PEMERTAHANAN BAHASA OLEH GUYUB TUTUR BAHASA JAWA

advertisement
JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014
ISSN: 2303-2820
PEMERTAHANAN BAHASA OLEH GUYUB TUTUR BAHASA JAWA
DI KOTA KUPANG
By Maria F. Sutini
(Dosen senior Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Undana)
Abstract: Artikel ini adalah ringkasan hasil penelitian bertujuan
menganalisis strategi pemertahanan bahasa Jawa dengan konsentrasi
pada konstruksi kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, kalimat
penyangkal, dan kalimat perintah (dan larangan). Data diperoleh dengan
menerapkan metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara,
merekam, dan mencatat informasi dari komunitas Jawa di Kupang
sebagai sumber data. Scara singkat hasilnya
GTBJ masih
memertahankan penggunaan BJNg dalam komunikasi setiap hari tanpa
mengenal strata khususnya dalam kalimat pernyataan, pertanyaan,
penyangkal, dan perintah (larangan). Hal ini menunjukkan bahasa pertama
sedikit mengalamani pergeseran oleh pemakai asli di lingkungan bukan
komunitas asli.
Kata Kunci: pemertahanan, guyup-tutur, bahasa Jawa.
PENDAHULUAN
Suatu fenomena yang terjadi secara
alamiah dari keberadaan suatu bahasa
adalah pemertahanan dan pergeseran
suatu bahasa dalam suatu komunitas
pengguna bahasa itu atau guyub
tuturnya. Peristiwa tentang pergeseran
bahasa dan pemertahanan bahasa ini
hanya bisa terjadi dalam masyarakat
dwibahasa atau masyarakat bilingual
dan masyarakat anekabahasa atau
multilingual. Fishman dalam Sumarsono
(1990) yang pertama kali melakukan
kajian
tentang
pergeseran
dan
pemertahanan
bahasa
telah
mendiskripsikan
hubungan
antara
perubahan dan stabilitas di satu pihak
dengan proses psikologis, dan sosial.
Sedangkan proses kultural pada
umumnya terjadi dalam masyarakat
multibahasa.Salah satu hal yang menarik
dalam proses terjadinya pergeseran dan
pemertahanan bahasa adalah “ketidak
berdayaan”
minoritas
untuk
mempertahankan bahasa aslinya. Hal ini
menurut pengamatan peneliti juga
terjadi di Kota Kupang, dimana para
pendatang dari berbagai daerah di NTT
maupun dari Jawa dan Sumatra
67
melakukan aktifitas dalam berbagai
bidang:
sebagai
pegawai
(negeri/swasta), sebagai pelaku wira
usaha dan lain sebagainya.
Sebagai ibukota provinsi NTT, Kota
Kupangjuga merupakan kota yang
cukup pesat perkembangannya dalam
dasawarsa terakhir ini. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kantongkantong kegiatan bisnis dan pemekaran
kota yang pesat karena makin
meningkatnya jumlah penduduk selain
makin tingginya jumlah pendatang di
kota ini untuk berbagai tujuan. Salah
satu tujuan mereka adalah untuk
melakukan bisnis baik dalam bisnis
dengan omset kecil (seperti pedagang
kaki lima atau PKL) atau bisnis dengan
besar.
Menurut pengamatan penulis, salah
satu kantong bisnisdi Kota Kupang ini
adalah daerah sepanjang Kuanino
sampai OEpura yang cukup berkembang
dan ramai, khususnya pada sore sampai
malam hari. Para pelaku bisnis kecil
(small scale bisnis) ini umumnya berasal
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Data menunjukkan jumlah pendatang
dari Jawa yang tinggal di Kota Kupang
Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur
Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini)
berjumlah 897 orang yang tercakup
dalam 234 kepala keluarga (Kota
Kupang dalam Angka, 2010).Masyrakat
Jawa yang berdomisili di Kota Kupang
ini merupakan suatu kelompok minoritas
dwibahasawan.
