelayanan jasa
(2)
Pemberlakuan SNI
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perdagangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
(3)
Pemberlakuan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
menteri teknis sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(4)
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
keamanan,
keselamatan,
kesehatan,
lingkungan dan/atau pertimbangan ekonomi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(5)
Barang atau jasa yang sudah ditetapkan
pemberlakuan
standar
atau
persyaratan
teknisnya sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1), wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda
kesesuaian lainnya atau dilengkapi sertifikat
kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
(6)
Tanda SNI, tanda kesesuaian dan/atau sertifikat
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diterbitkan oleh Lembaga Penilaian
Kesesuaian yang sudah diakreditasi dan
diotorisasi oleh pemerintah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
(7)
SNI atau persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat berupa
standar barang dan standar pelayanan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
(8)
Standar dan/atau penilaian kesesuaian yang
ditetapkan oleh negara lain diakui oleh
Pemerintah
sepanjang
telah
dilakukan
perjanjian saling pengakuan yang telah
diratifikasi
oleh
kedua
negara
yang
bersangkutan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
(9)
Ketentuan mengenai standarisasi perdagangan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Ayat (9)
Cukup jelas.
(10)
Barang atau jasa yang diperdagangkan yang
tidak memenuhi ketentuan Standar Nasional
Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Ayat (10)
Cukup jelas.
(11)
Barang atau jasa yang sudah ditetapkan
pemberlakuan
standar
atau
persyaratan
teknisnya sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1), namun tidak dibubuhi tanda SNI atau
tanda kesesuaian lainnya atau dilengkapi
sertifikat
kesesuaian
sebagaimana
yang
Ayat (11)
Cukup jelas.
22
dimaksud pada ayat (5) dikenakan sanksi
sebagaimana
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 37
Pasal 37
(1)
Penetapan standar terhadap standar satuan
ukuran, satuan-satuan ukuran, metode-metode
pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang
dan perlengkapannya (UTTP) yang menyangkut
persyaratan teknis dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang
Metrologi Legal.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Setiap transaksi perdagangan berdasarkan
ukuran,
takaran,
dan
timbangan
wajib
menggunakan satuan ukuran dan/atau UTTP
yang berlaku di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan
Menteri
Ayat (3)
Cukup jelas.
(4)
Transaksi perdagangan berdasarkan ukuran,
takaran,
dan
timbangan
yang
tidak
menggunakan satuan ukuran dan/atau UTTP
yang berlaku di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
sebagaimana
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Pasal 38
(1)
Barang dan jasa yang telah diberlakukan SNI
wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) namun tetap beredar di pasar dengan
tidak memenuhi standar atau persyaratan,
Pemerintah berwenang:
a. Memerintahkan pelaku usaha/produsen/
importir untuk menarik dari peredaran dan
memusnahkan barang dimaksud; atau
b. Menghentikan usaha jasa
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Ketentuan
pelaksanaan
penarikan
dan
pemusnahan barang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
BAB XIV
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 39
Pasal 39
Kegiatan Perdagangan Barang dan Jasa dapat
menggunakan Transaksi Elektronik yang mencakup
antara lain kegiatan promosi, kerjasama dagang,
pengumpulan dan analisis data statistik, pencegahan
dan penyelesaian konflik dagang, transaksi jual beli
Transaksi Elektronik merupakan bagian dari
aktivitas Perdagangan yang diikat secara hukum
dan rincian kegiatannya dilindungi oleh hukum
yang berlaku. Hal ini penting untuk menghindari
penipuan/aktivitas
Perdagangan
yang
23
berbasis teknologi informasi yang dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
melanggar hukum.
Transaksi elektronik ini mengacu pada ketentuan
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh
karenanya kepastian hukum dalam setiap
transaksi masuk dan keluar dari satu negara baik
berbentuk paper contract based maupun
electronic based dapat lebih terjamin.
BAB XV
PENGAWASAN
Pasal 40
Pasal 40
(1)
Menteri melakukan pengawasan terhadap
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa
yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2)
Pengawasan kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain mencakup:
a. aspek
perijinan
persetujuan
dan
pendaftaran;
b. distribusi;
c. kegiatan perdagangan yang dilarang;
d. pelaksanaan pemberlakuan standar; dan
e. ketentuan lain yang diatur dalam undangundang ini.
Ayat (2)
Pengawasan terhadap pemberlakuan standar
meliputi pengawasan pra-pasar maupun pasar.
(3)
Menteri berwenang mengambil tindakan
administratif terhadap Pelaku Usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(4)
Tindakan administratif terhadap Pelaku Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. mengamankan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
b. penarikan barang dari peredaran.
c. penghentian
kegiatan
perdagangan
barang dan/atau jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3)
dan (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
(1)
Pasal 41
Petugas pengawas di bidang perdagangan
yang ditunjuk melaksanakan tugas pengawasan
berwenang:
a. memasuki dan memeriksa tempat yang
diduga
digunakan
sebagai
tempat
melakukan kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa secara tidak benar dan sah;
b. menghentikan
dan
memeriksa
sarana
transportasi
yang
diduga
mengangkut
barang yang tidak sesuai dengan ketentuan
24
Ayat (1)
Tindakan untuk memeriksa sarana angkutan perlu
dikoordinasikan
dengan
Departemen
Perhubungan dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
peraturan
perundang-undangan
lain;
dan/atau
c. melakukan langkah pengamanan terhadap
barang
dan/atau
jasa
sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b untuk dilarang
diperdagangkan.
