Kajian tentang Literasi Media Massa Berdasarkan Perspektif Biologi Komunikasi Dewanto Putra Fajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang Abstract Studies on media literacy become a relatively important part in the general study of mass communication. Unfortunately the study of media literacy just spinning in an attempt to understand the behavior of audiences respond to messages of mass media, or attempts to understand the behavior of the media to create effective messages for the audience. Almost never-or maybe just a bit-a depth study of literature or to discuss media literacy through physiological perspective. In fact, almost all the action and all the individual behavior towards the surrounding world is influenced by intrapersonal conditions-including physiological condition, which is associated with the nervous system and hormone systems within the individual. Because of the ability of individuals to use the media, in the context of media literacy, most likely influenced by the individual physiological reactions that arise from the relationship between nervous system and endocrine system. This journal article seeks to explain as much as possible the relationship between the nervous system and hormone systems of individuals, in an attempt to explain the emergence of media literacy, especially on an individual's ability to reduce the potential stress, through the efforts of media use proportionally. In addition, the journal article describes the relationship between media literacy with the individual physiological conditions qualitatively through the study of literature. This was done as compensation, due to technical limitations to observe the physiological effects of the individual against media messages, especially with regard to media literacy. Keywords: Communication Biology (Communibiology), Physiological Effect, Mass Media, Media Literacy Pendahuluan Konsep tentang literasi media menjadii konsep dalam komunikasi massa yang harus dipahami oleh pihak komunikator (media massa) dan komunikan (audien). Sonia Livingstone dan Shenja van der Graff (2008: 2926) mengutip Chris dan Potter (1998) menjelaskan bahwa literasi media merupakan aktivitas mengakses hingga membuat dan memahami pesan dari beragam konteks sosial. Hal itu menjadikan penerapan literasi media yang berbeda antara pihak komunikator dan komunikan. Pihak media massa menggunakan literasi media untuk membuat pesan yang efektif, sementara pihak audien menggunakan literasi media untuk menginterpretasikan semua pesan yang diterima dari media massa. Menariknya, kajian tentang literasi media lebih banyak dihubungkan dengan aktivitas audien menanggapi isi media. Hal serupa dikatakan oleh James W. Potter (2009: 564) bahwa audien dianggap memiliki kemampuan literasi media yang baik jika audien tersebut mampu menganalisis hingga melakukan perilakuperilaku yang rasional. Hal itu menunjukkan bahwa literasi media dalam ranah audien, tampaknya ditentukan pula oleh kemampuan personal, pengalaman, dan mungkin juga kondisi budaya individu dalam menanggapi media. Dengan demikian, individu memiliki kemampuan literasi media yang berbeda. Menariknya, karena literasi media melibatkan kemampuan individu—termasuk juga kondisi personal atau mungkin juga kondisi intrapersonal, maka ada kemungkinan kondisi biologis turut menentukan kemampuan literasi media individu tersebut. Pandangan tentang konsep literasi media serta hubungannya dengan kondisi biologis individu, tampak masih samar, dengan kata lain tampak tidak ada hubungan langsung—yang signifikan—antara literasi media dengan kondisi biologis individu. Padahal, jika kita berasumsi bahwa semua pengaruh lingkungan sosial—determinasi sosial—mempengaruhi kondisi biologis individu— determinasi biologis, maka pesan-pesan media yang diterima individu, hingga perilaku literasi media kemungkinan besar pasti berkaitan dengan kondisi biologis individu, dalam diri