pengukuran kerugian bangunan rumah

advertisement
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
PENGUKURAN KERUGIAN BANGUNAN RUMAH
AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT
Kasus Kawasan Pantai Ampenan – Mataram
Oleh:
Bambang Sugiarto
Tibin Rubi Prayudi
Siti Zubaidah Kurdi
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Telah menjadi issue global bahwa kenaikan muka air laut berpengaruh besar
terhadap kondisi kawasan pantai seperti menyusutnya area pantai, hilangnya hutan bakau,
haliangnya sarana dan prasarana. Kerusakan tidak hanya terjadi secara fisik tetapi juga
secara sosial dan ekonomi. Tingkat kerusakan akan berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya bergantung pada daya dukung kawasan sehingga perlu penanganan yang
berbeda. Adanya kebijakan yang berlainan mengakibatkan pemanfaatan kawasan menjadi
berlainan pula.
Kenaikan muka air laut terjadi relatif lambat. Berdasarkan pengamatan kenaikan
muka air laut per tahun pada beberapa tempat menunjukan angka yang sangat kecil
dibandingkan dengan luas areanya Walaupun demikian sejumlah penduduk pantai
menyatakan bahwa tinggi genangan saat pasang selalu meningkat setiap tahunnya. Hal ini
ditunjukan dengan pindahnya rumah penduduk karena lahan yang ditinggali sudah tidak
mungkin untuk ditinggali atau pada beberapa rumah perlu dibuat tanggul di bagian depan
sebagai penghalang air masuk. Penanganan kawasan dengan membangun tanggul adalah
salah satu pengaman lingkungan.
Mataram adalah kota pantai yang mempunyai garis pantai sepanjang ....Km.
Kawasan pantai yang berada di kecamatan Ampenan mempunyai topografi yang relatif
datar sehingga pada waktu-waktu tertentu saat terjadi pasang tertinggi di kawasan tersebut
sering tergenang. Area genangan akan lebih lebar pada saat musim hujan. Frekwensi yang
terjadinya genangan meningkat setiap tahun mangkibatkan terjadinya perubahan garis
pantai yang berarti terjadi perubahan daya dukung kawasan. Untuk dapat mengembangkan
kawasan lebih lanjut perlu mengetahui kerugian yang telah terjadi.
1.2.
Tujuan
Tujuan kegiatan adalah mengukur kerugian yang terjadi pada bangunan rumah
secara fisik dan secara sosial-ekonomi dengan memandang rumah sebagai tempat tinggal.
Selanjutnya dapat diketahui kerugian yang terjadi/dialami oleh suatu kawasan pantai.
1.3.
Lingkup Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- mengetahui kerugian fisik bangunan dengan mengukur karusakan –kerusakan yang
terjadi pada bangunan
- mengetahui kerugian sosial-ekonomi penghuni rumah karena beberapa kegiatan
terganggu
- mengetahui kerugian yang terjadi pada kawasan
Makalah dan Presentasi
212
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Pengukuran fisik dilakukan pada 12 bangunan rumah kasus sedangkan pengukuran
sosial-ekonomi dilakukan pada 47 bangunan rumah.
1.4.
Metodologi
Data sekunder didapat dari penelusuran kepustakaan dan dari instansi terkait
sedangkan data primer didapat dengan cara:
- pengukuran kerusakan bangunan yang terjadi pada 5 komponen utama bangunan
meliputi fundasi, lantai, dinding, langit-langit dan atap.
- pengukuran kerugian sosial-ekonomi meliputi hal-hal yang dilakukan dan tidak
dilakukan penghuni rumah pada saat sebelum, selama dan sesudah terjadinya
genangan dan adaptasi yang dilakukan.
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan pengamatan lapangan yang
direkam dalam bentuk foto. Kawasan yang dijadikan sebagai lokasi survei ditentukan
dengan urutan sebagai berikut:
- kawasan pantai kota dengan ketinggian garis kontur 0-1M atau kawasan dengan
maksimum garis kontur 1M,
- berdasarkan peta genangan memilih lahan yang paling sering terkena genangan
saat terjadi pasang laut
- berdasarkan peta penggunaan lahan memilih kawasan dengan peruntukan terbesar
sebagai kawasan permukiman.
2.
GAMBARAN UMUM KONDISI DAN KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN KOTA MATARAM
Kota Mataram mempunyai peran dan fungsi beraneka ragam, yang secara tidak
langsung bisa merupakan potensi atau masalah bagi pertumbuhan dan perkembangan kota
itu sendiri. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan kawasan terbangun sebagai implikasi
perkembangan kota Mataram. Permasalahan penyediaan fasilitas lingkungan dan
penyebaran penduduk yang tidak merata, kondisi lingkungan perumahan yang tidak
memadai adalah indikasi dari perlunya langkah penanganan.
Kondisi fisik dasar adalah aspek yang perlu dipelajari dan dipertimbangkan dalam
upaya penanganan permasalahan kota. Dibawah ini akan diuraikan mengenai kondisi fisik
dasar kota Mataram yang meliputi aspek geografis, administratif, morfologi, topografi,
ekologi, struktur tanah, klimatologi, hidrologi, kondisi lingkungan, kependudukan. dan
kondisi sosial ekonomi penduduk.
2.1.
Orientasi Geografis dan Batas Administrasi
Kota Mataram terletak pada koordinat 116042‘ sampai 116047‘ Bujur Timur dan
18033‘ sampai 18042‘ Lintang Selatan atau terletak di bagian barat Pulau Lombok yang
merupakan pintu gerbang bagian barat propinsi Nusa Tenggara Barat, karena memiliki
pelabuhan laut yang telah dikenal sejak jaman kerajaan Mataram dan menghadap langsung
ke Selat Lombok yang menjadi garis Walace sebagai batas pemisah ekologi wilayah barat
dan timur Indonesia. Selat Lombok ini terkenal cukup dalam, sehingga sering
dipergunakan sebagai perlintasan kapal-kapal besar antar samudra, dari Samudra Hindia
disebelah selatan menuju Samudra Pasifik disebelah utara Indonesia.
Luas wilayah kota Mataram keseluruhan setelah mengalami pemekaran adalah
6.130 hektar, yang berbatasan dengan kecamatan Gunungsari, kabupaten Lombok Barat
disebelah utara, kecamatan Narmada, kabupaten Lombok Barat disebelah timur, kecamatan
Labuapi, kabupaten Lombok Barat disebelah selatan dan Selat Lombok disebelah barat.
Makalah dan Presentasi
213
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Secara administratif kota Mataram dibagi menjadi 3 kecamatan dan 21 kelurahan
seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Pembagian wilayah administrasi Kota Mataram
Kecamatan
Ampenan
Mataram
Cakranegara
Kelurahan
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
7
8
Ampenan Utara
Ampenan Tengah
Ampenan Selatan
Tanjung Karang
Karang Pule
Pejeruk
Pagutan
Rembiga
Sayang-sayang
Karang Baru
Monjok
Dasan Agung
Pegesangan
Cakra Utara
Cakra Barat
Cakra Timur
Cakra Selatan
Selagalas
Bertais
Babakan
Dasan Cermen
Luas wilayah
(Km2)
23,59
Sumber : Dinas PU Kota Mataram & BPS
2.2.
Kondisi fisik dasar
Kondisi fisik dasar yang meliputi morfologi (ketinggian dan kemiringan lereng),
iklim, jenis tanah, kedalaman efektif tanah dan hidrologi merupakan aspek yang penting
berkaitan dengan masalah pengembangan kota dan kendala kebencanaan.
