- Jurnal Kommas

advertisement
Kajian tentang Literasi Media Massa Berdasarkan Perspektif
Biologi Komunikasi
Dewanto Putra Fajar
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
Abstract
Studies on media literacy become a relatively important part in the
general study of mass communication. Unfortunately the study of media
literacy just spinning in an attempt to understand the behavior of audiences
respond to messages of mass media, or attempts to understand the behavior of
the media to create effective messages for the audience. Almost never-or
maybe just a bit-a depth study of literature or to discuss media literacy
through physiological perspective.
In fact, almost all the action and all the individual behavior towards the
surrounding world is influenced by intrapersonal conditions-including
physiological condition, which is associated with the nervous system and
hormone systems within the individual. Because of the ability of individuals to
use the media, in the context of media literacy, most likely influenced by the
individual physiological reactions that arise from the relationship between
nervous system and endocrine system.
This journal article seeks to explain as much as possible the
relationship between the nervous system and hormone systems of individuals,
in an attempt to explain the emergence of media literacy, especially on an
individual's ability to reduce the potential stress, through the efforts of media
use proportionally. In addition, the journal article describes the relationship
between media literacy with the individual physiological conditions
qualitatively through the study of literature. This was done as compensation,
due to technical limitations to observe the physiological effects of the
individual against media messages, especially with regard to media literacy.
Keywords: Communication Biology (Communibiology), Physiological Effect,
Mass Media, Media Literacy
Pendahuluan
Konsep tentang literasi media menjadii konsep dalam komunikasi massa
yang harus dipahami oleh pihak komunikator (media massa) dan komunikan
(audien). Sonia Livingstone dan Shenja van der Graff (2008: 2926) mengutip
Chris dan Potter (1998) menjelaskan bahwa literasi media merupakan aktivitas
mengakses hingga membuat dan memahami pesan dari beragam konteks sosial.
Hal itu menjadikan penerapan literasi media yang berbeda antara pihak
komunikator dan komunikan. Pihak media massa menggunakan literasi media
untuk membuat pesan yang efektif, sementara pihak audien menggunakan literasi
media untuk menginterpretasikan semua pesan yang diterima dari media massa.
Menariknya, kajian tentang literasi media lebih banyak dihubungkan dengan
aktivitas audien menanggapi isi media. Hal serupa dikatakan oleh James W. Potter
(2009: 564) bahwa audien dianggap memiliki kemampuan literasi media yang
baik jika audien tersebut mampu menganalisis hingga melakukan perilakuperilaku yang rasional. Hal itu menunjukkan bahwa literasi media dalam ranah
audien, tampaknya ditentukan pula oleh kemampuan personal, pengalaman, dan
mungkin juga kondisi budaya individu dalam menanggapi media. Dengan
demikian, individu memiliki kemampuan literasi media yang berbeda.
Menariknya, karena literasi media melibatkan kemampuan individu—termasuk
juga kondisi personal atau mungkin juga kondisi intrapersonal, maka ada
kemungkinan kondisi biologis turut menentukan kemampuan literasi media
individu tersebut.
Pandangan tentang konsep literasi media serta hubungannya dengan kondisi
biologis individu, tampak masih samar, dengan kata lain tampak tidak ada
hubungan langsung—yang signifikan—antara literasi media dengan kondisi
biologis individu. Padahal, jika kita berasumsi bahwa semua pengaruh lingkungan
sosial—determinasi
sosial—mempengaruhi
kondisi
biologis
individu—
determinasi biologis, maka pesan-pesan media yang diterima individu, hingga
perilaku literasi media kemungkinan besar pasti berkaitan dengan kondisi biologis
individu, dalam diri audien. Keadaan demikian menunjukkan bahwa kondisi sosial
dan kondisi biologis saling memberikan pengaruh, meskipun mungkin tidak
terlalu signifikan. Determinasi biologis merupakan sejumlah aktivitas internal
individu yang mempengaruhi sejumlah aktivitas fisik dan sosial individu.
Konsep tersebut pada awalnya dicetuskan oleh selompok ilmuwan yang
mempelajari lebih dalam tentang bentuk determinasi biologis, seperti Richard C.
Lewontin, dan para koleganya (1984), seperti yang dikutip oleh Mark A.
