perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 7 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakekat Matematika
Matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:723) adalah
“Ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur
operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai masalah”.
Clapham dan Nicholson mendefinisikan matematika dalam Kamus Matematika
sebagai, “Cabang dari penyelidikan manusia yang menyangkut pembelajaran
mengenai bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya,
khususnya penggeneralisasian dan pengabstraksiannya serta aplikasinya pada
situasi di dunia nyata” (2009:505).
Lebih lanjut Clapham dan Nicholson (2009) memperkenalkan istilah
matematika murni dan matematika terapan. Matematika murni adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara kuantitas abstrak menurut sehimpunan aturan yang
dirumuskan dengan baik. Matematika murni meliputi aljabar, aljabar abstrak,
kalkulus, geometri, teori bilangan, topologi and trigonometri. Sedangkan
matematika terapan didefinisikan sebagai, “...penerapan dan penggunaan
matematika dalam konteks dunia nyata.” Matematika terapan meliputi mekanika,
statistika dan peluang, mekanika kuantum, dan relativitas. Soedjadi (2000:11)
merinci enam definisi matematika, yaitu:
a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara
sistematik.
b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan
dengan bilangan
d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan
masalah tentang ruang dan bentuk
e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik
f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
commit7to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang bilangan,
kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan sehimpunan
aturan yang terdefinisi dengan baik.
2. Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk
pembelajar. Manusia memiliki rasa ingin tahu terhadap berbagai hal. Untuk
memuaskan rasa ingin tahu tersebut manusia perlu belajar. Belajar dapat
dilakukan oleh manusia itu sendiri ataupun dengan bantuan orang lain. Jika
kegiatan belajar yang dilakukan tersebut melibatkan bantuan orang lain, maka kita
sebut orang yang memberikan bantuan tersebut sebagai pengajar dan orang yang
belajar tersebut sebagai pembelajar, sedangkan proses belajar yang terjadi disebut
proses pembelajaran. Matematika adalah ilmu yang membelajarkan keterampilan
berpikir. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) dalam Scusa
(2008) mengungkapkan lima proses standar dalam matematika, yakni (1)
representasi, (2) memberikan alasan dan membuktikan, (3) komunikasi, (4)
memecahkan masalah, dan (5) menghubungkan.
Ada beberapa saran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
matematika. Lipman menyarankan dalam proses pembelajaran sebaiknya peserta
didik diperlakukan sebagai seorang pemikir (Kuswana, 2011). Salah satu cara
menerapkan saran ini adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan serta dalam pembelajaran matematika. Guru tidak sekedar menjejali
siswa dengan “ilmu jadi” tanpa menjelaskan asal usul ilmu tersebut tetapi juga
mengikutsertakan siswa untuk berpikir menemukan ilmu tersebut. Berkaitan
dengan keikutsertaan siswa, Carpenter (2003) menyatakan bahwa kesempatan
siswa untuk ikutserta dalam matematika tergantung pada bagaimana guru
menyusun dan mengembangkan kesempatan tersebut di ruang kelas. Pokok dari
kesempatan tersebut adalah tugas yang diajukan oleh guru dan apa yang guru
lakukan untuk merancah siswa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
Tugas dapat berarti segala bentuk pekerjaan rumah ataupun aktivitas
yang dilakukan di kelas yang harus dikerjakan oleh siswa baik secara individu
maupun berkelompok. Menurut Mason dan Johnston-Wilder dalam Breen dan
O‟Shea (2010), tugas seharusnya didesain agar siswa dapat berdiskusi dan
membuat pilihan sehingga dapat mengarahkan siswa untuk memandang
matematika sebagai sesuatu yang dapat dikonstruk. Untuk dapat menyusun tugas
semacam itu, guru memerlukan informasi gambaran proses berpikir siswa sebagai
salah satu bahan pertimbangan.
Secara umum, perancah (scaffold) merujuk pada cara-cara yang
dilakukan guru untuk menciptakan lingkungan belajar dan melakukan sesuatu
untuk membantu siswa belajar baik mengkonstruksi, mendalami, memadatkan,
maupun menggabungkan ilmu pengetahuan (Bell dan Pape, 2012). Anghileri
dalam Bell dan Pape (2012) menguraikan bentuk scaffolding meliputi mengatur
struktur fisik dan sosial yang akan digunakan, memberikan tantangan dan
dukungan yang bertanggungjawab, dan mengembangkan pemikiran konseptual.
Dengan demikian, pemberian tugas dengan menyesuaikan karakteristik siswa,
dalam hal ini adalah proses berpikir siswa, termasuk salah satu bentuk scaffolding.
Pemberian bantuan secara langsung pada siswa pada saat siswa mengalami
kesulitan dalam mengerjakan tugas juga termasuk scaffolding.
Bentuk scaffolding lain yang dapat dilakukan oleh guru adalah pada saat
guru memberikan penjelasan mengenai materi. Chatib (2012) menyarankan
kepada guru untuk menyesuaikan gaya mengajar dengan gaya belajar siswa. Gaya
mengajar adalah strategi transfer informasi yang diberikan guru kepada siswanya,
sedangkan gaya belajar adalah bagaimana sebuah informasi dapat diterima dengan
baik oleh siswa (Chatib, 2012:100). Menurut De Porter dan Hernacki (2011), ada
dua hal tentang bagaimana orang belajar, yaitu bagaimana seseorang menyerap
informasi (modalitas), dan bagaimana seseorang tersebut mengatur serta
mengolah informasi (dominasi otak). Pada saat mengajar, materi yang
disampaikan guru akan menjadi informasi yang diserap, diatur, dan diolah oleh
siswa. Oleh karena itu, cara mengajar guru harus disesuaikan dengan cara siswa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi agar siswa dapat menangkap
informasi yang disampaikan dengan baik.
3. Pemecahan Masalah
Masalah adalah hal yang sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Manusia harus membuat suatu cara untuk memecahkan masalah tersebut.
