II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ide Pariwisata di Bali Ide adanya pariwisata di Bali disinyalir dimulai dari periode penjajahan Belanda. Kontak pertama dengan penduduk asing terjadi pada tahun 1597, di mana pada saat itu perahu dari Belanda ingin memasuki daerah timur Indonesia dan menggunakan Bali sebagai tempat persinggahan (Picard, 2006). Mulai pada saat itu penduduk asing dan para penumpang perahu yang bersinggah di Bali merasa kagum dengan pemandangan pulau Bali dan juga dengan keramahan penduduk lokal (Picard, 2006), selain itu Bali mulai dikenal dari informasi “mulut-ke-mulut” dari penduduk Eropa yang singgah di Bali. Akan tetapi, tidak hanya informasi yang baik yang diberitahu, informasi yang cenderung memiliki efek negatif terhadap Bali juga tersebar. Bali pada saat itu diceritakan sebagai pulau yang mempunyai pertahanan yang kuat dan penduduk lokal Bali disinyalir mahir dalam merampok (Picard, 2006). Setelah pemberitaan itu, berita tentang Bali meredup di kalangan Eropa sampai terjadinya perang Napoleon yang melibatkan kompetisi antara Belanda dan Inggris; dalam perang ini Belanda memenangkan atau bisa mengambil hati raja Bali, sehingga hubungan diplomatik dan perjanjian-perjanjian perdagangan terjalin (Picard, 2006). Akan tetapi, dikarenakan kendala bahasa, banyak perjanjian-perjanjian yang telah disepakati diabaikan oleh Raja-raja di Bali, sehingga dengan alasan ini Belanda melakukan intervensi militer (Picard, 2006). Intervensi militer ini menghasilkan perang antar kerajaan Bali dengan pasukan Belanda, pasukan dari kerajaan Bali banyak melakukan kurban spiritual atas nama Bali, pengorbanan spiritual ini dikenal juga dengan sebutan “Puputan”, di mana pasukan Bali menyatakan memilih untuk perang sampai nafas terakhir dibandingkan harus mengikuti dan menyanggupi apa yang tentara Belanda minta (Picard, 2006). 6 Aksi “Puputan” yang dilakukan oleh pasukan kerajaan Bali ini membuat koloni Belanda merasa malu dan memutuskan untuk memperbaiki citra dan nama baiknya di dunia, yaitu berusaha membawa pengaruh positif atas perbuatannya dengan membuat Bali sebagai destinasi pariwisata (Picard, 2006). Kolonial Belanda sudah menyadari akan keunikan Bali lama sebelum memutuskan Bali sebagai obyek pariwisata, yaitu Bali merupakan tempat suci yang mayoritas agamanya adalah Hindu dan sekaligus pemeluk agama Hindu terbesar di Indonesia, maka Belanda berpikir bahwa penduduk lokal Bali harus terus memegang teguh agamanya dan tradisi-tradisi dari agama Hindu. Koloni Belanda akhirnya memberitahukan pada penduduk lokal bahwa disetiap sekolah tarian tradisional harus diajarkan, maka penduduk lokal juga harus tetap menjaga ritual keagamaan dan mempratekkannya di kesehariannya, dengan kata lain koloni Belanda ingin Bali tidak terpengaruh oleh modernisasi global (Picard, 2006). Dapat disimpulkan dari buku “Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata” bahwa koloni Belanda memegang peran utama dalam berdirinya pariwisata di Bali. Jika dibandingkan dengan propinsi Indonesia lainnya, Bali merupakan satusatunya propinsi yang agamanya dapat mempunyai kontrol tentang operasional propinsi tersebut, contohnya: “Hari Raya Nyepi”, di mana pada hari ini semua pemeluk agama Hindu harus diam di rumah, dengan tidak ada penerangan sama sekali, tidak boleh menggunakan listrik maupun memasak, semua bentuk transportasi harus berhenti dan tidak boleh bekerja. Pada hari raya ini, bandara udara Ngurah Rai pun harus mematuhi peraturan tersebut, dan hasilnya pada satu hari itu Bali memang benar-benar “sepi”. Di bawah ini dapat dilihat perkataan dari G.P Rouffaer, Direktur Institute dalam Picard (2006): “Let the Balinese live