PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI BIDANG VOKASI/KEJURUAN I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kajian kurikulum SMK tahun 1994 merekomendasikan perlunya penyempurnaan konsep dasar kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) dan selanjutnya dilaksanakan dengan taat asas. Kurikulum SMK harus mampu mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi berbagai persaingan sejagad dan perubahan masyarakat pada saat yang akan datang. Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK) sudah lama diterapkan di Indonesia baik di sekolah umum (SD-SMP-SMA) maupun sekolah kejuruan (SMK) dan bahkan di perguruan tinggi. Untuk sekolah kejuruan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah diterapkan sejak tahun 1998, meskipun Standar Kompetensinya belum dikembangkan sehingga implementasinya belum efektif. Pada tahun 2002 kebijakan penerapan KBK diperluas tidak hanya untuk SMK, tetapi juga untuk SD, SMP, dan SMA. Karena orientasi lulusan antara SMK dan sekolah umum berbeda maka terjadi banyak mikonsepti dalam penerapannya. Sementara standar kompetensi yang digunakan pada sekolah berbeda-beda. SMK menggunakan standar yang dikembangkan oleh Kementerian Tenaga Kerja, sementara sekolah umum menggunakan standar yang dikembangkan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Kebingungan banyak dialami oleh guru-guru SMK dalam menerapkan KBK lebih-lebih setelah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan. Saat ini pendidikan kejuruan mengalami perubahan orientasi kompetensi lulusan (SKL). Kalau dulu sebelum tahun 2008 SMK bertujuan menyiapkan peserta didik untuk terjun kedunia kerja setelah lulus. Namun 1 sekarang ini lulusan SMK harus memiliki tiga kemampuan yang berbeda, yaitu terjun ke dunia kerja, tetapi bila tidak bekerja mereka harus siap melanjutkan sekolah, atau berwirausaha. Dengan adanya tiga kompetensi dari lulusan sekolah kejuruan ini maka perlu upaya perubahan konsep dari dasar filosofi, pengembangan kurikulum, dan pembelajarannya agar mampu memenuhi ketiga tuntutan tersebut. Kebijakan lain yang juga berimplikasi pada perlunya perumusan reorientasi pendidikan kejuruan adalah kebijakan tentang peningkatan jumlah SMK menjadi 70% dibandingkan SMA yang hanya 30%. Kebijakan ini mengandung konsekuensi derivatif yang besar, misalnya pada anggaran sekolah kejuruan yang menjadi sangat besar. Sementara kemampuan negara dalam menyediakan anggaran terbatas. Oleh karena itu sekolah kejuruan tidak hanya memerlukan perubahan tingkat praktis di lapangan tetapi pada tingkat paradigma. Perubahan paradigma memiliki arti perubahan mendasar yaitu meliputi dasar konseptual dan filosofi dari pendidikan kejuruan. Banyak hal yang mendorong para ahli dan praktisi pendidikan untuk memikirkan mereorientasikan pendidikan kejuruan yang dilatarbelakangi beberapa hal yang dijelaskan di sebelumnya. Tampaknya diperlukan perubahan yang menyeluruh dan mendasar atau perubahan paradigma terkait dengan pendidikan kejuruan yang nantinya akan menjadi dasar pengembangan kurikulum dan pembelajaran di sekolah kejuruan. Saat ini pendidikan harus lebih difokuskan pada outcome based bukan hanya output based. Pendidikan berbasis kompetensi yang lebih pada outputbased education harus diwarnai lain menjadi outcome based education. Dengan demikian penelitian ini menjadi jawaban yang tepat untuk merumuskan model pendidikan berbasis kompetensi untuk bidang vokasi atau kejuruan. 2 B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN 1. Permasahan Filosofi Pendidikan Kejuruan. Pendidikan pada dasarnya memiliki dua misi, yaitu mendidik peserta didik untuk menghadapi kehidupan di masyatakat dan mendidik peserta didik untuk mampu mencari kahidupan agar dapat bertahan hidup. Perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah kejuruan hanya berbeda pada penekanan terkait dengan misi tersebut. Pendidikan umum mempersiapkan peserta didik untuk berkembangan secara akademik secara vertikal. Konsekuensinya sekolah umum harus mengembangkan kemampuan peserta didik secara akademik sebagai dasar untuk melanjutkan sekolah. Di sisi lain sekolah kejuruan menyiapkan peserta didik untuk bekerja menjadi orang produktif. Perbedaan misi dari kedua jenis sekolah ini berimplikasi pada perbedaan penekanan yang akan ditunjukkan pada isi kurikulumnya. Di samping perbedaan ini, kedua jenis sekolah juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama menyiapkan peserta didik untuk menghadapi kehidupan dan mencari kehidupan. Sehingga kurikulum sekolah kejuruan disamping harus menyiapkan peserta didik agar mampu bekerja setelah lulus, juga harus mampu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh. Prinsip realisme mampu menjawab tantangan penyiapan tenaga kerja terampil dan profesional melalu pendidikan yang terukur target dengan sasarannya. Pendidikan berbasis kompetensi mampu menjawab permasalahan ini. Landasan dasar pengembangan potensi peserta didik secara utuh hanya bisa dilaksanakan bila prinsip idealisme juga bisa diterapkan pada pembelajaran. Landasan inipun tidak cukup mampu mengembangkan peserta didik menghadapi dunia yang berkembang pesat sehingga sekolah harus menyiapkan peserta didik menjadi kreatif sehingga asas progressivisme harus menjadi dasar pengembangan. Faham progresivisme ini berkembangkan menjadi sosok yang lebih berani 3 untuk melakukan perubahan dengan kemunculan faham rekonstruksionisme yang mampu mengembangkan kreativitas peserta didik. Namun, di negara-negara maju pendidikan berbasis kompetensi dikritik oleh para pembaharu pendidikan karena dianggap tidak manusiawi. Sistem ini dianggap membentuk manusia seperti mesin, lepas dari fitrah manusia dan kurang peduli pada pengembangan kecakapan berpikir, berolah rasa dan seni, kurang mampu mengembangkan moral, dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi. Pendidikan vokasi tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknik dan kejuruan tetapi harus dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya mengembangkan manusia secara utuh. Hal ini akan menjadi dasar bahwa pendidikan kejuruan menjadi outcome based education. Pertanyaan yang muncul adalah sudahkan dikaji dan ditentukan asas pendidikan yang mengakomodasi masalah ini? 2. Permasalahan Landasan Sosiologi dan Ketenegakerjaan Tenaga kerja yang dihasilkan oleh sekolah kejuruan formal di Indonesia tidak mampu diserap seluruhnya untuk menjadi tenaga kerja produktif karena jumlah lapangan kerja yang terbatas. Sebaik apapun lulusan sekolah karena terbatasnya jumlah lapangan kerja maka akan menjadi penganggur. Dengan demikian perlu ada solusi secara simultan dari dua arah, yaitu penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan dan vokasi. BPS mencatat total jumlah pengangguran terbuka secara nasional pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14% dari total angkatan kerja, dan dipastikan bertambah setiap tahun. Cara mengatasinya antara lain dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6% agar bisa dibuka lapangan kerja baru untuk mengurangi pengangguran. 4 Pengangguran dianggap sebagai akibat antara lain dari ketidakcocokkan antara kemampuan lulusan sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh dunia kerja. Salah satu cara yang banyak dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengatasi hal ini adalah melalui sistem pendidikan kejuruan yang berbasis kompetensi. Namun pendidikan kejuruan yang berbasis kompetensi ini dianggap lebih bersifat outputbased bukan outcome based education. Artinya, keberhasilan siswa dalam pendidikan harus terukur outputnya berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sedangkan karakteristik lain yang mendukung keberhasilan lulusan sekolah dalam hidup di masyarakat, keberhasilan pada karir, dan kemampuan mengikuti standar moral sering dilupakan dalam proses pendidikan. Di Indonesia pendidikan berbasis kompetensi menemukan mementumnya pada akhir tahun 1970 an dan awal 1980 an, karena pemeritah menyediakan biaya yang cukup untuk melengkapi alat/mesin dan menyediakan biaya praktik kejuruan. Namun saat ini sekolah kejuruan disiapkan untuk menuju ke tiga tujuan yaitu bekerja, melanjutkan sekolah, dan berwirausaha. Kebijakan ini berimplikasi pada pengurangan jumlah jam produktif terutama praktik dan ditambah pada jumlah mata pelajaran matematika, fisika, dan Bahasa Inggris. 3. Permasalahan Landasan Psikologis Pengembangan kurikulum harus dilandasi dengan landasan psikologis yang telah banyak dikembangkan dalam bentuk berbagai teori belajar. Ada tiga kelompok utama teori belajar yaitu behaviorisme, kognitivisme, and konstruktivisme. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) rupanya sesuai dengan Kebijakan ini relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini 5 yang harus memacu ketertinggalannya dengan negara lain dari kondisi tenaga kerjanya. Teori behaviorisme juga disebut teori asosiasi yang terdiri dari tiga teori dalam keluarga teori behavioristik, yaitu koneksionisme, bahaviorisme, dan reinforcement (penguatan). Koneksionisme adalah teori belajar yang berdasarkan pada koneksi dari berbagai elemen sistem syaraf yang menyebabkan munculnya suatu tingkah-laku. Thorndike yang mengembangkan teori ini dengan mengenalkan tiga macam hukum belajar, yaitu hukum akibat, hukum kesiapan, dan hukum latihan (exercise). Hukum akibat adalah “strengthening or weakening of a connection based on the consequences brought about by the connection”. Kuat dan lemahnya koneksi berdasarkan pada kosekuensi yang diakibatkan oleh koneksi itu. Selanjutnya adalah hukum kesiapan (readiness) yaitu kecenderungan syarat bekerja atau melaksanakan agar supaya koneksi dapat dilakukan. Selanjutnya adalah hukum latihan (law of exercise). Hukum ini terkait dengan tingkah laku pengulangan dari koneksi yang yakin dengan prinsip “practice makes perfect”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia berada pada rangking di bawah Vietnam, Malaysia, dan Singapura (HDI, 20003). Hasil penelitian ini harus dipakai sebagai motivasi untuk lebih serius memikirkan kualitas. Pendekatan pembelajaran merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia. Melalui kurikulum yang berbasis kompetensi dunia kerja maka relevansi kurikulum dan kebutuhan tenaga kerja bisa ditingkatkan. Outcome based education dapat direalisasikan melalui pendekatan pembelajaran yang mendidikan, memberdayakan, dan membelajarkan. 4. Permasalahan Penerapan Pendidikan Berbasia Kompetensi 6 Pendidikan berbasis kompetensi di Indonesia dimulai sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dikenalkan di SMK di Indonesia sejak tahun 1998, meskipun pelaksanaannya masih belum efektif karena standar kompetensi nasional masih belum dikembangkan secara nasional. Tahun 2002 standar kompetensi nasional telah ditetapkan untuk beberapa bidang keahlian dan mulai dipakai dasar pengembangan kurikulum di SMK dan sejak itu penerapan kurikulum KBK lebih terarah. Namun begitu karena banyak keterbatasan dalam pelaksanaannya, maka penerapan KBK di SMK belum efektif. Disebutkan dalam pasal 61 ayat 3 UU Sisdiknas bahwa, Sertifikat Kompetensi diberikan sebagai pengakuan terhadap seseorang yang dinyatakan kompeten untuk melakukan pekerjaan tertentu. Untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi seseorang atau peserta diklat harus menempuh ujian kompetensi. Pengujian kompetensi dapat dilakukan oleh satuan pendidikan atau lembaga yang terakreditasi. Model akreditasi lembaga uji kompetensi (LUK), juga perlu dikembangkan untuk menjamin bahwa secara institusional LUK memiliki persyaratan dan kapasistas untuk melakukan uji kompetensi. Agar dapat dijamin independensinya, di negara-negara maju melibatkan asosiasi-asosiasi profesi yang relevan dengan bidang kejuruannya. Berkembangnya teknologi informasi dimulai dari ditemukannya komputer yang mampu meningkatkan kapasitas manusia. Dalam kehidupan manusia eksistensi teknologi informasi mampu mempercepat proses produksi, layanan jasa, maupun proses numerasi yang mempercepat kamajuan teknologi di segala bidang kehidupan manusia. Kemajuan teknologi informasi mempengaruhi struktur dunia kerja dan menciptakan lapangan kerja baru meskipun ada yang berdampak pada peenutupan lapangan kerja. mengangkat tingkat Kemajuan juga berdampak pada semakin kesejahteraan masyarakat sampai melewati 7 kebutuhan fisiknya. Hal ini menciptakan lapangan