audien. Keadaan demikian menunjukkan bahwa kondisi sosial dan kondisi biologis saling memberikan pengaruh, meskipun mungkin tidak terlalu signifikan. Determinasi biologis merupakan sejumlah aktivitas internal individu yang mempengaruhi sejumlah aktivitas fisik dan sosial individu. Konsep tersebut pada awalnya dicetuskan oleh selompok ilmuwan yang mempelajari lebih dalam tentang bentuk determinasi biologis, seperti Richard C. Lewontin, dan para koleganya (1984), seperti yang dikutip oleh Mark A. Rothstein (1999: 95). Mereka menjelaskan bahwa situasi sosial atau kondisi sosial dipengaruhi oleh kondisi biologis masing-masing individu, sehingga diterminasi biologis ikut serta menentukan sifat-sifat dan perilaku individu dengan lingkungannya (Rothstein, 1999: 95). Hal itu menjadi penjelasan umum bahwa kondisi biologis menentukan hampir semua aktivitas sosial individu. Dengan kata lain, semua bentuk interaksi sosial individu dengan lingkungan sekitarnya ditentukan oleh kondisi biologis individu, termasuk kemampuan individu dalam literasi media. Proses literasi media, bagi audien, merupakan bentuk interaksi individu dengan media. Lebih lanjut proses literasi media bertujuan membangun kesadaran audien dan kemampuan audien mengevaluasi pesan-pesan dari media massa (Turow, 2009: 28). Dengan begitu, literasi media mendorong audien untuk lebih cerdas menanggapi semua pesan yang muncul di media, sehingga pengaruhpengaruh buruk dari pesan-pesan tersebut bisa diminimalisasi, serta memaksimalisikan penerimaan nilai-nilai positif dalam pesan-pesan media. Menariknya, fakta bahwa literasi media, oleh audien, melibatkan kecerdasan dan kesadaran individu ketika menanggapi media, maka secara umum literasi media pasti melibatkan sejumlah aktivitas fisiologis, terutama dalam pengelolaan informasi. Selain itu, ada kemungkinan bahwa kondisi fisiologis individu—bagian dari kondisi biologis—membantu mengurangi efek buruk media yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku individu menggunakan media. Meskipun penyelidikan tentang hubungan kausalitas antara literasi media dengan kondisi biologis individu masih berada pada tahap awal, artikel jurnal ini berusaha menjelaskan secara maksimal—dengan segala keterbatasannya—hubungan antara literasi media dan kondisi biologis individu, dalam ranah komunikasi massa. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam artikel jurnal ini adalah: Bagaimana deskripsi kajian tentang literasi media massa berdasarkan perspektif biologi komunikasi ? Pembahasan a. Kajian tentang Literasi Media Istilah literasi media dipahami sebagai istilah yang berhubungan dengan interpretasi tekstual, terutama yang muncul di media (Potter, 2009: 558; Buckingham, 1998; Zettl. 1998). Karena itu literasi media yang dilakukan audien berkaitan erat dengan usaha audien memahami serta menafsirkan pesan-pesan media sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Hal itu membutuhkan kemampuan kognitif individu secara maksimal, sehingga ada perbedaan literasi media yang dilakukan oleh masing-masing individu. Karena itu, Payton Paxson (2010: 20), secara umum, menjelaskan bahwa literasi merupakan kemampuan individu untuk mengurangi efek buruk dari media. Penjelasan Paxson menguatkan pandangan Potter (2009) yang menjelaskan bahwa literasi media merupakan kemampuan individu untuk menafsirkan semua isi pesan yang muncul di media, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Kenyataan tersebut berhubungan dengan kemampuan individu menginterpretasikan pesan hingga memilih pesan-pesan yang dianggap berguna bagi kepentingan individu tersebut, karena kemampuan literasi media menjadi modal utama bagi individu untuk menanggapi pesan-pesan media. Lebih lanjut literasi media tidak hanya terbatas pada usaha individu— audien—memahami media, tapi juga semua usaha individu menanggapi atau mengiterpretasikan semua pesan media, termasuk semua usaha individu untuk memilih pesan-pesan