Menurut
Fishman
(1986) kelompok minoritas ini pada
awalnya hanya menggunakan satu
bahasa, namun dengan terjadinya kontak
bahasa dan ketidakberdayaan mereka
sebagai kelompok minoritas, memaksa
mereka
secara
pelan-pelan
menggunakan tiga bahasa sekaligus
yaitu Bahasa Indonesia. Peristiwa
kebahasaan seperti dsebutkan itu juga
tetrjadi pada kelompok minoritas
masyarakat Jawa. Kelompok ini pada
awal
kedatangan
mereka
hanya
menggunakan Bahasa Ibu (baca Bahasa
Jawa = BJ), dan karena proses
kulturisasi
kemudian
mereka
menggunakan Bahasa Melayu Kupang
(selanjutnya digunakan BMK) sebagai
sarana komunikasi antar kelompokdi
luar masyarakat Jawa,
disamping
Bahasa Inodnesia (BI), sehingga secara
kultural dan alamiah mereka telah
menjadi multi-bahasawan (Fishman,
1990).Fenomena
ini,
menurut
pengamatan penulis, terjadi juga dalam
guyub tutur Bahasa Jawa (selanjutnya
ditulis GTBJ) yang berdomisili di Kota
Kupang. Mereka, saat-saat awalsebagai
pendatang
di
Kota
Kupang,
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai
sarana komunikasi dengan masyarakat
sekitar, sambil tetap menggunakan BJ
sebagai sarana komunikasi internal antar
mereka. Kemudian berkembang dengan
menggunakan
BMK
mengikuti
kelompok mayoritas sebagai sarana
komunikasi atau guyub tutur di sekitar
GTBJ.
Bagi masyarakat Jawa di Kota
Kupang,
BJ
merupakan
bahasa
pengantar yang masih digunakan oleh
para anggota GTBJ yang berasal dari
Jawa, khususnya yang berasal dari
daerah Jawa Timur, dalam kominukasi
informal. Pengunaan BJ sebagai bahasa
pengantar dalam GTBJ ini pertama
sebagai rasa ikut memiliki dan rasa
bangga pada B1 mereka (Sumarsono,
1990). Kedua, BJ digunakan karena
kebiasaan dan rasa nyaman. Hal ini juga
didukung oleh fakta yang dilaporkan
oleh Pos Kupang tgl. 6 Agustus 2013,
yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar-mengajar di kelas awal (kelas 1
s/d 3) sekolah dasar di daerah,
khususnya di daratan Timor, guru-guru
lebih cenderung menggunakan B1. Hal
ini disebabkan oleh adanya kenyataan
bahwa anak-anak lebih menguasai B1
dari pada Bahasa Indonesia (B2).
Berdasarkan kedua alasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa B1 baik itu BJ
maupun bahasa-bahasa daerah di Timor
dan daerah lainnya dikuasai dengan baik
sejak anak-anak yang menyebabkan
mereka bangga dan merasa lebih
nyaman menggunakan B1.
Berbicara tentang BJ, Wahab (1991)
menyatakan
bahwa
BJ
menurut
variannya secara umum dibagi menjadi
3 (tiga) kelas atau varian, yaitu (1) BJ
biasa atau Bahasa Jawa Ngoko (BJNg);
(2) BJ Menengah atau Bahasa Jawa
Kromo (BJK); dan (3) BJ Tinggiatau
Bahasa
Jawa
Kromo
Inggil
(BJKI).Berdasarkan
pengamatan
penulis, sebagai penutur asli BJ dan
sekaligus peneliti, GTBJ di Kota
Kupang ini masih menggunakan BJ
secara aktif khususnya varian BJNg
untuk komunikasi informal dan dalam
situasi informal pula. BJNg mereka
gunakan dalam situasi kekeluargaan,
dalam
kelompok-kelompok
kecil
(seperti dalam arisan dan pertemuan
keluarga), termasuk komunikasi di
dalam lingkungan keluarga masingmasing. GTBJ ini adalah suatu satuan
sosial
yang memiliki
persatuan,
memiliki
ciri-ciri
khas
yang
membedakannya dari kelompok atau
guyub-guyub lainnya di Kota Kupang
pada umumnya. Mereka memiliki rasa
bangga dan cinta pada suku dan
bahasanya, dan mereka mempunyai
68
JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014
“sistem” yang mengatur cara hidup dan
kehidupan
sosial
mereka
sesuai
kesepakatan yang telah mereka bangun.
Menurut H. Makarim Sina, pengurus
masjid Al Falah Kota Kupang, sistem
tersebut mampu mengatur kehidupan
sosial mereka secara bersama-sama, baik
dalam kehidupan keagamaan, kehidupan
berpolitik, dan kehidupan bermasyarakat
lainnya(Hasil wawancara tgl. 11 Maret
2013).
Berangkat dari paparan tersebut
diatas, penulis mengangkat kajian
pemertahanan BJ yang cukup menarik
untuk dilakukan karena dua alasan.