Vygotsky dalam Sujiati mengatakan bahwa seseorang akan dapat menyelesaikan
masalah yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya apabila
mendapat bantuan dari orang yang lebih mampu (scaffolding). Lebih lanjut Sujiati
menyarankan pada guru pada umumnya untuk memahami proses berpikir siswa
dalam pemecahan masalah, sehingga dapat memberikan bantuan yang diperlukan
siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Costa dan
Kallick menyatakan “... fleksibilitas pikiran siswa meningkat seiring dengan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah” (Scusa,2008:10).
“Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara
langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang
spesifik” (Solso, 2008:434). Masalah matematika biasanya muncul dalam bentuk
soal matematika. Menurut para penganut psikologi Gestalt, suatu permasalahan
ada ketika ketegangan atau stres muncul sebagai hasil dari interaksi antara
persepsi dan memori (Solso, 2008). Dengan kata lain, ada syarat bagi suatu
kondisi untuk dikatakan sebagai masalah, yaitu adanya ketegangan karena
interaksi persepsi dan memori.
Untuk memudahkan pemecahan masalah, Polya (1973) menawarkan
empat langkah pemecahan masalah, yaitu (1) memahami masalah, (2) menyusun
rencana pemecahan masalah, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah,
dan (4) memeriksa kembali penyelesaian masalah. Seseorang yang memecahkan
masalah menggunakan langkah-langkah tersebut akan mengalami proses berpikir
pada setiap langkah.
Langkah pertama pemecahan masalah yaitu memahami masalah. Selain
harus memahami apa yang menjadi masalah, siswa juga harus mempunyai
commitmasalah
to user tersebut (Polya, 1973). Kata
keinginan untuk dapat memecahkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
memahami menurut Hiebert dan Carpenter bermakna, “...membuat hubungan
antara ide, fakta, atau prosedur” (Mitchelmore dan White, 2007:1). Salah satu ciri
kepahaman siswa terhadap permasalahan adalah siswa dapat menjelaskan kembali
permasalahan tersebut dengan bahasa sendiri meliputi informasi tentang apa yang
diketahui, apa yang hendak dicari, dan apa yang tidak diketahui. Siswa dapat
menuliskan apa yang diketahui, menggambar sketsa ataupun tabel untuk
membantu
memahami
masalah
dan
menentukan
gambaran
pemecahan
masalahnya (Polya, 1973).
Langkah kedua yaitu membuat perencanaan. Siswa harus dapat
memanfaatkan informasi dari langkah pertama untuk menyusun rencana
pemecahan masalah. Siswa harus dapat menemukan keterkaitan antara apa yang
diketahui dengan apa yang ditanyakan untuk menyusun rencana pemecahan
masalah. Penyusunan rencana pemecahan masalah dapat dilakukan dengan
mencari permasalahan terdahulu yang telah dipecahkan (Polya, 1973).
Setelah rencana pemecahan masalah dibuat, langkah selanjutnya adalah
menjalankan rencana tersebut. Sebaiknya siswa menuliskan pemecahan masalah
tersebut secara rinci untuk memudahkan dalam pemeriksaan kembali hasil
jawabannya.
4. Proses Berpikir
a. Pengertian Proses Berpikir
Manusia tentunya mengalami proses berpikir dalam memecahkan
masalah. Gilmer (1970) mendefiniskan berpikir sebagai, “Suatu pemecahan
masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti
suatu aktivitas yang tampak secara fisik” (Kuswana, 2011:2). Sedangkan
berpikir menurut Kuswana (2011:1) berarti, “Menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam
ingatan”. Selanjutnya Kuswana menyatakan bahwa, “Proses berpikir
merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana
dan sistematis pada konteks ruang, waktu, dan media yang digunakan, serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
menghasilkan suatu perubahan terhadap objek yang mempengaruhinya“
(Kuswana, 2011:3).
Plato dalam Solso (2008:119) menyatakan bahwa, “Bentuk paling
sederhana dari berpikir adalah pengenalan terhadap objek yang dilihat.”
Piaget mengemukakan teori tentang perkembangan kognitif manusia.
Piaget dalam Santrock (2009:48) menyatakan bahwa, ”Ketika anak berusaha
membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk
skema”. “Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara
intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya” (Suparno, 2001:21).
Kuswana lebih lanjut menjelaskan, “Skema berupa kategori pengetahuan
yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia yang diperoleh
melalui interaksi” (2011:159). Skema dapat terus berkembang seiring dengan
bertambahnya interaksi yang akan menambah informasi (Kuswana, 2011).
Informasi yang baru didapat digunakan untuk memodifikasi atau bahkan
mengganti skema yang lama sehingga diperoleh skema baru (Kuswana,
2011). Dalam proses berpikir terjadi adaptasi antara informasi yang masuk ke
dalam otak dengan skema yang telah ada. Menurut Piaget, ada dua proses
adaptasi yaitu asimilasi dan akomodasi.
“Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam
skema yang sudah ada” (Kuswana, 2011:159). Menurut Wadsworth dalam
Suparno, “... asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi
memperkembangkan skema” (2001:22). Sementara akomodasi adalah bentuk
penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat
adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada.
Akomodasi dapat berupa dua hal, (1) membentuk skema baru yang dapat
cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 2001:23).
Sebagai ilustrasi, seorang anak mempunyai konsep bahwa luas
segitiga adalah hasil kali alas dengan tinggi, dimana sisi mendatar sebagai
alas dan sisi yang tegak dengan alas tersebut sebagai tinggi. Kemudian siswa
tersebut dihadapkan pada soalcommit
berikut.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
Tentukan luas daerah segitiga-segitiga berikut ini !
12
4
4
12
(1) mengerjakan soal nomor (1), siswa dapat
(2) secara langsung
Pada saat
mengintegrasikan skema yang dimiliki ke dalam soal. Siswa akan dengan
mudah menyatakan panjang alas segitiga tersebut adalah 12 sedangkan
tingginya adalah 4. Dalam hal ini siswa dikatakan melakukan asimilasi.