tertentu yang diberikan media. Umumnya literasi media didefinisikan sebagai kemampuan audien untuk menerapkan pemikiran kritis untuk membentuk individu yang bertanggungjawab, terutama pada saat menggunakan media (Turow, 2009: 29). Dengan begitu, semua usaha dan tindakan audien untuk berpikir kritis terhadap isi media, serta menjadikan audien mampu memilih dan menggunakan media secara bertanggungjawab bisa dikategorikan sebagai bagian dari literasi media. Hal itu menunjukkan bahwa individu seharusnya memiliki sejumlah kemampuan untuk menggunakan, memilih, serta berpikir kritis terhadap isi media, namun tidak semua individu memiliki keinginan untuk menggunakan pemikiran kritis, untuk menanggapi pesan-pesan media. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan literasi media berbeda-beda pada masing-masing individu. Lebih lanjut, kehendak individu untuk menggunakan atau tidak menggunakan media tampaknya juga bisa menjadi bagian dari literasi media. Singkatnya, ketika individu memilih untuk menyalakan televisi—atau menggunakan media lainnya— pasti dilandasi oleh satu keinginan tertentu yang dimiliki oleh individu tersebut, sama seperti pada saat individu mematikan televisi—atau tidak menggunakan media tertentu. Sehingga bisa jadi konsep literasi media tidak hanya seperti yang dijelaskan oleh Turow (2009) dan Potter (2009), tapi juga berhubungan dengan kemampuan individu memilih media berdasarkan kehendak bebas masing-masing individu. Kondisi demikian menunjukkan bahwa individu memiliki pilihan bebas untuk memilih menggunakan medianya, termasuk berapa lama durasi konsumsi media tersebut, sehingga efek media yang diterima oleh individu, sepenuhnya ditentukan oleh individu itu sendiri. Sayangnya, rendahnya kemampuan literasi media yang dimiliki oleh individu, menjadikan efek buruk media tampak masih memegang peran dominan. Literasi media, terutama pada kemampuan individu memilih dan menggunakan medianya, merupakan suatu tindakan yang menuntut individu aktif menggunakan media serta menutut individu aktif mencerna semua pesan media yang dikonsumsinya. Hal itu menjadikan individu tidak hanya menerima semua pesan media secara pasif, tapi juga memaksa individu untuk aktif memilih pesanpesan yang bermanfaat serta mengabaikan semua pesan yang tidak bermanfaat. Kondisi demikian rupanya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan masingmasing individu, tapi juga kemampuan individu mempersepsikan semua pesan media yang diterima, yang pada akhirnya berhubungan dengan kondisi fisiologis individu. Sederhananya semua pesan dari media yang diterima oleh individu pasti memberikan dampak pada kondisi fisiologis individu, lebih-lebih jika pesan-pesan media massa tersebut berupa pesan dengan informasi negatif yang cenderung tidak bermanfaat—seperti informasi yang tidak terlalu dibutuhkan individu atau informasi yang tidak disenangi. Menariknya, aktivitas individu mengonsumsi media berhubungan dengan kemampuan literasi media masing-masing individu. Dengan kata lain, keinginan individu mengonsumsi media serta memilih untuk tidak mengonsumsi media berhubungan dengan kecerdasan individu, serta sejumlah proses fisiologis dalam diri individu, untuk menggunakan media sesuai dengan kebutuhannya. Richard Jackson Harris (2005: 149) mengutip pendapat Potter (2001), mejelaskan bahwa media literasi berhubungan dengan empat aspek penting, yaitu aspek kognitif, aspek emosional, aspek estetis, dan aspek moral. Dengan kata lain semua pesan media massa mempengaruhi audien melalui empat aspek tersebut, atau setidaknya empat aspek literasi media tersebut merupakan bagian yang harus dipahami oleh individu untuk membangun kemampuan literasi media yang baik. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa pesan media bisa mempengaruhi kondisi kognitif dan emosi individu, sehingga beberapa individu berpotensi mengalami stress atau perubahan fisiologis, kecuali individu yang memiliki kemampuan literasi media yang baik. Dengan begitu, kemampuan individu menafsirkan dan memahami isi pesan media—literasi media—yang baik, kemungkinan besar bisa mengurangi potensi stress pada diri individu. b. Stres Sebagai Bagian dari Literasi Media Perubahan kondisi biologis individu, dalam kaitannya dengan efek media, dimulai dengan penerimaan rangsangan oleh indera serta pengolahan rangsangan tersebut oleh otak. Kondisi demikian menunjukkan bahwa semua tindakan yang dilakukan individu kebanyakan berasal dari informasi (rangsangan) yang didapatkan individu melalui indera, sementara tindakan lainnya kemungkinan besar berasal dari kehendak bebas. Menariknya setiap semua informasi yang diolah oleh otak menghasilkan beragam bentuk tindakan berbeda, tergantung pada kondisi fisiologis masing-masing individu. Dengan kata lain, masing-masing individu bisa mempersepsikan beragam makna, meskipun informasi yang diberikan kepada semua individu tersebut sama. Karena itu, ketegangan diri individu, stress, hingga perubahan emosional bisa jadi merupakan hasil pengolahan semua informasi di dalam otak manusia. Ronald H. Bailey (1989: 13) menyatakan bahwa semua bentuk emosi manusia dikendalikan oleh bagian otak yang dikenal sebagai hipotalamus. Lebih lanjut Bailey menjelaskan bahwa hipotalamus bertugas mengendalikan kondisi fisiologis—seperti meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, hingga kondisi fisiologis yang berhubungan dengan emosi—individu untuk menghadapi tekanan dari lingkungan (Bailey 1989: 13). Kondisi demikian membuat tubuh manusia menjadi lebih siap menghadapi tekanan berat dari lingkungan sekitar. Hal serupa juga dijelaskan oleh Ogden Tanner (1988: 9), yang menyatakan bahwa rekasi fisiologis bisa diwujudkan dalam banyak perilaku emosional. Tekanan lingkungan tidak hanya muncul dari interaksi sosial semata, tapi juga bisa muncul dari informasi yang diberikan media, atau setidaknya informasi dari media menambah tekanan yang muncul dari interaksi sosial. Secara fisiologis perubahan kondisi emosional individu melibatkan interaksi antara dua sistem pengedali tubuh, yaitu sistem saraf dan sistem hormon (endokrin). Interaksi yang muncul diantara dua sistem pengendali tubuh tersebut, dalam upaya mengubah kondisi emosional individu, sangatlah rumit, karena masing-masing sistem tersebut saling mempengaruhi satu dan lainnya. Lebih lanjut, pemikiran sadar individu memiliki pengaruh besar terhadap perubahan kondisi fisiologis individu, bahkan pada situasi yang berbeda individu tetap memiliki kemampuan sadar untuk mengendalikan kondisi emosional di dalam dirinya, termasuk juga stress. Hal itu menjadikan kemampuan individu menerima stress cenderung berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan pemikiran logis masing-masing individu untuk memahami stress sekaligus menghadapinya. Dengan kata lain, tekanan sosial tertentu yang menyebabkan stress bagi satu individu, bisa jadi tidak menimbulkan stress bagi individu lainnya. Sama seperti yang dikatakan Hans Selye bahwa pada hakekatnya semua tekanan lingkungan itu bersifat netral, sehingga stress atau tidak ditentukan oleh cara individu menghadapi tekanan tersebut (Dubos dan Pines, 1983: 155). Kondisi demikian tampaknya juga berlaku pada kondisi fisiologis individu pada saat menerima pesan-pesan dari media. John H. Martin (1996: 448) menjelaskan bahwa sistem limbik dalam otak manusia memiliki sirkuit tumpang tindih yang mempengaruhi efektor dari otak manusia, termasuk neuroendokrin, hingga motor somatis. Tidak hanya itu, sistem limbik tampaknya juga berhubungan dengan hipotalamus, sehingga pada saat individu merasakan stress karena pesan media, ada kemungkinan bahwa hipotalamus akan mengirimkan sejumlah sinyal tertentu ke kelenjar hipofisis untuk melepaskan sejumlah hormon tertentu, yang mempengaruhi kondisi emosional dan perilaku individu. Dengan kata lain semua informasi yang diproses oleh otak manusia pasti melalui