7 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Unsur P pada Tanaman Fosfor (P) merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman tetapi jumlahnya tidak berlimpah dalam tanah sebagaimana N dan K. P total dalam permukaan tanah bervariasi antara 0,005 - 0,15%. Tidak semua P dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tanaman karena sebagian diikat oleh unsur lain. Tanaman menyerap P dari larutan tanah dalam bentuk ortofosfat primer dan sekunder (H2PO4- dan HPO42-) dan sedikit dalam bentuk senyawa organik. Penyerapan P oleh tanaman dari tanah terdiri dari dua cara yakni aliran massa dan difusi. Aliran massa ini merupakan pergerakan ion mengikuti pergerakan air menuju akar yang terjadi sebagai akibat transpirasi. Pergerakan secara difusi merupakan mekanisme pergerakan P menuju akar karena perbedaan konsentrasi. Difusi P sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah yakni kadar air tanah, kapasitas penyangga P tanah, suhu, dan bentuk lintasan difusi (Havlin et al. 1999). Sumber P dalam tanah terdiri dari dua macam yaitu P organik dan P anorganik. P organik meliputi 15% dari total P, sedangkan P anorganik mencapai 85%. P organik berasal dari bahan-bahan asal tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang telah mati. Bahan P anorganik berasal dari pupuk, rock phosphate (fosfat alam), phosphoric acid, calcium orthophosphate, amonium phosphate, amonium polyphosphate, dan potassium phosphate. Ketersediaan P bagi tanaman tergantung pada mineral tanah (ikatan Fe/Al/Ca terhadap P), pH tanah, efek kation, efek anion, kelimpahan P, bahan organik, waktu dan temperatur, dan genangan (Havlin et al. 1999) Fungsi P pada tanaman menurut Marschner (1995) dan Havlin et al. (1999) antara lain : 1. Sebagai penyusun struktur makromolekul dalam asam nukleat (DNA dan RNA), nukleotida, fosfoprotein, fosfolipid, dan fosfat gula. Asam nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman, sehingga tanpa unsur P proses ini akan mengalami gangguan. 2. Sebagai salah satu unsur penyusun biomembran, yakni membentuk jembatan di antara digliserida dan molekul yang lain (asam amino, amina 8 atau alkohol), membentuk fosfatidilkolin (lesitin) yang menjaga integritas membran. 3. Sebagai sumber penyimpan dan transfer energi dalam bentuk ATP (Adenosine triphosphate), ADP (Adenosine diphosphate), dan AMP (Adenosine monophosphate). Energi yang diperoleh dari fotosintesis dan metabolisme karbohidrat disimpan dalam bentuk fosfat untuk selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan reproduksi. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfat yang pemecahannya akan melepaskan energi yang dikenal dengan proses Pilasi (Phosphorilasi). ATP merupakan sumber energi pada hampir semua proses biologi yang memerlukan energi. 4. Mengontrol beberapa reaksi enzim kunci. Hampir semua reaksi metabolisme selalu melewati turunan fosfat. P juga berfungsi sebagai regulator reaksi biokimia yang dapat mengaktivasi atau menginaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam sinyal transduksi. 