kerja baru seperti pada bidang pariwisata, hiburan dan kesehatan. Akselerasi perubahan dunia kerja karena teknologi dan kehidupan masyarakat ini perlu upaya penyiapan tenaga kerja yang berbasis dunia kerja pada segala bidang pekerjaan atau kejuruan dan model-model pendidikan dan pelatihannya perlu dikembangkan. Pengembangan model pendidikan yang responsif terhadap kemajuan memerlukan konsep dasar, kurikulum, dan pembelajaran kejuruan yang memiliki visi penyiapan tenaga kerja yang kompeten untuk melakukan tugas di dunia kerja. Prinsip pendidikan yang mampu merespon kebutuhan tenaga kerja yang kompeten ini bisa dipenuhi dengan menerapkan bidang pendidikan berbasis kompetensi yang diperlukan dunia kerja. Oleh kerena itu, relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja menjadi sangat penting ketika merancang model pendidikan kejuruan dan vokasi berbasis kompetensi. Bagaimana upaya mendekatkan antara dunia pendidikan dan dunia kerja pada pendidikan kejuruan? Problematika mismatch antara demand dunia kerja dan supply dari pendidikan diperkirakan terkait dengan perencanaan kurikulum yang dirancang dengan dengan tidak memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan dan vokasi yang benar. Masih adanya peluang kerja yang tidak terisi oleh lulusan pendidikan kejuruan dan vokasi, sementara pengangguran banyak, juga bisa disebabkan kompetensi yang dikembangkan di dunia pendidikan tidak sesuai dengan kompetensi yang ada di lapangan kerja. Tumbuhnya peluang kerja yang disebabkan oleh munculnya ipteks baru juga sering tidak bisa dipenuhi oleh kualifikasi dan kesesuain keahlian dengan keahlian yang diperlukan. Oleh karena itu model pendidikan berbasis kompetensi untuk berbagai bidang kejuruan dan vokasi yang memenuhi prinsip-prinsip pendidikan 8 kejuruan dan mempunyai dasar teori dan konsep yang kuat perlu dikembangkan. Pada kesempatan pengembangan model pendidikan berbasis kompeten untuk pendidikan kejuruan dan vokasi akan difokuskan pada kelompok teknologi manufaktur, teknologi informasi, pariwisata, dan bidang pertanian. Model pendidikan berbasis kompetensi memiliki beberapa komponen model yaitu dasar filosofi, komponen kurikulum, pembelajaran, asesmen pembelajaran, uji kompetensi, dan sertifikasi. Filosofi pendidikan kejuruan perlu dikaji dengan seksama dan ditetapkan sebagai acuan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Model pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan penting dalam pendidikan berbasis kompetensi karena akan menentukan isi dan kompetensi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pembelajaran dalam pendidikan berbasis kompetensi memiliki karakteristik yang spesifik oleh karena perlu dikembangkan model asesmen. Lulusan pendidikan kejuruan yang berbasis kompetensi memerlukan uji kompetensi untuk mengetahui apakah kompetensi lulusan memenuhi standar dunia kerja atau belum. Model berikutnya adalah model sertifikasi. Sertifikasi merupakan proses penghargaan terhadap apa yang telah dicapai oleh siswa yang berupa sertifikat yang merupakan bukti pengakuan tersebut. 9 II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Karena luasnya spektrum atau bidang kejuruan yang ada maka pada penelitian hanya akan difokuskan pada lima bidang yang diharapkan sudah mewakili bidang-bidang tersebut. Yaitu bidang Tata Boga yang mewakili kelompok Pariwisata; bidang Keperawatan mewakili bidang kesehatan, dan bidang mesin mewakili bidang manufaktur, teknologi komputer yang mewakili bidang teknologi informasi dan bidanindustri pertanian untuk mewakili bidang teknologi pertanian. Tujuan penelitian tentang Model Pendidikan Berbasis Kompetensi untuk Bidang Kejuruan selama tiga tahun dirumuskan sebagai berikut. 1. Merumuskan fondasi teoretis dan empiris untuk pengembangan pendidikan berbasis kompetensi pada bidang kejuruan di Indonesia. 2. Mendapatkan pembelajaran, kompetensi template model asesmen pencapaian untuk pengembangan pendidikan kurikulum, kompetensi, berbasis dan kompetensi uji pada pendidikan kejuruan 3. Mengembangkan perangkat kurikulum berbasis kompetensi yang dapat dipakai dasar pengembangan kurikulum berbasis kompetensi untuk semua spektrum. 4. Mendapatkan model empirik uji kompetensi untuk bidang kejuruan dan vokasi teknik permesinan, tata boga, teknologi informasi bidang komputer jaringan, dan keperawatan. 5. Membantu mahasiswa memperpendek waktu studi. Tujuan yang dirumuskan di atas akan dicapai secara bertahap selama tiga tahun. Tujuan akan dicapai yang penelitian tahun pertama adalah sebagai berikut. 1. Mengembangkan kerangka model Pendidikan Berbasis Kompetensi pada Bidang kejuruan. 2. Mengembangkan rambu-rambu dan ruang lingkup semua komponen model yang mencakup kegiatan sebagai berikut. 10 a. Rambu-rambu penelitian tentang efektivitas pelaksanaan teaching factory dalam rangka pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi. b. Rambu-rambu penelitian tentang Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Kejuruan. c. Rambu-rambu tentang pengembangan pembelajaran berbasis kompetensi. d. Rambu-rambu penelitian tentang Evaluasi Pencapaian Kompetensi pendidikan berbasis kompetensi. e. Rambu-rambu penelitian tentang Uji Kompetensi dan Sertifikasi pendidikan berbasis kompetensi. 3. Melakukan validasi model Pendidikan Berbasis Kompetensi pada Bidang Vokasi dan rambu-rambu penelitian untuk penelitian sub payung. Tabel 1 berikut ini luaran yang ditargetkan untuk dicapai pada tahap penelitian tahun pertama dan kedua. Tabel 1. Luaran Penelitian pada Tahun I dam II Tahun ke Tahun I Pengembangan Model Konseptual Tahun II Validasi Model PBK Luaran Satu tesis S2 dan publikasi tentang Pelaksanaan Teaching Factory di SMK RSBI di DIY. Dimuat pada Jurnal Pendidikan Vokadi Edisi Model Konseptual penelitian payung: Model Pendidikan Berbasis Kompetensi Bidang Vokasi/Kejuruan Model Konseptual Pengembangan Kurikulum pada PBK Model Konseptual Asesmen PBK Model Konseptual Uji Kompetenti PBK Model Konseptual Sertifikasi Kompetensi pada PBK Satu tesis S2 dan publikasi tentang pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kompetensi pada SMK Pertanian Model hipotetik penelitian payung: Model Pendidikan Berbasis Kompetensi Bidang Vokasi/Kejuruan Model hipotetik Pengembangan Kurikulum pada PBK Model hipotetik Asesmen PBK Model hipotetik Uji Kompetenti PBK Model hipotetik Sertifikasi Kompetensi pada PBK 11 III. TINJAUAN PUSTAKA A. DASAR KONSEPTUAL PENDIDIKAN KEJURUAN UNESCO (1994) memberikan dua prinsip pendidikan yang dapat menghadapi perkembangan zaman ke depan dan harus dipakai acuan dalam merencanakan pendidikan oleh semua negara. Pertama pendidikan harus berorientasi empat pilar yaitu: learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning to be (belajar menjadi dirinya sendiri) dan learning to live together (belajar untuk bekerjasama). Prinsip yang kedua adalah live long learning (belajar sepanjang hayat). Berangkat dari kebutuhan ini maka kurikulum SMK 2004 dikembangkan atas dasar kualifikasi dan kompetensi lulusan seperti dibutuhkan oleh dunia kerja, dan disebut dengan kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) yang berorientasi kecakapan hidup. Kurikulum berbasis kompetensi memiliki standar minimal yang harus dicapai oleh setiap peserta didik untuk diberi status menguasai kompetensi. Meskipun begitu kurikulum berbasis kompetensi juga harus bisa mengembangkan semua potensi peserta didik untuk mampu hidup dalam era kompetisi. Dengan kata lain pendidikan harus dikembalikan pada misi utamanya yaitu memanusiakan peserta didik sebagai manusia. 1. Karakteristik Pendidikan yang Dikehendaki Dari uraian pada latar belakang, maka ada beberapa karakteristik pendidikan kejuruan yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia agar dapat menyiapkan peserta didik mampu berkompetisi secara global, yaitu pendidikan yang dapat: Mengembangkan kemampuan kejuruan secara profesional mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan sebagai agen perubahan sehingga akan menjamin kesinambungan kemajuan perkembangan bangsa Indonesia. 12 Mengembangkan kepekaan moral, rasa, dan kehalusan budi Karakteristik pendidikan kejuruan yang dikehendaki ini perlu dikaji landasan dasarnya agar pengembangan dan permasalahan yang mungkin muncul pada tingkat praksis dapat diatasi dengan baik. Imam Barnadib (1990) menyatakan bahwa pedagogik, sebagai ilmu pokok dalam lapangan pendidikan dan sesuai jiwa dan isinya agar dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan fungsinya, memerlukan landasan-landasan yang berasal dari filsafat. 2. Filosofi Pendidikan Kejuruan Filsafat menyediakan petunjuk untuk pengembangan program, tujuan kurikulum, pemilihan kegiatan belajar, perencanaan dan penggunaan sarana dan prasarana, pengembangan evaluasi, dan identifikasi dari kebutuhan-kebutuhan yang penting dari pendidikan. Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa filsafat pendidikan mengandung paradigma atau kerangka konseptual sebagai acuan tindakan dari para pendidik. Filsafat pendidikan menyediakan kerangka berfikir bagi para pendidik dan praktisi pendidikan dan membantu mereka memilih alternatif-alternatif yang ada serta menyediakan dasar untuk melakukan kegiatan-kegiatan pendidikan secara tuntas. Ada empat aliran yang mungkin dapat dijadikan asas pendidikan kejuruan di Indonesia saat ini yaitu aliran idealisme, realisme, pragmatisme, dan rekonstruksionisme. Idealisme merupakan faham yang dikembangkan antara lain dalam tulisan Descartes, Berkeley, Kant, dan Hegel. Filsafat idealisme lebih menitik beratkan pandangannya pada sesuatu yang bersifat spiritual dan transenden. Para penganut faham idealisme melihat proses spesialisasi sebagai metode pendidikan yang fragmentaristik, karena fakta yang terpenggal-penggal dipelajari menurut hukum atau ketentuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dengan 13 demikian, pendidikan yang idealistik sebenarnya bertentangan dengan ide sekolah yang menghasilkan spesialis-spesialis seperti sekolah kejuruan. Sebaliknya, mereka lebih memilih model pendidikan yang lebih holistik, karena percaya bahwa sistem pendidikan yang mengembangkan pemahaman yang luas terhadap dunia hasilnya menurut mereka lebih baik dibandingkan dengan sistem pendidikan yang menuju spesialisasi. Zais (1976) mengungkapkan, bahwa metode mengajar yang digunakan dalam pendidikan idealistik memerlukan partisipasi aktif dari peserta didik. Agar peserta didik aktif, maka proses pembelajaran dalam kelas yang idealistik bersifat socratesian, suatu cara penyampaian pelajaran secara tidak langsung, yaitu dengan cara menstimulasi peserta didik dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan agar mereka aktif berfikir dalam mencari kebenaran. Tujuan dari proses pembelajaran dalam pendidikan yang idealistik bukan hanya dimaksudkan untuk memberi informasi faktual kepada peserta didik untuk dicatat dan kemudian dihafalkan, tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Ozmon dan Craver (1986: 19) bahwa “in fact, some idealists teachers discourage note taking so that students will concentrate on the basic ideas”. Guru menurut faham idealis tidak lagi menyuruh siswa hanya untuk mencatat pelajaran yang diajarkan, tetapi mereka dilibatkan dalam proses berfikir, sehingga siswa dapat menangkap ide dasar dan konsep yang diberikan oleh guru. Dengan demikian peran guru sangat penting, karena guru sebagai kunci terjadinya proses inkuiri di dalam kelasnya, sehingga asas ini akan mampu mengembangkan kemerdekaan berpikir, kreativitas dan kemampuan reflektif yang sangat diperlukan di dunia kerja saat ini. 14 Aliran Realisme tidak seperti pendidikan idealistik yang diuraikan sebelumnya, pendidikan yang mendasarkan pada faham realisme memfokuskan kegiatannya pada pencarian kebenaran di dalam alam semesta dunia fisik. Para filosof yang menganut faham realisme antara lain Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, dan Pestalozzi yang mengembangkan faham realisme yang lebih modern yaitu yang menitik beratkan kajiannya pada alam dan dunia fisik. Realisme modern juga selalu dikaitkan dengan metode ilmiah atau “scientific methods” yaitu metode inkuiri yang sistematik dalam membangun pengetahuan maupun teori. Kebenaran bagi para penganut realisme adalah sudah ada dan pasti, menunggu untuk ditemukan, dimengerti, dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pencarian pengetahuan di dalam