their own beautiful native life as undisturbed as possible! Their agriculture, their village-life, their own forms of worship, their religious art, their own literature-all bear witness to an autonomous native civilization of rare versatility and richness. No railroads on Bali; no western coffee plantations; and especially no sugar factories! But also no proselytizing, neither Mohammedan (by zealous natives from other parts of the Indies), nor 7 Protestant, nor Roman Catholic. Let the colonial administration, with the strong backing of the Netherlands (home) government, treat the island of Bali as a rare jewel that we must protect and whose virginity must remain intact”. Perkataan di atas menjelaskan dan mendukung fakta bahwa pionir dari pariwisata Bali adalah koloni Belanda. Bentuk aksi pariwisata Bali terjadi pada tahuan 1908, dengan cara menggunakan kapal dan dengan seiringnya waktu perkembangan pariwisata di Bali terus meningkat dan infrastruktur pun terus diperbaharui hingga saat ini (Picard, 2006). GP. Rauffaer menyatakan sebelumnya bahwa Bali hendaknya dijaga dan alangkah lebih baiknya, jika pulau Bali tetap menjadi pulau yang tidak tercemar oleh budaya asing, akan tetapi cita-cita dari Rauffaer itu tidak dapat diwujudkan seiring dengan berkembangnya jaman. Pariwisata terus berkembang dan akomodasi di Bali juga terus bertambah hingga saat ini. Penataan pariwisata di Bali dimulai sejak perusahaan Perancis bernama Societe Centrale pourL’Equipement Touristique outré-Mer (SCETO) pada tahun 1970 (Sondakh, 2010) dipercaya sebagai konsultan oleh pemerintah Republik Indonesia. Setelah dipercaya sebagai konsultan, SCETO membuat rencana induk Pengembangan Industri Pariwisata Internasional di Bali pada tahun 1973 (Sondakh, 2010). Rencana tersebut berisi tentang penataan pariwisata Bali berdasarkan tiga (3) konsep, diantaranya adalah kawasan tertutup, terbuka dan kawasan pengembangan (Sondakh, 2010). Kawasan yang masuk pada konsep kawasan tertutup adalah kawasan Nusa Dua, sedangkan untuk kawasan terbuka meliputi kawasan pantai Kuta, pantai Sanur dan Denpasar (Sondakh, 2010). Seperti yang ditulis dalam buku Jendela Pariwisata (2010), pada tahun 1990 industri pariwisata di Bali sempat mengalami kejenuhan, maka pemerintah daerah Bali membuat Rencana Umum Tata Ruang Daerah Wisata Bali. Rancangan ini berisi tentang penambahan jumlah kawasan wisata dan atas keputusan ini pada tahun 1993 kawasan wisata Bali bertambah menjadi 21 kawasan yang semula hanya berjumlah 15 kawasan (Sondakh, 2010). Tabel 3 yang menjelaskan jumlah kawasan pariwisata di Bali pada tahun 2006. 8 Tabel 3. Jumlah kawasan pariwisata, objek wisata, rekreasi, pertunjukan wisata dan usaha wisata di Bali No Objek Tempat Pertunjukan Usaha Wisata Wisata Rekreasi Wisata Wisata (unit) (unit) (unit) (unit) Tirta Kabupaten/Kota Kawasan (unit) 1 Denpasar 1 23 10 3 71 2 Badung 3 29 8 - 56 3 Bangli - 22 7 - - 4 Buleleng 2 31 5 1 11 5 Gianyar 2 43 5 25 - 6 Jembrana 2 13 15 - - 7 Klungkung 1 20 - 1 4 8 Karangasem 3 20 1 1 23 9 Tabanan 1 25 14 1 2 Total Bali 15 226 65 32 167 Sumber: Sondakh, 2010. Kawasan wisata yang dijelaskan pada Tabel 3 ini meliputi kawasan wisata hutan, laut, pantai, danau, gunung, sungai, persawahan dan desa-desa. Obyek wisata meliputi isi alam seperti satwa, tumbuhan dan tempat ibadah. Sedangkan untuk tepat rekreasi meliputi taman kota, monumen, patung, kebun raya, taman flora dan satwa. Dapat dilihat bahwa pulau Bali berkembang sangat pesat, penambahan akomodasi dan tempat wisata pun dilakukan untuk menyanggupi wisatawan-wisatawan yang datang ke Bali walaupun pulau Bali terkenal berukuran relatif kecil, yaitu hanya 0,28% dari luas daratan Indonesia (Sondakh, 2010). Pariwisata di pulau Bali mempunyai andil yang cukup besar, melalui pariwisata para petani maupun penduduk lokal Bali dapat menerima penghasilan tambahan dan juga dapat mendorongnya berwirausaha (Hitchcock dan Putra, 2007). 