5. Pada tanaman sangat diperlukan untuk pembentukan biji dan buah. P juga sangat penting dalam pertumbuhan akar dan pemasakan buah. Unsur P mobil dalam tanaman, sehingga ketika defisiensi terjadi, unsur tersebut dapat berpindah dari jaringan yang lebih tua ke jaringan yang lebih muda. Kekurangan P pada tanaman padi menyebabkan berkurangnya jumlah anakan, pertumbuhan kerdil, dan menurunnya jumlah butir gabah dalam malai. Tanaman yang kekurangan P biasanya berwarna hijau tua, daun-daunnya lebih panjang daripada tanaman normal. Pada beberapa varietas, daun-daun tuanya berubah warna menjadi oranye atau keungu-unguan. Kekurangan P dapat terjadi pada tanah yang sangat masam, sulfat masam, gambut, dan tanah alkali. P lebih tersedia di lahan tergenang daripada di lahan kering (Untung et al. 1991). Gejala berkurangnya jumlah anakan pada tanaman gandum juga terjadi pada kondisi defisiensi P (Rodriquez et al. 1999; Rodriquez et al. 1998a). (1998b) menyebutkan pada kondisi kurang P Rodriquez et al. daun-daun tanaman gandum mengalami pengurangan luas daun karena terjadi pengurangan hasil fotosintesis. 9 Gejala pengurangan luas daun dan produksi asimilat terjadi pula pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) bila kekurangan P (Rodriquez 1998c). Mekanisme Toleransi Terhadap Defisiensi P Secara umum adaptasi tanaman pada kondisi defisiensi P dilakukan melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan efisiensi penggunaan P dalam tanaman. Peningkatan penyerapan P dari tanah dilakukan tanaman dengan membuat sejumlah perubahan morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler dalam merespon pertumbuhan di bawah kondisi defisiensi P. Hal ini meliputi perubahan morfologi dan arsitektur akar, akumulasi pigmen antosianin, sekresi fosfomonoeterase dan asam organik ke dalam rizosfir, perubahan efisiensi penangkapan P, dan perubahan metabolisme dalam sel tanaman (Vance et al. 2002). Penelitian terkini menyebutkan toleransi terhadap defisiensi P berbanding lurus dengan aktivitas P transporter yang membawa P ke dalam sel tanaman, seperti yang dibuktikan pada sel tanaman alfafa (Abu Qamar et al. 2005). Fosfat transporter ini jenisnya bisa berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman. Selain itu peningkatan aktivitas pompa proton juga dapat diamati pada tanaman yang toleran defisiensi P (Smith 2002). Tujuan dari perubahan ini adalah untuk meningkatkan P tersedia di dalam rizosfir, meningkatkan penangkapan P dan memelihara metabolisme tanaman. Untuk mengoptimalkan eksploitasi P di dalam tanah biasanya tanaman merespon dengan meningkatkan rasio root-shoot dan memperluas permukaan serapan. Sekresi asam organik untuk mengkelat mineral-mineral yang mengikat P, seperti sitrat, malat, dan fenolik (Rausch dan Bucher 2002), yang merupakan mekanisme toleransi lain terhadap defisiensi P pada sebagian tanaman. Asam organik ini akan berikatan dengan Al, Fe atau Ca sehingga P yang terikat pada unsur-unsur tersebut menjadi lepas/bebas dan akhirnya P dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada tanaman lupin (Lupinus albus) dalam kondisi defisiensi P ditemukan asam organik berupa malic acid (Tian et al. 2004) dan asam sitrat (Kania et al. 2003). Pada tanaman chickpea (Cicer arietinum) dan lupin (Lupinus albus L. Cv. Amiga) asam organik yang dikeluarkan dalam kondisi defisiensi P 10 adalah carbocylic acid (Neumann dan Romheld 1999). Pada tanaman radish (Raphanus sativus L.) dan rape (Brassica napus L.) asam organik yang dominan adalah tartaric, malic, dan succinic acid (Zhang et al. 1997). Ektoenzim seperti asam fosfat juga dikeluarkan untuk menambah ketersediaan P tanah. Enzim phytase dikeluarkan oleh beberapa spesies tanaman untuk menghidrolisis sodium phitat dan melepaskan P anorganik yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman (Li et al. 1997). Alternatif