TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas Ikan membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh dalam proses hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada ikan antara lain jumlah dan jenis asam amino esensial, kandungan protein yang dibutuhkan, kandungan energi pakan dan faktor fisiologis ikan (Lovell 1988). Kombinasi seimbang dari bahan – bahan penyusun serta kecernaan pakan menjadi dasar penyesuaian formulasi pakan terhadap kebutuhan ikan (Cho et al. 1985). Makanan bagi ikan diklasifikasikan menjadi makanan yang mengandung energi, yaitu protein, lemak dan karbohidrat serta makanan yang tidak mengandung energi seperti vitamin, mineral dan air (NRC 1977). Ikan mas mampu mencerna lemak dengan baik. Oleh karena itu, jumlah energi yang dapat tercerna (digestible energy) lebih penting daripada jumlah lemak dalam pakan (Takeuchi et al. 2002). Kebutuhan karbohidrat ikan mas tergolong tinggi dibandingkan dengan ikan yang lain karena ikan tersebut merupakan jenis omnivora. Jobling (1993) dalam Midlen & Redding (1998) menyatakan bahwa ikan mas dapat mencerna sebagian besar karbohidrat dalam pakan, sementara golongan karnivora seperti salmon dan yellowtail hanya mampu mencerna sekitar 25% saja. Secara umum, kebutuhan ikan mas terhadap karbohidrat sebesar 30 – 40% dalam pakan (Takeuchi et al. 2002). Kebutuhan makro nutrisi ikan mas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kebutuhan makro nutrisi ikan mas (Cyprinus carpio) MAKRO NUTRISI KEBUTUHAN Protein 30 – 35 g.100 g-1 Lemak 5 – 15 g.100 g-1 Energi 13 – 15 MJ kg-1 (310 – 360 kcal) Karbohidrat 30 – 40 g.100 g-1 Sumber : Takeuchi et al. 2002 Kekurangan protein akan menyebabkan ikan kehilangan bobot tubuhnya karena protein dari beberapa jaringan vital akan diambil kembali untuk memelihara fungsi jaringan yang lebih vital lagi dan untuk mengganti sel yang 5 mati. Sebaliknya kelebihan protein pada makanan akan menyebabkan proporsi protein yang disimpan dalam jaringan hanya sedikit, sedang selebihnya akan diubah dan digunakan sebagai sumber energi. Hal ini disebabkan karena suplai protein berlebih membutuhkan lebih banyak energi untuk mendeaminasi asam amino sehingga akan mengurangi energi untuk pertumbuhan (NRC 1993). Kelebihan protein juga akan menyebabkan pembuangan nitrogen yang banyak ke lingkungan budidaya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan perbandingan antara energi dan protein yang optimal di dalam makanan (Boonyaratpalin 1991). Protein yang dicerna akan dibebaskan dalam bentuk asam amino yang diabsorbsi saluran pencernaan untuk didistribusikan oleh darah ke seluruh jaringan tubuh (Wilson 1989). Asam amino terdiri dari dua jenis, yaitu asam amino esensial dan non esensial. Kebutuhan protein dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh pola kebutuhan asam amino esensial. Asam amino esensial sangat dibutuhkan namun keberadaannya harus disediakan melalui pakan karena tidak dapat disintesis di dalam tubuh, sedangkan asam amino non esensial dapat disintesis di dalam tubuh, misalnya glisin, alanin, sistein, tirosin, asam aspartat dan lain sebagainya. Atom N dari gugus purin dan pirimidin nukleotida merupakan basa penting DNA dan RNA berasal dari asam amino (NRC 1983). Kebutuhan lemak dalam pakan dipengaruhi oleh ukuran ikan, umur, teknik pemberian pakan dan komposisi pakan (NRC 1983). Lemak berperan penting dalam pakan ikan karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu penyerapan vitamin yang terlarut dalam lemak (A,D,E dan K) dan untuk mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993). Satu unit lemak setara dengan 9,4 kkal GE atau mengandung energi satu setengah kali lipat lebih banyak dibandingkan satu unit protein yang bernilai 5,6 kkal GE (Watanabe 1988). Apabila lemak dapat dengan efektif menyediakan energi untuk metabolisme, maka sebagian besar protein tidak digunakan sebagai sumber energi melainkan digunakan tubuh untuk pertumbuhan (NRC 1993). Namun, penentuan kadar lemak dalam pakan dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas pakan, 6 kualitas dan kuantitas sumber energi lain serta kualitas sumber minyak (D’Abramo 1997). Penambahan lemak dalam pakan perlu mendapatkan perhatian khusus, karena kekurangan lemak menyebabkan penurunan pertumbuhan, penurunan efisiensi pakan serta pada beberapa kasus akan meningkatkan kematian ikan (Watanabe 1988). Namun, kadar lemak berlebih akan menurunkan konsumsi pakan dan pertumbuhan, degenerasi hati, menurunkan kualitas panen (NRC 1993). Selain itu, lemak yang berlebihan akan masuk ke dalam jaringan organ sehingga menghambat fungsi normal tubuh (Hasting 1979). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi. Pemberian energi yang optimal pada pakan ikan adalah penting karena kekurangan atau kelebihan energi dapat mengakibatkan pertumbuhan berkurang (Lovell 1988). Energi untuk pemeliharaan tubuh dan aktifitas lain harus terpenuhi dahulu sebelum energi digunakan untuk pertumbuhan. Ikan karnivora umumnya dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal pada kadar 10 – 20% sedangkan ikan omnivora rata – rata pada kadar 30 – 40% (Furuichi 1988). Sedangkan ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat memanfaatkan karbohidrat pakan hingga 45% (Shimeno et al. 1996). Karbohidrat berperan sebagai sumber energi termurah dalam pakan ikan (NRC 1993; Shiau 1997) yang bernilai 4,1 kkal GE untuk satu unit karbohidrat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen atau BETN (Watanabe 1988). Karbohidrat juga berfungsi sebagai prekursor berbagai metabolisme intermediat yang diperlukan untuk pertumbuhan, misalnya biosintesis asam amino non esensial dan asam nukleat (NRC 1993). Karbohidrat dibedakan menjadi tiga kelompok utama, yaitu monosakarida, disakarida dan polisakarida. Disakarida dan polisakarida merupakan turunan monosakarida. Monosakarida utama yang terdapat dalam makanan adalah glukosa dan fruktosa. Glukosa (C 6 H 12 O 6 ) merupakan produk hidrolisis karbohidrat kompleks dalam proses pencernaan (Hepher 1990). Di tingkat sel, glukosa dioksidasi untuk menghasilkan energi dan disimpan dalam otot dan hati sebagai glikogen atau dikenal sebagai pati hewan (Piliang & Djojosoebagio 1996). Pada kondisi normal, kelebihan karbohidrat akan diubah menjadi lemak dan disimpan 7 di berbagai jaringan sebagai cadangan energi pada saat kekurangan makanan. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan otot dan hati untuk menyimpan glikogen, sehingga kelebihan glukosa darah diubah menjadi lemak melalui proses lipogenesis (Shimeno 1974). Ikan memiliki kemampuan lebih rendah dalam memanfaatkan karbohidrat dibandingkan hewan-hewan terestrial (Shiau 1997), namun keberadaan karbohidrat harus tetap tersedia dalam pakan (Wilson 1994). Kekurangan energi dalam pakan menyebabkan tubuh akan mengkatabolisme protein dan lemak menjadi energi untuk mempertahankan pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh yang mengakibatkan pertumbuhannya melambat (Wilson 1994). Dalam keadaan glukosa darah yang rendah akibat kekurangan makanan, terjadi proses pembentukan glukosa melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Glikogenolisis merupakan proses perombakan glikogen menjadi glukosa dengan melibatkan fosforilase dan 1,4 glukantransferase, sedangkan glukoneogenesis adalah proses pembentukan glukosa dari senyawa protein dan lemak (Shimeno 1974). Rendahnya kemampuan ikan dalam memanfaatkan karbohidrat pakan juga disebabkan karena rendahnya nilai kecernaan sumber karbohidrat, aktivitas enzim karboksilase ikan, kemampuan penyerapan glukosa dan kemampuan sel memanfaatkan glukosa dalam darah (Wilson 1994). Perbedaan respon ikan dalam pemanfaatan karbohidrat dipengaruhi oleh jenis dan ukuran ikan, kandungan lemak dan protein pakan, sumber karbohidrat, kompleksitas karbohidrat dan kebiasaan makan (Shimeno et al. 1996). Perbedaan mendasar antara ikan-ikan karnivora dan omnivora adalah kemampuannya dalam memanfaatkan karbohidrat kompleks. Ikan karnivora mampu memanfaatkan karbohidrat sebanyak 10 – 20%, sedangkan ikan omnivora hingga 30 – 40% dalam pakannya (Furuichi 1988). Eksperimen dengan tiga tingkatan karbohidrat berbeda dalam pakan (15%, 25% dan 35%) terhadap Catla catla menghasilkan pertumbuhan terbaik pada karbohidrat 35% (Senappa & Devaraj 1995). Begitu pula halnya dengan ikan-ikan laut dan tawar. Ikan laut memiliki kemampuan mencerna karbohidrat hingga 20% dalam pakan, sedangkan ikan-ikan tawar seperti Cyprinus carpio mencapai 30 – 40% (Satoh 1991 dalam 8 Wilson 1994), Ictalurus punctatus 25 – 30% (Wilson 1991 dalam Wilson 1994) dan Tilapia sp hingga 40% dalam pakannya (Luquet dalam Wilson 1994). Karbohidrat dalam pakan terdapat dalam bentuk serat kasar dan BETN. Serat kasar bernilai nutrisi sangat rendah namun tetap diperlukan untuk mengintensifkan gerakan peristaltik usus (NRC 1993). Karbohidrat berstruktur kompleks memiliki kecernaan yang lebih rendah dibandingkan dengan karbohidrat berstruktur sederhana. Pati merupakan bentuk polisakarida dengan rumus empiris (C 6 H 10 O 5 .H 2 O)n yang terbentuk dari rantai α-glikosida (Murray et al. 1990). Perbedaan sumber pati mempengaruhi perbedaan nilai kecernaan karbohidrat dan kecernaannya bergantung pada nisbah amilosa berbanding amilopektin. Semakin besar kandungan amilosa dan semakin kecil kandungan amilopektin dalam suatu bahan, semakin mudah bahan tersebut dicerna (CruzSuarez et al. 1994). Rasio energi – protein yang optimal dalam pakan perlu dipertimbangkan (Boonyaratpalin 1991). Kekurangan energi dalam pakan akan menyebabkan pertumbuhan rendah karena ikan akan mengubah protein pakan menjadi sumber energi, sehingga protein untuk pertumbuhan akan berkurang. Sebaliknya kelebihan energi dalam pakan akan membatasi konsumsi pakan oleh ikan termasuk membatasi nutrisi penting lainnya, seperti protein (NRC 1993). Energi diperlukan dalam pengendalian reaksi kimia untuk membuat jaringan baru, mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan garam, menyimpan atau mengeluarkan cairan tubuh (Smith 1989), pertumbuhan, reproduksi dan aktivitas fisik (Watanabe 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi pada ikan antara lain aktivitas fisik, suhu, ukuran dan tingkat stres (Smith 1989). Penggunaan protein akan lebih efisien jika diberikan sumber