9 2.2. Perilaku Konsumen Perilaku konsumen atau dikenal juga dengan sebutan “Consumer Behavior” merupakan studi tentang perilaku konsumen dalam proses membeli atau tidak membeli suatu produk atau jasa dengan segala proses atau stimulus yang dapat mempengaruhi keputusan akhirnya (Lars, 2010). Dalam proses membeli, konsumen akan menggunakan berbagai kriteria, diantaranya adalah konsumen akan membeli produk yang sesuai kebutuhan, sesuai dengan selera dan sesuai dengan daya beli (Sumarwan, 2004). Pemasar perlu mengetahui perilaku konsumen agar dapat melakukan pemasaran produk atau merek yang tepat pada sasaran dan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas. Dalam proses membeli konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti contohnya, faktor psikologi, sosial-ekonomi, demografik, dan gaya hidup. Studi tentang perilaku konsumen bertujuan untuk mengerti tentang faktor-faktor pendorong ini dalam konteks consumer buying behavior. Gambar 1 menyajikan diagram dari penjelasan tentang perilaku konsumen. Gambar 1. Pengaruh pada perilaku konsumen (Perner, 2008) 10 Dari gambar di atas tampak bahwa bagian kanan dan kiri gambar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen, maka pemasar perlu mengetahui faktor-faktor ini agara dapat memformulasikan strategi pemasaran yang tepat sasaran, sehingga memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Sebagai ilustrasi, jika strategi pemasaran sudah tepat sasaran, dapat menimbulkan hal positif, misalnya “repeat customer” akan terjadi, dimana konsumen akan loyal terhadap suatu produk atau perusahaan jasa, karena merasa produk atau jasa tersebut dapat memenuhi kebutuhannya. Untuk memberikan ilustrasi yang lebih jelas tentang perilaku konsumen, berikut adalah model keputusan konsumen. Model keputusan konsumen ini menjelaskan proses keputusan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk dan jasa dipengaruhi oleh tiga (3) faktor, yaitu (Sumarwan, 2004) : 1. Kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh produsen dan lembaga lainnya. 2. Faktor perbedaan individu konsumen. 3. Faktor lingkungan konsumen. Proses keputusan konsumen, terdiri atas tahapan pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian dan kepuasan konsumen (Sumarwan, 2004). Tahapan-tahapan ini nantinya mempengaruhi proses keputusan konsumen dalam memilih sebuah produk atau jasa. Pada dasarnya teori perilaku konsumen dipelajari untuk memahami “mengapa konsumen melakukan apa yang mereka lakukan”, proses psikologis yang mendorong konsumen untuk melakukan tindakan pembelian suatu produk/jasa berperan kuat dalam keputusan akhir konsumen dan proses psikologis terdiri dari motivasi, kebutuhan dan kepribadian (Sumarwan, 2004). 11 Strategi Pemasaran Perusahaan Pemerintah Organisasi Nirlaba Partai Politik 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perbedaan Individu Kebutuhan dan Motivasi Kepribadian Pengolahan Informasi dan Persepsi Proses Belajar Pengetahuan Sikap Proses Keputusan Pengenalan Kebutuhan 1. 2. Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif 3. Pembelian dan Kepuasan 4. 5. Faktor Lingkungan Budaya Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dan Rumah Tanga Kelompok Acuan Situasi Konsumen IMPLIKASI Strategi Pemasaran Kebijakan Publik Pendidikan Konsumen Gambar 2. Model keputusan konsumen (Sumarwan, 2004). 