- Lumbung Pustaka UNY

advertisement
PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI BIDANG
VOKASI/KEJURUAN
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kajian kurikulum SMK tahun 1994 merekomendasikan perlunya
penyempurnaan konsep dasar kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK)
dan selanjutnya dilaksanakan dengan taat asas. Kurikulum SMK harus
mampu mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi berbagai
persaingan sejagad dan perubahan masyarakat pada saat yang akan
datang.
Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK) sudah lama diterapkan di
Indonesia baik di sekolah umum (SD-SMP-SMA) maupun sekolah kejuruan
(SMK) dan bahkan di perguruan tinggi. Untuk sekolah kejuruan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) telah diterapkan sejak tahun 1998, meskipun
Standar Kompetensinya belum dikembangkan sehingga implementasinya
belum efektif.
Pada tahun 2002 kebijakan penerapan KBK diperluas tidak hanya
untuk SMK, tetapi juga untuk SD, SMP, dan SMA. Karena orientasi lulusan
antara SMK dan sekolah umum berbeda maka terjadi banyak mikonsepti
dalam penerapannya. Sementara standar kompetensi yang digunakan
pada
sekolah
berbeda-beda.
SMK
menggunakan
standar
yang
dikembangkan oleh Kementerian Tenaga Kerja, sementara sekolah umum
menggunakan standar yang dikembangkan oleh Badan Standarisasi
Nasional Pendidikan (BSNP). Kebingungan banyak dialami oleh guru-guru
SMK dalam menerapkan KBK lebih-lebih setelah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) diberlakukan.
Saat ini pendidikan kejuruan mengalami perubahan orientasi
kompetensi lulusan (SKL). Kalau dulu sebelum tahun 2008 SMK bertujuan
menyiapkan peserta didik untuk terjun kedunia kerja setelah lulus. Namun
1
sekarang ini lulusan SMK harus memiliki tiga kemampuan yang berbeda,
yaitu terjun ke dunia kerja, tetapi bila tidak bekerja mereka harus siap
melanjutkan sekolah, atau berwirausaha. Dengan adanya tiga kompetensi
dari lulusan sekolah kejuruan ini maka perlu upaya perubahan konsep dari
dasar filosofi, pengembangan kurikulum, dan pembelajarannya agar
mampu memenuhi ketiga tuntutan tersebut.
Kebijakan lain yang juga berimplikasi pada perlunya perumusan
reorientasi pendidikan kejuruan adalah kebijakan tentang peningkatan
jumlah SMK menjadi 70% dibandingkan SMA yang hanya 30%. Kebijakan
ini mengandung konsekuensi derivatif yang besar, misalnya pada
anggaran sekolah kejuruan yang menjadi sangat besar. Sementara
kemampuan negara dalam menyediakan anggaran terbatas. Oleh karena
itu sekolah kejuruan tidak hanya memerlukan perubahan tingkat praktis di
lapangan tetapi pada tingkat paradigma. Perubahan paradigma memiliki
arti perubahan mendasar yaitu meliputi dasar konseptual dan filosofi dari
pendidikan kejuruan.
Banyak hal yang mendorong para ahli dan praktisi pendidikan untuk
memikirkan mereorientasikan pendidikan kejuruan yang dilatarbelakangi
beberapa hal yang dijelaskan di sebelumnya. Tampaknya diperlukan
perubahan yang menyeluruh dan mendasar atau perubahan paradigma
terkait dengan pendidikan kejuruan yang nantinya akan menjadi dasar
pengembangan kurikulum dan pembelajaran di sekolah kejuruan. Saat ini
pendidikan harus lebih difokuskan pada outcome based bukan hanya
output
based.
Pendidikan
berbasis
kompetensi
yang
lebih
pada
outputbased education harus diwarnai lain menjadi outcome based
education. Dengan demikian penelitian ini menjadi jawaban yang tepat
untuk merumuskan model pendidikan berbasis kompetensi untuk bidang
vokasi atau kejuruan.
2
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
1. Permasahan Filosofi Pendidikan Kejuruan.
Pendidikan pada dasarnya memiliki dua misi, yaitu mendidik
peserta didik untuk menghadapi kehidupan di masyatakat dan mendidik
peserta didik untuk mampu mencari kahidupan agar dapat bertahan
hidup. Perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah kejuruan hanya
berbeda pada penekanan terkait dengan misi tersebut. Pendidikan umum
mempersiapkan peserta didik untuk berkembangan secara akademik
secara vertikal. Konsekuensinya sekolah umum harus mengembangkan
kemampuan
peserta
didik
secara
akademik
sebagai
dasar
untuk
melanjutkan sekolah. Di sisi lain sekolah kejuruan menyiapkan peserta
didik untuk bekerja menjadi orang produktif.
Perbedaan misi dari kedua jenis sekolah ini berimplikasi pada
perbedaan penekanan yang akan ditunjukkan pada isi kurikulumnya. Di
samping perbedaan ini, kedua jenis sekolah juga memiliki persamaan,
yaitu sama-sama menyiapkan peserta didik untuk menghadapi kehidupan
dan mencari kehidupan. Sehingga kurikulum sekolah kejuruan disamping
harus menyiapkan peserta didik agar mampu bekerja setelah lulus, juga
harus mampu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh.
Prinsip realisme mampu menjawab tantangan penyiapan tenaga
kerja terampil dan profesional melalu pendidikan yang terukur target
dengan sasarannya. Pendidikan berbasis kompetensi mampu menjawab
permasalahan ini. Landasan dasar pengembangan potensi peserta didik
secara utuh hanya bisa dilaksanakan bila prinsip idealisme juga bisa
diterapkan pada pembelajaran. Landasan inipun tidak cukup mampu
mengembangkan peserta didik menghadapi dunia yang berkembang pesat
sehingga sekolah harus menyiapkan peserta didik menjadi kreatif
sehingga asas progressivisme harus menjadi dasar pengembangan.
Faham progresivisme ini berkembangkan menjadi sosok yang lebih berani
3
untuk
melakukan
perubahan
dengan
kemunculan
faham
rekonstruksionisme yang mampu mengembangkan kreativitas peserta
didik. Namun, di negara-negara maju pendidikan berbasis kompetensi
dikritik
oleh
para
pembaharu
pendidikan
karena
dianggap
tidak
manusiawi. Sistem ini dianggap membentuk manusia seperti mesin, lepas
dari fitrah manusia dan kurang peduli pada pengembangan kecakapan
berpikir, berolah rasa dan seni, kurang mampu mengembangkan moral,
dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi. Pendidikan vokasi tidak
cukup hanya mengajarkan keterampilan teknik dan kejuruan tetapi harus
dikembalikan
kepada
prinsip
dasarnya,
yaitu
sebagai
upaya
mengembangkan manusia secara utuh. Hal ini akan menjadi dasar bahwa
pendidikan kejuruan menjadi outcome based education. Pertanyaan yang
muncul adalah sudahkan dikaji dan ditentukan asas pendidikan yang
mengakomodasi masalah ini?
2. Permasalahan Landasan Sosiologi dan Ketenegakerjaan
Tenaga kerja yang dihasilkan oleh sekolah kejuruan formal di
Indonesia tidak mampu diserap seluruhnya untuk menjadi tenaga kerja
produktif karena jumlah lapangan kerja yang terbatas. Sebaik apapun
lulusan sekolah karena terbatasnya jumlah lapangan kerja maka akan
menjadi penganggur. Dengan demikian perlu ada solusi secara simultan
dari dua arah, yaitu penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah dan
peningkatan kualitas pendidikan kejuruan dan vokasi.
BPS mencatat total jumlah pengangguran terbuka secara nasional
pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14% dari total
angkatan
kerja,
dan
dipastikan
bertambah
setiap
tahun.
Cara
mengatasinya antara lain dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
atas 6% agar bisa dibuka lapangan kerja baru untuk mengurangi
pengangguran.
4
Pengangguran
dianggap
sebagai
akibat
antara
lain
dari
ketidakcocokkan antara kemampuan lulusan sekolah dengan kemampuan
yang diperlukan oleh dunia kerja. Salah satu cara yang banyak dilakukan
oleh negara-negara maju untuk mengatasi hal ini adalah melalui sistem
pendidikan kejuruan yang berbasis kompetensi. Namun pendidikan
kejuruan
yang
berbasis
kompetensi
ini
dianggap
lebih
bersifat
outputbased bukan outcome based education. Artinya, keberhasilan siswa
dalam pendidikan harus terukur outputnya berupa pengetahuan, sikap,
dan
keterampilan.
Sedangkan
karakteristik
lain
yang
mendukung
keberhasilan lulusan sekolah dalam hidup di masyarakat, keberhasilan
pada karir, dan kemampuan mengikuti standar moral sering dilupakan
dalam proses pendidikan.
Di
Indonesia
pendidikan
berbasis
kompetensi
menemukan
mementumnya pada akhir tahun 1970 an dan awal 1980 an, karena
pemeritah menyediakan biaya yang cukup untuk melengkapi alat/mesin
dan menyediakan biaya praktik kejuruan. Namun saat ini sekolah kejuruan
disiapkan untuk menuju ke tiga tujuan yaitu bekerja, melanjutkan sekolah,
dan berwirausaha. Kebijakan ini berimplikasi pada pengurangan jumlah
jam produktif terutama praktik dan ditambah pada jumlah mata pelajaran
matematika, fisika, dan Bahasa Inggris.
3. Permasalahan Landasan Psikologis
Pengembangan
kurikulum
harus
dilandasi
dengan
landasan
psikologis yang telah banyak dikembangkan dalam bentuk berbagai teori
belajar. Ada tiga kelompok utama teori belajar yaitu behaviorisme,
kognitivisme,
and
konstruktivisme.
Kebijakan
pemerintah
untuk
memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) rupanya sesuai
dengan Kebijakan ini relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini
5
yang harus memacu ketertinggalannya dengan negara lain dari kondisi
tenaga kerjanya.
Teori behaviorisme juga disebut teori asosiasi yang terdiri dari tiga
teori
dalam
keluarga
teori
behavioristik,
yaitu
koneksionisme,
bahaviorisme, dan reinforcement (penguatan). Koneksionisme adalah teori
belajar yang berdasarkan pada koneksi dari berbagai elemen sistem syaraf
yang menyebabkan munculnya suatu tingkah-laku. Thorndike yang
mengembangkan teori ini dengan mengenalkan tiga macam hukum
belajar, yaitu hukum akibat, hukum kesiapan, dan hukum latihan
(exercise). Hukum akibat adalah “strengthening or weakening of a
connection based on the consequences brought about by the connection”.
Kuat
dan
lemahnya
koneksi
berdasarkan
pada
kosekuensi
yang
diakibatkan oleh koneksi itu. Selanjutnya adalah hukum kesiapan
(readiness) yaitu kecenderungan syarat bekerja atau melaksanakan agar
supaya koneksi dapat dilakukan. Selanjutnya adalah hukum latihan (law of
exercise). Hukum ini terkait dengan tingkah laku pengulangan dari koneksi
yang yakin dengan prinsip “practice makes perfect”.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja
Indonesia berada pada rangking di bawah Vietnam, Malaysia, dan
Singapura (HDI, 20003). Hasil penelitian ini harus dipakai sebagai motivasi
untuk
lebih serius memikirkan
kualitas.
Pendekatan
pembelajaran
merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja Indonesia. Melalui kurikulum yang berbasis kompetensi dunia
kerja maka relevansi kurikulum dan kebutuhan tenaga kerja bisa
ditingkatkan. Outcome based education dapat direalisasikan melalui
pendekatan
pembelajaran
yang
mendidikan,
memberdayakan,
dan
membelajarkan.
4. Permasalahan Penerapan Pendidikan Berbasia Kompetensi
6
Pendidikan berbasis
kompetensi di Indonesia dimulai sejak
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dikenalkan di SMK di Indonesia
sejak tahun 1998, meskipun pelaksanaannya masih belum efektif karena
standar kompetensi nasional masih belum dikembangkan secara nasional.
Tahun 2002 standar kompetensi nasional telah ditetapkan untuk beberapa
bidang keahlian dan mulai dipakai dasar pengembangan kurikulum di SMK
dan sejak itu penerapan kurikulum KBK lebih terarah. Namun begitu
karena banyak keterbatasan dalam pelaksanaannya, maka penerapan KBK
di SMK belum efektif.
Disebutkan dalam pasal 61 ayat 3 UU Sisdiknas bahwa, Sertifikat
Kompetensi diberikan sebagai pengakuan terhadap seseorang yang
dinyatakan kompeten untuk melakukan pekerjaan tertentu. Untuk
mendapatkan Sertifikat Kompetensi seseorang atau peserta diklat harus
menempuh ujian kompetensi. Pengujian kompetensi dapat dilakukan oleh
satuan pendidikan atau lembaga yang terakreditasi. Model akreditasi
lembaga uji kompetensi (LUK), juga perlu dikembangkan untuk menjamin
bahwa secara institusional LUK memiliki persyaratan dan kapasistas untuk
melakukan uji kompetensi. Agar dapat dijamin independensinya, di
negara-negara maju melibatkan asosiasi-asosiasi profesi yang relevan
dengan bidang kejuruannya.
Berkembangnya teknologi informasi dimulai dari ditemukannya
komputer
yang
mampu
meningkatkan
kapasitas
manusia.
Dalam
kehidupan manusia eksistensi teknologi informasi mampu mempercepat
proses
produksi,
layanan
jasa,
maupun
proses
numerasi
yang
mempercepat kamajuan teknologi di segala bidang kehidupan manusia.