lain adalah tanaman berasosiasi dengan jamur mikoriza (Rausch dan Bucher 2002). Jamur ini akan bersimbiosis dengan akar tanaman sampai menembus korteks. Hifa jamur bisa memanjang sampai jauh menembus tanah dan akan menyerap hara, termasuk P dan langsung dikirim sampai ke ujung jamur yang akhirnya bisa dimanfaatkan oleh tanaman (Bucher et al. 2001). Mekanisme untuk meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara dalam kondisi rendah (misal defisiensi P) menurut Marschner (1995) dapat dilakukan pada tingkat seluler dengan melakukan kompartemensasi di dalam vakuola, mengikat unsur tersebut dengan unsur-unsur lain, retranslokasi/remobilisasi unsur P, dan unsur tersebut disimpan dalam biji sebagai cadangan hara. Remobilisasi atau retranslokasi P dalam tanaman merupakan salah satu mekanisme yang penting bagi kelangsungan hidup tanaman. Daun-daun tua bisa mengirimkan P kembali kepada daun-daun muda bila tanaman dalam kondisi kurang P. Kompartemensasi P juga mempengaruhi efisiensi penggunaan P tanaman. P yang disimpan dalam vakuola bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu oleh tanaman. Persediaan P untuk tanaman kira-kira 85-95% berada di dalam vakuola. Prosesproses ini ditujukan untuk menjaga agar sel tetap bisa hidup. Vance et al. (2002) menyebutkan modifikasi internal lainnya adalah melakukan modifikasi metabolisme karbon, yakni dengan melewati tahap saat P dibutuhkan dan membuat jalur respirasi alternatif. Gen-gen yang terlibat dalam respon terhadap defisiensi P telah diidentifikasi berjumlah lebih dari 100 gen. Tanaman bisa menggunakan satu atau lebih untuk merespon lingkungan yang defisien P. 11 Perkembangan Marka Molekuler untuk Pemuliaan Tanaman Salah satu tujuan pemuliaan tanaman adalah merakit suatu tanaman yang memiliki sifat yang lebih baik dari yang sudah ada. Perakitan tanaman baru ini dapat dilakukan dengan memasukkan gen-gen tertentu yang memiliki ketahanan terhadap sifat tertentu. Dua tahap yang umum dilakukan dalam program pemuliaan tanaman adalah membuat keragaman genetik dengan program persilangan, kemudian diikuti dengan seleksi masing-masing individu hasil persilangan yang mengandung gen yang diinginkan (Ribaut dan Betran 1999). Seleksi secara konvensional biasanya dilakukan dengan menguji individu hasil persilangan dengan perlakuan tertentu. Individu yang toleran terhadap cekaman yang diujikan dianggap mengandung gen yang diinginkan. Seleksi secara konvensional hanya mengandalkan penampilan fenotipe saja. Padahal menurut Bennet (1993) seleksi yang berdasarkan pada fenotipe saja akan menemui kesulitan, karena lingkungan yang dibuat kadang tidak seragam, sehingga tekanan seleksi menjadi tidak merata dan akan menyebabkan kesalahan pemilihan galur yang toleran. Apabila gen-gen yang mengatur sifat tertentu bersifat aditif seleksi akan lebih sulit dilakukan karena masing-masing gen hanya menyumbang sebagian kecil dari fenotipe tersebut. Para ilmuwan mulai menggunakan marka molekuler yang berbasis DNA untuk mengatasi kesulitan seleksi secara konvensional. Jika marka-marka molekuler yang terpaut dengan gen-gen tertentu sudah diidentifikasi, maka dapat membantu mengurangi besarnya populasi dan waktu sebuah program perakitan varietas baru. Selain itu marka molekuler mempunyai kelebihan khusus yakni memungkinkan seleksi pada tahap pembibitan untuk sifat-sifat yang umumnya baru bisa diamati setelah tanaman dewasa dan menyeleksi sifat yang sangat sulit (misal sifat