Rothstein (1999: 95). Mereka menjelaskan bahwa situasi sosial atau kondisi sosial
dipengaruhi oleh kondisi biologis masing-masing individu, sehingga diterminasi
biologis ikut serta menentukan sifat-sifat dan perilaku individu dengan
lingkungannya (Rothstein, 1999: 95). Hal itu menjadi penjelasan umum bahwa
kondisi biologis menentukan hampir semua aktivitas sosial individu. Dengan kata
lain, semua bentuk interaksi sosial individu dengan lingkungan sekitarnya
ditentukan oleh kondisi biologis individu, termasuk kemampuan individu dalam
literasi media.
Proses literasi media, bagi audien, merupakan bentuk interaksi individu
dengan media. Lebih lanjut proses literasi media bertujuan membangun kesadaran
audien dan kemampuan audien mengevaluasi pesan-pesan dari media massa
(Turow, 2009: 28). Dengan begitu, literasi media mendorong audien untuk lebih
cerdas menanggapi semua pesan yang muncul di media, sehingga pengaruhpengaruh
buruk
dari
pesan-pesan
tersebut
bisa
diminimalisasi,
serta
memaksimalisikan penerimaan nilai-nilai positif dalam pesan-pesan media.
Menariknya, fakta bahwa literasi media, oleh audien, melibatkan kecerdasan dan
kesadaran individu ketika menanggapi media, maka secara umum literasi media
pasti melibatkan sejumlah aktivitas fisiologis, terutama dalam pengelolaan
informasi.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa kondisi fisiologis individu—bagian dari
kondisi biologis—membantu mengurangi efek buruk media yang diwujudkan
dalam bentuk sikap dan perilaku individu menggunakan media. Meskipun
penyelidikan tentang hubungan kausalitas antara literasi media dengan kondisi
biologis individu masih berada pada tahap awal, artikel jurnal ini berusaha
menjelaskan secara maksimal—dengan segala keterbatasannya—hubungan antara
literasi media dan kondisi biologis individu, dalam ranah komunikasi massa.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam artikel jurnal ini adalah: Bagaimana deskripsi
kajian tentang literasi media massa berdasarkan perspektif biologi komunikasi ?
Pembahasan
a. Kajian tentang Literasi Media
Istilah literasi media dipahami sebagai istilah yang berhubungan dengan
interpretasi tekstual, terutama yang muncul di media (Potter, 2009: 558;
Buckingham, 1998; Zettl. 1998). Karena itu literasi media yang dilakukan audien
berkaitan erat dengan usaha audien memahami serta menafsirkan pesan-pesan
media sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Hal itu membutuhkan
kemampuan kognitif individu secara maksimal, sehingga ada perbedaan literasi
media yang dilakukan oleh masing-masing individu.
Karena itu, Payton Paxson (2010: 20), secara umum, menjelaskan bahwa
literasi merupakan kemampuan individu untuk mengurangi efek buruk dari media.
Penjelasan Paxson menguatkan pandangan Potter (2009) yang menjelaskan bahwa
literasi media merupakan kemampuan individu untuk menafsirkan semua isi pesan
yang muncul di media, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Kenyataan
tersebut
berhubungan
dengan
kemampuan
individu
menginterpretasikan pesan hingga memilih pesan-pesan yang dianggap berguna
bagi kepentingan individu tersebut, karena kemampuan literasi media menjadi
modal utama bagi individu untuk menanggapi pesan-pesan media.
Lebih lanjut literasi media tidak hanya terbatas pada usaha individu—
audien—memahami media, tapi juga semua usaha individu menanggapi atau
mengiterpretasikan semua pesan media, termasuk semua usaha individu untuk
memilih pesan-pesan tertentu yang diberikan media. Umumnya literasi media
didefinisikan sebagai kemampuan audien untuk menerapkan pemikiran kritis
untuk membentuk individu yang bertanggungjawab, terutama pada saat
menggunakan media (Turow, 2009: 29).
Dengan begitu, semua usaha dan tindakan audien untuk berpikir kritis
terhadap isi media, serta menjadikan audien mampu memilih dan menggunakan
media secara bertanggungjawab bisa dikategorikan sebagai bagian dari literasi
media. Hal itu menunjukkan bahwa individu seharusnya memiliki sejumlah
kemampuan untuk menggunakan, memilih, serta berpikir kritis terhadap isi media,
namun tidak semua individu memiliki keinginan untuk menggunakan pemikiran
kritis, untuk menanggapi pesan-pesan media. Keadaan tersebut menunjukkan
bahwa kemampuan literasi media berbeda-beda pada masing-masing individu.
