BAB IV

advertisement
BAB IV
ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI
A. Analisis Terhadap Akad Jual Beli dalam KUH Perdata
Sebagaimana sudah dijelaskan, dalam KUH Perdata jual beli adalah
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan.
Dari pasal tersebut menunjukkan bahwa jualbeli dalam KUH perdata
merupakan hasil persetujuan. Persetujuan itu merupakan kesepakatan antara
dua pihak untuk mengikatkan dirinya dalam melakukan suatu perbuatan
hukum. Perbuatan hukum itu sendiri merupakan perbuatan yang berakibat
hukum.
Hal lain yang bisa dingkapkan dari pasal diatas mengisaratkan jual beli
meletakkan hak dan kwajiban kepada pembeli dan penjual. Hak dan kwaiban
itu harus dijalankan sebagaimana mestinya. Jika hak dan kwajiban tersebut
tidak dijalankana maka transaksi jual beli bisa menghalangi kegagalan karena
salah satu pihak mungkin akan keberatan untuk melangsungkan akad jual beli.
Perkataan jual beli mengandung arti mencakup dua perbuatan yang
bertimbal balik yaitu menjual dan membeli. Sehubungan dengan itu barang
yang menjadi obyek jual beli dapat ditentukan bagaimana wujudnya dan
jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.
Dengan demikian dalam sistem KUH Perdata jual beli menurut hukum adalah
sah misalnya : jual beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu
56
57
waktu dari sebidang tanah tertentu.Berbeda halnya dengan hukum Islam
bahwa jual beli seperti yang dicontohkan tersebut dianggap tidak sah karena
barangnya tidak jelas serta tidak ada kepastian apakah jumlahnya dan
kwalitasnya sama dengan perjanjian sebelumnya.
Dalam sistem KUH Perdata jual beli mempunyai unsur –unsuir pokok
yaitu barang dan harga. Dalam hubungan barang dan harga sistem KUH
Perdata menganut asas konsensualitas artinya perjanjian jual beli itu sudah
dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat. Disini tampak, KUH Perdata
sangat mengutamakan kesepakatan karena kesepakatan menjadi sebab utama
terjadinya perjanjian jual beli meskipun barang itu belum diserahkan dan
harganyapun belum dibayar.
Dalam sistem KUH Perdata yang menjadi ukuran tercapainya kata
sepakat itu adalah pernyataan-pernyataan yang tel;ah dilakukan oleh kedua
belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualitas, namun
untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting
karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu
undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah
dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan'
kepastian hukum.
Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang
telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah
membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi
kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya.
58
Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak
(yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim
atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pemyataan timbal-balik dari
kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban
bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat
dipertanggung-jawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi)
pihak yang melakukan pernyataan itu ? Karena mengenai hal ini tidak kita
ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah
dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.
Dapat dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga
menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar
sepakat adalah pernyataan yang secara objektip dapat dipercaya. Suatu
pernyataan yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh (secara
senda- gurau) atau yang kentara mengandung suatu kekhilapan atau
kekeliruan, tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Dalam
Civil Code of Japan masalah ini diatur dalam Bab tentang "Juristic Acts"
perihal "declaration of intention" dalam Buku kesatu yang berjudul "General
Provisions". Zaman di mana untuk terjadinya suatu perjanjian sungguhsungguh dituntut tercapainya suatu perjumpaan kehendak, sudah lampau.
Setelah melewati pengalaman-pengalaman yang pahit (seperti dalam casus
terkenal antara Weiler dan Oppenheim yang terjadi dimuka Pengadilan di
Jerman), sekarang sudah dirasakan bahwa berpegang teguh pada tuntutan
59
tersebut akan menjurus kearah ketidak-pastian hukum, padahal diambil nya
azas konsensualitas adalah justru untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum.
Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak,
memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman modem sekarang ini
dimana transaksi transaksi yang besar lazimnya diadakan tanpa hadlirnya para
pihak berhadapan muka, tetapi lewat korespondensi atau lewat perantaraperantara. Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan
kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan pernyataan yang secara
bertimbal-balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya
sering "dikonstruksikan" oleh Hakim.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap
bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang
mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka
Hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa
yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak. Azas
konsensualitas yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau
dikehendaki: pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas
pula dari Perumusan-perumusan Berbagai Macam perjanjian. Kalau kita ambil
perjanjian yanq utama, yaitu jual beli, maka konsensualitas itu menonjol sekali
dari perumusannya dalam pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi:
“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan
harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum
dibayar".
