JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014 ISSN: 2303-2820 PEMERTAHANAN BAHASA OLEH GUYUB TUTUR BAHASA JAWA DI KOTA KUPANG By Maria F. Sutini (Dosen senior Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Undana) Abstract: Artikel ini adalah ringkasan hasil penelitian bertujuan menganalisis strategi pemertahanan bahasa Jawa dengan konsentrasi pada konstruksi kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, kalimat penyangkal, dan kalimat perintah (dan larangan). Data diperoleh dengan menerapkan metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara, merekam, dan mencatat informasi dari komunitas Jawa di Kupang sebagai sumber data. Scara singkat hasilnya GTBJ masih memertahankan penggunaan BJNg dalam komunikasi setiap hari tanpa mengenal strata khususnya dalam kalimat pernyataan, pertanyaan, penyangkal, dan perintah (larangan). Hal ini menunjukkan bahasa pertama sedikit mengalamani pergeseran oleh pemakai asli di lingkungan bukan komunitas asli. Kata Kunci: pemertahanan, guyup-tutur, bahasa Jawa. PENDAHULUAN Suatu fenomena yang terjadi secara alamiah dari keberadaan suatu bahasa adalah pemertahanan dan pergeseran suatu bahasa dalam suatu komunitas pengguna bahasa itu atau guyub tuturnya. Peristiwa tentang pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa ini hanya bisa terjadi dalam masyarakat dwibahasa atau masyarakat bilingual dan masyarakat anekabahasa atau multilingual. Fishman dalam Sumarsono (1990) yang pertama kali melakukan kajian tentang pergeseran dan pemertahanan bahasa telah mendiskripsikan hubungan antara perubahan dan stabilitas di satu pihak dengan proses psikologis, dan sosial. Sedangkan proses kultural pada umumnya terjadi dalam masyarakat multibahasa.Salah satu hal yang menarik dalam proses terjadinya pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah “ketidak berdayaan” minoritas untuk mempertahankan bahasa aslinya. Hal ini menurut pengamatan peneliti juga terjadi di Kota Kupang, dimana para pendatang dari berbagai daerah di NTT maupun dari Jawa dan Sumatra 67 melakukan aktifitas dalam berbagai bidang: sebagai pegawai (negeri/swasta), sebagai pelaku wira usaha dan lain sebagainya. Sebagai ibukota provinsi NTT, Kota Kupangjuga merupakan kota yang cukup pesat perkembangannya dalam dasawarsa terakhir ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya kantongkantong kegiatan bisnis dan pemekaran kota yang pesat karena makin meningkatnya jumlah penduduk selain makin tingginya jumlah pendatang di kota ini untuk berbagai tujuan. Salah satu tujuan mereka adalah untuk melakukan bisnis baik dalam bisnis dengan omset kecil (seperti pedagang kaki lima atau PKL) atau bisnis dengan besar. Menurut pengamatan penulis, salah satu kantong bisnisdi Kota Kupang ini adalah daerah sepanjang Kuanino sampai OEpura yang cukup berkembang dan ramai, khususnya pada sore sampai malam hari. Para pelaku bisnis kecil (small scale bisnis) ini umumnya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data menunjukkan jumlah pendatang dari Jawa yang tinggal di Kota Kupang Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini) berjumlah 897 orang yang tercakup dalam 234 kepala keluarga (Kota Kupang dalam Angka, 2010).Masyrakat Jawa yang berdomisili di Kota Kupang ini merupakan suatu kelompok minoritas dwibahasawan. Menurut Fishman (1986) kelompok minoritas ini pada awalnya hanya menggunakan satu bahasa, namun dengan terjadinya kontak bahasa dan ketidakberdayaan mereka