Lebih lanjut, kehendak individu untuk menggunakan atau tidak menggunakan
media tampaknya juga bisa menjadi bagian dari literasi media. Singkatnya, ketika
individu memilih untuk menyalakan televisi—atau menggunakan media lainnya—
pasti dilandasi oleh satu keinginan tertentu yang dimiliki oleh individu tersebut,
sama seperti pada saat individu mematikan televisi—atau tidak menggunakan
media tertentu.
Sehingga bisa jadi konsep literasi media tidak hanya seperti yang dijelaskan
oleh Turow (2009) dan Potter (2009), tapi juga berhubungan dengan kemampuan
individu memilih media berdasarkan kehendak bebas masing-masing individu.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa individu memiliki pilihan bebas untuk
memilih menggunakan medianya, termasuk berapa lama durasi konsumsi media
tersebut, sehingga efek media yang diterima oleh individu, sepenuhnya ditentukan
oleh individu itu sendiri. Sayangnya, rendahnya kemampuan literasi media yang
dimiliki oleh individu, menjadikan efek buruk media tampak masih memegang
peran dominan.
Literasi media, terutama pada kemampuan individu memilih dan
menggunakan medianya, merupakan suatu tindakan yang menuntut individu aktif
menggunakan media serta menutut individu aktif mencerna semua pesan media
yang dikonsumsinya. Hal itu menjadikan individu tidak hanya menerima semua
pesan media secara pasif, tapi juga memaksa individu untuk aktif memilih pesanpesan yang bermanfaat serta mengabaikan semua pesan yang tidak bermanfaat.
Kondisi demikian rupanya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan masingmasing individu, tapi juga kemampuan individu mempersepsikan semua pesan
media yang diterima, yang pada akhirnya berhubungan dengan kondisi fisiologis
individu.
Sederhananya semua pesan dari media yang diterima oleh individu pasti
memberikan dampak pada kondisi fisiologis individu, lebih-lebih jika pesan-pesan
media massa tersebut berupa pesan dengan informasi negatif yang cenderung
tidak bermanfaat—seperti informasi yang tidak terlalu dibutuhkan individu atau
informasi yang tidak disenangi. Menariknya, aktivitas individu mengonsumsi
media berhubungan dengan kemampuan literasi media masing-masing individu.
Dengan kata lain, keinginan individu mengonsumsi media serta memilih untuk
tidak mengonsumsi media berhubungan dengan kecerdasan individu, serta
sejumlah proses fisiologis dalam diri individu, untuk menggunakan media sesuai
dengan kebutuhannya.
Richard Jackson Harris (2005: 149) mengutip pendapat Potter (2001),
mejelaskan bahwa media literasi berhubungan dengan empat aspek penting, yaitu
aspek kognitif, aspek emosional, aspek estetis, dan aspek moral. Dengan kata lain
semua pesan media massa mempengaruhi audien melalui empat aspek tersebut,
atau setidaknya empat aspek literasi media tersebut merupakan bagian yang harus
dipahami oleh individu untuk membangun kemampuan literasi media yang baik.
Kenyataan demikian menunjukkan bahwa pesan media bisa mempengaruhi
kondisi kognitif dan emosi individu, sehingga beberapa individu berpotensi
mengalami stress atau perubahan fisiologis, kecuali individu yang memiliki
kemampuan literasi media yang baik. Dengan begitu, kemampuan individu
menafsirkan dan memahami isi pesan media—literasi media—yang baik,
kemungkinan besar bisa mengurangi potensi stress pada diri individu.
b. Stres Sebagai Bagian dari Literasi Media
Perubahan kondisi biologis individu, dalam kaitannya dengan efek media,
dimulai dengan penerimaan rangsangan oleh indera serta pengolahan rangsangan
tersebut oleh otak. Kondisi demikian menunjukkan bahwa semua tindakan yang
dilakukan individu kebanyakan berasal dari informasi (rangsangan) yang
didapatkan individu melalui indera, sementara tindakan lainnya kemungkinan
besar berasal dari kehendak bebas. Menariknya setiap semua informasi yang
diolah oleh otak menghasilkan beragam bentuk tindakan berbeda, tergantung pada
kondisi fisiologis masing-masing individu. Dengan kata lain, masing-masing
individu bisa mempersepsikan beragam makna, meskipun informasi yang
diberikan kepada semua individu tersebut sama. Karena itu, ketegangan diri
individu, stress, hingga perubahan emosional bisa jadi merupakan hasil
pengolahan semua informasi di dalam otak manusia.