energi non protein di dalam pakan (Smith 1989). Karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai sumber energi, sehingga pemanfaatan protein lebih efisien dan hanya sedikit yang dikatabolisme menjadi energi (Stickney 1979). Akan tetapi, jika protein dalam pakan berlebihan maka protein yang disimpan di dalam tubuh menjadi lebih sedikit karena selebihnya diubah menjadi energi (NRC 1982). Begitu juga apabila kandungan karbohidrat terlalu tinggi, maka akan menurunkan pertumbuhan dan efisiensi pakan (Watanabe 1988). Toleransi yang rendah ini 9 kemungkinan disebabkan karena sedikitnya sekresi insulin pada ikan (Furuichi & Yone 1971; Furuichi & Yone 1982 dalam Watanabe 1988). Penggunaan karbohidrat yang optimal dalam pakan dapat memberi aksi sparing effect terhadap pemanfaatan protein untuk pertumbuhan ikan. Aksi sparing effect dari nutrisi non protein seperti karbohidrat sangat efektif mengurangi biaya pakan (Shiau 1997). Penggunaan Bungkil Sawit sebagai Bahan Pakan Tinjauan Umum Kelapa Sawit Kelapa sawit Elaeis guineensis merupakan tanaman yang tumbuh baik di dataran rendah dengan kondisi iklim 2 – 4 bulan musim kering pada selang temperatur minimal 21 – 24oC dan maksimal 30 – 32oC (Duke 1983). Tanaman dari familia Palmae ini berasal dari Guenea, di bagian tengah Afrika yang termasuk daerah khatulistiwa dan pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1848 di Kebun Raya Bogor. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1911 di daerah sungai Liput, Aceh Timur dan perkebunan pulau Raja, Sumatera Utara (Hermanto et al. 1995). Industri kelapa sawit menghasilkan beberapa produk samping yang potensial sebagai bahan pakan, salah satunya bungkil inti sawit. Persentase produk utama dan hasil samping kelapa sawit dapat diihat pada Gambar 1. Tandan Buah Sawit Segar Tandan Kosong Sawit (23%) Serat Mesokarp (13%) Minyak Sawit (20 - 22%) Inti Sawit (5%) Cangkang (7%) Lumpur Sawit (2%) Minyak Inti Sawit (45 - 46%) Bungkil Inti Sawit (45 - 46%) Gambar 1 Persentase produk utama dan hasil samping pengolahan minyak sawit (Sumber : Elisabeth & Ginting 2003) 10 Bungkil inti sawit atau Palm Kernel Cake (PKC) diperoleh melalui 2 (dua) tahapan pada ekstraksi minyak dari buah kelapa sawit. Tahap pertama merupakan ekstraksi primer minyak kelapa sawit dari buah yang kemudian menghasilkan biji (kernel) dan by-products seperti palm oil sludge (POS) dan palm press fibre (PPF). Ada dua metode ekstraksi minyak dari biji yaitu metode konvensional screwpress yaitu mekanisme yang menghasilkan expeller pressed PKC dan metode ekstraksi solvent atau menggunakan cairan (umumnya berupa hexane) yang akan menghasilkan ekstraksi berupa solvent extracted type (Chin 2002). Perbedaan dari PKC hasil ekstraksi expeller pressed dan solvent terletak pada kandungan minyaknya. Kandungan minyak pada ekstraksi expeller pressed dapat mencapai 5 – 12%, sedangkan ekstraksi solvent menghasilkan minyak yang jumlahnya lebih rendah yaitu 0,5 – 3%. Akan tetapi, kandungan protein PKC dari kedua jenis metode ekstraksi ini tidak jauh berbeda yaitu antara 14,6 – 16% bobot kering (Chin 2002). Keterbatasan Penggunaan Tepung Bungkil Inti Sawit dalam Pakan Ikan Rendahnya Kandungan Protein dan Asam Amino. Tepung BIS merupakan sumber protein medium (Chin 2002) dan mengandung banyak serat sehingga palatabilitas dan kecernaannya rendah (Sundu & Dingle 2003). Tepung BIS telah banyak digunakan sebagai bahan baku pakan