mekanisme rumit, yang pada akhirnya diubah menjadi tindakan fisik individu. Hal itu menjadi penjelasan utama bahwa perilaku konsumsi media yang dilakukan individu, pasti didorong oleh sejumlah reaksi dalam otak manusia, yang melibatkan interaksi antara cerebral hemisphere dengan sistem limbik—termasuk juga hipotalamus—begitu pula sebaliknya. Keterangan. Diagram di atas menunjukkan pola hubungan serabut saraf (wiring conection) antara hipotalamus dengan bagian otak lainnya, terutama entorhinal cortex—atau bagian yang menjadi bagian dari neocortex, yang secara umum bertanggungjawab untuk aspek logika yang lebih tinggi. Di samping itu diagam pola hubungan di atas juga menunjukkan bahwa hipotalamus rupanya dipengaruhi oleh bagian otak yang lebih tinggi, atau mempengaruhi bagian otak yan lebih tinggi. Dengan kata lain individu pada dasarnya bisa mengendalikan emosi atau di saat lain, justru dikendalikan oleh emosi.(Sumber Gambar: http://www.benbest.com/science/anatmind/FigVII29.gif) Alfred Sherwood Romer (1962: 554) menyatakan bahwa dalam otak manusia—dan kebanyakan hewan vertebarata—membentuk hubungan antara sistem saraf pusat dengan sistem hormon—terutama di wilayah kelenjar hipofisis (dikenal juga dengan nama kelenjar pituitari)—ditunjukkan oleh sel-sel saraf yang berada di wilayah pars intermedia. Lebih lanjut, bagian dari kelenjar hipofisis yang memiliki banyak sel-sel saraf berada neorohipofisis. Menariknya neurohipofisis tidak hanya dikendalikan oleh sel-sel neurosekresi semata, tapi juga hormon-hormon yang berasal dari hipotalamus (Romer, 1962: 554). Karena itu, kelenjar hipofisis dikendalikan oleh dua sistem sekaligus, yaitu sistem saraf dari wilayah otak terutama sel-sel neurosekresi (sel-sel saraf yang berhubungan dengan sekersi hormon tertentu) yang berada di wilayah hipotalamus—yang merangsang sekresi setidaknya lima hormon pelepas (releasing hormone) dan dua hormon penghambat (inhibiting hormone), serta sistem hormon, terutama yang hormon-hormon yang disekresikan oleh hipotalamus seperti misalnya corticotrophin-releasing hormone (CRH) (Tortora dan Derricson, 2011: 690). Dengan begitu mekanisme hubungan antara hipotalamus dan kelenjar hipofisis bisa dijelaskan secara lebih mudah, pertama, hipotalamus mensekresikan beberapa hormon untuk mempengaruhi wilayah anterior hipofisis untuk mensekresikan hormon-hormon tertentu. Kedua, hipotalamus juga memberikan perintah berupa sinyal berupa impuls saraf dari sel-sel neurosekresi untuk menghasilkan sejumlah hormon yang merangsang hipofisis—di wilayah posterior (Romer, 1962: 554). Dengan kata lain kelenjar hipofisis sepenuhnya dikendalikan oleh hipotalamus (von Hippel, 1994: 304). Perhatikan gambar 1 di bawah ini. Keterangan. Gambar potongan melintang kelenjar hipofisis (pituitary) yang sangat disederhanankan. Gambar tersebut menujukkan pola pembuluh darah serta sistem saraf yang mengendalikan kelenjar hipofisis, tampak jelas bahwa kelenjar hipofisis dikendalikan oleh hipotalamus melalui sel-sel saraf neurosekresi (neurosecretory neurons) serta sel-sel saraf yang masuk dalam kelompok supraoptic nuclei dan paraventricular nuclei. (Sumber Gambar: http://image.slidesharecdn.com/ ch18lecturepresentation-130818141631-phpapp02/95/169-ch-18lecturepresentation-48638.jpg?cb=1376987218) Peranan hipotalamus mengendalikan fungsi-fungsi dasar individu, termasuk emosi, berhubungan dengan kendali hipotalamus terhadap kelenjar hipofisis. Kondisi stress yang dirasakan oleh individu berhubungan erat dengan sejumlah hormon yang berasal dari wilayah kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis setidaknya mensekresikan setidaknya sepuluh hormon (Romer, 1962: 558) tertentu yang tiga diantaranya, yaitu adenocorticotropic hormone (ACTH), somatotropin (STH), atau dikenal juga sebagai human growth hormone (hGH) (Tortora & Derricson, 2011: 715), dan tyroid-stimulating hormone (TSH), ketiga hormon tersebut berpengaruh terhadap