Ronald H. Bailey (1989: 13) menyatakan bahwa semua bentuk emosi
manusia dikendalikan oleh bagian otak yang dikenal sebagai hipotalamus. Lebih
lanjut Bailey menjelaskan bahwa hipotalamus bertugas mengendalikan kondisi
fisiologis—seperti meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah,
hingga kondisi fisiologis yang berhubungan dengan emosi—individu untuk
menghadapi tekanan dari lingkungan (Bailey 1989: 13).
Kondisi demikian membuat tubuh manusia menjadi lebih siap menghadapi
tekanan berat dari lingkungan sekitar. Hal serupa juga dijelaskan oleh Ogden
Tanner (1988: 9), yang menyatakan bahwa rekasi fisiologis bisa diwujudkan
dalam banyak perilaku emosional. Tekanan lingkungan tidak hanya muncul dari
interaksi sosial semata, tapi juga bisa muncul dari informasi yang diberikan
media, atau setidaknya informasi dari media menambah tekanan yang muncul dari
interaksi sosial.
Secara fisiologis perubahan kondisi emosional individu melibatkan interaksi
antara dua sistem pengedali tubuh, yaitu sistem saraf dan sistem hormon
(endokrin). Interaksi yang muncul diantara dua sistem pengendali tubuh tersebut,
dalam upaya mengubah kondisi emosional individu, sangatlah rumit, karena
masing-masing sistem tersebut saling mempengaruhi satu dan lainnya. Lebih
lanjut, pemikiran sadar individu memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
kondisi fisiologis individu, bahkan pada situasi yang berbeda individu tetap
memiliki kemampuan sadar untuk mengendalikan kondisi emosional di dalam
dirinya, termasuk juga stress.
Hal itu menjadikan kemampuan individu menerima stress cenderung
berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan pemikiran logis masing-masing
individu untuk memahami stress sekaligus menghadapinya. Dengan kata lain,
tekanan sosial tertentu yang menyebabkan stress bagi satu individu, bisa jadi tidak
menimbulkan stress bagi individu lainnya. Sama seperti yang dikatakan Hans
Selye bahwa pada hakekatnya semua tekanan lingkungan itu bersifat netral,
sehingga stress atau tidak ditentukan oleh cara individu menghadapi tekanan
tersebut (Dubos dan Pines, 1983: 155).
Kondisi demikian tampaknya juga berlaku pada kondisi fisiologis individu
pada saat menerima pesan-pesan dari media. John H. Martin (1996: 448)
menjelaskan bahwa sistem limbik dalam otak manusia memiliki sirkuit tumpang
tindih yang mempengaruhi efektor dari otak manusia, termasuk neuroendokrin,
hingga motor somatis.
Tidak hanya itu, sistem limbik tampaknya juga berhubungan dengan
hipotalamus, sehingga pada saat individu merasakan stress karena pesan media,
ada kemungkinan bahwa hipotalamus akan mengirimkan sejumlah sinyal tertentu
ke kelenjar hipofisis untuk melepaskan sejumlah hormon tertentu, yang
mempengaruhi kondisi emosional dan perilaku individu. Dengan kata lain semua
informasi yang diproses oleh otak manusia pasti melalui mekanisme rumit, yang
pada akhirnya diubah menjadi tindakan fisik individu. Hal itu menjadi penjelasan
utama bahwa perilaku konsumsi media yang dilakukan individu, pasti didorong
oleh sejumlah reaksi dalam otak manusia, yang melibatkan interaksi antara
cerebral hemisphere dengan sistem limbik—termasuk juga hipotalamus—begitu
pula sebaliknya.