Pertama, GTBJ secara kuantitas
jumlahnya terbatas, dan mereka tinggal
di Kota Kupang yang mayoritas
merupakan penutur Bahasa Melayu
Kupang dan Bahasa Indonesia. Kedua,
mengingat GTBJ ini merupakan
kelompok minoritas, mereka berusaha
untuk
menunjukkan
eksistensinya
dengan tetap mempertahankan BJ.
Kajian ini merupakan kajian awal
(preliminary research) dengan masalah
yang berkaitan dengan kalimat BJNg,
yaitu: 1) seberapa jauh BJ digunakan
oleh GTBJ di Kota Kupang; dan 2)
bagaimana struktur kalimat BJNg yang
digunakan oleh GTBJ di Kota Kupang
ini.Sepanjang pengetahuan
penulis
kajian tentang GTBJ di Kota Kupang ini
belum pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya.
Kajian
yang
terkait
dengan
pemertahanan bahasa yang pernah
dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah
kajian Utomo (1987) yang mengkaji
tentang guyub tutur etnis Cina turunan
(Tionghwa) dalam penggunaan Bahasa
Indonesia di Kota Pasuruan. Dengan
menggunakan
teknik
wawancara,
perekaman, wawancara dan catatan
tertulis. Kartomihardjo (1987) juga
melakukan kajian sosiolinguistik yang
mengkaji tentang penutur BJ dengan tiga
varian BJ di Kota Malang dan
sekitarnya. Dua peneliti tersebut
menggunakan metode kualitatif dalam
69
ISSN: 2303-2820
kajian mereka. Kedua penelitian tersebut
digunakan sebagai acuan bagi penulis
untuk melakukan kajian inidengan
pendekatan kualitatif juga.Kajian yang
lebih luas dan mendalam telah dilakukan
oleh Fasolddan Gal dalam Sumarsono
(1990) menggunakan pendekatan yang
sama dengan guyub tutur yang berbeda.
Fasold meneliti guyub tutur Indian
Tiwa, sedangkan Gal meneliti orangorang Hungaria di Obervart, Austria.
Sutini
(1995)
melakukan
kajianBahasa
Indonesia
dialek
Tionghwa (= BITh) dengan subyek
kajiannya adalah keturunan Cina atau
Tionghwa di Kota Malang di daerah
Pecinan. Kajian ini juga menerapkan
pendekatan kualitatif dan menggunakan
teknik
wawancara,
perekaman,
wawancara dan catatan tertulis. Hasilnya
menunjukkan bahwa: pertama, etnis
Tionghwa, yang merupakan kelompok
minoritas,
menggunakan Bahasa
Indonesia dialek Tionghwa dengan
alasan: pertama, BITh merupakan
kebanggaan, jati diri dan dalam usaha
mempertahankan BITh dalam guyub
tutur mereka. Kedua, BITh adalah
bahasa pengantar atau alat komunikasi
internal dan digunakan secara informal
dalam guyub tutur
BIThdan fakta
menunjukkan bahwa BITh ini tetap eksis
diantara kelompok mayoritas Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa sampai
sekarang. Berawal dari paparan tersebut
diatas, maka kajian ini bertujuan untuk:
1) Mendiskripsikan BJ penggunaan oleh
GTBJ
di
Kota
Kupang;
2)
Mendiskripsikan struktur kalimat BJNg
yang digunakan oleh GTBJ itu.
Metodologi
Subyek dalam kajian berikut ini
adalah penutur asli atau GTBJ dialek
Jawa Timur, dengan varian BJNg.
Varian BJNg ini dipilih mengingat
GTBJ di lokasi penelitian ini
menggunakan BJNg secara aktif untuk
komuikasi dalam guyub tutur mereka.
Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur
Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini)
Kajian
pemertahanan
BJ
ini
dilakukan
di
lapangan
selama
10(Sepuluh) hari, dari tanggal 11 sampai
dengan tanggal 20 Mei 2013.
Untuk pengumpulan data dilakukan
dengan pengamatanselama 1 sampai 3
jam setiap sore (sekitar jam 18.00
sampai 20.00). Pemilihan waktu
pengamatan, perekaman, wawancara dan
pencatatan tertulis sengaja diambil
sore/malam hari karena pada sore
sampai malam harilah subjek berada di
lokasi tersebut secara bersama-sama
untuk
melakukan
aktifitas
perdagangannya
sebagai
mata
pencaharaian mereka.