yang dikendalikan oleh alel resesif). Penggunaan marka molekuler juga dapat mempersingkat seleksi fenotipe yang umumnya memerlukan waktu yang panjang (misal : morfologi perakaran, resistensi terhadap organisme pengganggu (hama dan penyakit), toleransi terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, garam, defisiensi atau keracunaan mineral (Tanksley 1983; McCouch dan Tanksley 1991). Collard et al. (2005) menambahkan penggunaan marka molekuler dalam seleksi dapat memasukkan beberapa gen sekaligus dalam satu 12 tanaman, serta menghilangkan efek gen-gen lain yang tidak diinginkan (linkage drag). Selain itu seleksi bisa digunakan untuk sifat yang heritabilitasnya rendah dan untuk melakukan seleksi sifat yang tidak boleh diujikan di lapangan (misal: patogen). Marka molekuler mulanya dikenal dengan penanda protein yang disebut isozim. Walaupun sederhana dan murah, tetapi jumlah lokus yang dideteksi masih sangat terbatas (Causse et al. 1994). Perkembangan teknologi baru telah memanfaatkan teknologi marka DNA untuk pemetaan genetik, marka untuk pemuliaan tanaman, dan eksplorasi hubungan kekerabatan. Teknologi tersebut antara lain RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), dan mikrosatelit (Powell et al. 1996). RFLP seringkali memiliki jumlah kopi DNA inti dalam jumlah terbatas, tidak praktis dan harganya mahal. Penggunaan metode PCR semakin populer karena lebih sederhana, cepat, dan dapat menggunakan sampel dalam jumlah banyak. Metode PCR melahirkan RAPD, AFLP, dan mikrosatelit. Analisis RAPD membutuhkan waktu yang singkat, tidak mahal, tidak memerlukan informasi sekuen yang spesifik, dan primernya bersifat acak. Sebenarnya peta yang dibuat berdasarkan marka RAPD dapat digunakan untuk banyak tanaman, tetapi marka tersebut umumnya hanya menampilkan sifat-sifat yang dominan. Hal ini sangat sulit untuk tujuan pemetaan. Marka mikrosatelit dibuat berdasarkan fragmen-fragmen yang mengandung sejumlah sekuen pendek yang berulangulang. AFLP menghasilkan pita paling banyak, sehingga jumlah alel yang dideteksi menjadi semakin banyak (Shibaike 1998). Marka-marka tersebut semuanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Misalnya hendak dicari tanaman tahunan yang toleran Al maka marka RAPD akan dapat membantu memilih setelah sebelumnya diketahui primer mana yang bisa membedakan tanaman yang toleran dan peka Al. Untuk tujuan pemetaan marka ini tidak bisa berbuat lebih banyak, sehingga diperlukan marka RFLP, AFLP, dan mikrosatelit. Perbandingan marka molekuler yang sudah umum digunakan disajikan dalam Tabel 1. 13 Penggunaan marka molekuler untuk seleksi tanaman memerlukan tahapan yang panjang. Tahap awal adalah menentukan sifat apa yang akan diteliti, lalu dibuat populasi persilangan untuk mengetahui marka mana yang terpaut. Ini biasa disebut pembuatan peta genetik dan peta QTL (quantitative trait loci). Pembuatan peta genetik dan peta QTL ini memerlukan waktu yang panjang karena harus menyiapkan populasi tertentu (misal F2, F7 atau BC2F2) dan menggunakan ratusan bahkan ribuan marka molekuler. Hanya marka yang terpaut erat (tightly linkage) saja yang bisa digunakan sebagai marka seleksi. Marka ini umunya memiliki LOD (Logarithm of Odd) lebih dari 3 (Van Ooijen 1999). Marka yang terpaut bisa langsung digunakan atau bila dianggap kurang ekonomis bisa dikonversi menjadi marka lain. Misalkan RFLP yang dianggap sangat tidak ekonomis bisa dikonversi ke dalam marka STS atau mikrosatelit. Marka-marka