Keterangan. Diagram di atas menunjukkan pola hubungan serabut saraf (wiring conection) antara
hipotalamus dengan bagian otak lainnya, terutama entorhinal cortex—atau bagian yang menjadi bagian
dari neocortex, yang secara umum bertanggungjawab untuk aspek logika yang lebih tinggi. Di samping
itu diagam pola hubungan di atas juga menunjukkan bahwa hipotalamus rupanya dipengaruhi oleh bagian
otak yang lebih tinggi, atau mempengaruhi bagian otak yan lebih tinggi. Dengan kata lain individu pada
dasarnya bisa mengendalikan emosi atau di saat lain, justru dikendalikan oleh emosi.(Sumber Gambar:
http://www.benbest.com/science/anatmind/FigVII29.gif)
Alfred Sherwood Romer (1962: 554) menyatakan bahwa dalam otak
manusia—dan kebanyakan hewan vertebarata—membentuk hubungan antara
sistem saraf pusat dengan sistem hormon—terutama di wilayah kelenjar hipofisis
(dikenal juga dengan nama kelenjar pituitari)—ditunjukkan oleh sel-sel saraf yang
berada di wilayah pars intermedia. Lebih lanjut, bagian dari kelenjar hipofisis
yang memiliki banyak sel-sel saraf berada neorohipofisis. Menariknya
neurohipofisis tidak hanya dikendalikan oleh sel-sel neurosekresi semata, tapi
juga hormon-hormon yang berasal dari hipotalamus (Romer, 1962: 554).
Karena itu, kelenjar hipofisis dikendalikan oleh dua sistem sekaligus, yaitu
sistem saraf dari wilayah otak terutama sel-sel neurosekresi (sel-sel saraf yang
berhubungan dengan sekersi hormon tertentu) yang berada di wilayah
hipotalamus—yang merangsang sekresi setidaknya lima hormon pelepas
(releasing hormone) dan dua hormon penghambat (inhibiting hormone), serta
sistem hormon, terutama yang hormon-hormon yang disekresikan oleh
hipotalamus seperti misalnya corticotrophin-releasing hormone (CRH) (Tortora
dan Derricson, 2011: 690).
Dengan begitu mekanisme hubungan antara hipotalamus dan kelenjar
hipofisis
bisa
dijelaskan
secara
lebih
mudah,
pertama,
hipotalamus
mensekresikan beberapa hormon untuk mempengaruhi wilayah anterior hipofisis
untuk mensekresikan hormon-hormon tertentu.
Kedua, hipotalamus juga
memberikan perintah berupa sinyal berupa impuls saraf dari sel-sel neurosekresi
untuk menghasilkan sejumlah hormon yang merangsang hipofisis—di wilayah
posterior (Romer, 1962: 554). Dengan kata lain kelenjar hipofisis sepenuhnya
dikendalikan oleh hipotalamus (von Hippel, 1994: 304). Perhatikan gambar 1 di
bawah ini.
Keterangan. Gambar potongan melintang kelenjar hipofisis (pituitary) yang sangat disederhanankan.
Gambar tersebut menujukkan pola pembuluh darah serta sistem saraf yang mengendalikan kelenjar
hipofisis, tampak jelas bahwa kelenjar hipofisis dikendalikan oleh hipotalamus melalui sel-sel saraf
neurosekresi (neurosecretory neurons) serta sel-sel saraf yang masuk dalam kelompok supraoptic nuclei
dan paraventricular nuclei. (Sumber Gambar: http://image.slidesharecdn.com/
ch18lecturepresentation-130818141631-phpapp02/95/169-ch-18lecturepresentation-48638.jpg?cb=1376987218)
Peranan hipotalamus mengendalikan fungsi-fungsi dasar individu, termasuk
emosi, berhubungan dengan kendali hipotalamus terhadap kelenjar hipofisis.
Kondisi stress yang dirasakan oleh individu berhubungan erat dengan sejumlah
hormon yang berasal dari wilayah kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis setidaknya
mensekresikan setidaknya sepuluh hormon (Romer, 1962: 558) tertentu yang tiga
diantaranya, yaitu adenocorticotropic hormone (ACTH), somatotropin (STH),
atau dikenal juga sebagai human growth hormone (hGH) (Tortora & Derricson,
2011: 715), dan tyroid-stimulating hormone (TSH), ketiga hormon tersebut
berpengaruh terhadap hormon-hormon penanda stress yang disekresikan oleh
kelenjar lainnya (Tortora dan Derricson, 2011: 713-715; von Hippel, 1994).