Lain halnya ketika siswa dihadapkan pada soal nomor (2). Gambar
pada soal (2) tidak sesuai dengan skema yang telah dimiliki sehingga siswa
kebingungan menemukan mana alas dan tinggi segitiga. Siswa tersebut
mungkin akan memutar segitiga sehingga diperoleh sisi mendatar seperti
pada soal (1) sehingga cocok dengan skema yang dimiliki. Bahkan lebih jauh
lagi mungkin siswa akan menemukan bahwa alas tidak selalu berupa sisi
mendatar, tetapi dapat berupa sisi manapun segitiga dan tinggi segitiga adalah
garis yang ditarik dari salah satu sudut segitiga yang tegak lurus dengan garis
yang dijadikan sebagai alas sehingga skema siswa tentang alas dan tinggi
segitigapun berubah. Dalam hal ini siswa dikatakan melakukan akomodasi.
Umumnya, siswa kelas VII berusia sebelas sampai dengan duabelas
tahun. Menurut Piaget dalam Suparno (2000), siswa pada umur di atas
sebelas atau duabelas tahun berada pada tahap operasi formal. Pada tahap ini,
siswa sudah dapat berpikir logis dan dapat mengambil kesimpulan terlepas
dari apa yang diamati pada saat itu. Siswa mulai bisa berpikir secara abstrak,
dapat membuat teori berdasarkan apa yang diamati. Cara berpikir siswa pada
tahap ini bersifat fleksibel, dapat melihat berbagai kemungkinan yang muncul
dalam satu analisis dan memilih mana yang cocok untuk persoalan yang
dihadapi (Suparno, 2000). Suparno juga menambahkan, siswa dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
mendesain percobaan yang memerlukan pemikiran dan membutuhkan banyak
variabel secara bersamaan (2000).
Menurut Van Oers & Polland (2007), proses berpikir abstrak
merupakan sesuatu yang dapat diajarkan oleh guru pada siswa. Beberapa
bentuk abstraksi yang sering dicontohkan guru antara lain menggunakan
simbol atau mencontohkan untuk memilah informasi yang diperlukan dan
mengabaikan informasi lainnya dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu,
siswa mempunyai skema dalam pikirannya untuk berpikir abstrak dalam
memecahkan masalah. Bila skema ini digunakan untuk memecahkan
masalah, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak.
Proses abstraksi yang dilakukan oleh siswa mungkin juga tidak
dikarenakan pengalaman belajarnya bersama orang lain. Siswa yang tidak
mempunyai skema mengenai penggunaan simbol ataupun pemilahan
informasi dalam memecahkan masalah tertentu didorong oleh intuisinya
untuk melakukan salah satu hal tersebut. Dalam hal ini, siswa dikatakan
melakukan akomodasi abstrak.
Meski begitu, Piaget memberikan catatan terhadap teori tahap
perkembangan kognitifnya tersebut. Tahap perkembangan yang diajukan oleh
Piaget mempunyai urutan yang tetap atau berjenjang (Piaget dalam Suparno,
2000). Seorang siswa tidak akan bisa mencapai tahap selanjutnya sebelum
mencapai tahap-tahap sebelumnya. Tetapi kapan tahapan-tahapan tersebut
dimulai dalam diri sesorang dapat berbeda dengan orang lain, mungkin lebih
cepat atau lebih lambat karena berbagai faktor seperti tingkat inteligensi atau
lingkungan sosial (Piaget dalam Suparno, 2000).
Dengan demikian, dapat terjadi seorang siswa kelas VII yang
seharusnya sudah berada pada tahap operasi formal ternyata masih berada
pada tahap operasi konkret. Tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem
pemikiran yang didasarkan pada aturan tertentu yang logis namun masih
terbatas pada benda-benda konkret (Suparno, 2000). Pemikiran tersebut lanjut
Suparno (2000) belum dapat diterapkan pada kalimat verbal, hipotetis, dan
commit
user ini masih kesulitan memecahkan
abstrak. Oleh karena itu, siswa
padatotahap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
yang mempunyai segi dan variabel yang terlalu banyak (Suparno, 2000).
Menurut Suparno (2000), siswa juga belum dapat memecahkan persoalan
yang abstrak sehingga ilmu aljabar atau persamaan tersamar akan sulit
baginya.
Berdasarkan pemaparan diatas, proses berpikir yang juga mungkin
dilakukan siswa dalam memecahkan masalah adalah asimilasi konkret atau
akomodasi konkret. Proses berpikir asimilasi konkret terjadi saat siswa
menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah tanpa
menggunakan simbol maupun memilah informasi. Sedangkan proses berpikir
akomodasi konkret terjadi saat siswa mengubah pengetahuan yang dimiliki
untuk memecahkan masalah tanpa menggunakan simbol maupun memilah
informasi.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan proses berpikir adalah
proses pemecahan masalah yang dimulai dari penerimaan informasi,
pengolahan informasi, penyimpanan informasi, dan pemanggilan informasi
yang terjadi melalui proses asimilasi konkret, asimilasi abstrak, akomodasi
konkret, atau akomodasi abstrak.
b. Indikator Terjadinya Asimilasi Konkret, Asimilasi Abstrak, Akomodasi
Konkret, Dan Akomodasi Abstrak Dalam Pemecahan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai proses adaptasi informasi, dirumuskan
indikator terjadinya masing-masing proses tersebut dalam pemecahan
masalah sebagai berikut.