sebagai kelompok minoritas, memaksa mereka secara pelan-pelan menggunakan tiga bahasa sekaligus yaitu Bahasa Indonesia. Peristiwa kebahasaan seperti dsebutkan itu juga tetrjadi pada kelompok minoritas masyarakat Jawa. Kelompok ini pada awal kedatangan mereka hanya menggunakan Bahasa Ibu (baca Bahasa Jawa = BJ), dan karena proses kulturisasi kemudian mereka menggunakan Bahasa Melayu Kupang (selanjutnya digunakan BMK) sebagai sarana komunikasi antar kelompokdi luar masyarakat Jawa, disamping Bahasa Inodnesia (BI), sehingga secara kultural dan alamiah mereka telah menjadi multi-bahasawan (Fishman, 1990).Fenomena ini, menurut pengamatan penulis, terjadi juga dalam guyub tutur Bahasa Jawa (selanjutnya ditulis GTBJ) yang berdomisili di Kota Kupang. Mereka, saat-saat awalsebagai pendatang di Kota Kupang, menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat sekitar, sambil tetap menggunakan BJ sebagai sarana komunikasi internal antar mereka. Kemudian berkembang dengan menggunakan BMK mengikuti kelompok mayoritas sebagai sarana komunikasi atau guyub tutur di sekitar GTBJ. Bagi masyarakat Jawa di Kota Kupang, BJ merupakan bahasa pengantar yang masih digunakan oleh para anggota GTBJ yang berasal dari Jawa, khususnya yang berasal dari daerah Jawa Timur, dalam kominukasi informal. Pengunaan BJ sebagai bahasa pengantar dalam GTBJ ini pertama sebagai rasa ikut memiliki dan rasa bangga pada B1 mereka (Sumarsono, 1990). Kedua, BJ digunakan karena kebiasaan dan rasa nyaman. Hal ini juga didukung oleh fakta yang dilaporkan oleh Pos Kupang tgl. 6 Agustus 2013, yang menyatakan bahwa dalam proses belajar-mengajar di kelas awal (kelas 1 s/d 3) sekolah dasar di daerah, khususnya di daratan Timor, guru-guru lebih cenderung menggunakan B1. Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa anak-anak lebih menguasai B1 dari pada Bahasa Indonesia (B2). Berdasarkan kedua alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa B1 baik itu BJ maupun bahasa-bahasa daerah di Timor dan daerah lainnya dikuasai dengan baik sejak anak-anak yang menyebabkan mereka bangga dan merasa lebih nyaman menggunakan B1. Berbicara tentang BJ, Wahab (1991) menyatakan bahwa BJ menurut variannya secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) kelas atau varian, yaitu (1) BJ biasa atau Bahasa Jawa Ngoko (BJNg); (2) BJ Menengah atau Bahasa Jawa Kromo (BJK); dan (3) BJ Tinggiatau Bahasa Jawa Kromo Inggil (BJKI).Berdasarkan pengamatan penulis, sebagai penutur asli BJ dan sekaligus peneliti, GTBJ di Kota Kupang ini masih menggunakan BJ secara aktif khususnya varian BJNg untuk komunikasi informal dan dalam situasi informal pula. BJNg mereka gunakan dalam situasi kekeluargaan, dalam kelompok-kelompok kecil (seperti dalam arisan dan pertemuan keluarga), termasuk komunikasi di dalam lingkungan keluarga masingmasing. GTBJ ini adalah suatu satuan sosial yang memiliki persatuan, memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dari kelompok atau guyub-guyub lainnya di Kota Kupang pada umumnya. Mereka memiliki rasa bangga dan cinta pada suku dan bahasanya, dan mereka mempunyai 68 JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014 “sistem” yang mengatur cara hidup dan kehidupan sosial mereka sesuai kesepakatan yang telah mereka bangun. Menurut H. Makarim Sina, pengurus masjid Al Falah Kota Kupang, sistem tersebut mampu mengatur kehidupan sosial mereka secara bersama-sama, baik dalam kehidupan keagamaan, kehidupan berpolitik, dan kehidupan