2.2.1 Geomorfologi
Topografi kota Mataram secara umum merupakan dataran rendah dengan
ketinggian antara 0-60 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Cakranegara secara
umum mempunyai ketinggian + 25 meter, kecamatan Mataram + 15 meter dan kecamatan
Ampenan + 5 meter. Sedangkan kelurahan Sayang-sayang di kecamatan Cakranegara
mempunyai elevasi paling tinggi, yaitu + 57 meter diatas permukaan laut.
Secara geomorfologi kota Mataram umumnya relatif datar, daerah dengan
kemiringan lereng berkisar 0-2 % seluas 4.652 hektar (76 %), kemiringan 2-8 % seluas
1.300 hektar (21 %), kemiringan 8-15 % seluas 174 hektar (3 %) dan sisanya seluas 4,3
hektar (0,1 %) mempunyai kemiringan 15-25 %. Kecamatan Cakranegara memiliki daerah
yang agak tinggi dan berombak dengan kemiringan rata-rata 10-15 %.
Kondisi geomorfologi dengan topografi dataran demikian, berakibat pada
lambannya aliran air permukaan, baik pada tubuh sungai, saluran drainase maupun diluar
tubuh sungai. Implikasinya adalah apabila terjadi suplai air permukaan yang berlebih maka
waktu pembuangannya lama dan mudah menimbulkan genangan. Bentuk lahan dataran
Makalah dan Presentasi
214
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
aluvial secara alamiah merupakan morfologi yang rawan tergenang. Pada Tabel 2
dilihat Lokasi genangan di kota Mataram pada tahun 1992.
Tabel 2
Lokasi genangan
Lokasi genangan di kota Mataram tahun 1992
Parameter genangan
Lamanya
Penyebab
(Jam)
Frekuensi
genangan
(Kali/th)
Luas
(Ha)
Tinggi
(M)
Ampenen Utara dan
Ampenan Selatan
44
0,5-1
168
Kampung Gatep
6
0,3
48
30
0,75
48
Drainase buruk
10
30
0,4
120
Drainase buruk
6
4
0,3
7
Drainase buruk
4
5
0,2
5
Drainase buruk
4
30
0,4
48
Drainase buruk
7
Daerah SPG dan
Museum
Perumnas
Depan kantor
Bupati
Daerah Cilinaya
(Karang Jangkong)
Karang Sukun
dapat
Drainase buruk dan
naiknya muka air laut
Drainase buruk dan
naiknya muka air laut
6
10
Sumber : PT.Properindo Jastama dan hasil pengamatan
2.2.2 Geologi
Batuan dasar dibawah kota Mataram adalah batuan dari Formasi Kalibabak dan
Formasi Lekopiko yang berumur Plio-Plistosen, terdiri dari breksi, breksi lahar, lava dan
tufa berbatuapung. Di atas batuan ini terdapat batuan aluvial berumur kuarter, terdiri dari
lempung, pasir, kerikil, kerakal, gambut dan pecahan koral yang bersifat lepas tidak
padu/kompak dengan ketebalan mencapai 50 meter. Batuan ini merupakan hasil rombakan
dan erosi yang terendapkan di daerah pedataran yang sekarang ditempati kota Mataram.
Jenis batuan aluvial seperti ini akan menghasilkan lapukan tanah dengan butiran yang
halus. Untuk lebih jelasnya penyebaran jenis batuan yang adal di kota Mataran dan
sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1 Peta Geologi Kota Mataram.
2.2.3 Jenis tanah
Jenis tanah yang ada di wilayah kota Mataram sebagian besar dari jenis tanah liat,
tanah liat berpasir dan tufa. Ini akibat endapan kuarter yang berasal dari hasil pengikisan
atas lereng gunung atau sungai yang banyak terdapat di daerah ini, kemudian diendapkan
di wilayah yang letaknya relatif lebih rendah.
Jenis tanah ini mempunyai karakteristik daya penyerapan air yang lambat akibat
kondisi permeabilitas yang rendah. Kondisi ini sebenarnya baik bagi pengembangan
saluran pertanian atau irigasi, sehingga tanah di kota Mataram berpotensi sebagai daerah
pertanian. Tetapi apabila curah hujan tinggi, kondisi tanah dan topografi kota Mataram
mempunyai potensi sebagai daerah banjir dan genangan.
Banjir yang terjadi di kota Mataram telah menimbulkan masalah bagi penduduk
setempat, banjir yang terjadi pada beberapa lokasi di dalam kota Mataram terbagi menjadi
dua dilihat dari penyebabnya, yaitu banjir yang terjadi karena buruknya saluran drainase
dan banjir yang terjadi karena naiknya muka air laut. Yang terakhir ini terjadi di sepanjang
pantai dan terjadi tanggal 14, 15 dan 16 setiap bulannya dan yang terbesar adalah pada
bulan Desember, Januari dan Februari setiap tahunnya.
Makalah dan Presentasi
215
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Sumber: P3G - Bandung
Gambar 1. Peta Geologi Kota Mataram
Makalah dan Presentasi
216
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
2.2.4 Klimatologi
Keadaan iklim di kota Mataram dipengaruhi oleh dua kali perubahan arah angin,
sehingga menghasilkan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan
April – Oktober bertiup angin kering dari tenggara yang mengakibatkan musim kemarau,
sedangkan pada bulan Nopember–Maret bertiup angin yang mengandung uap air dari barat
sehingga mengakibatkan musim hujan. Kecepatan angin pada musim hujan ini cukup
kencang bahkan sering menimbulkan kerusakan pada beberapa bagian kota seperti
tumbangnya pohon besar di pinggir jalan, sedangkan kecepatan angin pada musim
kemarau rendah.
2.2.5 Hidrologi
Curah hujan di kota Mataram tidak merata, kecamatan Cakranegara menerima
curah hujan paling banyak, sedangkan kecamatan Ampenan lebih sedikit karena perbedaan
ketinggian masing-masing wilayah kecamatan serta pengaruh jarak terhadap dataran tinggi
gunung Rinjani. Keadaan suhu tahunan rata-rata di kota Mataram adalah 25-27 derajat
Celcius, kelembaban 77-82 % dan intensitas cahaya matahari setiap harinya antara 62-90
%. Meskipun curah hujan di kota Mataram relatif rendah, di wilayah kota ini mengalir 4
buah sungai yang cukup besar dan potensial sebagai sumber mata air permukaan. Sampai
saat ini, penduduk terutama yang bermukim di bantaran sungai masih memanfaatkan air
sungai untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Semua sungai tersebut berhulu di
lereng gunung Rinjani. Pada musim kemarau sungai tersebut tidak pernah kering
sedangkan pada musim penghujan aliran airnya sangat deras.
Hasil studi perencanaan teknis drainase menyebutkan bahwa potensi air tanah di
kota Mataram cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan percobaan pemboran sumur uji yang
dilakukan di beberapa tempat, seperti di Rembiga, kota Mataram dan Sayang-sayang.
Kedalaman air tanah dangkal di kota Mataram antara minus 5-7 meter, kecuali di tempat
tertentu seperti Cakranegara, Monjok dan Dasan Agung bagian utara yang dapat mencapai
-15 meter. Pemenuhan kebutuhan air kota Mataram saat ini dari mata air Sarasuta, Ranget
dan Saraswata di kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat.
2.2.6 Kondisi sosial ekonomi
Jumlah penduduk di kota Mataram pada tahun 1999 sebanyak 303.441 jiwa.
Dengan luas wilayah sekitar 6.130 Ha, maka kepadatan penduduk kota Mataram rata-rata
49,5 jiwa/Ha. Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil sensus tahun 1990 adalah
sebesar 3,27 % per tahun.
Berdasarkan mata pencaharian utama, jumlah penduduk yang berkerja di sektor…..
menempati porsi paling besar. Prosentase penduduk yang bekerja sebagai … adalah
sebesar ….%, sedangkan yag bekerja di sektor lain relatif lebih kecil, misalnya industri
kecil … %, perdagangan …. % dan pegawai negeri …..%.