2.3. Pariwisata dan Wisatawan Menurut World Tourism Organization, tourism atau pariwisata adalah “activities of person travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”(Suranti, 2006). Pariwisata meliputi kunjungan bisnis ataupun sekedar berlibur, akan tetapi, dalam menggolongkan perilaku kunjungan dan membuat segmen wisatawan menjadi lebih sulit dikarenakan wisatawan modern mulai menggabungkan kunjungan bisnis dan kepuasaan demi menghemat waktu dan menghemat pengeluaran (Vlahovic, 2010). Business trips atau kunjungan bisnis terkadang tidak fleksibel, karena terpaut oleh waktu dan wisatawan bisnis dihubungkan dengan istilah MICE (Meetings-Incentives-Conferences- Exhibition), akan tetapi kunjungan bisnis juga memperhatikan aspek waktu luang 12 para wisatawan atau representative yang telah ditunjuk oleh suatu organisasi dan terkadang wisatawan dalam kunjungan bisnis ditempatkan di hotel berbintang dan dapat pelayanan tinggi, maka kunjungan bisnis maupun liburan mempunyai unsur yang saling terkait satu sama lain (Vlahovic, 2010). Wisatawan yang datang khusus berlibur mempunyai waktu lebih fleksibel dalam memilih destinasi dibandingkan para wisatawan bisnis, tetapi mempunyai kriteria destinasi lebih kompleks, dikarenakan mempunyai elastisitas harga tinggi dan oleh karena itu, pengambilan keputusan sangat tergantung dengan harga (Vlahovic, 2010). Mengenali perilaku dari wisatawan bukan sesuatu hal yang mudah, karena memiliki karakter dan motivasi berbeda, contohnya segmen wisatawan yang sudah pensiun, yang sering kali memilih bepergian pada musim tidak begitu ramai (low season), untuk segmen para pelajar biasanya melakukan ekskursi pada musim yang tidak begitu ramai, karena harga akan lebih murah. Sebaliknya, pada high season wisatawan dipenuhi oleh segmen keluarga yang memang hanya mempunyai waktu kebersamaan pada saat semua anggota keluarga sedang libur. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam memilih destinasi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kelompok acuan dan demografi (Vlahovic, 2010). Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang dapat memengaruhi wisatawan dalam memilih daerah tujuan wisata dapat membantu para pemasar dalam memasarkan produk destinasinya. 2.4. Wisata Wisata menurut UU kepariwisataan No 10 tahun 2009 adalah “kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu dengan tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”. Sedangkan, destinasi merupakan tempat tujuan seseorang dan destinasi dianggap sebagai letak secara geografis suatu negara, pulau, maupun kota (Vlahovic, 2010). Namun, saat ini suatu destinasi dapat diinterpretasikan oleh konsumen dengan tergantung pada rencana perjalanannya, budaya 13 konsumen, alasan berkunjung, pengalaman lampau dan tingkat edukasi konsumen. Contohnya, Paris terkenal sebagai destinasi para wisatawan Jerman yang melakukan kunjungan bisnis. Eropa terkenal sebagai destinasi wisatawan Jepang yang sering melakukan perjalanan keliling Eropa dalam waktu singkat (Vlahovic, 2010). Daerah tujuan wisata diberbagai dunia berkompetisi satu sama lain, sehingga sebuah destinasi harus mempunyai daya saing tinggi. Seiring berkembangnya industri pariwisata dan globalisasi mendorong suatu destinasi untuk terus melahirkan inovasi baru pada destinasinya. Menurut jurnal Tourism & Hospitality Management (2010), daya saing sebuah destinasi mempunyai dimensi berikut : 1. Ekonomi 2. Sosio-kultural dan 3. Lingkungan Semakin tingginya persaingan antar daerah tujuan wisata, maka peraturan pariwisata juga akan lebih terfokus untuk membantu meningkatnya daya saing dengan cara memonitor, melakukan mengawasan dan kontrol terhadap mutu dan efisiensi sumber daya pada daerah tujuan wisata tersebut (Vlahovic, 2010). Menciptakan daya saing yang kuat dalam industri