faham realistik merupakan pencarian kebenaran secara induktif. Pencarian kebenaran dengan cara ini bisa ditemui dalam bidang-bidang ilmu seperti: ilmu biologi, kimia, fisika, geologi, dan astronomi. Kebenaran realitistik adalah kebenaran inderawi. Artinya suatu fenomena dianggap benar bila teramati dengan menggunakan panca indera. Oleh karena dalam ilmu-ilmu fisik kemampuan pengamatan akan sangat menentukan. Alat bantu pengamatan terus ditingkatkan kemampuannya sampai mampu mengamati gejala yang paling kecil sekalipun, karena kegiatan observasi terhadap kejadian dunia fisik dan menentukan dimensi keterukuran adalah cara yang paling tepat untuk menyibak rahasia kejadian dunia fisik secara berulang. Pendidikan realistik menganggap fakta dan informasi fisik yang terukur merupakan hal yang sangat penting bagi sistem pendidikan itu. Dalam faham realisme guru dipandang sebagai spesialis dan ahli dalam suatu mata pelajaran ilmu-ilmu fisik yang harus diajarkan, dan 15 guru berperan mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan itu kepada muridnya. Sistem belajar yang berdasarkan unjuk kerja, dan kompetensi serta hasil pendidikan yang harus terukur, pada umumnya merupakan ciri khas dari pendidikan yang menganut asas realistik. Culver (1986) menyatakan bahwa faham realisme telah lama menjadi fondasi filsafat pendidikan kejuruan dan telah berhasil menciptakan lahan yang subur bagi tumbuhnya pendidikan kejuruan dan munculnya revolusi industri serta manajemen ilmiah selama sekitar satu abad. Dalam pendidikan kejuruan yang realistik, semua siswa akan secara teratur dan berkesinambungan belajar keterampilan tertentu untuk menjadi ahli dan spesialis dalam suatu bidang pekerjaan melalui prosedur tertentu. Meskipun begitu, dengan perkembangan teknologi yang pesat akhir-akhir ini, faham realisme sebagai asas falsafah pendidikan kejuruan dianggap tidak cukup. Pendidikan realistik dianggap mekanistik, kurang hanya menyiapkan mengembangkan manusia-manusia kreativitas, yang kemampuan berpikir, dan apresiasi terhadap kemampuan manusia secara utuh (Culver, 1986: 14). Pada era perkembangan teknologi yang pesat diperlukan tenaga kerja yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, kemampuan pemecahan masalah, berpikir rasional dan kreatif. Filosof dalam kelompok rekonstruksionisme antara lain adalah Theodor Brameld, Paulo Freire dan Ivan Ilich. Aliran mereka disebut dengan reconstructionism. Dewey selain dikenal sebagai tokoh pendidikan pragmatik, juga digolongkan sebagai ahli teori kritikal (critical theorist) yang disebut reconceptualists di dalam bidang pendidikan. Faham 16 rekonstrusinisme menurut Ozmon & Craver (1986: 133) terdiri dari dua premis. Yang pertama, masyarakat perlu rekonstruksi secara terus menerus dengan selalu melakukan perubahan; dan premis yang kedua bahwa, suatu perubahan sosial akan melibatkan dua hal yaitu, rekonstruksi pendidikan dan peran dari pendidikan dalam merekonstruksi masyarakat. Program pembelajaran yang rekonstruksionistik, memberi kesempatan kepada murid untuk menggunakan waktu, baik di dalam dan di luar lingkungan sekolah yang sama pentingnya, sehingga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari lingkungan dunia yang nyata dan juga mengaplikasikan perolehan belajarnya ke dalam dunia nyata. Kurikulum yang rekonstruksionistik menurut Hill dan Salter (1991: 3), adalah kurikulum yang memungkinkan setiap siswa untuk menjadi agen perubahan, yaitu dengan merencanakan, meneliti dan mempromosikan perubahan atau inovasi untuk meningkatkan kehidupan manusia. B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Untuk memberi gambaran secara garis besar, pada bagian ini akan dijelaskan konsep-konsep umum tentang kurikulum berbasis kompetensi pada SMK yang biasanya dikenal dengan pendidikan dan pelatihan berdasarkan kompetensi atau Competency Based Education and Training (CBE/T atau CBT saja). Pelatihan dan pendidikan berdasarkan kompetensi atau Competency Based Training (CBT) sudah digunakan dan dikembangkan di negara-negara maju antara lain Jerman, Inggris, Amerika, Kanada, Selandia Baru dan Australia. Australian Team Leader (ATL) (2000) menjelaskan bahwa CBT adalah pelatihan yang didasarkan 17 akan hal-hal yang diharapkan dapat dilakukan oleh seseorang di tempat kerja. Pada tahun 1970 an ada beberapa konsep yang memberi arah pada pengembangan konsep kurikulum berbasis kompetensi, seperti teori tentang belajar tuntas oleh Bloom (1974), penilaian dengan acuan kriteria (Pophan, 1978), pengujian kompetensi minimal (Jaeger, 1980), dan belajar terprogram (Skinner, 1952). Konsep yang dikembangkan oleh ahliahli ini pada dasarnya ada tiga hal yang menjadi fokusnya yaitu, penggunaan modul, perencanaan penilaian yang mengukur tingkah laku yang dapat diamati, dan konsep tentang belajar tuntas. 1. Prinsip-Prinsip Dasar KBK Konsep tentang pendidikan dan pelatihan berdasarkan kompetensi dalam pendidikan kejuruan pada awalnya dikemukakan oleh Kornhauser (1922) seperti yang dikutip oleh Harris, Guthrie, Hobart dan Lundberg (1996). Kornhouser mengemukakan empat prinsip pelatihan magang yang selanjutnya diakui sebagai dasar pengembangan konsep pendidikan dan pelatihan berdasarkan kompetensi yaitu: a. Perkembangan program magang ditentukan oleh kemampuan yang ditunjukkan di tempat kerja. b. Kemahiran diukur dengan tes kompetensi dan ujian lesan yang dilakukan oleh supervisor. c. Siswa memiliki buku manual yang berisi tes untuk bidang pekerjaan tertentu. Pertanyaan-pertanyaan dari perusahaan tidak sekedar mengukur kemajuan tetapi juga berfungsi sebagai stimuli kepada peserta didik untuk menguasai kemampuan. d. Kriteria pencapaian ditentukan sebelumnya, sehingga dapat menstimulasi peserta pelatihan dan memberikan arah pada program pelatihannya. 18 Di Amerika Serikat pendidikan berdasarkan kompetensi berkembang pesat setelah Glaser (1962) dan Gagne (1962, 1965) meletakkan dasar-dasar pendidikan berdasarkan kompetensi. Glaser (1962) mengatakan bahwa jika produk belajar dapat ditentukan, maka dalam proses belajar siswa dilatih untuk mampu melakukan pekerjaan mencapai produk. Misalnya, belajar untuk menggunakan mistar hitung, maka dapat dikatakan bahwa siswa dilatih untuk mampu menggunakan mistar hitung. Gagne (1962) menggunakan analisis tugas untuk merancang program pelatihan sebagai cara yang efektif untuk mengajari siswa untuk mengembangkan keterampilan motorik, dan keterampilan yang lebih tinggi seperti pemecahan masalah. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi Victorian State Training Board seperti yang dikutip oleh Harris dkk. (1995) mengemukakan enam kriteria untuk mengukur apakah suatu pelatihan menggunakan pendekatan kompetensi atau tidak, yaitu: a. Kriteria outcome. Hasil program pelatihan dilaksanakan untuk memenuhi standar kompetensi nasional (SKN). Bila SKN secara nasional belum ada maka program pelatihan harus memenuhi standar yang diajukan dan disetujui oleh pihak industri atau asosiasi profesi. b. Kriteria kurikuler. Kurikulum program pelatihan harus memberikan petunjuk yang jelas kepada peserta didik tentang apa yang harus dilakukan dalam arti unjuk kerja, kondisi dan standar. Termasuk dalam hal ini industri pasangan dimana peserta didik harus melakukan off-the- job training di tempat kerja. c. Kriteria penyampaian 19 Penyampaian materi dilakukan secara fleksibel dan peserta didik dapat mengembangkan inisiatif sendiri dalam proses belajar. Bahan ajar yang digunakan oleh guru menunjukkan tingkat pelaksanaan prinsip “learner-centered”. d. Kriteria penilaian Sistem penilaian yang dilaksanakan harus: 1) mengukur sejauh mana unjuk kerja peserta didik dalam memenuhi standar kompetensi. 2) melakukan penilaian kompetensi yang diperoleh diluar pelatihan 3) penilaian yang dilakukan termasuk kegiatan pelatihan di tempat kerja. e. Kriteria pencatatan dan pelaporan Pencatatan dan pelaporan kompetensi yang dicapai oleh peserta didik harus dilakukan. Pelaporan dapat mencakup modul yang telah diselesaikan oleh peserta didik sehingga dapat dilihat keterkaitan antara modul dan kompetensi. f. Kriterai Sertifikasi. Seseorang yang telah mampu menunjukkan kompetensinya dalam program pelatihan yang diakreditasi harus memperoleh tanda bukti pengakuan atau pernyataan pencapaian yang diakui secara nasional/internasional yang berupa sertifikat. C. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills) Kurikulum SMK 2004 dikatakan sebagai kurikulum KBK yang berorientasi kecakapan hidup, dan pada bagian ini akan dijelaskan konsep dasar dari kecakapan hidup tersebut. Idealnya suatu program pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan lulusan dalam mengarungi kehidupan nyata. Suatu program pendidikan dikatakan efektif bila relevansinya tinggi terhadap kehidupan 20 dunia nyata, meskipun mungkin tidak bisa 100 %, karena tidak semua kebutuhan hidup seseorang dapat mengarungi dunia nyata dengan baik dapat dipenuhi melalui pendidikan (Slamet PH, 2002). Relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia nyata dapat digambarkan sebagai berikut. Pendidikan Kehidupan dunia nyata Relevansi Gambar 1. Interseksi Pendidikan & Kehidupan Pendidikan kejuruan sebagai suatu sistem, programnya harus mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dalam mengarungi kehidupan nyata di masa depan. Artinya pendidikan kejuruan harus mambekali peserta didik agar bisa mencari penghidupan (bekerja) dan mampu hidup sebagai anggota masyarakat, warga negara, sebagai individu, dan sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Kejuruan yang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup dan mencari penghidupan (Jawa = golek panguripan) dalam masyarakat yang nyata ini disebut pendidikan kejuruan yang berorientasi kecakapan hidup. Agar dapat membekali peserta didik dalam mencari penghidupan pendidikan kejuruan harus tetap menekankan kepada latihan (training) untuk menguasai bidang pekerjaan secara profesional sehingga dapat dipakai modal dasar untuk bekerja. Namun untuk membekali mereka untuk mampu hidup pada era kompetisi yang ketat dan untuk menjaga kesinambungan perkembangan bangsa ini, bekal profesional dalam bidang 21 kejuruannya saja tidak cukup. Oleh karena itu individu peserta didik harus dibekali juga dengan kecakapan-kecakapan lain yaitu kecakapan generik. Pengertian Kecakapan Hidup Brolin (1989) mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. Definisi ini nampak lebih menekankan pada pengembangan kemandirian anak. Malik Fajar yang dikutip oleh Slamet PH (2002), mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik. Pengertian ini menunjukkan bahwa pendidikan kecakapan hidup adalah kecakapan yang diperlukan untuk bekerja dan untuk penguasaan dari konsep-konsep dasar keilmuan yang diperlukan agar mampu meneruskan ke jenjang akademis. Definisi yang lebih pragmatis diberikan oleh Tim BBE (2002) yaitu kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian kecakapan hidup, namun bisa dikenali esensinya, yaitu bahwa kecakapan hidup adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk mampu hidup secara mandiri di masyarakat yang terus berkembang dan mampu menjalankan kehidupan itu dengan sukses dan bahagia. Ruang Lingkup Pendidikan Kecakapan Hidup Tim BBE Depdiknas (2002) memberikan lima bidang life skills yaitu self awareness (kecakapan mengenal diri), thinking skills (kecakapan 22 berpikir), social skills (kecakapan sosial), academic skills (kecakapan akademik), dan vocational skills (kecakapan vokasional) a. Kecakapan Mengenal Diri (Self Awareness) Pengertian tentang kecakapan mengenal diri (self awareness) disampaikan oleh Goleman (1998) yang diterbitkan pada http://www.eiconsortium.org/research/emotinal_competence_fra mework.htmbahwa self awareness meliputi tiga hal yaitu: emotional awareness (kesadaran emosi) yang berarti mengakui emosi seseorang dan akibatnya. Yang kedua adalah accurate self- assessment (penilaian diri secara akurat) yang artinya mengetahui kekuatan dan keterbatasan dirinya. Yang ketiga adalah self-confidence (percaya diri), yaitu suatu kepastian tentang kemampuan dan harga dirinya. Forgas (1985: 186) menyatakan bahwa banyak penelitian menunjukkan, semakin tinggi kesadaran seseorang terhadap dirinya, maka orang tersebut akan cenderung semakin mematuhi hukum dan norma-norma masyarakat, tingkah lakunya strategis dan bisa diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain seseorang