dalam penggemukan sapi, kerbau, kambing, unggas dan akuakultur (Zahari & Alimon 2004). Besarnya jumlah serat dalam BIS, yaitu 23% bobot kering (Sue 2005), menyebabkan defisiensi energi dan batas penggunaan yang aman dalam pakan ikan berkisar antara 10 – 20%. Berdasarkan kandungan rasio energi – protein BIS, kadar maksimum substitusi protein dari BIS akan dibatasi oleh jumlah pakan yang dapat dicerna ikan per hari (Ofojekwu et al. 2003). Selain itu, sebagian besar BIS mengandung non-starch polysaccharides (NSP) dengan komposisi 78% mannan yang bersifat tidak tercerna dan tidak larut dalam air (Sundu & Dingle 2003). Pemanfaatan BIS dalam pakan ikan pernah dicobakan pada tilapia dan ternyata mampu menggantikan tepung kedelai hingga 20% tanpa menghambat pertumbuhan (Ng & Chong 2002). Namun, BIS tidak dapat menggantikan tepung ikan lebih dari 15% pada pakan tilapia (Omoregie et al. 1993). Sementara itu, penambahan 20% BIS dalam pakan channel catfish memberikan pertumbuhan, 11 efisiensi pakan dan pemanfaatan nutrien yang tidak berbeda dengan pakan kontrol tanpa menggunakan BIS (Ng & Chen 2002). Komposisi asam amino yang terkandung dalam BIS disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan asam amino BIS, TBK dan tepung ikan (% protein) ASAM AMINO ESENSIAL Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Triptofan Valin 1)a) BIS 2.32 0.32 0.64 1.19 0.54 0.33 0.79 0.61 0.2 0.82 % dalam protein TBK2)b) Tepung Ikanc) 7.57 5.88 2.66 2.46 4.53 4.84 7.79 7.71 6.36 7.69 1.27 3.04 4.96 4.24 3.97 4.31 n/a n/a 4.51 5.34 Sumber : a) Hertrampf dan Felicitas, 2000 b) NRC 1993 c) NRC 1993 Keterangan : 1) Bungkil inti sawit 2) tepung bungkil kedelai Keberadaan Zat Anti Nutrisi. Penggunaan BIS dibatasi oleh tiga hal, yaitu kandungan protein yang rendah (4 – 18%), kekurangan asam amino sulfur (sistein dan metionin) dan lisin serta keberadaan zat anti nutrisi (Ng 2004). Zat anti nutrisi dalam BIS umumnya berupa tanin dan NSP. Tanin mudah bereaksi mengikat protein (Barry 1989), kemudian berinteraksi dengan asam amino membentuk kompleks sukar larut (Siebert et al. 1996), sehingga menurunkan kecernaannya (Wolffram et al. 1995). Sedangkan NSP yang terkandung dalam BIS terdapat dalam bentuk mannosa yang akan bereaksi dengan kelompok asam– asam amino tertentu sehingga mengakibatkan penurunan kecernaan bahan pakan (Butterworth & Fox 1963 dalam Sundu & Dingle 2003). NSP dapat meningkatkan viskositas usus sehingga mengurangi laju hidrolisis dan penyerapan zat gizi (Ng 2004). Selain itu, dapat mengikat garam – garam empedu, lipid dan kolesterol sehingga berpengaruh terhadap absorbsi di dalam usus yang akhirnya akan 12 mempengaruhi penyerapan nutrisi secara keseluruhan (Vahouny et al. 1980 dalam McNab & Boorman 2002). Perlakuan Enzimatis terhadap Tepung Bungkil Inti Sawit Peningkatan kandungan nutrisi BIS telah banyak dilakukan dan diuji pada beberapa jenis ikan, antara lain dengan mencampurkan Aspergillus niger ke dalam pakan Tilapia. Namun, metode ini malah menurunkan pertumbuhan ikan sebagai bukti rendahnya kecernaan pakan dan kemungkinan adanya anti nutrisi pada bahan pakan tersebut (Lim et al. 2001). Metode lainnya dilakukan oleh Ng et al. (2002) dengan mencampurkan BIS dengan enzim dan fermentasi BIS sebelum dibuat sebagai pakan Tilapia. BIS yang diberi enzim menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan BIS fermentasi yang bahkan menghasilkan pertumbuhan rendah akibat