1) Memahami Permasalahan
Dalam memahami permasalahan, bila siswa mencoba mencari
bentuk permasalahan lain yang mirip dengan permasalahan yang diberikan
maka siswa dikatakan melakukan asimilasi karena siswa berupaya
mengintegrasikan
permasalahan
yang
sedang
dihadapi
dengan
permasalahan lalu yang sudah ada tanpa mengubah skema yang sudah
dimiliki. Dengan kata lain, seperti yang juga dikatakan oleh Sari (2011),
siswa dinyatakan melakukan asimilasi bila permasalahan yang diberikan
commit
user oleh siswa. Untuk mengetahui
sudah sesuai dengan skema
yang todimiliki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
apakah skema sudah dimiliki siswa dilakukan observasi guru mengajar dan
wawancara. Bila proses asimilasi dilakukan menggunakan simbol-simbol,
maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak sedangkan bila proses
asimilasi dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol, maka siswa
dikatakan melakukan asimilasi konkret.
Siswa dikatakan melakukan akomodasi dalam memahami
masalah bila siswa mencoba memahami masalah dengan caranya sendiri.
Siswa tidak mencari permasalahan lain yang sejenis dengan permasalahan
yang diberikan. Untuk mengetahui keaslian ide siswa dilakukan
wawancara. Akomodasi dalam memahami permasalahan juga dapat terjadi
bila permasalahan yang diberikan belum sesuai dengan skema yang
dimiliki siswa (Muhtarom, 2012) sehingga siswa perlu melakukan
penyesuaian antara informasi baru dengan skema yang dimilikinya. Lebih
lanjut, siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak bila proses
akomodasi dilakukan menggunakan simbol-simbol dan akomodasi konkret
bila proses akomodasi dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol.
2) Menyusun Rencana Pemecahan Masalah
Dalam menyusun rencana pemecahan masalah, siswa dikatakan
melakukan asimilasi bila rencana yang disusun sama dengan rencana
pemecahan masalah sejenis yang pernah dicontohkan atau pernah dijumpai
oleh siswa (Sari, 2011). Bila proses asimilasi dalam menyusun rencana ini
dilakukan menggunakan simbol-simbol atau menggugurkan informasi
yang tidak diperlukan maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak
dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
Bila siswa mencoba membuat rencana pemecahan masalah
sendiri maka siswa dikatakan melakukan akomodasi dalam merencanakan
pemecahan masalah karena siswa memodifikasi skema yang dimiliki.
Siswa juga dikatakan melakukan akomodasi bila memutuskan untuk
melakukan cara coba salah (trial and error) karena tidak adanya skema
yang cocok dengan masalah yang ada (Sari, 2011). Bila dalam proses
commit
to user
akomodasi siswa melakukan
pengguguran
informasi atau penyimbolan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
maka siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak dalam menyusun
rencana pemecahan masalah. Bila dalam proses akomodasi siswa tidak
melakukan pengguguran informasi atau penyimbolan, maka siswa
dikatakan melakukan akomodasi konkret dalam menyusun rencana
pemecahan masalah.
3) Melaksanakan Rencana Pemecahan Masalah
Dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, siswa
dikatakan melakukan asimilasi bila siswa memecahkan permasalahan
sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. Bila rencana yang
dijalankan tersebut menggunakan simbol, maka siswa dikatakan
melakukan asimilasi abstrak dalam melaksanakan rencana pemecahan
masalah.
Namun,
bila
rencana
yang
dijalankan
tersebut
tidak
menggunakan simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi konkret
dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah
Bila rencana sebelumnya ternyata tidak dapat dijalankan sehingga
siswa harus mengubah rencana tersebut maka siswa dikatakan melakukan
akomodasi dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah (Muhtarom,
2012). Akomodasi juga terjadi bila siswa dapat menemukan cara lain yang
dirasa lebih efektif (Sari, 2011). Jika dalam pelaksanaan rencana ini siswa
melibatkan simbol-simbol seperti manipulasi aljabar, maka siswa
dikatakan
melakukan
akomodasi
abstrak.
Sedangkan
bila
dalam
pelaksanaan rencana ini siswa tidak melibatkan simbol-simbol seperti
manipulasi aljabar, maka siswa dikatakan melakukan akomodasi konkret.
4) Memeriksa Kembali Jawaban Permasalahan
Langkah terakhir dalam pemecahan masalah menurut Polya
adalah memeriksa kembali jawaban permasalahan. Dalam hal ini, bila
siswa melakukan pemeriksaan kembali tehadap langkah-langkah yang
telah dilakukan maka siswa dilakukan melakukan asimilasi (Muhtarom
(2012); Sari (2011)). Asimilasi juga terjadi bila siswa memeriksa
kecocokan jawaban dengan informasi yang ada (Sari, 2011). Bila
commit
to user
pemeriksaan dengan proses
asimilasi
ini dilakukan dengan menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak. Bila proses ini
tidak melibatkan simbol maka siswa dikatakan melakukan asimilasi
konkret.
Bila siswa dapat menemukan cara lain untuk memeriksa jawaban,
maka siswa dikatakan melakukan akomodasi. Bila proses akomodasi
tersebut dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol maka siswa
dikatakan melakukan akomodasi konkret dalam memeriksa kembali
jawaban permasalahan. Sedangkan siswa yang melakukan proses
akomodasi menggunakan simbol-simbol maka dikatakan melakukan
akomodasi abstrak.
Berdasarkan penjabaran diatas dapat dirumuskan indikator proses
berpikir siswa melalui asimilasi, akomodasi, dan abstrak pada halaman
berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Tabel 2.1. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan
Akomodasi Abstrak dalam Memahami Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi
Asimilasi
Konkret
Indikator
Subyek mencari bentuk permasalahan lain yang mirip
dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan dengan
cara mengaitkannya dengan materi yang pernah diperoleh.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Asimilasi
Subyek mencari bentuk permasalahan lain yang mirip
Abstrak
dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan dengan
cara mengaitkannya dengan materi yang pernah diperoleh.
Subyek menyatakan informasi dalam permasalahan
menggunakan simbol-simbol.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Akomodasi Subyek tidak mencari bentuk permasalahan lain yang
Konkret
sejenis dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan
menggunakan bahasanya sendiri.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Akomodasi Subyek tidak mencari bentuk permasalahan lain yang
Abstrak
sejenis dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan
menggunakan bahasanya sendiri.