Bila dihitung banyaknya rumah tangga menurut sektor ekonomi pekerjaan utama
kepala rumah tangga, maka hampir di setiap kecamatan jumlah rumah tangga yang
pekerjaan utama kepala rumah tangganya di sektor …. lebih dari …%.
2.2.7 Kebijaksanaan pembangunan
Berdasarkan kebijaksanaan pembagian wilayah pembangunan dan hirarki kota yang
telah disusun, kota Mataram ditempatkan sebagai kota orde I pada konteks intra wilayah
yang ditetapkan fungsinya sebagai : pusat pemerintahan, pusat agro industri, pusat
perdagangan dan investasi, pusat fasilitas umum dan pusat komunikasi.
Berdasarkan kebijaksanaan yang tertuang dalam RUTRK tahun 1994/1995,
disribusi kepadatan penduduk kota Mataram dibagi dalam 4 klasifikasi, yaitu :
Makalah dan Presentasi
217
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
- Kepadatan rendah
: lebih kecil dari 20 jiwa/Ha
- Kepadatan sedang
: 20 - 50 jiwa/Ha
- Kepadatan tinggi
: 50 - 80 jiwa/Ha
- Kepadatan sangat tinggi
: lebih dari 80 jiwa/Ha
Mengantisipasi perkembangan penduduk yang cenderung terus meningkat, struktur
tata ruang kota diarahkan kepada kegiatan yang menjadi orientasi penduduk untuk
keperluan pemenuhan pelayanan dan pekerjaan. Berdasar potensi yang dimiliki dan
kebijaksanaan Pemerintah Daerah, maka kegiatan yang dikembangkan adalah :
 Perdagangan dan jasa
Pusat perdagangan dan jasa dalam lingkup lokal dan regional tetap dipertahankan
pada lokasi yang telah ada, yaitu sepanjang Jalan Pejanggik, Jalan Selaparang, Kelurahan
Ampenan Utara dan Kelurahan Ampenan Selatan. Untuk pengembangan kegitan
perdagangan regional terutama pasar induk dan perdagangan grosir diarahkan ke bagian
timur kota, yaitu Kecamatan Cakranegara.
 Industri
Industri kecil kerajinan, lokasinya diarahkan ke lokasi lingkungan permukiman
penduduk, karena berorientasi home industry. Industri menengah untuk memudahkan
perolehan bahan baku dan pemasaran diarahkan ke sebelah tenggara, yaitu Kelurahan
Dasan Cermen dengan pola berwawasan lingkungan.
 Perkantoran dan pelayanan umum
Pegembangan perkantoran sesuai dengan tingkatan administrasi sedangkan untuk
perkantoran swasta dan pelayanan umum penempatannya cenderung berorientasi ke
kawasan pusat kota.
 Terminal
Lokasi terminal yang ada sekarang ini sudah tidak sesuai lagi untuk dikembangkan
baik dari segi luas maupun pelayanannya, sehingga untuk mengantisipasi perkembangn
kota dimasa mendatang lokasinya diarahkan ke sebelah timur, yaitu sekitar Kelurahan
Betais, daerah yang dapat dilalui jaringan jalan regional.
2.2.8 Intensitas penggunaan lahan
Intensitas penggunaan lahan dan bangunan mencakup pengaturan terhadap :
a Kepadatan bangunan
 Pada daerah sekitar pusat kota, KDB maksimum 80 %, KLB maksimum 2,4
dan kepadatan bangunan maksimum 20 bangunan/Ha.
 Pada daerah transisi dan disekitar sub pusat kota, KDB maksimum 60 %, KLB
maksimum 1,2 dan kepadatan bangunan maksimum 15 bangunan/Ha.
 Pada daerah pinggiran kota, KDB maksimum 40 %, KLB maksimum 0,4 dan
kepadatan bangunan maksimum 10 bangunan/Ha.
b Ketinggian bangunan
Ketinggian bangunan dipersyaratkan dengan mempertimbangkan KLB yang
didasarkan atas daya dukung lahannya, meliputi :
 Pada kawasan pusat kota dengan ketinggian maksimum 3-4 tingkat
 Pada daerah transisi dan sub pusat utama kota ketinggian maksimum 2 tingkat
 Pada daerah pinggiran kota, daerah yang kemiringannya cukup tinggi
maksimum tinggi bangunan 1 tingkat, sedangkan untuk daerah yang
kemiringannya landai maksimum tinggi bangunan 2 tingkat.
Penggunaan lahan di kota Mataram dapat dilihat pada Gambar 2. Peta Rencana
Tata Guna Lahan Kota Mataram tahun 2004.
Makalah dan Presentasi
218
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Sumber: Dinas PU Kota Mataram
Gambar 2. Peta rencana tata guna lahan kota Mataram tahun 2004
3.
DAERAH STUDI
Sesuai arahan dan kesepakatan dari kantor Bappeda kota Mataram dengan tim
survey, maka dipilih daerah studi adalah Kelurahan Ampenan Selatan dan Kelurahan
Ampenan Tengah dengan pertimbangan :
 Daerah ini dekat dengan garis pantai
 Daerah ini merupakan kawasan permukiman
 Daerah ini pernah mengalami genangan akibat naiknya muka air laut
Secara geografis daerah studi ini terletak di sebelah barat kota Mataram,
memanjang sepanjang pantai Ampenan yang meliputi 3 kampung, yaitu kampung Karang
Gatep dan kampung Banjar di Kelurahan Ampenan Selatan serta kampung Karang Mulya
di Kelurahan Ampenan Tengah, dengan batas-batas wilayah adalah :
 Sebelah Utara
: kota/pelabuhan lama Ampenan
 Sebelah Timur
: kota Ampenan
 Sebelah Selatan
: kawasan militer (Kompleks Brimob)
 Sebelah Barat
: pantai Selat Lombok
Topografi wilayah studi umumnya relatif datar dengan kemiringan hampir rata (0-1
%) bahkan cenderung negatif, sehingga beberapa lokasi letaknya dibawah permukaan air
laut. Kontur 1 meter diatas muka laut jatuhnya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 1-2
kilometer, kecuali di bagian selatan wilayah studi dimana terdapat lokasi yang lebih tinggi
yang ditempati kawasan militer (komplek Brimob) dan peternakan ayam. Untuk jelasnya
ketiga kawasan yang termasuk wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 3 Peta Lokasi
Wilayah Studi.
Makalah dan Presentasi
219
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Gambar 3. Peta Lokasi Wilayah Studi
Makalah dan Presentasi
220
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
3.1.
Klimatologi dan hidrologi
Keadaan iklim di wilayah studi umumnya sama dengan iklim di kota Mataram,
musim kemarau berlangsung pada bulan April-Oktober sedangkan musim penghujan
berlangsung pada bulan Nopember-Maret setiap tahunnya. Air laut pasang terjadi pada
tanggal 14, 15 dan 16 setiap bulannya dan air laut pasang besar terjadi secara periodik
hampir setiap 5 tahun. Air laut pasang besar yang terjadi pada tahun 1996 dan pada bulan
Januari tahun 2002 ini menimbulkan banjir/genangan dan banyak menimbulkan kerusakan
pada bangunan milik penduduk. Genangan air terjadi selain akibat naiknya air laut juga
disebabkan curah hujan yang cukup tinggi pada musim penghujan ini, sehingga air hujan di
saluran drainase terhambat masuk ke laut.
Terdapat dua sungai besar yang mengalir di wilayah studi, yaitu sungai Jangkok di
bagian utara dan Sungai Ancar di bagian selatan, serta satu saluran drainese/selokan yang
terdapat di kampung Banjar Kedua sungai besar tersebut diatas secara alami mengalirkan
air dari daratan ke laut hampir tanpa hambatan, namun saluran drainase yang terdapat di
kampung Banjar sering terbendung oleh tanggul pasir di pinggir pantai sehingga alirannya
sering terhambat dan kerap menimbulkan genangan.