Kemajuan teknologi informasi mempengaruhi struktur dunia kerja dan
menciptakan lapangan kerja baru meskipun ada yang berdampak pada
peenutupan lapangan kerja.
mengangkat
tingkat
Kemajuan juga berdampak pada semakin
kesejahteraan
masyarakat
sampai
melewati
7
kebutuhan fisiknya. Hal ini menciptakan lapangan kerja baru seperti pada
bidang pariwisata, hiburan dan kesehatan. Akselerasi perubahan dunia
kerja karena teknologi dan kehidupan masyarakat ini perlu upaya
penyiapan tenaga kerja yang berbasis dunia kerja pada segala bidang
pekerjaan atau kejuruan dan model-model pendidikan dan pelatihannya
perlu dikembangkan.
Pengembangan
model
pendidikan
yang
responsif
terhadap
kemajuan memerlukan konsep dasar, kurikulum, dan pembelajaran
kejuruan yang memiliki visi penyiapan tenaga kerja yang kompeten untuk
melakukan tugas di dunia kerja. Prinsip pendidikan yang mampu
merespon kebutuhan tenaga kerja yang kompeten ini bisa dipenuhi
dengan menerapkan bidang pendidikan berbasis kompetensi yang
diperlukan dunia kerja. Oleh kerena itu, relevansi antara dunia pendidikan
dengan dunia kerja menjadi sangat penting ketika merancang model
pendidikan kejuruan dan vokasi berbasis kompetensi. Bagaimana upaya
mendekatkan antara dunia pendidikan dan dunia kerja pada pendidikan
kejuruan?
Problematika mismatch antara demand dunia kerja dan supply dari
pendidikan diperkirakan terkait dengan perencanaan kurikulum yang
dirancang dengan dengan tidak memperhatikan prinsip pengembangan
kurikulum pendidikan kejuruan dan vokasi yang benar. Masih adanya
peluang kerja yang tidak terisi oleh lulusan pendidikan kejuruan dan
vokasi,
sementara
pengangguran
banyak,
juga
bisa
disebabkan
kompetensi yang dikembangkan di dunia pendidikan tidak sesuai dengan
kompetensi yang ada di lapangan kerja. Tumbuhnya peluang kerja yang
disebabkan oleh munculnya ipteks baru juga sering tidak bisa dipenuhi
oleh kualifikasi dan kesesuain keahlian dengan keahlian yang diperlukan.
Oleh karena itu model pendidikan berbasis kompetensi untuk berbagai
bidang kejuruan dan vokasi yang memenuhi prinsip-prinsip pendidikan
8
kejuruan dan mempunyai dasar teori dan konsep yang kuat perlu
dikembangkan. Pada kesempatan pengembangan model pendidikan
berbasis kompeten untuk pendidikan kejuruan dan vokasi akan difokuskan
pada kelompok teknologi manufaktur, teknologi informasi, pariwisata, dan
bidang pertanian.
Model
pendidikan
berbasis
kompetensi
memiliki
beberapa
komponen model yaitu dasar filosofi, komponen kurikulum, pembelajaran,
asesmen pembelajaran, uji kompetensi, dan sertifikasi. Filosofi pendidikan
kejuruan perlu dikaji dengan seksama dan ditetapkan sebagai acuan
dalam
pengembangan
kurikulum
dan
pembelajaran.
Model
pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan penting dalam
pendidikan berbasis kompetensi karena akan menentukan isi dan
kompetensi
lulusan
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
dunia
kerja.
Pembelajaran dalam pendidikan berbasis kompetensi memiliki karakteristik
yang spesifik oleh karena perlu dikembangkan model asesmen. Lulusan
pendidikan
kejuruan
yang
berbasis
kompetensi
memerlukan
uji
kompetensi untuk mengetahui apakah kompetensi lulusan memenuhi
standar dunia kerja atau belum. Model berikutnya adalah model sertifikasi.
Sertifikasi merupakan proses penghargaan terhadap apa yang telah
dicapai oleh siswa yang berupa sertifikat yang merupakan bukti
pengakuan tersebut.
9
II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Karena luasnya spektrum atau bidang kejuruan yang ada maka
pada penelitian hanya akan difokuskan pada lima bidang yang diharapkan
sudah mewakili bidang-bidang tersebut. Yaitu bidang Tata Boga yang
mewakili kelompok Pariwisata; bidang Keperawatan mewakili bidang
kesehatan, dan bidang mesin mewakili bidang manufaktur, teknologi
komputer yang mewakili bidang teknologi informasi dan bidanindustri
pertanian untuk mewakili bidang teknologi pertanian. Tujuan penelitian
tentang Model Pendidikan Berbasis Kompetensi untuk Bidang Kejuruan
selama tiga tahun dirumuskan sebagai berikut.
1. Merumuskan fondasi teoretis dan empiris untuk pengembangan
pendidikan
berbasis
kompetensi
pada
bidang
kejuruan
di
Indonesia.
2. Mendapatkan
pembelajaran,
kompetensi
template
model
asesmen
pencapaian
untuk
pengembangan
pendidikan
kurikulum,
kompetensi,
berbasis
dan
kompetensi
uji
pada
pendidikan kejuruan
3. Mengembangkan perangkat kurikulum berbasis kompetensi yang
dapat
dipakai
dasar
pengembangan
kurikulum
berbasis
kompetensi untuk semua spektrum.
4. Mendapatkan model empirik uji kompetensi untuk bidang kejuruan
dan vokasi teknik permesinan, tata boga, teknologi informasi
bidang komputer jaringan, dan keperawatan.
5. Membantu mahasiswa memperpendek waktu studi.
Tujuan yang dirumuskan di atas akan dicapai secara bertahap selama
tiga tahun. Tujuan akan dicapai yang penelitian tahun pertama adalah
sebagai berikut.
1. Mengembangkan kerangka model Pendidikan Berbasis Kompetensi
pada Bidang kejuruan.
2. Mengembangkan
rambu-rambu
dan
ruang
lingkup
semua
komponen model yang mencakup kegiatan sebagai berikut.
10
a. Rambu-rambu
penelitian
tentang
efektivitas
pelaksanaan
teaching factory dalam rangka pelaksanaan pendidikan berbasis
kompetensi.
b. Rambu-rambu penelitian tentang Pengembangan Kurikulum
Berbasis Kompetensi bidang Kejuruan.
c. Rambu-rambu tentang pengembangan pembelajaran berbasis
kompetensi.
d. Rambu-rambu
penelitian
tentang
Evaluasi
Pencapaian
Kompetensi pendidikan berbasis kompetensi.
e. Rambu-rambu penelitian tentang Uji Kompetensi dan Sertifikasi
pendidikan berbasis kompetensi.
3. Melakukan validasi model Pendidikan Berbasis Kompetensi pada
Bidang Vokasi dan rambu-rambu penelitian untuk penelitian sub
payung.
Tabel 1 berikut ini luaran yang ditargetkan untuk dicapai pada tahap
penelitian tahun pertama dan kedua.
Tabel 1. Luaran Penelitian pada Tahun I dam II
Tahun ke
Tahun I
Pengembangan
Model
Konseptual
Tahun II
Validasi Model
PBK
Luaran
 Satu tesis S2 dan publikasi tentang Pelaksanaan
Teaching Factory di SMK RSBI di DIY. Dimuat pada
Jurnal Pendidikan Vokadi Edisi
 Model Konseptual penelitian payung: Model Pendidikan
Berbasis Kompetensi Bidang Vokasi/Kejuruan
 Model Konseptual Pengembangan Kurikulum pada PBK
 Model Konseptual Asesmen PBK
 Model Konseptual Uji Kompetenti PBK
 Model Konseptual Sertifikasi Kompetensi pada PBK
 Satu tesis S2 dan publikasi tentang pelaksanaan
Pembelajaran Berbasis Kompetensi pada SMK Pertanian
 Model hipotetik penelitian payung: Model Pendidikan
Berbasis Kompetensi Bidang Vokasi/Kejuruan
 Model hipotetik Pengembangan Kurikulum pada PBK
 Model hipotetik Asesmen PBK
 Model hipotetik Uji Kompetenti PBK
 Model hipotetik Sertifikasi Kompetensi pada PBK
11
III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR KONSEPTUAL PENDIDIKAN KEJURUAN
UNESCO (1994) memberikan dua prinsip pendidikan yang dapat
menghadapi perkembangan zaman ke depan dan harus dipakai acuan
dalam merencanakan pendidikan oleh semua negara. Pertama pendidikan
harus berorientasi empat pilar yaitu: learning to know (belajar untuk
mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning to be (belajar
menjadi dirinya sendiri) dan learning to live together (belajar untuk
bekerjasama). Prinsip yang kedua adalah live long learning (belajar
sepanjang hayat). Berangkat dari kebutuhan ini maka kurikulum SMK
2004 dikembangkan atas dasar kualifikasi dan kompetensi lulusan seperti
dibutuhkan oleh dunia kerja, dan disebut dengan kurikulum berdasarkan
kompetensi (KBK) yang berorientasi kecakapan hidup. Kurikulum berbasis
kompetensi memiliki standar minimal yang harus dicapai oleh setiap
peserta didik untuk diberi status menguasai kompetensi. Meskipun begitu
kurikulum berbasis kompetensi juga harus bisa mengembangkan semua
potensi peserta didik untuk mampu hidup dalam era kompetisi. Dengan
kata lain pendidikan harus dikembalikan pada misi utamanya yaitu
memanusiakan peserta didik sebagai manusia.
1. Karakteristik Pendidikan yang Dikehendaki
Dari uraian pada latar belakang, maka ada beberapa karakteristik
pendidikan kejuruan yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia agar
dapat menyiapkan peserta didik mampu berkompetisi secara
global, yaitu pendidikan yang dapat:

Mengembangkan kemampuan kejuruan secara profesional

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan
sebagai
agen
perubahan
sehingga
akan
menjamin
kesinambungan kemajuan perkembangan bangsa Indonesia.
12

Mengembangkan kepekaan moral, rasa, dan kehalusan budi
Karakteristik pendidikan kejuruan yang dikehendaki ini perlu
dikaji landasan dasarnya agar pengembangan dan permasalahan
yang mungkin muncul pada tingkat praksis dapat diatasi dengan
baik. Imam Barnadib (1990) menyatakan bahwa pedagogik, sebagai
ilmu pokok dalam lapangan pendidikan dan sesuai jiwa dan isinya
agar dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan fungsinya,
memerlukan landasan-landasan yang berasal dari filsafat.
2. Filosofi Pendidikan Kejuruan
Filsafat menyediakan petunjuk untuk pengembangan program,
tujuan kurikulum, pemilihan kegiatan belajar, perencanaan dan
penggunaan sarana dan prasarana, pengembangan evaluasi, dan
identifikasi dari kebutuhan-kebutuhan yang penting dari pendidikan.
Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa filsafat pendidikan
mengandung paradigma atau kerangka konseptual sebagai acuan
tindakan dari para pendidik. Filsafat pendidikan menyediakan
kerangka berfikir bagi para pendidik dan praktisi pendidikan dan
membantu mereka memilih alternatif-alternatif yang ada serta
menyediakan dasar untuk melakukan kegiatan-kegiatan pendidikan
secara tuntas. Ada empat aliran yang mungkin dapat dijadikan asas
pendidikan kejuruan di Indonesia saat ini yaitu aliran idealisme,
realisme, pragmatisme, dan rekonstruksionisme.
Idealisme merupakan faham yang dikembangkan antara lain
dalam tulisan Descartes, Berkeley, Kant, dan Hegel. Filsafat idealisme
lebih menitik beratkan pandangannya pada sesuatu yang bersifat
spiritual dan transenden. Para penganut faham idealisme melihat
proses spesialisasi sebagai metode pendidikan yang fragmentaristik,
karena fakta yang terpenggal-penggal dipelajari menurut hukum
atau ketentuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dengan
13
demikian, pendidikan yang idealistik sebenarnya bertentangan
dengan ide sekolah yang menghasilkan spesialis-spesialis seperti
sekolah
kejuruan.
Sebaliknya,
mereka
lebih
memilih
model
pendidikan yang lebih holistik, karena percaya bahwa sistem
pendidikan yang mengembangkan pemahaman yang luas terhadap
dunia hasilnya menurut mereka lebih baik dibandingkan dengan
sistem pendidikan yang menuju spesialisasi.
Zais (1976) mengungkapkan, bahwa metode mengajar yang
digunakan dalam pendidikan idealistik memerlukan partisipasi aktif
dari
peserta
didik.
Agar
peserta
didik
aktif,
maka
proses
pembelajaran dalam kelas yang idealistik bersifat socratesian, suatu
cara penyampaian pelajaran secara tidak langsung, yaitu dengan
cara menstimulasi peserta didik dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan agar mereka aktif berfikir dalam mencari kebenaran.
Tujuan dari proses pembelajaran dalam pendidikan yang
idealistik bukan hanya dimaksudkan untuk memberi informasi faktual
kepada peserta didik untuk dicatat dan kemudian dihafalkan, tetapi
seperti apa yang dikatakan oleh Ozmon dan Craver (1986: 19)
bahwa “in fact, some idealists teachers discourage note taking so
that students will concentrate on the basic ideas”. Guru menurut
faham idealis tidak lagi menyuruh siswa hanya untuk mencatat
pelajaran yang diajarkan, tetapi mereka dilibatkan dalam proses
berfikir, sehingga siswa dapat menangkap ide dasar dan konsep
yang diberikan oleh guru. Dengan demikian peran guru sangat
penting, karena guru sebagai kunci terjadinya proses inkuiri di dalam
kelasnya,
sehingga
asas
ini
akan
mampu
mengembangkan
kemerdekaan berpikir, kreativitas dan kemampuan reflektif yang
sangat diperlukan di dunia kerja saat ini.