(2)
Petugas pengawas sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
dalam
melaksanakan
kewenangannya dapat berkoordinasi dengan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di
bidang perdagangan.
(3)
Dalam
hal
pelaksanaan
pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditemukan bukti awal telah terjadi tindak
pidana di bidang Perdagangan, maka Petugas
Pengawas yang ditunjuk untuk melakukan
pengawasan melaporkan kepada Penyidik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Penyidik adalah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di bidang
perdagangan atau Penyidik Polri.
(4)
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melaporkan hasil kegiatan
pengawasan kepada Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara serta
pelaksanaan
kewenangan
pengawasan
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 42
Pasal 42
(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan instansi Pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Perdagangan, baik di pusat maupun di daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2) Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
berwenang:
a. menerima
laporan
atau
pengaduan
tentang terjadinya suatu perbuatan yang
diduga merupakan tindak pidana di bidang
perdagangan;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan
atau
keterangan
berkenaan
dengan
tindak
pidana
di
bidang
perdagangan;
c. memanggil dan meminta keterangan dan
alat bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan
dengan
peristiwa
tindak
pidana di bidang Perdagangan;
Ayat (2)
Cukup jelas.
25
d. memanggil orang atau badan hukum untuk
didengar dan diperiksa sebagai saksi
berkenaan dengan dugaan terjadinya
tindak pidana di bidang perdagangan;
e. memanggil dan melakukan pemeriksaan
terhadap orang atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang
perdagangan;
f. melakukan pemeriksaan atas pembukuan,
catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan
tindak
pidana
di
bidang
perdagangan;
g. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu
yang diduga terdapat alat bukti serta
melakukan
penyitaan
dan/atau
penyegelan
terhadap
barang
hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang
perdagangan; dan
h. memanggil dan meminta bantuan atau
keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perdagangan.
(3) Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polisi
Negara Republik Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(4) Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
menyampaikan berkas perkara hasil penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik
Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang yang mengatur mengenai
Hukum Acara Pidana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Pasal 43
Peraturan
perundang-undangan
yang
telah
dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini
sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
dicabut, diganti atau diperbaharui.
26
Cukup jelas.
BAB XVIII
KETENTUAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 44
Pasal 44
(1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan baik perdagangan dalam negeri
maupun perdagangan luar negeri yang tidak
memiliki persetujuan dan/atau persyaratan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
izin usaha.
Ayat (1)
Cukup Jelas.
(2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
dengan karakteristik tertentu yang tidak memiliki
pendaftaran atau persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dikenakan
sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 45
Pasal 45
Pedagang Besar yang merangkap kegiatan sebagai
Pedagang Pengecer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Cukup Jelas.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 46
Pasal 46
(1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan baik perdagangan dalam negeri
maupun perdagangan luar negeri yang tidak
memiliki ijin usaha perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama .... tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp....
Ayat (1)
Cukup jelas.
(2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
dengan karakteristik tertentu yang tidak memiliki
ijin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama .... tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp....
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 47
Pasal 47
Pelaku usaha yang memiliki gudang dan tidak
mendaftarkan gudangnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama ...tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp...
27
Cukup Jelas.
Pasal 48
Pasal 48
Pelaku usaha yang menimbun barang dan
mengakibatkan terjadinya hambatan terhadap lalu
lintas barang dan/atau menimbulkan kelangkaan
barang dan gejolak harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama .... tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp....
Cukup Jelas.
Pasal 49
Pasal 49
Pelaku usaha yang melakukan manipulasi data atau
informasi mengenai persediaan barang yang
mengakibatkan terjadinya hambatan lalu lintas
barang dan/atau menimbulkan kelangkaan barang
dan gejolak harga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling
lama ...tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp...
Cukup Jelas.
Pasal 50
Pasal 50
Pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya
atau barang yang status awalnya tidak jelas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana
dengan pidana penjara paling lama .... tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp...
Cukup Jelas.
Pasal 51
Pasal 51
Pelaku usaha di bidang Perdagangan Luar Negeri
yang memalsukan, mengubah, memperjual-belikan
dan/atau menyalahgunakan Surat Keterangan Asal
(certificate of origin), lisensi Impor dan Ekspor, dan
dokumen
Perdagangan
Luar
Negeri
lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama ...
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp...
Cukup Jelas.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Penyaluran Perusahaan 1934
(Bedrijfsreglementerings
Ordonnantie
1934,
Staatsblad 1938 Nomor 86);
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 215,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2210); dan
28
Cukup Jelas.
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun
1960 tentang Pergudangan menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1962 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2759);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Cukup Jelas.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal .......
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal .....
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ....
NOMOR ....
TAMBAHAN
LEMBARAN
INDONESIA NOMOR .....
29
NEGARA
REPUBLIK
Download