inilah yang kemudian digunakan untuk seleksi yang terkenal dengan istilah Marker Assisted Selection (MAS) (Collard et al. 2005). Tabel 1. Perbandingan marka RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit (Powell et al. 1996) Karakter Prinsip dasar RFLP hibridisasi blot DNA Lokus Jumlah DNA yang dibutuhkan Perlu informasi sekuen Cara deteksi Daya ulang Lokus spesifik Tingkat kesulitan Biaya operasional Waktu pelaksanaan Skoring data Otomatisasi kodominan 5-10 μg RAPD amplifikasi PCR menggunakan primer acak dominan 10-25 ng Mikrosatelit amplifikasi PCR pada lokus mikrosatelit kodominan 10-100 ng AFLP amplifikasi PCR dgn primer acak yg terseleksi dominan 50-100 ng tidak tidak ya tidak autoradiografi, labelling biotin Dig-antiDig ethidium bromida tinggi ya tinggi tinggi lama mudah tidak bisa silver staining, fluorescen rendah tidak rendah rendah cepat eth bromida, silver staining, fluorescen tinggi ya rendah tinggi sedang tinggi tidak sedang tinggi lama agak sulit tidak bisa mudah bisa sulit bisa 14 Penggunaan MAS dalam perkembangannya dipadukan dengan program pemuliaan silang balik, sehingga terkenal dengan nama Marker Assisted Backcrossing (MABC). Menurut Ribaut dan Hoisington (1998) dengan menggunakan metode MABC, untuk mengembalikan genom tanaman 98% seperti tetua pemulih dibutuhkan dua kali silang balik, sedangkan dengan cara konvensional diperlukan 4-5 kali silang balik, bahkan lebih. Apabila diinginkan hanya satu segmen yang mengandung gen tertentu tanpa ada gangguan dari gen pengikut lain (tidak ada linkage drag) bila dilakukan secara konvensional diperlukan sampai 100 kali silang balik dan butuh waktu 50 tahun, sedangkan bila menggunakan marka molekuler cukup dilakukan sampai silang balik 2 kali saja. Hal ini sangat menguntungkan bagi dunia pemuliaan tanaman. Perkembangan lebih lanjut dari MABC adalah digunakannya marka-marka di seluruh kromosom selain marka yang terpaut dengan gen yang diinginkan. Metode ini terkenal dengan sebutan Advanced Marker Assisted Backcrossing. Metode ini meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi hasil persilangan dengan marka yang terpaut erat dengan gen yang diinginkan (foreground selection). Foreground selection atau seleksi foreground ini menggunakan marka yang terpaut sangat erat (tightly linkage). Pada beberapa kasus seleksi foreground menggunakan marka-marka spesifik (biasanya marka kandidat gen). Setelah itu digunakan dua marka yang terletak berdekatan dengan marka foreground untuk meyakinkan segmen yang diinginkan sudah masuk ke dalam genom. Marka yang digunakan ini dinamakan marka recombinant. Kadang-kadang seleksi recombinant ini tidak dilakukan (Gopalakrishnan et al. 2008). Tahap kedua adalah dengan menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar di seluruh kromosom. Tahap ini dinamakan background selection atau seleksi background. Penggunaan seleksi background ini akan lebih mempercepat pemulihan genom tetua pemulih. Individu yang menghasilkan marka-marka homozigot untuk tetua pemulih terbanyak yang dipilih untuk tahap persilangan berikutnya. Seleksi background memiliki dua tujuan : (1) mengurangi proporsi genom tetua donor pada kromosom pembawa segmen gen (2) mengurangi genom tetua donor pada kromosom lain (Friscth et al. 1999). 