14
Aliran Realisme tidak seperti pendidikan idealistik yang diuraikan
sebelumnya, pendidikan yang mendasarkan pada faham realisme
memfokuskan kegiatannya pada pencarian kebenaran di dalam alam
semesta dunia fisik. Para filosof yang menganut faham realisme
antara lain Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, dan Pestalozzi
yang mengembangkan faham realisme yang lebih modern yaitu yang
menitik beratkan kajiannya pada alam dan dunia fisik. Realisme
modern juga selalu dikaitkan dengan metode ilmiah atau “scientific
methods” yaitu metode inkuiri yang sistematik dalam membangun
pengetahuan maupun teori. Kebenaran bagi para penganut realisme
adalah
sudah
ada
dan
pasti,
menunggu
untuk
ditemukan,
dimengerti, dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pencarian
pengetahuan
di
dalam
faham
realistik
merupakan
pencarian kebenaran secara induktif. Pencarian kebenaran dengan
cara ini bisa ditemui dalam bidang-bidang ilmu seperti: ilmu biologi,
kimia, fisika, geologi, dan astronomi.
Kebenaran realitistik adalah kebenaran inderawi. Artinya suatu
fenomena dianggap benar bila teramati dengan menggunakan panca
indera. Oleh karena dalam ilmu-ilmu fisik kemampuan pengamatan
akan sangat menentukan. Alat bantu pengamatan terus ditingkatkan
kemampuannya sampai mampu mengamati gejala yang paling kecil
sekalipun, karena kegiatan observasi terhadap kejadian dunia fisik
dan menentukan dimensi keterukuran adalah cara yang paling tepat
untuk menyibak rahasia kejadian dunia fisik secara berulang.
Pendidikan realistik menganggap fakta dan informasi fisik yang
terukur merupakan hal yang sangat penting bagi sistem pendidikan
itu.
Dalam faham realisme guru dipandang sebagai spesialis dan ahli
dalam suatu mata pelajaran ilmu-ilmu fisik yang harus diajarkan, dan
15
guru berperan mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan
itu kepada muridnya. Sistem belajar yang berdasarkan unjuk kerja,
dan kompetensi serta hasil pendidikan yang harus terukur, pada
umumnya merupakan ciri khas dari pendidikan yang menganut asas
realistik.
Culver (1986) menyatakan bahwa faham realisme telah lama
menjadi fondasi filsafat pendidikan kejuruan dan telah berhasil
menciptakan lahan yang subur bagi tumbuhnya pendidikan kejuruan
dan munculnya revolusi industri serta manajemen ilmiah selama
sekitar satu abad.
Dalam pendidikan kejuruan yang realistik, semua siswa akan
secara teratur dan berkesinambungan belajar keterampilan tertentu
untuk menjadi ahli dan spesialis dalam suatu bidang pekerjaan
melalui prosedur tertentu. Meskipun begitu, dengan perkembangan
teknologi yang pesat akhir-akhir ini, faham realisme sebagai asas
falsafah pendidikan kejuruan dianggap tidak cukup. Pendidikan
realistik
dianggap
mekanistik,
kurang
hanya
menyiapkan
mengembangkan
manusia-manusia
kreativitas,
yang
kemampuan
berpikir, dan apresiasi terhadap kemampuan manusia secara utuh
(Culver, 1986: 14). Pada era perkembangan teknologi yang pesat
diperlukan tenaga kerja yang memiliki kemampuan adaptasi yang
tinggi, kemampuan pemecahan masalah, berpikir rasional dan
kreatif.
Filosof dalam kelompok rekonstruksionisme antara lain adalah
Theodor Brameld, Paulo Freire dan Ivan Ilich. Aliran mereka disebut
dengan reconstructionism. Dewey selain dikenal sebagai tokoh pendidikan
pragmatik, juga digolongkan sebagai ahli teori kritikal (critical theorist)
yang disebut reconceptualists di dalam bidang pendidikan. Faham
16
rekonstrusinisme menurut Ozmon & Craver (1986: 133) terdiri dari dua
premis. Yang pertama, masyarakat perlu rekonstruksi secara terus
menerus dengan selalu melakukan perubahan; dan premis yang kedua
bahwa, suatu
perubahan
sosial akan
melibatkan
dua hal
yaitu,
rekonstruksi pendidikan dan peran dari pendidikan dalam merekonstruksi
masyarakat.
Program
pembelajaran
yang
rekonstruksionistik,
memberi
kesempatan kepada murid untuk menggunakan waktu, baik di dalam dan
di luar lingkungan sekolah yang sama pentingnya, sehingga memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari lingkungan dunia
yang nyata dan juga mengaplikasikan perolehan belajarnya ke dalam
dunia nyata. Kurikulum yang rekonstruksionistik menurut Hill dan Salter
(1991: 3), adalah kurikulum yang memungkinkan setiap siswa untuk
menjadi agen perubahan, yaitu dengan merencanakan, meneliti dan
mempromosikan perubahan atau inovasi untuk meningkatkan kehidupan
manusia.
B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Untuk memberi gambaran secara garis besar, pada bagian ini akan
dijelaskan konsep-konsep umum tentang kurikulum berbasis kompetensi
pada SMK yang biasanya dikenal dengan pendidikan dan pelatihan
berdasarkan kompetensi atau Competency Based Education and Training
(CBE/T atau CBT saja). Pelatihan dan pendidikan berdasarkan kompetensi
atau
Competency
Based
Training
(CBT)
sudah
digunakan
dan
dikembangkan di negara-negara maju antara lain Jerman, Inggris,
Amerika, Kanada, Selandia Baru dan Australia. Australian Team Leader
(ATL) (2000) menjelaskan bahwa CBT adalah pelatihan yang didasarkan
17
akan hal-hal yang diharapkan dapat dilakukan oleh seseorang di tempat
kerja.
Pada tahun 1970 an ada beberapa konsep yang memberi arah pada
pengembangan konsep kurikulum berbasis kompetensi, seperti teori
tentang belajar tuntas oleh Bloom (1974), penilaian dengan acuan kriteria
(Pophan, 1978), pengujian kompetensi minimal (Jaeger, 1980), dan
belajar terprogram (Skinner, 1952). Konsep yang dikembangkan oleh ahliahli ini pada dasarnya ada tiga hal yang menjadi fokusnya yaitu,
penggunaan modul, perencanaan penilaian yang mengukur tingkah laku
yang dapat diamati, dan konsep tentang belajar tuntas.
1. Prinsip-Prinsip Dasar KBK
Konsep tentang pendidikan dan pelatihan berdasarkan kompetensi
dalam pendidikan kejuruan pada awalnya dikemukakan oleh Kornhauser
(1922) seperti yang dikutip oleh Harris, Guthrie, Hobart dan Lundberg
(1996). Kornhouser mengemukakan empat prinsip pelatihan magang yang
selanjutnya diakui sebagai dasar pengembangan konsep pendidikan dan
pelatihan berdasarkan kompetensi yaitu:
a. Perkembangan program magang ditentukan oleh kemampuan yang
ditunjukkan di tempat kerja.
b. Kemahiran diukur dengan tes kompetensi dan ujian lesan yang
dilakukan oleh supervisor.
c. Siswa memiliki buku manual yang berisi tes untuk bidang pekerjaan
tertentu. Pertanyaan-pertanyaan dari perusahaan tidak sekedar
mengukur kemajuan tetapi juga berfungsi sebagai stimuli kepada
peserta didik untuk menguasai kemampuan.
d. Kriteria
pencapaian
ditentukan
sebelumnya,
sehingga
dapat
menstimulasi peserta pelatihan dan memberikan arah pada
program pelatihannya.
18
Di
Amerika
Serikat
pendidikan
berdasarkan
kompetensi
berkembang pesat setelah Glaser (1962) dan Gagne (1962, 1965)
meletakkan dasar-dasar pendidikan berdasarkan kompetensi. Glaser
(1962) mengatakan bahwa jika produk belajar dapat ditentukan, maka
dalam proses belajar siswa dilatih untuk mampu melakukan pekerjaan
mencapai produk. Misalnya, belajar untuk menggunakan mistar hitung,
maka dapat dikatakan bahwa siswa dilatih untuk mampu menggunakan
mistar
hitung.
Gagne
(1962)
menggunakan
analisis
tugas
untuk
merancang program pelatihan sebagai cara yang efektif untuk mengajari
siswa untuk mengembangkan keterampilan motorik, dan keterampilan
yang lebih tinggi seperti pemecahan masalah.
Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi
Victorian State Training Board seperti yang dikutip oleh Harris dkk.
(1995) mengemukakan enam kriteria untuk mengukur apakah suatu
pelatihan menggunakan pendekatan kompetensi atau tidak, yaitu:
a. Kriteria outcome.
Hasil program pelatihan dilaksanakan untuk memenuhi standar
kompetensi nasional (SKN). Bila SKN secara nasional belum ada
maka program pelatihan harus memenuhi standar yang diajukan
dan disetujui oleh pihak industri atau asosiasi profesi.
b. Kriteria kurikuler.
Kurikulum program pelatihan harus memberikan petunjuk yang
jelas kepada peserta didik tentang apa yang harus dilakukan dalam
arti unjuk kerja, kondisi dan standar. Termasuk dalam hal ini
industri pasangan dimana peserta didik harus melakukan off-the-
job training di tempat kerja.
c. Kriteria penyampaian
19
Penyampaian materi dilakukan secara fleksibel dan peserta didik
dapat mengembangkan inisiatif sendiri dalam proses belajar. Bahan
ajar yang digunakan oleh guru menunjukkan tingkat pelaksanaan
prinsip “learner-centered”.
d. Kriteria penilaian
Sistem penilaian yang dilaksanakan harus:
1) mengukur sejauh mana unjuk kerja peserta didik dalam
memenuhi standar kompetensi.
2) melakukan penilaian kompetensi yang diperoleh diluar pelatihan
3) penilaian yang dilakukan termasuk kegiatan pelatihan di tempat
kerja.
e. Kriteria pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan kompetensi yang dicapai oleh peserta
didik harus dilakukan. Pelaporan dapat mencakup modul yang telah
diselesaikan oleh peserta didik sehingga dapat dilihat keterkaitan
antara modul dan kompetensi.
f. Kriterai Sertifikasi.
Seseorang yang telah mampu menunjukkan kompetensinya dalam
program pelatihan yang diakreditasi harus memperoleh tanda bukti
pengakuan atau pernyataan pencapaian yang diakui secara
nasional/internasional yang berupa sertifikat.
C. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Kurikulum SMK 2004 dikatakan sebagai kurikulum KBK yang
berorientasi kecakapan hidup, dan pada bagian ini akan dijelaskan konsep
dasar dari kecakapan hidup tersebut.
Idealnya suatu program pendidikan harus dapat memenuhi
kebutuhan lulusan dalam mengarungi kehidupan nyata. Suatu program
pendidikan dikatakan efektif bila relevansinya tinggi terhadap kehidupan
20
dunia nyata, meskipun mungkin tidak bisa 100 %, karena tidak semua
kebutuhan hidup seseorang dapat mengarungi dunia nyata dengan baik
dapat dipenuhi melalui pendidikan (Slamet PH, 2002). Relevansi antara
pendidikan dengan kebutuhan dunia nyata dapat digambarkan sebagai
berikut.
Pendidikan
Kehidupan dunia nyata
Relevansi
Gambar 1. Interseksi Pendidikan & Kehidupan
Pendidikan kejuruan sebagai suatu sistem, programnya harus
mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dalam mengarungi kehidupan
nyata di masa depan. Artinya pendidikan kejuruan harus mambekali
peserta didik agar bisa mencari penghidupan (bekerja) dan mampu hidup
sebagai anggota masyarakat, warga negara, sebagai individu, dan sebagai
makhluk Tuhan. Pendidikan Kejuruan yang mampu membekali peserta
didik untuk bisa hidup dan mencari penghidupan (Jawa = golek
panguripan) dalam masyarakat yang nyata ini disebut pendidikan kejuruan
yang berorientasi kecakapan hidup.
Agar dapat membekali peserta didik dalam mencari penghidupan
pendidikan kejuruan harus tetap menekankan kepada latihan (training)
untuk menguasai bidang pekerjaan secara profesional sehingga dapat
dipakai modal dasar untuk bekerja. Namun untuk membekali mereka
untuk mampu hidup pada era kompetisi yang ketat dan untuk menjaga
kesinambungan perkembangan bangsa ini, bekal profesional dalam bidang
21
kejuruannya saja tidak cukup. Oleh karena itu individu peserta didik harus
dibekali juga dengan kecakapan-kecakapan lain yaitu kecakapan generik.
Pengertian Kecakapan Hidup
Brolin (1989) mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kontinum
pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk
berfungsi secara independen dalam kehidupan. Definisi ini nampak lebih
menekankan pada pengembangan kemandirian anak. Malik Fajar
yang
dikutip oleh Slamet PH (2002), mendefinisikan kecakapan hidup sebagai
kecakapan untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur
akademik. Pengertian ini menunjukkan bahwa pendidikan kecakapan
hidup adalah kecakapan yang diperlukan untuk bekerja dan untuk
penguasaan dari konsep-konsep dasar keilmuan yang diperlukan agar
mampu meneruskan ke jenjang akademis. Definisi yang lebih pragmatis
diberikan oleh Tim BBE (2002) yaitu kecakapan hidup sebagai kecakapan
yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan secara wajar tanpa
merasa tertekan, kemudian
secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga
akhirnya mampu mengatasinya.
Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian kecakapan hidup,
namun bisa dikenali esensinya, yaitu bahwa kecakapan hidup adalah
kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh
seseorang untuk mampu hidup secara mandiri di masyarakat yang terus
berkembang dan mampu menjalankan kehidupan itu dengan sukses dan
bahagia.