bermasyarakat lainnya(Hasil wawancara tgl. 11 Maret 2013). Berangkat dari paparan tersebut diatas, penulis mengangkat kajian pemertahanan BJ yang cukup menarik untuk dilakukan karena dua alasan. Pertama, GTBJ secara kuantitas jumlahnya terbatas, dan mereka tinggal di Kota Kupang yang mayoritas merupakan penutur Bahasa Melayu Kupang dan Bahasa Indonesia. Kedua, mengingat GTBJ ini merupakan kelompok minoritas, mereka berusaha untuk menunjukkan eksistensinya dengan tetap mempertahankan BJ. Kajian ini merupakan kajian awal (preliminary research) dengan masalah yang berkaitan dengan kalimat BJNg, yaitu: 1) seberapa jauh BJ digunakan oleh GTBJ di Kota Kupang; dan 2) bagaimana struktur kalimat BJNg yang digunakan oleh GTBJ di Kota Kupang ini.Sepanjang pengetahuan penulis kajian tentang GTBJ di Kota Kupang ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Kajian yang terkait dengan pemertahanan bahasa yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah kajian Utomo (1987) yang mengkaji tentang guyub tutur etnis Cina turunan (Tionghwa) dalam penggunaan Bahasa Indonesia di Kota Pasuruan. Dengan menggunakan teknik wawancara, perekaman, wawancara dan catatan tertulis. Kartomihardjo (1987) juga melakukan kajian sosiolinguistik yang mengkaji tentang penutur BJ dengan tiga varian BJ di Kota Malang dan sekitarnya. Dua peneliti tersebut menggunakan metode kualitatif dalam 69 ISSN: 2303-2820 kajian mereka. Kedua penelitian tersebut digunakan sebagai acuan bagi penulis untuk melakukan kajian inidengan pendekatan kualitatif juga.Kajian yang lebih luas dan mendalam telah dilakukan oleh Fasolddan Gal dalam Sumarsono (1990) menggunakan pendekatan yang sama dengan guyub tutur yang berbeda. Fasold meneliti guyub tutur Indian Tiwa, sedangkan Gal meneliti orangorang Hungaria di Obervart, Austria. Sutini (1995) melakukan kajianBahasa Indonesia dialek Tionghwa (= BITh) dengan subyek kajiannya adalah keturunan Cina atau Tionghwa di Kota Malang di daerah Pecinan. Kajian ini juga menerapkan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik wawancara, perekaman, wawancara dan catatan tertulis. Hasilnya menunjukkan bahwa: pertama, etnis Tionghwa, yang merupakan kelompok minoritas, menggunakan Bahasa Indonesia dialek Tionghwa dengan alasan: pertama, BITh merupakan kebanggaan, jati diri dan dalam usaha mempertahankan BITh dalam guyub tutur mereka. Kedua, BITh adalah bahasa pengantar atau alat komunikasi internal dan digunakan secara informal dalam guyub tutur BIThdan fakta menunjukkan bahwa BITh ini tetap eksis diantara kelompok mayoritas Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sampai sekarang. Berawal dari paparan tersebut diatas, maka kajian ini bertujuan untuk: 1) Mendiskripsikan BJ penggunaan oleh GTBJ di Kota Kupang; 2) Mendiskripsikan struktur kalimat BJNg yang digunakan oleh GTBJ itu. Metodologi Subyek dalam kajian berikut ini adalah penutur asli atau GTBJ dialek Jawa Timur, dengan varian BJNg. Varian BJNg ini dipilih mengingat GTBJ di lokasi penelitian ini menggunakan BJNg secara aktif untuk komuikasi dalam guyub tutur mereka. Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini) Kajian pemertahanan BJ ini dilakukan di lapangan selama 10(Sepuluh) hari, dari tanggal 11 sampai dengan tanggal 20 Mei 2013. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan pengamatanselama 1 sampai 3 jam setiap sore (sekitar jam 18.00 sampai 20.00). Pemilihan waktu pengamatan, perekaman, wawancara dan pencatatan tertulis sengaja diambil sore/malam hari karena pada sore sampai malam harilah subjek berada di lokasi tersebut secara bersama-sama untuk melakukan aktifitas perdagangannya sebagai mata pencaharaian mereka. Kajian ini dilakukan di lokasi penelitian tersebut diatas dengan melakukan pengamatan partisipatif, wawancara dan perekaman atas percakapan yang sedang berlangsung di lapangan (Sumarsono, 1990,23). Yang dimaksud sebagai pengamatan partisipatif disini adalah peneliti terlibat langsung dalam percakapan diantara GTBJ dalam BJNg. Perekaman (dengan dibantu seorang penutur asli BJ) dilakukan selama pengamatan dengan merekam seluruh tuturan spontan dalam GTBJ. Hasil dari rekaman tersebut ditranskripsikan dan dianalisis sesuai kebutuhan, yaitu dengan memilah-milah struktur kalimat apa saja yang digunakan dalam komunikasi antar GTBJ tersebut. 1. Lokasi dan Subyek Penelitian Lokasi penelitian ini adalah, di jl. Suharto, OepuraKota Kupang, khususnya di depan Toko Glori. Lokasi ini dianggap cukup mewakili karena subyek kajian penelitian ini adalah GTBJ yang terdiri dari para PKL yang berdagang di lokasi tersebut sepanjang sore sampai malam hari. Mereka terdiri dari 8 kelompok PKL, dengan jumlah 17 orang. 2. Instrumen dan Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data digunakan beberapa instrumen, yaitu (1) Wawancara. Yaitu dengan melakukan wawancara langsung di lokasi penelitian dengan melibatkan para pengguna BJNg dan didukung oleh beberapa tokoh dalam GTBJ. (2) Rekaman, dengan menggunakan alat rekam elektronik untuk mendapatkan data yang akurat dan sesuai kebutuhan. Perekaman ini dilakukan selama pengamatan, dan dibantu oleh seorang penutur asli BJ. (3) Catatan tertulis dibuat sebagai pendukung data rekaman dan wawancara sehingga menghasilkan kajian atau deskripsi yang lebih akurat. 3. Analisis Data dan Pembahasan Analisis data dalam kajian ini difokuskan pada struktur kalimat BJNg,yang mencakup: kalimat pernyataan, (kalimat positif dan kalimat negatif), kalimat pertanyaan, kalimat perintah/ kalimat larangan, dan kalimat teguran. A. Kalimat Pernyataan (1) Truno arepe mulih suk Muludan Truno akan pulangnanti (bulan) Maulud (2) Anake Triman loro, dadi dewekne arep ndang mulih Anaknya Triman sakit, jadi dia akan segera pulang (3) Adike wes mulih nyang Jowo wiwit tanggal 10 wingi Adiknyasudah (pulang) ke Jawa sejak tanggal 10 kemarin (4) Marni merono, tapi tokone wes tutup Marni kesana tapi tokonya sudah tutup (5) Mendunge peteng, mestine udan maneh Mendung gelap, tentunya hujan lagi 70 JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014 (6) Nyambut gawe ono kutho, kudune duwite akeh Kerjanya di kota, harusnya uangnya banyak (7) Santy, suarane adzan cetho, tak kiro masjide ora adohSanty, suara adzan itu jelas, saya kira masjidnya tidak jauh (dari sini) (8) Ooo, kowe to tibake, tak songko bapakmu sing teko Ooo, kamu ya..., saya kira bapak kamu yang datang (9) Wes setengah jam olehku mlaku, ning durung ketemu omahe Parto. Saya sudah berjalan setengah jam, tetapi belum ketemu rumah mas Parto. (10) Wes pirang-pirang dino si Warso ora muncul,jebule mulih nyang ndeso (11) Sudah beberapa hari tidak muncul, ternyata pulang ke desa Mengacu pada data tersebut diatas, nampak bahwa kalimat (1) dan (2) tersebut diatas adalah dua kalimat yang serupa tapi tak sama maknanya. Kalimat (1) adalah kalimat pernyataan yang menggunakan struktur “keakanan” atau future, dengan ditandai kata arepeatau akan,dan diikuti verba mulih. Dalam