yang mampu mengenal dirinya, kelemahan dan kekuatannya akan mampu mengembangkan dirinya. b. Kecakapan Berpikir (thinking skill) Bahwa “thinking is a mental process by which students make sense out of experience” (Beyer, 1987). Menurut definisi ini, berpikir merupakan proses mental pada saat seseorang mencoba memahami pengalaman belajarnya. Menurut Tim BBE (2002) kecakapan berpikir meliputi: (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching), (2) kecakapan mengolah information dan mengambil keputusan (information processing and decision making skills), serta (3) kecakapan 23 memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skills). Reid (1993) menyatakan bahwa kecakapan berpikir tingkat tinggi dapat digolongkan menjadi dua yaitu berpikir kreatif dan berpikir kritis. Peserta didik sekarang akan terlibat dalam pekerjaan atau karir yang melibatkan kecakapan pemecahan masalah secara kreatif. Berpikir kreatif meliputi cara berpikir konvergen, proses berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), dan pengembangan berbagai bakat dan kemampuan. Sedangkan berpikir kritis merupakan upaya yang konsisten untuk menguji bukti yang mendukung suatu keyakinan, solusi, atau kesimpulan sebelum diterima menjadi suatu kebenaran. Selanjutnya Beyer (1987) mengemukakan kecakapan berpikir yang lebih luas dengan menyatakan bahwa “major thinking operations include evaluation and analysis, critical thinking, problem solving, synthesis, application, and decision making”. Pengertian ini menjelaskan bahwa kecakapan berpikir dapat meliputi kecakapan berpikir evaluasi, analisis, berpikir kritis, pemecahan masalah, sintesis, aplikasi, dan pengambilan keputusan. Keberhasilan dalam pemecahan masalah dapat meningkatkan self-esteem seseorang, khususnya bagi peserta didik. c. Kecakapan Sosial (social skills) Kecakapan sosial (social skills) mencakup: (1) kecakapan komunikasi dengan empati, dan (2) kecakapan bekerjasama, berempati, sikap dengan penuh pengertian. Seni komunikasi dua arah, perlu ditekankan bahwa berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik, akan menumbuhkan hubungan yang 24 harmonis (Tim BBE, 2002: 8). Goleman (1998) juga memberikan pengertian tentang kecakapan sosial (social skills) yang meliputi kecakapan mempengaruhi, kecakapan berkomunikasi, kecakapan kepemimpinan, kecakapan sebagai katalisator perubahan, kecakapan dalam manajemen konflik, kecakapan membangun hubungan, kecakapan bekerjasama, dan kemampuan sebagai bagian dari suatu tim. d. Kecakapan Akademik (academic skills) Kecakapan akademik adalah kecakapan yang mampu menguasai esensi dari setiap bidang studi dan secara sistematis maupun sistemik mengaplikasikan dalam kegiatan ilmiah. Tim BBE (2002) menyatakan bahwa kecakapan akademik yang merupakan kecakapan yang terkait dengan bidang keilmuan atau yang bersifat akademik melakukan hubungan yang identifikasi antara mencakup variabel, variabel, antara lain kecakapan merumuskan kecakapan menjelaskan hipotesis, dan kemampuan merancang penelitian serta melaksanakan penelitian. Pengertian di atas harus dibaca sebagai kecakapan dalam berpikir ilmiah, menggunakan logika, berpikir induktif dan deduktif, kemampuan memecahkan masalah dan berpikir sistemik. Karena kemampuan merancang suatu penelitian melibatkan berbagai kecakapan berpikir. e. Kecakapan Vokasional Kecakapan vokasional disebut juga kecakapan kejuruan, yaitu kecakapan seseorang untuk melakukan pekerjaan atau tugas baik dalam dunia kerja maupun untuk hidup kesehariannya. Dalam pendidikan kejuruan, kecakapan vokasional merupakan 25 kecakapan yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah kejuruan. Hal ini karena di SMK seorang peserta didik sudah diarahkan kepada suatu bidang kejuruan tertentu. Pengembangan kecakapan vokasional dalam perspektif pendidikan karir bisa dibagi beberapa tahapan. Menurut Slamet PH (2002: 12) tahapan itu dimulai dari career awareness, career orientation, career exploration, career preparation, career planning, sampai pada career development perlu dikenalkan kepada semua peserta didik. Tahapan-tahapan ini pada dasarnya memberikan pengenalan pada suatu kehidupan masyarakat kepada siswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang dunia kerja maupun dunia kemasyarakatan. Tahapan ini implementasinya disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Misalnya untuk tahapan career awareness (kesadaran terhadap karir pada tingkat TK dan SD; Tahap orientasi karir (career orientation) diberikan pada sekolah tingkat SLTP; Tahap career preparation untuk SMU/SMK dan sebagainya. Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan kejuruan berbasis kompetensi dan berorientasi kecakapan hidup adalah pendidikan profesionalisme dan kejuruan sekaligus yang mengembangkan mengembangkan kecakapan- kecakapan generik lain seperti kecakapan mengenali diri, berpikir, dan kemampuan sosial sehingga mereka akam mampu berkembang. Agar mampu hidup dalam dunia yang berubah cepat karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seseorang perlu memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru. Sebagai jawabannya, perlu ada 26 upaya-upaya pendidikan yang memanusiakan manusia (hunamisasi) dan tidak hanya berorientasi mata pelajaran. Kajian yang dilakukan oleh Pardjono (2001) terhadap asas pendidikan kejuruan menyimpulkan bahwa asas realisme yang dipakai pendidikan kejuruan dengan KBK yang dipakai di negara maju, terutama di Amerika Serikat selama ini tidak cukup untuk menyediakan fondasi pendidikan kejuruan yang menyiapkan lulusannya untuk berkompetisi secara global. Meskipun paradigma realisme dahulu sesuai dengan kondisi revolusi industri, dan sangat berjasa dalam memajukan masyarakat industri, tetapi dengan cepatnya perubahan teknologi dan tekanan dari isu-isu global, maka faham realisme relevansinya menjadi berkurang bagi pendidikan kejuruan seperti yang dijelaskan di depan. Atas dasar pengalaman ini Indonesia tidak perlu mengulang kesalahan yang diperbuat oleh negara-negara maju. Program kegiatan yang dilakukan oleh pendidikan kejuruan adalah melatih peserta didik untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia bisnis dan industri. Perkembangan sosial masyarakat Indonesia berbeda dengan negara-negara maju, sehingga konteks dunia bisnis dan industrinyapun berbeda. Kurikulum berbasis kompetensi untuk pendidikan kejuruan di Indonesia masih relevan untuk mengejar ketertinggalan dalam dunia industri dan untuk itu memerlukan pendidikan dengan menggunakan sistem-sistem terstandarisasi. Meskipun begitu peserta didik harus juga disiapkan untuk hidup pada era perubahan teknologi yang cepat, yang setiap saat dapat berdampak pada perubahan struktur pekerjaan yang ada. Hal ini menuntut pendidikan kejuruan 27 merubah orientasi pendidikannya dalam menyiapkan sumber daya manusia, yaitu dengan tidak hanya melatih peserta didik menguasai suatu keterampilan kejuruan tertentu, tetapi lebih dari itu, yaitu harus menyiapkan mereka untuk memiliki daya adaptasi yang baik. Peran dan fungsi yang tepat dari pendidikan kejuruan adalah membangkitkan potensi peserta didik untuk menjadi kritis, dan kemampuan berpikir yang tinggi disamping memberikan pengetahuan dan keterampilan teknik yang praktis. Kemampuan semacam ini diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat sosio budaya yang mampu berfikir reflektif dan kritis serta emansipatif, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi kesamaan hak dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Pendidikan kejuruan yang tradisinya menekankan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan, dan guru sebagai satu-satunya tokoh sentral sudah seharusnya menekankan pada proses belajar yang berpusat pada siswa. Ide-ide yang terkini di dalam lingkungan pendidikan dan penelitian telah memfokuskan pada konsep reflektif seperti istilah yang digulirkan oleh Freire (1973: 36) yaitu “refleksi terhadap tindakan atas dunia agar supaya dapat merubahnya”, dan filosofi yang mendasari pemikiran ini adalah rekonstruksionisme. Ozmon dan Craver (1986), menyatakan bahwa rekonstruksionisme melangkah satu langkah lebih maju dari pragmatisme dan menempatkan pendidikan untuk maju lebih cepat dari masyarakat sendiri, dan bertindak sebagai agen perubahan yang sebenarnya di dalam masyarakat. Meskipun 28 begitu, filsafat rekonstruksionisme dipilih sebagai alternatif dasar pijakan bagi pendidikan kejuruan, ketika teknologi berubah sangat cepat yang merambah hampir pada setiap aspek kehidupan manusia sehari-hari. Sekolah kejuruan dengan program kejuruan yang berdasarkan pada filsafat rekonstruksionisme dapat mengembangkan kreativitas peserta didik melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang memberdayakan, sehingga mereka mampu berfungsi sebagai agen perubahan. Seperti yang dikemukakan Pardjono (2000), agar dapat menjadi agen perubahan, peserta didik harus dididik melalui cara pembelajaran dan metode yang demokratis serta memberdayakan agar dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan mengkritisi praktik-praktik ketidakadilan dan penyimpangan penggunaan teknologi. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan sebaiknya selain menyiapkan peserta didik dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan harus juga memenuhi kebutuhan akan pendidikan bagi peserta didik dalam berkembang secara maksimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Untuk bisa memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik secara maksimal, praktik-praktik pendidikan kejuruan yang pada umumnya mengikuti model berpusat pada guru menjadi model yang lebih berpusat pada murid. Aspirasi idealisme seperti yang dijelaskan sebelumnya akan dapat mewadahi kebutuhan peserta didik dan dapat mengembangkan manusia seutuhnya. Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan memiliki prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut: 1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja. 3) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam 29 kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri. Perubahan orientasi pendidikan merupakan keniscayaan karena masyarakat terus berubah. Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa perubahan dalam kualitas pendidikan masa depan antara lain: (1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan menjadi pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi pengakuan kekuatan-kekuatan nyata. Dengan demikian, akan terjadi perubahan kualitas tenaga kerja yang mampu bekerja di dunia kerja yang selalu berubah. Dinamika perubahan yang sangat dinamis itu harus selalu dicermati, dipantau, dan dijadikan rujukan dalam mengembangkan pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang berdampak langsung kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG), (Wardiman, 1998). Pendidikan kejuruan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang marketable dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan sektor industri dan 30 mengarah kepada pemberian solusi terhadap permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri. Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002 kurikulum pada perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran kompetensinya. Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah Kementrian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi) memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakens, sehingga kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari “mismach” antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Uji kompetensi pada lembaga pendidikan yang telah berlangsung dan memberikan sertifikat yang diakui oleh kalangan industri sampai saat ini baru berlangsung pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pada pendidikan vokasi setara program Diploma 3, uji kompetensi ini belum dilakukan secara terpadu dan masih beragamnya perumusan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan program diploma 3. Hal ini disebabkan karena belum adanya standarisasi kompetensi program D3 baik antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia kerja maupun antara lembaga pendidikan vokasi yang memiliki program diploma 3. Dengan demikian uji kompetensi pada pendidikan vokasi perlu untuk dikembangkan dengan harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja untuk menghindari missmatch dan under qualified, memuat tentang skill yang dibutuhkan dimasa mendatang (the future 31 skill), serta terdapat standar kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan pendidikan vokasi. B. KOMPETENSI Kompetensi yang terkait dengan terminologi ketenagakerjaan, adalah suatu kemampuan/kecakapan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melakukan suatu pekerjaan. Beberapa definisi yang berkaitan dengan pengertian di atas, antara lain: ”Competence” is defined as a combination of relevant skills, konwledge and understanding and ability to apply them”. (National Vocational Qualifications (NVQs), United Kingdom). (Dit. Dikmenjur, 2002:3) The Iceberg Model Skill Visible Hidden Self concept Skill Knowledge Trait, Motive Attitude s, Values Self concept Trait Motive Knowledge Core Personality : Most difficult to develop Surface: Most easily developed Gambar 2 : Model Gunung Es, dan Kompetensi Inti dan Permukaan (Spencer & Spencer, 1993: 11) Spencer & Spencer (1993:9-11) memberikan lima dimensi kompetensi, yakni: (1) motif (motive); (2) pembawaan (trait); (3) konsep diri (self-concept); (4) pengetahuan (knowledge); dan (5) keterampilan (skill). Secara bagan, Spencer & Spencer menyebutnya sebagai model gunung es (The Iceberg Model) atau model inti dan permukaan (Sentral and Surface Competencies). Pada model ini dijelaskan bahwa dimensi pengetahuan dan keterampilan bersifat tampak di permukaan ( surface) 32 dan lebih mudah dikembangkan melalui pembelajaran (teachable) melalui diklat. Sebaliknya dimensi motif, pembawaan, dan konsep diri merupakan dimensi mendasar, dan lebih sulit dikembangkan baik melalui pelatihan maupun pembelajaran (non-teachable). Definisi yang berbeda diberikan oleh Stoof (1999:5-6) yang menguraikan berdasarkan pemilahan kompetensi sebagai karakteristik personal versus karaktersitik tugas (task characteristics). Kompetensi sebagai karakteristik personal berkembang di Amerika Serikat, dan memiliki ciri dinamis, umum (general), sebagai tahap perkembangan, serta sulit dibelajarkan (non-teachable). Sedangkan kompetensi sebagai karakteristik tugas berkembang di Inggris (termasuk Jerman dan Australia), memiliki ciri statis, spesifik, bertingkat (level of competence), dan dapat dibelajarkan (teachable). Penjelasan Stoof tersebut digambarkan sabagai berikut: levels of competence specific UK teachable static Personal characteristics Task characteristics dynamic USA general Competence is a level non-teachable Gambar 3. Kompetensi Menurut Stoof 33 Penjelasan Stoof identik dengan uraian Spencer & Spencer, bahwa secara konseptual terdapat pemilahan antara kompetensi keras yang bersifat dapat dilatihkan, dan kompetensi lunak yang sulit dibelajarkan (non-teachable). Bila menyangkut dimensi hard-competence, maka menjadi tugas pembelajaran; sedang jika berkaitan dengan dimensi soft- competence menjadi tugas pendidikan. Oleh karena itu kompetensi keras bersifat lebih mudah dikembangkan instrumen penilaian yang berkaitan dengannya dan sebaliknya, kompetensi lunak lebih sulit dibelajarkan dan sulit dikembangkan instrumen penilaiannya. Sementara uji kompetensi guru yang telah dilakukan selama ini lebih banyak memenilai kompetensi pedagogik, dan profesional. Penilaian kompetensi secara komprehensif harus mengarah kepada kompetensi lunak (soft-competence) dan keras (hard-competence). Kompetensi lulusan SMK dengan demikian memiliki arti kemampuan atau kecakapan kerja lulusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melakukan suatu pekerjaan, yang pengukurannya menggunakan acuan tertentu (criterion-referenced). 1. Competency-Based Education and Training Secara khusus tujuan pendidikan vokasi adalah untuk membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan program keahlian yang dipilih. Oleh karena lulusan SMK dipersiapkan untuk memasuki lapangan kerja, maka secara ekonomis, semakin tinggi kualitas pendidikan seseorang, maka akan semakin produktif, sehingga selain akan meningkatkan produktivitas nasional juga akan meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar grobal. Ketercapaian tujuan pembelajarannya dapat dilakukan dengan pendekatan akademik, pendekatan pendekatan kurikulum berbasis kecakapan kompetensi hidup (life skill), (competency-based 34 curriculum), pendekatan kurikurum berbasis luas (broad-based curriculum), pendekatan kurikul um berbasis produksi (production-based curriculum). Sedangkan pola penyelenggaraannya dilakukan dengan prinsip pendidikan sistem ganda (PSG), yaitu pendidikan yang dilakukan secara bekerja sama antara sekolah dan dunia usaha dan industri (DU/DI), baik melalui perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kurikulum, yang bertujuan untuk mendekatkan kebutuhan dunia usaha dan industri. Disisi lain untuk mengantisipasi dan sekaligus mengikuti berbagai perkembangan yang yang terjadi di dunia kerja pelaksanaan kurikulum SMK harus dirancang secara dinamis dan fleksibel. Konsekuensi dari penerapan pembelajaran berbasis kompetensi adalah bahwa penilaian hasil belajarnya juga harus berbasis kompetensi (Competency-based Assessment /CBA). Menurut Depdiknas, 2004, tujuan penilaian hasil belajar berbasis kompetensi antara lain: (a) menyediakan acuan atau referensi penilaian hasil belajar peserta didik yang sesuai dengan kurikulum SMK berbasis kompetensi (Competency-based curriculum), (b) meningkatkan mutu pelaksanaan penilaian hasil belajar peserta didik baik yang langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah dan di industri, maupun yang berkaitan dengan penilaian penguasaan kompetensi, (c) mengembangkan model penilaian berbasis kompetensi (competency-based assessment) yang dalam pelaksanaannya melibatkan unsur internal dan eksternal yang relevan. Penilaian hasil belajar dalam sistem pembelajaran kompetensi pada dasarnya merupakan proses penentuan untuk memastikan peserta didik dalam penguasaan kompeten. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara membendingkan bukti-bukti hasil belajar (learning evidences) yang diperoleh seorang peserta didik dengan kriteria kinerja (performance criteria) yang ditetapkan pada standar kompetensi (Depdiknas, 2004). 35 Karakteristik model pendidikan berbasis kompetensi Gonczi (1998: 38), di antaranya: a. Adanya daftar kompetensi yang terdokumentasikan disertai dengan standar dan kondisi khusus untuk masing-masing kompetensi. b. Setiap saat siswa dapat dinilai pencapaian kompetensinya manakala telah siap. c. Pembelajaran berlangsung dengan format modul yang berkaitan dengan masing-masing kompetensi. d. Penilaian berdasarkan standar tertentu dalam pernyataan- pernyataan kompetensi. e. Sebagian besar penilaian berdasarkan keterampilan yang didemontrasikan secara nyata. f. Siswa dapat memperoleh pengecualian dari bagian pembelajaran dan melanjutkan ke unit kerja berikutnya berdasarkan kompetensi yang telah tercapai. g. Hasil belajar siswa dicatat dan dilaporkan dalam pernyataanpernyataan kompetensi 2. Landasan Psikologis Pembelajaran PBK Pada tingkat kelas (classroom practice) guru harus mengajar muridmuridnya berdasarkan pada teori-teori belajar. Ada banyak teori belajar yang telah dikembangkan oleh para ahli sampai saat ini. Guru dalam mengajar di kelas bisa menganut beberapa teori tersebut. Ada tiga arus utama (meanstreams) teori belajar yaitu behaviorisme, kognitivisme, and konstruktivisme. Tetapi pada umumnya pada classroom practice biasanya guru tidak hanya menggunakan satu teori. Teori behaviorisme juga disebut teori asosiasi yang terdiri dari tiga teori dalam keluarga teori behavioristik, yaitu koneksionisme, bahaviorisme, dan reinforcement (penguatan). Koneksionisme adalah teori belajar yang berdasarkan pada koneksi dari berbagai elemen sistem syaraf yang menyebabkan munculnya suatu tingkah-laku. Thorndike yang 36 mengembangkan teori ini dengan mengenalkan tiga macam hukum belajar, yaitu hukum akibat, hukum kesiapan, dan hukum latihan (exercise). Hukum akibat adalah “strengthening or weakening of a connection based on the consequences brought about by the connection”. Kuat dan lemahnya koneksi berdasarkan pada kosekuensi yang diakibatkan oleh koneksi itu. Selanjutnya adalah hukum kesiapan (readiness) yaitu kecenderungan syarat bekerja atau melaksanakan agar supaya koneksi dapat dilakukan. Selanjutnya adalah hukum latihan (law of exercise). Hukum ini terkait dengan tingkah laku pengulangan dari koneksi yang yakin dengan “practice makes perfect”. Program pelatihan agar anak memiliki keterampilan baik manual, intelektual maupun berpikir mengikuti prinsip dari teori behaviorisme. Kognitivisme secara umum mempunyai pengertian bahwa melalui interaksi dan perkembangan kognisi diri seseorang dapat memperoleh pengetahuan dan terkait pada bagaimana pebelajar mengetahui dan bagaimana menggunakan cara yang efektif dan efisien menurut teori pengolahan informasi. Berikut gambar alur dari proses pengolahan 3. Stimulasi dalam 4. lingkungan 5. belajar receptors informasi pada teori kognitivisme. Proses Sensor: visual audio Perhatian & pengenalan pola 6. Memori Jangka Pendek Encoding retrieval Memori Jangka Panjang Memori Kerja lupa lupa Gb. 4. Model Pengolahan Informasi pada Manusia (Adaptasikan dari McCown & Roop, 1992:213) Lingkungan belajar merupakan sumber informasi dari sistem pengolahan informasi. Reseptor menerima informasi dari hasil perekaman melalui kegiatan melihat, mendengar, merasakan, mencium, dan 37 mengecap. Hasil yang ditangkap oleh receptor kemudian di tangkap oleh prosesor untuk diolah namun tidak semua informasi bisa diproses karena ada yang hilang melalui peristiwa lupa. Informasi yang mendapatkan perhatian pebelajar masuk ke memori jangka pendek (MJPd). Informasi yang sampai pada MJPd ada kemungkinan hilang, tetap di simpan di memori jangka pendek, memancing respons, atau ditransfer melalui proses elaborasi pada memori jangka panjang (MJPj). Informasi yang tersimpan pada MJPj dapat tetap di MJPj masuk lagi ke MJPd melalui proses penarikan kembali (retrieval). Teori belajar konstruktivisme memiliki akar filosofi subjektivisme dan relativisme, suatu konsep yang menganggap bahwa realitas terpisah dari pengalaman dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman dan menghasilkan realitas yang khas secara personal (Doolitle & Camp, 1999). Teori konstruktivisme mendasarkan pada empat prinsip utama dari von Glasserfeld (1989:182), yaitu “knowledge is not passively received but actively built up by the cognizing subject” dan “the function of cognition is adaptive and serves the organization of the experiential world, not the discovery of ontological reality”. Von Glasserfeld akhirnya menambah lagi dua prinsip dari konstruktivisme, yaitu “cognition organizes and makes sense of one’s experience, biological/neurological and constructivism, is and not in a process social, both cultural, in and language-based interactions (von Glasserfeld, 1998). Berdasarkan empat prinsip ini, kemudian teori konstruksi berkembang. Ernest (1994) mengidentifikasi jenis-jenis konstruktivisme menjadi empat, yaitu konstruktivisme teori pengolahan informasi, konstruktivisme trivial, konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial. Teori pengolahan informasi termasuk konstruktivisme karena menerima prinsip pertama dari von Glasserfeld dan oleh Doolitle & Camp disebut konstruktivisme kognitif. Konstruktivisme trivial menerima prinsip pertama tetapi menolak prinsip kedua dengan eloborasi bahwa proses pengolahan informasi merupakan kegiatan membangun pengetahuan melalui sistem electro-chemical nerve. 