3.2.
Karakteristik pantai
Batuan penyusun pantai di ketiga lokasi adalah sama, yaitu pasir pantai dan lumpur
yang merupakan hasil endapan dari alluvial, namun bila dilihat dari bentuk dan posisinya
maka ketiga lokasi memiliki garis pantai yang berbeda. Perbedaan ini ditambah dengan
letah bangunan rumah penduduk dan kondisi saluran drainase yang ada di wilayah studi
akan menimbulkan intensitas kerusakan terhadap bangunan rumah yang berbeda pula.
Menurut informasi penduduk setempat garis pantai di wilayah ini semakin maju ke
daratan setiap tahunnya, hal ini terlihat dari tiang-tiang bekas pelabuhan lama yang dahulu
berada dipinggir pantai, saat ini sudah berada di tengah laut. Hal ini memperlihatkan
proses abrasi laut yang cukup kuat di sepanjang pantai Ampenan.
Untuk jelasnya perbedaan bentuk dan posisi garis pantai dan letak bangunan rumah
penduduk di ketiga lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 Potongan Garis Pantai.
Gambar 4. Potongan Garis Pantai
Makalah dan Presentasi
221
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
3.2.1 Potongan A-B (Kampung Banjar)
Permukiman penduduk di lokasi ini cukup jauh dari garis pantai sekitar 100 meter,
namun di lokasi ini terdapat saluran drainase yang berasal dari kota Ampenan. Saluran
drainase ini sering terbendung oleh tanggul pasir yang terbentuk secara alami di pinggir
pantai, sehingga alirannya tidak dapat masuk ke laut. Penduduk setempat telah berusaha
membuka tanggul pasir tersebut pada saat air laut surut untuk mengalirkan air saluran
drainase, namun beberapa saat kemudian tanggul pasir tersebut terbentuk kembali
terangkut ombak laut.
Lokasi ini letaknya di sebuah teluk sehingga proses pengendapan pasir laut lebih
dominan dari pada proses abrasi. Kerusakan terhadap bangunan rumah penduduk lebih
banyak diakibatkan oleh genangan air yang pada saat air laut pasang besar bulan Januari
2002 mencapai ketinggian setinggi pinggang orang dewasa. Penduduk setempat sudah
berupaya membuat tanggul dari pasangan batu, namun kurang tinggi sehingga kadang air
saluran melimpas dan masuk ke dalam rumah.
3.2.2 Potongan C-D (Kampung Banjar)
Permukiman penduduk di lokasi ini letaknya sekitar 50 meter dari garis pantai dan
tidak terdapat saluran drainase sehingga kerusakan bangunan rumah penduduk lebih
banyak diakibatkan olek naiknya air laut pada saat pasang besar. Tanggul pasir terbentuk
di pinggir pantai yang mencerminkan proses sedimentasi lebih dominan dan memang
lokasi ini letaknya di sebuah teluk.
Setelah terjadinya air laut pasang besar bulan Januari 2002, pemerintah daerah telah
membuat tanggul dari pasangan batu setinggi lebih dari satu meter. Upaya ini terlihat
cukup untuk melindungi permukiman penduduk, karena bila air laut naik satu meter tidak
akan melampaui tanggul.
3.2.3 Potongan E-F (Karang Mulya)
Lokasi ini letaknya sangat berdekatan dengan garis pantai sekitar 5-6 meter dengan
bentuk pantai yang agak curam dan berada pada tanjung sehingga proses abrasi terlihat
lebih dominan dari pada proses sedimentasi. Kerusakan bangunan rumah penduduk pada
saat naiknya air laut pasang besar bulan Januari 2002 lebih disebabkan oleh kuatnya
tekanan ombak dan getaran yang ditimbulkannya, sehingga beberapa elemen bangunan
rumah terihat retak dan belah.
Pemerintan daerah telah membuat tanggul tembok ditambah beton dan batu-batu
besar di sepanjang pantai ini guna melindungi rumah penduduk dan diantara tanggul dan
rumah penduduk dibuat jalan lingkungan dengan paving block selebar 5 meter. Upaya ini
terlihat cukup membantu untuk menahan kuatnya proses abrasi dan air pasang.
4.
KONDISI FISIK KAWASAN
Pengamatan fisik bangunan rumah dilakukan di kecamatan Ampenan, kelurahan
Ampenan Tengah dan kelurahan Ampenan Selatan. Seluruh konstruksi rumah penduduk di
lingkungan Karang Mulya, Gatep dan Banajar dibangun di atas tanah dengan variasi sifat
dan penggunaan bahan bangunan. Sejumlah 12 rumah yang dijadikan sebagai kasus dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Type rumah: sebanyak 7 rumah adalah rumah tunggal sedangkan 5 rumah sisanya
adalah rumah gandeng dalam arti ada sebagian atap yang bersatu dengan bangunan
sebelahnya tetapi kepemilikan bangunan maupun lahan adalah sendiri-sendiri.
Makalah dan Presentasi
222
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
2) Konstruksi bangunan: sebagian besar bangunan adalah bangunan permanen dengan
menggunakan dinding pasangan bata dan kolom praktis yang berfungsi sebagai
pemikul bangunan bagian atas. Sebagian bangunan menggunakan rangka kayu
dengan penutup dinding bilik atau plywood atau gabungan antara rangka kayu
dengan dinding pasangan bata.
3) Fundasi: seluruh bangunan kasus menggunakan fundasi pasangan satu bata dengan
penyelesaian rolag dan di atasnya langsung ditempatkan dinding. Tinggi fundasi
sangat bergantung pada ketinggian lantai bangunan, sedangkan kedalaman fundasi
(bagian yang terpendam) tidak dapat diketahui secara pasti. Sebagian fundasi
pasangan bata dapat terlihat pada beberapa bangunan dengan posisi lantai yang cukup
tinggi dari tanah. Bagian fundasi yang berada di atas tanah tidak diplester. Fundasi
pada satu bangunan mengalami penurunan dan untuk mengembalikan ke ketinggian
semula perlu diurug setinggi 30 cm. Beberapa kusen harus disesuaikan sehingga
4) Lantai: sepuluh rumah kasus menggunakan plester portland cement sebagai penutup
lantai. Dua rumah kasusu menggunakan penutup lantai keramik hanya dibagian
utama bangunan. Lantai pada beberapa bangunan ditemukan retak cukup lebar. Hal
ini diperkiranan karena seringnya tergenang air saat pasang sementara bahan yang
digunakan kualitasnya kurang bagus.
5) Dinding: sebagian besar bangunan menggunakan konstruksi pasangan bata,
bilik/plywood atau gabungan antara ketiganya. Pada bangunan utama dinding bagian
dalam umumnya diplester sedangkan bangian luar tidak di plester. Dinding pada
beberapa bangunan mengalami retak memanjang vertikal yang diperkirakan karena
adanya penurunan fundasi. Pada dinding luar juga terjadi pengelupasan plester yang
diperkirakan karena pengaruh lingkungan pantai.
6) Plafon: secara garis besar semua bangunan tidak menggunakan plafon. Beberapa
bangunan kasus menggunakan plafon di ruang tamu atau ruang tidur. Konstruksi dan
bahan yang digunakan sangat sederhana. Umumnya tidak menggunakan konstruksi
permanen tetapi hanya dengan ikatan sangat sederhana atau ditumpangkan diatas
balok yang dipasang melintang ruangan. Konstruksi penggantung plafon dapat
diamati karena plafon dipasang hanya pada sebagian ruangan. Bahan yang digunakan
adalah bilik, plywood, anyaman plastik (bagor) atau kain.