kalimat (2) juga kalimat yang bermakna “akan” atau future, dengan ditandai keterangan arepedenganketerangantambahanndang (segera) atau “near future”. Sehingga verba dalam kalimat tersebut bermakna akan segera dilakukan. Tentu saja keduanya masih digolongkan dalam bentuk kalimat pernyataan yang sama, yaitu keakanan atau future, tetapi keduanya mempunyai makna yang berbeda: kalimat (1) bermakna akan dan kalimat yang berbeda dengan kalimat (2) bermakna akan segera. Dalam kalimat (3) dan (4) brikut: Adike wes mulih nyang Jowo wiwit tanggal 10 wingi, dan kalimat (4)Marni merono, tapi tokone wes tutup merupakan 2 (dua) kalimat pernyataan yang berbeda dengan kalimat (1) dan (2) 71 ISSN: 2303-2820 diatas. Dalam kalimat (3) dan (4) verba mulih dan tutup didahului oleh adverbiawesyang bermakna sudah dan dipertegas dengan adverbia yang menyatakan waktu wingi(kemarin). Artinya verba yang mengikutinya bermakna sudah dilakukan atau “action in past time”. Jadi, dalam BJNg untuk menyatakan suatu “action” atau verba yang sudah dilakukan atau “past” diperlukan keterangan verba wesdan bisa juga dipertegas dengan adverbia /keterangan lain, seperti wingi, dek wingi, biyen, dan lain-lain. Beranjak pada kalimat (5) Mendunge peteng, mestineudan maneh dan kalimat (6)Nyambut gawe ono kutho, kuduneduwite akehnampak jelas susunan kedua kalimat tersebut berbeda dengan kalimat-kalimat sebelumnya. Dalam kedua kalimat tersebut digunakan “modifier” atau kata penegas mestine (tentunya) dan kudune (harusnya), yaitu keterangan yang menyatakan kepastian, dan kalimat tersebut tidak menggunakan verba tetapi ajektiva peteng (gelap) dan udan (hujan). Jadi kedua kalimat yang menggunakan kata mestine dan kudunemerupakan kalimat pernyataan yang mensyaratkan suatu kondisi tertentu supaya suatu “action” atau verba atau kondii tertentu bisa terjadi. Dalam bahasa Inggris juga terdapat kalimat serupa yang biasa menggunakan “conditionl clause” atau anak kalimat dengan “if...”. Misalnya,” I will come if it does not rain....” (....) Selanjutnnya dalam kalimat (6) dan (7), kedua kalimat tersebut menggunakan frasa “tak kiro”dan “tak songko”. Katatak dapat berfungsi sebagai subyek (pengganti)saya, dan sebagai subyek, yaitu orang I tunggal dari frasa yang terkait. Subyek tak ini digunakan dalam kalimat positif,selain hal tersebut,katatak dalam kalimat BJNg tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus diikuti kata kerja, dalam kalimat diataskiro dan songko, dan keduanya bermakna saya kira dan saya Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini) sangka.Contoh lain seperti, tak jupuk (saya ambil), tak pikir(saya pikir),tak tuku (saya beli), tak gowo (saya bawa) dan sebagainya. Hal ini juga diutarakan oleh Sawardi (2008) bahwa kata takadalah kata pengikat atau terikat (bound) pada verbanya. Selanjutnya dalam kalimat (8) dan (9), keduanya mempunyai keterangan verba yang sama dalam kalimat (3) dan (4), tetapi mempunyai frasa yang berbeda, dengan makna yang berbeda pula. Dalam kalimat (8) dan (9) diatas kata wesdiikuti jumlah kata benda atau lama waku, dan diikuti klausa sebab akibat dalam klausa atau anak kalimatnya. Oleh karena itu, kata wes... diikuti klausa ternyata atau tetapi. B. Kalimat Pertanyaan (1) Sopo sing manggon ono omah gedong iku? Siapa yang menempati rumah bear (gedung) itu? (2) Sopo sing tuku tiket mengko tgl.15 Juni iki? Siapayang beli tiket untuk tgl 15 Juni nanti (3) Sopo jenengmu, nak? Siapa namamu, nak? (4) Sing klambine