pariwisata tentunya membutuhkan peran dari semua aktor pariwisata dan memerlukan perencanaa strategi pariwisata (Vlahovic, 2010). Vlahovic 2010, menyebutkan tiga unsur penting yang harus diperhatikan dalam meningkatkan daya saing industri pariwisata, tiga unsur ini yaitu, manajemen sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi dan strategi. Manajemen sumber daya manusia (MSDM) sangat penting dalam industri pariwisata, karena kesuksesan sebuah industri pariwisata terletak pada profesionalisme dari tenaga kerjanya (Vlahovic, 2010). Perlu diingat bahwa dalam pariwisata yang mempunyai peran krusial adalah tenaga kerja, “tourism is based on people”. Pariwisata tidak hanya menjual sebuah destinasi, tetapi para wisatawan juga akan memperhatikan kemampuan sebuah destinasi tersebut 14 dalam melayani wisatawan (Vlahovic, 2010), maka adanya MSDM amat diperlukan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya teknologi informasi juga penting dalam industri pariwisata, sumber daya profesional era kini harus dapat meramal dan melihat perkembangan pariwisata untuk tahun-tahun yang akan datang dan untuk itu informasi teknologi sangat berperan. Pariwisata sekarang ini dipasarkan melalui informasi teknologi dan semua proses dan rantai nilai dalam pariwisata, travel, perhotelan, dan bisnis katering dipasarkan menggunakan teknologi. Informasi teknologi digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi pengeluaran dari bisnis pariwisata (Vlahovic, 2010). Unsur terakhir adalah strategi sebagai keuntungan daya saing, adanya perencanaan strategi yang baik akan membantu industri bisnis pariwisata dalam meraih tujuannya (Vlahovic, 2010) tanpa adanya strategi, bisnis akan tidak terarah sehingga pariwisata tidak mempunyai keuntungan daya saing yang tinggi. 2.5. Tinjauan Hasil-Hasil Penelitian Yang Relevan Ditemukan beberapa penelitian terdahulu mengenai pariwisata, akan tetapi penelitian tersebut mengambil fokus penelitian bukan hanya pada daerah tujuan wisata Bali. Salah satu penelitian yang ditemukan merupakan studi kasus tentang efek dari serangan teroris yang dahulu terjadi di Bali dan hubungannya dengan citra Bali sebagai destinasi liburan dan kasus ini pun mengkaji apakah serangan bom yang terjadi pada tahun 2002 itu mempunyai efek pada pariwisata di Bali. Selain itu, ditemukan penelitian yang serupa mengenai faktor-faktor yang memengaruhi wisatawan mancanegara dalam memilih daerah tujuan wisata Indonesia yang dilakukan oleh Zaeni (2008). Penelitian tesis tersebut terfokuskan pada bobot prioritas terhadap lima faktor–faktor utama, yaitu: faktor keamanan, kemudahan visa, transportasi, akomodasi dan kurs, dan pilihan tempat wisata terfokuskan di Indonesia (Bali, Yogyakarta, dan Sumatra Utara). Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa faktor keamanan dan kemudahan visa yang mendapatkan bobot paling besar 15 berdasarkan hasil analisis Analytical Hierachy Process (AHP). Selanjutnya, ditemukan penelitian serupa yang terfokus pada motivasi dan persepsi yang memengaruhi keputusan untuk memilih suatu destinasi yang dilakukan di Amerika Serikat dengan fokus destinasi Kenya. Penelitian ini merupakan adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Cynthia J. Kipchillat dari program Doctor of International Business Administration, Universitas Nova Southereastern, Florida. Dari hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa wisatawan Amerika terpengaruh untuk memilih atau pergi ke Kenya untuk liburan karena aspek kultural dan faktor psikologi mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk memilih Kenya. Oleh karena itu penelitian ini akan diadaptasi berdasarkan desertasi dari Cynthia J. Kipchillat.