38 Konstruktivisme radikal menyandarkan pada empat prinsip konstruktivisme dari von Glasserfeld. Fungsi kogntif adalah adaptif dan melayani organisasi dunia pengalaman, bukan menemukan realitas ontologis. Selanjutnya ada bentuk lain, yaitu konstruktivisme sosial, yang berpendapat bahwa pengetahuan selalu terjadi di dalam konteks sosio cultural, “Truth is not to be found inside the head of an individual person, it is born between people collectively searching for truth, in the process of their dialogic interaction” (Baktin, 1984: 110). Menurut penganut konstruktivisme sosial kebenaran tidak ditemukan di dalam otak, tetapi ada diantara orang-orang yang mencari kebenaran secara kolektif melalui proses dialog. Dengan kata lain pengetahuan itu tidak terletak di dalam kepala seseorang tetapi hasil kompromi banyak orang yang bersamasama mencari kesepakatan untuk suatu hal. 3.Standar Kompetensi Lulusan SMK Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang berlaku secara Nasional (www.BNSP.go.id). Kegunaan lain dari standar kompetensi adalah dapat digunakan sebagai dasar untuk: (a) menyusun uraian pekerjaan, (b) mengembangkan program pelatihan dan sumber daya manusia, (c) menilai unjuk kerja seseorang, (d) akreditasi profesi di tempat kerja (SKKNI, 2003). SKKNI juga dapat dijadikan acuan penyusunan program pelatihan kerja dan materi uji kompetensi (PP 21/ 2006). Setiap standar kompetensi mengandung kompetensi kunci, yaitu keterampilan umum sebagai kriteria ketercapaian unjuk kerja pada tingkatan kinerja yang dipersyaratkan pada suatu pekerjaan. Kompetensi kunci meliputi; (a) mengumpulkan, mengorganisir dan menganalisis informasi, (b) mengkomunikasikan ide-ide dan informasi, (c) 39 merencanakan dan mengorganisir kegiatan, (d) bekerja dengan orang lain dan kelompok, (e) menggunakan ide-ide dan teknik matematika, (f) memecahkan masarah, dan (g) menggunakan teknologi (SKKNI, 2003). PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasionar Pendidikan dalam BAB V pasal 25, standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 4. Competency-Based Assessment (CBA) Menurut Australia's National Training Framework (NTF), competency-based assessment didefinisikan; whether a person has the skills, knowledge and experience required to perform specific tasks in the workplace, or to gain credrt towards a vocational education and training qualiflcation or course. Assessment is based on industry determined competency standards. Sedangkan menurut Cumming & Maxwell (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penilaian di pendidikan kejuruan meliputi: (1) a strong curriculum base influencing assessment, (2) the incorporation of school-based assessment in all certification, (3) preference for standards-referenced assessment, ril respect for teacher judgement, (5) increasing vocational educatiin' delivery within schooling, (6) multiple pathways to future study and careers, (7) school-based assessment in the compulsory years of schooling, (8) moves towards outcomes-based frameworks, (9) issues relating to national benchmark data, and (10) equity issues. Beberapa kriteria penilaian kelas menurut Depdiknas, 2007, meliputi ; (a) validitas, (b) reliabilitas, (c) terfokus pada kompetensi, (d) komprehensif, (e) obyektif, dan (d) mendidik. Sedangkan teknik penilaian dapat dilakukan dengan cara; (a) penilaian unjuk kerja, (b) penilaian sikap, (c) penilaian tertulis, (d) penilaian proyek, (e) penilaian produk, (f) 40 penggunaan portoforio, dan (g) penilaian diri. Menurut Gonczi (1998), metode penilaian kompetensi dapat dirakukan dengan cara: (a) norm- referenced standards, (b) task-referenced standards, (c) criterionreferenced standards. Masih menurut Gonczi (1998) metode penilaian berbasis kompetensi antara lain ; (1) pencil and paper test, (2) multiple choice test, (3) written response test, (4) oral assessment, (5) performance assessment, (6) work-based assessment. Karakteristik kurikulum yang menerapkan pendekatan berbasis kompetensi (competency-based) penyusunan maupun dalam baik dalam pelaksanannya di perancangan lapangan, dan memiliki konsekuensi pada sistem penilaian yang digunakan. Terhadap kurikulum dan penyelenggaraan pembelajaran yang berbasis kompetensi, maka sistem penilaian hasil belajar yang digunakan pun harus model penilaian yang berbasis kompetensi atau dikenal sebagai Competency-based Assessment (CBA). 5. Uji Kompetensi dan Sertifikasi Kompetensi Sistem standarisasi kompetensi dan sertifikasi merupakan suatu alur dan atau mekanisme kerja dari berbagai komponen terkait yang terencana, terpadu, serasi, untuk menjamin bahwa kompetensi yang dihasilkan terstandar dan diakui oleh dunia kerja baik nasional maupun internasional. Mekanisme itu meliputi perumusan standar, penetapan standar, pengujian dan sertifikasi, akreditasi, pembinaan dan pengawasan standar kompetensi, serta kerjasama dan informasi. Dalam bagian ini hanya akan dituliskan proses sertifikasi dan akreditasi. 6. Work Based Learning Work Based Learning (WBL) atau Pembelajaran Berbasis Kerja telah menjadi ciri khas pendidikan kejuruan pada berbagai negara di 41 berbagai belahan bumi ini. Pengalaman di beberapa negara maju menunjukkan bahwa WBL mampu menjembatani kesenjangan transisi (transition) antara dunia pendidikan (education) dan dunia kerja (workforce) yang menjadi tantangan besar yang harus disikapi dan dicarikan pemecahannya (Sawchuk, 2010). Konsekuensi dari WBL bagi penyelenggara pendidikan kejuruan, dituntut untuk sadar (aware) dan memahami WBL mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi. Keterlibatan stakeholder (sekolah, dunia kerja dan penerintah) pendidikan kejuruan dalam mengelola pendidikan kejuruan yang menempatkan WBL sebagai model pembelajaran harus terus digali, dikembangkan dan dipelihara keberlangsungannya. Hambatan pelaksanaan WBL masih banyak diantaranya, perecanaan program pembalajaran sefihak dan belum melibatkan dunia kerja sehingga hasilnya tidak efektif dan fihak industri enggan menerima siswa/mahasiswa praktik. Pembimbing industri yang tidak serius dalam menangani siswa/mahasiswa praktik, kurangnya kontrol sekolah terhadap pelaksanaan magang (PSG atau PKL atau Praktik Industri) yang dikarenakan kurangnya dana, menjadi tantangan dalam implementasi WBL. Menurut Reg Revans dan Gregory Bateson dalam bukunya Raelin (2008) menjelaskan bahwa laju belajar harus sama dengan atau melebihi tingkat perubahan, belajar tidak hanya menciptakan tapi juga menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam pengetahuan. Tanpa pengetahuan baru atau yang disesuaikan, tidak mungkin untuk mengubah makna tindakan kita atau tindakan itu sendiri. Sayangnya, kita telah menjadi terkondisi untuk model kelas yang memisahkan teori dari praktek, yang membuat belajar tampaknya tidak praktis, relevan, dan membosankan. 42 Sedangkan Work Based Learning (WBL) adalah pelajaran atau program dimana kampus/sekolah dengan organisasi pekerjaan bersamasama menciptakan pengalaman pembelajaran dan peluang baru di tempat kerja (Boud, 2001). Untuk menjadikan belajar sebagai kebutuhan, maka pembelajaran harus berlangsung secara alamiah dan menyenangkan. Pemisahan teori dari praktik membuat pembelajaran terasa tidak relevan, tidak berguna, tidak berkmakna sehingga membosankan. WBL mengombinasikan antara analisis rasional, imajinasi dan intuisi yang bermanfaat dalam mengembangkan pemikiran. Bentuk program WBL di sekolah dapat berupa Unit Produksi, teaching factory, Program Inplementasi Karir, Program Penegenalan Karir, Perusahaan sekolah (hotel, rumah makan), Koperasi Sekolah dan Bank di sekolah serta program magang (PSG/PKL). 6. Teaching Factory Unit Produksi dan Jasa (UPJ) merupakan suatu sarana pembelajaran dan berwirausaha bagi siswa dan guru serta memberi dukungan operasional sekolah. UP yang diharapkan berkembang menjadi unit usaha yang maju secara professional dan ekonomis tidak pernah terjadi. Hasil yang paling baik UP mensejahterakan guru dan karyawan tetapi tidak menjadi unit usaha yang bisa memberi peluang untuk mendidikan kompetensi siswa. Gagalnya UP untuk berkembang menjadi unit usaha yang besar karena budaya pegawai negeri dan budaya kewirausahaan tidak kompatibel. Suatu sangat sulit untuk mengubah kebiasaan guru menjadi kebiasaan seorang pengusaha. Konsep teaching factory ditawarkan untuk mengatasi kelemahan pelaksanaan UP. Teaching factory dilaksanakan di luar unit sekolah tetapi sangat dekat dengan institusi sekolah termasuk lokasi dan bidang usahanya disesuaikan dengan program dan kompetensi keahlian yang 43 dilaksanakan oleh sekolah tersebut. Teaching factory dikelola oleh seorang pengusaha professional dan sebagian karyawannya diambil dari siswasiswa SMK tersebut. Diharapkan teaching factory ini berfungsi sebagai tempat pembelajaran kompetensi yang sesuai dengan bidang dunia kerja, seperti konsep Work-based learning yang ditawarkan oleh Raelin (2008: 81), sebagai berikut: Work-based learning as framework to bring together a number of otherwise disparate learning processes, each of which has its own justification as a basis for learning within work. By integrating these processes, we gather insight into the dynamic interplay of forces that can impede or facilatate learning in the workplace. Dari penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa pembelajaran berbasis pekerjaan adalah kerangka yang berfungsi untuk menyelaraskan proses pembelajaran yang dipertimbangkan sebagai dasar untuk bekal menangani pekerjaan. Pada proses pengintegrasiannya dapat saling mempengaruhi secara dinamis untuk memudahkan pembelajaran seperti kondisi di tempat kerja. Teaching factory optimalisasi pemanfaatan mengembangkan sumber daya merupakan salah satu sekolah. SMK BI wajib teaching factory sebagai salah satu tolok ukur pencapaian profil sekolah bertaraf internasioal (Direktorat Pembinaan SMK, 2007: 1). 7. Pendidikan Kejuruan Berbagai Bidang Keahlian a. SMK program keahlian Teknik Mesin Model uji kompetensi bagi siswa SMK program keahlian Teknik Mesin yang saat berlaku ada tiga macam, yaitu (a) model project work yang dirakukan oleh SMK dengan meribatkan dunia usaha dunia industri, (b) model uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga independen seperti LSP/BNSP, dan (c) model uji kompetensi yang dirakukan oleh SMK terhadap SMK yang lain. 44 Menurut Gonczi (1998 : 222) to reform vocationa/education and training within a national competency standards framework cannot succeed without a change in thinking about assessment methods. Masih menurut Gonczi (1998 : 222) the conceptualisation of competence requires a holistic approach whlch integrates knowledge and ski/ls with realistic workplace practices. b. Program Keahlian Tata Boga Boyett & Boyett (1985 : 85) memaknai pengetahuan sebagai pengetahuan tentang mengapa sesuatu itu bekerja. Dengan kata lain, pengetahuan berkaitan erat dengan prinsip kerja sesuatu. Pengetahuan prinsip kerja berkaitan langsung dengan apa, mengapa, dan bagaimana mengerjakan sesuatu. Boyett & Boyett memaknai keterampilan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat sesuatu terjadi. Ini berarti kemampuan membuat sesuatu terjadi perlu didukung oleh pengetahuan yang bersifat prosedural. Dengan demikian pengetahuan dalam konteks praktik kejuruan mencakup pengetahuan tentang prinsip kerja dan prosedur kerja. Pengetahuan prosedural menurut Ratna Wilis Dahar (1989 : 61); Anderson & Krathwohl (2001 : 52) adalah pengetahuan tentang melakukan sesuatu. Ini berarti pengetahuan dalam pengertian ini bersifat dinamis, karena ia berkaitan dengan langkahlangkah kerja. Nordhaug (1998 : 8-19) mengatakan bahwa pengetahuan yang terkait dengan kompetensi mencakup pengetahuan tentang metode, proses dan teknik melakukan suatu kegiatan. Ini berarti pengetahuan prosedural selain bersifat dinamis juga bersifat praktis. Dalam konteks penelitian ini, yang menjadi objek kajian adalah pengetahuan tentang Food & Product yang bersifat praktis. Secara umum yang dimaksud dengan pengetahuan Food & Product adalah pengetahuan tentang mengolah, menata, dan menyajikan makanan di Industri Jasa 45 Boga. Dengan demikian kemampuan pengetahuan Food & Product mencakup pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan langkah-langkah (prosedur) mengolah bahan makanan untuk menghasilkan makanan siap saji. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada praktik. c. Program Keahlian TIK/Teknik Komputer dan Jaringan Salah satu program yang terdapat dalam program keahlian TIK adalah Jaringan komputer. Jaringan komputer yaitu suatu kumpulan komputer otonom yang saling berhubungan satu sama lain dan bertukar informasi menggunakan protocol komunikasi sehingga dapat berbagi data, informasi, program aplikasi dan perangkat keras seperti printer, scanner, CD-Drive ataupun harddisk serta memungkinkan untuk saling berkomunikasi secara elektronik (Dharma Oetomo, 2003:7). Jaringan komputer bisa disebut juga dengan network. Dua buah komputer dikatakan membentuk suatu network bila keduanya dapat saling bertukar informasi. d. Program Keahlian Keperawatan Program DIII keperawatan, mengembangkan kompetensi peserta didik yang meliputi 29 macam. 