15 Contoh-contoh penggunaan marka molekuler untuk tujuan MAS misalnya seleksi untuk menggabungkan sifat kualitas beras dan resistensi terhadap BLB (Bacterial Leaf Blight) pada beras Basmati (Joseph et al. 2004), MAS untuk menyeleksi gen pemulih kesuburan pada sitoplasma Triticum timopheevii yang dimasukkan ke dalam Triticum aestivum (Zhou et al. 2005), MAS pada tanaman serealia dengan menggabungkan beberapa gen resisten (Witcombe dan Hash, 2000), MAS pada tanaman kacang-kacangan (Millan et al. 2003), MAS pada tanaman ketimun (Fazio et al. 2003), MAS pada tanaman jagung (Moreau et al. 2004), MAS pada tanaman tomat (Fulton et al. 2000; dan Bernacchi et al. 1998), seleksi untuk gen gen ketahanan terhadap BLB dan gen pengatur lapisan lilin pada padi (Ramalingam et al. 2002), dan MAS untuk seleksi kualitas yang baik pada barley (Han et al. 1997). Penggabungan beberapa gen yang mengatur ketahanan BLB pada padi juga bisa dilacak dengan marka PR106 (Singh et al. 2001; Davierwala et al. 2001). Pada pakan ternak, MAS juga dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas pakan (Hash et al. 2003). Dengan semakin banyak ditemukan marka-marka yang terpaut dengan gen-gen pengendali sifat tertentu maka penggunaan marka-marka untuk seleksi hasil persilangan semakin mudah. Mengenal Pup1 (P uptake 1) Penelitian yang mengeksplorasi keberadaan gen yang mengatur toleransi terhadap defisiensi P sudah dilakukan sejak tahun 1997. Kasalath dipilih sebagai tetua donor karena berdasarkan penelitian pendahuluan diketahui bahwa Kasalath memiliki ekspresi fenotipik (P uptake) lebih baik pada saat ditanam di tanah yang kurang P dibandingkan genotipe yang lain. Nipponbare termasuk tanaman yang peka terhadap defisiensi P, sehingga untuk keperluan pemetaan QTL digunakan persilangan Kasalath dan Nipponbare sebagai materi pemetaan genetik. Kasalath merupakan padi subspesies indica (beberapa peneliti telah memasukkan Kasalath ke dalam padi subspesies aus) dan termasuk landrace (padi lokal), berasal dari India dan dikenal sebagai padi lahan kering. Kasalath memiliki bentuk morfologi yang tinggi, berakar banyak dan dalam. Kasalath ternyata sangat sensitif terhadap keracunan Al, walaupun mengeluarkan asam organik (sitrat) tapi jumlahnya sangat sedikit, sehingga tidak bisa membantu 16 pelepasan ikatan P dengan Al (Ma et al. 2002). Pertumbuhan Kasalath juga terhambat apabila diinkubasi pada medium yang mengandung Fe-P (Ismail et al. 2005). Namun, apabila Kasalath ditanam dalam media yang memiliki faktor pengikat P yang kecil, ternyata Kasalath memiliki kemampuan menyerap P yang lebih tinggi. Selain memiliki daya penangkapan P (P uptake) sebelum masuk ke dalam tanaman, ternyata Kasalath juga efisien dalam menggunakan P. Hal ini dibuktikan dengan penelitian introduksi gen OsPTF1 (Oryza sativa L. phosphate transcription factor), yang diklon dari Kasalath. Introduksi gen ini ke dalam padi yang sensitif defisiensi P (Nipponbare) dengan menggunakan media Agrobacterium tumefaciens telah meningkatkan jumlah anakan, bobot kering akar dan tajuk sebesar 30% pada larutan hara, dan 20% pada media tanah (Yi et al. 2005). Hal ini membuktikan Kasalath memiliki dua mekanisme sekaligus dalam menghadapi kondisi defisien P, yakni mekanisme eksternal dan internal. Penggunaan Kasalath sebagai tetua persilangan dengan Nipponbare telah menyebabkan peningkatan penangkapan P (P uptake) sebesar 28-55% lebih tinggi dibandingkan dengan Nipponbare (Wissuwa dan Ae 2000). Pup1 yang terdapat pada Kasalath sampai saat ini berfungsi lebih baik pada kondisi kering, sehingga varietas gogo sebagai tetua penerima akan memberikan hasil yang