11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanamao Anggrek Anggrek mempakan tanaman hias yang tersebar dari daerah tropika basah hingga wi^yah sirkumpolar, tet^i sebagian besar anggotanya ditemidutn di ds^rah tropika (Anonim, 2007). Anggrek merupakffli salah sato keluarga d ^ tanaman hias yai^ teibei^. Tanaman ai^grek diklasifikasikan dalam Kir^^jm Plantae, Divisi Speraiatophyta, Subdivisi Anpo^permae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Osdudaks, Fmnili C^-ciikiaceae, Si^£^li £{%k3Mkoi££eace, Cknus Dendrobium dan Spesic^ Dendrobium bifale (Daimoao, 2003). Tmiaman anggrek memiliki hectak yang bai>eda untuk tis^ jenisnya. Batang anggrek bouas-ruas, an^rek tamh batangnya prautek dan cend^ung nM3}yenq3ai umM, sedangkan aaa^^ (epifA bataognya tumlMih dengan baik, smngkali menebal dan terlindungt l^isan lilin untuk moicegah p^iguapan yang bedebihan. Portianfauhan bEdiang ikp^ bea^d^ n»H«^x>dial atau simpodial, tergantung graiusnya (Anonim, 2(K)7). Boituk daunnya ada yang agak bulat, lonjomg samj^ hse^eA, Tehai daom beis^am dari tipis ssnpai besxi^ing dan kaku dengan tipe susunan daun berselang-seling dan berii^iaf^n. E^unnya dapat pula mes^iai dm b e r f i s ^ sd>agai p^yimptn air. Akm velan^ yang dimiliki anggrek mmiungkinkan taamam ini melekM pada b^ida yang ditumimginya (Daraiono, 2003). Anggrek Doulrobium hidup dengan cara moiempel pada benda lain seperti lempen^ pekis a t ^ batang polum tmipa na^iigik^ ternj^ yang ditempeli (bersilat epifit). Akar yai^ moiempel pada media hanya berperan sebagai jangkar mtajk maiahan tanaxnan a ^ kokoh psda poslsanya, sedangkan akar fungsicHiahiya mmjuntat di udara (Pamata, 2005). Wilayah Riau menq^can daerah dataran rendah yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan anggrek Dendrobium. Anggrek jenis ini dapat tiunbuh secma optimal di dat^^an reauiah yang memiliki k^inggian 10-500 m dpi dengan intensitas cahaya 50-60%. Dendrobium bisa saja tumbuh di dataran tinggi, t e t ^ peatumfas^annya tukk sec^^imal jika ditan^ di dataran rendah (Pamata, 2002), 6 2J,, Perfoaayakan Skeara In vitra Teknik in vitro pertama kali dilakukan oleh Haberlandt pada tahim 1902, karena adanya sifat sel yang disebut totipot^i yang dicetuskan oleh kedua orang sarjana Jerman Schwann dan Schleiden (Yanti, 2007). Namun pada kenyataannya belum s^ua joiis sel atau tanaman Aap&i dimanipulasi secara in vitro. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kenrampuan daya tumbuh atau regenerasi dari masing-masing jenis sel dan genotip tanaman (Pardal, 2002). Teknik in vitro mmnpu mengfaasilkan bibit tanaman yang monpunyai Yx^bestafA k^mgg^ilan, antara lain mi^npittyai sifat yang ic^tik d^gan induknya, da|)at dipcarl»nyak dalam jumlah yang hesm^ tidak t^-lalu n^nbutuhkan tsnpat yang hias, mampu menghasilkan bilnt deaagan jumlah besar dalam vi^aktu y ^ g sii^c^ k^hatan dan mutu bibit lebibterjamin,keci^)atantonl»ibHbit lebih eqjat dibemdingkan dengan p^bmiyakan konvoisicMial (AncMiim, 2008), serta biaya peng^gkito yang lebih murah (M^riska, 2(KB). Teknik in vitro j i ^ memboikm pengartian taitang studi fisiologi, genetika, biokimia, pertumt»^bi£Bi, dan perkembangw ^)esies tananm pada tin^kat nu>kkiilar (Nasir, 2002). Disamping itu, porbanyakan tanaman secara kultur in vitro sangat berman&at tmtuk memprahanyak isn^m^n inboduksi, isyjw^t^ klon unggi;d baru dan tanaman bebas patogen (Yusnita, 2003). Kc^nialin, dkk. (2005) menyatakan bahwa teknik in vitro telah l»nyak dimmi^tkan dan memberikan haxsepm di masa s^ntMang untuk niengatasd peny^liaan bibat tanam^. Aplik^i teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perl^inyakan, juga bermanfaat untuk ktmsorvaa dan peibaikan tanaman (Hendaryano, 2000). Peman&atan teknik in vitro tmitama metode mikropropagasi dan embsM^en^s somatik menjadi alt^matif utan^ dalam peng^ban^n