60
Dalam Code Civil Perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensuil
itu sudah pula meinindahkan hak inilik atas barang yang diperjual-belikan,
sehingga yang disitu dinamakan penyerahan (delivrance) hanyalah merupakan
penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah
sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup. "La proprie'te'est acquise des qu'on
est convenu de la chose et du prix" demikianlah dikatakan oleh pasal 1583
C.C.
Juga Burgerliches Gesetzbuch Jerman (Barat) dalam paragraph 433,
tanpa berbicara tentang sesuatu bentuk-cara yang diharuskan untuk perjanjian
jual-beli (Kauf), mewajibkan si penjual berdasarkan perjanjiannya, untuk
menyerahkan dan memberikan hak miliknya kepada si pembeli. Akhirnya,
untuk mengambil suatu contoh dari hukumnya sebuah negara tetangga, yaitu
Philipina, ditunjukkan pada pasal 1356 dari Civil Code of the Philippines,
yang di dalam bab tentang bentuk cara perjanjian ("form of contracts"), ialah
pasal 1356, menyatakan : "Contracts shall be obligatory, in whatever form
they have been entered into"
Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian pada mana satu pihak
mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan
pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama.
Demikian kira-kira disebutkan di dalam Pasal 1457 B.W.
Definisi tersebut tidak sedikit menimbulkan kritik dari para penulis.
Apabila dengan levering (penyerahan) itu dimaksudkan penyerahan hak milik
61
dan bukan penyerahan nyata, maka definisi dalam pasal tersebut tidak lebih
jelek dari definisi lain.
Yang menjadi persoalan adalah, apakah hal itu mungkin.
Perjanjian jual-beli secara historis dan logis adalah suatu species dari
genus perjanjian tukar-menukar. Perjanjian jual-beli adalah perjanjian tukarmenukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari sejumlah uang dalam
arti alat pembayaran yang sah. Di dalam Burgerlijk Wetboek istilah "harga"
mempunyai arti yang neutral tapi dalam Pasal 1457 B.W. istilah harga tidak
mungkin berarti lain daripada suatu jumlah alat pembayaran yang sah. Pada
perjanjian tukar-menukar, uang berhadapan dengan uang dan barang berha
dapan dengan barang. Pada perjanjian jual-beli maka barang berhadapan
dengan uang. Barang di sini harus diartikan luas baik barang (benda) yang
berwujud maupun yang tidak berwujud.
Agar suatu perjanjian dapat dinamakan perjanjian jual-beli maka salah
satu prestasinya harus berupa pemberian alat pembayaran yang sah. Bukan
uang, tapi alat pembayaran yang sah. Apabila prestasi dari pihak yang satu
adalah sebuah mobil dan prestasi dari pihak lainnya adalah sejumlah uang
kuno maka tidak ada perjanjian jual-beli melainkan perjanjian tukar-menukar.
Karena itu harus berhati-hati agar perjanjian jual-beli tidak kehilangan sifat
perjan jian jual-belinya apabila para pihak telah menyepakati bahwa pem
bayarannya tidak terjadi dengan alat pembayaran yang sah melainkan dengan
cara lain seperti bankaccept, penyerahan wesel atas pihak ketiga atau dengan
pembukuan kredit guna kepenlingan pen juat oleh pembeli pada sebuah bank
62
(accreditief). Memang dalam hal-hal itu mungkin tidak dapat dikatakan bahwa
ada pembayaran dengan alat pembayaran yang sah, tapi walaupun demikian
prestasinya mempunyai akibat sama seperti pembayaran dengan alat
pembayaran yang sah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa penukaran uang
asing dengan uang Republik Indonesia yang sah adalah perjanjian jual-beli,
sedang penukaran uang Republik Indonesia dengan uang Republik Indonesia
(lembaran sepuluh ribu dengan dua lembaran lima ribu) adalah perjanjian
tukar-menukar. Suatu perjanjian pada mana pihak yang satu harus
menyerahkan sesuatu barang tertentu sedang pihak yang lain harus membayar
dengan uang dollar, adalah perjanjian tukar-menukar jika itu dilakukan di
Indonesia. Perjanjian yang sama itu adalah perjanjian jual-beli apabila
dilakukan di Amerika.
Mungkin saja terjadi bahwa momen mengadakan perjanjian jual-beli
dan momen melaksanakan perjanjian itu jatuh bersamaan. Jadi pembayaran
dan penyerahan (levering) praktis terjadi pada saat yang sama. Dalam hal yang
demikian maka mungkin ada yang berpendapat bahwa tidak terjadi jual-beli
yang bersifat konsensuil karena para pihak tidak bermaksud menimbulkan
perikatan timbal- balik untuk memberi, karena perikatan itu langsung pada
waktu terjadi menjadi terhapus. Akan tetapi di sini sebenarnya hanya ada
suatu perjanjian jual-beli yang momen-momen terjadinya dan pelaksanaannya
jatuh bersamaan; suatu perjanjian jual-beli yang diringkus (samengedrongen).