Subyek menyatakan informasi dalam permasalahan
menggunakan simbol-simbol.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
Tabel 2. 2. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan
Akomodasi Abstrak dalam Merencanakan Pemecahan Masalah
Matematika
Adaptasi
Informasi
Asimilasi
Konkret
Indikator
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan
cara yang sama dengan rencana pemecahan masalah yang
sejenis.
Subyek dapat langsung menyusun rencana pemecahan
masalah berdasarkan apa yang diketahui.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Asimilasi
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan
Abstrak
cara yang sama dengan rencana pemecahan masalah yang
sejenis.
Subyek dapat langsung menyusun rencana pemecahan
masalah berdasarkan apa yang diketahui.
Subyek menggugurkan informasi yang tidak diperlukan
dalam memecahkan masalah. (berdasarkan wawancara
dengan subyek).
Subyek membuat hubungan antar hal yang diketahui
berdasarkan sudut pandangnya.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah
menggunakan simbol-simbol.
Akomodasi Subyek memodifikasi skema yang dimiliki dengan cara
Konkret
mencari alternatif pemecahan masalah dengan caranya
sendiri.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan
cara trial and error.
Subyek tidak menggugurkan informasi yang tidak
diperlukan untuk menjalankan rencana (berdasarkan
wawancara dengan subyek).
Pada saat wawancara subyek menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Akomodasi Subyek memodifikasi skema yang dimiliki dengan cara
Abstrak
mencari alternatif pemecahan masalah dengan caranya
sendiri.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan
commit
cara trial and
error.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
Subyek menggugurkan informasi yang tidak diperlukan
untuk menjalankan rencana (berdasarkan wawancara
dengan subyek).
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah
menggunakan simbol-simbol.
Subyek membuat hubungan antar hal yang diketahui
berdasarkan sudut pandangnya.
Pada saat wawancara subyek menyatakan bahwa pekerjaan
yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah
diperoleh.
Tabel 2. 3. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi,
dan Akomodasi Abstrak dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi
Asimilasi
Konkret
Asimilasi
Abstrak
Indikator
Subyek dapat menggunakan rencana pemecahan masalah
yang telah dibuat untuk memecahkan masalah.
Subyek dapat menggunakan rencana pemecahan masalah
yang telah dibuat untuk memecahkan masalah.
Subyek menggunakan simbol dalam melaksanakan
rencana pemecahan masalah
Akomodasi Subyek
melakukan
modifikasi
rencana
dalam
Konkret
melaksanakan pemecahan masalah karena rencana yang
dibuat tidak dapat dijalankan.
Subyek mengubah rencana pemecahan masalah karena
mengetahui ada cara lain untuk memecahkan masalah
tersebut.
Akomodasi Subyek
melakukan
modifikasi
rencana
dalam
Abstrak
melaksanakan pemecahan masalah karena rencana yang
dibuat tidak dapat dijalankan.
Subyek mengubah rencana pemecahan masalah karena
mengetahui ada cara lain untuk memecahkan masalah
tersebut.
Subyek menggunakan simbol dalam melaksanakan
rencana pemecahan masalah yang baru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Tabel 2. 4. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan
Akomodasi Abstrak dalam Memeriksa Kembali Pemecahan
Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi
Asimilasi
Konkret
Indikator
Subyek memeriksa langkah-langkah yang telah dilakukan
dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
Asimilasi
abstrak
Subyek memeriksa langkah-langkah yang telah dilakukan
dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
Subyek menggunakan simbol dalam memeriksa kembali
pemecahan masalah
Akomodasi Subyek menggunakan cara yang lain dengan cara yang
Konkret
digunakan dalam memecahkan masalah untuk memeriksa
kembali jawaban
Akomodasi Subyek menggunakan cara yang lain dengan cara yang
abstrak
digunakan dalam memecahkan masalah untuk memeriksa
kembali jawaban
Subyek menggunakan simbol dalam memeriksa kembali
pemecahan masalah
5. Gaya Berpikir
“Otak manusia adalah satu-satunya organ yang sangat berkembang
sehingga ia mampu mempelajari dirinya sendiri” (De Porter dan Hernacki,
2011:26). “Otak dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan belahan kiri
yang umumnya disebut sebagai otak kanan dan otak kiri. Eksperimen terhadap
dua belahan tersebut menunjukkan masing-masing belahan bertanggung jawab
terhadap cara berpikir” (De Porter dan Hernacki, 2011:36). “Proses berpikir otak
kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Meski sisi ini sangat teratur dan
berdasarkan realitas, namun mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolik.
Sebaliknya, cara berpikir otak kanan bersifat abstrak, tidak teratur, intuitif, dan
holistik” (De Porter dan Hernacki, 2011 : 36-38). Menurut De Porter dan
Hernacki, ”Dalam proses belajar, dominasi otak ini akan berperan dalam proses
pengaturan dan pengolahan informasi” (2011:110).
Anthony Gregorc
dalam
De
Porter
dan
Hernacki
(2011:124)
menyimpulkan adanya dua kemungkinan dominasi otak terkait dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
pemrosesan informasi, yaitu: (a) Persepsi konkret dan abstrak; dan (b)
Kemampuan pengaturan secara sekuensial (linear) dan acak (non linear).
Dua kemungkinan dominasi otak dalam pemrosesan ini dapat dipadukan
menjadi empat kelompok perilaku yang disebut gaya berpikir. Jadi, gaya berpikir
adalah kecenderungan seseorang dalam memproses informasi, meliputi proses
pengaturan dan pengolahan informasi. Keempat kelompok gaya berpikir tersebut
yakni sekuensial konkret, sekuensial abstrak, acak konkret, dan acak abstrak.