dan konservaa tanaman (Prahardini, 2007). Keng (2007) menyatakan t ^ w a teknologi kuhia" in vitro telah digunakan secara meluas dalam memanipulasi gen untuk meningkatkan produksi tanaman, penghasil benih tananmi yang bmulai secara kmner^ dssa^ prin^p mikropropa^si, dan pai^milan bahan metabolit sekunder yang berguna dalam produk farmaseutik dan neutraseutik dengan teknik pengkulturan jaringan tanaman. Perbanyakan kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu poabentiycan tunas adventif, pn>liferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatik. 7 Pmliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk {S'olifefasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan c e } ^ Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumb^ untuk poiggandaan tunas selanjvdnya, sehmgga diporoleh tun^ yang banyak dalam waktu yang rel^f lebih singkat (Kosmiatin, 2005). Walaupun secara gei^tik sifat bibit tanaman basil teknik in vitro akan sama dengan induknya, tetapi secara morfologis l^lnya masih sang^ b^aiiasL Ini t^adi k a r ^ paigaruh fisiol<^s yang tidak imaiap, dianteranya wasm hara dan lingkungan (Dinas P^tani£«, 2007). Selama pn^es pembiakm in vitra, eakm biUt yang masak sangal kecil ijpxfAocsmn) n^igalami bebeisqpa poristiwa, saiah s s ^ y a s^al^ perubahan kaiakter s e c ^ meiuladak y ^ sif^ya lebib (kekal). Kejadian ini dikenal (kaigan i^ilah mutasi somatik yang disebaycan old) pemadcaian lu^num atau zai pei^^ur tumbuh (ZPT> yang berlebihaiv »ibkukltiir yang isxas menc^ atau adanya per^aruh ultraviolet (Mariska, 2003). Menurut Priyono dkk. (2000X dalam usaha perbanyakan tanaman, i^kultur dipaiukan ag^ diperoleh po{»ila» k u l ^ ymig baiQrak sekali. Kelebihan dari teknik in vitro adalah kultur £^u basil perlmyakan p&ctmm d^iat langsung dipergunakan wslxk prabaiyakan selanjirtnya (Wetherel, 1982). Keberhasilan perbanyakan tanaman s&cara in vitro baik melalui p^g^Hkan tmm, o i ^ n o p a ^ s m^qmn anlsric^^sis sconatik s a n ^ dipengaruhi oleh genotip dan ek^lan, jenis media das^, sola j^iis dan kt»iser^rasi 2M peaig^iar tunbvdi yang digun^an (PanM, 2<X)2X Sekin &kUx jenis ek^lan dan genotip tmiaman, regenerasi tanaman juga dipra^ruhi oleh komposisi media yang digunakan. Masing-nming jenis ek^lan dan gimo^ tanaman memerlukan komposisi media yang bo-beda-beda (Sopiaodi, 2007). Media imtuk meniunbuhkan sel atau ekspl^m tanaman f^idst das^ya beai^ unsur h ^ m^oro dan mikro, serta gula setegai sumber karboa Selain itu, media kultur juga dilaigkapi dengan zat b ^ vitamin, miiKral, dan zat peaiggto tmnlmh (ZPT). Jadid (2(X)7X menyatakan bahwa media kultur i»da dasamya berfiingsi sebagai penyedia air, unsur hara, vitamin, ZPT, dan menghilangkan sampah metabolit tansonaa Telah banyak media kultur yang dihasilkan dalam pCTbanyakan in vitro, diaataranya adalah media MurasW^ dan Skoog (MS), Woody Plant Media (WPM), dan media Vacin dan Went. Masing-masing media memiliki kespesifikan tertentu terhadap jenis tanaman. Media MS merupakan media yang umum dipakai dalam perbanyakan tanaman sukulen karena memiliki kandungan unsur hara yang lebih lengkap dari media lain seperti media Vacin dan Went, selain itu media MS juga mengandung vitamin yang sangat berperan dalam metabolisme (Hendaryano, 2000). Media MS mengandung bermacam-macam zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman secara in vitro, yaitu unsur l^tra makro (N, P, K, Ca, Mg, S) unsur hara mikro (CI, Mn, B, Zn, Cu, MoX zat besi (Fe), dan vitamin (Thiamin, Asam Niktrtin^ Pyridoxin, myo-iiM^itol) (Jadid, 2007). Unsur hara H dan O diperoldb dari air yang terkaiuiung i^da media, sedangkan sel^ian besar karbrai d^)m»leh melalui ponbotian sidxosa i^da niedia kmma reiKiahnya keto^iaan CO2 pada kondisi in vitro (Tombc^to dan Cosia, 1998 dakm Faria el a/. 