7) Atap: sebelas bangunan kasus menggunakan atap tipe pelana dan satu bangunan
dengan tipe atap perisai. Bahan yang digunakan untuk konstruksi adalah kayu,
gelugu, bambu atau gabungan dari kayu dan bambu. Konstruksi atap bervariasi,
mulai yang menggunakan bahan dan dan sistem yang sederhana sampai yang
memenuhi standar. Kerusakan kemungkinan terjadi karena bahan lapuk, kurang
benar dalam pelaksanaan atau pelapukan akibat kerusakan yang tidak segera
diperbaiki. Bahan penutup atap menggunakan genteng, seng atau asbes gelombang.
Mayoritang bangunan menggunakan genteng sedangkan sebagian lain ada yang
menggunakan gabungan antara ke tiga bahan tersebut.
8) Pintu dan jendela: kayu pasar atau albasia banyak digunakan untuk kusen pintu dan
jendela sedangkan penggunaan kayu borneo dan meranti relatif sedikit. Hampir
semua daun pintu terbuat dari rangka kayu dengan penutup plywood.
9) Sarana kebersihan: semua bangunan kasus menggunakan sumur dangkal sebagai
sumber air bersih yang digunakan untuk mandi dan cuci saja. Kebutuhan air untuk
masak didapat dari sumber lain yaitu air yang disediakan PDAM atau kran umum
dari PDAM atau sumur pantek. Pembelian air dari kran umum dilakukan setiap hari
menggunakan jarigen plastik. Bangunan yang letaknya berdekatan dengan pantai
tidak mempunyai toilet tapi langsung menggunakan sarana yang ada di pinggir pantai
atau kali. Bangunan yang letaknya jauh dari pantai umumnya mempunyai toilet
Makalah dan Presentasi
223
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
sendiri yang dilengkapi “jumblung” sebagai sistem penampungan kotoran.
Penanganan sampah dilakukan secara sendiri-sendiri yaitu dibuang langsung ke kali
atau ke pinggir laut. Kebiasan ini menambah terjadinya penyumbatan aliran sungai
ke muara.
10) Sarana penerangan: semua rumah kasus menggunakan penerangan dari PLN tetapi
tidak mempunyai sumber penerangan yang dilengkapi dengan meteran sendiri.
Sumber penerangan didapat dengan cara menyambung dari tetangga terdekat atau
fasilitas lingkungan seperti mesjid dengan biaya per rumah per bulan bervariasi
antara Rp. 9.000,- sampai dengan Rp. 19.000,- bergantung pada besarnya daya yang
dipakai. Kebutuhan daya listrik per rumah sangat rendah karena umumnya hanya
digunakan untuk penerangan ruang saja dan satu titik lampu bisa berfungsi untuk
menerangi lebih dari satu ruangan. Penggunaan lampu bergantian dengan alat
elektronik yang dimiliki. sehingga pada beberapa rumah, saat pesawat TV atau radio
dinyalakan maka sebagian lampu harus dipadamkan.
11) Perabot rumah tangga: perabot rumah tangga yang dimiliki di setiap rumah yang
disurvei sangat fungsional seperti tempat tidur, lemari, dipan, meja dan kursi.
Demikian pula dengan perabot yang ada di dapur. Alasan yang dikemukakan
penghuni adalah untuk kemudahan pengamanan barang saat terjadi banjir. Sebagian
besar rumah dilengkapi dengan pesawat televisi sedangkan sebagian hanya
mempunyai pesawat radio saja.
Genangan yang terjadi secara rutin adalah 3 hari dalam sebulan sehingga minimal
terjadi 36 kali setahun. Tinggi genangan rata-rata yang terjadi di 12 lokasi bangunan adalah
antara 20 - 80 cm dengan lama genangan rata-rata 2 hari.
Secara umum kerusakan yang terjadi pada bangunan akibat genangan pasang air
laut yang terjadi secara rutin adalah pada bagian bawah bangunan seperti fundasi, lantai,
dinding, kusen dan daun pintu bagian bawah. Tingkat kerusakan bervariasi dan
diindikasikan berkaitan dengan usia bangunan dan bahan bangunan yang digunakan.
Perbaikan umumnya dilakukan setelah tingkat kerusakan cukup besar, artinya perbaikan
dilakukan setelah bangunan tergenang beberapa kali. Adaptasi yang dilakukan oleh
penghuni rumah antara lain membuat tanggul di depan pintu masuk rumah atau halaman,
meninggikan lantai bangunan dan hanya membeli perabot yang benar-benar diperlukan.
Berikut adalah contoh kerusakan yang terjadi pada komponen bangunan.
Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Makalah dan Presentasi
Retak vertikal pada
dinding dengan celah
yang cukup lebar
Perbaiakan Kerusakan
yang dilakukan pada
kerusakan lantai
224
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Pasangan fundasi yang
tidak diplester
Penutup plafon dari
bilik dan anyaman
plastik
Koleksi pribadi
Konstruksi atap yang menggunakan bahan
bervariasi dengan penutup atap asbes dan genteng
5.
KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK
Menurut kebijaksanaan pemerintah daerah, kawasan ini termasuk lokasi yang tidak
boleh dihuni dan menjadi kawasan konservasi dengan garis sepandan pantai sepanjang 100
meter. Namun mengingat harga lahan di kota Ampenan cenderung tinggi, maka penduduk
setempat memanfaatkan lahan di kawasan ini untuk tempat bermukim. Sehingga lahan
milik pemerintah ini banyak yang diperjual belikan diantara penduduk setempat yang
umumnya berasal dari golongan menengah kebawah.
Mata pencaharian penduduk setempat umumnya nelayan musiman, mereka dapat
melaut pada musim kemarau sedankan pada musim penghujan merupakan masa paceklik.
Penduduk lain yang bermukim di kawasan ini adalah pedagang, kusir Cidomo dan buruh
kasar, mereka umumnya mencari nafkah di kota Ampenan dan Mataram.
Lokasi penelitian aspek sosial dan ekonomi mengikuti lokasi penelitian aspek fisik,
12 responden yang dipilih sama dengan responden yang dipilih oleh aspek fisik sedangkan
35 responden aspek sosial lainnya dipilih secara acak disekitar rumah 12 responden
tersebut di atas.
Pengambilan data primer untuk 35 responden dilakukan oleh Mantri Statistik
Kecamatan Ampenan, hal ini dilakukan dengan asumsi pengalaman mantri statistik dapat
Makalah dan Presentasi
225
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
meminimalkan tingkat kesalahan dalam pengambilan data. Data primer akan ditabulasikan
dan dihitung frekuensinya, analisis data untuk data karakteristik responden akan dilakukan
dengan deskriptif sedangkan data genangan air dan adaptasi akan dianalisis dengan
tabulasi silang, dan diuji dengan Chi Kwadrat.
5.1.
Karakteristik Responden
5.1.1 Tahun menempati rumah
Responden mulai menempati rumah dibagi menjadi 7 kelompok kategori, seperti terlihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Tahun Menempati Rumah
Tahun
1966 - 1970
1971 - 1975
1976 - 1980
1981 - 1985
1986 - 1990
1991 - 1995
1996 - 2000
Total
Frekuensi
4
3
4
3
5
9
19
47
%
8.5
6.4
8.5
6.4
10.7
19.1
40.4
100.0
* sumber : hasil penelitian.
Tahun responden mulai menempati rumah terbanyak antara tahun 1996-2000 yaitu sekitar 19
responden atau 40.4 persen, antara tahun 1991-1995 sekitar 9 responden atau 19.1 %.