Secara fisiologis stress muncul karena kondisi dalam diri individu yang
dipengaruhi oleh reaksi yang diberikan oleh sistem saraf tepi (sistem saraf
simpatis dan parasimpatis) dan interaksi sejumlah hormon tertentu dari kelenjar
hipofisis terhadap kelenjar endokrin lainnya. Secara sederhana—berdasarkan
kondisi fisiologis, terutama reaksi hormonal individu, stress dimulai dari perintah
hipotalamus kepada kelenjar hipofisis melalui CRH atau hormon-hormon yang
berfungsi sebagai hormon pelepas (releasing hormone atau releasing factor,
dikenal juga dengan RH atau RF) (Horrobin, 1973: 89) serta impuls saraf dari
hipotalamus melalui sel-sel saraf neurosekresi. Kelenjar hipofisis menanggapi
perintah tesrebut dengan mensekresikan sejumlah hormon tertentu, seperti ACTH,
STH atau hGH, dan TSH, yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar sasaran, yaitu
kelenjar adrenal, hati, dan kelenjar tiroid. ACTH mempengaruhi kelenjar adrenal
untuk mensekresikan hormon adrenocorticosteroid (Ville, et al. 1999: 302), dan
hormon-hormon lainnya, seperti kortisol, epinefrin, dan norepinefrin (Tortora &
Derricson, 2011: 715).
hGH mempengaruhi hati yang mensekresikan IGFs (Tortora & Derricson
2011: 715). Sedangkan TSH mempengaruhi sekresi hormon-hormon tiroid
terutama seperti tiroksin (T4), dan triodotironin (T3) (Tortora & Derricson, 2011:
715; Ville, et al, 1999). Masing-masing hormon tersebut memiliki peran dan
fungsi yang beragam, namun kebanyakan berhubungan dengan usaha tubuh
menghadapi tekanan lingkungan dengan cara bertahan (resistance) atau melawan
(fight or flight system). Dengan kata lain tubuh manusia memiliki mekanisme luar
bisa untuk menghadapi beragam tekanan dari lingkungan sosial, yang pada
akhirnya menunjukkan munculnya hubungan antara determinisme sosial terhadap
determinisme biologis, atau mungkin juga sebaliknya. Menariknya, beragam
tekanan lingkungan, termasuk konsumsi media secara terus-menerus, konstan,
dan durasi yang ralatif lama, bisa meningkatkan potensi stress individu.
perhatikan gambar di bawah ini.
Stressor (rangsangan)
CRH—GHRH—TRH
Impuls Saraf melalui
Sistem saraf
Simpatetis
TSH—hGH—ACTH
ACTH
TSH
hGH
Kelenjar Adrenal
Epinephrine &
Norepinephrine,
Kortisol
Hati (Liver)
IGFs (Insuline-like
Growth Factors)
Kelenjar Tiroid
Hormon-hormon
Tiroid
(T3 & T4)
Keterangan. Diagram yang sangat disederhanankan untuk menjelaskan reaksi fisiologis individu (sistem
saraf dan sistem endorkrinologi) untuk menghadapi stress yang muncul dari lingkungan. Diagram
tersebut menunjukkan bahwa stress kemungkinan dipicu oleh reaksi sejumlah hormone tertentu, terutama
hormon-hormon yang memepnegaruhi sekresi hormone lainnya, terutama hormon-hormon penanda
stress. (PANAH MERAH=menunjukkan reaksi hormonal; PANAH HIJAU=menunjukkan reaksi
saraf)(Sumber Gambar: diadaptasi dari Tortora & Derricson (2011: 715); Gambar hipotalamus dan
kelenjar hipofisis: https://o.quizlet.com/d.ZMS4Dg7OXne9tVYNE7zg_m.jpg)
Fakta bahwa konsumsi media berlebihan meningkatkan potensi stress
individu dijelaskan oleh Jürgen Grimm (2008) sebagai bagian dari efek fisik
media massa. Ia menyatakan bahwa bahwa efek media massa terhadap kondisi
fisiologis individu bisa beragam, termasuk munculnya stress (Grimm, 2008:
3609).
Dengan kata lain media massa bisa menjadi salah satu faktor yang
berpotensi meningkatkan potensi stress individu, karena itu kemampuan kita
mengendalikan penggunaan media massa, untuk menghindari atau bahkan
mengurangi tingkat stress individu, menjadi sesuatu yang penting. Karena itu
hubungan antara sistem saraf dengan sistem hormon dalam diri individu, pada saat
mengonsumsi media, merupakan mekanisme alami untuk menanggapi dunia luar,
termasuk perilaku mengonsumsi media. Semua informasi yang telah diterima oleh
otak melalui panca indera diolah di dalam bagian-bagian tertentu yang
bertanggungjawab terhadap pikiran-pikiran logis, namun tetap melibatkan sistem
limbik, yaitu bagian otak yang lebih primitif—dianggap demikian karena sistem
limbik bertangungjawab pada pengendalian sistem efektor otak, seperti
neuroendokrin, sirkuit otonom, dan sistem motor somatis (Martin, 1996: 448).