Ruang Lingkup Pendidikan Kecakapan Hidup
Tim BBE Depdiknas (2002) memberikan lima bidang life skills yaitu
self awareness (kecakapan mengenal diri), thinking skills (kecakapan
22
berpikir), social skills (kecakapan sosial), academic skills (kecakapan
akademik), dan vocational skills (kecakapan vokasional)
a. Kecakapan Mengenal Diri (Self Awareness)
Pengertian tentang kecakapan mengenal diri (self awareness)
disampaikan
oleh
Goleman
(1998)
yang
diterbitkan
pada
http://www.eiconsortium.org/research/emotinal_competence_fra
mework.htmbahwa self awareness meliputi tiga hal yaitu:
emotional awareness (kesadaran emosi) yang berarti mengakui
emosi seseorang dan akibatnya. Yang kedua adalah accurate self-
assessment
(penilaian
diri
secara
akurat)
yang
artinya
mengetahui kekuatan dan keterbatasan dirinya. Yang ketiga
adalah self-confidence (percaya diri), yaitu suatu kepastian
tentang kemampuan dan harga dirinya.
Forgas (1985: 186) menyatakan bahwa banyak penelitian
menunjukkan,
semakin tinggi kesadaran seseorang terhadap
dirinya, maka orang tersebut akan cenderung semakin mematuhi
hukum dan norma-norma masyarakat, tingkah lakunya strategis
dan bisa diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain seseorang
yang mampu mengenal dirinya, kelemahan dan kekuatannya
akan mampu mengembangkan dirinya.
b. Kecakapan Berpikir (thinking skill)
Bahwa “thinking is a mental process by which students make
sense out of experience” (Beyer, 1987). Menurut definisi ini,
berpikir merupakan proses mental pada saat seseorang mencoba
memahami pengalaman belajarnya. Menurut Tim BBE (2002)
kecakapan berpikir meliputi: (1) kecakapan menggali dan
menemukan informasi (information searching), (2) kecakapan
mengolah information dan mengambil keputusan (information
processing and decision making skills), serta (3) kecakapan
23
memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving
skills).
Reid (1993) menyatakan bahwa kecakapan berpikir tingkat tinggi
dapat digolongkan menjadi dua yaitu berpikir kreatif dan berpikir
kritis. Peserta didik sekarang akan terlibat dalam pekerjaan atau
karir yang melibatkan kecakapan pemecahan masalah secara
kreatif. Berpikir kreatif meliputi cara berpikir konvergen, proses
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), dan pengembangan
berbagai bakat dan kemampuan. Sedangkan berpikir kritis
merupakan upaya yang konsisten untuk menguji bukti yang
mendukung suatu keyakinan, solusi, atau kesimpulan sebelum
diterima menjadi suatu kebenaran.
Selanjutnya Beyer (1987) mengemukakan kecakapan berpikir
yang lebih luas dengan menyatakan bahwa “major thinking
operations include evaluation and analysis, critical thinking,
problem solving, synthesis, application, and decision making”.
Pengertian ini menjelaskan bahwa kecakapan berpikir dapat
meliputi kecakapan berpikir evaluasi, analisis, berpikir kritis,
pemecahan
masalah,
sintesis,
aplikasi,
dan
pengambilan
keputusan. Keberhasilan dalam pemecahan masalah dapat
meningkatkan self-esteem seseorang, khususnya bagi peserta
didik.
c. Kecakapan Sosial (social skills)
Kecakapan
sosial
(social skills) mencakup: (1) kecakapan
komunikasi dengan empati, dan (2) kecakapan bekerjasama,
berempati, sikap dengan penuh pengertian. Seni komunikasi dua
arah, perlu ditekankan bahwa berkomunikasi bukan sekedar
menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai
dengan
kesan
baik,
akan
menumbuhkan
hubungan
yang
24
harmonis (Tim BBE, 2002: 8). Goleman (1998) juga memberikan
pengertian tentang kecakapan sosial (social skills) yang meliputi
kecakapan mempengaruhi, kecakapan berkomunikasi, kecakapan
kepemimpinan,
kecakapan
sebagai
katalisator
perubahan,
kecakapan dalam manajemen konflik, kecakapan membangun
hubungan, kecakapan bekerjasama, dan kemampuan sebagai
bagian dari suatu tim.
d. Kecakapan Akademik (academic skills)
Kecakapan akademik adalah kecakapan yang mampu menguasai
esensi dari setiap bidang studi dan secara sistematis maupun
sistemik mengaplikasikan dalam kegiatan ilmiah. Tim BBE (2002)
menyatakan
bahwa
kecakapan
akademik
yang
merupakan
kecakapan yang terkait dengan bidang keilmuan atau yang
bersifat
akademik
melakukan
hubungan
yang
identifikasi
antara
mencakup
variabel,
variabel,
antara
lain
kecakapan
merumuskan
kecakapan
menjelaskan
hipotesis,
dan
kemampuan merancang penelitian serta melaksanakan penelitian.
Pengertian di atas harus dibaca sebagai kecakapan dalam berpikir
ilmiah, menggunakan logika, berpikir induktif dan deduktif,
kemampuan memecahkan masalah dan berpikir sistemik. Karena
kemampuan merancang suatu penelitian melibatkan berbagai
kecakapan berpikir.
e. Kecakapan Vokasional
Kecakapan vokasional disebut juga kecakapan kejuruan, yaitu
kecakapan seseorang untuk melakukan pekerjaan atau tugas baik
dalam dunia kerja maupun untuk hidup kesehariannya. Dalam
pendidikan
kejuruan,
kecakapan
vokasional
merupakan
25
kecakapan yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah kejuruan.
Hal ini karena di SMK seorang peserta didik sudah diarahkan
kepada suatu bidang kejuruan tertentu.
Pengembangan
kecakapan
vokasional
dalam
perspektif
pendidikan karir bisa dibagi beberapa tahapan. Menurut Slamet
PH (2002: 12) tahapan itu dimulai dari career awareness, career
orientation,
career
exploration,
career
preparation,
career
planning, sampai pada career development perlu dikenalkan
kepada semua peserta didik. Tahapan-tahapan ini pada dasarnya
memberikan pengenalan pada suatu kehidupan masyarakat
kepada siswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang dunia
kerja
maupun
dunia
kemasyarakatan.
Tahapan
ini
implementasinya disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Misalnya
untuk tahapan career awareness (kesadaran terhadap karir pada
tingkat TK dan SD; Tahap orientasi karir (career orientation)
diberikan pada sekolah tingkat SLTP; Tahap career preparation
untuk SMU/SMK dan sebagainya.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
kejuruan berbasis kompetensi dan berorientasi kecakapan hidup
adalah
pendidikan
profesionalisme
dan
kejuruan
sekaligus
yang
mengembangkan
mengembangkan
kecakapan-
kecakapan generik lain seperti kecakapan mengenali diri, berpikir,
dan
kemampuan
sosial
sehingga
mereka
akam
mampu
berkembang.
Agar mampu hidup dalam dunia yang berubah cepat karena
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seseorang
perlu memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi sehingga mampu
menyesuaikan diri dengan situasi baru. Sebagai jawabannya, perlu ada
26
upaya-upaya pendidikan yang memanusiakan manusia (hunamisasi) dan
tidak hanya berorientasi mata pelajaran.
Kajian
yang
dilakukan
oleh
Pardjono
(2001) terhadap
asas
pendidikan kejuruan menyimpulkan bahwa asas realisme yang dipakai
pendidikan kejuruan dengan KBK yang dipakai di negara maju, terutama
di Amerika Serikat selama ini tidak cukup untuk menyediakan fondasi
pendidikan kejuruan yang menyiapkan lulusannya untuk berkompetisi
secara global. Meskipun paradigma realisme dahulu sesuai dengan kondisi
revolusi industri, dan sangat berjasa dalam memajukan masyarakat
industri, tetapi dengan cepatnya perubahan teknologi dan tekanan dari
isu-isu global, maka faham realisme relevansinya menjadi berkurang bagi
pendidikan kejuruan seperti yang dijelaskan di depan. Atas dasar
pengalaman ini Indonesia tidak perlu mengulang kesalahan yang
diperbuat oleh negara-negara maju.
Program kegiatan yang dilakukan oleh pendidikan kejuruan adalah
melatih peserta didik untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan
oleh
dunia
bisnis
dan
industri.
Perkembangan
sosial
masyarakat Indonesia berbeda dengan negara-negara maju, sehingga
konteks dunia bisnis dan industrinyapun berbeda. Kurikulum berbasis
kompetensi untuk pendidikan kejuruan di Indonesia masih relevan untuk
mengejar ketertinggalan dalam dunia industri dan untuk itu memerlukan
pendidikan dengan menggunakan sistem-sistem terstandarisasi. Meskipun
begitu peserta didik harus juga disiapkan untuk hidup pada era perubahan
teknologi yang cepat, yang setiap saat dapat berdampak pada perubahan
struktur pekerjaan yang ada. Hal ini menuntut pendidikan kejuruan
27
merubah orientasi pendidikannya dalam menyiapkan sumber daya
manusia, yaitu dengan tidak hanya melatih peserta didik menguasai suatu
keterampilan kejuruan tertentu, tetapi lebih dari itu, yaitu harus
menyiapkan mereka untuk memiliki daya adaptasi yang baik.
Peran dan fungsi yang tepat dari pendidikan kejuruan adalah
membangkitkan
potensi
peserta
didik
untuk
menjadi
kritis,
dan
kemampuan berpikir yang tinggi disamping memberikan pengetahuan dan
keterampilan teknik yang praktis. Kemampuan semacam ini diperlukan
untuk menjadi anggota masyarakat sosio budaya yang mampu berfikir
reflektif dan kritis serta emansipatif, yaitu masyarakat yang menjunjung
tinggi kesamaan hak dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi.
Pendidikan kejuruan yang tradisinya menekankan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan, dan guru sebagai satu-satunya tokoh
sentral sudah seharusnya menekankan pada proses belajar yang berpusat
pada siswa. Ide-ide yang terkini di dalam lingkungan pendidikan dan
penelitian telah memfokuskan pada konsep reflektif seperti istilah yang
digulirkan oleh Freire (1973: 36) yaitu “refleksi terhadap tindakan atas
dunia agar supaya dapat merubahnya”, dan filosofi yang mendasari
pemikiran ini adalah rekonstruksionisme.
Ozmon dan Craver (1986), menyatakan bahwa rekonstruksionisme
melangkah satu langkah lebih maju dari pragmatisme dan menempatkan
pendidikan untuk maju lebih cepat dari masyarakat sendiri, dan bertindak
sebagai agen perubahan yang sebenarnya di dalam masyarakat. Meskipun
28
begitu, filsafat rekonstruksionisme dipilih sebagai alternatif dasar pijakan
bagi pendidikan kejuruan, ketika teknologi berubah sangat cepat yang
merambah hampir pada setiap aspek kehidupan manusia sehari-hari.
Sekolah kejuruan dengan program kejuruan yang berdasarkan pada
filsafat rekonstruksionisme dapat mengembangkan kreativitas peserta
didik melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang memberdayakan,
sehingga mereka mampu berfungsi sebagai agen perubahan. Seperti yang
dikemukakan Pardjono (2000), agar dapat menjadi agen perubahan,
peserta didik harus dididik melalui cara pembelajaran dan metode yang
demokratis serta memberdayakan agar dapat mengembangkan kreativitas
dan
kemampuan
mengkritisi
praktik-praktik
ketidakadilan
dan
penyimpangan penggunaan teknologi.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan
sebaiknya
selain
menyiapkan
peserta
didik
dengan
memberikan
pengetahuan dan keterampilan harus juga memenuhi kebutuhan akan
pendidikan bagi peserta didik dalam berkembang secara maksimal sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Untuk bisa memenuhi
kebutuhan pendidikan peserta didik secara maksimal, praktik-praktik
pendidikan kejuruan yang pada umumnya mengikuti model berpusat pada
guru menjadi model yang lebih berpusat pada murid. Aspirasi idealisme
seperti yang dijelaskan sebelumnya akan dapat mewadahi kebutuhan
peserta didik dan dapat mengembangkan manusia seutuhnya.
Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan memiliki
prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut: 1) Pendidikan kejuruan akan
efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan
dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya
dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat,
dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja. 3)
Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam
29
kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan
itu sendiri.
Perubahan orientasi pendidikan merupakan keniscayaan karena
masyarakat terus berubah. Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa
perubahan dalam kualitas pendidikan masa depan antara lain: (1)
perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan menjadi
pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari pembelajaran
bersama
yang
disentralisasikan
menjadi
pembelajaran
yang
diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari pembelajaran yang
terbatas pada tahapan pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup
dan (4) dari pengakuan diploma menjadi pengakuan kekuatan-kekuatan
nyata. Dengan demikian, akan terjadi perubahan kualitas tenaga kerja
yang mampu bekerja di dunia kerja yang selalu berubah.
Dinamika perubahan yang sangat dinamis itu harus selalu dicermati,
dipantau, dan dijadikan rujukan dalam mengembangkan pendidikan
kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran yang sesuai
dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan upaya untuk
menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah arus perubahan
dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang berdampak langsung
kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan keterampilan lulusannya. Sejak
Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan telah memperkenalkan kebijakan link and match, dimana
kebijakan ini dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda
(PSG), (Wardiman, 1998).