Kajian ini dilakukan di lokasi
penelitian tersebut diatas dengan
melakukan pengamatan partisipatif,
wawancara
dan
perekaman
atas
percakapan yang sedang berlangsung di
lapangan (Sumarsono, 1990,23). Yang
dimaksud
sebagai
pengamatan
partisipatif disini adalah peneliti terlibat
langsung dalam percakapan diantara
GTBJ dalam BJNg.
Perekaman (dengan dibantu seorang
penutur asli BJ) dilakukan selama
pengamatan dengan merekam seluruh
tuturan spontan dalam GTBJ. Hasil dari
rekaman tersebut ditranskripsikan dan
dianalisis sesuai kebutuhan, yaitu
dengan memilah-milah struktur kalimat
apa saja yang digunakan dalam
komunikasi antar GTBJ tersebut.
1. Lokasi dan Subyek Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah, di
jl. Suharto, OepuraKota Kupang,
khususnya di depan Toko Glori. Lokasi
ini dianggap cukup mewakili karena
subyek kajian penelitian ini adalah
GTBJ yang terdiri dari para PKL yang
berdagang di lokasi tersebut sepanjang
sore sampai malam hari. Mereka terdiri
dari 8 kelompok PKL, dengan jumlah 17
orang.
2. Instrumen dan Pengumpulan Data
Untuk
pengumpulan
data
digunakan beberapa instrumen, yaitu
(1) Wawancara.
Yaitu
dengan
melakukan wawancara langsung
di lokasi penelitian dengan
melibatkan para pengguna BJNg
dan didukung oleh beberapa
tokoh dalam GTBJ.
(2) Rekaman,
dengan
menggunakan
alat
rekam
elektronik untuk mendapatkan
data yang akurat dan sesuai
kebutuhan.
Perekaman
ini
dilakukan selama pengamatan,
dan dibantu oleh seorang
penutur asli BJ.
(3) Catatan tertulis dibuat sebagai
pendukung data rekaman dan
wawancara
sehingga
menghasilkan
kajian
atau
deskripsi yang lebih akurat.
3. Analisis Data dan Pembahasan
Analisis data dalam kajian ini
difokuskan pada struktur kalimat
BJNg,yang
mencakup:
kalimat
pernyataan, (kalimat positif dan kalimat
negatif), kalimat pertanyaan, kalimat
perintah/ kalimat larangan, dan kalimat
teguran.
A. Kalimat Pernyataan
(1) Truno arepe mulih suk Muludan
Truno akan pulangnanti (bulan)
Maulud
(2) Anake Triman loro, dadi dewekne
arep ndang mulih
Anaknya Triman sakit, jadi dia
akan segera pulang
(3) Adike wes mulih nyang Jowo wiwit
tanggal 10 wingi
Adiknyasudah (pulang) ke Jawa
sejak tanggal 10 kemarin
(4) Marni merono, tapi tokone wes
tutup
Marni kesana tapi tokonya sudah
tutup
(5) Mendunge peteng, mestine udan
maneh
Mendung gelap, tentunya hujan lagi
70
JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014
(6) Nyambut gawe ono kutho, kudune
duwite akeh
Kerjanya di kota, harusnya uangnya
banyak
(7) Santy, suarane adzan cetho, tak
kiro masjide ora adohSanty, suara
adzan itu jelas, saya kira masjidnya
tidak jauh (dari sini)
(8) Ooo, kowe to tibake, tak songko
bapakmu sing teko
Ooo, kamu ya..., saya kira bapak
kamu yang datang
(9) Wes setengah jam olehku mlaku,
ning durung ketemu omahe Parto.
Saya sudah berjalan setengah jam,
tetapi belum ketemu rumah mas
Parto.
(10) Wes pirang-pirang dino si
Warso ora muncul,jebule mulih
nyang ndeso
(11) Sudah beberapa hari tidak
muncul, ternyata pulang ke desa
Mengacu pada data tersebut diatas,
nampak bahwa kalimat (1) dan (2)
tersebut diatas adalah dua kalimat yang
serupa tapi tak sama maknanya. Kalimat
(1) adalah kalimat pernyataan yang
menggunakan struktur “keakanan” atau
future, dengan ditandai kata arepeatau
akan,dan diikuti verba mulih. Dalam
kalimat (2) juga kalimat yang bermakna
“akan” atau future, dengan ditandai
keterangan
arepedenganketerangantambahanndang
(segera) atau “near future”. Sehingga
verba dalam kalimat tersebut bermakna
akan segera
dilakukan. Tentu saja
keduanya masih digolongkan dalam
bentuk kalimat pernyataan yang sama,
yaitu keakanan atau future, tetapi
keduanya mempunyai makna yang
berbeda: kalimat (1) bermakna akan dan
kalimat yang berbeda dengan kalimat (2)
bermakna akan segera.