hormon-hormon penanda stress yang disekresikan oleh kelenjar lainnya (Tortora dan Derricson, 2011: 713-715; von Hippel, 1994). Secara fisiologis stress muncul karena kondisi dalam diri individu yang dipengaruhi oleh reaksi yang diberikan oleh sistem saraf tepi (sistem saraf simpatis dan parasimpatis) dan interaksi sejumlah hormon tertentu dari kelenjar hipofisis terhadap kelenjar endokrin lainnya. Secara sederhana—berdasarkan kondisi fisiologis, terutama reaksi hormonal individu, stress dimulai dari perintah hipotalamus kepada kelenjar hipofisis melalui CRH atau hormon-hormon yang berfungsi sebagai hormon pelepas (releasing hormone atau releasing factor, dikenal juga dengan RH atau RF) (Horrobin, 1973: 89) serta impuls saraf dari hipotalamus melalui sel-sel saraf neurosekresi. Kelenjar hipofisis menanggapi perintah tesrebut dengan mensekresikan sejumlah hormon tertentu, seperti ACTH, STH atau hGH, dan TSH, yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar sasaran, yaitu kelenjar adrenal, hati, dan kelenjar tiroid. ACTH mempengaruhi kelenjar adrenal untuk mensekresikan hormon adrenocorticosteroid (Ville, et al. 1999: 302), dan hormon-hormon lainnya, seperti kortisol, epinefrin, dan norepinefrin (Tortora & Derricson, 2011: 715). hGH mempengaruhi hati yang mensekresikan IGFs (Tortora & Derricson 2011: 715). Sedangkan TSH mempengaruhi sekresi hormon-hormon tiroid terutama seperti tiroksin (T4), dan triodotironin (T3) (Tortora & Derricson, 2011: 715; Ville, et al, 1999). Masing-masing hormon tersebut memiliki peran dan fungsi yang beragam, namun kebanyakan berhubungan dengan usaha tubuh menghadapi tekanan lingkungan dengan cara bertahan (resistance) atau melawan (fight or flight system). Dengan kata lain tubuh manusia memiliki mekanisme luar bisa untuk menghadapi beragam tekanan dari lingkungan sosial, yang pada akhirnya menunjukkan munculnya hubungan antara determinisme sosial terhadap determinisme biologis, atau mungkin juga sebaliknya. Menariknya, beragam tekanan lingkungan, termasuk konsumsi media secara terus-menerus, konstan, dan durasi yang ralatif lama, bisa meningkatkan potensi stress individu. perhatikan gambar di bawah ini. Stressor (rangsangan) CRH—GHRH—TRH Impuls Saraf melalui Sistem saraf Simpatetis TSH—hGH—ACTH ACTH TSH hGH Kelenjar Adrenal Epinephrine & Norepinephrine, Kortisol Hati (Liver) IGFs (Insuline-like Growth Factors) Kelenjar Tiroid Hormon-hormon Tiroid (T3 & T4) Keterangan. Diagram yang sangat disederhanankan untuk menjelaskan reaksi fisiologis individu (sistem saraf dan sistem endorkrinologi) untuk menghadapi stress yang muncul dari lingkungan. Diagram tersebut menunjukkan bahwa stress kemungkinan dipicu oleh reaksi sejumlah hormone tertentu, terutama hormon-hormon yang memepnegaruhi sekresi hormone lainnya, terutama hormon-hormon penanda stress. (PANAH MERAH=menunjukkan reaksi hormonal; PANAH HIJAU=menunjukkan reaksi saraf)(Sumber Gambar: diadaptasi dari Tortora & Derricson (2011: 715); Gambar hipotalamus dan kelenjar hipofisis: https://o.quizlet.com/d.ZMS4Dg7OXne9tVYNE7zg_m.jpg) Fakta bahwa konsumsi media berlebihan meningkatkan potensi stress individu dijelaskan oleh Jürgen Grimm (2008) sebagai bagian dari efek fisik media massa. Ia menyatakan bahwa bahwa efek media massa terhadap kondisi fisiologis individu bisa beragam, termasuk munculnya stress (Grimm, 2008: 3609). Dengan kata lain media massa bisa menjadi salah satu faktor yang berpotensi meningkatkan potensi stress individu, karena itu kemampuan kita mengendalikan penggunaan media massa, untuk menghindari atau bahkan mengurangi tingkat stress individu, menjadi sesuatu yang penting. Karena itu hubungan antara sistem saraf dengan sistem hormon dalam diri individu, pada saat mengonsumsi media, merupakan mekanisme alami untuk menanggapi dunia luar, termasuk perilaku mengonsumsi media. Semua informasi yang telah diterima oleh otak melalui panca indera diolah di dalam bagian-bagian