1) Menerapkan konsep, prinsip etika keperawatan dan komunikasi dalam praktek keperawatan professional, 2) Menerapkan pendekatan proses keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan dengan berpikir kritis 3) Mengkonsultasikan penanganan pasien terhadap tim kesehatan lain 4) Melaksanakan tindakan pengobatan sebagai hasil kolaborasi 5) Melaksanakan tindakan diagnostik dan tindakan khusus sebagai hasil kolaborasi 6) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen 7) Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan darah 8) Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kebutuhan nutrisi 9. Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan 46 pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal 10) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman 11)Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilisasi dan transportasi 12) Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan istirahat dan tidut 13) melaksanakan asuhan keperawatan pqada pasien terminal 14) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal 15) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien pre dan post operasi 16) Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat 17)melaksanakan asuhan keperawatan pada anak sehat 18) Melaksanakan asuhan keperawatan keperawatan pada pada bayi anak resiko sakit 19) Melaksanakan asuhan tinggi, 20) Melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu hamil normal dan komplikasi 21) melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu intrnatal dan bayi baru lahir 22) Melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu post partum normal dan komplikasi 23) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah kesehatan reproduksi 24) Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial 25). Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien ganggusan jiwa 26) Melaksanakan asuhan keperawatan komunitas 27) Melaksanakan asuhan keperawatan pada kelompok khusus (anak sekolah, pekerja, lansia) 28) melaksanakan asuhan keperawatan pada keluarga dan 29) berperan serta dalam penelitian dan pengembangan keperawatan. 8. Pertanyaan Penelitian a. Bagaimanakah kerangka dasar dari pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi? b. Bagaimanakah proses dan prosedur pengembangan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi? 47 c. Bagaimanakah pembelajaran pada pendidikan berbasis kompetensi? d. Bagaimanakah penilaian pencapaian kompetensi peserta didik pada pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi? e. Bagaimanakah proses dan prosedur uji kompetensi pada pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi? 48 IV. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian merupakan penelitian pengembangan (Research and Development). Penelitian dan pengembangan merupakan penelitian yang komplek, karena melibatkan berbagai metode dan jenis penelitian. Richey dan Klein (2007:41) menyatakan bahwa “because so many methods are typically used, design and development research tends to be complex. Often the methods used span both qualitative and quantitative strategies”. Karena kerumitan dan kekomplekan permasalahan dan kegiatan dalam penelitian pengembangan maka digunakan pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan umum penelitian yaitu untuk menghasilkan model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang kejuruan. Borg & Gall (1983:772) menyatakan “Educational research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products”. B. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian Payung untuk tahap II untuk mengamati praksis pembelajaran berbasis kompetensi di SMK dan dilakukan di SMK Negeri Pandak. SMKN Pandak Bantul adalah SMK dengan spektrum produksi pertanian sebagai representasi kelompok keahlian pertanian. Sedangkan penelitian mahasiswa dilakukan di Malang, Semarang, dan Jakarta. a. Penelitian tentang praksis pembelajaran berbasis kompetensi bidang Produksi Pertanian dilakukan di SMKN Pandak Bantul b. Penelitian tentang Pengembangan Kurikulum untuk Penyiapan Kompetensi Program Tata Boga dilakukan di Hotel-Hotel di Jakarta dan beberapa hotel di Yogyajarta. 49 c. Penelitian tentang Pengembangan Model Uji Kompetensi dan Sertifikasi Keahlian Siswa SMK Kompetensi Keahlian Teknik Pemesinan dilakukan di SMK St Michael. d. Penelitian tentang Sertifikasi Teknik Jaringan dan Komputer di Malang Jawa Timur. C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Pengumpulan untuk penelitian pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi digunakan teknik wawancara dengan bantuan pedoman wawancara dan observasi. Secara umum, ketiga teknik tersebut (angket, observasi dan dokumentasi) digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi. Instrumen pengumpulan data digunakan: (a) angket, (b) check list untuk observasi. Untuk melengkapi data dan untuk mengungkap data yang bersifat kualitatif menggunakan wawancara. D. Desain Penelitian 1. Pengembangan Model Pada tahun pertama penelitian telah berhasil merumuskan model konseptual Pendidikan Berbasis Kompetensi bidang kejuruan. Kemudian pada tahap kedua ini memalidasi model konseptual yang telah dirumuskan. a. Mengembangkan rumusan awal (desain) tentang model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi dan disempurnakan dengan teori melalui kajian pustaka. b. Pengumpulan data dalam langkah pengembangan ini dilakukan melalui teknik angket dan dianalisis secara deskriptif. Dengan demikian penelitian pada langkah ini menggunakan pendekatan kualitatif. 50 c. Hasil yang dicapai dalam tahap ini adalah deskripsi desain model konseptual, yang akan diujicoba pada tahap validasi. 2. Validasi Model Model konseptual ini perlu mendapatkan validasi pada ahli dan praktisi melalui focus group discussion (FGD) untuk mendapatkan kesepakatan para ahli. E. Teknik Analisis Data Pada tahap studi pendahuluan dan pengembangan, temuan atau fakta-fakta tentang kurikulum, teaching factory, dan uji kompetensi, dideskripsikan dalam bentuk sajian data (mean, median, modus dsb), kemudian dianalisis dan dideskripsikan. Pada tahap validasi model, pendekatan analisis yang digunakan adalah deskriptif dalam bentuk sajian data; demikian juga dalam ukuran keterterapan model (applicability) dan dampak penerapan model dianalisis secara deskriptif kualitatif. 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dijelaskan hasil penelitian pada tahap ini, akan dimulai dari penelitian terkait dengan penelitian Model Hipotetik Pendidikan Berbasis Kompetensi bidang Vokasi, dan penelitian lain yang merupakan rangkaian kegiatan lain dalam bentuk penelitian sub model. A. MODEL HIPOTETIK PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI BIDANG VOKASI/KEJURUAN (PENELITIAN PAYUNG) Model konseptual yang sudah berhasil dirumuskan pada tahun pertama kemudian divalidasi melalui Forum Group Discussion (FGD). Model hipotetik dari penelitian payung akan menjadi acuan penelitianpenelitian mahasiswa. Rambu-rambu dan ruang lingkup pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi untuk menjadi acuan semua penelitian sub model. Ada perubahan pada aspek pembelajaran berbasis kompetensi menurut hasil penelitian payung dan penelitian mahasiswa S2 tentang Pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi di SMK seperti gambar. 52 SKL (BSNP) Kurikulum Berbasis Kompetensi DACUM Task analysis Need Assessment Standar Kompetensi Competency Based Teaching and Learning CompetencyAssessment MODEL SERTIFIKASI KOMPETENSI (1) Performonce Assessment, (2) Porfolio Assessment, (3) Self Assessment, (4) Peer Assessment. Kognitivistik: penguatan sensori;Konstruktivistik : discovery, Inquiry; metode project work Competency Based Education & Training SKL = Standar Kompetensi Lulusan (yg diharapkan) MODEL UJI KOMPETENSI OUTCOME Kesesuaian Kompetensi (1) Berharga (2) Diakui secara luas (3) Berguna OUTPUT Memenuhi Standar Kompetensi Dunia Kerja (1) Tenaga Kerja Produktif (2) Sukses Karir (3) Berhasil di masyarakat (4) Bermanfaat bagi bangsa Gambar 5. Model Hipotetik PBK 52 B. PRAKSIS PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI PADA SMK 1. Tahap-Tahap Pembelajaran Tahap awal pembelajaran berbasis kompetensi menunjukkan pembelajaran yang berdasarkan prinsip kognitivistik genre pengolahan informasi. Termasuk dalam hal ini penggunaan audio visual dapat mempercepat proses sensor informasi. Guru menyiapkan peserta didik secara mental untuk mamaksimalkan kepekaan proses sensorinya. 2. Strategi Pembelajaran Guru menerapkan belajar aktif dan guru mampu mengaktifkan peserta didik secara fisik maupun mental. Strategi discovery dan inquiry juga telah diimplementasi dalam tahap penguasaan kompetensi. Strategi discovery dan inquiry termasuk dalam genre teori belajar dengan prinsip konstruktivistik. 3. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran yang diimplementasikan pada pembelajaran di kelas oleh guru-guru yang menjadi subjek adalah: ceramah, diskusi, pemberian tugas, pemecahan masalah dan project work, dan presentasi. Audio visual berupa film juga digunakan oleh dua guru. Sebelum kegiatan diskusi terlebih dahulu diputarkan sebuah film yang berhubungan dengan topik yang sedang dibahas. Setelah selesai menyaksikan film, siswa dibagi dalam kelompokkelompok untuk mendiskusikan apa yang telah disaksikan peserta didik. C. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PBK Hasil dicapai pada tahun ke 2 adalah berupa: (a) Instrumen analisis kebituhan kompetensi yang sudah divalidasi oleh dunia industri pariwisata, (b) Instrumen analisis kebutuhan untuk pengembangan kurikulum yang sudah divalidasi oleh pakar kurikulum. Instrumen ini untuk memalidasi model konseptual menjadi model hipotetik. D. MODEL UJI KOMPETENSI Penelitian terkait dengan model uji kompetensi telah dilaksanakan di SMKN 2 Wonogiri, SMKN 2 Surakarta, SMKN 1 Adiwena Tegal, SMKN 1 Semarang, SMK St Mikael Surakarta, dan SMK Warga Surakarta, SMK Ganeshatama Boyolali, SMK BK 2 Simo Boyolali, dan SMKN 2 Surakarta. 53 E. MODEL HIPOTETIK STANDARISASI DAN SERTIFIKASI Sertifikasi kompetensi SMK sebagaimana dalam gambar 1 tersebut dapat juga dijelaskan bahwa sertifikasi merupakan suatu sistem dengan proses sebagai berikut: (1) BSNP menentukan standar pendidikan SMK (kurikulum, proses, isi, evaluasi dan lainnya); (2) BNSP menentukan standar kompetensi produktif siswa SMK. Kedua lembaga tersebut menghasilkan profil lulusan SMK yang kompeten untuk bekerja di dunia usaha dan industri, bekerja mandiri (wiraswasta) dan melanjutkan studi; (3) profil lulusan SMK dijabarkan dalam kurikulum SMK yang komprehensif; (4) proses pembelajaran di SMK merupakan penjabaran dari kurikulum, makin tinggi kelasnya makin banyak praktik di dunia industri/kerja; (5) setelah belajar selama tiga tahun masa studi, siswa mengikuti ujian sekolah dan ujian nasional untuk mata pelajaran tertentu; (6) siswa yang lulus ujian mendapatkan ijasah dan yang tidak lulus UN diberi kesempatan mengikuti ujian ulang, sedangkan yang tidak lulus ujian sekolah maka siswa kembali mengulang di kelas tiga; 54 Gambar 6. Sistem Standarisasi & Sertifikasi Kompetensi (7) siswa yang telah lulus dapat mendaftar untuk mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh LSP; (8) siswa yang lulus mendapatkan sertifikat kompetensi, sementara yang gagal dapat mengikuti remedial untuk mengikuti tes ulang kompetensi; dan (9) stakeholders (dunia kerja atau masyarakat) merupakan muara akhir yang bersifat sementara untuk memsuki dunia kerja, karena setelah bekerja siswa juga dapat meningkatkan kompetensinya dengan melanjutkan kembali ke perguruan tinggi vokasional. Model konseptual uji kompetensi yang akan dikembangkan adalah modifikasi dalam proses standardisasi dan sertifikasi kompetensi, yaitu dengan mengintegrasikan uji kompetensi kognitif dan uji kompetensi psikomotorik pada proses standardisasi dan sertifikasi kompetensi, khususnya uji kompetensi dan sertifikasi jaringan komputer siswa, sebagaimana terlihat pada gambar 2. 55 Gambar 7. Model Hipotetik Keberhasilan uji kompetensi dan sertifikasi jaringan komputer siswa SMK Program Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan ditentukan oleh kualitas pembelajaran dengan menerapkan pendekatan competency-based training, kualitas praktek industri menerapkan work-based learning dan kualitas implementasi kegiatan Unit Produksi dan Jasa, yaitu kompentensi keahlian produktif dimiliki oleh siswa yang dapat diakui oleh Du/Di dan dapat terlaksana dengan biaya murah sesuai dengan tujuan penyelenggaraan sekolah kejuruan. Harapannya model uji kompetensi dan sertifikasi jaringan komputer ini, akan dikembangkan mengarah pada pengembangan kerangka berfikir kompentensi keahlian produktif. VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dijelaskan di depan dapat disimpulkan sebagai berikut. 