Pendidikan kejuruan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang marketable
dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan kebutuhan pasar
(demand driven) melalui peningkatan kompetensi lulusan. Selain itu
Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan sektor industri dan
30
mengarah
kepada
pemberian
solusi
terhadap
permasalahan
ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan bebas yang menuntut
kemampuan bersaing di tingkat nasional dan internasional. Oleh karena
itu kompetensi menjadi hal yang sangat penting agar para lulusan dapat
diserap di dunia kerja/industri. Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002
kurikulum pada perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis
kompetensi. Karena itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun
dalam
pendidikan
kejuruan
termasuk
bagaimana
penetapan
dan
bagaimana pengukuran kompetensinya.
Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga
pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah
Kementrian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)
memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakens, sehingga
kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari “mismach”
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
Uji kompetensi pada lembaga pendidikan yang telah berlangsung
dan memberikan sertifikat yang diakui oleh kalangan industri sampai saat
ini baru berlangsung pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Pada pendidikan vokasi setara program Diploma 3, uji kompetensi ini
belum dilakukan secara terpadu dan masih beragamnya perumusan
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan program diploma 3.
Hal ini disebabkan karena belum adanya standarisasi kompetensi program
D3 baik antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia kerja maupun
antara lembaga pendidikan vokasi yang memiliki program diploma 3.
Dengan demikian uji kompetensi pada pendidikan vokasi perlu
untuk dikembangkan dengan harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan
oleh dunia kerja untuk menghindari missmatch dan under qualified,
memuat tentang skill yang dibutuhkan dimasa mendatang (the future
31
skill), serta terdapat standar kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan
pendidikan vokasi.
B. KOMPETENSI
Kompetensi yang terkait dengan terminologi ketenagakerjaan,
adalah suatu kemampuan/kecakapan yang dilandasi oleh pengetahuan,
keterampilan dan sikap untuk melakukan suatu pekerjaan. Beberapa
definisi
yang
berkaitan
dengan
pengertian
di
atas,
antara
lain:
”Competence” is defined as a combination of relevant skills, konwledge
and understanding and ability to apply them”. (National Vocational
Qualifications (NVQs), United Kingdom). (Dit. Dikmenjur, 2002:3)
The Iceberg Model
Skill
Visible
Hidden
Self concept
Skill
Knowledge
Trait,
Motive
Attitude s,
Values
Self concept
Trait
Motive
Knowledge
Core Personality :
Most difficult to
develop
Surface:
Most easily
developed
Gambar 2 : Model Gunung Es, dan Kompetensi Inti dan Permukaan
(Spencer & Spencer, 1993: 11)
Spencer
&
Spencer
(1993:9-11)
memberikan
lima
dimensi
kompetensi, yakni: (1) motif (motive); (2) pembawaan (trait); (3) konsep
diri (self-concept); (4) pengetahuan (knowledge); dan (5) keterampilan
(skill). Secara bagan, Spencer & Spencer menyebutnya sebagai model
gunung es (The Iceberg Model) atau model inti dan permukaan (Sentral
and Surface Competencies). Pada model ini dijelaskan bahwa dimensi
pengetahuan dan keterampilan bersifat tampak di permukaan ( surface)
32
dan lebih mudah dikembangkan melalui pembelajaran (teachable) melalui
diklat. Sebaliknya dimensi motif, pembawaan, dan konsep diri merupakan
dimensi mendasar, dan lebih sulit dikembangkan baik melalui pelatihan
maupun pembelajaran (non-teachable).
Definisi yang berbeda diberikan oleh Stoof (1999:5-6) yang
menguraikan berdasarkan pemilahan kompetensi sebagai karakteristik
personal versus karaktersitik tugas (task characteristics). Kompetensi
sebagai karakteristik personal berkembang di Amerika Serikat, dan
memiliki ciri dinamis, umum (general), sebagai tahap perkembangan,
serta sulit dibelajarkan (non-teachable). Sedangkan kompetensi sebagai
karakteristik tugas berkembang di Inggris (termasuk Jerman dan
Australia), memiliki ciri statis, spesifik, bertingkat (level of competence),
dan dapat dibelajarkan (teachable). Penjelasan Stoof tersebut
digambarkan sabagai berikut:
levels of
competence
specific
UK
teachable
static
Personal
characteristics
Task
characteristics
dynamic
USA
general
Competence is a
level
non-teachable
Gambar 3. Kompetensi Menurut Stoof
33
Penjelasan Stoof identik dengan uraian Spencer & Spencer, bahwa
secara konseptual terdapat pemilahan antara kompetensi keras yang
bersifat dapat dilatihkan, dan kompetensi lunak yang sulit dibelajarkan
(non-teachable). Bila menyangkut dimensi
hard-competence, maka
menjadi tugas pembelajaran; sedang jika berkaitan dengan dimensi soft-
competence menjadi tugas pendidikan. Oleh karena itu kompetensi keras
bersifat lebih mudah dikembangkan instrumen penilaian yang berkaitan
dengannya dan sebaliknya, kompetensi lunak lebih sulit dibelajarkan dan
sulit dikembangkan instrumen penilaiannya. Sementara uji kompetensi
guru yang telah dilakukan selama ini lebih banyak memenilai kompetensi
pedagogik, dan profesional.
Penilaian kompetensi secara komprehensif harus mengarah kepada
kompetensi lunak (soft-competence) dan keras (hard-competence).
Kompetensi lulusan SMK dengan demikian memiliki arti kemampuan atau
kecakapan kerja lulusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan
dan sikap untuk melakukan suatu pekerjaan, yang pengukurannya
menggunakan acuan tertentu (criterion-referenced).
1. Competency-Based Education and Training
Secara khusus tujuan pendidikan vokasi adalah untuk membekali
peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan program
keahlian yang dipilih. Oleh karena lulusan SMK dipersiapkan untuk
memasuki lapangan kerja, maka secara ekonomis, semakin tinggi kualitas
pendidikan seseorang, maka akan semakin produktif, sehingga selain akan
meningkatkan produktivitas nasional juga akan meningkatkan daya saing
tenaga kerja di pasar grobal.
Ketercapaian tujuan pembelajarannya dapat dilakukan dengan
pendekatan
akademik,
pendekatan
pendekatan
kurikulum
berbasis
kecakapan
kompetensi
hidup
(life
skill),
(competency-based
34
curriculum),
pendekatan
kurikurum
berbasis
luas
(broad-based
curriculum), pendekatan kurikul um berbasis produksi (production-based
curriculum). Sedangkan pola penyelenggaraannya dilakukan dengan
prinsip pendidikan sistem ganda (PSG), yaitu pendidikan yang dilakukan
secara bekerja sama antara sekolah dan dunia usaha dan industri
(DU/DI), baik melalui perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kurikulum,
yang bertujuan untuk mendekatkan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Disisi lain untuk mengantisipasi dan sekaligus mengikuti berbagai
perkembangan yang yang terjadi di dunia kerja pelaksanaan kurikulum
SMK harus dirancang secara dinamis dan fleksibel.
Konsekuensi dari penerapan pembelajaran berbasis kompetensi
adalah bahwa penilaian hasil belajarnya juga harus berbasis kompetensi
(Competency-based Assessment /CBA). Menurut Depdiknas, 2004, tujuan
penilaian hasil belajar berbasis kompetensi antara lain: (a) menyediakan
acuan atau referensi penilaian hasil belajar peserta didik yang sesuai
dengan
kurikulum
SMK
berbasis
kompetensi
(Competency-based
curriculum), (b) meningkatkan mutu pelaksanaan penilaian hasil belajar
peserta didik baik yang langsung berkaitan dengan proses pembelajaran
di sekolah dan di industri, maupun yang berkaitan dengan penilaian
penguasaan kompetensi, (c) mengembangkan model penilaian berbasis
kompetensi (competency-based assessment) yang dalam pelaksanaannya
melibatkan unsur internal dan eksternal yang relevan. Penilaian hasil
belajar dalam sistem pembelajaran kompetensi pada dasarnya merupakan
proses penentuan untuk memastikan peserta didik dalam penguasaan
kompeten. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara membendingkan
bukti-bukti hasil belajar (learning evidences) yang diperoleh seorang
peserta didik dengan kriteria kinerja (performance criteria) yang
ditetapkan pada standar kompetensi (Depdiknas, 2004).
35
Karakteristik model pendidikan berbasis kompetensi Gonczi (1998:
38), di antaranya:
a. Adanya daftar kompetensi yang terdokumentasikan disertai dengan
standar dan kondisi khusus untuk masing-masing kompetensi.
b. Setiap saat siswa dapat dinilai pencapaian kompetensinya manakala
telah siap.
c.
Pembelajaran berlangsung dengan format modul yang berkaitan
dengan masing-masing kompetensi.
d. Penilaian
berdasarkan
standar
tertentu
dalam
pernyataan-
pernyataan kompetensi.
e. Sebagian
besar
penilaian
berdasarkan
keterampilan
yang
didemontrasikan secara nyata.
f.
Siswa dapat memperoleh pengecualian dari bagian pembelajaran
dan melanjutkan ke unit kerja berikutnya berdasarkan kompetensi
yang telah tercapai.
g. Hasil belajar siswa dicatat dan dilaporkan dalam pernyataanpernyataan kompetensi
2. Landasan Psikologis Pembelajaran PBK
Pada tingkat kelas (classroom practice) guru harus mengajar muridmuridnya berdasarkan pada teori-teori belajar. Ada banyak teori belajar
yang telah dikembangkan oleh para ahli sampai saat ini. Guru dalam
mengajar di kelas bisa menganut beberapa teori tersebut. Ada tiga arus
utama (meanstreams) teori belajar yaitu behaviorisme, kognitivisme, and
konstruktivisme. Tetapi pada umumnya pada classroom practice biasanya
guru tidak hanya menggunakan satu teori.
Teori behaviorisme juga disebut teori asosiasi yang terdiri dari tiga
teori
dalam
keluarga
teori
behavioristik,
yaitu
koneksionisme,
bahaviorisme, dan reinforcement (penguatan). Koneksionisme adalah teori
belajar yang berdasarkan pada koneksi dari berbagai elemen sistem
syaraf yang menyebabkan munculnya suatu tingkah-laku. Thorndike yang
36
mengembangkan teori ini dengan mengenalkan tiga macam hukum
belajar, yaitu hukum akibat, hukum kesiapan, dan hukum latihan
(exercise). Hukum akibat adalah “strengthening or weakening of a
connection based on the consequences brought about by the connection”.
Kuat dan lemahnya koneksi berdasarkan pada kosekuensi yang
diakibatkan oleh koneksi itu. Selanjutnya adalah hukum kesiapan
(readiness) yaitu kecenderungan syarat bekerja atau melaksanakan agar
supaya koneksi dapat dilakukan. Selanjutnya adalah hukum latihan (law of
exercise). Hukum ini terkait dengan tingkah laku pengulangan dari koneksi
yang yakin dengan “practice makes perfect”. Program pelatihan agar anak
memiliki keterampilan baik manual, intelektual maupun berpikir mengikuti
prinsip dari teori behaviorisme.
Kognitivisme secara umum mempunyai pengertian bahwa melalui
interaksi dan perkembangan kognisi diri seseorang dapat memperoleh
pengetahuan dan terkait pada bagaimana pebelajar mengetahui dan
bagaimana menggunakan cara yang efektif dan efisien menurut teori
pengolahan informasi. Berikut gambar alur dari proses pengolahan
3.
Stimulasi
dalam
4.
lingkungan
5.
belajar
receptors
informasi pada teori kognitivisme.
Proses
Sensor:
visual
audio
Perhatian &
pengenalan
pola
6.
Memori
Jangka
Pendek
Encoding
retrieval
Memori
Jangka
Panjang
Memori
Kerja
lupa
lupa
Gb. 4. Model Pengolahan Informasi pada Manusia
(Adaptasikan dari McCown & Roop, 1992:213)
Lingkungan belajar merupakan sumber informasi dari sistem
pengolahan informasi. Reseptor menerima informasi dari hasil perekaman
melalui
kegiatan
melihat,
mendengar,
merasakan,
mencium,
dan
37
mengecap. Hasil yang ditangkap oleh receptor kemudian di tangkap oleh
prosesor untuk diolah namun tidak semua informasi bisa diproses karena
ada yang hilang melalui peristiwa lupa. Informasi yang mendapatkan
perhatian pebelajar masuk ke memori jangka pendek (MJPd). Informasi
yang sampai pada MJPd ada kemungkinan hilang, tetap di simpan di
memori jangka pendek, memancing respons, atau ditransfer melalui
proses elaborasi pada memori jangka panjang (MJPj). Informasi yang
tersimpan pada MJPj dapat tetap di MJPj masuk lagi ke MJPd melalui
proses penarikan kembali (retrieval).
Teori belajar konstruktivisme memiliki akar filosofi subjektivisme dan
relativisme, suatu konsep yang menganggap bahwa realitas terpisah dari
pengalaman dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman dan
menghasilkan realitas yang khas secara personal (Doolitle & Camp,
1999). Teori konstruktivisme mendasarkan pada empat prinsip utama dari
von Glasserfeld (1989:182), yaitu “knowledge is not passively received but
actively built up by the cognizing subject” dan “the function of cognition is
adaptive and serves the organization of the experiential world, not the
discovery of ontological reality”. Von Glasserfeld akhirnya menambah lagi
dua prinsip dari konstruktivisme, yaitu “cognition organizes and makes
sense
of
one’s
experience,
biological/neurological
and
constructivism,
is
and
not
in
a
process
social,
both
cultural,
in
and
language-based interactions (von Glasserfeld, 1998). Berdasarkan empat
prinsip ini, kemudian teori konstruksi berkembang.