Jadi ada perjanjian jual-beli konsensuil, dan bahwa kedua prestasi
segera telah dipenuhi tidak mengurangi hal itu. Suatu contoh otomat. Seorang
63
pedagang menempatkan sebuah otomat penjualan rokok di muka tokonya.
Dengan demikian ia mengadakan pena waran kepada para pejalan kaki unluk
membeli rokok dari tokonya. Apabila seorang membutuhkan rokok dan
memasukkan uang logam ke dalam otomat tersebut maka terjadi perjanjian
jual-beli. Pada saat itu juga keluarlah satu bungkus rokok dari otomat dan
dengan demikian pedagang itu telah memenuhi kewajibannya untuk
menyerahkan barang. Apabila otomat tersebut rusak dan setelah pembeli
memasukkan uang logam ke dalamnya tidak keluar apa-apa, maka ia akan
masuk ke dalam toko dari si pedagang itu dan menuntut penyerahan
sebungkus rokok.
Apabila definisi tentang perjanjian jual-beli dari pasal 1457 B.W.
diperhatikan, maka tampaklah bahwa perjanjian jual-beli itu menimbulkan
kewajiban-kewajiban pada kedua belah pihak. Pada pihak yang satu kewajiban
itu berupa kewajiban untuk menyerahkan barang dan pada yang lainnya untuk
membayar harganya. Jadi barangnya dan uangnya mungkin belum diserahkan
pada waktu itu. Yang ada baru kewajiban-kewajiban belum terjadi penyerahan
(levering).
Untuk terjadinya jual-beli menurut sistem Burgerlijk Wetboek tidak
diperlukan lain kecuali persesuaian kehendak antara para pihak mengenai
barang (zaak) dan harga. Dengan kata lain: perjan jian jual-beli – dan
perjanjian pada umumnya – menurut
sistem Burgerlijk Wetboek adalah
konsensuil.
berlaku
Dalam
sistem
tersebut
asas
yang
dinamakan
konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan "consensus" yang berarti
64
sepakat. Asas konsen sualitas bukannya berarti bahwa untuk suatu perjanjian
diperlukan kesepakatan. Hal yang demikian itu adalah semestinya. Perjanjian
adalah persesuaian kehendak yang berarti bahwa kedua belah pihak saling
menyetujui atau sepakat.
Arti asas konsensualitas adalah bahwa pada dasarnya perjanjian itu
timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapai kata sepakat. Dengan
kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai halhal yang pokok dan karena itu tidak di perlukan suatu formalitas. Barang
(zaak) dan harga merupakan unsur pokok (essentialia) dari perjanjian jual-beli.
Leveringnyalah yang terikat syarat bentuk, tapi perjanjiannya selalu
konsensuil. Untuk menjelaskan hubungan antara perjanjian jual-beli dan
levering (penyerahan) maka pembuat undang-undang menegaskan: levering
(penyerahan) terjadi menurut peraturan hukum benda; perjanjian jual-beli saja,
tidak menyebabkan beralihnya hak milik.
Meskipun tidak disebutkan dalam salah satu pasal undang- undang,
tapi kiranya cukup jelas bahwa harga itu harus berupa sejumlah uang, karena
bila tidak demikian maka tidak ada perjanjian jual-beli. Apabila pembayaran
(prestasi dari pihak pembeli) berupa barang lain, maka tidak ada jual-beli
melainkan yang ada adalah tukar-menukar. Jika pembayarannya adalah
prestasi lain seperti misalnya "berbuat atau tidak berbuat" maka tidak ada
perjanjian jual-beli melainkan yang ada adalah suatu perjanjian yang tidak
bernama (onbenoemde contract).
65
Sejak dalam hukum Romawi maka untuk harga disyaratkan : verum,
certum dan justum.
Verum artinya : sungguh-sungguh dimaksudkan.
Harganya harus sungguh-sungguh harganya "zaak" (barang) itu, dan
tidak boleh hanya main-main. Kecuali itu harus juga justum. Justum artinya:
adil. Dan Certum, yang berarti : dapat ditentukan. Karena itu suatu perjanjian
jual-beli sebuah mobil untuk harga satu rupiah, bukanlah suatu perjanjian jualbeli melainkan perjanjian hibah. Juga apabila langsung setelah mengadakan
perjanjian jual-beli itu lalu pembeli dibebaskan dari kewajibannya untuk
membayar harga yang terhutang, maka tidak ada jual-beli juga, melainkan
hibah.