5.1.2 Umur
Umur responden dibagi menjadi 7 kategori, seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Umur
Umur (tahun)
19 - 26
27 - 34
35 - 42
43 - 50
51 - 58
59 - 66
67 - 74
Total
Frekuensi
4
4
13
13
8
3
2
47
%
8.5
8.5
27.6
27.6
17.1
6.4
4.3
100.0
* sumber : hasil peneltian
Umur responden yang terbanyak antara umur 35 sampai 42 tahun dan 43 sampai 50 tahun dengan
masing-masing 13 responden atau masing-masing 27.6 %.
5.1.3 Pekerjaan
Pekerjaan responden dibagi menjadi 8 kelompok kategori, seperti terlihat pada tabel 3.
Dari tabel 3 terlihat bahwa pekerjaan responden terbanyak adalah nelayan dengan 9 responden atau
19.2 %, kusir dan tukang masing-masing 8 responden atau masing-masing 17.0 %.
Makalah dan Presentasi
226
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 3.Pekerjaan
Pekerjaan
Buruh
Pedagang
Kusir
Nelayan
Sopir
Petani
Tukang
Tidak bekerja
Total
Frekuensi
7
7
8
9
6
1
8
1
47
%
14.9
14.9
17.0
19.2
12.8
2.1
17.0
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
5.1.4 Pendidikan
Pendidikan responden dibagi menjadi 5 kelompok kategori, seperti terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Pendidikan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD/SR
SD/SR
SLTP
SLTA
Total
Frekuensi
12
7
25
2
1
47
%
25.5
14.9
53.2
4.3
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
Pendidikan responden terbanyak SD/SR dengan 25 responden atau 53.2 %, tidak sekolah dengan
12 responden atau 25.5 %.
5.1.5 Jumlah penghuni
Jumlah penghuni masing-masing responden dibagi menjadi 5 kelompok kategori, seperti
terlihat pada tabel 5.
Tabel 5.Jumlah Penghuni
Jumlah Penghuni (orang)
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
Total
Frekuensi
12
7
25
2
1
47
%
25.5
14.9
53.2
4.3
2.1
100.0
sumber : hasil penelitian
Jumlah penghuni responden antara 5-6 orang merupakan jawaban terbanyak dengan 25
responden atau 53.2 %, jumlah penghuni antara 1-2 orang jawaban dari 12 responden atau
25.5 %.
5.1.6 Status menempati rumah dan lahan
Status responden menempati rumah dan lahan dibagi pada 3 kategori seperti terlihat pada tabel 6.
Makalah dan Presentasi
227
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 6. Status Menempati Rumah dan Lahan
Frekuensi
35
9
3
47
Status
milik
sewa
sewa tanah
Total
%
74.5
19.1
6.4
100.0
* sumber : hasil penelitian
Status menempati rumah dan lahan dari responden, 35 responden menempati rumah dan lahan
dengan status milik atau sekitar 74.5 %, menempati dengan status sewa rumah dan tanah ada 9
responden atau 19.1 %, menempati dengan status sewa tanah 3 responden atau 6.4 %.
5.2.
Genangan Air
5.2.1 Interval air menggenangi bangunan rumah
Interval air menggenangi bangunan rumah dalam satu tahun dibagi dalam 4 kategori kelompok,
seperti terlihat pada tabel 7.
Tabel 7. Interval Air Menggenangi Bangunan Rumah dalam Satu Tahun
Frekuensi
%
Interval
1- 3 kali
4 – 6 kali
7 – 12 kali
 12 kali
Total
27
9
0
11
47
57.4
19.1
0
23.5
100.0
* sumber : hasil penelitian
Interval air menggenangi bangunan rumah dalam satu tahun menurut 27 responden paling sering 1
– 3 kali atau sekitar 57.4 %, air menggenangi lebih dari 12 kali dalam satu tahun dijawab oleh 11
responden atau 23.5 %.
5.2.2 Lama air tergenang
Lama air menggenangi bangunan rumah dibagi dalam 4 kategori kelompok, seperti terlihat pada
tabel 8.
Dari tabel 8, lama air menggenangi bangunan rumah menurut 37 responden adalah  24 jam atau
78.7 %, genangan antara 13 – 24 jam dijawab oleh 5 responden atau 10.7 %.
Tabel 8. Lama Air Menggenangi Bangunan Rumah
Lama
 1 jam
1 – 12 jam
13 – 24 jam
 24 jam
Total
Frekuensi
1
4
5
37
47
%
2.1
8.5
10.7
78.7
100.0
* sumber : hasil penelitian
5.2.3 Tinggi air tergenang
Tinggi air menggenangi bangunan rumah dibagi dalam 5 kategori kelompok, seperti
terlihat pada tabel 9.
Makalah dan Presentasi
228
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 9. Tinggi Air Menggenangi Bangunan Rumah
Frekuensi
2
34
1
4
6
47
Tinggi
0 – 10 cm (mata kaki)
11 – 50 cm (lutut)
51 – 75 cm (paha)
76 – 100 cm (pinggang)
 101 cm
Total
%
4.3
72.3
2.1
8.5
12.8
100.0
* sumber : hasil penelitian
Tinggi air menggenangi bangunan rumah menurut 34 responden adalah antara 11 – 50 cm (lutut)
atau 72.3 %, tinggi genangan air 101 cm dijawab oleh 6 responden atau 12.8 %.
5.2.4 Waktu terjadinya genangan
Waktu terjadinya genangan air dibagi dalam 5 kategori kelompok, seperti terlihat pada tabel 10.
Tabel 10. Waktu Terjadinya Genangan
Waktu
Pagi hari
Siang hari
Sore hari
Malam hari
Sepanjang hari
Total
Frekuensi
0
0
1
23
23
47
%
0
0
2.2
48.9
48.9
100.0
* sumber : hasil penelitian
Waktu terjadinya genangan menurut 23 responden adalah malam hari dan 23 responden yang lain
menjawab sepanjang hari atau masing-masing 48.9 %.
5.2.5 Upaya yang dilakukan selama air tergenang
Upaya yang dilakukan selama air menggenangi bangunan rumah
kelompok, seperti terlihat pada tabel 11.
dibagi dalam 4 kategori
Tabel 11. Upaya yang Dilakukan Selama Air Tergenang
Frekuensi
Upaya
Tidak berbuat apa-apa
Mengungsi
Mempersiapkan tanggul
Lainnya (membuka tanggul, menaikan anakanak ke atas meja)
Total
12
25
0
10
%
25.5
53.2
0
21.3
47
100.0
* sumber : hasil penelitian
Upaya yang dilakukan selama air tergenang menurut 25 responden adalah mengungsi atau 53.2 %,
12 responden menjawab tidak berbuat apa-apa atau 25.5 %.
5.2.6 Kegiatan yang terganggu ketika air tergenang
Kegiatan yang terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dibagi dalam 4 tabel, seperti
terlihat pada tabel 12, 13,14 dan 15.
Makalah dan Presentasi
229
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 12. Kegiatan ke Sekolah
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
31
0
16
47
%
66.0
0
34.0
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan ke sekolah terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 31 responden
atau 66 % dan 16 responden menjawab tidak terganggu atau 34 %.
Tabel 13. Kegiatan ke Kantor
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
1
19
27
47
%
2.1
40.4
57.5
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan ke kantor tidak terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 27
responden atau 57.5 % dan 19 responden menjawab kadang-kadang terganggu atau 40.4 %.
Tabel 14. Kegiatan ke Tempat Usaha
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
43
3
1
47
%
91.5
6.4
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan ke tempat usaha terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 43
responden atau 91.5 % dan 3 responden menjawab kadang-kadang terganggu atau 6.4 %.
Tabel 15. Kegiatan ke Tempat Ibadah
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
40
0
7
47
%
85.1
0
14.9
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan ke tempat ibadah terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 40
responden atau 85.1 % dan 7 responden menjawab tidak terganggu atau 14.9 %.