abang iku jenenge sopo Yang memakai baju merah itu namanya siapa? (5) Omah gede sing ono pojok dalan iku duweke sopo? Rumah yang di pojok jalan itu kepunyaan siapa? (6) Jane sampeyan arep lungo nyang endi? Sebenarnya anda mau pergi kemana? (7) Endi toko obat sing dodol obat linu-linu iku? Dimana toko obat yang menjual obat rhematik itu? (8) Opo sampeyan gelem nulungi aku golekno rewang, mas? Apa(kah) anda mau bantu saya mencarikan pembantu, mas (9) Opo sing dituku nek duwite ora nduwe? Apa yang dibeli kalau uang tidak ada? (10) Kapanarep balik nyang Jowo, pak? Kapan akan kembali ke Jawa, pak? (11) Kapan arep nikah, suk bar bodo opo tahun ngarep? (12) Kapan mau menikah, nanti sesudah lebaran atau tahun depan? Pada kalimat contoh (1) dan (2) diatas, kalimat pertanyaan itu menggunakan sopo atau siapa. Kata tanya sopodigunakan untuk menanyakan subyek (orang) melakukan verba atau “action” apa pada alimat tersebut. Pada umumnya diikuti kata penegas sing... “yang + verba”, sehingga kalimat tanya sopo selalu berstruktur sopo + sing + verba... (siapa + yang + verba..). Sedangkan bentuk yang paling simpel (sederhana) adalah pada kalimat (3), yang menunjukkan bahwa kata sopodigunakan untuk menanyakanobyek (nama) dengan struktur yang simpel pula, yaitu siapa + obyek.Begitu juga menilik posisinya, sebagai kata tanya sopodalam kalimat (1) dan (2) terletak pada awal kalimta, sedangkan pada kalmiat (4) dan (5) terletak pada akhir kalimat. Namun bila kata tanya sopo ini diletakkan di akhir kalimat tidak mengubah makna, seperti: (1) a. Sopo sing manggon ono omah gedong iku? b. Sing manggon ono omah gedong iku sopo? Pada (1a) tekanan pertanyaan pada sopo, sedangkanpada (1b) lebih fokus pada obyek. Jadi kata tanya sopobisa diletakkan pada awal dan akhir kalimat tergantung pada penekanan dalam pertanyaan tersebut. Selanjutnya kita telaah kalimat tanya (4) dan (5) diatas, yang masih menggunakan sopo.Kedua kalimat tersebut menggunakan kata tanya yang sama,namun kalimat tersebut 72 JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014 mempunyai fungsi yang berbeda dengan kalimat (1), (2) dan (3), seperti yang sudah dijelaskan diatas. Pada kalimat tanya (4) dan (5),sing ..... sopoberfungsi untuk menanyakan obyek kalimat tersebut, dan kata sing yang berarti yang menunjukkan obyek tersebut terletak diantara obyek lain atau atau pilihan diantara banyak obyek. Selanjutnya kalimat tanya pada yaitu “..... endi(6), dan .... nyang endi”(7). Kata tanya (6) bermakna manadan pada (7) bermakna mana. Frasa ini menanyakan arah kemana. Tetapi kata tanya endi bisa berdiri sendiri (tanpa nyang)seperti dalam no (6) Endi toko ..... jadi kata endibisa berdiri sendiri ataupun dengan didahului nyangtergantung makna yang dimaksud dalam kalimat tersebut. Jadi pada data (10) dan (11) susunan kedua kalimat tersebut bisa “.... Bagaimana dengan bentuk kalimat tanya pada (8) dan (9) opo atau apa. Seperti yang terdapat dalam contoh diatas, keduanya bermakna apakah. Dalam kalimat tersebut makna kata tanya oposama dalam struktur Bahasa Indonesia, namun didalam kalimat (7) dan (8) tersebut bisa juga digunakan tanpa menggunakan opo, namun apabila tidak digunakan akan berdampak pada kesantunan bahasa (Priyambodo, 2008:153). Dikatakannya bahwa strategi kesantunan berbahasa terdiri dari kesantunan positif dan kesantunan negatif. Strategi kesantunan positif strategi yang menunjukkan kedekatan, keakraban, dan penghargaan antara penutur dan pendengar. Dalam hal