Undang-undang tidak mengharuskan agar ada keseimbangan antara
"zaak" dan harga. Dengan sengaja syarat demikian (harus ada keseimbangan
antara apa yang dijual dengan harganya) yang terdapat di dalam Code Civil
untuk melindungi penjualnya, tidak di oper. Menurut Hoge Raad (13
Nopember 1936, N.J. 1937, 433) maka pasal-pasal 1335 atau pasal 1337 B.W.
tidak dapat dikemukakan. Jadi apabila harganya tidak seimbang dengan nilai
apa yang dijual maka tidak ada perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu atau
sebab yang tidak diperkenankan. Tapi tentu saja bahwa peraturan mengenai
kesesatan, penipuan dan paksaan berlaku.
Bahwa para pihaklah dan bukan orang lain yang menetapkan harganya
adalah wajar. Biasanya penetapan harga harus tegas tapi sudah cukup asal
obyektif dapat ditentukan. Para pihak dapat menyerahkan penentuan harganya
66
kepada pihak ketiga. Para pihak dapat memperjanjikan bahwa yang
menentukan harganya adalah orang lain di luar para pihak. Mereka tidak dapat
mengadakan perjanjian bahwa yang akan menentukan harganya adalah salah
satu dari mereka sendiri karena hal ini akan bertentangan dengan Pasal 1256
B.W. (H.R. 26 Juni 1914. N.J. 1914, 1034. Juga mereka tidak boleh
mengadakan perjanjian bahwa salah seorang dari mereka mengingat keadaan,
dapat mengubah harga yang telah mereka tetapkan (H.R. 11 Mei 1923, N.J.
1923, 919). Tapi menurut H.R. (15 Nopember 1923, N.J. 1923, N.J. 1924,
887) suatu perjanjian jual-beli pada mana para pihak sama sekali tidak
membicarakan tentang harganya, adalah sah. Yang demikian itu terjadi dalam
perjanjian jual-beli di toko besar dengan harga pasti dan pada pembelian de
ngan harga pasaran hari itu.
Bagaimana sifat perintah kepada pihak ketiga untuk menentukan harga
jual-belinya? Perintah demikian itu adalah suatu perin tah untuk memberikan
"bindend advies (nasehat yang mengikat).
Para pihak dapat memerintahkan kepada orang lain (pihak luar) untuk
menjabarkan (uitwerken) perjanjian yang diadakan oleh mere ka itu lebih
lanjut atau menafsirkannya. Yang demikian itu dina makan meminta "bindend
advies" (saran yang mengikat). Para pihak telah menyatakan sebelumnya
tunduk pada putusan yang akan diberikan pihak ketiga (pihak luar) itu. Ini
berbeda dari suatu keputusan arbitral karena suatu keputusan arbitral
memberikan alas-hak eksekutorial dan karena itu menggantikan suatu
keputusan Pengadilan, sedang "bindend advies" hanya menambah suatu
67
perjanjian yang ada. Apabila salah satu pihak merasa dirugikan, dan tidak
patuh pada nasehat itu, pihak lainnya dapat menuntutnya karena cidera janji.
Apabila pihak ketiga (pihak luar) yang dimintai "bindend ad vies" itu tidak
menentukan harganya, maka tidak terjadi perjanjian jual-beli.
B. Analisis Asas Konsensualitas (persamaan dan Perbedaan) dalam Hukum
Islam dan KUH Perdata
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak
satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak inilik atas suatu barang,
sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri Atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak inilik tersebut.
Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan
dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli.
Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai
dengan istilah Belanda "koop en verkoop" yang juga mengandung pengertian
bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt"
(membeli). Dalam bahasa Inggeris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja
yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula
dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan "vente" yang juga berarti
"penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf"
yang berarti "pembelian".
Barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu,
setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan
diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah
68
menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh
pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.
Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barangbarang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat
dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 KUH Perdata). Dengan demikian
maka jual-beli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah
disetujui, baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu
pula halnya dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi.
Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli adalah barang
dan harga. Sesuai dengan azas "konsensualitas" yang menjiwai hukum
perjanjian KUH Perdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah
setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.
Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458
yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun
barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".
Apakah yang djnamakan "konsensualitas" itu ? Konsensualitas berasal
dari perkataan "konsensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan
dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu
persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah
pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam
"sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak
69
dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya:"setuju", "accoord",
"oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tandatangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa
kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki
oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah "sama", sebenarnya tidak
tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam
kebalikannya".
Misalnya: yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang
asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin
memperoleh hak inilik atas barang tersebut dan bersedia memberikan
sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si peinilik barang.