Dalam kalimat (3) dan (4) brikut:
Adike wes mulih nyang Jowo wiwit
tanggal 10 wingi, dan kalimat (4)Marni
merono, tapi tokone wes tutup
merupakan 2 (dua) kalimat pernyataan
yang berbeda dengan kalimat (1) dan (2)
71
ISSN: 2303-2820
diatas. Dalam kalimat (3) dan (4) verba
mulih dan tutup didahului oleh
adverbiawesyang bermakna sudah dan
dipertegas dengan adverbia yang
menyatakan waktu wingi(kemarin).
Artinya verba yang mengikutinya
bermakna sudah dilakukan atau “action
in past time”. Jadi, dalam BJNg untuk
menyatakan suatu “action” atau verba
yang sudah dilakukan atau “past”
diperlukan keterangan verba wesdan
bisa juga dipertegas dengan adverbia
/keterangan lain, seperti wingi, dek
wingi, biyen, dan lain-lain.
Beranjak pada kalimat (5) Mendunge
peteng, mestineudan maneh dan kalimat
(6)Nyambut
gawe
ono
kutho,
kuduneduwite akehnampak jelas susunan
kedua kalimat tersebut berbeda dengan
kalimat-kalimat sebelumnya. Dalam
kedua kalimat tersebut digunakan
“modifier” atau kata penegas mestine
(tentunya) dan kudune (harusnya), yaitu
keterangan yang menyatakan kepastian,
dan kalimat tersebut tidak menggunakan
verba tetapi ajektiva peteng (gelap) dan
udan (hujan). Jadi kedua kalimat yang
menggunakan
kata
mestine
dan
kudunemerupakan kalimat pernyataan
yang mensyaratkan suatu kondisi
tertentu supaya suatu “action” atau verba
atau kondii tertentu bisa terjadi. Dalam
bahasa Inggris juga terdapat kalimat
serupa yang biasa menggunakan
“conditionl clause” atau anak kalimat
dengan “if...”. Misalnya,” I will come if
it does not rain....” (....)
Selanjutnnya dalam kalimat (6) dan
(7),
kedua
kalimat
tersebut
menggunakan frasa “tak kiro”dan “tak
songko”. Katatak dapat berfungsi
sebagai subyek (pengganti)saya, dan
sebagai subyek, yaitu orang I tunggal
dari frasa yang terkait. Subyek tak ini
digunakan dalam kalimat positif,selain
hal tersebut,katatak dalam kalimat BJNg
tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
diikuti kata kerja, dalam kalimat
diataskiro dan songko, dan keduanya
bermakna saya kira dan saya
Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur
Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini)
sangka.Contoh lain seperti, tak jupuk
(saya ambil), tak pikir(saya pikir),tak
tuku (saya beli), tak gowo (saya bawa)
dan sebagainya. Hal ini juga diutarakan
oleh Sawardi (2008) bahwa kata
takadalah kata pengikat atau terikat
(bound) pada verbanya.
Selanjutnya dalam kalimat (8) dan
(9), keduanya mempunyai keterangan
verba yang sama dalam kalimat (3) dan
(4), tetapi mempunyai frasa yang
berbeda, dengan makna yang berbeda
pula. Dalam kalimat (8) dan (9) diatas
kata wesdiikuti jumlah kata benda atau
lama waku, dan diikuti klausa sebab
akibat dalam klausa atau anak
kalimatnya. Oleh karena itu, kata wes...
diikuti klausa ternyata atau tetapi.
B. Kalimat Pertanyaan
(1) Sopo sing manggon ono omah
gedong iku?
Siapa yang menempati rumah bear
(gedung) itu?
(2) Sopo sing tuku tiket mengko tgl.15
Juni iki?
Siapayang beli tiket untuk tgl 15
Juni nanti
(3) Sopo jenengmu, nak?
Siapa namamu, nak?
(4) Sing klambine abang iku jenenge
sopo
Yang memakai baju merah itu
namanya siapa?
(5) Omah gede sing ono pojok dalan
iku duweke sopo?
Rumah yang di pojok jalan itu
kepunyaan siapa?
(6) Jane sampeyan arep lungo nyang
endi?
Sebenarnya anda mau pergi
kemana?
(7) Endi toko obat sing dodol obat
linu-linu iku?