Orang yang masuk dalam dua kategori sekuensial cenderung memiliki dominasi
otak kiri, sedangkan orang yang berpikir secara acak biasanya termasuk dalam
dominasi otak kanan. De Porter dan Hernacki (2011) menguraikan karakteristik
masing-masing karakteristik gaya berpikir sebagai berikut.
Pemikir sekuensial konkret (SK) adalah orang yang berpegang pada
kenyataan yang dapat diketahui melalui indera fisik. Pemrosesan informasi
dilakukan dengan cara yang teratur, linear, dan sekuensial. Akibatnya, mereka
perlu mengatur tugasnya tahap demi tahap. Selain itu, mereka juga bekerja keras
untuk mendapatkan kesempurnaan di setiap tahap. Mereka adalah penghafal yang
baik dan menyukai pengarahan dan prosedur khusus.
Sebagaimana pemikir SK, pemikir acak konkret (AK) juga berdasarkan
kenyataan. Hanya saja, pemikir AK mempunyai sikap eksperimental yang diiringi
dengan perilaku kurang terstruktur. Mereka sering melakukan lompatan intuitif
yang diperlukan untuk pemikiran kreatif yang sebenarnya. Pemikir tipe ini lebih
berorientasi pada proses daripada hasil ataupun waktu. Mereka mempunyai
dorongan kuat untuk melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.
Sesuai dengan namanya, pemikir acak abstrak (AA) mempunyai dua sisi
kekhasan, yakni „keacakan‟ dan „keabstrakan‟. Sikap acak pemikir AA
ditunjukkan dengan perasaan dibatasi bila berada dalam lingkungan yang sangat
teratur. Mereka lebih suka berkiprah di lingkungan yang kurang teratur yang
berhubungan dengan orang-orang. Orang-orang dengan gaya berpikir ini
mengalami peristiwa secara holistik, bukan secara bertahap. Oleh karena itu,
mereka akan terbantu jika mengetahui bagaimana segala sesuatu terhubung
commitke
to dalam
user detail. Sisi abstrak pemikir AA
dengan keseluruhannya sebelum masuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
berada pada asumsi mereka mengenai realitas. Bagi pemikir AA, realitas adalah
dunia perasaan dan emosi. Pikiran AA menyerap ide dan informasi dan
mengaturnya secara refleksi. Terkadang, hal ini memakan waktu lama sehingga
orang lain tidak menyadari bahwa orang AA mempunyai reaksi atau pendapat.
Selain itu, mereka mengingat sangat baik bila suatu informasi dipersonifikasi.
Meskipun sama-sama memiliki kekhasan dari sisi „abstrak‟ dalam
memandang realitas, namun keabstrakan pemikir SA berbeda dengan pemikir AA.
Realitas bagi pemikir SA bukanlah dunia perasaan dan emosi, melainkan dunia
teori metafisis dan pemikiran abstrak. Orang-orang tipe ini suka berpikir dalam
konsep dan menganalisis informasi. Proses berpikir mereka logis, rasional, dan
intelektual, serta pandai meneropong hal penting. Mereka ingin mengetahui
sebab-sebab di balik akibat dan memahami teori serta konsep. Biasanya, mereka
lebih suka bekerja sendiri daripada berkelompok. Sisi sekuensial mereka juga
tampak dari penghargaan mereka terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa
yang teratur rapi.
Perbandingan karakteristik masing-masing gaya berpikir disajikan dalam
bentuk tabel berikut ini.
Tabel 2. 5. Perbandingan Karakteristik Masing-Masing Gaya Berpikir
Sekuensial Konkret
No.
Acak Konkret
1.
Kenyataan adalah apa Kenyataan adalah apa
yang dapat diketahui yang dapat diketahui
dari indera fisik.
dari indera fisik, tetapi
ingin
melakukan
pendekatan
cobasalah.
2.
Tertarik
pada
kemungkinankemungkinan
yang
muncul
dan
mengundang
eksplorasi
selama
proses.
3.
Memproses informasi Bersikap
dengan cara yang eksperimental,
teratur, linear, dan perilaku
kurang
commit to user
sekuensial
terstruktur,
Acak Abstrak
Dunia nyata bagi
mereka
adalah
dunia perasaan dan
emosi.
Sekuensial Abstrak
Dunia nyata adalah
dunia
teori
metafisis
dan
pemikiran abstrak.
Tertarik
nuansa,
sebagian
cenderung
mistisme
Ingin mengetahui
sebab-sebab
di
balik akibat dan
memahami
teori
serta konsep.
-
pada
dan
lagi
pada
Proses
berpikir
mereka
logis,
rasional,
dan
intelektual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
4.
Mengingat
fakta- fakta,
informasi,
rumus-rumus,
dan
aturan-aturan khusus
dengan mudah
5.
Harus
mengatur
tugas-tugas menjadi
proses tahap demi
tahap
6.
Berusaha keras untuk
mendapatkan
kesempurnaan pada
setiap tahap
7.
Menyukai pengarahan
dan prosedur khusus
8.
Memperhatikan dan
mengingat
realitas
dengan mudah
9.
-
10.
-
11.
Berpegang
kenyataan.
pada
Sering
melakukan
lompatan intuitif yang
diperlukan
untuk
pemikiran kreatif yang
sebenarnya.
Mengingat sangat
baik bila suatu
informasi
dipersonifikasi
Mudah
meneropong halhal penting, seperti
titik-titik kunci dan
detail-detail
penting
-
Mengalami
peristiwa
secara
holistik;
mereka
perlu
melihat
keseluruhan
gambar sekaligus,
bukan bertahap.
Lebih
berorientasi Jika suatu proyek
pada proses daripada
perlu
diteliti,
hasil.
mereka
akan
melakukannya
dengan mendalam
Mempunyai dorongan Terbantu
jika kuat
untuk mengetahui
menemukan alternatif bagaimana segala
dan
mengerjakan sesuatu terhubung
segala sesuatu dengan dengan
cara mereka sendiri.
keseluruhannya
sebelum masuk ke
dalam detail
Menyerap ide-ide, Suka
berpikir
informasi,
dan dalam konsep dan
kesan
dan menganalisis
mengaturnya
informasi.
dengan refleksi
Berkiprah
di Mereka lebih suka
lingkungan
yang bekerja
sendiri
tidak teratur yang daripada
berkaitan dengan berkelompok.
orang-orang.