adanya zat mycotoxin. Sundu dan Dingle (2003) dalam penelitian mereka mengungkapkan bahwa perlakuan enzimatis terhadap BIS dapat meningkatkan pertambahan bobot maupun konsumsi pakan pada anak ayam. Hal ini disebabkan karena enzim komersial yang digunakan yaitu gamanase dan gamanase+SSF mampu memecah NSP dengan baik sehingga BIS yang dicampurkan dalam pakan memiliki kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan BIS tanpa perlakuan enzimatis. Dua jenis enzim komersial yang digunakan dalam percobaan ini adalah gamanase yang mengandung mannanase dan galaktosidase dan gamanase+SSF yang lebih banyak mengandung enzim tambahan berupa enzim selulase, β-glukanase, fitase, protease, amilase, pektinase dan pentosanase. Hasil penelitian Sundu dan Dingle (2003) menunjukkan bahwa pakan berbasis BIS yang diberi enzim gamanase, memiliki pertambahan bobot anak ayam dan konsumsi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan BIS yang diberi enzim gamanase+SSF dan yang tidak diberi enzim sama sekali. Pertumbuhan bobot anak ayam dari BIS dengan 0,1% enzim gamanase, 0,1% gamanase+SSF dan tanpa enzim masing – masing 621,9 gram, 596,8 gram dan 567,7 gram. Akan tetapi, berbeda halnya dengan pakan berbasis jagung dan kedelai, pemberian 0,1% enzim gamanase+SSF memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan pakan tanpa enzim maupun dengan 0,1% enzim gamanase. Pertumbuhan bobot anak ayam dari pakan berbasis jagung dan kedelai dengan 0,1% enzim gamanase+SSF, 13 0,1% gamanase dan tanpa enzim masing – masing 638,6 gram, 510,9 gram dan 542,7 gram. Pemberian enzim 0,1% gamanase+SSF pada tepung kopra hanya memberikan sedikit peningkatan dibandingkan dengan pemberian 0,1% enzim gamanase dan tanpa enzim. Jumlah konsumsi pakan berbasis BIS lebih banyak pada BIS yang diberi 0,1% gamanase, yaitu sebesar 868,7 gram. Sedangkan BIS dengan 0,1% gamanase+SSF menghasilkan konsumsi pakan sebanyak 818,4 gram dan tanpa pemberian enzim sebesar 805,3 gram. Jumlah konsumsi pakan pada pakan berbasis jagung dan kedelai menunjukkan konsumsi yang lebih besar pada bahan yang diberi 0,1% gamanase+SSF, yaitu sebesar 823,9 gram. Namun hasil ini tidak berbeda nyata pada pemberian 0,1% gamanase sebesar 746,4 gram dan tanpa pemberian enzim sebesar 778,9 gram. Begitu juga pada pakan berbasis tepung kopra, pemberian 0,1% gamanase, 0,1% gamanase+SSF dan tanpa enzim tidak memberikan pengaruh nyata yaitu masing – masing sebesar 666,8 gram, 742,3 gram dan 698,7 gram. Melihat hasil percobaan, masih terlalu dini untuk menyimpulkan pengaruh kombinasi penggunaan enzim pada performansi ayam broiler, sehingga diperlukan lebih banyak penelitian yang lebih komprehensif (Sundu & Dingle 2003). Parameter Kualitas Pakan Kecernaan Pakan dan Stabilitas Pakan dalam Air Kemampuan cerna ikan terhadap suatu jenis pakan bergantung kepada kualitas dan kuantitas pakan, jenis bahan pakan, kandungan gizi pakan, jenis serta aktivitas enzim-enzim pencernaan pada sistem pencernaan ikan, ukuran dan umur ikan serta sifat fisik dan kimia perairan (NRC 1983). Kecernaan protein umumnya tinggi dan bervariasi berdasarkan beberapa faktor antara lain sumber protein, ukuran partikel dan keberadaan komponen non protein di dalam pakan (Hasting & Dikie 1972). Kecernaan pakan dan nutrien dapat ditentukan dengan menggunakan indikator yang mempunyai sifat-sifat tidak dapat dicerna oleh ikan, mudah diidentifikasi atau tidak diserap sehingga dapat