Dimana toko obat yang menjual
obat rhematik itu?
(8) Opo sampeyan gelem nulungi aku
golekno rewang, mas?
Apa(kah) anda mau bantu saya
mencarikan pembantu, mas
(9) Opo sing dituku nek duwite ora
nduwe?
Apa yang dibeli kalau uang tidak
ada?
(10) Kapanarep balik nyang Jowo,
pak?
Kapan akan kembali ke Jawa, pak?
(11) Kapan arep nikah, suk bar bodo
opo tahun ngarep?
(12) Kapan mau menikah, nanti
sesudah lebaran atau tahun depan?
Pada kalimat contoh (1) dan (2)
diatas, kalimat pertanyaan
itu
menggunakan sopo atau siapa. Kata
tanya sopodigunakan untuk menanyakan
subyek (orang) melakukan verba atau
“action” apa pada alimat tersebut. Pada
umumnya diikuti kata penegas sing...
“yang + verba”, sehingga kalimat tanya
sopo selalu berstruktur sopo + sing +
verba... (siapa + yang + verba..).
Sedangkan bentuk yang paling simpel
(sederhana) adalah pada kalimat (3),
yang
menunjukkan
bahwa
kata
sopodigunakan untuk menanyakanobyek
(nama) dengan struktur yang simpel
pula, yaitu siapa + obyek.Begitu juga
menilik posisinya, sebagai kata tanya
sopodalam kalimat (1) dan (2) terletak
pada awal kalimta, sedangkan pada
kalmiat (4) dan (5) terletak pada akhir
kalimat. Namun bila kata tanya sopo ini
diletakkan di akhir kalimat tidak
mengubah makna, seperti: (1) a. Sopo
sing manggon ono omah gedong iku?
b. Sing manggon ono omah gedong iku
sopo? Pada (1a) tekanan pertanyaan
pada sopo, sedangkanpada (1b) lebih
fokus pada obyek. Jadi kata tanya
sopobisa diletakkan pada awal dan akhir
kalimat tergantung pada penekanan
dalam pertanyaan tersebut.
Selanjutnya kita telaah kalimat tanya
(4) dan (5) diatas, yang masih
menggunakan
sopo.Kedua
kalimat
tersebut menggunakan kata tanya yang
sama,namun
kalimat
tersebut
72
JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014
mempunyai fungsi yang berbeda dengan
kalimat (1), (2) dan (3), seperti yang
sudah dijelaskan diatas. Pada kalimat
tanya (4) dan (5),sing ..... sopoberfungsi
untuk menanyakan obyek kalimat
tersebut, dan kata sing yang berarti yang
menunjukkan obyek tersebut terletak
diantara obyek lain atau atau pilihan
diantara banyak obyek.
Selanjutnya kalimat tanya pada yaitu
“..... endi(6), dan .... nyang endi”(7).
Kata tanya (6) bermakna manadan pada
(7) bermakna mana. Frasa ini
menanyakan arah kemana. Tetapi kata
tanya endi bisa berdiri sendiri (tanpa
nyang)seperti dalam no (6) Endi toko .....
jadi kata endibisa berdiri sendiri ataupun
dengan
didahului
nyangtergantung
makna yang dimaksud dalam kalimat
tersebut. Jadi pada data (10) dan (11)
susunan kedua kalimat tersebut bisa “....
Bagaimana dengan bentuk kalimat
tanya pada (8) dan (9) opo atau apa.
Seperti yang terdapat dalam contoh
diatas, keduanya bermakna apakah.
Dalam kalimat tersebut makna kata
tanya oposama dalam struktur Bahasa
Indonesia, namun didalam kalimat (7)
dan (8) tersebut bisa juga digunakan
tanpa menggunakan opo, namun apabila
tidak digunakan akan berdampak pada
kesantunan
bahasa
(Priyambodo,
2008:153).
Dikatakannya bahwa
strategi kesantunan berbahasa terdiri
dari kesantunan positif dan kesantunan
negatif.
Strategi kesantunan positif
strategi yang menunjukkan kedekatan,
keakraban, dan penghargaan antara
penutur dan pendengar. Dalam hal kata
tanya opo, apabila tidak digunakan akan
menimbulkan rasa tidak menghargai
atau kurang santun. Jadi kata tanya opo
digunakan dalam kedua kalimat diatas
dengan tujuan memberi penghargaan
kepada pendengarnya.