kata tanya opo, apabila tidak digunakan akan menimbulkan rasa tidak menghargai atau kurang santun. Jadi kata tanya opo digunakan dalam kedua kalimat diatas dengan tujuan memberi penghargaan kepada pendengarnya. Selanjutnya contoh kalimat (10) dan (11) yang mnggunakan kata tanya kapan. Sama dengan kata tanyasopo dan endiyang sudah disebutkan diatas, posisi kata tanya kapanbisa diletak-kan pada 73 ISSN: 2303-2820 awal atau akhir kalimat tanpa mengubah makna ataupun memberi dampak tertentu pada makna kalimatnya. Jadi sturktur kalimat kedua diatas bisa menjadi: “ Arep balik nyang Jowo kapan, pak?” (10) dan (11)Arep nikahkapan, suk bar bodo opo tahun ngarep?Ditilik pada strulturnya jelas ada perbedaan pada posisi kata tanya kapan dalam kedua kalimat tersebut, keduanya tidak mengandung perbedaan pada makna, tetapi pada fokus pembicaraan saja. C. Kalimat Penyangkal (Negative Statement) Berikut beberapa contoh yang dikutip dari hasil transkripsi rekaman. (1) Deweke ora weroh yen bapake wong kene asli (2) (3) (4) (5) (6) Dia tidak tahu kalau bapaknya asli orang sini Aku ora teko nyang manteni Endang wingi sore, wong udane deres banget... Saya tidak datang (ke pesta) maten Endang, karena hujan lebat sekali. Sido tuku sepedae Yudi ora? Ora... Jadi beli sepedanya Yudi (atau) tidak? Tidak... Gelem opo ora? Mas Wardi are menehi kowe klambi nggo lebaran Mau atau tidak? Mas Wardi akan memberi kamu baju untuk lebaran Percoyo ora mas, aku wingi esuk kecopetan ono Pasar Inpres Percaya (atau) tidak mas, saya kemarin pagi kecopetan di Pasar Inpres Ora ono sopo-sopo, dadi aku terus mulih bae.... Tidak ada siapa-siapa, jadi saya langsung pulang saja. Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini) (7) Sing diundang dudu kowe, ning adine kok Yang diundang bukan kamu, tetapi adikmu (8) O alah Narti, iki dudu emas, ning perak disepuh lho...! O alah Narti, ini bukan emas, tetapi perak yang disepuh lho...! Dalam data kalimat(1) diatas, Deweke ora weroh....dan (2) Aku ora teko..... kata penyangkal ora yang berarti tidak menempati posisi diantara pronomina dan verba dalam kalimat tersebut. Disini posisi kata oratidak bisa ditukar ke posisi lain karena akan menimbulkan kerancuan atau kesalahan makna. Jadi kata oramempunyai posisi sebagaiadverbia verba. Berbeda dengan kalimat (1) dan (2), dalam data (3) Sido tuku sepedahe Yudi ora? Ora... dan Artinya kata sido memberi pilihan makna negatifnya, yaitu ora atau tidak jadi, begitu juga untuk data (4) Gelem opo ora? “mau atau tidak (mau)?”, dan (5) Percoyo ora mas..(percaya atau tidak mas....)dalam konteks kalimat (5) tersebut juga menunjukkan adanya makna pilihan yang ditawarkan oleh penuturnya. Sedangkan dalam data (6) Ora ono sopo-sopo, dadi....lebih menekankan pada sebab dan akibat: karena.... jadi saya ....Hal ini berbeda dengan posisi ora dalam data (6), frasa ora ono “tidak ada “ menyatakan bahwa kata ora diawal kalimat dan diikuti verba adjektiva ono. Contoh lain: ora wani“tidak berani”, ora mudeng tidak mengerti, dan sebagainya. Dengan kata ora yang terletak di awal kalimat, di tengah dan di akhir kalimat seperti di dalam data diatas(4, 5 dan 6) diatas, menunjukkkan bahwa kata penyangkal ora mempunyai posisi yang bervariasi dengan tidak mengubah makna. Beberapa contoh kalimat erintah dan kalimat larangan yang terekam adalah seperti dibawah ini. 1) Kalimat Perintah (1) kono, wong wes wengi ngene...! Cepat pergi sana, sudah malam ni...! (2) Tukunen bae iku, mumpung lagi murah