baik. Publikasi pertama yang melaporkan eksplorasi marka yang terpaut dengan sifat defisiensi P pada padi dilaporkan oleh Wissuwa et al. (1998) yang menggunakan 98 populasi Backross Inbreed Line (BILs), yakni BC1F7 sebagai materi pemetaan genetik yang berasal dari persilangan Nipponbare (japonica, sensitif) dan Kasalath (indica, toleran). Hasilnya didapatkan sebuah QTL utama (major QTL) pada kromosom 12 untuk penangkapan P (P-uptake), penggunaan P yang efisien (P-use efficiency), bobot kering (dry weight), dan jumlah anakan (tiller number). Marka yang digunakan adalah 245 marka RFLP, dimana marka C443 terpaut erat (tightly linked) dengan keempat sifat tersebut. Pada kromosom 12 di daerah sekitar lokus C443 ini memberikan sumbangan variasi fenotipik sebesar 27,9% untuk P uptake, 19,1% untuk P use efficiency, 26,5% untuk bobot kering dan 20,6 % untuk jumlah anakan. Sumbangan untuk fenotipik yang lebih dari 50% menjadikan lokus C443 ini dianggap sebagai QTL mayor (utama), 17 dimana lokus ini bisa dipakai sebagai alat deteksi yang akurat. Peta QTL pertama yang dilaporkan Wissuwa et al. (1998) disajikan dalam Gambar 2. Posisi Pup1 Gambar 2. Peta keberadaan Pup1 pertama kali (Wissuwa et al. 1998) 18 Ni et al. (1998) juga melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan 285 populasi RIL (Recombinant Inbreed Line) dari persilangan IR20 (toleran) dengan IR55178-38-9-3 (peka). Marka yang digunakan adalah 217 marka AFLP dan 26 marka RFLP. Daerah QTL untuk P didapatkan pada kromosom 12 (hasilnya mirip dengan Wissuwa et al. 1998), dimana RG69 dan RG241 terpaut dengan sifat tersebut. Hu et al. (2001) juga melaporkan telah melakukan eksplorasi marka molekuler untuk sifat toleransi terhadap defisiensi P pada padi dengan menggunakan 84 galur RIL dari persilangan IR20 x IR551783B-9-3. Hasil penelitiannya menunjukkan daerah QTL untuk sifat tersebut didapatkan pada kromosom 1, 6, dan 12. Pada tahun 2001 Wissuwa melaporkan telah membuat populasi NIL (Near Isogenic Lines) dari persilangan Kasalath dan Nipponbare. Kasalath digunakan sebagai tetua donor dan Nipponbare sebagai tetua pemulih (recurrent parent) Marka RFLP C498 (kromosom 6) dan C443 (kromosom 12) digunakan untuk melakukan seleksi. Pada akhirnya didapatkan populasi NIL-C498 yang secara genetik mengandung 96% Nipponbare, sedangkan NIL-C443 mengandung 91% Nipponbare. Wissuwa et al. (2002) melanjutkan penelitian sebelumnya (Wissuwa et al. 1998) dengan mempertajam peta QTL yang sudah dibuat sebelumnya dengan memfokuskan pada lokus Pup1 (P uptake 1), dan telah memetakannya secara lebih akurat pada kromosom 12 dengan jarak 3 cM di antara marka S14025 dan S13126 seperti disajikan dalam Gambar 3. Dengan perkembangan marka mikrosatelit marka-marka RFLP tersebut dapat diganti dengan marka mikrosatelit yang lebih mudah penggunaannya, seperti disajikan dalam Gambar 4. Posisi Pup1 pada akhirnya dapat dipetakan dengan lebih pada posisi 14,95 Mbp – 15,91 Mbp dan beberapa marka spesifik berhasil dibuat untuk dapat dipakai sebagai alat seleksi seperti yang disajikan dalam Gambar 5. Selain itu gen-gen yang terlibat dalam lokus Pup1 juga mulai diidentifikasi dan didapatkan sekitar 30 gen (putative) yang diduga terlibat dalam pengaturan penyerapan P. Gen-gen yang sudah berhasil diidentifikasi pada daerah Pup1 dan unik pada Kasalath yang diduga mengatur toleransi terhadap defisiensi P (Tabel 2) . 