2004). Sukrosa ^^iqb zat gula yang sering ditambahkan pada media kultur uitfuk n^ndukung pertumbuhan eks^lan (Marlin, 2005). Sukrc^ sendiri merupakan gula disakanda, tmnasuk kste&m gula sederhana, yang dibeitfuk dari glukosa dan fiuklc^. Sq)erti kari>diudrat pada umumnya, selain sefa^^ sumber karbon, sukrcm juga dapM dimanfaatkan oleh bahan tanaman yang dikulturkan mAak menyediakan enoigi bagi pertumlHjhaii dan pf^^^^mhjytgsm^ya- Disakanda ini m^iqrakan salah satu gula yang paling mudah dicema, sehingga menjadi sumber energi yang cepat diakses, exMSt^ yang terk^mdimg di d a ^ s i ^ c ^ mialah 4 K i ^ g (SqvaUdc, 2008). Irawan (2(K)7) menjelaskan l^wa tahap awal metabolissne konversi sukn^sa mmjadi saaet^ adalah hidrolisis molelail sukro^ mei^adi glukosa dan fruktosa dengan bantuan enzim hidrolase, selasjutnya molekul glukosa akan dipec£^ secara aai^robik n^lahu |»DOS^ y ^ dxtmmskm glikolisis di dalam sitc^lasma. Pada proses glikolisis 1 molekul glukosa yang memiliki 6 atom karbon (C6Hi206) akan t^rpecah mei^adi psoduk ^chir hmq^ 2 molekul asam pbruvat yang n^miliki 3 atom karbon (C3H3O3). Proses ini berjalan melalui beberapa tehapai reaksi yang disotai doi^n terboxtuknya beber^>a ^nyawa seperti glukc^ 6-f<:»&t dan fruktosa 6-fbsfat. Melalui proses glikolisis ini, 4 buah molekul ATP dan 2 buah nu>ldcul NADH akan terbentuk dengan mengkonsumsi 2 buah molekul ATP. Menurut Sqvalkie (2008), setelah melalui proses glikolisis, ^am piruvat yang dihasilkan ini kemudian akan diubah menjadi asetil-KoA di dalam 9 mitokondria. Proses perubahan dari asam piruvat menjadi asetil-KoA ini akan berjalan dengan ketersediaan oksigen, serta akan menghasilkan produk samping berupa 1 molekul NADH. Asetil-KoA hasil konversi asam piruvat ini kemudian akan masuk ke dalam siklus Tri Carboxilic Acid (TCA) dan diubah menjadi karbon dioksida (CO2), ATP, NADH dan FADH melalui tahapan reaksi yang kompleks. Proses tersebut dapat dituliskan melalui persamaan reaksi sederhana sebagai berikut: Asetil-KoA + ADP + Pi + 3 NAD + FAD + 3H2O 2 C O 2 + CoA + ATP + 3 N A D H + 3 H * + FADH2 Setelah melewati berbagai tahapan proses reaksi di dalam siklus TCA, metabolisme energi tersebut akan dilanjutkan kembaU melalui suatu proses reaksi yang dinamakan fosforilasi oksidatif. Dalam proses ini, molekul NADH dan FADH yang dihasilkan dalam glikolisis, konversi asam piruvat menjadi asetil KoA, dan siklus TCA akan diubah menjadi molekul ATP dan H2O. Dari 1 molekul NADH akan dihasilkan 3 buah molekul ATP dan dari 1 buah molekul FADH2 akan dihasilkan 2 molekul ATP. Proses metabolisme energi secara aerobik melalui pembakaran glukosa, secara total akan menghasilkan 38 buah molekul ATP (Irawan, 2007). Persamaan reaksi sederhana untuk menggambarkan proses kompleks tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: Glukosa+ 60 + 38ADP+ 38Pi 6 C O + 6 H 2 O + 38ATP Molekul ATP yang terbentuk ini kemudian akan diekstrak oleh sel-sel tubub sebagai komponen dasar sumber energi untuk pembelahan, pertumbuhan dan perkembangan sel, serta aktivitas metabolisme laiimya (Sumadi, 2008). Umumnya, konsentrasi sukrosa yang diberikan ke dalam media MS adalah 30 g/1, tetapi Kozai (1991) dalam Faria (2004) menyatakan bahwa ada perbedaan tanggai^ dari tiap jenis tanaman terhad^ konsentrasi sukrosa yang diberikan, dan pemberiaimya tidak boleh terlalu progresif atau dengan konsentrasi yang terlalu tinggi Pemberian sukrosa d e n ^ konsentrasi yang tinggi akan mempengaruhi osmositas media. Hdider dan Desjardins (1994) melaporkan bahwa per^gunaan sukrosa 45 g/1 pada media MS adalah yang terbaik untuk pertumbuhan akar stroberi kultivar campinas. Sedangkan Faria et al. (2004) melaporkan bahwa penaml^an sukrosa hingga 60 g/1 pada media MS dengan komposisi hara makro selengah dari 10 komposisi normal memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan planlet anggrek (Dendrobium nobile).