Dengan begitu semua keputusan yang diambil oleh otak manusia—termasuk
juga stress—pasti merupakan suatu tindakan yang dianggap paling logis, karena
sejumlah alasan tertentu. Menariknya, tidak semua tindakan logis, yang diambil
oleh otak, merupakan tindakan yang menguntungkan bagi individu, karena ada
kemungkinan tindakan tersebut justru berpengaruh negatif bagi kondisi internal
individu, seperti halnya stress. Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Rene Dubos
dan Maya Pines (1983: 148) menunjukkan sejumlah penyakit tertentu, termasuk
tukak lambung, kenaikan tekanan darah, diabetes, kemungkinan besar
berhubungan erat dengan tekanan lingkungan—stress—berat yang diraskan oleh
individu. Padahal Hans Selye menyatakan bahwa tekanan lingkungan itu netral,
sehingga kuat atau lemahnya tekanan sosial tersebut sepenuhnya ditentukan oleh
masing-masing individu (Dubos dan Pines, 1983: 155). Dengan begitu individu
memiliki kemampuan penuh untuk mengendalikan kondisi tubuhnya, termasuk
pilihan untuk merasakan stress atau tidak.
Namun demikian jika kondisi stress telah terjadi dalam diri individu,
terutama karena pengaruh media massa, maka individu tampaknya harus mampu
mengendalikan diri, termasuk mengelola stress tersebut. Memang, media massa
bukan satu-satunya penyebab munculnya stress, namun demikian peranan media
memunculkan kondisi stress bagi individu hampir sama pentingnya dengan
penyebab-penyebab stress yang lain. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa
media massa menjadi salah satu penyebab stress atau justru menguatkan
penyebab-penyebab stress lainnya.
Menariknya, kondisi stress—bagi individu yang terlalu sering mengonsumsi
media—bisa jadi merupakan peringatan dini bagi individu untuk memulai
berpikir logis untuk mengurangi konsumsi media. Sehingga, berdasarkan kondisi
demikian, maka tampaknya wajarlah jika masing-masing individu memiliki
kemampuan literasi media yang berbeda, yang kemungkinan besar ditentukan
oleh kemampuan berpikir logis individu untuk mengurangi munculnya gejolak
emosional, serta mendorong aktivitas lainnya untuk mulai menggunakan media
secara bijaksana.
Kesimpulan
Kajian tentang literasi media berdasarkan perspektif fisiologis membawa
pada suatu pemahaman bahwa semua kondisi dalam diri individu—
intrapersonal—berpengaruh pada semua aktivitas fisik individu (determinasi
biologis). Sementara itu, semua kondisi sosial individu pasti memberikan
pengaruh pada kondisi fisik dan fisiologis individu (determinasi sosial). Dengan
kata lain, keadaan demikian mempengaruhi kondisi intrapersonal individu. situasi
tersebut tampaknya menyiratkan indikasi bahwa ada hubungan timbal balik antara
determinasi biologis dengan determinasi sosial.
Hal itu secara umum menjelaskan bahwa semua tindakan individu
mengonsumsi media pasti dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung
dengan reaksi fisiologis dalam diri individu. Sebagai contoh, tindakan individu
untuk menyalakan atau mematikan televisi—dalam konteks luas, mengonsumsi
media—pasti didorong oleh seperangkat reaksi fisiologis tertentu yang terjadi
antara sistem saraf dan sistem hormon untuk menanggapi rangsangan dari luar
individu. Situasi serupa juga terjadi, pada saat individu memilih untuk
mengurangi konsumsi media dengan tujuan tertentu.
Keadaan dan situasi tersebut menunjukkan bahwa individu dipengaruhi oleh
sejumlah sistem rumit yang mempengaruhi semua aktivitas fisik dan sosial,
termasuk aktivitas untuk mengonsumsi media. Sehingga, aspek literasi media
tampaknya masih bertalian erat dengan sejumlah faktor fisiologis, yang pada
akhirnya menjadikan individu memilih untuk tidak mengonsumsi media secara
berlebihan.