5.2.7 Sarana dan prasarana yang terganggu ketika air tergenang
Kegiatan yang terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dibagi dalam 6 tabel, seperti
terlihat pada tabel 16, 17,18,19,20 dan 21.
Tabel 16. Sumber Air Bersih di Rumah
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
25
0
22
47
%
53.2
0
46.8
100.0
* sumber : hasil penelitian
Makalah dan Presentasi
230
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Sumber air bersih di rumah terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 25
responden atau 53.2 % dan 22 responden menjawab tidak terganggu atau 46.8 %.
Tabel 17. Sarana Sanitasi
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
45
0
2
47
%
95.7
0
4.3
100.0
* sumber : hasil penelitian
Sarana sanitasi terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 45 responden atau
95.7 % dan 2 responden menjawab tidak terganggu atau 4.3 %.
Tabel 18. Ruang tidur
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
39
0
8
47
%
83.0
0
17.0
100.0
* sumber : hasil penelitian
Ruang tidur terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 39 responden atau 83
% dan 8 responden menjawab tidak terganggu atau 17 %.
Tabel 19. Ruang Makan/Keluarga
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
41
0
6
47
%
87.2
0
12.8
100.0
* sumber : hasil penelitian
Ruang makan terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 41
responden atau 87.2 % dan 6 responden menjawab tidak terganggu atau 12.8 %.
Tabel 20. Ruang Dapur
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
44
0
3
47
%
93.6
0
6.4
100.0
* sumber : hasil penelitian
Ruang dapur terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 44 responden atau
93.6 % dan 3 responden menjawab tidak terganggu atau 6.4 %.
Tabel 21. Tempat Bermain Anak-Anak
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
46
0
1
47
%
97.9
0
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
Makalah dan Presentasi
231
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tempat bermain anak-anak terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 46
responden atau 97.9 % dan 1 responden menjawab tidak terganggu atau 2.1 %.
5.2.8 Kegiatan dalam rumah yang terganggu ketika air tergenang
Kegiatan dalam rumah yang terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dibagi
dalam 7 tabel, seperti terlihat pada tabel 22,23,24,25,26,27 dan 28.
Tabel 22. Kegiatan Makan
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
35
0
12
47
%
74.5
0
25.5
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan makan terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 35 responden
atau 74.5 % dan 12 responden menjawab tidak terganggu atau 25.5 %.
Tabel 23. Kegiatan Minum
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
35
0
12
47
%
74.5
0
25.5
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan minum terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 35 responden
atau 74.5 % dan 12 responden menjawab tidak terganggu atau 25.5 %.
Tabel 24. Kegiatan Memasak
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
42
0
5
47
%
89.4
0
10.6
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan memasak terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 42 responden
atau 89.4 % dan 5 responden menjawab tidak terganggu atau 10.6 %.
Tabel 25. Kegiatan Mencuci
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
44
1
2
47
%
93.6
2.1
4.3
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan mencuci terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 44 responden
atau 93.6 % dan 2 responden menjawab tidak terganggu atau 4.3 %.
Makalah dan Presentasi
232
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 26. Kegiatan bermain anak-anak
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
46
0
1
47
%
97.9
0
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan bermain anak-anak terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab
oleh 46 responden atau 97.9 % dan 1 responden menjawab tidak terganggu atau 2.1 %.
Tabel 27. Kegiatan mengobrol
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
44
0
3
47
%
93.6
0
6.4
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan mengobrol terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 44
responden atau 93.6 % dan 3 responden menjawab tidak terganggu atau 6.4 %.
Tabel 28. Kegiatan Tidur
Pendapat
Ya, terganggu
Kadang-kadang terganggu
Tidak terganggu
Total
Frekuensi
38
1
8
47
%
80.9
2.1
17.0
100.0
* sumber : hasil penelitian
Kegiatan tidur terganggu ketika air menggenangi bangunan rumah dijawab oleh 38 responden atau
80.9 % dan 8 responden menjawab tidak terganggu atau 17 %.
5.2.9 Kegiatan setelah genangan air surut
Kegiatan setelah genangan air surut dibagi dalam 4 tabel, seperti terlihat pada tabel 29,30,31 dan
32.
Upaya
Tabel 29. Upaya yang Dilakukan Setelah Genangan Air Surut
%
Frekuensi
Membersihkan lumpur
Memperbaiki yang rusak
Tidak berbuat apa-apa
Membersihkan lumpur dan
memperbaiki yang rusak
Lainnya
(membersihkan
sumur)
Total
34
4
0
2
72.3
8.5
0
4.3
7
14.9
47
100.0
* sumber : hasil penelitian
Upaya membersihkan lumpur dijawab oleh 34 responden atau 72.35 % dan 7 responden menjawab
lainnya atau 14.9 %.
Makalah dan Presentasi
233
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 30. Yang Membersihkan Rumah
Frekuensi
Pelaksana
Penghuni/pemilik rumah
Pembantu
Tukang
Lainnya
Total
47
00
0
%
100
0
0
47
100.0
* sumber : hasil penelitian
Membersihkan rumah dilakukan oleh penghuni dijawab oleh 37 responden atau 100 % .
Tabel 31.Jumlah Orang yang Membersihkan
Jumlah
Frekuensi
20
27
0
47
1 – 2 orang
3 – 4 orang
 5 orang
Total
%
42.6
57.4
0
100.0
* sumber : hasil penelitian
3 – 4 orang yang turut membersihkan rumah dijawab oleh 27 responden atau 57.4 % dan 1 – 2
orang dijawab oleh 20 responden atau 42.6 %.
Tabel 32.Upah yang Dikeluarkan untuk Membersihkan
Pendapat
Frekuensi
1
46
47
Ya
Tidak ada
Total
%
2.1
97.9
100.0
* sumber : hasil penelitian
Tidak ada upah yang dikeluarkan untuk membersihkan rumah dijawab oleh 46 responden
atau 97.9 % dan ada yang mengeluarkan upah dijawab 1 responden atau 2.1 % dan
besarnya Rp.15.000.
5.3.
Adaptasi terhadap timbulnya genangan
5.3.1 Alasan memilih tempat tinggal di lokasi sekarang
Alasan memilih di lokasi sekarang dikelompokan pada 4 kategori jawaban seperti terlihat
pada tabel 33.
Tabel 33.Alasan Memilih Tempat Tinggal
Alasan
Biaya hidup murah
Dekat dengan tempat kerja
Tidak punya pilihan lain
Lainnya (warisan)
Total
Frekuensi
6
5
31
5
47
%
12.8
10.6
66.0
10.6
100.0
* sumber : hasil penelitian
Tidak punya pilihan lain merupakan alasan yang dipilih oleh 31 responden atau 66 %, biaya hidup
murah merupakan alasan yang dipili oleh 6 responden atau 12.8 %.
Makalah dan Presentasi
234
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
5.3.2 Hal yang paling mengganggu di lokasi sekarang
Hal yang paling mengganggu di lokasi sekarang dikelompokan dalam 3 kategori jawaban
seperti terlihat pada tabel 34.
Dari tabel 34 hal yang paling mengganggu di lokasi sekarang adalah genangan air yang
dijawab oleh 41 responden atau 87.2 %, ombak besar merupakan jawaban dari 6 responden
atau 12.8 %.
Tabel 34.Hal yang Mengganggu Di Lokasi Sekarang
Gangguan
Genangan air (banjir)
Tidak aman
Lainnya (ombak laut yang
besar)
Total
Frekuensi
41
0
6
%
87.2
0
12.8
47
100.0
* sumber : hasil penelitian
5.3.3 Upaya untuk mengurangi atau mencegah air masuk ke rumah
Upaya untuk mengurangi atau mencegah air masuk ke rumah dikelompokan dalam 4
kategori jawaban seperti terlihat pada tabel 35.