melalui saluran pencernaan. kromium trioksida (Cr 2 O 3 ) dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan 14 kecernaan pakan dengan asumsi bahwa semua kromium trioksida (Cr 2 O 3 ) yang dikonsumsi ikan akan melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses (NRC 1983). Watanabe (1988) menyatakan bahwa pada penentuan kecernaan ikan, banyaknya Cr 2 O 3 yang biasa digunakan adalah 0,5 – 1,0%. Stabilitas pakan dan ukuran pakan harus diperhitungkan terkait dengan adanya proses pencucian pakan beberapa saat setelah pakan masuk ke dalam air (Murai et al. 1981). Stabilitas pakan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran partikel, komposisi bahan, kadar bahan pengikat dan teknik pengolahan (Poernomo 1985). Ekskresi Ammonia Amonia yang diekskresikan ikan merupakan indikator yang baik dalam menentukan kadar optimum protein dalam pakan terutama jika dihubungkan dengan pertumbuhan (Wermerskirchen et al. 1996). Hal ini dapat diterima karena nitrogen yang diekskresikan berkorelasi dengan nitrogen yang dikonsumsi (Koshio et al. 1993). Eksresi amonia menunjukkan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau sumber energi (Ming 1985). Ikan mengeluarkan nitrogennya sebagai amonia bukan sebagai asam urat atau urea, sehingga energi yang hilang dalam katabolisme protein dan ekskresi nitrogen rendah (Lovell 1988; Goldstein & Forster 1970 dalam NRC 1982). Protein yang dikonsumsi ikan akan dicerna dan diserap dengan efisien. Asam amino yang tercerna yang berlebih dari yang dibutuhkan serta tidak digunakan dalam sintesis protein akan dideaminasi sedangkan rantai karbon akan dioksidasi atau dikonversi menjadi lemak, karbohidrat atau senyawa lainnya. Selanjutnya nitrogen hasil deaminasi asam amino tadi dikeluarkan dari tubuh karena asam amino tidak disimpan dalam tubuh sebagaimana halnya lemak dan karbohidrat (Jobling 1994; Dosdat et al., 1996). Nitrogen hasil ekskresi ikan khususnya ikanikan teleostei sebagian besar berupa amonia (75 – 90%), selebihnya berupa urea (5 – 15%), asam urat, kreatin, kreatinin, trimetilamin oksida (TMAO), inulin, asam para-aminohippurik dan asam amino (Forsberg & Summerfelt 1992; Jobling 1994; Ming 1985). Amonia dalam perairan terdapat dalam dua bentuk yaitu un-ionized (NH 3 ) dan ionized (NH 4 +). Amonia dalam bentuk NH 3 bersifat lipofilik yang mudah 15 berdifusi melalui membran respirasi sehingga bersifat toksik bagi kehidupan akuatik dibandingkan NH 4 + yang kemampuan penetrasinya ke dalam membran respirasi lebih kecil (Jobling 1994). Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan. Konsentrasi amonia akan meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan dengan konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan ikan stres, pertumbuhan terhambat bahkan kematian (Forsberg dan Summerfelt, 1992; Jobling, 1994). Laju ekskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan (Ming 1985). Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya membuktikan bahwa ekskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 gram ditemukan 3 – 5 jam setelah mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 gram terlihat pada 5 – 8 jam setelah makan. Toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda-beda, tergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming 1985). Toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda-beda, tergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming 1985).