56 1. Kerangka dasar dari pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi terdiri dari komponen: pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah, pendekatan pembelajaran, pendekatan penilaian pencapaian kompetensi, dan uji kompetensi dan sertidikasi. 2. Prosedur pengembangan kurikulum implementatif pada institusi pendidikan mengikuti prosedur sebagai berikut. Standar kompetensi dari pemerintah BNSP dan SKKNI di sinkronkan. Hasil dari penyesuaian kemudian standar kompetensi ini divalidasi oleh pihak industri sebagai users, melalui Focus Group Discussion (FGD) sehingga menghasilkan kurikulum berbasis kompetensi (Competency Based Curriculum) yang bisa diakui oleh pihak dunia kerja. 3. Penelitian tentang pembelajaran pada teaching factory pada SMK RSBI menunjukkan bahwa teaching factory belum mampu mengoptimalkan perannya dalam pembentukan kompetensi lulusan. Oleh karena itu masih perlu penelitian lain yang mampu mengungkap model pembelajaran pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi untuk mengembangkan model pembelajaran berbasis kompetensi. 4. Model uji kompetensi secara konseptual sudah bisa digambarkan, yang terdiri dari beberapa substansi sebagai berikut. Komponen model terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, dan sistem pelaporan. Untuk komponen proses ada tiga bentuk model uji kompetensi dan sertidikasi yaitu model Prakerin dan PSG, model Proyek Tugas Akhir, dan model Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). B. SARAN-SARAN 1. Pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi perlu dilakukan untuk menyediakan acuan dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran, penilaian pencapaian kompetensi, dan uji kompetensi dan sertifikasi. 2. Teaching factory merupakan harapan baru terlaksananya pendidikan berbasis kompetensi bidang vokasi tetapi pelaksanaannya belum efektif. Perlu ada upaya peningkatan efektivitasnya dengan mengelola dengan baik sesuai dengan tujuan yang hakiki dari teaching factory. 57 3. Model uji kompetensi dan sertifikasi yang sekarang sudah berlangsung ada beberapa bentuk. Perlu dikembangkan model uji kompetensi dan sertifikasi yang efektif dan efisien untuk membangun infra struktur pelaksaan pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi. C. RENCANA/PENELITIAN TAHAP SELANJUTNYA 1. Tujuan Khusus a. Melanjutkan penelitian pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi bidang kejuruan dengan memalidasi model konseptualnya. b. Memvalidasi prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi. Melanjutkan penelitian sub model yaitu pengembangan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi Tata Boga dengan validasi model (Disertasi Rina Febriana). c. Penelitian payung model pembelajaran pendidikan berbasis kompetensi bidang vokasi, melalui penelitian kualitatif naturalistik untuk mengeksplorasi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan pada SMK. (Tesis) d. Penelitian model penilaian pencapaian kompetensi dan penelitian sub model penilaian pencapaian standar kompetensi pada pendidikan berbasis kompetensi untuk bidang vokasi (Disertasi Catur Budi Susilo). e. Penelitian model uji kompetensi dan sertifikasi dan penelitian sub model tentang uji kompetensi dan sertifikasi pada bidang Teknik Permesinan dan Teknik Komunikasi dan Infomasi (Disertasi Aris Budiyono dan Hary Suswanto). 2. Metode a. Secara umum penelitian ini akan menggunakan pendekatan campuran antara kuantitatif dan kualitatif dalam kerangka penelitian dan pengembangan (R & D). b. Penelitian kualitatif untuk mengeksplorasi implementasi pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan pada konteks bidang keahlian agro industri di SMK. 58 3. Hasil Penelitian dan Rencana Selanjutnya Tahun ke Ruang Lingkup Penelitian Luaran Tahun ke I Tahun II Tahap Pengembangan Tahun III Diseminasi dan Publikasii Model hipotetik Pendidikan Berbasis Kompetensi Bidang vokasi yang meliputi: model pengembangan kurikulum, model pembelajaran, model asesmen pembelajaran PBK, model uji kompetensi, model sertifikasi kompetensi. Diseminasi model pengembangan pendidikan kompetensi dan publikasi Lulus satu Tesis (cumlade): artikel di Jurnal Terakreditasi (Cakrawala Pendidikan Edisi Juni 2012). Model Hipotetik Pengembangan Kurikulum PBK (Disertasi) Model Hipotetik Uji Kompetensi (Disertasi) Model Hipotetik Sertifikasi (Disertasi) Uji efektivitas model dan deseminasi model: pengembangan kurikulum, asesmen PBK, uji kompetensi, dan sertifikasi. Publikasi pada jurnal nasional terakreditasi dan atau internasional Draf buku Pendidikan Berbasis Kompetensi Bidang Kejuruan Hasil akhir diperolehnya model pendidikan kompetensi pada bidang kejuruan yang meliputi (1) Kurikulum dan Perangkat Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2) Pembelajaran berbasis kompetensi (3) asesmen pembelajaran berbasis kompetensi, dan (4) Uji kompetensi dan sertifikasi beserta perangkat implementasinya 59 DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W., & Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, teaching and assesing : a revision of Blooms’s Taxonomy of Educational Objectives . New York : Addison Wesley Longman, Inc. Australian Council for Educational Research (2005). The Potential Impact of Competency Based Approaches on Literacy Education. Diambil pada tanggal 8 Februari 2005, dari http://www.gu.edu.au/school/cls/clearinghouse/1995com/content12.html Beyer, B. K. (1987). Practical strategies for the teaching of thinking skills. Boston: Allyn & Bacon, Inc. Borg, W. R., & Gall, M. D. (1983). Educational Research : an Introduction. New York : Longman Inc. Boyett, J.H., & Boyett, J. T. (1998). The Teacher Guide : The Best Ideas of the Top Management Thinkers. Toronto : Jhon Wiley & Sons, Inc. Buku panduan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi Pendidikan tinggi (Sebuah alternatif penyusunan kurikulum) Sub Direktorat KPS (Kurikulum dan Program Studi) Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta 2008. Culver, S. M (1986). Pestalozzi’s influence on manual training in nineteenth century. Journal of Vocational and Technical Education. 2(2), 37- 43. Cumming, Joy J. & Maxwell, Graham S. (2004). Assessment ln Education: Principles, Policy and Practice. Griffith University, Queensland, Australia. Depdikbud. (1997). Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0490/ 1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan. Depdikbud. (1999). Memahami Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 1999: Berpendekatan Competency Based dan Broad Based. Jakarta: BPP Dikdasmen. Depdiknas (2004) Pelayanan Profesional Kurikulum KBK, Jakarta Depdiknas, Sistem Standardisasi Kompetensi dan Sertifikasi. 2005. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan menengah Direktorat Pembinaan SMK. Depdiknas. (2004). Kurikulum SMK Edlsi 2004 Depdiknas. (2004). Kurukulum SMK edisi 2004. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah dan Kejuruan. Depdiknas. (2004). Pedoman Pe/aksanaan Penilaian Hasil Peserta Didlk SMK. Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesla Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP. Depdiknas. 2004. Kurikulum SMK edisi 2004, bagian 2, Pedoman Pelaksanaan Penilaian Hasil Eelajar Peerta Diklat SMK. Depdiknas. 2007. Model Penilaian Kelas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMK. Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP. Depdiknas.(2003). Undang-undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. 60 Depnaker. (2004). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 TAHUN 2004 Tentang Badan Naslonal Sertrfikasi Profesi /BNSP. Depnaker. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Dewey, J. (1977). Experience and education (20 th printing). NY: McMillan Collier Books. Direktorat Dikmenjur (2001). Reposisi Pendididikan Kejuruan Menjelang 2020. Depdiknas, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenjur. Direktorat PSMK. (10 Mei 2008). Kewirausahaan dalam kurikulam SMK. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Wirausaha Kuliner, di Jurusan Teknologi Industri , Fakultas Teknik , Universitas Negeri Malang. Forgas, J, P. (1985). Interpersonal Behavior: The Psychology of social interaction. New South Wales: Pergamon Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum Development in Vocational and Technical Education : Planning, Content and Implementation. Boston, Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc. Freire, P. (1973). Pedagogy of the oppressed. Translated by Myra Bergman Ramos. New York: The Seabury Press. Gonczi, A., (1998). Developing a competent workforce: Adult training strategies for vocational educators and trainers. Leadbrook SA: National Centre for Vocational Education Research Ltd. Goleman, D. (1998). Working with Emotinal Intellegence. Dimuat dalam http://www.eiconsortium.org/research/emotinal_competence_framework.htm . Hager, P., Garrick, J., Crowley, S., et al. (2003). Generic Competencies and Work Place Reform. Diambil pada tanggal 19 Juni 2005, dari http://www.uts.au/fac/edu/revet/working%20papers/OWP03%2001Hager%20 doc.pdf Harris, R., Gutrie, H., Hobbart, B., et al. (1995). Competency-Based Education and Training : between a rock and whirpool. Melbourne : Mac Millan Education Australia. Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action. World Conference on Higher Education.UNESCO, Paris, 5-9 October 1998. Hoffman, T. (1999). The Meaning of Competency. Diambil pada tanggal 15 Agustus 2005, dari http://www.emerald-library.com http://bksp-jateng.or.id, 17 Juni 2010, 15:38) Husein Umar. (2005). Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Imam Barnadib (1990). Filsafat Pendidikan: Sistem dan metode. Yogyakarta: Andi Offset. Miller, M. D. (1985). Principles and philosophy for vocational education. Columbus, OH: The Ohio State University, The National Center for Research in Vocational Education. Moore, D. R., Cheng, M. I., & Danty, A. R. J. (2002). Competence, Competency, and Competencies : Performance Assesment in Organizations. Work Study, 51 (6), 314-316. 61 Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within, 1996. Report to UNESCO of the International Comission on Education for the Twenty-first Century. UNESCO Publishing/The Australian National Commission for UNESCO. 266 hal. The National Center for Research in Vocational Education (NCRVE) (1980). Develop Local Plan for Vocational Education, Part 1: A Competency-Based Vocational Education Administrator Module. The Ohio State University, 1960 Kenny Road. Nordhaug, O. (1998). Competence Specificities in Organization. International Studies of management and Organization, 28 (1), 8-19. Ozmon, H. A., & Craver, S. M. (1986). Philosophical foundations of education (3rd ed.). OH: Merill Publishing Company. Pardjono (2001). Mencari Asas Pijakan Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi. Cakrawala Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Raelin, J.A. (2008). Work-based learning. San Francisco: Jossey Bass. Ratna Wilis Dahar. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta : P2LPTK Dikti Depdikbud. Richey, R.C. & Klein, J.D. (2007). Design and Development Research. New York: Routledge. Slamet PH. (2001). Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep dasar. Jurnal Pendidikan & Kebudayaan. Jakarta. Spencer, Lyle M., and Spencer, Singe M. (1993). Competence at work: models for superior performance. New York: John Wiley & Sons, Inc. Stanley, G. (1993). The Psychology of Competency-Based Education. Canberra : Australian Colleges of Education. Tim BBE Depdiknas. (2002a). Konsep Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education; Buku I. Jakarta: Tim BBE. Tim BBE Depdiknas. (2002b). Pola Pelaksanaan Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup: Melalui Broad Based Education; Buku II. Jakarta: Tim BBE. Wenrich, R. C. (1974). Leadership in Administration of Vocational Education. Columbus, Ohio : Charles E. Merrill Pub. Co. Zais, R. S. (1976). Curriculum: Principles and foundations. New York: Harper and Row Publisher. 62