Selanjutnya contoh kalimat (10) dan
(11) yang mnggunakan kata tanya
kapan. Sama dengan kata tanyasopo dan
endiyang sudah disebutkan diatas, posisi
kata tanya kapanbisa diletak-kan pada
73
ISSN: 2303-2820
awal atau akhir kalimat tanpa mengubah
makna ataupun memberi dampak
tertentu pada makna kalimatnya. Jadi
sturktur kalimat kedua diatas
bisa
menjadi: “ Arep balik nyang Jowo
kapan, pak?” (10) dan (11)Arep
nikahkapan, suk bar bodo opo tahun
ngarep?Ditilik pada strulturnya jelas ada
perbedaan pada posisi kata tanya kapan
dalam kedua kalimat tersebut, keduanya
tidak mengandung perbedaan pada
makna, tetapi pada fokus pembicaraan
saja.
C. Kalimat Penyangkal (Negative
Statement)
Berikut beberapa contoh yang
dikutip dari hasil transkripsi rekaman.
(1) Deweke ora weroh yen bapake
wong kene asli
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dia tidak tahu kalau bapaknya
asli orang sini
Aku ora teko nyang manteni
Endang wingi sore, wong udane
deres banget...
Saya tidak datang (ke pesta)
maten Endang, karena hujan
lebat sekali.
Sido tuku sepedae Yudi ora?
Ora...
Jadi beli sepedanya Yudi (atau)
tidak? Tidak...
Gelem opo ora? Mas Wardi are
menehi kowe klambi nggo
lebaran
Mau atau tidak? Mas Wardi akan
memberi kamu baju untuk
lebaran
Percoyo ora mas, aku wingi esuk
kecopetan ono Pasar Inpres
Percaya (atau) tidak mas, saya
kemarin pagi kecopetan di Pasar
Inpres
Ora ono sopo-sopo, dadi aku
terus mulih bae....
Tidak ada siapa-siapa, jadi saya
langsung pulang saja.
Pemertahanan Bahasa Oleh Guyub Tutur
Bahasa Jawa Di Kota Kupang (Maria F. Sutini)
(7) Sing diundang dudu kowe, ning
adine kok
Yang diundang bukan kamu,
tetapi adikmu
(8) O alah Narti, iki dudu emas,
ning perak disepuh lho...!
O alah Narti, ini bukan emas,
tetapi perak yang disepuh lho...!
Dalam data kalimat(1) diatas,
Deweke ora weroh....dan (2) Aku ora
teko.....
kata penyangkal ora yang
berarti tidak menempati posisi diantara
pronomina dan verba dalam kalimat
tersebut. Disini posisi kata oratidak bisa
ditukar ke posisi lain karena akan
menimbulkan kerancuan atau kesalahan
makna. Jadi kata oramempunyai posisi
sebagaiadverbia verba. Berbeda dengan
kalimat (1) dan (2), dalam data (3) Sido
tuku sepedahe Yudi ora? Ora... dan
Artinya kata sido memberi pilihan
makna negatifnya, yaitu ora atau tidak
jadi, begitu juga untuk data (4) Gelem
opo ora? “mau atau tidak (mau)?”, dan
(5) Percoyo ora mas..(percaya atau tidak
mas....)dalam konteks kalimat (5)
tersebut juga menunjukkan adanya
makna pilihan yang ditawarkan oleh
penuturnya.
Sedangkan dalam data (6) Ora ono
sopo-sopo, dadi....lebih menekankan
pada sebab dan akibat: karena.... jadi
saya ....Hal ini berbeda dengan posisi
ora dalam data (6), frasa ora ono “tidak
ada “ menyatakan bahwa kata ora
diawal kalimat dan diikuti verba
adjektiva ono. Contoh lain: ora
wani“tidak berani”, ora mudeng tidak
mengerti, dan sebagainya.
Dengan kata ora yang terletak di
awal kalimat, di tengah dan di akhir
kalimat seperti di dalam data diatas(4, 5
dan 6) diatas, menunjukkkan bahwa kata
penyangkal ora mempunyai posisi yang
bervariasi dengan tidak mengubah
makna.
Beberapa contoh kalimat erintah
dan kalimat larangan yang terekam
adalah seperti dibawah ini.
1) Kalimat Perintah
(1) kono, wong wes wengi ngene...!
Cepat pergi sana, sudah malam
ni...!
(2) Tukunen bae iku, mumpung lagi
murah ngene...
Beli saja(lah) itu, mumpung masih
murah begini
(3) Irisen daginge, terus digodog no
panci iku
Iris(lah) daging itu, lalu direbus di
panci itu
(4) Wes ndang mangano, segane wes
mateng
Cepat makan sana, nasinya sudah
matang
(5) Pamito ibu disik, terus budal yo.