19 XII G124A (30.0) C732 S2572 G124A S10520 (40.3) S10520 Gambar 3. Peta lokasi Pup1 pada kromosom 12 Kasalath berdasarkan marka RFLP (Wissuwa et al. 2002) P96 (47.9) S10704 (49.3) C443 (50.5) S14025 (51.8) C443 G2140 Pup1: LOD 16,5 R2 78,8 S13126 (55.1) S13752 (56.0) S1436 (57.4) C61722 (58.9) C449 G2140 (63.7) C2808 W326 V124 (70.7) C901 C449 (72.5) IRMI 2003 Genetic map Physical map (cM) (Mb) rm20 (3.2) rm453 (28..2) rm7619 (38.1) rm7003 (41.8) rm3103 (47.0) rm3246 (48.2) rm1337 (51.5) rm277 (57.5) Pup1 rm1261 (61.6) rm519 (62.6) Perkiraan posisi Pup1 rm3326 (73.3) rm235 (102.8) Gambar 4 Konversi marka RFLP ke dalam marka mikrosatelit (Collard et al. 2006) 20 Gambar 5. Peta terbaru yang menunjukkan posisi Pup1 (Wissuwa dalam Chin et al. 2007, poster) Gambar 6. Perkiraan kondisi Pup1 pada Nipponbare dan Kasalath (Heuer et al. 2009) Ket.: a. Tiga segmen Kasalath dalam BAC (Bacterial Artificial Chromosomes) (K0159D02, K0322B09, K0185A05), b. 452 kb segmen Kasalath yang dibandingkan dengan Nipponbare yang dibuat berdasarkan primer-primer Pup1 Perkembangan terbaru dari marka-marka Pup1 ini adalah lokus yang mengatur mekanisme toleransi terhadap defisiensi P telah diklon, yakni pada ukuran 15,31-15,47 Mb. Sekuen sebesar 278 kb dari Kasalath pada daerah 21 tersebut unik dan tidak didapatkan pada Nipponbare, diduga Pup1 terdapat di daerah tersebut. Perbandingan kondisi segmen Pup1 antara Kasalath dan Nipponbare dapat dilihat dalam Gambar 6. Berdasarkan analisis sekuen lokus Pup1 antara Nipponbare dan Kasalath tidak didapatkan gen-gen yang terlibat langsung terhadap proses penangkapan P (P uptake). Hal ini terbukti tidak didapatkan proses-proses yang berhubungan dengan P uptake secara fisiologi, misalnya sekresi asam organik, panjang rambut akar, dan kepadatan akar. Oleh karena itulah mungkin lokus Pup1 meningkatkan toleransi terhadap defisiensi P dengan menggunakan mekanisme baru atau lokus tersebut mengkode gen-gen regulator yang mempengaruhi gen-gen lain (Heuer et al. 2009) Tabel 2. Gen-gen yang diduga berperan dalam mekanisme toleransi terhadap defisiensi P pada Kasalath (Ismail et al. 2005) No 1 2 3 Nomor fragmen 2 4 5 4 5 6 7 8 9 7 13 16 18 19 21 10 11 12 13 14 15 16 17 22/24 26 27 38 42 43 18 19 20 21 20 21 51 64 65 67 68 69 50 Kemiripan sekuen gen Hypothetical protein dan transposon Alpha dioxygenase DNA alpha dioxygenase Protein copper homeostasis CutC proteins Hypothetical protein Hypothetical protein Hypothetical protein Dirigent protein Hypothetical protein ULP1 protease phosphatase dan transporon (all 95% identical AA) PR1 like Expressed protein Leuchine rich repeat (LRR) protein Kinase Gen tidak ada dalam database Receptor serine/threonine kinase Zn-knucle Bp 577-613 hit many chromosomes dan chloroplast DNA pada padi dan spesies lain Zn-finger transcription factor Hypothetical protein Exo70 dan transposons Wall associated kinase Aspartyl protease Hypothetical protein 22 Rangkuman karakteristik Pup1 berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. Tidak mengeluarkan substrat (asam organik) untuk melepas P dari bahan organik, atau ikatan Fe/Al. 2. Tidak menangkap P lebih efisien (tidak membuat akar menjadi responsif dalam menangkap P). 3. Tidak merangsang simbiosis dengan mikoriza. 4. Tidak ditemukan di genom Nipponbare (spesifik hanya terdapat di Kasalath) 5. Tanaman yang berisi Pup1 akan membentuk bobot kering akar relatif lebih tinggi pada kondisi minus P, sehingga penangkapan P menjadi lebih banyak. 6. Panjang akar tidak berhubungan dengan Pup1.