tertentu yang bertanggungjawab terhadap pikiran-pikiran logis, namun tetap melibatkan sistem limbik, yaitu bagian otak yang lebih primitif—dianggap demikian karena sistem limbik bertangungjawab pada pengendalian sistem efektor otak, seperti neuroendokrin, sirkuit otonom, dan sistem motor somatis (Martin, 1996: 448). Dengan begitu semua keputusan yang diambil oleh otak manusia—termasuk juga stress—pasti merupakan suatu tindakan yang dianggap paling logis, karena sejumlah alasan tertentu. Menariknya, tidak semua tindakan logis, yang diambil oleh otak, merupakan tindakan yang menguntungkan bagi individu, karena ada kemungkinan tindakan tersebut justru berpengaruh negatif bagi kondisi internal individu, seperti halnya stress. Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Rene Dubos dan Maya Pines (1983: 148) menunjukkan sejumlah penyakit tertentu, termasuk tukak lambung, kenaikan tekanan darah, diabetes, kemungkinan besar berhubungan erat dengan tekanan lingkungan—stress—berat yang diraskan oleh individu. Padahal Hans Selye menyatakan bahwa tekanan lingkungan itu netral, sehingga kuat atau lemahnya tekanan sosial tersebut sepenuhnya ditentukan oleh masing-masing individu (Dubos dan Pines, 1983: 155). Dengan begitu individu memiliki kemampuan penuh untuk mengendalikan kondisi tubuhnya, termasuk pilihan untuk merasakan stress atau tidak. Namun demikian jika kondisi stress telah terjadi dalam diri individu, terutama karena pengaruh media massa, maka individu tampaknya harus mampu mengendalikan diri, termasuk mengelola stress tersebut. Memang, media massa bukan satu-satunya penyebab munculnya stress, namun demikian peranan media memunculkan kondisi stress bagi individu hampir sama pentingnya dengan penyebab-penyebab stress yang lain. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa media massa menjadi salah satu penyebab stress atau justru menguatkan penyebab-penyebab stress lainnya. Menariknya, kondisi stress—bagi individu yang terlalu sering mengonsumsi media—bisa jadi merupakan peringatan dini bagi individu untuk memulai berpikir logis untuk mengurangi konsumsi media. Sehingga, berdasarkan kondisi demikian, maka tampaknya wajarlah jika masing-masing individu memiliki kemampuan literasi media yang berbeda, yang kemungkinan besar ditentukan oleh kemampuan berpikir logis individu untuk mengurangi munculnya gejolak emosional, serta mendorong aktivitas lainnya untuk mulai menggunakan media secara bijaksana. Kesimpulan Kajian tentang literasi media berdasarkan perspektif fisiologis membawa pada suatu pemahaman bahwa semua kondisi dalam diri individu— intrapersonal—berpengaruh pada semua aktivitas fisik individu (determinasi biologis). Sementara itu, semua kondisi sosial individu pasti memberikan pengaruh pada kondisi fisik dan fisiologis individu (determinasi sosial). Dengan kata lain, keadaan demikian mempengaruhi kondisi intrapersonal individu. situasi tersebut tampaknya menyiratkan indikasi bahwa ada hubungan timbal balik antara determinasi biologis dengan determinasi sosial. Hal itu secara umum menjelaskan bahwa semua tindakan individu mengonsumsi media pasti dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung dengan reaksi fisiologis dalam diri individu. Sebagai contoh, tindakan individu untuk menyalakan atau mematikan televisi—dalam konteks luas, mengonsumsi media—pasti didorong oleh seperangkat reaksi fisiologis tertentu yang terjadi antara sistem saraf dan sistem hormon untuk menanggapi rangsangan dari luar individu. Situasi serupa juga terjadi, pada saat individu memilih untuk mengurangi konsumsi media dengan tujuan tertentu. Keadaan dan situasi tersebut menunjukkan bahwa individu dipengaruhi oleh sejumlah sistem rumit yang mempengaruhi semua aktivitas fisik dan sosial, termasuk aktivitas untuk mengonsumsi media. Sehingga, aspek literasi media tampaknya masih bertalian erat dengan sejumlah faktor fisiologis, yang pada akhirnya menjadikan individu memilih