Ernest (1994) mengidentifikasi jenis-jenis konstruktivisme menjadi
empat, yaitu konstruktivisme teori pengolahan informasi, konstruktivisme
trivial, konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial. Teori pengolahan
informasi termasuk konstruktivisme karena menerima prinsip pertama dari
von Glasserfeld dan oleh Doolitle & Camp disebut konstruktivisme kognitif.
Konstruktivisme trivial menerima prinsip pertama tetapi menolak prinsip
kedua dengan eloborasi bahwa proses pengolahan informasi merupakan
kegiatan membangun pengetahuan melalui sistem electro-chemical nerve.
38
Konstruktivisme
radikal
menyandarkan
pada
empat
prinsip
konstruktivisme dari von Glasserfeld. Fungsi kogntif adalah adaptif dan
melayani organisasi dunia pengalaman, bukan menemukan realitas
ontologis. Selanjutnya ada bentuk lain, yaitu konstruktivisme sosial, yang
berpendapat bahwa pengetahuan selalu terjadi di dalam konteks sosio
cultural, “Truth is not to be found inside the head of an individual person, it
is born between people collectively searching for truth, in the process of
their dialogic interaction” (Baktin, 1984: 110). Menurut penganut
konstruktivisme sosial kebenaran tidak ditemukan di dalam otak, tetapi
ada diantara orang-orang yang mencari kebenaran secara kolektif melalui
proses dialog. Dengan kata lain pengetahuan itu tidak terletak di dalam
kepala seseorang tetapi hasil kompromi banyak orang yang bersamasama mencari kesepakatan untuk suatu hal.
3.Standar Kompetensi Lulusan SMK
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah
rumusan
kemampuan
kerja
yang
mencakup
aspek
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan
syarat jabatan yang dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu
yang berlaku secara Nasional (www.BNSP.go.id). Kegunaan lain dari
standar kompetensi adalah dapat digunakan sebagai dasar untuk: (a)
menyusun uraian pekerjaan, (b) mengembangkan program pelatihan dan
sumber daya manusia, (c) menilai unjuk kerja seseorang, (d) akreditasi
profesi di tempat kerja (SKKNI, 2003). SKKNI juga dapat dijadikan acuan
penyusunan program pelatihan kerja dan materi uji kompetensi (PP 21/
2006). Setiap standar kompetensi mengandung kompetensi kunci, yaitu
keterampilan umum sebagai kriteria ketercapaian unjuk kerja pada
tingkatan kinerja yang dipersyaratkan pada suatu pekerjaan. Kompetensi
kunci meliputi; (a) mengumpulkan, mengorganisir dan menganalisis
informasi,
(b)
mengkomunikasikan
ide-ide
dan
informasi,
(c)
39
merencanakan dan mengorganisir kegiatan, (d) bekerja dengan orang lain
dan kelompok, (e) menggunakan ide-ide dan teknik matematika, (f)
memecahkan masarah, dan (g) menggunakan teknologi (SKKNI, 2003).
PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasionar Pendidikan
dalam BAB V pasal 25, standar kompetensi lulusan digunakan sebagai
pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dan
kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
4. Competency-Based Assessment (CBA)
Menurut
Australia's
National
Training
Framework
(NTF),
competency-based assessment didefinisikan; whether a person has the
skills, knowledge and experience required to perform specific tasks in the
workplace, or to gain credrt towards a vocational education and training
qualiflcation or course. Assessment is based on industry determined
competency standards. Sedangkan menurut Cumming & Maxwell (2004),
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penilaian di pendidikan
kejuruan meliputi: (1) a strong curriculum base influencing assessment,
(2) the incorporation of school-based assessment in all certification, (3)
preference for standards-referenced assessment, ril respect for teacher
judgement, (5) increasing vocational educatiin' delivery within schooling,
(6) multiple pathways to future study and careers, (7) school-based
assessment in the compulsory years of schooling, (8) moves towards
outcomes-based frameworks, (9) issues relating to national benchmark
data, and (10) equity issues.
Beberapa kriteria penilaian kelas menurut Depdiknas, 2007,
meliputi ; (a) validitas, (b) reliabilitas, (c) terfokus pada kompetensi, (d)
komprehensif, (e) obyektif, dan (d) mendidik. Sedangkan teknik penilaian
dapat dilakukan dengan cara; (a) penilaian unjuk kerja, (b) penilaian
sikap, (c) penilaian tertulis, (d) penilaian proyek, (e) penilaian produk, (f)
40
penggunaan portoforio, dan (g) penilaian diri. Menurut Gonczi (1998),
metode penilaian kompetensi dapat dirakukan dengan cara: (a) norm-
referenced standards, (b) task-referenced standards, (c) criterionreferenced standards. Masih menurut Gonczi (1998) metode penilaian
berbasis kompetensi antara lain ; (1) pencil and paper test, (2) multiple
choice test, (3) written response test, (4) oral assessment, (5)
performance assessment, (6) work-based assessment.
Karakteristik kurikulum yang menerapkan pendekatan berbasis
kompetensi
(competency-based)
penyusunan
maupun
dalam
baik
dalam
pelaksanannya
di
perancangan
lapangan,
dan
memiliki
konsekuensi pada sistem penilaian yang digunakan. Terhadap kurikulum
dan penyelenggaraan pembelajaran yang berbasis kompetensi, maka
sistem penilaian hasil belajar yang digunakan pun harus model penilaian
yang berbasis kompetensi atau dikenal sebagai Competency-based
Assessment (CBA).
5. Uji Kompetensi dan Sertifikasi Kompetensi
Sistem standarisasi kompetensi dan sertifikasi merupakan suatu
alur dan atau mekanisme kerja dari berbagai komponen terkait yang
terencana, terpadu, serasi, untuk menjamin bahwa kompetensi yang
dihasilkan terstandar dan diakui oleh dunia kerja baik nasional maupun
internasional. Mekanisme itu meliputi perumusan standar, penetapan
standar, pengujian dan sertifikasi, akreditasi, pembinaan dan pengawasan
standar kompetensi, serta kerjasama dan informasi. Dalam bagian ini
hanya akan dituliskan proses sertifikasi dan akreditasi.
6. Work Based Learning
Work Based Learning (WBL) atau Pembelajaran Berbasis Kerja
telah menjadi ciri khas pendidikan kejuruan pada berbagai negara di
41
berbagai belahan bumi ini. Pengalaman di beberapa negara maju
menunjukkan bahwa WBL mampu menjembatani kesenjangan transisi
(transition) antara dunia pendidikan (education) dan dunia kerja
(workforce) yang menjadi tantangan besar yang harus disikapi dan
dicarikan pemecahannya (Sawchuk, 2010). Konsekuensi dari WBL bagi
penyelenggara pendidikan kejuruan, dituntut untuk sadar (aware) dan
memahami WBL mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi.
Keterlibatan stakeholder (sekolah, dunia kerja dan penerintah) pendidikan
kejuruan dalam mengelola pendidikan kejuruan yang menempatkan WBL
sebagai model pembelajaran harus terus digali, dikembangkan dan
dipelihara keberlangsungannya.
Hambatan
pelaksanaan
WBL
masih
banyak
diantaranya,
perecanaan program pembalajaran sefihak dan belum melibatkan dunia
kerja sehingga hasilnya tidak efektif dan fihak industri enggan menerima
siswa/mahasiswa praktik. Pembimbing industri yang tidak serius dalam
menangani siswa/mahasiswa praktik, kurangnya kontrol sekolah terhadap
pelaksanaan magang (PSG atau PKL atau Praktik Industri) yang
dikarenakan kurangnya dana, menjadi tantangan dalam implementasi
WBL.
Menurut Reg Revans dan Gregory Bateson dalam bukunya Raelin
(2008) menjelaskan bahwa laju belajar harus sama dengan atau melebihi
tingkat
perubahan,
belajar
tidak
hanya
menciptakan
tapi
juga
menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam pengetahuan. Tanpa
pengetahuan baru atau yang disesuaikan, tidak mungkin untuk mengubah
makna tindakan kita atau tindakan itu sendiri. Sayangnya, kita telah
menjadi terkondisi untuk model kelas yang memisahkan teori dari praktek,
yang
membuat
belajar
tampaknya
tidak
praktis,
relevan,
dan
membosankan.
42
Sedangkan Work Based Learning (WBL) adalah pelajaran atau
program dimana kampus/sekolah dengan organisasi pekerjaan bersamasama menciptakan pengalaman pembelajaran dan peluang baru di tempat
kerja (Boud, 2001). Untuk menjadikan belajar sebagai kebutuhan, maka
pembelajaran harus berlangsung secara alamiah dan menyenangkan.
Pemisahan teori dari praktik membuat pembelajaran terasa tidak relevan,
tidak
berguna,
tidak
berkmakna
sehingga
membosankan.
WBL
mengombinasikan antara analisis rasional, imajinasi dan intuisi yang
bermanfaat dalam mengembangkan pemikiran. Bentuk program WBL di
sekolah
dapat
berupa
Unit
Produksi,
teaching
factory,
Program
Inplementasi Karir, Program Penegenalan Karir, Perusahaan sekolah
(hotel, rumah makan), Koperasi Sekolah dan Bank di sekolah serta
program magang (PSG/PKL).
6. Teaching Factory
Unit Produksi dan Jasa (UPJ) merupakan suatu sarana pembelajaran
dan berwirausaha bagi siswa dan guru serta memberi dukungan
operasional sekolah. UP yang diharapkan berkembang menjadi unit usaha
yang maju secara professional dan ekonomis tidak pernah terjadi. Hasil
yang paling baik UP mensejahterakan guru dan karyawan tetapi tidak
menjadi unit usaha yang bisa memberi peluang untuk mendidikan
kompetensi siswa. Gagalnya UP untuk berkembang menjadi unit usaha
yang besar karena budaya pegawai negeri dan budaya kewirausahaan
tidak kompatibel. Suatu sangat sulit untuk mengubah kebiasaan guru
menjadi kebiasaan seorang pengusaha.
Konsep teaching factory ditawarkan untuk mengatasi kelemahan
pelaksanaan UP. Teaching factory dilaksanakan di luar unit sekolah tetapi
sangat dekat dengan institusi sekolah termasuk lokasi dan bidang
usahanya disesuaikan dengan program dan kompetensi keahlian yang
43
dilaksanakan oleh sekolah tersebut. Teaching factory dikelola oleh seorang
pengusaha professional dan sebagian karyawannya diambil dari siswasiswa SMK tersebut. Diharapkan teaching factory ini berfungsi sebagai
tempat pembelajaran kompetensi yang sesuai dengan bidang dunia kerja,
seperti konsep Work-based learning yang ditawarkan oleh Raelin (2008:
81), sebagai berikut:
Work-based learning as framework to bring together a number of
otherwise disparate learning processes, each of which has its own
justification as a basis for learning within work. By integrating these
processes, we gather insight into the dynamic interplay of forces
that can impede or facilatate learning in the workplace.
Dari penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa pembelajaran
berbasis pekerjaan adalah kerangka yang berfungsi untuk menyelaraskan
proses pembelajaran yang dipertimbangkan sebagai dasar untuk bekal
menangani pekerjaan. Pada proses pengintegrasiannya dapat saling
mempengaruhi secara dinamis untuk memudahkan pembelajaran seperti
kondisi di tempat kerja. Teaching factory
optimalisasi
pemanfaatan
mengembangkan
sumber
daya
merupakan salah satu
sekolah.
SMK
BI
wajib
teaching factory sebagai salah satu tolok ukur
pencapaian profil sekolah bertaraf internasioal (Direktorat Pembinaan
SMK, 2007: 1).
7. Pendidikan Kejuruan Berbagai Bidang Keahlian
a. SMK program keahlian Teknik Mesin
Model uji kompetensi bagi siswa SMK program keahlian Teknik
Mesin yang saat berlaku ada tiga macam, yaitu (a) model project work
yang dirakukan oleh SMK dengan meribatkan dunia usaha dunia industri,
(b) model uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga independen seperti
LSP/BNSP, dan (c) model uji kompetensi yang dirakukan oleh SMK
terhadap SMK yang lain.
44
Menurut Gonczi (1998 : 222) to reform vocationa/education and
training within a national competency standards framework cannot
succeed without a change in thinking about assessment methods. Masih
menurut Gonczi (1998 : 222) the conceptualisation of competence
requires a holistic approach whlch integrates knowledge and ski/ls with
realistic workplace practices.
b. Program Keahlian Tata Boga
Boyett & Boyett (1985 : 85) memaknai pengetahuan sebagai
pengetahuan tentang mengapa sesuatu itu bekerja. Dengan kata lain,
pengetahuan berkaitan erat dengan prinsip kerja sesuatu. Pengetahuan
prinsip kerja berkaitan langsung dengan apa, mengapa, dan bagaimana
mengerjakan sesuatu. Boyett & Boyett memaknai keterampilan sebagai
kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat sesuatu terjadi.
Ini berarti kemampuan membuat sesuatu terjadi perlu didukung oleh
pengetahuan yang bersifat prosedural. Dengan demikian pengetahuan
dalam konteks praktik kejuruan mencakup pengetahuan tentang prinsip
kerja dan prosedur kerja. Pengetahuan prosedural menurut Ratna Wilis
Dahar (1989 : 61); Anderson & Krathwohl (2001 : 52) adalah
pengetahuan tentang melakukan sesuatu. Ini berarti pengetahuan dalam
pengertian ini bersifat dinamis, karena ia berkaitan dengan langkahlangkah kerja. Nordhaug (1998 : 8-19) mengatakan bahwa pengetahuan
yang terkait dengan kompetensi mencakup pengetahuan tentang metode,
proses dan teknik melakukan suatu kegiatan. Ini berarti pengetahuan
prosedural selain bersifat dinamis juga bersifat praktis.