Mereka
merasa Sangat menghargai
dibatasi bila berada orang-orang
dan
di lingkunga yang peristiwa-peristiwa
sangat teratur.
yang teratur rapi.
Waktu
bukanlah Perasaan
dapat Aktivitas
favorit
prioritas
mereka, lebih meningkatkan mereka
adalah
terlebih bila sedang atau mempengaruhi membaca.
berada dalam situasi belajar mereka.
yang
menarik.
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Untuk mengidentifikasi gaya berpikir seseorang dapat digunakan tes
yang telah dirancang oleh John Parks Le Tellier, seorang pembimbing SuperCamp
dalam De Porter dan Hernacki. Tes ini terdiri dari 15 kelompok kata yang masingmasing terdiri dari empat kata. Masing-masing kata tersebut mewakili satu gaya
berpikir.
Siswa diminta memilih dua dari empat kata di masing-masing kelompok
tersebut yang paling menggambarkan diri siswa. Setelah itu, siswa harus
melingkari huruf-huruf dari kata-kata yang telah dipilih pada setiap nomor dalam
suatu lembar jawab khusus yang terdiri dari empat kolom. Jumlahkan jawaban
pada masing-masing kolom dan kalikan masing-masing hasilnya dengan empat.
Hasilnya dimasukkan dalam grafik khusus yang akan menunjukkan dominasi
gaya berpikir siswa tersebut. Bersikap jujur adalah yang paling penting dalam tes
ini. “Beberapa orang tampaknya terlihat mempunyai keseimbangan diantara
semua cara, namun kebanyakan jelas lebih menyukai satu cara dan melampaui
tiga yang lain pada batas yang berbeda-beda” (De Porter dan Hernacki, 2011:128).
Mengenai gaya berpikir ini, De Porter dan Hernacki (2011) juga
menyampaikan bahwa masing-masing gaya berpikir ini sama baik. Setiap orang
dapat berhasil dengan gaya berpikir apapun itu bila menyadari yang mana yang
paling berhasil untuk dirinya dan mengembangkan yang lain-lainnya.
Begitu pula dalam matematika, senada dengan De Porter dan Hernacki,
Ferri (2012) menyatakan bahwa gaya berpikir matematika bukanlah tentang
seberapa baik seseorang dalam matematika, melainkan cara seperti apa yang
disukai seseorang dalam memahami dan mempelajari matematika. Pendekatan ini
didasarkan pada teori gaya berpikir Sternberg (1997). Sternberg dalam Ferri
(2012) mengatakan bahwa, cara berpikir adalah gaya, bukan kemampuan
melainkan lebih merujuk pada cara yang lebih disukai oleh seseorang dalam
menggunakan kemampuan yang dimiliki.
Dalam proses pembelajaran di kelas, gaya berpikir siswa menjadi penting
untuk diketahui oleh guru untuk menentukan gaya mengajar guru dan cara
menyusun materi sehingga lebih mudah diterima siswa. Hal ini sesuai dengan
commit
to user
hasil penelitian Zhang dan Sternberg
dalam
Ferri (2012) yang menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
siswa yang tidak mengkonsultasikan gaya berpikir mereka dengan guru mereka
mungkin akan mengalami masalah dalam memahami sesuatu, tetapi bila guru
menyadari gaya tersebut dan menyusun fakta-fakta matematika dengan cara yang
berbeda, permasalahan dalam pemahaman tersebut dapat dicegah.
6. Materi Soal Cerita Bangun Datar Segitiga
Segitiga merupakan salah satu materi yang dipelajari pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
materi ini adalah sebagai berikut.
Tabel 2. 6. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas VII
Semester II Jenjang SMP
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
6. Memahami konsep segiempat dan 6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat segitiga
segitiga serta menentukan ukurannya
berdasarkan sisi dan sudutnya
6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat persegi
panjang, persegi, trapesium, jajar
genjang, belah ketupat dan layanglayang
6.3 Menghitung keliling dan luas
bangun segitiga dan segi empat serta
menggunakannya dalam pemecahan
masalah
6.4 Melukis segitiga, garis tinggi, garis
bagi, garis berat dan garis sumbu
Segitiga adalah bangun yang terbentuk bila sebuah garis lurus memotong
dua buah garis yang sejajar (Clapham dan Nicholson, 2009). Dalam materi awal
segitiga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dikenal istilah alas dan tinggi
segitiga. Anggaplah salah satu sisi segitiga sebagai alas segitiga tersebut. Sudut
yang berhadapan dengan alas dinamakan puncak segitiga, dan jarak antara puncak
dengan alas dinamakan tinggi segitiga (Clapham dan Nicholson, 2009).
Berdasarkan definisi segitiga, maka segitiga dapat dibedakan berdasarkan
(1) panjang sisi-sisinya, (2) besar sudut-sudutnya, dan (3) panjang sisi dan besar
sudutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
1) Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisi-Sisinya
a) Segitiga Sembarang
Segitiga sembarang yaitu segitiga yang ketiga sisinya tidak sama panjang.
b) Segitiga Sama Kaki
Segitiga sama kaki yaitu segitiga yang mempunyai tepat dua buah sisi
yang sama panjang.
c) Segitiga Sama Sisi
Segitiga sama sisi yaitu segitiga yang ketiga sisinya sama panjang.
2) Jenis Segitiga Berdasarkan Besar Sudut-Sudutnya
a) Segitiga Lancip
Segitiga lancip adalah segitiga yang ketiga sudutnya merupakan sudut
lancip.
b) Segitiga Siku-siku
Segitiga siku-siku adalah segitiga yang salah satu sudutnya merupakan
sudut siku-siku.
c) Segitiga Tumpul
Segitiga tumpul adalah segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut
tumpul.
3) Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisi dan Besar Sudutnya
a) Segitiga siku-siku sama kaki
Segitiga siku-siku sama kaki adalah segitiga yang salah satu sudutnya
adalah sudut siku-siku dan mempunyai dua sisi yang sama panjang.
b) Segitiga tumpul sama kaki
Segitiga tumpul sama kaki yaitu segitiga yang salah satu sudutnya
merupakan sudut tumpul dan mempunyai dua buah sisi yang sama
panjang.
Jumlah besar sudut dalam suatu segitiga adalah 1800. Misalkan ABC
adalah sembarang segitiga, maka keliling dan luas segitiga dirumuskan sebagai
berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
C
Keliling= AB + BC + AC
Luas
t
=
Dengan
A
a
B
B. Kerangka Berpikir
Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dapat membentuk
pola berpikir siswa melalui permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.
Mengajarkan matematika pada siswa memang bukanlah pekerjaan yang mudah.
Banyak siswa merasa kesulitan dalam memahami mata pelajaran yang satu ini. Di
lain pihak, tidak sedikit pula guru yang merasa kesulitan mencari cara terbaik
untuk menyampaikan materi matematika.
Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa
memahami matematika adalah dengan memberikan bantuan (scaffold) dalam
pembelajaran melalui pemilihan strategi pembelajaran yang tepat baik dari segi
cara mengajar maupun pemberian tugas. Untuk menentukan cara mengajar dan
struktur tugas yang tepat, maka diperlukan informasi mengenai proses berpikir
siswa karena dalam proses pembelajaran tentunya terjadi proses berpikir.
Proses berpikir siswa dapat diamati melalui cara siswa dalam
memecahkan masalah. Polya menawarkan empat langkah pemecahan masalah,
meliputi : (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan masalah, (3)
melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan (4) memeriksa kembali
penyelesaian masalah. Dalam setiap langkah tersebut ada informasi yang diterima
dan diolah oleh siswa. Menurut Piaget, setiap informasi yang masuk akan
diadaptasi oleh siswa. Masalah yang terjadi akan menjadi informasi yang masuk
sedangkan bekal pengetahuan yang telah dimiliki siswa akan menjadi skema
(struktur kognitif yang dimiliki siswa). Masalah tersebut akan dipecahkan dengan
cara mengadaptasi informasi yang masuk dengan skema yang sudah ada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
Adaptasi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi bila informasi yang baru sesuai dengan skema yang telah
dimiliki siswa sehingga siswa hanya perlu menambahkan atau mengintegrasikan
informasi baru tersebut ke dalam skema yang dimilikinya. Skema adalah struktur
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Bila informasi yang diterima ternyata belum sesuai dengan skema yang
dimiliki siswa, maka siswa akan memodifikasi skema yang dimiliki sehingga
sesuai dengan informasi yang baru atau bahkan membuat skema yang baru
sehingga sesuai dengan skema yang dimiliki. Dalam hal ini siswa dikatakan
melakukan akomodasi. Darisini dapat diketahui bahwa asimilasi tidak mengubah
skema seseorang, tapi memperkembangkan skema. Sedangkan akomodasi dapat
mengubah skema. Selain asimilasi dan akomodasi, dikenal pula abstraksi dalam
pemecahan masalah. Abstraksi merupakan proses penggambaran situasi menjadi
konsep yang masuk akal menurut suatu pengkonstruksian. Abstraksi dapat terjadi
karena pengalaman siswa (sudah pernah diajarkan) ataupun karena inisiatif siswa.
Abstraksi yang terjadi karena pengalaman siswa disebut asimilasi abstraksi
sedangkan abstraksi yang terjadi atas inisiatif pribadi siswa dinamakan akomodasi
abstraksi.
Menurut para penganut psikologi Gestalt, suatu permasalahan ada ketika
ketegangan atau stres muncul sebagai hasil dari interaksi antara persepsi dan
memori. Dengan kata lain, syarat bagi suatu kondisi dikatakan sebagai masalah
adalah adanya ketegangan karena interaksi persepsi dan memori.
Bangun datar segitiga merupakan salah satu materi matematika yang
dipelajari oleh siswa kelas VII jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Soalsoal dalam materi ini seringkali muncul dalam bentuk soal cerita. Berdasarkan
pengamatan peneliti, siswa paling banyak menemukan kesulitan dalam bentuk
soal cerita, mulai dari memahami maksud soal, menyatakan soal ke dalam kalimat
matematika, menyusun rencana untuk memecahkan soal tersebut, sampai dengan
melaksanakan rencana pemecahan yang telah disusun. Soal cerita, termasuk soal
cerita segitiga juga dapat muncul dalam berbagai variasi sehingga dapat
commit to user
menimbulkan perbedaan antara pengetahuan
yang telah dimiliki (memori, dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
hal ini contoh soal) dengan pengetahuan yang baru (persepsi, dalam hal ini soal
yang baru). Oleh karena itu, kemunculan soal cerita segitiga dimungkinkan dapat
menjadi masalah bagi siswa sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk
mengungkap proses berpikir siswa.
Dalam proses berpikir, terjadi kecenderungan pada siswa dalam
mengatur dan mengolah informasi. Kecenderungan siswa dalam mengatur dan
mengolah informasi ini disebut gaya berpikir. Karena ada empat kelompok gaya
berpikir, maka dapat diteliti proses berpikir dari masing-masing gaya berpikir
tersebut. Dengan menganalisis cara yang ditempuh masing-masing gaya berpikir
dapat diperoleh gambaran proses berpikir siswa. Dalam penelitian ini akan diteliti
bagaimana proses pengolahan informasi yang merupakan bagian dari proses
berpikir siswa ditinjau dari gaya berpikir siswa dalam memecahkan masalah
matematika, yakni pada materi bangun datar segitiga.
commit to user
Download