untuk tidak mengonsumsi media secara berlebihan. Konsep literasi media yang secara umum menjelaskan tentang kecerdasan individu mengonsumsi medianya (Paxon, 2010; Turow, 2009; Potter 2009; dan Harris 2005), menunjukkan secara tidak langsung bahwa aspek-aspek fisiologis ikut serta berperan dalam proses literasi media. Menariknya, kondisi stress—yang dirasakan individu karena konsumsi media berlebihan—sebenarnya merupakan suatu peringatan yang diberikan tubuh kepada individu untuk mengurangi konsumsi media, yang pada akhirnya bisa mengurangi dampak negatif media terhadap diri individu. Reaksi fisiolgis dalam diri individu—terkait dengan aspek literasi media—terjadi karena interaksi rumit antara sistem saraf dengan sistem hormon dalam diri individu. Hubungan antara sistem saraf dengan sistem hormon dipengaruhi oleh satu bagian kecil dalam otak tengah manusia yang dikenal sebagai hipotalamus. Sebagai “jembatan penghubung” antara sistem saraf dengan sistem hormon, hipotalamus mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh otak—termasuk fungsifungsi otak yang mengatur logika dan kesadaran—dan mekanisme hormon yang berada di kelenjar hipofisis (Gaudin, et al, 1989: 301). Hal itu menjadikan reaksi emosional individu, termasuk stress, tampaknya masih berkaitan dengan kondisi yang disadari oleh individu, karena ada kesadaran yang membuat individu bisa memilih untuk merasakan stress atau tidak. Namun demikian, individu bisa mengurangi potensi stress tersebut dengan cara mengurangi konsumsi media secara berlebihan. Dengan kata lain, kesadaran individu untuk memilih menggunakan media secara proporsional untuk mengurangi potensi stress dalam diri individu, kemungkinan besar menjadi bagian dari proses literasi media. Daftar Pustaka Bailey, R. H. (1989). Peranan Otak. A. Widyawartaya (penerjemah). Jakarta: Tira Pustaka. Dubos, R. Pines, M. (1983). Kesehatan dan Penyakit. (Edisi Kedua). G. Bonang (penerjemah). Jakarta: Tira Pustaka. Gaudin, A. J. et al. (1989). Human Anatomy and Physiology. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich. Grimm, J. (2008). Physical Effect of Media Content. dalam Wolfgang Donsbach (editor) The International Encyclopedia of Communication: 3609-3612. Malden: Blackwell Publishing. Harris, R. J. (2005). A Cognitive Psychology of Mass Communication. fourth edition. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Hippel, A, V. (1994). Human Evolutionary Biology, Human Anatomy and Physiology from an Evolutionary Perspective. Anchorage: Stone Age Press. Horrobin, D. F. (1973). An Introduction to Human Physiology. Lanchester: MTP Preess. Livingstone, S. & van der Graff, S. (2008). Media Literacy. dalam Wolfgang Donsbach (editor) The International Encyclopedia of Communication. 2926-2930. Malden: Blackwell Publishing. Martin, J. H. (1996). Neuroanatomy, Text and Atlas. London: Prentice Hall International. Paxson, P. (2010). Mass Communication and Media Studies, An Introduction. New York: The Continuum International. Potter, W. J. (2009). Media Literacy. dalam William F. Eadie (editor) 21st Century Communication. 558-570. Thousand Oaks. Sage Publication. Romer, A. S. (1962). The Vertebrate Body. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Rothstein, M. A. (1999). Behavioral Genetics Determinism: Its Effect on Culture and Law. dalam Ronald A. Carson dan Mark A. Rothstein (editor) Behavioral Genetics, The Clash of Culture and Biology. 89-115. Baltimore: John Hopkins University Press. Tanner, O. (1988). Ketegangan. Hermaya dan T. Sumarsono (penerjemah). Jakarta: Tira Pustaka. Tortora, G. J.& Derricson, B. (2011). Principles of Anatomy & Physiology. (13th edition). vol 1. New Jersey: John Wiley & Sons. Turow, J. (2009). Media Today. An Introduction to Mass Communication. Third edition. Madison Ave: Routledge. Villee, C. A, et al. (1999). Zoologi Umum, (edisi keenam), Nawangsari Sugiri (penerjemah), cetakan kedua. Jakarta: Erlangga.