Dalam konteks penelitian ini, yang menjadi objek kajian adalah
pengetahuan tentang Food & Product yang bersifat praktis. Secara umum
yang dimaksud dengan pengetahuan Food & Product adalah pengetahuan
tentang mengolah, menata, dan menyajikan makanan di Industri Jasa
45
Boga. Dengan demikian kemampuan pengetahuan Food & Product
mencakup pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan langkah-langkah
(prosedur) mengolah bahan makanan untuk menghasilkan makanan siap
saji. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada praktik.
c.
Program Keahlian TIK/Teknik Komputer dan Jaringan
Salah satu program yang terdapat dalam program keahlian TIK
adalah Jaringan komputer.
Jaringan komputer yaitu suatu kumpulan
komputer otonom yang saling berhubungan satu sama lain dan bertukar
informasi menggunakan protocol
komunikasi sehingga dapat berbagi
data, informasi, program aplikasi dan perangkat keras seperti printer,
scanner, CD-Drive ataupun harddisk serta memungkinkan untuk saling
berkomunikasi secara elektronik (Dharma Oetomo, 2003:7). Jaringan
komputer bisa disebut juga dengan network. Dua buah komputer
dikatakan membentuk suatu network bila keduanya dapat saling bertukar
informasi.
d. Program Keahlian Keperawatan
Program DIII keperawatan, mengembangkan kompetensi peserta
didik yang meliputi 29 macam. 1) Menerapkan konsep, prinsip etika
keperawatan dan komunikasi dalam praktek keperawatan professional, 2)
Menerapkan pendekatan proses keperawatan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan dengan berpikir kritis 3) Mengkonsultasikan penanganan
pasien terhadap tim kesehatan lain 4) Melaksanakan tindakan pengobatan
sebagai hasil kolaborasi 5) Melaksanakan tindakan diagnostik dan tindakan
khusus sebagai hasil kolaborasi 6) melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen 7)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan darah 8) Melaksanakan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kebutuhan nutrisi 9.
Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
46
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal 10) melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan rasa
aman dan nyaman 11)Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan mobilisasi dan transportasi 12) Melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan istirahat dan tidut 13)
melaksanakan
asuhan
keperawatan
pqada
pasien
terminal
14)
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal 15)
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien pre dan post operasi 16)
Melaksanakan
asuhan
keperawatan
pada
pasien
gawat
darurat
17)melaksanakan asuhan keperawatan pada anak sehat 18) Melaksanakan
asuhan
keperawatan
keperawatan
pada
pada
bayi
anak
resiko
sakit
19)
Melaksanakan
asuhan
tinggi,
20)
Melaksanakan
asuhan
keperawatan pada ibu hamil normal dan komplikasi 21) melaksanakan
asuhan keperawatan pada ibu intrnatal dan bayi baru lahir 22)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu post partum normal dan
komplikasi 23) melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah kesehatan reproduksi 24) Melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan masalah psikososial 25). Melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien ganggusan jiwa 26) Melaksanakan asuhan
keperawatan komunitas 27) Melaksanakan asuhan keperawatan pada
kelompok khusus (anak sekolah, pekerja, lansia) 28) melaksanakan
asuhan keperawatan pada keluarga dan 29) berperan serta dalam
penelitian dan pengembangan keperawatan.
8. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimanakah kerangka dasar dari pendidikan berbasis
kompetensi pada bidang vokasi?
b. Bagaimanakah proses dan prosedur pengembangan kurikulum
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi?
47
c.
Bagaimanakah pembelajaran pada pendidikan berbasis
kompetensi?
d. Bagaimanakah penilaian pencapaian kompetensi peserta didik
pada pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi?
e. Bagaimanakah proses dan prosedur uji kompetensi pada
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi?
48
IV. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan penelitian pengembangan (Research and
Development). Penelitian dan pengembangan merupakan penelitian yang
komplek, karena melibatkan berbagai metode dan jenis penelitian. Richey
dan Klein (2007:41) menyatakan bahwa “because so many methods are
typically used, design and development research tends to be complex.
Often the methods used span both qualitative and quantitative strategies”.
Karena kerumitan dan kekomplekan permasalahan dan kegiatan dalam
penelitian pengembangan maka digunakan pendekatan kombinasi antara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan
umum
penelitian
yaitu
untuk
menghasilkan
model
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang kejuruan. Borg & Gall
(1983:772) menyatakan “Educational research and development (R & D)
is a process used to develop and validate educational products”.
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian Payung untuk tahap II untuk mengamati praksis
pembelajaran berbasis kompetensi di SMK dan dilakukan di SMK Negeri
Pandak. SMKN Pandak Bantul adalah SMK dengan spektrum produksi
pertanian sebagai representasi kelompok keahlian pertanian. Sedangkan
penelitian mahasiswa dilakukan di Malang, Semarang, dan Jakarta.
a. Penelitian tentang praksis pembelajaran berbasis kompetensi
bidang Produksi Pertanian dilakukan di SMKN Pandak Bantul
b. Penelitian tentang Pengembangan Kurikulum untuk Penyiapan
Kompetensi Program Tata Boga dilakukan di Hotel-Hotel di Jakarta
dan beberapa hotel di Yogyajarta.
49
c. Penelitian tentang Pengembangan Model Uji Kompetensi dan
Sertifikasi Keahlian Siswa SMK Kompetensi Keahlian Teknik
Pemesinan dilakukan di SMK St Michael.
d. Penelitian tentang Sertifikasi Teknik Jaringan dan Komputer di
Malang Jawa Timur.
C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan untuk penelitian pelaksanaan pembelajaran berbasis
kompetensi digunakan teknik wawancara dengan bantuan pedoman
wawancara dan observasi. Secara umum, ketiga teknik tersebut (angket,
observasi dan dokumentasi) digunakan secara bersamaan dan saling
melengkapi.
Instrumen pengumpulan data digunakan: (a) angket, (b) check
list untuk observasi. Untuk melengkapi data dan untuk mengungkap data
yang bersifat kualitatif menggunakan wawancara.
D. Desain Penelitian
1. Pengembangan Model
Pada tahun pertama penelitian telah berhasil merumuskan
model konseptual Pendidikan Berbasis Kompetensi bidang kejuruan.
Kemudian pada tahap kedua ini memalidasi model konseptual yang
telah dirumuskan.
a. Mengembangkan
rumusan
awal
(desain)
tentang
model
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi
dan
disempurnakan dengan teori melalui kajian pustaka.
b. Pengumpulan data dalam langkah pengembangan ini dilakukan
melalui teknik angket dan dianalisis secara deskriptif. Dengan
demikian penelitian pada langkah ini menggunakan pendekatan
kualitatif.
50
c. Hasil yang dicapai dalam tahap ini adalah deskripsi desain model
konseptual, yang akan diujicoba pada tahap validasi.
2. Validasi Model
Model konseptual ini perlu mendapatkan validasi pada ahli dan
praktisi melalui focus group discussion (FGD) untuk mendapatkan
kesepakatan para ahli.
E. Teknik Analisis Data
Pada tahap studi pendahuluan dan pengembangan, temuan atau
fakta-fakta tentang kurikulum, teaching factory, dan uji kompetensi,
dideskripsikan dalam bentuk sajian data (mean, median, modus dsb),
kemudian dianalisis dan dideskripsikan.
Pada tahap validasi model, pendekatan analisis yang digunakan
adalah deskriptif dalam bentuk sajian data; demikian juga dalam ukuran
keterterapan model (applicability) dan dampak penerapan model dianalisis
secara deskriptif kualitatif.
51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dijelaskan hasil penelitian pada tahap ini, akan
dimulai
dari
penelitian
terkait
dengan
penelitian
Model
Hipotetik
Pendidikan Berbasis Kompetensi bidang Vokasi, dan penelitian lain yang
merupakan rangkaian kegiatan lain dalam bentuk penelitian sub model.
A.
MODEL HIPOTETIK PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI BIDANG
VOKASI/KEJURUAN (PENELITIAN PAYUNG)
Model konseptual yang sudah berhasil dirumuskan pada tahun
pertama kemudian divalidasi melalui Forum Group Discussion (FGD).
Model hipotetik dari penelitian payung akan menjadi acuan penelitianpenelitian mahasiswa. Rambu-rambu dan ruang lingkup pengembangan
model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi untuk menjadi
acuan semua penelitian sub model. Ada perubahan pada aspek
pembelajaran berbasis kompetensi menurut hasil penelitian payung dan
penelitian mahasiswa S2 tentang Pelaksanaan pembelajaran berbasis
kompetensi di SMK seperti gambar.
52
SKL
(BSNP)
Kurikulum Berbasis
Kompetensi
DACUM
Task analysis
Need Assessment
Standar Kompetensi
Competency Based
Teaching and
Learning
CompetencyAssessment
MODEL
SERTIFIKASI
KOMPETENSI
(1) Performonce
Assessment, (2)
Porfolio Assessment,
(3) Self Assessment,
(4) Peer Assessment.
Kognitivistik:
penguatan
sensori;Konstruktivistik
: discovery, Inquiry;
metode project work
Competency Based Education & Training
SKL = Standar Kompetensi Lulusan (yg diharapkan)
MODEL
UJI
KOMPETENSI
OUTCOME
Kesesuaian
Kompetensi
(1) Berharga
(2) Diakui secara
luas
(3) Berguna
OUTPUT
Memenuhi
Standar
Kompetensi
Dunia Kerja
(1) Tenaga Kerja
Produktif
(2) Sukses Karir
(3) Berhasil di
masyarakat
(4) Bermanfaat
bagi bangsa
Gambar 5. Model Hipotetik PBK
52
B. PRAKSIS PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI PADA SMK
1. Tahap-Tahap Pembelajaran
Tahap awal pembelajaran berbasis kompetensi menunjukkan pembelajaran
yang berdasarkan prinsip kognitivistik genre pengolahan informasi. Termasuk
dalam hal ini penggunaan audio visual dapat mempercepat proses sensor
informasi.
Guru
menyiapkan
peserta
didik
secara
mental
untuk
mamaksimalkan kepekaan proses sensorinya.
2. Strategi Pembelajaran
Guru menerapkan belajar aktif dan guru mampu mengaktifkan peserta didik
secara fisik maupun mental. Strategi discovery dan inquiry juga telah
diimplementasi dalam tahap penguasaan kompetensi. Strategi discovery dan
inquiry termasuk dalam genre teori belajar dengan prinsip konstruktivistik.
3. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran yang diimplementasikan pada pembelajaran di kelas
oleh guru-guru yang menjadi subjek adalah: ceramah, diskusi, pemberian
tugas, pemecahan masalah dan project work, dan presentasi. Audio visual
berupa film juga digunakan oleh dua guru. Sebelum kegiatan diskusi terlebih
dahulu diputarkan sebuah film yang berhubungan dengan topik yang sedang
dibahas. Setelah selesai menyaksikan film, siswa dibagi dalam kelompokkelompok untuk mendiskusikan apa yang telah disaksikan peserta didik.
C. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PBK
Hasil dicapai pada tahun ke 2 adalah berupa: (a) Instrumen analisis kebituhan
kompetensi yang sudah divalidasi oleh dunia industri pariwisata, (b) Instrumen
analisis kebutuhan untuk pengembangan kurikulum yang sudah divalidasi oleh
pakar kurikulum. Instrumen ini untuk memalidasi model konseptual menjadi
model hipotetik.
D. MODEL UJI KOMPETENSI
Penelitian terkait dengan model uji kompetensi telah dilaksanakan di SMKN 2
Wonogiri, SMKN 2 Surakarta, SMKN 1 Adiwena Tegal, SMKN 1 Semarang,
SMK St Mikael Surakarta, dan SMK Warga Surakarta, SMK Ganeshatama
Boyolali, SMK BK 2 Simo Boyolali, dan SMKN 2 Surakarta.
53
E. MODEL HIPOTETIK STANDARISASI DAN SERTIFIKASI
Sertifikasi kompetensi SMK sebagaimana dalam gambar 1 tersebut dapat
juga dijelaskan bahwa sertifikasi merupakan suatu sistem dengan proses sebagai
berikut: (1) BSNP menentukan standar pendidikan SMK (kurikulum, proses, isi,
evaluasi dan lainnya); (2) BNSP menentukan standar kompetensi produktif siswa
SMK.
Kedua lembaga tersebut menghasilkan profil lulusan SMK yang kompeten
untuk bekerja di dunia usaha dan industri, bekerja mandiri (wiraswasta) dan
melanjutkan studi; (3) profil lulusan SMK dijabarkan dalam kurikulum SMK yang
komprehensif; (4) proses pembelajaran di SMK merupakan penjabaran dari
kurikulum, makin tinggi kelasnya makin banyak praktik di dunia industri/kerja; (5)
setelah belajar selama tiga tahun masa studi, siswa mengikuti ujian sekolah dan
ujian nasional untuk mata pelajaran tertentu; (6) siswa yang lulus ujian
mendapatkan ijasah dan yang tidak lulus UN diberi kesempatan mengikuti ujian
ulang, sedangkan yang tidak lulus ujian sekolah maka siswa kembali mengulang di
kelas tiga;
54
Gambar 6. Sistem Standarisasi & Sertifikasi Kompetensi
(7) siswa yang telah lulus dapat mendaftar untuk mengikuti uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh LSP; (8) siswa yang lulus mendapatkan sertifikat kompetensi,
sementara yang gagal dapat mengikuti remedial untuk mengikuti tes ulang
kompetensi; dan (9) stakeholders (dunia kerja atau masyarakat) merupakan muara
akhir yang bersifat sementara untuk memsuki dunia kerja, karena setelah bekerja
siswa juga dapat meningkatkan kompetensinya dengan melanjutkan kembali ke
perguruan tinggi vokasional.