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut azas
konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari KUH Perdata itu
menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja
dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan
karenanya) sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus
sebagaimana dimaksudkan di atas.
Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada
detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Dari mana dapat kita
ketahui atau kita simpulkan bahwa Hukum perjanjian KUH Perdata, menganut
azas konsensualitas itu? Menurut pendapat kaini, azas tersebut harus kita
simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat
70
sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) seperti diajarkan oleh
beberapa penulis. Bukankah oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi: "Semua
perjanjjaan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya" itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang
kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua perjanjian yang dibuat secara
sah".
Apakah yang dinamakan "perjanjian yang (dibuat secara) sah" itu ?
Jawabannya diberikan oleh pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syaratsyarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2.
kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal. Dengan hanya
disebutkannya
"sepakat"
saja
tanpa
dituntutnya
sesuatu
bentuk-cara
(formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain
sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu,
maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau
berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian "forinil" atau pula yang
dinamakan perjanjian-perjanjian "riil" itu merupakan kekecualian. Perjanjian
forinil adalah misalnya perjanjian perdamaian" yang menurut pasal 1851 (2)
KUH Perdata. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah),
sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian "pinjam-pakai" yang
menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi
71
obyeknya atau perjanjian "penitipan" yang menurut pasal 1694 baru terjadi
denqan diserahkannya barang yang dititipkan.
Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat
saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan
yang nyata riil). Sudah jelaslah kiranya bahwa azas konsensualitas itu harus
kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dan pasal 1338 (1). Dari pasal
yang terakhir ini lazimnya disimpulkan suatu azas lain dari hukum perjanjian
KUH Perdata, yaitu adanya atau dianutnya sistim terbuka atau azas kebebasan
berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya
ialah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka
perkataan "perjanjian".
Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu
pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa
saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
"ketertiban dan kesusilaan umum". Sebab apa hukum perjanjian mengambil
azas konsensualitas itu ? Diambilnaya azas konsensualitas tersebut yang
berarti “perkataan sudah mengikat" adalah menurut Prof. Eggens suatu
tuntutan kesusilaan (zedelijke eis).
Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat
manusia yang tersimpul didalam pepatah "een man een man, een woord een
woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan
pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya
72
sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu,
bahwa ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah
suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai
sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun
bagi Hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan
keadilan dalam masyarakat, azas konsensualitas itu merupakan suatu tuntutan
kepastian hukum.
Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat
dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang "mulutnya") itu merupakan
suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari
suatu tata-hukum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa
perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium
untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu
sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syaratsyarat lain ? Jawaban diberikan oleh pasal l320: cukup apabila sudah tercapai
sepakat (konsensus).
Inilah yang kita namakan konsensualitas. Kesepakatan berarti persesuaian
kehendak. Namun kehendak yaita keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak
atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak
lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada
mengucapkai perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan
tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh
73
pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan
"offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Dari uraian di atas bahwa jual beli dalam Hukum Islam dan Hukum
Perdata Barat ada persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah :
Dalam Hukum Islam, jual beli, barangnya harus diserahkan dan
diterima oleh pembeli. Dasar hukumnya Hadits yang berbunyi :
Artinya: Janganlah kamu membeli ikan yang ada di dalam air
sesungguhnya yang demikian itu penipuan.
Sedangkan dalam KUH Perdata, jual beli, barangnya boleh saja belum
diserahkan dan hargnya belum dibayar.
Dalam Hukum Islam sahnya jual beli tidak hanya cukup dengan kata
sepakat karena ada rukun dan sarat.
Sedangka dalam KUH Perdata sahnya jual beli cukup dengan kata
sepakat. Dasar hukumnya yaitu pasal 1458 KUH Perdata.
Namun demikian, tidak berarti hukum Islam tidak menganut asas
konsensualitas, karena asas konsensualitas menjadi bagian dari sahnya jual
beli dalam hukum Islam.
Sedangkan Persamaannya adalah: kedua hukum itu (Hukum Islam dan
KUH Perdata) sama-sama menganggap konsensualitas menjadi bagian
terpenting untuk sahnya jual beli.
74
Kelebihan Hukum Islam : bahwa karena rukun dan sarat begitu ketat
maka bisa menghindari adanya upaya penipuan.
Kelemahannya adalah: karena syaratnya terlalu berat maka tidak
melancarkan transaksi jual beli.
Kelebihan KUH Perdata: karena syaratnya sangat
ringan maka ia
melancarkan terjadinya transaksi jual beli.
Kelemahannya: karena terlalu ringan maka sangat mudah terjadinya
penipuan.
Download