Pamitlah sama ibu dulu, lalu
berangkat ya...
(6) Mengko nek nyang pasar, aku
tukokno ragi tape, yo...
Nanti kalau ke pasar, belikan saya
ragi tape, ya...
(7) Tulung cekelno pitik putih iku
mas...
Tolong tangkap(kan) ayam putih
itu, mas...
Kalimat (1) sampai (7) diatas
merupakan kalimat perintah dalam
BJNg, yang masing-masing mempunyai
penanda atau “marker”yang satu
berbeda dari yang lain. Pada kalimat
perintah (1) ditandai dengan gek ...
kono(sana) yang bermakna perintah.
Dalam kalimat (2), Tukunen bae iku,...
kata dasar verba yang menyatakan
perintah adalah tuku + en sebagai
penanda kata perintah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
D. Kalimat Perintah
74
JIPB, Vol. 01, No. 01, Januari 2014
1) GTBJmasih aktif
menggunakan
BJNg di dalam lingkup guyub
tuturnya sendiri
2) GTBJ
tersebut
lebih
banyak
menggunakan
BJNg
untuk
komunikasi sehari-hari dalamlingkup
guyub tutur BJ
3) Meskipun ada beberapa strata dalam
BJ: Bj Tinggi atau Kromo Inggil, BJ
Menengah atau Kromo Kromo, dan
BJ Rendah atau BJ Ngoko, namun
GTBJ BJNglah (BJ strata rendah)
yang digunakan sebagai sarana
komunikasi sehari-hari
4) Beberapa struktur kalimat BJNg yang
digunakan yaitu kalimat pernyataan,
kalimat tanya, kalimat peyangkal
(negative senetence) dan kalimat
perintah atau Larangan. Artinya,
strutur BJNg sama dengan struktkur
dasar Bahasa Indonesia.
Saran
1. GTBJ sebagai sarana komunikasi
dan sebagai jati diri etnis Jawa
perlu melestarikan BJ dengan
strategi
masing-masing
GT,
misalnya dengan menggunakan BJ
dalam kelompok-kelompok kecil,
seperti dalam keluarga, kelompokkelompok arisan keluarga, dalam
kelompok-kelompok pengajian, dan
lain-lain
2. Bagi penutur usia muda, perlu lebih
aktif menggunakan BJ sehingga BJ
tetap bisa tumbuh dan tidak akan
mengalami
pergesran
bahasa.
meskipun struktur BJNg khususnya
cukup unik, sehingga perlu
dipelajari
3. Struktur BJ, khususnya BJNg,
cukup
unik
sehingga
perlu
dipelajari
dan
dilestarikan
75
ISSN: 2303-2820
khususnya bagi kaum muda dan
anak-anak mengingat BJ tidak
diajarkan di bangku sekolah seperti
di Jawa.
4. Sebagai kekayaan budaya, BJ perlu
dipertahankan atau dilestarikan
melalui strategi sederhana antara
lain seperti yang disebutkan diatas
(buti 1) sehingga BJ tidak
mengalami
pergeseran
atau
pemusnahan bahasa.
Kepustakaan
Fishman dalam Sumarsono, 1993,
Pemertahanan Bahasa Mel Loloan
di Bali, Penerbit Pusat Bahasa
Jakarta
Fishman, 1990, The Sociolinguistic of
Language, Oxford: Basil Blackwell
Fishman, 1986, The Sociolinguistic of
Society, Oxford: Basil Blackwell
Kartomihardjo,
Suseno,
1987,
Ethnography of Communicativ
Codes in East Java, Pacific
Linguistics, D-39
Kota Kupang dalam Angka, 2010,
Percetakan Idea, Kupang
Sumarsono, 1990, Pemertahanan Bahasa
melayu Loloan Di Bali, Jakarta,
Disertasi Universitas Indonesia
Sutini, Maria Faustina, 1995, Bahasa
Indonesia Dialek Thionghwa di
Kota Malang, Laporan Penelitian,
Perpustakaan UNDANA, Kupang
Utomo, 1987, The Chinese of Pasuruan:
Their Language and Identity,
Pacific Language, D-63
Wahab, Abdul, 1991, Metafora dalam
Bahasa Jawa dalam Pengembangan
Bahasa
Indonesia,
Makalah,
Disajikan dalam Seminar Nasional
Bahasa Indonesia, Jakarta
Download