Model konseptual uji kompetensi yang akan dikembangkan adalah modifikasi
dalam
proses
standardisasi
dan
sertifikasi
kompetensi,
yaitu
dengan
mengintegrasikan uji kompetensi kognitif dan uji kompetensi psikomotorik pada
proses standardisasi dan sertifikasi kompetensi, khususnya uji kompetensi dan
sertifikasi jaringan komputer siswa, sebagaimana terlihat pada gambar 2.
55
Gambar 7. Model Hipotetik
Keberhasilan uji kompetensi dan sertifikasi jaringan komputer siswa SMK
Program Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan ditentukan oleh kualitas
pembelajaran dengan menerapkan pendekatan competency-based training, kualitas
praktek industri menerapkan work-based learning dan kualitas implementasi
kegiatan Unit Produksi dan Jasa, yaitu kompentensi keahlian produktif dimiliki oleh
siswa yang dapat diakui oleh Du/Di dan dapat terlaksana dengan biaya murah
sesuai dengan tujuan penyelenggaraan sekolah kejuruan. Harapannya model uji
kompetensi dan sertifikasi jaringan komputer ini, akan dikembangkan mengarah
pada pengembangan kerangka berfikir kompentensi keahlian produktif.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil penelitian yang dijelaskan di depan dapat disimpulkan sebagai berikut.
56
1. Kerangka dasar dari pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi
terdiri dari komponen: pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah,
pendekatan pembelajaran, pendekatan penilaian pencapaian kompetensi,
dan uji kompetensi dan sertidikasi.
2. Prosedur pengembangan kurikulum implementatif pada institusi pendidikan
mengikuti prosedur sebagai berikut. Standar kompetensi dari pemerintah
BNSP dan SKKNI di sinkronkan. Hasil dari penyesuaian kemudian standar
kompetensi ini divalidasi oleh pihak industri sebagai users, melalui Focus
Group Discussion (FGD) sehingga menghasilkan kurikulum berbasis
kompetensi (Competency Based Curriculum) yang bisa diakui oleh pihak
dunia kerja.
3. Penelitian tentang pembelajaran pada teaching factory pada SMK RSBI
menunjukkan bahwa teaching factory belum mampu mengoptimalkan
perannya dalam pembentukan kompetensi lulusan. Oleh karena itu masih
perlu penelitian lain yang mampu mengungkap model pembelajaran
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi untuk mengembangkan
model pembelajaran berbasis kompetensi.
4. Model uji kompetensi secara konseptual sudah bisa digambarkan, yang
terdiri dari beberapa substansi sebagai berikut. Komponen model terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, dan sistem
pelaporan. Untuk komponen proses ada tiga bentuk model uji kompetensi
dan sertidikasi yaitu model Prakerin dan PSG, model Proyek Tugas Akhir,
dan model Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
B. SARAN-SARAN
1. Pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi
perlu dilakukan untuk menyediakan acuan dalam pengembangan kurikulum,
pembelajaran, penilaian pencapaian kompetensi, dan uji kompetensi dan
sertifikasi.
2. Teaching factory merupakan harapan baru terlaksananya pendidikan
berbasis kompetensi bidang vokasi tetapi pelaksanaannya belum efektif.
Perlu ada upaya peningkatan efektivitasnya dengan mengelola dengan baik
sesuai dengan tujuan yang hakiki dari teaching factory.
57
3. Model uji kompetensi dan sertifikasi yang sekarang sudah berlangsung ada
beberapa bentuk. Perlu dikembangkan model uji kompetensi dan sertifikasi
yang efektif dan efisien untuk membangun infra struktur pelaksaan
pendidikan berbasis kompetensi pada bidang vokasi.
C. RENCANA/PENELITIAN TAHAP SELANJUTNYA
1. Tujuan Khusus
a. Melanjutkan penelitian pengembangan model pendidikan berbasis
kompetensi bidang kejuruan dengan memalidasi model konseptualnya.
b. Memvalidasi prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pendidikan berbasis
kompetensi pada bidang vokasi. Melanjutkan penelitian sub model yaitu
pengembangan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi pada bidang
vokasi Tata Boga dengan validasi model (Disertasi Rina Febriana).
c. Penelitian payung model pembelajaran pendidikan berbasis kompetensi
bidang vokasi, melalui penelitian kualitatif naturalistik untuk mengeksplorasi
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan pada
SMK. (Tesis)
d. Penelitian model penilaian pencapaian kompetensi dan penelitian sub
model penilaian pencapaian standar kompetensi pada pendidikan berbasis
kompetensi untuk bidang vokasi (Disertasi Catur Budi Susilo).
e. Penelitian model uji kompetensi dan sertifikasi dan penelitian sub model
tentang uji kompetensi dan sertifikasi pada bidang Teknik Permesinan dan
Teknik Komunikasi dan Infomasi (Disertasi Aris Budiyono dan Hary
Suswanto).
2. Metode
a. Secara umum penelitian ini akan menggunakan pendekatan campuran
antara kuantitatif dan kualitatif dalam kerangka penelitian dan
pengembangan (R & D).
b. Penelitian kualitatif untuk mengeksplorasi implementasi pembelajaran
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan pada konteks bidang
keahlian agro industri di SMK.
58
3. Hasil Penelitian dan Rencana Selanjutnya
Tahun ke
Ruang Lingkup Penelitian
Luaran
Tahun ke I
Tahun II
Tahap
Pengembangan
Tahun III
Diseminasi dan
Publikasii

Model hipotetik Pendidikan
Berbasis Kompetensi
Bidang vokasi yang meliputi:
model pengembangan
kurikulum, model
pembelajaran, model
asesmen pembelajaran
PBK, model uji kompetensi,
model sertifikasi
kompetensi.

Diseminasi model pengembangan
pendidikan
kompetensi dan publikasi




Lulus satu Tesis (cumlade):
artikel di Jurnal Terakreditasi
(Cakrawala Pendidikan Edisi Juni
2012).
Model Hipotetik Pengembangan
Kurikulum PBK (Disertasi)
Model Hipotetik Uji Kompetensi
(Disertasi)
Model Hipotetik Sertifikasi
(Disertasi)
Uji efektivitas model dan
deseminasi model:
pengembangan kurikulum,
asesmen PBK, uji kompetensi,
dan sertifikasi.
 Publikasi pada jurnal nasional
terakreditasi dan atau
internasional
 Draf buku Pendidikan Berbasis
Kompetensi Bidang Kejuruan
Hasil akhir diperolehnya model pendidikan kompetensi pada bidang kejuruan yang
meliputi (1) Kurikulum dan Perangkat Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2) Pembelajaran
berbasis kompetensi (3) asesmen pembelajaran berbasis kompetensi, dan (4) Uji
kompetensi dan sertifikasi beserta perangkat implementasinya

59
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W., & Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, teaching and
assesing : a revision of Blooms’s Taxonomy of Educational Objectives . New
York : Addison Wesley Longman, Inc.
Australian Council for Educational Research (2005). The Potential Impact of
Competency Based Approaches on Literacy Education. Diambil pada tanggal 8
Februari 2005, dari http://www.gu.edu.au/school/cls/clearinghouse/1995com/content12.html
Beyer, B. K. (1987). Practical strategies for the teaching of thinking skills. Boston:
Allyn & Bacon, Inc.
Borg, W. R., & Gall, M. D. (1983). Educational Research : an Introduction. New York
: Longman Inc.
Boyett, J.H., & Boyett, J. T. (1998). The Teacher Guide : The Best Ideas of the Top
Management Thinkers. Toronto : Jhon Wiley & Sons, Inc.
Buku panduan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi Pendidikan tinggi
(Sebuah alternatif penyusunan kurikulum) Sub Direktorat KPS (Kurikulum dan
Program Studi) Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Jakarta 2008.
Culver, S. M (1986). Pestalozzi’s influence on manual training in nineteenth century.
Journal of Vocational and Technical Education. 2(2), 37- 43.
Cumming, Joy J. & Maxwell, Graham S. (2004). Assessment ln Education: Principles,
Policy and Practice. Griffith University, Queensland, Australia.
Depdikbud. (1997). Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 0490/ 1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan.
Depdikbud. (1999). Memahami Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 1999:
Berpendekatan Competency Based dan Broad Based. Jakarta: BPP
Dikdasmen.
Depdiknas (2004) Pelayanan Profesional Kurikulum KBK, Jakarta
Depdiknas, Sistem Standardisasi Kompetensi dan Sertifikasi. 2005. Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan menengah Direktorat
Pembinaan SMK.
Depdiknas. (2004). Kurikulum SMK Edlsi 2004
Depdiknas. (2004). Kurukulum SMK edisi 2004. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pendidikan Menengah dan Kejuruan.
Depdiknas. (2004). Pedoman Pe/aksanaan Penilaian Hasil Peserta Didlk SMK.
Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesla Nomor 19 tahun 2005
tentang
Standar
Nasional
Pendidikan
Badan
Standar
Nasional
Pendidikan/BSNP.
Depdiknas. 2004. Kurikulum SMK edisi 2004, bagian 2, Pedoman Pelaksanaan
Penilaian Hasil Eelajar Peerta Diklat SMK.
Depdiknas. 2007. Model Penilaian Kelas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMK.
Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP.
Depdiknas.(2003). Undang-undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
60
Depnaker. (2004). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 TAHUN 2004
Tentang Badan Naslonal Sertrfikasi Profesi /BNSP.
Depnaker. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
Dewey, J. (1977). Experience and education (20 th printing). NY: McMillan Collier
Books.
Direktorat Dikmenjur (2001). Reposisi Pendididikan Kejuruan Menjelang 2020.
Depdiknas, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenjur.
Direktorat PSMK. (10 Mei 2008). Kewirausahaan dalam kurikulam SMK. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Wirausaha Kuliner, di Jurusan Teknologi
Industri , Fakultas Teknik , Universitas Negeri Malang.
Forgas, J, P. (1985). Interpersonal Behavior: The Psychology of social interaction.
New South Wales: Pergamon
Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum Development in Vocational and
Technical Education : Planning, Content and Implementation. Boston,
Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.
Freire, P. (1973). Pedagogy of the oppressed. Translated by Myra Bergman Ramos.
New York: The Seabury Press.
Gonczi, A., (1998). Developing a competent workforce: Adult training strategies for
vocational educators and trainers. Leadbrook SA: National Centre for
Vocational Education Research Ltd.
Goleman, D. (1998). Working with Emotinal Intellegence. Dimuat dalam
http://www.eiconsortium.org/research/emotinal_competence_framework.htm
.
Hager, P., Garrick, J., Crowley, S., et al. (2003). Generic Competencies and Work
Place Reform. Diambil pada tanggal 19 Juni 2005, dari
http://www.uts.au/fac/edu/revet/working%20papers/OWP03%2001Hager%20
doc.pdf
Harris, R., Gutrie, H., Hobbart, B., et al. (1995). Competency-Based Education and
Training : between a rock and whirpool. Melbourne : Mac Millan Education
Australia.
Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action. World Conference
on Higher Education.UNESCO, Paris, 5-9 October 1998.
Hoffman, T. (1999). The Meaning of Competency. Diambil pada tanggal 15 Agustus
2005, dari http://www.emerald-library.com
http://bksp-jateng.or.id, 17 Juni 2010, 15:38)
Husein Umar. (2005). Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Imam Barnadib (1990). Filsafat Pendidikan: Sistem dan metode. Yogyakarta: Andi
Offset.
Miller, M. D. (1985). Principles and philosophy for vocational education. Columbus,
OH: The Ohio State University, The National Center for Research in
Vocational Education.
Moore, D. R., Cheng, M. I., & Danty, A. R. J. (2002). Competence, Competency, and
Competencies : Performance Assesment in Organizations. Work Study, 51 (6),
314-316.
61
Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within, 1996. Report to UNESCO of
the International Comission on Education for the Twenty-first Century.
UNESCO Publishing/The Australian National Commission for UNESCO. 266 hal.
The National Center for Research in Vocational Education (NCRVE) (1980). Develop
Local Plan for Vocational Education, Part 1: A Competency-Based Vocational
Education Administrator Module. The Ohio State University, 1960 Kenny
Road.
Nordhaug, O. (1998). Competence Specificities in Organization. International
Studies of management and Organization, 28 (1), 8-19.
Ozmon, H. A., & Craver, S. M. (1986). Philosophical foundations of education (3rd
ed.). OH: Merill Publishing Company.
Pardjono (2001). Mencari Asas Pijakan Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi
Perkembangan Teknologi. Cakrawala Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Raelin, J.A. (2008). Work-based learning. San Francisco: Jossey Bass.
Ratna Wilis Dahar. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta : P2LPTK Dikti Depdikbud.
Richey, R.C. & Klein, J.D. (2007). Design and Development Research. New York:
Routledge.
Slamet PH. (2001). Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep dasar. Jurnal Pendidikan
& Kebudayaan. Jakarta.
Spencer, Lyle M., and Spencer, Singe M. (1993). Competence at work: models for
superior performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Stanley, G. (1993). The Psychology of Competency-Based Education. Canberra :
Australian Colleges of Education.
Tim BBE Depdiknas. (2002a). Konsep Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup
(Life Skill) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based
Education; Buku I. Jakarta: Tim BBE.
Tim BBE Depdiknas. (2002b). Pola Pelaksanaan Pendidikan Berorientasi Kecakapan
Hidup: Melalui Broad Based Education; Buku II. Jakarta: Tim BBE.
Wenrich, R. C. (1974). Leadership in Administration of Vocational Education.
Columbus, Ohio : Charles E. Merrill Pub. Co.
Zais, R. S. (1976). Curriculum: Principles and foundations. New York: Harper and
Row Publisher.
62
Download