Tabel 35.Upaya untuk Mengurangi atau Mencegah Air Masuk ke Rumah
Upaya
Meninggikan lantai
Membuat pagar halaman
Tidak berbuat apa-apa
Lainnya
Total
Frekuensi
5
5
37
0
47
%
10.6
10.6
78.7
0
100.0
* sumber : hasil penelitian
Tidak berbuat apa-apa merupakan jawaban dari 37 tesponden atau 78.7 %, meninggikan
lantai atau membuat pagar halaman merupakan jawaban masing-masing 5 responden atau
10.6 %.
5.3.4 Waktu genangan sering terjadi
Waktu genangan sering terjadi dikelompokan dalam 3 kategori jawaban seperti terlihat
pada tabel 36.
Tabel 36.Waktu Genangan Sering Terjadi
Waktu
1 – 2 tahun terakhir
3 – 4 tahun terakhir
 5 tahun terakhir
Total
Frekuensi
5
8
34
%
10.6
17.0
72.4
47
100.0
* sumber : hasil penelitian
Lebih dari 5 tahun terakhir waktu genangan mulai sering terjadi merupakan jawaban dari
34 responden atau 72.4 %, 3–4 tahun terakhir merupakan jawaban dari 8 responden atau 17
%.
Makalah dan Presentasi
235
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
5.3.5 Perubahan luas genangan setiap tahun
Perubahan luas genangan setiap tahun dikelompokan dalam 3 kategori jawaban seperti
terlihat pada tabel 37.
Tabel 37.Perubahan Luas Genangan Setiap Tahun
Perubahan
Meluas/tinggi
Sama saja/tetap
Semakin kecil
Total
Frekuensi
23
23
1
47
%
48.9
48.9
2.1
100.0
* sumber : hasil penelitian
Setiap tahun genangan meluas/tinggi merupakan jawaban 23 responden atau 48.9 % dan
sama saja/tetap merupakan jawaban 23 responden atau 48.9 %.
5.3.6 Fasilitas kawasan yang terganggu
Fasilitas kawasan yang terganggu dapat dikelompokan pada tabel 38,39,40,41,42, dan 43.
Tabel 38.Fasilitas Sekolah
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
27
18
2
47
%
57.4
38.3
4.3
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas sekolah terganggu dijawab oleh 27 responden atau 57.4 % dan fasilitas sekolah
tidak terganggu dijawab oleh 18 responden atau 38.3 %.
Tabel 39.Fasilitas Rumah Sakit/Puskesmas
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
1
32
14
47
%
2.1
68.1
29.8
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas rumah sakit/puskesmas tidak terganggu dijawab oleh 32 responden atau 68.1 %
dan fasilitas rumah sakit/puskesmas kadang-kadang terganggu dijawab oleh 14 responden
atau 29.8 %.
Tabel 40.Fasilitas Jalan
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
44
1
2
47
%
93.6
2.1
4.3
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas jalan terganggu dijawab oleh 44 responden atau 93.6 % dan fasilitas sekolah tidak
terganggu dijawab oleh 1 responden atau 2.1 %.
Makalah dan Presentasi
236
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Tabel 41.Fasilitas Pasar
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
2
31
14
47
%
4.3
66.0
29.7
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas pasar tidak terganggu dijawab oleh 31 responden atau 66.0 % dan fasilitas pasar
kadang-kadang terganggu dijawab oleh 14 responden atau 29.7 %.
Tabel 42.Fasilitas Kantor
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
3
29
15
47
%
6.4
61.7
31.9
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas kantor tidak terganggu dijawab oleh 29 responden atau 61.7 % dan fasilitas
kantor kadang-kadang terganggu dijawab oleh 15 responden atau 31.9 %.
Tabel 43.Fasilitas Jalan
Pendapat
Ya, terganggu
Tidak terganggu
Kadang-kadang terganggu
Total
Frekuensi
44
1
2
47
%
93.6
2.1
4.3
100.0
* sumber : hasil penelitian
Fasilitas jalan terganggu dijawab oleh 44 responden atau 93.6 % dan fasilitas jalan tidak
terganggu dijawab oleh 1 responden atau 2.1 %.
6.







CATATAN
Kenaikan muka air laut merupakan salah satu penyebab perubahan garis pantai
Kenaikan muka air laut tidak dapat diamati secara langsung. Informasi dari beberapa
penduduk yang menyatakan bahwa lokasi rumahnya harus perpindah ke arah darat
dapat memberi gambaran adanya perubahan garis pantai.
Kerusakan fisik bangunan sangat dipengaruhi oleh teknologi dan bahan bangunan yang
digunakan serta umur bangunan.
Beberapa kerusakan pada bangunan kasus disebabkan oleh kesalahan dalam sistem
konstruksi karena pemahaman penduduk tentang teknis bangunan masih relatif rendah.
Kerusakan yang terjadi pada satu komponen akan berpengaruh kepada kerusakan
komponen lainnya.
Walaupun frekwensi genangan cukup tinggi dengan intensitas genangan cukup lama,
umumnya penduduk yang tidak bermata pencaharian sebagai nelayan tidak ingin
pindah dari lokasi sekarang dengan alasan dekat dengan fasilitas kota dan biaya hidup
murah.
Adaptasi lingkup bangunan rumah terhadap genangan pasang air laut telah dilakukan
penduduk dengan beberapa cara antara lain membuat tanggul, meninggikan lantai,
Makalah dan Presentasi
237
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia


sesedikit mungkin menggunakan bahan bangunan organik dan rumah hanya dilengkapi
dengan perabot utama.
Usaha-usaha penanganan kawasan yang dilakukan pemerintah setempat untuk
mengurangi penyempitan pantai akibat erosi adalah membuat tanggul dan menanam
pohon keras (waru). Sedangkan penanganan rutin untuk mengurangi lamanya genangan
terutama saat pasang di musim hujan adalah pembersihan sampah dan pasir.
Rendahnya kesadaran penduduk tentang kebersihan lingkungan masih rendah sehingga
membuang sampah atau kotoran lainnya ke sungai atau laut masih menjadi hal biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas PU Kota Mataram; 2001; Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Mataram, Proyek
Penyusunan RTRW dan Sosialisasi Tata Ruang Kota Mataram.
Kantor Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik ; Kecamatan Dalam Angka Tahun 1995, 1998,
1999.
Kantor Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik; Mataram Dalam Angka; 1996; 1997; 1998
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup; 1992; Kualitas lingkungan Hidup
Indonesia 1992, 20 tahun Setelah Stockhlom.
Mangga, Andi S.; 1994; Peta Geologi Lembar Lombok, Nusa Tenggara barat, Puslitbang geologi.
Peerbolte E. B; 1993; Sea Level Rise and safety; Universitieit Twente; Thesis.
Pemerintah Kotamadya Daerah TK II Mataram; 1994/1995; Revisi Rencana Umum Tata Ruang
Kota Kotamadya Dati II Mataram – Rencana.
Pemerintah Kotamadya Daerah TK II Mataram; 1999/2000; Rencana Detail Tata Ruang Wilayah –
Seluruh Unit Lingkungan III.2, III.4 dan Sebagian Unit Lingkungan III.1, III.6 – Rencana.
Pemerintah Kotamadya Daerah TK II Mataram; 1999/2000; Rencana Detail Tata Ruang Wilayah –
Seluruh Unit Lingkungan III.2, III.4 dan Sebagian Unit Lingkungan III.1, III.6 – Laporan
Hasil Survei.
PT. Properindo Jastama; 1992; Laporan Akhir Perencanaan Teknis Drainase Kota Mataram,
Dalam Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Kota Mataram.
Sudjana; 1988; Statistika; tarsito; bandung
Makalah dan Presentasi
238
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
LAMPIRAN
Makalah dan Presentasi
239
Download