Konsep literasi media yang secara umum menjelaskan tentang kecerdasan
individu mengonsumsi medianya (Paxon, 2010; Turow, 2009; Potter 2009; dan
Harris 2005), menunjukkan secara tidak langsung bahwa aspek-aspek fisiologis
ikut serta berperan dalam proses literasi media. Menariknya, kondisi stress—yang
dirasakan individu karena konsumsi media berlebihan—sebenarnya merupakan
suatu peringatan yang diberikan tubuh kepada individu untuk mengurangi
konsumsi media, yang pada akhirnya bisa mengurangi dampak negatif media
terhadap diri individu. Reaksi fisiolgis dalam diri individu—terkait dengan aspek
literasi media—terjadi karena interaksi rumit antara sistem saraf dengan sistem
hormon dalam diri individu.
Hubungan antara sistem saraf dengan sistem hormon dipengaruhi oleh satu
bagian kecil dalam otak tengah manusia yang dikenal sebagai hipotalamus.
Sebagai “jembatan penghubung” antara sistem saraf dengan sistem hormon,
hipotalamus mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh otak—termasuk fungsifungsi otak yang mengatur logika dan kesadaran—dan mekanisme hormon yang
berada di kelenjar hipofisis (Gaudin, et al, 1989: 301).
Hal itu menjadikan reaksi emosional individu, termasuk stress, tampaknya
masih berkaitan dengan kondisi yang disadari oleh individu, karena ada kesadaran
yang membuat individu bisa memilih untuk merasakan stress atau tidak. Namun
demikian, individu bisa mengurangi potensi stress tersebut dengan cara
mengurangi konsumsi media secara berlebihan. Dengan kata lain, kesadaran
individu untuk memilih menggunakan media secara proporsional untuk
mengurangi potensi stress dalam diri individu, kemungkinan besar menjadi
bagian dari proses literasi media.
Daftar Pustaka
Bailey, R. H. (1989). Peranan Otak. A. Widyawartaya (penerjemah). Jakarta: Tira
Pustaka.
Dubos, R. Pines, M. (1983). Kesehatan dan Penyakit. (Edisi Kedua). G. Bonang
(penerjemah). Jakarta: Tira Pustaka.
Gaudin, A. J. et al. (1989). Human Anatomy and Physiology. San Diego: Harcourt
Brace Jovanovich.
Grimm, J. (2008). Physical Effect of Media Content. dalam Wolfgang Donsbach
(editor) The International Encyclopedia of Communication: 3609-3612.
Malden: Blackwell Publishing.
Harris, R. J. (2005). A Cognitive Psychology of Mass Communication. fourth
edition. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates.
Hippel, A, V. (1994). Human Evolutionary Biology, Human Anatomy and
Physiology from an Evolutionary Perspective. Anchorage: Stone Age Press.
Horrobin, D. F. (1973). An Introduction to Human Physiology. Lanchester: MTP
Preess.
Livingstone, S. & van der Graff, S. (2008). Media Literacy. dalam Wolfgang
Donsbach (editor) The International Encyclopedia of Communication.
2926-2930. Malden: Blackwell Publishing.
Martin, J. H. (1996). Neuroanatomy, Text and Atlas. London: Prentice Hall
International.
Paxson, P. (2010). Mass Communication and Media Studies, An Introduction.
New York: The Continuum International.
Potter, W. J. (2009). Media Literacy. dalam William F. Eadie (editor) 21st
Century Communication. 558-570. Thousand Oaks. Sage Publication.
Romer, A. S. (1962). The Vertebrate Body. Philadelphia: W.B. Saunders
Company.
Rothstein, M. A. (1999). Behavioral Genetics Determinism: Its Effect on Culture
and Law. dalam Ronald A. Carson dan Mark A. Rothstein (editor)
Behavioral Genetics, The Clash of Culture and Biology. 89-115. Baltimore:
John Hopkins University Press.
Tanner, O. (1988). Ketegangan. Hermaya dan T. Sumarsono (penerjemah).
Jakarta: Tira Pustaka.
Tortora, G. J.& Derricson, B. (2011). Principles of Anatomy & Physiology. (13th
edition). vol 1. New Jersey: John Wiley & Sons.
Turow, J. (2009). Media Today. An Introduction to Mass Communication. Third
edition. Madison Ave: Routledge.
Villee, C. A, et al. (1999). Zoologi Umum, (edisi keenam), Nawangsari Sugiri
(penerjemah), cetakan kedua. Jakarta: Erlangga.
Download