ngene... Beli saja(lah) itu, mumpung masih murah begini (3) Irisen daginge, terus digodog no panci iku Iris(lah) daging itu, lalu direbus di panci itu (4) Wes ndang mangano, segane wes mateng Cepat makan sana, nasinya sudah matang (5) Pamito ibu disik, terus budal yo. Pamitlah sama ibu dulu, lalu berangkat ya... (6) Mengko nek nyang pasar, aku tukokno ragi tape, yo... Nanti kalau ke pasar, belikan saya ragi tape, ya... (7) Tulung cekelno pitik putih iku mas... Tolong tangkap(kan) ayam putih itu, mas... Kalimat (1) sampai (7) diatas merupakan kalimat perintah dalam BJNg, yang masing-masing mempunyai penanda atau “marker”yang satu berbeda dari yang lain. Pada kalimat perintah (1) ditandai dengan gek ... kono(sana) yang bermakna perintah. Dalam kalimat (2), Tukunen bae iku,... kata dasar verba yang menyatakan perintah adalah tuku + en sebagai penanda kata perintah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan D. Kalimat Perintah 74 JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014 1) GTBJmasih aktif menggunakan BJNg di dalam lingkup guyub tuturnya sendiri 2) GTBJ tersebut lebih banyak menggunakan BJNg untuk komunikasi sehari-hari dalamlingkup guyub tutur BJ 3) Meskipun ada beberapa strata dalam BJ: Bj Tinggi atau Kromo Inggil, BJ Menengah atau Kromo Kromo, dan BJ Rendah atau BJ Ngoko, namun GTBJ BJNglah (BJ strata rendah) yang digunakan sebagai sarana komunikasi sehari-hari 4) Beberapa struktur kalimat BJNg yang digunakan yaitu kalimat pernyataan, kalimat tanya, kalimat peyangkal (negative senetence) dan kalimat perintah atau Larangan. Artinya, strutur BJNg sama dengan struktkur dasar Bahasa Indonesia. Saran 1. GTBJ sebagai sarana komunikasi dan sebagai jati diri etnis Jawa perlu melestarikan BJ dengan strategi masing-masing GT, misalnya dengan menggunakan BJ dalam kelompok-kelompok kecil, seperti dalam keluarga, kelompokkelompok arisan keluarga, dalam kelompok-kelompok pengajian, dan lain-lain 2. Bagi penutur usia muda, perlu lebih aktif menggunakan BJ sehingga BJ tetap bisa tumbuh dan tidak akan mengalami pergesran bahasa. meskipun struktur BJNg khususnya cukup unik, sehingga perlu dipelajari 3. Struktur BJ, khususnya BJNg, cukup unik sehingga perlu dipelajari dan dilestarikan 75 ISSN: 2303-2820 khususnya bagi kaum muda dan anak-anak mengingat BJ tidak diajarkan di bangku sekolah seperti di Jawa. 4. Sebagai kekayaan budaya, BJ perlu dipertahankan atau dilestarikan melalui strategi sederhana antara lain seperti yang disebutkan diatas (buti 1) sehingga BJ tidak mengalami pergeseran atau pemusnahan bahasa. Kepustakaan Fishman dalam Sumarsono, 1993, Pemertahanan Bahasa Mel Loloan di Bali, Penerbit Pusat Bahasa Jakarta Fishman, 1990, The Sociolinguistic of Language, Oxford: Basil Blackwell Fishman, 1986, The Sociolinguistic of Society, Oxford: Basil Blackwell Kartomihardjo, Suseno, 1987, Ethnography of Communicativ Codes in East Java, Pacific Linguistics, D-39 Kota Kupang dalam Angka, 2010, Percetakan Idea, Kupang Sumarsono, 1990, Pemertahanan Bahasa melayu Loloan Di Bali, Jakarta, Disertasi Universitas Indonesia Sutini, Maria Faustina, 1995, Bahasa Indonesia Dialek Thionghwa di Kota Malang, Laporan Penelitian, Perpustakaan UNDANA, Kupang Utomo, 1987, The Chinese of Pasuruan: Their Language and Identity, Pacific Language, D-63 Wahab, Abdul, 1991, Metafora dalam Bahasa Jawa dalam Pengembangan Bahasa Indonesia, Makalah, Disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa Indonesia, Jakarta